IMPLE EMENTASI TANGGUN NGJAWAB SOSIAL S PE ERUSAHAA AN ( (CORPORA ATE SOCIAL RESPON NSIBILITY) DALAM D PEMB BERDAYAA AN DAN PENINGKATA AN KES SEJAHTER RAAN MASY YARAKAT: KA ASUS DI PR ROVINSI LA AMPUNG
SUMARYO
SEKOLAH PASCASARJANA S IN NSTITUT PE ERTANIAN BOGOR B BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Implementasi Tanggung-jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) dalam Pemberdayaan dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat: Kasus di Provinsi Lampung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yan diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2009
Sumaryo
ii
ABSTRACT SUMARYO. The Implementation of Corporate Social Responsibility on the Community Empowerment and Prosperity Improvement: The Case at Lampung Province. Under the direction of advisory committee BASITA GINTING SUGIHEN as a chief, PANG S. ASNGARI, and DJOKO SUSANTO as members. Government or local government, business (corporate and cooperative), and the peoples have the same responsibility to the community development. Corporate operating on the local area exploited the local natural resources and human resources must implement the corporate social responsibility (CSR) by doing the developmental program (include economical development) on their peripheral community. CSR is a commitment of corporation to push the community welfare by running and contribute to the program. The program is more usefull if it is based on the community needs. The basic needs to fulfil their food, clothing, and housing are the basic needs of peripheral community at Lampung Province, so the CSR program is expected to be able to improve their earnings and prosperity to fulfil these needs. The objectives of the study are: (1) to obtain the community and corporate manager’s perception about CSR, (2) to identify the influence of CSR implementation to the community behavior progress on their business, (3) to identify the influence of the community behavior on their business to their economic capability level (4) to formulate and design of strategy to improve the community business capability and their income in relation to the CSR. LISREL was used to formulate the Structural Equation Modeling of CSR implementation. This research was carried out in two districts (Central Lampung and Pesawaran Regency). The sample is the peripheral community (200 peoples) and two corporates exploiting natural and human resources and implementing the CSR program. The important results show: (1) the community understand that CSR program is a corporate charity to help the people in order to obtain their prosperity; the corporate manager claimed that they have been doing their social responsibility by holding a philanthropy program; they also claimed that they have been doing their environmental responsibility by operate their waste water management (2) facilitators’ competency and supporting factors are significantly influence the community business capability, while individual characters and quality program do not significantly influence the community business capability, (3) the community business capability does significantly influence to the level of household economic capability, (4) CSR program implementation improve the business capability of the peripheral community, so it will significantly contribute to improve the household economic capability and the peripheral community welfare. The “participative CSR” is recommeded as a model of CSR implementation. In order to make more successful, CSR program must be well and properly managed. The implementation of community economical empowerment strategy must be done step by step. First, the social gap analysis between the corporate and their peripheral community should be identified. Second, CSR program initiated by an adequate program on socialization and their need assessment. Third, developmental step, mediation, facilitation, and capacitation. Fourth, decision making of business kind and their management. Fifth, operational effort of productive economy of target group. Sixth, innovative development to improve their productivity. Seventh, program evaluation. Key word: implementation, corporate social responsibility, community empowerment, community welfare iii
RINGKASAN SUMARYO. ”Implementasi Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) dalam Pemberdayaan dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat: Kasus di Provinsi Lampung.” Dibimbing oleh BASITA GINTING SUGIHEN sebagai ketua, PANG S. ASNGARI dan DJOKO SUSANTO sebagai anggota. Paradigma pembangunan saat ini telah diwarnai konsep pemberdayaan yang melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat, sehingga ketiga pihak memiliki tanggungjawab yang seimbang dalam mencapai tujuan pembangunan. Mereka harus bersinergi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian terhadap hasil-hasil pembangunan yang dilaksanakan. Pemerintah Pusat dan Daerah diharapkan mampu mengkoordinasikan berbagai program atau kegiatan yang ada, masyarakat diharapkan berpartisipasi aktif, dan swasta (terutama perusahaan atau korporasi yang mengeksploitasi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di suatu wilayah) seharusnya berkontribusi secara wajar di dalam pembangunan daerah sebagai implementasi tanggungjawab sosialnya. APBD Lampung tahun anggaran 2007 mencapai nilai Rp1,6 triliun dengan total penerimaan sebesar Rp1,066 trilyun dan total PAD Rp485 juta, dari nilai tersebut selama ini peran dan kontribusi perusahaan dan BUMN kurang optimal. Hal itu disebabkan peraturan yang harus dilakukan oleh perusahaan dan BUMN belum dijalankan sebagaimana mestinya. Potensi peran perusahaan dan BUMN di Lampung cukup besar, mengingat jumlah perusahaan besar dan menengah yang beroperasi di Provinsi Lampung pada tahun 2005 mencapai 194 buah. Perusahaanperusahaan tersebut telah lama beroperasi dan mengeksploitasi kekayaan setempat (terutama lahan pertanian) sebagai salah satu faktor produksi yang dominan. Pemerintah menegaskan bahwa setiap perusahaan memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab akan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup masyarakat di sekitarnya. Tanggungjawab yang dibebankan kepada perusahaan tersebut dituangkan dalam Keputusan Menteri BUMN Nomer: KEP-236/MBU/2003 tanggal 17 Juni 2003 dan Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomer: 40 Tahun 2007. Pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan oleh perusahaan agroindustri di Provinsi Lampung sebagai salah satu bentuk partisipasi pihak swasta dalam pembangunan daerah belum optimal, baik secara kuantitas maupun secara kualitas programnya. Program CSR tersebut belum diawali dengan proses sosialisasi yang memadai kepada kelompok sasaran atau masyarakat. Program CSR belum menyentuh aspek pemenuhan kebutuhan dasar (pangan, sandang dan papan) yang dirasakan oleh masyarakat sekitar perusahaan serta belum mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat secara nyata. Penelitian ini bertujuan: (1) Mengkaji pemahaman konsep tanggung-jawab sosial perusahaan (CSR) oleh masyarakat sekitar perusahaan agroindustri dan manajemen perusahaan agroindustri. (2) Mengkaji pengaruh pelaksanaan program CSR terhadap peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap masyarakat sasaran dalam berusaha ekonomi produktif. (3) Mengkaji pengaruh kegiatan CSR terhadap tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga masyarakat sekitar perusahaan. (4) Merumuskan model pemberdayaan ekonomi masyarakat berdasarkan peubah-peubah yang diteliti yang sesuai bagi pelaksanaan CSR oleh perusahaan di Provinsi Lampung. Penelitian dilakukan mulai bulan November 2007 sampai dengan bulan April 2008 di Provinsi Lampung. Lokasi sampel termasuk dalam wilayah Kabu-paten Lampung Tengah dan Pesawaran. Sampel penelitian adalah masyarakat sekitar perusahaan (200 orang) dari dua perusahaan yang memanfaatkan sumberdaya iv
alam dan sumberdaya manusia sekitar. Perusahaan terpilih adalah perusahaan yang telah melaksanakan program pemberdayaan ekonomi masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Masyarakat berpersepsi bahwa CSR merupakan kegiatan perusahaan membantu masyarakat dalam bidang fisik, sosial, budaya, dan atau ekonomi agar masyarakat lebih berdaya dan mandiri sehingga mereka terbantu dalam meningkatkan kesejahteraannya. Manajemen perusahaan memahami bahwa dengan memberikan bantuan fisik untuk pembangunan prasarana pendidikan, ibadah, dan sosial, bantuan pendidikan, dan menjalin kemitraan dengan masyarakat berarti perusahaan telah melaksanakan tanggungjawab sosialnya. Pengelolaan limbah cair dengan instalasi pengolahan limbah yang dimiliki perusahaan, berarti manajemen perusahaan telah melaksanakan tanggungjawab lingkungannya. (2) Karakter individu masyarakat dan kualitas program CSR tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan perilaku berusaha, sedangkan kompetensi fasilitator dan faktor pendukung berpengaruh nyata terhadap perubahan perilaku berusaha masyarakat. (3) Perilaku berusaha berpengaruh nyata terhadap tingkat keber-dayaan ekonomi masyarakat. (4) Model CSR Integratif dan CSR Partisipatif lebih tepat diterapkan dalam implementasi CSR di Provinsi Lampung. Model CSR Integratif dapat meminimalkan konflik antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya, sedangkan Model CSR Partisipatif dapat menampung aspirasi dan kebutuhan dasar masyarakat sekitar perusahaan yang diakomodasi dalam program CSR yang akan dijalankan oleh perusahaan. Implementasi program CSR dapat bermanfaat optimal bila dilaksanakan secara integratf dan partisipatif. Program CSR partisipatif dapat dilaksanakan dengan menerapkan strategi pemberdayaan ekonomi masyarakat secara bertahap. Tahap pertama, perlu dilakukan analisis secara seksama terhadap masalah kesenjangan yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat sekitar. Tahap kedua, inisiasi program CSR yang dimulai dengan proses sosialisasi program secara transparan serta analisis kebutuhan masyarakat secara seksama. Tahap ketiga, langkah pengembangan, mediasi, fasilitasi, pembinaan, dan pendampingan kelompok sasaran. Tahap keempat, penetapan jenis usaha dan pelaksanaan usaha ekonomi produktif yang dikembangkan. Tahap kelima, operasionalisasi usaha ekonomi produktif kelompok sasaran. Tahap keenam, pengembangan inovasi bagi peningkatan produk-tivitas usaha ekonomi produktif. Tahap ketujuh, kegiatan evaluasi keberhasilan program. Kata kunci: implementasi, tanggungjawab sosial, pemberdayan masyarakat, kesejahteraan masyarakat
v
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya tanpa izin IPB
vi
IMPLEMENTASI TANGGUNGJAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY) DALAM PEMBERDAYAAN DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT: KASUS DI PROVINSI LAMPUNG
SUMARYO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
vii
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, M.S. (Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB) Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.Si. (Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB) Dr. Ir. Harry Hikmat, M.Si. (Direktur Pelayanan Sosial Anak Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI)
viii
LEMBAR PENGESAHAN Judul Disertasi : Implementasi Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) dalam Pemberdayaan dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat: Kasus di Provinsi Lampung Nama
: Sumaryo
NIM
: P061050051
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, M.A. Ketua
Prof. Dr. Pang S. Asngari
Prof. (Ris.) Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM.
Anggota
Anggota Diketahui
Koordinator Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 5 Februari 2009
Tanggal lulus: ..................................
ix
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang berjudul ”Implementasi Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) dalam Pemberdayaan dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat: Kasus di Provinsi Lampung” ini dilaksanakan sejak bulan November 2007 sampai dengan April 2008. Terima kasih yang tulus penulis haturkan kepada Bapak Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, M.A., Bapak Prof. Dr. Pang S. Asngari, dan Bapak Prof. (Ris.) Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM, sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf dan Ketua Program Studi/ Koordinator Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan atas kesempatan studi yang diberikan; Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional atas beasiswa BPPS yang telah diberikan; Rektor Universitas Lampung dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung atas ijin yang diberikan untuk melanjutkan studi; Pimpinan beserta staf PT. GGP Lampung Tengah dan PT. NI Unit Produksi Lampung, serta masyarakat petani yang telah bersedia memberikan informasi yang diperlukan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman angkatan 2005 dan 2004 Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB atas motivasi dan diskusi yang konstruktif; Bapak Drs. I Gde Sidemen, M.S., Muhammad Zaini, S.P., Robinson, S.P., Muhammad Amran, A.Md., dan Siti Ayuni, S.P. yang telah membantu dalam pengumpulan data; Bapak Drs. Eri Stiawan, M.Si. dan Bapak Drs. Ahmad Bachrudin, M.Si. atas diskusi dan masukan dalam pengolahan data; serta teman-teman dari UNILA yang sedang menempuh program S3 di IPB atas perasaan senasib dan seperjuangannya. Terakhir ungkapan terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada istriku tercinta (Diah Retnowati, S.Pd.), anak-anak tersayang sumber inspirasi dan motivasiku (Panji Prasetyo Putro, Hafidz Riza Setiawan, Arjuna Ilham Kusuma, dan Anggita Prasastya Widyasari), kedua orang tua (Bapak Gito Wihardjo dan Ibu Sumi), kedua mertua (Bapak H. Sutrisno dan Ibu Hj. Musngidah) atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga semua amal dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis akan diberikan imbalan yang setimpal oleh Tuhan Yang Maha Esa. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin. Bogor, Februari 2009 Sumaryo
x
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 27 Maret 1964 sebagai anak ketiga dari pasangan Bapak Gito Wihardjo dan Ibu Sumi. Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta lulus pada bulan Februari tahun 1988. Pada tahun 1995 penulis diterima sebagai mahasiswa Strata 2 (S-2) pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Program Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari TMPD Ditjen Dikti Depdikbud dan lulus pada bulan Januari tahun 1998. Pada bulan September 2005 penulis memperoleh kesempatan melanjutkan ke jenjang Strata 3 (S-3) pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari BPPS Ditjen Dikti Depdiknas. Pengalaman kerja penulis diawali sebagai asisten dosen pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian UGM mulai tahun 1985–1987 untuk mata kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi Pertanian dan Dasar-Dasar Penyuluhan. Setelah lulus sarjana, tahun 1988 bekerja sebagai asisten peneliti pada Pusat Penelitian Kependudukan (PPK) UGM dan dosen tidak tetap pada Fakultas Pertanian Universitas Wangsa Manggala, Yogyakarta pada tahun 1988–1989. Mulai tahun 1989 penulis bekerja sebagai dosen pada Sekolah Tinggi Pertanian Dharma Wacana dan guru tidak tetap pada STM Pertanian Dharma Wacana dan STM Muhammadiyah di Kota Metro, Lampung. Pada tahun 1990 penulis diterima sebagai dosen tetap pada Fakultas Pertanian Universitas Lampung, tempat penulis bekerja sampai saat ini. Pada fakultas tersebut penulis termasuk anggota ”pear group” penyuluhan dan komunikasi pertanian dan tim pengajar untuk mata kuliah Dasar-dasar Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Sosiologi Pedesaan, Program dan Evaluasi Penyuluhan Pertanian, Media dan Alat Bantu Penyuluhan, Komunikasi Bisnis, Psikologi Masyarakat Tani dan Pengembangan Masyarakat. Penulis pernah menjadi anggota tim MKDU untuk mengasuh mata kuliah Ilmu Alamiah Dasar pada Fakultas Ekonomi dan FISIP UNILA. Selain itu penulis juga mengasuh beberapa mata kuliah layanan seperti Ilmu Penyuluhan Koperasi, Penyuluhan Kehutanan, dan Penyuluhan Perikanan pada beberapa jurusan di lingkup Universitas Lampung. Selain kegiatan pengajaran, penulis juga aktif pada kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Selama mengikuti program S-3 penulis juga terlibat pada beberapa kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat di beberapa tempat, diantaranya Pengembangan Ekonomi Masyarakat dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan dan Menjaga Kelestarian Taman Nasional Way Kambas (2005), Revitalisasi Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Tangerang (2006), dan Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Tulang Bawang (2007). Beberapa karya tulis yang dihasilkan penulis dalam kurun waktu tersebut: (1) Analisis Perubahan Sosial dalam Masyarakat Tani sebagai Pengaruh Siaran Televisi (Studi di Desa Sumber Agung Kecamatan Kemiling Bandar Lampung dan Desa Simpang Sebelat Kecamatan Sukau Lampung Barat). Jurnal Komunitas. Volume 10 No. 1 Desember 2006. FISIP-Unila, Bandar Lampung; (2) Kinerja Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Perempuan di Kota Metro. Jurnal Sosio-Ekonomika. Volume 12 No. 2 Desember 2006. Fakultas Pertanian Unila, Bandar Lampung; (3) Peranan Media Massa dalam Penyebaran Informasi Pertanian kepada Petani Sayuran di Provinsi Lampung. Jurnal Penyuluhan. Volume 2 No. 4 Desember 2006. IPB, Bogor; dan (4) Profil Penyuluhan Pertanian di Provinsi Lampung Sejak Digulirkannya Otonomi Daerah dan Hubungannya dengan Revitalisasi Penyuluhan Pertanian. Jurnal SosioEkonomika. Volume 13 No. 2 Desember 2007. Fakultas Pertanian Unila, Bandar Lampung. xi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...............................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xviii PENDAHULUAN ..............................................................................................
1
Latar Belakang .......................................................................................
1
Masalah Penelitian ...............................................................................
5
Tujuan Penelitian ..................................................................................
6
Manfaat Penelitian ................................................................................
6
Definisi Istilah .........................................................................................
7
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................
9
Pembangunan Ekonomi Masyarakat dan Peran Korporasi ..................
9
Tanggungjawab Sosial Perusahaan (CSR) ..........................................
13
Persepsi Perusahaan terhadap CSR ....................................................
17
Perkembangan Konsep dan Makna Pemberdayaan ...........................
20
Dinamika Kelompok Masyarakat ...........................................................
32
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan dalam Pemberdayaan Masyarakat .....................................................
38
Pemenuhan Kebutuhan Dasar dan Kesejahteraan Masyarakat ...........
43
Pelaksanaan CSR oleh Perusahaan dalam Pemberdayaan Masyarakat ...............................................................................
47
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS ......................................................
55
Kerangka Berpikir ............................................................................... Hipotesis Penelitian .............................................................................
55 59
METODE PENELITIAN ....................................................................................
60
Rancangan Penelitian .........................................................................
60
Lokasi dan Waktu Penelitian ...............................................................
60
Populasi dan Sampel ..........................................................................
60
Data.......................................................................................................
63
Instrumentasi ......................................................................................
73
Validitas dan Reliabilitas Instrumen
...................................................
73
............................................................................
75
Analisis Data .......................................................................................
75
Pengumpulan Data
xii
DAFTAR ISI (Lanjutan) Halaman HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................
79
Gambaran tentang Program CSR di Provinsi Lampung ......................
79
Profil Perusahaan yang Melaksanakan Tanggungjawab Sosial Perusahaan dalam Pemberdayaan Masyarakat ......................
80
Profil Masyarakat Sekitar Perusahaan .........................…………………
88
Kelompok Sasaran Pemberdayaaan .....................................................
116
Pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat oleh Perusahaan ..
130
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perubahan Perilaku Berusaha dan Keberdayaan Ekonomi ......................................
148
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Berusaha dan Keberdayaan Ekonomi Masyarakat .........................................
157
Model Pemberdayaan Masyarakat melalui Program CSR .................
177
KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................................
188
Kesimpulan ..........................................................................................
188
Saran ...................................................................................................
188
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
189
LAMPIRAN ......................................................................................................
195
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Kriteria Garis Kemiskinan Berdasarkan Pendekatan Pengeluaran Per Kapita Per Tahun Setara dengan Nilai Tukar Beras .....................................
44
2. Model CSR menurut Corporate Voluntarism ................................................. 53 3. Pemeringkatan terhadap Populasi Desa Sasaran Program CSR ..................
62
4. Pengukuran terhadap Peubah Keragaan Individu (X1) ................................ 64 5. Pengukuran terhadap Peubah Kualitas Program Pemberdayaan (X2) ........ 65 6. Pengukuran terhadap Peubah Kompetensi Fasilitator (X3) .........................
65
7
Pengukuran terhadap Peubah Faktor Pendukung Kegiatan Usaha (X4) ......
66
8. Pengukuran terhadap Peubah Dinamika Kelompok (X5) .............................
68
9. Pengukuran terhadap Peubah Perilaku Masyarakat dalam Usaha Ekonomi Rumah tangga (Y1) .......................................................................................
70
10. Pengukuran terhadap Peubah Tingkat Keberdayaan Ekonomi Rumah Tangga (Y2) ……………………………………………………………………...
71
11. Kisaran Nilai Koefisien Korelasi Item-Item Pertanyaan dalam Satu Peubah
74
12. Jumlah Karyawan PT. GGP per Desember 2007 ……………....……………
81
13. Perkembangan Produksi Fisik PT. GGP tahun 2000 – 2004 ......................
82
14. Hasil Pengukuran Limbah PT. GGP ...........................................................
84
15. Jumlah penduduk Karang Endah yang bekerja menurut lapangan usaha tahun 2006 ..................................................................................................
89
16. Jumlah penduduk Terbanggi Besar yang bekerja menurut lapangan usaha tahun 2006 ...................................................................................................
96
17. Jumlah penduduk Desa Hurun yang bekerja menurut lapangan usaha tahun 2007 .................................................................................................. 100 18. Umur Sampel .............................................................................................. 101 19. Tingkat Pendidikan Sampel ........................................................................ 102 20. Pekerjaan Sampel Sebelum dan Sesudah Ada Program CSR .................. 103 21. Sebaran Frekuensi Jumlah Tanggungan Sampel ......................................
104
22. Tingkat Pengalaman Berusaha Sampel ....................................................
105
23. Jenis Usaha Binaan Program CSR ............…………………………………
106
24. Pemilikan Lahan oleh Sampel ....................................................................
107
25. Persepsi Sampel terhadap CSR ...............................................................
108
26. Persepsi Sampel terhadap Pengertian CSR .............................................
108
27. Persepsi Sampel terhadap Tujuan CSR ...................................................
109
DAFTAR TABEL (lanjutan) xiv
Halaman 28. Persepsi Sampel terhadap Manfaat CSR ..................................................
109
29. Tingkat Pengetahuan Sampel dalam Berusaha ........................................
110
30. Derajad Sikap Sampel terhadap Kegiatan Usahanya ...............................
110
31. Tingkat Keterampilan Berusaha Sampel ...................................................
111
32. Pengambilan Keputusan Usaha oleh Sampel ...........................................
112
33. Tingkat Kemapanan Usaha Sampel ................………………………………
112
34. Rata-rata Tingkat Pendapatan Sampel .....................................................
113
35. Pengeluaran Pangan dan Non Pangan Masyarakat Sekitar Perusahaan ..
114
36. Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga Sebelum dan Sesudah CSR ...
115
37. Analisis Usaha Pembesaran Ikan Lele per Kolam ....................................
123
38. Analisis Usaha Budidaya Jamur Tiram .....................................................
124
39. Penilaian Anggota terhadap Dinamika Kelompok .....................................
126
40. Dinamika Kelompok Sasaran Pemberdayaan ............................................
127
41. Persepsi Sampel terhadap Kualitas Perencanaan Program CSR Perusahaan ...............................................................................................
139
42. Persepsi Sampel terhadap kualitas pelaksanaan Program CSR Perusahaan ...............................................................................................
140
43. Persepsi Sampel terhadap Kompatibilitas Program CSR Perusahaan ....
140
44. Persepsi Sampel terhadap Keberlanjutan Program CSR Perusahaan ......
141
45. Penilaian Sampel terhadap Kemampuan Berkomunikasi dari fasilitator ...
143
46. Penilaian Sampel terhadap Kemampuan Mengajar dari Fasilitator ..........
143
47. Penilaian Sampel terhadap Kemampuan Memotivasi dari Fasilitator ........
143
48. Penilaian Sampel terhadap Kompetensi Fasilitator ...................................
144
49. Penilaian Sampel terhadap Ketersediaan Sarana Prasarana Produksi ....
145
50. Penilaian Sampel terhadap Keterjangkaun Harga Sarana Produksi .........
145
51. Kepemilikan Modal Usaha Sampel ............................................................
146
52. Penilaian Sampel terhadap Ketersediaan Pasar Hasil Produksi ...............
147
53. Penilaian Sampel terhadap Kegiatan Penyuluhan dari Dinas terkait .......
147
54. Penilaian Sampel terhadap Iklim Usaha …………………..........................
148
55. Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Perilaku Berusaha dan Keberdayaan Ekonomi Rumah Tangga ....................................................
149
56. Hubungan antara Kualitas Program CSR dengan Perilaku Berusaha dan Dinamika Kelompok ..................................................................................
151
57. Hubungan antara Kompetensi Fasilitator dengan Perilaku Berusaha dan Keberdayaan Ekonomi ..............................................................................
153
DAFTAR TABEL (lanjutan) xv
Halaman 58. Hubungan antara Faktor Pendukung dengan Perilaku Berusaha dan Keberdayaan Ekonomi ..............................................................................
154
59. Hubungan antara Dinamika Kelompok dengan Perilaku Berusaha dan Keberdayaan Ekonomi ..............................................................................
156
60. Validitas dan Reliabilitas Konsep Karakteristik Sampel ............................
158
61. Validitas dan Reliabilitas Konsep Kualitas Program CSR ..........................
160
62. Validitas dan Reliabilitas Konsep Kompetensi Fasilitator ..........................
162
63. Validitas dan Reliabilitas Konsep Faktor Pendukung ................................
164
64. Validitas dan Reliabilitas Konsep Dinamika Kelompok ..............................
166
65. Hasil Pengolahan Ukuran-ukuran Statistik Evaluasi Model LISREL ..........
168
66. Pengaruh antar Peubah dalam Model .......................................................
169
67. Total Pengaruh antara Peubah Laten ……………………………………….
174
68. Pengaruh antar Peubah Terikat dalam Model ..........................................
174
69. Model Strategi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat melalui Implementasi Program CSR …………………………………………………………………... 187
xvi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Proses Dinamika Kelompok .........................................................................
34
2. Bagan Model Analisis untuk Peningkatan Nilai Filantropis Perusahaan ......
52
3. Kerangka Berpikir Penelitian ........................................................................
57
4. Hubungan antar Peubah yang Diteliti ..........................................................
58
5. Fluktuasi Frekuensi Tingkat Kecelakaan Kerja yang Terjadi antara Tahun 1999 sampai 2004 ……………….………………………………………………
83
6. Waste Water Management pada PT. GGP …………………………………...
85
7. Koefisien Validitas untuk Konsep Karakteristik Sampel ............................... 159 8. Nilai t Koefisien Validitas untuk Konsep Karakteristik Sampel ……..…….. 159 9. Koefisien Validitas untuk Konsep Kualitas Program CSR ………………….. 161 10. Nilai t Koefisien Validitas Konsep Kualitas Program CSR ………………… 161 11. Taksiran Koefisien Validitas Konsep Kompetensi …………………………… 163 12. Nilai t Koefisien Validitas Konsep Kompetensi ............................................ 163 13. Taksiran Koefisien Validitas Konsep Faktor Pendukung ............................ 165 14 . Nilai t Koefisien Validitas Parameter Konsep Faktor Pendukung ............... 165 15. Taksiran Koefisien Validitas Dalam Persamaan Pengukuran Konsep Dinamika Kelompok .................................................................................... 166 16. Nilai t dalam Persamaan Pengukuran Konsep Dinamika Kelompok .......... 167 17. Taksiran Parameter dalam Persamaan Struktural .....................................
176
18. Nilai t dalam Persamaan Struktural ...........................................................
177
19. Diagram Model Implementasi CSR Partisipatif ...........................................
186
xvii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Deskripsi Umum Wilayah Penelitian .............................................................. 196 2. Profil Perusahaan Agroindustri Gula ..................................... ...................... 207 3. Program Pemberdayaan Masyarakat oleh Perusahaan Agroindustri Gula ... 209
xviii
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan masyarakat merupakan tanggungjawab semua pihak, baik pemerintah, dunia usaha (swasta dan koperasi), serta masyarakat. Pemerintah dalam hal ini mencakup pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota) bertanggungjawab dalam mengkoordinasikan berbagai pihak yang bertujuan untuk membangun masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam pelaksanaan pembangunan tersebut dunia usaha juga dapat berperan secara langsung maupun tidak langsung melalui berbagai program yang dirancang secara mandiri ataupun melibatkan pihak lain (pemerintah dan masyarakat),
namun semua itu tidak akan berhasilguna tanpa
adanya partisipasi masyarakat sebagai obyek dan subyek pembangunan. Dunia usaha terutama perusahaan besar dan menengah yang berkembang dengan memanfaatkan sumberdaya alam maupun memanfaatkan masyarakat sebagai potensi pasar hasil produksinya, sudah sewajarnya mereka ikut berpartisipasi dalam membangun masyarakat. Paradigma pembangunan saat ini telah diwarnai konsep pemberdayaan yang melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat, sehingga ketiga pihak memiliki tanggungjawab yang seimbang dalam mencapai tujuan pembangunan di segala bidang. Mereka harus bersinergi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
penilaian
terhadap
hasil-hasil
pembangunan
yang
dilaksanakan.
Pemerintah dan pemerintah daerah diharapkan mampu mengkoordinasikan berbagai program atau kegiatan yang ada, sehingga memungkinkan masyarakat berpartisipasi aktif, dan swasta (terutama perusahaan atau korporasi yang mengeksploitasi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di suatu wilayah) berkontribusi secara wajar di dalam pembangunan daerah sebagai implementasi tanggung-jawab sosialnya. Pembangunan yang membutuhkan anggaran cukup besar dan cenderung selalu bertambah dari tahun ke tahun, selama ini hampir seluruhnya menjadi tanggungjawab pemerintah. Kecenderungan tersebut terjadi pada anggaran pembangunan nasional (APBN) dan anggaran pembangunan daerah (APBD). APBD Lampung tahun anggaran 2007 mencapai Rp1,6 triliun dengan total penerimaan sebesar Rp1,066 trilyun dan total PAD Rp485 juta, dari nilai tersebut
2 selama ini peran dan kontribusi perusahaan dan BUMN kurang optimal. Hal itu disebabkan peraturan yang mengatur keberadaan dan tanggungjawab social perusahaan dan BUMN belum dijalankan sebagaimana mestinya.
Potensi
perusahaan dan BUMN di Lampung cukup besar, mengingat jumlah perusahaan besar dan menengah yang beroperasi di Provinsi Lampung pada tahun 2005 mencapai 194 buah (BPS Lampung, 2005). Perusahaan-perusahaan tersebut telah lama beroperasi dan mengeksploitasi kekayaan setempat (terutama lahan pertanian) sebagai salah satu faktor produksi yang dominan, namun demikian perkembangan pembangunan wilayah belum selaras dengan pertumbuhan dan perkembangan perusahaan yang ada. Pemerintah menegaskan bahwa setiap perusahaan yang mengelola sumberdaya alam memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab terhadap peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat di sekitarnya. Tanggungjawab yang dibebankan kepada perusahaan tersebut dituangkan dalam Keputusan Menteri BUMN Nomer: KEP-236/ MBU/2003 tanggal 17 Juni 2003 dan Undang-Undang Nomer: 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang ditetapkan bulan Juli 2007. Pada pasal 74 dinyatakan: “(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan; (2) Tanggungjawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.” Hal tersebut ternyata masih memunculkan dua kelompok yang berseberangan dalam menafsirkan implikasi dari pasal tersebut. Di satu pihak mereka setuju terhadap kewajiban melaksanakan tanggungjawab sosial bagi perusahaan yang memanfaatkan sumberdaya alam, di lain pihak mereka tidak setuju terhadap formalisasi aturan tersebut seperti yang diminta kamar dagang dan industri (Kadin) untuk mencabut pengaturan tanggungjawab sosial dan lingkungan perusahaan.
Hal ini menunjukkan bahwa di lingkup manajemen perusahaan
masih terdapat perbedaan cara pandang maupun pemahaman terhadap tanggungjawab sosial perusahaan, meskipun jauh sebelum disahkannya Undang-undang tersebut beberapa perusahaan nasional dan multinasional telah melaksanakan tanggungjawab sosialnya (corporate social responsibility / CSR) melalui beragam program atau kegiatan yang dilakukan secara mandiri atau melibatkan pihak ketiga.
3 Pelaksanaan CSR oleh perusahaan tidak dapat dipisahkan dengan prinsip profit, planet, dan people (3 P). Untuk kelangsungan aktivitas sebagai badan usaha, perusahaan selalu berupaya mendapatkan keuntungan (profit) namun dalam aktivitasnya tidak boleh mengabaikan kelestarian sumberdaya alam lingkungan (planet) dan memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitarnya (people). Manfaat tersebut akan lebih opimal apabila mereka memiliki persepsi dan pemahaman yang benar terhadap konsep tanggungjawab sosial perusahaan sehingga mereka dapat berpartisipasi aktif dalam implementasi program CSR di wilayahnya. Dari tiga prinsip tersebut diharapkan secara ekonomi perusahaan mendapatkan keuntungan dengan cara yang jujur, terjadi keseimbangan antara jumlah keuntungan yang diperoleh dengan upaya perbaikan lingkungan, serta kehidupan bersama antara masyarakat dengan lingkungan yang serasi. Dengan demikian keberadaan perusahaan di suatu wilayah dapat membantu terwujudnya cita-cita pembangunan bekelanjutan. Keberadaan perusahaan di suatu wilayah seharusnya juga mempertimbangkan manfaat yang dapat dirasakan masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan. Dalam perspektif social justice masyarakat sekitar perusahaan juga ikut diberdayakan, sehingga terjadi proses empowerment, melalui kegiatankegiatan
pelatihan
masyarakat.
(capacity
building)
yang
sesuai
dengan
kebutuhan
Selain itu, masyarakat juga dibantu fasilitas (dana, sarana, dan
prasarana) agar mereka dapat bekerja dan menciptakan peluang usaha (creating opportunities) untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Dari segi perspektif ”ecological” masyarakat diharapkan ikut menjaga keberlanjutan (sustainability) perusahaan tersebut. Provinsi Lampung merupakan provinsi termiskin kedua di Pulau Sumatra dengan jumlah penduduk miskin mencapai 1.660.700 jiwa (BPS, 2007), namun di provinsi tersebut beroperasi sejumlah 194 perusahaan besar dan menengah, khususnya perusahaan yang bergerak di bidang pertanian dan industri berbasis pertanian (agroindustri). Data tersebut menggambarkan dua kondisi yang bertolak belakang, semestinya kehadiran perusahaan-perusahaan di suatu wilayah dapat mempercepat pembangunan daerah termasuk dalam mengurangi jumlah penduduk miskin. Perusahaan-perusahaan tersebut berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau government corporate seperti PTPN VII (dahulu PTP X dan PT Bunga Mayang Divisi Pabrik Gula PTP XXV), maupun perusahaan swasta atau private corporate seperti CV Bumi Waras Group, PT
4 Gunung Madu Plantation, PT GGP, dan sebagainya. Perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi dengan mengeksploitasi kekayaan setempat (terutama lahan pertanian) sebagai salah satu faktor produksi yang dominan.
Perusahaan-
perusahaan tersebut memproduksi bahan mentah, setengah jadi, atau bahan jadi yang berorientasi ekspor. Perusahaan-perusahaan agroindustri tersebut sudah beroperasi cukup lama, bahkan ada yang beroperasi sejak zaman penjajahan Belanda, seperti PTPN VII sebelum dinasionalisasi merupakan perkebunan (“onderneming”) milik penjajah Belanda. Keberadaan perusahaan tersebut di lingkungan masyarakat membawa dampak fisik dan sosial ekonomi yang beragam baik yang bersifat positif maupun negatif.
Dampak sosial ekonomi yang positif dirasakan seperti penyerapan
tenaga kerja, peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat sekitar, dan sebagainya. Namun demikian, dampak negatif yang bersifat fisik terutama dirasakan adanya dampak lingkungan seperti pencemaran lingkungan, serta dampak sosial seperti munculnya konflik antara masyarakat sekitar dengan manajemen perusahaan. Munculnya dampak sosial dari keberadaan perusahaan di suatu wilayah salah satunya disebabkan perusahaan tersebut tidak, belum, atau kurang peduli terhadap masyarakat sekitar. Masyarakat sekitar perusahaan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang dapat mendukung keberlanjutan keberadaan perusahaan tersebut.
Bila perusahaan kurang peka terhadap kondisi sosial
ekonomi masyarakat sekitar dapat memicu terjadinya konflik antara masyarakat sekitar dengan perusahaan. Kondisi sosial ekonomi yang kurang berpihak pada masyarakat tersebut mestinya dapat dijadikan media atau wahana bagi perusahaan untuk mempererat hubungan sosial dengan anggota masyarakat sekitar. Hubungan yang ada saat ini cenderung menjadikan masyarakat tidak atau kurang mandiri karena perusahaan melaksanakan program CSR dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat karitatif.
Oleh karena itu, perusahaan dalam
merancang program pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitarnya semestinya mempertimbangkan kebutuhan masyarakat tersebut.
Dengan kata lain
implementasi CSR oleh perusahaan semestinya memperhatikan sasaran sebagai individu dan atau kelompok masyarakat yang memiliki latar latar belakang dan karakter yang cukup kompleks. Perusahaan-perusahaan besar di Indonesia dan beberapa perusahaan agroindustri di Provinsi Lampung telah melaksanakan sebagian tanggungjawab sosialnya melalui upaya pembangunan wilayah maupun upaya pemberdayaan
5 ekonomi masyarakat, baik di sekitar perusahaan maupun di beberapa wilayah di Provinsi Lampung.
Kegiatan tersebut berupa pemberian bantuan dana bagi
pembangunan wilayah sekitar dalam bentuk sarana-prasarana umum, saranaprasarana pendidikan, sarana-prasarana ibadah, maupun dalam bentuk pelatihan, pendampingan, dan atau penyuluhan di bidang ekonomi produktif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar, dan sebagainya.
Berbagai
kegiatan tersebut oleh perusahaan dianggap sebagai bentuk tanggungjawab sosialnya dalam pembangunan masyarakat di sekitarnya. Beberapa kegiatan tersebut dimaksudkan agar masyarakat memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga melalui usaha yang bersifat produktif. Proses pelaksanaan program CSR oleh perusahaan tersebut sampai saat ini belum melibatkan masyarakat sekitar sebagai sasaran program dalam perencanaan kegiatannya, sehingga keberhasilan program tersebut kurang optimal. Identifikasi kebutuhan masyarakat sekitar perusahaan belum dilakukan oleh perusahaan dalam memulai implementasi CSR tersebut.
Keberhasilan
upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai peubah, baik peubah internal individu masyarakat maupun peubah eksternal seperti dinamika kelompok masyarakat, kualitas program, maupun kualitas pendukung lainnya. Masyarakat sekitar perusahaan sebagai sasaran program CSR juga merupakan bagian dari masyarakat suatu wilayah yang menjadi sasaran program pembangunan (pemberdayaan) dari pemerintah (pusat atau daerah), dengan demikian masyarakat sekitar perusahaan dimungkinkan terkena program yang bisa jadi saling tumpang tindih (overlapping). Kondisi tersebut dapat dihindari bila semua pihak dapat berkoordinasi, sehingga dapat dihindari adanya tumpang tindih kegiatan dan merancang program yang saling melengkapi (komplementer). Sampai saat ini masih jarang dilakukan penelitian akademis yang mengkaji pelaksanaan program CSR yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut, serta seberapa besar kontribusinya dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Masalah Penelitian (1) Bagaimana pemahaman masyarakat sekitar dan jajaran manajemen perusahan terhadap konsep tanggungjawab sosial perusahaan?
6 (2) Apakah implementasi CSR mampu mengubah pengetahuan, keterampilan, dan sikap masyarakat dalam berusaha? (3) Apakah implementasi CSR dapat mempengaruhi tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga masyarakat sekitar perusahaan? (4) Apa yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan dalam meningkatkan keberhasilan implementasi program CSR?
Tujuan Penelitian (1) Mengkaji pemahaman konsep tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) oleh masyarakat sekitar perusahaan agroindustri dan manajemen perusahaan agroindustri. (2) Mengkaji pengaruh pelaksanaan program CSR terhadap peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap masyarakat sasaran dalam berusaha ekonomi produktif. (3) Mengkaji pengaruh kegiatan CSR terhadap tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga masyarakat sekitar perusahaan. (4) Merumuskan model pemberdayaan ekonomi masyarakat peubah-peubah yang diteliti yang sesuai bagi
berdasarkan
pelaksanaan CSR oleh
perusahaan di Provinsi Lampung.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian dirinci sesuai dengan pemanfaatannya bagi pengembangan ilmu pengetahuan (akademik) dan pengembangan praktis, antara lain sebagai berikut. Manfaat akademik (1) Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat. (2) Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan metode penelitian ilmu penyuluhan pembangunan melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Manfaat praktis (1) Bagi perusahaan, sebagai masukan dan perbaikan dalam implementasi tanggungjawab
sosial
masyarakat sekitarnya.
perusahaan
dalam
mengembangkan
ekonomi
7 (2) Bagi pemerintah/pemerintah daerah, sebagai sumbangan pemikiran dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan pembangunan, pelayanan, dan pemberdayaan masyarakat di wilayah sekitar perusahaan. Definisi Istilah (1) Tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) adalah komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kontribusi dan program yang ditentukan dan atau dijalankan oleh perusahaan. (2) Pemberdayaan masyarakat
adalah upaya kapasitasi atau peningkatan
kemampuan seseorang sehingga mampu (berdaya), tahu (mengerti), termotivasi, dapat memanfaatkan peluang, bersinergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil risiko, mamapu mencari dan menangkap informasi, serta mampu bertindak sesuai situasi. (3) Pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah upaya peningkatan kemampuan seseorang sehingga mampu (berdaya), tahu (mengerti), termotivasi, mampu bekerjasama, dapat memanfaatkan peluang, mampu mengambil keputusan, dan berani mengambil risiko dalam berusaha ekonomi produktif yang dapat dilakukan melalui penguatan pemilikan faktor-faktor produksi, penguatan penguasaan distribusi dan pemasaran, penguatan masyarakat untuk mendapatkan gaji atau upah yang memadai, dan penguatan masyarakat untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan keterampilan. (4) Masyarakat sekitar perusahaan adalah sekelompok warga negara yang secara formal bertempat tinggal di suatu wilayah administrasi tertentu (kampung/desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi) yang lokasinya berbatasan langsung atau tidak langsung dengan areal operasional (lahan, perkebunan, pabrik) suatu perusahaan. (5) Persepsi merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh seseorang sehingga merupakan sesuatu yang berarti. Persepsi tentang CSR adalah penginterpretasian seseorang individu tentang apa, siapa, dimana, kapan, bagaimana dan mengapa suatu perusahaan melaksanakan program CSR bagi masyarakat di sekitarnya. (6) Perusahaan agroindustri adalah badan usaha milik swasta atau pemerintah yang bergerak di bidang penanaman dan atau pengolahan hasil-hasil
8 pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan).
(7) Pola kemitraan adalah pola kerjasama antara kelompok masyarakat sekitar perusahaan dengan perusahaan agroindustri, koperasi, atau pelaku usaha lain dalam rentang waktu tertentu. (8) Stakeholders (pemangku kepentingan) adalah pihak-pihak terkait dalam suatu kerjasama antar berbagai pihak yang dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat
sekitar perusahaan,
lembagalembaga swadaya masyarakat, media massa, dan pemerintah selaku regulator. (9)
Fasilitator adalah seseorang yang bertindak atas nama individu dan atau lembaga dalam membantu pihak lain yang dapat berperan sebagai penyuluh, komunikator, pengajar, analisator, penasehat dan motivator serta memberikan bimbingan, arahan dan alternatif pemecahan masalah serta menjembatani kepentingan antar berbagai pihak melalui proses transfer pengetahuan, keterampilan dan sikap yang tertentu.
(10) Tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga adalah suatu ukuran untuk menggambarkan kemampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan hidup dengan merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi usaha ekonomi produktifnya yang dilihat dari pendapatan usaha ekonomi produktif, kemandirian dalam mengambil keputusan, dan kemapanan usahanya. (11) Tingkat kesejahteraan masyarakat merupakan suatu kondisi seseorang anggota masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhan minimal atau kebutuhan pokok yang meliputi pangan, pakaian, dan tinggal yang layak serta mendapatkan cukup asupan makanan yang bergizi sehingga mereka dapat hidup sehat dan melakukan aktivitas rutin dan atau bekerja. (12) Model adalah abstraksi realitas yang menggambarkan suatu hubungan keterkaitan antar peubah yang disederhanakan dan merupakan penggambaran atau penghampiran dari realita empirik untuk mempermudah analisis. Model diperoleh melalui perpaduan antara teori dan kondisi empiris yang didasarkan pada asumsi tertentu serta dapat diuraikan dengan jelas komponen-komponennya sehingga pengguna model dapat dengan mudah menerapkannya.
9
TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Ekonomi Masyarakat dan Peran Korporasi Menurut Bryant dan White (Ndraha, 1990:34), arti pembangunan bagi negara-negara dunia ketiga menyangkut tindakan (doing) dan kemampuan (being) dalam upaya menghilangkan kemiskinan dan mengurangi kebodohan, membebaskan dari perbudakan dan melepaskan dari ikatan cara hidup yang siasia untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat.
Kemiskinan dan kebodohan
serta semua ciri keterbelakangan tersebut dapat menurunkan derajad martabat kemanusiaan dan melemahkan semangat kerja serta kemampuan manusia. Oleh karena itu martabat dan kemampuan manusia perlu ditingkatkan melalui upaya pembangunan untuk menghadapi masa depannya.
Dalam kaitan ini,
Ndraha (1990:16) menyatakan adanya lima implikasi utama terhadap batasan pembangunan: (1) Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan optimal manusia, baik individu maupun kelompok (capacity); (2) Pembangunan berarti mendorong tumbuhnya kebersamaan dan kemerataan nilai dan kesejahteraan (equity); (3) Pembangunan berarti menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Kepercayaan ini dinyatakan dalam bentuk kesempatan yang sama, kebebasan memilih, dan kekuasaan untuk memutuskan (empowerment); (4) Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan untuk membangun secara mandiri dan berkelanjutan (sustainability); dan (5) Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan negara yang satu dengan negara yang lain dan menciptakan hubungan saling menguntungkan dan saling menghormati (interdependence). Indonesia sebagai negara berkembang telah berupaya melakukan pembangunan di segala bidang dan bertujuan untuk mencerdaskan bangsa dan memajukan
kesejahteraan masyarakat
Pembukaan UUD 1945. Pembangunan
sebagaimana
diamanatkan dalam
nasional tersebut mencakup upaya
peningkatan semua segi kehidupan bangsa yang berupa pembangunan aspek fisik, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan keamanan, dan dapat pula berupa pembangunan ideologi (Adi, 2003:39). Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa pembangunan nasional tidak dapat dilepaskan dari pembangunan
10 ekonomi. Pembangunan ekonomi yang berhasil diharapkan menjangkau semua tataran sehingga terjadi perbaikan atau peningkatan pendapatan per kapita, pendapatan rumah tangga, dan pendapatan nasional. Pembangunan ekonomi pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dengan pembangunan masyarakat, sebab Sugihen (2006) menyatakan bahwa pembangunan masyarakat (community development) secara sederhana dirumuskan sebagai gabungan antara pembangunan organisasi masyarakat
(community
organization) dengan pembangunan ekonomi (economic development).
Dari
pendapat tersebut dapat dipahami bahwa untuk mencapai tujuan pembangunan harus ada sinergi antara pembangunan organisasi-organisasi yang ada di masyarakat dan organisasi pelaksana pembangunan seperti pemerintah dan atau pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (NGO), koperasi, dunia usaha
(perusahaan
negara
atau
perusahaan
swasta)
yang
mampu
meningkatkan aktivitas perekonomian dan menyebabkan terjadinya pertumbuhan ekonomi baik di tingkat lokal maupun nasional. Mubyarto dan Bromley (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama tiga dekade terakhir yang mencapai dua sampai tujuh persen per tahun diakui telah banyak memberikan kemajuan materiil, tetapi mengandung dua masalah serius. Pertama, perekonomian Indonesia masih sangat rentan terhadap kondisi eksternal dan kondisi pasar finansial dan komoditas. Kedua, kemajuan ekonomi yang telah dicapai ternyata sangat tidak merata, baik antar daerah maupun antar kelompok sosial ekonomi. Banyaknya perusahaan (korporasi) yang tersebar di berbagai daerah diharapkan mampu memberi kontribusi nyata, sehingga kedua masalah tersebut dapat ditekan serendah mungkin. Penetapan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas merupakan langkah positif dalam rangka mengatur keberadaan perusahaan (korporasi) yang beroperasi serta memanfaatkan sumberdaya alam di suatu wilayah untuk lebih berperan dalam pembangunan masyarakat dan wilayah di sekitarnya.
Keberadaan korporasi di suatu wilayah diharapkan
mampu memberikan dan mendatangkan dampak positif bagi
masyarakat.
Perusahaan yang relatif lebih kuat dalam penguasaan modal dan teknologi diharapkan mau berbagi dengan usaha kecil dan anggota masyarakat sekitarnya.
Program kemitraan merupakan salah satu contoh kegiatan yang
dapat dilakukan oleh perusahaan (korporasi) dalam berbagi pengalaman,
11 teknologi, dan modal dengan pengusaha kecil dan koperasi di sekitarnya. Kegiatan tersebut secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan dan perkenomian masyarakat.
Dengan demikian perusahaan
(korporasi) dapat berperan lebih besar dalam pembangunan daerah dan pembangunan nasional. Hal ini sejalan dengan pendapat Sembiring (2008:113) yang menyatakan bahwa Pembangunan masyarakat (CD) merupakan wujud nyata dari terjadinya sinergi program-program pembangunan yang dilakukan masyarakat, industri/swasta/ perusahaan/korporasi dengan pemerintah. Program pembangunan komunitas dapat dikembangkan oleh korporasi di wilayah ketetanggaan pabrik atau aktivitas korporasi bersangkutan (Suparlan, 2005:13). Wilayah tersebut bisa dalam radius polusi pabrik maupun dalam area pemasaran produknya. Program itu sebaiknya mencakup pembangunan infrastruktur, tindakan afirmatif bagi komunitas setempat dalam turut mengelola kegiatan-kegiatan pelayanan sebagai bagian dari kegiatan pabrik atau korporasi (seperti katering, jasa transportasi barang atau karyawan, beasiswa pendidikan, hadiah prestasi kegiatan ilmiah, kesenian, olahraga atau lainnya). Tujuan program-program seperti ini adalah mengembangkan nilai-nilai budaya kemandirian, berproduksi dan berprestasi. Dalam praktiknya, program CSR umumnya lebih bersifat karitatif (charity) (Suparlan, 2005:12 dan Sugihen, 2006) umumnya kurang atau tidak bersifat mendidik sasaran. Hal ini berakibat sasaran menjadi tergantung atau memiliki ketergantungan kepada pihak lain. Pelaksanaan CSR belum memikirkan sasaran untuk mau berubah perilakunya (pengetahuan, keterampilan dan sikap) agar mereka mampu menolong dirinya sendiri.
Perusahaan-perusahaan saat ini
hanya memberikan bantuan material atau bantuan langsung tunai kepada sasaran tanpa dibarengi proses penyuluhan, bimbingan atau pelatihan yang dapat mengubah perilaku sasaran sehingga nantinya mereka dapat mandiri dan tidak lagi tergantung pada pihak lain.
Bantuan yang berupa bantuan modal,
fasilitas pendidikan, kesehatan, keagamaan, dan sebagainya lebih bersifat top down, dan kurang memperhatikan aspirasi masyarakat.
Dengan kata lain
implementasi CSR belum memperhatikan aspek kebutuhan masyarakat atau belum didasarkan pada need assesment. Suparlan (2005:11) menyatakan bahwa ada anggapan umum jika sebuah perusahaan atau korporasi sudah memberi hadiah atau honor bulanan kepada tokoh masyarakat setempat yang dianggap menguasai dan mewakili masyarakat,
12 maka selesailah sudah berbagai masalah sosial dan politik yang mungkin muncul dari komunitas setempat, yang akan dihadapi dan akan merugikan perusahaan tersebut.
Pandangan ini sebenarnya kurang tepat, karena di dalam suatu
komunitas terdapat sejumlah tokoh yang saling bersaing dan berada dalam keadaan konflik untuk akumulasi kepemilikan sumber daya alam atau rezeki dan atau pendistribusiannya, serta untuk posisi-posisi sosial kunci yang terbatas dalam komunitas yang bersangkutan.
Oleh karena itu manfaat pelaksanaan
CSR seharusnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Menurut Weeden (Suparlan, 2005:5) tanggungjawab sosial korporasi lebih tepat diganti dengan istilah investasi sosial korporasi (corporate social investing) sebab sejumlah korporasi telah menggunakan istilah strategic giving focused philantrophy. Tanggungjawab sosial korporasi dalam pembangunan masyarakat melalui pemberian bantuan diantaranya memiliki tujuan untuk memberdayakan masyarakat (community empowering), menjalin hubungan baik dengan masyarakat (community relations) dan memberikan pelayanan kepada masyarakat (community services). Kegiatan pengembangan atau pemberdayaan masyarakat umumnya ditangani oleh bagian atau departemen pengembangan masyarakat (community development departement). Dua hal terakhir lebih mudah dalam implementasinya oleh perusahaan, banyak perusahaan memiliki divisi atau bagian yang khusus menangani hubungan masyarakat (community relation department / CRD). Pelayanan masyarakat oleh perusahaan umumnya ditangani oleh public relation yang mewakili perusahaan dalam memberikan informasi dan pelayanan kepada masyarakat, meskipun secara teknis pelayanan tersebut ditangani oleh bagian teknis terkait di lingkup perusahaan. Banyaknya permasalahan yang dihadapi perusahaan yang terkait dengan masyarakat sekitar mengindikasikan kualitas program pemberdayaan yang dilakukan oleh perusahaan belum mengena pada sasaran, sehingga perlu disadari oleh setiap perusahaan bahwa dalam menginisiasi program pengem-bangan masyarakat yang berorientasi pemberdayaan masyarakat (community empowering) harus dilakukan lebih terencana, sistematis dan berkelanjutan. Pengembangan masyarakat sebagai bagian dari implementasi tanggungjawab sosial perusahaan memiliki arti strategis bagi sebuah korporat, sebab korporasi mempunyai potensi dan kapasitas untuk melaksanakan programprogram pembangunan masyarakat (Suparlan, 2005:14). Pengembangan
13 masyarakat tidak lepas dari kerangka menciptakan kualitas kehidupan yang lebih baik secara bersama-sama antara masyarakat, perusahaan, dan pemerintah dari waktu ke waktu dan seiring dengan aktivitas perusahaan di wilayah tersebut. Implementasi CSR dalam pengembangan masyarakat dapat dilaksanakan dalam kerangka mentransformasikan kehidupan masyarakat yang pada awalnya bergantung pada sumberdaya alam yang tak terbarukan menjadi sebuah aktivitas ekonomi yang dilakukan secara berkelanjutan. Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) Konsep tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility / CSR) merupakan suatu pendekatan perubahan atau pengembangan masyarakat khususnya peningkatan sumberdaya manusia yang dilakukan oleh suatu perusahaan sebagai bagian dari tanggungjawab sosialnya. Pendekatan ini bertujuan agar masyarakat turut terlibat atau menjadi bagian dari perusahaan tersebut dan menikmati manfaat dari keberadaan perusahaan di suatu wilayah tertentu.
Pendekatan pengembangan masyarakat tersebut mengacu pada
konsep Community Development yang kaitannya dapat dilihat dari perspektif ”economic”,
”social justice” maupun perspektif ”ecological”, sebagai konsep
yang dikenalkan oleh European Union dimana perusahaan memadukan aspek sosial dan lingkungan dalam kegiatan bisnisnya serta dalam interaksinya dengan pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip sukarela (Anonim, 2005b:5). Dalam perspektif social justice masyarakat sekitar perusahaan turut diberdayakan, sehingga terjadi proses empowerment, melalui kegiatan-kegiatan pelatihan (capacity building) yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, masyarakat juga dibantu fasilitas (dana, sarana, dan prasarana) agar mereka dapat bekerja dan menciptakan peluang usaha (creating opportunities) untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Dari segi perspektif ”ecological” masyarakat diharapkan juga turut menjaga kelestarian lingkungan demi keberlanjutan (sustainability) perusahaan tersebut. Kalangan industri Kanada menyatakan bahwa CSR merupakan upaya yang ditempuh perusahaan mencapai keseimbangan ekonomi, lingkungan, dan sosial sesuai harapan para pemegang saham dan pemangku kepentingan (CSR is the way a company achieves a balance or integration of economic, environmental, and social imperatives while at the same time addressing
14 shareholer and stakeholder expectations) (Anonim, 2005a).
Hal ini sejalan
dengan landasan teoritik dari Elkington (Pambudi, 2005:19) bahwa CSR adalah aktivitas yang mengejar triple buttom line yang terdiri dari profit, people, dan planet (3P). Selain mengejar keuntungan untuk kepentingan pemegang saham (profit), perusahaan juga harus memperhatikan pemangku kepentingan seperti pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people), serta berpartisipasi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Sebagai konsekuensinya implementasi program CSR di lingkungan masyarakat juga dapat didasarkan pada konsep ”local resource based” sebab kehadiran perusahaan di suatu wilayah memanfaatkan berbagai aset masyarakat, terutama prasarana transportasi. Hal ini terkait dan sejalan dengan prinsip community ownership. Dengan demikian diharapkan perusahaan juga ikut memelihara dan merasa memiliki kekayaan yang berupa prasarana di suatu wilayah. Pendekatan CSR diharapkan dapat menciptakan multiplier effect bagi masyarakat lokal secara luas. Keberadaan perusahaan diharapkan akan menjadi pendorong aktivitas dan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Dari beberapa batasan tersebut dapat dipahami bahwa tanggung jawab perusahaan yang bersifat ekonomis, teknis (lingkungan), dan sosial dapat tercapai secara bersama-sama apabila perusahaan tersebut mau mengimplementasikan tanggungjawab sosialnya secara bijaksana. Semua manfaat yang dapat dipetik perusahaan pada akhirnya dapat membantu kelangsungan usaha (sustainability) perusahaan.
Hubungan sosial perusahaan yang meningkat
dengan masyarakat sekitar akan menambah rasa aman terhadap gangguan dari masyarakat sekitar. Menurut Frederick et.al. (1988:28-29) ada dua prinsip yang mendasari ide moderen tentang CSR, yaitu prinsip karitatif (charity principle) dan prinsip pelayanan (stewardship principle).
Prinsip karitatif menganjurkan agar dalam
masyarakat si kaya membantu si miskin (yang kurang beruntung), dengan demikian perusahaan harus memberikan bantuan secara sukarela kepada perorangan dan kelompok yang membutuhkan. Hal ini dilakukan oleh perusahaan melalui kedermawanan perusahaan (corporate philanthropy) dan aksi pemasaran sosial. Prinsip pelayanan mengajarkan agar pengelola perusahaan melihat dirinya sebagai pelayan untuk melakukan kegiatan di masyarakat yang berkepentingan dengannya, sehingga perusahaan harus bertindak sebagaimana dipercayakan oleh publik, serta memperhatikan keinginan semua pihak yang
15 terpengaruh oleh keputusan dan kebijakan perusahaan.
Hal ini dilakukan
perusahaan dengan membangun saling ketergantungan antara perusahaan dan masyarakat, serta berlaku adil terhadap keinginan dan kebutuhan berbagai kelompok di dalam masyarakat. Kotler dan Lee (2005:3) menyatakan bahwa CSR merupakan suatu komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai pertimbangan dalam praktik bisnis dan kontribusi dari sumberdaya perusahaan.
Inti dari
pengertian tersebut tidak mengacu pada aktivitas bisnis yang diatur oleh peraturan perundangan yang berlaku, namun lebih pada komitmen kerelawanan perusahaan sehingga dipilih dan diimplementasikan dalam praktik bisnisnya. Pandangan yang lebih komprehensif mengenai CSR yang kemudian disebut sebagai ”teori Piramida CSR” dikemukakan oleh Carrol (dalam Nursahid, 2006:7) bahwa tanggungjawab sosial perusahaan dapat dilihat berdasarkan empat jenjang (ekonomis, hukum, etis, dan filantropis) yang merupakan satu kesatuan.
Untuk memenuhi tanggungjawab ekonomis, sebuah perusahaan
harus menghasilkan laba sebagai pondasi untuk mempertahankan perkembangan dan eksistensinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Drucker (Nursahid, 2006:8) yang cukup terkenal bahwa ”business is business”, sebab inti kegiatan setiap perusahaan adalah berusaha mencari keuntungan.
Namun demikian
dalam menggapai keuntungan tersebut perusahaan harus bertanggungjawab secara hukum dengan mentaati aturan hukum yang berlaku. Perusahaan juga harus bertanggunjawab secara etis, perusahaan harus mempraktikkan hal-hal yang baik dan benar sesuai dengan nilai etika dengan nilai-nilai atau normanorma masyarakat sebagai rujukan bagi perusahaan dalam menjalankan bisnisnya.
Perusahaan juga mempunyai tanggungjawab filantropis yang
mensyaratkan agar perusahaan memberikan kontribusi kepada masyarakat agar kualitas hidup masyarakat meningkat sejalan dengan perkembangan bisnis perusahaan. Dalam pelaksanaannya, Nugraha dkk. (2005) menyatakan bahwa CSR mempunyai lima pilar aktivitas. Pertama, building human capital; secara internal perusahaan dituntut menciptakan dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang handal; secara eksternal perusahaan dituntut untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, yang biasanya dilaksanakan melalui community development. Kedua, strengthening economies; perusahaan dituntut untuk tidak kaya sendiri, komunitas di lingkungannya miskin. Mereka harus
16 memberdayakan ekonomi komunitas sekitar. Ketiga, assesing social cohesion; perusahaan
dituntut
untuk
menjaga
keharmonisan
dengan
masyarakat
sekitarnya agar tidak menimbulkan konflik. Keempat, encouraging good governance; dalam menjalankan bisnisnya perusahaan harus menjalankan tata kelola bisnis dengan baik. Kelima, protecting the environment; perusahaan harus berusaha keras menjaga kelestarian lingkungan. Dari pengertian tersebut, sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada pemangku kepentingan (stakeholders) dapat dipahami bahwa CSR memiliki empat sisi tanggungjawab: (1) Tanggungjawab ekonomis, yakni setiap perusahaan melakukan kegiatan bisnis adalah untuk mendapatkan keuntungan atau profit. (2) Tanggungjawab legal,
yakni setiap perusahaan yang beroperasi memiliki
kewajiban membayar pajak kepada pemerintah, memenuhi persyaratan perundangan seperti memiliki SITU, SIUP, NPWP, Dokumen Amdal, dan sebagainya. (3) Tanggungjawab etika, yaitu perusahaan untuk berlaku jujur dan tidak diskriminatif kepada semua karyawan dan semua konsumen, serta tidak berlaku korup. (4) Tanggungjawab discretionary, merupakan tanggungjawab yang seharusnya tidak dilakukan perusahaan namun perusahaan melakukannya atas kemauan sendiri. Berdasarkan sifatnya, tanggungjawab tersebut dapat dibedakan menjadi sesuatu yang bersifat eksternal, misalnya tanggungjawab memenuhi regulasi pemerintah setempat, kewajiban menyisihkan pendapatan untuk usaha kecil menengah; dan sesuatu yang bersifat internal, misalnya perilaku pribadi pemilik perusahaan terhadap masyarakat sekitar, pemberian fasilitas dan kemudahan bagi masyarakat sekitar terhadap akses dan transaksi produk perusahaan. Dalam proses reformasi Indonesia menuju masyarakat sipil dan demokrasi seperti sekarang ini, selayaknya korporasi mempunyai tanggung jawab sosial, melalui investasi sosial dalam bentuk pembangunan komunitas untuk turut mendemokratiskan masyarakat sipil. Untuk itu berbagai program pemberian dana bantuan seharusnya dilakukan secara selektif dengan prinsip bottom up. Dengan demikian program CSR semestinya dirumuskan dan dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat sekitar perusahaan sebagai sasaran kegiatan. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas melalui
17 pasal 74 berusaha mengatur pelaksanaan CSR. Hal tersebut mendapat tanggapan yang intinya dapat dikelompokkan menjadi dua, mereka yang setuju dan mereka yang tidak setuju dengan adanya pengaturan terhadap pelaksanaan CSR. Sumarto (2007) menyatakan bahwa CSR sebagai bentuk kepedulian tidak mungkin diatur secara legal, namun bila CSR dianggap sebagai kewajiban dapat diatur oleh negara.
Banyak perusahaan menganggap bahwa realisasi
CSR yang selama ini diwujudkan dalam program pengembangan masyarakat (community development)
dilakukan karena kepedulian perusahaan sebagai
makhluk sosial (corporate citizenship).
Karena CSR merupakan kepedulian,
maka keberadaan peraturan yang mewajibkannya menjadi tidak relevan. Dalam realitanya, proses produksi perusahaan menciptakan externality, kehadirannya melegitimasi negara untuk mewajibkan perusahaan menginternalisasikan guna meminimalkan dampak negatif keberadaan perusahaan pada masyarakat. Dengan demikian, CSR dapat ditafsirkan sebagai kewajiban.
Sebagai
konsekuensinya, pilihan pemaknaan CSR sebagai kewajiban atau kepedulian menimbulkan implikasi yang berbeda.
Persepsi Perusahaan terhadap CSR Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan (Walgito, 2003:45). Proses penginderaan terjadi setiap saat indvidu menerima stimulus yang mengenai dirinya melalui alat indera (penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan pengecapan/perasaan). Stimulus tersebut kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan sehingga individu menyadari tentang apa yan diinderanya. Stimulus dapat berupa dapat berupa obyek yang besifat konkrit maupun abstrak.
Obyek konkrit berupa benda dapat mengenai semua jenis
indera manusia, sedangkan obyek yang abstrak dapat diindera setelah melalui proses audial dan atau visual. Obyek yang diindera akan dipersepsi oleh seseorang dan menjadi dasar pemahaman seseorang terhadap sesuatu. Litterer (Asngari, 1982:16) menyatakan bahwa persepsi seseorang individu dipengaruhi oleh keberadaannya dalam melihat situasi, fakta atau suatu aksi.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa ketika
seseorang menangkap informasi maka terjadilah pembentukan persepsi, kemudian diikuti pemilihan atau seleksi terhadap informasi, penutup, dan interpretasi terhadap obyek yang diindera. Dari pengertian tersebut bila program
18 CSR sebagai obyek dapat dipersepsi dan dipahami oleh seseorang ataupun perusahaan (sebagai individu yang direpresentasikan oleh manajernya) dalam perspektif yang berbeda, tergantung situasi atau keadaan yang melingkupinya. CSR sebenarnya konsep merupakan konsep yang sudah lama (Yano, 2005), namun di Indonesia masih relatif baru. Namun, beberapa perusahaan yang mengeksploitasi sumberdaya alam (perusahaan pertambangan) sudah cukup lama memahami dan menerapkannya. Sejak ditetapkannya UU Nomer 40 Tahn 2007, CSR diyakini sebagai ekspresi kewajiban perusahaan yang peka terhadap pemangku kepentingan di lingkungan lokasi perusahaan melakukan aktivitasnya. Sampai saat ini memang belum ada formula hubungan langsung antara pengaruh praktik CSR terhadap keuntungan perusahaan. Hal ini pula yang mungkin menjadikan CSR dipandang negatif oleh beberapa perusahaan. Kontroversi ini terus berlanjut, sebagian pelaku usaha masih memandang CSR sebagai komponen biaya perusahaan yang akan mengurangi keuntungan. Kalaupun mereka melaksanakan parktik CSR lebih karena terpaksa didesak oleh masyarakat di lingkungannya, oleh lembaga swadaya masyarakat, atau bahkan oleh pemerintah. Di lain pihak, justru CSR akan membentuk citra positif bagi perusahaan, CSR sebagai investasi masa depan. Oleh karena itu CSR dapat dijadikan modal sosial perusahaan. Pelaksanaan atau implementasi CSR di negara-negara maju sudah dibingkai dengan standar yang pasti. Sebagai contoh di Canada dengan Canada PLUS 9018 (Corporate Social Responsibility), di Jepang dengan Japan ECS 2000
(Corporate
Ethics
Compliance
Standards)
dan
Japan
Keidanren
Implementation Guidline (Japan Business Federation), dan di Spanyol dengan Spain PEN (Ethics – Corporate Ethics Management System). Di negara-negara berkembang, seperti Thailand juga sudah memiliki Thai Labor Standards (CSR and its implementation). Dari data tersebut dapat kita pahami bahwa kesadaran di negara-negara maju maupun berkembang akan pentingnya imlementasi CSR sudah semakin nyata. Standar implementasi CSR di suatu negara diperlukan agar progam-program atau kegiatan CSR tidak menyimpang dari rencana pembangunan masyarakat di masing-masing negara.
Dengan demikian, kita
harus mulai menetapkan standar implementasi CSR agar bermanfaat bagi masyarakat dan selaras dengan keinginan pemerintah dalam pembangunan. Kesadaran akan pentingnya CSR juga direspon oleh kalangan usahawan dari negara-negara di seluruh dunia, bahkan saat ini masih berlangsung upaya
19 pengumpulan bahan masukan untuk mewujudkan standar ISO 26000. Namun demikian, penerapan CSR di Indonesia masih jauh dari ideal, hal tersebut disebabkan lemahnya penegakan hukum (Jakarta Post, 21 Maret 2005). Pelaksanaan CSR umumnya tergantung pada persepsi Chief of Executive Organization (CEO), jika CEO memiliki kesadaran moral bisnis yang baik, besar kemungkinan perusahaan akan menerapkan kebijakan CSR secara layak; dan sebaliknya bila moral bisnisnya rendah maka penerapan kebijakan CSR hanya bersifat kosmetik. CSR dapat dijadikan strategi bisnis di masa depan guna meningkatkan citra dan investasi masa depan bagi perusahaan.
Bila citra perusahaan
meningkat, umumnya keuntungan perusahaan juga akan meningkat. Demikian halnya perlakuan perusahaan terhadap masyarakat lingkungan, bila kontribusi perusahaan tidak memberikan kontribusi positif maka lingkungan yang ada juga tidak akan memberikan kontribusi positif terhadap perusahaan. Sebagai strategi bisnis, CSR memiliki kesamaan pengertian dengan konsep pemasaran sosial (social marketing). Menurut Fox dan Kotler (Susanto, 1990), pemasaran sosial merupakan rancang bangun, implementasi, dan pengendalian program-program yang telah diperhitungkan untuk mempengaruhi penerimaan
ide-ide
sosial
dan
menyertakan
pertimbangan-pertimbangan
mengenai perancangan produk, aspek harga, komunikasi, dan riset pemasaran. Perusahaan sebagai institusi bisnis selalu menginginkan keuntungan dari hasil penjualan produknya kepada konsumen.
Melalui pemasaran sosial
diharapkan terjadi perubahan perilaku konsumen (masyarakat sekitar perusahaan khususnya, dan masyarakat luas pada umumnya), sehingga akhirnya terjadi perubahan sosial seperti yang dikehendaki oleh perusahaan.
Agar
supaya perubahan sosial yang terjadi tidak merugikan masyarakat, seharusnya pemasaran sosial yang dilakukan oleh perusahaan mempertimbangkan aspek sosial budaya masyarakat, terutama untuk menghindari sifat konsumerisme. Menurut Kavei, pakar manajemen Universitas Manchester (Pambudi, 2005:24), ada lima keuntungan mempraktekkan CSR: (1) profitabilitas dan kinerja finansial yang lebih kokoh, misalnya melalui efisiensi lingkungan; (2) meningkatkan akuntabilitas dan
asesmen
dari komunitas
investasi; (3)
mendorong komitmen karyawan karena mereka diperhatikan dan dihargai; (4) menurunkan kerentanan gejolak dengan komunitas; dan (5) mempertinggi reputasi dan corporate branding.
Senada dengan Kavei, hasil riset SWA
20 tahun 2005 (Pambudi, 2005:24-25) menyatakan bahwa manfaat pelaksanaan program CSR bagi perusahaan adalah: (1) Memelihara dan meningkatkan citra perusahaan (37,38 %). (2) Hubungan yang baik dengan masyarakat (16,82 %). (3) Mendukung operasional perusahaan (10,28 %). (4) Sarana aktualisasi perusahaan dan karyawannya (8,88 %). (5) Memperoleh bahan baku dan alat-alat untuk produksi perusahaan (7,48 %). (6) Mengurangi gangguan masyarakat pada operasional perusahaan (5,61 %). Memperhatikan hasil tersebut, cukup disayangkan bila sampai saat ini di Indonesia masih banyak perusahaan atau korporasi yang belum melaksanakan program CSR. Kondisi demikian sangat mungkin terjadi sebab persepsi dan pemahaman jajaran manajemen perusahaan terhadap konsep CSR yang beragam, kondisi perusahaan yang belum sehat, dan sebagainya.
Perkembangan Konsep dan Makna Pemberdayaan Masyarakat Hutomo (2000:1) menyatakan istilah pemberdayaan merupakan terjemahan dari kata “empowerment.” Di Indonesia, istilah ini mulai populer setelah krisis ekonomi pada 1998 dan terus berkembang pada era reformasi pasca Orde Baru.
Menurut kamus Oxford, kata empower sinonim dengan memberi daya
atau kekuatan kepada; sedangkan to empower sinonim dengan to authorize, commission, delegate, enable, entitle, licence, qualify. Kamus Merriam Webster online menyamakan empower dengan:
(1) Memberi kewenangan resmi atau
kekuasaan yang sah (to give official authority or legal power to), (2) memberi kemungkinan (to enable), atau
(3)
mempromosikan aktualisasi diri atau
pengaruh dari (to promote the self-actualization or influence of).
Your-
dictionary.com menyamakan to empower dengan: (1) menanamkan kekuasaan, khususnya kekuasaan yang sah atau kewenangan jabatan (to invest with power, especially legal power or official authority); atau (2) melengkapi atau menyediakan suatu kemampuan (to equip or supply with an ability). Istilah pemberdayaan (empowerment) telah lahir semenjak pertengahan abad ke-17 dengan makna menanamkan kewenangan (to invest with authority) atau memberi kewenangan (authorize). Dalam pengertian umum pemberdayaan berarti untuk memungkinkan (to enable) atau mengijinkan
(to permit), atau
mengajarkan kepada seseorang unuk belajar memimpin dirinya sendiri (leading
21 the people to learn to lead themselves).
Dari banyak batasan, ada yang
memfokuskan kepada pemberdayaan individu, yang berarti suatu proses untuk meningkatkan kemampuan individu.
Seseorang dikatakan telah empowered
adalah ketika ia telah dapat memimpin dirinya sendiri (Syahyuti, 2006:209). Pada abad ke-20, istilah pemberdayaan digunakan oleh aktivis Gerakan Black Panther dalam mobilisasi politik di USA pada 1960-an. Namun konsep ini seolah mengalami kemandegan (”dorman”) selama dekade 1970-an, dan baru pada pertengahan dekade 1980-an gerakan kaum wanita mempopulerkan kembali konsep pemberdayaan sehingga saat ini istilah pemberdayaan telah masuk ke berbagai disiplin ilmu, baik pada tataran teori maupun praktek (Jahi, 2006) . Menurut Ledwith (2005:9), sejarah munculnya pemberdayaan diawali dari upaya pembangunan masyarakat yang terjadi di Nigeria antara tahun 1927 dan 1949 yang dikritik oleh Batten karena pembangunan tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan dominasi kolonial (Inggris). Suatu gerakan ke arah suatu filosofi pembebasan mendorong suatu perubahan terhadap kesadaran jenis kelamin dan kelas yang mengumpulkan daya gerak yang berkembang pada abad 20. Pergerakan untuk perubahan tersebut diberdayakan oleh adanya pemusatan kebebasan ideal dalam masyarakat sebagai suatu prinsip dalam bertindak. Pemberdayaan adalah konsep kunci dalam jantung pembangunan masyarakat radikal (Ledwith, 2005:1). Dalam prosesnya, berkembanglah teori dan praktik secara seimbang. Praktik radikal menjadi titik awal yang menjembatani antara pengetahuan dan kekuatan (daya) dan komitmen untuk membangun bentuk kehidupan masyarakat yang berusaha secara serius untuk mendapatkan demokrasi dan keadilan sosial. Suharto (2005:58) menyatakan bahwa pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam: (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan, dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, kebodohan, dan kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang
22 mempengaruhi mereka. Beberapa pakar mengemukakan batasan yang beragam, pemberdayaan ditinjau dari tujuan, proses, dan cara-cara pemberdayaan: •
Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuatan orang-orang yang lemah (Ife, 1995)
•
Pemberdayaan mengajarkan pada individu atau kelompok bagaimana bersaing dalam aturan-aturan (hukum) (Ife, 2002:56)
•
Pemberdayaan adalah sebuah proses sehingga orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagi kontrol dan pengaruh terhadap kejadiankejadian dan lembaga-lembaga yang mempengaruhi dirinya.
Pemberda-
yaan menekankan bagaimana seseorang memperoleh keterampilan, pengetahuan dan kekuatan (kemampuan) yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons, et.al., 1994). •
Pemberdayaan adalah suatu cara bagaimana rakyat, organisasi, dan komunitas
diarahkan
agar
mampu
menguasai
(berkuasa
atas)
kehidupannya (Rappaport, 1984). Dengan demikian, pemberdayaan sebagai proses merupakan serangkaian kegiatan untuk memperkuat keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan.
Sebagai
tujuan, pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yakni masyarakat yang berdaya, memiliki kekuatan atau memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial (Suharto, 2005:60). Bank Dunia memberikan batasan, empowerment sebagai proses untuk meningkatkan aset dan kemampuan secara individual maupun kelompok suatu masyarakat (the process of increasing the capacity of individuals or groups to make choices and to transform those choices into desired actions and outcomes). Masyarakat yang telah berdaya diindikasikan adanya pemilikan kebebasan dalam membuat pilihan dan tindakan sendiri tanpa pengaruh atau campur tangan pihak lain. Ledwith (2005:xii) menyatakan bahwa pemberdayaan merupakan langkah memberdayakan seseorang yang memiliki martabat dan harga diri, sebagai konsekuensi dari kesadaran kritis: yang menyadari bahwa peluang kehidupan
23 ditentukan oleh adanya diskriminasi struktural, sebagai pengertian yang mendalam yang membawa serta kebebasan untuk mulai bertindak dalam menyempurnakan perubahan demi tercapainya keadilan sosial.
Selanjutnya
dikatakan bahwa urgensi dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk menyatakan adanya agenda yang radikal, sebagaimana disiitir pernyataan dari Reason (Ledwith, 2003:2) bahwa ”kita tidak bisa berjalan terus pada jalan yang sedang kita pikirkan ..... gabungan tragedi manusia akan kekerasan dan kesengsaraan bahan bakar, seperti halnya kerusakan ekologis yang lebih lanjut ” (We
cannot go on the way have been doing based on the way have been
thinking … the resultant human tragedies will fuel misery and violence, as well as further ecological damage). Proses pemberdayaan masyarakat didasarkan atas keyakinan, kesadaran kritis, dan kebersamaan (kolektivitas), kesadaran tersebut menjadi pasak penjaga roda di antara poros keduanya. Pembangunan selama ini telah melahirkan sejumlah "pelayanan kepada masyarakat"; sedangkan pembangunan yang berorientasi pemberdayaan masyarakat akan melahirkan "masyarakat ke dalam layanan." (Adjid, 2002:3). Oleh karena itu perlu ditempuh langkah-langkah yang membuat masyarakat merasa terlayani dengan penyediaan berbagai jaringan yang secara sadar atau tidak setiap anggota masyarakat akan masuk dalam jaringan yang telah disediakan. Memberdayakan masyarakat juga bukan sekedar "memobilisasi masyarakat untuk ambil bagian" dalam kegiatan; melainkan sebagai upaya untuk "mengejar jaringan kemitraan" sehingga masyarakat mampu berpartisipasi dalam kegiatan secara optimal. Proses pemberdayaan masyarakat (community empowerment) merupakan upaya membantu masyarakat untuk mengembangkan kemampuannya sendiri sehingga bebas dan mampu untuk mengatasi masalah dan mengambil keputusan secara mandiri. Proses pemberdayaan tersebut dilakukan dengan memberikan kewenangan (power), aksesibilitas terhadap sumberdaya dan lingkungan yang akomodatif (Perkins dan Zimmerman, 1995). Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang diwujudkan dalam pembangunan secara partisipatif sangat sesuai dan dapat dipakai untuk mengantisipasi timbulnya perubahan-perubahan dalam masyarakat beserta lingkungan strategisnya. Sebagai konsep dasar pembangunan partisipatif adalah melakukan upaya pembangunan atas dasar pemenuhan kebutuhan masyarakat itu sendiri
24 sehingga masyarakat mampu untuk berkembang dan mengatasi permasalahannya sendiri secara mandiri dan berkelanjutan. Lahirnya konsep pemberdayaan adalah sebagai antitesis terhadap model pembangunan dan model industrialisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas atau ”production centered development.” (Korten & Klauss dalam Nasdian, 2006:12). Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagai berikut: (1) bahwa proses pemusatan kekuasan terbangun dari pemusatan penguasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun bangunan bagian atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum, dan ideologi yang manipulatif untuk memperkuat dan legitimasi; dan (4) kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum, sistem politik, dan ideologi, secara
sistematik
akan
menciptakan
dua
kelompok
masyarakat,
yaitu
masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya. Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan
situasi
menguasai
dan dikuasai,
maka harus
dilakukan
pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of the powerless). Konsep pemberdayaan telah masuk ke berbagai disiplin ilmu, baik pada tataran teori maupun praktik sehingga memiliki makna yang berbeda Dari sisi paradigma, pemberdayaan membahas cara individu, kelompok, atau komunitas berusaha mengendalikan kehidupan mereka sendiri dan mengusa-hakan untuk mewujudkan masa depan sesuai dengan keinginan mereka.
Dari sisi ilmu
sosiologi, pemberdayaan dimaknai sebagai upaya mengurangi diskriminasi sosial yang dialami sekelompok orang karena perbedaan ras, etnik, religi, dan atau gender.
Dari sisi pembangunan ekonomi, pemberdayaan menfokuskan pada
upaya memobilisasi kemampuan diri dari golongan miskin dengan menyediakan program kesejahteraan sosial untuk mereka. Di bidang politik, pemberdayaan adalah perjuangan untuk menegakkan hak-hak sipil serta kesetaraan gender. Saat ini, istilah “pemberdayaan” telah menjadi suatu kata yang bersifat plastis dan digunakan dalam berbagai konteks, sehingga dapat mengaburkan makna yang sebenarnya (Jahi, 2006). Menurut teori Ilmu Jiwa, manusia memiliki berbagai daya, yakni daya atau kekuatan berpikir, bersikap, dan bertindak.
Daya-daya itulah yang harus
ditumbuhkembangkan pada manusia dan kelompok manusia agar tingkat
25 berdayanya optimal untuk mengubah diri dan lingkungannya. Pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya adalah sama dengan pembangunan masyarakat. Korten (Suparjan dan Hempri Suyatno, 2003:23) menyatakan bahwa pembangunan masyarakat pada hakekatnya memiliki beberapa aspek berikut: (1) Keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dibuat di tingkat lokal. (2) Fokus utama adalah memperkuat kemampuan masyarakat miskin dalam mengawasi dan mengerahkan asset-aset untuk memenuhikebutuhan sesuai dengan potensi daerah mereka sendiri. (3) Memiliki toleransi terhadap perbedaan dan mengakui arti penting pilihan nilai individu dan pembuatan keputusan yang telah terdistribusi. (4) Dalam mencapai tujuan pembangunan sosial dilakukan melalui proses belajar sosial (social learning), dalam proses tersebut individu berinteraksi satu sama lain menembus batas-batas organisatoris dan dituntun oleh kesadaran kritis individual. (5) Budaya kelembagaan ditandai dengan adanya organisasi yang mengatur diri sendiri (adanya unit-unit local) yang mengelola dirinya sendiri. (6) Jaringan koalisi dan komunikasi pelaku lokal dan unit-unit lokal yang mengelola diri sendiri mencakup kelompok penerima manfaat local, organisasi pelayanan daerah, pemerintah daerah, bank-bank pedesaan dan lain-lain akan menjadikan basis tindakan-tindakan local yang diserahkan untuk memperkuat pengawasan lokal yang mempunyai dasar luas atas sumber-sumber dan kemampuan lokal untuk mengelola sumberdaya mereka. Konsep pemberdayaan masyarakat dalam pandangan UNICEF (1997) pendekatannya bertumpu pada risiko di keluarga, kebutuhan dan hak-haknya dalam rangka menentukan prioritas dan strategi pembangunan.
Ada lima
masalah pokok yang silih berganti, yakni tingkat kematian ibu yang tinggi, kekurangan gizi ibu dan anak, rendahnya tingkat pendidikan atau kualitas pendidikan yang rendah, penyakit HIV-AIDS dan psikotropika, serta anak-anak yang memerlukan upaya perlindungan khusus.
Hasil kajian UNICEF menun-
jukkan bahwa intervensi paling strategis adalah pada kelompok remaja, kelompok yang menempati posisi terbesar dari penduduk negara kita. Dalam pertimbangan sosial dan ekonomi, kelompok remaja (10-19 tahun) merupakan kelompok yang akan memasuki pasar kerja, sehingga potensinya untuk menjadi pekerja yang disiplin, terampil dan fleksibel harus dimaksimalkan. Kegagalan
26 intervensi pada fase ini akan menimbulkan biaya sosial (social cost) yang tinggi di kemudian hari sebagai akibat urbanisasi, pengangguran, frustrasi, yang berakibat pada peningkatan kriminalitas, penggunaan obat terlarang, dan sebagainya. Dari pengertian tersebut dapat dianalogkan bahwa fokus pemberdayaan masyarakat semestiya berorientasi pada keluarga. Pemberdayaan berorientasi keluarga berarti berupaya: (1) membangun kapasitas internal keluarga (pengetahuan,
keterampilan,
sikap,
dan
sebagainya);
(2)
mengubah
kepercayaan dan perilaku yang menghambat kemajuan (perkawinan usia dini, pelanggaran disiplin, dan kriminalitas); dan (3) memperkuat nilai-nilai tradisional yang kondusif untuk pembangunan (gotong royong, rasa hormat), dan penyaringan nilai-nilai baru. Agar supaya pemberdayaan berorientasi keluarga dapat berhasil, strategi pemberdayaan masyarakat dan keluarga dalam membangun jaringan kemitraan perlu didasarkan pada hal-hal berikut: (1) Analisis yang jelas tentang situasi masyarakat (yang sangat heterogen) yang akan diberdayakan. (2) Pemilihan kelompok sasaran yang seksama; dengan mereka akan dikembangkan kemitraan untuk menjamin tidak memilih mereka yang telah diberdayakan. (3) Mekanisme dibentuk untuk menjamin keterlibatan anggota masyarakat yang tersisih (kelompok marjinal), misalnya kuota keanggotaan wanita dalam lembaga pembangunan setempat. (4) Unit-unit organisasi lokal yang ada disesuaikan untuk mewadahi agar ikut dalam proses penciptaan struktur-struktur baru. Kegiatan pembangunan yang bersifat multidimensional mengakibatkan adanya interdependensi antar aktor kunci menuntut adanya kemitraan yang kuat dan harus didasari rasa saling percaya dan saling menguatkan.
Pola kemitraan
hanya bisa diraih dengan berdayanya elemen dari individu, keluarga, dan masyarakat. Dari sisi ilmu penyuluhan pembangunan, Slamet (2003:45) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat mencakup beberapa pengertian berikut:
merupakan ungkapan lain dari tujuan penyuluhan pembangunan,
27
bagaimana membuat masyarakat mampu membangun dirinya sendiri (memperbaiki kehidupannya sendiri),
masyarakat mengerti, memahami, termotivasi, berkesempatan, melihat peluang, berenergi, mampu bekerjasama, mengetahui berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi risiko, mampu mencari dan menangkap informasi, dan mampu bertindak sesuai situasi.
Melalui program-program penyuluhan pembangunan segala macam informasi, teknologi, kesempatan berlatih dan berorganisasi serta bekerjasama dapat diakses relatif mudah oleh masyarakat, sehingga masyarakat bisa mendapatkan alternatif dan memiliki kebebasan untuk memilih yang terbaik bagi dirinya. Dengan
demikian
pemberdayaan
pada
akhirnya
mampu
menghasilkan
masyarakat yang dinamis dan progresif secara berkelanjutan. Pranarka dan Vidyandika (Tampubolon, 2006) mengemukakan bahwa proses pemberdayaan mengandung dua arti.
Pertama, pemberdayaan yang
menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, dan kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Proses ini biasanya dilengkapi dengan upaya pemberian aset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi. Proses ini disebutnya sebagai kecenderungan primer.
Kedua, proses menstimuli,
mendorong, atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Proses ini sering disebut sebagai kecenderungan sekunder. Dari beberapa kutipan di atas menunjukkan bahwa pemberdayaan ialah sebuah ide yang kompleks, yang mencakup transfer kekuasaan atau daya secara dinamis dalam kurun waktu tertentu. Daulay (2005:i) menggunakan istilah pemberdayaan masyarakat sebagai terjemahan dari community development. Di lain pihak banyak ahli menerjemahkan community development dengan istilah yang berbeda-beda seperti pengembangan masyarakat, pembangunan masyarakat, pembangunan komunitas, pengembangan komunitas, dan sebagainya. Payne (Adi, 2003:54) menyatakan bahwa proses pemberdayaan pada intinya ditujukan guna membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan.
Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan
28 rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. Shardlow (Adi, 2003:54) menyatakan bahwa berbagai pengertian pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok, atau komunitas berusaha mengendalikan kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka.
Jahi
(2006) menyatakan bahwa ada dua cita rasa pemberdayaan, yaitu: (1) yang memberi manfaat baik kepada pihak yang memberi kuasa maupun kepada pihak yang mendapat kuasa. Tipe inilah yang disebut sebagai pemberdayaan (empowerment); (2) kekuasaan didapat oleh pihak yang sebelumnya tidak berkuasa melalui perjuangan sendiri. Hal ini disebut sebagai “self-empowerment” atau memberdayakan diri. Kedua tipe pemberdayaan tersebut mengandung pemberdayaan sendiri, sebab: (a) tahap yang krusial pada pihak yang terlibat ialah perubahan alam pikiran dan situasi kehidupan mereka yang diberdayakan itu; (b) pemberdayaan mencakup peningkatan kesadaran. Ia juga mencakup lebih dari sekedar perubahan kekuasaan, sebagai akibat dari perubahan struktur dan tata-nilai lama; dan (c) elemen kesadaran dan pertimbangan yang tinggi dari kedua belah pihak yang terlibat, yang didapat dari solusi menang-menang (win-win) menye-diakan kesempatan bagi kemajuan untuk hidup yang lebih sejahtera bagi semua yang terlibat. Berdasarkan uraian di atas, maka pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk membantu orang-orang agar dapat menolong diri mereka sendiri atau upaya untuk memimpin orang-orang agar belajar memimpin diri mereka sendiri dalam menggapai tujuannya.
Agar tujuan pemberdayaan masyarakat
dapat dicapai, Jahi (2006) menyatakan diperlukan beberapa persyaratan berikut: (1) Kemandirian masyarakat lokal, otonomi dalam pembuatan keputusan pada tingkat desa, dan partisipasi langsung yang demokratis dalam proses pemerintahan melalui perwakilan.
Hal ini menyiratkan bahwa masyarakat
yang berdaya harus mempunyai kemandirian (bersifat mandiri), mampu membuat atau mengambil keputusan. (2) Adanya ruang bagi ekspresi budaya dan kesejahteraan spiritual dan experiential social learning.
Masyarakat yang berdaya harus memiliki
kebebasan berekspresi, termasuk ekspresi budaya yang dimilikinya tanpa
29 adanya rasa khawatir terhadap pihak lain. Mereka mau dan mampu belajar dari pengalaman hidup bermasyarakat untuk memperbaiki sistem sosialnya. (3) Akses pada lahan dan sumberdaya lain, pendidikan untuk perubahan, dan perumahan dan fasilitas kesehatan.
Masyarakat yang berdaya memiliki
akses pada lahan dan sumberdaya lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, akses pada pendidikan yang diperlukan untuk meningkatkan kapasitas berpikir; memiliki rumah yang layak untuk tinggal bersama keluarganya, serta memiliki akses pada pelayanan kesehatan yang memadai. (4) Akses pada pengetahuan dan keterampilan (internal maupun eksternal) untuk menjaga stok modal alami dan lingkungan secara sinambung. Pengetahuan dan keterampilan merupakan modal utama bagi seseorang atau sekelompok orang agar dapat berdaya dan mandiri. (5) Akses pada pelatihan keterampilan, teknik-teknik pemecahan masalah, teknologi tepat guna dan informasi. Pengetahuan dan keterampilan tersebut dapat digunakan untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi sehingga ia tidak tergantung pada pihak lain. (6) Partisipasi dalam proses pembuatan keputusan oleh semua orang, terutama wanita dan pemuda. Keputusan yang diambil berdasarkan kesepakatan dan melibatkan semua elemen masyarakat akan menjamin terlaksa-nanya program pemberdayaan yang ditrencanakan. Kemandirian masyarakat dapat dikategorikan sebagai kemandirian material, kemandirian intelektual, dan kemandirian manajemen (Nasdian, 2006:59).
Kemandirian material merupakan kemampuan produktif untuk
memenuhi kebutuhan dasar serta cadangan dan mekanisme untuk dapat bertahan pada waktu kritis. Kemandirian intelektual merupakan pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh komunitas yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi yang lebih halus yang muncul di luar kontrol terhadap pengetahuan tersebut.
Kemandiirian manajemen adalah
kemampuan otonom untuk membina diri dan menjalani serta mengelola kegiatan kolektif agar ada perubahan dalam situasi kehidupan mereka. Sejalan dengan pemikiran tersebut, pemberdayaan dikatakan sebagai upaya menumbuhkan peranserta dan kemandirian sehingga masyarakat baik di tingkat individu, kelompok, kelembagaan, maupun komunitas memiliki tingkat kesejahteraan yang jauh lebih baik dari sebelumnya, memiliki akses pada sumberdaya, memiliki
30 kesadaran kritis, mampu melakukan pengorganisasian dan kontrol sosial dari segala aktivitas pembangunan yang dilakukan di lingkungannya. Konsep pemberdayaan telah mewarnai paradigma pembangunan. Pada tataran kehidupan bernegara, pemberdayaan dimaknai sebagai partisipasi yang setara antara pemerintah, swasta, dan masyarakat (Syahyuti, 2006:212). Dengan demikian, pemerintah, swasta dan masyarakat memiliki tanggungjawab yang sama dalam upaya pencapaian tujuan pembangunan. Pemerintah sebagai institusi formal berperan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di segala sektor.
Swasta dapat berperan sebagai patner pemerintah dalam
pelaksanaan pada satu atau beberapa sektor pemba-ngunan. Masyarakat harus berperan sebagai subyek dan obyek pembangunan dengan pengertian bahwa masyarakat harus dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, melakukan evaluasi, dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Dari berbagai pandangan mengenai konsep pemberdayaan, maka dapat disarikan, bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah penguatan kepemilikan faktor-faktor produksi, penguatan penguasaan distribusi dan pemasaran, memadai,
penguatan dan
masyarakat
penguatan
untuk
masyarakat
mendapatkan untuk
gaji/upah
memperoleh
yang
informasi,
pengetahuan dan keterampilan, yang harus dilakukan secara multi aspek, baik dari aspek masyarakatnya sendiri, mapun aspek kebijakannya. Karena persoalan atau isu strategis perekonomian masyarakat bersifat lokal spesifik dan problem spesifik, maka konsep dan operasional pemberdayaan ekonomi masyarakat tidak dapat
diformulasikan
secara
generik.
Usaha
memformulasikan
konsep,
pendekatan, dan bentuk operasional pemberdayaan ekonomi masyarakat secara generik memang penting, tetapi yang jauh lebih penting adalah pemahaman bersama secara jernih terhadap karakteristik permasalahan ketidakberdayaan masyarakat di bidang ekonomi. Dengan pemahaman yang jernih mengenai pemberdayaan
ekonomi
masyarakat,
akan
lebih
produktif
dalam
memformulasikan konsep, pendekatan, dan bentuk operasional pemberdayaan ekonomi masyarakat yang sesuai dengan karakteristik permasalahan lokal. Damanhuri (Suparjan dan Hempri Suyatno, 2003:12) menyatakan bahwa pemberdayaan ekonomi rakyat merupakan salah satu elemen strategis dalam paradigma baru pembangunan. Bila ekonomi rakyat berkembang, maka pendapatan dan kesejahteraan rakyat akan meningkat sebab kebutuhan ekonomi mereka semakin terpenuhi. Dengan pemberdayaan ekonomi rakyat
31 maka partisipasi aktif dalam pembagunan akan menjadi pendorong dari dalam (inner drive). Bila partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan meningkat maka tujuan akhir pembangunan akan lebih mudah dicapai. Dari berbagai tulisan Sumodiningrat (1999), konsep pemberdayaan ekonomi secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) Perekonomian rakyat adalah pereknomian yang diselenggarakan oleh rakyat. Perekonomian yang diselenggarakan oleh rakyat adalah bahwa perekonomian nasional yang berakar pada potensi dan kekuatan masyarakat secara luas untuk menjalankan roda perekonomian mereka sendiri. Pengertian rakyat adalah semua warga negara. (2) Pemberdayaan ekonomi rakyat adalah usaha untuk menjadikan ekonomi yang kuat, besar, modern, dan berdaya saing tinggi dalam mekanisme pasar yang benar. Karena kendala pengembangan ekonomi rakyat adalah kendala struktural, maka pemberdayaan ekonomi rakyat harus dilakukan melalui perubahan struktural. (3) Perubahan struktural yang dimaksud adalah perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi kuat, dari ekonomi subsisten ke ekonomi pasar, dari ketergantungan ke kemandirian. Langkah-langkah proses perubahan struktur, meliputi: (1) pengalokasian sumber pemberdayaan sumberdaya, (2) penguatan kelembagaan, (3) penguasaan teknologi, dan (4) pemberdayaan sumberdaya manusia. (4) Pemberdayaan ekonomi rakyat, tidak cukup hanya dengan peningkatan produktivitas, memberikan kesempatan berusaha yang sama, dan hanya memberikan suntikan modal sebagai stumulan, tetapi harus dijamin adanya kerjasama dan kemitraan yang erat antara yang telah maju dengan yang masih lemah dan belum berkembang. (5) Kebijakan yang harus dilaksanakan dalam pemberdayaan ekonomi rakyat adalah: (1) pemberian peluang atau akses yang lebih besar kepada aset produksi (khususnya modal), (2) memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi rakyat, agar pelaku ekonomi rakyat bukan sekadar price taker, (3) pelayanan pendidikan dan kesehatan, (4) penguatan industri kecil, (5) mendorong munculnya wirausaha baru, dan (6) pemerataan spasial. (6) Kegiatan pemberdayaan masyarakat mencakup: (1) peningkatan akses terhadap bantuan modal usaha, (2) peningkatan akses terhadap pengembangan SDM, dan (3) peningkatan akses ke sarana dan prasarana yang
32 mendukung langsung sosial ekonomi masyarakat lokal. Dari enam butir pokok mengenai konsep pemberdayaan masyarakat ini, dapat disarikan, bahwa: (1) pemberdayaan masyarakat tidak dapat dilakukan hanya melalui pendekatan daun saja, atau cabang saja, atau batang saja, atau akar saja; karena permasalahan yang dihadapi memang ada pada masingmasing aspek; (2) pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi tidak cukup hanya dengan pemberian modal bergulir, tetapi juga harus ada penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat, penguatan sumberdaya manusianya, penyediaan prasarananya, dan penguatan posisi tawarnya, (3) pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi atau penguatan ekonomi rakyat, harus dilakukan secara elegan tanpa menghambat dan mendiskriminasikan ekonomi kuat; untuk itu kemitraan antar usaha mikro, usaha kecil usaha menengah, dan usaha besar adalah jalan yang harus ditempuh, (4) pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi adalah proses penguatan ekonomi rakyat menuju ekonomi rakyat yang kokoh, modern, efisien, dan (5) pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi, tidak dapat dilakukan melalui pendekatan individu, melainkan harus melalui pendekatan kelompok. Dinamika Kelompok Masyarakat Sejalan dengan pendapat para pakar yang menyatakan bahwa pemberdayaan sebagai upaya menumbuhkan peranserta dan kemandirian sehingga masyarakat baik di tingkat individu, kelompok, kelembagaan, maupun komunitas memiliki tingkat kesejahteraan yang jauh lebih baik dari sebelumnya, memiliki akses pada sumberdaya, memiliki kesadaran kritis, mampu melakukan pengorganisasian dan kontrol sosial dari segala aktivitas pembangunan yang dilakukan di lingkungannya, maka untuk mencapai keberhasilan dalam program pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi, dapat dilakukan melalui pendekatan kelompok.
Pendekatan tersebut menghendaki adanya kelompok-
kelompok masyarakat yang mampu memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan sumber-daya manusia yang dimiliki. diharapkan
mampu
memanfaatkan
setiap
Kelompok-kelompok tersebut peluang
yang
ada
sehingga
bermanfaat bagi anggota (kemandirian manajemen), yang mendorong setiap anggota menjadi bersemangat dan energik serta penuh dinamika. Dengan demikian anggota masyarakat dapat melakukan usaha ekonomi produktif secara ekonomis, efektif, dan efisien.
33 Pengertian dinamika kelompok dapat diartikan melalui asal katanya, yaitu dinamika dan kelompok.
Dinamika adalah sesuatu yang mengandung arti
tenaga kekuatan, selalu bergerak, berkembang dan dapat menyesuaikan diri secara memadai terhadap keadaan. Dinamika juga berarti adanya interaksi dan saling ketergantungan antara anggota kelompok dengan kelompok secara keseluruhan. Keadaan ini dapat terjadi karena selama ada kelompok, semangat kelompok (group spirit) terus-menerus ada dalam kelompok itu, oleh karena itu kelompok tersebut bersifat dinamis, artinya setiap saat kelompok yang bersangkutan dapat berubah.
Slamet (2003) meyatakan bahwa dinamika
kelompok merupakan aktivitas, sepak terjang anggota, kekuatan-kekuatan yang terdapat di dalam atau luar lingkungan yang menentukan perilaku anggota dalam mencapai tujuan bersama atau kelompok. Kelompok adalah kumpulan orang-orang yang merupakan kesatuan sosial yang mengadakan interaksi yang intensif dan mempunyai tujuan bersama. Beberapa pakar mendefinisikan kelompok sebagai beberapa orang yang bergaul satu dengan yang lain. Kurt Lewin berpendapat ”the essence of a group is not the similarity or dissimilarity of its members but their interdependence.” Kelompok adalah suatu unit yang terdapat beberapa individu, yang mempunyai kemampuan untuk berbuat dengan kesatuannya dengan cara dan dasar kesatuan persepsi. Interaksi antar anggota kelompok dapat menimbulkan kerja sama apabila masing-masing anggota kelompok: (1) Mengerti akan tujuan yang dibebankan di dalam kelompok tersebut (2) Adanya saling menghomati di antara anggota-anggotanya (3) Adanya saling menghargai pendapat anggota lain (4) Adanya saling keterbukaan, toleransi dan kejujuran di antara anggota kelompok Menurut Reitz (Santosa: 2004), kelompok mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) terdiri dari dua orang atau lebih, (2) berinteraksi satu sama lain, (3) saling membagi beberapa tujuan yang sama, dan (4) melihat dirinya sebagai suatu kelompok. Dari berbagai pendapat ahli pengertian kelompok tidak terlepas dari elemen keberadaan dua orang atau lebih yang melakukan interaksi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Kelompok merupakan suatu kelompok yang terdiri dari dua atau lebih individu yang memiliki hubungan psikologi secara jelas antara anggota satu dengan yang lain yang dapat
34 berlangsung dalam situasi yang dialami secara bersama. Dinamika kelompok juga dapat didefinisikan sebagai konsep yang menggambarkan proses kelompok yang selalu bergerak, berkembang dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang selalu berubah-ubah. Dinamika kelompok mempunyai beberapa tujuan, antara lain: (1) Membangkitkan kepekaan diri seorang anggota kelompok terhadap anggota kelompok lain, sehingga dapat menimbulkan rasa saling menghargai (2) Menimbulkan rasa solidaritas anggota sehingga dapat saling menghormati dan saling menghargai pendapat orang lain (3) Menciptakan komunikasi yang terbuka terhadap sesama anggota kelompok (4) Menimbulkan adanya itikad yang baik di antara sesama anggota kelompok. Proses dinamika kelompok mulai dari individu sebagai pribadi yang masuk ke dalam kelompok dengan latar belakang yang berbeda-beda, belum mengenal antar individu yang ada dalam kelompok. Mereka membeku seperti es. Individu yang bersangkutan akan berusaha untuk mengenal individu yang lain. Es yang membeku lama-kelamaan mulai mencair, proses ini disebut sebagai “ice breaking.” Setelah saling mengenal, dimulailah berbagai diskusi kelompok, yang kadang diskusi bisa sampai memanas, proses ini disebut ”storming.” Storming akan membawa perubahan pada sikap dan perilaku individu, pada proses ini individu mengalami ”forming.” Dalam setiap kelompok harus ada aturan main yang disepakati bersama oleh semua anggota kelompok dan pengatur perilaku semua anggota kelompok, proses ini disebut ”norming.” Berdasarkan aturan inilah individu dan kelompok melakukan berbagai kegiatan, proses ini disebut ”performing.” Secara singkat proses dinamika kelompok dapat dilihat pada Gambar 1.
Individu
Ice Breaking
Performing
Storming
Forming
Norming
Gambar 1. Proses Dinamika Kelompok Ada beberapa alasan pentingnya mempelajari dinamika kelompok dalam masyarakat: (1) Individu tidak mungkin hidup sendiri di dalam masyarakat.
35 (2) Individu tidak dapat bekerja sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. (3) Dalam masyarakat yang besar, perlu adanya pembagian kerja agar pekerjaan dapat terlaksana dengan baik. Masyarakat yang demokratis dapat berjalan baik apabila lembaga sosial dapat bekerja dengan efektif. Pendekatan-pendekatan Dinamika Kelompok Dinamika kelompok telah menjadi bahan persaingan dari para ahli psikologi, ahli sosiologi, ahli psikologi sosial, maupun ahli yang menganggap dinamika kelompok sebagai eksperimen. Hal tersebut membawa pengaruh terhadap pendekatan-pendekatan yang ada dalam mempelajari dinamika kelompok: (1) Pendekatan oleh Bales dan Homans Pendekatan ini mendasarkan pada konsep adanya aksi, interaksi, dan situasi yang ada dalam kelompok. Homans menambahkan, dengan adanya interaksi dalam kelompok, maka kelompok yang bersangkutan merupakan sistem interdependensi, dengan sifat-sifat: a) Adanya stratifikasi kedudukan warga. b) Adanya diferensiasi dalam hubungan dan pengaruh antara anggota kelompok yang satu dengan yang lain. c) Adanya perkembangan pada sistem intern kelompok yang diakibatkan adanya pengaruh faktor-faktor dari luar. (2) Pendekatan oleh Stogdill Pendekatan ini lebih menekankan pada sifat-sifat kepemimpinan dalam bentuk organisasi formal. Stogdill menambahkan bahwa yang dimaksud kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi aktivitas kelompok yang terorganisir sebagai usaha untuk mencapai tujuan kelompok. Kelompok terorganisir yang dimaksud disini adalah kelompok yang tiap-tiap anggotanya mendapat tanggungan dalam hubungannya dengan pembagian tugas untuk mencapai kerja sama dalam kelompok. (3) Pendekatan dari ahli Psycho Analysis (Freud dan Scheidlinger) Scheidlinger
berpendapat
bahwa
aspek-aspek
motif
dan
emosional
memegang peranan penting dalam kehidupan kelompok. Kelompok akan terbentuk apabila didasarkan pada kesamaan motif antar anggota kelompok, demikian pula emosional yang sama akan menjadi tenaga pemersatu dala kelompok, sehingga kelompok tersebut semakin kokoh. Freud berpendapat
36 bahwa di dalam setiap kelompok perlu adanya kesatuan kelompok, agar kelompok tersebut dapat berkembang dan bertahan lama. Kesatua kelompok akan terbentuk apabila tiap-tiap anggota kelompok melaksanakan identifikasi bersama antara anggota yang satu dengan yang lain. (4) Pendekatan dari Yennings dan Moreno Yennings mengungkapkan konsepsinya tentang pilihan bebas, spontan, dan efektif dari anggota kelompok yang satu terhadap angota kelompok yang lain dalam rangka pembentukan ikatan kelompok. Moreno membedakan antara psikhe group dan sosio group sebagai berikut: (a) Psikhe group merupakan suatu kelompok yang terbentuk atas dasar suka/tidak suka, simpati, atau antipati antar anggota (b) Sosio group merupakan kelompok yang terbentuk atas dasar tekanan dari pihak luar. Yennings menambahkan bahwa pelaksanaan tugas akan lebih lancar apabila pembentukan Sosio group disesuaikan dengan Psikhe group, dengan memperhatikan faktor-faktor efisiensi kerja dan kepemimpinan dalam kelompok. Secara lengkap, Slamet (2003) menyatakan untuk mengetahui tingkat dinamika kelompok dapat dilihat dari unsur-unsur berikut: (1) Tujuan kelompok.
Sebagai sebuah kelompok yang solid, seharusnya
anggota mengetahui tujuan kelompok, dan tujuan kelompok harus spesifik. Tujuan kelompok merupakan tujuan yang dapat merangkum tujuan semua anggota, karenanya penetapan tujuan kelompok harus mendapatkan persetujuan anggota. (2) Struktur kelompok. Struktur kelompok dapat dilihat dari struktur kekuasaan, dan sistem komunikasi yang ada dalam kelompok.
Selain itu kelompok
semestinya menjadi wahana untuk berinteraksi antar sesama anggota, semua aspek tersebut harus sesuai keinginan dan untuk memuaskan anggota. (3) Fungsi tugas. Fungsi tugas merupakan kegiatan atau tugas apa saja yg perlu dilakukan pengurus dan anggota untuk mencapai tujuan kelompok. Kelompok yang dinamis mestinya semua fungsi tugas dapat berjalan baik demi mencapai tujuan kelompok. (4) Pembinaan dan pengembangan kelompok. Pembinaan dan pengembangan kelompok dapat dilakukan melalui pembagian tugas yang merata diantara
37 semua anggota kelompok, aktivitas yang kotinyu, serta penetapan dan pelaksanaan peraturan atau sanksi yang disepakati bersama. (5) Kekompakan kelompok. Kekompakan kelompok dapat dilihat dari persamaan tindakan, nasib, kesepakatan, dan homogenitas perilaku semua anggota. (6) Tekanan kelompok.
Sesuatu yang tidak memiliki ketegangan, tidak akan
memiliki kekuatan, oleh karenanya agar kelompok memiliki kekuatan harus memiliki ketegangan, ketegangan diarahkan agar semua anggota mau berusaha mencapai tujuannya. Tekanan bagi kelompok dapat berasal dari dalam maupun dari luar kelompok. (7) Suasana kelompok.
Suasana dalam kelompok dapat ditimbulkan oleh
lingkungan fisik dan non fisik yang mempengaruhi perasaan semua angota. Lingkungan fisik dapat berupa ruangan kerja pengurus yang bersih, pertukaran udara yang bagus, dan sebagainya. Lingkungan non fisik berupa suasana hubungan emosional antar anggota yang membuat mereka merasa nyaman dan bangga sebagai bagian dari kelompok atau sebaliknya mereka merasa tidak nyaman dan merasa malu sebagai bagian dari kelompok. (8) Efektivitas kelompok.
Efektivitas merupakan ukuran sejauh mana keberha-
silan kelompok mencapai tujuannya.
Kelompok yang efektif seharusnya
mampu mencapai atau setidaknya mendekati tujuan atau target yang telah ditetapkan. Efektivitas kelompok secara psikologis akan mempengaruhi rasa percaya diri anggotanya, mereka akan bangga bila kontribusinya ternyata membawa hasil bagi pecapaian tujuan kelompoknya, sebaliknya bila kelompok tidak efektif mereka akan merasa kurang percaya diri. (9) Agenda terselubung. Seseorang termasuk pemimpin atau anggota kelompok secara pribadi dapat memiliki tujuan yang tidak terungkapkan kepada orang lain.
Maksud tersembunyi seseorang anggota dapat sejalan atau tidak
sejalan dengan tujuan kelompok atau pemimpinnya.
Agenda terselubung
tersebut dapat membuat kelompok semakin dinamis atau sebaliknya. Kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat selama ini merupakan media dalam pelaksanaan pembangunan, termasuk dalam peberdayaan masyarakat.
Gunawan (2003:5) menyatakan pemberdayaan kelompok merupakan
upaya meningkatkan kemampuan kelompok dalam menjalankan dan mengembangkan usahanya secara mandiri dan berkelanjutan. Kelompok usaha tersebut harus mandiri dalam aspek kelembagaan, manajemen, dan usaha.
Hal ini
sejalan dengan implementasi CSR yang dilakukan oleh perusahaan di Provinsi
38 Lampung, semua program pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar yang dilaksanakan menggunakan kelompok masyarakat (kelompok tani, kelompok peternak, kelompok ibu-ibu PKK, dan sebagainya) sebagai basis pengembangan usaha ekonomi produktif untuk meningkatkan pendapatan dan tingkat kesejahteraan anggotanya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat sebagai upaya menumbuhkan partisipasi dan kemandirian masyarakat dapat tercapai apabila dapat mengeliminir berbagai kendala yang ada. Spreitzer (1996) menyatakan bahwa komitmen sosial politik yang kuat, akses terhadap informasi, dan iklim untuk berpartisipasi berhubungan erat dengan persepsi manajerial dalam pemberdayaan.
Hasil kajiannya
menyatakan bahwa karakteristik struktur sosial (persepsi terhadap peran ganda atau peran yang ambigu, rentang kendali (span of control), dukungan sosial politik, akses terhadap informasi, dan suasana kerja berhubungan nyata dengan sistem keterlibatan yang tinggi. Jahi (2006) menyatakan bahwa proses pemberdayaan selalu berhubungan dengan kekuatan: (1) Power over: Kekuatan untuk mengatur seseorang atau sesuatu. Respon pada kekuasaan ini bisa berupa kepatuhan, penolakan atau manipulasi. (2) Power to: kekuatan yang bersifat generatif atau produktif yang menciptakan peluang dan aksi tanpa dominasi. (3) Power with: kekuatan yang menimbulkan suatu perasaan yang lebih besar dari jumlah seluruh individu yang ada dan aksi kelompok lebih efektif. (4) Power from within: suatu perasaan adanya kekuatan dalam setiap orang. Pengakuan pada penerimaan dan penghargaan pada diri sendiri memungkinkan penerimaan orang lain sebagai sesama. Dimensi power over dalam pemberdayaan misalnya akses pada pembuatan keputusan. Respon yang berupa kepatuhan, penolakan atau manipulasi sangat ditentukan oleh karakter individu masyarakat. Power with menunjukkan kekuasaan kolektif, yakni melakukan perubahan bersama-sama dengan pihak lain. Karakter anggota dan persebaran kekuatan dalam kelompok akan sangat menentukan keberhasilan pemberdayaan kelompok. Power within menghendaki anggota kelompok binaan haruslah diperkuat, sehingga melalui
39 proses pemberdayaan kelompok masyarakat sebagai salah satu stakeholders harus dapat berubah dari tidak berdaya (“kami tidak mampu”) menjadi percaya diri secara kolektif (“kami mampu”). Selain faktor kekuatan, pemberdayaan juga melibatkan aspek kognitif, psikomotorik, psikologis, ekonomi dan politik: (1) Aspek kognitif menunjukkan kemampuan stakeholders untuk memahami situasi subordinasi dalam masyarakat pada tingkat mikro maupun makro, dan juga kemampuan membuat keputusan untuk mengubah kebudayaan dan norma yang menghambat perkembangan mereka. (2) Aspek psikologis menunjukkan kemampuan stakeholders untuk mengembangkan sikap bahwa mereka mampu memperbaiki situasi dan akan berhasil. (3) Aspek ekonomi menunjukkan bahwa stakeholders harus memiliki aktivitas yang produktif agar memiliki penghasilan dan otonomi keuangan untuk mengurangi ketergantungan pada pihak lain. (4) Aspek politik menujukkan kapasitas stake holders untuk menganalisis situasi sosial politik dan kemampuan mereka mengorganisasi dan memobilisasi rekan-rekannya untuk melakukan perubahan sosial. Karsidi (2003: 177—178) menyebutkan beberapa aspek penting yang perlu mendapat perhatian dalam pemberdayaan masyarakat tani dan nelayan: (1) Pengembangan organisasi atau kelompok masyarakat yang dikembangkan dan berfungsi dalam mendinamisir kegiatan produktif masyarakat. (2) Pengembangan jaringan stategis antar kelompok atau organisasi masyarakat yang terbentuk dan berperan dalam pengembangan masyarakat tani dan nelayan. (3) Kemampuan kelompok tani dan nelayan dalam mengakses sumber-sumber luar yang dapat mendukung pengembangan mereka, baik dalam bidang informasi pasar, permodalan, serta teknologi dan manajemen, termasuk di dalamnya kemampuan lobi ekonomi.
Hal ini lebih dikenal sebagai
kemampuan memanfaatkan jaringan ekonomi. (4) Pengembangan kemampuan-kemampuan teknis dan manajerial kelompok masyarakat, sehingga berbagai masalah teknis dan organisasi dapat dipecahkan dengan baik. Dengan demikian pemberdayaan masyarakat memerlukan kelompok masyarakat yang memiliki dinamika, sehingga dapat membantu anggota dan kelompoknya
40 untuk lebih mandiri. Lebih lanjut, Karsidi (2003: 176) menyatakan bahwa untuk mewujudkan kemandirian petani dan nelayan dapat ditempuh dengan berbagai upaya berikut: (a) memulai dengan tindakan mikro dan lokal; (b) pengembangan sektor ekonomi strategis sesuai dengan kondisi lokal (daerah); (c) mengganti pendekatan wilayah administratif dengan pendekatan kawasan; (d) membangun kembali kelembagaan masyarakat; (e) mengembangkan penguasaan teknis; (f) pengembangan kesadaran dan proses demokratisasi ekonomi; (g) membangun jaringan ekonomi strategis; dan (h) kebijakan pemerintah yang mendukung upaya pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat yang memanfaatkan kelompok sebagai media pembinaan akan berhasil apabila mendapatkan dukungan berbagai pihak. Gunawan
(2003:11-12)
menyatakan
bahwa
pelaksanaan
pemberdayaan
kelompok akan berhasil secara optimal apabila pihak pemda, swasta, dan masyarakat memberikan dukungan sepenuhnya.
Pemda harus mampu
membuka peluang usaha bagi masyarakat melalui penetapan peraturan dan kebijakan daerah, penyediaan sarana dan prasarana pendukung seperti penyediaan sarana prasarana usaha, pasar, dan alokasi dana, serta kegiatan pembinaan dan pendampingan kelompok yang memadai dan berkelanjutan. Pihak swasta (pengusaha, LSM, dan lainnya) berperan dalam penyediaan sarana
produksi,
pengolahan
dan
pemasaran
hasil,
transfer
teknologi,
pendidikan dan pelatihan, maupun kerjasama usaha dengan masyarakat melalui pola kemitraan.
Pihak masyarakat berperan dalam melakukan pengawasan
terhadap pemanfaatan, penguatan, dan proses perguliran dana. Hal demikian juga berlaku dalam pelaksanaan CSR yang memfokuskan pembinaan melalui kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, agar tujuan tercapai berbagai pihak terkait mesti memberikan dukungan penuh terhadap program CSR. Proses pemberdayaan masyarakat yang bertujuan memandirikan sasaran merupakan proses pembelajaran masyarakat agar supaya mereka memiliki pengetahuan, keterampilan atau keahlian (skill), dan sikap yang diperlukan untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi.
Sebagai proses belajar,
Klausmeier dan Goodwin dalam Asngari (2001:26) menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan pembelajaran jangka pendek maupun panjang tersebut dipengaruhi oleh tujuh faktor berikut:
41 (1) Ciri-ciri anak didik, yang meliputi (a) kematangan mental dan kemampuan intelektualitas, (b) kematangan fisik dan kemampuan psikomotorik, (c) ciri-ciri afektif, (d) persepsi, (e) kesehatan, (f) umur, dan (g) jenis kelamin. (2) Ciri agen pembaruan (penyuluh), yang meliputi (a) pengetahuan dan kemampuan intelektualitas, (b) ciri-ciri fisik dan psikomotorik, (c) ciri afektif, (d) persepsi, (e) kesehatan, (f) umur, dan (g) jenis kelamin. (3) Perilaku agen pembaruan (penyuluh) yang mencakup (a) proses belajar, (b) metode mengajar, dan (c) interaksi guru dan murid. (4) Ciri kelompok, mencakup (a) jumlah ata besar kelompok, (b) struktur kelompok, (c) sikap mental, (d) kekompakan, dan (e) kepemimpinan. (5) Mata ajaran, mencakup (a) makna, (b) organisasi, dan (c) tipenya. (6) Ciri fisik fasilitas, meliputi (a) ruangan, (b) alat perlengkapan, dan (c) media. (7) Kekuatan-kekuatan luar yang mempengaruhi anak didik, yakni (a) keluarga, (b) masyarakat lingkungan, dan (c) pengaruh kebudayaan secara luas. Pemberdayaan masyarakat sebagai proses pembelajaran yang identik dengan proses pembelajaran bagi orang dewasa (andragogi). Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran orang dewasa yang telah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang terkait dengan pekerjaannya tidak memerlukan seorang guru, namun diperlukan seorang fasilitator yang dapat menjembatani apa yang telah mereka miliki dengan penerapan dalam kehidupannya (Atmodiwirio, 2002:205). Selanjutnya dikatakan bahwa seorang fasilitator harus memiliki pengetahuan dasar tentang karakter manusia dan kelompoknya. Fasilitator dalam proses pemberdayaan bertugas memfasilitasi sasaran sehingga mereka terbebas dari kesulitan dan hambatan, serta mengurangi atau membantu
pekerjaan
yang
dilakukan
sasaran.
Fasilitasi
dalam
proses
pemberdayaan mengandung pengertian membantu dan menguatkan masyarakat agar dapat memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhannya sendiri sesuai potensi yang dimilikinya (Sumpeno, 2004:159). Fasilitasi merupakan inti dari pendampingan yang dilakukan oleh tenaga khusus untuk membantu masyarakat dalam berbagai sektor pembangunan, dan kegiatan pendampingan menjadi salah satu bagian dalam proses pemberdayaan masyarakat. Dalam rangka pemberdayaan kelompok usaha diperlukan pendampingan yang dapat dilakukan oleh PPL, PPL swakarsa , swasta, LSM, perguruan tinggi, kontak tani, dan sebagainya (Gunawan, 2003:11).
42 Dalam pendampingan dibutuhkan tenaga pendamping (fasilitator) yang memiliki kemampuan untuk mentransfer pengetahuan, sikap, dan keterampilan tertentu kepada masyarakat (Sumpeno, 2004:159). Sejalan dengan pernyataan tersebut, Gunawan (2003:12) menyatakan bahwa untuk mencapai keberhasilan dalam pendampingan kelompok harus didampingi dalam hal yang mencakup pengembangan kelembagaan, manajemen dan usaha kelompok. Dua pendapat tersebut menekankan bahwa fasilitator atau pendamping seharusnya memiliki kompetensi tertentu yang dibutuhkan dalam pendampingan kelompok binaannya. Sumpeno (2004:160) menyatakan bahwa untuk memperoleh hasil optimal dalam pelaksanaan fasilitasi masyarakat, dapat diterapkan prinsip-prinsip berikut: (1) Partisipasi masyarakat. Prinsip ini merupakan upaya membangun ikatan yang menekankan pada aspek kemandirian, penyatuan masyarakat sebagai satu kesatuan, dan keyakinan umum mengenai situasi dan arah perubahan sosial kemasyarakatan. (2) Berbasis nilai dan moral. Pemberdayaan tidak hanya dipandang sebagai upaya
pemenuhan
kebutuhan
dasar
hidup
yang
bersifat
material
(pemenuhan pangan, penyediaan lapangan kerja, pendapatan,infrastruktur, dan fasilitas sosial lainnya), namun juga harus dipandang sebagai upaya meningkatkan kapasitas intelektual, keterampilan, dan sikap anggota masyarakat. (3) Penguatan jejaring sosial. Hal ini dilakukan dengan memperkuat interaksi dan komunikasi saling menguntungkan dalam bentuk jejaring (networking). Penguatan
jejaring
dapat
dilakukan
melalui
pendekatan
kerjasama
kelembagaan pada semua jenjang dengan dasar kesetaraan, komitmen, dan sinergi (social trust) dalam memecahkan masalah dan menemukan solusinya. Dengan demikian, untuk mendukung keberhasilan tugasnya fasilitator harus memiliki kemampuan atau kapasitas dalam berkomunikasi, mampu mengajarkan
sesuatu
untuk
memudahkan
masyarakat
belajar
mandiri,
memahami dan menghayati isu-isu pemberdayaan, gender, ekonomi lokal, serta mampu memotivasi masyarakat untuk lebih berhasil dalam setiap usaha yang dilakukan masyarakat. Sumpeno (2004: 165) menyatakan ada sepuluh hal yang perlu diperhatikan agar pendampingan berjalan efektif, yaitu: (1) menghayati kebutuhan masyarakat, (2) menyadari kekuatan diri, (3) bekerja dengan penuh tanggungjawab, (4) menikmati tugas, (5) kebanggaan atas kinerja, (6)
43 menyesuaikan diri, (7) menetapkan prioitas, (8) berkolaborasi, (9) keyakinan yang positif (possitive believing), dan (10) belajar terus.
Pemenuhan Kebutuhan Dasar dan Kesejahteraan Masyarakat Menurut UU No. 6 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan Sosial yang memuat ketentuan-ketentuan pokok kesejahteraan sosial masyarakat: ”Kesejahteraan sosial masyarakat adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial meterial maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir dan batin yang mungkin bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhankebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.” Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari tingkat pememuhan kebutuhan manusia, yang berupa kebutuhan jasmaniah (fisik), rohaniah (psikis), dan sosial. Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan yang bersifat fisik, seperti kebutuhan kan pangan, sandang, papan, dan kesehatan.
Kebutuhan psikologis merupakan kebutuhan yang bersifat
kejiwaan, seperti rasa aman, cinta, kasih sayang, dan penghargaan dari orang lain. Kebutuhan sosiologis merupakan kebutuhan manusia untuk dapat berinteraksi secara wajar dengan anggota masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, kebutuhan manusia yang bersifat fisik merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi, sehingga sering disebut sebagai kebutuhan dasar manusia.
Oleh karenanya, kesejahteraan masyarakat tidak
akan tercapai apabila kebutuhan dasar manusia belum terpenuhi. Salah satu sumber pemenuhan kebutuhan dasar manusia adalah tingkat pendapatan masyarakat yang mampu menjangkau demi terpenuhinya kebutuhan dasar tersebut.
Pemenuhan kebutuhan dasar manusia dilakukan oleh keluarga,
sehingga tingkat pendapatan keluarga sangat menentukan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar anggotanya. Kesejahteraan masyarakat tercapai apabila kesejahteraan keluarga sudah tercapai. Kesejehteraan keluarga atau keluarga sejahtera ditunjukkan melalui aspek-aspek sosial, yakni keluarga yang mampu menciptakan suatu hubungan harmonis di dalam keluarga dan masyarakat. Hubungan harmonis mengandung pengertian adanya unsur-unsur saling percaya, hidup tidak hanya untuk diri sendiri, melainkan juga bagi kepentingan masyarakat, saling menghargai dan tercipta adanya komunikasi antar anggota. Untuk melakukan
44 pengukuran tingkat kesejahteraan keluarga, dapat digunakan beberapa cara, misalnya diukur menurut garis kemiskinan Sajogyo (1986) atau diukur melalui indikator tahapan keluarga sejahtera menurut BKKBN. Ukuran tingkat kesejahteraan keluarga yang dikembangkan oleh Sajogyo (1986) didasarkan pada besarnya pengeluaran per kapita per tahun yang diukur setara beras (kg) menurut tempat tinggal, seperti tersaji pada Tabel 1. Suatu keluarga dianggap miskin atau belum sejahtera karena tingkat kehidupannya berada di bawah garis standar kebutuhan hidup minimum yang ditetapkan berdasarkan atas kebutuhan pokok pangan yang membuat orang dapat bekerja dan hidup sehat berdasarkan atas kecukpan gizi.
Dengan demikian,
pengeluaran untuk kebutuhan pokok (pangan, sandang, dan papan), mengikuti harga beras meskipun nilai tukar beras (hasil pertanian) selalu mengalami penurunan. Tabel 1. Kriteria Garis Kemiskinan Berdasarkan Pendekatan Pengeluaran Per Kapita Per Tahun Setara dengan Nilai Tukar Beras Kriteria
Pengeluaran ( setara kg) Pedesaan
Perkotaan
< 240
< 360
Miskin
240 -- 320
360 -- 480
Nyaris miskin/ nyaris cukup
321 -- 480
481 -- 720
> 480
> 720
Miskin sekali
Cukup
BKKBN membagi tahapan tingkat kesejahteraan keluarga menjadi lima tahap, yakni: (1) Keluarga Pra Sejatera, yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan sandang, papan, pangan, dan spiritual serta kesehatan dan keluarga berencana. (2) Keluarga Sejahtera I, yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologis, seperti kebutuhan akan pendidikan, keluarga berencana, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal dan transportasi. Indikator keluarga sejahtera tahap I (KS I) adalah: (a) Anggota keluarga melaksanakan ibadah agama, (b) Pada umumnya anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih. (c) Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah, (d) Anak sakit atau plus ingin ber KB dibawa ke sarana kesehatan.
45 Jika salah satu indikator tersebut di atas tidak terpenuhi, maka keluarga tersebut jatuh pada tahapan Keluarga Pra Sejahtera. (3) Keluarga Sejahtera II, yaitu keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi pengembangannya, seperti kebutuhan untuk menabung dan untuk memeproleh informasi.
Indikator keluarga sejahtera tahap II (KS II) adalah seluruh
indikator KS I terpenuhi ditambah indikator berikut: (a)
Anggota keluarga melaksanakan ibadah agama secara teratur.
(b)
Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging, ikan, dan telur.
(c)
Setahun terakhir anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru.
(d)
Luas rumah paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni.
(e)
Tiga bulan terakhir anggota keluarga dalam keadaan sehat dan dapat melaksanakan tugas atau fungsi masing-masing.
(f)
Ada anggota keluarga umur 15 tahun keatas berpenghasilan tetap.
(g)
Anggota keluarga umur 10-60 tahun bisa baca tulisan latin.
(h)
Anak umur 7-15 tahun bersekolah.
(i)
Plus dengan anak hidup 2 atau lebih saat ini memakai alat kontrasepsi.
(4) Keluarga Sejahtera III, yaitu keluarga yang telah memenuhi seluruh kebutuhan dasar, sosial psikologis dan pengembangan keluarganya, tetapi belum dapat memberikan sumbangan yang teratur bagi masyarakat, seperti sumbangan materi dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Indikator Keluarga Sejahtera III adalah seluruh indikator KS I dan KS II terpenuhi ditambah indikator sebagai berikut: (a) Keluarga berupaya meningkatkan pengetahuan agama. (b) Sebagian penghasilan keluarga ditabung. (c) Kebiasaan keluarga makan bersama paling kurang sehari dan dimanfaatkan untuk berkomunikasi. (d) Keluarga sering ikut dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. (e) Keluarga berekreasi di luar rumah minimal sekali dalam 6 bulan. (f) Keluarga memperoleh berita dari surat kabar atau televisi atau majalah. (g) Anggota keluarga mamou menggunakan sarana transportasi setempat. (5) Keluarga Sejahtera III Plus, yaitu keluarga yang telah memenuhi seluruh kebutuhan dasar, sosial psikologis dan pengembangan keluarganya, serta
46 telah dapat memberikan sumbangan yang teratur dalam berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.
Indikator Keluarga Sejahtera III Plus adalah
seluruh indikator KS I, KS II, dan KS III terpenuhi ditambah indikator berikut: (a) Keluarga secara teratur dengan suka rela memberikan sumbangan materi untuk kegiatan sosial. (b) Ada anggota keluarga yang aktif sebagai pengurus perkumpulan atau yayasan atau instansi masyarakat. BPS (2005) menggunakan beberapa indikator kesejahteraan rakyat berikut: (1) Kependudukan, yang mencakup (a) jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, (b) persebaran kepadatan penduduk hidup,
dan angka beban ketergantungan
(c) komposisi dan struktur umur penduduk, (d) angka beban
tanggungan (jumlah penduduk tidak produktif per seratus penduduk produktif), dan (e) fertilitas dan keluarga berencana. (2) Pendidikan, yang meliputi (a) penduduk melek huruf, (b) tingkat partisipasi sekolah (APS) yaitu persentase penduduk dalam kelompok usia sekolah tertentu yang masih sekolah terhadap seluruh penduduk pada kelompok usia yang sama,
(c)
fasilitas pendidikan, dan (d)
tingkat pendidikan yang
ditamatkan. (3) Kesehatan dan gizi yang mencakup: (a) derajat kesehatan masyarakat yang dilihat dari angka harapan hidup, (b) status gizi balita yang dibedakan menjadi: rawan gizi (low risk): persentase gizi kurang dan buruk < 20 persen; medium risk : persentase gizi kurang dan buruk < 20-40 persen; high risk: persentase gizi kurang dan buruk > 40 persen, dan (c) pemanfaatan fasilitas kesehatan. (4) Ketenagakerjaan yang meliputi: (a) tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK), (b) lapangan kerja dan status pekerjaan, (c) tingkat pengangguran terbuka (TPT): jumlah pencari kerja atau pengangguran dengan jumlah angkatan kerja, (d) kontribusi sektor dalam penyerapan tenaga kerja, (e)
tingkat
kesempatan kerja (TKK) yakni jumlah orang yang bekerja dari 100 orang penduduk di suatu wiilayah (1–TPT), (f) tingkat pengangguran terdidik yaitu rasio jumlah pencari kerja SLTA ke atas terhadap besarnya angkatan kerja, (g) jam kerja minimal 35 jam per minggu, dan (h) upah minimum regional yaitu rata-rata upah terendah per bulan setiap pekerja di suatu kabupaten.
47 (5) Perumahan yang dilihat melalui indikator seperti: luas lantai, jenis atap, jenis dinding, sumber penerangan, fasilitas air bersih, sumber air minum, dan fasilitas buang air besar. (6) Taraf hidup dan pola konsumsi mencakup beberapa sub-indikator berikut: (a) rata-rata pengeluaran per kapita, (b) distribusi pendapatan dilihat dari besarnya Gini ratio ( 0= kemakmuran mutlak, mendekati 1 = kesenjangan makin tinggi). BPS mengklasifikasikan bila Gini ratio: < 0,3 = pendapatan penduduk cukup merata atau ketimpangan rendah; 0,3 – 0,5 = ketimpangan pendapatan sedang; > 0,5 = ketimpangan tinggi), (c) kemiskinan dan pengeluaran per kapita, dan (d) pola konsumsi rumah tangga dengan asumsi bahwa makin tinggi pendapatan maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk makanan ke pengeluaran untuk bukan makanan. (7) Sosial budaya, mencakup beberapa sub-indikator berikut:
(a)
kegiatan
sosial budaya yakni aktivitas sosial untuk memecahkan masalah sosial, (b) keagamaan yang dilihat dari aktivitas keagamaan, toleransi, dan ketenteraman, dan (c)
akses informasi dan hiburan yang dilihat dari pemilikan
sarana prasarana informasi seperti radio, televisi, telepon, surat kabar/ majalah. Dalam penelitian dengan unit analisis yang digunakan adalah individu petani, indikator kesejahteraan yang digunakan oleh BKKBN lebih memungkinkan dilakukan, sebab indikator kesejahteraan rakyat dari BPS memerlukan indikator dari data sekunder (kependudukan dan ketenagakerjaan).
Pelaksanaan CSR oleh Perusahaan dalam Pemberdayaan Masyarakat Kondisi saat ini mengindikasikan adanya berbagai penyakit masyarakat (patologi sosial) yang semakin meluas, hal ini dapat menggaggu kelangsungan suatu perusahaan. Misalnya kriminalitas yang disebabkan oleh berbagai masalah antara lain jumlah pengangguran yang semakin meningkat, tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat yang rendah dapat menimbulkan kecemburuan dan ketegangan sosial yang berujung pada kerusuhan sosial. Sebagaimana dinyatakan oleh Subianto (2008) bahwa kemiskinan yang meluas menyebabkan keamanan dan ketertiban menjadi komoditas yang amat mahal. Kondisi dapat menjadi ancaman serius bagi dunia usaha karena akan mengganggu sistem operasional perusahaan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Fukuyama (2000)
48 bahwa transisi masyarakat dari masyarakat industri menuju masyarakat informasi semakin memperenggang ikatan sosial dan melahirkan banyaknya patologi sosial seperti meningkatnya angka kejahatan, dan menurunnya kepercayaan sesama komponen masyarakat. Agar hal itu tidak terjadi, perusahaan diharapkan dapat membangun jaringan sosial untuk menumbuhkan kepercayaan (trust) antara masyarakat dengan perusahaan, caranya dengan melakukan investasi modal sosial sebagai perekat antara perusahaan dengan lingkungan sosialnya. Investasi sosial yang dapat dilakukan oleh perusahaan antara lain dengan melaksanakan tangungjawab sosial perusahaan yang ditujukan bagi masyarakat sekitar
perusahaan.
Pelaksanaan
tanggungjawab
sosial
perusahaan
sebenarnya bersifat tidak mengikat, namun sebagian perusahaan menganggap bahwa tanggungjawab sosial perusahaan merupakan kewajiban sebab salah satu manfaat yang dapat dirasakan adalah demi keberlangsungan usahanya. Di Indonesia, pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan masih jauh dari harapan semua pihak, sehingga pemerintah menganggap perlu adanya aturan atau perundangan yang mengikat perusahaan nasional dan multinasional untuk melaksanakan tangungjawab sosialnya. Pemerintah menegaskan bahwa setiap perusahaan memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab akan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup masyarakat yang ada di sekitar lokasi perusahaan tersebut.
Tanggungjawab
yang diberikan kepada perusahaan tersebut dituangkan dalam Keputusan Menteri BUMN Nomer:
KEP-236/MBU/2003 tanggal 17 Juni 2003. Dengan
disahkannya Undang-Undang Perseroan Terbatas pada bulan Juli 2007 sebagai revisi terhadap Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, ternyata masih memunculkan dua kelompok yang berseberangan dalam menafsirkan implikasi dari Pasal 74 tentang pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan. Di satu pihak mereka setuju terhadap kewajiban melaksanakan tanggungjawab sosial bagi perusahaan yang memanfaatkan sumberdaya alam, di lain pihak mereka tidak setuju terhadap formalisasi aturan aturan tersebut. Namun,
jauh
sebelum
disahkannya
Undang-undang
tersebut,
beberapa
perusahaan nasional dan multinasional telah melaksanakan tanggungjawab sosialnya melalui beragam program atau kegiatan yang dilakukan secara mandiri atau melibatkan pihak ketiga (pemerintah dan LSM/swasta). Hasil penelitian Windarti (2004) menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat ini belum diatur
49 secara jelas dalam hirarki perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, tetapi diatur secara teknis dalam Keputusan Menteri dan Surat Edaran Menteri. Dalam Kepmen BUMN No.Kep-236/MBU/2004 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, mengatur bahwa BUMN wajib menyisihkan satu persen dari laba perusahaan untuk Program Kemitraan yang dilakukan oleh satuan kerja Pengembangan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK), dan Program Bina Lingkungan yang dilaksanakan oleh satuan kerja Community Development (comdev). Bentuk Program Kemitraan yang dilakukan oleh PUKK sebagai pelaksana tanggung jawab sosial perusahaan dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah antara lain; pemberian kredit usaha kecil dengan bunga ringan sebagai dana bergulir, pembekalan keterampilan bagi remaja yang belum bekerja, membantu mempromosikan produk mitra binaan, dan pendidikan manajemen bagi mitra binaan. Bentuk Program Bina Lingkungan yang dilakukan oleh satuan kerja comdev sebagai pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat, aurora lain; pembangunan irigasi yang akan meningkatkan produksi panen petani, pembangunan jalan yang akan memudahkan mobilisasi dan distribusi barang, pembangunan pasar sebagai sentral ekonomi masyarakat, dan lain-lain yang mendukung kegiatan perekonomian masyarakat. Pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat memberikan dampak yang positif, baik bagi masyarakat maupun bagi perusahaan. Dampak nyata bagi perusahaan adalah terciptanya image yang baik bagi perusahaan sehingga meningkatnya kepercayaan publik dan dampak nyata bagi masyarakat adalah tumbuhnya usaha perekonomian rakyat sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kesenjangan sosial yang merupakan bibit konflik sosial dapat dijembatani dengan pelaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat. Jahja (2006:22--23) menyatakan bahwa studi yang dilakukan oleh PIRAC menggambarkan bahwa pelaksanaan CSR 266 perusahaan besar dan sedang yang tersebar di 10 kota di Indonesia menemukan: (1) Motivasi perusahaan menyumbang umumnya karena kebijakan perusahaan (86%), karena keinginan pimpinan (26%), karena diminta (28%) dan karena dorongan berpromosi.
Bagi mereka yang tidak menyediakan anggaran
khusus untuk sumbangan ini, biasanya mereka mengambil dari anggaran promosi perusahaan.
Hal ini juga diimbangi dengan kecilnya proporsi
50 perusahaan yang mempunyai kebijakan formal mengenai sumbangan. Dari 266 perusahaan yang disurvei hanya 18% di antaranya mempunyai kebijakan tertulis mengenai sumbangan. (2) Proporsi perusahaan yang membentuk divisi khusus atau yayasan yang menangani sumbangan juga sangat kecil, yaitu hanya 13 persen. (3) Hanya 21 persen perusahaan yang menentukan target jumlah sumbangan pada awal tahun. Beberapa
perusahaan
swasta
nasional
atau
BUMN
yang
telah
mengimplementasikan tanggungjawab sosialnya, yang diantaranya juga berupa upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat antara lain PT Bank Mandiri, Tbk., PT. RAPP di Provinsi Riau, dan PT Pertamina Unit Pemasaran IV Cilacap. Berikut ini beberapa kegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut: 1) PT Bank Mandiri, Tbk, merupakan salah satu bank terkemuka di tanah air sudah mengimplementasikan CSR melalaui program-program: -
Mandiri Peduli Pendidikan dalam bentuk bantuan beasiswa, bantuan sarana prasarana pendidikan, pengajaran pengetahuan dasar perbankan;
-
Mandiri Peduli Kesehatan dalam bentuk bantuan sarana dan prasarana kesehatan, bantuan kesehata lingkungan, bantuan vaksinasi dan sunatan massal, serta bantuan pengobatan bagi pensiunan;
-
Mandiri Peduli Olah Raga dalam bentuk bantuan sarana dan prasarana olah raga, bantuan pembinaan cabang olah raga, dan bantuan pengem-bangan olah raga nasional;
-
Mandiri Peduli Usaha Kecil dalam bantuk pelatihan dan pembinaan usaha kecil, pelatihan kewiraswastaan, dan bantuan pemasaran;
-
Mandiri Peduli Lingkungan dalam bentuk bantuan pemulihan lingkungan (kali bersih, penanaman pohon), bantuan sarana dan prasarana ibadah, dan bantuan korban bencana alam;
-
Mandiri Peduli Budaya dalam bentuk bantuan pembinaan seni budaya, bantuan sarana dan prasarana seni budaya, bantuan pembinaan sanggar seni budaya, dan bantuan pembinaan pelestarian budaya tradisional (seni tari, rumah adat, alat musik, dan pakaian adat).
2) PT Riau Andalan Pulp and Paper Indonesia, merupakan perusahaan pulp dan paper mill di Pelalawan Riau. Implementasi CSR yang dilakukannya sampai tahun 2005 antara lain:
51 - Pelayanan kesehatan: berupa pengobatan massal, imunisasi dan paket gizi ibu hamil dan balita, bedah minor, khitanan massal, operasi katarak dan bibir sumbing, penyuluhan kesehatan. - Bantuan pendidikan berupa pembangunan dan renovasi gedung sekolah, bea siswa, honorarium guru honorer, donasi operasional sekolah dan buku paket. - Bantuan keagamaan berupa: membangun dan renovasi masjid, mushala, pesantren. - Bantuan budaya dan olahraga berupa: penyediaan fasilitas olahraga, renovasi rumah adat, dukungan kesenian rakyat, penerbitan buku. - Dana sosial untuk membiayai kegiatan masyarakat. - Bermitra dengan pengusaha dan tenaga kerja lokal dalam penyediaan kebutuhan perusahaan. - Pelatihan keterampilan usaha kecil. - Program pertanian terpadu seluas 596 hektar, yang melibatkan sebanyak 1.493 petani. - Minimalisir dampak operasional dengan ISO 14001. Hal ini dilakukan dengan mengoptimalkan sistem manajemen lingkungan yang handal, dilengkapi dengan dokumen Amdal, UPL /IPAL, dan sebagainya. 3) PT Pertamina UP IV Cilacap.
Implementasi CSR yang dilakukannya sampai
tahun 2005 antara lain: - Bantuan korban bencana alam. - Pemberian bea siswa, latihan keterampilan pemuda putus sekolah. - Peningkatan pelayanan kesehatan. - Pengembangan sarana dan prasarana umum; perbaikan jalan, jembatan, penerangan jalan, pembangunan parit, MCK. - Mendukung kegiatan masyarakat dalam bidang sosial, adat, seni, budaya, olahraga, kegiatan keagamaan. - Bantuan modal usaha pegusaha kecil. Jumlah bantuan modal tersebut ada tahun 2004 mencapai 3,5 milyar rupiah. Untuk pengembangan usaha kecil masyarakat diberikan dalam bentuk kredit usaha kecil. Besarnya penyaluran kredit usaha kecil tahun 1994 – 2004 mencapai 12,1 milyar rupiah. Dari beberapa contoh implementasi CSR di atas dapat diketahui bahwa keterlibatan perusahaan atau swasta telah menjangkau pada berbagai bidang pembangunan, seperti sosial, ekonomi, budaya, dan sarana prasarana umum yang menjangkau beberapa sektor seperti pendidikan, kesehatan, keagamaan,
52 prasarana transportasi, pertanian, dan perkonomian masyarakat.
Dengan
pelaksanaan CSR diharapkan dapat memberikan sumbangan yang signifikan terhadap perkem-bangan dan kemajuan suatu wilayah. CSR
dalam
pembangunan
wilayah
dapat
kita
Besarnya kontribusi runut
atau
dengan
membandingkan kondisi suatu wilayah sebelum dan sesudah pelaksanaan CSR. Dalam mengembangkan pengelolaan program sosial BUMN agar menjadi lebih baik, Nursahid (2006: 17) menyarankan penggunaan model pendekatan Porter dan Kramer (2003) seperti tersaji pada Gambar 2. Pure Social
Social and economic value oriented Advancing knowledge
Economic Benefit
Improving the performance of grant receipient Signaling other funders Selecting the best grantees
Pure Economic Economic Benefit
Gambar 2. Bagan Model Analisis untuk Peningkatan Nilai Filantropis Perusahaan (Porter & Kramer dalam Nursahid, 2006) Menurut model tersebut, perusahaan berkepentingan unuk menyelenggarakan program sosial karena dengan sendirinya akan menaikkan nilai ekonomis bagi perusahaan yang bersangkutan. Dalam menyelenggarakan program sosialnya, perusahaan disarankan untuk menentukan penerima bantuan (grantees) secara tepat, saling memberi “isyarat” di antara perusahaan pemberi bantuan, berusaha untuk meningkatkan kinerja individu atau institusi penerima bantuan, serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilan penerima bantuan. Sampai saat ini, para pemikir dan praktisi corporate voluntarism telah mengembangkan empat model CSR.
Keempat model tersebut adalah
instrumental, politik, integratif, dan good society (Gariga dan Mele dalam Achwan, 2006). Keempat model tersebut tidak bersifat mutually exclusive, karena
53 kegiatan CSR yang sama dapat dimasukkan ke dalam beberapa model. Keempat model tersebut harus dipandang sebagai cara penyederhanaan kompleksitas terminologi dan praktik CSR.
Model CSR menurut corporate
voluntarism dapat dipahami dari Tabel 2. Tabel 2. Model CSR menurut Corporate Voluntarism Model
Fokus
Pendekatan
Instrumental
Investasi sosial
Keunggulan kompetitif, pemasaran
Politik
Kekuasaan perusahaan yang Kewarganegaraan perusahaan bertanggungjawab (corporate citizenship)
Integratif
Integrasi dengan permintaan / Manajemen isu, manajemen tuntutan masyarakat stakeholder
Etika
Good society
Hak asasi manusia, pembangunan berkelanjutan
Sumber: Garriga dan Mele dalam Achwan (2006:87) Model instrumental fokus pada investasi sosial dalam bentuk donasi atau kedermawanan agar perusahaan mendapatkan posisi terhormat dalam peta bisnis di masyarakat dan negara. Dengan demikian, perusahaan yang memiliki reputasi akan memiliki keunggulan kompetitif di dunia bisnis. Strategi pemasaran seringkali diterapkan perusahaan dengan pemberian subsidi harga produk pada konsumen akhir. Model politik memfokuskan pada penggunaan kekuasaan perusahaan yang bertanggungjawab di arena publik. Perusahaan dipandang memiliki hak dan kewajiban layaknya warga negara. Sebagai warga negara, perusahaan atau asosiasi perusahaan memiliki kewajiban untuk terlibat dalam proses pengambilan kebijakan publik dan peduli terhadap masa depan komunitas atau masyarakat. Model integratif cenderung memasukkan dimensi masyarakat ke dalam strategi bisnis perusahaan. Perusahaan menyadari pentingnya manajemen isu (tuntutan masyarakat dan pemangku kepentingan) demi kelangsungan bisnis perusahaan. Hal ini dilakukan melalui identifikasi dan menyusun prioritas isu dan memasukkannya ke dalam strategi bisnis perusahaan, serta memperkuat manajemen CSR dipecahkan di tingkat pucuk pimpinan tidak hanya ditangani oleh divisi “community development atau public relation”. Model etika bersifat normatif yang mengharapkan perusahaan dapat mendoorong munculnya good society. Model ini cenderung mengutamakan nilai sosial dibandingkan memaksimalkan keuntungan (profit maximization).
Demi
54 keberlanjutan pembangunan dan kelangsungan perusahaan, perlu dikembangkan suatu cara yang memungkinkan pembangunan berjalan tanpa mengganggu kinerja keuangan perusahaan.
55
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Sebagai badan usaha, suatu perusahaan tidak dapat tumbuh dan berkembang sendiri tanpa adanya partisipasi masyarakat. Selain sebagai institusi ekonomi, perusahaan juga merupakan institusi sosial. Dengan demikian diharapkan perusahaan dapat maju dan berkembang secara harmonis bersama masyarakat sekitar perusahaan. Untuk itu diperlukan tanggung jawab sosial perusahaan dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat yang akan dapat menjembatani dan atau mengurangi kesenjangan sosial serta menghindari konflik sosial dengan masyarakat sekitar. Pelaksanaan CSR oleh perusahaan dalam rangka mengembangkan masyarakat dan membangun wilayah sekitar perusahaan diwujudkan dalam berbagai bentuk program. Program-program tersebut merupakan penerapan dari pemahaman atau persepsi pihak manajemen perusahaan terhadap konsep CSR. Pelaksanaan CSR di suatu wilayah diharapkan mampu memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan wilayah dalam berbagai sektor, seperti pendidikan, kesehatan, sarana prasarana umum, dan perekonomian masyarakat. Paradigma pembangunan saat ini telah diwarnai konsep pemberdayaan yang melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat, sehingga ketiga pihak memiliki tanggungjawab yang seimbang dalam mencapai tujuan pembangunan di segala bidang termasuk pembangunan di bidang ekonomi. Dengan demikian, peranan swasta dalam pembangunan yang memberdayakan masyarakat merupakan suatu langkah yang tepat. Upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar perusahaan merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan dengan memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan agar seseorang mampu melakukan usaha ekonomi produktif.
Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui berbagai
pelatihan, penyuluhan, dan pendampingan, serta berbagai bentuk bantuan modal usaha maupun bantuan sarana prasarana usaha kepada sasaran. Dengan kata lain program CSR diarahkan agar masyarakat sasaran menjadi lebih berdaya, sehingga mereka membutuhkan langkah pemberdayaan dalam segala aspek. Kegiatan pemberdayaan tersebut akan berjalan lebih optimal apabila masyarakat sekitar perusahaan memiliki persepsi atau pemahaman yang benar terhadap konsep CSR.
56 Pemberdayaan (empowerment) adalah upaya kapasitasi atau peningkatan kemampuan masyarakat baik secara sosial maupun ekonomi dengan menggunakan potensi sumberdaya yang dimiliki secara lokal; menempatkan orang yang diberdayakan sebagai subyek atau fokus kegiatan sehingga masyarakat memiliki kekuatan untuk meningkatkan kualitas hidup.
Pemberdayaan
merupakan upaya peningkatan kekuatan (daya) yang dimiliki masyarakat agar masyarakat tersebut mempunyai kekuatan untuk maju dan berkembang, memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan, dan mampu mengakses berbagai layanan publik. Pemberdayaan ekonomi merupakan kegiatan terprogram dalam meningkatkan produksi dan produktivitas pelaku usaha.
Langkah pemberdayaan
ekonomi masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan agroindustri di Provinsi Lampung lebih terfokus pada upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat dalam mengembangkan usaha termasuk kegiatan agribisnis berbasis komoditas lokal tertentu.
Progam yang dilaksanakan oleh perusahaan berupa penyuluhan,
pendampingan, pelatihan, dan bimbingan usaha kepada anggota kelompok masyarakat sasaran. Dengan program tersebut diharapkan anggota kelompok dapat meningkat pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya sehingga mampu meningkatkan aktivitas produksi dan pendapatan usahanya.
Di lain pihak,
pemerintah atau pemerintah daerah juga melaksanakan kegiatan pembangunan melalui kegiatan sejenis, meskipun jangkauan kegiatannya belum menyentuh seluruh lapisan dan kelompok masyarakat sekitar perusahaan.
Dengan
demikian, kegiatan CSR dapat bersifat komplementer (saling melengkapi) atau bahkan terjadi tumpang tindih dengan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah / pemerintah daerah.
Keberhasilan program pemberdayaan
tersebut diharapkan mampu meningkatkan keberdayaan ekonomi masyarakat yang salah satunya dapat dilihat dari adanya peningkatan pendapatan rumah tangga, yang sekaligus juga mengangkat tingkat kesejahteraan masyarakat. Seberapa besar kontribusi program CSR dalam pemberdayaan masyarakat khususnya, dan dalam pembangunan daerah pada umumnya menarik untuk dikaji. Secara skematis, kerangka beripikir penelitian disajikan pada Gambar 3. Pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui implementasi tanggungjawab sosial perusahaan diarahkan pada pengembangan usaha ekonomi rumah tangga dengan memperhatikan potensi sumberdaya lokal serta potensi pasar komoditas yang diusahakan. Perilaku masyarakat dalam memberdayakan
57 ekonomi diri dan keluarga merupakan indikator sejauhmana program pemberdayaan ekonomi masyarakat mencapai tujuan yang diharapkan.
Dengan
demikian perilaku masyarakat (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) terhadap pengembangan usaha ekonomi produktif menjadi peubah tak bebas.
Implementasi CSR - Bantuan material - Program pemberdayaan (penyuluhan, pelatihan, pendampingan)
Perubahan Perilaku Anggota Masyarakat / Pelaku Usaha Pengetahuan (Knowledge)
Memberdayakan Ekonomi Rumahtangga
Keterampilan (Skill)
Program Pemberdayaan oleh Dinas/Instansi/ Lembaga lain
Keberdayaan Ekonomi Rumahtangga
Sikap (Attitude)
Indikator Kesejahteraan Masyarakat
Kesejahteraan Masyarakat
Gambar 3. Kerangka Berpikir Penelitian Perilaku masyarakat dalam berusaha sebagai peubah terikat (Y1) sangat ditentukan oleh berbagai peubah bebas seperti karakteristik individu anggota kelompok (X1), kualitas program pemberdayaan CSR (X2), kompetensi fasilitator (X3), kualitas dan kuantitas pendukung kegiatan usaha (X4), dan dinamika kelompok masyarakat (X5). Perilaku masyarakat dalam berusaha yang diharapkan dapat meningkatkan keberdayaan ekonomi rumah tangga (Y2) ditunjukkan dengan meningkatnya pendapatan keluarga, tingkat pemenuhan kebutuhan dasar dan tingkat kesejahteraan rumah tangga. Secara skematis hubungan antar peubah dalam merancang model pemberdayaan ekonomi masyarakat dalam pengembangan usaha ekonomi rumah tangga melalui pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan agroindustri di Provinsi Lampung, dapat dilihat pada Gambar 4.
58
X1 Karakteristik individu X2 Kualitas program CSR X2.1 Perencanaan X2.2 Proses / pelaksanaan X2.3 Kompatibilitas X2.4 Keberlanjutan
X5 Dinamika kelompok masyarakat X5.1 Tujuan kelompok X5.2 Struktur kelompok X5.3 Fungsi Tugas kelompok X5.4 Pembinaan & Pengembangan kelompok X5.5 Kekompakan kelompok X5.6 Ketegangan kelompok X5.7 Suasana kelompok X5.8 Efektiitas kelompok X5.9 Kepuasan kelompok
X1.1 Pendidikan formal X1.2 Jumlah tanggungan keluarga X1.3 Pengalaman berusaha X1.4 Persepsi terhadap CSR X1.5 Pemilikan lahan
Y1 Perilaku masyarakat dalam berusaha ekonomi produktif Pengetahuan Keterampilan Sikap
X3 Kompetensi fasilitator X3.1 kemampuan berkomunikasi X3.2 kemampuan mengajar X3.3 kemampuan memotivasi
Y2 Tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga Pengambillan keputusan Kemapanan usaha Pendapatan usaha
X4 Faktor pendukung kegiatan usaha X4.1 Ketersediaan sarana prasarana usaha X4.2 Keterjangkauan harga saprodi oleh masyarakat X4.3 Kepemilikan modal usaha X4.4 Ketersediaan pasar hasil produksi X4.5 Penyuluhan dinas terkait X4.6 Iklim usaha
Gambar 4. Hubungan antar Peubah yang Diteliti
Tingkat pemenuhan kebutuhan dasar pangan non pangan
Tingkat Kesejahteraan Masyarakat
59
Hipotesis Hipotesis yang diuji, dirumuskan sebagai berikut: (1) Karakteristik individu, kualitas program pemberdayaan CSR, kompetensi fasilitator, faktor pendukung kegiatan usaha, dan dinamika kelompok masyarakat
berhubungan
nyata
dengan
perilaku
masyarakat
dalam
berusaha. (2) Karakteristik individu, kualitas program pemberdayaan, kompetensi fasilitator, faktor pendukung kegiatan usaha, dan dinamika kelompok masyarakat berpengaruh terhadap perubahan perilaku masyarakat dalam berusaha. (3) Perubahan perilaku masyarakat dalam berusaha berpengaruh nyata terhadap peningkatan keberdayaan ekonomi rumah tangga
60
METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Menurut Umar (2003:40-41) rancangan atau desain penelitian dibedakan menjadi tiga, yakni desain eksploratif, deskriptif, dan kausal. Desain penelitian ini bersifat deskriptif korelasional, artinya penelitian ini beru-saha menggambarkan secara deskriptif dari temuan data di lapangan, dan berusaha mencari hubungan antara data yang bersifat bebas (independent variable) dengan data yang bersifat tak bebas (dependent variable). Penelitian ini juga bersifat confirmatory, artinya data yang dikumpulkan dengan cara mengkonfirmasi data yang sudah ada kepada sampel atau responden dengan cara wawancara langsung (interview) dan berpedoman pada kuisioner yang telah disiapkan sebelumnya. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini adalah di wilayah Provinsi Lampung.
Secara
administratif, lokasi penelitian termasuk wilayah Kabupaten Lampung Tengah, dan Kabupaten Pesawaran. Kabupaten Lampung Tengah merupakan lokasi perusahaan
agroindustri
yang
melaksanakan
pemberdayaan
ekonomi
masyarakat melalui usaha peternakan (penggemukan sapi potong), budidaya tanaman singkong, dan pembinaan usaha menjahit. Kabupaten Pesawaran merupakan
lokasi
pemberdayaan
ekonomi
masyarakat
melalui
usaha
perkebunan (kakao), perikanan (budidaya lele dumbo), dan budidaya jamur tiram.
Semua kegiatan pemberdayaan berbasis pada pendekatan kelompok
dalam masyarakat. Pengumpulan data primer dan data sekunder dilakukan mulai bulan November 2007 sampai dengan bulan April 2008. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah anggota masyarakat yang telah mengikuti kegiatan penyuluhan, pendampingan, dan pelatihan usaha ekonomi produktif terutama di bidang agribisnis dari perusahaan. Kegiatan yang telah dilakukan oleh perusahaan menjangkau masyarakat di wilayah empat kabupaten (Lampung Tengah, Lampung Utara, Tulang Bawang, dan Pesawaran), yang mencakup 14 kecamatan dan 44 kampung (desa). Secara administratif, populasi kampung (desa) tersebut didasarkan pada kriteria perusahaan pelaksana CSR
61 yang memiliki kriteria: (a) jangkauan wilayah CSR yang cukup luas;
(b)
perusahaan “tidak nakal,” tidak menyuap pejabat, dan memilki komitmen yang kuat untuk tidak merusak lingkungan; dan (c) perusahaan mempunyai fungsi sosial yang kuat, yang didukung oleh staf dan jajaran direksinya. Kriteria penentuan desa (kampung) yang terkena program CSR sebagai sampel penelitian ini adalah: (a) aspek program yang meliputi jenis atau jumlah kegiatan, bantuan yang terserap, jumlah penerima manfaat (beneficieries), jumlah anggota masyarakat (SDM) yang dilatih, disuluh, didampingi, dan atau dibimbing, lama kegiatan dilaksanakan, dan keberlanjutan program; (b) aspek output yang dilihat dari nilai ekonomi atau jumlah satuan fisik yang dapa diukur; dan (c) aspek outcome yang dilihat dari efek di masyarakat yang ditimbulkan oleh kegiatan CSR.
Dengan kriteria tersebut djadikan dasar penilaian (skoring)
terhadap populasi desa, yang secara lengkap disajikan pada Tabel 3. Dari Tabel 3 ditentukan empat desa yang memiliki
kegiatan ekonomi
produktif yang terkena program CSR perusahaan yang jangkauannya cukup luas, yaitu kampung Terbanggi Besar, Karang Endah, Gunung Batin Udik (Kabupaten Lampung Tengah)
dan Desa Hurun (Kabupaten Pesawaran)
sebagai desa sasaran CSR dari suatu perusahaan. Dari desa terpilih, anggota masyarakat yang telah mengikuti kegiatan program CSR dipilih secara acak. Menurut Yamane (Rakhmat, 2002:82), untuk menghitung ukuran sampel didasarkan pada pendugaan proporsi populasi. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
n=
N Nα 2 + 1
Keterangan: n = jumlah sampel N = populasi α = 1 - presisi (tingkat kepercayaan) Penarikan sampel dari populasi penelitian ini juga mempertim-bangkan penggunaan program Structural Equation Modeling (SEM) yang pada dasarnya mensyaratkan jumlah sampel yang dapat memenuhi kriteria SEM
dalam
estimasi dan interpretasi hasil penelitian yaitu antara 100-200 sampel. Hair Jr., et. al (1998) menyatakan bahwa ukuran sampel yang sesuai adalah antara 100 sampai 200, bila ukuran sampel lebih dari 400, metode menjadi sangat sensitif sehingga sulit untuk mendapatkan ukuran-ukuran goodness of fit yang baik.
62 Tabel 3. Pemeringkatan terhadap Populasi Desa Sasaran Program CSR Jenis Kegiatan / bantuan CSR Total Pinjaman Sarana Fasilitasi Keberlanjutan modal prasarana usaha program bergulir produktif 1. 1 0 0 0 1 Mataram Udik 2. 1 0 0 0 1 Terbanggi Ilir 3. 1 0 0 0 1 Fajar Mataram * 4. 1 0 0 0 1 Kurnia Mataram * 5. 1 0 0 0 1 Trimulya Mataram * 6. 1 0 0 0 1 Utama Jaya * 7. 1 0 0 0 1 Wirata Agung * 8. 1 0 0 0 1 Bandar Jaya 9. Poncowati 1 0 0 0 1 10. Terbanggi Besar * 1 1 1 0 3 11. Yukum Jaya 1 0 0 0 1 12. Nambah Dadi 1 0 1 1 3 13. Karang Endah * 1 0 1 1 3 14. Asto Muyo 1 0 1 1 3 15. Bandar Agung * 1 0 0 0 1 16. Bandar Sakti * 1 0 1 1 3 17. Tanjung Anom * 1 0 1 1 3 18. Gunung Batin Udik* 1 1 1 1 4 19. Gunung Batin Ilir * 1 0 1 1 3 20. Gunung Batin Baru * 1 0 1 1 3 21. Gunung Agung * 1 0 0 0 1 22. Lempuyang Bandar * 1 0 1 1 3 23. Banjarratu * 1 0 0 0 1 24. Tanjung Ratu Ilir * 1 1 0 0 2 25. Sido Rahayu 1 0 0 0 1 26. Gunung Keramat 1 0 0 1 27. Surakarta 1 0 0 0 1 28. Papan Asri 1 0 0 0 1 29. Bumi Raharja 1 0 0 0 1 30. Bumi Restu 1 0 0 0 1 31. Bumi Jaya 1 0 0 0 1 32. Blambangan 1 0 0 0 1 33. Astra Ksetra 1 0 0 0 1 34. Mulya Asri 1 0 0 0 1 35. Tunas Asri 1 0 0 0 1 36. Gedong Ratu 1 0 0 0 1 37. Gunung Katun Malai 1 0 0 0 1 38. Gn Katun Tanjungan 1 0 0 0 1 39. Karta 1 0 0 0 1 40. Margo Mulyo 1 0 0 0 1 41. Gunung Menanti 1 0 0 0 1 42 Margodadi 1 0 0 0 1 44 Hurun 1 0 1 1 3 Keterangan: 1 = ada kegiatan atau bantuan dari CSR 0 = tidak ada kegiatan dari CSR No. Kampung/desa
63 Dari empat desa (kampung) terpilih tercatat sebanyak 362 keluarga (rumah tangga) sebagai populasi sasaran.
kepala
Berdasarkan rumus
Yamane dengan presisi 95% maka jumlah sampel adalah sebesar 192 orang. Untuk keperluan analisis data penelitian ini, jumlah sampel dibulatkan menjadi 200 orang. Penentuan sampel penelitian ini dilakukan secara acak tertimbang (proporsional random sampling). Data Data penelitian ini dibedakan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dari kepala keluarga sebagai sampel. Jenis data yang dikumpulkan beragam dari data ordinal untuk: pengalaman berusaha, kualitas program pemberdayaan, dinamika kelompok, kompetensi fasilitator, ketersediaan saprodi, keterjangkauan harga saprodi, iklim usaha, dan perilaku masyarakat berusaha agribisnis; dan data rasio untuk pendidikan formal, pendidikan non formal, jumlah tanggungan keluarga, jumlah bantuan modal usaha, penyuluhan dari dinas terkait, dan jumlah pendapatan usaha rumah tangga. Data primer juga dilengkapi dari pengamatan langsung yang didapatkan peneliti selama melaksanakan pengumpulan data primer, namun tidak tercantum dalam kuisioner, serta informasi dari pihak manajemen perusahaan pelaksana CSR untuk mendapatkan data pelengkap sekaligus sebagai data pembanding. Data ini diharapkan dapat melengkapi data dan gambaran umum tentang sampel dan wilayah penelitian. Data sekunder dikumpulkan dari perusahaan, lembaga atau dinas instansi yang terkait dengan penelitian ini. Agar data yang dikumpulkan dapat diukur secara akurat, maka diperlukan definisi operasional yang dapat menggambarkan indikator yang dapat diamati serta parameter yang sesuai untuk mengukur besaran setiap peubah. Karakteristik individu dalam penelitian ini diartikan sebagai sejumlah indikator internal yang melekat pada diri seseorang yang dapat digunakan untuk menggambarkan ciri, sifat, atau karakter
yang dapat menunjukkan kualitas
seseorang. Peubah karakteristik inidividu dilihat (diukur) dari tingkat pendidikan formal, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman berusaha, persepsi terhadap CSR, dan luas pemilikan lahan. disajikan pada Tabel 4.
Pengukuran peubah karakteristik individu
64 Tabel 4. Pengukuran terhadap Peubah Keragaan Individu (X1) No.
1.
2.
3.
4.
5.
Sub Peubah
Konsepsi
Pendidikan formal
Jumlah tanggungan keluarga
Pengukuran
Skor
Jumlah tahun sukses yang pernah dijalani oleh seseorang dalam jenjang pendidikan formal yang ditunjukkan dengan pemilikan ijazah (STTB).
SD = 1—6 tahun,
SD-SLTP = 1
SLTP= 7—9 tahun
SLTA-D2 = 2
SLTA= 10—12 tahun
D3-Sarjana = 3
Jumlah jiwa yang menjadi tanggungan secara ekonomi dalam rumah tangga
Rendah = < 3 jiwa,
1
Sedang = 3—4 jiwa, Tinggi = > 4 jiwa
2
Rendah = 1-2 tahun; Cukup = 3-5 tahun; Tinggi ≥ 6 tahun
1
Pengalaman Jumlah tahun kumulatif berusaha menjalankan usaha ekonomi produktif
D1-D2= 13—14 tahun Sarjana= >15 tahun
3
2 3
Persepsi terhadap CSR
Pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap program CSR
Rendah = 1 Cukup = 2 Tinggi = 3
1
Pemilikan lahan pertanian
Luas lahan (ha) yang dikuasai atau dimiliki oleh seseorang
≤ 0,5 ha = sempit 0,5 – 2 ha = sedang ≥ 2 ha = luas
1
2 3 2 3
Kualitas program CSR dalam penelitian ini diartikan sebagai sejumlah indikator yang dapat menggambarkan program pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Peubah kualitas program CSR dilihat (diukur) dari kualitas
perencanaan, proses/pelaksanaan, tingkat kompatibilitas, dan keberlanjutan program. Pengukuran peubah kualitas program CSR disajikan pada Tabel 5. Kompetensi fasilitator dalam penelitian ini diartikan sebagai sejumlah indikator yang menggambarkan kemampuan seorang fasilitator dalam mengelola proses pembelajaran menurut persepsi responden. fasilitator
dilihat
(diukur)
dari
kemampuan
Peubah kompetensi
berkomunikasi,
kemampuan
melaksanakan proses belajar-mengajar, dan kemampuan memotivasi seseorang. Pengukuran peubah kompetensi fasilitator disajikan pada Tabel 6.
65 Tabel 5. Pengukuran terhadap Peubah Kualitas Program CSR (X2) No.
Sub Peubah
1.
Perencanaan program
2.
3.
4.
Konsepsi
Pengukuran
Skor
Kualitas keterlibatan seseorang dalam proses penyusunan rencana program CSR
Rendah Sedang
1
Tinggi
3
Proses pelaksanaan program
Tingkat keterlibatan seseorang dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan
Rendah Sedang
1
Tinggi
3
Kompatbilitas program
Tingkat keterhubungan atau kesesuaian jenis program yang dijalankan dengan kebutuhan seseorang
Rendah Sedang
1
Tinggi
3
Tidak berlanjut
1
Kadang-kadang
2
Berlanjut
3
Keberlanjutan Keberlanjutan program dari awal program kegiatan sampai saat pengumpulan data dilakukan
2
2
2
Tabel 6. Pengukuran terhadap Peubah Kompetensi Fasilitator (X3) No.
Sub Peubah
Konsepsi
Pengukuran
Skor
1.
Kemampuan Kemampuan melakukan komunikasi berkomunikasi dengan orang lain secara efektif
Rendah Sedang Tinggi
1 2 3
2.
Kemampuan mengajar
Penguasaan keterampilan dalam melaksanakan metode dan teknik belajar mengajar.
Rendah Sedang Tinggi
1 2 3
3.
Kemampuan memotivasi
Kemampuan fasilitator menyemangati orang lain untuk berubah perilakunya seperti yang diharapkan.
Rendah Sedang Tinggi
1 2 3
Faktor pendukung dalam penelitian ini diartikan sebagai persepsi sampel terhadap kondisi yang menunjang kelancaran usaha serta mampu meningkatkan produktivitas petani. Peubah faktor pendukung dilihat (diukur) dari tingkat ketersediaan sarana produksi, tingkat keterjangkauan harga, jumlah bantuan modal usaha, tingkat kepastian pasar, penyuluhan dari dinas instansi terkait, dan
66 iklim usaha. Pengukuran peubah faktor pendukung kegiatan usaha disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Pengukuran terhadap Peubah Faktor Pendukung Kegiatan Usaha (X4)
No.
Sub Peubah
Konsepsi
1.
Ketersediaa n saprodi
Ketersediaan sarana produksi di pasaran pada saat seseorang membutuhkan
Pengukuran Langka = sarana produksi sulit
Keterjangka uan harga sarana produksi
Kemampuan seseorang membeli (membayar) saprodi sesuai harga pasar
Cukup = sarana produksi mudah didapat dalam jumlah terbatas
Tersedia = sarana produksi mudah
Tidak terjangkau = petani tidak mampu Cukup terjangkau = petani mampu membeli saprodi tetapi menurunkan pendapatan petani saprodi dan tidak menurunkan pendapatan petani
4.
Kepemilikan modal usaha
Pasar hasil produksi
Jumlah nilai nominal aset yang dimiliki seseorang sebagai modal menjalankan usaha ekonomi produktif
Potensi atau ketersediaan pasar hasil produksi usaha
2 3 1
membeli sa-prodi karena harganya memberatkan petani
Terjangkau = petani mampu membeli
3.
1
didapatkan
didapat dalam jumlah sesuai kebutuhan
2.
Skor
2
3
Rendah = lebih kecil dari sepertiga selang rata-rata pemilikan modal semua sampel Sedang = lebih besar dari sepertiga dan lebih kecil dari dua pertiga selang rata-rata pemilikan modal usaha semua sampel Tinggi = dua per tiga atau lebih dari ratarata pemilikan modal usaha semua sampel
1
Tidak tersedia = tidak ada pembeli
1
hasil produksi Cukup tersedia = ada pembeli tanpa kesepakatan harga sebelumnya
2
Tersedia = ada pemeli dengan
3
kesepakatan harga sebelumnya
2
3
67 Tabel 7 (Lanjutan)
No.
Sub Peubah
Konsepsi
Pengukuran
Skor
5.
Penyuluhan dari dinas instansi terkait
Frekuensi kegiatan penyuluhan per tahun tentang materi yang terkait dengan usaha ekonomi produktif
Rendah = lebih kecil dari sepertiga selang rata-rata frekuensi penyuluhan yang diikuti semua sampel Sedang = lebih besar dari sepertiga dan lebih kecil dari dua pertiga selang rata-rata frekuensi penyuluhan yang diikuti semua sampel Tinggi = dua per tiga atau lebih dari ratarata frekuensi penyuluhan yang diikuti semua sampel
1
6.
Iklim usaha
Tidak kondusif = kondisi sosial politik Kondisi sosial tidak mendukung perkembangan politik usaha lingkungan eksternal seperti Cukup kondusif = kondisi sosial politik peraturan cukup mendukung perkembangan perundangan usaha yang Kondusif = kondisi sosial politik sangat mendukung mendukung perkembangan usaha perkembangan usaha ekonomi produktif
2
3
1
2
3
Faktor dinamika kelompok dalam penelitian ini diartikan sebagai persepsi sampel terhadap kondisi internal kelompok yang mampu meningkatkan aktivitas dan produktivitas anggota dalam berusaha. Peubah faktor pendukung dilihat (diukur) dari tingkat pemahaman anggota terhadap tujuan kelompok, struktur kelompok, fungsi tugas kelompok, pembinaan dan pengembangan kelompok, kekompakan kelompok, ketegangan kelompok, keefektivan kelompok, kepemimpinan kelompok, dan kepuasan anggota. Pengukuran peubah dinamika kelompok disajikan pada Tabel 8. Faktor perilaku berusaha masyarakat dalam penelitian ini diartikan sebagai persepsi sampel terhadap kondisi seseorang dilihat dari aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental terhadap teknologi usaha ekonomi rumah tangga. Peubah faktor perilaku berusaha dilihat (diukur) dari tingkat pengetahuan, keterampilan dan sikap terhadap teknologi ekonomi rumah tangga. Pengukuran perilaku berusaha masyarakat disajikan pada Tabel 9.
68 Tabel 8. Pengukuran terhadap Peubah Dinamika Kelompok (X5)
No. 1.
2.
3.
4.
Sub Peubah Tujuan kelompok
Struktur kelompok
Fungsi tugas kelompok
Pembinaan dan pengembang an kelompok
Konsepsi
Pengukuran
Skor
Kejelasan rumusan Tidak jelas = sebagian besar tujuan, tingkat anggota kelompok tidak pencapaian tujuan, memahami tujuan kelompok sosialisasi tujuan, da Kurang jelas = kurang lebih setengah kesesuaian tujuan dari jumlah anggota kelompok dengan tujuan tidak memahami tujuan kelompok Jelas = sebagain besar anggota memahami tujuan kelompok Gemuk = jumlah anggota kelompok Pembagian tugas >20 orang diantara anggota, pemanfaatan Sedang = jumlah anggota kelompok struktur dalam 10 – 20 orang menjalankan tugas, Ramping = jumlah anggota <10 hubungan struktural orang yang ada, dan pemahaman anggota terhadap struktur kelompok
1
Tidak jelas = sebagian besar anggota kelompok tidak memahami fungsi tugas masingmasing anggota kelompok Kurang jelas = kurang lebih setengah dari jumlah anggota kelompok tidak memahami fungsi tugas masing-masing anggota Jelas = sebagian besar anggota memahami fungsi tugas masingmasing anggota kelompok
1
Tidak berjalan = bimbingan dari pengurus kepada anggota baru tidak berjalan Kadang-kadang = hanya sebagian anggota baru mendapatkan bimbingan dari pengurus kelompok Berjalan baik = sebagain besar anggota baru menda-patkan bimbingan dari pengurus kelompok
1
fungsi memberikan infrmasi, fungís menyelenggarakan koordinasi, fungís menjelaskan sesuatu, danfungsi pemecahan masalah
Penumbuhan partisipasi anggota, penyediaan fasilitas, penyelenggaraan berbagai aktivitas, sosialisasi aturan, sosialisasi program dan kegiatan, penciptaan hubungan di antara kelompok, dan penentuan estándar kerja
2
3 1 2 3
2
3
2
3
69 Tabel 8 (lanjutan)
No.
Sub Peubah
Konsepsi
Pengukuran
Skor
5.
Kekompakan kelompok
perwujudan kesatuan dan persatuan anggota, identifikasi keanggotaan, homogenitas, kerjasama anggota, dan keharmonisan hubungan antar angota
Tidak kompak = sebagian besar anggota kelompok tidak menjaga kebersamaan kelompok Kurang kompak = kurang lebih setengah dari jumlah anggota kelompok tidak menjaga kebersamaan kelompok Kompak = sebagain besar anggota menjaga kebersamaan kelompok
1
Persaingan internal, persaingan eksternal, konflik internal, tantangan dan peluang, dan penerapan sanksi
Rendah = suasana kelompok dirasakan sebagian besar anggota kelompok tidak memacu pada upaya pencapaian tujuan kelompok Cukup = suasana kelompok dirasakan lebih setengah dari jumlah anggota kelompok tidak memacu pada upaya pencapaian tujuan kelompok Tegang = suasana kelompok dirasakan oleh sebagain besar anggota menjadi pemacu pada upaya pencapaian tujuan kelompok
1
Hasil atau produktivitas yang sudah dicapai, semangat verja dan kesungguhan anggota, dan keberhasilan anggota dalam memenuhi kebutuha pribadinya
Rendah = pencapaian tujuan kelompok belum dirasakan manfaatnya oleh sebagian besar anggota kelompok Cukup = pencapaian tujuan kelompok dirasakan oleh setengah dari jumlah anggota kelompok Tinggi = pencapaian tujuan kelompok sudah dirasakan oleh sebagain besar anggota kelompok
1
Gaya kepemimpinan, pelaksanaan peranan, tangungjawab yang dibangun, pelmpahan wewenang, dan kekuasaan yang dijalankan
Tidak baik = pengurus belum melaksanakan sebagaian besar fungsi kepemimpinan Cukup = pengurus melaksanakan sebagian fungsi kepemimpinan Baik = pengurus sudah melaksanakan sebagain besar fungsi kepemimpinan
1
6.
7.
8.
Ketegangan kelompok
Keefektivan kelompok
Kepemimpinan kelompok
2
3
2
3
2
3
2 3
70 Tabel 8 (lanjutan)
No. 9.
Sub Peubah Kepuasan anggota
Konsepsi
Pengukuran
Skor 1
Rendah = sebagian besar anggota Perasaan atas hasil kelompok tidak merasa puas yang dicapai, terhadap apa yang sudah dicapai keinginan untuk oleh kelompok meneruskan usaha, dan keinginan berbagi Cukup = setengah dari jumlah anggota kelompok belum merasa pengalaman sesama puas terhadap apa yang sudah anggota. dan tingkat dicapai oleh kelompok kepuasan terhadap hasil yang dicapai Tinggi = sebagian besar anggota anggota kelompok kelompok sudah merasa puas terhadap apa yang sudah dicapai oleh kelompok
2
3
Tabel 9. Pengukuran terhadap Peubah Perilaku Masyarakat dalam Usaha Ekonomi Rumah tangga (Y1) No.
Sub Peubah
1.
Pengetahuan
2.
3.
Sikap mental
Keterampilan
Konsepsi
Pengukuran
Skor
Tingkat penguasaan atau pemahaman terhadap pengetahuan yang terkait dengan bidang usaha ekonomi produktif yang dijalankan
Rendah = indeks <5 Sedang = indeks 5--7 Tinggi = indeks >7
1
Tingkat kesetujuan terhadap ide atau inovasi pengembangan usaha ekonomi produktif
Rendah = indeks <5 Sedang = indeks 5--7 Tinggi = indeks >7
1
Tingkat penguasaan keterampilan yang terkait dengan bidang usaha ekonomi produktif
Rendah = indeks <5 Sedang = indeks 5--7 Tinggi = indeks >7
1
2 3
2 3 2 3
Faktor tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga dalam penelitian ini diartikan sebagai kemampuan kepala rumah tangga mengambil keputusan dan mengatasi masalah ekonomi rumah tangga. Peubah faktor tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga dilihat (diukur) dari tingkat kemandirian pengambilan keputusan, kemapanan usaha ekonomi produktif, dan tingkat pendapatan rumah tangga dari usaha ekonomi produktif. Pengukuran tingkat keberdayaan eonomi rumah tangga disajikan pada Tabel 10.
71 Tabel 10. Pengukuran terhadap Peubah Tingkat Keberdayaan Ekonomi Rumah Tangga (Y2) No.
1.
2.
3.
Sub Peubah
Kemandirian pengambilan keputusan
Kemapanan usaha
Pendapatan usaha ekonomi produktif
Konsepsi
Pengukuran
Skor
Tingkat kemandirian seseorang dalam pengambilan keputusan untuk memulai melakukan usaha ekonomi produktif
Tidak mandiri = Keputusan ditentukan oleh pihak lain Kurang mandiri: Keputusan ditentukan atas pertimbangan dan masukan pihak lain Mandiri: Keputusan ditentukan sendiri
1
Perasaan yang dimiliki seseorang terhadap kondisi dan prospek kelangsungan usaha ekonomi produktif yang dijalankan
Belum mapan = seseorang merasa tidak yakin terhadap kelangsungan usahanya Cukup mapan = seseorang merasa cukup yakin terhadap kelangsungan usahanya Mapan = seseorang merasa yakin terhadap kelangsungan usahanya
1
Tingkat pendapatan Rendah = lebih kecil dari seseorang dari usaha sepertiga selang rata-rata ekonomi produktif pendapatan usaha ekonomi yang dijalankan produktif semua sampel Sedang = lebih besar dari sepertiga dan lebih kecil dari dua pertiga selang rata-rata pendapatan usaha ekonomi produktif semua sampel Tinggi = dua per tiga atau lebih dari rata-rata pendapatan usaha ekonomi produktif semua sampel
1
2 3
2 3
2
3
Pengukuran terhadap peubah, indikator, dan parameter dilakukan dengan cara yang sama, yakni berdasarkan suatu kontinum yang dinyatakan dalam bentuk nilai skor. Karena setiap peubah memiliki jumlah indikator dan parameter yang tidak sama, maka untuk mengklasifikasikan suatu peubah indikator atau parameter tersebut perlu dilakukan transformasi terlebih dahulu ke dalam bentuk indeks.
Berdasarkan jumlah nilai skor indeks tersebut kemudian dilakukan
pengklasifikasian selanjutnya. Dengan demikian, bias yang ditimbulkan akibat
72 jumlah parameter dan indikator yang tidak sama dalam mengukur suatu peubah dapat dihindari sekecil mungkin. Penyajian data ordinal untuk keperluan uji statistik parametrik, terlebih dahulu dilakukan trasformasi data dengan menggunakan rumus trasformasi sebagai berikut: Indeks transformasi
=
Jumlah skor yang diperoleh per indikator dikurangi jumlah skor terkecil Jumlah skor maksimum dikurangi jumlah skor terkecil
Jenis data yang dikumpulkan dari pihak manajemen perusahaan meliputi: (1)
Profil perusahaan yang melaksanakan CSR,
(2)
Persepsi manajemen (direksi) terhadap CSR,
(3)
Kebijakan manajemen dalam melaksanakan CSR,
(4)
Waktu pelaksanaan CSR dmulai,
(5)
Porsi pendanaan CSR dari keuntungan perusahaan,
(6)
Jenis-jenis kegiatan CSR,
(7)
Jumlah sasaran (anggota masyarakat) yang terkena program CSR,
(8)
Jenis dan jumlah bantuan bagi masyarakat sekitar,
(9)
Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan CSR,
(10) Dukungan dari pemerintah daerah dalam pelaksanaan CSR, (11) Efek atau manfaat yang dirasakan perusahaan setelah melaksanakan CSR, (12) Harapan perusahaan terhadap peraturan (regulasi) yang menyangkut pelaksanaan CSR. Kuisioner untuk pihak manjemen perusahaan dibuat dalam bentuk pertanyaan terbuka.
Hal ini dimaksudkan untuk memberi keleluasaan pihak manajemen
menjawab pertanyaan yang diajukan, sehingga dapat membantu deskripsi kualitatif dan kuantitatif kegiatan CSR oleh perusahaannya. Instrumentasi Instrumentasi merupakan upaya menyusun alat ukur atau menentukan parameter terhadap peubah yang diteliti. Instrumentasi yang berupa kuisioner dikembangkan melalui penentuan definisi operasional dari peubah, menetapkan indikator-indikator peubah, dan menentukan parameter dari setiap indikator
73 peubah. Kuisioner yang telah disusun, sebelum digunakan untuk mengumpulkan data penelitian terlebih dulu diuji validitas dan reliabilitasnya.
Validitas dan Reliabilitas Instrumen Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Dalam penelitian ini menggunakan kuisioner, maka kuisioner yang digunakan harus mengukur apa yang ingin diukur.
Menurut Ancok
(Singarimbun dan Effendi, 1989:122--132) validitas alat pengumpul data digolongkan ke dalam beberapa jenis: (1) Validitas konstrak (construct validity). konsep.
Konstruk adalah kerangka suatu
Peneliti harus mencari apa saja yang merupakan kerangka dari
konsep tersebut. Kerangka konsep dapat kita cara dengan: (a) mencari definisi-definisi konsep yang dikemukakan oleh para ahli yang ditulis dalam literatur;
(b) bila dalam literatur tidak dapat diperoleh, kita harus
mendefinisikan sendiri konsep tersebut; dan (c) menanyakan definisi konsep yang akan diukur kepada calon responden atau orang-orang yang memiliki karakteristik sama dengan responden. (2) Validitas isi (content validity). Validitas isi suatu alat pengukur ditentukan oleh sejauh mana isi alat pengukur tersebut mewakili semua aspek yang dianggap sebagai aspek kerangka konsep. (3) Validitas eksternal (external validity).
Validitas eksternal menunjuk pada
sejauhmana suatu alat pengukur yang dibuat atau yang sudah ada memiliki validitas.
Validitas ini dapat diketahui dengan cara mengkorelasikan alat
pengukur baru dengan tolok ukur eksternal yang berupa alat ukur yang sudah valid. (4) Validitas prediktif (predictive validity). Validitas prediktif suatu alat peng-ukur dapat diketahui bila alat pengukur tersebut dapat memprediksi (memperkirakan) apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. (5) Validitas budaya
(cross cultural validity).
Validitas alat pengukur dapat
diketahui bila alat tersebut valid untuk responden dari beberapa suku yang diteliti. (6) Validitas rupa (face validity).
Validitas ini hanya menunjukkan bahwa dari
segi ”rupa” suatu alat pengukur tampaknya mengukur apa yang ingin diukur. Bentuk dan penampilan alat pengukur sangat menentukan apakah alat ukur tersebut memiliki validitas atau tidak. Dalam penelitian survei, validitas rupa
74 suatu alat pengukur tidak menjadi masalah, sebab alat ukur yang digunakan biasanya berupa kuisioner yang tujuannya untuk mencari fakta. Dalam penelitian ini, instrumen pengukuran akan diuji dengan validitas konstrak (construct validity) sehingga diharapkan semua aspek kerangka konsep dapat terwakili oleh pengukuran yang dilakukan. Pengukuran validitas alat ukur dilakukan dengan menghitung nilai korelasi product
moment
antara
masing-masing
pertanyaan
dengan
skor
total
(Singarimbun dan Effendi, 1989: 137), dengan rumus sebagai berikut: r=
N (∑ XY ) − (∑ X ∑ Y )
[N ∑ X
2
[
− ( ∑ X 2 ) ] N ∑ Y 2 − (∑ Y ) 2
]
Uji validitas dilakukan dengan uji korelasi antara skor masing-masing item peranyaan dengan skor total pada setiap peubah. Kisaran hasil uji korelasi pada masing-masing peubah disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Kisaran nilai Koefisien Korelasi Item-item Pertanyaan dalam Satu Peubah No.
Peubah
Kisaran koefisien korelasi
1.
Karakter individu (X1)
0,43** s/d 0,71**
2.
Kualitas program CSR (X2)
0,87** s/d 0,92**
3.
Kompetensi fasilitator (X3)
0,85** s/d 0,89**
4.
Faktor pendukung (X4)
0,31* s/d 0,94**
5.
Dinamika kelompok (X5)
0,77** s/d 0,98**
6.
Perilaku berusaha (Y1)
0,23* s/d 0,75**
Keterangan: * nyata pada ά = 0,05 ** nyata pada ά = 0,01 Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan.
Reliabilitas menunjukkan
konsistensi suatu alat pengukur didalam mengukur gejala yang sama. Setiap alat pengukur seharusnya memiliki kemampuan untuk memberikan hasil pengukuran yang konsisten. Dalam pengukuran gejala sosial selalu diperhitungkan unsur kesalahan pengukuran (measurement error).
Setiap hasil pengukuran
sosial selalu merupakan kombinasi antara hasil pengukuran yang sesungguhnya (true score) ditambah dengan kesalahan pengukuran.
Makin kecil kesalahan
75 pengukuran, makin reliabel alat pengukur tersebut, sebaliknya semakin besar kesalahan pengukuran, alat pengukur tersebut makin tidak reliabel. Untuk
keperluan
pengujian
reliabilitas
kuisioner,
dilakukan
pada
masyarakat di satu desa sekitar perusahaan agroindustri yang tidak terpilih sebagai sampel penelitian yang angota masyarakatnya memiliki karakter yang mirip (dalam hal tingkat pendidikan, tingkat ekonomi) dengan desa sampel. Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan program SPSS versi 13.0 dengan analisis Guttman Split-Half.
Teknik ini merupakan
teknik belah dua, pertanyaan yang sudah diuji validitasnya, nilai korelasi r setiap pertanyaan nomor ganjil dkorelasikan dengan nilai korelasi r setiap pertanyaan nomor genap. Secara manual dapat dihitung dengan rumus: r.tot = 2 (r.tt) / 1 + r.tt. Keterangan: r.tot = angka reliabilitas seluruh item; r.tt = angka korelasi belahan pertama dan belahan kedua. Dari perhitungan tersebut diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0.857. Dengan demikian instrumen dianggap reliabel. Pengumpulan Data Pengumpulan data primer melalui wawancara dengan responden dan data sekunder dilakukan pada bulan
November 2007 – April 2008.
Lokasi
dalam kajian ini mewakili desa-desa sasaran CSR sekitar perusahaan agroindustri di Provinsi Lampung.
Sumber data primer penelitian ini adalah
anggota masya-rakat yang telah mendapatkan penyuluhan, pendampingan, dan pelatihan di lokasi terpilih, yang diharapkan mewakili semua anggota masyarakat yang ada di wilayah tersebut. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti yang dibantu oleh enumerator.
Untuk menyamakan pemahaman terhadap materi
kuisioner, enumerator akan diberikan pembekalan (coaching) dari peneliti, yang dilanjutkan dengan uji coba kuisioner (try out).
Analisis Data Analisis data penelitian ini menggunakan teknis analisis deskriptif, eksplanasi kausalitas, historis, korelasional, dan dilanjutkan dengan analisis Structural Equation Modelling (SEM) yang juga dikenal dengan istilah Model Persamaan Struktural (MPS) (Supranto, 2004:220; Solimun, 2002: 65-84).
76 Analisis deskriptif berupaya menjelaskan suatu fenomena hasil penelitian melalui penafsiran terhadap data atau hasil pengamatan yang disajikan secara naratif untuk menjawab pertanyaan atau pemasalahan penelitian.
Analisis
eksplanasi kausalitas berusaha menjelaskan suatu fenomena dengan satu atau lebih faktor penyebab terjadinya fenomena tersebut. Analisis historis berupaya menjelaskan kronologis atau urutan waktu kejadian-kejadian penting yang terkait dengan suatu fenomena tersebut. Analisis korelasional digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antara data peubah yang termasuk data ordinal atau interval. Dalam penelitian ini yang data ordinal untuk adalah pengalaman berusaha, kualitas program pemberdayaan, dinamika kelompok, ketersediaan saprodi, keterjangkauan harga saprodi, iklim usaha, perilaku masyarakat berusaha agribisnis, dan tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga; dan data rasio untuk pendidikan formal, pendidikan non formal,
jumlah tanggungan keluarga, jumlah bantuan modal
usaha, dan penyuluhan dari dinas terkait. Untuk mengetahui besarnya korelasi antar peubah yang diteliti digunakan rumus Korelasi Rank Spearman (rs) (Siegel, 1985: 253) adalah sebesar: N
6∑ d i2 rs = 1 -
i =1 3
N −N
Keterangan: N = jumlah sampel di = perbedaan antar kedua ranking Model persamaan struktural digunakan untuk mengkaji suatu seri atau deret hubungan dependensi secara simultan (depedence relationship simultaneously) menjadi suatu peubah bebas (an independent peubah) di dalam hubungan dependensi selanjutnya (in subsequent
dependence relationship).
Set hubungan ini, masing-masing dengan peubah tak bebas dan peubah bebas merupakan dasar (basis) dari model tersebut. Secara matematis, formulasi SEM dalam bentuk persamaan adalah sebagai berikut: Y1 = X11 + X12 + X13 + ….+ X1n Y2 = X21 + X22 + X23 + ….+ X2n Y3 = X31 + X32 + X33 + ….+ X3n . . .
77 Ym = Xm1 + Xm2 + Xm3 + ….+ Xmn ↓ (metrik)
(metrik, non metrik)
Analisis SEM memberikan kemudahan untuk memahami hubungan berganda secara simultan dari peubah penelitian.. Analisis SEM mampu untuk mengakses hubungan secara komprehensif da memberikan suatu transisi dari exploratory to confirmatory analysis. Dengan perkataan lain, dengan SEM dapat menjawab tiga tujuan secara serempak, yaitu pemeriksaan validitas dan reliabilitas instrumen (setara dengan faktor analisis konfirmatori), pengujian model hubungan antar peubah laten (setara dengan analisis jalur atau path analysis), dan mendapatkan model yang bermanfaat untuk memperkirakan suatu kejadian (setara dengan model struktural atau analisis regresi) (Solimun, 2002: 65). Selanjutnya, Ghozali dan Fuad (2005) menyatakan bahwa secara umum, tahap-tahap dalam Structural Equation Modeling meliputi konseptualisasi model, penyusunan diagram alur (path diagram), spesifikasi model, identifikasi model, estimasi parameter, penilaian model fit, modifikasi model, dan validasi silang model. Ghozali dan Fuad (2005) menyatakan bahwa beberapa indikator untuk menilai fit tidaknya suatu model persamaan struktural antara lain: (4) Chi-square dan probabilitas.
Nilai chi-square menunjukkan adanya
penyimpangan antara matriks kovarians sampel dan matriks kovarians model (fit), namun nilai chi-square ini hanya akan valid bila asumsi normalitas data terpenuhi dan ukuran sampel adalah besar. mengenai baik buruknya fit suatu model.
Chi-square merupakan ukuran Nilai chi-square sebesar 0
menunjukkan bahwa model memiliki fit yang sempurna (prefect fit). (5) Goodness of Fit Indices. Goodness of Fit Indices (GFI) merupakan suatu ukuran mengenai ketepatan model dalam menghasilkan matriks kovarians hasil penelitian (observed covarians matrix). Nilai GFI harus berkisar antara 0 dan 1, meskipun secara teoritis GFI mungkin memiliki nilai negatif, tetapi hal tersebut seharusnya tidak terjadi karena model yang memiliki nilai GFI negatif adalah model yang paling buruk dari seluruh model yang ada. Nilai GFI yang lebih besar dari 0,9 menunjukkan fit suatu model yang baik. (6) Adjusted Goodness of Fit Index.
Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI)
adalah sama seperti GFI, tetapi telah menyesuaikan pengaruh derajad bebas (degrees of freedom) pada suatu model. Nilai AGFI harus berkisar antara 0
78 dan 1. Nilai AGFI yang lebih besar dari 0,9 menunjukkan fit suatu model yang baik, sedangkan GFI sebesar 1 berarti bahwa model memiliki fit yang sempurna. (7) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA). RMSEA merupakan indikator model fit yang paling informatif.
RMSEA ini mengukur penyim-
pangan nilai parameter pada suatu model dengan matriks kovarians populasinya. Nilai RMSEA yang kurang dari 0,05 mengindikasikan adanya model fit, dan nilai RMSEA yang berkisar antara 0,05 dan 0,08 mengindikasikan bahwa model memilki diterima akal.
perkiraan kesalahan yang dapat
Nilai RMSEA antara 0,08 dan 0,1 mengindikasikan bahwa
model memiliki fit yang cukup (mediocre), sedangkan nilai RMSEA yang lebih besar dari 0,1 mengindikasikan mode fit yang sangat jelek. Tahap pengolahan data dimulai dari editing, tabulasi, kompilasi, dan pemasukan data (data entry) yang memanfaatkan perangkat lunak Excel dan SPSS (Statistical Package for Social Sciences).
Selanjutnya, data dianalisis
dengan bantuan perangkat lunak LISREL 8.54 yang dilengkapi program Prelis dan Simplis.
79
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran tentang Program CSR di Provinsi Lampung Implementasi program tanggungjawab sosial perusahaan di Provinsi Lampung masih merupakan hal relatif baru. Dari 194 perusahaan besar dan menengah yang ada, jumlah perusahaan yang sudah melaksanakan program CSR belum mencapai 10 persen. Dinas Sosial ataupun Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat belum memiliki data dasar tentang perusahaan yang sudah memiliki dan melaksanakan program CSR maupun data tentang kegiatan program yang dilaksanakan setiap perusahaan tersedia. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan semenjak tahun 2001 sebagai implementasi CSR oleh perusahaan tersebut antara lain: (1) Pembangunan prasarana sosial seperti pembangunan masjid, musholla, dan balai kampung. (2) Pembangunan prasarana pendidikan seperti pembangunan atau rehabilitasi gedung sekolah, pemberian honor insentif untuk guru dan beasiswa murid. (3) Pembangunan sarana prasarana air bersih, seperti pembuatan sumur bor dan suplai air bersih setiap musim kemarau bagi masyarakat sekitar perusahaan. (4) Bantuan berbagai kegiatan sosial seperti khitanan massal, pengobatan gratis, bantuan dana peringatan hari besar agama dan hari besar nasional, serta pemberian tunjangan hari raya bagi aparat kampong sekitar perusahaan. (5) Program kemitraan antara perusahaan dengan kelompok masyarakat dalam pengembangan komoditas tertentu. (6) Pengembangan ekonomi produktif bagi kelompok masyarakat sekitar perusahaan. Dari beberapa perusahaan yang sudah melaksanakan tanggungjawab sosial tersebut dapat dipilahkan perusahaan-perusahaan yang telah melaksanakan tanggungjawab sosial untuk memberdayakan ekonomi masyarakat dan perusahaan-perusahaan yang sekedar memberikan bantuan melalui kegiatan kedermawanan sosial (filantropi) bagi masyarakat sekitar. Selain tanggungjawab sosial, perusahaan juga memiliki tanggungjawab lingkungan sebagaimana diatur dalam UU Nomer 40 Tahun 2007. Untuk mendapatkan gambaran umum perusahaan yang terkait dengan pelaksanaan tanggungjawab sosial dan lingkungan perusahaan, uraian berikut menyajikan profil perusahaan sampel.
80 Profil Perusahaan yang Melaksanakan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Informasi dari Dinas Sosial dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Lampung yang menyebutkan bahwa beberapa perusahaan yang mengeksploitasi sumberdaya alam dan sudah melaksanakan program CSR. Dalam metode penelitian sudah disebutkan bahwa tersebut dipilih dua perusahaan sebagai sampel.
untuk mewakili populasi Kedua perusahaan terpilih
telah melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Tanggungjawab sosial dilaksanakan dalam bentuk implementasi program CSR untuk memberdayakan ekonomi masyarakat sekitarnya. Tanggungjawab lingkungan perusahaan dilaksanakan dengan pengelolaan limbah perusahaan. Informasi ini diperoleh dari pihak manajemen perusahaan, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kabupaten Lampung Tengah dan Bapedalda Provinsi Lampung. Perusahaan Agroindustri Nenas dan Ubikayu (Tapioka) Perusahaan ini termasuk perusahaan besar, sebab jumlah karyawan perusahaan pada tahun 2007 mencapai 19.300 orang. Perusahaan ini bergerak di bidang agroindustri.
Perusahaan ini berdiri pada tahun 1979 dengan akte
notaris Nomor: 48 tanggal 14 Mei 1979. perusahaan
berbentuk
Perseroan
Sebelumnya tahun 1973 berdiri
Terbatas (PT)
yang
bergerak dalam
penanaman ubikayu, yang merupakan langkah awal berdirinya perusahaan tersebut. Perusahaan berbentuk PMA dan 100 persen produknya diekspor ke luar negeri, seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Kanada, Timur Tengah dan Taiwan. Perusahaan tersebut berlokasi di Kampung (Desa) Lempuyang Bandar, Kecamatan Way Pengubuan, Kabupaten Lampung Tengah.
Perusahaan ini
dikenal sebagai perusahaan agroindustri dengan areal pabrik yang mencapai 125 hektar, yang terletak di tengah-tengah areal pertanaman. Adapun luas lahan perusahaan bruto mencapai 32.000 hektar. Areal tersebut berbatasan langsung dengan kampung-kampung berikut ini: (a) Bandar Agung, Bandar Sakti, Tanjung Anom, Gunung Batin Baru, Gunung Batin Udik, Gunung Batin Ilir, dan Gunung Agung, Kecamatan Terusan Nunyai; (b) Lempuyang Bandar, Banjar Ratu, dan Tanjung Ratu Ilir, Kecamatan Way Pengubuan;
(c) Terbanggi Besar, dan Karang Endah Kecamatan Terbanggi
81 Besar; dan (d) Fajar Mataram, Kurnia Mataram, Trimulya Mataram, Utama Jaya, dan Wirata Agung, Kecamatan Seputih Mataram. Areal pertanaman perusahaan yang berbatasan langsung dengan lahan pertanian dan permukiman penduduk tersebut sering kali menimbulkan konflik penguasaan antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya. Untuk mendukung operasional perusahaan, sumberdaya manusia atau karyawan merupakan faktor utama. Jumlah karyawan perusahaan tersebut per Desember 2007 tersaji pada Tabel 12. Data tersebut menunjukkan bahwa: Tabel 12. Jumlah karyawan perusahaan PT. GGP per Desember 2007 No.
Jabatan / Status karyawan
1.
Manajer
2.
Jumlah
Persentase (%)
45
0,23
Kepala Bagian
112
0,58
3.
Staff
489
2,53
4.
Pelaksana
2.935
15,20
Sub total karyawan
3.581
18,56
5.
Tenaga harian tetap
6.212
32,19
6.
Tenaga harian lepas
9.507
49,26
Sub total tenaga harian
15.719
81,44
Total tenaga kerja
19.300
100,00
Sumber: Human Resources Department PT GGP (a) Operasional perusahaan didominasi oleh tenaga kerja teknis, terutama di bidang budidaya tanaman nenas (plantation) dan pelaksana (tenaga operasional pabrik), sedangkan tenaga manajemen dan staf porsinya sangat kecil (tidak mencapai lima persen).
Tenaga kerja manajerial perusahaan
tersebut didominasi oleh tenaga kerja yang berasal dari luar Provinsi Lampung terutama dari Jawa yang besarnya di atas 90 persen, sedangkan tenaga kerja teknis terutama tenaga harian lepas hampir seluruhnya adalah tenaga kerja yang berasal dari wilayah desa atau kecamatan sekitar perusahaan. (b) Tenaga kerja atau karyawan pada perusahaan tersebut didominasi oleh karyawan harian tetap (32,19%) dan karyawan harian lepas (49,26%). Mereka adalah karyawan di bagian penanaman (planting) nenas yang tidak memerlukan syarat kualifikasi atau keahlian khusus. Mereka bekerja secara berkelompok di bawah pengawasan mandor tanam yang sekaligus sebagai
82 pembimbing karyawan dalam melaksanakan pekerjaan-nya.
Banyaknya
karyawan harian lepas dilihat dari aspek ketenagakerjaan menunjukkan bahwa perusahaan kurang bertanggungjawab atas kelang-sungan atau kepastian
tenaga
memberhentikan
kerja,
karena
karyawan
sewaktu-waktu
tersebut
tanpa
harus
perusahaan
dapat
memberikan
uang
pesangon. Produksi perusahaan ini dari tahun ke tahun cenderung berfluktuasi, hal tersebut disebabkan tingkat produktivitas nenas tergantung pada kondisi iklim terutama jumlah curah hujan dan hari hujan. Perkembangan produksi antara tahun 2000-2004 disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Perkembangan produksi fisik PT. GGP tahun 2000 - 2004 Tahun Deskripsi
Satuan
Panen
Ton
2000
2001
2002
2003
2004
398.242,0
386.567,8
486.673,0
3.838.123,0
477.453,4
Eksport - Can Pineapple
fcl
6.936,0
6.049,9
7.761,0
6.332,0
8.046,2
- TFS
fcl
165,0
206,7
190
152,0
217,5
- Concentrat
fcl
1.019,0
984,0
1.236
971,0
1.316,0
- Juce
fcl
-
-
-
- CPC
fcl
58,0
91,0
90
140,0
125,0
- Nanas Segar
fcl
-
-
-
- Kulit Nanas
fcl
230,0
135,0
193
260,0
197,0
- Nata de coco
fcl
9,8
38,4
27
4,0
2,0
- Pineapple Brine
fcl
2,0
5,0
8,0
9.502,0
7.867,0
Total
8.420
7.505,0
9.904
Sumber: Human Resources Department PT. GGP Dari Tabel 13 diketahui bahwa produksi perusahaan antara tahun 2000 sampai tahun 2004 mengalami fluktuasi, namun demikian
pada tahun 2004
perusahaan ini masih termasuk tiga besar perusahaan penghasil nenas di dunia (World Top 3 Producers (Fruit Production) Canned Pineapple).
Peningkatan
produksi berarti meningkatkan jumlah ekspor dan secara finansial semakin meningkatkan keuntungan perusahaan sehingga perusahaan dapat menambah porsi dana yang dialokasikan untuk program tanggungjawab sosial perusahaan.
83 Dalam proses produksi, p perusahaan telah men nerapkan to otal quality m managemen nt system diantaranya m menerapkan Sistem Manajemen Ke eselamatan d dan Keseha atan Kerja (SMK3).
minimalkan Sistem ini bertujuan untuk mem
b besarnya tin ngkat kecela akaan kerja dalam d prose es produksi p perusahaan. Besarnya t tingkat kecelakaan kerja a pada PT. G GGP disajika an pada Gam mbar 5.
Sumber:: Human Re esources De epartment PT T. GGP Gamb bar 5. Fluktuasi frekuen nsi tingkat ke ecelakaan ke erja yang terrjadi antara a tahun 1999 9 sampai 20 004 Data a tingkat kecelakaan ke erja yang te erjadi antara a tahun 199 99 sampai 2 2004 menun njukkan bahw wa tingkat kkekerapan ke ecelakaan kkerja sangat kecil yakni s sebesar 3,21 tiap satu juta jam kerjja. Hal ini menunjukkan m n bahwa seb bagai perus sahaan telah h menunjukk kan tanggun ngjawab sosial internal yang y cukup baik. b Dalam pelaksan naan tanggu ungjawab lin ngkungan, perusahaan p ini sudah m melakukan b berbagai lan ngkah beriku ut: ( Penghija (1) auan pada ta anah margin nal seperti bantaran sungai dan ping ggir lebung (situ) de engan tanam man bambu.. Tanaman bambu yang g ditanam merupakan m jenis betung yang rebungnya r j juga enak dikonsumsi. d Langkah ini bahkan endapatkan KEHATI AW WARD Tahun n 2004. telah me terpadu dan produksi ( Pengelolaan limbah (2) h perusahaa an dengan pendekatan p S limbah cair dibu uang atau dialirkan ke ssungai terdekat, limbah bersih. Sebelum pabrik diproses d dalam instalassi pengelolaan limbah ((IPAL) sampai limbah memenu uhi standar aman a bagi lin ngkungan.
84 (3) Aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup di luar perusahaan melalui “komite Way Dawak” yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah. Way Dawak beranggotakan semua perusahaan besar dan menengah yang ada di Kabupaten Lampung Tengah. Komite ini diketuai oleh Wakil Bupati, dan sekretarisnya adalah Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kabupaten Lampung Tengah. Semua anggota wajib berkontribusi dalam bentuk tunai yang disetor ke Bappedalda untuk penanggulangan masalah lingkungan serta menumbuhkan budaya peduli lingkungan dalam masyarakat.
Komite menyusun perencanaan dan
pelaksanaan aksi, dan dalam penyusunan program kerja mereka dibantu tenaga ahli dari Pusat Studi Lingkungan UNILA.
Namun demikian setiap
perusahaan juga masih memiliki tanggungjawab menjaga kualitas lingkungan dengan tidak membuang limbah cair dan padat perusahaan ke lingkungan. Perusahaan ini telah memiliki instalasi pengolahan limbah (IPAL) serta kelayakan AMDAL yang memenuhi standar lingkungan. (4) Perusahaan juga telah melakukan persiapan sertifikasi sistem manajemen lingkungan ISO 14.000 yang telah dimulai Tahun 2005. Dalam pengelolaan limbah (terutama limbah cair), perusahaan telah berusaha mencapai standar kualitas emisi limbah ramah lingkungan (Environmental Friendly Emission Quality) yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
Hasil pengukuran limbah PT. GGP berdasarkan
sejumlah parameter yang dimulai tahun 1999 dan dipantau secara rutin dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Hasil Pengukuran Limbah PT. GGP Parameter air
Indonesian Standard
Observation Result
NH3
2,0 ppm
0.010-0.011 ppm
SOx
0,1 ppm
0.001-0.005 ppm
NOx
0,05 ppm
0.010-0.036 ppm
CO
2,0 ppm
5-10 ppm
Dust
0,26 ppm
0.13-0.15 ppm
Sumber: Human Resources Department PT. GGP Hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa dari semua parameter air kualitas emisi limbah sudah berada di bawah nilai yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup RI.
Hal ini dicapai melalui langkah pengelolaan limbah cair
(Waste Water Management) oleh perusahaan seperti disajikan pada Gambar 6.
85
Processing Plant
Cleaner Production
• Tapioca Plant • Citric Acid Plant • Pineapple Cannery Plant
Tapioca plant
Pineapple cannery plant
End of Pipe
Waste Water Treatment (IPAL)
•Minimization (water &
material balance reduction •Toxic material reduction •Recycling •Inhouse Keeping
Material washing
Organic matter input
Waste Water Reuse
Irrigation
Plantation
Fish Cultivation
Receiving
Gambar 6. Waste Water Management pada PT. GGP Dari Gambar 6 dapat dijelaskan bahwa limbah cair pabrik dari proses pengolahan nenas dan tapioka diproses daur ulang dan dikelola secara cermat. Perusahaan berupaya menghasilkan produk yang lebih bersih dengan cara meminimalkan residu berbahaya dan menjaga keseimbangan limbah padat dan cair sebelum mencapai pipa akhir pembuangan. Limbah cair yang dihasilkan didaur ulang sampai menghasilkan air yang memenuhi standar lingkungan, sehingga bila limbah cair terpaksa dibuang atau di alirkan ke sungai terdekat tidak membahayakan kelangsungan hidup biota sungai tersebut. Limbah cair hasil daur ulang diuji dengan pemanfaatan air limbah olahan untuk memelihara ikan. Selama ini, hampir semua air limbah olahan tersebut digunakan lagi untuk proses produksi (penyiraman tanaman nenas) terutama pada musim kemarau. Dengan berbagai langkah pengelolaan limbah tersebut, efek positifnya sangat dirasakan oleh masyarakat sekitar yakni terjaganya kualitas lingkungan. Sejak tahun 2005 tidak ada lagi komplain atau pengaduan dari masyarakat akibat pembuangan limbah yang dihasilkan oleh perusahaan. Perusahaan ini juga telah memenuhi standar kualitas emisi limbah yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Hal ini juga menunjukkan bahwa
86 perusahaan telah melaksanakan tanggungjawab lingkungan seperti diamanatkan pasal 74 Undang-undang Nomer 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Perusahaan Multi Nasional Pengolahan Kopi Perusahaan ini merupakan perusahaan multinasional yang menghasilkan berbagai jenis makanan berpusat di Vevey, Swiss.
Perusahaan ini didirikan
pada tahun 1866 oleh Henri Nestlé. Perusahaan ini menghasilkan makanan dan minuman seperti makanan bayi, susu, kopi, cokelat, dan lain-lain. Perusahaan ini mengoperasikan 480 pabrik di 86 negara. Perusahaan ini masuk dalam saham SWX Swiss Exchange. Awal perkembangan perusahaan ini di Indonesia dimulai pada Maret 1971 dengan berdirinya PT. Food Specialiities Indonesia yang pada tahun 1993 berubah nama menjadi PT. Nestlé Indonesia. Pada tahun 1973 dibangun pabrik susu pertama yang berlokasi di Waru Sidoarjo, Jawa Timur; disusul pada tahun 1979 didirikan pabrik kopi di Panjang, Lampung yang memproduksi kopi instan. Untuk memenuhi kenaikan permintaan produks susu, pada tahun 1988 didirikan pabrik susu di Kejayan, Jawa Timur. serta tahun 1994 didirikan pabrik kopi di Lampung. Sebagai upaya diversifikasi produk perusahaan, pada tahun 1990 didirikan pabrik confectionery di Cikupa, Tangerang. Kantor pusat perusahaan ini di Indonesia ada di Jalan T.B. Simatupang, Jakarta Selatan.
Pada tahun 2007 tercatat perusahaan ini memiliki 2.500
karyawan. Manajemen perusahaan ini di Indonesia adalah sebagai berikut: Tingkat Nasional dipimpin oleh seorang Presiden Direktur Pabrik: Unit Kejayan (Pandaan) dan Unit Panjang (Lampung) Wilayah Pemasaran di Indonesia dibagi menjadi wilayah: Jabodetabek; Jawa Barat dan Banten; Jawa Tengah dan DIY; Jawa Timur; Bali, NTT, dan NTB; Sumbagsel; Sumatra bagian Utara; Kalimantan; Sulawesi; Maluku dan Papua. Lampung termasuk bagian wilayah pemasaran Sumatra bagian Selatan yang meliputi Jambi, Bengkulu, Sumsel, Bangka Belitung, dan Lampung. Area pemasaran produk untuk Lampung dibagi menjadi tiga wilayah sebaran: (1) Inti Bharu Mas (area pemasaran Bandar Lampung), Bandar Lampung, Lampung Selatan, Pesawaran, Pringsewu dan sekitarnya, yang dikepalai oleh seorang kepala area pemasaran, yang membawahi 100 orang tenaga distributor dan tiga orang medical delegate; (2) Metro Mitra Makmur (area pemasaran Metro):
membawahi wilayah Kabupaten Tanggamus, Lampung
87 Timur, Lampung Tengah, Metro; dan
(3)
Area pemasaran Kotabumi
membawahi wilayah Kabupaten Lampung Utara, Tulang Bawang, Way Kanan, dan Lampung Barat. Pabrikasi perusahaan tersebar di beberapa daerah seperti pabrik susu di Pandaan Jawa Timur. Pabrik susu di Jawa Timur tersebut telah bermitra dengan sekitar 28.000 peternak sapi perah. Di Provinsi Lampung terdapat unit perusahaan yang mengolah kopi dengan bahan baku kopi robusta yang diperoleh dari petani kopi di daerah Lampung. Karena perusahaan tidak memiliki lahan pertanaman kopi, dalam memenuhi kebutuhan bahan baku kopi perusahaan ini bermitra dengan sekitar 9.000 petani kopi di daerah Ngarip, Kecamatan Ulu Belu, Kabupaten Tanggamus.
Hal ini merupakan salah satu
implementasi program CSR perusahaan. Petani mitra mendapatkan pembinaan dan bimbingan teknis budidaya kopi, terutama kopi robusta, serta bantuan modal usaha petani yang berupa sarana produksi budidaya kopi seperti pupuk organik dan pupuk anorganik. Produk kopi petani yang memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan perusahaan ditampung dan dibeli perusahaan dengan harga mengikuti harga kopi dunia. Standar kualitas yang ditetapkan perusahaan dimaksudkan untuk memenuhi ketentuan standar manajemen mutu (ISO 9000). Pelaksanaan kemitraan antara perusahaan dengan petani kopi tersebut sifatnya saling menguntungkan. Di satu pihak perusahaan memiliki modal dan teknologi budidaya dan pengolahan kopi, di lain pihak petani kopi lemah dalam permodalan dan penguasaan teknologi budidaya kopi.
Namun demikian,
perusahaan sebagai pelaku bisnis selalu memperhitungkan keuntungan yang dapat diraih. Penetapan harga kopi sesauai harga pasar menunjukkan komitmen perusahaan dalam memberdayakan petani masih belum optimal. Unit produksi perusahaan yang berada di Lampung memiliki karyawan sekitar 200 orang, selain itu perusahaan juga memiliki tenaga kerja harian lepas sebagai tenaga bongkar muat kopi yang akan diproses di pabrik.
Unit ini
menghasilkan produk kopi instant, kopi three in one, dan kopi dalam kaleng. Semua produk berbahan baku kopi dari perusahaan ini dengan merek dagang yang sudah cukup terkenal tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara kawasan Asia Pasifik. Sebagai perusahaan multi nasional semua persyaratan ISO (ISO 9000, ISO 14000, dan ISO 17000) sudah terpenuhi. Kualitas produk di mata konsumen dibarengi upaya pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan melalui
88 berbagai program, termasuk salah satunya program pemberdayaan masyarakat. Dengan dipenuhinya standard ISO 14000, perusahaan ini telah menerapkan system manajemen lingkungan yang memenuhi syarat aman bagi lingkungan. Secara khusus instalasi pengolahan limbah (IPAL) pada unit produksi Panjang cukup bagus, hal ini dibuktikan dengan pemanfaatan air limbah untuk budidaya ikan lele yang ternyata dapat hidup dan berkembang secara normal. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas air limbah perusahaan sudah aman sebelum dibuang ke lingkungan. Profil Masyarakat Sekitar Perusahaan Dalam metode penelitian sudah dijelaskan bahwa berdasarkan hasil pemeringkatan, untuk mewakili masyarakat kampung/desa sekitar perusahaan terpilih kampung Karang Endah, Gunung Batin Udik, Terbanggi Besar, dan Hurun. Profil Masyarakat Kampung Karang Endah Lokasi kampung ini dari perusahaan agroindusri nenas, sekitar dua kilometer, bahkan wilayah kampung ini juga berbatasan langsung dengan areal perkebunan nenas milik perusahaan. Perusahaan mengkategorikan kampung ini termasuk kampung sekitar ring satu. Lokasi kampung ini cukup dekat (6 km arah timur) dari pusat perekonomian Kabupaten Lampung Tengah (Pasar Bandar Jaya). Kampung Karang Endah termasuk salah satu kampung dari 10 kampung/ kelurahan yang ada di Kecamatan Terbanggi Besar. Secara administratif luas wilayah kampung ini adalah 925 ha, yang terbagi menjadi 8 dusun dan 41 RT. Jumlah penduduk kampung ini sebanyak 7.543 jiwa (3.674 laki-laki dan 3.869 perempuan) yang terbagi ke dalam 1.771 kepala keluarga.
Dengan
demikian besarnya seks rasio penduduk kampung Karang Endah adalah 94,96, dan kepadatan penduduk mencapai 815 jiwa/km2 yang termasuk dalam kategori padat. Penduduk kampung ini umumnya adalah transmigran dan keturunannya sehingga mayoritas penduduknya adalah etnis Jawa. Kondisi sumberdaya manusia di kampung ini dapat dilihat dari tingkat pendidikannya. Dilihat dari tingkat pendidikan penduduk kampung ini tercatat, 1.619 orang belum/tidak tamat SD, 1.613 orang tamat SD, 521 orang tamat SLTP, 367 orang tamat SLTA, 21 orang tamat diploma, dan 3 orang tamat S1.
89 Data tersebut menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia kampung ini sebagian besar berpendidikan menengah. Agar potensi sumberdaya alam dapat dikelola secara optimal, kualitas sumberdaya manusia masih perlu ditingkatkan terutama melalui pendidikan formal untuk menopang pembangunan pertanian dan peternakan. Menurut lapangan usahanya penduduk Karang Endah disajikan pada Tabel 15. Dari data Tabel 15 diketahui bahwa masih terdapat 73,18 persen penduduk kampung ini memiliki mata pencaharian sebagai petani. Selain itu masing-masing 4,72 persen sebagai pedagang, dan 4,54 persen sebagai tenaga bangunan.
Keterbatasan lapangan kerja dan redahnya upah di daerah ini
maupun secara nasional, menarik minat warga kampung ini menjadi TKI, pada tahun 2006 tercatat 11 orang warga (lima laki-laki dan enam perempuan) menjadi TKI di negara Arab Saudi.
Hal tersebut mengindikasikan, lapangan kerja
pertanian setempat belum mampu menyerap tenaga kerja yang ada, terutama bagi kaum perempuan.
Hal tersebut juga disebabkan tingkat pendapatan
menjadi TKI lebih menjanjikan daripada bekerja di sektor pertanian. Tabel 15. Jumlah penduduk Karang Endah yang bekerja menurut lapangan usaha tahun 2006 No. Jenis pekerjaan (lapangan usaha)
Jumlah (jiwa)
Persentase
2.126
73,18
1.
Pertanian
2.
Pertambangan dan penggalian
51
1,76
3.
Industri pengolahan
24
0,93
4.
Listrik, gas, dan air
9
0,32
5
Bangunan
129
4,54
6.
Perdagangan
134
4,72
7.
Transportasi dan komunikasi
18
0,63
8.
Jasa kemasyarakatan
18
0,63
9.
Lain-lain
386
13,29
2.905
100,00
Jumlah
Sumber: Monografi Kampung Karang Endah, 2007. BPS Kabupaten Lampung Tengah tahun 2006 mencatat terdapat 138 keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I, sedangkan mereka yang meminta surat keterangan miskin sebanyak 13 orang, dan 90 orang mendapatkan kartu sehat (jaminan pelayanan kesehatan masyarakat /JPKM). Kondisi perumahan penduduk kampung Karang Endah pada tahun 2006 sebanyak 1.593 rumah yang
90 terdiri dari 938 permanen, 655 belum permanen. Kondisi perumahan ini dapat menggambarkan bahwa dilihat dari kondisi perumahannya, sudah lebih dari 50 persen penduduk Karang Endah memiliki rumah permanen. Di kampung ini terdapat enam TK, empat SD/MI dan satu SLTP dan sejumalh 1.242 murid SD/MI. Untuk pendidikan dasar di kampung ini, sekolah tingkat SD dan SLTP sudah mencukupi kebutuhan warga, namun untuk pendidikan SLTA warga kampung harus sekolah di kampung lain, seperti di Terbangi Besar atau bahkan di kabupaten lain seperti Kota Metro atau Bandar Lampung.
Hal ini menunjukkan prasarana pendidikan menengah atas di
kampung ini perlu ditingkatkan. Fasilitas atau sarana kesehatan yang ada di kampung ini tercatat ada satu puskesmas, satu tempat praktik bidan, dan satu mantri kesehatan. Hal ini mengindikasikan bahwa sarana prasarana kesehatan yang ada sudah cukup mendukung untuk masyarakat kampung ini. Bila ada warga yang memerlukan rawat inap, rumah sakit terdekat ada di Bandar Jaya yang berjarak sekitar enam kilometer dari kampung ini. Prasarana ibadah yang ada di kampung ini adalah tujuh masjid, 22 surau, satu gereja, dan satu pura.
Rumah ibadah tersebut dimanfaatkan oleh
masyarakat kampung yang terdiri dari 7.281 beragama Islam, 197 Katholik, 65 Protestan. Ketiadaan rumah ibadah warga beragama Katolik dan Hindu diatasi dengan pelaksanaan ibadah mereka di luar kampung ini. Keragaman agama yang dianut warga ini tidak mengurangi kerukunan hidup masyarakat setempat. Ketersediaan sarana prasarana komunikasi di kampung ini
terdapat
empat wartel yang siap melayani masyarakat, selain itu sinyal telepon genggam di wilayah kampung ini cukup kuat, sebab beberapa operator telepon seluler sudah memiliki based tranciever station (BTS) di sekitar Bandar Jaya. Dengan demikian komunikasi dari dan ke wilayah kampung ini cukup lancar, tercatat sudah 43 pelanggan telepon rumah (telepon kabel). Demikian halnya sarana prasarana transportasi dari dan ke wilayah kampung ini cukup lancar, sebab kampung ini letaknya cukup dekat dengan jalur lintas tengah pulau Sumatra, yang secara tidak langsung juga ikut mempercepat perkembangan ekonomi kampung. Kondisi perumahan penduduk umumnya sudah mendapatkan listrik dari PLN, tercatat sudah 1.230 rumah mendapatkan suplai listrik PLN. Hal ini sangat membantu aktivitas perekonomian warga dan perkembangan wilayah kampung
91 ke depan.
Masuknya sumber listrik dapat mendorong tumbuhnya berbagai
aktivitas ekonomi produktif yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan warga setempat. Kondisi sumberdaya alam kampung seluas 925 ha berupa sawah seluas 765 ha, dan lahan kering (bukan sawah) seluas 160 ha. Namun demikian, kondisi lahan sawah yang ada umumnya dapat ditanami padi sekali dalam setahun, sebab sumber air dari irigasi Way Seputih tidak mencukupi untuk usahatani sawah pada musim gadu. Akibatnya, sebagian besar lahan sawah yang ada pada musim gadu diusahakan tanaman palawija (seperti jagung, ubikayu, ubijalar) atau sayur mayur seperti kacang panjang atau buncis. Seluas 144 ha dipergunakan untuk perumahan/pemukiman. Usaha sampingan yang ada berupa usaha ternak sapi yang umumnya sebagai usaha penggemukan sebanyak 2.356 ekor, kerbau sebanyak tujuh ekor, kambing sebanyak 341 ekor, ayam buras 1.260 ekor, dan itik sebanyak 18 ekor. Untuk mendukung usahatani penduduk di kampung ini terdapat kios saprodi yang cukup besar sebanyak tiga buah, mereka menyediakan berbagai macam pupuk buatan, pestiisida, dan alat-alat pertanian dan suku cadangnya. Kegiatan ekonomi penduduk juga terbantu dengan adanya warung/kedai makanan sebanyak 13 buah, toko kelontong 26 buah, enam bengkel mobil/motor, dua bengkel las, tiga bengkel elektronik, satu usaha photo copy, Dari data ternak sapi yang ada jumlahnya cukup besar untuk ukuran kampung, sebab usaha penggemukan ternak merupakan usaha ekonomi produktif yang menjadi unggulan di kampung ini. Diawali semenjak pembukaan kampung
ini
sebagai
daerah
transmigran,
memelihara sapi sebagai usaha sampingan.
beberapa
penduduk
sudah
Ternak dipelihara untuk dapat
dimanfaatkan tenaganya dalam mengolah lahan, selain itu ternak sapi juga merupakan tabungan bagi petani. Peluang ini banyak diminati warga setempat, hal ini didukung oleh potensi hijauan ternak di kampung ini cukup melimpah sehingga mereka tidak mengalami kesulitan untuk memberi pakan ternaknya. Banyaknya petani yang memelihara sapi di kampung ini ditindaklanjuti dengan pembinaan oleh tenaga penyuluh peternakan dari Kabupaten Lampung Tengah. Melalui kelompok yang mereka bentuk, mereka diberikan kemudahan untuk mendapatkan fasilitas pembinaan dan permodalan melalui proyek Bimbingan Pengembangan Sapi Daging (BPSD) pada tahun 1972. Kegiatan
92 BPSD di kampung ini berjalan sampai tahun 1985, sehingga memelihara ternak sapi merupakan jenis usaha yang tidak asing bagi masyarakat Karang Endah. Semakin banyaknya warga yang memelihara sapi menimbulkan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pakannya, selain mereka melakukan penanaman rumput gajah pada lahan miliknya ada seorang peternak yang melihat peluang untuk memanfaatkan limbah perusahaan nenas sebagai pakan yang berlimpah. Pada tahun 1989, seorang petani kampung Karang Endah meminta kulit nenas dari limbah perusahaan untuk dicoba diberikan untuk pakan ternak sapinya. Langkah coba-coba tersebut ternyata mendatangkan hasil positif, pertambahan berat ternak sapinya lebih baik. Keberhasilan seorang peternak tersebut kemudian banyak diikuti oleh petani peternak sapi potong di kampung Karang Endah dan sekitarnya, terutama anggota kelompok tani peternak Budidaya. Keberhasilan tersebut kemudian diikuti oleh manajemen PT. GGP dengan mendirikan PT. GGLC dengan usaha penggemukan sapi potong sebagai basisnya. Perusahaan ini sengaja ingin memanfaatkan limbah kulit nenas sebagai salah satu unsur pakan ternak sapi potongnya.
Bakalan sapi bagi PT. GGLC dalam jumlah besar diimpor dari
Australia, terutama jenis Brahman Cross. Perkembangan yang cukup pesat tersebut berdampak pada ketersediaan limbah kulit nenas bagi peternak di kampung sekitar perusahaan, akibatnya petani sekitar yang membutuhkan limbah kulit nenas harus membeli ke perusahaan. Perkembangan ternak sapi potong di sekitar perusahaan dan PT GGLC membutuhkan ketersediaan bakalan sapi yang berkualitas dan jumlah yang tidak sedikit. Kondisi tersebut menyebabkan petani kesulitan mendapatkan bakalan berkualitas dari dalam negeri, sementara mereka tidak dapat mengimpor bakalan dari luar negeri. Kelompok peternak Budidaya melakukan pendekatan ke PT. GGLC untuk bisa mendapatkan bakalan impor, kemudian mereka bekerjasama dalam bentuk kemitraan yang berlangsung sampai sekarang.
Kegiatan ini
merupakan salah satu program unggulan dalam implementasi CSR kelompok PT. GGP. Profil Masyarakat Kampung Gunung Batin Udik Kampung ini berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Tulang Bawang (di sebelah utara). Ibukota dan kantor kecamatan Terusan Nunyai bertempat di kampung ini. Jarak kampung ini ke ibukota kabupaten sejauh 40
93 km.
Lokasi kampung ini dari perusahaan agroindusri nenas sekitar lima
kilometer, namun wilayah kampung ini juga berbatasan langsung dengan areal perkebunan nenas milik perusahaan. Perusahaan mengkategorikan kampung ini termasuk kampung sekitar ring satu bagi perusahaan agroindustri nenas. Kampung Gunung Batin Udik merupakan salah satu kampung yang ada di Kecamatan Terusan Nunyai, Kabupaten Lampung Tengah.
Kampung ini
termasuk kampung tertua dari tujuh kampung di Kecamatan Terusan Nunyai. Luas wilayah kampung adalah 2.786 ha. Secara administratif kampung ini terbagi menjadi 8 dusun dan 37 RT. Jumlah penduduk kampung ini sejumlah 6.684 jiwa (3.463 laki-laki dan 3.221 perempuan) yang terdiri dari 1.713 keluarga. Hal ini berarti seks rasio penduduk kampung ini sebesar 108, dan rata-rata jumlah anggota setiap keluarga di kampung ini sebesar 3,9 jiwa. Dengan luas wilayah 2.786 ha atau 27,86 km2, berarti kepadatan penduduk kampung ini sebesar 240 jiwa/km2. Di kampung ini terdapat dua TK, tiga SD/MI dan satu SLTP dan sejumalh 617 murid SD/MI. Untuk pendidikan dasar di kampung ini, sekolah tingkat SD dan SLTP sudah mencukupi kebutuhan warga, namun untuk pendidikan SLTA warga kampung harus sekolah di kecamatan atau kabupaten lain, seperti di Kecamatan Terbangi Besar atau bahkan di Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Kabupaten Tulang Bawang. Fasilitas atau sarana kesehatan yang ada di kampung ini cukup mendukung untuk masyarakat kampung ini. Tercatat di kampung ini ada dua tempat praktik bidan, satu dokter, dua mantri kesehatan, dan dua dukun bayi. Prasarana ibadah yang ada di kampung ini adalah 12 masjid, empat surau, dan satu gereja.
Rumah ibadah tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat
kampung yang terdiri dari 8.107 beragama Islam, 220 Katholik, 280 Protestan, 140 Hindu, dan 60 Budha. Ketiadaan rumah ibadah warga beragama Katolik, Hindu, dan Budha diatasi dengan pelaksanaan ibadah mereka di luar kampung ini. Keragaman agama yang dianut warga ini tidak mengurangi kerukunan hidup masyarakat setempat. Kondisi sumberdaya alam kampung berupa lahan seluas 2.786 ha berupa lahan kering (bukan sawah), 1.500 ha di antaranya sudah diusahakan, 786 ha dipergunakan untuk perumahan/pemukiman/industri lainnya.
Dengan kondisi
tersebut tidak mengherankan bila 1.713 keluarga atau 75 persen penduduk bergantung pada hasil pertanian ubikayu/ubikayu.
Kesempatan kerja di luar
94 negeri dengan upah yang menjanjikan juga mengundang minat warga kampung ini, tercatat tahun 2006 ada 2 orang warga (laki-laki) menjadi TKI di Malaysia. Usaha sampingan penduduk yang ada di kampung ini berupa usaha ternak sapi yang umumnya juga sebagai pekerja (penarik bajak) sebanyak 128 ekor, kambing sebanyak 120 ekor, ayam buras 1.508 ekor, dan itik sebanyak 225 ekor. Untuk mendukung usahatani penduduk di kampung ini terdapat
kios
saprodi yang cukup besar sebanyak dua buah, mereka menydiakan berbagai macam pupuk buatan, pestiisida, dan alat-alat pertanian dan suku cadangnya. Kegiatan ekonomi penduduk juga terbantu dengan adanya warung/kedai makanan sebanyak 10 buah dan toko kelontong 25 buah. Lokasi kampung yang tidak jauh dari perusahaan nasional di bidang agro industri cukup membantu ketersediaan sarana prasarana komunikasi di kampung ini. Saat ini terdapat satu warung telekomunikasi yang siap melayani masyarakat, selain itu sinyal telepon genggam di wilayah kampung ini kuat, sebab beberapa operator telepon seluler sudah memiliki based tranciever station (BTS) di lokasi perusahaan sekitar. Dengan demikian komunikasi dari dan ke wilayah kampung ini sangat lancar. Demikian halnya sarana prasarana transportasi dari dan ke wilayah kampung ini cukup lancar, sebab kampung ini letaknya sangat dekat dengan jalur lintas timur pulau Sumatra, yang secara tidak langsung juga ikut mempercepat perkembangan ekonomi kampung. Kondisi perumahan penduduk umumnya sudah mendapatkan listrik dari PLN, tercatat sudah 864 rumah mendapatkan suplai listrik PLN. Hal ini sangat membantu aktivitas perekonomian warga dan perkembangan wilayah kampung ke depan.
Masuknya sumber listrik dapat mendorong tumbuhnya berbagai
aktivitas ekonomi produktif yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan warga setempat. Potensi sumberdaya alam yang berupa lahan kering umumnya digunakan untuk budidaya tanaman ubikayu di sepanjang tahun. masyarakat menanam padi ladang pada musim hujan.
Sebagian kecil Rendahnya harga
ubikayu selama ini menyebabkan masyarakat kampung ini tidak pernah merasakan keuntungan yang wajar dari usaha budidaya tanaman ubikayu. Rendahnya harga ubikayu di tingkat petani selama ini disebabkan beberapa kemungkinan: (1) Permainan para agen dalam pembelian ubikayu oleh pabrik tapioka yang beroperasi tidak jauh dari kampung ini;
95 (2) Rendahnya posisi tawar petani ubikayu, sebab para petani belum berkelompok dalam menghadapi pihak lain (perusahaan, pedagang, atau agen); (3) Produktivitas lahan yang semakin menurun akibat penanaman ubikayu secara terus menerus, sedangkan upaya pemulihan kesuburan tanah jauh dari mencukupi. (4) Rendahnya kualitas sumberdaya petani, mereka mengusahakan tanaman ubikayu hanya dengan menanam bibit tanpa pemeliharaan yang memadai. Keterpurukan masyarakat petani ubikayu menggugah beberapa warga kampung untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan agroindustri yang tidak jauh dari kampung ini untuk membantu meningkatkan pendapatan petani ubikayu. Melalui beberapa kali pembicaraan antara wakil petani (masyarakat) dengan
perusahaan
agroindustri
mulai
tahun
2002
disepakati
adanya
kesanggupan perusahaan agroindustri untuk menampung produksi petani sekitar perusahaan (termasuk petani Gunung Batin Udik). Mereka sepakat bermitra dalam budidaya ubikayu, dan perusahaan bersedia membantu memfasilitasi petani (kelompok tani) dalam medapatkan pinjaman modal dari pihak perbankan. Sampai tahun 2007 tercatat 1.287 KK yang mendapatkan jatah beras miskin atau berhak mendapatkan jatah bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk kampung ini tergolong miskin. Suatu kondisi yang cukup memprihatinkan, apalagi kampung ini lokasinya tidak jauh dari perusahaan besar pengolah ubikayu, penghasil nenas dalam kaleng, serta pabrik gula pasir. Profil Masyarakat Kampung Terbanggi Besar Kampung Terbanggi Besar merupakan salah satu kampung terluas yang ada di Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah.
Lokasi
kampung ini dari perusahaan agroindusri nenas hanya sekitar dua kilometer, bahkan wilayah kampung ini juga berbatasan langsung dengan areal perkebunan nenas milik perusahaan. Perusahaan mengkategorikan kampung ini termasuk kampung sekitar ring satu. Lokasi kampung ini cukup dekat (dua kilometer arah utara) dari pusat perekonomian Kabupaten Lampung Tengah (Pasar Bandar Jaya). Kampung Terbanggi Besar termasuk salah satu kampung dari 10 kampung/kelurahan yang ada di Kecamatan Terbanggi Besar. Secara administratif luas wilayah kampung ini adalah 11.350 ha, yang terbagi menjadi 12 dusun
96 dan 54 RT. Jumlah penduduk kampung ini sebanyak 21.241 jiwa (11.149 lakilaki dan 10.092 perempuan) yang terbagi ke dalam 5.463 kepala keluarga. Dengan demikian besarnya seks rasio penduduk kampung Terbanggi Besar adalah 110,47, dan kepadatan penduduk mencapai 187 jiwa/km2. kampung
ini
umumnya
adalah
penduduk
asli
serta
Penduduk
transmigran
dan
keturunannya. Kondisi sumberdaya manusia di kampung ini dapat dilihat dari tingkat pendidikannya. Dilihat dari tingkat pendidikan penduduk kampung ini tercatat, 3.916 orang belum/tidak tamat SD, 3.406 orang tamat SD, 521 orang tamat SLTP, 3.151 orang tamat SLTA, 129 orang tamat diploma, dan 26 orang tamat S1.
Dari data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar (28,26 persen
penduduk) Kampung Terbanggi Besar sudah tamat SLTA. Jika dilihat dari jenis lapangan usahanya, data penduduk Kampung Terbanggi Besar disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Jumlah penduduk Terbanggi Besar yang bekerja menurut lapangan usaha tahun 2006 No. Jenis pekerjaan (lapangan usaha) 1.
Pertanian
2.
Jumlah (jiwa)
Persentase
11.247
73,90
Pertambangan dan penggalian
153
1,01
3.
Industri pengolahan
376
2,47
4.
Listrik, gas, dan air
18
0,12
5
Bangunan
478
3,14
6.
Perdagangan
802
5,27
7.
Transportasi dan komunikasi
1.837
12,07
8.
Jasa kemasyarakatan
81
0,53
9.
Lain-lain
227
1,49
15.219
100,00
Jumlah
Sumber: Monografi Kampung Terbanggi Besar, 2007 Dari Tabel 16 tercatat bahwa lebih dari 73,9 persen penduduk kampung ini memiliki mata pencaharian sebagai petani, disusul sektor transportasi dan komunikasi yang mencapai 12,07 persen. Hal ini dapat dimaklumi karena kampung ini dilewati jalur lintas tengah Sumatra dan tidak jauh dari kampung ini beroperasi terminal bayangan maupun beberapa biro atau agen perjalanan. Namun demikian keterbatasan lapangan kerja dan rendahnya upah tenaga kerja di daerah sementara upah tenaga kerja di luar negeri cukup menjanjikan, tercatat
97 pada tahun 2006 sebanyak 30 orang warga (11 laki-laki dan 19 perempuan) menjadi TKI di negara Malaysia. Data tersebut menunjukkan bahwa keberadaan perusahaan di wilayah ini belum mampu menyerap semua tenaga kerja yang ada di kampung ini. Data dari BPS Kabupaten Lampung Tengah tahun 2006 mencatat terdapat 2.365 keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I, sedangkan mereka yang meminta surat keterangan miskin sebanyak 18 orang, dan 174 orang mendapatkan kartu sehat (jaminan pelayanan kesehatan masyarakat /JPKM).
Hal ini
menunjukkan bahwa kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan masih cukup memprihatinkan. Di kampung ini terdapat tiga TK, empat SD/MI dan satu SLTP dan sejumalh 2.831 murid SD/MI. Untuk pendidikan dasar di kampung ini, sekolah tingkat SD dan SLTP sudah mencukupi kebutuhan warga, namun untuk pendidikan SLTA warga kampung harus sekolah di kampung/kecamatan/ kabupaten lain, seperti di Kota Metro atau Bandar Lampung. Fasilitas atau sarana kesehatan yang ada di kampung tercatat ada satu puskesmas, satu dokter, dua tempat praktik bidan, dan dua orang mantri kesehatan. Prasarana kesehatan tersebut cukup mendukung untuk masyarakat kampung ini, meskipun kebutuhan untuk rawat inap untuk masyarakat harus ke rumah sakit di Bandar Jaya yang berjarak sekitar dua kilometer dari kampung ini. Prasarana ibadah yang ada di kampung ini adalah 14 masjid, 18 surau, dan sebuah gereja protestan. Rumah ibadah tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat kampung yang terdiri dari 22.374 beragama Islam, 413 Katholik, dan 131 Protestan.
Ketiadaan rumah ibadah warga beragama Katolik diatasi dengan
pelaksanaan ibadah mereka di luar kampung ini. Keragaman agama yang dianut warga ini tidak mengurangi kerukunan hidup masyarakat setepat. Kondisi sumberdaya alam kampung berupa lahan seluas 2.372 ha sawah, dan 8.978 ha berupa lahan kering (bukan sawah). Secara keseluruhan dari luas kampung 11.350 ha, diantaranya 1.916 ha berupa sawah berpengairan sudah diusahakan, 8.153 ha lahan kering sudah diusahakan, 1.281 ha digunakan untuk perumahan/pemukiman/industri lainnya.
Dengan kondisi tersebut
terdapat
5.463 keluarga atau 100 persen penduduk masih bergantung pada hasil pertanian.
Usaha sampingan yang ada berupa usaha ternak sapi yang
umumnya juga sebagai pekerja (penarik bajak) sebanyak 432 ekor, kerbau enam ekor, kambing sebanyak 1.009 ekor, domba enam ekor, ayam buras 3.813 ekor,
98 dan ayam ras sebanyak 4.000 ekor. Untuk mendukung usahatani penduduk di kampung ini terdapat
kios saprodi yang cukup besar sebanyak satu buah,
mereka menyediakan berbagai macam pupuk buatan, pestiisida, dan alat-alat pertanian dan suku cadangnya.
Kegiatan ekonomi penduduk juga terbantu
dengan adanya warung / kedai makanan sebanyak 21 buah dan toko kelontong 34 buah, delapan bengkel mobil/motor, empat bengkel las, empat bengkel elektronik, empat usaha photocopy, tiga agen perjalanan. Ketersediaan sarana prasarana komunikasi di kampung ini terdapat tiga wartel yang siap melayani masyarakat, selain itu
sinyal telepon genggam di
wilayah kampung ini kuat, sebab beberapa operator telepon seluler sudah memiliki based transciever station (BTS) di sekitar Bandar Jaya sebagai pusat perekonomian Kabupaten Lampung Tengah. Dengan demikian komunikasi dari dan ke wilayah kampung ini sangat lancar, bahkan tercatat 184 pelanggan telepon rumah.
Demikian halnya sarana prasarana transportasi dari dan ke
wilayah kampung ini cukup lancar, sebab kampung ini dilewati jalur lintas pulau Sumatra, yang secara tidak langsung juga ikut mempercepat perkembangan ekonomi kampung. Kondisi perumahan penduduk umumnya sudah mendapatkan listrik dari PLN, tercatat sudah 3.520 rumah mendapatkan suplai listrik PLN. Hal ini sangat membantu aktivitas perekonomian warga dan perkembangan wilayah kampung ke depan.
Masuknya sumber listrik dapat mendorong tumbuhnya berbagai
aktivitas ekonomi produktif yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan warga setempat. Profil Masyarakat Kampung Hurun Lokasi kampung ini terletak kurang lebih 35 km sebelah selatan ibukota Kabupaten Pesawaran (Gedung Tataan). Namun, dari ibukota provinsi lokasi desa ini hanya berjarak kurang lebih 11 km sebelah barat daya Kota Bandar Lampung.
Dengan demikian aktivitas ekonomi warga untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari lebih banyak ke wilayah Teluk Betung Kota Bandar Lampung. Desa ini terletak di lereng bukit yang termasuk areal Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman (Tahura WAR), sehingga interaksi warganya dengan hutan lindung di sekitarnya cukup intensif. Salah satu dusun yang warganya paling
99 intensif berinteraksi dengan Tahura dalah dusun Sinar Baru, sebab wilayahnya berbatasan langsung dengan kawasan Youth Camp Tahura. Desa Hurun termasuk salah satu kampung dari 21 desa yang ada di Kecamatan Padang Cermin. Perkembangan desa ini cukup pesat terutama semenjak datangnya transmigrasi dari Biro Rekonstruksi Nasional (BRN) yang berpusat di dusun Hanura. Dari dusun tersebut perkembangan ekonomi desa menjadi semakin maju, hal terseut didukung oleh berkembangnya pasar, perbankan (BRI), dan Balai Budidaya Laut (BBL), Departemen Kelautan dan Perikanan. Secara administratif luas wilayah desa ini adalah 4.176 ha, yang terbagi menjadi 10 dusun. Jumlah penduduk desa ini sebanyak 5.883 jiwa (2.986 lakilaki dan 2.897 perempuan) yang terbagi ke dalam 1.882 kepala keluarga. Dengan demikian besarnya seks rasio penduduk Desa Hurun adalah 103,07, dan kepadatan penduduk mencapai 141 jiwa/km2. Penduduk desa ini umumnya adalah penduduk asli serta transmigran dan keturunannya. Di kampung ini terdapat satu TK, tiga SD, satu SLTP dan satu SLTA. sejumalh 2.831 murid SD/MI. Untuk pendidikan dasar di kampung ini, sekolah tingkat SD sudah mencukupi kebutuhan warga, namun untuk pendidikan SLTP dan SLTA warga desa tdak sedikit yang bersekolah di Kota Bandar Lampung karena jarak yang tidak terlalu jauh (kurang lebih sembilan kilometer) dengan sarana prasarana transportasi yang cukup lancar. Kondisi sumberdaya manusia di kampung ini dapat dilihat dari tingkat pendidikannya. Dilihat dari tingkat pendidikan penduduk kampung ini tercatat, 942 orang belum/tidak tamat SD, 624 orang tamat SD, 179 orang tamat SLTP, 167 orang tamat SLTA, 145 orang tamat diploma, dan 47 orang tamat S1. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran akan pendidikan formal yang merupakan salah satu indikator kualitas sumberdaya manusia penduduk desa ini sudah cukup tinggi.
Keadaan penduduk Desa Hurun berdasarkan lapangan usahanya,
disajikan pada Tabel 17. Dari Tabel 17 terlihat bahwa lebih dari 49,32 persen penduduk desa ini adalah buruh tani, dan 25,36 memiliki mata pencaharian sebagai petani, disusul sektor swasta dan buruh yang mencapai 16,87 persen. Hal ini dapat dimaklumi karena desa merupakan daerah pertanian (perkebunan) dan berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdul Rachman. Sebagian warga desa ini hidupnya bergantung pada kebera-
100 daan Tahura dengan memanfaatkan areal hutan dengan ditanami tanaman perkebunan (kakao) dan multi purpose tree species (MPTS), sehingga mereka dapat mengambil hasil hutan non kayu terutama buahnya.
Dari jenis mata
pencaharian juga terlihat ada 50 orang nelayan, mereka adalah warga Desa Hurun yang tinggal di kawasan pesisir, karena lokasi desa ini berbatasan dengan Teluk Lampung.
Nelayan tersebut adalah warga desa yang terdiri dari etnis
Bugis, Lampung, dan Jawa. Tercatat bahwa penduduk desa ini terdiri dari 1.416 etnis Lampung, 2.677 etnis Jawa, 226 etnis Bugis, dan 532 etnis Semendo. Akulturasi dan amalgamasi sudah berjalan cukup baik sehingga mempererat kerukunan warga antar etnis yang ada. Tabel 17. Jumlah penduduk Desa Hurun yang bekerja menurut lapangan usaha tahun 2007 No.
Jenis pekerjaan (lapangan usaha)
Jumlah (jiwa)
Persentase
1.
Petani
1.243
25,36
2.
Buruh tani
2.417
49,32
3.
Nelayan
50
1,02
4.
PNS, TNI/Polri
64
1,30
5
Montir
15
0,30
6.
Perdagangan
214
4,37
7.
Buruh / karyawan swasta
827
16,87
8.
Sopir
20
0,40
9.
Jasa pertukangan
35
0,07
10.
Guru swasta (honorer)
16
0,31
4.901
100,00
Jumlah Sumber: Profil Desa Hurun, tahun 2007
Fasilitas atau sarana kesehatan yang ada di desa ini kurang memadai. Tercatat di desa ini hanya ada satu puskesmas, seorang dokter, dua tempat praktik bidan, dan dua orang dukun bayi terlatih. Sarana pengobatan seperti rumah sakit sebagian besar penduduk memanfaatkan sarana pengobatan di Kota Bandar Lampung. Sementara itu, prasarana ibadah yang ada di desa ini hanya 15 masjid dan lima surau, sebab seratus persen warganya beragama Islam. Kondisi sumberdaya alam desa berupa lahan seluas 377 ha sawah irigasi teknis, 215 ha sawah irigasi setengah teknis, 15 ha sawah tadah hujan, 1.209 ha berupa lahan kering (perkebunan rakyat).
Dengan kondisi tersebut tidak
101 mengherankan bila sebagian besar penduduk masih bergantung pada hasil pertanian. Usaha sampingan yang ada berupa usaha ternak kambing dan ayam kampung sebagai usaha sampilan. Untuk mendukung usahatani penduduk di kampung ini terdapat sebuah kios saprodi yang cukup lengkap, pemilik kios menyediakan berbagai macam pupuk buatan, pestiisida, dan alat-alat pertanian dan suku cadangnya. Kegiatan ekonomi penduduk juga terbantu dengan adanya warung atau kedai makanan sebanyak 21 buah dan toko kelontong 34 buah, delapan bengkel mobil dan motor, empat bengkel las, empat bengkel elektronik, empat usaha photocopy, dan tiga agen perjalanan, . Karakteristik Masyarakat Sekitar Perusahaan Deskripsi umum karakteristik masyarakat sekitar perusahaan direpresentasikan dari sampel penelitian yang berjumlah 200 orang, disajikan dari analisis data primer berikut: (1) Umur dan Tingkat Pendidikan Umur sampel berkisar antara 18–72 tahun, dengan rata-rata umur 42,325 tahun (Tabel 18). Rata-rata umur sampel masih termasuk dalam kategori umur produktif. Bila kita kaji lebih jauh, dengan batasan usia produktif adalah kurang dari 56 tahun, maka 90 persen sampel masih termasuk usia produktif, namun bila mengacu pada batasan usia produktif kurang dari 60 tahun, maka 94,5 persen sampel masih termasuk usia produktif. Bila kita bandingkan dengan kenyataan di lapangan, bahwa semua sampel masih aktif melakukan usaha ekonomi produktif, artinya batasan usia produktif hanya sampai usia 56 atau 60 tahun tidak berlaku bagi masyarakat di wilayah penelitian. Tabel 18. Umur Sampel No.
Umur (thn)
Sekitar Perusahaan A Frekuensi Persen
1.
Muda (18-35)
28
19,4
2.
Setengah baya (36—50)
78
54,2
3.
Tua (>50)
38 144
Total
Sekitar Perusahaan B Frekuensi Persen
Gabungan Frekuensi
Persen
29
51,8
57
28,5
21
37,5
123
61,5
26,4
6
10,5
20
10,0
100,0
56
100,0
200
100,0
102 Rata-rata (tahun)
44,38
37,04
42,325
Secara umum, jumlah sampel sekitar perusahaan B relative lebih muda (mencapai 51,8 persen), sedangkan di sekitar persahaan A sebesar 19,4 persen. Sebaliknya, porsi sampel yang termasuk tua di sekitar perusahaan A lebih besar (mencapai 26,4 persen), sedangkan di sekitar perusahaan B hanya 10,5 persen. Bila sampel dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan kategori dari Kementerian Pemuda dan Olah Raga, maka 28,5 persen termasuk kategoori muda, 61,5 persen termasuk usia setengah baya, dan 10 persen termasuk tua. Dilihat dari tingkat pendidikan sampel, jenjang pendidikan formal sampel adalah 3 tahun (hanya sampai kelas 3 SD) sampai 16 tahun atau tamat jenjang S1 (sarjana), dengan rata-rata tingkat pendidikan formalnya mencapai 8,185 tahun, dengan mayoritas (37,5 persen) hanya sampai tamat SD (Lampiran 6). Hal ini berarti rata-rata pendidikan masyarakat daerah penelitian mencapai bangku kelas 2 SLTP (Tabel 19). Tabel 19. Tingkat Pendidikan Sampel No.
Tingkat pendidikan (thn)
Sekitar Sekitar Gabungan Perusahaan A Perusahaan B FreFreFrePersen kuensi Persen kuensi Persen kuensi
1.
Dasar (≤ 9)
72
50,0
29
51,8
2.
Menengah (10— 14)
34
23,6
9
16,1
3.
Tinggi (≥ 15)
38
26,4
18
144
100,0
56
Total Rata-rata (tahun)
8,222
145
72,5
46
23,0
32,1
9
4,5
100,0
200
100,0
8,089
8,185
Secara khusus, bila kita perbandingkan tingkat pendidikan sampel di sekitar dua perusahaan tidak jauh berbeda. Mereka yang berpendidikan dasar mencapai sekitar 50 persen, namun mereka yang berpendidikan tinggi lebih banyak di sekitar perusahaan B (sebesar 32,1 persen), sedangkan di sekitar perusa-haan A hanya sebesar 26,4 persen. Bila tingkat pendidikan sampel dikelompokkan menurut pengelompokan Depdiknas, yakni tingkat pendidikan dasar adalah tingkat SD dan SLTP (≤9 tahun), tingkat pendidikan menengah (SLTA – D2) dan pendidikan tinggi (D3, S1,
103 S2, S3) maka sebaran tingkat pendidikan sampel terlihat bahwa 72,5 persen sampel masih berpendidikan dasar. (2) Jenis Pekerjaan Keberadaan perusahaan di suatu wilayah secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan peluang kerja bagi masyarakat sekitarnya (Tabel 20). Secara langsung, masyarakat sekitar dapat bekerja sebagai karyawan atau buruh pada perusahaan tersebut, baik sebagai karyawan atau buruh tetap atau karyawan harian lepas.
Hal tersebut sangat tergantung pada ketersediaan
lowongan pada perusahaan. Secara tidak langsung keberadaan perusahaan di suatu wilayah juga meningkatkan aktivitas perekonomian di wilayah tersebut, misalnya peluang untuk menyediakan jasa layanan rumah makan, warung kopi, warung/took kelontong, warung seluler, jasa transportasi bagi karyawan, jasa reparasi kendaraan bermotor, dan sebagainya. Tabel 20. Pekerjaan Sampel Sebelum dan Sesudah Ada Program CSR No.
Jenis pekerjaan
Sebelum ada CSR Frekuensi
1.
Tani
2.
Buruh
3.
Dagang
4.
Persen
Sesudah ada CSR Frekuensi
Persen
129
64,5
51
25,5
5
2,5
15
7,5
12
6,0
5
2,5
Guru
1
0,5
-
-
5.
Penjahit, meyulam
2
1,0
3
1,5
6.
Jasa (sopir, bengkel)
5
2,0
2
2,0
7.
Pegawai (PNS, satpam, Karyawan swasta)
10
5,0
3
1,5
8.
Perkebunan
2
1,0
3
1,5
9.
Peternak
2
1,0
114
57,0
10.
Lain-lain (IRT, pensiun)
36
18,0
4
2,0
200
100,0
200
100,0
Total
Tabel 20 menunjukkan bahwa sebelum ada program CSR pekerjaan utama masyarakat sekitar perusahaan adalah petani (mencapai 64,5 persen), namun setelah berjalannya program CSR. Sebaliknya, jenis pekerjaan masyarakat sebagai peternak meningkat drastis dari dua menjadi sebesar 74 persen. Kondisi ini dapat dimaklumi, karena keberhasilan kemitraan penggemukan sapi
104 telah menarik minat masyarakat yang awalnya memiliki pekerjaan sebagai petani, beralih ke usaha penggemukan sapi.
Hal yang sama juga dapat kita
temukan pada pekerjaan masyarakat sebagai buruh atau karyawan kontrak, sebelum ada program CSR sebanyak 2,5 persen, dan meningkat menjadi 7,5 persen setelah ada program CSR. Beberapa diantaranya adalah karyawan pada perusahaan di sekitar tempat tinggal mereka. Mereka bekerja sebagai karyawan tetap atau karyawan kontrak. (3) Jumlah Tanggungan Jumlah tanggungan keluarga masyarakat sekitar perusahaan agrindustri di Provinsi Lampung berkisar antara 0 sampai 9 jiwa, dengan rata-rata 4 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum setiap keluarga terdiri dari suami istri, dan 3 orang anggota keluarga (anak dan atau familinya).
Sebaran jumlah
tanggungan keluarga paling dominan sebanyak 4 jiwa (31 persen), disusul 3 jiwa (25,5 persen).
Deskripsi jumlah tanggungan keluarga secara lengkap tersaji
pada Tabel 21. Tabel 21. Jumlah Tanggungan Sampel Jumlah tanggungan (jiwa)
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Gabungan
Frekuensi
Persen
Frekuensi
Persen
Frekuensi
Persen
0 -- 3
59
41,0
19
33,9
78
39,0
4 -- 6
77
53,5
33
58,9
110
55,0
7 -- 9
8
5,6
4
7,1
12
6,0
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Rata-rata:
3,958
4,178
4,020
Bila dilihat secara terpisah, sebaran jumlah tanggungan keluarga sampel di sekitar perusahaan A dan B tidak jauh berbeda. Pada kedua kelompok sampel jumlah tanggungan keluarga berkisar antara 4—6 orang.
Jumlah anggota
keluarga ini merupakan potensi sumberdaya manusia dalam mendukung usaha ekonomi produktif. (4) Pengalaman Berusaha Keberhasilan usaha seseorang secara umum sangat ditentukan oleh pengalamannya.
Pengalaman merupakan guru yang paling baik, sehingga
berbekal pengalamannya seseorang dapat mengambil ilmu demi perbaikan usahanya. Semakin tinggi pengalaman seseorang, maka semakin besar pula
105 peluang keberhasilan usahanya.
Rata-rata pengalaman masyarakat dalam
melakukan usaha di bidangnya mencapai 6,8 tahun dengan pengalaman terendah 0,5 tahun dan tertinggi sudah mencapai 30 tahun.
Mereka yang
memiliki pengalaman terendah mencapai 0,5 tahun adalah petani yang memiliki usaha budidaya jamur tiram, sedangkan mereka yang memiliki pengalaman tertinggi memiliki usaha di bidang penggemukan sapi (sapi potong).
Secara
umum, tingkat pengalaman usaha masyarakat masih termasuk rendah (< 6 tahun) mencapai 59,5 persen, termasuk sedang (6—20 tahun) mencapai 35 persen, dan tingkat pengalaman yang tinggi (> 20 tahun) sebesar 5,5 persen (Tabel 22). Tabel 22. Tingkat Pengalaman Berusaha Sampel Pengalaman berusaha (tahun)
Sekitar perusahaan Sekitar perusahaan A B
Gabungan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen
Rendah (< 6)
102
70,8
55
98,2
119
59,5
Sedang (6—20)
31
21,5
1
1,8
70
35,0
Tinggi (> 20)
11
7,6
0
0,0
11
5,5
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Total Rata-rata (thn)
8,649
2,036
6,80
Dari Tabel 22 dapat diketahui bahwa tingkat pengalaman usaha sampel sekitar perusahaan A dan B tidak jauh berbeda, sebagaian besar (70,8 dan 98,2 persen) dengan pengalaman yang masih rendah (di bawah enam tahun). Namun, pada masyarakat sekitar perusahaan A sebaran pengalaman yang termasuk sedang dan tinggi, persentasenya lebih baik dibandingkan sampel sekitar perusahaan B.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa usaha ekonomi
produktif yang dibina perusahaan A lebih terkait dengan bidang usaha yang sebelumnya sudah digeluti oleh masyarakat.
Dengan demikian kegiatan
penyuluhan, pelaihan, dan pendampingan dalam program CSR perusahaan B harus dilakukan lebih intensif. Hal ini terutama dirasakan oleh masyarakat dalam budidaya jamur merang sebagai sesuatu yang baru dan masyarakat tidak punya pengalaman sebelumnya. (5) Jenis Usaha Ekonomi Produktif yang Dibina Perusahaan Dari program CSR perusahaan yang melaksanakan program pembinaan usaha ekonomi produktif masyarakat sekitar, terdapat beberapa jenis usaha ekonomi produktif yang dibina (Tabel 23). Jenis usaha ekonomi produktif yang
106 cukup menonjol adalah usaha peternakan (penggemukan) sapi potong, disusul usaha budidaya jamur, usaha budidaya ubikayu, dan budidaya lele. Jjenis usaha ekonomi produktif yang dibina oleh perusahaan melalui program CSR adalah: usaha peternakan (penggemukan sapi) sebesar 50,5 persen, budidaya jamur sebesar 17,5 persen, budidaya ubikayu sebesar 11,5 persen, usaha jahit pakaian sebesar 10 persen, budidaya lele sebesar 9 persen, dan budidaya kakao sebesar 1,5 persen. Tabel 23. Usaha Binaan Program CSR No.
Jenis usaha
Sekitar perusahaan A Frekuensi
Persen
Sekitar perusahaan B Frekuensi
Gabungan
Persen
Frekuensi
Persen
1.
Budidaya kakao
0
0,0
3
5,4
3
1,5
2.
Budidaya lele
0
0,0
18
32,1
18
9,0
3.
Menjahit
20
13,8
0
0,0
17
8,5
4.
Sapi potong
101
70,2
0
0,0
101
50,5
5.
Budidaya jamur
0
0,0
35
62,5
35
17,5
6.
Usahatani ubikayu
23
16,0
0
0
23
11,5
144
100
56
100
200
100,0
Total
Dari Tabel 23 dapat diketahui bahwa jenis usaha ekonomi produktif yang dibina perusahaan A meliputi usahatani ubikayu, penggemukan sapi potong, dan usaha menjait pakaian.
Usaha ekonomi produktif yang dibina perusahaan B
adalah budidaya kakao, budidaya lele, dan budidaya jamur (jamur tiram). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada persamaan jenis usaha ekonomi produktif binaan kedua perusahaan. (6) Pemilikan Lahan Bagi masyarakat pedesaan yang bermata pencaharian sebagai petani, pemilikan lahan merupakan modal atau aset utama dalam menopang usaha ekonomi produktif keluarganya (Tabel 24).
Pemilikan lahan rata-rata mencapai
1,91 ha atau termasuk dalam kategori sedang. Bila dikelompokkan, penguasaan lahan yang sempit di bawah 0,5 ha mencapai 43 persen, pemilikan lahan yang sedang (0,5—2,0 ha) mencapai 45 persen, dan pemilikan lahan yang luas (>2,0 ha) mencapai 24 persen. Sebagai petani transmigran, secara umum mereka
107 memiliki lahan yang kurang dari 2,0 ha yang berarti lahan jatah transmigran sudah berkurang atau diwariskan kepada anak (generasi kedua transmigran). Sebagian petani mampu membeli tanah sebagai hasil dari usaha utamanya, baik sebagai pedagang atau sebagai petani penggemukan sapi.
Hal ini memberi
petunjuk bahwa usaha penggemukan sapi cukup menguntungkan masyarakat yang melakukannya. Tabel 24. Pemilikan Lahan oleh Sampel Luas lahan Sekitar perusahaan A Sekitar perusahaan B Gabungan (ha) Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen < 0,5
65
45,1
52
92,9
86
43,0
0,5 – 2,0
47
32,6
3
5,4
90
45,0
> 2,0
32
22,2
1
1,8
24
12,0
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Rata-rata
2,594
0,153
1,910
Sebaran pemilikan lahan oleh masyarakat sekitar perusahaan A dan B terdapat perbedaan yang mencolok.
Pada masyarakat sekitar perusahaan B
pemilikan lahan terpusat pada lebih kecil dari setengah hektar (sebesar 92,9 persen), sedangkan pada masyarakat sekitar perusahaan A sebarannya relatif lebih merata. Kondisi wilayah sekitar perusahaan A merupakan areal pengembangan transmigrasi dengan topografi yang relative datar dan fasilitas irigasi teknis tersedia yang memungkinkan masyarakat berusahatani padi sawah dua kali setahun, serta menanam palawija atau sayur mayur pada musim kemarau. Wilayah sekitar perusahaan B dengan topografi berbukit serta berbatasan langsung dengan pantai dan kawasan hutan lindung, penguasaan lahan yang sempit tidak memungkinkan mereka berusahatani padi.
Keterbatasan lahan
tersebut menjadi salah satu pemicu masyarakat setempat masuk atau merambah kawasan hutan lindung untuk ditanami tanaman perkebunan seperti kakao, pete, jengkol, melinjo, dan pisang secara tumpangsari. (7) Persepsi Masyarakat tentang Tanggungjawab Sosial Perusahaan Konsep tanggungjawab sosial perusahaan dan implementasinya di Provinsi Lampung masih relatif baru, sehingga belum semua lapisan masyarakat memahaminya.
Oleh karena itu, masih banyak hal yang perlu dilakukan,
khususnya sosialisasi tentang konsep maupun implementasinya bagi masyarakat dan jajaran manajemen perusahaan, terutama perusahaan yang mengeksploitasi
108 sumberdaya alam.
Bagaimana persepsi sampel terhadap CSR tersaji pada
Tabel 25.
Tabel 25. Persepsi Sampel terhadap CSR Tingkat persepsi
Sekitar perusahaan A
Sekitar perusahaan B
Frekuensi
Frekuensi
Persen
Persen
Gabungan Frekuensi Persen
rendah
3
2,1
27
48,2
30
15
sedang
17
11,8
2
3,6
19
9,5
tinggi
124
86,1
27
48,2
151
75,5
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Total
Dari Tabel 25 menunjukkan bahwa persepsi sampel terhadap CSR sudah tinggi (sebesar 75,5 persen). Namun, bila kita perbandingkan antara masyarakat sekitar perusahaan A dan B terlihat bahwa secara umum persepsi terhadap CSR masyarakat sekitar perusahaan A lebih tinggi disbanding-kan masyarakat sekitar perusahaan B.
Hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi program CSR oleh
perusahaan A lebih berhasil dibandingkan perusahaan B. Masih terdapat hampir setengah sampel (48,2 persen) masyarakat sekitar perusahaan B yang memiliki persepsi rendah terhadap CSR. Secara lebih rinci, persepsi sampel terhadap CSR diukur dari pengertian sampel terhadap CSR, persepsinya terhadap tujuan CSR, dan
persepsinya
terhadap manfaat CSR disajikan pada Tabel 26, 27 dan 28 Tabel 26. Persepsi Sampel terhadap Pengertian CSR Pengertian CSR
Frekuensi
Persen
Tidak tahu
32
16,0
Kegiatan perusahaan memberi bantuan materi kepada asyarakat agar mereka tidak mengganggu perusahaan
13
6,5
Kegiatan perusahaan memberi bantuan fisik atau uang untuk kepentingan perorangan
12
6,0
Kegiatan perusahaan memberi bantuan fisik untuk kepentingan kelompok/masyarakat
30
15,0
Kegiatan perusahaan membantu masyarakat di bidang fisik, sosial, budaya, dan atau ekonomi agar masyarakat lebih berdaya dan mandiri
113
56,5
Total
200
100,0
109 Dari Tabel 26 dapat kita ketahui bahwa secara umum (56,5 persen) masyarakat memahami CSR sebagai kegiatan perusahaan dalam membantu masyarakat di bidang fisik, sosial, budaya, dan atau ekonomi agar masyarakat lebih berdaya dan mandiri. CSR dipahami sebagai kegiatan perusahaan dalam memberi bantuan fisik untuk keperluan kelompok/masyarakat oleh 6 persen sampel. Ditemukan pula bahwa masih terdapat sekitar 16 persen masyarakat yang tidak atau belum mengetahui tentang CSR. Tabel 27. Persepsi Sampel terhadap Tujuan CSR Tujuan CSR Tidak tahu
Frekuensi Persen 30
15,0
0
0
Agar masyarakat mau bekerjasama dengan perusahaan
68
34,0
Agar masyarakat tidak menuntut kepada perusahaan
23
11,5
Untuk memberdayakan masyarakat sekitar
79
39,5
200
100,0
Agar produk perusahaan dikenal masyarakat
Total
Tabel 27 menunjukkan bahwa persepsi masyarakat sekitar perusahaan terhadap tujuan program CSR dipahami sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat sekitar oleh 39,5 persen sampel, dan 34,0 persen menyatakan bahwa tujuan program CSR adalah agar masyarakat mau bekerjasama dengan perusahaan.
Data lapangan juga menunjukkanbahwa sekitar 15 persen
masyarakat tidak tahu tujuan program CSR. Tabel 28. Persepsi Sampel terhadap Manfaat CSR Manfaat CSR Tidak tahu
Frekuensi Persen 29
14,5
1
,5
Mengurangi kecemburuan sosial antara masyarakat dengan perusahaan
23
11,5
Menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan sekitar perusahaan
21
10,5
126
63,0
200
100,0
Menjaga kelangsungan produksi perusahaan
Membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar Total
Dari Tabel 28 dapat diketahui bahwa persepsi sampel terhadap manfaat secara umum (63,0 persen) masyarakat mengetahui bahwa perusahaan ingin
110 membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Hal ini dapat terjadi karena sebagian besar sampel masyarakat sekitar perusahaan sudah merasakan sendiri manfaat program CSR perusahaan di wilayahnya. (8) Perilaku Masyarakat dalam Berusaha Perilaku masyarakat dalam berusaha merupakan gabungan dari aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dimilikinya. Secara umum tingkat pengetahuan masyarakat terkait bidang usahanya termasuk dalam kategori tinggi (66 persen), dan 34 persen termasuk dalam kategori sedang (Tabel 29). Tabel 29. Tingkat Pengetahuan Sampel dalam Berusaha Tingkat pengetahuan Rendah
Sekitar perusahaan A Frekuensi 0
Persen 0,0
Sekitar perusahaan B Frekuen si Persen 0 0,0
Gabungan Frekuensi Persen 0
0
Sedang
50
34,7
18
32,1
68
34,0
Tinggi
94
65,3
38
67,9
132
66,0
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Bila diperbandingkan, sebaran tingkat pengetahuan dalam berusaha masyarakat sekitar perusahaan A dan B tidak jauh berbeda. Tingkat pengetahuan mereka sudah cukup tinggi, bahkan tidak ada yang termasuk kategori rendah. Derajad sikap terhadap bidang usahanya secara umum termasuk dalam kategori tinggi (77,5 persen), 21 persen termasuk kategori sedang, dan 1,5 persen termasuk kategori rendah (Tabel 30).
Hal ini mengindikasikan bahwa
perusahaan dan atau mitra pendamping program masih harus lebih intensif dalam meningkatkan apresiasi positif terhadap usaha yang dilakukan. Derajad sikap sampel masyarakat sekitar perusahaan A dan B menunjukkan adanya perbedaan. Pada masyarakat sekitar perusahaan B derajad sikap terhadap CSR mayoritas termasuk dalam kategori sedang (64,3 persen), sedangkan pada masyarakat sekitar perusahaan A mayoritas termasuk dalam kategori tinggi (95,1 persen). Tabel 30. Sikap Sampel terhadap Kegiatan Usahanya Derajad sikap
Sekitar perusahaan A
Sekitar perusahaan B
Frekuensi
Frekuensi
Persen
Persen
Gabungan Frekuensi
Persen
111 Rendah
1
0,7
2
3,6
3
1,5
Sedang
6
4,2
36
64,3
42
21,0
137
95,1
18
32,1
155
77,5
Tinggi Total
144 100,0 56 100,0 200 100,0 Keterampilan berusaha merupakan aspek psikomotorik yang dimiliki oleh
seseorang
dalam
menjalankan
usaha
ekonomi
produktifnya.
Tingkat
keterampilan masyarakat secara umum termasuk dala kategori tinggi (46,5 persen), dan 44,5 persen termasuk dalam kategori sedang. Namun, masih 9 persen masyarakat yang belum terampil dalam menjalankan usaha ekonomi produktifnya (Tabel 31). Hal ini mengindikasikan bahwa tugas perusahaan atau mitra pendamping kelompok masyarakat binaannya harus lebih intensif agar keteram-pilan mereka dapat ditingkatkan. Tabel 31. Tingkat Keterampilan Berusaha Sampel Tingkat keterampilan
Sekitar perusahaan A
Sekitar perusahaan B
Frekuensi
Frekuensi
Persen
Persen
Gabungan Frekuensi Persen
Rendah
12
8,3
6
10,7
18
9,0
Sedang
44
30,6
42
75,0
86
43,0
Tinggi
88
61,1
8
14,3
96
48,0
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Dari Tabel 31 menunjukkan sebaran tingkat keterampilan berusaha sampel masyarakat sekitar perusahaan A mayoritas termasuk kategori tinggi (61,1 persen), sedangkan pada masyarakat sekitar perusahaan B mayoritas termasuk dalam kategori sedang (75,0 persen). Hal ini mengindikasikan bahwa program CSR oleh perusahaan B masih harus lebih banyak memberikan bimbingan dan pelatihan teknis budidaya (lele, jamur tiram dan kakao) agar keterampilan masyarakat sasaran lebih meningkat. (9) Tingkat Keberdayaan Ekonomi Sampel Keberdayaan masyarakat dapat dilihat dari tingkat kemandirian dalam pengambilan keputusan berusaha,
tingkat kemapanan usaha, dan tingkat
pendapatan dari usaha yang dilakukannya.
Dilihat dari kemandirian dalam
pengambilan keputusan usaha, 53,5 persen masih ditentukan karena adanya masukan dari pihak lain (belum mandiri), dan 46,5 persen sudah ditentukan sendiri atau sudah mandiri (Tabel 32). Pada masyarakat sekitar perusahaan B,
112 pengambilan keputusan atas masukan pihak lain masih lebih besar (66,1 persen), sedangkan di sekitar perusahaan A mencapai 48,6 persen.
Namun
demkian, penentuan jenis usaha yang ditentukan oleh pihak lain sudah tidak ada, hal ini menunjukkan bahwa proses demokratisasi sudah berjalan dengan benar. Tabel 32. Pengambilan Keputusan Usaha Sampel Pengambilan Keputusan Usaha Ditentukan pihak lain
Sekitar perusahaan A
Sekitar perusahaan B
Frekuensi 0
Frekuensi 0
Persen 0,0
Persen Frekuensi Persen 0,0 0 0,0
Ada masukan pihak lain
70
48,6
37
66,1
Ditentukan sendiri
74
51,4
19
33,9
144
100,0
56
100,0
Total
Gabungan
107
53,5
93
46,5
200
100,0
Masyarakat dalam menjalankan usahanya selama ini sudah merasakan cukup mapan (61,5 persen), 37 persen menyatakan sudah mapan, dan 1,5 persen menyatakan tidak mapan atau belum terlalu yakin dengan usaha yang mereka lakukan (Tabel 33). Bila dilihat pada dua kelompok sampel, masyarakat sekitar perusahaan A yang sudah mapan mencapai 50,0 persen, sedangkan sekitar perusahaan B baru mencapai 3,6 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis usaha ekonomi produktif yang mereka lakukan dan dibina perusahaan belum memberikan jaminan atau rasa aman dalam berusaha. Salah satu cara untuk meningkatkan rasa aman tersebut adalah dengan meningkatkan pendapatan usahanya.
Peningkatan pendapatan usaha ini dapat ditempuh
memperbesar skala usaha melalui pemupukan modal usaha, sebab pemilikan modal masyarakat yang sangat terbatas. Tabel 33. Tingkat Kemapanan Usaha Sampel Tingkat Kemapanan Usaha Belum mapan
Sekitar perusahaan A
Sekitar perusahaan B
Gabungan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen 2 1,4 1 1,8 3 1,5
Cukup mapan
70
48,6
53
94,6
123
61,5
Mapan
72
50,0
2
3,6
74
37,0
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Total
113 Ditinjau dari besarnya pendapatan usaha ekonomi produktif yang dilakukan, masyarakat memperoleh pendapatan rata-rata sebesar Rp.26.685.000 per tahun.
Besarnya pendapatan tersebut bila kita bagi dengan rata-rata jumlah
anggota keluarga berjumlah lima orang, berarti pendapatan per kapita mereka hanya sebesar Rp.5.337.000 per kapita per tahun.
Bila kita konversi dalam
besaran $= Rp.9.250,- maka pendapatan per kapita sampel sebesar $576,97. Tingkat pendapatan sampel bila kita kelompokkan menjadi tiga maka secara umum tingkat pendapatan sampel masih termasuk dalam kategori rendah (63,5 persen), kategori sedang (25 persen), dan kategori tinggi (11,5 persen) (Tabel 34). Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan pendapatan masyarakat dari program CSR selama ini belum mampu mendongkrak sampai pada kategori menengah, oleh karena itu program pemberdayaan ekonomi masyarakat dalam program CSR perusahaan harus dikelola secara profesional dan dijadikan program prioritas oleh perusahaan. Tabel 34. Tingkat Pendapatan Sampel Sekitar perusahaan A
Tingkat Pendapatan (juta rupiah)
Frekuensi
Sekitar perusahaan B
Persen
Frekuensi
Gabungan Persen
Persen
Frekuensi
Rendah (3,58 – 38,75)
73
50,7
54
96,4
127
63,5
Sedang (38,76 – 73,92)
49
34,0
1
1,8
50
25,0
Tinggi (> 73,92)
22
15,3
1
1,8
23
11,5
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Total
Dari Tabel 34 menunjukkan bahwa sebaran tingkat pendapatan sampel masyarakat sekitar perusahaan A lebih merata, sedangkan di sekitar perusahaan B lebih terpusat pada tingkat pendapatan kategori rendah
Hal ini
menunjukkkan bahwa kondisi ekonomi masyarakat sekitar perusahaan A lebih baik dibanding-kan kondisi ekonomi masyarakat sekitar perusahaan B. (10) Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Berbagai program pembangunan masyarakat, termasuk program CSR, dapat memiliki tujuan akhir yang sama yakni untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan perkataan lain, peningkatan kesejahteraan masyarakat
114 dapat dijadikan indikator atau ukuran keberhasilan suatu program pembangunan. Untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat kita dapat menggunakan berbagai indikator, salah satunya adalah alokasi pengeluaran rumah tangga (Tabel 35). Tabel 35. Rata-rata Pengeluaran Pangan dan Non Pangan Sampel No.
1.
Alokasi pengeluaran
Biaya per tahun (Rp/tahun)
Persentase (%)
Beras, jagung, gaplek
2.500.455
14,54
Sayur mayur
1.650.740
9,60
Lauk pauk (tahu, tempe, telor, ikan)
1.877.980
10,92
Susu
422.415
2,46
Gula, teh, kopi
919.185
5,35
Minyak goreng
607.845
3,54
Bahan bakar (kayu bakar, minyak tanah, elpiji)
571.515
3,32
8.550.135
49,74
2.312.985
13,45
b. Pakaian
701.500
4,08
c. Kesehatan
132.965
0,77
d. Perumahan
56.500
0,33
e. Biaya sosial
1.520.250
8,84
f. Transportasi
1.658.975
9,65
77.150
0,45
1.657.365
9,64
522.200
3,04
Total non pangan
8.639.890
50,26
Total pengeluaran
17.190.025
100,00
Pangan
Total pangan 2.
Non Pangan a. Pendidikan
g. Rekreasi h. Rokok i. Komunikasi / pulsa 3.
Alokasi pengeluaran pendapatan dapat dijadikan ukuran tingkat kesejahteraan masyarakat karena secara teoritis semakin sejahtera seseorang maka komposisi pengeluaran pangan semakin rendah dan pengeluaran non pangan akan semakin tinggi.
Pengeluaran pangan dapat berupa makanan pokok
115 sebagai sumber karbohidrat (beras, jagung, ketela, dan sebagainya), sayur mayur, lauk pauk, mnyak goreng, minuman (susu, gula, teh, kopi), dan bahan bakar untuk memasak (kayu bakar, minyak tanah, elpiji).
Pengeluaran non
pangan mencakup pengeluaran untuk pakaian, papan (perumahan), pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi, biaya sosial, komunikasi/pulsa, dan lain-lain. Berdasarkan Tabel
35 menunjukkan bahwa persentase pengeluaran
pangan (49,74%) lebih kecil dari pada pengeluaran non pangan (50,26%), hal tersebut merupakan indikasi bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan sudah cukup baik.
Hasil ini merupakan indikator bahwa dengan
adanya pelaksanaan program CSR sudah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan, meskipun masih perlu ditingkatkan
Dari tabel
tersebut juga terdapat indikasi positif dari pengeluaran rumah tangga tersebut, yakni pengeluaran untuk pendidikan mencapai 14,891 persen. Hal ini berarti kesadaran masyarakat akan pendidikan anak sudah cukup tinggi.
Namun
demikian, indikasi negatif dapat ditemukan adanya pengeluaran untuk rokok yang cukup besar (9,64%) sementara itu pengeluaran untuk kesehatan sangat kecil (0,77%). Bila dikaji dari aspek yang berbeda, yakni seberapa besar peningkatan pendapatan masyarakat sekitar perusahaan sebelum dan sesudah adanya program CSR maka besarnya peningkatan pendapatan rumah tangga sebelum dan sesudah adanya program CSR seperti disajikan pada Tabel 36. Tabel 36. Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga Sebelum dan Sesudah Ada Program CSR Pendapatan rumah tangga
Sekitar perusahaan A (Rp)
Sekitar perusahaan B (Rp)
Jumlah (Rp)
Sebelum ada CSR
16.042.010,00
13.846.710,00
15.427.330,00
Sesudah ada CSR
46.231.360,00
15.972.250,00
37.758.810,00
Peningkatan pendapatan
30.189.350,00
2.125.540,00
22.331.480,00
Dari Tabel 36 menunjukkan, rata-rata pendapatan rumah tangga sesudah ada CSR meningkat cukup besar (Rp.22.331.480,00) atau mencapai 144,753 persen selama kurun waktu lima tahun terakhir atau 28,95 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui implementasi CSR
di Provinsi Lampung selama ini cukup berhasil.
116 Namun, besarnya peningkatan pendapatan masyarakat bila diperbandingkan antar wilayah sekitar perusahaan, peningkatan pendapatan yang cukup nyata terjadi di sekitar perusahaan A (mencapai lebih dari 30 juta rupiah), sedangkan d sekitar perusahaan B peningkatan pendapatan per tahunnya masih cukup kecil (tidak mencapai tiga juta rupiah). Hal ini menunjukkan bahwa jenis dan skala usaha masyarakat yang dibina perusahaan sangat menentukan.
Kelompok
masyarakat dengan usaha budidaya ubikayu dan usaha penggemukan sapi dengan modal dan skala usaha yang cukup besar, sehingga peningkatan pendapatan masyarakat dari usaha ini juga cukup besar. Sebaliknya, kelompok masyarakat dengan usaha budidaya lele, jamur tiram, dan kakao rata-rata skala usahanya masih kecil sehingga peningkatan pendapatan per tahun dari usaha tersebut juga belum nyata. Kelompok Sasaran Pemberdayaan Sasaran pemberdayaan dalam implementasi program tanggungjawab sosial perusahaan secara umum adalah anggota masyarakat desa-desa sekitar perusahaan, namun karena jumlahnya cukup besar, perusahaan berusaha memprioritaskan pada program yang bertujuan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat. Untuk kepentingan tersebut sasaran pemberdayaan oleh perusahaan adalah kelompok-kelompok yang bersifat kelompok ekonomi produktif. Kelompok tersebut adalah kelompok yang sudah ada atau terbentuk di masyarakat atau kelompok yang sengaja dibentuk atau difasilitasi pembentukannya agar pembinaan oleh perusahaan dapat lebih efektif dan efiisien. Seperti telah dikemukakan dalam metode penelitian, kelompok-kelompok tersebut dipilih secara sengaja untuk mewakili masyarakat yang ada di sekitar perusahaan. Profil kelompok-kelompok sasaran pemberdayaan tersebut diuraikan pada subsub bab berikut. (1) Kelompok Peternak Penggemukan Sapi Kelompok peternak penggemukan sapi potong memiliki wilayah kerja di kampong Karang Endah Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah. Kelompok ini secara resmi berdiri pada tangga 12 Februari 1972. Pada awalnya kelompok ini terbentuk untuk menerima Bimbingan Pengembangan Sapi Daging (BPSD) dari pemerintah sebanyak 90 ekor secara kredit kepada 90 anggotanya.
Kelompok tersebut pada tahun 1983 seluruh anggotanya telah
melunasi kewajiban membayar kreditnya sesuai ketentuan. Mengingat pemeli-
117 haraan sapi BPSD memberikan peningkatan ekonomi bagi angota, pada tanggal 10 september 1985 mereka membentuk kelompok tani ternak sapi potong yang diberi nama Budi Daya.
Kelompok tersebut terus membenahi organisasinya
dengan menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) kelompok. Sesuai dengan AD/ART, kelompok tersebut pada tanggal 10 Agustus 1998 mengadakan rapat anggota dengan keputusan memilih pengurus kelompok yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, manajer kelompok, seksi-seksi, dan tiga ketua sub-kelompok. Aktivitas kelompok peternak sapi ini cukup banyak, antara lain: (a) Penggemukan sapi dengan pola swadana (modal sendiri) yang menggemukkan bakalan Peranakan Ongol (PO). (b) Penggemukan sapi pola kemitraan (PIR). Kelompok sebagai plasma bermitra dengan PT. GGLC sebagai inti yang sekaligus sebagai avalis. Perusahaan tersebut juga berperan sebagai: (1) penilai layak atau tidaknya kelompok diberikan kredit sebesar yang diminta untuk menjalankan usahanya sampai dengan pembayaran kembali kredit yang diberikan; (2) memberikan pinjaman stok pakan, konsentrat, obat-obatan, dan pembinaan peternak sampai dengan masa panen;
(3) menjamin tersedianya bakalan sapi yang akan
digemukkan oleh anggota kelompok;
dan (4) menjamin pemasaran hasil
sebagai penentu keberhasilan usaha. (c) Pembuatan perangsang makan untuk ternak sapi. Perangsang makan ini terbuat dari bahan tanaman atau organik sehingga mendapatkan hasil yang optimal dan harga yang murah. Produk tersebut belum diberi nama. Dengan memberikan perangsang makan tersebut pada dosis pakan yang telah ditetapkan dan berlaku dalam pola PIR penggemukan sapi potong dapat mencapai kenaikan daging rata-rata 1,2 kg per hari, dari kondisi sebelumnya yang baru mencapai 0,9 kg per hari. (d) Pengembangan bibit sapi potong dilakukan dengan cara inseminasi buatan (IB). Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan keturunan yang unggul dan mendapatkan jumlah yang dikehendaki dalam kurun waktu tertentu. Kegiatan ini dibiayai dari dana bantuan langsung masyarakat (BLM) tahun 2003 serta dana kelompok secara mandiri. (e) Pembuatan kompos dengan bahan baku kotoran sapi. Dengan bimbingan PT. GGLC kelompok mampu membuat kompos dengan komposisi berikut:
118 talken sap (73%), serbuk gergaji (5%), abu organik (10%), dedak (5%), dan super degra (1 lt per ton). (f) Penjualan limbah (kotoran) sapi ke perusahaan tambak udang. Kotoran sapi digunakan sebagai pupuk dasar kolam atau tambak udang. Penjualan ini dilakukan secara tidak langsung oleh anggota kelompok, tetapi penjualan dilakukan oleh kolektor limbah. (g) Pembuatan konsentrat bagi ternak. Untuk menghasilkan 250 kg konsentrat, diperlukan bahan-bahan berikut: kulit kopi (50 kg), dedak (50 kg), onggok kering (60 kg), bungkil sawit (50 kg), bungkil kelapa (30 kg), bungkil kedelai (5 kg), tepung ikan (5 kg), urea (5 kg), garam pasir (5 kg), kapur (5 kg), dan tepung mineral (premix) sebanyak 1 kg.
Kapasitas produksi konsentrat saat
ini mencapai 2 ton per hari dan sudah mencukupi untuk kebutuhan anggota kelompok. Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa kemitraan antara kelompok peternak dengan perusahaan telah memberikan beberapa manfaat seperti terjadinya transfer teknologi budidaya penggemukan sapi, bantuan modal usaha bagi peternak, suplai bahan baku pakan ternak (kulit nenas), dan peningkatan pendapatan. Program kemitraan ini menurut pihak manajemen perusahaan dianggap sebagai implementasi program CSR.
Namun, perusahaan masih
mengambil manfaat dari program kemitraan tersebut sebab bakalan sapi yang diperoleh melalui perusahaan setelah digemukkan harus dijual kembali ke perusahaan dengan harga yang ditentukan secara sepihak oleh perusahaan. Hal ini bertentangan dengan semangat CSR yang semestinya perusahaan memberikan bantuan kepada masyarakat tanpa memperhitungkan keuntungan yang akan diperoleh. (2) Kelompok Petani Ubikayu Kelompok tani ini berdiri pada tahun 2002. Berawal dari ide seorang warga untuk meningkatkan pendapatan petani ubikayu, 11 orang anggota masyarakat Gunung Batin berkumpul dan bersepakat untuk bergabung dalam sebuah kelompok tani. Kelompok tani tersebut mereka beri nama Kelompok Tani “Nadai Begandang” yang memiliki arti “Pekerja Keras”. Semenjak berdirinya, kepengurusan kelompok belum mengalami perubahan. Secara resmi kelompok tani saat ini beranggotakan 48 anggota inti dan 152 anggota biasa. Kelompok ini merasa prihatin terhadap nasib petani ubikayu (mayoritas penduduk Gunung Batin), yang selama bertahun-tahun belum bisa menikmati
119 hasil usahanya secara wajar.
Produktivitas usahatani ubikayu juga belum
optimal, dan harga jual ubikayu selalu diombang-ambingkan oleh kondisi pasar yang tidak menentu.
Karena beberapa alasan itulah mereka bersatu untuk
menggalang kekuatan melawan pasar yang banyak dikuasai oleh beberapa pabrik tapioka yang tidak jauh dari wilayah mereka. Beberapa kali pembicaraan dan pendekatan yang intensif dilakukan oleh tokoh-tokoh kelompok tani dengan pihak perusahaan sehingga dicapai kesepakatan bahwa perusahaan bersedia bermitra dengan masyarakat tani ubikayu yang dikoordinir oleh kelompok tani “Nadai Bagandang”. Beberapa kesepakatan awal ditindaklanjuti dengan pelaksanaan program kemitraan usahatani ubikayu yang pada intinya perusahaan tapioka akan menampung produksi ubikayu petani sekitar perusahaan dengan harga yang wajar dan perusahaan membantu peningkatan keterampilan teknis budidaya agar produktivitas petani meningkat. Langkah tersebut dimulai dengan pembinaan dan penyuluhan teknis budidaya ubikayu secara intensif dari perusahaan kepada anggota kelompok tani. Perusahaan kemudian memberikan bantuan bibit unggul ubikayu varietas Kasetsart yang memilki produktivitas cukup tinggi (dapat mencapai 40 ton per hektar), pinjaman modal usaha, serta pinjaman sarana produksi (pupuk dan pestisida) dari perusahaan tersebut.
Produktivitas yang cukup tinggi dari
anggota kelompok tersebut juga mendapatkan jaminan pasar dari perusahaan mitra (PT. UJF anak perusahaan dari PT. GGP). Anggota kelompok menyadari bila selamanya tergantung pada perusahaan mereka harus mengikuti kemauan pihak manjemen perusahaan, oleh karenanya mereka berusaha mencari pinjaman modal usahatani ubikayu kepada pihak ketiga (perbankan). Dengan pendekatan yang intensif kepada pihak manajemen perusahaan, mereka difasilitasi untuk mendapatkan pinjaman dari sebuah bank swasta. Prosedur peminjaman mereka penuhi, termasuk salah satunya agunan pinjaman yang berupa sertifikat tanah para anggota kelompok. Namun, karena baru pertama kali pinjam, harus ada pihak ketiga sebagai penjamin. Akhirnya kelompok tani ”Nadai Begandang” berhasil meyakinkan PT. UJF menjadi penjaminnya (avalis). Pinjaman kredit yang pertama dari bank kepada kelompok tani pada tahun 2003 sebesar 450 juta rupiah, jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun, dan pada tahun 2007 telah mencapi dua milyar rupiah. Kredit yang didapatkan dari bank, dikelola oleh kelompok sebagai modal usahatani ubikayu bagi anggotanya.
Peningkatan produksi dan pendapatan
120 anggota kelompok tersebut menarik minat anggota masyarakat sekitar untuk bergabung dengan kelompok ini. Agar tidak mengecewakan anggota kelompok yang masih baru, pembagian pinjaman dibagi secara proporsional untuk seluruh anggota berdasarkan luas garapan usahataninya. Secara keseluruhan, lahan usahatani ubikayu garapan seluruh anggota kelompok saat ini telah mencapai 2.000 ha. Berkat peningkatan produktivitas dan pendapatan anggota kelompok, pengembalian kredit ke bank tersebut cukup lancar, sehingga pengajuan kredit kelompok ke bank tersebut untuk tahun 2008 mencapai 4 milyar rupiah. Aktivitas kelompok akhirnya mengundang minat masyarakat tani sekitar untuk bergabung dalam kelompok, sehingga setiap tahunnya jumlah anggota kelompok selalu bertambah. Anggota kelompok saat ini mencapai 200 orang, namun
kelompok
membuat
keanggotaan mereka.
kesepakatan
yang
terkait
dengan
status
Anggota dibedakan menjadi anggota inti dan anggota
biasa. Anggota inti sejumlah 48 orang, yakni mereka yang memiliki sertifikat tanah yang digunakan sebagai agunan untuk peminjaman kredit bank. Anggota biasa adalah anggota yang belum atau tidak memiliki sertifikat tanah garapan, namun mereka dapat pelayanan bantuan kredit modal dan sarana produksi yang besarnya disepakati oleh anggota inti. Sistem pelayanan pinjaman kepada anggota biasa dilakukan mengingat mereka tidak memiliki agunan untuk pinjaman kredit bank, namun mereka sangat membutuhkan modal untuk pengolahan lahan dan pembelian sarana produksi (pupuk dan pestisida). Kelompok tani Nadai Begandang juga aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan seperti dalam Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) kampung, kegiatan keagamaan lainnya, pembangunan Balai Adat di Kampung Gunung Batin, dan pengenalan jenis layanan perbankan kepada masyarakat kampung. Program kemitraan antara kelompok tani ubikayu dengan perusahaan telah memberikan beberapa manfaat bagi petani seperti terjadinya
transfer
teknologi budidaya ubikayu, pinjaman modal usaha, dan jaminan harga produksi ubikayu yang pada akhirnya mampu meningkatkan pendapatan petani ubikayu sekitar perusahaan. Program ini juga diklaim oleh perusahaan sebagai salah satu program CSR. Dari program ini perusahaan juga masih mengambil manfaat terutama dalam pemenuhan bahan baku pabrik tapioka yang tidak dapat dicukupi dari areal budidaya ubikayu yang dimiliki perusahaan. (3) Kelompok Ibu-ibu Penjahit Pakaian
121 Kelompok ini berdiri ada tahun 2002. Lahirnya kelompok sebagai hasil pembicaraan antara tokoh masyarakat setempat dengan pihak perusahaan. Tokoh masyarakat yang cukup luas wawasannya mengharapkan adanya perhatian perusahaan kepada masyarakat sekitar dengan memberikan bekal keterampilan yang mampu meningkatkan taraf ekonominya. Berhubung perusahaan tersebut selama ini memesan pakaian kerja ke perusahaan konveksi di Bandung Jawa Barat, maka disepakati untuk melatih ibu-ibu PKK dari Kampung Terbanggi Besar. Mereka diberikan kursus menjahit selama kurang lebih enam bulan. Tenaga pengajar (satu orang dibantu satu orang asisten) dan semua peralatan disediakan oleh perusahaan. Selama enam bulan berjalan pengajar mendapatkan honor dari perusahaan sebesar masing-masing satu juta rupiah setiap bulan.
Bantuan peralatan jahit dari perusahaan untuk kelompok Mitra
Jahit ini adalah enam buah mesin jahit, dua meja potong, 40 kursi plastik, 22 bangku, dan dua lemari pakaian.
Sampai saat ini peralatan tersebut masih
terawat dan berfungsi baik. Kepengurusan kelompok Mitra Jahit diketuai oleh seorang bapak selaku tokoh masyarkat, dan dibantu oleh seorang ibu (pensiunan guru sekolah dasar) sebagai ketua pelaksana. Pada awalnya anggota kelompok yang mendapatkan pelatihan jahit menjahit sebanyak 40 wanita, namun saat ini anggota yang masih aktif hanya tinggal 15 orang. Hal tersebut disebabkan banyak anggota yang sudah tidak tinggal di desa tersebut karena pindah tempat tinggal atau mengikuti suami. Aktivitas kelompok Mitra Jahit terfokus pada kontrak jahit pakaian karyawan perusahaan.
Jenis pakaian yang dikerjakan meliputi baju laborant
(kerah merah, kuning, biru, dan putih), masker, engkel, celana (prosesing, label, laboran), dan jas laboran.
Kontrak kerja Mitra Jahit dengan perusahaan
ditentukan sepihak oleh perusahaan, sebab perusahaan sudah mematok harga untuk setiap jeis pakaian, sehingga kelompok penjahit harus berupaya memenuhi kualitas dan kualitas pakaian sesuai standar yang diminta pihak perusahaan. Bila kualitas jahitan tidak baik, maka perusahaan komplain kepada kelompok dan dikembalikan barangnya.
Akibatnya kelompok Mitra Jahit
melakukan seleksi terhadap kualitas jahitan para anggotanya. Kontrak jahitan dengan perusahaan dilakukan oleh kelompok. Kontrak dilakukan secara borongan untuk sejumlah jenis pakaian. Kontrak jahitan menurut jenis pakaian pada tahun 2007 ditentukan perusahaan. Pengurus
122 kelompok kemudian membeli bahan dasar kain sesuai kebutuhan, kemudian dilakukan pembagian menjahit kepada anggota sesuai kemampuan menjahit jenis pakaian tersebut. Dengan demikian setip anggota mendapatkan tambahan penghasilan dari jasa pemotongan, jasa obras, dan jasa jahit dengan tarif jasa per buah jenis pakaian. Selisih nilai antara kontrak dengan kebutuhan untuk pembelian bahan dasar, jasa pemotongan, jasa obras, dan jasa jahitan akan menjadi keuntungan kelompok. Pembagian keuntungan kelompok diperhitungkan secara proporsional sesuai dengan kontribusi anggota dan atau pengurus dalam kegiatan kelompok. Program pelatihan keterampilan menjahit ini merupakan salah satu program CSR perusahaan dengan sasaran khusus kaum perempuan. Dari program tersebut kelompok masyarakat (ibu-ibu PKK) tersebut mendapatkan keterampilan menjahit pakaian yang selanjutnya diharapkan dapat membantu meningkatkan pendapatan keluarganya. Perusahaan juga mendapatkan manfaat dengan terpenuhinya kebutuhan pakaian kerja karyawan yang tidak lagi harus didatangkan dari Bandung. (4) Kelompok Peternak Ikan Lele Kelompok peternak ikan lele yang mendapatkan pendampingan dari perusahaan terdiri dari beberapa kelompok. Kelompok-kelompok tersebut ada di Desa Hurun, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran. Kelompok ini mendapatkan pembinaan dari perguruan tinggi atas dana CSR dari perusahaan multinasional yang memiliki pabrik pengolahan kopi robusta di Lampung. Kelompok yang dibina meliputi kelompok pemuda (karang taruna) dan kelompok tani dewasa. Kelompok-kelompok tersebut berdiri antara tahun 2005 dan 2007, meskipun ada yang sudah terbentuk tahun 2002. Kelompok yang sudah ada sebelum kegiatan program pendampingan dari perusahaan adalah Kelompok Pemuda (karang taruna desa) sedangkan kelompok yang berdiri semenjak tahun 2005 adalah kelompok sebagai hasil pendampingan. Nama kelompok-kelmpok tersebut adalah Kelompok Harapan Jadi, Kahaga, Arter, dan Semoga Jaya. Anggota kelompok-kelompok tersebut mendapatkan penyuluhan, pelatihan, pendampingan, dan bantuan awal untuk usaha budidaya lele. Penyuluhan dan pelatihan budidaya lele diberikan oleh penyuluh dari Institut Pertanian Bogor sebagai partner perusahaan, sementara itu fasilitator mendampingi kelompokkelompok masyarakat tersebut dalam kesehariannya agar usahanya dapat berkembang dan berhasil. Fasilitator yang ada di lapangan sebanyak dua orang,
123 satu orang adalah alumni IPB dan satu orang alumni UNILA. Bantuan awal bagi kelompok untuk budidaya lele adalah berupa plastik terpal untuk pembuatan kolam budidaya berukuran 2,5x4 meter, bibit lele ukuran 5-7 cm sebanyak 1000 ekor, dan pakan ikan sebanyak 70 kg. Upaya pendampingan ini dilandasi bahwa wilayah Desa Hurun memiliki potensi sumber air alami yang bertahan sepanjang tahun, mengingat wilayah tersebut berdampingan dengan kawasan hutan lindung sebagai areal konservasi sumberdaya air bagi masyarakat Bandar Lampung dan sekitarnya.
Namun
sampai tahun 2005 hampir tidak ada masyarakat yang melakukan budidaya ikan air tawar. Kondisi tersebut juga disebabkan wilayah ini tidak jauh dari pantai Teluk Lampung, sehingga budaya makan ikan laut lebih kuat di kalangan masyarakat. Selain itu, potensi pasar ikan lele cukup menjanjikan, mengingat jarak desa tersebut ke Kota Bandar Lampung tidak sampai 10 km. Usaha budidaya lele yang diajarkan kepada petani adalah budidaya sistem intensif, dengan memanfaatkan bibit unggul lele dumbo yang dipelihara dalam kolam buatan yang terbuat dari terpal. Pakan lele adalah buatan pabrik (konsentrat). Dengan pemeliharaan secara intensif ini bibit ukuran dua cm atau lebih yang dipelihara selama 2,5 bulan sudah dapat dipanen. Kelompok binaan tersebut sudah merasakan beberapa kali panen ikan lele. Bibit mereka beli dari Pringsewu, Metro, atau Batanghari. Pembelian bibit mereka koordinir bersama sehingga dapat menghemat biaya transportasi. Semenjak NGI digulirkan, bantuan kepada kelompok masyarakat sudah sebanyak lima tahap. Secara keseluruhan bantuan terpal sudah sebanyak 22 terpal ukuran A12 super (4x5 m), masing-masing seharga 180 ribu rupiah. Bantuan bibit sebanyak tiga tahap, dan bantuan pakan dua tahap. Setiap terpal dapat digunakan setidaknya dalam kurun waktu dua tahun, atau 10 periode pemeliharaan ikan lele. Tabel 37. Analisis Usaha Pembesaran Ikan Lele per Kolam: No. Jenis pengeluaran / pemasukan
Tahap I (Rp)
Tahap II—X (Rp)
1.
Terpal
180.000,00
0
2.
Bibit
130.000,00
50.000,00
3.
Pakan (70 kg)
350.000,00
350.000,00
Jumlah
660.000,00
400.000,00
Penjualan (600:9)x Rp.10.000
666.670,00
666.670,00
6.670,00
266.670,00
Keuntungan
124
Biaya pencegahan terhadap hama penyakit diupayakan memanfaatkan bahan organik (daun tumbuhan) yang banyak ditemukan di wilayah tersebut, sehingga mereka tidak perlu mengeluarkan biaya. Saat ini, setiap kelompok rata-rata sudah memiliki dua kolam, sehingga setiap 2,5 bulan mereka mendapatkan keuntungan sebesar Rp.533.340,00. NGI sebagai program CSR telah berhasil melakukan pembinaan masyarakat perambah hutan dengan aktivitas ekonomi produktif. Program ini diharapkan dapat menurunkan aktivitas perambahan hutan lindung Tahura WAR dengan membekali masyarakat dengan keterampilan budidaya lele.
Sesuai dengan
kesepakatan, perusahaan menjamin pemasaran lele hasil budidaya kelompok, namun sampai saat penelitian dilakukan produksi petani sudah habis terjual ke masyarakat dan beberapa rumah makan terdekat. (5) Kelompok Budidaya Jamur Tiram Kelompok budidaya jamur beranggotakan ibu-ibu rumah tangga petani sekitar Youth Camp Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman, tepat di Desa Hurun Kecamatan Padang Cermin. Kelompok ini berdiri tahun 2006. Kelompokkelompok tersebut adalah Kelompok Anggrek, Mawar, Sekarsari, dan Kahaga. Kelompok budidaya jamur ini difasiltasi oleh tenaga pendamping dari IPB dan UNILA.
Mereka selama ini mendapatkan penyuluhan, pelatihan, dan
pendampingan serta bantuan awal untuk usaha budidaya jamur. Penyuluhan dan pelatihan budidaya jamur diberikan oleh penyuluh dari Institut Pertanian Bogor sebagai partner perusahaan,
sedangkan fasilitator mendampingi
kelompok-kelompok masyarakat tersebut dalam kesehariannya agar usahanya dapat berkembang dan berhasil. Fasilitator yang ada di lapangan sebanyak dua orang, satu orang adalah alumni IPB dan satu orang alumni UNILA. Bantuan awal bagi kelompok untuk budidaya jamur adalah berupa baglog (media tumbuh jamur siap dipelihara satu periode tumbuh jamur) sebanyak 200 buah per kelompok dan bibit jamur (Tabel 38). Tabel 38. Analisis Usaha Budidaya Jamur Tiram No. Jenis pengeluaran / pemasukan
Tahap I (Rp)
Tahap II dst (Rp)
1.
Pembuatan rumah jamur
500.000,00
0
2.
Baglog (200 x Rp.1.500,00)
300.000,00
300.000,00
Jumlah
800.000,00
300.000,00
125 1.
Penjualan (0,8x200x0,45x4,5) Rp.12.000,00
3.888.000,00
3.888.000,00
Keuntungan
3.008.000,00
3.588.000,00
Insentif bantuan dari perusahaan sudah berjalan tiga tahap.
Bantuan tahap
pertama berupa biaya pembuatan rumah jamur (kumbung) sebesar 500 ribu rupiah. Rata-rata pertumbuhan jamur mencapai 80 persen. Pemanenan jamur dapat dilakukan 4—5 tahap, dan setiap baglog dapat menghasilkan antara 4—5 ons per panen.
Pemasaran jamur tiram oleh petani sangat mudah, sebab
banyak konsumen yang sudah tahu dan datang ke rumah kelompok.
Harga
jamur tiram segar per kg mencapai Rp.12.000,00. Upaya peningkatan kapasitas anggota kelompok jamur pada waktu yang akan datang adalah teknik pembuatan media dan pembuatan bibit jamur. Selama ini kebutuhan kelompok akan media dan bibit jamur masih didatangkan dari Bogor. (6) Kelompok Tani Kakao Kelompok tani sekitar hutan “Gunung Minggu” di dusun Sinar Baru, Desa Hurun, Kecamatan Padang Cermin ini berdiri tahun 1995. Pada awalnya adalah kelompok tani binaan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung.
Namun, seiring
dimulainya era reformasi, banyak perambah hutan masuk kawasan, termasuk hutan lindung di areal kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman. Mereka mengklaim dan mengkapling lahan hutan lindung dan mereka tanami tanaman perkebunan seperti kakao dan tanaman multi purposes tree species (MPTS) lainnya. Untuk mengendalikan laju kerusakan lahan hutan lindung, para perambah tersebut dibina oleh Dinas Kehutanan agar mereka memahami kaidah-kaidah konservasi, dengan harapan mereka dapat berpartisipasi dalam pelestarian fungsi hutan lindung yang mereka kuasai.
Melalui program tanggung jawab
sosial perusahaan yang dikenal dengan “Nestlè Green Initiative” atau NGI mereka dibina dan dilibatkan dalam pengembangan Youth Camp Tahura WAR menjadi sentra bibit damar mata kucing (Shorea javanica). Kelompok tani Gunung Minggu, sebenarnya beranggotakan 60 orang namun mereka yang benar-benar tinggal di desa sekitar Youth Camp berjumlah 27 orang, sebagian lainnya adalah para perambah yang berasal dari berbagai daerah di Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan.
Melalui
126 program pemberdayaan NGI, petani kakao dibina dan diberikan penyuluhan tentang budidaya kakao.
Mengingat tanaman kakao mereka semua sudah
menghasilkan, kendala yang mereka hadapi dalam masa pemeliharaan adalah masalah pemupukan dan pengendalian hama penyakit tanaman kakao. Masalah pemupukan yang mereka hadapi adalah karena mereka umumnya tidak memiliki modal untuk membeli pupuk buatan, sedangkan masalah hama penyakit yang mereka hadapi adalah semut hitam dan penggerek buah kakao. Untuk mengatasi masalah pemupukan, anggota kelompok pernah diberikan penyuluhan dan pelatihan tentang pembuatan pupuk organik (kompos) dengan memanfaatkan bahan baku hijauan dan daun kakao yang sudah kering yang dipercepat dengan Effective Microorganism (EM). Pelatihan diberikan oleh ketua kelompok Perkumpulan Petani Hama Penyakit Terpadu. Untuk mengatasi masalah hama penyakit tanaman dan buah kakao, penyuluhan telah diberikan oleh dua orang tenaga ahli hama penyakit tanaman dari perguruan tinggi negeri di Lampung. Dalam kegiatan pemberdayaan oleh perusahaan, sebenarnya aktivitas kelompok tani kakao relatif banyak.
Mereka dilibatkan dalam program
pembibitan dan penanaman damar mata kucing (Shorea javanica) dan mentru (Schima walichii). diharapkan
Mereka sebagai penggarap lahan kawasan hutan lindung
menyadari
bahwa
tindakan
mereka
adalah
membahayakan
kelangsungan fungsi hutan lindung sebagai kawasan konservasi. Oleh karena itu aktivitas yang diarahkan dalam menanam damar mata kucing dapat membantu kelangsungan fungsi hutan lindung sekaligus dapat membantu perekonomian mereka dengan mengambil getahnya (resin) yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi. Damar mata kucing memiliki umur yang cukup panjang, dan tanaman mulai bisa disadap atau diambil getahnya sejak umur 20 tahun. Dari kegiatan tersebut diharapkan makin lama areal Tahura Wan Abdul Rahman akan tertutupi oleh tanaman damar dan tanaman kakao akan tergusur, namun petani dapat mengambil hasil hutan non kayu (getah damar) sebagai pengganti pendapatan dari menanam kakao di areal hutan lindung tersebut. Penilaian anggota terhadap dinamika kelompok sasaran pemberdayaan melalui implementasi tanggungjawab sosial perusahaan di Lampung disajikan pada Tabel 39. Data Tabel 39 menunjukkan bahwa kelompok sasaran sekitar perusahaan B lebih dinamis (mencapai 80,4 persen), sedangkan kelompok sasaran di sekitar perusahaan A ada 45,8 persen anggota yang menyatakan
127 tidak dinamis dan 48,6 persen menyatakan kelompoknya dinamis.
Hal ini
menjadi indikasi bahwa setengah dari kelompok sasaran di sekitar perusahaan A tidak dinamis.
Anggota kelompok cenderung bersifat individualis dalam
melakukan usaha ekonomi produktif. Hal ini cukup dirasakan pada kelompok penggemukan sapi, anggota tidak lagi respek terhadap kelompok, mereka merasa bukan lagi sebagai anggota kelompok akibat mereka tidak lagi mendapatkan pinjaman dana dari bank yang pembagiannya diserahkan kepada pengurus kelompok. Tabel 39. Penilaian Anggota terhadap Dinamika Kelompok Dinamika kelompok
Sekitar perusahaan A
Sekitar perusahaan B
Gabungan
Frekuensi
Persen
Frekuensi
Persen
Frekuensi
Persen
Tidak dinamis
66
45,8
1
1,8
67
33,5
Cukup dinamis
8
5,6
10
17,8
18
9
Dinamis
70
48,6
45
80,4
115
57,5
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Secara rinci, sebaran nilai unsur-unsur dinamika kelompok disajikan pada Tabel 40. Dari Tabel 40 dapat diketahui bahwa dilihat dari unsur-unsur dinamika kelompok masyarakat sekitar perusahaan:
Enam puluh dua setengah persen anggota kelompok memahami tujuan kelompoknya, dan 36 persen anggota kelompok tidak memahami tujuan kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi tujuan kepada anggota oleh pengurus atau oleh anggota kelompok belum optimal.
Anggota
umumnya sadar bahwa tujuan mereka bergabung dengan kelompok untuk mendapatkan bantuan modal usaha.
Lima
puluh
satu
persen
anggota
kelompok
menyatakan
struktur
kelompoknya baik, dan 35 persen anggota kelompok menyatakan struktur kelompoknya tidak baik (buruk). Sebagian anggota menilai bahwa struktur kelompok perlu diperbaiki, terutama dalam hal peremajaan dan atau penyegaran kepengurusan kelompok.
Lima puluh tiga persen angggota kelompok menyatakan fungsi tugas kelompok berjalan baik, 34,5 persen angggota kelompok menyatakan fungsi tugas kelompok tidak jalan.
Hal ini dapat dipahami karena sebagian
anggota tersebut menyatakan bahwa fungsi tugas kelompok berjalan dalam
128 pengurusan pinjaman modal dari perbankan, sementara fungsi tugas yang lain kurang diperhatikan. Tabel 40. Dinamika kelompok sasaran pemberdayaan Unsur dinamika
Tujuan
Klasifikasi
Tidak paham Cukp paham Paham Sub Total Struktur Buruk Cukup Baik Sub Total Fungsi tugas Tidak jalan Kadang Jalan terus Sub Total Pembinaan Tidak jalan Kadang Jalan terus Sub Total Kekompakan Tdk kompak Ckp kompak Kompak Sub Total Ketegangan Kurang Cukup Baik Sub Total Efektivitas Kurang Cukup Baik Sub Total Kepemimpinan Buruk Cukup Baik Sub Total Kepuasan Kurang puas Cukup puas Puas Total
Sekitar Sekitar Gabungan perusahaan A perusahaan B FreFreFrekuensi Persen kuensi Persen kuensi Persen 69
47,9
2
3,6
72
36,0 26,5
17
11,8
37
66,0
53
58
40,3
17
30,4
75
37,5
144
100,0
200
100,0
47,2
56 2
100,0
68
3,6
70
35,0
15
10,4
13
23,2
28
14,0
61
42,4
41
73,2
102
51,0
144 67
100,0
56
100,0
200
100,0
46,5
2
3,6
69
34,5
10
6,9
15
26,8
25
12,5 53,0
67
46,5
39
69,6
106
144
100,0
56
100,0
200
100,0
68
47,2
3
5,4
73
36,5
8
5,5
5
8,9
13
6,5
68
47,2
48
85,7
114
57,0
144
100,0
100,0
200
100,0
50
34,7
56 1
1,8
51
25,5 22,0
30
20,8
14
25,0
44
60
44,5
41
73,2
105
52,5
144
100,0
56
100,0
200
100,0
49
34,0
4
7,1
53
26,5
52
36,1
21
37,5
73
36,5
43
29,9
31
55,4
74
37,0
144
100,0
56
100,0
200
100,0
72
50,0
15
26,8
87
43,5
28
19,4
24 17
42,9
52
26,0
30,4
61
30,5
100,0
200
100,0
1,8
68
34,0
12,5
10
5,0
44
30,6
144
100,0
67
46,5
56 1
3
2,1
7
74
51,4
48
85,7
122
61,0
144
100,0
56
100,0
200
100,0
66
45,8
4
7,2
70
35,0 13,5
15
10,4
12
21,4
27
63
43,8
40
71,4
103
51,5
144
100,0
56
100,0
200
100,0
129
Lima puluh tujuh persen anggota kelompok menyatakan pembinaan kelompok terhadap anggota berjalan terus, 36,5 persen angggota kelompok menyatakan pembinaan kelompok tidak jalan.
Hal ini dapat dipahami
karena bila ada anggota baru masuk menjadi anggota kelompok tidak memperoleh pembinaan sebagaimana mestinya, mereka dibiarkan untuk mau aktif mencari informasi kepada anggota lain yang sudah lebih dulu bergabung dalam kelompok.
Lima puluh dua setengah persen anggota menyatakan kelompoknya masih kompak, 25,5 persen angggota kelompok menyatakan kelompoknya tidak kompak.
Kekurangkompakan
kelompok
dirasakan
saat
mereka
menghadapi kendala modal usaha dan berhadapan dengan pihak perusahaan mitra dalam penentuan harga jual hasil produksi.
Sebagian
anggota kelompok ternak menyerahkan pada perusahaan dalam penentuan harga jual sapi potongnya.
Tiga puluh enam setengah
sampai 37,0 persen anggota menyatakan
ketegangan kelompoknya cukup dan baik,
ketegangan yang ada
menyebabkan sebagian besar anggota mau peduli terhadap perkembangan kelompok.
Empat puluh tiga setengah persen anggota menyatakan efektivitas kelompok dalam mencapai tujuan masih kurang, dan 43,5 persen angggota kelompok menyatakan kelompoknya tidak efektif dalam mencapai tujuan bersama.
Bila hal ini dibiarkan dan tidak mendapatkan perhatian dari
pengurus dan anggota yang lain, dapat menjadi penyebab anggota tersebut keluar dari keanggotaan kelompoknya.
Enam puluh satu persen anggota menyatakan kepemimpinan kelompok berjalan baik dan 34 persen anggota menyatakan kepemimpinan kelompok tidak baik. Pengurus kelompok harus lebih transparan dan akomodatif terhadap keinginan anggota, sebab hal ini dapat berdampak negatif pada komitmen anggota pada kelompok.
Lima puluh satu setengah persen anggota menyatakan puas terhadap pencapaian kelompok selama ini, dan 35,0 persen angggota kelompok menyatakan tidak puas terhadap pencapaian kelompok.
Ketidakpuasan
anggota dapat menjadi pemicu retaknya keutuhan kelompok. Secara keseluruhan, kelompok-kelompok masyarakat yang dibina dalam program CSR perusahaan di Provinsi Lampung cukup dinamis, namun demikian
130 masih terdapat beberapa indikator dinamika kelompok yang perlu diperbaiki atau ditingkatkan.
Efektivitas kelompok dirasakan oleh kelompok masih rendah
sehingga pengurus kelompok bersama anggota harus berusaha meningkatkan kinerjanya melalui peningkatan kerjasama antar anggota dalam kegiatan usaha ekonomi produktif yang dijalankan. Pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat oleh Perusahaan Gambaran pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi masyarakat sebagai implementasi CSR oleh perusahaan di Provinsi Lampung diwakili oleh paparan pelaksanaan program CSR dua perusahaan terpilih berikut ini. Pemberdayaan Masyarakat oleh PT. GGP Pelaksanaan tanggungjawab sosial PT. GGP masih lebih terfokus pada karyawan perusahaan. Tanggungjawab sosial perusahaan kepada karyawan mengacu pada SA 8000. Penerapan SA 8000 (Social Accountability/ tanggung jawab sosial) adalah suatu sistem manajemen yang mengatur pertanggungjawaban sosial perusahaan terhadap karyawannya. Sistem ini dibuat sebagai tindak lanjut terhadap Konvensi ILO tentang “Human Right” (Hak asasi manusia). Penerapan SA 8000 dilatarbelakangi dua hal berikut. Pertama, permintaan pembelian produk perusahaan tersebut untuk menerapkan sistem SA 8000. Kedua, prinsip persyaratan SA 8000 sudah sejak lama diterapkan pada perusahaan tersebut tetapi belum terkoordinir dan terdokumentasikan sehingga dengan proses Sertifikasi SA 8000, penerapan tentang hal-hal yang terkait ketenagakerjaan di perusahaan menjadi tersistem dengan baik. Perkembangan penerapan SA 8000 di perusahaan ini:
Sistem SA 8000 diperoleh pertama kali pada tanggal 15 Oktober 2001.
Secara periodik (6 bulan sekali) sistem ini diaudit oleh BVQI untuk menjamin konsistensi penerapan SA 8000.
Re-sertifikasi atau sertifikasi ulang telah dilakukan pada tanggal 21-23 Februari 2005 dan direkomendasikan bahwa perusahaan tersebut berhak mendapatkan kembali Sertifikat SA 8000. Sistem SA 8000 memuat 9 klausul atau persyaratan yaitu :
(1) Pekerja di bawah umur (Child Labor). (2) Pekerja paksa (Force Labor).
131 (3) Keselamatan & kesehatan kerja (Occupational Safe & Healthy). (4) Kebebasan berorganisasi dan berserikat (Freedom of Associate & Right to Collective Bargaining). (5) Diskriminasi (Discrimination). (6) Tindakan kedisiplinan (Disciplinary Practice). (7) Jam kerja (Working hours). (8) Kompensasi (Compensation). (9) Sistem management (Management System). Kepedulian perusahaan terhadap masyarakat sekitarnya diwujudkan dalam bentuk kegiatan program pengembangan masyarakat (Community Development).
Program ini secara khusus ditangani oleh Community Relation
Department (CRD) yang bertanggungjawab langsung pada Manajer. Meskipun kesepakatan ISO 26000 belum tercapai, namun beberapa kegiatan pengembangan masyarakat sekitar perusahaan telah dilakukan.
Program pemberda-
yaan yang telah dilakukan sejalan dengan semangat pasal 74 Undang-undang Peseroan Terbatas. Tanggungjawab sosial perusahaan dalam bentuk program pemberdayaan masyarakat yang telah dijalankan oleh perusahan antara lain: (1) Training/Pelatihan/Kursus (a) Training budidaya sapi potong. (b) Training budidaya ikan air tawar. (c) Training las, tambal ban dan sopir (driver). (d) Training pembuatan nata de coco. (e) Training 5 R (ringkas, rapi, resik, rawat, rajin). (f) Pelatihan Khotib Jum’at. (g) Pelatihan mengurus jenazah. (h) Kursus menjahit ibu-ibu PKK. (2) Kemitraan dengan masyarakat sekitar: (a) Kemitraan PIR Sapi Potong. (b) Kemitraan PIR Ubikayu. (c) Modal bergulir. (d) Kemitraan Jahitan. (e) Kemitraan Pallet Kayu. (f) Kemitraan Penambangan Pasir. (g) Kemitraan Pembuatan Batu bata.
132 (3) Pendidikan Masyarakat: (a) Subsidi untuk guru honor pada Yayasan Bustanul Ulum, Kecubung Jaya, Lempuyang Bandar. (b) Kerjasama dengan Pemda Lampung Tengah tentang pendirian TK, SD, SMP Negeri unggulan di Kabupaten Lampung Tengah. (c) Beasiswa murid, terutama murid di SD dan SLTP Bustanul Ulum. (d) Bantuan sarana fisik untuk sekolah di luar perusahaan . (e) Rehabilitasi dan pembangunan gedung sekolah di luar perusahaan . (f) Kerjasama dengan Pondok Pesantren disekitar perusahaan dalam hal pembinaan ahlak karyawan dan masyarakat di sekitar perusahaan. (g) Bantuan biaya awal masuk perguruan tinggi negeri di Jawa bagi anak kandung atau yang menjadi tanggungan karyawannya. (4) Bantuan Sosial: (a) Bantuan air bersih bagi masyarakat sekitar perusahaan, terutama di musim kemarau. (b) Bantuan perbaikan jalan kampung. (c) Bantuan peringatan hari besar nasional dan keagamaan. (d) Bantuan sumur bor ke masyarakat. (e) Sumbangan untuk korban bencana alam. (f) Bantuan biaya pengobatan (operasi) untuk masyarakat tidak mampu. (g) Khitanan massal bagi anak-anak desa sekitar perusahaan. (h) Bantuan bibit melinjo dan jengkol. (i) Bantuan bibit ubikayu unggul. (j) Bantuan bibit rumput gajah dan bibit bambu. (k) Bantuan perbaikan jalan lintas timur dan pengaspalan jalan kampung. Secara khusus, menurut pihak manajemen perusahaan dalam pelaksanaan kemitraan agribisnis sapi potong dengan masyarakat menghadapi beberapa hambatan dan tantangan berikut: (1) Faktor ketersediaan bakalan. Sampai saat ini sapi lokal belum siap untuk mengisi sapi bakalan baik dari segi kualitas maupun kuantitas sehingga masih memerlukan impor sapi bakalan dari Australia. (2) Faktor ekonomi. Tingkat ekonomi peternak yang umumnya mereka adalah petani tanaman pangan mengalami keterbatasan modal, terutama modal awal untuk beralih dari usaha tanaman pangan ke usaha ternak
133 penggemukan sapi. Mereka sangat memerlukan bantuan modal, sehingga langkah kemitraan dianggap sebagai solusi yang tepat. (3) Faktor SDM peternakan. Latar belakang peternak sebagai petani tanaman pangan dan sebagian mereka memelihara sapi pekerja sebagai usaha sambilan atau sebagai tabungan. Mereka belum berpikir ekonomis, sehingga bila mereka beralih ke usaha ternak penggemukan sapi masih memerlukan bimbingan yang intensif agar mereka dapat berusaha dengan lebih intensif dan efisien. (4) Faktor kebijakan. Kebijakan perusahaan sebagai perusahaan inti terkadang terbebani dengan adanya kewajiban menampung hasil peternak, sementara perusahaan sendiri memiliki anak perusahaan yang bergerak di bidang penggemukan sapi. Sebagai dampaknya peternak mitra dapat terabaikan atau kurang diperhatikan, atau bahkan menjadi korban kebijakan perusahaan. Demikian halnya dengan kebijakan pemerintah tentang kebijakan impor sapi bakalan yang membebani peternak, terutama peternak kecil. (5) Daya beli masyarakat yang menurun. Daya beli masyarakat yang menurun akibat krisis yang berkepanjangan juga berimbas pada peternak. Mereka tidak lagi mampu membeli konsentrat untuk sapinya, akibatnya produktivitas menurun. (6) Beroperasinya RPH tradisional yang illegal.
Rumah pemotongan hewan
yang beroperasi secara ilegal dapat menimbulkan masalah lingkungan, namun demikian secara yuridis mereka juga melawan hukum, karena tidak memiliki dokumen perijinan yang sah.
RPH tersebut dapat melakukan
pemotongan hewan yang kondisinya tidak terkontrol, misalnya apakah hewan yang dipotong benar-benar sehat atau terbebas dari penyakit tertentu. (7) Faktor lain-lain. Faktor tersebut misalnya masalah etos kerja atau budaya masyarakat peternak
Pada awalnya program kemitraan sapi potong dilaku-
kan ke beberapa kelompok, termasuk masyarakat kampung asli, namun dalam perjalanan waktu, saat ini kelompok mitra yang masih berjalan adalah di daerah warga pendatang atau transmigran. Hal ini terkait dengan etos kerja masyarakat pendatang yang lebih ulet dalam berusaha dan lebih baik bekerjasama dalam kelompok. Secara keseluruhan pendanaan kegiatan pengembangan masyarakat oleh perusahaan tersebut setiap tahunnya dapat mencapai dua milyar rupiah. Semua program pelatihan dan kemitraan yang dilaksanakan oleh perusahaan
134 dimaksudkan agar ekonomi masyarakat sekitar dapat meningkat, yang pada akhirnya kelangsungan perusahaan dapat terjaga. Hal ini sesuai dengan filosofi perusahaan yakni ”pagari perusahaan dengan mangkok”, yang maknanya lingkungan atau sekeliling perusahaan tidak perlu dipagari dengan tembok tinggi atau kawat berduri, namun masyarakat sekitar diupayakan terpenuhi kebutuhan ekonominya sehingga mereka tidak akan masuk dan mengganggu aktivitas perusahaan. Bila keberadaan perusahaan dapat membantu ekonomi masyarakat sekitar, dengan sendirinya mereka juga akan menjaga keamanan dan kelangsungan perusahaan. Lokasi perusahaan ini cukup dekat perusahaan yang bergerak di bidang agroindustri gula, bahkan ada dua kampung yang berbatasan langsung dengan dua perusahaan ini. Perusahaan tersebut juga melaksanakan program CSR meskipun dalam jenis dan ragam program kegiatan yang berbeda. Sebagai tambahan informasi, program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan agroindustri gula tersebut disajikan pada Lampiran 3. Pemberdayaan Masyarakat oleh Perusahaan Pengolahan Kopi Program pemberdayaan masyarakat oleh perusahaan ini sebenarnya didasari pada kepedulian perusahaan untuk berpartisipasi dalam mengatasi isu pemanasan global, sehingga masyarakat yang diberdayakan diarahkan pada masyarakat yang selama ini terlibat dalam kegiatan yang membahayakan lingkungan seperti perambah kawasan hutan lindung. Oleh karenanya program ini diberi nama ”Green Initiative”. Dengan program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan lindung diharapkan mereka memiliki aktivitas ekonomi yang ketergantungannya pada hutan semakin berkurang, sehingga kawasan hutan lindung dapat dilestarikan.
Program pemberdayaan ini sudah dimulai sejak
pertengahan tahun 2005 dan untuk tahap pertama direncanakan berjalan selama lima tahun, setelah dievaluasi akan dipertimbangkan kelanjutannya. Pemberdayaan masyarakat oleh perusahaan dipercayakan kepada pihak ketiga yakni dari perguruan tinggi.
Dari hasil participatory rural appraisal,
penyebab utama masyarakat merambah kawasan hutan karena alasan ekonomi, sehingga program pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan memberikan pengetahuan
dan
keterampilan
yang
dapat
menambah
kesibukan
dan
pendapatan ekonomi rumah tangga. Masyarakat diberi bekal pengetahuan dan keterampilan usaha budidaya ikan lele, budidaya jamur tiram, budidaya tanaman
135 hortikultura khususnya tanaman hias, serta pembuatan bibit dan penanaman damar mata kucing (Shorea javanica). Pendampingan masyarakat oleh pihak ketiga mengarahkan agar masyarakat membentuk kelompok-kelompok. Dengan demikian masyarakat juga diajarkan bagaimana mereka bekerja bersama-sama dalam satu kelompok. Penentuan kelompok target dibicarakan bersama-sama antara pedamping dengan masyarakat, sehingga tidak menimbulkan kecemburuan da kecurigaan antar kelompok.
Kelompok budidaya lele disepakati diperuntukkan bagi
kelompok pemuda dan kelompok tani dewasa. Budidaya jamur dan tanaman hias diperuntukkan bagi kelompok wanita (PKK), sementara itu kelompok budidaya kakao diperuntukkan bagi kelompok tani dewasa yang menggarap lahan kawasan Youth Camp Tahura Wan Abdul Rahman. Perusahaan,
melalui
asosiasi
karyawannya
memberikan
jaminan
terhadap pemasaran hasil produksi lele dan jamur tiram yang dihasilkan oleh kelompok binaan. Namun, karena kebutuhan pasar terhadap kedua komoditas cukup besar, sampai saat ini produksi kelompok sudah habis dibeli konsumen masyarakat sekitar, bahkan beberapa konsumen harus memesan untuk dapat membeli jamur tiram produksi kelompok ibu-ibu tersebut. Program pemberdayaan yang dilakukan oleh perusahaan pengolahan kopi di Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran secara serius ingin membantu peningkatan ekonomi masyarakat petani (perambah hutan lindung), perusahaan tidak mengambil keuntungan sedikitpun dari hasil binaannya. Hal ini disebabkan, keberadaan mereka tidak tergantung pada produksi kopi petani yang dibina. Bahan baku kopi yang diolah di pabrik perusahaan tersebut berasal dari daerah lain (kabupaten lain: Tanggamus, Lampung Utara, dan Lampung Barat) di Provinsi Lampung. Program CSR yang bertujuan memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar seharusnya mempertimbangkan pengalaman berusaha dan atau kebiasaan masyarakat setempat. Program pemberdayaan masyarakat oleh perusahaan diuraikan secara rinci berikut: (1) Jenis-jenis Program. Belum semua perusahaan memiliki dan atau menjalankan program pemberdayaan dengan baik. Program belum atau tidak disusun bersama masyarakat sasaran karena hanya melibatkan beberapa personil tokoh masyarakat atau beberapa ketua kelompok tani, serta tidak disosialisasikan dengan baik. Akibatnya, muncul berbagai tuntutan dari masyarakat
136 sekitar terhadap perusahaan agar lebih peduli dan memperhatikan masyarakat sekitar (”masyarakat asli setempat”). Namun, seringkali tuntutan tersebut ditanggapi dengan penyelesaian politis dan memanfaatkan aparat penegak hukum seperti “oknum TNI atau polisi” untuk meredam keinginan (”tuntutan”) masyarakat. Jenis program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh perusahaan agroindustri di Provinsi Lampung dapat dikatakan sangat terbatas. Di lokasi sampel berbagai jenis program yang mengatasnamakan pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan antara lain bantuan sosial kepada masyarakat sekitar. Bantuan sosial tersebut antara lain: bantuan fisik bagi pembangunan sarana prasarana ibadah (masjid / mushalla, gereja, dan pura); bantuan bagi pembangunan balai kampung/ balai desa, bantuan pembangunan atau rehab gedung/lokal sekolah, bantuan pembangunan gapura, bantuan pemasangan tiang lampu penerangan jalan, pelebaran, perbaikan, dan pengaspalan jalan kampung, pembuatan pagar jalan, perbaikan jembatan, pembangunan kantor posyandu, pembuatan sumur bor, pembuatan papan nama kantor kampung, dan bantuan bibit bambu dan melinjo. Jenis program terakhir dapat dikategorikan sebagai bentuk bantuan dalam meningkatkan pendapatan atau tingkat ekonomi masyarakat. Jenis program pemberdayaan ekonomi masyarakat yang cukup terprogram adalah kemitraan penggemukan sapi potong, kemitraan agribisnis ubikayu, pembinaan kelompok budidaya ikan air tawar, kemitraan jahit, pembuatan aneka kue, serta pembinaan kelompok budidaya jamur tiram. Selain program tersebut, semenjak tahun 2006 beberapa perusahaan memberikan insentif kepada aparat kampung yang termasuk ring I (berbatasan langsung dengan areal kebun perusahaan).
Secara umum insentif yang
diberikan kepada aparat kampung diberikan kepada kepala kampung, sekretaris kampung dan empat kepala urusan, yakni sebesar 50 ribu rupiah per bulan, keculai untuk kepala kampung sebesar 150 ribu rupiah per bulan. Insentif tersebut diterimakan setiap tiga bulan.
Hal ini sejalan dengan
kebijakan pemerintah Kabupaten Lampung Tengah yang memberikan insentif kepada semua aparat kampung.
Bagi beberapa kampung, karena lokasi
kampung berbatasan langsung dengan lebih dari satu perusahaan, sehingga aparat kampung mendapatkan insentif dari dua perusahaan.
137 Secara rinci, jenis kegiatan CSR yang telah dilaksanakan oleh perusahaan ini adalah: (a) Kemitraan budidaya ubikayu, sapi potong, dan budidaya pepaya. (b) Pemberian modal bergulir dengan bunga 0 (nol) persen untuk kelompok pembuat batu bata, kelompok budidaya ikan air tawar, kelompok menjahit ibu-ibu PKK, para pedagang sayur, pedagang kaki lima,tukang becak, usaha meubel, jasa bengkel motor, usaha penggalian pasir oleh Karang taruna Terbanggi Besar, dan sebagainya. (c) Kemitraan jahitan untuk ibu-ibu PKK di empat kampung sekitar perusahaan. (d) Sosialisasi tanggap darurat. (e) Pemberian honor atau insentif untuk guru di sekolah swasta dan negeri di Kampung Lempuyang Bandar. (f) Perbaikan jalan kampung, jembatan, dan gorong-goorong. (g) Pembangunan dan perbaikan sarana ibadah, sekolah balai desa, gapura desa, pagar jalan, tiang lampu penerangan jalan, dan sebagainya. (h) Pemberian air bersih kepada masyarakat sekitar saat musim kemarau. (i) Bantuan untuk korban bencana alam lokal maupun nasional. (j) Kursus keterampilan seperti menjahit, budidaya ikan air tawar, membuat aneka kue, membuat nata de coco, prosedur merawat jenazah wanita, pelatihan khotib jumat, mengelas, latihan mengemudi, dan sebagainya. (k) Melaksanakan khitanan masal dan bantuan pengurusan nikah gratis. (l) Bantuan biaya pembuatan KTP, SIM, Kartu Keluarga, dan surat nikah. (m) Seminar kesehatan untuk karyawan dan masyarakat sekitar. (n) Bantuan unit pemadam kebakaran bagi warga yang mendapat musibah kebakaran. (o) Program lingkungan bersih bersama Pemerintah Kabupaten Lampung Tngah dalam ”Komite Peduli Lingkungan Way Dawak”. (p) Melakukan penangkaran rusa air di lingkungan perusahaan. (q) Pelayanan magang atau kuliah praktik bagi pelajar, mahasiswa, dan peneliti. (r) Penangkaran aneka jenis bambu terlengkap tingkat nasional yang pernah mendapatkan penghargaan KEHATI Award. (s) Aktif dalam program PROPER dari Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia.
138 (2) Aspek Pemberdayaan. Dalam implementasi pasal 74 UU Nomor 40 Tahun 2007, kepedulian perusahaan terhadap masyarakat di sekitarnya meliputi tanggungjawab di bidang sosial, lingkungan hidup, ekonomi, budaya dan sebagainya. Mulai tahun 2001 perusahaan telah memiliki departemen yang menangani
CSR,
yang
awalnya
diberi
nama
Society
Development
Department yang kemudian diganti menjadi Corporate Relation Department yang dikepalai oleh seorang manager.
Dalam menjalankan program-
programnya, mereka memiliki falsafah ”Pagari perusahaan dengan mangkok, jangan dengan tembok” dan ”lebih baik memberikan kail daripada memberi ikan”.
Dari falsafah tersebut dapat dipahami bahwa perusahaan sudah
memiliki komitmen yang tinggi dalam memberdayakan masyarakat sekitar, terutama melalui upaya peningkatan sumberdaya manusianya. Program pemberdayaan yang dilakukan oleh perusahaan agroindustri di Provinsi Lampung secara umum masih bersifat karitatif, artinya program pemberdayaan yang dilakukan dengan memberikan bantuan kurang menyentuh aspek perubahan perilaku. Program bantuan air bersih sematamata
dilakukan
karena
aspek
kemanusiaan,
saat
musim
kemarau
masyarakat sekitar perusahaan umumnya kesulitan air bersih. Di lain pihak perusahaan memiliki kemampuan mengeksploitasi sumber air bersih dengan membuat sumur bor dari air dalam (kedalaman ± 300 meter). Bantuan sosial juga diberikan perusahaan kepada masyarakat sekitar untuk pembangunan sarana prasarana ibadah seperti masjid, musholla, gereja, dan pura. Bantuan bagi sektor pendidikan berupa pembangunan dan rehab lokal atau gedung sekolah merupakan program yang cukup bagus, sebab bantuan ini sangat
bermafaat
bagi
peningkatan
masyarakat sekitar perusahaan.
kualitas
sumberdaya
manusia
Bantuan untuk sektor pendidikan juga
diberikan dalam bentuk insentif gaji guru pada Yayasan Bustanul Ulum, SD Negeri Dwi Karya, dan Yayasan Xaverius di Kampung Lempuyang Bandar mencapai 132,4 juta rupiah per bulan. Jika dikalikan, jumlah insentif bagi guru yang diberikan oleh perusahaan mencapai 1,588 milyar rupiah dalam setahun. Selain itu fasilitas transportasi berupa bis sekolah juga disediakan bagi murid SD dan SMP Bustanul Ulum. Bantuan prasarana pendidikan juga diberikan kepada pondok pesantren terdekat di Kampung Lempuyang Bandar dalam bentuk material seperti semen, batu bata, dan pengerasan jalan kampung menuju lokasi pondok pesantren tersebut.
139 (3) Kualitas Program. Kualitas program pemberdayaan yang dilaksanakan oleh perusahaan agribisnis di Provinsi Lampung berdasarkan penilaian dari masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, kompatibilitas, dan keberlanjutan program disajikan dalam bahasan berikut. Masyarakat sekitar perusahaan menilai bahwa perencanaan program CSR selama ini masih perlu ditingkatkan, sebab masih ada 17 persen masyarakat yang menyatakan bahwa kualitas perencanaan selama ini masih buruk, dan 45 persen menyatakan sedang (Tabel 41).
Perencanaan program CSR
selama ini disusun oleh pihak perusahaan dan atau bersama mitra, serta kurang melibatkan masyarakat sasaran. Tabel 41. Persepsi Sampel terhadap Kualitas Perencanaan Program CSR Perusahaan Kualitas Perencanaan
Sekitar Perusahaan A Frekuensi Persen
Sekitar Perusahaan B
Gabungan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen
Rendah
31
21,5
3
5,4
34
17,0
Sedang
58
40,3
32
57,1
90
45,0
Tinggi
55
38,2
21
37,5
76
38,0
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Bila diperbandingkan, kualitas perencanaan program CSR perusahaan A relatif lebih rendah daripada kualitas perencanaan perusahaan B. Hal ini ditunjukkan adanya 21,5 persen masyarakat yang menilai rendah terhadap kualitas perencanaan program perusahaan A (Tabel 41). Kualitas pelaksanaan program selama ini mayoritas sampel (62,5 persen) menilai pelaksanaan belum baik, bahkan 12 persen masyarakat menilai pelaksanaan program masih rendah (Tabel 42).
Pelaksanaan program
belum menyentuh semua lapisan dan kelompok masyarakat, dan belum menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat sekitar.
Masyarakat di
kedua wilayah sekitar perusahaan menilai kualitas pelaksanaan program CSR perusahaan hampir sama.
Pada intinya, kedua perusahaan mesti
meningkatkan kualitas pelaksanaan program CSR di masa yang akan datang.
140 Tabel 42. Persepsi Sampel terhadap Kualitas Pelaksanaan Program CSR Perusahaan Kualitas Pelaksanaan
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Gabungan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen Rendah
22
15,3
2
3,6
24
12,0
Sedang
92
63,9
33
58,9
125
62,5
Tinggi
30
20,8
21
37,5
51
25,5
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Kompatibilitas merujuk pada ada tidaknya keterkaitan sesuatu inovasi dengan inovasi sebelumnya (Mosher, 1984) atau teknologi yang sudah ada atau dikuasai seseorang. Bila suatu program CSR perusahaan berusaha menye-barluaskan inovasi baru kepada masyarakat sekitar, akan lebih mudah diterima apabila inovasi tersebut memiliki kompatibilitas CSR
yang
bertujuan
memberdayakan
ekonomi
masyarakat
Program sekitar
seharusnya mempertimbangkan pengalaman berusaha dan atau kebiasaan masyarakat setempat, karena keterkaitan (kompatibilitas) program dapat membantu keberhasilan program mencapai tujuan. Terdapat 21,5 persen sampel menyatakan program pemberdayaan yang dilakukan memiliki kompatibilitas yang rendah (Tabel 43). Tabel 43. Persepsi Sampel terhadap Kompatibilitas Program CSR Perusahaan Kompatibiltas program
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Gabungan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen Rendah
18
12,5
25
44,6
43
21,5
Sedang
26
18,1
25
44,6
51
25,5
Tinggi
100
69,4
6
10,7
106
53,0
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Dari Tabel 43 juga menunjukkan bahwa program CSR perusahaan A memiliki kompatibilas yang lebih baik (69,4 persen) dari pada program perusahaan B (10,9 persen). Program perusahaan A memberdayakan petani ubikayu dan peternak sapi lebih dinilai cukup pas dengan penguasaan teknologi masyarakat sekitar, karena mereka memiliki latar belakang usaha ubikayu
141 dan beternak sapi pekerja. Peralihan teknologi dari beternak sapi pekerja dengan penggemukan sapi tidak terlalu sulit, sebab dasar-dasar teknologi beternak sapi hampir sama. Program perusahaan B yang memperkenalkan teknologi budidaya lele dan jamur tiram relatif lebih sulit, sebab masyarakat sasaran tidak memliki latar belakang pengalaman pada usaha tersebut. Hal ini dapat dijumpai pada masyarakat Desa Hurun yang memiliki mata pencaharian sebagai petani kebun diperkenalkan dengan teknologi budidaya lele dan budidaya jamur tiram. Demikian halnya pada masyarakat Kampung Terbanggi Besar diperkenalkan dengan usaha menjahit pakaian, ternyata ada dua orang yang sebelumnya memiliki keterampilan atau berprofesi sebagai penjahit pakaian.
Keterampilan menjahit sedikit banyak terkait
dengan bakat yang dimiliki oleh pelaku, hal ini dapat dilihat dari kualitas jahitan mereka yang kurang rapi. Agar kualitas order jahitan tidak dikomplain oleh perusahaan, mereka yang jahitannya kurang rapi tidak diberi jatah jahitan oleh kelompoknya.
Dengan kata lain, kemitraan jahitan hanya
berlanjut bagi anggota PKK yang memiliki keterampilan menjahit cukup baik. Keberlanjutan program membawa konsekuensi pada pembiayaan. Apabila anggaran program dari perusahaan mulai seret, kelangsungan program akan berhenti. Masih terdapat 8,5 persen sampel menyatakan bahwa program pemberdayaan ekonomi oleh perusahaan tidak berlanjut, dan 24 persen menyatakan kadang-kadang berjalan (Tabel 44).
Hal ini dapat dirasakan
oleh kelompok mitra jahit di Kampung Terbanggi Besar dan Tanjung Anom, mereka bahkan sudah tidak lagi mendapatkan pesanan (order) jahitan pakaian dari perusahaan. Secara terpisah, keberlanjutan program CSR di sekitar perusahaan B lebih baik (85,7 persen) dibanding keberlanjutan program perusahaan A (60,4 persen).
Namun, pada masyarakat sekitar perusahaan A sebanyak 31,3
persen menyatakan bahwa program CSR kadang-kadang berlanjut. Hal ini disebabkan
masyarakat
memiliki
pengertian
bahwa
program
CSR
perusahaan identik dengan ada tidaknya pasokan pakan ternak yang berupa kulit nenas (limbah perusahaan) dan ada tidaknya pinjaman modal kepada peternak yang berupa bakalan sapi.
Dua hal ini memang belum dapat
menjangkau semua peternak, sehingga terdapat anggota kelompok yang mendapatkan pasokan kulit nenas dan atau bakalan sapi yang tidak kontinyu.
142 Tabel 44. Persepsi Sampel terhadap Keberlanjutan Program CSR Perusahaan Keberlanjutan program
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Frekuensi
Frekuensi
Persen
Persen
Gabungan Frekuensi
Persen
Tidak
12
8,3
5
8,9
17
8,5
Kadangkadang
45
31,3
3
5,4
48
24,0
Berlanjut
87
60,4
48
85,7
135
67,5
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Total
Fasilitator Program Pemberdayaan Fasilitator program pemberdayaan oleh perusahaan agroindustri di Provinsi Lampung berasal dari internal perusahaan dan atau pihak ketiga yang berasal dari perguruan tinggi. Selama ini perusahaan agroindustri nenas masih mengandalkan staf karyawan perusahaan dari Corporate Relation Department (CRD) yang memiliki tugas khusus dalam menjalin komunikasi dan kerjasama perusahaan dengan masyarakat sekitar. Dalam pelaksanaan tugasnya mereka selalu menawarkan program kepada masyarakat sesuai dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat, meskipun tidak dapat dilepaskan dengan misi bisnis perusahaan yakni mengambil keuntungan atau manfaat dari program tersebut. Untuk menunjang keberhasilan program, kompetensi fasilitator merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi. Kompetensi fasilitator diukur dari kemampuan berkomunikasi, kemampuan mengajarkan materi dan melakukan pendampingan, serta kemampuan memotivasi anggota kelompok masyarakat. Kemampuan berkomunikasi fasilitator dari perusahaan A lebih baik daripada fasilitator perusahaan B (Tabel 45). Hal tersebut menunjukkan bahwa fasilitator perusahaan yang berasal dari karyawan atau petugas perusahaan memiliki
kemampuan
berkomunikasi
lebih
baik
dibanding-kan
fasilitator
perusahaan B yang berasal dari mahasiswa atau alumni perguruan tinggi pelaksana. Secara kebetulan, fasilitator perusahaan A juga bertempat tinggal di kampung sekitar perusahaan sehingga memudahkan mereka dalam menjalin komunikasi dengan sesama anggota masyarakat lainnya. Fasilitator perusahaan B yang berasal dari mahasiswa belum cukup pengalaman dan belum mampu bersosialisasi dengan masyarakat secara intensif.
143 Tabel 45. Penilaian Sampel terhadap Kemampuan Berkomunikasi dari Fasilitator Kemampuan berkomunikasi
Sekitar Perusahaan A Frekuensi
Sekitar Perusahaan B
Persen
Frekuensi
Persen
Gabungan Frekuensi
Persen
Rendah
11
7,6
1
1,8
12
6,0
Sedang
49
34,0
23
41,0
72
36,0
Tinggi
84
58,3
32
22,2
116
58,0
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Kemampuan fasilitator perusahaan A maupun perusahaan B dalam mengajarkan materi cukup tinggi (Tabel 46), hal ini menunjukkan bahwa peran fasilitator program CSR sebagai guru bagi masyarakat dalam mengajarkan ilmu dan teknologi yang dibutuhkan masyarakat masih dibutuhkan masyarakat. Tabel 46. Penilaian Sampel terhadap Kemampuan Mengajar dari Fasilitator Kemampuan Mengajar
Sekitar Perusahaan A Frekuensi Persen
Sekitar Perusahaan B
Gabungan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen
Rendah
11
7,6
4
7,1
15
7,5
Sedang
42
29,2
24
42,9
66
33,0
Tinggi
91
63,2
28
50
119
59,5
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Kemampuan fasilitator dari dua perusahaan dalam memotivasi anggota kelompok untuk lebih maju cukup tinggi (64,5 persen), meskipun masih terdapat masyarakat yang menilai mereka tidak memiliki kemampuan memotivasi (Tabel 47). Tabel 47. Penilaian Sampel terhadap Kemampuan Memotivasi dari Fasilitator Kemampuan memotivasi
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Gabungan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen Rendah
12
8,3
1
1,8
13
6,5
Sedang
41
28,5
17
30,4
58
29,0
Tinggi
91
63,2
38
67,8
129
64,5
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
144 Dari tiga aspek indikator tersebut bila digabungkan, maka sebaran penilaian masyarakat terhadap kompetensi fasilitator disajikan pada Tabel 48. Secara umum penilaian sampel terhadap kompetensi fasilitator sudah baik. Tabel 48. Kompetensi Fasilitator Kompetensi
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Frekuensi
Frekuensi
Persen
Persen
Gabungan Frekuensi
Persen
Rendah
12
8,3
1
1,8
13
6,5
Sedang
38
26,4
20
35,7
58
29,0
Tinggi
94
65,3
35
62,5
129
64,5
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Dari Tabel 48 diketahui bahwa kompetensi fasilitator program pemberdayaan kedua perusahaan relatif sama, dan kompetensi fasilitator termasuk tinggi. Hal ini menunjukkan kompetensi fasilitator yang berasal dari karyawan perusahaan A dan kompetensi fasilitator dari perguruan tinggi yang dipercaya oleh perusahaan B tidak jauh berbeda. Perusahaan A yang bergerak di bidang agroindustri tapioka dan memiliki anak perusahaan penggemukan sapi jelas memiliki kompetensi yang tidak diragukan.
Perusahaan B yang bergerak di
bidang agroindustri kopi mempercayakan tugas fasilitator pada perguruan tinggi yang memiliki sumberdaya di bidang pertanian (jamur tiram) dan perikanan (budidaya lele).
Faktor-faktor Pendukung Program Keberhasilan suatu program akan sangat ditentukan oleh ketersediaan faktor-faktor pendukungnya.
Dalam melaksanakan usaha ekonomi produktif
apapun ketersediaan sarana prasarana produksi merupakan faktor utama. Sebagai fungsi produksi pertanian sangat ditentukan oleh faktor-faktor lahan, sarana produksi pertanian, harga sarana produksi, dan sebagainya. Ketersediaan sarana dan prasarana usaha pada masyarakat sekitar perusahaan selama ini dinilai cukup tersedia (Tabel 49).
Pada kelompok
peternak, sarana prasarana yang dirasakan agak sulit didapatkan adalah sapi bakalan. Pada kelompok mitra jahitan bahan-bahan harus mereka beli di Bandar Lampung, dengan jarak tempuh kurang lebih 100 km untuk mendapatkan bahan dengan kualitas baik dan harga yang wajar. Bila mereka membeli bahan di
145 Bandar Jaya, harga jauh lebih tinggi, sehingga keuntungan sangat minim. Untuk kelompok budidaya jamur tiram, media jamur (baglog) dan bibit jamur sementara waktu itu masih didatangkan dari Bogor, namun pada tahun 2008 ini mereka sudah mampu membuat sendiri media jamur, dan pelatihan pembuatan bibit jamur sedang dilakukan. Untuk kelompok budidaya ubikayu dan budidaya lele sarana dan prasarana produksi tidak menghadapi kendala berarti. Tabel 49. Penilaian Sampel terhadap Ketersediaan Sarana dan Prasarana Produksi Ketersediaan sarana prasarana
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Gabungan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen
Langka
18
12,5
12
21,4
Cukup tersedia
70
48,6
41
73,2
Tersedia
56
38,9
3
144
100,0
56
Total
30
15,0
111
55,5
5,4
59
29,5
100,0
200
100,0
Keterjangkauan harga sarana usaha sangat terkait dengan ketersediaan modal dan atau harga jual produksinya. Harga sarana usaha ditentukan oleh pasar, sehingga mau tidak mau mereka harus membayar sesuai dengan harga pasar.
Secara umum, 54,5 persen sampel menyatakan harga sarana usaha
selama ini cukup terjangkau (Tabel 50). Sebagian mereka menyatakan tidak terjangkau (18 persen) dirasakan oleh anggota kelompok jahit dalam membeli bahan baku kain dan anggota kelompok budidaya lele dalam membeli terpal plastik secara mandiri. Tabel 50. Penilaian Sampel terhadap Keterjangkaun Harga Sarana Produksi Keterjangkauan harga sarana prasarana
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Gabungan
Frekuensi
Persen
Frekuensi
Persen
Frekuensi
Persen
Tidak terjangkau
25
17,4
11
19,6
36
18,0
Cukup terjangkau
71
49,3
38
67,9
109
54,5
Terjangkau
48
33,3
7
12,5
55
27,5
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Total
146 Kepemilikan modal usaha secara umum (60 persen) tergolong rendah (Tabel 51). Hal ini mengindikasikan bahwa program pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar perusahaan harus mampu membantu atau menyediakan akses permodalan pada anggota kelompok masyarakat.
Selama ini bantuan
permodalan bergulir masih diberikan kepada kelompok budidaya lele dan jamur tiram, namun untuk kelompok penggemukan sapi dan budidaya ubikayu, perusahaan hanya membantu memfasilitasi kelompok dengan pihak bank. Langkah awal (dua tahun pertama, 2001-2002) perusahaan bertindak sebagai avalis, namun saat ini kelompok sudah mampu berhubungan langsung dengan perbankan dalam upaya mendapatkan pinjaman modal usaha bagi anggotanya. Keberhasilan kelompok dalam pengembalian angsuran menjadi dasar perbankan menambah besarnya pinjaman kepada kelompok. Keberhasilan pengelolaan modal pinjaman oleh kelompok menjadi referensi perbankan dalam penyaluran kredit tahun berikutnya.
Pinjaman dari BII kepada kelompok tani Nadai
Begandang tahun 2006-2007 mencapai dua milyar rupiah, dan pada tahun 20072008 sudah disetujui kenaikan pinjaman menjadi empat milyar rupiah. Tabel 51. Kepemilikan Modal Usaha Sampel Kepemilikan Modal Usaha
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Frekuensi Persen Frekuensi Persen
Rendah
64
44,4
Sedang
23
Tinggi Total
Gabungan Frekuensi Persen
100,0
120
60,0
16,0
56 0
0,0
23
11,5
57
39,6
0
0,0
57
28,5
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Pasar hasil produksi usaha yang dibina oleh kedua perusahaan dalam program pemberdayaan ekonomi masyarakat selama ini tidak menghadapi kendala.
Penjualan produk cukup lancar, bahkan pembeli datang ke tempat
usaha masyarakat, bahkan budidaya jamur tiram saat ini masih kewalahan memenuhi pesanan dari konsumen. Sebanyak 78,5 persen sampel (Tabel 52) menyatakan bahwa pasar hasil produksi tersedia atau terbuka lebar, hal ini merupakan peluang usaha yang dapat dimanfaatkan agar mereka mampu dan mau meningkatkan kapasitas produksinya. Kondisi tersebut tidak berlaku bagi kelompok mitra jahitan, sebab ketersediaan pasar pakaian hasil jahitan sangat ditentukan oleh jumlah kebutuhan pakaian karyawan perusahaan. Dengan kata
147 lain kelangsungan perusahaan merupakan faktor penentu bagi pasar hasil jahitan.
Selama
perusahaan
masih
mempekerjakan
karyawan,
maka
kelangsungan usaha jahitan akan terjamin; sebaliknya bila perusahaan sudah tidak lagi mempekerjakan karyawannya maka usaha jahitan akan berhenti pula. Tabel 52. Penilaian Sampel terhadap Ketersediaan Pasar Hasil Produksi Ketersediaan pasar hasil
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Gabungan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen Tidak tersedia
0
0,0
0
0,0
Cukup tersedia
24
16,7
19
33,9
Tersedia
120
83,3
37
Total
144
100,0
56
Program
pemberdayaan
ekonomi
0
0,0
43
21,5
66,1
157
78,5
100,0
200
100,0
masyarakat
sekitar
perusahaan
ternyata juga ada yang selaras dengan program pemerintah (pemerintah daerah). Usaha penggemukan sapi merupakan salah satu usaha yang juga mendapatkan perhatian dari Dinas Peternakan Kabupaten Lampung Tengah, sehingga masyarakat Kampung Karang Endah juga mendapatkan penyuluhan dari dinas peternakan setempat.
Namun demikian, sebanyak 91,0 persen
masyarakat menyatakan tidak pernah mendapatkan penyuluhan dari dinas terkait (Tabel 53). Tabel 53. Penilaian Sampel terhadap Kegiatan Penyuluhan dari Dinas Terkait Kegiatan penyuluhan dari dinas terkait
Sekitar Perusahaan A Frekuensi Persen
Sekitar Perusahaan B
Gabungan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen
Rendah
126
87,5
56
100,0
182
91,0
Sedang
9
6,3
0,0
9
4,5
Tinggi
9
6,3
0 0
0,0
9
4,5
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Total
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah dengan aparat penyuluh peternakan atau penyuluh pertanian lapangannya (PPL) jarang turun ke
148 kelompok yang sudah dibina oleh perusahaan.
Kondisi yang cukup ekstrim
terjadi di Desa Hurun, penyuluh pertanian atau perikanan tidak pernah memberikan penyuluhan kepada masyarakat desa tersebut. Iklim usaha merupakan faktor lingkungan yang dapat menjadi pendorong atau sebaliknya menjadi penghambat perkembangan suatu usaha.
Bila iklim
usaha kondusif maka akan mendorong perkembangan usaha masyarakat, sebaliknya bila iklim usaha tida kondusif akan menghambat perkembangan usaha masyarakat. Pada Tabel 54 dapat diketahui bahwa iklim usaha selama ini cukup kondusif bagi semua jenis usaha yang dibina oleh perusahaan, dengan demikian pada masa yang akan datang semua kelompok usaha yang ada akan semakin berkembang. Tabel 54. Penilaian Sampel terhadap Iklim Usaha Iklim Usaha
Sekitar Perusahaan A
Sekitar Perusahaan B
Gabungan
Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen Tidak kondusif
0
0,0
1
1,8
1
0,5
Cukup kondusif
3
2,1
15
26,8
18
9,0
Kondusif
141
97,9
40
71,4
181
90,5
Total
144
100,0
56
100,0
200
100,0
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perubahan Perilaku Berusaha dan Keberdayaan Ekonomi Pada bagian ini akan dibahas hubungan antara peubah-peubah bebas dan peubah-peubah terikat yang diteliti.
Peubah-peubah bebas mencakup
karakter individu (X1), kualitas program CSR (X2), kompetensi fasilitator (X3), faktor pendukung usaha (X4), dan dinamika kelompok (X5); dan peubah-peubah terikat yang mencakup perilaku (kapabilitas) berusaha (Y1) dan tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga (Y2). Pembahasan ini merupakan jawaban atas hipotesis ke-1.
Hubungan antar peubah bebas dengan peubah terikat
dihitung dengan mencari besarnya nilai korelasi rank-Spearman (ρ).
149 Karakter Individu (X1) Besarnya nilai korelasi antara karakteristik individu dengan perilaku berusaha disajikan pada Tabel 55. Karakter individu tidak berhubungan nyata dengan perilaku berusaha, namun berhubungan nyata dengan keberdayaan ekonomi rumah tangga. Hal ini dapat dijelaskan bahwa: (a) Tingkat pendidikan formal berhubungan nyata dengan tingkat pendapatan seseorang, semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi pula tingkat pendapatannya. Pendidikan formal memberi bekal kemampuan kognitif seseorang, sehingga mereka mampu memanfaatkan peluang usaha demi meningkatkan pendapatan usahanya. Tabel 55. Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Perilaku Berusaha dan Keberdayaan Ekonomi Keteram pilan (Y1.3)
Perilaku berusaha (Y1)
Pendapatan (Y2.1)
Pengambilan Kptsn (Y2.2)
Kemapanan usaha (Y2.3)
Tingkat -0,004 -0,036 0,079 pendidikan (X1.1) -0,117 -0,159 -0,049 Tanggungan keluarga (X1.2) -0,140 -0,094 0,034 Pengalaman usaha (X1.3) -0,028 -0,111 0,006 Persepsi thd CSR (X1.4) -0,136 -0,048 0,123 Luas milik lahan (X1.5) Keterangan: ** korelasi nyata pada level 0,01 * korelasi nyata pada level 0,05
-0,033
0,209*
-0,130
0,023
0,115
-0,161
-0,176*
0,035
0,284**
0,025
-0,095
0,209**
-0,141
0,186*
0,191*
-0,035
0,148
-0,273**
0,078
0,126
-0,032
0,282**
-0,029
0,319**
0,165*
Perilaku berusaKarakha ter individu
Pengetahuan (Y1.1)
Sikap (Y1.2)
Keberdayaan Ekonomi (Y2)
(b) Tanggungan keluarga berhubungan nyata dengan tingkat pendapatan seseorang, dan berhubungan sangat nyata dengan tingkat kemapanan usahanya. Dalam aktivitas usaha ekonomi produktif yang memerlukan tenaga kerja, tanggungan keluarga yang berumur produktif dapat menjadi tenaga kerja dalam melakukan usaha ekonomi. Semakin besar jumlah tenaga kerja dalam keluarga semakin tinggi pula pendapatannya. Jmlah keluarga yang mencukupi kebutuhan tenaga kerja dalam usahanya menjadikan seseorang merasa tenang dan nyaman dalam berusaha, sebab bila mereka mengalami gagal usaha, kerugian yang akan mereka tanggung tidak terlalu berat
150 dibandingkan bila tenaga kerja dari luar yang harus mereka bayar sebagai pemngeluaran atau biaya usahanya (c) Pengalaman berusaha berhubungan nyata dengan keberdayaan ekonomi rumah tangga, berarti semakin tinggi pengalaman seseorang akan semakin tinggi pula keberdayaan ekonominya. Pengalaman usaha memiliki hubungan yang lebih kuat dengan peningkatan pendapatan dan kemapanan usaha. Pengalaman sebagai merupakan sumber pengetahuan dan keterampilan yang utama dalam menjalankan usahanya, sehingga dengan berbekal pengalamannya seseorang dapat mengambil pelajaran untuk memperbaiki perilakunya dalam berusaha. (d) Persepsi seseorang terhadap CSR berhubungan sangat nyata dengan kemandirian mengambil keputusan dalam melaksanakan usaha. Besarnya nilai korelasi yang negatif menunjukkan bahwa makin baik persepsi seseorang maka keputusan yang diambil akan semakin mudah dipengaruhi oleh pihak lain. Semakin baik persepsi seseorang terhadap CSR mereka lebih memahami tujuan dan manfaat program, mereka semakin susah diarahkan atau menerima masukan dari pihak pelaksana atau fasilitator program. Hal ini didukung fakta bahwa selama ini pengambilan keputusan oleh masyarakat atas masukan pihak lain, sehingga bila persepsi mereka terhadap CSR semakin baik mereka akan berani mengambil keputusan berani untuk menolak bermitra dengan perusahaan. (e) Luas pemilikan lahan berhubungan nyata dengan keberdayaan ekonomi rumah tangga. Lahan merupakan faktor produksi usahatani. Masyarakat yang memiliki mata pencaharian pokok sebagai petani, lahan merupakan modal utama dalam setiap usaha, tanpa memiliki lahan seseorang akan kesulitan untuk membuka usaha ekonomi produktif.
Di bidang pertanian,
semakin luas pemilikan lahan semakin tinggi pula pendapatan usahataninya. Kualitas Program CSR (X2) Besarnya nilai korelasi antara kualitas program CSR dengan perilaku berusaha dan dinamika kelompok disajikan pada Tabel 56.
Dari Tabel 56
hubungan kualitas program dengan perilaku berusaha dan dinamika kelompok dapat dijelaskan sebagai berikut: (a) Kualitas perencanaan berhubungan sangat nyata dengan tingkat pengetahuan seseorang, artinya semakin baik kualitas perencanaan dapat semakin
151 meningkatkan pengetahuan sasaran. Hal ini dapat terjadi karena keterlibatan seseorang dalam proses penyusunan rencana kegiatan merupakan sarana pembelajaran bagi seseorang, selain itu mereka lebih mengerti apa yang mereka butuhkan dan harus dituangkan dalam rencana kegiatan yang mereka susun tersebut. Tabel 56. Hubungan antara Kualitas Program CSR dengan Perilaku Berusaha dan Dinamika Kelompok Perilaku berKualitas usaha Program CSR
Pengetahuan (Y1.1)
Sikap (Y1.2)
Keterampilan (Y1.3)
Perilaku berusaha (Y1)
Dinamika Kelompok (X5)
Kualitas Perencanaan (X3.1)
0,204**
0,043
0,125
0,115
0,204**
Kualitas Pelaksanaan (X3.2)
0,237**
-0,092
-0,019
0,009
0,051
Kompatibilitas Program (X3.3)
0,188**
0,430**
0,398**
0,416**
0,130
Keberlanjutan Program (X3)
0,350**
-0,086
0,232**
0,039
0,545**
Keterangan: ** korelasi nyata pada level 0,01 * korelasi nyata pada level 0,05
(b) Kualitas pelaksanaan program berhubungan sangat nyata dengan pengetahuan seseorang dalam berusaha, artinya semakin baik pelaksanaan program CSR akan meningkatkan pengetahuan sasaran. Bila pelaksanaan kegiatan berjalan baik berarti seseorang dapat mengikuti kegiatan dengan baik pula, sehingga mereka dapat mengambil pengetahuan sebanyak mungkin dari proses pembelajaran yang mereka ikuti. (c) Kompatibilitas program berhubungan sangat nyata dengan peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan seseorang, artinya semakin tinggi keterkaitan materi program (inovasi yang diperkenalkan kepada sasaran) dengan
inovasi yang sudah dimiliki sasaran maka semakin tinggi pula
perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan sasaran. Bila seseorang sudah memiliki pengetahuan dasar tentang sesuatu inovasi dan diberikan suatu inovasi yang memiliki kemiripan dengan pengetahuan dasarnya maka mereka akan lebih mudah menerima inovasi tersebut.
Perusahaan
mengintrodusir program penggemukan sapi pada kelompok masyarakat yang sebelumnya sudah memiliki kebiasaan memelihara sapi pekerja, pada hal teknik budidaya sapi potong dan sapi pekerja tidak berbeda sehingga mereka lebih mudah menyerap inovasi untuk budidaya sapi potong.
152 (d) Keberlanjutan program berhubungan sangat nyata dengan pengetahuan dan keterampilan, hal ini berarti program CSR yang terus berjalan akan semakin meningkatkan pengetahuan dan keterampilan seseorang.
Program CSR
yang berupa kegiatan usaha ekonomi bila berjalan terus maka mereka yang terlibat akan selalu mendapatkan tambahan pengetahuan dan keterampilan, baik dari pengalaman praktik pada usahanya sendiri maupun dari penyuluhan atau pelatihan yang diberikan dari pihak perusahaan melalui tenaga fasilitator atau tenaga ahli di bidangnya. (e) Kualitas dan keberlanjutan program CSR berhubungan sangat nyata dengan dinamika kelompok, hal ini berarti semakin baik kualitas program dan program berjalan terus akan semakin meningkatkan dinamika kelompok. Program yang baik disusun melibatkan anggota kelompok sasaran, sehingga antar anggota terjadi saling komunikasi dan interaksi dalam pembahasan program tersebut.
Meningkatnya intensitas komunikasi dan interaksi
merupakan indikator terjadinya dinamika kelompok. Bila program berlanjut, setiap kelompok menghendaki kegiatan-kegiatan yang melibatkan anggota kelompok, adanya aktivitas anggota yang terlibat dalam perjalanan program tersebut berarti akan melahirkan aktivitas anggota, sehingga dapat dikatakan kelompok semakin dinamis. Kompetensi Fasilitator (X3) Besarnya nilai korelasi antara kompetensi fasilitator dengan perilaku berusaha dan keberdayaan ekonomi disajikan pada Tabel 57.
Hasil analisis
tersebut menunjukkan: (a) Kemampuan berkomunikasi seorang fasilitator berhubugan sangat nyata dengan pengetahuan seseorang, hal ini berarti semakin baik kemampuan fasilitator dalam berkomunikasi akan meningkatkan pengetahuan seseorang dalam berusaha. Untuk menyampaikan informasi atau teknologi agar dapat dimengerti oleh seseorang memerlukan kemampuan berkomunikasi yang baik, terutama komunikasi verbal. Demikian halnya, untuk mengubah sikap seseorang perlu didekati sampai ranah afektif dengan mengkomunikasikan sesuatu secara benar agar tidak terjadi salah pengertian.
Kemampuan
berkomunikasi juga dapat meningkatkan kemampuan seseorang mengambil keputusan, hal ini dapat terjadi karena dengan kemampuan berkomunikasi yang baik fasilitator dapat meyakinkan seseorang bahwa dirinya mampu memutuskan sendiri atas segala sesuatu tanpa tergantung pihak lain.
153 Tabel 57. Hubungan antara Kompetensi Fasilitator dengan Perilaku Berusaha dan Keberdayaan Ekonomi Perilaku beruKomsaha petensi fas.
Pengetahuan (Y1.1)
Keteram pilan (Y1.3)
Perilaku berusaha (Y1)
Pendapatan (Y2.1)
Pengambilan Kptsn (Y2.2)
Kemampuan 0,188** 0,170* 0,109 Komunikasi (X3.1) Kemampuan 0,194** 0,207** 0,142* Mengajar (X3.2) Kemampuan 0,179* 0,211** 0,116 Memotivasi (X3.3) Kompetensi 0,182* 0,214** 0,102 (X3) Keterangan: ** korelasi nyata pada level 0,01 * korelasi nyata pada level 0,05
0,097
0,095
0,354**
0,101
-0,097
0,156*
0,079
0,285**
0,067
-0,106
0,132
0,107
0,343**
0,132
-0,038
0,114
0,116
0,346**
0,093
-0,069
Sikap (Y1.2)
Kemapanan usaha (Y2.3)
Keberdayaan Ekonomi (Y2)
(b) Kemampuan mengajar seorang fasilitator berhubungan nyata dengan perilaku berusaha (pengetahuan, sikap dan keterampilan), artinya semakin baik kemampuan mengajar seorang fasilitator dapat meningkatkan kapasitas seseorang dalam berusaha ekonomi produktif. Hal ini dapat dipahami bahwa peran fasilitator tidak jauh berbeda dengan peran seorang guru dalam mengajarkan sesuatu (ilmu, teknologi) kepada muridnya. Teknik mengajar yang baik akn memudahkan seorang murid menerima dan mencerna ilmu yang mereka dapat. Pertimbangan ilmiah yang didapat juga berguna sebagai dasar pengambilan keputusan yang dilaukan seseorang. (c) Kemampuan memotivasi orang lain dari seorang fasilitator berhubungan nyata dengan pengetahuan dan sikap seseorang dalam berusaha, hal ini berarti semakin baik kemampuan fasilitator dalam memotivasi seseorang akan
semakin
meningkat
pula
pengetahuan
dan
sikap
seseorang.
Kemampuan memotivasi identik dengan memberikan dorongan mental (aspek emosional) kepada pihak lain, demikian halnya sikap seseorang juga berada pada aspek emosional sehingga bila memiliki sikap tertentu agar mau berubah, maka ia perlu dimotivasi oleh pihak lain. Pertimbangan psikologis tersebut juga bermanfaat bagi seseorang dalam menentukan atau mengambil keputusan untuk melaksanakan suatu usaha yang akan mereka lakukan. (d) Kompetensi fasilitator ternyata memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga, meskipun tidak nyata hubungan negatif tersebut dapat dijelaskan bahwa fasilitator sebaiknya memiliki
154 kompetensi yang seimbang dan cukup dalam kemampuan berkomunikasi, kemampuan mengajar, dan kemampuan berkomunikasi. Faktor Pendukung Usaha (X4) Besarnya nilai korelasi antara faktor pendukung dengan perilaku berusaha disajikan pada Tabel 58. Hasil analisis menunjukkan bahwa semua faktor pendukung (kecuali iklim usaha) berhubungan nyata dengan perubahan perilaku seseorang.
Secara rinci masing-masing indikator faktor pendukung
dapat dijelaskan sebagai berikut: Tabel 58. Hubungan antara Faktor Pendukung dengan Perilaku Berusaha dan Keberdayaan Ekonomi Pengetahuan (Y1.1)
Keteram pilan (Y1.3)
Perilaku berusaha (Y1)
Penda -patan (Y2.1)
Pengam -bilan Kptsn (Y2.2)
Ketersediaan 0,282** 0,131 0,370** sarpras (X4.1) Keterjangkauan 0,357** 0,040 0,236** harga (X4.2) Modal awal (X4.3) 0,172* 0,235** 0,347** Pasar hasil (X4.4) 0,157 0,136 0,505** Penyuluhan 0,211* 0,078 0,022 dinas(X4.5) Iklim Usaha (X4.6) 0,020 -0,003 0,091 Keterangan: ** korelasi nyata pada level 0,01 * korelasi nyata pada level 0,05
0359**
0,124
0,425**
Perilaku berusaha Faktor pendukung
Sikap (Y1.2)
Keberdayaan Ekonomi (Y2)
0,572**
Kemapanan usaha (Y2.3) 0,407**
0,026
0,549**
0,375**
-0,134
0,397** 0,491** 0,198*
0,079 0,157 -0,124
0,241** 0,348** 0,204*
0,038 0,323** 0,293**
-0,069 -0,066 -0,114
0,042
0,059
0,053
0,046
0,044
0,025
(a) Ketersediaan sarana prasarana produksi berhubungan sangat nyata dengan perilaku berusaha, artinya semakin baik ketersediaan sarana prasarana produksi akan semakin meningkat pula kapasitas seseorang dalam berusaha (terutama pengetahuan dan keterampilannya). Sarana produksi merupakan faktor produksi yang harus ada dalam proses produksi.
Sarana produksi
(input) dikombinasikan berbekal pengetahuan dan keterampilan tertentu untuk memperoleh hasil (output) yang diharapkan. Kombinasi optimal antar berbagai faktor produksi akan mendatangkan keuntungan yang optimal pula. (b) Keterjangkauan harga sarana produksi berhubungan sangat nyata dengan perilaku berusaha, artinya bila harga sarana produksi semakin terjangkau atau semakin murah maka semakin tinggi pula perilaku seseorang (terutama pengetahuan dan keterampilannya).
Sarana produksi akan semakin
terjangkau bila harganya semakin murah, sehingga seseorang memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menerapkan ilmu pengetahuan atau
155 mempraktikkan keerampilan yang mereka miliki.
Oleh karena itu strategi
pengadaan dan pelayanan sarana produksi dengan harga yang murah akan sangat menentukan produktivitas. Bila harga sarana produksi masih tinggi, bila perlu diberikan subsidi harga agar mereka dapat menjangkau demi pencapaian target produksi.
Kebijakan seperti ini masih dijalankan oleh
pemerintah dalam pengadaan sarana produksi pertanian untuk mencapai target produksi. (c) Modal awal berhubungan sangat nyata dengan perilaku (kapasitas) berusaha seseorang, hal ini berarti semakin besar modal awal dimiliki seseorang akan semakin tinggi kapasitas seseorang.
Modal awal merupakan alat untuk
menjangkau sarana prasarana produksi usaha yang akan dijalankan, bila modal awal mencukupi maka sarana prasarana dapat dijangkau, sebaliknya bila modal awal terbatas maka sarana prasarana sulit terjangkau. Ketersediaan sarana prasarana merupakan faktor penentu keberhasilan dalam proses produksi selanjutnya. (d) Ketersediaan pasar hasil produksi berhubungan sangat nyata dengan perilaku (kapasitas) berusaha, artinya bila hasil produksi semakin terjamin dalam pemasarannya maka semakin tinggi pula kapasitas seseorang. Pasar hasil merupakan faktor yang tidak dapat dikuasai oleh produsen karena berlakuknya hukum pasar (harga merupakan fungsi dari penawaran dan permintaan), sehingga bila produk tertentu terjamin dalam pemasarannya akan mendorong seseorang produsen untuk lebih menguasai teknik produksi barang yang laku di pasaran tersebut agar produktivitasnya meningkat. (e) Penyuluhan dinas terkait berhubungan nyata dengan perilaku berusaha, artinya semakin tinggi intensitas penyuluhan diterima seseorang akan meningkatkan kapasitas berusaha seseorang (terutama pengetahuannya). Penyuluhan merupakan proses pembelajaran atau penyampaian informasi dan teknologi yang diberikan oleh penyuluh (yang memiliki kompetensi tertentu) kepada sasaran agar mereka tahu, mau, dan mampu menerapkan dalam usaha tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa peran penyuluhan dalam meningkatkan pengetahuan (peran penyuluh sebagai guru) tidak dapat diabaikan meskipun mereka sudah mendapatkan fasilitasi, pelatihan, atau pendampingan dari pihak lain.
156 Dinamika Kelompok (X5) Besarnya nilai korelasi antara dinamika kelompok dengan perilaku berusaha dan keberdayaan ekonomi disajikan pada Tabel 59.
Dari hasil uji
tersebut dapat dipahami sebagai berikut: Tabel 59. Hubungan antara Dinamika Kelompok dengan Perilaku Berusaha dan Keberdayaan Ekonomi Perilaku beruDinamika klp. saha
Pengetahu an (Y1.1)
Sikap (Y1.2)
Keterampilan (Y1.3)
Perilaku Berusaha (Y1)
Keberdayaan Ekonomi (Y2)
Tujuan klp (X5.1)
0,273**
0,064
0,194**
0,042
0,122
Struktur klp (X5.2)
0,124
0,006
0,064
-0,107
0,047
Fungsi tugas (X5.3)
0,126
-0,041
0,131
-0,070
0,056
Pembinaan (X5.4)
0,127
-0,106
0,068
-,130
0,037
Kekompakan (X5.5)
0,137
0,020
0,093
-0,071
0,105
Ketegangan (X5.6)
0,081
-0,162*
-0,051
-0,254**
0,103
Efektivitas (X5.7)
0,061
0,007
0,143*
-0,083
0,220**
Kepemimpinan (X5.8)
0,168*
0,004
0,017
-0,099
0,108
Kepuasan (X5.9)
0,077
-0,028
0,024
-0,172
0,150
Dinamika (X5)
0,132
0,023
0,080
-0,107
0,084
Keterangan: ** korelasi nyata pada level 0,01 * korelasi nyata pada level 0,05
(a) Unsur-unsur dinamika kelompok (tujuan, struktur, fungsi tugas, pembinaan, kekompakan, ketegangan, efektivitas, kepemimpinan, kepuasan anggota) secara bersama-sama tidak berhubungan nyata dengan perilaku berusaha dan nilainya negatif. Hal ini dapat dijelaskan selama ini pembinaan program selalu mengatasnamakan kelompok, padahal mereka melakukan usaha ekonomi produktif secara perorangan. Selama ini antar anggota terjadi persaingan terselubung terutama munculnya rasa iri anggota yang tidak mendapatkan pinjaman atau bantuan program terhadap anggota yang mendapatkan pinjaman atau bantuan dari program CSR. Namun, secara terpisah
ketegangan
kelompok
berhubungan
nyata
dengan
perilaku
berusaha, dan arah hubungan tersebut bersifat negatif. Hal ini berarti bila suasana kelompok semakin tegang, kondisi tersebut bersifat kontra produktif, yag mengakibatkan penurunan kapasitas anggota. Oleh karena itu, suasana dalam kelompok perlu dijaga supaya dalam menjalankan program kegiatan dapat berjalan optimal.
Ketegangan perlu dipertahankan, namun sampai
batas tertentu harus dikurangi, sebaliknya suasana kelompok tidak boleh
157 terlalu lembek atau terlalu santai, sebab kondisi demikian juga akan bersifat kontra produktif, anggota tidak merasa terpacu untuk lebih beraktivitas produktif. (b) Unsur-unsur dinamika kelompok (tujuan, struktur, fungsi tugas, pembinaan, kekompakan, ketegangan, efektivitas, kepemimpinan, kepuasan anggota) secara bersama-sama tidak berhubungan nyata dengan tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga, namun secara terpisah semakin tinggi efektivitas kelompok semakin tinggi pula tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga. Ha ini dapat dipahami bahwa kelompok yang efektif berarti kemampuan kelompok dalam mencapai tujuan bersama semakin baik. Setiap kelompok pasti bertujuan meningkatkan kesejahteraan anggotanya, sehingga bila pencapaian tujuan kelompok atau kinerja kelompok makin efektif secara tidak langsung kesejahteraan anggota akan terangkat. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Berusaha dan Keberdayaan Ekonomi Masyarakat Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku (kapasitas) berusaha, berbagai peubah bebas yang diteliti yang memiliki hubungan dengan peubah terikat selanjutnya dianalisis dengan batuan perangkat lunak LISREL. mendapatkan
persamaan
Langkah pertama dalam pengolahan data untuk matematis
oleh
perangkat
tersebut
adalah
mengevaluasi seberapa besar nilai reliabilitas dan validitas indikator (sub peubah) yang akan digunakan sebagai dasar perumusan model persamaan. Reliabilitas dan Validitas Peubah dalam Model Dalam mengevaluasi model pengukuran, difokuskan pada hubunganhubungan antar peubah laten dan indikatornya (peubah manifest) (Ghozali dan Fuad, 2005:316).
Tujuan dalam mengevaluasi model pengukuran ini adalah
untuk menentukan validitas dan reliablitas indikator-indikator dari suatu konstrak. Uji validitas merupakan suatu uji yang bertujuan untuk menentukan kemampuan suatu indikator dalam mengukur peubah laten tersebut, sedangkan uji reliabilitas adalah suatu pengujian untuk menentukan konsistensi pengukuran indikatorindikator dari peubah suatu peubah laten.
Validitas suatu indikator sebenarnya
dapat dievaluasi dengan tingkat nyata pengaruh antara suatu peubah laten
158 dengan indikatornya. Hubungan langsung antara indikator dan peubah laten (λ) tersebut digambarkan dalam persamaan berikut: x = λξ + δ Keterangan: x = indikator peubah laten eksogen λ = peubah laten ξ = peubah laten eksogen δ = kesalahan pengukuran (measurement error) untuk peubah eksogen Hasil analisis Lisrel dalam menguji validitas dan reliabilitas konstrak untuk setiap konsep peubah adalah sebagai berikut: (1) Karakteristik sampel Validitas dan reliabilitas konstrak untuk konsep karakteristik sampel seperti terlihat pada Tabel 60.
Berdasarkan Tabel 60 nilai chi-kuadrat =
2,12, dan P-value = 0.34. Karena p=value > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa item-item tersebut mengukur konsep yang sama, yaitu karakteristik sampel (unidimensional). Tabel 60. Validitas dan Reliabilitas Konsep Karakteristik Sampel R2
Item X3 (jumlah tanggungan keluarga) X4 (pengalaman usaha) X5 (persepsi terhadap CSR) X6 (pemilikan lahan)
Koefisien Validitas 0.01 0.08
t-test 0.90
0.32
0.56
5.60
Goodness of fit Chi-kuadrat= 2.12, p-value= (0.34) RMSEA=0.017
0.19
0.43
4.84
GFI= 0.994
0.51
0.71
6.20
Construct Reliability 0,198
Besarnya nilai reliabilitas konstrak (Construct reliability / CR) secara matematis dapat dihitung sebagai berikut:
CR =
( 0.08 + 0.56 + 0.43 + 0.71)
2
( 0.08 + 0.56 + 0.43 + 0.71 + 0.99 + 0.68 + 0.80 + 0.49)
2
= 3,1684 / 22,4676 = 0,198
Berdasarkan Tabel 60 menunjukkan bahwa nilai t tidak semua berada di atas 1,65, namun demikian item-item konsep karakteristik sampel sudah memilki validitas untuk mengukur konsep karakteristik sampel. Besarnya taksiran koefisien validitas dan nilai t dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.
159
Gambar 7. Koefisien Validitas untuk Konsep Karakteristik Sampel
Gambar 8. Nilai t Koefisien Validitas untuk Konsep Karakteristik Sampel Reliabilitas item X3 (jumlah tanggungan keluarga) adalah sebesar 0.08; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep karakteristik sampel sebesar 8%; item X4 (pengalaman berusaha) adalah sebesar 0,56; artinya, item tersebut merupakan manifes konsep karakteristik sampel sebesar 56%; item X5 (persepsi terhadap CSR) adalah sebesar 0,43; artinya, item tersebut merupakan manifes konsep karakteristik sampel sebesar 43%; dan item X6 (pemilikan lahan) adalah sebesar 0,71; artinya, item tersebut merupakan manifes konsep karakteristik sampel sebesar 71%. indikator
(pendidikan
formal)
ternyata
tidak
valid
dalam
Satu
mengukur
karakteristik individu. Hal ini disebabkan pendidikan sampel relatif homogen, yakni berpendidikan SLTP.
160 (2) Kualitas program CSR Validitas dan reliabilitas konstrak untuk konsep kualitas program CSR seperti terlihat pada Tabel 61.
Berdasarkan Tabel 61 nilai chi-kuadrat = 0, dan P-
value =1. Karena p=value > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa item-item tersebut sudah mengukur konsep yang sama, yaitu kualitas program CSR (unidimensional). Tabel 61. Validitas dan Reliabilitas Konsep Kualitas Program CSR R2
Item X7 (kualitas perencanaan) X8 (kualitas pelaksanaan) X9 (kompatibilitas program)
0,83
0,91
5,89
Goodness of Construct fit Reliability Chi-kuadrat=0, 0,81 p-value =1 RMSEA=0,027
0,85
0,92
5,37
GFI=0,99
0,76
Koefisien tValiditas test 0,87 7,44
Besarnya nilai reliabilitas konstrak (Construct reliability / CR) secara matematis dapat dihitung sebagai berikut: (0,87+0,91+0,92)2 7,29 CR = ----------------------------------------------- = ------- = 0,81 (0,76+0,83+0,85+0,24+0,17+0,15)2 9 Berdasarkan Tabel 61 menunjukkan bahwa nilai t semua berada di atas 1,65, dengan demikian item-item pada konsep kualitas program CSR sudah memilki validitas untuk mengukur konsep kualitas program CSR. Besarnya taksiran koefisien validitas dan nilai t dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10. 0,32
X7
0,87 0,25
X8
0,91
Kualitas CSR
0,92 0,21
X9
Chi-Square=0,00,
Gambar 9.
df=0,
P-value=1,00000,
RMSEA=0,000
Koefisien Validitas untuk Konsep Kualitas Program CSR
1,00
161
1,02
X7
7,44 1,12
X8
Kualitas CSR
5,89
0,00
5,37 1,09
X9
Chi-Square=0,00,
df=0,
P-value=1,00000,
RMSEA=0,000
Gambar 10. Nilai t Koefisien Validitas Konsep Kualitas Program CSR Reliabilitas item X7 (kualitas perencanaan) adalah sebesar 0.87; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep kualitas program CSR sebesar 87%; item X8 (kualitas pelaksanaan) adalah sebesar 0,91; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep kualitas program CSR sebesar 91%; dan item X9 (keberlanjutan program) adalah sebesar 0,92; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep kualitas program CSR sebesar 92%.
Satu indikator (keberlanjutan program) ternyata tidak valid dalam
mengukur kualitas program, hal ini disebabkan tidak ada variasi data. Semua sampel mengatakan bahwa program CSR saat ini masih berlanjut.
(3) Kompetensi Fasilitator Validitas dan reliabilitas konstrak untuk konsep kompetensi fasilitator seperti terlihat pada Tabel 62. Berdasarkan Tabel 62, nilai chi-kuadrat = 0, dan P-value =1. Karena p=value > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa item-item tersebut mengukur konsep yang sama, yaitu kompetensi fasilitator (unidimensional). Besarnya nilai reliabilitas konstrak (Construct reliability/ CR) secara matematis dapat dihitung sebagai berikut:
CR =
( 0.88 + 0.89 + 0.85)
2
( 0.88 + 0.89 + 0.85 + 0.22 + 0.21 + 0.27 )
2
= 6,8644 / 11,0224 = 0,6227
162 Tabel 62. Validitas dan Reliabilitas Konsep Kompetensi Fasilitator R2
Item X11 (kemampuan berkomunikasi) X12 (kemampuan mengajar) X13 (kemampuan memotivasi)
Koefisien Validitas 0.78 0.88 0.79
0.89
0.73
0.85
t-test
Goodness of fit 15.31 Chikuadrat=0, p-value =1 15.39
Construct Reliability 0,6227
1 4.53
Berdasarkan Tabel 62 menunjukkan nilai t semua berada di atas 1,65, dengan demikian bahwa item-item pada konsep Kompetensi Fasilitator sudah memilki vaiditas untuk menukur konsep Kompetensi Fasilitator. Besarnya taksiran koefisien validitas dan nilai t dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12. Reliabilitas item X11 (kemampuan berkomunikasi) adalah sebesar 0,88; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep kompetensi fasilitator sebesar 88%; item X12 (kemampuan mengajar) sebesar 0,89; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep kompetensi fasilitator sebesar 89%; dan item X13 (kemampuan memotivasi) sebesar 0,85; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep kompetensi fasilitator sebesar 85%.
Gambar 11. Taksiran Koefisien Validitas Konsep Kompetensi
163
Gambar 12. Nilai t Koefisien Validitas Konsep Kompetensi (4) Faktor pendukung Validitas dan reliabilitas konstrak untuk konsep faktor pendukung seperti terlihat pada Tabel 63. Berdasarkan Tabel 63 bahwa nilai chi-kuadrat = 4,33, dan P-value = 0,05. Karena p=value > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa item-item tersebut mengukur konsep yang sama, yaitu faktor pendukung (unidimensional). Besarnya nilai reliabilitas konstrak (Construct reliability/ CR) secara matematis dapat dihitung sebagai berikut:
CR =
( 0.94 + 0.75 + 0.31 + 0.33 + 0.38)
2
( 0.94 + 0.75 + 0.31 + 0.33 + 0.38 + 0.12 + 0.44 + 0.90 + 0.89 + 0.86)
2
= 7,344 / 25
= 0,293
Tabel 63. Validitas dan Reliabilitas Konsep Faktor Pendukung R2
Item X14 (ketersediaan sarpras usaha) X15 (keterjangkauan harga sarpras) X16 (modal awal) X18 (penyuluhan dinas terkait) X19 (iklim usaha)
Koefisien Validitas 0.88 0.94
t-test 12.87
0.56
0.75
10.32
0.10 0.11
0.31 0.33
4.25 4.51
0.14
0.38
5.20
Goodness of Construct fit Reliability Chi-kuadrat= 0,293 4.33,p-value= (0.50) RMSEA=0.000 GFI= 0.99
Berdasarkan Tabel 63 menunjukkan bahwa nilai t semua berada di atas 1,65, dengan demikian bahwa item-item pada konsep faktor pendukung
164 sudah memilki vaiditas untuk mengukur konsep faktor pendukung. Besarnya taksiran koefisien validitas dan nilai t dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14. Reliabilitas item X14 (ketersediaan sarana prasarana usaha) adalah sebesar 0,94; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep faktor pendukung sebesar 91%; item X15 (keterjangkauan harga sarana prasarana usaha) adalah sebesar 0,75; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep faktor pendukung sebesar 93%; item X16 (modal awal) adalah sebesar 0,31; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep faktor pendukung sebesar 31%;
item X18 (penyuluhan dinas terkait) adalah
sebesar 0,33; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep faktor pendukung sebesar 33%; X19 (iklim usaha) adalah sebesar 0,38; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep faktor pendukung sebesar 38%. Satu indikator (ketersediaan pasar hasil) ternyata tidak valid sebagai dalam mengukur faktor pendukung usaha, hal ini disebabkan tidak ada variasi data (data bersifat homogen), semua sampel merasa bahwa pasar hasil usaha mereka cukup tersedia.
Gambar 13. Taksiran Koefisien Validitas Konsep Faktor Pendukung
165
Gambar 14 . Nilai t Koefisien Validitas Parameter Konsep Faktor Pendukung (5) Dinamika kelompok Validitas dan reliabilitas konstrak untuk konsep dinamika kelompok seperti terlihat pada Tabel 64.
Berdasarkan Tabel 64 nilai chi-kuadrat =
12.94, dan P-value = 0.17. Karena p=value > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa item-item tersebut mengukur konsep yang sama, yaitu dinamika kelompok (unidimensional). Besarnya nilai reliabilitas konstrak (Construct reliability/ CR) secara matematis dapat dihitung sebagai berikut:
CR =
( 0.91+ 0.93+ 0.92 + 0.79 + 0.59 + 96)
2
( 0.91+ 0.93+ 0.92 + 0.79 + 0.59 + 96 + 0.09+ 0.07 + 0.08+ 0.21+ 0.41+ 0.04)
2
=
26,01 = -------- = 0,7225 36 Tabel 64. Validitas dan Reliabilitas Konsep Dinamika Kelompok Item
R2
X21 (struktur kelompok)
0.91
X22 (fungsi tugas) X23 (pembinaan) X24 (kekompakan) X26 (efektivitas) X27 (kepemimpinan)
0.93 0.92 0.79 0.59 0.96
Koefisien t-test Validitas 0.95 18.20 0.96 0.96 0.89 0.77 0.98
18.51 18.41 16.10 12.81 19.22
Goodness of fit Chi-kuadrat= pp-value= 12.94 (0.17) RMSEA=0.0077 GFI= 0.98
Construct Reliability 0,7225
166
Berdasarkan Tabel 64 menunjukkan bahwa nilai t semua berada di atas 1,65, dengan demikian bahwa item-item pada konsep dinamika kelompok sudah memilki validitas untuk mengukur konsep dinamika kelompok. Besarnya taksiran koefisien validitas dan nilai t dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16.
. Gambar 15. Taksiran Koefisien Validitas dalam Pengukuran Konsep Dinamika Kelompok
Gambar 16. Nilai t dalam Pengukuran Konsep Dinamika Kelompok Reliabilitas item X21 (struktur kelompok) adalah sebesar 0.91; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep dinamika kelompok sebesar
167 91%; item X22 (fungsi tugas) adalah sebesar 0,93; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep dinamika kelompok sebesar 93%; item X23 (pembinaan) adalah sebesar 0,92; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep dinamika kelompok
sebesar 92%;
item X24 (kekompakan)
adalah sebesar 0,79; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep dinamika kelompok
sebesar 79%; X26 (efektivitas) adalah sebesar 0,59;
artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep dinamika kelompok sebesar 59%; dan X27 (kepemimpinan) adalah sebesar 0,96; artinya, item tersebut merupakan manifes dari konsep dinamika kelompok sebesar 96%. Tiga indikator dinamika kelompok (persepsi terhadap tujuan, ketegangan, dan kepuasan kelompok) ternyata tidak valid dalam mengukur peubah dinamika kelompok. Hal ini disebabkan data ketiga indikator hasil pengukuran bersifat homogen. Dalam proses analisis selanjutnya, hanya indikator-indikator yang memiliki koefisien validitas yang diterima yang dimasukkan sebagai input untuk mendapatkan hasil (output) model persamaan struktural yang memenuhi kriteria statistik.
168 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Berusaha dan Tingkat Keberdayaan Ekonomi Rumah Tangga Hubungan atau pengaruh antar peubah tersebut melahirkan suatu model yang dapat digunakan untuk merumuskan konsep pemberdayaan ekonomi rumah tangga.
Untuk melihat besarnya pengaruh peubah bebas terhadap
peubah terikat, analisis data dilakukan dengan LISREL 8.5. Berdasarkan sebagian output LISREL menunjukkan nilai chi-kuadarat= 214.39, dan derajat bebas, df=199 dengan p-value = 0.21609 (P >0.10). Kesimpulannya, model fit dengan data. Selain itu, ukuran lain seperti RMSEA, RMR, dan GFI sudah memenuhi batas-batas ambang yang diizinkan masingmasing di bawah 0.08, 0,05, dan di atas 0.90.
Rangkuman output Lisrel
disajikan pada Tabel 65. Tabel 65. Hasil Pengolahan Ukuran-ukuran Statistik Evaluasi Model LISREL Ukuran Statistik
Nilai
Keterangan
Chi-Kuadrat
214,39
Fit
P-Value
0.21609
Fit (P>0,10)
RMSEA
0.00
Diterima (<0,08)
RMR
0.03026
Diterima (<0,05)
GFI
0.9935
Diterima (>0,90)
Berdasarkan output LISREL, selanjutnya ditemukan besarnya pengaruh antar peubah yang diteliti. Secara ringkas, besarnya pengaruh antar peubah yang diteliti disajikan pada Tabel 66. Dari Tabel 66 dapat kita pahami bahwa: (1)
Faktor kualitas program CSR memilki efek relatif kecil atau tidak nyata terhadap dinamika kelompok, yaitu sebesar 0.34%. Persamaannya adalah: X5 = -0,585 X2 Dinamika kelompok = -0.0585 kualitas program CSR Hal ini dapat dipahami dari hasil temuan di lapangan bahwa kualitas program CSR selama ini belum baik, hal ini didukung oleh indikasi beberapa program yang tidak berkelanjutan, misalnya pada usaha mitra jahitan. Pembinaan dan kelanjutan program mitra jahitan berhenti di tengah jalan akibat beberapa anggota kelompok pindah tempat tinggal dan kualitas jahitan yang tidak memenuhi standar kualitas yang diharapkan oleh
169 perusahaan, namun upaya peningkatan kualitas jahitan anggota kelompok tidak ditingkatkan dan tidak difasilitasi lagi oleh perusahaan.
Kualitas
program yang kurang baik disebabkan penyusunan program CSR tidak melibatkan masyarakat sekitar sebagai kelompok sasaran (subyek dan obyek program).
Selama ini perusahaan melakukan pendekatan pada
individu pengurus, sehingga program CSR dinilai oleh masyarakat hanya akan menguntungkan pihak perusahaan saja. Akibatnya, masyarakat cenderung bersikap apatis terhadap tawaran program dari perusahaan. Kondisi ini pada setahun terakhir diperburuk oleh pelaksanaan program di lapangan, perilaku ”oknum” wakil perusahaan yang kurang berpihak pada kelompok mitra. Tabel 66. Pengaruh antar Peubah dalam Model Peubah tak bebas
Peubah bebas
Dinamika Kelompok (X5)
Kualitas Program CSR (X2) Karakter Individu (X1) Kualitas Program CSR (X2) Kompetensi Fasilitator (X3) Faktor Pendukung (X4) Karakter Individu (X1) Faktor Pendukung (X4)
Perilaku Berusaha (Y1)
Tingkat Keberdayaan Ekonomi (Y2)
Koefisien (Unstandardized) -0,0396
Koefisien (Standardized) -0,0585
nilai-t
Ket.
-0,81
TidakNyata
0,0165
0,0456
0,70
0,0036
0,0343
0,52
TidakNyata TidakNyata
0,0954
0,1861
2,88
Nyata
0,0653
0,3791
5,85
Nyata
-0,0273
-0,1530
-3,96
Nyata
-0,0106
-0,1243
-2,95
Nyata
Penetapan harga beli sapi potong oleh perusahaan belum menguntungkan peternak, sebab petani membeli bakalan seharga Rp.20.000,00 per kg tetapi pembelian sapi hasil penggemukan kurang dari Rp.19.000,00 per kg. Peternak sudah mengajukan keberatan agar selisih harga jual sapi dengan harga bakalan tidak sampai Rp.1.000,00 per kg, namun mereka tidak memiliki daya melawan perusahaan akibat posisi dalam klausul kontrak beli bakalan yang digemukkan harus dijual kembali ke perusahaan.
Akibat
selanjutnya, beberapa anggota kelompok yang sudah memiliki modal dan
170 mampu membeli bakalan dari pasaran bebas memutuskan keluar dari kelompok dan tidak terikat lagi dengan program kemitraan perusahaan. Mereka dapat menjual hasil penggemukannya di pasaran bebas, sehingga peternak mendapatkan keuntungan yang wajar dari hasil usahanya. Penetapan harga beli sapi hasil penggemukan oleh perusahaan yang tidak dicantumkan dalam kontrak merupakan sebab utama lemahnya posisi tawar peternak terhadap manajemen perusahaan.
Dalam dua tahun terakhir
peternak merasa penetapan harga beli sapi oleh perusahaan tidak transparan, sapi yang sudah ditimbang dan bahkan sudah diangkut ke perusahaan, namun peternak belum tahu harga jual per kilogram yang akan mereka terima. Setelah mereka diberi tahu oleh pihak perusahaan, harga yang mereka terima selalu lebih rendah dari harga pasar. Secara administratif, ternyata kontrak kerjasama antara perusahaan dengan kelompok peternak juga tidak diperbaharui setiap satu masa penggemukan (tiga sampai empat bulan) atau setiap tahun.
Kontrak terakhir yang ditanda-
tangani 29 Juni 2001. (2) Faktor Karakter Individu, Kualitas Program CSR, Kompetensi Fasilitator, dan Faktor Pendukung besarnya pengaruh secara simultan terhadap Perilaku Berusaha adalah 20%. Secara parsial, faktor Kompetensi Fasilitator dan Faktor Pendukung pengaruhnya nyata terhadap Perilaku Berusaha, tetapi faktor Karakter Individu dan Kualitas Program CSR pengaruh sangat kecil atau kurang nyata. Persamaannya adalah: Y1 = 0,0456 X1 + 0,0343 X2 + 0,1861 X3 + 0,3791 X4 Perilaku Berusaha = 0.0456 Karakter Individu + 0.0343 Kualitas Program CSR + 0.1861 Kompetensi Fasilitator + 0.3791 Faktor Pendukung Dari persamaan tersebut dapat dipahami bahwa: (a) semakin tinggi kualitas karakter seseorang, perilaku berusahanya semakin tinggi pula; (b) semakin baik kualitas program CSR maka perilaku berusaha masyarakat juga semakin baik; (c) semakin baik kompetesi fasilitator maka semakin baik pula perilaku berusaha masyarakat; dan (d) semakin baik faktor pendukung maka semakin baik pula perilaku berusaha masyarakat. Hasil ini didukung dari temuan di lapangan bahwa: (a) Dalam analisis peubah karakter yang diwakili indikator tingkat pengalaman berusaha, persepsi terhadap CSR, dan luas pemilikan
171 lahan secara simultan bila peubah ini meningkat akan menyebabkan perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) mereka dalam berusaha ekonomi produktif.
Hal ini mengindikasikan bahwa
pengalaman berusaha, persepsi terhadap CSR, dan luas pemilikan lahan mempunyai pengaruh positif terhadap peningakatan perubahan perilaku masyarakat dalam berusaha ekonomi produktif. Peningkatan skor perilaku sebesar 0,2 disebabkan oleh peningkatan skor karakter individu, persepsi terhadap CSR, dan luas pemilikan lahan sebesar 0,0456. (b) Kualitas program CSR yang diwakili indikator perencanaan program, pelaksanaan, dan kompatibiltas program secara simultan bila peubah ini meningkat akan menyebabkan perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) mereka dalam berusaha ekonomi produktif. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas perencanaan program, kualitas pelaksanaan
program,
dan
kompatibilitas
program
mempunyai
pengaruh positif terhadap peningkatan perubahan perilaku masyarakat dalam berusaha ekonomi produktif. Peningkatan skor perilaku sebesar 0,2 disebabkan oleh peningkatan skor kualitas perencanaan program, pelaksanaan program, dan kompatibilitas program sebesar 0,0343. (c)
Kompetensi Fasilitator yang diwakili oleh indikator kemampuan mengajar, kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan memotivasi secara simultan bila peubah ini meningkat akan menyebabkan perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) mereka dalam berusaha ekonomi produktif. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan mengajar, kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan memotivasi fasilitator mempunyai pengaruh positif terhadap peningkatan perubahan perilaku masyarakat dalam berusaha ekonomi produktif. Peningkatan skor perilaku sebesar 0,2 disebabkan oleh peningkatan skor kemampuan mengajar, kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan memotivasi sebesar 0,1861. Fasilitator atau penyuluh menurut Mosher (1980) sebaiknya dapat berperan sebagai guru, penganalisis, penasehat, dan organisator. Hal ini selaras dengan kualifikasi yang semestinya dimiliki oleh seorang penyuluh (Mardikanto, 1992:48-49) adalah kemampuan berkomunikasi, kemampuan pengetahuan inovasi dan masyarakat sasaran, kemampuan bersikap positif dan bangga
172 terhadap profesi serta menyintai masyarakat sasaran.
Fasilitator
program CSR di Provinsi Lampung selama ini diperankan oleh berbagai pihak. Fasilitator program perusahaan A diperankan oleh petugas ata karyawan perusahaan, sedangkan fasilitator perusahaan B diperankan oleh pihak perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan A masih belum sepenuhnya percaya pada pihak ketiga, hal ini dikhawatirkan masih adanya pembelaan kepentingan perusahaan dalam program CSR yang dijalankan. melepaskan
Bila perusahaan belum sepenuhnya mau
program-programnya,
perusahaan
dapat
meminta
pemerintah daerah (dinas terkait) untuk menjalankan peran sebagai fasilitator. (d) Faktor pendukung yang diwakili oleh indikator ketersediaan sarana prasarana produksi, keterjangkauan harga sarana prasarana produksi, modal awal usaha, penyuluhan dinas terkait, dan iklim usaha secara simultan bila peubah ini meningkat akan menyebabkan perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) mereka dalam berusaha ekonomi produktif. Hal ini mengindikasikan bahwa ketersediaan sarana prasarana produksi, keterjangkauan harga sarana prasarana produksi, modal awal usaha, penyuluhan dinas terkait, dan iklim usaha mempunyai pengaruh positif terhadap peningkatan perubahan perilaku masyarakat dalam berusaha ekonomi produktif. Peningkatan skor perilaku sebesar 0,2 disebabkan oleh peningkatan skor ketersediaan sarana prasarana produksi, keterjangkauan harga sarana prasarana produksi, modal awal usaha, penyuluhan dinas terkait, dan iklim usaha sebesar 0,3791. (3) Faktor Karakter Individu (X1) and Faktor Pendukung (X4) secara parsial berpengaruh negatif terhadap Tingkat Keberdayaan Ekonomi (Y2). Besarnya pengaruh kedua faktor terhadap Tingkat Keberdayaan Ekonomi (Y2) tersebut secara simultan sebesar 71%. Persamaannya adalah: Y2 = -0,15 X1 – 0,12 X4 Tingkat Keberdayaan Ekonomi= -0.15 Karakter Individu -0.12 Faktor Pendukung Tingkat keberdayaan ekonomi masyarakat sangat dipengaruhi oleh karakter individu masyarakat dan faktor pendukung program yang tersedia,
173 meskipun
tingkat
keberdayaan
ekonomi
rumah
tangga
masyarakat
berbanding terbalik dengan karakter individu dan faktor pendukung. Dengan kata lain karakter individu (tingkat pengalaman berusaha, persepsi terhadap CSR, dan luas pemilikan lahan) secara simultan bila peubah ini meningkat akan menyebabkan penurunan tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga (tingkat pendapatan usaha ekonomi produktif, pengambilan keputusan, kemapanan usaha). Hal tersebut dapat dipahami dari temuan di lapangan bahwa tingkat pendapatan usaha ekonomi produktif mayoritas masyarakat masih rendah, tingkat pengambilan keputusan dalam berusaha sebagian besar merupakan masukan dari pihak lain (bergabung dalam kelompok), dan usaha mereka belum mapan.
Demikian halnya dengan
faktor pendukung (ketersediaan sarana prasarana produksi, keterjangkauan harga sarana prasarana produksi, modal awal usaha, penyuluhan dinas terkait, dan iklim usaha) yang berpengaruh negatif terhadap tingkat keberdayaan ekonomi rumahtangga. Bila faktor pendukung semakin baik berakibat terjadinya penurunan tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa selama ini ketersediaan sarana prasarana produksi, keterjangkauan harga sarana prasarana produksi, modal awal usaha, penyuluhan dinas terkait, dan iklim usaha selalu diatasi secara bersama-sama oleh kelompok. Mereka secara sendiri-sendiri belum mampu mengatasi masalah ketersediaan sarana produksi, modal usaha, maupun iklim usaha yang kurang kondusif. Dari hasil analisis LISREL besarnya pengaruh antar peubah laten dapat kita ketahui dari nilai Standardized total effect Y on Y terlihat pada Tabel 67. Dari hasil tersebut secara sederhana untuk dipahami melalui sajian pada Tabel 68. Dari Tabel 67 dapat diketahui bahwa bila kita bandingkan dengan nilai t berada di antara -1,65 dan 1,65 sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku berusaha (kapasitas berusaha) memiliki efek yang nyata terhadap tingkat keberdayaan ekonomi, sementara itu dinamika kelompok memiliki efek yang tidak nyata terhadap perilaku berusaha yang artinya efek tersebut relatif kecil.
Tabel 67. Total Pengaruh antara Peubah Laten Standardized Total Effects of X on Y
174
Keberdayaan Ekonomi Perilaku Berusaha Dinamika Kelompok
Karakter Individu
Program CSR
Kompetensi Fasilitator
Faktor Pendukung
-0,1129 0,0456 -
0,0252 0,0287 -0,0585
0,1635 0,1861 -
0,2088 0,3791 -
Standardized Indirect Effects of X on Y
Keberdayaan Ekonomi Perilaku Berusaha Dinamika Kelompok
Karakter Individu
Program CSR
Kompetensi
Faktor Pendukung
0,0401 -
0,0252 -0,0056 -
0,1635 -
0,3331 -
Standardized Total Effects of Y on Y
Keberdayaan Ekonomi Perilaku Berusaha Dinamika Kelompok
Keberdayaan Ekonomi RT
Perilaku Usaha
Dinamika Kelompok
-
0,8788 -
0,0958 -
Tabel 68. Pengaruh antar Peubah Terikat dalam Model Peubah
Perilaku Berusaha
Perilaku Berusaha
Tingkat Keberdayaan Ekonomi
-
0,8788
Dinamika Kelompok
0,0958
-
Nilai Statistik-t
1,4985
20,91
Keterangan
Nyata Tidak Nyata
Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Faktor Perilaku Berusaha (Y1) memilki pengaruh yang nyatas terhadap faktor Tingkat Keberdayaan Ekonomi (Y2). Besarnya pengaruh Perilaku Berusaha (Y1) terhadap Tingkat Keberdayaan Ekonomi (Y2) adalah = (0.1310)x (0.1310)/((0.0789)x(0.3220)) = 0,6718 x 100% = 87,88% Persamaannya adalah Y2 = 0,8788 Y1 Tingkat Keberdayaan Ekonomi = 0.8788 Perilaku Berusaha Dari persamaan tersebut berarti tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga
sangat
dipengaruhi
oleh
perilaku
berusaha
(pengetahuan,
keterampilan, dan sikap). Oleh karena itu, untuk mencapai keberdayaan
175 ekonomi rumah tangga harus dimulai dengan meningkatkan kualitas perilaku masyarakat dalam berusaha ekonomi produktif. Dengan kata lain, kontribusi aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap berusaha ekonomi produktif cukup nyata dalam mencapai keberdayaan ekonomi rumah tangga. (2) Faktor dinamika kelompok pengaruhnya sangat kecil (tidak nyata) terhadap Perilaku Berusaha. Besarnya adalah = (0.1921)x (0.1921)/((13.3340)x(0.3220)) = 0,00859 x 100 % = 0,958% Persamaannya adalah:Y1 = 0,0958 X5 Perilaku Berusaha = 0.0958 Dinamika Kelompok Meskipun pengaruh dinamika kelompok terhadap perilaku berusaha tidak nyata, dinamika kelompok (yang diwakili indikator struktur, fungsi tugas, pembinaan, kekompakan, efektivitas, dan kepemimpinan dalam kelompok) tidak berarti tidak berpengaruh terhadap kualitas perilaku berusaha. Meskipun pengaruhnya kecil dan kurang nyata, dinamika kelompok tetap harus ditumbuhkan dan ditingkatkan serta dikelola dengan baik. Hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa pendekatan kelompok merupakan strategi pembinaan yang cukup efektif dalam mengubah perilaku, namun juga efisien dalam pemanfaatan waktu, tenaga, dan biaya. Masyarakat sekitar perusahaan sebagai sasaran program CSR yang jumlahnya cukup besar akan sulit dijangkau dengan pendekatan perorangan, karena memerluka waktu, tenaga, dan biaya yang cukup besar. Sebaliknya, bila pendekatan massal yang ditempuh hasilnya tidak optimal dan tidak efektif. Oleh karena itu, pendekatan kelompok sebagai strategi pendekatan dalam implementasi program CSR masih cukup rasional. Hasil analisis data dengan LISREL 8.5 menghasilkan output (model persamaan untuk pemberdayan masyarakat melalui pelaksanaan program CSR) disajikan pada Gambar 17 dan 18.
176
KARAKTER INDIVIDU
1,0
-0,15
-0,12
-0,10
TINGKAT KEBERDAYAAN EKONOMI
0,29
0,05
1,0
KUALITAS PROGRAM CSR
0,88 0,03
0,09
-0,00
-0,06
1,0
0,09
KOMPETENSI FASILITATOR
0,09
0,19
-0,12
0,38
1,0
PERILAKU BERUSAHA
0,79
0,09
DINAMIKA KELOMPOK
1,0
FAKTOR PENDUKUNG
Chi-Square=214,39, df=199, P-value=0,21609, RMSEA=0,020
Gambar 17. Taksiran Parameter dalam Persamaan Struktural Implikasi dari model pemberdayaan ekonomi masyarakat pada Gambar 17 melalui implementasi program CSR adalah sebagai berikut: (1)
Tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga dapat ditingkatkan melalui peningkatan kualitas perilaku berusaha masyarakat. Peningkatan kualitas perilaku berusaha meliputi peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap terhadap usaha ekonomi produktifnya. Dalam kasus program CSR di Provinsi Lampung, pengetahuan dan keterampilan usaha penggemukan sapi potong, usaha budidaya ubikayu, usaha menjahit pakaian, usaha ternak lele, usaha budidaya jamur tiram, dan usaha budidaya kakao harus ditingkatkan melalui proses pelatihan dan pendampingan dari pihak perusahaan dan dinas instansi terkait.
177
KARAKTER INDIVIDU
9,87
-1,69
-1,38
TINGKAT KEBERDAYAAN EKONOMI
-3,96
9,87
0,70 20,91
KUALITAS PROGRAM CSR
9,87
0,53 -1,23
-0,07
-0,82
KOMPETENSI FASILITATOR
9,87
1,26
PERILAKU BERUSAHA
2,88
-2,95
1,19
9,87
1,50
5,86
DINAMIKA KELOMPOK
9,87
FAKTOR PENDUKUNG
9,87
Chi-Square=214,39, df=199, P-value=0,21609, RMSEA=0,020
Gambar 18. Nilai t dalam Persamaan Struktural (2)
Untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap ke arah positif, maka kualitas program CSR, kompetensi fasilitator, dan faktor pendukung usaha harus ditingkatkan.
Kompetensi fasilitator dalam hal kemampuan
mengajar, kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan memotivasi dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap masyarakat dalam berusaha ekonomi produktif. Peran fasilitator tidak ubahnya seperti peran penyuluh yang karena statusnya sebagai pihak ketiga yang mewakili perusahaan dalam menjembatani program perusahaan di masyarakat sekitar perusahaan, fasilitator harus mampu berperan sebagai guru, penasehat,
dan
penganalisis
masalah
khalayak
sasaran
dengan
kemampuan yang memadai dalam hal berkomunikasi dan bersikap bangga terhadap
profesinya
dan
menyintai
khalayak
sasarannya.
Faktor
pendukung keberhasilan program CSR antara lain ketersediaan sarana prasarana usaha, keterjangkauan harga sarana prasarana usaha, modal
178 awal usaha, penyuluhan dari dinas terkait, dan iklim usaha harus ditingkatkan agar perubahan perilaku berusaha semakin meningkat. (3)
Untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap ke arah positif juga dapat ditempu melalui upaya meningkatkan dinamika kelompok. Sasaran program CSR yang difokuskan melalui kelompok-kelompok masyarakat (kelompok tani, kelompok peternak, dan sebagainya) harus dibina dan didampingi agar kelompok dapat dijadikan wahana belajar, wahana produksi, dan wahana pengambilan keputusan bagi anggotanya. Model Pemberdayaan Masyarakat melalui Program CSR Model (model konseptual) menurut Ensiklopedi Wikipedia adalah sebuah
konstrak teoritis yang mere-presentasikan sesuatu, dengan sekumpulan peubah yang memiliki hubungan kuantitatif dan logis. Dalam hal ini, model dibentuk atau disusun untuk memberikan alasan dalam kerangka berpikir idealis tentang suatu proses sebagai komponen penting dari teori ilmiah. Kerangka berpikir idealis berarti bahwa model di sini dengan membuat suatu asumsi eksplisit yang sebenarnya secara umum dapat dikatakan salah (atau tidak lengkap) bila dikaji secara detail. Asumsi tersebut dijustifikasi sebagai dasar untuk menyederhanakan model tersebut, yang diharapkan dapat memberikan solusi yang akurat. Selanjutnya dikatakan bahwa pemodelan merupakan bagian integral dari berbagai bidang seperti teknik, termasuk enjinering, ekonomi, dan perangkat lunak (modeling is an integral part of many technical fields, including engineering, economics, and software engineering). Model pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui pelaksanaan program CSR dalam penelitian ini dihasilkan melalui serangkaian analisis terhadap data yang ada dibandingkan dengan model yang ditawarkan para ahli yang sudah dikaji dalam tinjauan pustaka. Dengan data yang ada serta temuan hasil analisis terhadap peubah-peubah yang berpengaruh terhadap kapasitas masyarakat dalam berusaha ekonomi produktif, penulis menawarkan lebih dari satu model. Model tersebut dirancang dengan mencocokkan data empirik yang ada dengan model teoritik yang dikemukakan para pakar. (1) Suatu model harus memiliki minimal dua kriteria (Yollies, 1996). Pertama, suatu model harus bersifat dinamik, artinya model harus bersifat responsif dan adaptif terhadap segala bentuk perubahan; hubungan di antara berbagai komponen yang ada dalam model harus saling mendukung. Kedua, model
179 harus memiliki probability, artinya model harus memberikan peluang bagi pengem-bangan
sistem yang
lebih
maksimal.
Pranadji (2003:131)
menyatakan alternatif model pemberdayaan masyarakat dapat dibangun dengan
cara
mengkom-binasikan
beberapa
strategi
pemberdayaan
masyarakat dengan faktor kritis yang ada. Adapun faktor-faktor kritis yang perlu dipertimbangkan adalah referensi waktu, kekomprehensifan (comprehensiveness), sebaran wilayah, diagnosis penyebab, dan sistem manajemen. Berdasarkan hasil analisis dan data pendukung yang ada, berikut ditawarkan dua model pemberdayaan masyarakat dalam implementasi program CSR perusahaan: (1) Model CSR Integratif Perusahaan agroindustri di Lampung sebagian besar memanfaatkan lahan pertanian yang cukup luas (ratusan sampai puluhan ribu hektar) yang sebelumnya merupakan hutan primer atau sekunder yang di sekitarnya dihuni oleh penduduk asli setempat. Perusahaan tersebut memulai usahanya berbekal ijin pemanfaatan lahan berupa hak guna usaha (HGU) dari pemerintah pusat. HGU diberikan oleh pemerintah selama 25 tahun, dan setelah habis masanya dapat diperpanjang.
Masyarakat asli setempat mengklaim bahwa lahan atau
hutan tersebut adalah milik adat sebagai tanah ulayat. Pada jaman Orde Baru tuntutan masyarakat sekitar selalu ditanggapi dengan kekuasaan (memanfaatkan kekuatan ABRI) dalam menyelesaikan tuntutan masyarakat adat. Pengusaha (PMA dan PMDN) merasa berhak karena telah mengantongi ijin HGU, sehingga perusahaan tetap beroperasi meskipun seringkali mendapatkan gangguan (klaim atas kepemilikan lahan) dari masyarakat sekitar (masyarakat asli). Perkembangan perusahaan sangat terbantu oleh banyaknya tenaga kerja yang datang dari Jawa atau anak transmigran yang tinggal tidak jauh dari lokasi perusahaan.
Manajemen perusahaan menilai tenaga kerja asal Jawa dan
keturunannya memiliki etos kerja yang lebih baik (lebih tekun, rajin, dan patuh) dari pada penduduk asli setempat, akibatnya tenaga kerja atau karyawan perusahaan mayoritas pendatang dari Jawa. Penduduk asli etnis setempat yang bertempat tinggal di sekitar perusahaan menjadi seperti warga asing di tanah leluhurnya sendiri, mereka merasa iri karena kesempatan kerja pada perusahaan di sekitarnya relatif kecil.
Kecemburuan tersebut hanya dipendam sampai
mereka mampu bersaing secara sehat melalui jalur seleksi secara ketat agar
180 dapat diterima sebagai karyawan atau tenaga perusahaan yang mengolah lahan milik leluhurnya. Semenjak reformasi digulirkan tahun 1997, euforia terhadap kebebasan dan isu putra daerah menguat.
Beberapa tokoh adat dan tokoh masyarakat
sekitar perusahaan ramai-ramai menuntut kepada pihak manajemen perusahaan untuk meminta ganti rugi atas tanah “leluhurnya” yang telah digarap oleh perusahaan. Mereka juga menuntut persamaan hak untuk dapat diterima dan bekerja sebagai karyawan atau tenaga kerja (“tenaga harian lepas”) perusahaan. Namun, prosedur tetap dan standar baku persyaratan tidak dapat diabaikan serta rendahnya jumlah penerimaan tenaga kerja setiap tahunnya menyebabkan masyarakat asli sekitar perusahaan tetap kalah bersaing. Kemiskinan masyarakat asli sekitar perusahaan semakin meluas seiring rusaknya ekosistem dan lingkungan (terutama sungai) yang menjadi sumber pencaharian utamanya. Kehadiran
perusahaan
yang
membuang
limbah
cair
ke
sungai
menyebabkan masyarakat asli tidak bisa lagi memanfaatkan sungai sebagai tempat mandi, mencuci, dan sumber air bersih, sehingga mereka membutuhkan sarana prasarana MCK yang baru. Kehadiran perusahaan tersebut juga memanfaatkan prasarana transportasi di wilayah sekitarnya,
keberadaan
kendaraan angkutan milik perusahaan menyebabkan rusaknya jalan dan jembatan di wilayah sekitarnya. Kondisi tersebut dapat dijadikan prioritas program model CSR perusahaan. Mengadopsi model dari Garriga dan Mele (Achwan, 2006) implementasi CSR oleh perusahaan di Provinsi Lampung dapat dilaksanakan dengan fokus pada upaya mengintegrasikan program CSR perusahaan dengan permintaan atau tuntutan masyarakat. Tuntutan umum masyarakat asli sekitar perusahaan antara lain: (1) tersedianya lapangan kerja agar supaya mereka dapat memenuhi kebutuhan dasarnya; (2) terpeliharanya sarana prasarana transportasi, terutama jalan dan jembatan di sekitar perusahaan yang banyak dilewati kendaraan (truk) pengangkut hasil produksi perusahaan; (3) tersedianya sarana prasarana umum dan prasarana sosial yang memadai, seperti sumber air bersih, kantor atau balai kampung yang layak, rumah ibadah yang layak, gedung sekolah yang layak, dan sebagainya.
181 Tuntutan pertama dapat dipenuhi oleh perusahaan dengan melaksanakan program CSR melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat. Hal itu dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan-pelatihan usaha ekonomi produktif yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar perusahaan.
Tuntutan
kedua menghendaki perusahaan untuk dapat bertindak secara etis, dengan kemampuan finansialnya sebagai perusahaan yang bertanggungjawab sekaligus sebagai
warga
negara
yang
baik
dengan
memberikan
bantuan
pemeliharaan atau dana pembangunan kepada kampung sekitar.
dana
Tuntutan
ketiga, menghendaki perusahaan dapat membantu menyediakan sarana prasarana umum dan sosial.
Tuntutan ini membutuhkan dana yang besar,
namun bila perusahaan dapat memenuhinya akan berdampak positif bagi perusahaan.
Namun apabila ada kendala atau keterbatasan dana CSR
perusahaan, sebaiknya dilakukan menurut prioritas, misalnya mendahulukan pembuatan sumur umum dari pada pembangunan balai kampung. Semua program tersebut akan lebih tepat sasaran apabila dikordinasikan dengan pemerintah daerah, hal tersebut untuk menghindari adanya tumpang tindih program pembangunan di suatu wilayah.
Perusahaan dapat juga
menyerahkan sepenuhnya dana program CSR kepada pemerintah daerah atau kepada pihak ketiga untuk diimplementasikan pada masyarakat sekitar yang terkena dampak keberadaan perusahaan. Secara konseptual, perusahaan harus melakukan manajemen isu-isu yang berkembang di lingkungan masyarakat sekitar agar kelangsungan perusahaan dapat terjaga.
Karena perkembangan perusahaan tidak dapat
dilepaskan dari pemangku kepentingan (stake holders), maka manajemen pemangku kepentingan harus dilakukan secara tepat.
Para pemangku
kepentingan perusahaan mencakup seluruh jajaran manajemen dan karyawan, masyarakat sekitar, serta konsumen produk yang dihasilkan.
Mereka harus
mendapatkan haknya secara wajar. Strategi Implementasi Model CSR Integratif Strategi implementasi model CSR Integratif yang berfokus pada upaya mengintegrasikan tuntutan atau permintaan masyarakat sekitar dapat dilakukan sebagai berikut: (1) Manajemen isu. Perusahaan menugaskan stafnya untuk menginventarisasi isu-isu yang berkembang di masyarakat sekitar. Hal tersebut dapat dilakukan
182 secara formal ataupun secara informal. Staf perusahaan secara rutin dan berkala malakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat, tokoh adat maupun tokoh agama.
Staf perusahaan harus bersifat terbuka dalam
menerima keluhan, tuntutan, atau permintaan masyarakat, tentunya untutan tersebut mewakili kepentingan masyarakat, bukan kepentingan individu. Pertemuan dapat dilakukan dengan berkunjung ke rumah warga agar mereka tidak merasa sungkan dan lebih terbuka dalam mengeluarkan semua “uneguneg” yang dirasakan. Semua keluhan, tuntutan, atau permintaan diinventarisasi untuk dibicarakan pada jajaran direksi perusahaan untuk selanjutnya dicarikan solusi secara arif dan bijaksana. Semua isu tersebut kemudian dicari peringkat keseriusannya atau isu mana yang sebaiknya didahulukan untuk dicarikan solusinya.
Solusi yang diberikan oleh pihak perusahaan
dituangkan dalam kegiatan yang disesuaikan jenis keluhan, tuntutan, atau permintaan masyarakat. Solusi tersebut dapat menggunakan strategi karitatif (charity) atau kedermawanan, dengan memberikan bantuan atau membagibagikan bantuan yang berupa materi (uang atau barang). Hal ini dapat juga dilakukan oleh manajemen perusahaan dengan berkoordinasi dengan pemerintah daerah atau pihak ketiga (Perguruan Tinggi atau Lembaga Swadaya Masyarakat). Langkah ini akan terasa lebih bijak, perusahaan sebagai penyandang dana CSR, pihak pemerintah daerah atau pihak ketiga sebagai pelaksana program di masyarakat sekitar perusahaan. (2) Manajemen pemangku kepentingan (stake holders). Pemangku kepentingan program CSR meliputi jajaran manajemen perusahaan, karyawan, masyarakat sekitar, serta konsumen produk perusahaan. (a) Jajaran manajemen berusaha mencari tahu dan memahami isu-isu yang berkembang di dalam perusahaan maupun di luar perusahaan atau di masyarakat sekitar perusahaan. (b) Pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan terhadap karyawan dijalankan dengan penerapan SA 8000 dan pelaksanaan Sistem Manajemen Kesehatan Kerja Karyawan (SMK3) secara konsekuen. (c) Masyarakat sekitar perusahaan harus dianggap sebagai tetangga oleh perusahaan sehingga interaksi positif timbal balik harus dijalin oleh perusahaan, dalam hal ini jajaran manajemen yang harus bersikap proaktif. Isu yang berkembang di masyarakat sekitar perusahaan yang ada kaitannya dengan keberadaan perusahaan harus cepat diantisipasi
183 agar tidak sampai mengganggu kelangsungan perusahaan. Pelaksanaan pasal 74 Undang-undang No.40 Tahun 2007 merupakan keharusan. Perusahaan dapat melaksanakannya melalui program yang dirancang bersama masyarakat dengan mempertimbangkan ketersediaan dana (dua sampai lima persen keuntungan bersih perusahaan). (d) Konsumen adalah raja, sehingga perusahaan harus menjaga agar produk perusahaan memiliki image yang baik.
Studi perilaku kosumen akan
sangat membantu dalam menghasilkan produk yang dikehendaki oleh konsumen. Dalam proses produksi perusahaan harus memenuhi standar SNI dan atau ISO 9000 agar mutu produk dapat dipertahankan. (2) Model CSR Partisipatif Sebagai sebuah program, CSR akan dilaksanakan dengan melibatkan berbagai pihak. Manajemen perusahaan merupakan pihak pertama yang bertanggungjawab dalam aspek pendanaan.
Program yang dijalankan oleh
perusahaan
terutama
ditujukan
kepada
masyarakat,
masyarakat
sekitar
perusahaan. Dalam pelaksanaannya, untuk menjembatani kepentingan perusahaan dan masyarakat dapat dilibatkan fasilitator. Fasilitator dapat diperankan oleh pemerintah daerah atau pihak ketiga (diutamakan perguruan tinggi) yang memiliki kompetensi di bidang kegiatan yang dilakukan. Agar supaya program tersebut dapat diterima oleh masyarakat sasaran, program
tersebut
didahului
dengan
proses
penyusunan
rencana
atau
perencanaan secara bijaksana. Hal ini dimaksudkan agar program yang disusun dapat mengakomodasi kepentingan semua pemangku kepentingan, terutama masyarakat sekitar perusahaan sebagai sasaran program. Masyarakat sasaran harus dilibatkan dalam penyusunan rencana program, terutama dalam penentuan prioritas program yang disesuaikan dengan upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat sekitar perusahaan. Langkah awal yang ditempuh dalam penyusunan program CSR adalah identifikasi kebutuhan atau need assesment. Langkah ini akan lebih efektif bila identifikasi kebutuhan tersebut dilakukan melalui kelompok-kelompok masyarakat sehingga tersusun suatu rencana definitif kelompok dan rencana definitif kebutuhan kelompok. Sesuai dengan proses penyusunan program yang melibatkan masyarakat sasaran dan semua pemangku kepentingan, model CSR ini diberi nama Model CSR Partisipatif.
184 Model ini didasarkan atas beberapa pertimbangan berikut: (1) Implementasi CSR akan berhasil bila direncanakan dengan baik.
Proses
perencanaan merupakan bagian program yang tidak dapat dihilangkan. (2) Implementasi program CSR oleh perusahaan harus melibatkan semua pemangku kepentingan (stake holders) dalam setiap tahap kegiatan. (3) Keberhasilan program CSR sangat ditentukan oleh kesesuaian program degan kebutuhan masyarakat, sehingga langkah identifikasi kebutuhan (need assesment) dan keterlibatan masyarakat dalam penyusunan program tidak dapat diabaikan. (4) Masyarakat diberi kewenangan untuk mengevaluasi keberhasilan atau kegagalan dari program yang sudah mereka jalankan. (5) Optimalisasi peranan tenaga fasilitator dalam pelaksanaan program CSR. Tenaga fasilitator tersebut dapat berasal dari karyawan perusahaan atau pihak ketiga (perguruan tinggi yang ditunjuk oleh perusahaan) yang memiliki kompetensi di bidang yang sesuai dengan kebutuhan program.. Strategi Implementasi Model CSR Partisipatif Mempertimbangkan hasil analisis yang telah dilakukan, implementasi model CSR dalam pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan lebih tepat menerapkan strategi ekonomi dengan faktor kritis berupa penyebab rendahnya pendapatan masyarakat sekitar perusahaan dan sistem manajemen program CSR oleh perusahaan. Pelaksanaan strategi pemberdayaan masyarakat tersebut dilakukan secara bertahap, dimulai dari tahap awal sampai pada tahap evaluasi keberhasilan (outcome dan impact). Tahapan atau langkah pelaksanaan kegiatan diharapkan akan membantu keberhasilan tahap berikutnya. ¾ Tahap pertama, perlu dilakukan analisis secara seksama terhadap masalah kesenjangan yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat sekitar. Hal ini dilakukan sebagai langkah antisipasi terhadap perubahan sosial (terutama yang bersifat negatif dan destruktif). ¾ Tahap kedua, inisiasi program CSR yang dimulai dengan proses need assessment secara seksama dan sosialisasi program secara transparan. Analisis kebutuhan dijadikan dasar atau prioritas rencana program yang akan dijalankan. Tahap ini berimplikasi pada perlunya audit secara transparan terhadap anggaran atau dana CSR perusahaan.
Adanya himbauan dari
185 pemerintah atau konsensus antar perusahaan bahwa setiap perusahaan menganggarkan dua persen dari keuntungan perusahaan untuk program CSR dapat menjadi tolok ukur seberapa besar komitmen perusahaan dalam melaksanakan tanggungjawab sosialnya.
Namun demikian, kendala yang
dihadapi adalah kejujuran manajemen perusahaan yang belum “go public” dalam melaporkan atau menginformasikan jumlah keuntungan perusahaan setiap tahunnya.
Sebagai badan usaha yang belum “go public”, laporan
pertanggungjawaban perusahaan (termasuk jumlah keuntungan) tidak ada keharusan untuk memberikan laporan secara terbuka. ¾ Tahap ketiga, langkah pengembangan, mediasi, fasilitasi, pembinaan, dan pendampingan kelompok sasaran.
Masyarakat yang belum memiliki
lembaga kelompok difasilitasi untuk membentuk dan membangun lembaga kelompok. Melalui kelompok-kelompok yang ada kegiatan fasilitasi, mediasi, pembinaan, dan pendampingan dan dilakukan secara efektif dan efisien. ¾ Tahap keempat, penetapan jenis usaha dan pelaksanaan usaha ekonomi produktif yang dikembangkan.
Melalui kelompok-kelompok yang sudah
terbentuk, jenis usaha yang akan mereka kembangkan merupakan kesepakatan kelompok dengan mempertimbangkan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia kelompok. ¾ Tahap kelima, operasionalisasi usaha ekonomi produktif kelompok sasaran. Pelaksanaan dan pengelolaan usaha ekonomi produktif dilakukan dari, oleh, dan untuk anggota kelompok. Pada awalnya, pengelolaan dapat didampingi oleh tenaga fasilitatator, hal ini diarahkan agar secepatnya kelompok dapat mengelola usahanya secara mandiri. ¾ Tahap keenam, pengembangan inovasi bagi peningkatan produktivitas usaha ekonomi produktif.
Agar usaha ekonomi produktif dapat bersaing, maka
upaya pengembangan inovasi merupakan syarat yang tidak dapat ditawar lagi.
Pengembangan inovasi dapat berasal dari dalam kelompok atau
masukan dari luar kelompok. ¾ Tahap ketujuh, kegiatan evaluasi keberhasilan untuk melihat sejauh mana pencapaian tujuan program dari aspek sosial dan ekonomis.
Langkah
evaluasi dilakukan pada setiap tahap kegiatan, dimulai dari perencanaan, pelaksanaan (monitoring), sampai tahap evaluasi hasil.
186 Untuk mempermudah penerapan model yang diajukan, secara skematis disajikan pada Gambar 19.
Penjabaran pelaksanaan model di lapangan
dijabarkan dalam kerangka model strategi seperti disajikan pada Tabel 69.
Analisis Kondisi Awal dan Analisis Kebutuhan Masyarakat Sekitar
Penyusunan Program CSR melibatkan semua Pemangku Kepentingan (Partisipatif)
Sosialisasi Program CSR kepada kelompok sasaran
Pembekalan tenaga fasilitator
Fasilitasi, mediasi, pendampingan, pelayanan, dan mobilisasi
Peningkatan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan produktivitas usaha ekonomi
Peningkatan pendapatan dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat
Masyarakat sekitar perusahaan makin sejahtera
Gambar 19. Diagram Model Implementasi CSR Partisipatif Bila sasaran program yang teridentifikasi adalah kelompok masyarakat yang anggotanya tidak terlalu banyak (kurang dari 20 orang), penyusunan program dapat dilakukan dengan teknik perencanaan strategis partisipatif (Gaventa dan Valderama, 2004:68).
Proses baku perencanaan strategis
partisipatif (participatory strategic planning) merupakan sebuah terapan dari metode fasilitasi kelompok yang terdiri dari empat pertemuan (session) yakni identifikasi kebutuhan (real need), curah pendapat, perumusan visi, dan finalisasi rencana.
187 Tabel 69. Model Strategi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat melalui Implementasi Program CSR Kondisi Awal
Input
Proses
Output
Outcome
Impact
Kesenjang an ekonomi dan kecemburu an social antara masyarakat sekitar dengan perusahaa n. Undangundang No. 47 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Antisipasi perubahan sosial
Reorientasi partisipatif dalam penyusunan program CSR Sosialisasi program pada kelompok sasaran dan masyarakat Pendanaan program CSR perusahaan secara transparan. Identifikasi kelompok dan kebutuhan kelompok sasaran/masya rakat dengan teknik PRA. Identifikasi jenis usaha ekonomi produktif yang dapat dikembangkan. Identifikasi kebutuhan dan rekruitmen fasilitator program CSR Pembekalan bagi tenaga fasilitator (pendekatan andragogi, komunikasi efektif, pengembangan motivasi, dsb)
Pengembang an aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik bagi sasaran. Menjembatan i kepentingan perusahaan dan kelompok sasaran (masyarakat sekitar perusahaan) serta dengan pihak lain. Fasilitasi demi kemudahan sarana prasarana usaha ekonomi produktif Mediasi kelompok sasaran dengan sumber modal Pendampinga n kelompok sasaran secara optimal
Tingkat pengetahuan, keterampilan dan sikap yang optimal bagi usaha ekonomi produktif terpilih Berkembangn ya dinamika kelompok sasaran binaan program CSR Meningkatnya kemampuan modal usaha kelompok sasaran (masyarakat). Meningkatnya produktivitas usaha ekonomi produktif
Meningkatnya pendapatan masyarakat sekitar perusahaan Meningkatnya derajad kemandirian kelompok sasaran / masyarakat dalam berusaha ekonomi produktif. Berkembangn ya usaha ekonomi produktif di sekitar perusahaan berbasis sumberdaya lokal.
Berkurangnya kesenjanga n social dan ekonomi antara masyarakat sekitar dengan perusahaan Meningkatn ya kesejahtera an masyarakat sekitar perusahaan .
↓ Program aksi studi komunitas bersama masyarakat (participatory community study)
188
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan disimpulkan: (1) Persepsi masyarakat terhadap CSR merupakan kegiatan perusahaan membantu masyarakat di bidang fisik, sosial, budaya, dan atau ekonomi agar masyarakat lebih berdaya dan mandiri sehingga mereka terbantu dalam meningkatkan kesejahteraannya.
Manajemen perusahaan memahami
bahwa dengan memberikan bantuan di bidang fisik untuk pembangunan prasarana pendidikan, ibadah, dan sosial, bantuan pendidikan, dan menjalin kemitraan dengan masyarakat berarti perusahaan telah melaksanakan tanggungjawab sosialnya.
Pengelolaan limbah cair dengan instalasi
pengolahan limbah yang dimiliki perusahaan, berarti manajemen perusahaan telah melaksanakan tanggungjawab lingkungannya. (2) Karakter individu masyarakat dan kualitas program CSR tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan perilaku berusaha, sedangkan kompetensi fasilitator dan faktor pendukung berpengaruh nyata terhadap perubahan perilaku berusaha masyarakat. (3) Perilaku berusaha berpengaruh nyata terhadap tingkat keberdayaan ekonomi masyarakat. (4) Model CSR Integratif dan CSR Partisipatif lebih tepat diterapkan dalam implementasi CSR di Provinsi Lampung.
Model CSR Inegratif dapat
meminimalkan konflik antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya, sedangkan
Model CSR Partisipatif dapat menampung aspirasi dan
kebutuhan dasar masyarakat sekitar perusahaan yang diakomodasi dalam program CSR yang akan dijalankan oleh perusahaan. Saran (1) Jajaran manajemen perusahaan seharusnya memahami implementasi program CSR bukan sebagai program karitatif. Implementasi program CSR seharusnya
diarahkan
guna
membangun
kepekaan
dan
kepedulian
perusahaan terhadap semua pemangku kepentingan, terutama masyarakat sekitar perusahaan.
Pemahaman terhadap kewajiban pelaksanaan CSR
harus menjangkau semua level manajemen dari pucuk pimpinan perusahaan
189 sehingga program CSR dapat terintegrasi dengan program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat. (2) Banyaknya isu tuntutan masyarakat sekitar terhadap perusahaan agroindustri yang memanfaatkan sumberdaya lahan di Lampung dapat diantisipasi dengan penerapan model CSR yang sesuai. Pelaksanaan CSR oleh perusahaan disarankan mengikuti model CSR integratif melalui manajemen isu dan manajemen pemangku kepentingan. (3) Pemerintah harus berperan dalam mendorong perusahaan yang mengelola sumberdaya alam untuk menerapkan tanggungjawab sosialnya, serta melibatkan masyarakat untuk aktif mengoreksi dampak pembangunan dengan mengembangkan prakarsa pembuatan aturan perilaku yang dapat menjadi pedoman masyarakat dalam menyampaikan aspirasi melalui mekanisme yang disepakati, sehingga mereka berifat kritis untuk menjaga akuntabilitas program CSR di wilayahnya. (4) Agar Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas lebih mudah diimplementasikan, maka perlu ditetapkan rumusan penjabaran operasional pasal tersebut. Selain itu, perlu disepakati adanya keharusan bagi perusahaan pelaksana program CSR untuk siap diaudit oleh pihak ketiga dalam mengalokasikan dana CSR perusahaan yang bersumber dari keuntungan perusahaan.
190
DAFTAR PUSTAKA Achwan, Rochman. 2006. “Corporate Social Responsibility: Pertikaian Paradigma dan Arah Perkembangan” dalam Galang: Jurnal Filantropi dan Masyarakat Madani. Vol, 1 No, 2 Januari 2006. Halaman: 83—92. Jakarta: PIRAC. Adi, Isbandi Rukminto. 2002. Pemikiran-Pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI. ________. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI. Adjid, Dudung Abdul. 2002. Pemberdayaan Penyuluhan Pertanian dalam Era Otonomi Daerah. Jakarta: BPSDM Departemen Pertanian. Anonim. 2005a. Corporate Social Responsibility. http://www.Strategis.gc.ca. [08 September 2005]. ______. 2005b. Corporate Social Responsibility Seminar. Jakarta: AIMS Consultant. ______. 2006. 2006].
Empowerment. http://www.Yourdictionary.com.
[07 Oktober
______. 29 November 2008. Kadin minta Pengaturan CSR Segera Dicabut. Kompas:19 (kolom 1-3). Asngari, Pang S. 2001. “Peranan Agen Pembaharuan / Penyuluh dalam Usaha Memberdayakan (“Empowerment”) Sumberdaya Manusia Pengelola Agribisnis.” Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi Peternakan. Bogor: Fakultas Perternakan IPB. _____________. 1982. “Perceptions of District Extension Directors and County Extension Agent Chairmen Regarding The Roles and Functions of The Texas Agricultural Extensin Service.” Disertation. Texas: East Texas State University. Atmodiwirio, Soebagio. 2002. Manajemen Pelatihan. Jakarta: PT. Ardadizya Jaya. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2005. Statistik Industri Besar dan Sedang Propinsi Lampung Tahun 2003. Bandar Lampung: BPS Lampung. ________. 2007. Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Lampung 2006. Bandar Lampung: BPS Provinsi Lampung. ________. 2007. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2005-2006. Buku 1 dan 2 Jakarta: BPS. Daulay, A. 2005. Panduan Teknis Operasional Program Pemberdayaan Fakir Miskin di Wilayah Pertambangan dan Industri. Jakarta: Departemen Sosial. Departemen Pertanian dan DFID. 1998. Panduan Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jenderal Produksi Peternakan. Frederick, William C., K. Devis, dan J.E. Post. 1988. Business and Society Corporate Strategy, Public Policy, Ethics. New York: McGraw-Hill Publishing Company.
191 Fukuyama, F. 1999. The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order. New York, London, Toronto, Sidney, Singapore: Simon and Schuster. Gaventa, J., dan Camila Valderama. 2004. Mewujudkan Partisipasi: 21 Teknik Partisipasi Masyarakat untuk Abad 21. Jakarta: The Bitish Council. Ghozali, I., dan Fuad. 2005. Structural Equation Modeling. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Gunawan, Memed. 2003. Pedoman Umum Pemberdayaan Masyarakat Agribisnis melalui Penguatan Modal Usaha Kelompok. Jakarta: Departemen Pertanian. Hair Jr, Yoseph F., Ralph E. Anderson, Ronald Papham, dan William Black. 1998, Multivariate Data Analysis, 1 St edition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Hutomo, Mardi Yatmo. 2000. Pemberdayaan Masyarakat dalam Bidang Ekonomi: Tinjauan Teoritik dan Implementasi. Seminar Sehari Pemberdayaan Masyarakat, 6 Maret 2000. Yogyakarta: Bappenas. Ife, Jim. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives, Vision, Analysis and Practice. Australia: Longman. ______. 2002. Community Development: Community-based alternatives in an age of globalization. 2nd Edition. New South Wales: Pearson Education Australia. Jahi, Amri. 2006. Pemberdayaan: Dalam Teori dan Praktek. Bogor: Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan, IPB. Jahja, Rusfaida Saktiyanti. 2006. “Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Corporate Social Responsibility Perusahaan Ekstraktif.” Dalam Galang: Jurnal Filantropi dan Masyarakat Madani. Vol, 1 No, 2 Januari 2006. Halaman: 22—35. Jakarta: PIRAC. Karsidi, Ravik. 2003. “Pemberdayaan Masyarakat Petani dan Nelayan Kecil.” Dalam Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor: IPB Press. Kartasasmita, Ginanjar. 1997. Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan yang Berakar Pada Masyarakat. Surabaya: Sarasehan DPD GOLKAR Tk. I Jawa Timur, tanggal 14 Maret 1997. http://www.ginajar.com [18 Agustus 2007] Kerlinger, F.N. 2004. Asas-Asas Penelitian Behavioral Edisi Ketiga. Terjemahan Landung R. Simatupang. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kotler, P., dan N. Lee. 2005. Corporate Social Responsibility, Doing the Most Good for Your Company and Your Cause. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Ledwith, M. 2005. Community Development A Critical Approach. Bristol, UK: The Policy Press University of Bristol. Longstreth, B., dan H.D. Rosenbloom. 1973. Corporate Social Responsibility and the Institutional Investor: a Report to the Ford Foundation. New York: Praeger Publisher.
192 Mardikanto, Totok. 1992. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press.
Surakarta:
Mosher, A.T. 1974. Menciptakan Struktur Pedesaan Progresif. Disadur oleh: Rochim Wirjomidjojo dan Sudjanadi. Jakarta: CV Yasaguna. Mubyarto dan Daniel W. Bromley. 2002. A Development Alternative For Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nasdian, Fredian Tonny. 2006. Pengembangan Masyarakat (Community Development). Bogor: Departemen KPM, FEMA, IPB. Ndraha, Taliziduhu. 1990. Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Jakarta: Rineka Cipta. Nugraha, Benny Setia, Ibnu Hamad, La Tofi, Novita Hifni, dan Kasta. (Editor). 2005. Investasi Sosial. Jakarta: Puspensos – LaTofi. Nursahid, Fajar. 2006. “Praktik Kedermawanan Sosial BUMN: Analisis terhadap Model Kedermawanan PT. Krakatau Steel, PT. Pertamina, dan PT. Telkom,” Dalam Galang: Jurnal Filantropi dan Masyarakat Madani. Vol, 1 No, 2 Januari 2006. Halaman: 5—21. Jakarta: PIRAC. Pambudi, Teguh Sri. 2005. “CSR; Sebuah Keharusan“ dalam Investasi Sosial. Jakarta: Puspensos – LaTofi. Hlm: 16—29. Parsons, Ruth J., Jams D. Jorgensen dan Santos H. Hernandez. 1994. The Integration of Social Work Practice. California: Brooks/Cole. Perkins, D. D , dan Marc A. Zimmerman. 1995. “Empowerment theory, research, and application“ dalam American Journal of Community Psychology. October 1995 Vol. 23. New York. Pranadji, Tri. 2003. Menuju Transformasi Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Bogor: Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Rakhmat, Jalaluddin. 2002. Remaja Rosdakarya.
Metode Penelitian Komunikasi.
Bandung: PT.
Rappaport, J. 1984. Studis in Empowerment: Introduction to the Issue, Prevention in Human Issue. California: John Willey & Sons. Sajogyo. 1986. “Masalah kemiskinan di Indonesia: Antara Teori dan Praktik”. Mimbar Sosek. Bogor: Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian IPB. Santosa, S. 2004. Dinamika Kelompok. Jakarta: PT Bumi Aksara. Sembiring, Simon. 2008. “Dana CSR jangan Masuk ke Kas Daerah.” Majalah Bisnis & CSR. Jakarta: La-Tofi Enterprise. Siegel, S. 1985. Statistika Non-Parametrik untuk ilmu-Ilmu Sosial (terjemahan Zanzawi Suyuti). Jakarta: PT. Gramedia. Singarimbun, M., dan S. Effendi (Editor). Jakarta: LP3ES.
1989.
Metode Penelitian Survei.
Slamet, Margono. 2003. Membentuk Perilaku Manusia Pembangunan. Diedit oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor: IPB Press. Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
193 Solimun. 2002. Multivariate Analysis Structural Equation Modelling (SEM) Lisrel dan Amos. Malang: Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya. Spreitzer, G.M. 1996. “Social structural characteristics of psychological empowerment,” Dalam Academy of Management Journal. April 1996.Vol.39. Briarcliff Manor, USA. Subianto, Prabowo. 2008. “Kesenjangan”. Majalah Tani Merdeka. No.11 Thn I. November-Desember. Sugihen, Basita Ginting. 2006. Pembangunan Masyarakat. Bogor: Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan, IPB.
Program
Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Masyarakat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial & Pekerjaan Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama. Sumarto, Mulyadi. 15 Agustus 2007. Kompas: 4 (kolom 1-3).
“CSR Layaknya Buah Simalakama”.
Sumodiningrat, Gunawan. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sumpeno, Wahyudin. 2004. Sekolah Masyarakat: Menerapkan Rapid Training Design dalam Membangun Kapasitas. Jakarta: CRS Indonesia. Suparjan dan Hempri Suyatno. 2003. Pengembangan Masyarakat dari Pembangunan sampai Pemberdayaan. Yogyakarta: Aditya Media. Suparlan, Parsudi. 2005. “Pembangunan Komuniti dan Tanggung Jawab Korporasi” dalam Investasi Sosial. Diedit oleh Benny Setia Nugraha, Ibnu Hamad, La Tofi, Novita Hifni, dan Kasta. Jakarta: Puspensos – LaTofi Enterprise. Supranto, J. 2004. Analisis Multivariat:Arti dan Interpretasi. Jakarta: Penerbit P.T. Rineka Cipta. Susanto, Djoko. 1990. “Pendekatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Gizi melalui Sistem Pemasaran Sosial dalam Program Penganekaragaman Konsumsi Pangan.” Dalam Prosiding Simposium Pangan dan Gizi, serta Kongres IV PERGIZI-PANGAN Indonesia. Padang, 26-28 September 1989. Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. Jakarta Selatan: PT. Bina Rena Pariwara. Tampubolon, Joyakin. 2006. “Pemberdayaan Masyarakat melalui Pendekatan Kelompok: Kasus Pemberdayaan Masyarakat Miskin melalui Pendekatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE).” Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Umar, Husein. 2003. Metode Riset Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. van den Ban, A.W., dan H.S. Hawkins. 1988. Agricultural Extension. New York: John Willey & Son, Inc. Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
194 Windarti, D. 2004. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (Studi Di PT. Tambang Batubara Bukit Asam (PERSERO) Tbk (PTBA). Medan: Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Sumatra Utara. Yano, Tomosaburo. 2005. “Promotion of Corporate Social Responsibility.” Makalah CSR Seminar. Jakarta: AIMS Consultants. Yollies, M.I. 1996. “Critical System: Thinking, Paradigm and the Modelling Space System Practice.” Journal of Psychology. Vol. 9, Number 6 December 1996. New York and London: Plenum Press.
195
LAMPIRAN
196 Lampiran 1.
Deskripsi Umum Wilayah Penelitian Keadaan Geografi dan Iklim Luas wilayah Propinsi Lampung, termasuk sungai, danau, dan tepi pantai seluruhnya adalah 35.376,50 km2.
Secara geografis Provinsi Lampung terletak
pada 103°40’ sampai 105°50’ Bujur Timur dan 6°45’ sampai 3°45’ Lintang Selatan, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: -
Di sebelah Utara dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu,
-
Di sebelah Selatan dengan Selat Sunda,
-
Di sebelah Timur dengan Laut Jawa,
-
Di Sebelah Barat dengan Samudra Indonesia. Dengan ditetapkannya UU Nomor 12 Tahun 1999, Provinsi Lampung
dimekarkan menjadi 10 kabupaten/kota, dengan luas wilayah masing-masing kabupaten/kota adalah sebagai berikut: (1) Kabupaten Lampung Barat
495.040 Ha
(2) Kabupaten Tanggamus
335.661 Ha
(3) Kabupaten Lampung Selatan
318.078 Ha
(4) Kabupaten Lampung Timur
433.789 Ha
(5) Kabupaten Lampung Tengah
478.982 Ha
(6) Kabupaten Lampung Utara
272.563 Ha
(7) Kabupaten Way Kanan
392.163 Ha
(8) Kabupaten Tulang Bawang
777.084 Ha
(9) Kota Bandar Lampung (10)
Kota Metro
19.296 Ha 6.179 Ha
Semenjak bulan November 2007 telah terbentuk Kabupaten Pesawaran yang beribukota di Gedong Tataan sebagai pemekaran dari wilayah Kabupaten Lampung Selatan, sehingga saat ini Provinsi Lampung terdiri dari sembilan kabupaten dan dua kota, serta 91 kecamatan dan 2.065 desa/kelurahan.. Kabupaten dan kota tersebut diantaranya adalah Kabupaten Lampung Timur yang merupakan kabupaten yang berada di wilayah paling timur, berbatasan dengan Laut Jawa; serta Kota Metro yang merupakan kota ke dua terbesar di Propinsi Lampung sesudah Bandar Lampung yang merupakan ibukota propinsi. Kota Metro terletak di bagian tengah ke arah Lampung Timur.
197 Kawasan bagian barat Provinsi Lampung merupakan daerah pegunungan sebagai rangkaian dari Bukit Barisan . Di provinsi ini tercatat tiga buah gunung yang tingginya di atas 2000 meter di atas permukaan laut, yakni Gunung Pesagi di Kabupaten Lampung Barat dengan ketinggian 2.239 m, Gunung Tanggamus dengan ketinggian 2.102 m terletak di Kabupaten Tanggamus, dan Gunung Tangkit Tebak dengan tinggi 2.115 m terletak di Kabupaten Lampung Utara. Suhu udara rata-rata siang hari di wilayah ini berkisar antara 31,0oC sampai 35,4oC, sedangkan suhu udara pada malam hari berkisar antara 20,8oC sampai 24,0oC. Rata-rata curah hujan pada tahun 2006 sebesar 141,29 mm, lebih rendah dibandingkan rata-rata curah hujan tahun 2005 sebesar 141,92 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari yang mencapai 326,6 mm, dan curah hujan terendah pada bulan September sebesar 0,0 mm atau tidak ada hujan sama sekali. Pemerintahan Administrasi pemerintah Provinsi Lampung saat ini terdiri atas sembilan kabupaten dan dua kota. Pembagian wilayah admisnistrasi Pemerintah Provinsi Lampung disajikan secara lengkap pada Tabel 70. Tabel 70. Pembagian Wilayah Administrasi Provinsi Lampung No.
Kabupaten/Kota
Jumlah kecamatan
Jumlah desa/kelurahan
1.
Kabupaten Lampung Barat
17
181
2.
Kabupaten Tanggamus
28
379
3.
Kabupaten Lampung Selatan
17
384
4.
Kabupaten Pesawaran
7
*)
5.
Kabupaten Lampung Timur
24
246
6.
Kabupaten Lampung Tengah
28
293
7.
Kabupaten Lampung Utara
23
231
8.
Kabupaten Way Kanan
14
205
9.
Kabupaten Tulang Bawang
28
240
10
Kota Bandar Lampung
13
98
11.
Kota Metro
5
22
Keterangan: *) belum ada data, jumlah termasuk 384 desa/kelurahan di Kabupaten Lampung Selatan (kabupaten induk)
198
Peta 1. Pembagian Wilayah Administratif Provinsi Lampung
Dari sebelas kabupaten/kota yang ada saat ini, Kabupaten Pesawaran merupakan kabupaten termuda, sebab kabupaten ini secara resmi berdiri pada bulan September 2007.
Kabupaten ini merupakan pemekaran dari bagian
wilayah Kabupaten Lampung Selatan yang mencakup wilayah tujuh kecamatan, yakni Kecamatan Padang Cermin, Punduh Pidada, Way Lima, Kedondong, Gedong Tataan, Negeri Katon, dan Tegineneng. Secara keseluruhan provinsi ini mempunyai 204 kecamatan dan 2.279 desa/kelurahan. Tabel 71. Banyaknya Desa/Kelurahan per Kabupaten/Kota menurut Status Perkembangannya di Provinsi Lampung Tahun 2006 No. Kabupaten/Kota
Desa Tertinggal Kurang Sedang Maju Jumlah berkembang Berkembang
Desa Non Tertinggal
1.
Kabupaten Lampung Barat
3
5
101
109
67
2.
Kabupaten Tanggamus
7
11
107
125
205
3.
Kabupaten Lpg. Selatan
0
0
117
117
260
4.
Kabupaten Pesawaran
*)
*)
*)
*)
*)
5.
Kabupaten Lampung Timur
0
0
33
33
213
6.
Kabupaten Lpg Tengah
0
0
63
63
224
7.
Kabupaten Lampung Utara
2
3
82
87
144
8.
Kabupaten Way Kanan
4
7
116
127
73
9.
Kabupaten Tulang Bawang
3
7
91
101
141
10
Kota Bandar Lampung
0
0
3
3
95
11.
Kota Metro
0
0
0
0
22
Jumlah
19
33
713
765
1.444
Sumber: Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa Provinsi Lampung, 2007 Keterangan: *) termasuk dalam wilayah Kabupaten Lampung Selatan
200 Pembangunan wilayah Provinsi Lampung ini cukup pesat, salah satu pendorongnya adalah karena wilayah ini paling dekat dengan pulau Jawa. Namun demikian, karena kondisi dan potensi wilayah serta perkembangan pembangunan yang tidak sama, dari 1.444 desa/kelurahan yang ada saat ini masih termasuk 765 desa tertinggal dengan rincian 19 desa kurang berkembang, 33 desa sedang berkembang, dan 713 desa maju (Tabel 71). Penduduk dan Ketenagakerjaan Berdasarkan hasil estimasi jumlah penduduk tahun 2005, jumlah penduduk Lampung tahun 2006 tercatat 7.211.586 orang. Dari total penduduk tersebut 51,48 persen atau sebanyak 3.712.346 orang laki-laki dan 3.499.150 orang perempuan. Hal ini berarti rasio jenis kelamin atau sex ratio penduduk Lampung adalah sebesar 106,10. Dengan luas wilayah 3.528.835 Ha berarti kepadatan penduduk Lampung mencapai 204 jiwa per km2.
Rincian jumlah
penduduk per kabupaten/kota disajikan pada Tabel 72. Tabel 72. Penduduk Provinsi Lampung menurut Kabupaten/Kota 1997-2006 No. Kaupaten/ Kota
Tahun 2001
2002
2003
2004
2005
2006
1.
Kabupaten Lam-Barat
371.891
377.298
382.706
388.113
378.005
380.208
2.
Kabupaten Tanggamus
800.561
800.910
801.260
801.609
821.119
824.922
3.
Kabupaten Lam-Sel *)
4.
Kabupaten Lam-Timur
5.
Kabupaten Lam-Teng
6.
Kabupaten Lam-Utara
539.980
543.020
549.060
555.099
554.617
559.172
7.
Kabupaten Way Kanan
358.164
358.724
359.284
359.844
359.945
361.810
8.
Kabupaten Tlg Bawang
702.247
712.671
723.096
733.520
750.672
763.360
9.
Kota Bd. Lampung
754.892
767.036
779.179
788.937
793.746
803.922
10
Kota Metro
119.771
121.094
122.417
123.740
128.343
130.348
Jumlah
1.147.914 1.162.708 1.177.505 1.192.296 1.281.104 1.312.527 874.645
879.863
885.080
890.298
919.274
929.159
1.055.249 1.064.330 1.073.412 1.082.494 1.129.352 1.146.158
6.772.314 6.787.654 6.852.999 6.915.950 7.116.177 7.211.586
Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2007
201 Tabel 73. Jumlah Keluarga di Provinsi Lampung Tahun 2006 menurut Tahapan Kesejahteraannya No. Kabupaten/ Kota
Pra S
KS I
KS II
KS III
KS III+
Jumlah
1.
Kabupaten Lam-Bar.
34.903
29.791
26.046
7.486
205
98.431
2.
Kabupaten Tanggamus
86.399
50.061
45.354
25.781
1.770
209.365
3.
Kabupaten Lam-Sel *)
147.463
69.938
50.174
34.855
2.335
304.765
4.
Kabupaten Lam-Timur
89.798
61.781
43.500
41.198
3.409
239.686
5.
Kabupaten Lam-Teng
82.084
74.328
79.321
45.645
3.289
284.667
6.
Kabupaten Lam-Utara
63.688
37.999
29.932
9.951
284
141.854
7.
Kabupaten Way Kanan
55.526
25.670
14.033
4.989
40
100.258
8.
Kabupaten Tlg Bawang
81.154
99.796
19.817
9.989
347
211.103
9.
Kota Bd. Lampung
63.335
36.497
36.910
28.037
7.730
172.509
10
Kota Metro
5.293
4.907
9.113
11.090
1.780
32.183
Jumlah
709.643
490.768 354.200 219.021 21.189 1.794.821
Sumber: BKKBN Provinsi Lampung Keterangan: *) termasuk Kabupaten Pesawaran Pada Tabel 73 dapat kita ketahui bahwa jumlah keluarga Pra Sejahtera masih cukup besar yakni 709.643 KK atau mencapai 39,54 persen dari jumlah KK yang ada di Provinsi Lampung. Jumlah tersebut paling banyak berada di Kabupaten Lampung Selatan.
Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan
daerah Lampung masih perlu dipacu khususnya pembangunan ekonomi untuk mengurangi jumlah keluarga miskin (pra sejahtera) karena alasan ekonomi maupun bukan ekonomi. Jumlah pencari kerja yang terdaftar di Provinsi Lampung untu tahun 2006 sebanyak 60.717 orang. Sebagian besar pencari kerja berasal dari Kota Bandar Lampung dengan jumlah mencapai 26.267 orang atau sebesar 43,24 persen. Dari jumlah total pencari kerja di Provinsi Lampung, sebagian besar memiliki tingkat pendidikan SLTA, yaitu sebanyak 39.325 atau sebesar 64,77 persen, sedangkan pencari kerja dengan tingkat pendidikan sarjana (S1) sebanyak
202 12.706 rang atau sebesar 20,93 persen dari total pencari kerja.
Namun
demikian, jumlah lowongan kerja yang tersedia pada tahun 2006 hanya sebesar 3.579, hal ini berarti ketersediaan lowongan kerja yang ada masih sangat kurang. Kondisi Sektor Pertanian Provinsi Lampung sebagai provinsi agraris dicirikan oleh dominasi sektor pertanian
(tanaman
pangan,
perkebunan,
kehutanan,
perikanan) dalam kegiatan eknomi masyarakatnya.
peternakan,
dan
Produktivitas pertanian
bahkan menjadi andalan nasional, seperti hasil tebu (gula) dan peternakan terutama ternak besar. Demikian halnya beberapa komoditas seperti lada, kopi, jagung, dan udang juga memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap produk
komoditas
tersebut
secara
nasional.
Dengan
berkembangnya
pembangunan sarana prasarana irigasi semenjak jaman penjajahan Belanda, provinsi ini juga menjadi penghasil padi (beras) yang cukup potensial. Tabel 74. Luas Panen Padi Sawah per Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung Tahun 2002 – 2006 (dalam hektar) No. Kabupaten/ Kota
Tahun 2002
2003
2004
2005
2006
1.
Kabupaten Barat
Lampung
17.831
20.257
23.342
23.066
25.024
2.
Kabupaten Tanggamus
48.982
41.329
49.466
53.199
47.826
3.
Kabupaten Lampung Selatan *)
71.352
70.691
78.568
81.222
75.457
4.
Kabupaten Lampung Timur
73.932
64.551
73.348
72.531
74.565
5.
Kabupaten Lampung Tengah
81.849
80.606
84.245
88.091
94.686
6.
Kabupaten Lampung Utara
18.005
16.706
19.962
17.869
18.168
7.
Kabupaten Way Kanan
22.463
23.001
25.877
16.130
25.601
8.
Kabupaten Tulang Bawang
56.697
70.929
64.853
58.573
63.231
9.
Kota Bandar Lampung
1.826
1.704
1.691
1.730
1.599
10
Kota Metro
3.608
4.891
3.871
3.781
3.73
Provinsi Lampung
396.545 394.665 425.223 436.192 429.930
Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2007 Keterangan: *) termasuk Kabupaten Pesawaran
203 Produksi padi Provinsi Lampung pada tahun 2005 sebesar 2.124.144 ton mengalami peningkatan menjadi 2.129.914 ton pada tahun 2006 atau sekitar 0,27 persen. Sentra produksi padi terbesar adalah Kabupaten Lampung Tengah, dengan produksi sebesar 493.123 ton atau 23,15 persen dari total produksi padi Provinsi Lampung. Kondisi tersebut dapat dimaklumi mengingat luas panen padi sawah terluas adalah Kabupaten Lampung Tengah, seperti tersaji pada Tabel 75. Jumlah produksi tersebut juga sudah mencakup luas panen padi ladang, yang secara keseluruhan di Provinsi Lampung berkisar antara 65.000 – 78.000 hektar setiap tahunnya. Tabel 75. Produksi Padi Provinsi Lampung tahun 2001—2006 (dala ton) Tahun
Padi sawah
Padi ladang
Jumlah
2001
1.739.764
252.962
1.992.726
2002
1.755.553
195.556
1.951.109
2003
1.762.657
203.636
1.966.293
2004
1.908.190
183.806
2.091.996
2005
1.939.384
184.760
2.124.144
2006
1.959.426
170.488
2.129.914
Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2007. Provinsi Lampung juga dikenal sebagai penghasil ubi kayu terbesar di tanah air. Ubi kayu sebagian besar diolah menjadi tepung tapioka, dan sebagian kecil diolah menjadi gaplek atau sebagai bahan pangan lainnya seperti “oyek” yakni sejenis makanan yang dibuat menyerupai beras dengan bahan baku berupa singkong.
Dari produksi ubi kayu itulah bahan baku pabrik tepung
tapioka banyak beroperasi di wilayah ini. Dari hasil prosesing ubikayu menjadi tepung tapioka menghasilkan limbah yang berupa kulit dan ampas tapioka (‘”onggok”) yang saat ini banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Limbah pabrik tapioka yang berupa “onggok” saat ini mempunyai nilai jual yang cukup tinggi, sebab selain dimanfaatkan sebagai tambahan pakan ternak, juga diproses (dikeringkan) untuk selanjutnya dijual lagi sebgai bahan baku pelet dan bahkan sebagai campuran bahan baku saos kualitas rendah. Perkembangan produksi ubi kayu Provinsi Lampung disajikan pada Tabel 76.
204 Tabel 76. Luas Panen Ubi Kayu per Kabupaten/Kota tahun 2002 — 2006 (dalam hektar) No. Kaupaten/ Kota
Tahun 2002
1.
Kabupaten Lampung Barat
2.
2003
2004
2005
2006
363
479
419
432
427
Kabupaten Tanggamus
2.100
2.754
3.531
2.769
2.296
3.
Kabupaten Lampung Selatan *)
7.925
9.349
11.381
8.188
22.436
4.
Kabupaten Lampung Timur
32.353
37.622
39.068
36.150
41.253
5.
Kabupaten Lampung Tengah
108.755
91.078
90.755
80.052
88.575
6.
Kabupaten Lampung Utara
31.933
33.960
26.593
26.270
29.972
7.
Kabupaten Way Kanan
17.477
14.432
14.346
17.809
17690
8.
Kabupaten Tulang Bawang
93.974 108.997
80.210
81.066
90.441
9.
Kota Bandar Lampung
10
Kota Metro Provinsi Lampung
91
124
153
145
181
185
194
130
103
159
295.156 298.989 266.586 252.984 283.430
Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2007 Keterangan: *) termasuk Kabupaten Pesawaran Secara keseluruhan produksi ubi kayu Provisi Lampung dari tahun 2001 samapai 2006 berturut-turut sebesar: 3.584.225 ton, 3.471.136 ton 4.984.616 ton, 4.673.091 ton, 4.806.254 ton, dan 5.499.403 ton. Adanya fluktuasi produksi ubi kayu tersebut disebabkan terjadinya fluktuasi areal panen dan kenaikan produktivitas per hektarnya. Provinsi Lampung juga dikenal sebagai daerah penghasil nenas di tingkat internasional, sebab di provinsi ini terdapat perusahaan yang membudidayakan nenas sampai pengemasannya menjadi nenas dalam kaleng. Namun demikian, populasi tanaman nenas tidak hanya di sekitar areal perusahaan tersebut. Sebaran populasi tanaman nenas di Provinsi Lampung disajikan pada Tabel 77.
205 Tabel 77. Tanaman Nenas yang Menghasilkan per Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung tahun 2002 – 2006 (dalam pohon) No. Kaupaten/ Kota
Tahun 2002
2003
2004
2005
2006
1.
Kabupaten Lampung Barat
2.064
3.591
3.061
4.985
1.522
2.
Kabupaten Tanggamus
3.336
2.519
1.110
1.417
1.001
3.
Kabupaten Lampung Selatan *)
25.959
42.810
38.467
52.510
43.908
4.
Kabupaten Lampung Timur
12.970
7.738
36.863
31.493
12.950
5.
Kabupaten Lampung Tengah
6.420.428
6.
Kabupaten Lampung Utara
623.324
323.806
16.583
725.632
291.250
7.
Kabupaten Way Kanan
91.133
41.293
22.358
65.033
9.818
8.
Kabupaten Tulang Bawang
372.880
23.926
23.286
217.080
107.076
9.
Kota Bandar Lampung
185
210
200
979
464
10
Kota Metro
1.047
237
544
640
791
Provinsi Lampung
947.805 3.353.491
8.911.903 7.628.098
7.553.326 1.393.935 3.495.963 10.011.672 8.096.878
Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2007 Keterangan: *) termasuk Kabupaten Pesawaran Dari data Tabel 77 dapat
diketahui bahwa populasi tanaman nenas
paling besar berada di Kabupaten Lampung Tengah, menyusul Kabupaten Lampung Utara dan Kabupaten Tulang Bawang. Hal ini disebabkan lokasi areal perkebunan nenas perusahaan swasta yang ada sebagian terbesar termasuk di wilayah Kabupaten Lampung Tengah, dan sebagian kecil termasuk wilayah Kabupaten Lampung Utara dan Kabupaten Tulang Bawang.
Dengan
beroperasinya perusahaan agroindustri nenas tersebut memberikan dampak
206 positif bagi pertumbuhan ekonomi dan perkembangan wilayah sekitar. Selain karena terjadinya penyerapan tenaga kerja dari masyarakat sekitar, aktivitas perusahaan juga meningkatkan perputaran dana di wilayah tersebut akibatnya kegiatan ekonomi masyarakat sekitar juga meningkat.
207 Lampiran 2. Profil Perusahaan Agroindustri Gula Perusahaan ini didirikan pada tahun 1975, bergerak di bidang usaha perke-bunan tebu dan pabrik gula. Perusahaan ini berstatus PMA.
Lokasi
perkebunan dan pabrik gula terletak di desa Gunung Batin, sekitar 90 km arah utara dari kota Bandar Lampung. Total luas wilayah yang dikelola 35.600 ha,dengan luas kebun produksi 24.500 ha. Sisa lahan di luar kebun produksi merupakan jalan, sungai-sungai, kawasan konservasi, bangunan pabrik, perkantoran, dan pemukiman. Areal perkebunan perusahaan ini berbatasan langsung dengan kampongkampung: (a) Bandar Sakti, Tanjung Anom, Gunung Agung, Gunung Batin baru, Gunung Batin Udik, Gunung Batin Ilir, dan Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai; (b) Lempuyang Bandar Kecamatan Way Pengubuan; dan (c) Terbanggi Ilir, Mataram Udik, Mataram Ilir, Bumi Nabung Ilir, Terbanggi Mulya, dan Sumber Rejeki Kecamatan Bandar Mataram. Topografi wilayah perusahaan pada umumnya datar. Sepanjang bentang darat dijumpai adanya lebung yang potensial sebagai penampungan air dan beberapa sungai cukup besar melintas di wilayah timur. Jenis tanah termasuk ultisol (podsolik merah kuning) dengan lapisan top soil sangat tipis. Sifat fisik dan kimia tanah mengharuskan diterapkannya teknologi budidaya yang tepat dan bijaksana. Curah hujan tahunan sekitar 2.700 mm. Musim tebang dan giling dilaksanakan dari bulan April sampai Oktober, bersamaan periode yang relatif kering. Musim tebang dan giling pertama dilaksanakan tahun 1978.
Pabrik
mengikuti proses sulfitasi ganda untuk menghasilkan gula SHS. Kapasitas giling terpasang mula-mula sebesar 4.000 TCD (ton tebu per hari), kemudian sejak tahun 1994 diperbesar secara bertahap menjadi 12.000 TCD. Teknologi maju telah diterapkan di kebun dan di pabrik, termasuk pemanfaatan alat mesin pertanian secara luas serta otomatisasi di beberapa stasiun di pabrik. Meskipun demikian, sejumlah 8.000 – 10.000 pekerja tetap terserap setiap harinya selama musim tebang dan giling. Tingkat produksi kini mencapai rata-rata 1,8 juta ton tebu dan sekitar 150.000 ton gula per tahun.
Hasil sampingan berupa tetes dijual langsung ke
sektor industri hilir. Bagasse (limbah padat tebu yang telah diperas diambil sari tebunya) dimanfaatkan secara maksimal sebagai bahan bakar ketel untuk
208 menghasilkan energi listrik bagi keperluan di musim giling maupun di luar musim giling. Perusahaan ini telah membangun lebih dari 1.700 unit rumah untuk karyawannya di dalam kawasan perkebunan. Perumahan ini dibangun terpencar di enam lokasi strategis.
Selain itu dibangun pula bedeng pemukiman yang
dapat menampung sekitar 10.000 pekerja harian.
Seluruh pemukiman ini
dilengkapi fasilitas listrik dan air bersih secara gratis.
Perusahaan juga
menyediakan fasilitas-fasilitas lain seperti poliklinik, taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, masjid, gereja, sarana olah raga, warung, toko-toko koperasi, serta gedung-gedung kesenian. Fasilitas-fasilitas tersebut juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya. Keberadaan perusahaan telah memberikan dampak positif yang besar kepada daerah setempat, terutama melalui penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan berbagai kegiatan ekonomi akibat perputaran dana di masyarakat yang meningkat.
Perkembangan perusahaan ini telah menjadi pendorong
tumbuhnya perkebunan tebu dan pabrik gula lainnya di Provinsi Lampung, sehingga menjadikan Provinsi Lampung sebagai lumbung gula nasional yang baru.
209 Lampiran 3. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat oleh Perusahaan Agroindustri Gula Program pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar perusahaan ini dilakukan dengan pola kemitraan perusahaan dengan masyarakat untuk menanam tebu. Perusahaan menyediakan dana, bibit tebu, dan pupuk anorganik; sedangkan petani sebagai pengelola dari penanaman, pemeliharaan, sampai pemanenan.
Program kemitraan tersebut dilaksanakan dengan pola
kesepakatan sistem bai hasil. Pola kemitraan sudah dimulai sejak tahun 2003, jumlah peserta setiap tahunnya selalu bertambah.
Pada tahun 2006 peserta
kemitraan sudah mencapai 972 petani, dengan luas tanam 1.640 hektar. Produktivitas tebu pola kemitraan tahun 2007 mencapai 93 ton/ha. Beberapa
persyaratan
yang
harus
dipenuhi
oleh
petani
sekitar
perusahaan untuk bermitra dengan perusahaan ini antara lain: (1) Lokasi lahan berjarak tidak lebih dari 60 km dari lokasi pabrik gula. (2) Lahan petani sesuai untuk tanaman tebu lahan kering. (3) Infrastruktur jalan cukup layak untuk dilewati kendaraan jenis truk (untuk rencana angkutan bibit tebu dan pemanenan hasil). (4) Lokasi lahan berupa hamparan yang idak terpisah-pisah dengan luas minimal 25 hektar untuk satu kelompok tani. (5) Petani membentuk organisasi kelompok tani lengkap dengan susunan pengurusnya (ketua, sektretaris, bendahara, anggota). Setelah persyaratan tersebut terpenuhi, maka ketua kelompok mengisi blanko permohonan (rangkap dua), dengan melampirkan fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) rangkap dua, dan fotokopi surat-surat tanah (SKT/AJB/SHM) yang akan dimitrakan sebagai agunan. Setelah permohonan masuk ke perusahaan, maka pihak perusahaan akan melakukan tahapan kerja berikut: (a) Penyuluhan dan sosialisasi kepada para calon petani peserta, pamong desa dan tokoh masyarakat. (b) Peninjauan dan survei lokasi lahan oleh petugas tim kemitraan perusahaan. (c) Penyelesaian administrasi pendaftaran (penyerahan surat tanah asli dan penandatanganan Surat Perjanjian Kerjasama). (d) Pengukuran luas lahan yang akan dimitrakan. (e) Pelaksanaan penanaman tebu (dimulai bulan Juni sampai bulan Oktober).
210 Pola bagi hasil kemitraan penanaman tebu oleh perusahaan dapat dilihat pada Gambar 20. Hasil tebu milik petani adalah berdasarkan actual TCH (ton tebu per hektar) di lapangan dengan bukti hasil timbangan dari data tiket pemanenan. Besarnya rendemen milik petani dihitung berdasarkan rendemen rata-rata perusahaan bulanan dan dikurangi antara 0,8% sampai 1,25% karena kebun milik petani belum diberikan perlakuan ZPK (zat pemacu kemasakan).
100 % (Hasil Gula)
Pabrik 34 %
66 % Petani Pengeluaran biaya 100 % (Bagi Hasil)
Pihak Petani 95 %
Koordinator + Uspika (5 -- 10 %)
5 % (Pengelola & Pembina Tk II)
85 -- 90 % Petani
Gambar 20. Pola Bagi Hasil Kemitraan Penanaman Tebu Pembayaran bagi hasil milik petani dilakukan satu bulan setelah selesai dibuat berita acara selesai tebang angkut dan dibayarkan 95% dari total bagian yang akan dibayarkan, dan 5% sisanya akan dibayarkan setelah selesai tebang dan giling oleh perusahaan. Seperti digambarkan, perhitungan bagi hasil di atas, 66% gula bagan petani dijual dengan harga aktual bersih yang berlaku dari hasil pendapatan petani dikurangi semua pengeluaran biaya operasional akan mendapatkan 100% nilai bagi hasil. Selanjutnya petani akan menerima aantara 85—90%, koordinator kelompok tani antara 5—10%, dan pengelola 5%. Sebagai gambaran keuntungan yang diterima seorang petani peserta kemitraan, yang tinggal di Kampung Candirejo, Kecamatan Way Pengubuan, yang memiliki lahan yang dapat dipanen seluas 43,75 hektar, produksi gula per hektar (TSH) sebesar 6,4 ton dengan harga gula sebesar Rp.5000,00/kg, pendapatan bersih rata-rata per hektar dari kemitraan tersebut mencapai Rp.5.700.000,00.