Tumbuhkan Semangat Wirausaha, FEB Adakan Kompetisi dan Seminar Bisnis UNAIR NEWS – Seorang pebisnis dituntut untuk mampu menciptakan lapangan usaha dan turut mewujudkan kemandirian ekonomi. Tentunya tuntutan tersebut diawali oleh langkah mahasiswa sebagai calon pebisnis muda. Dalam rangka menumbuhkan semangat berwirausaha di kalangan mahasiswa Universitas Airlangga, kali ini Divisi Bisnis Departemen Keilmuan BEM FEB menyelenggarakan Business Competition and Achievement pada Sabtu, (4/6). Acara ini memberikan wadah bagi mahasiswa untuk memulai semangat berwirausaha melalui rangkaian acara Kompetisi Business Plan dan Seminar Bisnis. Dalam acara Kompetisi Business Plan tersebut, panitia telah menyaring 15 peserta terbaik yang kemudian mempresentasikan idenya dihadapan para dewan juri pada 1 Juni lalu, di Aula Fadjar Notonegoro. Kompetisi ini diikuti oleh peserta dari FEB UNAIR maupun dari fakultas di UNAIR lainnya. Ide bisnis yang dipresentasikan pun beragam, mulai dari ragam kuliner hingga jasa traveling. Rangkaian acara dilanjutkan dengan pemberian penghargaan Business Competition and Achievement lewat Seminar Bisnis bertajuk “How to Start Business from Zero” bertempat di Aula ABC dengan menghadirkan dua pembicara serta dihadiri oleh peserta dari berbagai fakultas dari beragam universitas. Dalam seminar tersebut, Alfan Cipto Wahyudin, ST selaku pembicara pertama menyampaikan, tentang perlunya menumbuhkan semangat memulai bisnis dari awal bagi kalangan mahasiswa sebagai wujud sumbangsih pemuda dalam menciptakan lapangan pekerjaan. CEO dari PT Asuka Engineering Indonesia yang juga menjabat sebagai President of Indonesia HypnotheraphyCenter
tersebut menceritakan pengalamannya saat mengundurkan diri dari posisi karier perusahaan di Jepang, demi memulai usaha dari nol, dengan bermodalkan niat menciptakan lapangan kerja bagi sesama, walaupun belum memiliki modal sama sekali. “Jangan pernah takut untuk menjadi pengusaha, karena menjadi pengusaha itu mulia,” ujar Alfan yang juga menjadi owner PT Asuka Rental Indonesia, PT Asuka Kinetik Indonesia, dan PT Asuka Agro Indonesia tersebut. Sedangkan pembicara kedua diseminar tersebut adalah Lussi Agustin, S.STAT, yang merupakan CEO INDORAJ Consulting dan Koordinator kampus HIPMI Surabaya. Ia berbagi pengalaman memulai usahanya di bidang pelayanan jasa konsultan statistik untuk tugas akhir mahasiswa. Demikian karena keinginannya untuk hidup mandiri selepas lulus kuliah dan menghilangkan sebuah anggapan, bahwa kuliah bukan hanya untuk menjadi karyawan. “Jangan menyiakan kesempatan yang datang, jujur, fokus dan telaten lah dalam memulai usaha,” seru alumni Prodi Statistik Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga tersebut. Rangkaian acara Business Competition and Achievement ditutup oleh pengumuman pemenang kompetisi Business Plan. Diantaranya, juara 1 diraih oleh “Nasgor Salto” dari FEB, juara 2 diraih oleh “Vit Cuit” dari FKH, dan juara 3 diraih oleh “Bebek Racing” dari Fakultas Vokasi. (*) Penulis : Erdila Sitma Putri Editor : Dilan Salsabila
Mahasiswa HI Ajak Diskusikan Pembangunan Kota dan Dampaknya UNAIR NEWS – Pembangunan merupakan tantangan yang dihadapi negara di era global seperti yang terjadi saat ini. Pembangunan infrastruktur yang maju, akan membawa negara dapat bersaing dengan negara-negara dari berbagai belahan dunia. Namun, pembangunan infrastruktur yang banyak dilakukan justru seringkali berdampak bagi masyarakat marjinal. Berangkat dari latar belakang tersebut, Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga menyelenggarakan forum diskusi bertajuk “Diskusi Musikal Balada Kota”, Sabtu, (28/5). Diskusi ini menghadirkan pembicara Wawan Windarto selaku Kepala Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, Paulista Bunga Suryadi dan Sita dari komunitas Kota Kita. Kharis Junandharu serta Eki Tresnowening, musisi dari grup musik beraliran folk bernama Silampukau, juga turut diundang pada acara ini. Citra Hennida, S.IP,. MA, selaku dosen pada Departemen Hubungan Internasional UNAIR dalam sambutannya mengatakan, pembangunan infrastruktur dan masyarakat bukan hanya tugas pemerintah saja. Pembangunan membutuhkan berbagai pihak, tak terkecuali masyarakat.
kerjasama
dari
“Pembangunan bukan hanya berbicara pemerintah, dalam hal ini Bappeko, tapi juga melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM), masyarakat, juga musisi. Karena melalui musik, musisi dapat mengkritik tentang pembangunan,” ujar Citra. Paulista mengatakan, Kota Kita merupakan komunitas yang berangkat dengan misi ingin memfasilitasi kaum inklusi dan marjinal, diantaranya perempuan, difabel, serta orang-orang
yang hidup di bawah garis kemiskinan. Perencanaan dan pembangunan kota atas dasar Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat kota yang salah sasaran. Pada diskusi ini, Paulista dan Sita berbagi pengalaman seperti pemetaan kota berbasis komunitas yang pernah diterapkan di Solo, dan kegiatan pelatihan kewargaan untuk aktivis muda.
Grup musik folk Silampukau membawakan lagu seusai diskusi “Balada Kota” oleh HIMAHI UNAIR. (Foto: Binti Q. Masruroh) “Pembangunan yang terjadi saat ini cenderung menggunakan parameter global atau internasional, sehingga meninggalkan masyarakatnya,” ujar Paulista. Silampukau sebagai grup musik asal Surabaya, menyajikan lagulagu dengan lirik yang jujur, memotret keseharian masyarakat Surabaya. Lagu yang diciptakan seperti Malam Jatuh di Surabaya, bercerita betapa kemacetan di Jl Ahmad Yani sudah tak terhindarkan lagi saban hari. Lagu-lagunya yang lain seperti Si Pelanggan yang bercerita tentang lokalisasi Dolly, Puan Kelana, Lagu Rantau (Sambat Omah), Bianglala, dan masih banyak lagu lain yang terangkum dalam album “Dosa, Kota, dan
Kenangan”. Teddi Bagus Prasetyo selaku penanggungjawab acara berharap, apa yang menjadi kreatifitas anak-anak muda saat ini bisa tersampaikan kepada pemerintah, sehingga bisa menjadi bahan evaluasi dan perbaikan pembangunan menjadi yang lebih adil untuk masyarakat marjinal. “Diskusi ilmiah ini baru pertama kali diadakan, tetapi inginnnya menjadi acara tahunan. Kita ingin ngasih jembatan antara mahasiswa atau orang-orang kreatif ke pemerintahan, medianya kita pilih musik. Supaya kreatifitas anak muda bisa sampai ke pemerintah,” ujar Teddi. Setelah acara diskusi selesai, para peserta berkelompok untuk membuat gambar campaign yang kemudian diunggah di media sosial supaya kampanye mereka dapat dilihat juga oleh masyarakat. Peserta kemudian diajak untuk menikmati sajian musik dari Silampukau. “Melalui acara ini, harapannya anak-anak muda makin kritis, aspirasi bisa disampaikan lewat jalur-jalur kreatif. Aspirasi yang kreatif bisa menjadi masukan kebijakan untuk pemerintah dan menjadi bahan evaluasi mereka,” ujar Teddi. (*) Penulis : Binti Q. Masruroh Editor : Dilan Salsabila
Catatan Hati Seorang Guru Les Menjadi seorang guru les merupakan salah satu pekerjaan (profesi) yang banyak dilakoni oleh mahasiswa, terutama mahasiswa peraih Bidikmisi, yang kebanyakan mencari tambahan biaya untuk agar tetap bisa bertahan hidup dan melanjutkan
pendidikannya di perguruan tinggi. Ini profesi yang menyenangkan, sebagai menjadi bagian yang bisa mendidik generasi dan menjadikan pelajar bagi para pembelajar. Sebagai pelajar, idealnya yang mereka lakukan ya belajar. Bukan hanya sekolah. Namun di sekolah, anak-anak itu tidak merasa banyak belajar. Metode pembelajaran yang ada tampaknya menuntunnya untuk hanya mampu menghafal, bukan memahami. Disinilah ketika di kelas les, guru les harus menjelaskan lagi konsep pembelajaran dari awal, padahal materi tersebut sudah diterangkan oleh guru di sekolahnya. Jadi, yang dilakukan hanyalah transfer knowledge, bukan transfer pemahaman. Mereka hanya di-drill untuk lulus UN (Ujian Nasional), sehingga tidak menumbuhkan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan. Alhasil tujuan pendidikan berdasarkan UU Sisdiknas 2003 pasal 3 yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, tampaknya hanya akan menjadi slogan semata. Beberapa orang tua sengaja memberikan les tambahan pada anakanaknya, karena menyadari dirinya punya keterbatasan, sehingga merasa perlu untuk menitipkan buah hatinya agar memiliki pengetahun yang lebih di tempat les, karena pendidikan di sekolah belum cukup untuk mengasah potensi anak mereka. Pada sisi lain, para orang tua itu sebenarnya bergelar sarjana, tetapi tidak memiliki waktu untuk mendidik anak dan mengevaluasi proses belajar anak di sekolahnya. Dari kesibukannya itulah banyak ibu yang menyerahkan pengasuhan dan pendidikan anaknya kepada pembantu, tetangga, dan nenek mereka. Masalah ekonomi ikut mempengaruhi disini, sebab kebutuhan ekonomi yang sulit memaksa para orang tua, termasuk para ibu, meninggalkan peran keibuannya dan bekerja keras diluar rumah. Sebagai guru les akhirnya harus berperan layaknya ibu bagi mereka, tempat curahan keluh kesahnya di sekolah, mencurahkan keinginan dan cita-citanya, tentang gurunya, teman-teman, dan tak jarang juga mengeluhkan kesibukan orang tuanya yang tidak
sempat menanyakan sekedar: ”bagaimana nilai ulanganmu hari ini?”. Hal-hal seperti itu banyak kita jumpai dalam kelas-kelas les. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan, justru menjadi sarana untuk melampiaskan rasa protes terhadap kondisi lingkungan keluarga, sekolah yang amburadul, ada guru mengajar asal-asalan, buku paket yang banyak rusak, dsb. Bisa jadi, adanya pelajar yang amburadul itu karena besar di lingkungan keluarga/sekolah yang juga amburadul. Disana tidak ada panutan, tidak ada arahan, tidak ada contoh keteladanan dan pendampingan. Sudah banyak kasus dari bobroknya output pendidikan seperti itu. Generasi pembelajar mengalami degradasi moral, seperti yang terjadi pada pasca Unas 2015 dimana pelajar tak lagi coret-coret di baju seragamnya dan konvoi kendaraan, namun juga terjadi kasus perzinaan masal, tawuran dan perbuatan maksiat lainnya. Di Siantar, misalnya, seusai Unas ratusan siswa bersuka-ria mencorat-coret bajunya, bahkan beberapa siswa melakukan aksi-aksi asusila. Di Purwakarta (Jawa Barat) dua kelompok siswa diamankan polisi karena melakukan tawuran. Kemudian di Kendal (Jateng), masih pasca Unas, puluhan pelajar tertangkap basah berbuat mesum di sebuah kamar hotel. Belakangan kita dihebohkan dengan tersebarnya undangan “pesta bikini” bagi anak SMA usai pelaksanaan Unas yang bertajuk “Good Bye UN”. Mengkaji dari peristiwa diatas kita tidak bisa menutup mata bahwa secara rata-rata sistem pendidikan belum menghasilkan generasi unggul. Seandainya negeri ini memiliki visi politik yang jelas terhadap pendidikan, tentu hal-hal seperti itu tidak akan terjadi. Kegagalan melahirkan output bermoral dan pemerataan pendidikan yang berkualitas, disinyalir terkait dengan kapitalisme yang merangsang biaya pendidikan semakin mahal. Kapitalisme inilah konon yang ikut membuat kaum perempuan terpaksa meninggalkan perannya sebagai ibu demi membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Kondisi seperti ini mungkin saja akan menjadi semakin parah jika kita diamkan dan membiarkan keadaan. Jadi kesalahan ini harus diluruskan. Pertama, pendidikan adalah kebutuhan pokok rakyat karena setiap warga negara berhak memperoleh akses pendidikan. Hal ini tentu sangat bisa dipahami karena majumundurnya suatu peradaban sangat bergantung pada kualitas pendidikan manusianya. Kedua, output pendidikan berupa generasi bertakwa yang unggul pada seluruh aspek kehidupan, menuntut perhatian serius dari kompenen terkait yaitu keluarga, masyarakat, sekolah, yang kondusif serta kebijakan pemerintah yang mendukung. Ketiga, untuk mewujudkan hal itu negara harus memiliki sistem ekonomi yang kuat, karena kedua hal ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dengan potensi sumber daya alam yang kuat, tentu negeri ini memiliki pemasukan yang besar untuk bisa mewujudkannya, asalkan SDA itu dikelola dengan benar yaitu menjadikan aset hajat hidup publik milik rakyat dikelola oleh negara. Satu misal dari Blok Mahakam saja berpotensi menghasilkan pendapatan kotor Rp 1.700 triliun, sehingga jika kita memiliki 79 blok migas, tentu ini merupakan sumber APBN yang diharapkan juga bisa memberi kesejahteraan kepada rakyat. Hal demikian tentu tidak akan terwujud jika paradigma ekonomi neoliberal yang menjadi rujukan dan hajat hidup publik diprivatisasi dan dimiliki asing yang menyebabkan negeri ini terjerat dalam penjajahan gaya baru (neoimperialisme). Semoga sedikit curahan hati ini menjadi inspirasi untuk tidak henti-hentinya menjadikan pendidikan di negeri ini lebih baik. Potensi optimalisasi generasi muda sebagai aset berharga bangsa menjadi kenyataan, dan terlahir jutaan intelektual hebat dengan penghargaan luar biasa dan mampu mewujudkan peradaban gemilang mercusuar dunia. (*) Editor : Bambang Bes
Hobi Berkuda Sejak Kecil, Mahasiswa Komunikasi UNAIR Wakili Jatim di PON Jabar UNAIR NEWS – Tak banyak yang tahu, olahraga berkuda ternyata memiliki banyak sekali manfaat, selain menyehatkan badan, berkuda juga dapat dijadikan sebagai alternatif untuk terapi bagi penyandang Autis (gangguan otak penyebab sulit bersosial). Hal tersebut dikemukakan oleh Zahlul Yussar, mahasiswa Ilmu Komunikasi (Ilkom) UNAIR angkatan 2014, yang memiliki hobi berkuda sejak kecil. “Untuk alternatif bagi Autis itu bisa diterapi dengan berkuda, terus sehat di badan. Yang terpenting adalah berkuda merupakan salah satu sunnah rasul,” tuturnya. Namun hobi berkuda bukan merupakan kegemaran yang umum. Tak banyak orang yang mengenal dan melakukan aktifitas berkuda, hal tersebut tak terlepas dari banyaknya pemikiran orang yang menganggap bahwa berkuda merupakan olahraga yang hanya bisa diikuti oleh orang yang mampu, pasalnya berkuda dianggap membutuhkan biaya yang mahal. “Banyak orang yang beranggapan kalau berkuda itu butuh biaya yang mahal, padahal tidak,” tegas mahasiswa yang akran disapa Zahlul. Demi menghilangkan paradigma masyarakat tersebut, Zahlul mendirikan sebuah kursus berkuda bernama “Ameg Stable Equestrian” di kawasan Balungdowo, Sidoarjo pada tahun 2015. Selain biaya pendaftaran yang terjangkau, pihaknya juga menyiapkan seluruh perlengkapan untuk berkuda bagi member yang sudah terdaftar, mulai dari sepatu khusus, pelindung kepala,
dan lima ekor kuda milik Zahlul yang disediakan bagi member yang terdaftar. Kini, kursus kuda miliknya itu sudah memiliki anggota tetap berjumlah enam orang. “Sudah kita siapkan semua fasilitasnya untuk berkuda, biar masyarakat tau kalo berkuda itu ternyata tidak membutuhkan biaya yang mahal,” tandasnya. “Ada enam member, ada yang usia delapan tahun, ada juga yang 27 tahun. Dan kuda ini milik saya pribadi,” imbuhnya. Zahlul bercerita mengenai awal mula ia tertarik dengan hobi berkudanya. Awalnya ia hanya mencoba untuk menaiki ojek kuda atau yang biasa disebut dengan delman saat masih kecil. Karena sudah terlalu sering menaiki delman, akhirnya Zahlul tertarik untuk mengikuti sebuah kursus berkuda yang ada di Trawas, Mojokerto. “Saya sekolah kuda ke Trawas, setelah itu ke Rimel (Nama sekolah kuda,- red) yang ada di Taman Dayu, nah setelah itu saya semakin suka sama berkuda,” kenangnya. Setelah mulai mahir dalam berkuda, Zahlul berpikiran untuk mengikuti sebuah lomba internal yang pada akhirnya ia mendapatkan juara 3. Karena prestasi tersebut, Zahlul mendapatkan hadiah dari orangtuanya sebuah kuda pribadi. Lalu kuda tersebut ia gunakan untuk mengikuti kompetisi, hingga orang tuannya memberikan sebuah kuda lagi untuk hadiah lainnya. “Saya dihadiahi oleh papa saya seekor kuda betina, nah waktu dapat kuda itu kan dilatih terus, sampai bisa jadi kuda kompetisi dan akhirnya ikut kompetisi lagi, juara lagi, dibelikan kuda lagi, sampai akhirnya papa sama saya berpikiran untuk membangun kursus kuda sendiri,” ujarnya.
Zahlul Yussar sedang berlatih dengan kuda pribadinya. (Foto: Istimewa) Wakil Jatim di PON 2016 Berbagai kompetisi pun telah diikuti oleh Zahlul, berbagai prestasi pun telah ia raih. Salah satunya yang paling bergensi adalah ketika ia menjuarai kompetisi Basarnas (Badan Search and Rescue Nasional) pada tahun 2014. “Karena sudah mulai ikut kompetisi sejak SMA, saya ikut kejuaraan lebih dari sepuluh kali. Kalau yang paling bergengsi ya di Basarnas emporium lomba nasional , pada tahun 2014 desember,” kenangnya. Pada tahun 2016, ia kembali mengikuti kejuaraan berkuda. Kali ini, ia mewakili Jawa Timur dalam perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX 2016 yang akan dilaksanakan di Jawa Barat pada September mendatang. “Saya mewakili Jawa Timur ikut event berkuda kategori jumping di PON yang diadakan di Bandung September nanti,” ujarnya. Banyak kendala dalam mempersiapkan kejuaraan yang diadakan
sekali dalam empat tahun tersebut, salah satunya adalah sulitnya membagi waktu antara berlatih dan mengikuti jadwal kuliah. Pasalnya Zahlul masih terdaftar sebagai mahasiswa aktif Ilmu Komunikasi UNAIR semester 4. “Memang susah membagi waktu, karena masih kuliah. Kan latihan berkuda gak cuma sekali dua kali, kan harus rutin,” tegasnya. Sebagai mahasiswa sekaligus atlit junior yang menjadi perwakilan bagi Jatim, Zahlul juga mengaharapkan adanya dukungan dari pihak kampus. “Kampus seharusnya dapat memanfaatkan potensi-potensi mahasiswa yang juga sebagai atlit junior yang bisa sampai ke level internasional. Karena saya juga mengharapkan dukungan dari kampus,” pungkasnya. (*) Penulis : Dilan Salsabila Editor: Nuri Hermawan
UNAIR Sambut Maba Bidikmisi dengan Motivasi UNAIR NEWS – UNAIR kembali menyambut mahasiswa penerima bantuan pendidikan Bidikmisi yang lolos melalui jalur SNMPTN. Sebanyak 373 calon mahasiswa penerima bidikmisi tersebut diberi motivasi dan pengarahan mengenai bidikmisi di Aula Garuda Mukti. “Acara sambutan untuk maba ini kami bagi menjadi dua hari yakni Rabu, 1 Juni dan Kamis, 2 Juni, hari pertama ada 187 dan hari kedua ada 186 calon mahasiswa baru bidikmisi,” ujar Tama selaku ketua panitia. Acara yang juga menghadirkan orang tua atau wali mahasiswa
tersebut dihadiri oleh Wakil Rektor IV UNAIR, Junaidi Khotib, S.Si., M.Kes., Ph.D. Pada sambutannya, ia mengatakan bahwa UNAIR sama sekali tidak pernah membedakan status ekonomi mahasiswa. Baik penerima beasiswa ataupun golongan dengan UKT tertinggi tetap diberikan fasilitas yang sama, baginya kesungguhan dan niatan masing-masing mahasiswa yang nantinya menentukan hasil yang berbeda. “Bagi mahasiswa penerima bidikmisi tidak perlu khawatir, kesempatan belajar menggunakan fasilitas sama dengan mahasiswa yang bayar mahal sekalipun,” tegasnya. Doktoral lulusan Universitas Hoshi tersebut juga menyampaikan, bahwa pentingnya peran orang tua untuk terus mendukung putraputrinya, pasalnya peran dukungan tersebut amat menentukan keberlangsungan studi kedepannya. “Pada periode wisuda, tidak sedikit mahasiswa yang menjadi lulusan berprestasi muncul dari anak-anak bidikmisi seperti kalian, tentunya orang tua juga berperan dalam hal ini,” tegasnya. Menambahkan pernyataan Warek IV, Direktur Kemahasiswaan UNAIR, Dr. M. Hadi Shubhan., S.H., M.H., CN., mengungkapkan jika orang kaya ataupun anak pejabat yang bisa menempuh pendidikan tinggi itu merupakan hal yang lumrah. “Jika yang bermodalkan bambu runcing ini bisa merdeka, artinya yang kecil bisa kuliah ini baru luar biasa,” ujarnya yang disambut tepuk tangan para hadirin. Hadi juga menjelaskan bahwa bidikmisi bukanlah kuliah secara gratis, melainkan kuliah yang pembayarannya ditanggung negara. Program yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono tersebut memiliki misi utama yakni untuk memutus mata rantai kemiskinan. “Biaya hidup, biaya kuliah, ini semua ditanggung negara dan
harapannya bisa memutus mata rantai kemiskinan,” tuturnya. Di penghujung acara, panitia menghadirkan Hudha Abdul Rahman, alumni penerima bidikmisi yang berprestasi, ia dihadirkan untuk menularkan semangat kepada semua hadirin. Alumnus Sastra Indonesia UNAIR yang kini tengah menempuh pendidikan S2 Sastra di Universitas Padjajaran Bandung tersebut menuturkan, bahwa pentingnya untuk bermimpi sejak awal kuliah dan memetakan target yang ingin digapai. “Video yang saya putar ini silahkan dibayangkan, bahwa yang ada di gambar tersebut selanjutnya adalah kalian,” tegas Hudha yang juga merupakan mahasiswa penerima beasiswa LPDP. (*) Penulis : Nuri Hermawan Editor : Dilan Salsabila
Dengan Lesehan, Rektor Sambut Sambat Warga UNAIR NEWS – “UNAIR kampus rakyat, UNAIR kampus rakyat, UNAIR kampus rakyat,” itulah sorakan dari kurang lebih 300 warga Desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, yang disambut Rektor UNAIR dengan lesehan di Hall lantai satu Gedung Rektorat. Kedatangan mereka bertujuan untuk memohon agar UNAIR membantu dalam menangani kasus limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) yang telah mencemari sumber air sumur mereka. “Lima tahun yang lalu PT Putra Restu Ibu Abadi melakukan penimbunan B3 di lingkungan warga, padahal di Jawa Timur tidak ada perusahaan yang memiliki izin untuk penimbunan,” jelas Prigi Arisandi, alumnus UNAIR yang fokus pada kelestarian
lingkungan. Prigi juga menambahkan bahwa warga sebenarnya telah melakukan berbagai upaya, mulai mengajukan masalah ini ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Lingkungan Hidup (BLH) provinsi dan kabupaten, namun belum ada respon sama sekali. “Rakyat ini saat mengadu ke mereka dituduh mengada-ada, dan ketika tim ahli mereka datang mengkaji air yang tercemar, kata mereka tidak ada apa-apa, padahal sudah ada kurang lebih 200 anak di lima dusun yang terkena, bahkan lima dusun tersebut setiap hari harus beli air galon,” tegas aktivis lingkungan tersebut. Sikap warga pun berlanjut dengan menggelar aksi ke Istana Grahadi, Kamis (2/6). Selepas dari Grahadi, warga akhirnya bergerak menuju UNAIR untuk meminta bantuan dari pihak akademisi UNAIR untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. “Kami yakin Rektor akan berpihak pada kepentingan rakyat dan UNAIR mau membela kita, karena selama ini tidak ada yang membela kami,” tegasnya. Warga yang hadir pun juga juga berkesempatan untuk menyampaikan aspirasi. Salah satunya adalah Supriyadi, warga Dusun Kedungpalang, menjelaskan bahwa mulanya warga memang buta mengenai masalah B3. Perlahan tapi pasti, lima tahun berjalan warga mulai terdampak. Hingga melakukan beberapa aksi yang sampai saat ini belum ada tanggapan sama sekali dari pihak berwenang. “Saya khawatir lima tahun lagi anak-anak kami tidak bisa merasakan sumber air sumur yang bersih lagi, kami sudah lelah dan lelah, pihak terkait tidak pernah merespon sama sekali,” keluhnya.
Senyum Hangat Rektor Saat Menerima Warga Desa Lakardowo Di Hall Lantai 1 Kantor Manajemen UNAIR. (Foto: Nuri Hermawan) Menanggapi penjelasan Prigi dan Supriyadi, Rektor UNAIR, Prof. Dr. Moh. Nasih, SE., MT., Ak., CMA., menjelaskan bahwa kewenangan masing-masing pihak berbeda. Prof Nasih juga menekankan bahwa dalam waktu yang dekat, UNAIR akan membentuk dan menerjunkan tim untuk mengkaji sekaligus menganalisis kasus yang ada. “Secara akademik kami akan menerjunkan tim kami, kami juga punya pakar lingkungan, kesehatan masyarakat, sosial politik, kesemuanya saya berharap bisa melakukan kajian ini dalam waktu yang tidak lama,” ungkap Prof Nasih. Guru Besar FEB UNAIR tersebut juga menambahkan bahwa dari hasil kajian tersebut nantinya akan disampaikan pada pihak yang terkait. “Hasil kajian bahaya limbah ini bisa kami teruskan bisa ke pihak yang mempunyai hak, kalau UNAIR nutup pabrik gak
mungkin, UNAIR tidak punya kewenangan, ada aparat yang berwenang untuk hal itu,” jelasnya sembari disambut tepukan tangan warga. (*) Penulis: Nuri Hermawan Editor: Dilan Salsabila
Butuh Ide dari Mahasiswa Guna Tingkatkan Pembangunan Infrastruktur Indonesia UNAIR NEWS – Mahasiswa berperan besar dalam pembangunan Indonesia dengan penyampaian sumbangsihnya melalui sebuah ide. Hal tersebut tersiratkan dalam sebuah diskusi nasional bertajuk “Percepatan Pembangunan Infrastruktur dalam Meningkatkan Daya Saing dan Menurunkan Disparitas” di Aula Fadjar Notonegoro. Diskusi tersebut merupakan rangkaian dari acara “9 Eccents : Economic Event 2016” yang diadakan oleh Hima Ekonomi Pembangunan FEB UNAIR. Diskusi nasional yang diadakan Kamis (2/6), tersebut diikuti oleh perwakilan dari 15 peserta dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang lolos seleksi penulisan karya ilmiah. Beberapa diantaranya seperti Universitas Airlangga sebagai penyelenggara, lalu Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Brawijaya, hingga Universitas Hassanuddin Makassar. “Saya ucapkan selamat kepada 15 peserta yang telah lolos seleksi penulisan karya ilmiah, dari sinilah ide-ide dari mahasiswa yang cemerlang diharapkan dapat membantu dalam pembangunan Indonesia,” ujar Prof. Dr.Hj. Dian Agustia,
SE.,M.Si.,Ak., Dekan FEB UNAIR, saat memberi sambutan. Sebagai Keynote Speaker dalam diskusi tersebut, Andie Megantara, Ph.D, mengatakan bahwa penyelesaian infrastruktur tidak hanya butuh waktu satu atau dua tahun. Ketika Infrasruktur di Indonesia sudah bagus, hal tersebut akan mengundang FDI (Foreign Direct Invesment) untuk menanamkan modalnya di Indonesia. “FDI berhak memilih, kalau infrastruktur Indonesia belum membaik, tidak mungkin mereka lebih milih Indonesia daripada negara lain yang menarik minat mereka,”ujarnya. “Karena modal itu tidak mengenal warga negara,” imbuh Asisten Deputi Fiskal Kementrian Koordinasi Bidang Perekonomian Republik Indonesia tersebut. Andie mengandaikan jika Indonesia dapat menurunkan disparitas (kesenjangan, -red) dan memiliki daya saing ekonomi yang lebih kompetitif maka dapat dipastikan ekspor dari Indonesia akan meningkat, selain itu, akan ditemukan pengganti untuk produk impor yang sebelumnya telah dilakukan oleh Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, Andie juga mengatakan bahwa pihaknya membutuhkan ide-ide cemerlang dari para mahasiswa untuk mendorong dalam penurunan disparitas di Indonesia. “Diskusi ini juga sekalian untuk mengajak temen-temen mahasiswa untuk menyumbang ide-ide cemerlangnya,” pungkasnya. (*) Penulis : Dilan Salsabila Editor : Nuri Hermawan
Lakon Sang Prabu dalam Naskah Festival Wayang Airlangga UNAIR NEWS – Siapa yang tidak kenal Airlangga, nama seorang raja yang pernah memimpin tanah Jawa di abad ke-11, kini diabadikan menjadi nama sebuah perguruan tinggi terkemuka di negeri ini. Namun tidak banyak orang yang mengetahui sepak terjang raja yang mendapat julukan Sang Pembaru Tanah Jawa tersebut. Sebagai bagian dari bentuk tanggung jawab untuk mengenalkan perjalanan Prabu Airlangga sekaligus sebagai rangka memperingati dies natalis yang ke-62, UNAIR menggelar Festifal Wayang Airlangga dengan berpijak pada nama tokoh Airlangga yang penuh nilai historis dan filosofis. “Festival Wayang Airlangga yang diselenggarakan tahun ini merupakan kelanjutan dari kegiatan Dies Natalis tahun sebelumnya yang mengangkat lakon Airlangga Winisudo dengan menggambarkan lahirnya seorang ksatria bernama Airlangga,” tutur Prof. Bambang Tjahjadi sembari membuka Diskusi Sejarah Airlangga di Rumah Kebudayaan Jawa Timur, Selasa (31/5). Menambahi pernyataan Prof. Bambang, Dra. Adi Setijowati, M.Hum., selaku Wakil Ketua Panitia Festival Wayang Airlangga menjelaskan bahwa Festival Wayang Airlangga tahun ini terdiri atas beberapa acara, diantaranya adalah Sayembara Penulisan Naskah Lakon Airlangga dan Pagelaran Wayang Airlangga. Sebagai bekal bagi para dalang, seniman, sastrawan, dan para peminat sayembara tersebut, diadakanlah diskusi yang menghadirkan arkeolog dan sejarawan dari Universitas Indonesia dan Universitas Airlangga. “Diharapkan dengan adanya penjelasan sejarah dari para ahli, semakin banyak peminat untuk mengikuti Sayembara Penulisan Naskah Wayang ini,” tutur Adi. Dr. Ninie Susanti sebagai penulis buku Airlangga Tokoh Pembaru
Jawa Abad XI mengungkapkan kebanggaannya kepada raja yang memerintah Mataram Kuno pada tahun 1019-1043 Masehi tersebut. Sebagai arkeolog FIB UI, Ninie menjelaskan perjalanan panjang sang prabu, mulai dari proses lahir, persitiwa pralaya, hingga pengembaraan Airlangga menjadi seorang raja. “Bagaimanapun kisah Airlangga ini sangat menarik bagi saya,” tandasnya. Senada dengan Ninie, Adrian Perkasa, M.A, menekankan pembagian sejarah hidup Airlangga yang terbagi menjadi tiga tahap kehidupan. Mulai tahap Airlangga dan Pralaya, konsolidasi kekuasaan, hingga pembagian kerajaan. Sejarawan UNAIR tersebut mengungkapkan pentingnya pembahasan sejarah Airlangga untuk memperdalam pemahaman dalam menulis lakon yang akan disayembarakan. “Pentingnya
mendalami
sejarah
Airlangga
untuk
menyambut
sayembara ini, agar mampu memberikan inspirasi bagi siapa saja yang berminat untuk mengikuti sayembara,” tegas Adrian. (*) Penulis: Nuri Hermawan Editor: Dilan Salsabila
Menyesap Dokter, Diplomat
Cerita Seorang Pendidik, dan
UNAIR NEWS – Guru Besar Emeritus Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (UNAIR) Prof. Dr. H.R. Soedarso Djojonegoro, dr., AIF, masih aktif mengajar dan menguji tugas akhir mahasiswa hingga sekarang. Pengajar senior berusia 84
tahun pada Departemen Ilmu Faal FK UNAIR ini baru meluncurkan buku berjudul Jalan Pengabdian: Catatan Seorang Dokter, Pendidik, dan Diplomat dalam Mencetak Generasi Bangsa. Prof. Soedarso pernah menjadi orang nomor satu di kampus ini. Pria kelahiran Pamekasan, 8 Desember 1931, itu pernah menjabat sebagai Rektor selama dua periode. Yakni pada 1984 – 1989, dan 1989 – 1993. Sebelum berkalung gordon emas, dia sempat menjabat sebagai Sekretaris UNAIR dan Pembantu Rektor III bidang akademik dan kemahasiswaan. Tentu, banyak pelajaran yang bisa dipetik dari Prof Soedarso. Beberapa waktu lalu, kru News Room UNAIR mendapat kesempatan berbincang dengannya. Beragam kisah terekam dalam obrolan santai tersebut. Mulai cerita perjalanan karir hingga harapannya untuk UNAIR di masa datang. Berikut hasil wawancara lengkapnya. Apa perbedaan yang paling terasa ketika Prof. Soedarso menjabat sebagai Rektor UNAIR periode pertama dan kedua? Perbedaannya sih tidak begitu terlihat. Yang berbeda hanya dalam proses pembangunan fisik. Kalau pada periode pertama, saya meneruskan pembebasan tanah dan mulai mencicil pembangunan fisik di Kampus C. Nah, pada periode kedua, saya meneruskan pembangunan fisik tersebut seoptimal mungkin. Waktu itu fokus yang saya bangun adalah Kantor Manajemen Kampus C. Awalnya, saya ingin membangun delapan tingkat. Namun, hanya terwujud lima tingkat. Karena proses administrasinya terlalu lama, akhirnya diberhentikan pemerintah. Itu saja yang saya anggap penting dalam hal perubahan. Jenis-jenis kegiatan pada tahun 1984 tidak begitu banyak variasinya bila dibandingkan dengan zaman sekarang. Sedangkan kalau dari aspek penelitian, selama masa jabatan saya, selalu ada peningkatan.
Dalam bedah buku, Prof. Soedarso sempat bercerita tentang situasi kemahasiswaan pada masa itu. Kepada siapa mereka berdemonstrasi dan apa tuntutannya? Alhamdulillah tidak ada yang demo ke rektorat. Pada zaman itu, mahasiswa Indonesia lebih banyak demo untuk melawan kebijakan pemerintah. Saat itu kepengurusan antar-organisasi mahasiswa ekstra kampus tidak semenonjol sekarang. Mereka fokus untuk melawan pemerintah. Makanya, sampai ada normalisasi kehidupan kampus. Itu sepanjang yang saya tahu, ya. Tidak pernah sampai (ricuh) yang seperti di Makassar itu. Bagaimana sikap rektorat terhadap situasi kemahasiswaan pada saat itu? Saya menerapkan kebijakan bahwa demokrasi itu tidak boleh seenaknya. Karena, pada saat itu pemerintah menerapkan demokrasi terpimpin. Kalau ada protes-protes, silakan. Saya jaga agar semuanya berjalan tertib. Kebetulan, di masa tersebut saya masih menjabat sebagai pembantu rektor III selama tiga periode berturut-turut. Saya selalu bilang, kalau mau demo, izin terlebih dulu. Kami selalu dampingi. Tidak seperti universitas yang lain. Kalau mereka izin, ya sudah demo saja. Tapi, kami dampingi agar nanti tidak bentrok dengan pihak aparat. Demo saja. Sering itu. Bahkan, anak saya yang masih mahasiswa (pada saat itu), juga sudah berhadap-hadapan dengan aparat di kantor gubernuran Indrapura. Saya langsung turun ke sana, tetapi tidak dalam posisi memimpin. Jadi, ada sungkan dari kedua belah pihak antara mahasiswa dan aparat. Bagaimana akhirnya Prof. Soedarso bisa menjadi diplomat? Jadi, setelah tahun 1993, saya selesai menjabat sebagai rektor. Setelah menjadi rektor, saya kembali ke bagian Ilmu Faal. Pada tahun 1994, masa tugas Duta Besar RI untuk Prancis
pada saat itu habis. Maka, harus dicari penggantinya. Tradisi pada waktu itu, duta besar sebaiknya adalah mantan rektor. Kebetulan, mantan rektor pada momen tersebut adalah saya. Saya pun diminta oleh Departemen Luar Negeri (Deplu yang saat ini bernama Kementerian Luar Negeri) dan diusulkan kepada Presiden. Presiden menyetujui. Bagaimana transisi antara dokter, rektor, dan duta besar? Apa tugas yang diemban Prof. Soedarso pada saat itu? Semua calon duta besar harus melewati penataran. Apa saja yang boleh dilakukan dan tidak boleh, sudah digariskan protokoler. Tugas-tugas itu selalu saya kerjakan dengan anak buah. Harus selalu ada komunikasi yang erat dengan Deplu. Ketika saya menjadi dubes, yang menjadi masalah adalah wacana disintegrasi Timor Timur (Timtim). Kawasan itu masih termasuk Indonesia. Sebagian pemberontak berkeinginan agar Tiimtim merdeka dengan bantuan Portugal. Itulah yang menjadi kerikil dalam perjalanan tugas saya di Perancis. Maklum, persoalan itu menjadi isu hangat di level dunia. Nah, saya dituntut untuk bisa menjaga nama baik negeri kita. Saya bertugas di Perancis pada tahun 1995 – 1999. Hampir dua periode. Mestinya, sampai 2001. Tapi, saya mengajukan pengunduran diri ke Menteri Luar Negeri Ali Alatas dengan alasan ingin kembali ke kampus. Saya lebih senang di dunia pendidikan daripada dunia politik. Akhirnya, pengunduran diri diterima karena kebetulan sudah ada orang yang bisa menggantikan. Apa yang Anda lakukan setelah kembali ke kampus? Saya kembali menjadi dosen. Mengajar lagi. Sampai Januari 2002, usia saya melebihi 70 tahun. Akhirnya, saya pensiun. Meski demikian, sampai sekarang tahun 2016, saya diangkat sebagai Guru Besar Emeritus dan masih mengajar. Dari sisi lain, itu (mengajar, Red) keuntungan bagi saya, karena otak
saya terus terlatih dan jadi tidak pikun. Saya juga masih menguji karena masih punya promovendus. Saat ini, saya tidak lagi melakukan penelitian. Biarkan yang muda yang melakukan penelitian. Saya juga masih mempunyai mahasiswa S-2, S-3 di UNAIR dan Unesa (Universitas Negeri Surabaya). Sampai saat ini saya juga masih rutin ke FK UNAIR. Saya pun memegang Yayasan Pendidikan Anak Buta dan menjadi Dewan Penyantun di Universitas Wijaya Kusuma. Saat ini, UNAIR sedang ditarget oleh pemerintah untuk menembus peringkat 500 besar kampus top dunia. Menurut Prof. Soedarso, apa yang perlu ditingkatkan oleh UNAIR? Sederhana saja. Untuk mencapai mimpi itu, yang perlu ditingkatkan adalah kualitas sumber daya manusia (SDM). Itulah yang selama ini menjadi nilai tambah pada perguruan tinggi berkelas dunia. Dengan meningkatnya kualitas SDM, penelitianpenelitian dan bidang lain akan meningkat. Oleh karena itu, baik pimpinan universitas dan fakultas, harus meningkatkan kualitas SDM masing-masing. (*) Penulis: Defrina Sukma S. Editor: Rio F. Rachman
Pakar DBD dan Tifus FK UNAIR Berpulang UNAIR NEWS – Universitas Airlangga kembali kehilangan salah seorang putra terbaiknya. Guru Besar bidang Ilmu Penyakit Dalam sub Tropik dan Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Prof. Eddy Soewandojo, dr., Sp.PD., K-PTI, FINASIM
meninggal dunia pada Kamis (2/6). Almarhum kelahiran Jakarta, 25 November 1940 itu tutup usia pada 76 tahun. Sebelum dikebumikan di TPU Keputih Surabaya, jenazah disemayamkan terlebih dulu di Aula FK UNAIR. Sanak keluarga, kerabat, teman sejawat dan para guru besar berkumpul di Aula memberikan penghormatan terakhir, Jumat pagi (3/6). Direktur RS UNAIR, Prof. Dr. Nasronuddin, dr., Sp.PD., K-PTI, FINASIM turut berbagi pengalaman mengenai sosok almarhum Prof. Eddy semasa hidup. Menurut Prof. Nasron, almarhum dikenal sebagai seorang guru yang baik dan jujur. Dalam bidang penyakit tropik dan infeksi, almarhum menjadi panutan karena dikenal ulet dan amat memiliki perhatian khusus terhadap permasalahan penyakit demam berdarah dengue maupun demam typoid. Beliau juga banyak menghasilkan karya penelitian sebagai salah satu upaya menanggulangi permasalahan DBD di Indonesia. Bahkan sang profesor juga dikenal banyak berkontribusi dalam inovasi melalui uji klinis obat-obatan penyakit demam berdarah. “Yang selalu beliau tekankan adalah pentingnya upaya pencegahan DBD ketimbang mengobatinya,” ungkap Prof. Nasron. Selain menaruh perhatian besar pada permasalahan penyakit DBD, Prof. Eddy juga dikenal menonjol dalam penanggulangan demam tifoid atau penyakit tifus. Kala itu, Prof. Eddy menjadi salah satu tokoh kunci dalam pengembangan riset pengobatan tifus pada tahun 2002 bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lembaga kesehatan dari Hongkong, dan tujuh perguruan tinggi lainnya di Indonesia. Alhasil, dengan perjuangan bersama dihasilkan sebuah terobosan obat anti-demam tifus bernama Levofloxacin. Antibiotik ini dinilai lebih unggul dibandingkan jenis antibiotik lainnya seperti kelompok Fluoroquinolone, yakni Ciprofloxacin. Levofloxacin mampu menurunkan panas lebih awal daripada Ciprofloxacin. Selain itu, efek samping seperti mual, muntah,
dan gangguang fungsi hati lebih ringan daripada Ciprofloxacin. Antibiotik ini cukup diberikan selama tujuh hari namun dengan dosis cukup sekali sehari. Sehingga, lebih efektif dalam mencegah komplikasi dan memperpendek pengobatan. Dalam kesempatan yang sama, Wakil Rektor III UNAIR periode 2009 – 2014 Prof. Soetjipto, dr., MS, Ph.D, pun punya pengalaman istimewa tersendiri bersama Prof. Eddy. Selain dikenal sebagai salah satu pakar penyakit tropik dan infeksi, Prof. Tjip juga mengenal Prof. Eddy sebagai guru yang menaruh perhatian cukup besar pada perkembangan kurikulum pendidikan kedokteran. Karena sama-sama menekuni pendidikan kedokteran, salah satu yang paling dikenang dari sosok Prof. Eddy, adalah kegemaran almarhum untuk selalu berdiskusi mengutarakan berbagai pemikiran kolektif, dan berbagai inovasi perkembangan modul demi meningkatkan kualitas pendidikan kedokteran ke depan. Pribadi yang ‘lurus’ Prof. Troeboes Poerwadi, dr., Sp.S, adalah salah seorang yang turut menghadiri prosesi persemayaman jenazah Prof. Eddy. Kedatangannya tidak hanya sebagai teman seangkatan di FK UNAIR, tapi juga sekaligus sebagai kawan sepermainan sejak duduk di bangku sekolah menengah atas.
“Prof. Eddy adalah teman dekat saya sejak sama-sama sekolah di SMA 2 Surabaya. Dulu dia ketua kelas. Terkenal pendiam, tekun tapi gampang diakali. Karena saya dengan teman lainnya yang nakal, dia tidak. Kalau saya bolos sekolah, dia yang saya suruh jaga kelas bersama murid perempuan lainnya,” kenang Prof. Troboes. Pertemanan keduanya pun berlanjut hingga masuk perguruan tinggi FK UNAIR. Selama menempuh pendidikan, Prof. Troeboes dan Prof. Eddy telah melalui banyak suka duka.
“Salah satu yang berkesan adalah kami dulu punya grup namanya ‘Kaipang’. Ini kumpulan mahasiswa konyol dan ndak berduit. Jadinya, kami kalau belajar di selasar kampus. Setiap ada perayaan Dies Natalis UNAIR, kami selalu sibuk jadi tukang. Tukang menata meja kursi untuk acara. Seru pokoknya,” kenangnya. Di mata Prof. Troeboes, Prof. Eddy adalah sosok teman belajar dan teman main yang baik. Prof. Eddy termasuk pribadi yang ‘lurus’ dan tidak suka neko-neko. “Prof. Eddy kala itu anak seorang pejabat gubernur. Setiap kali habis ada acara kunjungan tamu dari luar negeri yang disambut di rumah dinas, beliau selalu telepon saya dan kawan lainnya. Dia meminta kami untuk ke rumahnya. Mreneo, ana panganan neng kene. Tamune wis mulih (Kesinilah, ada banyak makanan disini, karena tamu sudah ndak ada),” kenangnya menirukan ucapan Prof. Eddy kala muda. Kepergian Prof. Eddy tentu menyisakan kesedihan mendalam bagi Prof. Troeboes. Yang lebih menyedihkan lagi, beberapa teman seangkatan tahun 1960an sedikit demi sedikit mendahului dirinya untuk menghadap Sang Khalik. Belakangan, kondisi kesehatan Prof. Eddy memang menurun. Prof. Troeboes terakhir bertemu dengan Prof. Eddy beberapa bulan lalu di sebuah acara pesta pernikahan. “Semenjak sakit, Prof Eddy menjadi pelupa. Tapi dia paling ingat dengan saya,dengan istri saya yang juga temannya sejak kecil saja dia malah lupa,” ungkapnya. (*) Penulis: Sefya Hayu I. Editor: Defrina Sukma S.