Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Metal Foam II.1.1 Definisi Metal Foam[16] Istilah solid foam (busa padat) dapat dijelaskan melalui gambar II.1. Gambar tersebut memperlihatkan jenis-jenis koloid yang dapat terbentuk melalui dua fasa. Dari gambar ini, maka solid foam didefinisikan sebagai material yang terbentuk dari fasa gas yang terdispersi dalam fasa solid. Solid foam seringkali juga disebut dengan cellular foam. Hal ini dikarenakan, fasa gas yang terdispersi dalam solid membentuk konstruksi ber-sel sehingga disebut dengan cellular foam. Ketika solid foam berasal dari material logam (metal), maka dinamakan dengan metallic foam. Metal foam dibedakan dari logam berpori (porous metal) melalui nilai densitas yang lebih kecil, dan jumlah % fasa gas sebesar 30-98 %vol.
Gambar II. 1 Klasifikasi jenis koloid berdasarkan fasa pembentuk
Muhammad Fida Helmi 13703040
[16]
5
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
II.1.2 Pembuatan Metal Foams Terdapat sembilan rute proses yang telah dikembangkan untuk membuat metal foam. Lima diantaranya telah dilakukan secara komersial. Semua proses tadi kemudian diklasifikasikan kedalam 4 kelas, yaitu: pembuatan foam dari fasa uap (vapor phase); pembuatan foam dengan electrodeposition dari larutan cair; pembuatan foam dengan proses melt based; dan pembuatan foam dengan solid based. Setiap metode dapat digunakan untuk membuat material berpori dengan densitas relatif dan ukuran sel pada kisaran yang terbatas. Beberapa diantara proses tadi, dapat memproduksi foam dengan sel terbuka (open cell foams), dan mayoritas lainnya dapat memproduksi foam dengan sel tertutup (open cell foams). Produk metal foam mempunyai kisaran kualitas dan harga yang sangat luas, sampai sekarang harganya dapat bervariasi dari $7 sampai $12000 per kg. II.1.3 Rute Proses Pembuatan Metal Foam [21] Berbagai sifat dan struktur metal foam bergantung pada sifat asli logam, densitas relatif dan topology sel (misal: sel yang tertutup atau terbuka, ukuran sel, dll). Metal foam dibuat dengan salah satu dari sembilan proses yang dijelaskan dibawah ini. Logam yang telah dibuat menjadi metal foam dengan proses tertentu kemudian digambarkan pada gambar II.2. 1. Penggelembungan gas kedalam paduan Al-SiC atau Al-Al2O3 cair. (untuk logam Al, Mg) 2. Pengadukan foaming agent (seperti TiH2) kedalam paduan logam cair (paduan Al) dan pengaturan tekanan ketika pendinginan (untuk logam Al) 3. Penyampuran serbuk logam (umumnya paduan Al) dengan partikel foaming agent (TiH2) diteruskan dengan pemanasan sampai keadaan sangat lunak, ketika foaming agent melepaskan gas hidrogen, maka material tersebut akan mengembang. (untuk logam Al, Zn, Fe, Pb, Au) 4. Pembuatan cetakan keramik dari prekursor lilin atau polimer-foam, diikuti dengan membakar prekursor dan menginfiltrasikan logam cair yang dibantu dengan tekanan. (untuk logam Al, Mg, Ni-Cr, stainless steel, Cu) 5. Deposisi logam dari fasa uapnya atau dengan electrodeposition ke permukaan prekursor polimer foam dan kemudian dibakar, sehingga meninggalkan struktur sel berlubang (hollow cores). (untuk logam Ni, Ti)
Muhammad Fida Helmi 13703040
6
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
6. Menggunakan powder Hot Isostatic Pressing (HIP) untuk memperangkap gas inert bertekanan tinggi, yang dikuti dengan ekspansi gas pada kenaikan temperatur tertentu. (untuk logam Ti) 7. Sintering hollow spheres, dibuat dengan proses atomisasi yang dimodifikasi. (untuk logam Ni, Co, Ni-Cr) 8. Penekananan bersama antara serbuk logam dengan serbuk yang mudah terlarut (seperti NaCl), atau infiltrasi serbuk yang mudah terlarut kedalam logam cair, yang diikuti dengan pelarutan sehingga didapatkan rangka metal foam. (untuk logam Al, dengan NaCl sebagai serbuk terlarut). 9. Pelarutan gas (seperti hidrogen) kedalam logam cair pada keadaan bertekanan, kemudian dilanjutkan dengan pelepasan gas yang diatur saat pembekuan berlangsung. (untuk logam Cu, Ni, Al). Diantara semua proses diatas, hanya 5 proses teratas yang sekarang diproduksi secara komersial. Gambar II.2 meringkaskan kisaran dari ukuran sel, tipe sel (terbuka atau tertutup), dan densitas relatif yang dapat dibuat dengan metode-metode diatas.
Gambar II. 2 Kisaran ukuran sel dan densitas relatif untuk metode pembuatan metal foam yang berbeda.[21]
Muhammad Fida Helmi 13703040
7
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
II.2. Aluminium Foams Pembuatan aluminium foam pertama kali dilakukan oleh Benjamin Sosnick pada tahun 1943. Dia mencoba mendispersikan gas kedalam aluminum padat dengan bantuan unsur merkuri (Hg) menggunakan bejana bertekanan tinggi. Dengan bantuan tekanan tinggi, penguapan Hg terjadi bersamaan saat temperatur leleh aluminium sehingga menyebabkan pembentukan foam (busa). Kemudian, ide pertama untuk memproduksi secara indirect foaming, dikembangkan di akhir tahun 1950 oleh Benjamin Allen. Lalu pada tahun 1990, metode ini dikembangkan lebih lanjut oleh Fraunhofer Laboratory di Bremen, Jerman.[10]
Gambar II. 3 Skema proses pembuatan Aluminium dengan mendispersikan gas kedalam [10]
Al-solid, dengan bantuan Hg (merkuri).
II.2.1 Rute Proses Pembuatan Aluminium Foam[16] Saat ini, terdapat dua metode utama untuk memproduksi Aluminum foam. Metode pertama dinamakan dengan direct foaming. Caranya adalah dengan menyuntikkan gas secara kontinyu atau menambahkan foaming agent (agen pengembang) kedalam aluminum cair sehingga membentuk busa (foaming). Metode kedua adalah indirect foaming. Metode ini diawali dengan pembuatan solid precursor yang terdiri dari matriks logam aluminium dan partikel foaming agent yang terdispersi merata. Contoh foaming agent yang seringkali digunakan dalam pembuatan aluminum foam adalah hidrida dari unsur transisi, misalnya serbuk titanium atau zirconium hidrida. Ketika solid precursor ini dipanaskan sampai diatas temperatur leleh matriks logam, maka foaming agent akan melepaskan gas sehingga precursor tersebut mengembang dan membentuk foam.
Muhammad Fida Helmi 13703040
8
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
Tabel II. 1 Klasifikasi rute pembuatan Aluminium Foam, direct foaming dan indirect foaming [16]
II.2.1.1 Pembuatan Foam langsung dari Aluminium Cair (Direct Foaming)[10] Lelehan aluminium dapat dibuat menjadi foam dengan cara membuat gelembung gas di dalam lelehan yang dibuat dalam keadaan stabil saat pemrosesan berlangsung. Keadaan ini dapat terjadi dengan menambahkan partikel keramik atau unsur paduan kedalam lelehan, yang berperan sebagai partikel penstabil. Saat ini, terdapat 4 cara yang biasa digunakan untuk membuat metal foam dari keadaan lelahan, yaitu: pertama, dengan menginjeksikan gas kedalam logam cair; kedua, dengan menambahkan foaming agent kedalam aluminium cair sehingga melepaskan gas; ketiga, dengan infiltrasi pada pola yang dapat dibuang (Invesment Casting), dan keempat, dengan mempresipitasikan gas yang sebelumnya telah terlarut didalam fasa cair. Pembuatan Aluminum Foam dengan Injeksi Gas (Cymat/MetCombTM) [4] Saat ini, metode injeksi gas telah dilakukan secara komersial oleh Cymat Aluminum Corp (Kanada). Partikel silicon carbide, aluminum oxide atau magnesium oxide digunakan untuk memperbaiki viskositas dan penstabil proses. Fraksi volume partikel yang digunakan berkisar antara 10 sampai 20 %, dan ukuran rata-rata partikelnya berkisar dari 5 sampai 20 mikrometer. Lelehan aluminium diinjeksi dengan gas (berupa udara, nitrogen, argon) menggunakan rotating impellers atau dengan nozzle yang menimbulkan dan mendistribusikan gelembung gas secara merata, ditunjukkan pada gambar II.4. Hasilnya adalah campuran logam cair dan gelembung gas, yang kemudian akan mengambang di atas permukaan cairan, lalu mengering. Campuran busa ini relatif stabil karena dibantu oleh keberadaan partikel keramik didalam lelehan. Busa cair yang mengambang diatas permukaan ini, kemudian dapat ditarik Muhammad Fida Helmi 13703040
9
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
keluar, semisal dengan sabuk conveyor, lalu dibiarkan membeku.
Gambar II. 4 Skema pembuatan Aluminum Foam dengan injeksi gas[10]
Gambar II. 5 Penampang melintang aluminium foam dengan rute proses injeksi gas[10]
Pembuatan Metal Foam Menggunakan Foaming Agent (AlporasTM)[4] Cara kedua untuk membuat aluminium foam adalah dengan menambahkan foaming agent kedalam aluminium cair, yang diperlihatkan pada gambar II.6. Foaming agent selanjutnya
akan
terdekomposisi
karena
terpengaruh
oleh
panas
sehingga
melepaskan gas yang digunakan dalam proses foaming. Shinko Wire Co, Amagasaki (Jepang) telah memproduksi Aluminium foam dengan cara ini sejak tahun 1986, dengan kapasitas produksi yang terlaporkan sebesar 1 ton per hari. Selain itu, perusahaan Cina, Jiangsu Tianbo Light-Weight Materials di Nanjing juga telah dapat memproduksi hal yang serupa.
Muhammad Fida Helmi 13703040
10
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
Gambar II. 6 Skema pembuatan Aluminium Foam menggunakan foaming agent[10]
Pada skema diatas, langkah produksi pertama dilakukan dengan memasukkan kalsium sebesar 1.5% kedalam aluminium cair (6800C). Aluminium cair ini diaduk selama beberapa menit sehingga viskositasnya bertambah secara bertahap, karena dibantu oleh terbentuknya oksida (CaAl2O4). Setelah proses ini, titanium hidrida (TiH2) ditambahkan (sekitar 1.6 % berat) kedalam aluminium cair, yang berperan sebagai foaming agent untuk melepaskan gas hidrogen. Aluminium cair akan mulai mengembang secara perlahan dan secara bertahap akan mengisi bejana proses. Seluruh proses ini dapat menyita waktu sekitar 15 menit untuk kapasitas bejana sebesar 0.6 m3. Setelah bejana mendingin dibawah temperatur leleh, maka busa cair akan berubah menjadi solid aluminum foam, dan kemudian dikeluarkan dari cetakan untuk proses selanjutnya. pembuatan aluminum foam dengan metode ini mempunyai merek dagang AlporasTM, dan mempunyai struktur pori yang relatif merata.
Gambar II. 7 Penampang melintang AlporasTM, Aluminium Foam menggunakan foaming agent[10]
Muhammad Fida Helmi 13703040
11
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
Infiltrasi Pada Pola yang Dapat Dibuang (Invesment Casting)[10] Variasi proses casting, terutama untuk pembuatan foam dengan sel terbuka, didasarkan pada cetakan yang dapat dibuang (disposable), diperlihatkan pada gambar II.8. Cetakan yang lazim digunakan adalah garam (NaCl) yang disinter pada atmosfer udara selama beberapa jam agar terjadi panggabungan butir. Kemudian aluminium cair dituangkan agar terjadi infiltrasi kedalam pori cetakan. Setelah aluminium membeku, cetakan garam kemudian dilarutkan kedalam air sehingga terbentuklah foam dengan sel yang terbuka, dengan ukuran sel 3-4 mm. Hal yang perlu diperhatikan dalam proses infiltrasi adalah pemanasan awal cetakan, sehingga dapat mengurangi kecenderungan aluminium cair untuk membeku terlalu cepat sebelum dapat memenuhi semua rongga cetakan. Diperlukan juga kombinasi antara keadaan vakum pada cetakan sebelum tuang dan tekanan tinggi, yang digunakan selama proses infiltrasi. Hal ini digunakan untuk mendapatkan struktur sel yang lebih halus. Seperti yang diperlihatkan dalam gambar II.8, foam yang dihasilkan dapat mempunyai ukuran sel sekecil 400 mikro meter dengan ρ*/ρ sebesar 0.2-0.3.
Gambar II. 8 Rute proses invesment casting dengan penggunaan pola garam dan penampang melintang aluminium hasil proses[10].
Muhammad Fida Helmi 13703040
12
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
Proses infiltrasi tidak memelukan serbuk atau serat logam yang mahal. Bentuk produk juga dapat diatur secara seksama dengan pengaturan cetakan, serta dapat memiliki keseragaman struktur yang tinggi. Proses ini relatif kompleks, mensyaratkan proses sintering dan pelarutan cetakan. Jenis ukuran sel terbesar dan terkecil dapat diatur dengan menentukan proses infiltrasi dari pola cetakan yang rumit serta teknik untuk melarutkannya. Jenis proses lainnya diperlihatkan pada gambar II.9, serbuk logam dicampur dengan serbuk garam, lalu dikompaksi sehingga didapatkan blok yang padat. Kemudian blok tersebut disinter pada temperatur diantara titik leleh aluminium dan garam. Setelah itu, proses ini diikuti dengan pelarutan garam sehingga didapatkan foam dengan ρ*/ρ > 0.2. Akan tetapi, proses ini tidak digunakan untuk penggunaan yang luas. Proses ini cukup rumit, dan relatif mahal karena penggunaan serbuk aluminium. Hasil proses ini menghasilkan sambungan antara garam yang lebih sedikit, sehingga menghasilkan produk yang lebih padat, struktur pori yang kecil dan seringkali meninggalkan sisa NaCl.
Gambar II. 9 Rute proses dengan penggabungan serbuk aluminum dengan serbuk garam, dilanjutkan dengan pelarutan; penampang melintang hasil rute proses[10]
Pada proses yang lain, digunakan partikel polystyrene yang dicampur dengan resin, dan kemudian dibakar untuk menghasilkan cetakan resin yang berlapis (coating). Muhammad Fida Helmi 13703040
13
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
Aluminium cair lalu diinfiltrasikan dengan bantuan tekanan sebesar 460 Mpa selama 0,2 detik, sebelum polimer terdekomposisi. Polystyrene kemudian terbakar habis sehingga dihasilkan foam dengan sel terbuka berukuran sel 1-3 mm dan ρ*/ρ sebesar 0.14-0.27. Proses ini relatif mahal sehingga digunakan untuk sampel yang terbatas. Proses lain yang relatif lebih mudah adalah dengan menggunakan foam polymer bersel terbuka sebagai pola untuk memproduksi aluminium foam dengan 2 tahapan proses invesment casting. Seperti yang terlihat pada gambar II.10, polymer (polyurethane) diinfiltrasi dengan plester, lalu dibakar untuk menghilangkan polimer. Cetakan yang tersisa lalu diisi oleh aluminium cair, juga seringkali dibantu dengan kombinasi antara keadaan vakum dan tekanan eksternal. Pada akhir proses, plester kemudian dilarutkan.
Gambar II. 10 Rute proses dengan menggunakan template polymer, DuocellTM ; penampang melintang aluminium foam DuocellTM [10]
Foam dapat diproduksi untuk berbagai macam logam dan paduannya, dengan ρ*/ρ Muhammad Fida Helmi 13703040
14
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
sebesar 0.03. Proses ini tentunya mempunyai keuntungan dan kerugian dalam segi proses jika dibandingkan dengan penggunaan pola garam. Variasi porositas dapat diatur dengan penggunaan cetakan polimer. DuocelTM, merupakan salah satu produk yang diproses dengan metode ini. Aplikasi penggunaannya antara lain sebagai heat exchanger, elektrode berpori, dan filter kimia. Pembekuan Eutektik Dari Solid-Gas[4] Metode ini dikembangkan sekitar 15 tahun yang lalu, memanfaatkan perbedaan kelarutan gas dalam logam berfasa cair dan padat. pertama kali, gas hidrogen atau nitrogen dilarutkan pada tekanan tinggi (diatas 50 bar) kedalam lelehan logam. Jika kemudian temperatur diturunkan dibawah temperatur leleh logam, maka presipitat gas akan tumbuh. Pada saat kondisi ini, gelembung gas akan terperangkap di dalam logam. Morfologi pori yang didapat akan tergantung pada kandungan gas, tekanan pada lelahan logam, laju pelepasan panas dan komposisi kimia dari lelehan logam.
Gambar II. 11 Rute proses aluminium foam dengan pembekuan eutektik dari Solid-Gas; dan hasil proses[10]
Pada umumnya, bentuk pori yang akan didapat berupa pori besar yang memanjang sesuai arah pembekuan. Diameter pori berkisar antara 10 mikrometer sampai 10 mm. Panjang pori berkisar antar 100 mikrometer samapai 300 mm, dan porositasnya 575%. Kata "gasar" tercipta dari akronim Rusia yang berarti "gas-reinforced". saat ini, metode tersebut telah diadaptasi oleh Jepang dengan penamaan "lotus-structure" karena menyerupai akar lotus (teratai).
Muhammad Fida Helmi 13703040
15
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
II.2.1.2 Pembuatan Aluminium Foam dengan Precursor (Indirect Foaming)[10] Teknik pembuatan metal foam ini dilakukan dengan menambahkan satu langkah dalam rantai proses yang ada. Berbeda dengan teknik pembuatan langsung dari keadaan cair, precursor yang mengandung foaming agent dipersiapkan terlebih dahulu. Pengembangan foam dilakukan dengan cara melelehkan precursor sehingga gas akan terlepas dan membentuk gelembung. Keuntungan dari teknik ini adalah bentuk yang rumit dapat diproduksi dengan cara mengisi cetakan dengan precursor. Precursor ini dapat disiapkan dengan tiga cara: pertama dengan memadatkan campuran serbuk dalam keadaan padat, kedua dengan membentuk campuran serbuk dengan thixo-casting dan dengan mencampur serbuk foaming agent kedalam lelehan logam. Kompaksi Antara Serbuk Aluminium dan Foaming Agent (FoaminalTM)[4] Skema produksi diperlihatkan pada gambar II.12. Proses produksi dimulai dengan mencampurkan antara serbuk logam (logam murni, paduan, atau campuran) dengan serbuk foaming agent. Setelah itu, campuran tersebut dikompaksi sampai
padat
sehingga didapatkanlah produk setengah jadi. Kompaksi harus dilakukan dengan teknik tertentu sehingga foaming agent akan menempel pada matriks logam tanpa adanya sisa porositas. Contoh metoda kompaksi yang lazim digunakan adalah dengan uniaxial atau isostatic compression, rod extrusion atau powder rolling. Pembuatan precursor harus dilakukan dengan hati-hati karena sisa-sisa porositas atau cacat lain akan menyebabkan hasil yang buruk setelah dilakukan proses lanjutan. Langkah selanjutnya adalah dengan melelehkan matriks logam yang sekaligus menyebabkan foaming agent terdekomposisi. Gas yang dilepaskan akan menghasilkan gaya untuk mengekspansi precursor sehingga terbentuklah struktur dengan ukuran pori yang relatif besar. Waktu yang diperlukan untuk mengekspansi tergantung parameter temperatur dan ukuran precursor. Material aluminum dan paduannya, seng, kuningan, timah, emas dan logam lainnya dapat dibentuk menjadi foam dengan memilih foaming agent dan parameter proses yang cocok.
Muhammad Fida Helmi 13703040
16
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
Gambar II. 12 Rute proses kompaksi serbuk aluminium dan foaming agent, FoaminalTM [10]
Gambar II. 13 Penampang melintang dari produk FoaminalTM [10]
Foaming Thixo-Cast Precursor Material (ThixofoamTM)[4] Teknik pembuatan precursor dilakukan dengan teknik pemadatan thixo-casting dalam keadaan setengah padat (semi-solid)[24]. Dengan teknik ini, pertama kali campuran serbuk di padatkan dalam bentuk billet dengan Cold isostatic pressing, menghasilkan densitas sekitar 80%. Billet ini kemudian dipanaskan pada temperatur semi-solid dan kemudian dicetak pada bentuk tertentu menggunakan mesin die casting. Selanjutnya precursor hasil teknik ini dapat dilelehkan kembali serupa dengan teknik sebelumnya. Keuntungan dari rute proses ini adalah precursor dapat memiliki bentuk rumit dan tidak memerlukan tambahan pembentukan akhir. Selain itu, jika dibandingan dengan
Muhammad Fida Helmi 13703040
17
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
metode pemadatan serbuk, metode casting ini dapat mengahasilkan precursor yang isotropik sehingga mempunyai sruktur pori yang seragam. Foaming of Ingots Containing Foaming Agents (FOAMGRIPTM)[4] Material precursor juga dapat dibuat tanpa menggunakan serbuk logam. Caranya adalah dengan mencampurkan partikel titanium hydride ke dalam logam cair, sesaat setelah cairan logam akan membeku. Hasil precursor yang didapatkan, selanjutnya dapat diproses dengan metode yang sama dengan yang sebelumnya. Untuk menghindari pembentukan dini gas hidrogen saat pencampuran, maka pembekuan harus dilakukan dengan dengan cepat atau dengan menggunakan foaming agent yang “dipasifkan” sehingga mencegah pelepasan gas yang berlebihan dalam tahapan ini. Skema proses ini diperlihatkan pada gambar II.14. Salah satu metodenya adalah dengan menggunakan mesin die-casting. Serbuk hidrida diinjeksikan kedalam cetakan (die) bersamaan dengan logam cair[25]. Tantangan permasalahan yang harus dihadapi adalah cara untuk mendapatkan distribusi serbuk TiH2 yang terdistribusi secara homogen. Sebagai alternatif, serbuk TiH2 dapat ditambahkan kedalam cairan logam dengan pengadukan lambat dan pendinginan lanjutan. Untuk mendapatkan foam yang stabil, maka sering digunakan partikel SiC sekitar 10-15 % vol.
Muhammad Fida Helmi 13703040
18
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
Gambar II. 14 Rute proses FOAMGRIPTM dan penampang melintang dari produknya.[10]
II.3 Agen Penghasil Gas (Foaming Agent) II.3.1 Penggunaan Foaming Agent[10] Keuntungan utama pemakaian foaming agent adalah bubuk foaming dapat secara efisien terdispersi didalam aluminium cair dengan pengadukan sebelum terjadi dekomposisi termal. Pada proses yang penggelembungan gasnya terjadi secara langsung didalam logam cair, maka pengaturnya adalah kecenderungan alami gelembung untuk naik ke permukaan logam cair dan efek dorongan dari gelembung yang bersebelahan. Perlu diperhatikan juga, bahwa pengadukan logam cair setelah penambahan gelembung dapat menyebabkan penggabungan sel dan pengempesan foam secara cepat.
Muhammad Fida Helmi 13703040
19
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
Jika membandingkan penambahan gas secara langsung, yang memproduksi gelembung
secara
sesaat,
maka
penggunaan
foaming
agent
memberikan
dekomposisi kimia secara gradual dan ekspansi gelembung secara progresif. Hal ini, memberkan kesempatan pada gelembung untuk menyusun kembali sehingga variasi densitas lokal dapat dihindari. Partikel penstabil dapat membantu penyusunan pori, juga menstabilisasi permukaan dengan bantuan reaksi kimia antara gelembung gas dan aluminium cair. II.3.2 Persyaratan untuk Foaming Agent[10] Prinsipnya, setiap material yang stabil di temperatur kamar namun dapat melepaskan gas saat kenaikan temperatur, maka dapat berpotensi sebagai foaming agent. Termasuk kedalam foaming agent adalah bahan inorganik hidrat seperti kalsium klorida, cupric sulfat dan barium iodida, juga mineral yang memiliki lapisan hidrat seperti vermiculite. Ketika dipanaskan diatas temperatur dekomposisinya (40013000C), maka bahan ini akan terhidrasi dan uap air yang terlepas dapat digunakan untuk mengembangkan (foaming) cairan logam. Senyawa logam, termasuk hidrida, oksida, nitrida, sulfida, dan karbonat, juga cocok digunakan. Pada kenaikan temperatur yang cukup, bahan tersebut dapat terdekomposisi membentuk formula:
MX ( s ) → M ( s ) + X ( g )
[2.1]
Mayoritas pengerjaan foaming pada logam cair ditujukan pada aluminium. Hal ini, dikarenakan karakteristiknya yang mempunyai densitas rendah, relatif mempunyai titik leleh rendah, dan sifat mampu tahannya terhadap korosi. Aluminium murni meleleh pada 6600C, sedangkan aluminium paduan yang lazim digunakan sebagai bahan aluminum foam, mempunyai temperatur leleh yang lebih rendah dibawah 5750C. Beberapa paten menyarankan kisaran yang luas untuk
bahan yang berpotensial
sebagai foaming agent. Termasuk didalamnya adalah CdCO3 dan MgCO3, molekul organik dengan rantai panjang, (NH4)CO3, vermiculite, logam sulfat dan karbonat. Diantara semua bahan tersebut, titanium hidrida (TiH2) dan zirconium hidrida (ZrH2), merupakan foaming agent yang sering digunakan secara praktik. Pada penggunaan komersial pun hanya TiH2 yang luas dipakai. Bahan ini terdekomposisi melalui reaksi:
Muhammad Fida Helmi 13703040
20
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
TiH 2( s ) → Ti( s ) + H 2( g )
BAB II Tinjauan Pustaka
ΔG0 (kJ mol-1) = 453 – 0.58 T(K)
[2.2]
Energi bebas dari reaksi ini, ΔG0, diplotkan sebagai fungsi dari temperatur pada gambar II.15. Semua elemen diasumsikan pada keadaan standar, yaitu ketika gas terbentuk pada tekanan atmosfer. Hal ini, menyesuaikan perkiraan situasi didalam sel saat aluminium bersifat cair. Dekomposisi TiH2 menghasilkan hidrogen, secara langsung terjadi dalam keadaan atmosfer pada temperatur 7500C. Tetapi, pada proses foaming dekomposisi TiH2 terjadi secara cepat di temperatur yang lebih rendah. Senyawa intermetalik TiAl
dan TiAl3 teramati pada permukaan interface
antara partikel TiH2 dan logam cair. Hal ini menunjukkan adanya reaksi lain yang terjadi.
Kisaran Temperatur leleh untuk paduan Aluminuium
Gambar II. 15 ΔG0 untuk dekomposisi termal dari TiH2, dan untuk beberapa reaksi pembentukan gas dari TiH2 pada Paduan Aluminium cair. pH2 = 1 [10]
II.3.3 Logam Karbonat Sebagai Agen Penghasil Gas[10] Logam karbonat sangat berpotensial juga sebagai agen penghasil gas dalam proses foaming. Energi bebas untuk dekomposisi bahan karbonat diplotkan dalam gambar II.16, untuk reaksi yang terjadi sebagai berikut:
n. XCO3( s ) = n. XO( s ) + CO2( g )
Muhammad Fida Helmi 13703040
[2.3]
21
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
0
Gambar II. 16 ΔG reaksi [3.3] untuk satu mol pada berbagai macam logam karbonat, pCO2=1 atm, berdasaran tabulasi data dari berbagai sumber. [10]
Segera setelah melihat gambar diatas, maka dapat terlihat bahwa kebanyakan dari karbonat tidak terlalu stabil untuk digunakan sebagai foaming agent pada aluminium. Terlihat pada kesetimbangan tekanan parsial dari CO2 (pCO2) beberapa karbonat di gambar II.17. Selain itu, beberapa karbonat terdekomposisi pada temperatur yang terlalu tinggi. Penjelasan ini mungkin memberikan alasan kurang lazimnya penggunaan karbonat untuk saat ini.
Muhammad Fida Helmi 13703040
22
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
Gambar II. 17 Kesetimbangan pCO2 untuk logam karbonat. Pita kelabu menunjukkan kisaran temperatur leleh untuk paduan aluminium. [10]
Kalsium Karbonat Kalsium karbonat (CaCO3) ternyata mempunyai kriteria yang paling cocok. Yaitu, mempunyai densitas yang mirip dengan Aluminium (2710 kg m-3) dan juga telah lama digunakan sebagai agen foaming pada gelas dengan reaksi sebagai berikut:
CaCO3( s ) → CaO( s ) + CO2( g )
[2.4]
pCO2 untuk reaksi ini diplotkan sebagai fungsi dari temperatur di gambar II.18.
Gambar II. 18 Kesetimbangan pCO2 untuk reaksi [3.4]. Pita kelabu menandakan kisaran temperatur leleh paduan aluminium [10]
Muhammad Fida Helmi 13703040
23
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
Meskipun dekomposisi termal CO2 murni pada keadaan atmosfer terjadi diatas temperatur leleh aluminium paduan, reaksi satu tahap, secara termodinamika cocok terjadi pada saat temperatur leleh dengan penurunan kecil pCO2. Diperlihatkan pada gambar II.19. Maka, CaCO3 dapat digunakan sebagai foaming agent aluminium, jika pCO2 didalam sel dapat dikurangi.
Gambar II. 19 ΔG untuk reaksi [3.4] untuk beberapa nilai pCO2 [10]
CaCO3 stabil pada 2 buah bentuk polimorf utama, yaitu: calcite, dengan struktur kristal trigonal, dan aragonite, dengan struktur orthorhombik simetris. Keadaan polimorf CaCO3 stabil, secara relatif diplotkan dalam gambar II.20. Aragonite mempunyai energi aktivasi yang lebih rendah untuk mendekomposisi dari pada calcite.
Gambar II. 20 Stabilitas polimorf calcite dan aragonite untuk CaCO3 [10]
Muhammad Fida Helmi 13703040
24
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
Dekomposisi termal dari calcite telah dipelajari dengan menggunakan Differential Thermal Analysis (DTA), Thermogravimetric Analysis (TGA) dan Dynamic X-ray Diffraction (XRD). Data yang didapatkan, mempunya pensebaran hasil yang signifikan. Dekomposisi pada atmosfer inert terjadi secara lambat pada T>5000C, dan terjadi secara cepat pada temperatur 650-7000C. Temperatur dekomposisi yang teramati tadi dipengaruhi oleh pCO2, dengan permulaan dekomposisi pada temperatur 9000C untuk CO2 murni. Akan tetapi, efek dari pCO2 secara kinetik pada dekomposisi belumlah jelas. Partikel CaCO3 yang lebih besar, dengan luas permukaan yang lebih kecil dan jarak difusi gas antar partikel yang lebih besar, akan terdekomposisi lebih lambat. Telah pula dilakukan penelitaan secara sistematik yang mempelajari efek dari kemurnian serbuk. Karbonat yang mempunyai kemurnian tinggi ternyata terdekomposisi sedikit lebih lambat daripada limestone alam yang tidak murni. Pembersihan sampel serbuk telah diteliti dapat menunda dekomposisi, memberikan alasan bahwa kotoran atau gas yang terserap dapat saja berperan sebagai permukaan dimana terjadi pengintian CaO. Melalui penelitiannya, Nakamura melaporkan bahwa CaCO3 dapat digunakan sebagai foaming agent untuk aluminum pada proses AlporasTM. Proses ini menggunakan kalsium sebagai penambah viskositas. Proses foaming dapat terjadi dengan membentuk lapisan terlebih dahulu setebal 30 nm pada permukaan partikel foaming agent
CaCO3 + 2 NaF = CaF2 + Na2CO3
[2.5]
Pertukaran ion terjadi pada larutan NaF hangat selama 40 menit. Dilanjutkan dengan pengeringan udara (1200C) selama 12 jam. Lapisan coating dilaporkan digunakan untuk membantu memperbaiki wettability. Al-Foam untuk partikel yang dicoating, memperlihatkan daerah pengeringan yang luas dan struktur sel acak pada pori yang ter-interkoneksi. Sedangkan CaCO3 yang tidak dicoating, ternyata tidak dapat membentuk foam dari logam cair. Besar pori yang dibentuk oleh karbonat (1,1 mm) adalah 60% lebih kecil daripada Al-foam yang dibentuk oleh hidrida (1,8 mm). Perbedaan yang mencolok dapat terlihat lebih jelas untuk spesimen yang diperlihatkan dalam gambar II.21. Penelitian tersebut menghubungkan bahwa perbedaan ukuran sel digunakan untuk menambah wettabiliy dari foaming agent. Muhammad Fida Helmi 13703040
25
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
Diasumsikan hal ini diupayakan untuk menambah jumlah pengintian gelembung dan membantu pelepasan gas.
Gambar II. 21 Foam yang diproduksi dengan TiH2, CaCO3, dan CaCO3 pre-treated[10]
II.4 Tahapan pembentukan struktur foam[10] II.4.1 Penumbuhan Sel Struktur sel terbangun melalui tahapan yang diperlihatkan di gambar II.22. Bentuk sel pada awalnya dikontrol hanya oleh tegangan permukaan, lalu membentuk pori bulat. Kemudian dilanjutkan dengan pengembangan bentuk pori menjadi bertambah angular. Dikarenakan pergerakan gelembung relatif dengan gelembung lainnya menjadi sulit, maka akhirnya membentuk jaringan tiga dimensi dari sel polihedral. Terminologi yang digunakan untuk mengkarakterisasi struktur sel polyhedral dijelaskan melalui gambar II.23.
Gambar II. 22 Skema pertumbuhan struktur sel dengan ρ*/ρ berkurang selama pengembangan logam cair dengan menggunakan foaming agent yang terdispersi [10]
Muhammad Fida Helmi 13703040
26
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
Gambar II. 23 Terminology dan notasi struktur sel [10]
II.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Struktur Foam
Difusi Gas Pada foam cair, perbedaan tekanan diantara sel dengan ukuran yang berbeda akan menyebabkan terjadinya pengasaran, melalui mekanisme Ostwald Rippening. Tekanan gas didalam sel yang memiliki tekanan permukaan akan berbanding terbalik dengan radius lengkungan selnya. Perbedaan tekanan diantara sel yang berdekatan membentuk persamaan dengan radius lengkungan r1 dan r2, yang dijelaskan sebagai berikut:
⎛1 1⎞ ΔP ∝ T . ⎜ − ⎟ ⎝ r1 r2 ⎠
[2.6]
persamaan tadi diperluas untuk gelembung didalam struktur. Hal ini dapat diperlihatkan bahwa sebuah gelembung dengan radius r akan tumbuh pada laju:
dr ⎛ 1 1⎞ = C. ⎜ − ⎟ dt ⎝r r⎠ dimana r
[2.7]
adalah radius rata-rata gelembung didalam foam. Oleh karena itu,
gelembung dengan r > r
akan tumbuh dengan menghilangkan gelembung-
gelembung yang lebih kecil yang juga mempunyai rasio luas permukaan dengan volume yang tinggi. Prinsipnya adalah saat proses foaming berlangsung, akan berpotensial terjadinya difusi gas. Meskipun pada awalnya semua gelembung mempunyai ukuran yang sama, gelembung yang terdapat pada sisi terluar
Muhammad Fida Helmi 13703040
27
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
mempunyai lengkungan sampai permukaan dan dapat meloloskan gas keluar atmosfer. Difusi yang terjadi, akan tetapi dibatasi oleh tingkat difusivitas dan kelarutan gas dalam logam cair. kelarutan berbagai macam gas seringkali dapat diabaikan, kecuali H2 yang mempunyai klarutan signifikan kedalam aluminium cair. Gambar II.24 memperlihatkan kelarutan gas dapat dikurangi secara signifikan dengan tambahan paduan Si. Dikarenakan, pada proses foaming, gelembung akan dipertahankan dalam keadaan cair untuk waktu yang sebentar, maka dapat diasumsikan bahwa efek dari difusi gas pada struktur sel dapat diabaikan.
Gambar II. 24 Kelarutan H2 didalam paduan Al-Si sebagai fungsi dari konsentrasi Si, diekspresikan sebagai volume gas pada 00C dan tekanan atmosfer ang akan terlarut pada logam seberat 100g [10]
Pengaturan Sel Jika dekomposisi pada sel yang bedekatan menunjukkan perbedaan tekanan yang jauh dan tidak dapat terakomodasi dengan difusi, maka sel-sel dapat mengatur kembali, lalu merubah sel tetangganya untuk mendistribusikan tekanan kembali. Kemungkinan yang terjadi adalah permukaan sel dengan tegangan permukaan yang rendah dapat melengkung.
Viskositas Untuk membuat sel yang terdistribusi merata, maka gelembung harus dapat ditahan didalam logam cair sampai foam membeku. Dengan kata lain, kecepatan pergerakan naiknya gelembung perlu dikurangi. Pengaruh ukuran gelembung dan tingkat viskositas logam cair pada kecepatan terminal gelembung gas pada logam cair dapat
Muhammad Fida Helmi 13703040
28
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
diperoleh dengan menyeimbangkan kemampuan apung gelembung dengan tahanan logam cair karena viskositas. Untuk sebuah gelembung dengan diameter d, maka gaya apungnya sama dengan massa logam cair yang dipindahkan oleh gelembung tadi:
1 Fapung = π .d 3 .ρliquid .g 6
[2.8]
Hukum stokes memberikan persamaan gaya menarik gelembung didalam logam cair dengan viskositas, sebagai berikut :
Ftahan = 3.π .η .d .v
[2.9]
persamaan 3.8 dan 3.9, menghasilkan :
v=
1 d2 ρliquid .g. 18 η
[2.10]
Gambar II. 25 v terminal sebagai fungsi dari η untuk beberapa nilai d [10]
Untuk memperkirakan tingkat viskositas logam cair yang disyaratkan untuk membuat struktur sel yang stabil, maka diperlukan kisaran kriteria kekasaran foam. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa struktur foam dapat stabil jika (η) cukup tinggi untuk mengurangi v terminal gelembung pada tingkat tertentu. Untuk waktu foaming total selama 10 menit, juga dapat diasumsikan bahwa foam akan tidak stabil atau rusak jika gelembung-gelembungnya bergerak dengan jarak yang lebih besar dari radiusnya
Muhammad Fida Helmi 13703040
29
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
selama waktu tersebut. Misal, sebuah gelembung dengan r = 2mm akan memerlukan tingkat viskositas logam cair sebesar ~7000 Pa s agar dapat stabil.
Tegangan Permukaan Tegangan permukaan pada sel polyhedral akan menyebabkan pembulatan bentuk sel dengan batas datar yang melebar dan permukaan sel yang menipis. Hal ini dperlihatkan pada gambar II.26 Kejadian ini dibarengi dengan pembekuan logam cair dari permukaan sel ke batas datar sel.
Gambar II. 26 Efek dari tegangan permukaan pada batas sisi yang datar [10]
Spesi yang bermigrasi dari permukaan gas-liquid, akan menurunkan energi antar permukaan foam. Dengan membatasi efek dari tegangan permukaan pada gelembung, maka akan mengurangi driving force aliran material dari permukaan sel ke batas datar sel, karena bisa merusak (menipiskan) permukaan sel.
Oksidasi Pada Aluminium Aluminium memiliki reaktifitas yang tinggi untuk membentuk lapisan oksida sesuai dengan reaksi:
2 Al(l ) + 3 O2( g ) → Al2O3 ( s ) 2
ΔG 0 (kj.mol −1 ) = 0.3642.T ( K ) − 1729 [2.11]
Lapisan oksida ini lentur dan tidak terlalu signfikan mengganggu fluiditas dari Aluminium. Akan tetapi, keberadaan lapisan ini berefek pada tegangan permukaan, diperlihatkan pada gambar II.27
Muhammad Fida Helmi 13703040
30
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
Gambar II. 27 Gabungan nilai tegangan permukaan dari aluminium murni yang diukur pada keadaan vakum (P<10-4 Pa). [10]
Pensebaran yang diperlihatkan pada gambar, menunjukkan bahwa terdapat kesulitan dalam penentuan data yang akurat. Nilai terendah, dengan γ dibawah 1 Nm-3, menunjukkan kebergantungan permukaan yang teroksidasi terhadap temperatur. Sedangkan nilai tertinggi didapatkan melalui eksperimen dimana keberadaan oksigen dihindari sehingga tegagan permukaan yang didapatkan pada permukaan murni mendekati 1.05-1.11 Nm-1. Kenaikan temperatur (diatas~1100 K) dan agitasi luar membuat lapisan tebal oksida tidak stabil. Permukaan aluminium solid juga dapat teroksidasi secara cepat, meskipun laju oksidasi akan turun atau diabaikan saat mencapai batas ketebalan oksida pada permukaan. Batas ini dikenal sebagai Mott thickness dengan nilai 2 nm pada temperatur kamar, dan relatif tidak sensitif terhadap tekanan parsial oksigen. Diatas 2000C lapisan oksida akan tumbuh secara cepat dengan skala waktu harian sehingga ketebalan akan menebal secara signifikan
Muhammad Fida Helmi 13703040
31
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
II.5. Karakter Mekanik Aluminum Foam [10] II.5.1 Tingkat Skala Metal foam dapat dikarakterisasi melalui 3 skala tingkatan. Tingkat pertama, metal foam dapat diperlakukan sebagai material teknik yang utuh (bulk material), yaitu mengabaikan keberadaan porositas. Sifat material yang menjadi perhatian adalah kekakuan, kekuatan, ketangguhan dan densitasnya. Sifat-sifat tersebut merupakan kelakuan material foam ketika berdeformasi plastis dan mengalami strain hardening. Sifat-sifat ini menjadi paramater yang dapat disesuaikan dengan persyaratan untuk beberapa tipe produk foam komersial tertentu. Pada tingkat kedua, metal foam dapat dilihat sebagai bagian sel-sel yang dirangkaikan. Sifat yang diperhatikan, termasuk didalamnya adalah kisaran dan distribusi dari ukuran sel pada sesimen tertentu; bentuk sel dan kelakuan ketika sel tersebut di rangkaikan terhadap sel yang lain; ketebalan; dan profil permukaan penampang melintang sel. Dalam usaha mengoptimalkan sifat mekanik dari metal foam, maka saat ini telah terdapat penelitian yang mencari hubungan diantara aspek struktur sel dengan sifat material teknik yang utuh (bulk material). Pada tingkat ketiga, struktur mikro dari logam matriks foam menjadi hal yang signifikan. Seperti halnya struktur sel, maka gambaran distribusi fasa dapat menentukan sifat metal foam. Proses produksi dari metal foam seringkali memerlukan partikel atau fasa tambahan yang berperan sebagai penstabil atau surfactant yang juga berefek pada performa mekaniknya. Pada tingkat ini, hubungan antara struktur mikro dan sifat meterial utuh, masih menjadi bahan penelitian lanjutan.
II.5.2 Deformasi Tarik dan Tekan Sifat elastik dari beberapa metal foam komersial saat ini telah dipelajari secara luas. Secara umum, sifat tersebut memperlihatkan kesamaan kelakuan pada deformasi tarik dan tekan, terutama untuk regangan yang kecil. Sifat utama yang diinginkan dari metal foam adalah kemampuan untuk menyerap energi tekan plastis pada jumlah yang besar, kemudian mentransmisikan beban yang rendah secara konstan. Oleh karena itu, saat ini deformasi tekan pada metal foam telah dipelajari secara mendalam dibandingkan dengan deformasi tarik. Evaluasi terhadap penentuan sifat tarik saat ini masih sulit untuk disimpulkan. Deformasi
Muhammad Fida Helmi 13703040
32
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
plastis pada pembebanan tarik, hanya memperlihatkan modus kegagalan dari foam saja. Kekuatan luluh tarik pada metal foam biasanya sama atau lebih kecil daripada kekuatan luluh tekan. Semisal, beberapa penelitian menemukan bahwa kekuatan luluh tarik dan tekan dari metal foam AlporasTM, menunjukkan angka yang mirip.
II.5.3 Defomasi Metal Foam Pada Pembebanan Tekan II.5.3.1 Kelakuan Pada Regangan Rendah Gambar dibawah, memperlihatkan skema kurva tegangan-regangan dari metal foam (closed-cell) pada pembebanan tekan. Karakteristik yang menonjol adalah tidak adanya daerah yang memperlihatkan deformasi kembali pada keadaan semula. Modulus tangensial pada awal kurva pembebanannya cukup rendah daripada pembebanan yang terekam saat metal foam dilepaskan pembebanannya. Selain itu, pada siklus pembebanan-pelepasan beban, seringkali terlihat adanya kurva histersis.
Gambar II. 28 Skema kurva tegangan regangan pada deformasi tahap awal untuk metal foam dengan pori tertutup. Pembebanan dilakukan dengan 2 siklus, sehingga memperlihatkan tegangan luluh, modulus elastisitas pada saat pembebanan dan modulus elastisitas saat pelepasan beban. [10]
Penggunaan software (image-matching), dapat memperlihatkan gambar dari kelakuan metal foam ketika dideformasi secara bertahap, hal ini digunakan untuk lebih memahami kelakuan metal foam yang irreversible ketika diberi deformasi pada pembebanan yang kecil. Melalui pengujian tersebut terungkap bahwa hampir semua deformasi elastis terkonsentrasi pada suatu pita (band) tertentu, biasanya terpisahkan sekurangnya 3-4 dari diameter selnya. Saat deformasi berlangsung, jumlah pita dan luas deformasi pada pita tersebut akan mengalami kenaikan. Lokalisasi deformasi Muhammad Fida Helmi 13703040
33
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
plastis pada permukaan sel (atau terbentuknya pita deformasi) yang menyebabkan kurva pembebanan awal yang tidak linear. Perlu diperhatikan, bahwa deformasi elastis yang terlokalisasi muncul sebagai akibat dari tidak seragamnya bentuk foam. Pada metal foam (open-cell) yang mempunyai struktur sel seragam, tidak terdapat perbedaan diantara modulus pembebanan dan pelepasan beban. Melalui image-matching juga terlihat bahwa pada pembebanan awal, deformasi elastis yang terjadi akan lebih homogen. Modulus elastis tetap menjadi sifat yang paling penting pada pemakaian aluminium untuk aplikasi konstruksi.
II.5.3.2 Keluluhan & Plastisitas Metal Foam Pita Deformasi (deformation bands) Deformasi plastis pada skala besar dari closed-cell, umumnya dimulai oleh kegagalan dari sebuah pita sel pada penampang melintang spesimen. Kegagalan ini muncul pada salah satu pita yang mengalami konsentrasi deformasi lokal. Konsentrasi ini terbentuk selama tahap deformasi elastis (dalam skala utuh), juga seringkali muncul di daerah yang mempunyai densitas lokal terendah. Deformasi yang terjadi pada pita tersebut, selanjutnya akan menyebabkan pemadatan lokal, dimana deformasi plastis (pada skala utuh) terjadi saat adanya kegagalan pada sel yang lain. Pembentukan pita yang gagal ini, ditandai oleh turunnya beban yang diterima oleh foam, proses ini digambarkan secara skematis pada gambar II.28. Daerah pada metal foam, yang telah mengalami kegagalan plastis akan selalu berdampingan dengan daerah yang mengalami deformasi elastis. Ketika regangan plastis makro yang besar, peluluhan akan terjadi dengan cara menggagalkan sel yang belum terdeformasi, sehingga memberikan tegangan datar yang konstan (plateau stress): ditunjukkan pada tahap 2 dari skema kurva tegangan-regangan pada gambar II.29.
Muhammad Fida Helmi 13703040
34
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
Gambar II. 29 Tiga tahapan pada kurva tegangan-regangan untuk metal foam, pada pemberian regangan tekan yang besar [10]
Kegagalan plastis, seringkali terjadi melalui penjalaran pita pertama yang telah mengalami kegagalan sepanjang bidang spesimen. Pada sturuktur sel yang tidak seragam, akan terkesan bahwa terdapat banyaknya keberadaan pita yang gagal. Hal ini, adalah konsekuensi dari daerah yang mempunyai densitas lokal tinggi pada struktur sel, yang mencegah penjalaran lanjutan, sehingga mendorong terjadinya kegagalan plastis secara acak.
Pemadatan (densfication) Ketika kegagalan pada pita sel berlanjut, terdapat satu titik dimana tidak ada lagi ruang tersisa untuk berdeformasi dengan buckling. Hal ini digambarkan melalui kenaikan secara tajam pada kurva tegangan-regangan, sebagai fungsi dari kekuatan (tahap 3 pada gambar II.29). Regangan teknik (engineering strain) disaat pemadatan terjadi, Ed, dimodelkan dengan persamaan empiris berdasarkan data dari metal foam dengan ρ*/ρ diantara 0.02 sampai 0.4:
( )
ε d = 1 − 1.4 ρ * ρ
[2.12]
Angka 1.4 sebagai faktor untuk memperhitungkan rongga kecil yang terperangkap dalam material ketika tidak ada lagi deformasi sel yang terjadi.
Muhammad Fida Helmi 13703040
35
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
Possion's Ratio Possion's ratio, umumnya mempunyai harga mendekati nol, dikarenakan tidak adanya peregangan lateral, yang biasanya terjadi saat deformasi plastis. Dengan adanya ruang bebas yang luas, berarti pita deformasi dapat mengikuti jejak dimana resistansinya paling kecil, dan seringkali terdapat pada sudut 450 atau lebih pada arah penekanan. Kekuatan luluh hidrostatik, mempunyai kemiripan dengan kekuatan luluh uniaksial.
II.5.4 Modus Kegagalan Getas dan Ulet Modus kegagalan metal foam (closed cell) dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu modus kegagalan getas dan ulet. Modus kegagalan ulet ditandai oleh daerah plateau stress yang relatif halus pada kurva tegangan-regangan, diiringi dengan kenaikan tegangan sebagai akibat dari strain hardening atau pemadatan. Sedangakan modus kegagalan getas ditandai dengan adanya penurunan (drop) setelah kekuatan tekan awal, dilanjutkan dengan kurva tegangan-regangan yang bergerigi (naik-turun), memperlihatkan adanya foam yang pecah. Karakteristik kurva tegangan-regangan pada dua tipe kegagalan diperlihatkan pada gambar II.30. Strain hardening dapat memberikan kenaikan yang halus pada kurva tegangan-regangan. Akan tetapi, fenomena ini hanya terjdi pada metal foam yang mengalami modus kegagalan ulet dan mempunyai kandungan paduan.
Gambar II. 30 Kurva tegangan-regangan tekan untuk spesimen kubus dari spesimen AlulightTM (ulet) dan AlcanTM (getas). [10]
Muhammad Fida Helmi 13703040
36
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
II.5.5 Modus Kegagalan untuk Energy Absorber Ketika mempertimbangkan kegunaan metal foam sebagai material penyerap energi, terdapat 2 parameter kunci, yaitu: energi yang terserap per unit massa ketika penekanan, dan tegangan dimana energi tersebut terserap. Parameter pertama, ditunjukkan pada area dibawah kurva tegangan-regangan metal foam. Berdasarkan aplikasi, bentuk kurva sebelum tegangan melampaui nilai kritis, σe, adalah penting. seperti yang diilustrasikan pada gambar II.31, penurunan tegangan setelah luluh, atau kenaikan strain hardening yang tinggi, dapat saja terjadi. pada umumnya, hal ini tidak diinginkan. plateau stress σplateau, dapat juga direkayasa agar cocok dengan tegangan kompresi untuk aplikasi-aplikasi tertentu, sekalipun dengan cara mengurangi densification strain.
Gambar II. 31 Skema kurva tegangan regangan untuk: a) foam ideal, b) foam yang mengalami kegagalan getas, dan c) foam dengan work hardening yang luas. Daerah efektif saat penyerapan energi mekanik terjadi pada bagian kelabu sebelum mencapai pembebebanan tekan kritis σe [10]
II.6 Aplikasi Aluminium Foam Sebagai Penyerap Energi Mekanik II.6.1 Effisiensi dan Kapasitas Penyerapan Energi Mekanik[9] Aluminum foam dapat digunakan sebagai penyerap energi mekanik, disebabkan kemungkinannya untuk mengkontrol tegangan-regangan berdasarkan material matriks, geometri sel dan densitas relatifnya. Selain itu, keunggulan lainnya adalah kemampuan untuk menyerap energi mekanik tanpa menimbulkan tegangan maksimum atau percepatan gaya yang terlalu tinggi sehingga menyebabkan kerusakan atau cedera yang lebih serius.
Muhammad Fida Helmi 13703040
37
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
Gambar II. 32 Kekuatan tekan dan efisiensi penyerapan energi untuk foam AlSi ( ρ = 0.36 g.cm-3) [9]
Gambar II.32 memperlihatkan kelakuan deformasi dari aluminum foam terhadap pembebanan tekan. Energi per volume yang diserap oleh material ditunjukkan secara langsung oleh luas area dibawah kurva tegangan-regangan. Aluminum foam yang memperlihatkan tegangan deformasi konstan, berarti dapat lebih menyerap energi deformasi dibandingkan dengan aluminum padat ketika keduanya dibebani sampai tingkat batas tegangan. II.6.1.1 Efisiensi Penyerapan Energi[9] Efisiensi dari penyerapan energi adalah perbandingan antara energi deformasi yang diserap oleh komponen dengan penyerap energi mekanik ideal. Penyerap energi mekanik ideal memperlihatkan bentuk persegi empat dari kurva pembebanan tekan. Kurva tersebut memperlihatkan regangan maksimum yang dapat diterima, dan tetap terjaga konstan selama proses deformasi berlangsung. Effisiensi (η) didefinisikan sebagai perbandingan antara energi yang terserap sebenarnya setelah regangan tekan (s) dengan penyerapan dari ideal absorber: s
η=
∫ F (s ')ds ' 0
Fmax ( s ) s
[2.13]
Dimana Fmax(s) adalah gaya tertinggi yang terjadi saat deformasi (s). Sebagaimana semua material memperlihatkan tegangan yang beragam selama penekanan, maka perhitungan effisiensi juga berubah-ubah selama proses deformasi. Oleh karena itu, perhitungan efisiensi bergantung pada sifat kurva pembebanan Muhammad Fida Helmi 13703040
38
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
tekan. Bergantung pada densitas dan komposisi paduan, efisiensi penyerapan energi aluminum foam dapat mencapai lebih dari 90%, terutama saat deformasi 60% pertama. Densitas relatif, morfologi sel, dan homogenitas foam, seperti halnya gradien densitas mempengaruhi panjang dari daerah dataran (plateau) selama penekanan. Pada area pemadatan, efisiensi akan berkurang ketika kenaikan tegangan. Dengan kata lain, aluminum foam dapat diberi pebebanan secara optimal hanya ketika sampai dengan area daerah datar pada kurva tegangan-regangan. Efisiensi penyerapan energi adalah parameter terukur saat karakterisasi, yang memperlihatkan kemampuan menyerap energi dan simpulan dari sifat umum kelakuan aluminum foam saat berdeformasi. Akan tetapi, untuk pemilihan material untuk aplikasi penyerapan energi mekanaik, maka informasi efisiensi saja tidaklah cukup. II.6.1.2 Kapasitas Penyerapan Energi Mekanik[9] Perhatian khusus untuk konstruksi kendaraan, tempat dan berat yang dibutuhkan untuk struktur komponen tambahan adalah sangatlah penting. Energi impak yang diserap per volume oleh energy absorber selanjutnya merupakan perhatian penting yang diperlihatkan pada gambar II. 33 sebagai fungsi dari densitas.
Gambar II. 33 Energi terserap per unit volume terhadap berbagai macam densitas foam AlSi setelah penekanan sebesar 20%, 40%, dan 60%.[9]
Muhammad Fida Helmi 13703040
39
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
II.6.2 Diagram Penyerapan Energi Mekanik[9] Maiti et al. telah mengembangkan metode dan mengajukan diagram penyerapan energi mekanik untuk menentukan optimasi penyerapannya. Asumsi awalnya adalah mendekati keidealan dari foam saat menyerap energi pada tegangan minimum. Gambar II.34, memperlihatkan kelakuan kompresi dari tiga foam dari berbagai macam densitas, menjelaskan fakta-fakta ini secara detail.
Gambar II. 34 Kelakuan tekan dari 3 macam foam AlSi12 pada berbagai densitas. Ketiga daerah kelabu memperlihatkan energi yang terserap dengan jumlah yang sama sebesar W* [9]
Area kelabu berkaitan dengan jumlah energy W* yang sama terserap oleh ketiga foam. Batas kanan dari setiap area kelabu menandai penekanan yang diperluan untuk menyerap sejumlah energi ini. Pada kasus ini, densitas terendah, kurva tegangan – regangan telah melewati tegangan konstan sebelum energi W* terserap. Oleh karena itu, tegangannya mencapai harga yang tinggi. Sedangkan untuk foam dengan densitas tertinggi akan memperlihatkan daerah datar dengan tegangan konstan dan di sisi lain mempunyai tegangan maksimum yang paling tinggi. Sebagai perbedaan, untuk energi impak yang diberikan W*, foam dengan densitas medium terbebani tepat berada pada akhir area datar. Oleh karena itu, hal ini memperlihatkan puncak tegangan yang terendah untuk penyeraan energi. Dengan keadaan ini, untuk setiap energi impak yang diberikan kepada foam dengan densitas spesifik yang dapat ditentukan, maka akan memerlihatkan tegangan maksimum terendah yang mungkin selama deformasi. Maka disimpulkan bahwa bermacam tingkat energi dan tegangan impak yang diperbolehkan untuk foam dapat dipilih.
Muhammad Fida Helmi 13703040
40
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
Terdapat berbagai teknik untuk memilih dan mengevaluasi penyerap energi mekanik yang terbuat dari aluminum foam.
Akan tetapi, perlu diperhatikan untuk aplikasi
struktur yang sederhana, maka foam tidak langsung memperlihatkan penyerapan energi mekanik optimal. Dengan mengintegrasikan elemen2 kedalam struktur secara keseluruhan, maka elemen-elemen ini dapat disesuaikan sesuai kelakuan deformasi untuk keseluruhan struktur sehingga didapat penyerapan energi yang efisien. Seperti contoh, dengan memilih paduan dan perlakuan panas, maka akan mempengaruhi tingkat tegangan dan modus kegagalannya (ulet atau getas).
II.6.3 Penggunaan Penyerap Energi Mekanik Pada Otomotif II.6.3.1 Crashbox [1] Crashbox ditempatkan diantara impact beam dan front rail mobil. Penggunaannya adalah
untuk menyerap energi tabrakan pada kecepatan menengah. Dengan
menggunakan cara ini, maka dapat mengurangi biaya perbaikan akibat tabrakan. Crashbox, dibuat dari aluminum ekstrusi atau bagian baja lasan yang diisi dengan aluminum foam. Saat mengalami tabrakan, maka crashbox akan hancur atau rusak disepanjang bagian, untuk menyerap energi mekanik. Crashbox juga telah secara luas digunakan di Eropa untuk lebih menjamin keselamatan kendaraan. Beberapa keuntungan pemakaian aluminum foam sebagai isian dari crashbox diantaranya adalah sebagai berikut:
Mengurangi kerusakan front rail, dengan menyerap energi tabrakan pada kecepatan diatas sekitar 20 km/jam. Oleh karena itu, penggunaannya dapat melokalisasi kerusakan sehingga mengurangi ongkos perbaikan.
Menyerap energi tabrakan satu sumbu, dengan lebih efisien daripada desain bagian yang kosong berlubang (hollow).
Menyerap energi mekanik lebih besar daripada bagian yang kosong pada massa yang serupa.
Menawarkan kebebasan desain yang lebih baik pada front end dengan menyerap energi impak, terlebih pada jarak yang dekat.
Pengetahuan yang komprehensif mengenai rekayasa desain crashbox telah banyak diterbitkan.
Kelakuannya tetap sama, tanpa menghiraukan perubahan temperatur dan kecepatan.
Muhammad Fida Helmi 13703040
41
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
Gambar II. 35 Crashbox yang telah hancur, dan dua contoh komponen dengan rute produksi berbeda.[1]
Gambar diatas ini memperlihatkan crashbox yang telah hancur terpakai, dan dua contoh komponen yang diproduksi dengan rute proses yang berbeda. Crashbox yang telah hancur, memperlihatkan dua aksi, yaitu: tidak hanya menyerap energi impak, tetapi juga menyebabkan tabung (tube) berperilaku berbeda (lebih berlipat) sehingga lebih menyerap energi dibanding ketika tidak terisi. Dibawah ini, contoh dari kurva gaya-regangan untuk pipa kosong dan tiga pipa yang diisi dengan foam pada densitas yang dinaikkan.
Gambar II. 36 Kurva gaya-regangan pada bermacam crashbox[1]
II.6.3.2 Rails[1] Pada sebagian besar mobil, terutama pada rail depan dan belakang, dibuat dari bagian yang berongga. Bagian ini, menawarkan kekakuan bending yang baik, akan tetapi sering mengalami kegagalan prematur yang disebabkan oleh kerusakan yang Muhammad Fida Helmi 13703040
42
Tugas Sarjana Teknik Material 2008
BAB II Tinjauan Pustaka
terlokalisasi. Secara tradisional, pelat baja digunakan sebagai penopang pada titik yang lemah pada rail, seperti pada lekukan. Tetapi, penambahan ini seringkali menambah rumit desain dan biaya pada sistem. Penggunaan aluminum foam yang diisikan kedalam rails diantaranya sebagai berikut:
Kekuatan, penyerapan energi dan panjang dari regangan elastik dari aluminum foam yang diisikan kedalam rail dapat diimprovisasi, dengan mencegah kegagalan prematur pada cacat atau lekukan.
Penyerapan energi dan kekuatan dari rail yang diisikan foam dapat diimprovisasi dengan berat yang sama seperti rail konvesional.
Keselamatan penumpang dapat ditingkatkan dengan mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh tabrakan pada kecepatan tinggi.
II.6.3.3 Bumper[1] Permintaan atau tuntutan untuk memperbaiki sistem bumper telah meningkat dengan tajam. Tuntutan persyaratan keselamatan untuk pengendara, penumpang, dan pejalan kaki perlu diperhatikan. Konsumen dan industri menginginkan sistem yang dapat dengan mudah diperbaiki dan dapat melindungi komponen lain yang lebih mahal. Sebagai tambahan untuk pemakaiannya sebagai crashbox, keuntungan lain aluminum foam pada desain batang bumper termasuk didalamnya adalah:
Aluminum foam tidak memantul kembali setelah terkompres sehingga dapat mengurangi akibat dari sentakan.
Aluminum foam dapat menambah kekuatan untuk menahan kecepatan tabrakan sebelum impact beam mengalami kerusakan.
Penggunaan aluminum foam dapat didesain untuk profil bumper yang lebih ramping.
Muhammad Fida Helmi 13703040
43