Tugas Lembaga ke-5: Sulitkah bagi LPJK? Oleh: Ir. H Gusnando S. Anwar MEmgSc. FCBArb
Ada lima tugas UU jasa konstruksi yang harus diemban lembaga, namun masih ada tugas ke 5 yang belum terpegang yaitu “mendorong dan meningkatkan peran arbitrase, mediasi dan penilai ahli dibidang jasa konstruksi”. Tulisan ini merupakan sumbang saran agar kita masyarakat jasa konstruksi mulai bersama – sama mendorong terlaksananya tugas ke 5 LPJK ini, yang sangat penting bagi pelaku jasa konstruksi dan untuk mempercepat pencapaian tujuan dari pengaturan jasa konstruksi yaitu menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa.
Pendahuluan: Begitu banyaknya terdengar keluhan para pelaku jasa konstruksi terutama penyedia jasa konstruksi atas perlakuan konstraktual pengguna jasa sehingga menyebabkan terguncangnya kelangsungan badan usaha bahkan sampai tutup usaha selamanya. Tentu bukan berarti tidak adanya kelemahan, kesalahan ataupun kelalaian dari penyedia jasa yang terjun kedalam bisnis jasa konstruksi karena entry barrier bisnis yang relatif sangat kecil dan ikut – ikutan tanpa menyadari kelemahan kompetensinya. Ini dipermasalahkan, karena penyedia jasa merasa bertanggungjawab atas suatu tuntutannya, padahal belum tentu berhak, namun tidak merasa ada saluran yang tersedia untuk memastikan kebenaran hak-nya tersebut. Infrastruktur perangkat lunak pencegahan dan penyelesaian perselisihan dalam bisnis jasa konstruksi segera perlu ditata, disosialisasikan, di training kan sehingga penyelesaian sengketa dirasakan keadilannya bagi para pihak bersengketa. Harapan ini tentunya kita gantungkan kepada Menteri yang bertanggung jawab dalam jasa konstruksi dan LPJK dengan tugas ke-5 nya.
Infrastruktur legal Infrastruktur legal yang mengatur tetang APS sudah lebih dari cukup, namun yang diamanahkan UUJK masih malu – malu menegakkannya. UU nomor 18 tahun 1999 tetang jasa konstruksi (UUJK) menugaskan kepada lembaga (sekarang berwujud lembaga pengembangan jasa konstruksi – LPJK) lima aspek dalam jasa konstruksi yaitu penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, registrasi tenaga kerja, registrasi badan usaha, dan yang kelima yaitu penyelesaian sengketa. Kenyataan bahwa begitu banyaknya keluhan penyedia jasa karena ketidaksetaraan kedudukan para pihak berkontrak, yang terjadi sejak puluhan tahun bahkan masih berlangsung terus walaupun sudah adanya UUJK yang bertujuan untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa (pasal 3 UUJK-tujuan). Keluhan terjadi karena pemerintah dirasakan seperti berpihak kepada pengguna jasa karena pemerintah juga berlaku sebagai pengguna jasa khususnya pada proyek – proyek yang didanai oleh APBN/APBD, yang sekarang jumlahnya masih lebih besar dari porsi penanam modal dari investor swasta. Disamping itu pemerintah tidak menyediakan suatu unit yang berdaya hasil untuk memberikan pelayanan konsultasi murah (kalau mungkin gratis) tentang penyelesaian sengketa konstruksi. PP 29 tahun 2000 bab VI tentang penyelesaian sengketa menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi diluar pengadilan dapat dilakukan dengan cara melalui pihak ketiga (mediasi atau konsiliasi) atau arbitrase (lembaga atau ad-hoc). Penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi dapat dibantu penilai ahli untuk memberikan pertimbangan professional. Mediator yang bertindak sebagai fasilitator yang membimbing para pihak bersengketa mencapai suatu kesepakatan, menurut UUJK diharuskan mempunyai sertifikat keahlian yang ditetapkan oleh LPJK. Konsiliator yang menyusun dan merumuskan pemecahan masalah, juga diharuskan mempunyai
sertifikat keahlian yang ditetapkan oleh LPJK. Tata cara penyelesaian sengketa melalui mediasi, konsiliasi dan arbitrase dilakukan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelesaian sengketa melalui alternative penyelesaian sengketa. Dalam hal proses arbitrase, LPJK awal 2000-an telah melakukan MOU dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Namun untuk alternative penyelesaian sengketa lainnya – yang tahapannya lebih dini – belum ditata sama sekali oleh LPJK yang mengemban tugas UUJK ini. Teknik – teknik APS dalam bisnis jasa konstruksi yang sering berlaku dinegara maju antara lain metoda partnering, disputes board, dan mediasi/ konsiliasi akan menjadi solusi bagi pihak bersengketa untuk mendapat haknya secara professional dan legal dalam waktu yang relative singkat dan biaya rendah. Keppres 80/2003 mengatur bahwa syarat – syarat khusus kontrak harus menetapkan pengadilan mana atau badan arbitrase mana yang dipilih untuk menyelesaikan perselisihan. Berarti proyek – proyek yang didanai APBD/APBN tidak diperkanankan memilih arbitrase ad-hoc. Namun tidak dilarang untuk menggunakan metoda APS lainnya seperti disputes board, mediasi atau pendapat ahli. UU arbitrase dan APS no 30 tahun 1999, hanya mengakui bahwa APS hanya dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilisasi atau penilaian ahli. Undang – Undang tentang APS menyatu dengan UU Arbitrase tapi saying APS hanya disinggung dalam 1 pasal dari total 82 pasal dalam UU tersebut sehingga Menteri dan LPJK perlu menerbitkan setidaknya PP khusus tentang APS.
Schema peran organisasi menurut UUJK Masyarakat jasa konstruksi menyelenggarakan perannya melalui forum jasa konstruksi yang berwajiban menumbuh – kembangkan usaha jasa konstruksi. Pemerintah RI dengan saran dari forum jasa konstruksi melaksanakan pembinaan, dimana sebahagian pembinaan tersebut dapat diserahkan kepada pemda.
Pembinaan jasa konstruksi diwujudkan dalam bentuk pengaturan, pemberdayaan dan pengawasan. Pengaturan dilakukan dengan penerbitan peraturan perundang – undangan dan stadar teknis. LPJK bertugas melaksanakan pengembangan jasa konstruksi dengan bekerjasama dengan LPJKD didaerah bagi masyarakat jasa konstruksi.
Kebutuhan akan ADR S Margono, dalam buku ADR dan arbitrase menyampaikan (bersumber dari makalah MA Santosa, 1997) bahwa ada 5 faktor dan pengembangan ADR di Indonesia: a) Kepastian hukum termasuk keterdiaan penyelesaian sengketa yang efisien. b) Tuntutan masyarakat terhadap mekasnisme yang efisien dan memenuhi rasa keadilan. c) Masyarakat memiliki akses dalam penetapan kebijakan d) Hak masyarakat dalam pengembangan mekanisme penyelesaian konflik e) Menumbuhkan iklim persaingan yang sehat bagi lembaga peradilan Permasalahan mendasar penyebab persengketaan dalam penyelenggaraan proyek konstruksi dipengaruhi 3 faktor utama yaitu: 1) Faktor Fisikal: disebabkan oleh ketidakpastian perencanaan yang penuh dengan asumsi. Kenyataannya, dapat dikatakan hampir selalu terjadi perbedaan yang mendasari penawaran para penyedia jasa dengan kenyataan yang ditemukan dilapangan pada proyek konstruksi. 2) Faktor Kontraktual: Disebabkan oleh ketidaktersediaan standarisasi dan prosedur serti juga kelemahan kompetensi dalam manajemen kontrak dimulai sejak contract drafting, contract reviewing, contact administration & contract claim. Belum adanya standar kondisi kontrak bahkan bisa muncul dari suatu “bahagian” departemen pemerintah – sehingga penyedia jasa menghadapi kontrak yang berbeda setiap saat. Begitupun dengan prosedur yang beragam seperti standar pengukuran (standard method of measurement) untuk menghitung progress dan pembayaran.
3) Faktor Personal: Disebabkan oleh kelemahan kompetensi komunikasi serti adanya sikap mental oportunis dari penyedia jasa konstruksi atau dan sikap mental arogansi dari penyedia jasa konstruksi. Kelemahan kompetensi dan sikap mental seperti ini menjadi sumber utama terciptanya iklim yang bermusuhan dan mau menang sendiri tanpa mau mendengar pendapat orang lain. Disamping itu kekurang beranian pendelegasian hak dan wewenang yang diberikan kepada pelaku dilapangan oleh manajemen puncak diluar tim manajemen proyek. Sifat arogansi pengguna jasa menimbulkan “pemaksaan” pemberlakuan kebiasaan dalam suatu lingkungan pengguna jasa kedalam proyek yang wajib diikuti penyedia jasa tanpa kompensasi.
Survey Sukirno dkk (2000) di Bandung tentang sengketa konstruksi dikelompokan atas biaya, waktu dan lingkup. Faktor mutu hasil kerja konstruksi sebetulnya juga perlu diperhitungkan sebagai kelompok utama penyebab sengketa. Jenis sengketa factor “Lingkup” terbaca tidak pernah terjadi akibat 10 penyebab sengketa konstruksi. Tidak terdeteksinya jenis sengketa factor “Lingkup” memperlihatkan bahwa scope management tidak begitu dikenal di Indonesia yang merupakan salah satu kelemahan kompetensi personal yang sebetulnya penting dalam manajemen proyek konstruksi.
Kinerja Lembaga Menurut laporan pertanggung jawaban dewan pengurus LPJK Nasional 2003 – 2007, sehubungan tugas ke-5 LPJK telah dilakukan: 1) Penyelesaian perkara hokum a. Menyelesaikan kasus penolakan keabsahan LPJK oleh LJKI b. Menyelesaikan kasus cacat hokum musda ulang LPJKD Sumut yang dilaksanakan oleh LPJKN
c. Menyelesaikan kasus ketidak wenangan LPJK melakukan registrasi tenaga kerja dan badan usaha d. Menyelesaikan kasus ketidakwenangan LPJK melakukan registrasi tenaga kerja dan badan usaha e. Menyelesaikan kasus keberpihakan LPJK dengan tidak mengakui eksistensi Aspekindo Surabaya 2) Menjadi saksi ahli dalam persidangan yang melibatkan asosiasi 3) Melakukan advokasi terkait persoalan eskalasi harga proyek kepada pemerintah 4) Menyelenggarakan seminar bekerjasama dengan BANI dalam rangka sosialisasi arbitrase Kalau membaca kinerja diatas, khususnya terkait dengan tugas ke-5 nya dapat dinilai secara objektif amanah Undang – Undang Jasa Konstruksi kepada LPJK dalam tugas ke-5 ini untuk mendorong dan meningkatkan peran arbitase, mediasi dan penilai ahli, tentunya masih jauh dari harapan.
Harapan dari Masyarakat Jasa Konstruksi Pengurus LPJK yang baru bertugas tahun 2007 ini mempunyai kesempatan untuk meningkatkan kinerjanya dalam aspek yang belum tersentuh ini. Semoga harapan kita terutama oleh para penyedia jasa mengharapkan adanya wadah yang mewujudkan teknik – teknik APS diselenggarakan dalam kehidupan bisnis jasa konstruksi.
Harapan dari Masyarakat Jasa Konstruksi Pengurus LPJK yang baru bertugas tahun 2007 ini mempunyai kesempatan untuk meningkatkan kinerjanya dalam aspek yang belum tersentuh ini. Semoga harapan kita terutama oleh para penyedia jasa mengharapkan adanya wadah
yang mewujudkan teknik – teknik APS diselenggarakan dalam kehidupan bisnis jasa konstruksi. Berdasarkan infrastruktur legal yang sudah diundangkan, adanya menteri yang bertanggung jawab dalam pembinaan jasa konstruksi, adanya JPJK dengan tugas ke-5 nya, serta hadirnya beberapa pengurus baru yang berlatar belakang kompetensi konstraktual, penulis merasakan adanya kerinduan dan kebutuhan pelaku jasa konstruksi untuk menghindari dan menyelesaikan sengketa sedini mungkin. Ini akan terjadi melalui antara lain: -
Tersedianya 1 set standar kondisi kontrak nasional antara pengguna jasa dengan para penyedia jasa secara komprehensif, antara penyedia jasa dengan para sub penyedia jasa, atau vendor, pendana, pabrikator dan lain lain, yang memenuhi asas yang ditetapkan UUJK yaitu kejujuran dan keadilan, manfaat, keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan keselamatan. - Terseidanya stadar method measurement meliputi cost structure dan uraian preliminary cost yang lebih transparan yang bisa menjadi alat eliminasi KKN. - Eksistensi kelembagaan APS konstruksi (mediasi/ konsiliasi/ penilai ahli/ arbiter) yang di percaya. Kelembagaan yang bekerja sama dengan kelembagaan sejenis di negara – negara yang lain terutama negara donor atau investor. Selanjutnya tersedia peraturan prosedur APS. - Sertikasi profesi bagi mediator/ konsiliator/ penilai ahli/ arbiter khusus bsidang konstruksi tidak ada tanpa APS Tentunya tugas ke-5 LPJK yang berat ini membutuhkan dorangan dan kerjasama dari departemen departemen PU dengan BPKSDM nya yang selama ini de-factor sebagai penggung jawab pembinaan jasa konstruksi, dan tentunya juga perlu sinkronisasi dengan LPJKD yang tidak terlepas dari Perda di propinsi, kabupaten maupun kota.