TUGAS KELOMPOK HUKUM ASURANSI
NAMA: GITTY NOVITRI (2013200009) VICKY QINTHARA (2013200108) PRINCESSA YASSENIA ANI KAROLINA (2013200108) KELAS: B DOSEN: TETI MARSAULINA, S.H., LL.M. 2016
0
I.
KASUS POSISI
Putusan No. 560 K/Pdt.Sus/2012 atas Perlawanan (Keberatan) Putusan BPSK Provinsi DKI Jakarta Nomor 092/Pts.A/BPSK-DKI/II/2012 tanggal 28 Februari 2012 Kasus
: Klaim Asuransi Jiwa
Pemohon : Hermi Sinurat Termohon : PT Avrist Assurance Adapun duduk perkaranya sebagai berikut:
Alm. Sdr. Mardi Simarmata, mengajukan permohonan menjadi tertanggung asuransi pada Pelawan sesuai dengan Surat Permohonan
Penutupan
Asuransi
(“SPPA”)
yang
ditandatangani oleh Alm. Mardi Simarmata pada tanggal 31 Maret 2007 dan diterima oleh Pelawan padatanggal 16 April 2007.
Dalam
SPPA
tersebut,
Alm.
Sdr.
Mardi
menyatakan
kehendaknya untuk membeli produk asuransi dengan memilih dan
mencentang
Medis”
dalam
korak
formulir
keterangan
“Tanpa
permohonan
yang
Pemeriksaan berarti
yang
bersangkutan tidak memberikan tanda centang pada kolom “Dengan Pemeriksaan Medis”.
Dalam SPPA bagian “D” angka II Alm. Sdr. Mardi Simarmata menyatakan
kehendaknya
untuk
mendapatkan
uang
pertanggungan asuransi sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
Selanjutnya dalam bagian “H” SPPA, Alm Sdr. Mardi Simarmata memberikan informasi bahwa yang bersangkutan tidak pernah menderita penyakit apapun, tidak memiliki riwayat penyakit keturunan, dan tidak
pernah
menjalani tindakan medis
apapun sebelum SPPA ditandatangani.
1
SPPA mencantumkan secara jelas mengenai peringatan bahwa calon tertanggung, dalam hal ini Alm. Sdr. Mardi Simarmata, harus menyampaikan informasi dan fakta yang sebenarbenarnya mengenai kondisi dirinya dimana hal ini akan menentukan,
diantaranya,
apakah
polis
asuransi
akan
diterbitkan atau tidak oleh PT. AVRIST ASSURANCE sebagai bentuk dari utmost good faith.
Atas dasar SPPA yang diberikan oleh Alm. Sdr. Simarmata,
Pelawan
menerbitkan
polis
asuransi
Mardi nomor
U020761662 pada tanggal 17 April 2007 atas nama Alm. Sdr, Mardi Simarmata.
Pada tanggal 27 September 2007 Alm. Sdr. Mardi Simarmata melakukan pemulihan pertanggungan Polis dengan mengisi formulir pemulihan Polis dan, seperti dalam SPPA, kembali menyatakan
bahwa
yang
bersangkutan
tidak
pernah
menderita penyakit apapun, tidak memiliki riwayat penyakit keturunan, dan tidak
pernah
menjalani tindakan medis
apapun sebelum formulir pemulihan Polis ditandatangani
Alm. Sdr. Mardi Simarmata meninggal pada tanggal 2 Februari 2008 dikarenakan penyakit karsinoma nasofaring atau kanker yang
menyerang
tertanggung,
ahli
mengajukan
klaim
alat
pernapasan.
waris kepada
Alm. PT.
Atas
Sdr. Avrist
meninggalnya
Mardi
Simarmata
Assurance
yang
menyebutkan alasan kematian seperti yang telah dinyatakan sebelumnya.
Atas klaim tersebut maka Pelawan melakukan pemeriksaan ulang kebenaran informasi atas dokumen yang menyatakan bahwa Alm. Sdr. Mardi Simarmata meninggal disebabkan oleh Karsinoma Nasofaring atau Kanker Alat Pernapasan dimana penyakit ini setidaknya telah diderita sejak 6 Oktober 2006 atau sebelumnya.
Di dapatkan sebuah informasi yang menyatakan bahwa pada tanggal 29 September 2007 Alm. Sdr. Mardi Simarmata telah 2
menjalani tindakan medis berupa pemasangan gastrostomy yaitu
pemasangan
alat
bantu
pencernaan
sebagaimana
semuanya dinyatakan dalam Surat Keterangan Dokter yang Memeriksa Alm. Sdr. Mardi Simarmata yang dikeluarkan pada tanggal 14 April 2008
Dalam Surat Keterangan Dokter Yang Memeriksa Alm. Sdr. Mardi Simarmata (vide Bukti P-6) juga ditemukan fakta bahwa Alm. Sdr.
Mardi
Simarmata
pernah menjalani CT Scan
Nasopharing di Rumah Sakit Kanker Dharmais dan CT paruparu
dimana
hasilnya
disimpan
oleh
Alm.Sdri.
Mardi
Simarmata.
Perlu ditingat bahwa hal-hal diatas menunjukkan bahwa tertanggung telah mengetahui bahwa dirinya menderita penyakit Karsinoma Nasofaring atau Kanker Alat Pernapasan sebelum
tertanggung
menyatakan
dirinya
tidak
pernah
menderita penyakit apapun dalam SPPA yang ditandatangani tanggal
31
Maret
2007
dan
Pemulihan
Polis
yang
ditandatangani pada tanggal 27 September 2007.
Atas hal tersebut maka Pelawan telah membayarkan 100% nilai polis pada Tanggal Perhitungan Harga Unit kepada istri/ ahli waris tertanggung, Sdri. Hermi Sinurat
Sdri. Hermi Sinurat, melalui kuasa hukumnya,menyampaikan keberatan atas ketentuan Polis tersebut dan menuntut agar PT.
Avrist
Assurance
membayar
klaim
sebesar
Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta Rupiah).
Untuk kepentingan Sdri. Hermi Sinurat dan sebagai bentuk itikad baik dari PT. Avrist Assurance, maka PT. Avrist Assurance berupaya untuk mendapatkan kepastian mengenai prinsipprinsip
asuransi,
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku, dan ketentuan Polis yang telah dilakukan oleh Pelawan dalam kasus Sdri. Hermi Sinurat ini.
Putusan yang menghukum Pelawan untuk membayar klaim asuransi sebesar Rp. 50.801.598,40 (lima puluh juta delapan 3
ratus satu ribu limaratus sembilan puluh delapan Rupiah dan empat puluh sen) kepada Sdri.Hermi Sinurat adalah tidak memiliki dasar hukum dikarenakan semuapembayaran klaim harus didasarkan atas polis yang masih berlaku,sedangkan dalam hal ini polis asuransi nomor U020761662 atas nama Alm.Sdr. Mardi Simarmataadalah batal atau tidak berlaku ataupertanggungannya
dihentikan
akibat
ditemukannya
pemberitahuan yang keliru atau tidak benar atau semua penyembunyian keadaan/misrepresentasi.
Hermi dan PT Avrist telah bersedia menghadiri persidangan BPSK dan telah menandatangani Berita Acara Sidang No. 092/PCP/BPKS- DKI/XI/2011 tanggal 8 Nopember 2001. Ada kesepakatan penyelesaikan sengketa dilakukan dengan cara
Arbitrase yang dilaksanakan oleh BPSK. Proses arbitrase berjalan di BPSK dengan benar sesuai peraturan yang berlaku. Pada 28 Februari 2012, BPSK DKI Jakarta
mengeluarkan
mengabulkan
gugatan
amar
putusan
klaim
asuransi
Arbitrase Hermi
yang dengan
menghukum PT Avrist Assurance untuk membayar sesuai
Total Sum Insured sebesar Rp. 50.801.598,40. PT Avrist menolak Putusan Arbitrase pada tanggal 7 Maret 2012 dan memberitahukannya ke sekretariat BPSK pada 8
Maret 2012. Perlawanan keberatan diajukan pada Pengadilan Negeri. PT Avrist mengajukan dalil keberatan bahwa putusan Arbitrase BPSK bisa dilakukan perlawanan bila memenuhi persyaratan pembatalan Putusan arbitrase karena ada unsur tipu muslihat
dari Hermi. Menurut PT Avrist, Hermi menyembunyikan dokumen yang bersifat
menentukan
dan
putusan
Badan
Penyelasaian
Sengketa Konsumen (BPSK) ada unsur tipu muslihatnya. Pada halaman 59 alinea ke 1 Putusan Pengadilan Negeri Tangerang telah menggabungkan BPSK dengan ARBITRASE yang terlihat dalam pertimbangan hukum yang menyebutkan, bahwa para
4
pihak yang bersengketa telah sepakat penyelesaian sengketa diselesaikan
dengan
cara
arbitrase
seterusnya
menunjuk arbiter ketiga sebagai ketua majelis
arbiter dimana
arbitrase dan arbiter diatur dalam UU 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengekata.
5
II.
PERMASALAHAN HUKUM Berdasarkan kasus posisi diatas, dapat dirumuskan sebuah
pertanyaan hukum yang bersangkutan dengan hukum asuransi yaitu:
Mengapa PT.Avrist Assurance berhak menolak untuk membayarkan premi asuransi sejumlah yang dimintakan oleh pihak Alm. Mardi Simarmata?
Adapun permasalahan lainnya adalah:
Menurut Hakim Mahkamah Agung, fungsi BPSK dan tata cara penyelesaian sengeketa konsumen pada kasus ini bukan diatur dalam UU Arbitrase melainkan Undang Undang RI Nomor
8
Tahun
1999
tentang
Perlindungan
Konsumen
sehingga judex facti atau Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang berwenang memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara keliru, tidak cermat dan tidak didasarkan fakta hukum yang benar.
6
III.
LEGAL STANDING
Pasal 1 nomor 1 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1992 : “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak
atau
lebih
dengan
mana
pihak
penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi
asuransi,
untuk
memberikan
penggantian
kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan
suatu
pembayaran
yang
didasarkan
atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”
Pasal 1 nomor 6 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1992 : “Perusahaan
Asuransi
Jiwa
adalah
perusahaan
yang
memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan
hidup
atau
meninggalnya
seseorang
yang
dipertanggungkan.”
Pasal 251 KUHD : “Semua pemberitahuan yang keum atau tidak benar, atau semua
penyembunyian
keadaan
yang
diketahui
oleh
tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syaratsyarat yang sama,
bila
penanggung
mengetahui
keadaan
yang
sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal.”
Pasal 1320 KUHPERDATA : “Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat; 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 7
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan tertentu; 4. suatu sebab yang tidak terlarang.”
Pasal 1338 KUHPERDATA : “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undangundang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undangundang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen “Lembaga
Perlindungan
Konsumen
Swadaya
Masyarakat
adalah lembaga nonpemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah
yang
mempunyai
kegiatan
menangani
perlindungan konsumen”
Pasal 5 huruf b Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 “Kewajiban konsumen adalah : b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;”
Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 : “Hak pelaku usaha adalah : c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;”
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 :
8
“Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.”
Pasal 56 ayat 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen “Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.”
Pasal 56 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen “Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.”
Pasal
41
ayat
(2)
Permendagri
No.350/MPP/KEP/12/2001 “Dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak putusan BPSK diberitahukan, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan BPSK.”
Undang-undang
Nomor
30
Tahun
1999
tentang
Arbitrase “Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut : a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; 9
atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.”
10
IV.
OPINI HUKUM Menurut pasal 1(1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 1992 tentang
usaha
perasuransian,
asuransi
atau
pertanggungan
adalah
perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung
mengikatkan
diri
kepada
tertanggung,
dengan
menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung
karena
kerugian,
kerusakan
atau
kehilangan
keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Dalam Assurance
kasus
ini,
telah
alm. Mardi
melakukan
Simarmata
perjanjian
dengan
asuransi
PT.Avrist
jiwa
dimana
perjanjian tersebut sah menurut pasal 1320 KUHPerdata. Menurut pasal 26 Undang-Undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa pelaku usaha jaminan
yang
dan/atau
diperjanjikan,
memperdagangkan jasa garansi
sehingga
yang PT.Avrist
disepakati
wajib
memenuhi
dan/atau
Assurance
yang
seharusnya
membayarkan asuransi jiwa yang telah disepakati. Namun dalam legal audit diatas, telah dijelaskan bahwa kewajiban dari konsumen adalah
beritikad
baik
dalam
melakukan
transaksi
pembelian
barang/jasa, tetapi dalam melaksanakan perjanjian asuransi ini, alm. Mardi Simarmata memberikan fakta yang tidak sesuai dengan kenyataannya, padahal dalam polis asuransi telah disebutkan bahwa mengisi polis tersebut harus berdasarkan dengan fakta yang ada, sehingga alm. Mardi Simarmata melakukan itikad buruk sebagai konsumen. Sehingga alm.Mardi Simarmata melanggar salah satu prinsip asuransi, yaitu prinsip itikad baik (utmost good faith). Prinsip itikad baik berarti kemauan baik dari setiap pihak untuk melakukan perbuatan hukum agar akibat dari kehendak/perbuatan hukum itu dapat dicapai dengan baik.
11
Menurut pasal 251 KUHD, dikatakan bahwa tertanggung harus memberitahukan
semua
keadaan
yang
diketahui
mengenai
pertanggungan, dimaksudkan agar penanggung dapat mengetahui berat
ringannya
resiko
yang
akan/telah
dibebankan
kepada
tertanggung. Alm. Mardi Simarmata sudah jelas melanggar pasal 251 KUHD. Sehingga perjanjian tersebut batal menurut pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian jo. Pasal 251 KUHD. Akibat dari batalnya asuransi jiwa tersebut, tertanggung maupun ahli waris tidak mempunya alas hak untuk melakukan tuntutan ganti kerugian atas peristiwa yang terjadi sebagaimana diperjanjikan dalam polis terhadap penanggung. Demikian pula dengan penanggung, tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan prestasi kepada tertanggung berupa pemberian ganti kerugian berupa uang asuransi sebagaimana tertera dalam polis asuransi jiwa, dan sebagaimana telah disebutkan dalam pasal 6 huruf c undang-undang perlindungan konsumen, bahwa hak pelaku usaha itu adalah
hak untuk melakukan pembelaan diri
sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. Sehingga dalam kasus ini, PT. Avrist Assurance berhak untuk membela
perusahaannya
serta
tidak
ada
kewajiban
untuk
membayarkan polis asuransi seperti yang telah dimintakan oleh pihak dari alm. Mardi Simarmata. Menurut kami, ada kekurangan dari mekanisme dari ADR BPSK berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi: “Lembaga
Perlindungan
Konsumen
Swadaya
Masyarakat
adalah lembaga nonpemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen” ADR adalah Alernative Dispute Resolution yaitu lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
12
Cara penyelesaian sengketa yang diserahkan pada kesepakatan konsumen dapat menimbulkan celah hukum baru bagi pelaku usaha
yang tentu lebih memahami UUPK. Para pelaku usaha
mungkin sekali tidak menyelesaikan sengketanya melalui BPSK, melainkan lewat gugatan di pengadilan saja. Dalam kasus ini, bila konsumen (Hermi) yang pengetahuan hukumnya itu tidak seimbang dengan pihak perseroan itu tidak dapat membuat kesepakatan dengan PT Avrist untuk menyelesaikan lewat BPSK maka Hermi sebagai konsumen asuransi itu akan sangat dirugikan oleh karena aturan UUPK ini. Seharusnya untuk memaksimalkan fungsi BPSK, pengaturan mengenai kesepakatan untuk ADR dihilangkan saja atau disempurnakan agar lebih berpihak untuk konsumen, mengingat cita-cita UUPK adalah untuk melindungi kepentingan konsumen. Bisa juga diubah agar BPSK memiliki kewenangan untuk menyelidiki masalah dari konsumen dan membawanya ke hadapan hukum. Hakim PN Tangerang ternyata belum bisa membedakan antara Arbitrase yang mekanisme khususnya dijalankan oleh BPSK dengan arbitrase diluar BPSK. Arbitrase menurut UUPK merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa konsumen lewat BPSK, bukan penggabungan antara BPSK dan ARBITRASE. Sehingga dengan demikian maka pemahaman keliru hakim tentu merugikan Hermi. Jika kasus ini terjadi di Jepang, pendapat hakim PN Tangerang itu benar
karena
di
Jepang
keseluruhan
mekanisme
sidang
penyelesaian Arbitrase merujuk pada UU Arbitrase Jepang meskipun NCAC di Jepang sebagai Badan Arbitrase Pemerintah itu terpisah dari
forum
arbitrase
swasta.
Majelis
Hakim
MA
menerima
permohonan kasasi para pihak karena judex facti dalam perkara ini telah bertentangan dengan UUPK. Secara prosedural, prosedur pengajuan upaya hukum kasasi dari
pihak
yang
dikalahkan
dalam
putusan
arbitrase
BPSK
keseluruhannya sudah sesuai aturan. PT Avrist dapat mengajukan keberatan pada Pengadilan Negeri (pasal 56 ayat (3) UUPK. Penolakan pihak terhadap Putusan BPSK masih dalam jangka waktu
13
sesuai Pasal 41 ayat (2) Permendagri No. 350/MPP/KEP/12/2001 karena tidak lewat 14 hari. Perlawanan sudah sesuai prosedur yakni dalam waktu maks. 14 hari ke Pengadilan Negri di tempat domisili konsumen (Pasal 56 ayat (2) UUPK jo. Pasal 41 ayat (3) Peraturan Menteri Dagang RI 350/MPP/KEP/12/2001). Selain itu, pengajuan keberatan atas putusan BPSK berdasar syarat pembatalan putusan arbitrase (Pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase) berupa tipu muslihat dan penyembunyian dokumen penting yang relevan telah terpenuhi karena dokumen yang menurut PT Avrist disembunyikan oleh pihak Hermi. Di Indonesia, suatu putusan dari BPSK tidak dapat dieksekusi karena belum memiliki kekuatan hukum inkracht van gewijsde (tidak ada titel eksekutorial). Dalam uji formil putusan, diketahui bahwa pengaturan acara penyelesaian sengketa perlindungan konsumen di Indonesia belum dimengerti oleh semua golongan baik konsumen, pelaku usaha, maupun hakim sendiri. Selain itu, bisa diketahui pula bahwa di Indonesia BPSK itu masih memiliki hubungan dengan ranah pengadilan negeri terkait upaya hukum keberatan dan masalah eksekusi putusan arbitrase yang perlu minta lagi ke pengadilan. Pemerintah seharusnya meningkatkan koordinasi antara lembaga BPSK dengan Pengadilan serta pelayanan BPSK khususnya informasi konsumen. Sebaiknya difasilitasi oleh BPSK dengan cara BPSK melalukan sinkronisasi teknis dengan consumer center agar data kasus aduan konsumen yang diperoleh BPSK ditindak. Pihak pengadilan sebelum menerima berkas gugatan perdata atas perkara konsumen sebaiknya menghimbau calon penggugat untuk terlebih dulu menggunakan ADR di BPSK sehingga fungsi BPSK dapat dioptimalkan dan pengadilan pun tidak perlu bersusah payah menangani kasus ini secara litigasi.
14