TUGAS AKHIR PERENCANAAN LINK KOMUNIKASI SATELIT MOBILE UNTUK WILAYAH INDONESIA
Diajukan guna melengkapi sebagai syarat dalam mencapai gelar sarjana Strata satu ( S1 )
Disusun Oleh : Nama
: Retno Galih
NIM
: 0140211-068
Jurusan
: Teknik Elektro
Peminatan
: Telekomunikasi
Pembimbing
: Ir. Said Attamimi, MT.
PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 2007
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
: Retno Galih
NIM
: 0140211-068
Jurusan
: Elektro
Fakultas
: Teknologi Industri
Judul Skripsi : PERENCANAAN LINK KOMUNIKASI SATELIT MOBILE UNTUK WILAYAH INDONESIA Dengan ini menyatakan bahwa hasil penulisan Skripsi yang telah saya buat ini merupakan hasil karya sendiri dan benar keasliannya. Apabila ternyata di kemudian hari penulis Skripsi ini merupakan hasil plagiat atau penjiplakan terhadap karya orang lain, maka saya bersedia mempertanggung jawabkan sekaligus bersedia menerima sanksi berdasarkan aturan tata tertib di Universitas Mercu Buana. Demikian, pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tidak dipaksakan
Penulis
(
ii
)
LEMBAR PENGESAHAN PERENCANAAN LINK KOMUNIKASI SATELIT MOBILE UNTUK WILAYAH INDONESIA
Disusun Oleh : Nama
: Retno Galih
NIM
: 0140211-068
Program Studi
:Teknik Elektro
Peminatan
: Telekomunikasi
Menyetujui, Pembimbing
Koordinator TA
( Ir. Said Atamimi, MT )
( Ir. Yudhi Gunardi, MT )
Mengetahui Ketua Program Studi Teknik Elektro
(
)
iii
ABSTRAKS PERENCANAAN LINK KOMUNIKASI SATELIT MOBILE UNTUK WILAYAH INDONESIA Teknologi komunikasi satelit mulai dikenal dan dipergunakan di Indonesia sejak tahun 1976. Komunikasi satelit berguna sebagai media transmisi bagi sarana komunikasi di daerah – daerah yang secara goegrafis letaknya tidak terjangkau oleh media transmisi lainnya. Pembangunan infrastruktur di Indonesia mengalami pertumbuhan yang pesat akan tetapi tidak merata di seluruh wilayah Indonesia. Ini dikarenakan oleh letak geografis Indonesia yang terdiri dari lautan, kepulauan dan daratan yang luas. Sehingga dibutuhkan suatu teknologi komunikasi yang dapat menjangkau wilayah tersebut dengan mobilitas yang setara dengan teknologi komunikasi yang lainnya. Sistem komunikasi mobile satelit dapat dijadikan solusi terhadap permasalahan diatas. Dengan acces komunikasi satelit diharapkan dapat terciptanya pemerataan komunikasi di daerah – daerah terpencil. Akan tetapi biaya pembangunan yang semurah mungkin untuk di utamakan. Banyak yang harus diperhatikan dalam merencanakan sistem komunikasi mobile satelit jika menginginkan pembiayaan yang semurah mungkin. Terutama dari satelitnya sendiri dapat menerima sinyal dari terminal bumi sekecil mungkin dan dapat mendeteksi keselahan ( BER ) pada tingkat yang rendah dan terminal bumi yang dapat berkerja pada antenna yang berukuran kecil. Pada tugas akhi ini akan dibahas tentang merencanakan link komunikasi satelit mobil dan kinerjanya secara teknik dan perhitungan analitis. Untuk mendapatkan suatu hasil kinerja yang layak dan baik di pergunakan di wilayah Indonesia.
iv
KATA PENGANTAR Perkembangan teknologi tidak sebatas hanya diperkotaan saja. Daerah – daerah terpencilpun dapat menikamati telekomunikasi dangan menggunakan sistem komunikasi mobile satelit. Sehingga kendala yang selama ini menjadi masalah akan teratasi dengan sistem komunikasi satelit. Sistem ini juga memiliki berbagai macam faktor yang harus diperhatikan, misalnya daya pancar dari satelit tersebut dan daya terima pada antana terminal di bumi dan kualitas penerimaan sinyal. Semua itu akan dibahas dalam TA ini dan tujuannya adalah untuk melihat kelayakan terhadap kinerja link komunikasi tersebut dari sisi aspek teknis. Untuk lebih singkatnya disarankan para pembaca untuk membaca Bab I dan Bab V jika ingin memahami isi dari TA ini secara umum dan singkat. Adapun untuk lebih teliti dan jelas lagi para pembaca untuk membaca Bab II, Bab III dan Bab IV secara teliti dan berurutan berdasarkan halaman. Untuk membantu memperjelas bahas TA ini, penulis juga menyediakan daftar tabel, gambar dan lampiran, beserta istilah – istilah dan kepanjangannya yang terdapat dalam bahasan pada Tugas akhir ini. Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas rahmat dan petunjuknya sehingga tugas akhir ini dapat di selesaikan juga pada waktunya. Dan tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih sebanyak – banyaknya kepada : 1. Orang tua, penulis yang secara langsung atau tidak langsung memberikan
dorongan
moril
dan
dukungannya
untuk
dapat
menyelesaikan kuliah ini. 2. Bapak Ir. Said Atamimi, MT. selaku dosen pembimbing tugas akhir ini, yang telah memberikan bimbinganya sepenuhnya hingga tugas akhir ini selesai. 3. Bpak Ir. Budi Yanto Yodohusodo, selaku ketua jurusan teknik elektro yang telah memberikan kesempatan penulis untuk menyelasikan tugas akhir ini tepat pada waktunya. 4. Bapak Ir. Hary Nugraha, selaku General Manager PT Pasifik Satelit Nusantara yang telah memberikan dorongan moril dan dukungannya.
v
5.
Rekan – rekan sejawat di kantor penulis, Pram, Bambang, dan lain – lainnya.
Penulis menyadari Tugas akhir ini masih jauh dari hasil yang sempurna, akan tetapi penulis berharap tugas akhir ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi telekomunikasi di Indonesia. Akhir kata saya mengucapkan terima kasih banyak dan wassalamualaikum.
Jakarta, November 2007 Penulis
vi
DAFTAR ISI Halaman Judul ………………………………………………………………
i.
Halaman Pernyataan ………………………………………………………..
ii.
Halaman Pengesahan ……………………………………………………….
iii.
Abstarksi ……………………………………………………………………
iv.
Kata Pengantar ……………………………………………………………..
v.
Daftar Isi …………………………………………………………………
vii.
Daftar Tabel ………………………………………………………………
ix.
Daftar Gambar …………………………………………………………
xii.
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ………………………………..
1.
1.2 Tujuan Masalah …………………………………………
1.
1.3 Perumusan Masalah …………………………………….
1.
1.4 Pembatasan Masalah …………………………………...
2.
1.5 Metodelogi ……………………………………………..
2.
1.6 Sistematika Penulisan ………………………………….
2
LANDASAN TEORI DASAR TELEKOMUNIKASI 2.1 Definisi Telekomunikasi ………………………………..
4.
2.2 Sistem Komunikasi Satelit ……………………………...
4.
2.2.1 Sistem Orbit Satelit …………………………...
5.
2.3 Alokasi Spektrum Frekuensi ……………………………
7.
LINK KOMUNIKASI SISTEM SATELIT 3.1 Parameter Link …………………………………………
11.
3.1.1 EIRP ………………………………………….
11.
3.1.2 FSL (Redaman Ruang Bebas) ………………..
12.
3.1.3 Redaman Hujan ………………………………
14.
3.1.4 Redaman Lainnya …………………………….
15.
vii
BAB IV
3.1.5 Fading ( Alun ) ………………………………
16.
3.1.6 Interferensi …………………………………..
18.
3.2 Pengolahan Sinyal …………………………………….
21.
3.2.1 Multiple Acces ……………………………..
21.
3.2.2 Sinyal Modulasi …………………………….
22.
3.2.3 Bit dan Sibol Error rate ……………………..
24.
KINERJA LINK KOMUNIKASI SATELIT 4.1 Eb/No Yang Dibutuhkan ………………………………
27.
4.2 Link Budget ……………………………………………
27.
4.2.1 Forward Link ………………………………..
28.
4.2.2 Return Link ………………………………….
31.
4.3 Perhitungan Link Komunikasi Satelit ………………....
33.
o
BAB V
4.3.1 Posisi Satelit Pada 95 BT……………………
34.
4.3.2 Posisi Satelit Pada 119o BT …………………
36.
4.3.3 Posisi Satelit Pada 144o BT ………………….
39.
4.4 Analisa link Komunikasi ………………………………
46.
4.4.1 Perbandingan Dengan BER 10-2 ……………..
46.
4.4.2 Perbandingan Dengan BER 10-3 …………….
49.
4.4.3 Analisa Kelayakan Link ……………………..
52.
PENUTUP 5.1 Kesimpulan ………………………………………….
54.
5.2 Saran ………………………………………………...
55.
Daftar Pustaka …………………………………………………………… Lampiran …………………………………………………………………
viii
56.
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1
Perbandingan Antara LEO, MEO, dan GEO *)
7.
Tabel 2.2
Alokasi Frekuensi Sistem Komunikasi Satelit
8.
Tabel 2.3
Alokasi Frekuensi Komunikasi Satelit Bergerak
8.
Tabel 3.1
Zona Daerah Hujan Bedasarkan Rekomendasi CCIR
14.
Tabel 3.2
Koefesien Regresi
15. o
Tabel 4.1
(C/No) Forward Uplink Untuk Posisi 95 BT
34.
Tabel 4.2
(C/No) Forward Downlink Untuk Posisi 95o BT
35.
Tabel 4.3
(C/No) Return Uplink Untuk Posisi 95o BT
35.
Tabel 4.4
(C/No) Return Downlink Untuk Posisi 95o BT
36.
Tabel 4.5
(C/No) Forward Uplink Untuk Posisi 119o BT
37.
Tabel 4.6
(C/No) Forward Downlink Untuk Posisi 119o BT
37.
o
Tabel 4.7
(C/No) Return Upnlink Untuk Posisi 119 BT
38.
Tabel 4.8
(C/No) Return Downlink Untuk Posisi 119o BT
38.
Tabel 4.9
(C/No) Forward Uplink Untuk Posisi 144o BT
39.
Tabel 4.10
(C/No) Forward Downlink Untuk Posisi 144o BT
40.
Tabel 4.11
(C/No) Return Uplink Untuk Posisi 144o BT
40.
Tabel 4.12
(C/No) Return Downlink Untuk Posisi 144o BT
41.
o
Tabel 4.13
(C/No) Untuk Posisi Satelit Pada 95 BT
41.
Tabel 4.14
(C/No) Untuk Posisi Satelit Pada 119o BT
41.
Tabel 4.15
(C/No) Untuk Posisi Satelit Pada 144o BT
42.
Tabel 4.16
(C/No) Forward Link Antar Kota untuk Posisi 95o BT
Tabel 4.17
43.
(C/No) Return Link Antar Kota Untuk Posisi 95o BT
Tabel 4.18
43.
(C/No) Terminal ke Terminal Antar Kota Untuk Posisi 95o BT
Tabel 4.19
44.
(C/No) Forward Link Antar Kota Untuk Posisi 119o BT
Tabel 4.20
44.
(C/No) Return Link Antar Kota Untuk Posisi 119o BT
45.
ix
Tabel 4.21
(C/No) Terminal ke Terminal Antar Kota Untuk Posisi 119o BT
Tabel 4.22
(C/No) Forward Link Antar Kota Untuk Posisi 144o BT
Tabel 4.23
49.
F (C/No) Return Link Antara Perhitungan Dengan Teori Untuk Posisi 95o Pada BER 10-3
Tabel 4.36
49.
F (C/No) Forward Link Antara Perhitungan Dengan Teori Untuk Posisi 95o Pada BER 10-3
Tabel 4.35
49.
F (C/No) Terminal ke Terminal Antara Perhitungan Dengan Teori Untuk Posisi 144o Pada BER 10-2
Tabel 4.34
48.
F (C/No) Return Link Antara Perhitungan Dengan Teori Untuk Posisi 144o Pada BER 10-2
Tabel 4.33
48.
F (C/No) Forward Link Antara Perhitungan Dengan Teori Untuk Posisi 144o Pada BER 10-2
Tabel 4.32
48.
F (C/No) Terminal ke Terminal Antara Perhitungan Dengan Teori Untuk Posisi 119o Pada BER 10-2
Tabel 4.31
48.
F (C/No) Return Link Antara Perhitungan Dengan Teori Untuk Posisi 119o Pada BER 10-2
Tabel 4.30
47.
F (C/No) Forwad Link Antara Perhitungan Dengan Teori Untuk Posisi 119o Pada BER 10-2
Tabel 4.29
47.
F (C/No) Terminal ke Terminal Antara Perhitungan Dengan Teori Untuk Posisi 95o Pada BER 10-2
Tabel 4.28
46.
F (C/No) Return Link Antara Perhitungan Dengan Teori Untuk Posisi 95o Pada BER 10-2
Tabel 4.27
46.
F (C/No) Forward Link Antara Perhitungan Dengan Teori Untuk Posisi 95o Pada BER 10-2
Tabel 4.26
46.
(C/No) Terminal ke Terminal Antar Kota Untuk Posisi 144o BT
Tabel 4.25
45.
(C/No) Return Link Antar Kota Untuk Posisi 144o BT
Tabel 4.24
45.
50.
F (C/No) Terminal ke Terminal Antara Perhitungan Dengan Teori Untuk Posisi 95o Pada BER 10-3
x
50.
Tabel 4.37
F (C/No) Forward Link Antara Perhitungan Dengan Teori Untuk Posisi 119o Pada BER 10-3
Tabel 4.38
F (C/No) Return Link Antara Perhitungan Dengan Teori Untuk Posisi 119o Pada BER 10-3
Tabel 4.39
52.
F (C/No) Terminal ke Terminal Antara Perhitungan Dengan Teori Untuk Posisi 144o Pada BER 10-3
Tabel 4.43
51
F (C/No) Return Link Antara Perhitungan Dengan Teori Untuk Posisi 144o Pada BER 10-3
Tabel 4.42
51.
F (C/No) Forward Link Antara Perhitungan Dengan Teori Untuk Posisi 144o Pada BER 10-3
Tabel 4.41
51.
F (C/No) Terminal ke Terminal Antara Perhitungan Dengan Teori Untuk Posisi 119o Pada BER 10-3
Tabel 4.40
51.
52.
Selisih C/No Rata – Rata Pada BER 10-2 dan BER 10-3 Serta Posisi Orbit
52.
Catatan : Tebel 2.1 menunjukan tabel yang terletak pada Bab II dengan urutan tabel No 1
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1
konsep redaman ruang bebas
12.
Gambar 3.2
perhitungan sudut elevasi dan jarak
13.
Gambar 3.3
Alun Lintas Jamak ( Fading )
17.
Gambar 3.4
Pembelokan sinyal akibat perbedaan indek bias
17.
Gambar 3.5
Konsep Interferensi adjas Chanel
19.
Gambar 3.6
Interferensi antar satelit dan antar stasiun bumi yang berdekatan
21.
Gambar 3.7
Hubungan antara BER dan EB/No
23.
Catatan :
Gambar 3.1 menunjukan gambar yang terletak pada Bab IV dengan urutan gambar No 1
xii
xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dewasa ini perkembangan teknologi telekomunikasi cukup pesat. Tidak terkecuali perkembangan teknologi satelit, saat ini terdapat teknologi komunikasi yang disebut dengan
mobil – satelit. Sistem ini memungkinkan
pengguna jasa komunikasi satelit bergerak untuk dapat melakukan hubungan dimana saja selama masih dalam wilayah cakupan satelit tersebut. Tetapi pengguna jasa telekomunikasi mobil satelit pada saat ini masih menggunakan terminal bergerak yang besar untuk dapat melakukan komunikasi melalui sistem tersebut. Untuk lebih meningkatkan mobilitas dari pengguna jasa sistem mobil satelit maka digunakan terminal genggam sebagai terminal dibumi. Dengan menggunakan terminal genggam sebagai terminal dibumi, maka banyak kendala yang dihadapi, terutama pada link komunikasinya. Tugas akhir ini akan menganalisa link komunikasi pada sistem mobil satelit di Indonesia dari pandangan teknis saja.
1.2 Tujuan Penulisan dan penyusunan tugas akhir ini mempunyai tujuan : 1. membahas parameter – parameter yang berhubungan dengan link komunikasi sistem mobil – satelit 2. menganalisa kelayakan pengguna sistem mobil – satelit dengan menggunakan terminal genggam sebagai terminal dibumi. 3. menganalisis mengenai kemungkinanpenerapan sistem mobil – satelit dengan menggunakan terminal genggam pada kondisi di Indonesia.
1.3 Perumusan Masalah Masalah yang akan dibahas menyangkut kinerja link komunikasi mobil – satelit yang menggunakan terminal genggam sebagai terminal dibumi. Kinerja tersebut mencakup daya yang dibutuhkan, pengaruh redaman, dan besarnya perbandingan sinyal pembawa dengan derau minimum yang dibutuhkan pada 1
2 pentransmisian sinyal denngan anggapan bahwa perangkat yang digunakan sudah memenuhi standar yang harus dipenuhinya.
1.4 Pembatasan Masalah Materi tugas akhir ini dibatasi dengan lingkup : 1. Satelit yang digunakan berada pada orbit geostasioner. 2. Analisa dilakukan untuk wilayah Indonesia khususnya, dan sekitarnya jika memungkinkan 3. Kinerja sistem komunikasi yang akan dibahas hanya mencakup link buget, engaruh redaman, derau, dan perbandingan antara sinyal pembawa dan derau sistem. 4. Terminal yang digunakan hanya berupa terminal genggam. 5. Faktor aktivitas, variasi dan control daya tidak dimasukan kedalam perhitungan karena nilainya sangat kecil.
1.5 Metodelogi 1. Penelusuran literatur dari beberapa pustaka yang kerkaitan dengan topik yang dibahas 2. Pengumpulan dan pengolahan data. 3. Menganalisis data yang diolah untuk mendapatkan suatu hasil tujuan dan suatu kesimpulan akhir.
1.6 Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN Terdiri
dari
latar
belakang,
tujuan,
perumusan
masalah,
pembahasan masalah, metodelogi dan sistematika penulisan BAB II : SISTEM MOBIL – SATELIT Membahas sistem mobil – satelit secara umum, ditekankan untuk teminal genggam, yang meliputi alokasi frekuensi, bagian – bagian dari sistem mobil – satelit tersebut serta cara kerja sistem tersebut.
3 BAB III : PARAMETER LINK KOMUNIKASI MOBIL – SATELIT Membahas mengenai pengolahan suara dan teori mengenai parameter link komunikasi yang terdiri dari redaman, interferensi, fading (alun). BAB IV : KINERJA LINK KOMUNIKASI Membahas dan mengolah data berdasarkan dasar teori pada bab III dengan mengambil beberapa sample ( contoh ). BAB V : KESIMPULAN Berisi tentang kesimpulan dari apa yang dibahas dalam bab sebelumnya, dan saran yang mungkin berguna bagi kelajutan dari yang dibahas.
4
BAB II TEORI DASAR TELEKOMUNIKASI 2.1 Defenisi Telekomunikasi Telekomunikasi adalah pertukaran informasi yang dipisahkan oleh jarak antara 2 pengguna atau lebih dengan menggunakan rangkaian elektronika. Seiring berjalannya waktu perkembangan dunia telekomunikasi semakin pesat dan dapat memenuhi kebutahan manusia di berbagai penjuru dunia. Di era globalisasi ini yang menjadi gaya dalam pembangunan sarana komunikasi adalah menyediakan system komunikasi wireless sehingga pelanggan dapat melakukan hubungan komunikasi yang fleksibel walaupun dengan tingkat mobilitas yang tinggi. Dengan demikian dibutuhkan pula piranti – piranti yang mampu menjawab itu semua diantaranya dengan menggunakan media optic, microwave dan satelit. 2.2 Sistem Komunikasi Satelit Penggunaan satelit sebagai prasarana komuniasi jarak jauh merupakan alternatif dari sistem komunikasi yang sudah ada dan telah lama dirancang. Dimulai sejak dikemukakannya ide dari Arthur C. Clarke pada tahun 1945 tentang penggunaan satelit pada ketinggian tertentu diatas permukaan bumi ( orbit bumi ) berfungsi sebagai stasiun relay gelombang mikro untuk komunikasi dibanyak tempat yang secara geografis berjauhan, dengan kapasitas informasi dalam jumlah banyak. Realisasi dari ide tersebut baru terlaksana dengan diluncurkan satelit Early bird ( intelsat 1 ) oleh International Telecommunication Satelit Organisation ( INTELSAT ) pada bulan April 1965. Komunikasi melalui satelit dapat dilakukan dengan beberapa macam cara yaitu : •
Komunikasi satu arah ( one way link ) Suatu Stasiun bumi hanya dapat mengirim dan menerima sinyal saja.
•
Komunikasi satu arah dengan pancaran kebeberapa stasiun bumi ( one way link broadcast mode ) Suatu stasiun bumi mentransmisikan sinyal kebeberapa stasiun bumi sekaligus, tetapi stasiun bumi yang mentransmisikan sinyal tersebut tidak dapat menerima sinyal dari salah satu stasiun bumi ataupun seluruhnya.
5 •
Komunikasi dua arah secara dupleks ( full two way link ) Antara stasiun bumi yang satu dengan yang lain dapat melakukan komunikasi dua arah secara bersamaan.
•
Komunikasi dua arah secara simplek ( two way half circuit ) Antara stasiun bumi yang satu dengan yang lain dapat melakukan kounikasi dua arah secara bergantian.
Untuk lebih memperjelas keterangan diatas dapat dilihat pada gambar 2.1 tentang diagram komunikasi satelit. 2.2.1 Sistem Orbit Satelit Secara garis besar sistem orbit satelit dibagi tiga macam, yaitu : 1.Dengan menggunakan system LEO (Low Earth Orbit Satellites) 2. menggunakan sistem MEO (Medium Orbit Satellites) 3. dan menggunakan system GEO (geosynchronous orbit satellites) a) Sistem LEO ( Low Earth Obit Satellites ) Sistem satelit berorbit rendah ( LEO ) adalah satelit yang dipergunakan untuk komunikasi, terutama cukup menarik untuk komunikasi bergerak ( mobile satelit servis ). Ini dikarenakan sistem LEO memiliki jarak yang pendek dibandingkan dengan sistem MEO dan GEO,
jarak ketinggian sistem LEO
terhadap bumi antara 500 Km – 10000 Km diatas permukan laut. Karena orbitnya rendah, waktu edarnya lebih cepat (2 sampai 3 jam) sehingga dari suatu titik di permukaan bumi, satelit kelihatan bergerak dan mengalami
waktu-waktu
terbit
dan
terbenam.
Maka
untuk
menjamiin
kelangsungan hubungan, perlu diorbitkannya beberapa satelit (sistem satelit), yang diletakkan di angkasa dengan pola tertentu sesuai dengan misi yang diembannya. Susunan demikian disebut konstelasi sistem LEO Keuntungannya adalah karena jaraknya dekat, ditambah dengan sistem Vocaded, terminal di bumi bisa berukuran kecil menjadi handheld. Dengan antena yang agak omni, terminal dapat menangkap sinyal satelit dari saat terbit sampai terbenam dalam lintasannya, atau sampai ia dapat menangkap sinyal satelit LEO berikutnya. Namun, untuk keperluan penjejakan satelit, hanya stasiun pengendali (gateway) yang perlu mempunyai antena dengan kemampuan tracking
6 b) Sistem MEO ( Medium Earth orbit ) Sistem MEO digunakan untuk menutupi kelemahan yang ada pada system LEO. Ketinggian sistem MEO berkisar antara 10000 Km – 20000 Km diatas permukaan laut, serta memiliki waktu edar yang lebih lama dibandingkan oleh sistem LEO sehingga penggunaan jumlah satelit dalam menjangkau area tidak sebanyak pada sistem LEO. Akan tetapi dengan bertambahnya jarak lintasan satelit yang semakin jauh maka dalam pentranmisian data komunikasi akan mengalami keterlambatan waktu ( delay time ). Semakin jarak bertambah jauh maka keterlambata waktu ( delay time ) akan semakin bertambah dan sebaliknya. Sehingga sistem MEO yang dirancang untuk menutupi kelemahan yang ada pada sistem LEO akan tetapi masih meliki kelemahan juga. c) Sistem GEO (geosynchronous orbit satellites ) System orbit geosynchronous adalah system orbit satelit yang letaknya geostasioner terhadap bumi, artinya satelit yang memakai system ini akan memiliki kecepatan edar yang sama dengan kecepatan poros bumi, jadi satelit seolah – olah diam di orbitnya, sistem GEO memilki jarak yang paling jauh dibandingkan dengan system orbit lain yaitu berkisar antara 35000 Km – 42000 Km diatas bumi. Karena jaraknya sangat jauh maka system GEO ini memiliki waktu dalay yang paling lama. Akan tetapi untuk penggunaan sistem komunikasi yang efesien dan tingkat mobilitas yang tinggi sistem GEO lebih ekonomis dan miliki umur yang cukup panjang Untuk lebih jelasnya tentang ketiga sistem orbit tersebut dapat dilihat pada tabel 2.1
7 Tabel . 2.1 Perbandingan antara LEO, MEO, dan GEO *) GEO MEO LEO SATELLITE Altitude (km) 36000 10000-20000 500-10000 No. of Operational Satellite 4 8-18 48-125 No. of Spot Beams >100 >50 1-50 Antenna Diameter (m) >7 2 1.1 Life Time (Y) >12 10 >5 GROUND STATIONS Antenna diameter (m) >6 4 4 No. of Antenna 1 4 4 No. of Ground Stations 4 15 >35** Global Coverage SPEECH DELAY Regional Global
tolerable intorelable
good good
good good
EFFICIENCY Spatial Complexity
good high
medium medium
poor low
GATEWAY Complexity
high
medium
low
low
medium
high
low
medium
high
TOTAL COST TRAFFIC HANDLING CAPACITY
* = adapted from Johannsen #2 ** = could be less with ISL 2.3 Alokasi Spektrum Frekuensi Alokasi frekuensi pada sistem komunikasi satelit telah ditetapkan oleh Intenational Telecommunication Union ( ITU ), dan dikategorikan dalam beberapa kelompok. Berikut alokasi spektrum frekuensi satelit yang ditetapkan oleh ITU :
8 Tabel 2.2 Alokasi frekuensi sistem komunikasi satelit
Frekuensi band
rentang (GHz)
L
1 - 2
S
2 - 4
C
4 - 8
V
8 - 12
KU
12 - 18
K
18 - 27
Ka
27 - 40
militer
40 - 300
Setiap frekuensi band yang digunakan untuk sistem komunikasi satelit memiliki kekurangan dan kelebihan masing – masing. Jika kita ingin membangun komunikasi mobil satelit maka yang paling cocok dan ideal menggunakan L – band atau S – band. Untuk komunikasi broadcast lebih banyak digunakan KU – band dan S – band dan untuk komunikasi broadband atau data lebih sering digunakan C – band dan V – band. Untuk komunikasi satelit bergerak, oleh WARC sudah dialokasikan beberapa alokasi frekuensi seperti pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 Alokasi frekuensi komunikasi satelit bergerak Uplink
Downlink
Bandwidth (MHz)
L-L
1626.5 to 1660.5
1525 to 1559
34
L-S
1626.5 to 1660.5 2483.5 to 2500.0
Band ( MHz)
C-band feeder link Ka - K band feeder link
10
6425 to 6525
3600 to 3700
100
28500 to 31000
19700 to 21200
200
9 Dari tabel diatas dapat diambil untuk komunikasi mobil satelit dari terminal genggam ke/dari satelit menggunakan daerah frekuensi L – band yang digunakan baik untuk uplink maupun downlink sebesar 34 MHz. Akan tetapi ada juga daerah frekuensi L – band untuk uplink dan daerah S – band untuk downlinknya sebesar 10 MHz. Sedangkan komunikasi antara stasiun bumi dan satelit digunakan daerah frekuensi C – band atau Ka – band.
10
BAB III LINK KOMUNIKASI SISTEM SATELIT Tujuan utama dari membahas link komunikasi adalah untuk mencapai suatu kualitas yang diinginkan berdasarkan teori yang sudah ada Ukuran kualitas bagi sistem komunikasi dibagi dua, yaitu ( S/N ) untuk sistem analog dan ( Eb/No ) atau BER untuk komunikasi
digital. ( S/N )
merupakan perbandingan antara daya sinyal dengan daya derau pada keluaran demodulator. Sedangkan ( Eb/No ) merupakan perbandingan antara energi per tiap bit dengan rapat daya derau pada keluaran demodulator. Besaran BER akan bergantung besarnya ( Eb/No ), pada sistem komunikasi akan berkisar pada 10-2 sampai dengan 10-7. untuk komunikasi suara, BER yang dipergunakan cukup 10-2. Besaran - besaran diatas yaitu ( S/N ) dan ( Eb/No ) merupakan fungsi dari ( C/No). Dalam sistem ini yang dibahas merupakan sistem komunikasi digital, sehingga hubungan antara ( Eb/No ) dengan ( C/No ) dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut :
( Eb/No ) = ( C/No ) - 10 log R dB
( 3.1 )
Eb = Energi per bit No = Noise power density R = Laju pengkodean dalam kode/s Sedangkan ( C/No ) itu sendiri merupakan gabungan antara ( C/No) uplink dan ( C/No ) downlink, dengan hubungan ( C/No ) = { ( C/No ) u
1
+ ( C/No ) -1d } -1
( 3.2 )
dimana ( C/No )u = ( C/No ) uplink dalam bentuk rasio ( C/No )d = (C/No ) downlink dalam bentuk rasio ( C/No ) = ( C/No ) total dalam benuk rasio Sedangkan ( C/No ) bila dilihat dari sisi link komunikasi
akan berbentuk
persamaan : ( C/No
) u = ( EIRP
) e - Lfs - L
u
+ ( G/T ) s + k
(3.3)
( C/No
) d = ( EIRP
) s - Lfs - L
d
+ ( G/T ) e + k
(3.4)
11 dimana : u = uplink d = downlink s = satelit e = terminal di bumi EIRP = daya isotropik yang dipancarkan ( dBm ). L = total redaman yang terjadi ( db ) Lfs = Redaman ruang bebas K = konstanta boltzman ( 228,6 dB/Hz/k ) ( C/No )u = dalam satuan dB ( C/No )d = dalam satuan dB Total redaman yang terjadi tersebut dari free space loss atau redaman ruang bebas, redaman oleh atmosfer, pointing loss ( rugi – rugi pengarahan ), fade margin ( margin alun ) yaitu margin yang diberikan untuk mengantisipasi fading dan interferensi yang timbul yang dapat menurunkan besarannya ( C/No ). Besaran redaman yang terjadi berdasarkan kesepakatan bernilai negatif. Karena redaman merupakan faktor yang mengurangi besaran C/No.
3.1 Parameter Link Parameter link yang akan dibahas terdiri dari EIRP, redaman ruang bebas, redaman hujan, fading, interferensi dan ( G/T ).
3.1.1 EIRP EIRP merupakan salah satu bagian yang penting dalam menentukan kinerja dari suatu sistem komunikasi radio. EIRP ditentukan oleh tiga komponen dasar yaitu daya pancar dengan keluaran tertentu, antenna dengan penguatan tertentu ( atau dengan redaman ) dan suatu saluran transmisi yang manghubungkan pemancar dengan antena. Saluran transmisi ini juga memilki redaman sehingga EIRP dapat ditulis dalam bentuk persamaan.
EIRP
= Pt + Gant
- L1
( 3.5 )
12 dimana : Pt = Keluaran pemancar dalam dB Gant = penguatan antena dalam dB L1 = Redaman saluran transmisi dalam dB
3.1.2 FSL (redaman ruang bebas). Rugi - rugi ruang bebas di definisikan sebagai kerugian yang timbul antara antena pemancar dengan antena penerima yang dipisahkan dengan jarak d dengan asumsi bahwa medium transmisi antara kedua terminal tersebut adalah ruang hampa. Jika sumber pada titik A memancarkan sinyal secara isotropic dengan besar daya sama dengan Pt, maka daya sisi bola sejauh d dari titik A adalah:
B A
Sumber RF
Gambar 3.1 Konsep redaman ruang bebas
Pt
=
Pav
4
d
( 3.6 )
2
Jika penerimaan di B juga merupakan antenna isotropic dengan luas efektif :
=
Ae
2
( 3.7 )
4
Dimana untuk panjang gelombang dari sinyal , maka daya yang diterima dititik B, Pr akan sama dengan: Pr
=
Ae
=
Pt
• Pav 2
4
d
( 3.8 )
13 Rugi antara pemancar dengan penerima dalam ruang bebas adalah:
Pt Pr
= 10 log
Lfs(db)
( 3.9 )
Dengan menghubungkan pers : 3.8 dan 3.9 maka rugi - rugi tranmisi akan menjadi Lfs(db)
= 1 0 log
4
2
d
( 3.10 )
db
Atau menjadi Lfs (db ) = 32,4 + 20 log d (Km) + 20 log f (MHz)
( 3.11 )
Untuk menentukan jarak d dari persamaan –persamaan di atas dapat di lakukan dengan bantuan gambar 3.2. dan dengan bantuan rumus-rumus di bawah ini
cos
( ) = cos (l e ) cos (l s ) cos (l s - l e ) + sin (l e ) sin (l s ) 1 2
d = 42.242 [ 1,02274 - 0,301596 cos ( ) ] KM sin ( )
cos( El ) =
[ 1,02274 - 0,301596 cos ( ) ]
1 2
Dimana d = jarak {km} E l = Sudut elevasi
rs
el
stasiun bumi
re
pusat bumi
Gambar 3.2 Perhitungan sudut elevasi dan jarak
( 3.12 ) ( 3.13 )
( 3.14 )
14 3.1.3 Redaman Hujan Redaman hujan dapat ditentukan dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut: 1. menentukan tinggi hujan hR (km ) h R = 5,1 - 2,15 log { 1 + 10
[( Ae - 27)/25]
} Km
( 3.15 )
2. menghitung panjang lintasan hujan ( LS ). Ls =
(h R
ho SinEl
)
Km
jika El > 10
o
( 3.16 )
dimana ho adalah letak ketinggian terminal di bumi 3. menghitung faktor reduksi Lintasan ( rp )
rp =
90 (90 + 4 ls cosE
( 3.17 )
)
4. menentukan curah hujan rata-rata RP 0,01 dari peta curah hujan 5. menentukan redaman untuk 0,01% dari.tahun rata-rata
A 0 , 01 = a × ( R
p
)b × L
s
× rp
(3.18)
Tabel 3.1 Zona daerah hujan bedasarkan rekomendasi CCIR percentage of time (%)
A
1 0.3 0.1 0.03 0.01 0.003 0.001
1 2 5 8 14 22
B 1 2 3 6 12 21 32
C 3 5 9 15 26 42
Rainfall Intensity Exceeded ( mm/h ) D E F G H J K L 3 1 2 2 5 3 4 7 4 13 6 7 8 6 8 12 10 20 12 15 13 12 15 20 18 28 23 33 19 22 28 30 32 35 42 60 29 41 54 45 55 45 70 105 42 70 78 65 83 55 100 150
M 4 11 22 40 63 95 120
N 5 12 35 65 95 140 180
P 12 34 65 105 145 200 250
15 Tabel 3.2 Koefesien Regresi Frequency ( GHz ) 1 2 4 6 7 8 10 12 15 20 25 30 35 40 45 50 60 70 80 90 100 120 150 200 300 400
aA
a0
bA
b0
0.0000387 0.000154 0.00065 0.00175 0.00301 0.00454 0.0101 0.0188 0.0367 0.0751 0.124 0.187 0.263 0.35 0.442 0.536 0.707 0.851 0.975 1.06 1.12 1.18 1.31 1.45 1.36 1.32
0.0000352 0.000138 0.000591 0.00155 0.00265 0.00395 0.00887 0.0168 0.0335 0.0691 0.113 0.167 0.233 0.31 0.393 0.479 0.642 0.784 0.906 0.999 1.06 1.13 1.27 1.42 1.35 1.31
0.912 0.963 1.121 1.308 1.332 1.327 1.276 1.217 1.154 1.099 1.061 1.021 0.979 0.939 0.903 0.873 0.826 0.793 0.769 0.753 0.743 0.731 0.71 0.689 0.688 0.683
0.88 0.923 1.075 1.265 1.312 1.31 1.264 1.2 1.128 1.065 1.03 1 0.963 0.929 0.897 0.868 0.824 0.793 0.769 0.754 0.744 0.732 0.711 0.69 0.689 0.684
3.1.4 Redaman Lainnya 3.1.4.1 Pengaruh Atmosfer Sinyal radio yang merambat pada atmosfer tetap mengalami pelemahan walaupun dalam keadaan cuaca yang bersih . Atenuasi ini biasanya disebabkan oleh penyerapan energi yang dipancarkan oleh uap air dan molekul oksigen. Besar atenuasi akan meningkat sangat tinggi pada frekuensi tertentu. Redaman yang disebabkan oleh uap air pada atmosfer (ketika udara bersih) secara umum akan memingkat bila : . frekuensi bertambah . sudut elevasi berkurang
16 3.1.4.2 Efek Sinkintilasi Pada pentransmisian dengan sudut dibawah 5o, jarak yang ditempuh dalam pentransmisian menjadi semakin panjang sehingga dapat mengakibatkan turbulansi pada amplitud dan sudut fasa sinyal . Hal ini disebut dengan efek skintilasi . sehingga dengan alasan ini maka pentransmisian suatu sinyal akan menghidari sudut elevasi yang lebih kecil dari 5o .
3.1.4.3 Rotasi Faraday Lapisan ionosfer yang berada pada ketinggian 100 Km sampai dengan 400 Km, dan terdiri dari sejumlah besar electron dan ion - ion dapat mempengaruhi sinyal yang ditransmisikan melaluinya. Jika sebuah Sinyal melalui lapisan ionosfer, maka ketika meninggalkan lapisan tersebut sinyal tersebut dapat mengalami perubahan fasa dan perubahan polarisasi. Perubahan fasa dan perubahan polorisasi tersebut disebut dengan rotasi faraday. Besar dari rotasi faraday bergantung kepada besarnya frekuensi pentransmisian.
3.1.5 Fading (Alun ). Fading ( Alun ) didefinisikan sebagai jumlah perubahan dalam fungsi waktu dari fasa ,polarisasi dan/atau besarnya sinyal yang diterima. Fading ,dapat di timbulkan oleh bentuk geometri dari permukaan bumi dan kondisi atau keadaan cuaca Multi path fading adalah fading utama yang pasti muncul dalam sistem komunikasi radio. Multi path fading adalah penyebab utama dari disperse yang timbul pada komunikasi radio digital dengan kecepatan yang tinggi. Pengertian multi path adanya jalur yang berada dari media propagasi, yang menghubungkan pengirim dan penerima, yang tergantung pada pola beam masing – masing, oleh karena itu berapa bagian dari total energi yang diterima datang melalui tiap jalur . Multipath fading disebabkan oleh beberapa hal yaitu pembelokan arah oleh lapisan atmosfer, maupun karena pantulan yang disebabkan oleh halangan halangan sepanjang jalur propagasi. Hal ini dapat di lihat pada gambar di bawah ini
17
3 2
1 pemamcar
penerima Gambar 3.3 Alun lintas jamak ( fading )
Atmosfer memiliki sifat – sifat alam yang mengakibatkan gelombang di biaskan.Besaran – besaran alam seperti tekanan udara, tempratur dan kelembaban udara menentukan besarnya indeks refreksi atmosfer. Perubahan basarnya fisis alam tersebut menyebabkan perubahan indeks refraksi atmosfer yang bersesuaian dengan ketinggian, dan mengakibatkan perubahan arah perambatan gelombang radio. Refraksi pada gelombang radio yang dipancarkan tersebut mengakibatkan perubahan level sinyal pada penerima. Fading yang disebabkan oleh perubahan arah rambat sinyal karena perbedaan indeks bias dari lapisan udara disebut rincian pading
n3
3
n2
2
n1 1
n0
0
Gambar 3.4 Pembelokan sinyal akibat perbedaan index bias
Sedangkan Faktor topologi geografis lintasan lebih mengakibatkan terjadinya efek pantulan yang di sebabkan oleh halangan – halangan sepanjang lintasan, sehingga menimbulkan lintasan ganda (multipath). Adanya perbedaan jalur propagasi, mengakibatkan adanya waktu tunda saat tibanya sinyal pantul terhadap sinyal langsung, serta adanya perbedaan fasa antara keduanya akibatnya pada sisi penerima terjadi interferensi antara dua sinyal
18 tersebut. Interferensi antara keduanya dapat melemahkan dan menguatkan bergantung fasa antara keduanya, sehingga level sinyal berfluktuasi. Secara umum pengaruh langsung dari fading adalah penurunan dari daya sinyal pada sisi penerima yang akan berpengaruh pada perhitungan kinerja link komunikasi. 3.1.6 Interferensi. Interferensi pada sistem komunikasi satelit terdiri dari: 1.Interferensi antar symbol 2.Interferensi intermodulasi 3.Interferensi adjacent chanel 4.Interferensi polarisasi silang 5.Interferensi dengan jaringan terestrial 6.Interferensi dengan satelit lain.
1.Interferensi antar simbol Interferensi ini tidak dihasilkan oleh suatu sumber di luar sistem tetapi di hasilkan dari chanel itu sendiri, sebagai akibat dari filtering dan karakteristik nonlinier dari TWTA Satelit yang beroperasi pada kondisi saturasi, khususnya pada sistem SCPT (Single Carrier Pertransponder). Pada saluran yang linier dimana bandwidth yang tersedia untuk transmisi data pada kecepatan R bps yaitu antara R/2 dan R Hz, interfensi intersimbol dapat dieliminasi dan penurunan C/N ditambah dengan rasio interfensi yang diterima. Yang digunakan unuk menghitung probabilitas rata – rata dari bit error untuk link satelit. 2. Interfensi Intermodulasi Interfensi ini disebab kan oleh intermodulasi yang terjadi pada transponder sebagai akibat dari penguatan beberapa gelombang carrier oleh TWTA yaitu ketidak linieran amplitude dan ketidak linieran fasa untuk menghindari interfensi intermodulasi TWTA harus di operasikan dengan out put back-off yang besar, dan ini mengakibatkan sistem down link limetid dan mengurangi kapasitas transponder . Hal ini yng menyebabkan mengapa sistem SCPT TDMA manjadi popular karena TWTA satelit dapat dioperasikan pada atau mendekati keadaan saturasi untuk menghasilkan EIRP maximum untuk down link, interferensi ini
19 akan digunakan untuk memperhitungkan C/N yang dibutuhkan oleh suatu sistem komunikasi digital 3. Interferensi polarisasi silang Pengguna frekuensi ulang pada sistem komunikasi satelit secara umum yang menerapkan polarisasi orthogonal linier dan polarisasi orthogonal / sirkular dapat menjadi sumber interferensi yang cukup besar yaitu energi kopling dari suatu sistem polarisasi kepada sistem polarisasi yang lainnya. Pada frekuensi kerja satelit, yaitu pada L – band, efek hujan sangat kecil sekali dan cenderung untuk diabaikan sehingga interferensi polarisasi silang banyak ditentukan oleh diskriminasi dari terminal dibumi dengan antena pada satelit. Diskriminasi polarisasi silang didefinisikan sebagi perbandingan antara sinyal carrier dan interferensi polarisasi silang ketika kedua sinyal yang terpolarisasi tersebut memiliki daya yang sama. Antenna yang berkualitas dapat mempunyai diskriminasi polarisasi silang sebesar 30 sampai 40 dB sepanjang sumbu antenna. 4. Interferensi adjacent chanel Interferensi ini timbul pada saluran dengan lebar pita terbatas, dan timbul ketika sebagian energi dari sinyal dengan lebar frekuensi terbatas jatuh pada saluran yang lain akibat over laping (tumpang tindih) amplitude pada karakteristik filternya, seperti digambarkan pada gambar berikut.
kanal 1
t0
kanal 2
kanal 3
t1
t2
i
interferansi kanal yang berdekatan gambar 3.5 konsep interferensi adjas chanel ( kanal yang berdekatan)
5. Interferensi dengan jaringan teresterial Beberapa band frekuensi dialokasikan untuk komunikasi satelit juga digunakan untuk komunikasi terestrial melalui hubungan gelombang micro. Band frekuensi L – band digunakan untuk hubungan telepon mobil sedangakan C – band untuk komunikasi telepon radio. Hubungan terrestrial yang menggunakan
20 frekuensi – frekuensi tersebut dapat menggangu stasiun bumi, demikian juga sebaliknya. Sinyal downlink yang dikirimkan dari satelit menimbulkan rapat daya dipermukaan bumi, rapat daya ini harus memenuhi harga batas tertentu agar tidak menimbulkan interferensi dengan jaringan terrestrial. Interferensi bersama antara stasiun bumi dengan jaringan terrestrial gelombang mikro bergantung pada besarnya daya sinyal pembawa, rapat spectral sinyal pembawa dan titik tengah frekuensi antara kedua sinyal pembawa tersebut. Untuk sinyal pembawa satelit dengan band lebar, daya pembawa interferensi dapat diabaikan sedangkan untuk sinyal pembawa satelit dengan band sempit, daya pembawa interferensi diredam oleh faktor pengurangan interferensi yang merupakan perbandingan antara daya sinyal pembawa total dan daya pada bandwidth interferensi yang sempit. 6. Interferensi dengan satelit lain Ganguan interferensi ini dapat berupa sinyal uplink dari stasiun bumi yang masuk kesatelit tetangga, atau sinyal downlink dari satelit tetangga yang masuk kepenerima stasiun bumi. Interferensi ini antara lain disebabkan karena berkas utama dari antena pengirim terlalu lebar atau berkas sisinya terlalu besar dan melewati harga tertentu. Akibatnya, sinyal untuk link tersebut tidak hanya diterima oleh satelit tujuan tapi juga oleh satelit tetangganya dan mengganggu penerimaan normalnya. Untuk mengurangi kemungkinan interferensi antara satelit maka ITU-T merekomendasikan jarak minimum antara satelit pada orbit geostationer diekuantor bumi sebesar 2o, dengan akurasi penjajakan sebesar kurang lebih 0,05o disebabkan kiri dan kanan. Gambar dibawah berikut menggambarkan interferensi satelit dan antar stasiun bumi. N adalah jarak angular antara satelit pada orbit geosinkron dan bumi.
adalah jarak angular kedua satelit yang dilihat oleh stasiun
21
Satellite A
TERMINAL A0
Satellite B
TERMINAL A1
SISTEM A
TERMINAL B0
TERMINAL B1
SISTEM B
Gambar 3.6 interferensi antar satelit dan Antar stasiun bumi yang berdekatan
3.2 Pengolahan Sinyal 3.2.1 Multiple Access Multiple access atau akses ganda didefinisikan sebagai kemampuan sejumlah besar terminal dibumi untuk berhubungan satu dengan yang lainnya secara bersamaan melalui hubungan satelit. Untuk sistem komunikasi satelit, teknik akses ganda merupakan permasalahan pundamental karena berhubungan dengan kemampuan mencakup daerah geografis yang luas, kepasitas layanan dan flesibelitas sistem. Teknik multiple acces dapat dibagi menjadi dua cara. Cara pertama, dibedakan menjadi dua kategori. 1. Pre Assiqned Multiple Access, saluran – saluran yang diperlukan antara dua terminal dibumi, dipasang secara tetap untuk sesuatu kepentingan khusus. 2. Demand Assiqnment Multiple Access ( DAMA ), saluran yang dialokasikan dapat berubah sesuai dengan jumlah pelanggan yang ada ( datang ). Saluran tersebut akan secara automatis memilih dan terhubung jika panggilan tersebut datang secara kontinyu. Sistem ini akan memperbesar efisiensi pengguna transponder satelit dan secara sistem komunikasi yang menggunkan sistem DAMA lebih efisian dari pada yang menggunkan pre assiqned multiple access.
22 Cara kedua dibedakan menjadi tiga kategori besar yaitu : 1. Frekuensi Devision Multiple Acces ( FDMA ), setiap terminal mempunyai karier yang sama. 2. Time Division Multiple Access ( TDMA ), semua terminal menggunakan frekuensi karrier dan bandwidth yang sama dengan pembagian dalam domain waktu. 3. Code Division Multiple Access ( CDMA ), semua terminal berbagi band width yang sama secara kontinyu dan mangenali sinyal tersebut dengan indentifikasi kode yang ada pada setiap sinyal tersebut.
Sinyal Modulasi Modulasi yang digunakan dalam komunikasi digital biasanya adalah BPSK dan QPSK beserta variasi dari kedua teknik modulasi tersebut. Tehnik modulasi yang digunakan dalam komunikasi tersebut akan berpengaruh kepada besarnya bit error rate yang nantinya akan berpengaruh kepada Eb/No yang digunakan untuk memperhitungkan C/N yang dibutuhkan oleh sistem komunikasi tersebut. 3.2.2.2 Binari Phase Shift Keying (BPSK) Pada BPSK sinyal pembawa yang ditransmisikan memiliki perbedaan fase sebesar 90o dan memiliki persamaan gelombang. Dimana V adalah besar amplitude yang diset 1 sehingga nilai V dapat 1 atau -1. Persamaan diatas dapat disederhanakan menjadi Vc = V u1 sin (
c
t
)
( 3.19 )
Dari persamaan diatas, karena nilai V hanya dapat 1 atau -1, maka sinyal BPSK ini mempunyai amplitude dan frekuensi yang sama sehingga sinyal ini tidak dapat dideteksi oleh AM detector. 3.2.2.2 Quodrature Phase Shift Keying ( QPSK ) Pada sistem ini, sudut fasa q ditentukan oleh modulasi dengan memilih satu dari keempat kemungkinan,sehingga persamaan gelombang QPSK ini dapat ditulis menjadi: v = V
2 cos (
c
t -
( 3.20 )
)
secara trigonometri persamaan 3.21 dapat dikembangkan menjadi :
v = V 2 cos
c
t cos + V 2 sin
c
t sin
( 3.21 )
23 Bila dituliskan dalam bentuk BPSK, maka pers di atas dapat dituliskan menjadi: v = u I V cos (
c
t ) + u Q V sin (
c
t)
( 3.22 )
Dimana :I = Sinyal Bpsk pada saluran I Q = Sinyal Bpsk pada saluran Q Hubungan antara UI dan UQ dengan u I = 2 cos u Q = 2 sin
adalah sebagai berikut :
( 3.23 )
Dibawah ini diberikan gambaran perbandingan antara Eb / No dengan BER dari teknik – teknik modulasi yang ada .
Gambar 3.7 Hubungan antara BER dan EB/No Dari gambar tersebut dapat di tentukan besarnya Eb / No jika diketahui teknik modulasi yang digunakan dan besarnya BER yang diinginkan .
24 3.2.2.3 Link komunikasi Dalam perhitungan, link komunikasi dibagi menjadi dua bagian yaitu forward link dan return link, yang akan menentukan kinerja dari link tersebut. Bila (C/N) dari forward link dan return link memenuhi (C/N) yang dibutuhkan maka link komunikasi tersebut layak untuk digunakan. A. Forward link Forward link merupakan link komunikasi antara gateway dan terminal bumi, yaitu dari gateway kesatelit dengan menggunakan C – band dan dari satelit ke terminal bumi dengan menggunakan L – band. B. Return link Return link merupakan link komunikasi antara terminal bumi dengan gateway, yaitu dari terminakl bumi kesatelit dengan menggunakan L – band, dan dari satelit ke gateway dengan menggunakan C – band.
Bit dan Simbol Error rate Kebaikan suatu sistem komunikasi analog biasa diukur dari faktor C/N = perbandingan kuat sinyal terhadap derau ( noise ). Dalam sistem digital, faktor ini lebih tepat jika didefenisikan sebagai BER ( Bit Error Rate ). BER merupakan faktor rata – rata beberapa bit yang salah dari sejumlah bit yang diterima. Karena kemungkinan kesalahan hanyalah angka 1 terbaca sebagai 0 dan sebaliknya. Harga BER bergantung kepada daya per pulsa dibanding dengan daya derau perpulsanya atau didefinisikan : Dimana : Eb = daya per pulsa No = Kerapatan derau ( watt / Hertz ) Secara rumus hubungan antara
C dan BER dengan daya yang diterima secara N
kontinyu mempunyai daya C watt sedang derau adalah BNo. Diamana : No = Kerapatan kebisingan ( watt / hertz ) B = Lebar pita ( Hz ) Jika laju pengiriman pulsa sama dengan R atau lebar 1 pulsa sama dengan T maka: T =
1 R
( 3.24 )
25 Sehingga BER =
CT C C B E b CT = = = • BT = N N R No No N B
Umumnya, sistem didesain sehingga : sehingga umumnya
Eb No
C N
B=
( 3.27)
1 =R T
( 3.25 )
( 3.26 )
26
BAB IV KINERJA LINK KOMUNIKASI SATELIT Kinerja link komunikasi
dalam sistem ini akan dihitung dengan
menggunakan metode link budget untuk menghitung besaran C/N, berdasarkan data – data yang ada, kemudian akan dibandingkan dengan data yang didapat bedasarkan teori, untuk menentukan apakah sistem komunikasi tersebut baik atau tidak. Sebagai studi kasus akan diambil contoh beberapa kota yaitu 1. Banda Aceh dengan posisi 5,5o LU; 95,4o BT 2. Jakarta dengan posisi 6,3o LS; 106,8o BT 3. Marauke dengan posisi 8,5o LS; 140,5o BT
Banyaknya contoh yang diambil belum dapat dianalisis secara statistic, karena belum diketahui akan terdapat berapa banyak terminal yang ada. Oleh sebab itu diambil kemungkinan terburuk yang dapat timbul. Misalnya posisi satelit pada timur Indonesia, maka kemungkinan terburuk adalah pada kota bagian barat Indonesia, begitu pula sebaliknya. Sedangkan data – data spesifikasi sistem yang digunakan, diambil data – data sebagai berikut : 1. Spesifikasi perangkat
Satelit Frekuensi C – band = 3600 MHz EIRP C – band = -5,2 dBW (G/T) C – band = -9,96 dB/K Frekuensi L – Band = 1544,5 MHz EIRP L – band = 36,5 dBW (G/T) L – band = 14,82 dB/K
27 Gateway Frekuensi = 6600 MHz EIRP = 43,44 dBW G/T = 28,31 dB/K Terminal genggam Frekuensi = 1646 MHz EIRP = - 4 dBW G/T = - 24 dB/K 2. Modulasi yang digunakan adalah QPSK 3. Laju pengkodean adalah 6 kbps 4. Multiple access yang digunakan adalah sistem FDM – TDMA
Eb/No yang Dibutuhkan Berdasarkan grafik fungsi Eb/No terhadap BER pada gambar 3.7 dan berdasarkan persamaan 3.1 maka untuk komunikasi QPSK dengan BER 10-2 maka didapatkan besarnya Eb/No adalah 4,3 dB. Bila kecepatan pengkodean menurut spesifikasi adalah 6 kbps, maka dapat ditentukan besar C/No yang diperlukan yaitu : C/No = Eb/No + 10 log R = 4,3 + 10 log 6.103 = 42,1 dB Sedangkan bila BER yang diinginkan adalah 10-3 maka C/No yang dibutuhkan adalah : C/No = Eb/No + 10 log R = 6,8 + 10 log 6.103 = 44,6 dB
Link Budget Disamping data – data spesifikasi diatas juga diketahui data – data dari literature mengenai redaman yang terjadi pada saat pentransmisian yaitu : Redaman pengarahan satelit = - 0,5 dB Redaman pengarahan terminal dibumi = - 0,5 dB
28 Redaman polarisasi = - 0,5 dB Redaman atmosfer = - 0,5 dB Selain redaman tersebut diatas, untuk menjaga kualitas sinyal ditetapkan adanya fade margin yang jika besarnya tidak diketahui, diambil sebagai acuan sebesar 5 dB. Sebagai contoh perhitungan diambil kota Jakarta yang terletak pada 6,3o LS dan 106,8o BT, dan posisi satelit adalah pada 119o BT. Link yang dihitung akan terdiri dari forward link dan return link. Jarak antara kota Jakarta dengan satelit dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 3.13 sehingga didapat yaitu 36085,2 Km; dan dengan persamaan 3.14 dapat ditentukan sudut elevasi antara kota tersebut dengan satelit,
yaitu73,9o
4.2.1 Forward Link Forward link ini terdiri dari uplink yaitu hubungan antara gateway dengan satelit dan downlink yaitu hubungan antara satelit dengan terminal genggam.
Uplink Frekuensi = 6600 MHz EIRP = 43,44 dBW FSL = 32,4 + 20 log (Km) + 20 log (MHz) = 32,4 + 20 log 36085,2 + 20 log 6600 = 199.94 dB Redaman pengarahan satelit = - 0,5 dB Redaman pengarahan terminal dibumi = - 0,5 dB Redaman atmosfer = - 0,5 dB Redaman polarisasi = - 0,5 dB Redaman hujan :
{ [( [( log {1 + 10
h R = 5,1 - 2,15 log 1 + 10 = 5,1 - 2,15
= 5,1 - 2,15 log = 4,971Km
{1 + 10
Ae - 27 ) / 25 ]
}Km ] }Km
6,3 - 27 ) / 25
- 0,828
}Km
29
hR - ho Sin ( El ) 4,971 - 0,1 = sin 73,9 = 5,0698 Km
Ls =
rP
90 90 + 4 Ls cos (El) 90 = 90 + 4 • 5,0698 • cos (73,9) = 0,941
=
A 0,01 = a A × (R p ) × L s × rp dB bA
= 0,00222 × (145 ) = - 7,21 dB
1, 311
× 5,0698 × 0,941
Fade margin = - 5 dB Konstanta boltzman = 228,6 dBW/Hz/K G/T satelit = - 9,96 dB/K C/No uplink = EIRP – Total loss uplink – (G/T)s + K = 43,44 – 214,15 – 9,96 + 228,6 = 47,93 dB
Downlink Frekuensi = 1544,5 MHz EIRP = 36,5 dBW FSL = 32,4 + 20 log (Km) + 20 log (MHz) = 32,4 + 20 log 36085,2 + 20 log 1544,5 = 187,32 Redaman pengarahan satelit = - 0,5 dB Redaman pengarahan terminal dibumi = - 0,5 dB Redaman atmosfer = - 0,5 dB Redaman polarisasi = - 0,5 dB
30 Redaman hujan :
{ [( [( log {1 + 10
h R = 5,1 - 2,15 log 1 + 10 = 5,1 - 2,15
= 5,1 - 2,15 log
{1 + 10
Ae - 27 ) / 25 ]
}Km ] }Km
6,3 - 27 ) / 25
- 0,828
}Km
= 4,971Km hR - ho Sin ( El ) 4,971 - 0,1 = sin 73,9 = 5,0698 Km
Ls =
90 90 + 4 Ls cos (El) 90 = 90 + 4 • 5,0698 • cos (73,9) = 0,941
=
rP
A 0,01 = a A × (R p ) × L s × r p dB bA
= 0,0000928 × (145 )
0 , 920
× 5,0698 × 0,941
= - 0,043 dB Fade margin = - 5 dB Konstanta boltzman = 228,6 dBW/Hz/K G/T terminal genggam = - 24 dB/K C/No downlink = EIRP – Total loss downlink – ( G/T )E + K = 36,5 - 218,365 + 228,6 = 46,74 dB
1 C/No total =
10 4,793
+
1 10 4,674
= 10 log 26816,79 = 44,28dB
1
31 4.2.2 Return Link Returnlink ini terdiri dari uplink yaitu hubungan antara terminal genggam dengan satelit dan downlink yaitu hubungan antara satelit dan gateway
Uplink Frekuensi = 1646 MHz EIRP = - 4 dBW FSL = 32,4 + 20 log (Km) + 20 log (MHz) = 32,4 + 20 log 36085,2 + 20 log 1646 = 187,88 dB Redaman pengarahan satelit = - 0,5 dB Redaman pengarahan terminal dibumi = - 0,5 dB Redaman atmosfer = - 0,5 dB Redaman polarisasi = - 0,5 dB Redaman hujan :
{ [( [( log {1 + 10
h R = 5,1 - 2,15 log 1 + 10 = 5,1 - 2,15
= 5,1 - 2,15 log
{1 + 10
Ae - 27 ) / 25 ]
6,3 - 27 ) / 25
- 0,828
}Km
= 4,971Km hR - ho Sin ( El ) 4,971 - 0,1 = sin 73,9 = 5,0698 Km
Ls =
rP
90 90 + 4 Ls cos (El) 90 = 90 + 4 • 5,0698 • cos (73,9) = 0,941
=
}Km ] }Km
32
A 0,01 = a A × (R p ) × L s × rp dB bA
= 0,0000945 × (145 )
0 , 935
× 5,0698 × 0,941
= - 0,047 dB Fade margin = - 5 dB Konstanta boltzman = 228,6 dBW/Hz/K G/T satelit = 14,82 dB/K C/No Uplink = EIRP – Total loss uplink + ( G/T )s + K = -4 – 194,927 + 14,82 + 228,6 = 44,49 dB
Downlink Frekuensi = 3600 MHz EIRP = - 5,2 dBW FSL = 32,4 + 20 log (Km) + 20 log (MHz) = 32,4 + 20 log 36085,2 + 20 log 3600 = 194,67 dB Redaman pengarahan satelit = - 0,5 dB Redaman pengarahan terminal dibumi = - 0,5 dB Redaman atmosfer = - 0,5 dB Redaman polarisasi = - 0,5 dB Redaman hujan :
{ [( [( log {1 + 10
h R = 5,1 - 2,15 log 1 + 10 = 5,1 - 2,15
= 5,1 - 2,15 log = 4,971Km hR - ho Sin ( El ) 4,971 - 0,1 = sin 73,9 = 5,0698 Km
Ls =
{1 + 10
Ae - 27 ) / 25 ]
}Km ] }Km
6,3 - 27 ) / 25
- 0,828
}Km
33
90 90 + 4 Ls cos (El) 90 = 90 + 4 • 5,0698 • cos (73,9) = 0,941
=
rP
A 0,01 = a A × (R p ) × L s × rp dB bA
= 0,000485 × (145 )
1,083
× 5,0698 × 0,941
= - 0,5dB Fade margin = - 5 dB Konstanta boltzman = 228,6 dBW/Hz/K G/T gateway = 28,31 dB/K C/No downlink = EIRP – Total loss downlink + ( G/T )e + K = -5,2 – 202,17 + 28,31 + 228,6 = 49,54 dB
1 C/No total =
+
10 4, 449
= (4 , 7 × 10
5
)
1
1
10 4,954 1
= 10 log 21422,24 = 43,30 dB
Perhitungan Link Komunikasi Satelit Dalam perhitungan dibawah ini, diambil tiga posisi satelit yaitu pada 95o BT, 119o BT dan 144o BT; yaitu sebagai bahan perbandingan untuk menentukan posisi terbaik. Perhitungan yang dilakukan untuk kota Banda aceh dan marauke sama seperti yang dilakukan untuk Jakarta seperti pada butir 4.2. Dalam tabel dibawah ini : A = Jarak ( Km ) B = Sudut elevasi (derajat ) C = redaman ruang bebas ( dB ) D = konstanta total ( dB )
34 E = redaman hujan ( dB ) F = ( C/No ) dB 4.3.1 Posisi Satelit Pada 95o BT
Forward link Untuk uplink ( f = 6600 MHz ) Parameter – parameter konstanta adalah EIRP = 43,44 dBW (G/T) penerima = - 9,96 dB/K redaman pengarahan satelit = - 05 dB redaman pengarahan terminal bumi = - 0,5 dB redaman polarisasi = - 0,5 dB redaman atmosfer = - 0,5 dB fade margin = - 5 dB konstanta boltzman = 228,6 dBW/Hz/K total = 255,08 dB Tabel 4.1 (C/No) forward uplink untuk posisi 95o BT
KOTA
A
B
B. Aceh
35906,4
83,5o
Jakarta
36074,3
Marauke
38103,9
C
D
E
F
-199,89 255,08
-7,13
48,06
74,3o
-199,93 255,08
-7,15
47,94
36,9o
-200,4
-9,73
44,95
255,08
Untuk Down link ( f = 1544,5 MHz ) Parameter – parameter konstanta adalah EIRP = 36,5 dBW (G/T) penerima = - 24 dB/K redaman pengarahan satelit = - 05 dB redaman pengarahan terminal bumi = - 0,5 dB redaman polarisasi = - 0,5 dB redaman atmosfer = - 0,5 dB
35 fade margin = - 5 dB konstanta boltzman = 228,6 dBW/Hz/K total = 234,1 dB Tabel 4.2 (C/No) forward Downlink untuk posisi 95o BT
KOTA
A
B
C
D
E
F
B. Aceh
35906,4
83,5o
-187,28
234,1
-0,043
46,78
Jakarta
36074,3
74,3o
-187,32
234,1
-0,043
46,74
Marauke
38103,9
36,9o
-187,80
234,1
-0,058
46,24
Return link Untuk uplink ( f = 1646 MHz ) Parameter – parameter konstanta adalah EIRP = - 4dBW (G/T) penerima = 14,82 dB/K redaman pengarahan satelit = - 05 dB redaman pengarahan terminal bumi = - 0,5 dB redaman polarisasi = - 0,5 dB redaman atmosfer = - 0,5 dB fade margin = - 5 dB konstanta boltzman = 228,6 dBW/Hz/K total = 232,42 dB Tabel 4.3(C/No) Return uplink untuk posisi 95o BT
KOTA
A
B
C
D
B. Aceh
35906,4
83,5o
-187,83 232,42 -0,046
44,54
Jakarta
36074,3
74,3o
-187,87 232,42 -0,047
44,50
Marauke
38103,9
36,9o
-188,35 232,42 -0,063
44,01
Untuk Down link ( f = 3600 MHz ) Parameter – parameter konstanta adalah
E
F
36 EIRP = -5,2 dBW (G/T) penerima = 28,31 dB/K redaman pengarahan satelit = - 05 dB redaman pengarahan terminal bumi = - 0,5 dB redaman polarisasi = - 0,5 dB redaman atmosfer = - 0,5 dB fade margin = - 5 dB konstanta boltzman = 228,6 dBW/Hz/K total = 244,71 dB Tabel 4.4 (C/No) return Downlink untuk posisi 95o BT
KOTA
A
B
C
D
B. Aceh
35906,4
83,5o
-194,63 244,71 -0,492
49,59
Jakarta
36074,3
74,3o
-194,67 244,71 -0,493
49,54
Marauke
38103,9
36,9o
-195,15 244,71 -0,671
48,89
4.3.2 Posisi Satelit Pada 119o BT Forward link Untuk uplink ( f = 6600 MHz ) Parameter – parameter konstanta adalah EIRP = 43,44 dBW (G/T) penerima = - 9,96 dB/K redaman pengarahan satelit = - 05 dB redaman pengarahan terminal bumi = - 0,5 dB redaman polarisasi = - 0,5 dB redaman atmosfer = - 0,5 dB fade margin = - 5 dB konstanta boltzman = 228,6 dBW/Hz/K total = 255,08 dB
E
F
37 Tabel 4.5 (C/No) forward Uplink untuk posisi 119o BT
KOTA
A
B
B. Aceh
36525
61,7o
Jakarta
36085,2
73,9o
Marauke
C
D
E
F
-200,04 255,08
-7,74
47,30
-199,94 255,08
-7,21
47,93
o 36465,6 63,03 -200,03 255,08
-7,66
47,39
Untuk Down link ( f = 1544,5 MHz ) Parameter – parameter konstanta adalah EIRP = 36,5 dBW (G/T) penerima = - 24 dB/K redaman pengarahan satelit = - 05 dB redaman pengarahan terminal bumi = - 0,5 dB redaman polarisasi = - 0,5 dB redaman atmosfer = - 0,5 dB fade margin = - 5 dB konstanta boltzman = 228,6 dBW/Hz/K total = 234,1 dB Tabel 4.6 (C/No) forward Downlink untuk posisi 119o BT
KOTA
A
B
C
D
E
F
B. Aceh
36525
61,7o
-187,43
234,1
-0,047
46,62
Jakarta
36085,2
73,9o
-187,32
234,1
-0,043
46,74
Marauke
o 36465,6 63,03 -187,41
234,1
-0,046
46,64
Return link Untuk uplink ( f = 1646 MHz ) Parameter – parameter konstanta adalah EIRP = - 4dBW (G/T) penerima = 14,82 dB/K redaman pengarahan satelit = - 05 dB redaman pengarahan terminal bumi = - 0,5 dB
38 redaman polarisasi = - 0,5 dB redaman atmosfer = - 0,5 dB fade margin = - 5 dB konstanta boltzman = 228,6 dBW/Hz/K total = 232,42 dB Tabel 4.7 (C/No) Return Upnlink untuk posisi 119o BT
KOTA
A
B
B. Aceh
36525
61,7o
Jakarta
C
D
E
F
-0,05
44,39
36085,2 73,9o -187,88 232,42 -0,047
44,49
187,98 232,42
Marauke 36465,6 63,03o -187,97 232,42
-0,05
44,40
Untuk Down link ( f = 3600 MHz ) Parameter – parameter konstanta adalah EIRP = -5,2 dBW (G/T) penerima = 28,31 dB/K redaman pengarahan satelit = - 05 dB redaman pengarahan terminal bumi = - 0,5 dB redaman polarisasi = - 0,5 dB redaman atmosfer = - 0,5 dB fade margin = - 5 dB konstanta boltzman = 228,6 dBW/Hz/K total = 244,71 dB Tabel 4.8 (C/No) return Downlink untuk posisi 119o BT
KOTA
A
B
B. Aceh
36525
61,7o
Jakarta
36085,2
73,9o
Marauke
C
D
E
F
-194,82 244,71
-0,53
49,40
-194,67 244,71
-0,53
49,54
o 36465,6 63,03 -194,76 244,71
-0,53
49,42
39 4.3.3 Posisi Satelit Pada 144o BT Forward link Untuk uplink ( f = 6600 MHz ) Parameter – parameter konstanta adalah EIRP = 43,44 dBW (G/T) penerima = - 9,96 dB/K redaman pengarahan satelit = - 05 dB redaman pengarahan terminal bumi = - 0,5 dB redaman polarisasi = - 0,5 dB redaman atmosfer = - 0,5 dB fade margin = - 5 dB konstanta boltzman = 228,6 dBW/Hz/K total = 255,08 dB Tabel 4.9 (C/No) forward uplink untuk posisi 144o BT
KOTA
A
B
B. Aceh
38349
33,9o
C
D
E
-200,47 255,08 -12,69
F 41,92
Jakarta
37401,7 46,38o -200,25 255,08
-9,45
45,38
Marauke
o 35968,7 79,19 -199,91 255,08
-7,13
48,04
Untuk Down link (f = 1544,5 MHz ) Parameter – parameter konstanta adalah EIRP = 36,5 dBW (G/T) penerima = - 24 dB/K redaman pengarahan satelit = - 05 dB redaman pengarahan terminal bumi = - 0,5 dB redaman polarisasi = - 0,5 dB redaman atmosfer = - 0,5 dB fade margin = - 5 dB konstanta boltzman = 228,6 dBW/Hz/K total = 234,1 dB
40 Tabel 4.10 (C/No) forward Downlink untuk posisi 144o BT
KOTA
A
B
C
D
E
F
B. Aceh
38349
33,9o
-187,85
234,1
-0,076
46,17
Jakarta
37401,7 46,38o -187,63
234,1
-0,057
46,40
Marauke
o 35968,7 79,19 -187,29
234,1
-0,043
46,77
Return link Untuk uplink ( f = 1646 MHz ) Parameter – parameter konstanta adalah EIRP = - 4 dBW (G/T) penerima = 14,82 dB/K redaman pengarahan satelit = - 05 dB redaman pengarahan terminal bumi = - 0,5 dB redaman polarisasi = - 0,5 dB redaman atmosfer = - 0,5 dB fade margin = - 5 dB konstanta boltzman = 228,6 dBW/Hz/K total = 232,42 dB Tabel 4.11 (C/No) return Uplink untuk posisi 144o BT
KOTA
A
B
B. Aceh
38349
33,9o
C
D
E
F
-188,40 232,42 -0,083
43,94
Jakarta
37401,7 46,38o -188,19 232,42 -0,061
44,17
Marauke
o 35968,7 79,19 -187,85 232,42 -0,046
44,52
Untuk Down link ( f = 3600 MHz ) Parameter – parameter konstanta adalah EIRP = -5,2 dBW (G/T) penerima = 28,31 dB/K redaman pengarahan satelit = - 05 dB redaman pengarahan terminal bumi = - 0,5 dB
41 redaman polarisasi = - 0,5 dB redaman atmosfer = - 0,5 dB fade margin = - 5 dB konstanta boltzman = 228,6 dBW/Hz/K total = 244,71 dB Tabel 4.12 (C/No) Return Downlink untuk posisi 144o BT
KOTA
A
B
B. Aceh
38349
33,9o
C
D
E
F
-195,20 244,71
-0,88
48,63
Jakarta
37401,7 46,38 -194,98 244,71
-0,65
49,08
Marauke
o 35968,7 79,19 -194,64 244,71
-0,49
49,58
Tabel – tabel diatas dirangkum menjadi : Untuk posisi satelit pada 95o BT Tabel 4.13 ( C/No ) untuk posisi satelit pada 95o BT Kota
forward link
Return Link
( C/No )U ( C/ No )D ( C/No )U ( C/ No )D Banda Aceh
48,06
46,78
44,54
49,59
Jakarta
47,94
46,74
44,50
49,54
Marauke
44,95
46,24
44,01
48,89
Untuk posisi satelit pada 119o BT Tabel 4.14 ( C/No ) untuk posisi satelit pada 119o BT Kota
forward link
Return Link
( C/No )U ( C/ No )D ( C/No )U ( C/ No )D Banda Aceh 47,30
46,62
44,39
49,40
Jakarta
47,93
46,74
44,49
49,54
Marauke
47,39
46,64
44,40
49,42
42 Untuk posisi satelit pada 144o BT Tabel 4.15 ( C/No ) untuk posisi satelit pada 144o BT forward link
Kota
Return Link
( C/No )U ( C/ No )D ( C/No )U ( C/ No )D Banda Aceh 41,92
46,17
43,94
48,63
Jakarta
45,38
46,40
44,17
49,08
Marauke
48,04
46,77
44,52
49,58
Sedangkan tabel ( C/No ) antar kota dituliskan sebagai berikut : Untuk posisi pada 95o BT Forward link Merupakan C/No Forward link yang terdiri dari perhitungan C/No Uplink dan down link antara kota satu dengan kota yang lainnya yang dihitung secara rata – rata dari C/No forward link yang sudah dirangkum pada tabel 4.13. Dari kota Banda Aceh C/No Uplink 48,06 dB Ke kota Banda Aceh C/No Downlink 46,78 dB Jadi C/No dari dan ke Kota Banda Aceh :
# 1 1 C / No = ! 4,806 + 104,678 " 10 = 27306,829
1
= 10log 27306,829 = 44,36 dB Dari kota Banda Aceh C/No Uplink 48,06 dB Ke kota Jakarta C/No Downlink 46,74dB Jadi C/No dari kota Banda Aceh ke kota Jakarta :
# 1 1 C / No = ! + 4,806 10 4,674 " 10 = 27162,776 = 10 log 27162,776 = 44,34 dB Dari kota Banda Aceh C/No Uplink 48,06 dB
-1
43 Ke kota Marauke C/No Downlink 46,24 dB
# 1 1 C / No = ! + 4,806 10 4,624 " 10 = 25380,788
1
= 10 log 25380,788 = 44,05 dB untuk perhitungan dari kota asal yang lainnya ke kota tujuan lainnya cara perhitungannya sama dengan yang perhitungan yang diatas, berikut hasil perhitungan C/No Forwardlink antar kota pada posisi 95o pada tabel 4.16 Tabel 4.16 ( C/No ) antar kota untuk posisi 95o BT
uplink downlink
Banda Aceh
Jakarta Marauke
Banda aceh
44,36
44,31
42,75
Jakarta
44,34
44,29
42,74
Marauke
44,05
43,98
42,54
Return link Merupakan C/No Return link yang terdiri dari perhitungan C/No Uplink dan C/No down link antara kota satu dengan kota yang lainnya yang dihitung secara rata – rata dari C/No Return link yang sudah dirangkum pada tabel 4.13. Dan Cara perhitungannya sama dengan perhitungan C/No antar kota pada forward link. Tabel 4.17 ( C/No ) antar kota untuk posisi 95o BT
uplink downlink
Banda Aceh
Jakarta Marauke
Banda aceh
43,36
43,33
42,95
Jakarta
43,35
43,32
42,94
Marauke
43,17
43,15
42,79
44 Terminal genggam ke terminal genggam Merupakan C/No dari suatu terminal genggam ke terminal genggam lain. Dimana link dari terminal genggam kesatelit menggunakan C/No uplink pada sisi return link. Dan dari satelit ke terminal bumi tujuan menggunakan C/No downlink pada sisi forward link. Cara perhitungannya sama dengan cara perhitungan pada C/No antar kota pada kanal Forward link atau return link dan menggunakan data pada tabel 4.13. berikut hasil perhitungan C/No terminal genggam ke terminal genggam pada tabel 4.18. Tabel 4.18 ( C/No ) antar kota untuk posisi 95o BT
uplink downlink
Banda Aceh
Jakarta Marauke
Banda aceh
42,51
42,48
42,17
Jakarta
42,49
42,47
42,15
Marauke
42,30
42,27
42,97
Untuk posisi satelit pada 119o BT dan 144o BT cara perhitunganya sama dengan perhitungan pada posisi satelit di 95o BT Untuk posisi pada 119o BT Forward link Tabel 4.19 ( C/No ) antar kota untuk posisi 119o BT
uplink downlink
Banda Aceh
Jakarta Marauke
Banda aceh
43,94
44,21
43,97
Jakarta
44,00
44,29
44,00
Marauke
43,95
44,23
43,99
45 Return link Tabel 4.20 ( C/No ) antar kota untuk posisi 119o BT
uplink downlink
Banda Aceh
Jakarta Marauke
Banda aceh
43,20
43,27
43,21
Jakarta
43,23
43,30
43,24
Marauke
43,20
43,28
43,21
Terminal genggam ke terminal genggam Tabel 4.21 ( C/No ) antar kota untuk posisi 119o BT
uplink downlink
Banda Aceh
Jakarta Marauke
Banda aceh
42,35
42,41
42,36
Jakarta
42,39
42,46
42,40
Marauke
42,36
42,42
42,37
Untuk posisi 144o BT Forward link Tabel 4.22 ( C/No ) antar kota untuk posisi 144o BT
uplink downlink
Banda Aceh
Jakarta Marauke
Banda aceh
40,53
42,75
43,99
Jakarta
40,60
42,85
44,13
Marauke
40,69
43,01
44,35
46 Return link Tabel 4.23 ( C/No ) antar kota untuk posisi 144o BT
uplink downlink
Banda Aceh
Jakarta Marauke
Banda aceh
42,67
42,89
43,09
Jakarta
42,78
42,95
43,22
Marauke
42,89
43,07
43,34
Terminal genggam ke terminal genggam Tabel 4.24 ( C/No ) antar kota untuk posisi 144o BT
uplink downlink
Banda Aceh
Jakarta Marauke
Banda aceh
41,90
42,04
42,25
Jakarta
41,99
42,13
42,35
Marauke
42,12
42,27
42,49
Analisa link komunikasi Dibawah ini adalah analisa dan tabel selisih antara besarnya ( C/No ) yang dihitung berdasarkan data teknis yang ada dengan besarnya ( C/No ) dari hasil teori pada sub Bab 4.1 yang dibutuhkan. Perbandingan Dengan BER 10-2 Untuk Posisi satelit pada 95o BT
Forward Link Tabel 4.25 S ( C/No ) antara perhitungan dengan teori
Banda Aceh Banda aceh 2,26 Jakarta 2,24 Marauke 1,95
Jakarta Marauke 2,21 0,65 2,19 0,64 1,88 0,44
margin rata – rata = 1,61 Pada tabel 4.25 merupakan hasil dari selisih antara perhitungan dengan teori yang telah dihitung sebelumnya pada Sub bab 4.1 pada BER 10-2. hasil
47 selisih tersebut kemudian dapat dirata – ratakan mendapatkan selisih rata – rata sebesar 1,61 dB. Hasil ini memenuhi kreteria nilai minimum dari nilai teori pada Sub bab 4.1 pada BER 10-2 baik dilihat dari nilai ditabel dan nilai rata – ratanya.
Return link Tabel 4.26 S ( C/No ) antara perhitungan dengan teori
Banda Aceh Banda aceh 1,26 Jakarta 1,25 Marauke 1,08
Jakarta Marauke 1,23 0,85 1,22 0,84 1,05 0,69
margin rata – rata = 1,05 Pada tabel 4.26 merupakan hasil dari selisih antara perhitungan dengan teori yang telah dihitung sebelumnya pada Sub bab 4.1 pada BER 10-2. hasil selisih tersebut kemudian dapat dirata – ratakan mendapatkan selisih rata – rata sebesar 1,05 dB. Hasil ini memenuhi kreteria nilai minimum dari nilai teori pada Sub bab 4.1 pada BER 10-2 baik dilihat dari nilai ditabel dan nilai rata – ratanya.
Terminal genggam ke terminal genggam Tabel 4.27 S ( C/No ) antara perhitungan dengan teori
Banda Aceh Banda aceh 0,41 Jakarta 0,39 Marauke 0,20
Jakarta Marauke 0,38 0,07 0,37 0,05 0,17 0,13
margin rata – rata = 0,24
Pada tabel 4.27 merupakan hasil dari selisih antara perhitungan dengan teori yang telah dihitung sebelumnya pada Sub bab 4.1 pada BER 10-2. hasil selisih tersebut kemudian dapat dirata – ratakan mendapatkan selisih rata – rata sebesar 0,24 dB. Hasil ini memenuhi kreteria nilai minimum dari nilai teori pada Sub bab 4.1 pada BER 10-2 baik dilihat dari nilai ditabel dan nilai rata – ratanya.
48 Untuk posisi satelit pada 119o BT Forward Link Tabel 4.28S ( C/No ) antara perhitungan dengan teori
Banda Aceh Banda aceh 1,84 Jakarta 1,90 Marauke 1,85
Jakarta Marauke 2,11 1,87 2,19 1,90 2,13 1,89
margin rata – rata = 1,96 Return link Tabel 4.29 S ( C/No ) antara perhitungan dengan teori
Banda Aceh Banda aceh 1,10 Jakarta 1,13 Marauke 1,10
Jakarta Marauke 1,17 1,11 1,20 1,14 1,18 1,11
margin rata – rata = 1,14 Terminal genggam ke terminal genggam Tabel 4.30 S ( C/No ) antara perhitungan dengan teori
Banda Aceh Banda aceh 0,25 Jakarta 0,29 Marauke 0,26
Jakarta Marauke 0,31 0,26 0,36 0,30 0,32 0,27
margin rata – rata = 0,29 Untuk posisi satelit pada 144o BT Forwad link Tabel 4.31 S ( C/No ) antara perhitungan dengan teori
Banda Aceh Banda aceh -1,57 Jakarta -1,50 Marauke -1,41
Jakarta Marauke 0,65 1,89 0,75 2,03 0,91 2,25
margin rata – rata = 0,44
49 return Link Tabel 4.32 S ( C/No ) antara perhitungan dengan teori
Banda Aceh Banda aceh 0,57 Jakarta 0,68 Marauke 0,79
Jakarta Marauke 0,74 0,99 0,85 1,12 0,97 1,24
margin rata – rata = 0,88 Terminal genggam keterminal genggam Tabel 4.33 S ( C/No ) antara perhitungan dengan teori
Banda Aceh Banda aceh -0,20 Jakarta -0,11 Marauke 0,02
Jakarta Marauke -0,06 0,15 0,03 0,25 0,17 0,39
margin rata – rata = 0,07 Perbandingan Dengan BER 10-3 Untuk posisi satelit pada 95o BT
Forward link Tabel 4.34 S ( C/No ) antara perhitungan dengan teori
Banda Aceh Banda aceh -0,24 Jakarta -0,26 Marauke -0,55
Jakarta Marauke -0,29 -1,85 -0,31 -1,86 -0,62 -2,06
margin rata – rata = - 0,89 Pada tabel 4.34 merupakan hasil dari selisih antara perhitungan dengan teori yang telah dihitung sebelumnya pada Sub bab 4.1 pada BER 10-3. hasil selisih tersebut kemudian dapat dirata – ratakan mendapatkan selisih rata – rata sebesar -0,89 dB. Hasil ini tidak memenuhi kreteria nilai minimum dari nilai teori pada Sub bab 4.1 pada BER 10-3 baik dilihat dari nilai ditabel dan nilai rata – ratanya
50 Return Link Tabel 4.35 S ( C/No ) antara perhitungan dengan teori
Banda Aceh Banda aceh -1,24 Jakarta -1,25 Marauke -1,42
Jakarta Marauke -1,27 -1,65 -1,28 -1,66 -1,45 -1,81
margin rata – rata = - 1,44 Pada tabel 4.35 merupakan hasil dari selisih antara perhitungan dengan teori yang telah dihitung sebelumnya pada Sub bab 4.1 pada BER 10-3. hasil selisih tersebut kemudian dapat dirata – ratakan mendapatkan selisih rata – rata sebesar -1,44 dB. Hasil ini tidak memenuhi kreteria nilai minimum dari nilai teori pada Sub bab 4.1 pada BER 10-3 baik dilihat dari nilai ditabel dan nilai rata – ratanya
Terminal genggam keterminal genggam Tabel 4.36 S ( C/No ) antara perhitungan dengan teori
Banda Aceh Banda aceh -2,09 Jakarta -2,11 Marauke -2,30
Jakarta Marauke -2,12 -2,43 -2,13 -2,45 -2,33 -1,63
margin rata – rata = - 2,17 Pada tabel 4.36 merupakan hasil dari selisih antara perhitungan dengan teori yang telah dihitung sebelumnya pada Sub bab 4.1 pada BER 10-3. hasil selisih tersebut kemudian dapat dirata – ratakan mendapatkan selisih rata – rata sebesar -2,17 dB. Hasil ini tidak memenuhi kreteria nilai minimum dari nilai teori pada Sub bab 4.1 pada BER 10-3 baik dilihat dari nilai ditabel dan nilai rata – ratanya
51 Untuk posisi satelit pada 119o BT Forward link Tabel 4.37 S ( C/No ) antara perhitungan dengan teori
Banda Aceh Banda aceh -0,66 Jakarta -0,60 Marauke -0,65
Jakarta Marauke -0,39 -0,63 -0,31 -0,60 -0,37 -0,61
margin rata – rata = - 0,53 Return link Tabel 4.38 S ( C/No ) antara perhitungan dengan teori
Banda Aceh Banda aceh -1,40 Jakarta -1,37 Marauke -1,40
Jakarta Marauke -1,33 -1,39 -1,30 -1,36 -1,32 -1,39
margin rata – rata = -1,36 Terminal genggam keterminal genggam Tabel 4.39 S ( C/No ) antara perhitungan dengan teori
Banda Aceh Banda aceh -2,25 Jakarta -2,21 Marauke -2,24
Jakarta Marauke -2,19 -2,24 -2,14 -2,20 -2,18 -2,23
margin rata – rata = - 2,21 Untuk Posisi satelit pada 144o BT Forward link Tabel 4.40 S ( C/No ) antara perhitungan dengan teori
Banda Aceh Banda aceh -4,07 Jakarta -4,00 Marauke -3,91
Jakarta Marauke -1,85 -0,61 -1,75 -0,47 -1,59 -0,25
margin rata – rata = - 2,05
52 Return link Tabel 4.41 S ( C/No ) antara perhitungan dengan teori
Banda Aceh Banda aceh -1,93 Jakarta -1,82 Marauke -1,71
Jakarta Marauke -1,76 -1,51 -1,65 -1,38 -1,53 -1,26
margin rata – rata = - 1,62 Terminal genggam keterminal genggam Tabel 4.42 S ( C/No ) antara perhitungan dengan teori
Banda Aceh Banda aceh -2,70 Jakarta -2,61 Marauke -2,48
Jakarta Marauke -2,56 -2,35 -2,47 -2,25 -2,36 -2,11
margin rata – rata = - 2,43 4.4.3 Analisa Kelayakan Link Dari hasil analisa diatas baik pada BER 10-2, dan BER10-3, serta penempatan dari 3 posisi orbit satelit dapat disederhanakan pada tabel berikut ini. Tabel 4.43 Selisih C/No rata – rata pada BER 10-2 dan BER 10-3 serta posisi orbit Selisih C/No rata rata (dB)
BER 10-2
BER 10-3
Orbit 95o Orbit 119o Orbit 144o Orbit 95o Orbit 119o Orbit 144o
Forward link
1,61
1,96
0,44
-0,89
-0,53
-2,05
Return link
1,05
1,14
0,88
-1,44
-1,36
-1,62
Terminal ke terminal
0,24
0,29
0,07
-2,17
-2,21
-2,43
Berdasarkan tabel 4.43 untuk BER 10-2 pada posisi orbit 95o mendapatkan margin rata – rata diatas nilai minimum dari teori pada Sub bab 4.1. sebesar 1,61 dB untuk forward link, 1,05 dB untuk return link, dan 0,24 dB untuk terminal ke terminal. Sehingga memenuhi standar komunikasi baik dilihat secara Forward link, Return link, dan terminal ke termninal. Pada posisi orbit 119o dari tabel diatas terlihat margin rata – rata
yang lebih besar dari posisi orbit di 95o.
sedangkan posisi orbit di 144o terdapat margin yang lebih kecil dari posisi 95o akan tetapi masih memenuhi standar teori yang dihitung pada Sub bab 4.1.
53 Pada BER 10-3 jika dilihat dari tabel 4.43 diatas dengan margin rata – rata yang ditandai minus memeliki kecenderungan yang masih dibawah dari nilai minimum pada perhitungan teori di Sub bab 4.1. Pada posisi orbit 95o, 119o, dan 144o terdapat kekurangan C/No dari nilai minimum teori pada Sub bab 4.1 di semua link. Maka untuk Posisi satelit yang cocok dan layak digunakan pada sistem komunikasi ini adalah pada posisi satelit di orbit 119o dengan BER 10-2. Karena pada posisi tersebut memiliki C/No yang lebih besar dari posisi satelit lainnya. Alasan diambil C/No yang terbesar karena untuk mengantisipasi jika terjadi hal – hal yang menyebabkan berkurangnya C/No akibat faktor lain di luar dari faktor perhitungan – perhitungan diatas. Sehingga jika terjadi penurunan C/No tersebut masih diatas atau setara dari nilai C/No yang di perhitungkan secara teori pada Sub bab 4.1. Sedangkan pada BER 10-3 tidak layak digunakan karena memiliki kekurangan C/No dari nilai C/No minimum yang terdapat pada Sub bab 4.1
54
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan
1. Penentuan
posisi
sangat
mempengaruhi
kerja
sistem
karena
berpengaruh pada jarak terminal dibumi dan satelit, selain juga mempengaruhi C/No jaringan pada posisi satelit terhadap daerah tangkapan sinyal
2. Hasil perhitungan C/No diatas dapat diambil kesimpulan bahwa posisi satelit yang paling baik adalah pada posisi 119o BT. Karena memenuhi kreteria nilai maksimum sebesar 44,06 dB untuk Forward link, 43,24 dB untuk Return link, dan 42,39 dB untuk terminal ke terminal dari posisi satelit yang lain. Selain itu posisi 119o BT memenuhi kreteria nilai minimum dari perhitungan C/No
teori pada sub Bab 4.1 sebesar 42,1 dB
pada BER 10-2. Sehingga didapat margin yang
paling besar jika nilai C/No yang didapat dikurangi dengan nilai dari perhitungan teori. Adapun marginya sebesar 1,96 dB untuk Forward link, 1,14 dB untuk Return link, dan 0,29 dB untuk terminal ke terminal.
3. Jika pada BER yang didapat sampai dengan batas toleransi sebesar 10-2 dari hasil perhitunga pada kesimpulan yang kedua diatas maka sistem komunikasi bergerak berbasis satelit dapat di implementasikan di wilayah Indonesia.
55 5.1
Saran Untuk mendapatkan hasil yang akurat dan lebih teliti baik C/No, maka
faktor – faktor yang tidak diperhitungkan seperti faktor variasi terminal aktivitas / pergerakan terminal dan kontrol daya disarankan dapat diperhitungkan. Sedangkan untuk mendapatkan hasil posisi satelit yang lebih akurat dan baik maka disarankan perhitungan orbit satelit dapat dilakukan dengan interval 2o dari posisi orbit yang satu dengan posisi orbit yang lainnya dan perhitungan daerah tangkapan sinyal dapat diperbanyak. Tentu hal ini akan memakan waktu dan lebih komplek jika dilakukan perhitungan secara manual, akan lebih baik disarankan dilakukan perhitungan secara terprogram dalam komputerisasi.
56
DAFTAR PUSTAKA 1. T.L.H. Simanjuntak, “Sistem Komunikasi Satelit”, Alumni, 2004. 2. Partt, Timothy, and Bostian Charles W., “ Satellite Communications”, John Wiley & Sons, 1986. 3. Roddy, Coolen,”Electronic Communications”, Prentice Hall International Editions, 4. Dr.K.Miya, “ Satellite Communications Engineering, Lattice Company Ltd, 1975