ALGORITMA GENETIKA UNTUK MANAJEMEN TRANSPONDER SATELIT KOMUNIKASI
Yantito Simanjuntak
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
RINGKASAN
Tesis ini mengkaji
penggunaan algoritma genetika untuk me -manage
transponder satelit komunikasi digital supaya kapasitasnya optimal. Penggunaan algoritma genetika didasarkan pada keunggulannya dibanding dengan metode konvensional lainnya di da lam pencarian nilai optimal. Tantangan lainnya adalah untuk digunakan dalam optimisasi transponder satelit komunikasi yang dimiliki oleh suatu operator satelit . Parameter-parameter sistem komunikasi satelit yang paling berpengaruh adalah parameter satelit itu sendiri dan karakteristik stasiun bumi. Dalam tesis ini, parameter satelit meliputi bandwidth, saturated flux density, linearitas amplifier dan gainflatness sedangkan karakteristik stasiun bumi meliputi diameter antena, daya transmit, modulasi, forward error correction rate serta pengaruh redaman sepanjang jalur uplink maupun downlink. Optimisasi dilakukan terhadap satu transponder. Besaran yang dioptimalkan adalah data rate kumulatif yang dilewatkan melalui transponder tersebut melalui beberapa car rier dengan memilih jenis modulasi, forward error corection, diameter antena, daya pancar stasiun bumi. Optimisasi menggunakan algoritma genetika dengan struktur data float (Real). Masukan dibangkitkan secara acak pada tahapan inisialisasi berupa matriks MxN, dimana M adalah jumlah individu (calon solusi) sedangkan N adalah deretan datarate sejumlah carrier yang diinginkan.
i
Kriteria pemberhentian proses iterasi algoritma genetika yang digunakan adalah batasan jumlah generasi. Dari beberapa optimisasi yang dilakukan, diketahui bahwa jumlah generasi yang dibutuhkan untuk mencapai konvergensi ternyata bervariasi. Pengukuran kompleksitas sistem dilakukan dengan mengukur waktu yang dibutuhkan untuk mengeksekusi setiap generasi. Hasil pengukuran menunjukkan kompleksitas sistem adalah T(n) = O(n). Sistem yang dikembangkan bisa membuktikan adanya pengaruh negatif dari gain flatness yang tidak sempurna. Untuk SSPA yang ditinjau pengaruh tersebut terlihat dari pengurangan 1.71% dari kapasitas maksimum dengan karakteristik gain SSPA yang ideal. Dibandingkan dengan metode konvensional yang digunakan selama ini menunjukkan bahwa algoritma ge netika yang digunakan mampu mendapatkan kapasitas yang lebih tinggi 8.88%. Pengembangan lebih lanjut dari penelitian ini disarankan untuk meneliti pengaruh antena yang bervariasi dalam satu transponder. Disamping itu juga bisa dikembangkan dari sisi variasi BER untuk masing-masing layanan komunikasi. Di sisi pengembangan
algoritma
genetika
untuk
domain
yang
sama,
disarankan
mengembangkan algoritma genetika dengan metode terminasi yang lainnya.
ii
ABSTRACT YANTITO SIMANJUNTAK. Genetic Algorithm for Satellite Communication’s Transponder Management. Supervised by MARIMIN and TONDA PRIYANTO.
The aim of the research was to develop an optimization model, which is able to optimize transponder capacity based on their parameters, namely: gain flatness, bandwidth, linearity of amplifier, power flux density and characteristic of ground segment. The characteristic as a function of antenna diameter, power transmit, modulation, and forward error correction code rate. The genetic algorithm optimizer have been developed, was able to find 8.88% higher cumulative data rate (capacity) than conventional one. Also, it can prove that the impact of gain flatness is reducing (1.71%) the capacity of transponder. This system needs a uniform antenna diameter of earth stations. The larger antenna of earth station, the higher capacity of transponder. For coming research, it is suggested to design a system that has an un-uniform diameter antenna of earth station, and to optimize the power of transmitter and figure of merit to support the optimal transponder capacity.
Keywords: bandwidth, optimization, power flux density, antenna diameter, gain flatness and modulation.
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kasih atas berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penelitian ini dengan judul “ALGORITMA GENETIKA UNTUK MANAJEMEN TRANSPONDER SATELIT KOMUNIKASI”. Tugas penelitian dibuat untuk memenuhi salah satu persyaratan penyelesaian studi pada Program Studi Ilmu Komputer, Sekolah Pascasarjana IPB. Tugas penelitian ini dapat terselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc. dan Bapak Tonda Priyanto C.Eng,M.Sc.,MIEE., selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis. 2. Para Dosen Penguji yang meluangkan waktu untuk menguji materi yang dibahas dalam tulisan ini. 3. Staf pengajar dan karyawan di Program Studi Ilmu Komputer, Sekolah Pascasarjana IPB. 4. Rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan banyak masukan dan saran. 5. Istri tercinta Mariani Pangaribuan S.Si. dan seluruh keluarga atas dukungan moral dan spiritual. 6. Semua pihak yang membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Akhir kata semoga tulisan ini dapat memperkaya khasanah dunia penelitian dilingkungan civitas akademia IPB khususnya, dan Indonesia umumnya. Bogor, Nopember 2005
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sigumpar Kabupaten Tobasa, Sumatera Utara pada tanggal 24 Januari 1971 sebagai anak keenam dari 8 bersaudara dari ayah bernama A. Simanjuntak dan ibu D. Hutabarat. Pendidikan sekolah dasar hingga menengah pertama ditempuh di Sigumpar, dan pendidikan menengah atas ditempuh di SMA negeri Laguboti, Sumatera Utara. Pendidikan sarjana ditempuh di STT Telkom Bandung Jurusan Teknik Elektro lulus 1996. Sejak Tahun 1996 sampai dengan sekarang menjadi karyawan tetap di PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. Pada tahun 2002 menempuh pendidikan lanjutan Sekolah Pascasarjana , Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Komputer.
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: ALGORITMA GENETIKA UNTUK MANAJEMEN TRANSPONDER SATELIT KOMUNIKASI
Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan arahan Komisi Pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar atau capaian akademik lainnya pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, November 2005 Yang membuat Pernyataan
YANTITO SIMANJUNTAK
i
Judul Tesis
: Algoritma Genetika Untuk Manajemen Transponder Satelit Komunikasi
Nama
: Yantito Simanjuntak
NRP
: G 651020124
Program Studi
: Ilmu Komputer
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc. Ketua
Tonda Priyanto M.Sc., C.Eng, MIEE. Anggota
Mengetahui, 2. Ketua Program Studi
Ir.Agus Buono, M.Si., M.Komp.
Tanggal Ujian: 19 Nopember 2005
3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof.Dr.Ir.Sjafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Lulus:
ALGORITMA GENETIKA UNTUK MANAJEMEN TRANSPONDER SATELIT KOMUNIKASI
Yantito Simanjuntak
Tesis Sebuah karya ilmiah Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Komputer
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
v
I. PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
1
1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian
4
1.3 Ruang Lingkup
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
6
2.1 SISTEM KOMUNIKASI SATELIT
6
2.1.1 Input/Output
7
2.1.2 Multiplexer/Demultiplexer
7
2.1.3 Modula si/Demodulasi
8
2.1.4 Up Converter dan Down Converter
8
2.1.5 HPA dan LNB
8
2.1.6 Link Satelit
8
2.1.7 Satelit sebagai Repeater
11
2.1.7.1 Linearitas TWTA atau SSPA
13
2.1.7.2 Gainflatness SSPA
14
2.2 ALGORITMA GENETIKA
22
2.2.1 Terminologi dan Defenisi
22
2.2.2 Posisi Algoritma Genetika dalam Teknik Pencarian
26
2.2.3 Operator Genetik pada String Biner
27
1. Seleksi
27
2. Crossover
29
3. Mutasi
30
2.2.4 Operator Genetik pada string float
33
2.2.5 Fungsi Objektif dan Fungsi Fitness
35
2.2.6 Terminasi GA
36
III. METODOLOGI
38
3.1 Kerangka Pemikiran
38
3.2 Tata Laksana
40 i
3.3 Penentuan Parameter GA
42
3.4 Pengukuran Kinerja Sistem
43
3.5 Disain Jar ingan Komunikasi Satelit
44
IV. PERANCANGAN SISTEM
45
4.1 Rancangan Sistem
45
4.2 Masukan
50
4.3 Proses Optimisasi
53
4.4 Keluaran
56
4.5 Kompleksitas Sistem
58
V. PERBANDINGAN KINERJA SISTEM
59
5.1 Penentuan Parameter GA
60
5.2 Pengaruh Gain flatness
62
5.3 Kinerja Transponder dengan Konvensional
63
5.4 Kinerja Tranponder dengan GA Proses 1 dan GA Proses 2
64
5.5 Perbandingan Kinerja Konvensional, GA Proses 1 dan GA Proses 2
64
5.6 Konvergensi Sistem
65
VI. IMPLIKASI KEBIJAKAN MANAJEMEN TRANSPONDER DAN PERANAN SATELIT KOMUNIKASI DALAM BIDANG PERTANIAN 6.1 Implikasi Kebijakan Manajemen Transponder
68 68
6.1.1 Perancangan Jaringan Komunikasi Satelit Hasil Optimisasi
69
6.1.2 Perancangan Jaringan Komunikasi untuk Transponder Lain
71
6.2 Peranan Komunikasi Satelit dalam Pertanian Indonesia
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
73
75
7.1 Kesimpulan
78
7.2 Saran
79
DAFTAR PUSTAKA
80
LAMPIRAN
82
1. Spesifikasi, Instalasi dan Prosedur Pengoperasian Program
83
ii
2. Hasil-hasil Optimisasi
89
3. Listing Program Algoritma Genetika Untuk Manajemen Transponder Satelit Komunikasi
111
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Probabilitas bit error untuk masing-masing metode modulasi
17
2
Efisiensi Bandwidth untuk masing-masing metode komunikasi
18
3
Kaitan genetik alami dengan Genetic Algorithm
22
4
Rekayasa GAOT
40
5
Fungsi-fungsi yang digunakan dalam sistem GA untuk manajemen transponder
47
6
Kompleksitas sistem GA untuk manajemen transponder
58
7
Penentuan Daya Pancar Antena
60
8
Proses mencari jumlah individu dalam satu populasi dengan Proses 1
61
9
Proses mencari jumlah individu dalam satu populasi dengan Proses 2
61
10
Proses mencari jumlah genotif
62
11
Kapasitas transponder dengan dan tanpa gainflatness
63
12
Pengaruh Gain flatness
63
13
Kinerja Transponder dengan Konvensional
63
14
Kinerja Transponder dengan GA Proses 1 dan GA Proses 2
64
15
Konvergensi Sistem
66
16
Perencanaan ja ringan komunikasi satelit
70
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Probabilitas bit error untuk masing-masing metode modulasi
17
2
Efisiensi Bandwidth untuk masing-masing metode komunikasi
18
3
Kaitan genetik alami dengan Genetic Algorithm
22
4
Rekayasa GAOT
40
5
Fungsi-fungsi yang digunakan dalam sistem GA untuk manajemen transponder
47
6
Kompleksitas sistem GA untuk manajemen transponder
58
7
Penentuan Daya Pancar Antena
60
8
Proses mencari jumlah individu dalam satu populasi dengan Proses 1
61
9
Proses mencari jumlah individu dalam satu populasi dengan Proses 2
61
10
Proses mencari jumlah genotif
62
11
Kapasitas transponder dengan dan tanpa gainflatness
63
12
Pengaruh Gain flatness
63
13
Kinerja Transponder dengan Konvensional
63
14
Kinerja Transponder dengan GA Proses 1 dan GA Proses 2
64
15
Konvergensi Sistem
66
16
Perencanaan ja ringan komunikasi satelit
70
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Sistem Komunikasi Satelit
7
2
Link Komunikasi Satelit
9
3
Transponder
12
4
Frekuensi plan satelit komunikasi C-band
13
5
Karakteristik amplifier SSPA/TWTA
14
6
Gain flatness SSPA
15
7
Hubungan C/N dengan Probabilitas Error
17
8
Bandwidth dan Performansi
19
9
Hubungan Eb/No dengan BER
21
10
Network Management
22
11
Klasifikasi Teknik Pencarian
27
12
Representasi Grafik roda roulette
29
13
Crossover satu titik pada string biner
30
14
Blok diagram kerangka pemikiran
40
15
GA hasil download
42
16
Rancangan algoritma genetika untuk manajemen transponder
45
17
Diagram alir pengujian tiap allele
46
18
Gain flatness SSPA transponder Satelit Telkom-1
49
19
Input data
51
20
Penyesuaian gain flatness
52
v
21
Penyesuaian carrier dan batasan datarate
52
22
Penyesuaian Kriteria terminasi
53
23
Proses Optimisasi
53
24
Proses Iterasi
55
25
Keluaran Sis tem
56
26
Grafik Konvergensi
57
27
Kompleksitas Sistem
58
28
Perbandingan Kinerja Sistem
65
29
Konvergensi GA untuk manajemen transponder
66
30
Sistem Informasi Pertanian
74
31
Komunikasi satelit untuk mendukung sistem informasi pertanian
75
32
Kewajiban pelayanan universal
77
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Spesifikasi, Instalasi dan Prosedur Pengoperasian Program
80
2
Hasil- hasil Optimisasi
89
3
Listing Program Algoritma Genetika Untuk Manajemen Transponder Satelit Komunikasi
111
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Peranan satelit komunikasi sangat strategis untuk Indonesia yang terbentang luas dan terdiri dari puluhan ribu pulau,
karena dengan satu satelit seluruh wilayah
Indonesia bisa tercakup kedalam suatu layanan komunikasi. Harus diakui bahwa untuk kualitas dan kapasitas kanal komunikasi tertentu (sama) tenyata biaya yang dibebankan pada pengguna infrastruktur komunikasi satelit relatif lebih mahal dibanding dengan terestrial, akan tetapi faktanya terlihat bahwa densitas infrastruktur telekomunikasi terestrial di Indonesia sangat terkonsentrasi pada kota -kota besar.
Hal ini
mengakibatkan daerah-daerah hutan, laut, kota-kota kecil, dan lain sebagainya tidak terjangkau oleh komunikasi via terestrial. Akibatnya potensi dan seluruh aktifitas di daerah tersebut akan sulit dipantau oleh aparat pemerintah. Misalkan suatu saat Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, Departemen Pendidikan, dan/atau Departemen Kelautan menyewa satu transponder dari salah satu provider komunikasi satelit dan transponder tersebut digunakan dalam rangka memperlancar komunikasi antar petugas yang terkait dan juga untuk memberikan pelayanan informasi kepada masyarakat luas baik secara broadcast maupun end to end. Dalam hal ini optimisasi transponder menjadi hal yang penting, karena dengan mengoperasikan transponder secara optimal maka link (jalur komunikasi) yang diperoleh akan semakin banyak. Implikasinya adalah bahwa akan semakin banyak daerah Indonesia yang bisa terjangkau layanan komunikasi.
2
Satelit memiliki beberapa transponder yang menyediakan power dan bandwidth tertentu untuk digunakan sebagai kanal-kanal komunikasi. Ukuran kanal-kanal tergantung jenis komunikasi dan bit rate yang digunakan. Bandwidth (BW) dan power yang tersedia sangatlah terbatas, tergantung pada disain awal pembuatan satelit. Investasi yang dibutuhkan untuk meluncurkan satelit yang baru sangat mahal (ratusan juta US$). Oleh karena itu penggunaan bandwidth dan power harus dimanage sedemikian rupa supaya mencapai hasil yang seoptimal mungkin. Untuk membawa informasi dari stasiun bumi pengirim ke stasiun bumi penerima melalui media transmisi satelit diperlukan sinyal carrier dengan frekuensi tertentu (GHz). Kualitas sinyal carrier yang dipancarkan dari stasiun bumi pengirim ke stasiun bumi penerima diukur dalam daya carrier per noise (C/N) (T.Ha, 1986). Di stasiun bumi penerima akan diperoleh nilai Energi bit per Noise (Eb/No) yang sangat berkaitan dengan Bit Error Rate (BER). Semakin besar Eb/No semakin kecil BER dan sebaliknya. Eb/No d i-adjust dengan
menaikkan atau menurunkan daya pancar (watt) disisi
pengirim (transmitter). Penggunaan transponder satelit komunikasi oleh operator dilakukan berdasarkan batasan power dan bandwidth, yang mana masih dihitung secara konvensional dengan menggunakan Excel. Sistem konvensional menghasilkan jumlah carrier tertentu dengan modulasi, forward error correction rate, dan datarate yang seragam. Sistem ini juga tidak memperhitungkan adanya pengaruh gain flatness dimana gain flatness ini merupakan respon gain amplifier terhadap frekuensi yang digunakan. Selain itu cara lain yang digunakan yakni dengan memasang antena stasiun bumi, modem dan lain sebagainya kemudian menyesuaikan parameter-parameter hingga diperoleh kualitas link yang diinginkan. Pola semacam ini sering mengakibatkan
3
transponder tidak optimal, yakni suatu transponder belum terisi penuh tetapi ternyata tidak bisa melayani jaringan komunikasi yang baru. Di era Information Communication Technology (ICT) sekarang ini, telah banyak berkembang metode optimasi yang sangat membantu para ahli dalam melakukan optimisasi dibidangnya masing- masing, demikian juga di dunia telekomunikasi. Neural network dan simulated annealing telah dicoba untuk menyelesaikan permasalahan penentuan kanal pada komunikasi seluler bergerak, tetapi ternyata terdapat kelemahan-kelemahan yaitu, bahwa neural network lebih memberi nilai optimum lokal dibanding nilai optimum global. Sedangkan kelemahan simulated annealing yang merupakan algoritma stokastik yang akan menghasilkan solusi optimal, tetapi butuh waktu yang cukup lama untuk mendapatkan solusi optimal tersebut (Jae Soo-Kim, et al.,2003). Penelitian yang membahas penentuan kanal yang optimal (channel assignment) dengan menggunakan algoritma genetika sudah banyak dilakukan. Sebagai contoh pada lingkungan mobile satellite (Asvial. 2003) menjelaskan penyediaan kanal dengan solusi optimum pada batasan-batasan interferensi. Contoh lain dilingkungan transponder satelit komunikasi adalah metode perencanaan frekuensi pada transponder dalam jaringan komunikasi satelit (Gwang, et al., 1997) yang mempertimbangkan fakta bahwa efek interferensi pada sinyal baseband bergantung pada skema sistem transmisinya. Penelitian ini membahas pengoptimalan transponder satelit komunikasi dengan menggunakan algoritma genetika. Alasan menggunakan algoritma genetika adalah karena algoritma tersebut memiliki keunggulan-keunggulan dibanding dengan metode konvensional lainnya Terdapat empat perbedaan yang signifikan antara genetic algorithm (GA) dengan teknik pencarian konvensional (Goldberg,1989), yaitu:
4
•
GA memanipulasi kode parameter-parameter dari kasus yang diangkat dibanding parameter itu sendiri.
•
Hampir semua metode konvensional melakukan pencarian dari titik tunggal, sedangkan GA selalu beroperasi pada keseluruhan titik-titik populasi (strings).
•
GA tidak membutuhkan tambahan informasi mengenai nilai fungsi objektif seperti fungsi turunannya.
•
GA menggunakan operator transisi probabilistik, sementara metode konvensional menggunakan operator deterministik.
Tahapan di dalam penelitian ini ada dua langkah, yaitu mendefenisikan parameter yang relevan dengan jaringan sistem komunikasi satelit, kemudian menentukan kanal-kanal sedemikian rupa sehingga output suatu transponder bisa optimal. Hasil ini diukur dari jumlah data rate yang boleh dilewatkan oleh transponder (kapasitas transponder), dan dibandingkan dengan hasil yang diperoleh secara konvensional.
1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk optimisasi penggunaan transpo nder satelit komunikasi dengan memanfaatkan algoritma genetika. Tujuan khusus penelitian ini adalah: •
Mengidentifikasi pengaruh gainflatness terhadap nilai optimum.
•
Mencari jumlah datarate optimum yang boleh dilalukan oleh suatu transponder.
•
Mengidentifikasi pengaruh diameter antena stasiun bumi pengirim maupun penerima terhadap kapasitas optimal.
5
•
Menentukan modulasi, forward error correction (FEC), Power, BW, Frekuensi uplink yang menghasilkan kapasitas optimal.
•
Disain jaringan komunikasi satelit berdasarkan kapasitas optimal yang diperoleh.
Manfaat penelitian ini adalah untuk membantu perancangan jaringan komunikasi satelit sehingga kinerja penggunaan transponder dapat dioptimalkan.
1.3 Ruang Lingkup Penelitian mengenai algoritma genetika yang digunaka n untuk melakukan optimisasi terhadap suatu transponder satelit komunikasi difokuskan pada: 1. Mengkaji salah satu transponder Satelit Telkom-1 yang terletak pada Geosynchronous Earth Orbit (GEO). 2. Transponder tersebut dianggap masih kosong, dan dirancang untuk menyediakan beberapa kanal komunikasi digital dengan bandwidth tertentu dengan datarate total yang dilewatkan adalah optimum. 3. Algoritma yang digunakan untuk optimisasi adalah Genetic Algorithm (GA) yang diperoleh dari internet dengan alamat http://
www.ie.ncsu.edu/mirage/GAToolBox/gaot/
4. Rekayasa GA toolbox dari Matlab agar sesuai dengan domain kasus yang diteliti.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Komunikasi Satelit Sistem komunikasi satelit adalah suatu sistem yang menghubungkan komunikasi dari suatu titik dengan titik lainnya pada permukaan bumi dengan memanfaatkan suatu sinyal frekuensi radio (GHz) dan satelit sebaga i pengulang (repeater) dan sekaligus sebagai penguat sinyal tersebut. Frekuensi ini disebut dengan frekuensi pembawa (carrier) yang dipandang sebagai kanal komunikasi. Sistem komunikasi satelit terdiri dari space segment (satelit) dan ground segment (stasiun bumi). Satelit yang berada pada geostasioner (36000 km dari permukaan bumi) mampu melingkupi/mencakup sepertiga dari luas bumi. Dengan keunggulan ini, maka satelit sangat efektif untuk digunakan di Indonesia dengan pertimbangan bahwa daerah geografis Indonesia yang sangat luas. Satelit terdiri dari antena penerima, antena pengirim, low noise amplifier (LNA), frequency converter, dan High Power Amplifier (HPA). Stasiun bumi (SB) pengirim memancarkan sinyal ke antenna penerima satelit (sinyal uplink). Sinyal tersebut di-down konversikan, diteruskan ke HPA, dan kemudian ditransmisikan kembali ke SB penerima (sinyal downlink) melalui antena pengirim satelit. Dalam komuniksi dua arah, SB penerima berfungsi juga sebagai SB pengirim. Biasanya tidak ada perubahan yang terjadi pada sinyal, kecuali amplifikasi untuk mengatasi path loss (Gambar 2.1) yang besar serta konversi antar frekuensi uplink dan downlink (T.Ha. 1986).
Secara umum sistem komunikasi dapat dilihat seperti pada gambar 2.1 di bawah ini.
7
2.1.1 Input dan Output Input dan output dapat dikelompokkan ke dalam suara (voice), data dan gambar (image ). Pada gambar 2.1. terlihat bahwa kelompok input sudah terlebih dahulu mengalami digitalisasi, dan outputnya juga dalam bentuk digital.
2.1.2 Multiplexer dan Demultiplexer Multiplexer berfungsi untuk memultiplex (menggabungkan) beberapa input sinyal kedalam suatu keluaran (output) tertentu. Demultiplexer berfungsi untuk mendapatkan kembali input-input sinyal semula.
Gbr 2.1. Sistem Komunikasi Satelit
8
2.1.3
Modulasi dan Demodulasi Modulasi adalah proses translasi sinyal baseband ke sinyal frekuensi intermediate
dimana frekuensinya tinggi dibanding dengan frekuensi baseband. Demodulasi adalah proses ekstraksi baseband kembali dari sinyal frekuensi intermediate . 2.1.4
Upconverter dan Downconverter Upconverter berfungsi untuk mengubah sinyal frekuensi intermediate menjadi
frekuensi radio (GHz). Sedangkan downconverter berfungsi untuk mengembalikan sinyal radio ke sinyal frekuensi intermedia te. 2.1.5 HPA dan LNB HPA (High Power Amplifier ) berfungsi untuk memperbesar daya sinyal yang akan dipancarkan ke satelit. Sedangkan LNB (Low Noise Block ) berfungsi untuk menerima sinyal dari satelit dengan menekan noise sekecil mungkin dan melakukan penguatan pada sinyal tersebut. 2.1.6
Link Satelit (Uplink/Downlink) Link antara ground segment dengan space segement dapat dilihat pada gambar 2.2.
Link yang menghubungkan antar stasiun bumi didisain untuk menyediakan kapasitas tertentu dengan minimal kualitasnya adalah pada level minimum yang diperbolehkan.
Gambar 2.2. Link Komunikasi Satelit
9
Cara konvensional untuk menentukan perilaku link yang menggunakan transponder adalah dengan menggunakan carrier to noise ratio (C/N). Rasio C/N menggambarkan perbedaan (dalam decibel, dB) antara daya sinyal yang diinginkan dengan daya noise yang tidak diinginkan pada penerima. C/N juga mengindikasikan kualitas sinyal transmisi digital maupun analog. Dalam sistem komunikasi satelit penghitungan C/N biasanya disebut dengan link budget (Pratt. 1986). Perhitungan C/N dalam decibel dapat dilihat sbb:
C N
= ( Pt + Gt + G r − L p − A) − (k + T n + B ) − Loss _ lainnya
[dB]
(2.1)
dB
dimana: Pt = daya transmit [dBW] Gt = gain antena pengirim [d B] yang merupakan fungsi dari frekuens i uplink dan diameter antena pengirim (lihat persamaan (2.3)). Gr =gain penerimaan antena [dB] yang merupakan fungsi dari frekuensi downlink dan diameter antena penerima. L p = rugi-rugi jalur (path loss) = 10 log (
4πR 2 ) [dB] λ
atau LP = 92 .45 + 20 Log ( f UL ) + 20 Log (36000 ) [dB] untuk uplink dan
LP = 92.45 + 20Log( f DL ) + 20Log(36000) [dB] untuk downlink. dimana
f
DL
=
f
UL
− 2 .225 [ GHz].
λ = panjang gelombang sinyal [m] R = jarak transmisi [m] A = Redaman hujan [dB] k = Konstanta Boltzman = 1. 39 × 10 −23 J / K = -228.6 dBW/K/Hz
(2.2)
10
Tn = Suhu noise [dBK] B = Bandwidth noise yang mana daya noise diukur [dBHz] Loss lain = seperti rugi- rugi pointing antena, rugi-rugi karena gas atmosfer, back-off amplifier daya, link margin , margin implementasi, gain flatness [dB] Uplink adalah sinyal yang dipancarkan dari stasiun bumi pengirim ke satelit, dan downlink merupakan sinyal yang dipanca rkan dari satelit ke stasiun bumi, seperti gambar 2.2. Sinyal yang diterima jauh lebih lemah dibanding dengan sinyal transmit karena sinyal melewati jalur sepanjang angkasa. Path loss, bergantung pada jarak antara transmitter dan receiver, dan frekuensi operasi (persamaan (2.2)). Jumlah Pt dan Gt dalam decibel dinyatakan sebagai Effective Isotropic Radiated Power (EIRP). International Telecommunication Unit (ITU) dan Federal Communication Commissions (FCC) telah menetapkan batasan EIRP dalam komunikasi satelit. (Instruktur. 2001). Penguatan (gain) antena penerima dan pengirim merupakan kuantitas yang tidak mempunyai satuan. Gain(G) ini merupakan rasio antara daya yang diradiasikan (atau diterima) oleh antena dengan power yang diradiasikan (atau diterima) oleh suatu antena isotropic. Apabila ukuran antena diketahui, maka gain nya dapat ditentukan dengan: G=
4πAe λ
2
=
4π (η A Ar ) λ2
dimana: Ae = luas efektif antenna [m 2 ] Ar = luas fisik antenna [ m 2 ]
ηA = efisiensi antenna
(2.3)
11
Power gain antena dalam ekspresi decibel adalah: GdB = 10 x log 10 (G)
(2.4)
[dB ]
Perbandingan Gain-to-Noise Temperature, G/T sering disebut “figure of merit” sistem penerimaan sinyal radio (pers. 2.5). G/T merupakan parameter yang memberi gambaran bagi engineer tentang seberapa rendah level sinyal yang diterima sehingga sistem masih bekerja dengan baik (efektif).
G/T = G [dB] - 10 log T
(2.5)
dimana T=noise thermal antena penerima Rasio
keseluruhan
C/N
yang
mendefenisikan
performansi link
adalah dengan
menggunakan formula (2.6). Penghitungan performansi link dari ujung pengirim sampai dengan ujung penerima sering disebut dengan link budget. 1 1 1 = + (C / N )Overall (C / N ) UP (C / N ) DN
(2.6)
Jika C/N terlalu kecil, maka receiver kemungkinan tidak akan bisa mendeteksi sinyal tersebut. Semakin besar C/N maka penerimaan sinyal akan semakin baik. Dengan modulasi tertentu, C/N berkaitan langsung dengan bit error rate (BER).
2.1.7 Satelit Sebagai Repeater Satelit komunikasi berfungsi sebagai pengulang (repeater) yang memiliki beberapa transponder. Transponder adalah singkatan dari Transmitter Responder, yang berfungsi untuk merespon sinyal yang diterima dari stasiun bumi kemudian mentranslasikannya ke
12
frekuensi yang lebih rendah, melakukan penguatan kemudian mentransmisikan sinyal tersebut kembali ke stasiun bumi (Pratt. 1986).
6 GHz
4 GHz LNA
Receiving Antenna
Mixer
TWTA
Local Oscillator 2225 MHz
Transmitting Antenna
Downlink
Uplink Gambar 2.3 Transponder
Besar bandwidth yang disediakan suatu transponder bervariasi. Untuk sistem satelit GEO biasanya mempunyai bandwidth 36 MHz, 54 MHz atau 72 MHz. Satu kanal transponder bisa digunakan untuk satu atau beberapa jenis layanan komunikasi yang sama ataupun yang berbeda. Setiap layanan komunikasi ini dibawa oleh frekuensi carrier tertentu yang membentuk jaringan komunikasi satelit. Gambar di bawah menunjukkan frequency plan
salah satu satelit komunikasi
dengan kanal transponder sebanyak 24 buah pada band standard-C (frekuensi uplink = 6 GHz dan frekuensi downlink = 4 GHz). Terdapat 24 kanal dimana masing-masing mempunyai Bandwidth 40 MHz, tetapi yang digunakan untuk komunikasi masing- masing adalah 36 MHz. Guard band sebesar 4 MHz memastikan transponder tidak berinterferensi satu sama lain.
13
V = Vertical polarization H = Horizontal polarization T/M = Telemetry CMD = Command
Gambar 2.4 Frekuensi Plan Satelit Komunikasi C-Band (Pratt. 1986).
2.7.1.1 Linearitas TWTA atau SSPA Amplifier yang digunakan oleh transponder adalah TWTA (traveling wave tube amplifier) atau SSPA (Solid State Power Amplifier). Hubungan antara daya input satelit dengan daya outputnya membentuk suatu kurva amplifier. Kurva ini unik untuk setiap TWTA/SSPA dan diperoleh saat manufaktur. Daya input dan daya output biasanya dikenal dalam pernyataan BACKOFF (BO) yang dihitung dari level saturasi carrier tunggal. Agar diperoleh perhitungan output, pertama sekali harus menghitung backoff daya input dari titik saturasi dengan memperbandingkan Flux Density Carrier Uplink dengan Flux Density Saturasi (SFD) untuk transponder tertentu.
14
Power Output
Saturation point saturation power Output Back Off Agregate
Sigle Carrier Multi Carrier
aggregate power
operating power
Pi opr
Pi sat Power Input
Input Back Off Agregate
Gambar 2.5 Karakteristik amplifier SSPA/TWTA
Untuk carrier lebih dari satu (multicarrier), kurva tersebut juga agak berbeda. Gambar diatas merupakan efek konversi amplitude (AM/AM), yaitu pemetaan daya sinyal input ke dalam sinyal output dengan penguatan (gain) tertentu.
2.7.1.2 Gain Flatness SSPA Setiap transponder memiliki respon gain yang berbeda-beda untuk setiap frekuensi, sehingga membentuk gain flatness. Sebagai contoh dapat dilihat pada gambar dibawah:
15
Gambar 2.6 Gain flatness SSPA
Jika suatu carrier diletakkan pada frekuensi center 6415 MHz, maka oleh pengaruh gain flatness ini sinyal tersebut akan mengalami gain response sebesar -0,7 dB. Hal ini juga menjadi suatu parameter di dalam mendisain suatu jaringan komunikasi satelit, karena perubahan level sinyal ini akan berpengaruh terhadap jenis modulasi yang bisa digunakan.
Bit Error Rate Modulasi PSK (Phase shif keying) adalah modulasi yang umum digunakan untuk modulasi digital dalam sistem komunikasi satelit digital. Bit Error Rate (BER) digunakan sebagai parameter untuk mengukur performansi link satelit. BER berkaitan dengan probabilitas error (Pe). Probabilitas bit error dihitung dari karakteristik jenis modulasi yang digunakan dan energi per bit per noise density (E b / N 0 ) , yang dapat juga diperoleh
16
langsung dari nilai C/N. Makin besar nilai Eb / N 0 , makin kecil nilai probabilitas error bit. Untuk sistem ideal, Eb / N 0 dapat dinyatakan sebagai: E s C B n = N 0 N Rs
(2.7)
dimana: E s =energi per simbol [J] N 0 = single sided noise power spectral density [W/Hz] C = daya carrier [W] N = daya noise [W] Rs = laju (rate)simbol Bn = bandwidth (lebar pita noise) [Hz] Untuk menyederhanakan perhitungan BER, interferensi intersimbol diasumsikan nol dan filter yang digunakan oleh transmitter dan receiver adalah root raised cosine yang ideal.
Penetapan Bit Error Rate: •
Performansi keseluruhan link radio ditetapkan oleh C/No total yang dapat dihitung.
•
Penetapan ini memfokuskan pada cara memperoleh kualitas sinyal yang dikirim ke terminal pelanggan, yaitu menyangkut masalah Bit Error Rate (BER).
•
BER adalah fungsi rasio Eb/No, diamana Eb adalah energi per bit informasi dan No adalah densitas spektral daya noise keseluruhan.
•
Energi bit per informasi didefenisikan sebagai energi yang terakumulasi di bagian penerima yang diperoleh dari penerimaan daya carrier C selama interval waktu yang sama dengan waktu yang digunakan untuk menerima satu bit informasi.
17
Probabilitas bit error pada modulasi digital dapat dilihat pada grafik berikut:
Gambar 2.7 C/N –vs- Probability of Error (Pe)
Perhitungan probabilitas bit error untuk masing- masing metode modulasi dapat dihitung dengan formula seperti pada tabel berikut: Tabel 2.1. Probabilitas bit error untuk masing- masing metode modulasi Format Modulasi
Bit error rate
BPSK
2E b 1 C Pe = Q = erfc N N o 2
QPSK
2E b Pe = Q N o
1 C = erfc 2N 2
Rs[simbol rate] R
½R
18
C π Pe ≈ erfc sin 2 ( ) forM ≥ 4 M N
M-ary PSK (MPSK)
Rb/N
Rb/N 3 C erfc ( ) M 2( M − 1) N Keterangan: Eb = energi bit tunggal [J], No = densitas spektral daya noise satu sisi, C = daya carrier[W], N = daya noise [W], Rs = laju simbol, Rb=laju bit.
M-ary QAM (MQAM)
2 ( M − 1)
Pe ≈
Perbandingan jenis-jenis Modulasi: Tabel 2.2. Efisiensi Bandwidth untuk masing- masing metode modulasi Format Modulasi
Efisiensi Bandwidth C/B
Log2(C/B)
Error-free Eb/No
16 QAM
4
2
15dB
8 PSK
3
1.6
14.5dB
4 PSK
2
1
10dB
BPSK
1
0
10.5dB
Pemilihan format modulasi di atas sangat berpengaruh terhadap penggunaan BW dan performansi komunikasi yang ditawarkan.
BOROS BPSK
STABIL
BANDWIDTH QPSK
8PSK
PERFORMANSI
HEMAT 16 QAM
RENTAN
Gambar 2.8 Bandwidth dan performansi
Forward Error Correction Sepanjang jalur komunikasi, sinyal carrier terpengaruh oleh free space loss, cuaca, dan interferensi yang mungkin akan mengakibatkan kemungkinan terjadinya error yang
19
diterima disisi penerima. Suatu teknik yang efektif untuk mengurangi probabilitas error pada komunikasi satelit adalah dengan penggunaan error correction coding. Para ahli transmisi data membuat perbedaan ‘deteksi kesalahan’ dan ‘koreksi kesalahan’. Pada deteksi kesalahan hanya menyatakan bahwa simbol- simbol yang diterima ada sebagian yang mengalami kesalahan tanpa adanya perbaikan kesalahan, sedangkan pada koreksi kesalahan disamping ada proses deteksi juga ada proses perbaikan kesalahan di bagian penerima (Instruktur. 2001). Dengan pertimbangan delay yang cukup tinggi pada sistem komunikasi satelit, maka perlu dilakukan pengoreksian secara langsung dibagian pene rima. Pengoreksian ini disebut dengan Forward Error Correction (FEC). FEC meliputi: viterbi, trellis code, reed Solomon ataupun turbo code. FEC tidak hanya digunakan untuk mengoptimasi link budget dan memaksimalkan efisiensi bandwidth, tetapi juga dapat me mbuat tradeoff antara BER dengan bandwidth yang digunakan menjadi lebih fleksibel (Pratt. 1986).
Coding Gain: •
Hubungan antara Eb/No dengan BER bergantung pada tipe modulasi dan FEC yang digunakan.
•
Teknik FEC didasarkan pengiriman bit -bit redundan bersama-sama dengan bit informasi.
•
FEC tidak menjamin transmisi bebas kesalahan bit, tetapi FEC hanya akan mengurangi kesalahan BER yang diberikan (C/No) total dengan beban bandwidth yang cukup lebar.
Daya vs Bandwidth: Untuk suatu carrier yang membawa suatu Bit Rate informasi Rb, menggunakan FEC dengan code rate ρ , dan modulasi dengan efisiensi spektral µ (rasio antara bit rate dengan bandwidth)
20
B=
Rb µρ
(2.8)
Oleh karena itu, suatu bandwidth yang lebih lebar diperlukan nilai code rate yang rendah. Misalkan suatu VSAT (very small aperture terminal) memancar pada bit rate informasi Rb = 64 kbps, modulasi BPSK menggunakan efisiensi spektral 0,7 b/s/Hz dan nilai BER yang diperlukan adalah 10E-7. Nilai Eb/No yang diperlukan bergantung pada code rate.
Gambar di bawah ini menjelaskan kaitan antara probabilitas error (BER) dan Eb/No yang dibutuhkan, untuk beberapa jenis modulasi dengan turbo product codec rate ¾ yang dihasilkan oleh modem Comtech (Manual Book Comtech Modem).
Gambar 2.9. Eb/No –vs- BER
21
Bit rate, Bandwidth, Modulasi dan FEC Hubungan antara bitrate, bandwidth, modulasi dan FEC yang digunakan adalah: B=
(1 + α )R m.FEC
(2.9)
dimana: á = roll of facto r filte r yang digunakan. Dimana á = 0.2 digunakan untuk perhitungan bandwidth occupied dan á = 0.4 untuk menghitung bandwidth allocated. R= bit rate m = indeks modulasi (untuk QPSK=2, 8PSK=3 dan 16QAM = 4) FEC = code rate yang digunakan: viterbi, concatenated coding (Reed Solomon) atau Turbo Product. Sebagai kesimpulan pokok bahasan di atas adalah bahwa performansi dan kapasitas suatu transponder satelit sangat bergantung pada modulasi, forward error correction, bandwidth dan power yang digunakan seperti dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Modulation QPSK, 8PSK, 16QAM M anagement Bandwidt h & Po wer
Forward Error Correction § § §
Viterbi Concatenated Coding (RS) Turbo Product Coding
Gambar 2.10 Network Management
37
III. METODOLOGI
3.1 Kerangka Pemikiran Sejak tahun 1990-an demand dunia terhadap layanan komunikasi satelit semakin meningkat. Tetapi kenyataan yang ada adalah bahwa sumber daya satelit (power dan bandwidth ) sangatlah terbatas. Oleh karena itu penggunaan resource satelit secara efektif harus ditingkatkan. PT. XYZ sebagai salah satu perusahan telekomunikasi di Indonesia mempunyai satelit komunikasi sebagai salah satu alat produksinya. Sebagaimana kita ketahui, salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan suatu perusahaan adalah dengan mengoptimalkan kinerja alat produksinya.
Sehingga alangkah baiknya apabila
perusahaan tersebut juga mampu me-manage kinerja satelit tersebut supaya optimal. Kinerja yang optimal diperoleh apabila link-link komunikasi yang ada dapat menyalurkan data secara optimal. Untuk itu sangat diperlukan perancangan link komunikasi dengan mempertimbangkan semua resource yang terlibat, baik resource satelit maupun resource stasiun bumi. Perancangan link komunikasi satelit dilakukan berdasarkan batasan power dan bandwidth yang dihitung secara konvensional. Jika hal itu dilakukan untuk satu link komunikasi saja, maka laju bit, tipe modulasi, forward error correctionI(FEC) , daya pancar stasiun bumi serta antena yang tepat akan mudah didapatkan. Masalahnya adalah bahwa terdapat ribuan link yang dilewatkan dari satu satelit (misal: 1 satelit = 24 Transponder). Sangatlah tidak mungkin
mengharapkan setiap transponder untuk
38
optimal, jika hanya mengandalkan kalkulasi secara konvensional. Untuk itu perlu dibuat suatu sistem yang bisa melakukan optimisasi. Kerangka pemikiran pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1. Tahapan pertama adalah menentukan parameter sistem komunikasi satelit yang berpengaruh pada optimisasi dan menentukan transpo nder mana yang menjadi obyek penelitian. Parameter yang sangat berpengaruh pada manajemen transponder (Bab II, Sistem Komunikasi Satelit) adalah: a. Link Budget terdiri dari: •
diameter antena stasiun bumi pemancar,
•
daya pancar stasiun bumi,
•
linearitas SSPA transponder,
•
gainflatness SSPA (sebagai fungsi daripada frekuensi uplink),
•
Bandwidth maksimum transponder,
•
Power flux density transponder yang bisa dikonsumsi,
•
antena stasiun bumi penerima (sebagai fungsi daripada diameter antena, thermal dan frekuensi downlink),
•
free space loss, dan loss lainnya.
b. Pemilihan Modulasi terdiri dari quadrature phase shift keying (QPSK), 8ary phase shift keying (8PSK), dan 16 quadrature amplitude modulation (16QAM) dengan alasan bahwa ketiga jenis modulasi di atas sudah umum digunakan oleh operator satelit komunikasi. c. Pemilihan forward error correction : turbo, viterbi, atau rs. Sebagai objek penelitian dipilih transponder yang mana simpangan gainflatness -nya lebih besar.
39
Gambar 3.1 Blok diagram kerangka pemikiran
Setelah menentukan parameter tersebut, dibuat pemodelan dan perancangan sistem. Diasumsikan transponder tersebut masih kosong dan akan melayani sejumlah layanan komunikasi dengan BW tertentu. Optimisasi dilakukan terhadap kemampuan transponder di dalam melewatkan laju bit oleh berbagai kanal (multichannel) yang paling optimal dengan FEC dan modulasi digital yang sesuai dengan daya yang boleh membebani SSPA. Ukuran kanal- kanal bisa sama bisa berbeda. Misalkan laju bit oleh kanal tertentu adalah Rc , maka laju bit yang boleh dilalukan oleh transponder adalah: n
Rtrans = ∑ Rc i bit i =1
(3.1)
40
dimana n = jumlah kanal komunikasi (jumlah carrier) yang terdapat dalam satu transponder. Setelah hasil optimasi untuk beberapa data yang berbeda diperoleh, maka hasil ini kemudian dijadikan dasar untuk me rancang jaringan komunikasi satelit.
3.2
Tata Laksana Data yang dikumpulkan terdiri dari data statis dan data dinamis. Data statis
adalah data yang tidak bisa diubah, karena merupakan data dari pabrik. Misalnya: Linearitas amplifier(SSPA), gain flatness, SFD dan lain- lain. Data dinamis adalah datadata yang bisa disesuaikan dengan keperluan di lapangan. Misalnya: diameter antena, power transmit, dan lain-lain. Langkah- langkah yang dilakukan adalah seperti berikut ini: 1. Rekayasa GA untuk domain kasus yang diangkat. GA yang diperoleh dari internet sesuai dengan gambar 3.2 disebut dengan GAOT. Langkah pertama adalah melakukan rekayasa terhadap kromosom dan fungsi evaluasi agar sesuai dengan domain kasus. Tabel 3.1 Rekayasa GAOT GAOT Kromosom
{k1,k2,…}, dimana k∈ [0,1]
GA untuk optimisasi transponder
{k1,k2,…}, dimana k∈ (0, 32, 56, 64, 96, 128, 256, 1024, 2048) untuk Proses 1. {k1,k2,…}, dimana k∈ [0,2048] untuk Proses 2 n
Fungsi evaluasi F = f(x,y)
Rtrans = ∑ Rc i i =1
2. Suatu function dibuat khusus untuk keperluan penelitian ini. Fungsi ini bertujuan untuk memeriksa setiap allele (bit rate) di dalam suatu individu apakah sesuai dengan batasan-batasan bandwidth dan power flux density untuk setiap FEC dan modulasi yang
41
dicoba. Kemudian menentukan frekuensi center uplink, FEC dan modulasi yang mana yang paling cocok pada gen (posisi string) tersebut.
Gambar 3.2 GA hasil download 3. Masukan sistem adalah deretan bilangan float yang merepresentasikan besar datarate yang dicoba untuk setiap frekuensi uplink. Penentuan frekuens i uplink yang digunakan
42
adalah dimulai dari frekuensi terkecil dari rentang frekuensi yang ada pada transponder yang ditinjau. 4. Sebagai output sistem adalah: •
Solusi optimal yaitu deretan data rate untuk tiap frekuensi uplink.
•
Modulasi dan FEC yang digunakan.
•
Bandwidth yang terpakai.
•
Power flux density yang digunakan.
•
Bandwith masing- masing deretan data rate.
•
Frekuensi uplink untuk masing-masing data rate.
3.3 Penentuan Parameter GA Sebelum melakukan optimisasi terlebih dahulu dilakukan penentuan parameter-parameter GA yang akan mendasari seluruh proses optimisasi. •
Seleksi yang digunakan adalah Seleksi Normalized Geometric
karena lebih baik
dibanding roulette (Ilsoo Yun dan Byungkyu “Brian” Park. 2003). •
Terminasi dilakukan berdasarkan jumlah generasi, dengan pertimbangan bahwa konvergensi dengan batasan BW = 36 Mhz dan Power satelit = -95.5 dBW/m^2 akan sulit diperoleh. Dengan terminasi tersebut diharapkan bahwa nilai optimal diperoleh ketika nilai batasan tersebut sudah didekati.
•
Daya pancar antena stasiun bumi (Watt) ditentukan melalui beberapa percobaan. Percobaan ini dilakukan dengan mengubah-ubah nilai daya pancar dengan jumlah genotif yang tetap. Daya pancar yang menghasilkan kapasitas tertinggi ditentukan sebagai nilai daya pancar yang digunakan untuk masing- masing diameter antena pada proses optimisasi selanjutnya.
43
•
Jumlah individu (N) dalam satu populasi yang dibangkitkan dalam tahapan inisialisasi ditentukan melalui beberapa percobaan. Percobaan ini dilakukan dengan mengubahubah N dalam satu populasi dimana jumlah genotif tetap dan daya pancar yang telah diperoleh sebelumnya tetap. Jumlah individu yang digunakan adalah N yang menghasilkan kapasitas terbaik dari beberapa percobaan tersebut.
•
Jumlah genotif ditentukan dengan beberapa percobaan. Percobaan ini dilakukan dengan mengubah-ubah jumlah genotif, kemudian menentukan mana yang menghasilkan kapasitas transponder yang terbaik.
3.4 Pengukuran Kinerja Sistem Pengukuran kinerja sistem dilakukan setelah proses optimisasi (gambar 3.1). Pertama, optimisasi dilakukan terhadap kemampuan transponder dengan asumsi gain flatness nya sempurna yaitu 0 dB. Kemudian penelitian lanjutan terhadap data-data dinamik dengan memasukkan data gain flatness yang sebenarnya. Hasil ini dibandingkan dengan kondisi yang diperoleh secara konvensional. Parameter yang diteliti adalah: •
Konvergensi GA yaitu untuk mengetahui kemampuan GA didalam melakukan optimisasi transponder. Untuk keperluan ini dilakukan proses iterasi dengan jumlah generasi yang berbeda-beda. Kemudian dilihat kecenderungan konvergensi proses iterasi.
•
Kompleksitas algoritma yaitu untuk mengetahui tingkat kompleksitas jaringan terhadap waktu proses yang dibutuhkan. Untuk keperluan ini dilakukan proses untuk diameter antenna yang tetap, daya transmit yang tetap, tetapi diproses dengan jumlah gen yang berbeda.
44
•
Nilai-nilai kromosom (alele), yaitu untuk mengetahui komposisi FEC, modulasi, datarate, diameter antena, dan daya pancar (Watt) yang menghasilkan individu (solusi) yang paling unggul.
3.5 Disain Jaringan Komunikasi Satelit. Disain jaringan komunikasi didasarkan pada solusi- solusi optimal yang diperoleh pada beberapa proses dengan parameter-parameter yang berbeda. Proses disini adalah pemilihan kanal-kanal yang cocok untuk dipasangkan dengan lainnya di dalam melayani link-link komunikasi satelit. Secara teknis seluruh skema modulasi dan datarate yang ada bisa dipasangkan untuk membentuk link komunikasi dua arah. Tetapi kebanyakan link yang ada adalah besar datarate yang dikirim pengirim biasanya sama dengan besar datarate yang dikirim kembali oleh penerima.
45
IV. PERANCANGAN SISTEM
4.1 Rancangan Sistem Untuk keperluan penelitian, algoritma genetika yang telah diperoleh dimodifikasi (3.2 Tata Laksana). Garis besar hasil modifikasi dapat dilihat sebagai berikut:
Gbr.4.1 Rancangan algoritma genetika untuk manajemen transponder
46 CekBER merupakan suatu function untuk memeriksa setiap allele (data rate) di dalam suatu individu apakah sesuai dengan kualitas link budget, batasan Eb/No, batasanbatasan bandwidth dan power flux density untuk setiap FEC dan modulasi yang dicobakan. Kemudian menentukan frekuensi center uplink, FEC dan modulasi yang paling cocok pada gen (posisi string) tersebut. Diagram alirnya adalah sebagai berikut:
Tidak
Ya
Gambar 4.2 Diagram alir pengujian tiap allele
47 Pemrograman genetika yang digunakan dimodifikasi dari Genetic Algorithm for Optimization Toolbox (GAOT). Masing- masing terdiri dari modul- modul berupa function seperti pada tabel di bawah ini. Tabel 4.1 Fungsi- fungsi yang digunakan oleh sistem Filename.m floattesis1.m floattesis2.m ga.m
Fungsi Fungsi utama menjalankan proses optimisasi memanggil proses Algoritma Genetika sebagai fungsi dari pada Seleksi, Crossover, Mutasi
initializega.m
menginisialisasi masukan terhadap GA.
batas.m
membatasi setiap masukan datarate setiap Carrier
gaTdreval.m
mengevaluasi fitness (kapasitas transponder)
cekBER.m
Mengevaluasi setiap data rate yang dicobakan terhadap masing-masing carrier, menghitung C/N total untuk masingmasing allele. Kemudian membandingkan dengan batasan masing-masing modulasi. Output dari fungsi ini adalah populasi yang baru, indeks modulasi dan FEC yang sesuai, BW allocated, Power flux Density (PFD), serta Frequency uplink.
simpleXover.m
Untuk melakukan crossover sederhana
arithXover.m
Melakukan crossover pada dua induk P1,P2 dan melakukan interpolasi sepanjang jalur kedua induknya.
boundaryMutation.m
Metode mutasi yang terjadi pada batas atas atau batas bawah yang dilakukan secara random terhadap individu yang dimutasi
heuristicXover.m
Operator Heuristic crossover pada dua induk P1,P2 dan membentuk ekstrapolasi sepanjang garis yang dibentuk oleh kedua induk tersebut yang mengarah pada induk yang terbaik.
maxGenTerm.m
Sebagai syarat untuk penghentian proses generasi.
multiNonUnifMutation.m
Mengubah seluruh parameter induk berdasarkan distribusi probabilitas non-uniform.
nonUnifMutate.m
Mengubah satu dari parameter-parameter induk didasarkan pada distribusi probabilitas non-uniform.
uniformMutate.m
Mengubah satu dari parameter-parameter induk didasarkan pada distribusi probabilitas uniform.
normGeomSelect.m
Melakukan seleksi berdasarkan ranking yang paling fit yang didasarkan pada distribusi geometrik ternormalisasi.
48 Selain function di atas, terdapat tiga file.m yang berisi data yang bukan merupakan function yakni: 1. data_sat_sb.m, adalah file yang berisi parameter-parameter satelit dan stasiun bumi serta data propagasi, yakni: %Data Satelit EIRPsat=38.0; GTsat=0.00; PAD=10.00; SFDensity=-102.50; BWxpndr=36.0; IBOagg=3.00; OBOagg=2.50; PWRdensity_ul=-47.00; EIRPdensity_dl=-36.00;
%Efective Isotropic Radiated Power satelit [dBW] %Figure of merit satelit [dB/K] %Atenuator di transponder 6H (adjustable) [dB] %Saturated Fux Density transponder 6H [dBW/m^2] %Bandwidth Transponder 6H [MHz] %input backoff aggregate [dB] %output backoff aggregate [dB] %Power density uplink [dBW/Hz] %EIRP density downlink [dBW/Hz]
%Data Propagasi AtmAttn_ul=0.02; % redaman atmosfir uplink [dB] AtmAttn_dl=0.02; % redaman atmosfir downlink [dB] Rain_att=0.7; % redaman hujan berkisar 0.5 - 5 dB FSL_loss=198; % free space loss berkisar 196 - 200 dB Point_loss= 0.4; % pointing loss berkisar 0.2 - 0.6 dB CI_sb=28.00; % Carrier to Interference stasiun bumi [dBc] CI_sat=17.00; % Carrier to Interference satelit [dBc] CI_ul=24.00; % Carrier to Interference uplink [dBc] CI_dl=24.00; % Carrier to Interference downlink [dBc] CI_xpol=30.00; % Carrier to Interference crosspolarization [dBc] Loss_prop_ul=FSL_loss+Rain_att+AtmAttn_ul+Point_loss;%Loss propagasi up link Loss_prop_dl=FSL_loss+Rain_att+AtmAttn_dl+Point_loss;%LossPropagasi downlink %Data Earth Station Tx (Pengirim) D_ant_tx=2.40; %diameter antena pengirim(adjustable)[m] Eff_ant_tx=0.6; %efisiensi antena pengirim IFL_loss=1.00; %rugi-rugi IFL[dB] Ptx=10*log10(5) ; %Daya pancar stasiun pengirim(adjustable) [dBW] %Data Earth Station Rx (Penerima) D_ant_rx=10.00; %diameter antena penerima (adjustable) [m] Eff_ant_rx=0.6; %efisiensi antena penerima TEMP_ant=25.00; %Temperatur antena [K] PreLNA_loss=0.10; %rugi-rugi sebelum LNA [dB] TEMP_LNA=45.00; %Temperatur LNA [K]
49 2. gainflat.m, suatu file yang berisi karakteristik transponder seperti pada gambar berikut:
Gambar 4.3 Gainflatness SSPA transponder 6H Satelit Telkom-1
3. batasEbNo.m, suatu file yang berisi batasan-batasan Eb/No minimum untuk masing- masing indeks modulasi dan FEC agar mendapatkan bit error rate (BER) = 10e-8. Batasan ini diperoleh dari Manual Book Comtech CDM 600 Satellite Modem. File tersebut berisi: dr=[
2 3/4 3.8; % QPSK Rate 3/4 Turbo 3 (2/3)*(204/188) 6.5; % 8PSK Rate 2/3 TCM and Reed Solomon 3 3/4 6.8; % 8PSK rate 3/4 Turbo 4 3/4 7.8; % 16QAM Rate 3/4 Turbo 4 3/4*(204/188) 8.1; % 16QAM Rate 3/4 Viterbi/Reed Solomon 4 7/8*(204/188) 9.5]; % 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon cr=[3/2 2*(204/188) 9/4 3 3*(204/188) 7/2*(204/188)]; Eb_NoBatas=dr(:,3)';
50 Penulisan di atas didasarkan pada representasi matriks dalam Matlab. Command tersebut akan menghasilkan matriks dengan ukuran 6x3. Kolom 1 menunjukkan indeks modulasi, kolom 2 menunjukkan code FEC, dan kolom 3 menunjukkan Eb/No minimal yang harus diperoleh. Sebagai contoh: makna baris 1 adalah indeks modulasi = 2, code FEC = ¾, dan Eb/No minimum untuk mendapatkan BER ≤ 10e-8 adalah 3.8 dB.
4.2 Masukan Masukan data dimulai dengan mendefenisikan representasi, inisialisasi, evaluasi, seleksi, crossover, dan mutasi. Inisialisasi dilakukan dengan membangkitkan bilangan random untuk masing- masing allele setiap individu dalam suatu populasi(kromosom). Kemudian hasil inisialisasi ini langsung dilakukan pengujian cekBER. Demikan juga individu- individu yang dihasilkan oleh crossover maupun mutasi langsung dilakukan pengujian terhadap cekBER. Dengan demikian seluruh allele yang ikut proses genetika (seleksi, crossover dan mutasi) sudah lolos dari uji cekBER.m. Struktur data berisi suatu populasi datarate dalam suatu matriks tunggal dengan ukuran Nind X Lind, dimana Nind = jumlah carrier dalam populasi dan Lind adalah panjang representasi genotip individual tersebut. Masing- masing baris merupakan genotip suatu individual, yang merupakan nilai float. Data populasi dibangkitkan secara acak oleh initializega.m dengan batasan batas.m seperti ditunjukkan di bawah ini,
Populasi =
g1,1 g 2 ,1 . ... g Nind ,1
g1 , 2 g2 , 2 ... g Nind , 2
... g1, Lind individual _ 1 ... g 2 , Lind individual _ 2 ... ... . ... g Nind, Lind individual _ Nind
51 Setiap individu (data) membutuhkan panjang yang sama untuk seluruh populasi. Suatu solusi yang bermanfaat dari individu atau kromosom untuk optimasi fungsi adalah dengan melibatkan sebaran nilai gen atau variabel yang nilainya terletak dalam batas atas dan bawah ruang solusi. Pengkajian ini telah diteliti oleh Michalewicz(1995) dengan melakukan perluasan percobaan melalui perbandingan kinerja Binary Genetic Algorithm (BGA) dan Float Genetic Algorithm (FGA). Hasilnya menunjukkan bahwa FGA merupakan orde magnitude yang lebih efisien dalam kaitannya dengan beban dan waktu komputasi. Sebelum tahapan proses optimisasi dimulai, terlebih dahulu dilakukan penyesuaian parameter sesuai dengan keperluan yang diinginkan, yaitu: •
Diameter antena Tx maupun Rx serta daya transmit stasiun bumi pengirim(Pt) dapat diubah langsung dari data_sat_sb.m, seperti visual berikut:
Gambar 4.4 input data
52 •
Untuk proses gainflatness yang ideal (gainflat=0) dilakukan dengan menonaktifkan komponen g_flat pada cekBER.m yaitu dengan menambahkan ;% pada titik sebelum +g_flat seperti visual berikut:
Gambar 4.5 Penyesuaian gainflatness ]
•
Jumlah frekuesi uplink (carrier) dan batasan datarate untuk masing- masing carrier disesuaikan melalui floattesis.m seperti gambar berikut:
Gambar 4.6 Penyesuaian carrier dan batasan datarate
53 •
Terminasi berdasarkan jumlah generasi disesuaikan melalui ga.m seperti berikut:
Gambar 4.6a Penyesuaian kriteria terminasi Setiap perubahan parameter yang diinginkan untuk masing- masing filename.m harus dilakukan penyimpanan (save) pada memory komputer.
4.3 Proses Optimisasi Proses optimisasi dimulai dengan memanggil floattesis.m dari command prompt Matlab seperti gambar berikut:
Gambar 4.7 Proses optimisasi
54 Fungsi untuk melakukan pemrosesan optimisasi (proses genetika) adalah ga.m. Modul ini dieksekusi dua kali.
Eksekusi pertama dan eksekusi kedua dibedakan oleh
operator genetik yang digunakan. •
Eksekusi pertama : [x xx endPop bestPop trace FEC Bewe F_uplink pefede]=ga(bounds,evalFn,evalOps,startPop,gaOpts,... termFns,termOps,selectFn,selectOps,xFns,xOpts,mFns,mOpts);
Operator
genetik
yang
digunakan
pada
eksekusi
pertama
adalah
normGeomSelect.m, simpleXover.m, dan boundaryMutation.m. Kedua operator terakhir sangat cocok digunakan pada datarate-datarate modem komunikasi satelit yang banyak digunakan, yaitu: Input datarate
= {k1,k2,…} dimana k ∈ (0, 32, 56, 64, 96, 128, 256, 1024, 2048)(Kbps)
Keluaran datarate
= {k1,k2,…}
dimana k ∈ (0, 32, 56, 64, 96, 128, 256, 1024, 2048)(Kbps) Keluaran seperti di atas dapat diperoleh karena sifat simpleXover.m adalah hanya mengubah posisi masing-masing allele, tanpa mengubah nilai allele tersebut (pers. (2.16)). Sedangkan boundaryMutation.m hanya memutasikan allele tertentu dengan batas atas atau batas bawah dari deretan data yang diberikan. Keluaran seperti di atas sangat cocok dengan kondisi real di lapangan.
•
Eksekusi kedua : [x xx endPop bestPop trace FEC Bewe F_uplink pefede]=ga(bounds,evalFn,evalOps,[],ga Opts);
Operator
genetika
yang
digunakan
pada
eksekusi
kedua
adalah
normGeomSelect.m, simpleXover.m, boundaryMutation.m dan lainnya (lihat table 4.1). Input datarate
= {k1,k2,…}
dimana k ∈ [0 2048](Kbps)
55 Keluaran datarate = {k1,k2,…}
dimana k ∈ [0 2048](Kbps)
Jika masukan dipaksa seperti pada eksekusi pertama, maka keluaran akan tetap bilangan yang kontinu pada rentang [0,2048]. Hal ini disebabkan sifat masingmasing operator yang melakukan perubahan nilai allele dengan delta yang kecil. Untuk menyesuaikan keluaran ini dengan aturan ASCII yakni 1 byte = 8 bit, maka keluaran yang dihasilkan dibulatkan ke kelipatan 8 terdekat. Selama pemrosesan maka nilai- nilai fitness untuk tiap generasi ditampilkan, seperti gambar 4.8. Proses dilakukan dengan jumlah generasi yang berbeda-beda dengan tujuan melihat konvergensi pencarian optimasi.
Gambar 4.8 Proses iterasi
56 Pada gambar di atas terlihat bahwa iterasi sudah dilakukan sebanyak 9 generasi, dimana nilai fitness pada generasi pertama adalah 55296 Kbps dan nilai fitness generasi kesembilan adalah 60416 Kbps.
4.4 Keluaran Sebagai output dari proses ini adalah seperti pada gambar berikut:
Gambar 4.9 Keluaran Sistem
•
Solusi terbaik, berupa deretan datarate yang terbaik (solusi optimal) yang dihasilkan oleh proses iterasi.
•
Indeks Modulasi dan FEC rate yang sesuai dengan solusi terbaik di atas.
57 •
Alokasi BW yang digunakan untuk solusi terbaik.
•
Jumlah BW transponder yang terpakai ( BW <= 36 Mhz)
•
Jumlah Power Flux Density (PFD) yang terpakai, dimana PFD maksimum yang bisa digunakan adalah: PFDtotal = saturated Power flux density + pad attenuator – IBOagg = -102.50 + 10 – 3 = -95.5 dBW
•
Frekuensi uplink yang digunakan sebagai carrier solusi terbaik.
Selain itu, diperoleh juga grafik konvergensi yang ditampilkan pada window lainnya, seperti berikut:
Gambar 4.10 Grafik konvergensi
58 4.5 Kompleksitas Sistem Untuk mengukur kompleksitas sistem dilakukan dengan cara mengukur waktu (running time ) yang dibutuhkan untuk beberapa proses iterasi. Iterasi dilakukan untuk beberapa proses dengan mengubah-ubah masukan jumlah genotip (carrier). Jumlah genotip ini menggambarkan jumlah masukan data yang harus diproses untuk setiap generasi. Hasil proses untuk beberapa jumlah genotip adalah sebagai berikut:
Tabel 4.2 Kompleksitas Sistem Jumlah Generasi
Jumlah Genotip
Waktu (detik)
5 5 5 5 5 5
10 20 30 40 50 60
16.37 32.23 45.75 61.94 80.25 100.23
Dari tabel di atas , dapat dituangkan ke dalam grafik berikut:
Waktu eksekusi (detik)
Kompleksitas 120 100.23
100 80.25
80 61.94
60 45.75
40
32.23
20
16.37
0 10
20
30
40
50
60
Jumlah Genotif
Gambar 4.11 Kompleksitas Sistem
Grafik di atas menunjukkan bahwa running time process adalah linier terhadap jumlah masukan data. Atau dapat ditulis: T(n) = O(n)
59
V.
PERBANDINGAN KINERJA SISTEM
Metode perencanaan frekuensi pada transponder dalam jaringan komunikasi satelit yang diusulkan oleh Gwang dan kawan-kawan (Gwang, et al., 1997) mempertimbangkan fakta bahwa efek interferensi pada sinyal baseband bergantung pada skema sistem transmisinya (Gambar 2.7). Walaupun sejumlah interferensi yang diakibatkan oleh inter/intra-sistem adalah sama, pengaruh dari interferensi tersebut terhadap performansi sistem baseband ternyata berbeda-beda tergantung skema transmisi yang digunakan. Sebagai contoh efek interferensi pada performansi sinyal baseband yang diakibatkan oleh skema modulasi QPSK dan 7/8 convolutional code berbeda dengan modulasi QPSK dan 1/2 convolutional code, walaupun besar interferensi pada tingkat radio frequency (RF) sama. Sebagai output dari metode yang diusulkan adalah bahwa tiap transponder (BW = 36 MHz) diproyeksikan untuk melayani satu layanan dengan modulasi dan FEC rate tertentu. Penentuan modulasi dan FEC rate dilakukan dengan menghitung nilai cost yang paling minimum. Pencarian nilai minimum menggunakan algoritma genetika. Nilai cost berkaitan dengan Margin, dimana Margin = (C/N) (C/N)required, tanpa mempertimbangkan gain flatness. Penelitian ini berbeda dengan penelitian di atas. Penelitian ini difokuskan pada penentuan modulasi dan FEC rate untuk multikanal (multi layanan) dalam satu transponder
dengan
pertimbangan
skema
modulasi
dan
FEC
rate
dan
juga
mempertimbangkan gain flatness, batasan power dan BW (Bab III Metodologi). Dimana untuk menjaga agar operating power SSPA berada pada daerah linier maka batasan power yang membebani SSPA adalah SFD + PAD – OBO = -102.5 +10-3 = -95.5
60 dBW/m^2, dimana SFD=saturated flux density, PAD = attenuator, dan OBO = output back off. Sementara batasan bandwidth adalah 36 MHz. Hasil- hasil penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2. Untuk mendapatkan hasilhasil tersebut dilakukan dengan mengubah-ubah parameter sesuai dengan yang diinginkan.
5.1
Penentuan Parameter GA Untuk mendasari penggunaan parameter proses optimisasi yang dilakukan,
terlebih dulu dilakukan percobaan-percobaan untuk menentukan parameter yang akan digunakan, seperti berikut: •
proses mencari daya pancar (watt) untuk setiap diameter antena stasiun bumi yang menghasilkan nilai optimum. Data :
jumlah genotif = 48 Diproses dengan Proses 1 Tabel 5.1. Penentuan daya pancar antena
Diameter Antena 3.8
5
7
Daya Pancar (watt)
Carrier Terbentuk
Kapasitas Transponder (Kbps)
1.5 2 3.5 4 0.5 1 1.5 2 2.5 0.1 0.5 1 1.5
34 30 48 35 46 47 34 48 24 18 40 37 46
59160 55608 71680 67328 54280 66520 60592 73728 55926 22392 68408 75776 73728
61 Dari tabel di atas, terlihat bahwa kapasitas tertinggi diperoleh ketika: Ptx = 3.5 Watt untuk antenna D = 3.5 m. Ptx = 2 Watt untuk antenna D = 5 m Ptx = 1 Watt untuk antenna D = 7 m. Selanjutnya nilai-nilai di atas digunakan untuk proses selanjutnya. •
proses mencari jumlah individu dalam satu populasi yang dibangkitkan dalam proses inisialisasi Data : jumlah genotif = 48 Tabel 5.2a. Proses mencari jumlah individu dalam satu populasi dengan Proses 1
Diameter Antena
Daya Pancar (watt)
3.8
3.5
5
2
7
1
Individu dalam satu populasi
Carrier Terbentuk
Kapasitas Transponder (Kbps)
BW Total (Mhz)
Power Total (dbW/m^2)
5 10 15 5 10 20 30 5 10 15 20
35 48 41 28 48 47 45 48 37 28 35
64344 71680 67576 55296 74752 75776 75776 76968 75776 55424 67328
34.21 35.53 35.46 29.35 35.93 35.76 35.91 35.72 35.64 26.81 31.22
-97.41 -96.03 -96.83 -98.59 -96.08 -96.17 -96.36 -96.17 -96.08 -98.52 -97.55
Tabel 5.2b. Proses mencari jumlah individu dalam satu populasi dengan Proses 2
Diameter Antena
Daya Pancar (watt)
3.8
3.5
5
2
Individu dalam satu populasi
Carrier Terbentuk
Kapasitas Transponder (Kbps)
BW Total (Mhz)
Power Total (dbW/m^2)
5 10 15 5 10
48 48 48 47 48
72424 74840 72720 76824 75736
35.99 35.99 35.96 35.76 35.96
-96.03 -96.03 -96.04 -96.08 -96.17
62
7
1
15 5 10 15
48 27 37 48
75552 76968 80752 74912
35.97 25.76 35.97 33.79
-96.08 -98.68 -96.17 -96.17
Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah individu dalam satu populasi, N = 10 lebih baik dari yang lainnya.
•
proses mencari jumlah genotif dalam satu individu Data :
Dengan gainflatness Populasi = 10 individu Diameter antenna = 5.0 m Daya Pancar Antena = 2.0 Watt Tabel 5.3. Proses mencari jumlah jumlah genotif Jumlah genotif
Carrier Terbentuk
Kapasitas Transponder (Kbps)
BW Total (Mhz)
Power Total (dbW/m^2)
42 48 55 60
42 46 53 54
73728 73728 77824 75776
35.55 35.86 35.91 35.63
-96.66 -96.26 -95.65 -95.57
Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah genotif = 60 memastikan seluruh carrier yang akan terbentuk bisa diakomodasi. Oleh karena itu, untuk memperoleh kapasitas optimum digunakan jumlah genotif = 60.
5.2
Pengaruh Gainflatness Gainflatness diteliti dengan membuat nilai gain flatness = 0 atau disebut dengan
tanpa gain flatness. Kemudian mencari kapasitas transponder dengan menggunakan masing- masing antena. Setelah itu komponen gain flatness diberi nilai sesuai dengan karakteristik SSPA yang digunakan. Hasilnya seperti dibawah ini:
63 Data : jumlah genotif = 60 Populasi = 10 individu Tabel 5.4 Kapasitas transponder dengan pengaruh gain flatness dengan gain flatness Diameter Antena
Daya Pancar (watt)
3.8 5 7
tanpa gain flatness Kapasitas BW Transponder Total (Kbps) (Mhz)
Carrier Terbentuk
Kapasitas Transponder (Kbps)
BW Total (Mhz)
Power Total (dbW/m^2)
Carrier Terbentuk
Power Total (dbW/m^2)
3.5
54
72704
35.68
-95.52
54
73728
35.38
-95.53
2
54
75776
35.63
-95.57
53
77824
35.82
-95.65
1
56
78984
35.83
-95.5
56
79872
35.63
-95.5
Dari tabel di atas ternyata gain flatness berpengaruh negatif (1.71%). Artinya adalah bahwa gain flatness berpotensi mengurangi kapasitas optimum suatu transponder. Seperti bisa dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 5.5. Pengaruh gain flatness Tanpa Gain flatness
Dengan gain flatness
73728 77824 79872
72704 75776 78984 ratarata
delta
Prosentasi
1024 2048 888
1.39% 2.63% 1.11%
1320
1.71%
5.3 Kinerja Transponder dengan Konvensional Kinerja transponder dengan konvensional dapat dilihat pada tabel 5.6 berikut: Tabel 5.6. Kinerja Transponder dengan Konvensional Diameter antena (m)
Ptx (Watt)
Jmlh Carrier output
Kapasitas Transponder
BW total terpakai (MHz)
Power total terpakai (dBW/m^2)
Modulasi
FEC rate
3.8
3.5
34
69632
35.2512
-101.453
16QAM
3/4 Viterbi/Reed Solomon
5
2
34
69632
35.2512
-99.98
16QAM
3/4 Viterbi/Reed Solomon
7
1
34
69632
35.2512
-97.31
16QAM
3/4 Viterbi/Reed Solomon
64
5.4 Kinerja Transponder dengan GA Proses 1 dan GA Proses 2 Seluruh parameter disesuaikan dengan metode konvensional. Kinerja dengan GA proses 1 dan GA proses 2 adalah sbb: Tabel 5.7. Kinerja Transponder dengan GA proses 1 dan proses 2 GA Proses 1 Diam . Antena
Daya Pancar (watt)
3.8 5 7
3.5 2 1
Carrier Terbentuk 54 54 56
Kap. Transp. (Kbps) 72704 75776 78984
BW Tot (Mhz) 35.68 35.63 35.83
GA Proses 2 Pwr Total (dbW/m^2) -95.52 -95.57 -95.5
Carrier Terbentuk 54 53 56
Kap. Trans. (Kbps)
BW Total (Mhz)
75536 78008 81872
35.99 35.98 36
Pwr Tot. (dbW/m^2) -95.52 -95.57 -95.5
Dari tabel diatas dan keluaran proses optimisasi dapat dicatat beberapa hal: •
datarate total yang diperoleh maksimum secara konvensional adalah 69632 KBps sedangkan dengan GA adalah 72704 KBps, 75776 Kbps dan 78984 Kbps. Terdapat rata-rata peningkatan kapasitas sebesar 6189 Kbps atau 8.88 %.
•
Jumlah carrier yang dihasilkan oleh GA lebih banyak dari yang dihasilkan secara konvensional.
Selain itu, ternyata modulasi yang dihasilkan GA lebih bervariasi dibanding dengan yang dihasilkan secara konvensional.
5.5 Perbandingan Kinerja Konvensional, GA Proses 1, dan GA Proses 2 Dari tabel 5.6 dan tabel 5.7 dapat dilihat hubungan antara diameter antena stasiun bumi dengan kapasitas transponder yang dituangkan dalam grafik berikut:
65
Diameter antena -vs- Kapasitas Transponder Datarate (Kbps) 84000 82000 80000 78000 76000 74000 72000 70000 68000 66000 64000 62000 3.8
Proses 1
5
Proses 2
7 Diameter (m) Konvensional
Gambar 5.1 Perbandingan Kinerja Sistem
5.6 Konve rgensi Sistem Grafik pada gambar 5.2 berikut merupakan salah satu grafik dari proses yang menghasilkan hasil optimum. Jumlah iterasi (generasi) yang relatif sedikit menandakan sistem ini cepat mencapai titik optimum. Solusi optimum ditandai dengan nilai yang stabil untuk beberapa generasi. Jika keadaan konvergensi belum didapatkan, atau dengan kata lain bila nilai stabil untuk iterasi yang cukup banyak belum diperoleh, maka tindakan yang dilakukan adalah dengan menambah jumlah generasi yang digunakan sebagai dasar terminasi proses optimisasi, sementara parameter yang lain tetap seperti semula. Dari beberapa percobaan, kejadian tidak mencapai konvergensi jarang terjadi karena jumlah generasi yang ditetapkan umumnya sudah cukup untuk mendapatkan nilai konvergen.
66
Gambar 5.2. Konvergensi algoritma genetika untuk manajemen transponder
Tabel berikut merupakan konvergensi pada optimisasi GA Proses 1 tanpa gain flatness. Tabel ini menunjukkan variasi pencapaian konvergensi:
Tabel 5.8 Konvergensi sistem
Diameter Antena (m)
Daya Pancar, Ptx (Watt)
Generasi
Konvergen pada Generasi ke-
Jumlah Frekuensi carrier terbentuk
3.8
3.5
120
50
48
5
0.5
150
70
43
5
1.0
150
110
43
5
1.75
120
50
48
5
2.0
120
45
48
7
1.0
120
60
47
67 Jika diamati diameter = 5 m pada tabel di atas terlihat bahwa walaupun carrier yang terbentuk hampir sama, tetapi sistem membutuhkan jumlah iterasi yang berbeda didalam mencapai nilai konvergen. Hal ini disebabkan oleh pencarian nilai optimal yang bersifat acak.
68 VI. IMPLIKASI KEBIJAKAN MANAJEMEN TRANSPONDER DAN PERANAN KOMUNIKASI SATELIT DALAM PERTANIAN INDONESIA
6.1 Implikasi Kebijakan Manajemen Transponder Jika hasil- hasil optimisasi yang diperoleh pada Bab V diterapkan pada manajemen transponder, maka pihak operator satelit akan memperoleh beberapa keuntungan diantaaranya : •
Menghemat waktu dalam hal disain jaringan satelit
•
Menghindari penggunaan transponder yang kurang optimal
•
Menghemat sumber daya manusia ahli yang dipekerjakan.
Tetapi untuk menerapkannya ada beberapa hal yang menjadi syarat utama yakni: •
Metode penggantian modem tanpa men-set up parameter-parameter yang sesuai dengan hasil optimisasi tidak cocok digunakan. Untuk itu petugas-petugas terutama didaerah harus lebih concern terhadap knowledge tentang operasional modem.
•
Penempatan carrier-carrier dan pemilihan modulasi untuk datarate yang diinginkan harus sesuai dengan hasil yang diperoleh. Karena jika urutannya saja diubah, hasil secara kumulatif kemungkinan tidak akan optimal.
•
Stasiun bumi pengirim berfungsi juga sebagai penerima (dua arah). Akibatnya adalah system ini membutuhkan diameter antena stasiun bumi pengirim (Tx) sama dengan diameter antena stasiun bumi penerima (Rx).
•
Hasil proses optimisasi untuk diameter antena Tx= a dan Rx=b tidak berlaku bagi Tx=b dan Rx=a (a tidak sama dengan b). Oleh karena itu, apabila ingin menggunakan system ini untuk merancang jaringan komunikasi dengan antena Tx dan Rx yang berbeda, maka langkah yang harus dilakukan adalah:
69 o Lakukan optimisasi pada transponder X untuk diameter antena Tx= a, dan Rx=b. Hasilnya dijadikan sebagai acuan untuk jaringan dengan arah link Tx = a menuju Rx = b. o Lakukan optimisasi pada transponder Y untuk diameter antena Tx = b, dan Rx = a. Hasilnya dijadikan sebagai acuan untuk jaringan dengan arah link Tx = b menuju Rx = a. o Pasangkan masing- masing carrier untuk menyalurkan data yang diinginkan, dengan modulasi tertentu pada frekuensi uplink yang dihasilkan. Pasangan link ini membentuk suatu link komunikasi dua arah.
6.1.1 Perancangan Jaringan Komunikasi Satelit Hasil Optimisasi Pengambilan keputusan dapat melalui dua kerangka kerja meliputi (1) pengambilan keputusan tanpa percobaan dan (2) pengambilan keputusan yang berdasarkan suatu percobaan (Marimin, 2004). Sebagai contoh, untuk masing- masing diameter antena telah diperoleh hasil- hasil optimisasi berdasarkan percobaan (Lampiran 2). Dari hasil tersebut bisa dirancang jaringan komunikasi yang tepat sesuai dengan kondisi di lapangan dengan berpedoman pada 6.1 di atas. Jika keluaran yang diperoleh dari proses optimisasi GA dengan Ptx=1.0 Watt dan diameter antenna Tx=Rx= 7 m dijadikan sebagai solusi akhir, dimana hasilnya adalah sebagai berikut: Diameter Antena = 7.0 m, Ptx = 1.0 Watt, dengan Gainflatness, genotif=60, pop =10 individu >>floattesis1 HASIL GENERASI : ================================== Solusi Terbaik (KBps) : 32 2048 2048 2048 2048 128 2048 2048 2048 2048 2048 56 128 2048 2048 32 2048 512 2048 2048 32 2048 32 2048 2048 2048 2048 64 2048 2048 2048 2048 2048 2048 96 2048 2048 2048 256 128 32 2048 2048 2048 56 2048 2048 1024 1024 2048 512 1024 2048 32 56 2048 0 0 0 0 78984
70 Modulasi dan FEC : 6 4 5 5 5 6 5 5 5 5 5 6 6 5 5 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 0 0 0 0 0 Dimana : 1=QPSK Rate 3/4 Turbo 2=8PSK Rate 2/3 TCM and Reed Solomon 3=8PSK rate 3/4 Turbo 4=16QAM Rate 3/4 Turbo 5=16QAM Rate 3/4 Viterbi/Reed Solomon 6=16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon Bandwidth masing-masing Carrier(MHz) : 0.013889 0.955733 1.037072 1.037072 1.037072 1.037072 0.024306 0.055557 1.037072 1.037072 0.013889 0.888919 0.013889 0.888919 0.888919 0.888919 0.888919 0.888919 0.888919 0.041668 0.013889 0.888919 0.888919 0.888919 0.024306 0.222230 0.444460 0.888919 0.013889 0.024306 0.000000 Total Bandwidth(MHz): 35.830763 Total Power (dBW/m2): -95.502589 Frekuensi masing-masing Carrier(MHz): 6127.006945 6127.491756 6128.488159 6132.692006 6133.729078 6134.766150 6137.957231 6138.482712 6138.934116 6141.836993 6142.288397 6142.739801 6146.323257 6147.212176 6148.101095 6151.698440 6152.587359 6153.476278 6155.434678 6156.323597 6156.780210 6159.903580 6160.459155 6160.792499 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 >>
0.055557 0.013889 0.888919 0.888919 0.888919 0.888919
6129.525231 6135.803223 6139.489691 6143.628721 6148.990014 6153.976295 6157.236823 6161.459189
1.037072 0.888919 0.888919 0.888919 0.888919 0.000000
6130.562304 6136.333912 6140.045265 6144.517640 6149.878933 6154.059631 6158.125742 6161.910593
1.037072 0.222230 0.027779 0.888919 0.444460 0.000000
6131.108618 6136.373844 6140.934184 6145.406559 6150.767852 6154.094355 6158.792431 6161.929691
1.037072 0.888919 0.888919 0.111115 0.444460 0.000000
1.037072 0.888919 0.888919 0.055557 0.888919 0.000000
6131.654933 6136.920159 6141.385589 6145.864908 6151.233146 6154.545759 6159.236891 6162.386304 0.000000
Jaringan komunikasi satelit yang sesuai dengan hasil di atas adalah seperti tabel berikut: Tabel 6.1 Perencanaan jaringan komunikasi satelit Frekuensi Uplink (GHz) 6.1270 6.1275 6.1285 6.1295 6.1306 6.1311 6.1317 6.1327 6.1337 6.1348 6.1358 6.1363 6.1364 6.1369 6.1380 6.1385 6.1389 6.1395 6.1400
Datarate (Kbps) 32 2048 2048 2048 2048 128 2048 2048 2048 2048 2048 56 128 2048 2048 32 2048 512 2048
Modulasi dan FEC rate 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 3/4 Turbo 16QAM Rate 3/4 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 3/4 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 3/4 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 3/4 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 3/4 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 3/4 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 3/4 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 3/4 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 3/4 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 3/4 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon
Bandwidth (Mhz) 0.0139 0.9557 1.0371 1.0371 1.0371 0.0556 1.0371 1.0371 1.0371 1.0371 1.0371 0.0243 0.0556 1.0371 1.0371 0.0139 0.8889 0.2222 0.8889
71 6.1409 6.1414 6.1418 6.1423 6.1427 6.1436 6.1445 6.1454 6.1459 6.1463 6.1472 6.1481 6.1490 6.1499 6.1508 6.1512 6.1517 6.1526 6.1535 6.1540 6.1541 6.1541 6.1545 6.1554 6.1563 6.1568 6.1572 6.1581 6.1588 6.1592 6.1599 6.1605 6.1608 6.1615 6.1619 6.1619 6.1624
2048 32 2048 32 2048 2048 2048 2048 64 2048 2048 2048 2048 2048 2048 96 2048 2048 2048 256 128 32 2048 2048 2048 56 2048 2048 1024 1024 2048 512 1024 2048 32 56 2048
16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon 16QAM Rate 7/8 Viterbi/Reed Solomon
0.8889 0.0139 0.8889 0.0139 0.8889 0.8889 0.8889 0.8889 0.0278 0.8889 0.8889 0.8889 0.8889 0.8889 0.8889 0.0417 0.8889 0.8889 0.8889 0.1111 0.0556 0.0139 0.8889 0.8889 0.8889 0.0243 0.8889 0.8889 0.4445 0.4445 0.8889 0.2222 0.4445 0.8889 0.0139 0.0243 0.8889
Suatu link komunikasi dua arah membutuhkan dua carrier. Satu carrier digunakan untuk ‘Asal’ dan satu lagi digunakan untuk ‘Tujuan’. Masing- masing carrier bisa membawa datarate yang sama maupun tidak. Modulasi yang digunakan bisa sama atau bisa juga berbeda, tergantung kebutuhan riil di lapangan. Tabel diatas menunjukkan bahwa transponder tersebut cocok digunakan untuk menyediakan link-link yang beragam.
6.1.2 Perancangan Jaringan Komunikasi untuk Transponder Lain Langkah- langkah yang harus dilakukan untuk menerapkan sistem ini pada transponder selain dari transponder yang dianalisis tergantung dari dua kondisi awal yakni transponder masih kosong, atau sebagian sudah terisi trafik.
72 1. Transponder Masih Kosong Langkah- langkah yang harus dilakukan adalah: a. Buat kurva gainflatness yang akan dioptimisasi sesuai dengan data gainflatnes pabrik. Ubah batas bawah dan batas atas frekuensi (6125 < FC < 6165)
sesuai dengan transponder yang diinginkan. Simpan pada
gainflat.m b. Ubah frekuensi center transponder (Fc_tpdr) pada file cekBER.m dengan frekuensi transponder yang akan dioptimisasi. c. Lakukan optimisasi dengan menjalankan program melalui modul utama (Lampiran 1). Akan diperoleh hasil optimisasi. d. Rancang jaringan komunikasi berdasarkan hasil yang diperoleh pada c. 2. Sebagian Transponder Terisi Trafik Langkah- langkah yang harus dilakukan adalah: a. Buat kurva gainflatness yang akan dioptimisasi sesuai dengan data gainflatnes pabrik. Ubah batas bawah dan batas atas frekuensi (6125 < FC < 6165)
sesuai dengan band yang masih kosong yang diinginkan. Simpan
pada gainflat.m b. Ubah frekuensi center transponder (Fc_tpdr), batasan bandwidth,batasan power (sum(BW1(1,1:y)) <= 36.0) & (Jmlh_pefede <= SFDensity+PAD-3) pada file cekBER.m sesuai dengan band yang diinginkan. c. Lakukan optimisasi dengan menjalankan program melalui modul utama (Lampiran 1). Akan diperoleh hasil optimisasi. d. Rancang jaringan komunikasi berdasarkan hasil yang diperoleh pada c.
73 6.2 Peranan Satelit Komunikasi dalam Pertanian Indonesia Pada kolom Fokus Harian Kompas, Sabtu tanggal 16 Juli 2005 (Amr. 2005) menyoroti permasalahan pertanian di Indonesia. Terdapat konsep yang terdiri dari enam langkah yang diusulkan di dalam mewujudkan pertanian yang kompetitif yakni sebagai berikut :
1. Mengerti dan memahami persoalan-persoalan pertanian saat ini, setelah itu baru membuat prioritas-prioritas. 2. Memantapkan swasembada pangan dengan paradigma baru yaitu dengan pertimbangan keanekaragaman hayati. 3. Meningkatkan produksi dan mutu komoditas berpotensi ekspor dengan cara mengoptimalkan fungsi penyuluh pertanian. 4. Meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan efisiensi dan model kemitraan yang tepat. 5. Meningkatkan nilai tambah produk primer menjadi produk olahan. 6. Memperbaiki penyuluhan dan sistem informasi yang mampu mencatat data secara akurat dan cepat serta dapat diakses semua pihak.
Menyikapi pernyataan pada langkah keenam di atas maka perlu dirancang suatu sistem informasi pertanian yang bisa di akses setiap orang yang berkepentingan secara nasional. Dengan demikian diharapkan seluruh informasi tentang pertanian akan menjadi transparan, sehingga setiap daerah dapat memanfaatkan informasi yang tepat untuk peningkatan kemampuan pertanian di daerah masing- masing. Adapun konsepnya adalah sebagai berikut:
74
Gambar 6.1 Sistem Informasi Pertanian
Pengguna yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia berperan dalam: •
Updating data-data lokal (daerah setempat) di database masing- masing daerah. Data ini bisa berupa cuaca, komoditi lokal, harga, hama, masa panen, kebijakan daerah, dll.
•
Memperoleh data yang dibutuhkan dari Pemerintah melalui wide area network (WAN). Dalam hal ini, pengguna diberi batasan tertentu melalui otentikasi terhadap data-data yang bisa diperoleh.
Pemerintah harus mendorong seluruh departemen dan instansi lain yang terkait dengan pertanian untuk membuka akses ke publik. Disamping itu juga database masingmasing instansi harus diupdate sesuai dengan perkembangan di daerah secara akurat. Database ini misalnya akan berisi kebijakan-kebijakan pemerintah, peraturan, stok pangan, pengetahuan-pengetahuan tentang pertanian, permasalahan pertanian dan solusinya, impor/ekspor, peta produksi pertanian secara nasional, dan lain sebagainya.
75 Mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas dengan masalah infrastruktur telekomunikasi yang tidak merata, maka komunikasi satelit menjadi solusi yang efektif untuk memenuhi WAN yang dibutuhkan pada gambar 6.1 di atas. Efektif karena selain deploy-nya lebih cepat satelit juga bisa menjangkau seluruh Indonesia. Disamping itu cost-nya juga relatif makin murah. Berikut rancangan penggunaan satelit komunikasi didalam mendukung sistem informasi pertanian.
pengguna LAN
pengguna
LAN
T w o-Way NOC
= Outroute 4.6 - 48 Mbps =Inroute 64, 128, 256 kbps
Gambar 6.2 Komunikasi Satelit untuk mendukung Sistem Informasi Pertanian
Hub berfungsi untuk mengendalikan sistem diatas tergabung dengan network operation control (NOC). Hub terhubung dengan database masing- masing instansi terkait. Outroute adalah kanal downstream yang dipancarkan Hub ke masing- masing pengguna melalui satelit. Outroute merupakan kanal yang berisi seluruh informasi yang diminta oleh seluruh pengguna. Sedangkan inroute adalah kanal upstream yang
76 dipancarkan pengguna ke Hub melalui satelit. Sistem ini menawarkan koneksi berbasis IP ataupun client-server. Di sisi pengguna (remote) layanan yang bisa dinikmati adalah suara , gambar dan teks. Sistem di atas sifatnya komunikasi dua arah. Pengguna remote bisa mengakses data dari pusat data, sekaligus bisa mengirimkan data secara online. Demikian sebaliknya. Misalnya data-data cuaca, iklim, hama, musim panen, musim tanam, intensitas hujan, dan lain- lain yang diperoleh dari data collector bisa diinformasikan secara real time ke pusat informasi pertanian. Data collector yang dimaksud bisa berupa petugas, sensor-sensor, atau detektor-detektor, ataupun alat ukur lain yang dipasang secara permanen pada daerah remote dan diintegrasikan dengan LAN pengguna remote. Dengan terkumpulnya seluruh data tersebut pada pusat informasi memungkinkan pengguna didaerah lain bisa mengakses informasi tersebut. Selama ini paradigma yang muncul dimasyarakat adalah komunikasi via satelit sangat mahal. Usulan pemenuhan jaringan komunikasi di atas akan mengarah pada pertanyaan kemampuan petani menutupi biaya yang muncul. Jika pengguna adalah pada tingkat kecamatan (mis: penyuluh pertanian), maka penutupan biaya yang muncul akan lebih mudah. Selain itu sisi positif dari hasil optimisasi transponder adalah apabila pihak operator satelit menjadikannya sebagai kompensasi penekanan cost yang dibebankan terhadap kastamer. Seperti pada transponder yang ditinjai bahwa terdapat optimisasi sebesar 8.88%. Apabila pihak operator menjadikan angka tersebut untuk menekan cost dengan demikian pengguna akan mendapatkan biaya yang lebih ringan sebesar 8.88%. Selain itu juga sumber dana bisa dimanfaatkan dari dana yang terkumpul oleh Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.34 Tahun 2004 tentang Kewajiban Pelayanan
77 Universal sebagai akibat dari Pelaksanaan Restrukturisasi Sektor Telekomunikasi seperti di bawah ini (http://www.mastel.or.id):
Gambar 6.3 Kewajiban Pelayanan Universal
Alternatif lain adalah dengan menggunakan mobile satellite news gathering (SNG) yang dapat melaporkan informasi- informasi terkait dengan pertanian (misalkan: cuaca, banjir, masa panen dan masa tanam tanaman pertanian, dll) secara real time ke pengguna/petani melalui siaran TV yang dipancarkan secara broadcast melalui satelit komunikasi (Careless, 2005). Careless menganalisa bahwa trend kedepan perangkat SNG akan semakin compact dan ringan, serta harganya semakin murah. Dengan demikian biaya yang dibebankan terhadap pengguna akan semakin ringan. Semenjak tahun 1996, di Indonesia yang dipelopori oleh PT.TELKOM telah disediakan layanan Satellite News Gathering (Priyanto, 2005) .
78
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan Pendekatan manajemen transponder satelit komunikasi dapat dilakukan terlebih dahulu dengan upaya pencarian kapasitas optimum yang boleh dilewatkan oleh transponder tersebut. Upaya ini memperhitungkan seluruh resource yang terlibat seperti bandwidth transponder, power transponder, gainflatness amplifier transponder, modulasi, forward error correction code, diameter antena stasiun bumi, daya transmit stasiun bumi pengirim serta parameter lainnya. Metode pencarian nilai optimum yang digunakan adalah algoritma genetika yang mempunyai running time linier terhadap jumlah data yang diproses. Sistem yang dikembangkan mampu menemukan kapasitas optimum transponder 8.88% lebih optimal jika dibandingkan dengan cara konvensiona l. Berdasarkan nilai optimum ini, jaringan komunikasi satelit dapat didisain. Pengaruh parameter gainflatness yang selama ini diabaikan (dianggap ideal) ternyata terbukti berpengaruh negatif (1.71 %) terhadap kapasitas suatu transponder. Pengaruh negatif yang dimaksud adalah adanya pengurangan kapasitas transponder sebesar 1.71 % jika dibandingkan dengan gainflatness ideal. Sistem juga mampu menunjukkan korelasi positif antara diameter antena stasiun bumi dengan kapasitas transponder dimana semakin besar antena stasiun bumi, semakin besar kapasitas suatu transponder.
79 Implikasi terhadap kebijakan manajemen transponder menunjukkan bahwa setiap transponder harus melayani stasiun bumi yang berdiameter seragam. Hal ini disebabkan karena sistem yang dikembangkan belum mampu untuk mencari nilai optimum untuk kasus stasiun bumi yang berdiameter tidak seragam. Satelit komunikasi dengan sistem IP over satellite bisa digunakan sebagai infrastruktur pengembangan Sistem Informasi Pertanian. Selain itu satellite news gathering dapat juga digunakan untuk menyampaikan permasalahan pertanian secara langsung kepada petani. Hal ini bisa mendukung peningkatan pertanian Indonesia.
7.2 Saran Untuk pengembangan lebih lanjut, disarankan untuk: 1. Merancang sistem untuk antena stasiun bumi berdiameter yang bervariasi. 2. Optimisasi terhadap daya pancar stasiun bumi pengirim dan figure of merit penerima didalam mendukung nilai optimal transponder yang telah diperoleh. 3. Membuat Sistem Informasi Pertanian dengan infrastruktur jaringan komunik asi satelit. 4. Mengembangkan GA dengan metode terminasi iterasi GA selain terminasi digunakan pada penelitian ini (berdasarkan jumlah generasi).
80
DAFTAR PUSTAKA
[1] Amr. 2005.” Petani Miskin di Lumbung Padi”, Harian Kompas, 16 Juli 2005. http://www.kompas.com/ [2] Asvial. 2004.”Channel Assignment for MSS Network Using Genetic Algorithms,” Electronic Engineering Department, University of Indonesia. [3] Bodenhofer. 2003. Genetic Algorithms: Theory and Applications. Fuzzy Logic Laboratorium Linz-Hgenberg, http://flll.jku.at. [4] Careless.2005. The Changing Face of Satellite News Gathering Equipment. Via Satellite. August 2005. [5] Dephub RI. 2004. Pengumuman Departemen Perhubungan Republik Indonesia Tentang Pelaksanaan Restrukturisasi Sektor Telekomunikasi , http://www.mastel.or.id [6] EF Data. 2003. CDM-600 Satellite Data Modem Installation and Operation Manual. Rev.5, Comtech EF Data. [7] Goldberg. 1989. Genetic Algortihms in Search, Optimization and Machine Learning. The University of Alabama, Addison Wesley Publishing Company, inc. [8] Gwang J. J., Se K. P., dan Jae M.K. 1997. A New Frequency Planning Method On Transponders In The Satellite Communications Networks. American Institute of Aeronautics and Astronautics. [9] Ilsoo Y., dan Byungkyu, P. 2003. development of ITS Evaaluation Test-Bed Using Microscopic Simulation-City of Hampton Case Study.Research Report No. UVACTS_15-0-45 August 2003. University of Virginia. [10] Instruktur. 2001. Perencanaan Link Komunikasi Satelit. Divisi Pelatihan PT. XYZ, Bandung. [11] Jae-Soo K., Park, Dowd, Nasrabadi. “ Genetic Algorithms Approach to the Channel Assignment Problem,” Department of Electrical and Computer Engineering State University of New York at Buffalo, NY 14260.
81
[14] Matlab.2002. Genetic Algorithm for Optimization Toolbox. MathWorks, Inc. http:// www.ie.ncsu.edu/mirage/GAToolBox/gaot/ [15] Michalewicz. 1996. Genetic Algorithms+Data Structures = Evolution Programs. University of North Carolina, Springer, 3rd edition. [16] Pratt.1986. Satellite Communications .John Wiley & Sons. [17] Priyanto. 2005. Perjalanan TELKOM Dalam Mengoperasikan Satelit Komunikasi Untuk Melayani Kepulauan Indonesia. Online Journal of Space Communication, http://satjournal.tcom.ohiou.edu/issue8/ [18] T.Ha. 1986. Digital Satellite Communications. McGraw-Hill, 2nd edition.