Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) XXI 2013
TROMBOSIS VENA DALAM I Wayan Losen Adnyana, Ketut Suega, I Made Bakta Divisi Hematologi Onkologi Medik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Udayana RSUP Sanglah Denpasar Bali
ABSTRACT Venous thrombosis is the result of occlusive clot formation in the veins. It occurs mainly in the deep veins of the leg (deep vein thrombosis, or DVT, from which part of the clot frequently embolize to the lungs (pulmonary embolism, or PE). Fewer than 5% of all venous thrombosis occur at other sites. Venous thrombosis is common and often occurs spontaneously, and it also frequently accompanies medical and surgical conditions, both in the community and the hospital.The symptoms of venous thrombosis are nonspecific, and therefore the clinical diagnosis is difficult and requires objective testing by imaging. Major complications of thrombosis include a disabling postthrombotic syndrome and death due to fatal PE. Treatment with anticoagulants should be prompt and adequate. Algorithm strategy diagnosis DVT combining pretestprobability, D-dimer and compression ultrasound imaging allows for safe and convenient investigation of suspected lower exstremity thrombosis. Patient with low pretest probability and negative D-dimer test result can have proximal DVT exluded without the need for diagnostic imaging. The mainstay of treatment of DVT is anticoagulantion therapy, whereas intervention such thrombolysis and placement of inferior vena cava filters are reserved for special situations. The use of low moleculer weight heparin allows for outpatient management of most patient with DVT. The duration of anticoagulation therapy depends on whether the primary event was idiopatic or secondary to a transient risk factors. More research is required to optimally define the factors that predict an increased risk of recurrent DVT to determine which patients can benefit from extended anticoagulant therapy. Key words: DVT, risk factor, diagnosis, anticoagulantion
PENDAHULUAN Trombosis vena dibentuk karena pembentukan bekuan darah di dalam vena. Sebagian besar terjadi pada vena yang dalam di dalam tungkai yang dikenal dengan deep vein thrombosis (DVT) yang sering merupakan awal terjadinya emboli ke paru (pulmonary embolism atau PE). Sekitar 5% thrombosis juga bisa terjadi di tempat lain seperti lengan atau trombosis yang superfisialis. Trombosis vena sering terjadi spontan dan sering juga berhubungan dengan kondisi penyakit tertentu atau berhubungan dengan pembedahan baik terjadi di rumah sakit atau di masyarakat.1,2 Gejala dari trombosis vena sering tidak spesifik, oleh karena itu diagnosisnya menjadi sulit dan memerlukan test yang objektif untuk menegakkannya. Komplikasi utama trombosis ini adalah postthrombotic syndrome dan kematian akibat PE yang fatal. Pengobatan dengan antikoagulan seharusnya tepat dan adekuat untuk mengurangi mortalitasnya.1,2
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) XXI 2013
Beberapa faktor risiko trombosis ini banyak diketahui, semuanya terkait dengan imobilisasi atau hiperkoagulasi. Pencegahan terjadinya trombosis diperlukan pada kondisi dimana terdapat beberapa faktor risiko trombosis yang pada pasien. Banyak protokolprotokol yang ada yang bisa dipakai sebagai pedoman untuk pencegahan ini.1,2 Trombosis vena memiliki kecenderungan untuk kambuh. Seringkali faktor risiko trombosis yang pertama kali berbeda dengan trombosis yang ulangan dan sebagian besar faktor tersebut tidak diketahui. Kecenderungan trombosis pada usia muda juga sering terjadi terutama pada penderita dengan riwayat trombosis di keluarga atau trombofilia herediter.1 EPIDEMIOLOGI Insiden thrombosis vena yang pertama adalah 1 – 3 per 1000 orang pertahun. Sekitar dua pertiga muncul dengan DVT pada tungkai dan sepertiganya dengan PE. Separuh dari penderita PE tidak memiliki tanda-tanda dan gejala DVT pada awalnya. 1 – 10% penderita trombosis vena bersifat fatal, terutama terjadi pada orang tua atau penderita dengan penyakit berat seperti kanker. Insiden trombosis ini meningkat secara ekponensial berdasarkan umur. Pada anak-anak insidennya 1 per 100.000 pertahun, pada dewasa muda insidennya 1 per 10.000, umur pertengahan adalah 1 per 1.000, pada orang tua sebanyak 1% dan 10% pada pasien yang sangat tua. Kekambuhan trombosis ini adalah 3 – 10% pertahun.3 ETIOLOGI Penyebab thrombosis dibagi menjadi dua yaitu yang terkait dengan imobilisasi dan yang berhubungan dengan hiperkoagulasi baik yang berhubungan dengan faktor genetik atau didapat. Trombosis vena adalah penyakit dengan penyebab yang multiple dengan beberapa faktor risiko sering terjadi bersama-sama pada suatu waktu. Seringkali faktor risiko thrombosis bersifat herediter dan sudah berlangsung lama, kemudian diperberat oleh adanya faktor risiko yang didapat.4 Beberapa faktor risiko thrombosis yang didapat sangat tinggi, dan menyebabkan risiko trombosis vena lebih dari 50%. Kondisi-kondisi dengan faktor risiko yang tinggi tersebut adalah operasi ortopedik, neurosurgical, intervensi di daerah abdomen, trauma mayor dengan fraktur yang multiple, kateter vena sentral, kanker metastase khususnya adenokarsinoma. Faktor risiko sedang adalah anthiphospholipid antibody syndrome, puerperium, bedrest yang lama. Kanker non metastase, kehamilan, penggunaan kontrasepsi oral, dalam terapi hormone tertentu, kegemukan dan perjalanan yang jauh merupakan faktor risiko yang ringan.2 Defesiensi protein C dan S yang homosigot berpotensi untuk menyebabkan terjadinya purpura fulminan yang fatal setelah lahir. Defesiensi antitrombin dan faktor V Leiden merupakan faktor risiko genetik yang terkuat dengan risiko trombosis vena sebanyak 20 – 50 kali lipat. Defesiensi protein C dan S yang heterosigot merupakan fektor risiko sedang yang meningkatkan risiko thrombosis 10 kali lipat.5 Peningkatan ringan risiko trombosis terjadi pada kondisi gangguan sistem koagulasi dengan sumber yang tidak jelas seperti peningkatan faktor prokoagulasi seperti fibrinogen, II, von Willebrand’s factor, VIII, IX, X dan XI, dan antifibrinolytic factor (TAFI) dan kadar yang rendah dari anticoagulant factors (TFPI).1,5 THROMBOPHILIA HEREDITER Pasien dengan keluarga yang yang mempunyai risiko trombosis secara umum memiliki risiko thrombosis lebih tinggi dari pasien yang tidak memiliki risiko trombosis di
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) XXI 2013
keluarga. Dua pasien yang berasal dari keluarga yang memiliki kelainan genetik yang sama, risiko trombosis lebih tinggi terjadi pada pasien yang keluarganya ada riwayat thrombosis. Beberapa dari pasien yang memiliki kelainan genetik tidak menunjukkan adanya thrombosis sepanjang hidupnya. Pengobatan jangka panjang dapat dipertimbangkan setelah episode pertama trombosis pada kelainan herediter ini khususnya pada penderita dengan risiko tinggi seperti pada defesiensi antitrombin.1,2,5 PATOGENESIS Pembentukan trombus biasanya dimulai dari valve pocket vena pada betis dan meluas ke proximal. Proses seperti ini biasanya terjadi pada penderita setelah dilakukan operasi. Sebagian besar thrombus mulai terbentuk selama operasi, beberapa hari atau minggu atau bulan setelah operasi. Beberapa data yang menunjukkan awal terjadinya thrombus di valve pocket vena adalah peningkatan ekspresi endothelial protein C receptor (EPCR) dan thrombomodulin (TM) dan penurunan ekspresi dari Von Willebrand factor (vWF) pada endotel katup vena. Ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan antikoagulan seperti (EPCR dan TM) dan terjadi penurunan prokoagulan (vWF) pada katup vena.6 DVT pada daerah ekstremitas bawah diklasifikasikan menjadi dua yaitu proximal DVT apabila yang terkena vena poplite atau yang lebih proximal dan distal DVT apabila yang terkena adalah vena di betis atau yang lebih distal. DVT proximal memiliki arti klinis yang lebih penting karena berhubungan dengan beberapa penyakit yang serius seperti kanker yang aktif, gagal jantung kongestif, kegagalan respirasi, unur diatas 75 tahun. Sedangkan DVT distal biasanya berhubungan dengan imobilisasi dan operasi.7 PE yang fatal biasanya berasal dari DVT proximal. Post thrombotic syndrome yang ditandai dengan pembengkakan kaki, nyeri, pelebaran vena, indurasi dan ulkus pada kulit baiasanya terjadi 1 tahun setelah DVT terjadi pada 17% - 50% kasus DVT proximal. Suatu manifestasi yangjarang dari DVT adalah massive venous thrombosis yang akut yang menyebabkan drainase vena ekstremitas tersumbat. Hal ini akan menyebabkan phlegmasia alba dolens, phlegmasia cerulia dolens dan gangrene vena. Pada phlegmasia alba dolens trombosis hanya terjadi pada vena-vena yang dalam tetapi tidak terjadi pada vena kolateralnya. Sedangkan pada phlegmasia cerulia dolens thrombosis terjadi sampai pada vena kolateralnya sehingga akan menyebabkan sekuesterasi cairan tubuh dan edema yang berat.1,7 PROGNOSIS Rekurensi trombosis pada kaki yang lainnya yang sebelumnya tidak terjadi DVT, menunjukkan bahwa faktor risikonya adalah perubahan sistemik bukan disebabkan oleh sisa kerusakan pembuluh darah lokal. Namun hanya beberapa faktor risikonya yang diketahui seperti faktor V Leiden, prothrombin 20210A, peningkatan faktor koagulasi VIII, IX dan XI, defisiensi protein C dan protein S. Beberapa faktor risiko yang didapat seperti pembedahan, imobilisasi dan kanker meningkatkan risiko trrombosis rekuren seperti pada thrombosis pada kasus pertama kali.1,2 TROMBOSIS PADA TEMPAT-TEMPAT YANG JARANG Satu dari dua puluh lima penderita penderita mempunyai trombosis di tempat yang agak jarang seperti di otak (cerebral vein thrombosis), pada organ digestif (mesenteric vein thrombosis) dan pada hati (portal vein thrombosis dan hepatic vein thrombosis yang dikenal dengan Budd-Chiari syndrome). Trombosis di daerah lengan selalu dihubungkan dengan adanya pemasangan kateter vena sentral. Tanda-tanda thrombosis ditempat jarang ini
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) XXI 2013
adalah penurunan fungsi hati dan peningkatan tekanan portal pada trombosis vena portal atau hepatika, defek neurologi pada trombosis serebral, nyeri perut yang berat pada trombosis vena mesenterika. Kasus yang jarang terjadi adalah DVT yang diikuti oleh stroke emboli, ini bisa terjadi apabila voramen ovale di atrium masih ada. Meskipun kelainan faktor lokal masih merupakan penyebab utama, tetapi procoagulant state yang disebabkan oleh kanker atau kelainan herediter akan meninghkatkan risiko thrombosis pada tempat-tempat yang jarang tersebut. Diagnosis kasus di atas semua didasarkan atas pemeriksaan imaging, terapi dengan antikoagulan sama dengan thrombosis ditempat lain. Disamping itu terapi terhadap kelainan lokal juga penting.1,2 DIAGNOSIS Sekitar 15 – 25% dari semua pasien yang dicurigai DVT atau PE terbukti adnya trombosis di sistem vena atau paru. Oleh karena itu proses diagnostic kedua penyakit tersebut mempunyai tujuan yaitu 1) untuk eksklusi adanya trombosis secepatnya dan seaman mungkin, kalau memungkinkan tidak invasive, mudah dengan metode yang costeffective; 2) menentukan adanya trombosis pada yang lain dengan imaging yang akurat. Tujuan dari yang pertama adalah menghindari test yang tidak perlu atau menghindari pemberian antikoagulan.1,2 Semua gejala dari DVT adalah bengkak, nyeri, kemerahan, dilatasi vena superfisialis dan Homan’s sign adalah tidak spesifik dan tidak cukup kuat untuk menyingkirkan atau mendiagnosis penyakit. Gold standard diagnosisnya adalah contrast venography. Meskipun cara ini sangat akurat tetapi memerlukan fasilitas radiologi dan ahlinya, bersifat invasif dan tidak nyaman bagi pasien. Vena yang tidak dapat ditekan dengan ultrasonografi merupakan dasar diagnostik yang mengganti contrast venography. Pemeriksaan ini mempunyai keterbatasan pada thrombosis vena femoralis di groin atau trombosis vena poplitea di daerah fossa poplitea. Test ini memiliki sensitifitas dan spesifisitas 95 – 100% pada DVT proximal. Metode ini kurang akurat pada DVT vena di daerah betis.8 Untuk dapat menyingkirkan adanya DVT dengan cepat dan aman penggunaan test clinical probability dan D-dimer sangat mambantu. Clinical probability dapat dinilai dengan menggunakan tabel dibawah ini dengan kemungkinan hasil DVT likely atau DVT unlikely dan PE likely atau PE unlikely. D-dimer merupakan produk dari degradasi cross-linked fibrin, oleh karena itu D-dimer yang rendah dapat membantu untuk menyingkirkan adanya trombosis.Pada kondisi normal hasil D-dimer akan tinggi pada pasien dengan usia diatas 70 tahun, oleh karena itu test ini kurang bermanfaat pada populasi umur tersebut. Sebanyak 30 – 50% pasien yang dirujuk dengan kecurigaan DVT ternyata mimiliki clinical probability unlikely dan D-dimer normal sehingga pemeriksaan DVT lebih lanjut dapat ditunda dan pemberian antikoagulan juga tidak diberikan.8,9 Clinical prediction rule Secara umum pendekatan diagnosis VTE menggunakan clinical model dengan menggunakan penilaian klinik yang standar (kombinasi faktor risiko, gejala dan tanda) dan selanjutnya dibuatkan stratifikasi kecurigaan adanya DVT. Meskipun metode ini telah dipakai di pusat pelayanan kesehatan primer maupun sekunder, tetapi metode ini tidak bisa menjamin memberikan hasil yang akurat.9 Model yang paling umum dipakai adalah model yang dikembangkan ole Wells dan kawan-kawan. Berdasarkan atas presentasi klinis dan faktor risiko penderita dibagi menjadi tiga kelompok seperti low, moderate dan high probability. Kelompok dengan high probability
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) XXI 2013
mempunyai risiko thrombosis 85%, kelompok moderate probability mempunyai risiko 33% dan low probability mempunyai risiko 5%. Selanjutnya Wells dan kawan-kawan mengelompokkan penderita hanya menjadi dua yaitu DVT unlikely jika skor ≤ 1 dan DVT likely bila skor > 1.8 D-dimer assay D-dimer merupakan hasil dari degradasi cross-linked fibrin oleh plasmin. Test ini menunjukkan aktivitas secara umum dari koagulasi dan fibrinolisis. Merupakan biomarker yang terbaik dari suatu VTE. Kombinasi dari clinical probability model dan test D-dimer dapat menyingkirkan sebanyak 25% pasien yang dengan gejala klinis meyerupai DVT tanpa perlu pemeriksaan lebih lanjut. Bahkan pada pasien dengan VTE yang rekuren kombinasi ini (clinical probability dan D-dimer) terbukti cukup baik untuk menyingkirkan adanya trombosis, terutama pada pasien dengan clinical prtetest probabilitynya yang rendah.10-12 Pemeriksaan D-dimer sangat sensitif (nilainya sampai 95%) tetapi specifisitinya rendah. Nilai negative prediction value D-dimer adalah hampir 100%. Oleh karena itu hasil test D-dimer yang negatif sangat baik untuk menyingkirkan DVT maupun PE. Hasil positif palsu dari D-dimer adalah pada inflamasi, kehamilan, malignansi, usia tua dan kehamilan. Peningkatan D-dimer dapat dipakai seagai prediksi outcome yang buruk pada anak-anak dengan kejadian trombosis yang akut. Negatif palsu dari D-dimer juga bisa terjadi pada penderita yang menggunakan heparin. Oleh karena itu disarankan untuk test D-dimer sebaiknya dilakukan sebelum memberikan heparin.12,13 Venous ultrasonography Venous ultrasonography merupakan pemeriksaan pilihan pada pasien dengan DVT likely. Bersifat non-invasive, aman, mudah didapat, dan relatif murah. Kriteria ultrasonografi mayor adanya trombosis adalah gagalnya penekanan lumen vena dengan tekanan yang cukup dengan probe USG. Keunggulan lain dari venous ultrasound ini adalah dapat mendeteksi adanya Baker’s cyst, hematoma dalam otot atau di daerah yang lebih superfisialis, lymphadenopathy, aneurisma femoralis, tromboplebitis superfisialis dan abses. Pengunaan alat ini memiliki keterbatasan untuk mendeteksi trombus didaerah distal. Penekanan vena dengan probe USG ini memiliki kekurangan pada pasien-pasien yang gemuk, edema, dan nyeri di lokasi vena yang diperiksa. Penggunaan alat USG yang lebih baru seperti compression B-mode ultrasonography dengan atau tanpa color Duplex imaging mempunyai sensitivitas 95% dan spesifisitas 96% untuk proximal DVT yang simtomatik. Trombosis di betis memiliki sensitivitas 73%. Pemeriksaan ulang venous ultrasound hanya diindikasikan pada pasien gejala DVT tetapi hasil pemeriksaan awal normal atau pada penderita yang seharusnya dilakukan pemeriksaan dengan metode lain tetapi mempunyai kontraindikasi untuk pemeriksaan dengan metode tersebut atau fasilitas yang tidak tersedia. Serial ini tidak diperlukan pada pasien yang berdasarkan kriteria Wells unlikely dan test D-dimer negatif.14,15 Contras venography Venography merupakan test definitif untuk DVT, tetapi sangat jarang dikerjakan karena test non-invasive seperti D-dimer dan venous ultrasound cukup baik dan akurat untuk mendiagnosis DVT. Prosedurnya meliputi pamasangan kanul pada vena, penyuntikan kontras bisanya contrast noniodinated seperti Omnipaque. Pemberian volume contrast yang cukup banyak yang dilarutkan dengan normal salin menghasilkan test yang lebih baik.16 Tanda utama yang ditemukan pada thrombosis vena ini adalah adanya filling defect pada vena. Tanda lainnya adalah adanya tanda-tanda putusnya gambar kontrast pada vena
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) XXI 2013
tiba-tiba. Pemeriksaan trombosis dengan metode ini bersifat invasive, nyeri, terpapar oleh radiasi dan risiko alergi oleh karena kontras. Disamping itu bisa juga terjadi gangguan pada ginjal akibat penggunaan kontras tersebut. DVT yang baru bisa juga di sebabkan oleh karena prosedur venography tersebut yang kemungkinan besar disebabkan oleh iritasi dan kerusakan endotel. Penggunaan contrast yang nonionic mengurangi risiko reaksi alergi dan trombogeniknya.16 Magnetic resnonance imaging (MRI) Cara ini sangat sensitif untuk mendiagnosis DVT di daerah pelvis, DVT di daerah betis dan DVT didaerah extremitas atas. Cara ini baik juga untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya pada pasien yang DVT. MRI merupakan test pilihan untuk mendiagnosis DVT di daerah vena iliaka atau vena cava inferior pada saat computed tomography venography merupakan kontraindikasi atau diperkirakan secara teknik mengalami kesulitan. Tidak ada radiasi ion tetapi mahal, dan memerlukan ahli radiologi untuk interpretasinya.17 Algoritme untuk diagnosis DVT Langkah pertama adalah melakukan pretest probability assessment dengan menggunakan Wells score. Jika skornya ≤ 1 (DVT unlikely), lakukan pemeriksaan D-dimer. Jika hasilnya negatif maka DVT dapat disingkirkan. Jika hasilnya positif dilakukan venous ultrasound. Jika hasil venous ultrasound negatif maka DVT juga data disingkirkan. Diagnosis DVT hanya dibuat apabila hasil venous ultrasoundnya positif.14 Jika skor Wells > 1 (DVT likely) maka pemeriksaan selanjutnya adalah venous ultrasound. Jika hasil ultrasoundnya positif maka diagnosis DVT dapat ditegakkan. Bila hasil ultrasound negatif maka dilakukan pemeriksaan D-dimer, apabila D-dimer negatif berarti DVT dapat disingkirkan tetapi apabila hasilnya positif lakukan pemeriksaan ulang ultrasound 6 – 8 hari lagi atau lakukan venography. Algoritme ini tidak digunakan pada kehamilan, sebab pada kondisi ini biasanya D-dimer tinggi.14 PENCEGAHAN Mekanikal Metode mekanik untuk mencegah DVT adalah pneumatic intermitent compression (IPC), graduated compression stocking (GCS) atau venous foot pump. IPC akan meningkat aliran vena dalam di betis mencegah stasis vena sehingga dapat mencegah trombosis. Review Cochrane mendapatkan penurunan 50% VTE dengan menggunakan graduated compression stocking. IPC selain dapat mengurangi risiko thrombosis juga dapat meningkatkan aktivitas fibrinolitik endogen dengan mengurangi plasminogen activator inhibitor-1. Penggunaan pencegahan DVT dengan metode kombinasi (mekanikal dan farmakologikal) mengurangi risiko trombosis lebih baik dibandingkan dengan metode mekanikal atau farmakologikal dan terutama pada kelompok dengan penderita dengan risiko trombosis yang tinggi.18 Pencegahan dengan metode mekanik sangat penting pada pasien-pasien yang berisiko tinggi untuk terjadinya perdarahan dengan penggunaan antikoagulan seperti pada pasien-pasien yang sedang atau baru terjadi perdarahan sauran cerna, stroke perdarahan atau pada pasien dengan gangguan hemostatik seperti pasien dengan trmbositopenia. Kontraindikasi metode mekanik adalah iskemia pada ekstremitas disebabkan oleh peripheral vascular disease. Pemakaian setiap hari dari elastic compression stocking dapat menurunkan insiden postphlebitis syndrome sebanyak 50%.18,19
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) XXI 2013
Farmakologi Unfractionated heparin (UFH), low molecular-weight heparin (LMWH), fondaparinux, obat penghambat trombin oral yang selektif, dan penghambat faktor Xa merupakan obat yang efektif untuk mencegahan DVT. Beberapa studi melaporkan insiden DVT dan PE termasuk PE yang fatal akan menurun dengan pemberian UFH dosis kecil.14,19 LMWH mempunyai keuntungan tambahan bila dibandingkan dengan UFH (Tabel 2). LMWH dapat diberikan satu atau dua kali sehari tanpa perlu memonitor faal koagulasi. Keuntungan lain seperti efek antikogulan yang dapat diprediksi, kadar LMWH dalam plasma yang dosis dependen, waktu paruh yang panjang, kejadian perdarahan yang kecil, dan insiden heparin induced thrombocytopenia (HIT) yang lebih kecil bila dibandingkan dengan UFH.19 Risiko osteoporosis yang terkait dengan heparin lebih rendah pada LMWH bila dibandingkan dengan UFH hal ini disebabkan oleh karena LMWH tidak meningkatkan jumlah dan aktivitas osteoklas. Bila dibandingkan UFH, LMWH mempunyai efek yang lebih besar dalam menghambat faktor Xa, dan mempunyai efek yang lebih sedikit terhadap antitrombin III (AT III) yaitu dengan menghambat trombin. Kontraindikasi pemberian LMWH sebagai tromboprofilaksis adalah perdarahan intra kranial, perdarahan yang tidak dapat dikontrol, dan injuri corda spinalis parsial yang berhubungan dengan hematoma pada spinal.14,19 Fondaparinux merupakan pentasakarida sintetik dan sudah diakui sebagai tromboprofilaksis DVT. Bekerja menghambat secara selektif faktor Xa dengan cara mengikat antitrombin dengan afinitas yang tinggi. HIT tidak dilapokan terjadi pada penggunaan Fondaparinux karena tidak mengganggu fungsi dan agregasi trombosit, Fondaparinux mempunyai respon yang dapat diprediksi. Pemantauan prothrombin time (PT) atau partial thromboplastin time (PTT) tidak diperlukan pada pemberian fondaparinux. Kesimpulannya adalah fondaparinux mempunyai efektivitas yang sama bahkan lebih baik daripada obat yang ada sekarang, mempunyai kelebihan seperti risiko perdarahan yang lebih kecil, tidak perlu pemantauan laboratorium, dan pemberiannya cukup hanya satu kali sehari.20 Dabigatran merupakan obat penghambat trombin yang baru. Dabigatran diserap secara cepat di saluran pencernaan dengan bioavailabilitas 5 - 6%. Mempunyai waktu paruh 8 jam setelah dosis pertama dan waktu paruh dapat memanjang sampai 17 jam setelah diberikan beberapa dosis dengan peningkatan kadar mencapai puncak dalam plasma dalam waktu 2 jam. Obat dieksresi melalui ginjal. Dabigatran mempunyai bioavailabilitas yang rendah, mempunyai efek antikoagulan yang dapat diprediksi, dan tidak tidak memerlukan evaluasi koagulasi. Dabigatran sudah mendapat persetujuan dalam prevensi VTE pada operasi ortopedi di Canada dan Eropa.21 Studi RE-COVER membandingkan dabigatran dan warfarin dalam pengamatan 6 bulan pada pasien dengan VTE akut. Dabigatran mempunyai efektivitas yang sama dengan warfarin dalam mencegah VTE yang berulang, dengan komplikasi perdarahan mayor yang berimbang antara kedua kelompok, dan total kejadian perdarahan yang lebih rendah. Studi lain (RE-NOVATE II) membandingkan efikasi dan keamanan dabigatran dibandingkan dengan enoxaparin subkutan sebagai tromboprofilaksis pada pasien yang akan menjalani total hip arthroplasty (THA). Profilaksis dengan dabigatran 200 mg mempunyai efektivitas yang sama dengan enoxaparin 40 mg dalam menurunkan risiko VTE, dan lebih baik menurunkan risiko VTE mayor bila dibandingkan dengan enoxaparin. Risiko perdarahan sama pada kedua kelompok.22,23
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) XXI 2013
Rivaroxaban merupakan penghambat faktor Xa yang selektif dan poten, mempunyai onset yang cepat dan biovaibilitas yang tinggi (80%), serta waktu paruh 4 - 12 jam. Studi EINSTIEN-DVT menunjukan rivaroxaban mempunyai efektivitas yang sama dengan LMWH, enoxaparin, fondaparinux, dan warfarin dalam mencegah VTE yang berulang. Hasil dari studi RECORD fase III menunjukan rivaroxaban 10 mg lebih baik dari enoxaparin sebagai profilaksis VTE pada operasi ortopedi. Obat ini juga mempunyai kelebihan seperti merupakan obat oral dengan dosis sekali sehari dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium. Obat lain seperti apixaban dan edoxaban masih dalam proses uji klinis.24 Antikoagulan oral seperti warfarin dapat dimulai pre-operasi, saat operasi, dan pasca-operasi sebagai pencegahan VTE. Warfarin dikontraindikasikan sebagai tromboprofilaksis pada pasien anterpartum karena dapat melewati barier plasenta dan menyebabkan teratogenik serta perdarahan pada fetus. Obat ini dikatakan aman selama menyusui karena tidak terakumulasi di air susu. Tidak seperti warfarin, heparin aman dan direkomendasi pada kehamilan dan laktasi.14,25 Penggunaan aspirin tunggal tidak direkomendasikan sebagai tromboprofilaksis terhadap VTE. Beberapa studi menggunakan aspirin sebagai profilaksis DVT menunjukan aspirin memberikan hasil yang beragam dalam mencegah VTE pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Namun studi lain tidak menunjukan hasil yang tidak lebih baik dari obat lain.14,25 Durasi pemberian tromboprofilaksis tergantung pada risiko VTE. Pada pasien yang akan menjalani THA atau fraktur panggul, pemanjangan durasi pemberian profilaksis VTE direkomendasikan sampai 10 hari atau bisa sampai 35 hari pada pasien dengan risiko tinggi VTE. Pasien dengan sakit berat, pemberian tromboprofilaksis direkomendasikan terus dilanjutkan sampai pasien diperbolehkan pulang.25 TERAPI Tujuan pengobatan DVT adalah mencegah terjadinya trombus, PE akut, trombosis yang berulang, dan munculnya komplikasi lanjut seperti hipertensi pulmonal dan post thrombotic syndrome (PTS). Terapi awal diharapkan dapat mencapai dosis terapi dengan UFH, LMWH, atau fondaparinux.1 Studi menunjukan efikasi terapi pada heparin tergantung pada target dosis terapi yang harus dicapai dalam waktu 24 jam, seperti target aPTT 1,5 – 2,5 kali kontrol. Nilai ini identik dengan kadar heparin dalam darah 0,3 – 0,7 U/mL.26 LMWH mempunyai kelebihan dibandingkan dengan UFH dalam pengobatan DVT akut. UFH lebih direkomendasikan pada gangguan ginjal tidak seperti LMWH yang lebih banyak dieksresi melalui ginjal. Heparin yang diberikan bersamaan dengan warfarin, selanjutnya dapat dihentikan setelah pemberian 4-5 hari dengan target International Normalized Ratio (INR) 2 – 3. Pemberian heparin dan warfarin secara bersamaan pada waktu awal sangat penting, karena faktor II, IX, dan X baru akan terpengaruh oleh warfarin setelah lebih dari 5 hari. Pemanjangan INR biasanya disebabkan oleh penurunan faktor VII dengan waktu paruh 5 sampai 7 jam.1,2 Warfarin masih tetap merupakan obat pilihan terapi jangka panjang dalam mencegah pembentukkan clot. LMWH direkomendasikan pada pasien kanker dan kehamilan karena warfarin dikontraindikasikan pada kehamilan. Terapi antikoagulan jangka panjang dengan LMWH lebih efektif daripada warfarin dalam mencegah trombosis vena yang berulang pada pasien kanker tanpa adanya peningkatan kejadian perdarahan yang bermakna.14 Durasi pemberian antikoagulan tergantung pada episode kejadian DVT, faktor risiko VTE, dan adanya tromboflebitis. Pada pasien yang mengalami DVT pertama kali dan berhubungan dengan faktor risiko yang tidak tetap seperti operasi atau trauma, mempunyai risiko kekambuhan yang rendah durasi pemberian terapi antikoagulan selama 3 bulan
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) XXI 2013
dikatakan cukup. Pemberian antikoagulan jangka panjang harus dipertimbangkan pada kondisi trombosis berulang, pasien dengan risiko yang tinggi seperti kanker dan unprovoke DVT atau PE, tidak didapatkan risiko terjadinya perdarahan, dan kontrol terhadap antikoagulan yang baik.14 Terapi trombolitik Terapi ini jarang diindikasikan. Risiko terjadinya perdarahan mayor seperti perdarahan intra kranial harus dipertimbangkan dengan keuntungan yang didapat dari penghancuran trombus yang cepat. Trombolitik diindikasikan pada masif DVT yang ditandai oleh phlegmasia cerulean dolens dan menyelamatkan tungkai yang terkena. Obat trombolitik yang tersedia seperti tissue plasminogen activator (tPA), streptokinasi, dan urokinase.1,2,14 Trombolitik endovaskular merupakan metode yang dilakukan selama ini. Catheterdirected thrombolysis (CDT) dapat digunakan dalam pengobatan DVT sebagai terapi tambahan terapi medikal. CDT sekarang terbukti dapat mengurangi clot yang terjadi, DVT berulang, dan mencegah terjadinya PTS bila dibandingkan dengan pemberian antikoagulan sistemik lain. CDT farmakomekanikal sekarang sering dilakukan pada beberapa tempat sebagai terapi DVT ileofemoral akut.14 Indikasi trombolitik meliputi pasien usia muda dengan trombosis proksimal akut, mempunyai harapan hidup yang tinggi,dan mempunyai penyakit komorbid yang sedikit. Pada trombosis tungkai yang mengancam juga dapat diggunakan CDT meskipun dikatakan mempunyai angka kematian yang tinggi. Beberapa randomized controlled trials (RCT) mengevaluasi keluaran jangka panjang dari CDT dibandingkan dengan antikoagulan tunggal.14 Filter vena cava Filter vena cava diindikasikan pada beberapa keadaan seperti adanya kontraindikasi mutlak terhadap antikoagulan, perdarahan yang mengancam nyawa, dan kegagalan terapi dengan antikoagulan yang adekuat. Kontraindikasi mutlak pemberian antikoagulan seperti perdarahan pada sistem saraf sentral, perdarahan saluran cerna, retroperitoneal, hemoptisis masif, metastasis serebral, trauma cerebrovaskular, dan trombositopenia < 50.000/ɥL.27 Studi yang menilai efektivitas filter vena cava menunjukan terjadi penurunan yang bermakna kejadian PE dalam jangka pendek namun tidak menunjukan hasil yang bermakna pada PE secara keseluruhan dan terjadi peningkatan kejadian DVT berulang pada jangka panjang. Komplikasi pemberian filter vena cava inferior berupa hematom pada tempat insersi, DVT pada tempat insersi, migrasi dari filter, filter dapat mengerosi dinding pembuluh darah vena cava inferior, embolisasi filter, dan trombosis/obstruksi pada vena cava inferior.28 Tabel 1. Pretest probability assessment (Wells score)8,9 Point Active cancer (treatment ongoing or within previous 6 month or palliative) Paralysis, paresis, or recent plaster immobilization of the lower extremities Recently bedridden for 3 days or major surgery within 12 weeks requiring general or regional anasthesia Localized tenderness along the distribution of the deep veins Entire leg swollen Calf swelling 3 cm > asymptomatic side (measured 10 cm below tibial tuberosity) Pitting edema limited to the symptomatic leg
1 1 1 1 1 1 1
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) XXI 2013
Collateral superficial veins (non varicose) Previous DVT Alternative diagnosis as likely as more likely than DVT
1 1 -2
Notes: DVT unlikely ≤1; DVT likely ≥2
Tabel 2. Keunggulan low-molecular-weight heparin dibandingkan unfractionated heparin8,9
Greater bioavailability Predictability and dose-dependent plasma level Less risk of bleeding Lower incidence of heparin-induced thrombocytopenia Lower risk of heparin-induced osteoporosis No need for laboratory monitoring Can be safely administered in outpatient Duration of anticoagulant effect is longer, permitting once-or twicedaily administration
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) XXI 2013
Gambar 1. Algorithm diagnosis DVT dengan menggunakan clinical assesment, D-dimer testing, dan venous ultrasonography8,9 USS: ultrasound. RINGKASAN DVT secara potensial merupakan kondisi klinis yang berbahaya. Alur diagnosis meliputi pre tes probabilitas, pemeriksaan D-dimer, dan pemeriksaan ultrasonografi vena sebagai pemeriksaan yang dapat diandalkan dalam diagnosis DVT. Pencegahan DVT meliputi pencegahan mekanik dan farmakologi yang merupakan modalitas pencegahan pada pasien rawat jalan dan rawat inap yang mempunyai risiko terjadinya VTE. Tujuan dari pengobatan DVT adalah untuk mencegah perluasan dari trombus, PE akut, berulangnya trombosis, dan terjadinya komplikasi lanjut seperti hipertensi pulmonal dan PTS. DAFTAR PUSTAKA 1. Frits R Rosendaal, Harry R Buller. Venous thrombosis. In: Dan L Longo, editor. Horrison’s hematology and oncology. New York: Mc-Grow Hill Company; 2010.p.246-53. 2. Colman RW. Hemostasis and thrombosis: basis principles and clinical practice. 5th ed. Philadelphian: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. 3. Silverstein MD, Heit JA, Mohr DN, et al. Trends in the incidence of deep vein thrombosis and pulmonary embolism: a 25-year population based study. Arch Intern Med 1998;158(6):585-93. 4. PC Malone, PS Agutter. The etiology of deep vein thrombosis. Q J Med 2006;99:58193. 5. Bartine RM. The role of procoagulants and anticoagulants in the development of venous thromboembolism. Thromb Res 2009;123 (suppl 4):S41.
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) XXI 2013
6. Brooks EG, Trotman W, Wadsworth MP, et al. Valves of the deep venous system: an overlooked risk factor. Blood 2009;114(6):1276-9. 7. Kearon C. Natural history of venous thromboembolism. Circulation 2003;107(23 Suppl 1):122-30. 8. Wells PS, Anderson Dr, Bormanis J, et al. Value of assessment of pretest probability of deep vein thrombosis in clinical management. Lancet 1997;350(9094):1795-8. 9. Oudega R, Hoes AW, Moons KG. The Wells rule does not adequately rule out deep venous thrombosis in primary care patients. Ann Intern Med 2005;143(2):100-7. 10. Pabinger I. Biomarkers and venous thromboembolism. Arterioscler Thromb Vasc Biol 2009;29:332-6. 11. Well PS, Anderson DR, Rodger M, et al. Evaluation of D-dimer in the diagnosis of suspected deep vein thrombosis. N Engl J Med 2003;349:1227-35. 12. Aguilar C, delVillar V. Combined D-dimer and clinical probability are useful for exclusion of recurrent deep venous thrombosis. Am J Hematol 2007;82(1):41-4. 13. Brotman DJ, Segal JB, Jani JT, Petty BG, Kickler TS. Limitations of D-dimer testing in unselected with suspected venous thromboembolism. Am J Med 2003;114(4):276282. 14. Hirsh J, Lee AY. How we diagnose and threat deep vein thrombosis. Blood 2002;99:3102-10. 15. Zierler BK. Ultrasonography and diagnosis of venous thromboembolism. Circulation 2004;109(12 Suppl 1):19-114. 16. Rabinov K, Paulin S. Roentgen diagnosis of venous thrombosis in the leg. Arch Surg. 1972;104(2):134-44. 17. Fraser DG, Moody AR, Morgan PS, Martel A, Devidson I. Diagnosis of lower-limb deep venous thrombosis: a prospective blinded study of magnetic resonance direct thrombus imaging. Ann Intern Med 2002;136(2):89-98. 18. Kakkos SK, Caprini JA, Geroulakos G Nicolaides AN, Stansby GP, Reddy DJ. Combined intermittent pncumatic leg compression and pharmacological prophylaxis for prevention of venous thromboembolism in high-risk patients. Cochrane Database Syst Rev 2008;4:CD005258. 19. Francis CW. Prophylaxis for thromboembolism in hospitalized medical patients. N Engl J Med 2007;356:1438-44. 20. Bauer KA. Fondaparinux sodium: a selective inhibitor of factor Xa. Am J Health Syst Pharm 2001;58 Suppl 2:S14-S17. 21. Weitz Jl, Hirsh J, Samama MM. New antithrombotic drugs: American College of Chest Physicins evidence-based clinical practice guidelines, 8th ed. Chest 2008;133:234S-256S. 22. Schulman S, Kearon C, Kakkar AK, et al. RE-Cover Study Group. Debigatran versus warfarin in the threatment of acute venous thromboembolism. N Engl J Med 2009;361(24):2342-52. 23. Eriksson BI, Dahl OE, Huo MH, et al. The RE-NOVATE II study group. Oral dabigatran versus enoxaparin for thromboprophylaxis after primary total hip arthroplasty (RE-NEVATO II). A randomized, double-blind, noninferiority trial. Thromb Haemost. 2011;105(4). 24. Chen T, Lam S. Rivaroxaban: an oral direct factor Xa inhibitor for the prevention of thromboembolism. Cardiol Rev 2009;17(4):192-7.
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) XXI 2013
25. Greets WH, Bergqvist D, Pineo GF, at al. Prevetion of venous thromboembilism: American College of Chast Physicians evidence based clinical practice guidelines 8th ad. Chest 2008;133(6suppl):381S-453S. 26. Hirsh J, Raschke R. Heparin and low-molecular-weight heparin the Seventh ACCP conference on antithrombotic and thrombolytic therapy. Chest 2004;126(3 Suppl):188S-203S. 27. Streiff MB. Vena caval filters: a comprehensive review. Blood 200;95(12):3669-77. 28. Decousus H, Leizorovicz A, parent F, et al. A clinical trial of vena caval filters in the prevention of pulmonary embolism in patients with proximal deep-vein thrombosis. Prevation du Resque d’Embolie Pulmonaire par Interruption Cave Study Group. N Engl J Med 1998;338(7):409-15.