Referat
Insufisiensi Vena Kronik
Oleh Anish Kumar Pramekumar, S.Ked 04084821618243
Pembimbing Dr. Rukiah Chodilawati, Sp.PD-KKV
BAGIAN DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG 2016
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kepada Tuhan karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Insufisiensi Vena Kronik” dengan baik. Di kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Dr. Rukiah Chodilawati, Sp.PD-KKV selaku pembimbing yang telah membantu penyelesaian referat ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Demikianlah penulisan referat ini, semoga bermanfaat
Palembang,
Mei 2016
Penulis
2
HALAMAN PENGESAHAN
REFERAT
Judul Insufisiensi Vena Kronik
Oleh:
Anish Kumar Pramekumar, S. Ked
04084821618243
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya stase di RSUP DR. Moh. Hoesin Palembang 21 April – 30 Juni 2016. Palembang, April 2016
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………….. KATA PENGATAR…………………………………………………………….. HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………… DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………………… BAB 2 PEMBAHASAN………………………………………………………… 2.1 Anatomi Vena Extremitas Bawah…………………………………………… 2.1.1 Vena superfisialis extremitas bawah………………………………………. 2.1.2 Vena profunda extremitas bawah………………………………………….. 2.2 Deep Vein Thrombosis……………………………………………………… 2.3 Chronic Venous Insufficiency………………………………………………. 2.3.1 Definisi…………………………………………………………………….. 2.3.2 Epidemiologi………………………………………………………………. 2.3.3 Etiologi dan factor risiko………………………………………………….. 2.3.4 Patofisiologi………………………………………………………………..
i ii iii iv 1 2 2 2 3 4 9 9 9 9 11
2.3.5 Manifestasi klinis………………………………………………………….. 2.3.6 Klasifikasi chronic venous insufficiency………………………………….. 2.3.7 Diagnosis………………………………………………………………… 2.3.8 Pemeriksaan penunjang……………………………………………………. 2.3.9 Penatalaksanaan…………………………………………………………… 2.3.10 Komplikasi……………………………………………………………… 2.3.11 Pencegahan……………………………………………………………… 2.3.12 Prognosis………………………………………………………………… BAB 3 KESIMPULAN………………………………………………………… Saran…………………………………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………
13 14 17 17 18 20 20 21 22 23 24
4
BAB I PENDAHULUAN
Chronic venous insufficiency (CVI) atau insufisiensi vena kronik adalah stadium lanjut dari penyakit venosa yang dapat disebabkan oleh kejadian patologis yang menyebabkan gangguan venous return atau aliran balik vena, yang dapat terjadi pada vena-vena superfisialis ataupun profunda. Hal ini disebabkan disfungsi katupkatup vena yang menyebabkan aliran darah vena terganggu, sehingga terjadi refluks darah dalam vena. CVI terjadi pada vena ekstremitas bawah dengan manifestasi nyeri pada tungkai bawah, bengkak, edema, perubahan kulit, dan ulserasi. Gangguan ini biasanya berlangsung progresif selama beberapa tahun.1 Chronic venous insufficiency lebih banyak terjadi pada negara-negara barat atau negara industry, yang kemungkinan besar disebabkan oleh gaya hidup dan aktivitas penduduknya. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria, prevalensinya juga akan meningkat seiring dengan pertambahan usia dengan prevalensi: Pria muda sebanyak 10% berbanding wanita muda sebanyak 30%, Pria berusia lebih dari 50 tahun sebanyak 20% berbanding wanita berusia lebih dari 50 tahun sebanyak 50%. 2
5
Lima sampai tujuh persen kasus mengalami cedera pada nervus cutaneus, keadaan ini sering bersifat sementara namun dapat bersifat permanen. Komplikasi berupa terjepitnya vena dan arteri femoral juga tidak dapat untuk dihindari. Hematome dan infeksi pada luka relatif sering terjadi ( sampai dengan 10 %), dan terjadi gangguan dalam aktivitas dan bekerja sehari-hari. Thromboembolism berpotensi terjadi pada pembedahan varises vena, tetapi belum ada bukti yang menujukkan risiko ini meningkat bila dilakukan pembedahan.
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Anatomi Vena Ekstremitas Bawah 2.1.1
Vena superfisialis ekstremitas bawah Sistem superfisialis terdiri dari vena safena magna dan vena safena parva.
Keduanya memiliki arti klinis yang sangat penting karena memiliki predisposisi terjadinya varises yang membutuhkan pembedahan.3
V. Safena magna keluar dari ujung medial jaringan v.dorsalis pedis. Vena ini berjalan di sebelah anterior maleolus medialis, sepanjang aspek anteromedial betis (bersama dengan nervus safenus), pindah ke posterior selebar tangan di belakang patela pada lutut dan kemudian berjalan ke depan dan menaiki bagian anteromedial paha. Pembuluh ini menembus fasia kribriformis dan mengalir ke v.femoralis pada hiatus safenus. Bagian terminal v.safena magna biasanya mendapat percabangan superfisialis dari genitalia eksterna dan dinding bawah abdomen. Dalam pembedahan, hal ini bisa membantu
6
membedakan v.safena dari femoralis karena satu-satunya vena yang mengalir ke v.femoralis adalah v.safena. Cabang-cabang femoralis anteromedial dan posterolateral (lateral aksesorius), dari aspek medial dan lateral paha, kadangkadang juga mengalir ke v.safena magna di bawah hiatus safenus. 3 V. safena magna berhubungan dengan sistem vena profunda di beberapa tempat melalui vena perforantes. Hubungan ini biasanya terjadi di atas dan di bawah maleolus medialis, di area gaiter, di regio pertengahan betis, di bawah lutut, dan satu hubungan panjang pada paha bawah. Katup-katup pada perforator mengarah ke dalam sehingga darah mengalir dari sistem superfisialis ke sistem profunda dari mana kemudian darah dipompa keatas dibantu oleh kontraksi otot betis. Akibatnya sistem profunda memiliki tekanan yang lebih tinggi daripada superfisialis, sehingga bila katup perforator mengalami kerusakan, tekanan yang meningkat diteruskan ke sistem superfisialis sehingga terjadi varises pada sistem ini.3
V. safena parva keluar dari ujung lateral jaringan v.dorsalis pedis. Vena ini melewati bagian belakang maleolus lateralis dan di atas bagian belakang betis kemudian menembus fasia profunda pada berbagai posisi untuk mengalir ke v.poplitea. 3
2.1.1
Vena profunda ekstremitas bawah Vena-vena profunda pada betis adalah v.komitans dari arteri tibialis anterior
dan posterior yang melanjutkan sebagai v.poplitea dan v.femoralis. Vena profunda ini membentuk jaringan luas dalam kompartemen posterior betis pleksus soleal dimana darah dibantu mengalir ke atas melawan gaya gravitasi oleh otot saat olahraga.3
7
2.2. Deep Vein Thrombosis Trombosis vena juga dapat muncul di pembuluh darah vena lainnya, seperti lengan dan dapat menyebar hingga ke paru-paru. DVT yang menyerang paru-paru ini dapat menyumbat separuh atau seluruh bagian dari arteri paru dan menyebabkan timbulnya komplikasi berbahaya bernama emboli paru (pulmonary embolism/PE) dan venous thromboembolism (VTE). Darah manusia terdiri dari protein bernama faktor pembeku dan sel-sel yang bernama trombosit. Kedua komponen ini bekerja dengan cara membentuk gumpalan padat guna mencegah terjadinya pendarahan saat pembuluh darah Anda terluka. Kombinasi dari lambatnya alliran darah pada pembuluh darah, aktivasi pembekuan
8
darah, dan jejas pada pembuluh darah, menjadikan terbentuknya trombus (gumpalan darah) yang dapat menyumbat aliran darah sehingga memicu DVT. Terdapat banyak faktor risiko yang dapat menjadi penyebab DVT, salah satunya adalah adanya penderita penyakit ini di dalam riwayat keluarga. Penderita VTE serta penderita yang mempunyai penyakit lain, seperti gagal jantung dan kanker, juga memiliki risiko terkena DVT kembali. Usia dan berat badan juga dapat berdampak kepada seseorang untuk mengidap DVT atau tidak. Begitu pula seseorang yang kondisi tubuhnya sedang tidak aktif dapat memicu DVT. Tubuh yang tidak bergerak dalam jangka waktu yang cukup lama menyebabkan darah cenderung berkumpul pada tungkai bawah, seperti pada betis dan paha. Kondisi ini biasa dialami oleh seseorang setelah melalui prosedur operasi yang berlangsung lebih dari 90 menit atau berlangsung 60 menit untuk operasi yang dilakukan pada area perut, pinggul, dan tungkai. Begitu pula bisa diakibatkan oleh perawatan yang mengharuskan pasien tetap berbaring di tempat tidur. Melakukan perjalanan panjang dapat membuat tubuh berada dalam keadaan tidak aktif untuk waktu lama juga. Keadaan ini dapat menyebabkan melambatnya aliran darah hingga meningkatkan risiko terjadinya penggumpalan darah. Pada kasus pasien rawat inap yang membutuhkan prosedur operasi panjang, rumah sakit umumnya akan memberikan informasi mengenai risiko dan tindak pencegahan DVT diawal. Kemoterapi dan radioterapi yang digunakan untuk mengobati kanker serta pengobatan penyakit yang disebabkan oleh kondisi medis atau genetik lainnya dapat menambah risiko DVT pada pasien. Selain kemoterapi, kondisi seperti vaskulitis dan varises vena juga bisa menambah risiko DVT pada penderitanya. Kerusakan pembuluh darah yang disebabkan oleh kondisi ini membuat pembuluh darah menyempit atau tersumbat sehingga dapat memicu terjadinya penggumpalan darah. Penyakit seperti jantung,paru-paru, hepatitis, serta penyakit yang disebabkan oleh peradangan,seperti rheumatoid arthritis juga memudahkan terjadinya penggumpalan darah. Begitu pula dengan kondisi genetik, seperti thrombophilia dan sindrom Hughes.
9
Faktor risiko lainnya adalah kehamilan, pil kontrasepsi, dan terapi sulih hormon atauhormone replacement therapy (HRT) pada terapi hormon estrogen. Kondisi ini memungkinkan darah menggumpal lebih mudah. Pada faktor kehamilan, penggumpalan darah dapat membantu mencegah pasien kehilangan banyak darah selama proses persalinan, namun turut meningkatkan risiko DVT. Penderita
obesitas,
lansia
dengan
kondisi
kesehatan
yang
tidak
memungkinkan untuk melakukan banyak kegiatan, serta perokok, dan kondisi dehidrasi juga merupakan penyebab lain dari penyakit DVT. DVT dapat menyerang area tungkai dan lengan. Pada sebagian kondisi, DVT dapat menunjukkan gejalanya di daerah yang terjangkit sehingga pasien dapat merasakan sakit, pembengkakan, sekaligus nyeri pada area tersebut. Warna kulit yang kemerahan serta rasa hangat dapat terasa, seperti di area belakang lutut disertai rasa sakit yang makin menjadi-jadi ketika Anda menekuk kaki mendekati lutut. Gejala yang muncul juga dapat terlihat dari pembuluh darah di sekitar area yang terjangkit tampak lebih besar dari biasanya. Salah satu komplikasi akibat DVT yang tidak segera memperoleh perawatan adalah kemunculan sebuah kondisi yang bernama emboli paru. Kondisi ini memiliki gejala, seperti sakit dada, sesak napas yang muncul secara bertahap atau tiba-tiba, serta mendadak pingsan. Baik salah satu maupun keduanya, gejala DVT dan emboli paru sebaiknya segera ditangani agar tidak memperburuk kondisi pasien. DVT juga berkemungkinan tidak menunjukkan gejala sehingga perlu diwaspadai dan diselidiki tanda-tanda yang muncul pada seseorang yang memiliki risiko terkena penyakit ini. Berdasarkan gejala di atas, dokter dapat menyarankan pasien untuk melalui beberapa pemeriksaan fisik guna memperoleh diagnosis dan rencana pengobatan yang sesuai. Selain pemeriksaan fisik, dokter juga akan bertanya mengenai sejarah penyakit dalam keluarga untuk menyelidiki jejak DVT. Pemeriksaan fisik berupa tes laboratorium juga dilakukan, seperti tes ultrasound, D-dimer, dan venogram.
10
Pemindaian Ultrasound tipe Doppler akan digunakan pada tes pemeriksaan untuk menemukan letak gumpalan darah berada pada pembuluh dan seberapa cepat laju aliran darah. Dengan mengetahui kedua faktor ini, letak dan penyebab penggumpalan dapat segera dideteksi. Tes darah khusus yang bernama D-dimer dapat dilakukan mengidentifikasi gumpalan darah yang telah terurai kemudian memasuki aliran darah. Makin banyak gumpalan yang ditemukan maka makin besar pula kemungkinan telah terjadi penggumpalan darah di dalam pembuluh darah pasien. Tes venogram dapat juga dilakukan jika kedua tes di atas belum bisa membantu dokter dalam menentukan atau memperkuat diagnosis DVT. Tes ini menggunakan bantuan pewarna dan X-ray untuk mengetahui letak penggumpalan darah. Dalam venogram, pewarna akan disuntikkan ke pembuluh darah kaki. Pewarna ini kemudian mengalir ke pembuluh darah lain di area pasien merasakan gejala DVT. Jika penggumpalan terjadi di area betis, maka hasil X-ray akan menunjukkan area kosong pada betis. Hal ini dikarenakan pewarna tidak dapat mengalir melewati pembuluh darah betis yang memiliki gumpalan. Pengobatan DVT dapat diberikan dengan metode yang berbeda bergantung kepada kondisi tubuh pasien serta penyakit yang diderita. Pasien yang sedang hamil akan mendapatkan perawatan yang berbeda, termasuk tipe obat antikoagulan (pencegah
kebekuan
darah)
yang
diberikan.
Sebuah stocking medis
atau stocking kompresi juga dapat digunakan oleh pasien DVT untuk membantu mencegah terjadinya pembekuan darah. Selain mencegah terjadinya penggumpalan darah, obat antikoagulan juga bisa membantu menghentikan gumpalan darah menyebar ke aliran darah lainnya serta menyebabkan munculnya gumpalan darah lain. Heparin dan warfarin adalah dua jenis obat antikoagulan yang umumnya digunakan untuk mengobati DVT. Heparin biasanya diberikan terlebih dahulu untuk mencegah pembekuan darah seketika. Pemberian warfarin juga umumnya dilakukan setelah pasien diberikan heparin untuk mencegah terjadinya penggumpalan darah lanjutan.
11
Pemberian heparin dapat dilakukan dengan cara menyuntikannya langsung pada pembuluh vena ataupun lapisan jaringan di bawah kulit, dapat pula melalui cairan infus. Dosis heparin juga dapat berbeda-beda pada tiap pasien dan pemberiannya harus dimonitor agar pasien menerima dosis yang tepat, menjadikan kemungkinan pasien harus berada di rumah sakit hingga 10 hari. Seperti halnya pengobatan lain pada umumnya, penggunaan heparin juga dapat menimbulkan efek samping tertentu, seperti ruam, pendarahan, dan kelemahan tulang pada pemakaian jangka panjang. Dokter dapat merekomendasikan warfarin sebagai pengobatan lanjutan dari heparin. Obat ini diberikan dalam bentuk tablet dan dapat dikonsumsi hingga enam bulan atau lebih, tergantung anjuran dari dokter. Warfarin tidak dianjurkan untuk perempuan hamil yang sedang dalam pengobatan heparin untuk jangka waktu lama Penggunaan stocking kompresi juga bisa membantu mencegah terbentuknya luka dan sindrom paska DVT, yaitu kerusakan jaringan betis akibat peningkatan tekanan vena.Stocking kompresi digunakan tiap hari selama dua tahun atau hingga waktu yang ditentukan dan pengukurannya harus dimonitor dan diperbarui tiap 3-6 bulan. Stockingini dapat dilepas menjelang tidur atau ketika pasien sedang melakukan postur istirahat dengan tungkai terangkat, serta ketika pasien sedang melakukan latihan fisik reguler.
Latihan fisik yang mungkin direkomendasikan kepada pasien DVT adalah berjalan. Beristirahat dengan tungkai yang terangkat juga disarankan agar kaki berada lebih tinggi dari pinggang demi mengembalikan aliran darah dari betis. Alternatif pengobatan lain dapat juga diberikan jika penggunaan obat antikoagulan tidak memberikan hasil yang sesuai bagi pasien. Inferior vena cava filters (IVC) ditempatkan pada pembuluh darah untuk menyaring gumpalan darah dan menghentikannya mengalir menuju jantung dan paru-paru. IVC dapat dipasang secara permanen atau dilepaskan setelah penggumpalan darah berkurang. Keduanya
12
dilakukan dengan menggunakan prosedur operasi dengan bius lokal. IVC juga dapat digunakan pada pasien penderita emboli paru dan pada kondisi cedera parah. Beberapa komplikasi DVT yang tidak segera ditangani selain penyakit emboli paru yang telah disebutkan sebelumnya adalah sindrom paska trombosis. Kondisi ini menyebabkan sumbatan pada salah satu pembuluh darah di paru. DVT dapat dicegah dengan memulai pola hidup sehat, seperti olahraga ringan agar tubuh tetap bergerak dan sirkulasi darah tetap terjaga, pola diet sehat, mengurangi berat badan bagi penderita obesitas, serta jangan merokok.
2.3
Chronic Venous Insufficiency
2.3.1. Definisi Chronic venous insufficiency (CVI) pada tungkai bawah yaitu kelainan dengan hipertensi vena, yang disebabkan oleh perubahan abnormal pada struktur dan fungsi vena; baik vena tepi dan atau system vena dalam termasuk varises serta komplikasinya.6,7 Chronic venous insufficiency adalah kondisi dimana pembuluh darah tidak dapat memompa oksigen dengan cukup (poor blood) kembali ke jantung yang
13
ditandai dengan nyeri dan pembengkakan pada tungkai. CVI paling sering disebabkan oleh perubahan primer pada dinding vena serta katup-katupnya (valve incompetence) dan perubahan sekunder disebabkan oleh thrombus sebelumnya dan kemudian mengakibatkan reflux, obstruksi atau keduanya. Kelainan kongenital jarang menyebebkan CVI. Varises tungkai adalah yang paling banyak ditemukan.
2.3.2. Epidemiologi Chronic venous insufficiency lebih banyak terjadi pada negara-negara barat atau negara industry, yang kemungkinan besar disebabkan oleh gaya hidup dan aktivitas penduduknya. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria, prevalensinya juga akan meningkat seiring dengan pertambahan usia dengan prevalensi: Pria muda sebanyak 10% berbanding wanita muda sebanyak 30%, Pria berusia lebih dari 50 tahun sebanyak 20% berbanding wanita berusia lebih dari 50 tahun sebanyak 50%.2
2.3.3
Etiologi dan faktor resiko Etiologi dari insufisiensi vena kronis dapat dibagi 3 yaitu, kongenital, primer
dan sekunder.
Penyebab insufisiensi vena kronis yang kongenital adalah pada kelainan dimana katup yang seharusnya terbentuk di suatu segmen ternyata tidak terbentuk sama sekali (aplasia, avalvulia), atau pembentukannya tidak sempurna (displasia), berbagai malformasi vena, dan kelainan lainnya
yang baru diketahui setelah penderitanya berumur. Penyebab insufisiensi vena kronis yang primer adalah kelemahan intrinsik dari dinding katup, yaitu terjadi lembaran atau daun katup yang terlalu panjang (elongasi) atau daun katup menyebabkan dinding vena menjadi terlalu lentur tanpa sebab-sebab yang diketahui. Keadaan daun katup yang panjang melambai (floppy, rebundant) sehingga penutupan tidak sempurna (daun-daun katup tidak dapat terkatup sempurna) yang mengakibatkan terjadinya katup tidak dapat menahan aliran balik, sehingga aliran retrograd atau refluks. Keadaan tersebut dapat diatasi
14
hanya dengan melakukan perbaikan katup (valve repair) dengan operasi
untuk mengembalikan katup menjadi berfungsi baik kembali. Penyebab insufisiensi vena kronis sekunder (insufisiensi vena sekunder) disebabkan oleh keadaan patologik yang didapat (acquired), yaitu akibat adanya penyumbatan trombosis vena dalam yang menimbulkan gangguan kronis pada katup vena dalam. Pada keadaan dimana terjadi komplikasi sumbatan trombus beberapa bulan atau tahun paska kejadian trombosis vena dalam, maka keadaan tersebut disebut sindroma post-trombotic. Pada sindroma tersebut terjadi pembentukan jaringan parut akibat inflamasi, trombosis kronis dan rekanalisasi yang akan menimbulkan fibrosis, dan juga akan menimbulkan pemendekan daun katup (pengerutan daun katup), perforasi kecil-kecil (perforasi mikro), dan adhesi katup, sehingga akhirnya akan menimbulkan penyempitan lumen. Kerusakan yang terjadi pada daun katup telah sangat parah tidak memungkinkan upaya perbaikan. Kejadian insufisiensi vena kronis yang primer, dan yang sekunder (akibat trombosis vena dalam, dan komplikasi post-trombotic), dapat terjadi pada satu penderita yang sama.
Faktor risiko terkait CVI meliputi usia (di atas 30 tahun), jenis kelamin, riwayat varises dalam keluarga, obesitas, kehamilan, menopause, flebitis, dan riwayat cedera tungkai. Terdapat juga faktor lingkungan atau perilaku terkait dengan CVI, seperti berdiri dan duduk ter- lalu lama. 2,4 Gangguan vena menahun tidak mungkin disebabkan karena menyilangkan tungkai atau pergelangan kaki, meskipun hal ini dapat memperburuk kondisi varises yang telah ada.5
2.3.4 Patofisiologi Vena mempunyai daun katup untuk mencegah darah mengalir mundur (retrograde atau refluks aliran). Pompa vena otot tungkai mengembalikan darah ke jantung (mekanisme pompa otot betis) melawan efek gravitasi. Jika pembuluh darah menjadi varises, katup vena tidak berfungsi lagi (inkompetensi katup).2,6
15
Patologi vena terjadi jika tekanan vena meningkat dan kembalinya darah terganggu melalui beberapa mekanisme. Hal ini dapat terjadi akibat inkompetensi katup vena dalam aksial atau superfisial, atau kombinasi keduanya. Faktor ini dapat dieksaserbasi oleh disfungsi pompa otot pada ekstremitas bawah; mekanisme ini dapat menyebabkan hipertensi vena khususnya saat berdiri atau berjalan. Hipertensi vena yang berlanjut dapat menyebabkan perubahan pada kulit hiperpigmentasi, fibrosis jaringan subkutan, dan akhirnya dapat terjadi ulkus.2 Kegagalan katup vena dalam dapat menyebabkan volume darah dipompa ke luar ekstremitas, dan diisi kembali oleh aliran darah arteri dan aliran vena retrograde patologis. Tekanan vena segera setelah ambulasi dapat sedikit meningkat atau normal, tetapi vena terisi kembali dengan cepat disertai terjadi peningkatan tekanan vena tanpa kontraksi otot. Disfungsi atau inkompetensi katup system vena superfisial juga menyebabkan aliran retrograde darah dan peningkatan tekanan hidrostatik.2 Kegagalan katup dapat primer akibat kelemahan dinding pembuluh darah atau daun katup yang sudah ada, sekunder terhadap cedera langsung, flebitis superfisial, atau distensi vena berlebihan akibat efek hormonal atau tekanan yang tinggi.2 Kegagalan katup vena yang berlokasi di saphenofemoral junction dan saphenopopliteal junction, menyebabkan tekanan tinggi pada vena superfisial, sehingga terjadi dilatasi vena dan varises yang menyebar dari proximal junction ke ekstremitas bawah. Inkompetensi katup perforator juga dapat menyebabkan darah mengalir dari vena dalam balik ke belakang ke sistem superfisial dan bersama transmisi tekanan tinggi yang ditimbulkan oleh pompa otot betis, menyebabkan dilatasi vena berlebihan dan kegagalan sekunder katup vena superfisial.2 Obstruksi aliran vena tampaknya mempunyai peranan bermakna dalam patogenesis CVI. Pompa otot dapat menyebabkan aliran vena dari ekstremitas distal menjadi tidak efektif, seperti yang sering terjadi pada refluks atau obstruksi berat.
16
Disfungsi pompa otot tampaknya merupakan mekanisme utama terjadi inkompetensi vena superfisial dan komplikasinya, seperti ulkus vena.2 Perubahan hemodinamik vena besar ekstremitas bawah dapat ditransmisikan ke dalam mikrosirkulasi dan menyebabkan terjadinya mikroangiopati vena, meliputi pemanjangan, dilatasi, dan berkelak- keloknya kapiler, penebalan membran basalis dengan peningkatan serat kolagen dan elastin, kerusakan endotel dengan pelebaran ruang interendotel, serta peningkatan edema perikapiler dengan pembentukan “halo”. Kelainan kapiler dengan peningkatan permeabilitas dan tekanan vena yang tinggi menyebabkan akumulasi cairan, makromolekul,dan ekstravasasi sel darah merah ke ruang interstisial. Selain itu, fragmentasi dan destruksi mikrolimfatik juga dapat mengganggu drainase dari ekstremitas, dan disfungsi saraf lokal dapat menyebabkan perubahan mekanisme regulasi.2 Varises dibedakan dari vena retikuler (vena biru) dan telangiektasia (spider veins) yang juga melibatkan insufisiensi katup, dari ukuran dan lokasi pembuluh darah yang terkena.7
2.3.5
Manifestasi klinis
Gejala insufisiensi vena kronik dapat meliputi : 1,2,6
Bengkak di kaki atau pergelangan kaki Kaki terasa berat atau pegal, panas dan gatal Nyeri saat berjalan yang berhenti saat istirahat Perubahan warna kulit Varises Ulkus kaki
17
Kelainan Fisik Tanda-tanda fisik yang paling sering ditemukan pada insufisiensi vena adalah pitting edema atau pembengkakan pada kaki yang jika ditekan oleh jari akan membekas seperti bentuk jari yang menekan dan lama kembalinya, terutama pergelangan kaki; edema system limfatik; perubahan warna kulit., hiperpigmentasi, dermatitis venosa, selulitis kronis, atrophie blanche, serta ulserasi. Ulserasi yang tidak kunjung sembuh. Ini dapat disebabkan oleh insufisiensi vena superficial ataupun profunda, insufisiensi arteri, gangguan rematologis, kanker, atau penyebab lainnya yang lebih jarang. Selain itu juga terlihat adanya distensi vena-vena kaki dan pergelangan kaki, kadang di fossa poplitea juga. Pembesaran vena diatas pergelangan kaki biasanya menandakan adanya proses patologis pada vena. Penyakit in juga akan menurunkan kualitas hidup, karena akan menyebabkan rasa nyeri, gangguan fungsi fisik, dan gangguan mobilitas. Juga akan menyebabkan depresi dan isolasi social. Gangguan pada kelas C5 dan C6 CEAP juga berhubungan dengan gagal jantung.
2.3.6
Klasifikasi chronic venous insufficiency Untuk mengevaluasi dan mengklasifikasikan kondisi, pengobatan, serta
akibat atau komplikasi dari penyakit ini, dipakai beberapa skala penilaian. Klasifikasi CEAP berdasarkan tanda-tanda klinis (Clinical), penyebab (Etiologic), Anatomic, dan Pathophysiology. Klasifikasi etiologi memisahkan penyakit berdasarkan sifat congenital, primer, atau sekunder. Anatomi berdasarkan vena yang terkena termasuk vena superfisial, profunda, atau perforantes. Sedang klasifikasi patofisiologi mengidentifikasikan refluks pada system-sistem superficial, communicantes, atau profunda, serta obstruksi outflow. Kekurangan utama system ini adalah karena
18
sifatnya yang statis, klasifikasi jenis ini sulit dipakai untuk menilai perubahan yang terjadi sebagai respons terhadap terapi yang telah diberikan.2
CEAP – an international consensus conference initiated the Clinical-EtiologyAnatomy-Pathophysiology classification. Clinical
Etiology
Anatomy
Pathophysiology
C0
Ec
As
Pr
no evidence of venous Congenital
superficial veins venous reflux
disease C1
Ep
Ad
Po
telangiectasias/reticular primary venous deep veins
venous
veins
disease.
obstruction
C2
Es
Ap
Pn
varicose veins
secondary
perforating
not specified
venous disorder
veins
En
An
C3
19
edema associated with not specified
not specified
vein disease C 4a Pigmentation or eczema C 4b lipodermatosclerosis C5 healed venous ulcer C6 active venous ulcer
Yang kedua adalah Venous Severity Scoring (VSS). System penilaian ini diambil dari klasifikasi CEAP, tetapi dimodifikasi agar dapat dipakai untuk menilai perkembangan penyakitnya. Ada tiga komponen system penilaian ini, yaitu: 1. Venous Disability Score (VDS). Sistem ini menilai apakah pasien mampu untuk bekerja selama 8jan dengan atau tanpa alat penyokong eksternal, dengan diberi nilai 0-3. Nilai totalnya mewakili tingkat disability yang disebabkan oleh penyakit vena. 2. Venous Segmental Disease Score (VSDS). Sistem ini menggunakan klasifikasi anatomic dan patofisiologik sistem CEAP untuk menghasilkan nilai yang berdasarkan refluks atau obstruksi vena. Nilainya didapat dengan mengambil gambar vena menggunakan phlebography atau duplex Doppler. 3. Venous Clinical Severity Score (VCSS). Sistem ini memakai 9 tanda-tanda utama penyakit venosa yang diberi nilai dari 0-3. Sistem ini dapat dipakai untuk menilai repons terhadap terapi. Variabel 0
1 (ringan)
Score 2(sedang)
3 (berat) 20
Nyeri
Tidak Kadang- tidak perlu analgesic
Setiap hari –
Penggunaan
kadang
konstan
menggunakan
analgesic
analgesic
narkotika Luas
Vena varicosa
Tidak Sedikit-
nonnarkotik Multiple
Edema
tersebar Tidak Sore hari –
Sore hari- diatas
Pagi hari diatas
pergelangan kaki
pergelangan
hanya pergelangan
kaki
kaki Tidak Terbatas
Diffusa di1/3
Tersebar luas
Inflamasi dan
Tidak Ringan
distal kaki Sedang
Berat
selulitis Indurasi
Tidak Fokal
Kurang dari 1/3
Seluruh 1/3
distal kaki
distal kaki atau
2 3-12
lebih >2 >12 Tidak
Hiperpigmentasi
Ulser aktif – jml Durasi ulser aktif –
0 1 Tidak <3
bln Diameter ulser aktif
Tidak <2
2-6
sembuh >6
– cm Menggunakan
Tidak Kadang
Sering (most
Konstan
stocking 2.3.7
days)
Diagnosis CVI terutama didiagnosis dengan pemeriksa- an fisik. Akurasi pemeriksaan
fisik dapat ditingkatkan dengan bantuan alat Doppler, sehingga pemeriksa dapat mendengarkan aliran darah. Namun, pemeriksaan paling akurat dan rinci adalah dengan venous duplex ultrasound yang dapat memberikan gambaran vena, sehingga adanya hambatan akibat bekuan darah atau gangguan fungsi vena dapat dideteksi.4 Pada awalnya pemeriksaan teknik pencitraan dilakukan hanya
jika
ada
kecurigaan klinis insufisiensi vena dalam, jika terjadi berulang, atau jika melibatkan
21
sapheno-popliteal junction. Namun, saat ini semua pasien dengan varises harus diperiksa mengguna- kan duplex Doppler ultrasound.8 2.3.8
Pemeriksaan penunjang Duplex Doppler ultrasonography Jenis prosedur USG yang dilakukan untuk menilai pembuluh darah, aliran
darah serta struktur vena-vena kaki. Venogram Dilakukan dengan menggunakan x-ray dan intavena (IV) pewarna kontras. Ini untuk memvisualisasikan pembuluh darah. Pewarna kontras menyebabkan pembuluh darah muncul suram yang memudahkan untuk memvisualisasikan pembuluh darah yang dievaluasi.
Magnetic resonance venography (MRV) Adalah alat yang paling sensitive dan spesifik untuk mengevaluasi gangguan sistem superficial dan profunda pada ekstremitas inferior dan pelvis. Dan
juga dapat mendeteksi penyebab nonvaskuler nyeri dan edema pada kaki. Tes fisiologis Mengukur fungsi vena, dapat dilakukan dengan mengukur Venous Refilling Time (VRT) atau waktu yang dibutuhkan untuk betis agar dipenuhi dengan darah setelah pompa otot betis telah mengosongkan pembuluh darah kaki semaksimal mungkin, normalnya adalah paling tidak 2 menit; Maximum Venous Outflow (MVO) test. Ini dipakai untuk mendeteksi adanya obstruksi outflow vena dari betis, apapun penyebabnya. Hasilnya akan mencerminkan kecepatan darah dapat mengalir keluar dari betis yang kongesti ketika tourniquet dip aha dilepas; Calf Muscle Pump Ejection Fraction (MPEF) atau kemampuan pompa otot betis untuk mengeluarkan darah dari betis. Pada pasien normal, dibutuhkan 10-20 kali dorsifleksi atau beridiri dengan jari kaki untuk mengosongkan vena-vena betis. Uji Trendelenberg Ini dipakai untuk membedakan kongesti vena distal yang disebabkan oleh refluks vena superficial dengan kegagalan sistem vena profunda.
2.3.9
Penatalaksanaan Pengobatan insufisiensi vena kronis pada tungkai pada prinsipnya adalah
usaha memperlancar aliran darah vena tungkai, yaitu dengan cara melakukan elevasi 22
tungkai sesering mungkin, terutama setelah kegiatan berjalan-jalan, dimana elevasi dilakukan dalam posisi duduk atau berbaring dengan membuat posisi kaki setinggi dengan jantung. Dengan posisi tersebut aliran darah vena akan menjadi lancar dan dilatasi vena tungkai yang berkelok-kelok menjadi tampak mengempis dan melengkuk, pada posisi tersebut secara subjektif penderita akan merasa keluhannya berkurang dengan cepat. Beberapa penetalaksanaan lain yang dapat dilakukan yaitu:9,10,11 a. Kaus
kaki
kompresi
membantu
memperbaiki
gejala
dan
keadaan
hemodinamik dengan varises vena dan mengilangkan edema. Kaus kaki dengan tekanan 20-30 mmHg (grade II) memberikan hasil yang maksimal. Pada penelitian didapatkan sekitar 37-47 % pasien yang menggunakan kaus kaki kompresi selama 1 tahun setelah menderita DVT mencegah terjadi ulkus pada kaki. Kekurangan penggunaan kaos kaki adalah harga yang relative mahal, kurangnya pendidikan pasien, dan kosmetik yang kurang baik.
b. Medikamentosa, beberapa jenis obat dapat digunakan untuk mengobati insufisiensi vena kronis. Diuretik dapat digunakan untuk mengurangi pembengkakan. Pentoxifylline untuk meningkatkan aliran darah melalui pembuluh darah, dapat dikombinasikan dengan terapi kompresi untuk
23
membantu
menyembuhkan
ulkus
kaki.
Terapi
antikoagulan
dapat
direkomendasikan untuk orang-orang yang memiliki masalah belulang dengan pembuluh darah di kaki. c. Sclerotherapy, digunakan pada pasien dengan usia lanjut, Caranya dengan menginjeksi bahan kimia kedalam pembuluh darah sehingga tidak berfungsi lagi. Darah kemudian kembali ke jantung melalui vena lain dan tubuh menyerap pembuluh darah yang terluka. d. Operasi, pembedahan dapat digunakan untuk mengobati chronic venous insufficiency meliputi : Ligasi Vena yang rusak diikat sehingga darah tidak melewati vena tersebut. Jika vena atau katup rusak berat, pembuluh darah akan diangkat (vein
stripping). Surgical repair Vena atau katup diperbaiki dengan operasi, melalui sayatan terbuka
atau dengan penggunaan kateter. Vein Transplant Mengganti pembuluh darah yang rusak dengan pembuluh darah sehat
dari bagian tubuh yang lain. Subfascial endoscopic perforator surgery Prosedur invasive minimal dilakukan dengan endoskopi. Vena perforator dipotong dan diikat. Hal ini memungkinkan darah mengalir ke pembuluh darah yang sehat dan meningkatkan penyembuhan ulkus.
2.3.10 Komplikasi Lima sampai tujuh persen kasus mengalami cedera pada nervus cutaneus, keadaan ini sering bersifat sementara namun dapat bersifat permanen. Komplikasi berupa terjepitnya vena dan arteri femoral juga tidak dapat untuk dihindari. Hematome dan infeksi pada luka relatif sering terjadi ( sampai dengan 10 %), dan terjadi gangguan dalam aktivitas dan bekerja sehari-hari. Thromboembolism berpotensi terjadi pada pembedahan varises vena, tetapi belum ada bukti yang menujukkan risiko ini meningkat bila dilakukan pembedahan. 2.3.11 Pencegahan 24
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya CVI yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
Hindari jangka waktu yang lama berdiri atau duduk Elevasi kaki untuk mengurangi tekanan dalam pembuluh darah di kaki. Berolahraga secara teratur. Menurunkan berat badan Stoking kompresi untuk memusatkan tekanan pada kaki dan membantu aliran
darah. 6. Antibiotik jika diperlukan untuk mengobati infeksi kulit 2.3.12 Prognosis Prognosis
kesembuhan
ulkus
dan
inflamasi
cukup
bagus
tanpa
adanya penyakit penyerta yang mengganggu kesembuhan. Mayoritas pasien tanpa komplikasi memberikan respon yang baik terhadap pengobatan rawat jalan seperti yang disebutkan dalam bagian “pengobatan”. Perubahan permanen meliputi hemosiderosis dan fibrosis yang terjadi sebelum inisiasi terapi. Kehilangan fungsikatup bersifat ireversibel. Tidak adanya support kutaneus berkelanjutan dalam jangka panjang dalam bentuk penutup inelastis atau stocking elastis, dapat memperbu ruk cedera pada kulit dan jaringan lunak.
25
BAB III KESIMPULAN CVI adalah suatu kelainan pada pembuluh darah vena tahap lanjut yang dapat mengakibatkan aliran darah dari seluruh tubuh tidak dapat kembali menuju ke jantung oleh karena disfungsi katup Vena. Pembuluh darah vena dipengaruhi oleh: tekanan hidrostatik, hemodinamik, katup vena dan pompa otot. Tanda-tanda CVI: pigmentasi, lipodermatosklerotik, edema, dan dermatitis.Gejala CVI: nyeri, bengkak, betis terasa tertekan, kaki terasa berat saat aktivitas dan membaik saat diistirahatkan. Ultrasonografi vaskuler merupakan pemeriksaan yang tepat untuk mendiagnosa CVI Dengan spektrum doppler dan color pada pemeriksaan duplex sonografi femoralis dapat diketahui derajat severitas pada CVI. Hasil pemeriksaan pada pasien CVI dengan menggunakan pemeriksaan dupleks sonografi femoralis adalah: chronic venous insufisiensi (CVI) pada kedua tungkai tidak ditemukan thrombosis( DVT) pada vena dalam di kedua tungkai plaque stabil pada artery femoralis comunis kiri penebalan artery femoralis comunis kanan normal flow artery pada kedua tungkai
26
SARAN 1. Untuk melakukan pemeriksaan duplex sonografi femoralis pasien diposisikan ½ duduk( semi fowler) 2. Lakukan 3 manuver untuk menentukan severitas CVI (dengan SQD, ekspirasi atau inspirasi dan jika sudah severe bias dengan cara pasien diajak untuk berkominukasi. 3. Untuk mengetahui derajat severitas pada CVI berikan doppler color pada pembuluh darah vena 4. Gunakan spektrum doppler untuk menghitung reflux time pada doppler pembuluh darah vena
27
Daftar Pustaka 1. Chronic venous insufficiency [Internet]. 2012 [cited 2014 June 6]. Available from:http://www.summitmedicalgroup.com/library/adult_health/aha_venous_insuffic iency/ 2. Eberhardt RT, Raffetto JD. Chronic venous insufficiency. Circulation 2005;111:2398-409. 3. Faiz, Omar and David Moffat, Anatomy at a Glance, diterjemahkan oleh dr. Annisa Rahmalia, (Jakarta: Erlangga, 2004) 4. Chronic venous insufficiency [Internet]. 2012 [cited 2014 June 6]. Available from: http://vasculardisease.org/chronic-venous-insufficiency-cvi/ 5. Understanding varicose veins - the basics [Internet]. 2014 [cited 2014 June 6]. http://www.webmd.com/skin-problems-and-treatments/understanding-varicoseveins- basics. 6. Varicose vein [Internet]. 2010 [cited 2014 June 6]. Available from: http://www.webcitation.org/5r1PRrJul. 7. Weiss RA, Weiss MA. Doppler ultrasound findings in reticular veins of the thigh subdermic lateral venous system and implications for sclerotherapy. J Dermatol Surg Oncol. 1993;19(10):947-51. 8. Blomgren L, Johansson G, Emanuelsson L, Dahlberg-Åkerman A, Thermaenius P, Bergqvist D. Late follow-up of a randomized trial of routine duplex imaging before varicose vein surgery.Br J Surg.2011;98(8):1112-6. 9. Curri SB. Changes of cutaneous microcirculation from elasto-compression in chronic venous insufficiency. In: Davy A, Stemmer R, editors. Phlebology. Montrouge, France: John Libbey Eurotext; 1989 10. Jusi dan Djang, 2010. Dasar-dasar ilmu bedah vaskuler. Edisi kelima. Jakarta: FKUI. Hal : 85, 204-255
28
11. Karakata, Sumiardi dan Bachsinar B, 1996. Bedah Minor. Jakarta: Hipokrates. Hal : 158-161
29