ANALISIS KONFLIK LAHAN EKS KPWN DI DESA TEJA, KECAMATAN RAJAGALUH, KABUPATEN MAJALENGKA, PROVINSI JAWA BARAT Conflict Analysis of Ex-KPWN Land at Teja Village, Rajagaluh Sub District, Majalengka District, West Java Province Tri Sulistyati Widyaningsih1, Budiman Achmad2, dan Suyarno3 1,2,3
Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 Ciamis, Jawa Barat E-mail:
[email protected];
[email protected] Naskah Diterima 4 Februari 2014, Naskah disetujui 3 Desember 2014
ABSTRAK Konflik lahan merupakan salah satu bentuk konflik sosial yang sering terjadi pada masyarakat Indonesia dan pencegahan terhadap eskalasi konflik yang lebih besar perlu dihindari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah terjadinya konflik, aktor-aktor yang terlibat konflik, serta menganalisis konflik lahan eks Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (KPWN) di Desa Teja, Kecamatan Rajagaluh, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan pada bulan Februari-Desember 2012. Sampel diambil dengan metode purposive sampling melalui teknik snowball sampling terhadap informan kunci yang mengetahui permasalahan lahan eks KPWN sebanyak 38 orang dan survei terhadap masyarakat yang menggarap lahan eks KPWN di Desa Teja sebanyak 70 orang. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi, yang kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah inti konflik adalah okupasi lahan oleh masyarakat yang disebabkan oleh pengalihan penguasaan lahan, minimnya sosialisasi, kelambanan proses pengurusan lahan, dan pembiaran lahan dalam waktu lama. Konflik melibatkan beberapa aktor yang memiliki kepentingan terhadap lahan eks KPWN di Desa Teja, yaitu: (1) KPWN, (2) PT Teja Mukti Utama, (3) Kementerian Kehutanan, yang meliputi Ditjen Planologi Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan, dan Balai Diklat Kehutanan Kadipaten, (4) Pemerintah Desa Teja, (5) Koordinator penggarap HGU PT Teja Mukti Utama, (6) Masyarakat penggarap, serta (7) Badan Pertanahan Nasional. Kata kunci: analisis konflik, konflik lahan, lahan eks KPWN, aktor, kepentingan
ABSTRACT Land tenurial conflict is one of social conflict that often occurs in Indonesia and should be prevented toward the larger conflict escalation. This study aims to determine the history of the conflict, the actors involved in the conflict, and analyze the land conflict of Ex Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (ex-KPWN) in Teja Village, Rajagaluh Sub District, Majalengka District, West Java Province. This study was conducted in February to December 2012. Samples were taken by purposive sampling method through snowball sampling technique on 38 person key informants who knew the problems of ex-KPWN land and survey on 70 farmers who cultivate exKPWN land. Data were collected through interviews, observation, and documentation which processed and analyzed decriptively. The results showed that core problem of conflict is land occupation by the local people caused by the transfer of land ownership, lack of socialization, indolence of land management processing, and land connived for a long time. Conflicts involving several actors who have an interest to ex-KPWN land in Teja Village, such as: (1) KPWN, (2) PT Teja Mukti Utama, (3) Ministry of Forestry (Directorat General of Forestry Planning, Forestry Research and Development Agency, and Kadipaten Forestry Education and Training Institute), (4) Teja Village Goverment, (5) Farmers coordinator of PT Teja Mukti Utama concession, (6) The farmers, and (7) National Land Agency. Keywords: conflict analyze, land tenure conflict, ex-KPWN land, actors, interests
57
Jurnal Penelitian Agroforestry Vol. 2 No. 2, Desember 2014 (hal. 57-66)
I. PENDAHULUAN Konflik menurut Pruitt dan Rubin (2004) adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Salah satu bentuk konflik sosial yang sering terjadi pada masyarakat Indonesia yaitu konflik lahan. Pada tahun 2011 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menerima laporan lebih dari 700 kasus konflik lahan yang berakhir dengan kekerasan. Beberapa kasus terkait konflik lahan yang baru saja terjadi yaitu kasus Mesuji di perbatasan Lampung dan Sumatera Selatan, kasus Desa Senyerang Kabupaten Tanjung Jabung Barat, kasus Kabupaten Seruyan di Kalimantan Tengah, kasus Pulau Padang, Kepulauan Meranti, kasus Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, dan lain-lain (Chaidir, 2012). Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun 2011 mencatat kasus konflik lahan mencapai 163 kasus, di mana 97 kasus terjadi di sektor perkebunan, 36 kasus di sektor kehutanan, 21 kasus di sektor infrastruktur, 8 kasus di sektor pertambangan, dan 1 kasus di pertambakan/ perikanan, naik dari tahun 2010 yang berjumlah 106 kasus (Perkasa, 2012). Sepanjang masa Orde Baru, KPA merekam 1.753 konflik agraria struktural. Kasus konflik lahan tersebut tersebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan. Tanah yang disengketakan seluas 10.892.203 ha dan melibatkan setidaknya 1.189.482 kepala keluarga (Khudori, 2012). Penyebab konflik lahan diantaranya yaitu izin lokasi oleh pemerintah daerah dan penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Lahan HGU yang ditelantarkan bertahun-tahun berpotensi menimbulkan konflik. Keberadaan lahan yang kosong akan memancing masyarakat masuk untuk menggarap lahan tersebut, terutama masyarakat yang menggantungkan hidup dari kegiatan pertanian tetapi tidak memiliki lahan. Salah satu lahan
58
yang sedang mengalami konflik adalah lahan eks Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (KPWN) Kementerian Kehutanan seluas 267 ha di Desa Teja, Kecamatan Rajagaluh, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Konflik terjadi sejak tahun 2000 yang ditandai dengan adanya tuntutan masyarakat kepada ketua DPRD Majalengka agar tetap bisa menggarap lahan eks KPWN. Pencegahan terhadap eskalasi konflik yang lebih besar perlu dilakukan dengan menerapkan teknik-teknik resolusi konflik yang didahului dengan penelusuran sejarah terjadinya konflik, memetakan aktor-aktor yang terlibat konflik, serta menganalisis konflik yang terjadi. Hal tersebut menjadi penyebab penelitian tentang konflik pengelolaan lahan eks KPWN ini perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah terjadinya konflik, aktor-aktor yang terlibat konflik, serta menganalisis konflik yang terjadi pada pengelolaan lahan eks KPWN di Desa Teja, Kecamatan Rajagaluh, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berupa studi kasus pada lahan eks KPWN yang terdapat di Desa Teja, Kecamatan Rajagaluh, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Studi kasus menurut Yin, 1984a: 1981b dalam Yin, 2008 yaitu suatu inkuiri empiris yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas, dan di mana; multisumber bukti dimanfaatkan. Penelitian dilakukan di Desa Teja karena di desa tersebut terdapat lahan eks KPWN yang sudah digarap masyarakat secara ilegal dan menimbulkan konflik penggunaan lahan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-Desember 2012.
Analisis Konflik Lahan Eks KPWN di Desa Teja ..... (Tri Sulistyati Widyaningsih, Budiman Achmad dan Suyarno)
B. Unit Analisis dan Informan Penelitian Unit analisis penelitian ini adalah aktor yang dianggap berkepentingan terhadap pemanfaatan lahan eks KPWN di Desa Teja, Kecamatan Rajagaluh, Kabupaten Majalengka. Informan dalam penelitian ini diambil menggunakan teknik snowballing sampling, yaitu pemilihan informan secara bergulir seperti bola salju. Informan yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini adalah aktor yang dianggap memiliki kepentingan terhadap pemanfaatan lahan eks KPWN di Desa Teja sebanyak 38 orang. Responden dari masyarakat dipilih dengan metode purposive sampling, yaitu masyarakat yang menggarap lahan eks KPWN di Desa Teja sebanyak 70 orang penggarap. C. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Data kualitatif yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder yang diambil dengan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Wawancara dilakukan terhadap informan dan responden penelitian menggunakan bantuan panduan wawancara yang dipersiapkan sebelumnya. Pencarian informasi melalui wawancara terhadap informan dihentikan setelah seluruh data yang diperlukan terjawab dan berulang informasinya. Selain wawancara, dilakukan observasi melalui pengamatan langsung untuk mengetahui kondisi lokasi penelitian serta kegiatan masyarakat dalam melakukan pemanfaatan lahan eks KPWN. Dokumentasi dilakukan untuk melengkapi hasil wawancara dan observasi, dengan cara mengumpulkan berbagai data sekunder baik berbentuk tertulis maupun gambar yang digunakan untuk mendukung penelitian ini. Data penelitian yang terkumpul, selanjutnya dianalisis dengan metode kualitatif yang berupa uraian. Alat bantu yang digunakan untuk melakukan analisis konflik yaitu pemetaan konflik yang merupakan teknik visual yang menggambarkan hubungan di antara berbagai pihak yang berkonflik serta pohon konflik yakni sebuah alat bantu
menggunakan gambar sebuah pohon untuk mengurutkan isu-isu pokok konflik (Fisher et al., 2001). Hasil analisis data selanjutnya disajikan secara deskriptif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sejarah Konflik Lahan Eks KPWN di Desa Teja, Kecamatan Rajagaluh Konflik lahan eks KPWN berawal dari permohonan KPWN atas kawasan hutan di KPH Purwakarta untuk membangun perumahan karyawan Departemen Kehutanan dan BUMN Kehutanan pada tahun 1996. Permohonan disetujui oleh Menteri Kehutanan dengan mekanisme seperti diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.32/Menhut-II/2001 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan, yang mana KPWN harus menyediakan areal pengganti untuk kawasan hutan dengan ratio sesuai ketentuan yang berlaku. KPWN kemudian menyediakan tanah pengganti seluas + 267 ha yang berasal dari eks HGU perkebunan PT. Teja Mukti Utama yang terletak di Desa Teja, Kecamatan Rajagaluh, Kabupaten Majalengka dan telah disetujui oleh Menteri Kehutanan melalui surat Menteri Kehutanan dan Perkebunan kepada Direktur Utama Perum Perhutani melalui surat No. 1513/Menhut-VII/1997 tanggal 1 Desember 1997 dan didukung oleh Pemerintah Daerah Majalengka. Kondisi lahan eks HGU tersebut masih digarap oleh masyarakat sekitar. Adanya rencana alih fungsi lahan eks HGU tersebut menyebabkan masyarakat penggarap lahan HGU terancam kehilangan lahan garapannya, sehingga koordinator penggarap HGU PT Teja Mukti Utama selaku wakil masyarakat Desa Teja pada tahun 2000 menyampaikan permohonan kepada Ketua DPRD Majalengka agar tetap diperbolehkan menggarap lahan eks HGU tersebut. Setelah dilakukannya pengikatan jual beli antara PT Teja Mukti Utama dan KPWN terhadap lahan HGU di Desa Teja, maka pengelolaan lahan tersebut menjadi tang59
Jurnal Penelitian Agroforestry Vol. 2 No. 2, Desember 2014 (hal. 57-66)
gung jawab KPWN. Tetapi pada tahun 2004, melalui surat No. 1098/KPWN.01/VIII/ 2004 tanggal 23 Agustus 2004, Ketua KPWN menyerahkan kembali ijin/ persetujuan prinsip penggunaan kawasan untuk perumahan karyawan Departemen Kehutanan karena lahan tersebut dinilai kurang layak untuk perumahan karyawan dan akan dipertahankan sebagai kawasan hutan. Di sisi lain, KPWN tetap menyerahkan lahan pengganti + 267 ha di Desa Teja untuk menjadi kawasan hutan kepada Departemen Kehutanan melalui Kepala Badan Planologi Kehutanan pada tanggal 14 Desember 2004 yang memuat rencana lahan seluas 260 ha akan dijadikan kawasan hutan dan 7 ha akan dihibahkan kepada Pemerintah Desa untuk menjadi tanah kas desa. Dalam perkembangannya muncul wacana agar lahan tersebut ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) untuk kegiatan penelitian dan pengembangan yang dikelola oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan atau hutan pendidikan dan pelatihan yang dikelola Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Kadipaten. Belum ada keputusan tentang bentuk pengelolaan lahan eks KPWN, sampai kemudian keluar Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Jawa Barat No. 500-1832-2008 tanggal 16 April 2008 yang menyatakan bahwa tanah PT Teja Mukti Utama di Desa Teja, yang terbit dengan Surat Keputusan (SK) No. 50/HGU/ BPN/98 tanggal 30 Juni 1998 sertifikat HGU No. 3 dengan luas 267,5170 ha termasuk tanah yang diindikasikan terlantar. Hal tersebut menyebabkan tuntutan masyarakat agar lahan diredistribusikan ke masyarakat dengan pembentukan panitia redistribusi lahan di Desa Teja yang beranggotakan 10 orang anggota perwakilan masyarakat dan diketuai oleh Kepala Urusan Pemerintahan Desa Teja. Panitia redistribusi lahan melakukan pembagian garapan kepada seluruh kepala keluarga yang ada di Desa Teja dengan luas 0,21-0,28 ha per KK. Tuntutan masyarakat terhadap redistribusi lahan semakin kuat sehingga harus 60
dilakukan mediasi oleh petugas Kantor Pertanahan Kabupaten Majalengka pada tanggal 22 April 2010 dan pembentukan tim penyelesaian permasalahan lahan eks KPWN yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Sekretaris Jenderal Kehutanan Nomor SK. 99/II-KUM 2010 tanggal 27 Juli 2010. Hasil konfirmasi pada bulan Juni 2012, Badan Planologi Kehutanan belum melakukan tata batas lahan tersebut karena belum adanya kejelasan tentang batas-batas tanah 7 ha dari luas 267 ha yang akan diserahkan oleh KPWN untuk tanah kas Desa Teja. Menurut Badan Planologi Kehutanan, penentuan batas tanah yang akan diserahkan kepada Pemerintah Desa Teja merupakan kewenangan KPWN sebagaimana yang tertera dalam Berita Acara Serah Terima Lahan pada tanggal 14 Desember 2004. Informasi kejelasan tentang batas rencana tanah kas desa tersebut diperlukan oleh Badan Planologi untuk mempercepat proses tata batas lahan yang akan ditunjuk menjadi kawasan hutan serta menghindari konflik lebih lanjut dengan masyarakat yang saat ini sudah menggarap seluruh lahan eks KPWN. Lahan eks KPWN tertera pada Gambar 1 dan sejarah lahan eks KPWN tertera pada Tabel 1. B. Pemetaan Konflik Penggunaan Lahan Eks KPWN di Desa Teja Konflik lahan eks KPWN melibatkan aktor-aktor dengan berbagai kepentingannya. Aktor atau pihak yang terlibat konflik menurut Abdalla (2000) dalam Susan (2010) yaitu kelompok yang berpartisipasi dalam konflik baik pihak utama yang langsung berhubungan dengan kepentingan, pihak sekunder yang tidak secara langsung terkait dengan kepentingan, dan pihak tersier yang tidak berhubungan dengan kepentingan konflik. Beberapa aktor yang terlibat dalam pemanfaatan lahan eks KPWN dijelaskan berikut ini. 1) KPWN Salah satu sumber terjadinya konflik lahan eks KPWN yaitu ketidaktelitian
Analisis Konflik Lahan Eks KPWN di Desa Teja ..... (Tri Sulistyati Widyaningsih, Budiman Achmad dan Suyarno)
Gambar 1. Peta lokasi penelitian pada lahan eks KPWN di Desa Teja, Kecamatan Rajagaluh (Sumber: Widyaningsih et al., 2013) Figure 1. Map of ex-KPWN land in Teja Village, Rajagaluh Sub District (Source: Widyaningsih et al., 2013) Tabel 1. Sejarah penggunaan lahan eks KPWN di Desa Teja, Kecamatan Rajagaluh Table 1. History of ex-KPWN land use in Teja village Tahun Sebelum 1960 1960-1988 1988-1998 1998
1998-2004 2004 2004-2012
Deskripsi Lahan berstatus HGU perkebunan yang dikelola pengusaha etnis Cina HGU perkebunan karet a.n. H. Kosasih (NV. Cultuur Matschapprij Padabeunghar en Tedja), lahan digarap masyarakat sebagai penggarap perkebunan HGU mati, dialihkan ke H.Yusuf Haffandi (NV. Cultuur M atschapprij Padabeunghar en Tedja), lahan digarap masyarakat sebagai penggarap perkebunan - 30 Juni 1998 SK Kepala BPN tentang HGU 3/Teja a.n PT Teja Mukti Utama - 21 Desember 1998, HGU PT Teja dibeli oleh KPWN untuk calon tanah pengganti kawasan hutan di KPH Purwakarta - lahan digarap masyarakat sebagai penggarap perkebunan Lahan dikuasai KPWN, lahan digarap masyarakat sebagai penggarap perkebunan 14 Desember 2004 oleh KPWN diserahkan kepada Badan Planologi Kehutanan a.n. Departemen Kehutanan untuk menjadi kawasan hutan, lahan digarap masyarakat Lahan dikuasai oleh Badan Planologi Kehutanan a.n. Departemen Kehutanan/ Kementerian Kehutanan; belum dikukuhkan menjadi kawasan hutan, lahan digarap masyarakat
Sumber (Source): Widyaningsih et al., 2013
61
Jurnal Penelitian Agroforestry Vol. 2 No. 2, Desember 2014 (hal. 57-66)
KPWN dalam memilih lahan yang akan dijadikan lahan pengganti kawasan hutan di KPH Purwakarta. Lahan yang dipilih sebagai lahan pengganti adalah lahan HGU perkebunan yang sebagian sudah digarap oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari pengelolaan lahan selama bertahun-tahun. KPWN belum pernah melakukan pengelolaan terhadap lahan eks HGU tersebut semenjak dialihkan dari PT Teja Mukti Utama kepada KPWN pada tahun 1998 hingga diserahkan ke Departemen Kehutanan pada tahun 2004, sehingga terkesan terjadi pembiaran lahan. Hal ini menjadi salah satu pemicu masyarakat memperluas garapan yang semula hanya sekitar 7 ha pada lahan yang direncanakan akan diserahkan menjadi tanah kas Desa Teja. Selain itu, KPWN belum pernah melakukan penunjukan dan penentuan batas lahan seluas 7 ha yang akan diserahkan menjadi tanah kas Desa Teja, sehingga menyebabkan kelambanan proses penunjukkan status lahan eks KPWN seluas 260 ha. 2) PT Teja Mukti Utama Keterlibatan PT Teja Mukti Utama dalam permasalahan lahan eks KPWN bermula semenjak tahun 1998 ketika lahan tersebut dialihkan kepemilikannya kepada KPWN melalui pengikatan jual beli. PT Teja Mukti Utama tidak mengeluarkan masyarakat dari penggarapan lahan HGU, padahal lahan tersebut dialihkan kepemilikannya kepada KPWN. Komisaris PT Teja Mukti Utama juga menyatakan bahwa sampai terjadinya pengikatan jual beli tanggal 21 Desember 1998 Nomor 9 antara PT Teja Mukti Utama dan KPWN, lahan tidak dalam keadaan sengketa. Padahal dari berbagai pengalaman penggarapan lahan negara oleh masyarakat di daerah lain, pelarangan penggarapan lahan terhadap masyarakat seringkali berpotensi menimbulkan konflik sosial ketika lahan tersebut dialihkan penguasaannya ke pihak lain. 3) Kementerian Kehutanan Kementerian Kehutanan terlibat dengan permasalahan lahan eks KPWN setelah 62
menerima lahan tersebut dari KPWN pada tahun 2004. Semenjak menerima penyerahan lahan tersebut, belum pernah dilakukan aktivitas secara langsung terhadap lahan eks KPWN baik berupa tata batas maupun penunjukan lahan sebagai kawasan hutan. Pihak dari Kementerian Kehutanan yang terkait langsung dengan permasalahan lahan eks KPWN yaitu: a) Direktorat jenderal (Ditjen) Planologi Kehutanan Keterlibatan Ditjen Planologi dalam permasalahan lahan eks KPWN karena semenjak lahan ini diserahkan oleh KPWN pada tahun 2004 tidak segera melakukan proses lebih lanjut untuk penunjukan kawasan tersebut menjadi hutan. Hal tersebut berimbas pada ketidakjelasan pemangku lahan, sehingga lahan terkesan dibiarkan dan menyebabkan semakin banyak masyarakat yang menggarap lahan tersebut. Pihak ini menyatakan bahwa berkasberkas untuk proses penunjukan kawasan hutan sudah lengkap karena proses pengalihan hak sudah selesai, tetapi terkendala ketidakjelasan batas lahan seluas 7 ha yang akan diserahkan KPWN ke Desa Teja, dari luas total 267 ha. b) Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kehutanan Keterkaitan Badan Litbang Kehutanan dengan permasalahan lahan eks KPWN karena pernah menyatakan secara tertulis melalui surat pada tahun 2009 kepada pihak-pihak terkait (BPN, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, serta Pemerintah Kabupaten Majalengka) bahwa lahan eks KPWN merupakan lahan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan, sehingga tidak dibenarkan adanya klaim dari pihak manapun terhadap lahan tersebut. Pernyataan tersebut merupakan sanggahan terhadap keputusan Kepala BPN yang menyatakan lahan eks KPWN sebagai lahan yang diindikasikan terlantar pada tahun 2008. Semenjak lahan eks KPWN diserahkan ke Kementerian Kehutanan pada tahun 2004, lahan tersebut sempat diwacana-
Analisis Konflik Lahan Eks KPWN di Desa Teja ..... (Tri Sulistyati Widyaningsih, Budiman Achmad dan Suyarno)
kan untuk dijadikan KHDTK berupa hutan penelitian, tetapi hal tersebut belum pernah ditangani secara serius hingga saat ini. c) Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan (BDK) Kadipaten BDK Kadipaten pernah memohon agar lahan eks KPWN dijadikan sebagai lahan hutan diklat bidang Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) dan konservasi dengan mengajukan surat permohonan kepada Pusat Diklat Kehutanan dan Kantor Pertanahan Kabupaten Majalengka tahun 2008. 4) Pemerintah Desa Teja/panitia redistribusi lahan Keterlibatan pemerintah Desa Teja dalam konflik lahan eks KPWN bermula dengan adanya Surat keterangan status tanah No. 470/14/PEM/V/98 tanggal 12 Mei 1998 yang mana Kepala Desa Teja menerangkan bahwa status tanah HGU seluas 267,535 ha di Desa Teja sampai surat tersebut dibuat masih dikelola PT Padabeunghar Teja (sekarang PT Teja Mukti Utama) dan statusnya tidak dalam sengketa dengan pihak manapun dan tidak ada penggarapan oleh masyarakat. Padahal pada saat itu lahan masih digarap oleh penggarap perkebunan PT Teja Mukti Utama. Selain itu pemerintah desa juga memfasilitasi pembentukan panitia redistribusi lahan tingkat Desa Teja pada tahun 2009. Sebelum adanya kepanitiaan, pemerintah desa juga sudah mengatur pembagian kapling garapan kepada warga masyarakat tanpa mengurus perijinan tertulis kepada KPWN atau Kementerian Kehutanan selaku pemilik lahan yang digarap masyarakat. 5) Koordinator penggarap lahan eks HGU PT Teja Mukti Utama Keterlibatan koordinator penggarap lahan yaitu dengan mengajukan surat permohonan ke Ketua DPRD Majalengka melalui Pansus DPRD Majalengka agar masyarakat tetap diijinkan menggarap lahan meskipun lahan di Desa Teja telah beralih
kepemilikan dari PT Teja Mukti Utama kepada KPWN pada tahun 2000. Koordinator juga mempertanyakan legalitas peralihan lahan dari PT Teja Mukti Utama kepada KPWN yang dinilai cacat hukum karena lahan HGU atau lahan negara tidak boleh diperjualbelikan, yang diperbolehkan adalah jual beli saham dan aset yang ada di atas lahan. 6) Masyarakat Masyarakat merupakan salah satu aktor utama dalam konflik lahan eks KPWN. Hal ini bermula dari keinginan masyarakat terutama yang sudah bertahun-tahun menggarap lahan perkebunan eks KPWN dan menggantungkan hidupnya pada lahan tersebut, untuk tetap menggarap lahan tersebut meski sudah beralih kepemilikan. Apalagi setelah adanya keputusan dari BPN Provinsi Jawa Barat yang menyatakan lahan eks KPWN sebagai lahan yang diindikasikan terlantar. Masyarakat yang menggarap lahan eks KPWN berdasarkan data inventarisasi terakhir oleh Pemerintah Desa Teja pada bulan Mei 2008 sebanyak 847 orang yang merupakan masyarakat Desa Teja. 7) Badan Pertanahan Nasional Keterlibatan BPN dalam permasalahan lahan eks KPWN karena kepala BPN pernah mengeluarkan surat keputusan tentang lahan eks KPWN yang semula merupakan lahan HGU PT. Teja Mukti Utama sebagai lahan yang diindikasikan terlantar pada tahun 2008. Keputusan tersebut menyebabkan masyarakat yang selama ini menggarap lahan tersebut membentuk kepanitiaan redistribusi lahan di tingkat desa. Meskipun keputusan tentang lahan eks KPWN yang diindikasikan terlantar sudah dicabut setelah adanya sanggahan dari Kepala Badan Litbang Kehutanan, tetapi masyarakat tetap menggarap lahan tersebut serta tetap berusaha memproses redistribusi lahan. Secara ringkas, posisi dan kepentingan para aktor terhadap lahan eks KPWN tertera pada Tabel 2 dengan hubungan antar para aktor tertera pada Gambar 2. 63
Jurnal Penelitian Agroforestry Vol. 2 No. 2, Desember 2014 (hal. 57-66)
Tabel 2. Aktor dan kepentingan para aktor terhadap lahan eks KPWN di Desa Teja Table 2. Actor and their interest to ex-KPWN land in Teja Village No.
Aktor (Actor)
Posisi (Position)
Kepentingan (Interest)
1.
KPWN
2.
PT Teja Mukti penjual lahan HGU perkebunan Utama Kementerian Kehutanan Ditjen Planologi pihak yang menerima penyerahan berkas lahan eks KPWN dan berwenang melakukan proses penunjukan kawasan Badan Litbang pihak yang ingin menjaga Kehutanan kelestarian lingkungan dan memanfaatkan lahan eks KPWN sebagai hutan penelitian BDK Kadipaten pihak yang ingin menjaga kelestarian lingkungan dan memanfaatkan lahan eks KPWN sebagai hutan diklat Pemerintah pihak yang membentuk panitia Desa Teja redistribusi lahan eks KPWN
3. a.
b.
c.
4.
5.
6.
7.
pihak yang membeli lahan
Koordinator penggarap PT Teja Masyarakat penggarap
wakil masyarakat untuk mengurus perijinan penggarapan lahan
BPN
pihak yang mengurus administrasi pertanahan dan mengeluarkan surat keputusan tentang lahan eks KPWN yang diindikasikan terlantar
pihak yang menggarap lahan
mengalihkan lahan untuk dijadikan kawasan hutan mengalihkan penguasaan lahan HGU kepada KPWN mempertahankan lahan menjadi lahan negara dan menunjuknya menjadi kawasan hutan untuk menjaga kelestarian lingkungan, baik dimanfaatkan untuk hutan penelitian dan pengembangan maupun hutan pendidikan dan pelatihan
membagikan lahan ke masyarakat, mendapatkan tanah kas desa, dan pendapatan dari aktivitas lahan KPWN memperoleh legalitas untuk menggarap lahan tetap menggarap lahan eks KPWN dan mengharapkan lahan tersebut menjadi hak milik menertibkan penggunaan lahan negara
Sumber (Source): analisis data primer, 2012 (primary data analyzed, 2012)
C. Analisis Konflik Lahan Eks KPWN di Desa Teja Konflik lahan eks KPWN terjadi karena adanya berbagai kepentingan dari aktor yang terlibat. Situasi konflik yang terjadi dalam penggunaan lahan eks KPWN di Desa Teja digambarkan pada pohon konflik yang tertera pada Gambar 3. Masalah inti konflik ini terkait dengan konflik penggunaan lahan eks KPWN dengan adanya okupasi lahan oleh masyarakat. Okupasi lahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang menjadi akar penyebab terjadinya konflik yaitu pengalihan penguasaan lahan, terbatasnya sosialisasi, kelambanan proses pengurusan lahan, dan pembiaran lahan dalam waktu
64
lama. Berbagai akar konflik tersebut menimbulkan berbagai dampak yang diekspresikan dalam bentuk keresahan masyarakat, unjuk rasa, pembentukan panitia redistribusi lahan, pengkaplingan lahan, penggarapan lahan, dan tuntutan pemilikan lahan. Konflik meliputi dua jenis yaitu konflik vertikal atau konflik atas serta konflik horisontal. Konflik vertikal adalah konflik antara elite dan massa (rakyat). Elite meliputi pengambil kebijakan di tingkat pusat (pusat pemerintahan), kelompok bisnis, atau aparat militer. Konflik horisontal adalah konflik yang terjadi di kalangan masyarakat sendiri (Susan, 2010). Konflik lahan eks KPWN ini merupakan konflik vertikal yang terjadi
Analisis Konflik Lahan Eks KPWN di Desa Teja ..... (Tri Sulistyati Widyaningsih, Budiman Achmad dan Suyarno)
Tim penyelesaian lahan
· Belum siap melakukan penunjukan kawasan · Klaim sebagai penguasa lahan · Belum memiliki konsep yang tepat untuk mengatasi penggarap lahan
Posisi
Kementerian Kehutanan (Ditjen Planologi, Badan Litbang Kehutanan, BDK Kadipaten)
Kepastian batas lahan kas desa 7 ha KPWN Penyerahan lahan Transaksi lahan
BPN
PT. Teja Mukti Utama
Keputusan indikasi tanah terlantar
Redistribusi lahan Pemerintah Desa Teja (panitia redistribusi lahan)
Masyarakat Penggarap Lahan eks KPWN
Koordinator penggarap lahan eks KPWN Investor
Posisi
Penghijauan tanah terlantar
· Mengharapkan pembagian lahan · Siap bermitra dalam pengelolaan hutan · Mendapat dukungan pemerintah Desa Teja
Penyuluh kehutanan lapangan
Modal penanaman lahan
Keterangan: lingkaran (pihak yang terlibat isu) kotak segi empat (isuisu/topik-topik) bayangan (pihak luar yang berpengaruh, tidak terlibat langsung)
garis putus-putus (hubungan sementara) garis lurus (hubungan agak dekat) garis ganda (aliansi)
garis turun-naik (perselisihan konflik) tanda panah (arah utama pengaruh/kegiatan) garis ganda menyilang (putusnya hubungan)
Gambar 2. Pemetaan konflik lahan eks KPWN di Desa Teja (Sumber: analisis data primer, 2012) Figure 2. Mapping of ex-KPWN land conflict in Teja Village (Source: primary data analyzed, 2012) antara pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan selaku penguasa lahan eks KPWN dengan masyarakat penggarap lahan eks KPWN yang sebagian sudah menggarap lahan tersebut sebelum lahan dialihkan ke Kementerian Kehutanan.
Merujuk pada pendapat Fisher et al. (2001) bahwa terdapat empat tipe konflik yang meliputi tanpa konflik, konflik laten, konflik terbuka, dan konflik di permukaan, maka konflik lahan eks KPWN ini termasuk konflik terbuka. Konflik terbuka ditandai 65
Jurnal Penelitian Agroforestry Vol. 2 No. 2, Desember 2014 (hal. 57-66)
dengan situasi ketika konflik sosial telah muncul ke permukaan yang berakar dalam dan sangat nyata. Konflik ini memerlukan tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. Pada situasi ini muncul pihak-pihak yang berkonflik yang semakin banyak dan aspirasi berkembang cepat. Konflik penggunaan lahan eks KPWN yang terjadi terutama antara Kementerian Kehutanan yang belum melakukan penunjukkan atas status lahan eks KPWN terhadap masyarakat yang menggarap lahan eks KPWN perlu dianalisis lebih lanjut untuk menemukan solusi yang tepat untuk menangani konflik tersebut sebelum berkembang semakin luas. IV. KESIMPULAN 1. Konflik lahan eks KPWN bersumber dari okupasi lahan oleh masyarakat yang disebabkan oleh pengalihan penguasaan lahan, terbatasnya sosialisasi, kelambanan proses pengurusan lahan, dan pembiaran lahan dalam waktu lama. 2. Konflik terjadi sejak tahun 2000 yang ditandai dengan adanya tuntutan masyarakat kepada Ketua DPRD Majalengka agar tetap bisa menggarap lahan eks KPWN setelah lahan tersebut dialihkan penguasaannya dari HGU PT Teja Mukti Utama kepada KPWN. Konflik lahan eks KPWN merupakan konflik vertikal yang terjadi antara Kementerian Kehutanan dengan masyarakat penggarap lahan eks KPWN dan merupakan konflik terbuka karena perbedaan kepentingan antara masyarakat terhadap pemerintah diekspresikan secara jelas oleh masyarakat melalui okupasi lahan. 3. Konflik lahan tersebut melibatkan beberapa aktor yaitu a) KPWN, b) PT Teja Mukti Utama, c) Kementerian Kehutanan yang meliputi Ditjen Planologi, Badan Litbang, dan BDK Kadipaten, d) Pemerintah Desa Teja, e) Koordinator penggarap HGU PT Teja Mukti Utama, f) Masyarakat penggarap lahan eks KPWN, serta g) BPN. Konflik 66
tersebut perlu diselesaikan dengan mempertemukan semua aktor terkait untuk mendapatkan solusi terbaik dalam pemanfaatan lahan eks KPWN. DAFTAR PUSTAKA Chaidir. 2012. Revolusi Hijau. http://bungchaidir.blogdetik.com/tag/konfliklahan/. Diakses tanggal 19 Januari 2012. Fisher, S., D.I. Abdi, J. Ludin, R. Smith, S. Williams, dan S. Williams. 2001. Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi Bertindak. The British Council Indonesia. Jakarta. Khudori. 2012. Konflik Lahan dan Transformasi Struktural. http://gagasanhukum.wordpress.com/ 2012/01/09/ konflik-lahan-dan-transformasistruktural/. Diakses 19 Januari 2012. Perkasa, A. 2012. Konflik Lahan: Perizinan Sering Cacat Prosedural. http://www. bisnis.com/articles/konflik-lahanperizinan-sering-cacat-prosedural. Diakses tanggal 19 Januari 2012. Pruitt, D.G. dan J.Z. Rubin. 2004. Teori Konflik Sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Susan, N. 2010. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Edisi 1 Cetakan 2. Kencana. Jakarta. Widyaningsih, T.S., B. Achmad, dan N. Firdaus. 2013. Cultivating State Land by the Society: Case Study of ExKPWN Land at Teja Village, Rajagaluh Sub District, Majalengka District, West Java Province. Makalah disampaikan dalam The Second International Conference of Indonesian Forestry Researchers (INAFOR) di Jakarta 2728 Agustus 2013. Yin, R.K. 2008. Studi Kasus: Desain dan Metode. Penerjemah M. Djauzi Mudzakir Edidi 1-8. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.