TREN PEMBELAJARAN SASTRA: TELAAH MODEL PEMBELAJARAN DALAM PENELITIAN MAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI MALANG TAHUN 1990—2010 Ika Afika Aria Swastika(1) Wahyudi Siswanto(2) Ida Lestari(3) E-mail:
[email protected] Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 Malang ABSTRAK: Tujuan penelitian ini mendeskripsikan: (1) model pembelajaran sastra yang digunakan mahasiswa Universitas Negeri Malang, (2) permasalahan pembelajaran sastra dan bagaimana solusinya. Data dikumpulkan dengan teknik matriks analisis isi dan dianalisis dengan metode kualitatif analisis isi. Hasil penelitian (1) model pembelajaran sastra antara lain, model RKPL, strategi Imajinasi, metode Ekspresif, teknik Pengadilan, dan model Snowball Throwing; (2) permasalahan pembelajaran sastra antara lain, pembelajaran berpusat pada guru dan guru belum menerapkan model pembelajaran yang ada. Solusi permasalahan antara lain mengubah pola pikir guru tentang pembelajaran sastra dan menciptakan pembelajaran yang menyenangkan. Kata kunci: pembelajaran sastra, model pembelajaran, metode pembelajaran, teknik/strategi pembelajaran ABSTRACT: The aims of research is to describe: (1) literature learning models that used by students of State University of Malang, (2) problems in literature learning and the solutions. Data is collected by content analysis matrix techniques and analized by content analysis methods. Research’s result (1) models of literature learning such as RKPL models, strategies Imagine, Expressive methods, techniques Court, and the Snowball Throwing models; (2) problems of literature learning such as teacher-centered learning and the teachers do not implement the existing learning model. The solution’s problems such as changing the mindset of teachers' learning about literature and create an enjoyable learning. Keywords: literature learning,learning model, learning method, learning technique/strategy
Pelajaran bahasa Indonesia mulai diajarkan pada tingkat SD, SMP, sampai SMA/SMK. Pembelajarannya meliputi empat kegiatan, yaitu menulis, membaca, mendengarkan, dan berbicara. Selain itu, dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, terdapat juga pembelajaran sastra. Selama ini, pembelajaran sastra di sekolah belum berjalan secara optimal. Guru menganggap bahwa mengajarkan materi sastra jauh lebih sulit daripada mengajarkan materi bahasa. Selain itu, siswa terlanjur kurang menyukai karya sastra, sehingga guru mengalami kesulitan untuk mengajarkan sastra. Hal itu menyebabkan pembelajaran sastra terabaikan. Dalam keadaan seperti itu, seharusnya guru mampu menciptakan suasana pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi siswa, sehingga minat siswa terhadap pembelajaran sastra dapat meningkat. Sayangnya, guru tetap tidak (1) Ika Afika Aria Swastika adalah mahasiswa S1 sastra Indonesia Universitas Negeri Malang (2) Wahyudi Siswanto adalah dosen Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (3) Ida Lestari adalah dosen Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
2
mampu menciptakan suasana pembelajaran yang menarik, bahkan pembelajaran sastra kurang mendapatkan perhatian dari guru. Padahal, sekarang ini telah bermunculan model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran sastra. Pembelajaran sastra dilakukan dalam konteks keterampilan berbahasa yang menggunakan materi sastra, sehingga model pembelajaran mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis dapat diterapkan dalam pembelajaran sastra. (Widodo, 2009). Menurut Gani (1988:15), memberikan kesempatan pada siswa untuk memperoleh pengalaman sastra merupakan tujuan utama pengajaran sastra, dengan sasaran akhir: mampu mengapresiasi cipta sastra. Dalam pembelajaran sastra, siswa tidak dituntut untuk menjadi sastrawan yang handal, melainkan diharapkan dapat memiliki pengetahuan sastra, sehingga pengetahuan mereka tidak hanya tentang ilmu kebahasaan, tetapi juga ilmu sastra. Seperti yang dikatakan para ahli, bahwa karya sastra dan ilmu kebahasaan memiliki keterkaitan, sehingga keduanya perlu diajarkan. Dalam pembelajaran, guru perlu menerapkan strategi, metode, teknik, dan model pembelajaran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Keempat istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda-beda. Menurut Kemp (dalam Muslich dan Suyono, 2010:2) strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan peserta didik agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Subana dan Sunarti (2000:16) juga menyatakan bahwa strategi pembelajaran adalah rencana menyeluruh mengenai perbuatan belajar mengajar yang serasi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Jadi, strategi pembelajaran adalah rencana pembelajaran di kelas yang harus dilakukan guru dan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sifat strategi pembelajaran masih konseptual dan untuk mengimplementasikannya digunakan berbagai metode pembelajaran tertentu. Menurut Subana dan Sunarti (2000:20) metode pembelajaran adalah rencana penyajian bahan yang menyeluruh dengan urutan yang sistematis berdasarkan approach tertentu. Muslich dan Suyono (2010:3) berpendapat bahwa metode pembelajaran adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Jadi, metode pembelajaran adalah cara yang sistematis yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang telah disusun ke dalam kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran berdasarkan pendekatan atau strategi tertentu. Dalam menerapkan suatu metode pembelajaran, setiap guru memiliki teknik yang berbeda-beda. Subana dan Sunarti (2000:20) menyatakan bahwa teknik adalah daya upaya, usaha, cara yang digunakan guru dalam mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Muslich dan Suyono (2010:3), teknik pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misalnya, penggunaan metode ceramah pada kelas dengan jumlah peserta didik yang relatif banyak membutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan berbeda dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah peserta didiknya terbatas. Jadi, teknik pembelajaran adalah cara yang digunakan guru dalam kelas untuk mengimplementasikan metode pembelajaran. Penggunaan teknik pada kelas tertentu akan berbeda dengan kelas lainnya meskipun metodenya sama.
3
Penggunaan teknik pembelajaran harus disesuaikan dengan keadaan siswa dan sekolah. Menurut Chauhan (dalam Subana dan Sunarti, 2000:16) model pembelajaran adalah pola proses belajar-mengajar yang menggambarkan proses penentuan dan penciptaan situasi khusus yang dapat menyebabkan siswa mampu berinteraksi dengan lingkungan sehingga terjadi perubahan tingkah laku. Muslich dan Suyono (2010:4) mengatakan bahwa model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Jadi, model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru yang dapat menyebabkan siswa mampu berinteraksi dengan lingkungan sehingga terjadi perubahan tingkah laku. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan berbagai model pembelajaran sastra pada jenjang SD, SMP, dan SMA yang digunakan mahasiswa Universitas Negeri Malang dalam penelitian tahun 19902010. Selain itu juga untuk mengetahui permasalahan apa yang dihadapi guru dalam pembelajaran sastra dan bagaimana solusinya berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Negeri Malang. METODE Penelitian ini didasarkan pada metode penelitian kepustakaan. Data penelitian berupa model pembelajaran sastra yang diterapkan mahasiswa Universitas Negeri Malang dalam skripsi tentang pembelajaran sastra. Sumber data penelitian ini adalah berbagai penelitian pembelajaran sastra pada SD, SMP, dan SMA yang dilakukan mahasiswa Universitas Negeri Malang dalam kurun waktu 21 tahun antara tahun 1990—2010. Data penelitian berasal dari skripsi mahasiswa Universitas Negeri Malang. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik matriks analisis isi (MAI). Peneliti mencari sumber bahan pustaka kemudian melakukan evaluasi terhadap sumber tersebut dan membuat rangkuman terhadap isi sumber tersebut. Hal yang perlu ada dalam sebuah matrik analisis isi adalah penulis, judul penelitian yang dibaca, deskripsi model, jenjang, dan lokasi penemuan. Data dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif analisis isi. Kegiatan analisis dimulai dari pengelompokan dan pengorganisasian, pengodean, serta penginterpretasian dan penyimpulan. HASIL PENELITIAN Pertama, dari keempat puluh lima data penelitian ini telah dihasilkan model pembelajaran sastra yang digunakan mahasiswa S1 Universitas Negeri Malang dalam penelitian untuk meningkatkan keterampilan bersastra. Modelmodel pembelajaran tersebut telah dikelompokkan berdasarkan jenis karya sastra. Model pembelajaran puisi adalah model RKPL (Rencanakan, Kerjakan, Pelajari, Lakukan), strategi PAIKEM, model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning atau CTL), teknik Rekonstruksi Parsial Cerpen, strategi B-G-T (Baca-Gunting-Tempel), teknik Pemodelan, teknik Temporari, strategi Tandur, strategi Formula, strategi Imajinasi, strategi Peta Pikiran, teknik Merespon Puisi Model, strategi Jendela Pikiran, teknik Membaca Kreatif, dan strategi Enam-M. Model pembelajaran cerpen adalah metode Ekspresif, strategi
4
T-O-K (Tiru-Olah-Kembangkan), metode Belanja Gambar Berangkai, teknik Pengadilan, strategi 3M, metode Bermain Peran, metode Dua Tinggal Dua Bertamu, strategi Peta Pikiran, strategi Domino, strategi Bongkar Pasang, metode Peta-Pikiran, metode Tim Investigasi, dan teknik Pengelompokan. Model pembelajaran cerita rakyat, dongeng, dan hikayat adalah model Melempar Bola Salju, model Terapi Senam Telinga, teknik Mencatat dan Menukar Informasi, dan metode Siklus Pembelajaran. Model pembelajaran novel adalah strategi Lingkaran Sastra, model Jigsaw, metode Penilaian Sejawat, strategi Memusatkan Perhatian dan Membandingkan, dan metode Analisis Wacana Kritis. Model pembelajaran drama adalah teknik Bermain Drama, teknik Pemodelan, strategi Konversi Cerpen, dan strategi Pemodelan Transformasi Cerpen. Kedua, Ditemukan lima permasalahan yang umumnya dihadapi guru. Permasalahan pertama yaitu pembelajaran monoton dan sangat membosankan karena hanya berpusat pada guru. Permasalahan kedua adalah kemampuan membaca, mengapresiasi karya sastra, dan minat belajar siswa terhadap sastra masih rendah. Permasalahan ketiga adalah guru belum menerapkan model-model pembelajaran yang bervariatif dalam KTSP, guru hanya menggunakan metode ceramah dan penugasan. Permasalahan kelima adalah media untuk pembelajaran sastra kurang bervariasi dan hanya berkisar pada buku teks. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan memanfaatkan model pembelajaran yang telah ditemukan dan dengan cara mengubah pola pikir guru yang salah tentang pembelajaran sastra. Jika hal-hal di atas dapat dilakukan dengan baik, pembelajaran sastra juga akan terasa menyenangkan. Siswa tidak akan lagi menganggap pembelajaran sastra sebagai beban. PEMBAHASAN Model Pembelajaran Sastra Dalam penelitian ini ditemukan berbagai macam model pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran sastra, seperti model Jigsaw, model RKPL, teknik Bermain Drama, dan model Bermain Peran. Dalam penelitian ini, model pembelajaran yang digunakan oleh mahasiswa Universitas Negeri Malang telah dipilah-pilah dan dikelompokkan berdasarkan jenjang pendidikan dan jenis karya sastra. Berdasarkan hal tersebut tampak bahwa ternyata satu model pembelajaran dapat digunakan pada pembelajaran berbagai macam karya sastra. Misalnya, metode Pemodelan dapat digunakan dalam pembelajaran menulis puisi, menulis cerpen, membacakan cerpen, meresensi novel, bahkan pembelajaran drama. Hanya saja dalam penerapannya, model pembelajarab tersebut harus dimodifikasi sesuai dengan pembelajaran karya sastra tertentu. Itulah tugas guru, memodifikasi model pembelajaran sastra agar pembelajaran menjadi efektif dan menyenangkan. Dari keempat puluh lima data penelitian, terdapat berbagai macam modifikasi model pembelajaran untuk digunakan dalam pembelajaran sastra, sehingga terdapat berbagai macam model. Padahal sebenarnya semua itu merupakan modifikasi dari satu model pembelajaran. Walaupun satu model dapat digunakan untuk pembelajaran berbagai macam karya sastra, guru hendaknya tetap selektif dan menyesuaikan model yang dipilih dengan kompetensi dasar yang ingin dicapai, sehingga pemodifikasian yang dilakukan juga akan tepat. Ketika akan menggunakan model pembelajaran tertentu, guru hendaknya
5
menyesuaikannya dengan kompetensi yang ingin dicapai, kondisi siswa, kondisi guru, dan kondisi sekolah. Sebaiknya, guru juga memperhitungkan keterbatasan waktu pembelajaran. Jangan sampai menerapkan model pembelajaran yang membutuhkan waktu lebih dari dua kali pertemuan, seperti model Terapi Senam Telinga. Model tersebut dapat diterapkan, tetapi hanya sebagai pengetahuan untuk siswa, yang bisa mereka gunakan untuk latihan di rumah, sehingga waktu pembelajaran tidak hanya digunakan untuk menerapkan model tersebut. Perbedaan Istilah pada Pemodelan Dalam penelitian ini juga ditemukan adanya perbedaan pemberian nama pada pemodelan, yaitu teknik pemodelan dan strategi pemodelan. Padahal pemodelan merupakan metode menurut Muslich dan Suyono (2010:3), metode pembelajaran adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pemodelan tidak dikatakan sebagai strategi karena pemodelan bukan lagi hanya sebuah rencana pembelajaran. Pemodelan juga tidak dikatakan sebagai teknik karena teknik adalah cara guru menyampaikan metode. Teknik setiap guru dalam menyampaikan metode akan berbeda-beda. Bergantung pada kondisi sekolah, guru, dan siswa. Pemodelan merupakan metode karena pemodelan bukan lagi sebuah rencana, tetapi merupakan cara untuk menerangkan sebuah pengetahuan kepada siswa yang sudah dilaksanakan di kelas. Cara guru memberi contoh pasti akan berbeda-beda. Pembelajaran Drama Selain hal di atas, peneliti juga menemukan bahwa dari sekian banyak sumber data tentang penelitian pembelajaran sastra yang ada di perpustakaan Universitas Negeri Malang, penelitian tentang pembelajaran drama masih sedikit. Pembelajaran drama yang lebih banyak diteliti adalah pembelajaran menulis naskah drama, sedangkan pembelajaran bermain peran hanya sedikit. Fakta di lapangan memang menyebutkan bahwa pembelajaran drama di sekolah tidak dilaksanakan dengan benar. Saat pembelajaran drama, guru hanya mengajarkan membaca naskah drama. Setelah itu, siswa diminta untuk menganalisis unsurunsur pembangun naskah drama. Pembelajaran terhenti sampai di situ saja dan guru telah mendapatkan nilai pembelajaran drama. Padahal ada banyak kompetensi dasar pada pembelajaran drama. Seperti yang diketahui, kompetensi bermain peran dan kompetensi menulis naskah drama tidak diajarkan guru secara maksimal. Namun kenyataannya, penelitian yang ada hanya pembelajaran menulis naskah drama. Pembelajaran bermain peran juga kurang diminati mahasiswa Universitas Negeri Malang untuk dijadikan objek penelitian. Padahal sebenarnya semua kompetensi dasar yang ada pada pembelajaran drama itu harus diajarkan kepada siswa. Endraswara (2005:187) menyatakan bahwa pembelajaran sastra di sekolah telah lama terasa kurang mengenai sasaran. Permasalahannya tentu saja mengenai strategi guru dalam mengajarkan karya sastra. Pembelajaran drama hanya berkutat pada pemahaman naskah drama. Padahal hal tersebut hanya akan membuat siswa semakin jauh dengan drama. Kedudukan pembelajaran drama juga sama pentingnya dengan kedudukan karya sastra lain. Oleh karena itu, guru seharusnya juga bisa mengajarkan drama
6
sebaik mengajarkan karya sastra lain. Jika guru menganggap tidak terlalu menguasai drama, seharusnya guru lebih banyak mempelajari materi apa yang harus diajarkan pada pembelajaran drama. Jadi tidak hanya mengajarkan teori drama. Kecanggihan teknologi memberikan kemudahan bagi guru untuk memperoleh media dan materi pembelajaran drama. Seharusnya guru dapat memanfaatkan itu semua dengan baik, sehingga dapat mengubah perilaku dalam mengajarkan drama. Perlu disadari, memang pembelajaran drama tidak semata-mata bertujuan untuk mendidik atau mencetak subjek didik menjadi dramawan ataupun aktor drama, melainkan lebih ke arah pengalaman berapresiasi drama. Bekal apresiasi itu akan memupuk minat subjek didik untuk menghargai dan selanjutnya memiliki selera positif terhadap drama (Basuki dalam Endraswara, 2005:187). Dengan begitu, guru tidak perlu terlalu bersusah payah untuk mendidik siswanya agar bermain peran dengan sempurna, mirip aktor profesional yang tengah berakting di atas panggung. Siswa cukup diperkenalkan bagaimana caranya bermain peran yang baik, sehingga pembelajaran drama tidak membosankan bagi mereka. Endraswara (2005:187) mengatakan bahwa banyak sekolah yang mengajarkan drama seperti mengajarkan prosa. Guru hanya menceritakan kisah dalam naskah drama. hal seperti itu saja sudah cukup menjauhkan siswa dari pemahaman tentang drama, apalagi jika guru sampai tidak mengajarkan karya sastra drama dengan alasan keterbatasan jam pelajaran. Siswa juga tidak akan dapat memahami drama dengan baik jika guru hanya menitikberatkan pada puisi atau prosa. Padahal pembelajaran drama turut berperan dalam mengubah afektif manusia menjadi manusia yang lebih berbudaya. Seperti pendapat Endraswara di atas, pembelajaran drama memiliki peran penting dalam mengubah afektif manusia. Pembelajaran drama tidak sekedar pembelajaran tentang teori drama dan menulis naskah saja, tapi lebih menekankan pada mengapresiasi drama, sehingga siswa akan memiliki kecintaan terhadap karya sastra drama. Dengan begitu, mulai sekarang perilaku para pendidik dalam mengajarkan karya sastra harus segera diubah. Apalagi dengan adanya model, metode, teknik, dan strategi pembelajaran yang menyenangkan. Guru dapat menerapkan semua itu dalam pembelajaran sastra, sehingga pembelajaran sastra tidak hanya berkutat pada teori, namun lebih mengajak siswa untuk dapat mengapresiasi karya sastra dengan baik dan mampu memahami makna yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Permasalahan Pembelajaran Sastra dan Solusinya Pembelajaran sastra yang selama ini diabaikan oleh guru dan ditakuti oleh siswa, tentunya memiliki permasalahan. Permasalahan itulah yang menghambat suksesnya pembelajaran sastra di sekolah. Dalam permbelajaran sastra, umumnya guru, siswa, dan kelengkapan media pembelajaranlah yang menjadi permasalahan. Dalam penelitian ini, telah ditemukan permasalahan yang ada dalam pembelajaran sastra berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Negeri Malang. Permasalahan pertama yaitu pembelajaran monoton dan sangat membosankan karena hanya berpusat pada guru. Dalam pembelajaran sastra, guru lebih banyak berceramah di depan siswa-siswanya mengenai suatu karya sastra. Guru selalu “mendongeng” mengenai apa itu karya sastra,
7
menjelaskan ciri-cirinya, menunjukkan contohnya, lalu siswa diperintah untuk mengerjakan soal yang ada di buku teks. Guru tidak bisa mencapai kompetensi dasar yang ada dalam standar isi. Karena itulah pembelajaran sastra semakin membosankan bagi siswa. Siswa hanya diperintahkan untuk mengerjakan latihan yang ada dalam buku teks. Permasalahan kedua adalah kemampuan membaca, mengapresiasi karya sastra, dan minat belajar siswa terhadap sastra masih rendah. Hal itu disebabkan oleh kurangnya motivasi guru agar siswa menyenangi karya sastra. Rahmanto (1988: 69) mengatakan bahwa: Guru yang bijaksana biasanya mempunyai banyak cara – bukan hanya menumbuhkan minat baca, tapi juga memelihara dan mengembangkannya. Dalam hal ini, guru harus bisa mengarahkan siswa untuk bisa menyenangi karya sastra, sehingga siswa bisa merasa bahwa membaca, khususnya membaca karya sastra adalah suatu kebutuhan, bukan karena adanya tugas mata pelajaran bahasa Indonesia untuk mengisi nilai pada rapornya. Jika siswa sudah menyenangi karya sastra, dengan sendirinya minatnya untuk mempelajari dan mendiskusikan karya sastra akan tumbuh. Permasalahan ketiga adalah guru belum menerapkan model-model pembelajaran yang bervariatif dalam KTSP, guru hanya menggunakan metode ceramah dan penugasan. Seperti yang telah dibahas di atas, guru hanya menggunakan metode ceramah dan penugasan. Hal itu membuat pengetahuan siswa terhadapa karya sastra menjadi minim. Ketika siswa seharusnya belajar menulis karya sastra, guru justru memintanya mengerjakan soal di buku teks, atau guru hanya meminta siswa menulis sebuah karya sastra tanpa diberi contoh bagaimana cara menulis karya sastra yang baik. Setelah siswa mengumpulkan tugasnya, guru tidak memberikan evaluasi lebih lanjut, sehingga itu hanya selesai sebagai tugas semata, bukan sebagai sebuah pengetahuan. Permasalahan keempat adalah dalam pembelajaran apresiasi sastra, apresiasi hanya terbatas pada tema, tokoh dan penokohan, serta alur. Kenyataan di lapangan memang menyebutkan bahwa guru hanya meminta siswa menganalisis dan mengapresiasi ketiga unsur intrinsik karya sastra tersebut. Bahkan, siswa terkadang tidak tahu bagaimana caranya menemukan tema. Mereka tidak mengerti apa itu tema. Mereka hanya memiliki pemahaman bahwa tema sebuah cerita hanya terdiri dari satu kata, sehingga ketika mereka diminta untuk mengapresiasi tema, mereka hanya akan berpendapat bahwa temanya bagus, temanya jelek, atau temanya sudah biasa. Hal itu disebabkan oleh kurangnya penjelasan dari guru mengenai unsur pembangun karya sastra, baik unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsisk. Karena itulah, pengetahuan siswa mengenai karya sastra akan sangat kurang dan mereka juga akan tidak mampu mengapresiasi seluruh unsur pembangun karya sastra secara baik. Permasalahan kelima adalah media untuk pembelajaran sastra kurang bervariasi dan hanya berkisar pada buku teks. Tidak lengkapnya media pembelajaran sastra di sekolah selalu dijadikan permasalahan yang menghambat pembelajaran sastra di sekolah. Perpustakaan yang tidak menyediakan buku-buku sastra secara lengkap selalu dianggap penyebab utama kurangnya minat belajar siswa terhadap karya sastra. Selain itu, adanya kecenderungan guru untuk selalu
8
berpijak pada buku teks juga menjadi permasalahan dalam pembelajaran sastra. Guru sepertinya enggan menyediakan karya sastra lain yang lebih diminati siswa untuk dibahas di kelas. Guru lebih suka meminta siswa untuk membaca karya sastra yang ada dalam buku teks. Padahal belum tentu karya sastra yang ada dalam buku teks tersbut diminati oleh siswa. Jika mereka sudah tidak memiliki ketertarikan terhadap karya sastra, maka kemampuan mereka untuk mengapresiasi juga akan kurang. Djojosuroto (2006: 76) mengatakan bahwa: Pembelajaran sastra sejak dulu sampai sekarang, selalu menjadi permasalahan. Tentu saja permasalahan yang bersifat klasik. Umumnya, yang selalu dikambinghitamkan adalah guru yang tidak menguasai sastra, murid-murid yang tidak apresiatif, dan buku-buku penunjang yang tidak tersedia di sekolah. Padahal pembelajaran sastra tidak perlu dipermasalahkan jika seorang guru memiliki strategi atau kiat-kiat yang dapat dijadikan alternatif. Dari pendapat Djojosuroto di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sastra tidak akan menjadi masalah jika guru mampu menciptakan suasana belajar yang tidak membosankan dengan menerapkan model pembelajaran. Misalnya, untuk mengajarkan siswa agar bisa menulis puisi dengan baik, guru dapat memanfaatkan teknik Rekonstruksi Parsial Cerpen. Dalam pembelajaran membacakan cerpen, guru dapat memanfaatkan teknik Pengadilan. Selain hal di atas, untuk menunjang keberhasilan pembelajaran sastra di sekolah, tentunya sekolah harus turut berperan, yaitu dengan cara menyediakan media pembelajaran sastra yang memadai. Perpustakaan sekolah harus dilengkapi dengan buku-buku sastra. Dalam menyediakan buku-buku sastra, hendaknya staf perpustakaan selektif dan memperhatikan selera siswa. Novel, kumpulan puisi, kumpulan cerpen, maupun naskah drama yang dipilih janganlah yang berjaya di masa lampau, melainkan karya sastra yang kini tengah marak dibicarakan. Dengan begitu, keengganan siswa untuk membaca karya sastra juga sedikit demi sedikit akan hilang. Mereka akan mulai menyukai karya sastra karena memang karya sastra tersebut sesuai dengan pola pikir mereka. Guru juga hendaknya berusaha menciptakan pembelajaran yang menarik dengan tidak hanya bergantung pada buku teks dan perpustakaan saja. Guru harus kreatif agar siswa memiliki minat untuk belajar sastra. Guru dapat memanfaatkan kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah berkembang sejauh ini. Guru dapat menyediakan karya sastra yang sesuai dengan selera siswa untuk dibahas di kelas. Dengan demikian, sedikit demi sedikit kemampuan apresiasi siswa terhadap karya sastra juga akan meningkat. Siswa akan bisa karena mereka terbiasa. Jika siswa sudah menyenangi karya sastra, mereka juga tidak akan jemu pada pembelajaran sastra. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa banyak model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran sastra. Pada pembelajaran puisi terdapat model RKPL (Rencanakan, Kerjakan, Pelajari,
9
Lakukan), strategi PAIKEM, model Pembelajaran Kontekstual, teknik Rekonstruksi Parsial Cerpen, strategi B-G-T (Baca-Gunting-Tempel), teknik Pemodelan, teknik Temporari, strategi Tandur, strategi Formula, strategi Imajinasi, strategi Peta Pikiran, teknik Merespon Puisi Model, strategi Jendela Imajinasi, teknik Membaca Kreatif, dan strategi Enam-M. Pada pembelajaran cerpen terdapat metode Ekspresif, strategi T-O-K (Tiru-Olah-Kembangkan), metode Belanja Gambar Berangkai, teknik Pengadilan, strategi 3M, metode Bermain Peran, metode Dua Tinggal Dua Bertamu, strategi Peta Pikiran, strategi Domino, strategi Bongkar Pasang, metode Peta-Pikiran, metode Tim Investigasi, dan teknik Pengelompokan. Pada pembelajaran cerita rakyat, dongeng, dan hikayat terdapat model Melempar Bola Salju, model Terapi Senam Telinga, teknik Mencatat dan Menukar Informasi, dan metode Siklus Pembelajaran. Pada pembelajaran novel terdapat strategi Lingkaran Sastra, model Jigsaw, metode Penilaian Sejawat, strategi Memusatkan Perhatian dan Membandingkan, dan metode Analisis Wacana Kritis. Pada pembelajaran drama terdapat teknik Bermain Drama, teknik Pemodelan, strategi Konversi Cerpen, dan strategi Pemodelan Transformasi Cerpen. Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa ternyata tidak semua model dapat digunakan dalam pembelajaran sastra. Ketika akan menerapkan model pembelajaran tertentu, guru hendaknya menyesuaikannya dengan kompetensi yang ingin dicapai, kondisi siswa, kondisi guru, dan kondisi sekolah. Guru juga hendaknya memperhitungkan keterbatasan waktu pembelajaran. Jangan sampai menerapkan model pembelajaran yang membutuhkan waktu lebih dari dua kali pertemuan. Selain itu, beberapa model pembelajaran digunakan para mahasiswa Universitas Negeri Malang sebenarnya merupakan modifikasi dari model pembelajaran yang telah ada. Satu model pembelajaran dapat digunakan dalam pembelajaran berbagai macam karya sastra. Dalam penelitian ini juga ditemukan adanya perbedaan pemberian nama pada pemodelan, yaitu teknik pemodelan dan strategi pemodelan. Padahal pemodelan merupakan metode karena pemodelan bukan lagi sebuah rencana, tetapi merupakan cara untuk menerangkan sebuah pengetahuan kepada siswa yang sudah dilaksanakan di kelas. Cara guru memberi contoh pasti akan berbeda-beda. Selain itu, juga tampak bahwa pembelajaran drama masih mendapat posisi paling belakang dalam pembelajaran sastra. Penelitian tentang pembelajaran drama masih sedikit. Kompetensi dalam pembelajaran drama yang banyak digunakan dalam penelitian adalah pembelajaran menulis naskah drama, sedangkan kompetensi bermain peran kurang begitu diperhatikan. Terdapat lima permasalahan pembelajaran sastra yang umumnya dihadapi guru. Permasalahan pertama yaitu pembelajaran monoton dan sangat membosankan karena hanya berpusat pada guru. Permasalahan kedua adalah kemampuan membaca, mengapresiasi karya sastra, dan minat belajar siswa terhadap sastra masih rendah. Permasalahan ketiga adalah guru belum menerapkan model-model pembelajaran yang bervariatif dalam KTSP, guru hanya menggunakan metode ceramah dan penugasan. Permasalahan kelima adalah media untuk pembelajaran sastra kurang bervariasi dan hanya berkisar pada buku teks. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan memanfaatkan model yang telah ditemukan dan dengan cara mengubah pola pikir guru yang salah tentang pembelajaran sastra. Jika hal-hal di atas dapat dilakukan dengan baik,
10
pembelajaran sastra juga akan terasa menyenangkan. Siswa tidak akan lagi menganggap pembelajaran sastra sebagai beban. Saran Berdasarkan penelitian tentang model pembelajaran sastra yang diterapkan mahasiswa Universitas Negeri Malang pada penelitian tahun 1990—2010, guru disarankan menerapkan hasil penelitian ini dalam pembelajaran sastra.. Bahkan jika memungkinkan, guru hendaknya berusaha menciptakan inovasi baru dalam pembelajaran berupa temuan model pembelajaran. Peneliti pendidikan hendaknya semakin giat dalam menciptakan terobosan baru dalam dunia pendidikan. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan mengembangkan model pembelajaran sastra. DAFTAR RUJUKAN Djojosuroto, K. 2006. Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya. Yogyakarta: Penerbit Pustaka. Endraswara, S. 2005. Metode dan Teori Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Buana Pustaka. Gani, R. 1988. Pengajaran Sastra Indonesia: Respon dan Analisis. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Muslich, M & Suyono. 2010. Aneka Model Pembelajaran Membaca dan Menulis. Malang: A3 (Asah Asih Asuh). Rahmanto. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Subana, M & Sunarti. 2000. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Setia. Widodo, R. 2009. Model Pembelajaran Sastra, (online), (http://wyw1d.wordpress.com/author/wyw1d/, diakses 14 Februari 2011)