102 MODEL PEMBELAJARAN SASTRA INKUIRI Dwi Desi Fajarsari STKIP Bina Mutiara Sukabumi Jl. Pembangunan (Salakaso) Desa Pasir Halang Kotak Pos 01 Kec. Sukaraja Sukabumi Telp: (0266) 6243531
[email protected] Abstrak Pembelajaran sastra menekankan kompetensi bersastra, yaitu kemampuan siswa dalam mengapresiasi dan memproduksi sastra melalui kegiatan mendengarkan, menonton, membaca hasil sastra; mendiskusikan, memahami, menggunakan pengertian teknis konvensi kesusastraan dan sejarah sastra; menjelaskan, meresensi, menilai, dan menganalisis hasil sastra; serta memerankan drama, dan menulis puisi, cerpen, novel maupun drama. Model pembelajaran yang tepat akan sangat membantu peserta didik mencapai kompetensi tersebut. Model pembelajaran sastra adalah model pembelajaran melalui pemecahan masalah sosial terutama melalui penemuan, sosial, dan penalaran logis. Model pembelajaran sastra inkuiri cukup tepat dijadikan sebagai salah alternatif pembelajaran sastra di sekolah. Kata Kunci: Inkuiri, Model Pembelajaran, Pembelajaran Sastra.
PENDAHULUAN Pembelajaran sastra terdiri atas empat komponen. Komponen kemampuan bersastra tersebut meliputi aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Dalam hal ini materi pelajarannya berupa sastra, misalnya: pantun, syair, gurindam, puisi bebas, cerita pendek, novel, dan drama. Secara rinci materi pokok pelajaran Bahasa Indonesia khusus yang berkaitan dengan bidang sastra meliputi: (1) mendengarkan pembacaan puisi, prosa, dan drama; (2) berdiskusi tentang tokoh drama, gagasan dalam puisi, makna/gagasan dalam cerita pendek atau novel, nilai-nilai dalam karya sastra; (3) membaca teks puisi, prosa, dan drama; serta (4) menulis resensi puisi, resensi drama, menulis cerita pendek, novel, dan drama. Bagaimana para guru sastra mampu merealisasikan dan mengoperasionalkan secara optimal pembelajaran sastra? Inilah tantangan yang harus dihadapi. PEMBAHASAN A. Model – Model Pembelajaran Model pembelajaran yang tepat akan sangat membantu peserta didik mencapai tujuan belajarnya. Winataputra (2005: 3) memberi pengertian tentang definisi model pembelajaran. Model pembelajaran menurutnya adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran serta para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar. Model pembelajaran adalah bagian terluas dari praktik pembelajaran. Samadhy (2010: 13) mengatakan bahwa model pembelajaran adalah pola interaksi antara peserta didik,
103 pendidik, dan materi pembelajaran yang mencakup strategi, pendekatan, model, metode, dan teknik pembelajaran. Dari segi struktur pembelajaran, model pembelajaran menduduki posisi paling puncak. Gambaran tentang apa yang dilakukan peserta didik selama pembelajaran akan tergambar melalui pilihan model pembelajaran yang dipilih oleh si pendidik. Joyce (2009: 1) menerangkan bahwa dengan model pembelajaran guru dapat membantu peserta didik mendapatkan atau memperoleh informasi, ide, keterampilan, cara berpikir, dan mengekspresikan ide diri sendiri. Selain itu, model belajar juga mengajarkan bagaimana mereka belajar. Joyce (2009) menggolongkan model-model pembelajaran ke dalam empat rumpun. Keempat rumpun model pembelajaran tersebut adalah: (1) rumpun model pembelajaran pemrosesan/ pengolahan informasi; (2) rumpun model pembelajaran personal-humanistik; (3) rumpun model pembelajaran interaksi sosial; dan (4) rumpun model pembelajaran modifikasi perilaku. 1. Rumpun Model Pembelajaran Pemrosesan/Pengolahan Informasi Model-model pembelajaran dalam rumpun pemrosesan informasi bertitik tolak dari prinsip- prinsip pengolahan informasi, yaitu yang merujuk pada cara-cara bagaimana manusia menangani rangsangan dari lingkungan, mengorganisasi data, mengenali masalah, menyusun konsep, memecahkan masalah, dan menggunakan simbol-simbol. Beberapa model pembelajaran dalam rumpun ini berhubungan dengan kemampuan pebelajar (peserta didik) untuk memecahkan masalah sehingga peserta didik dalam belajar menekankan pada berpikir produktif. Adapun beberapa model pembelajaran lainnya berhubungan dengan kemampuan intelektual secara umum, dan sebagian lagi menekankan pada konsep dan informasi yang berasal dari disiplin ilmu secara akademis. Model
Tokoh
1. Model berpikir induktif
Hilda Taba
2. Model latihan inkuiri
Ricard Suchman
3. Inkuiri ilmiah
Joseph J. Schwab
4. Penemuan konsep
Jerome Bunner
Tujuan Didesain utama untuk mengembangkan proses mental dan alasan akademik atau membangun teori, tetapi kapasitas ini bermanfaat untuk pribadi dan tujuan sosial dengan baik. Didesain utama untuk mengembangkan proses mental dan alasan akademik atau membangun teori, tetapi kapasitas ini bermanfaat untuk pribadi dan tujuan sosial dengan baik. Didesain untuk mengajar penelitian sistem disiplin, tetapi juga diharapkan dapat memperoleh dampak domain lainnya (seperti, metode sosiologis yang dapat menciptakan pemahaman sosial dan pemecahan masalah sosial). Didesain terutama untuk mengembangkan alasan induktif, tetapi juga untuk pengembangan konsep dan analisis.
104 5. Pertumbuhan kognitif
6. Model penata lanjutan 7. Memori
Jean Piaget Irving Sigel Edmung Sulivan Lewrence Kohiberg David Ausubel
Harry LorayneJerry Lucas
Didesain untuk menciptakan pengembangan intelektual umum, khususnya alasan logis, tetapi dapat diaplikasikan untuk pengembangan sosial dan moral dengan baik. Didesain untuk menciptakan efisiensi kemampuan dalam informasi-pemrosesan untuk mendapatkan dan menghubungkan “body of knowledge” Didesain untuk menciptakan kemampuan memori
2.
Rumpun Model-Model Pribadi/Individual Model-model pembelajaran yang termasuk rumpun model-model personal humanistik menekankan pada pengembangan pribadi. Model-model pembelajaran ini menekankan pada proses dalam “membangun/mengkonstruksi” dan mengorganisasi realita, yang memandang manusia sebagai pembuat makna. Model-model pembelajaran rumpun ini memberikan banyak perhatian pada kehidupan emosional. Fokus pembelajaran ditekankan untuk membantu individu dalam mengembangkan hubungan individu dengan lingkungannya dan untuk melihat dirinya sendiri. Model
Tokoh
1. Pengerjaan non-direktif
Carl Rogers
2. Latihan kesadaran
William Schutz Fritz Perls
3. Sinektik
William Gordon
4. Sistem-sistem konseptual 5. Pertemuan kelas
David Hunt
3.
William Glasser
Tujuan Penekanan pada pembentukan kemampuan untuk perkembangan pribadi dalam arti kesadaran diri, pemahaman diri, kemandirian, dan konsep diri. Meningkatkan kemampuan seseorang untuk eksplorasi diri dan kesadaran diri. Banyak menekankan pada perkembangan kesadaran dan pemahaman antar pribadi. Perkembangan pribadi dalam kreativitas dan pemecahan masalah kreatif. Dirancang untuk meningkatkan kekomplekan dan keluwesan pribadi. Perkembangan pemahaman diri dan tanggung jawab kepada diri sendiri dan kelompok sosial.
Rumpun Model-Model Interaksi Sosial Model-model pembelajaran yang termasuk dalam rumpun sosial ini menekankan hubungan individu dengan masyarakat atau orang lain. Model-model ini memfokuskan pada proses di mana realitas adalah negosiasi sosial. Model-model pembelajaran dalam kelompok ini memberikan prioritas pada peningkatan kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain untuk meningkatkan proses demokratis dan untuk belajar dalam masyarakat secara produktif. Tokoh-tokoh teori sosial juga peduli dengan pengembangan pikiran (mind) diri sebagai pribadi dan materi keakademisan.
105 Model
Tokoh
1. Penentuan kelompok
Herbert Telen John Dewey
2. Inkuiri (penemuan sosial) 3. Jurispundensial Inquiry
Byron Massialas Benjamin Cox Donald Oliver James P. Shaver
4. Bermain peran (Role Playing)
Fainnie Fhafel George Shafel
5. Simulasi sosial
Sarene Bookock Harold Guetzkow
Tujuan Perkembangan keterampilan untuk partisipasi dalam proses sosial yang demokratis melalui penekanan yang dikombinasikan pada keterampilan antar pribadi (kelompok) dan keterampilan-keterampilan penentuan akademik. Aspek perkembangan pribadi merupakan hal penting dalam hal ini. Pemecahan masalah sosial terutama melalui penemuan, sosial, dan penalaran logis. Dirancang terutama untuk mengajarkan kerangka acuan jurispundensial sebagai cara berpikir dan penyelesaian isu-isu sosial. Dirancang untuk mempengaruhi peserta didik agar menemukan nilai-nilai pribadi dan sosial. Perilaku dan nilai-nilainya diharapkan anak menjadi sumber penemuan berikutnya. Dirancang untuk membantu peserta didik mengalami bermacam-macam proses dan kenyataan sosial, dan untuk menguji reaksi mereka, serta untuk memperoleh konsep ketrampilan pembuatan keputusan.
4.
Rumpun Model-Model Pembelajaran Perilaku Model-model pembelajaran pada rumpun ini didasarkan pada suatu pengetahuan yang mengacu pada teori perilaku seperti teori belajar, teori belajar sosial, modifikasi perilaku, atau perilaku terapi. Model pembelajaran rumpun ini mementingkan penciptaan lingkungan belajar yang memungkinkan manipulasi penguatan perilaku secara efektif sehingga terbentuk pola perilaku yang dikehendaki. Model Manajemen kontingensi dan kontrol diri Relaksasi santai dan pengurangan ketegangan Latihan asertif desensitasi latihan langsung
B.
Tokoh B.F. Skinner
Tujuan Fakta-fakta, konsep, keterampilan dan perilaku/keterampilan sosial.
Rimm & Masters Wolpe
Tujuan-tujuan pribadi (mengurangi ketegangan dan kecemasan). Mengalihkan kesantaian kepada kecemasan dalam situasi sosial. Ekspresi perasaan secara langsung dan spontan dalam situasi sosial. Pola-pola perilaku, keterampilan.
Wolpe Lazarus Selter Wolpe
Prinsip Pembelajaran Sastra Prinsip yang harus dijadikan komitmen bagi setiap guru sastra adalah bahwa apa pun pendekatan dan metodenya, materi/bahan ajar dan medianya, yang penting bagaimana agar pembelajaran sastra dapat membawa siswa termotivasi untuk “mencintai sastra”. Indikasinya adalah pada pembelajaran sastra dalam diri siswa timbul “gairah” untuk “mencintai sastra”, kemudian benar-benar mau dan mampu “bercinta dengan sastra” karena motivasi yang
106 sengaja diciptakan si guru sastra tersebut. Jadi, tugas guru sastra dalam hal ini adalah menstimulasi, mengkondisikan, menimbulkan motivasi kepada siswa agar siswa mau “mencintai sastra” tadi dengan menciptakan suasana yang kondusif. Pembelajaran merupakan proses interaksi komunikasi antara dua pihak sebagai komponen utamanya, yaitu pengajar dan pembelajar. Menurut Djojosuroto (2005: 63), pengajar adalah perancang, penggerak, dan fasilitator yang berperan menafsirkan situasi sehingga sanggup melakukan modifikasi strategi dan teknik pengelolaan pembelajaran secara tepat. Adapun pembelajar berperan dalam menafsirkan petunjuk, melakukan antisipasi, dan aktif bertindak sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya. Pelaksanaan pembelajaran sastra terdapat beberapa komponen yang terlibat. Selain pengajar dan pembelajar sebagai subjeknya, komponen yang terlibat adalah: (1) tujuan; (2) pendekatan; (3) metode; (4) materi; (5) media; dan (6) penilaian atau evaluasi (Djojosuroto, 2005: 64). Semua komponen merupakan rangkaian kegiatan yang terarah dalam rangka mengantarkan pembelajar sampai pada tujuan yang diinginkan. Pembelajaran sastra di sekolah harus menekankan pada kompetensi bersastra, yaitu kemampuan siswa dalam mengapresiasi dan memproduksi sastra melalui kegiatan mendengarkan, menonton, membaca hasil sastra; mendiskusikan, memahami, dan menggunakan pengertian teknis konvensi kesusastraan dan sejarah sastra, untuk menjelaskan, meresensi, menilai dan menganalisis hasil sastra; dan memerankan drama, serta menulis puisi, cerpen, novel maupun drama. C.
Realitas Pembelajaran Sastra di Sekolah Pembelajaran sastra di sekolah selama ini, termasuk di SMA/MA/SMK, tampaknya memang masih sangat lemah. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya minat baca dan lemahnya kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Lemahnya pembelajaran sastra di sekolah sebagaimana juga dikeluhkan kalangan sastrawan dapat dilacak dari beberapa segi. Pertama, komitmen pemerintah terlihat kurang serius. Seperti terlihat pada kurikulum Bahasa dan Sastra Indonesia, porsi pembelajaran sastra sangat minim dibanding pembelajaran bahasa. Secara terminologis, pembelajaran sastra dimasukkan ke dalam mata pelajaran dengan penamaan Bahasa Indonesia, tidak ada kata sastra di dalamnya. Walaupun memang sekadar penamaan, tetapi sesungguhnya membawa implikasi luas bagi pembelajaran sastra. Sastra telah lama menjadi anak tiri. Ibarat orang memanjat batang pohon, sastra merupakan dahan yang patah. Kedua, secara teknis guru-guru bahasa umumnya-tidak otomatis-juga mampu menjadi guru sastra. Jika pembelajaran sastra memerlukan bakat, maka sedikit saja yang memenuhi kualifikasi guru sastra. Akibatnya, pembelajaran apresiasi sastra, akan cenderung bersifat teknis-teoritis, dan dengan demikian menjadi kegiatan menghafal. Misalnya, sebuah novel itu bertema A, berplot B, berlatar C, dan seterusnya. Lebih ironis lagi, novel yang sering dibicarakan itu belum pernah dibaca karena memang tidak tersedia di perpustakaan sehingga kebenaran dalam menafsirkan karya sastra bersifat tunggal. Guru hanya sekadar menyampaikan keterangan dari “buku pegangan”, sedangkan siswa sekadar menerima informasi, tanpa reserve. Singkatnya, kegiatan apresiasi sastra tereduksi oleh kepentingan praktis belaka, yaitu demi dan untuk menjawab soal ujian-ujian akhir. Ketiga, ada kesenjangan antara karya sastra dan daya pemahaman siswa, bahkan juga guru nonsastrawan. Karya-karya puisi, seperti ciptaan Danarto, Budi Darma, Sutardji C.
107 Bachri termasuk jenis karya sastra yang sulit dipahami. Karya-karya mereka ibarat menara gading, tampak indah di kejauhan, tetapi sulit didekati. Jika kegiatan apresiasi sastra menuntut pemahaman siswa dan guru, sementara sastrawan tetap menjaga jarak, baik terhadap karyanya maupun masyarakat pembacanya, maka hal ini menjadi fakta dari arogansi sastrawan. Keempat, implikasi lebih jauh dari kondisi di atas, siswa cenderung menjauhi karyakarya sastra, apalagi terhadap karya sastra yang dianggap “aneh’. Tak heran jika siswa lebih menyukai sastra popular, meminjam istilah Jakob Sumardjo (1984), seperti karya Mira W, Ashadi Siregar, bahkan karya Fredy S. Akibat dari kondisi pembelajaran sastra sebagaimana diuraikan di atas, mengakibatkan siswa kurang terlibat dalam proses berpikir (bernalar) secara bebas. Artinya, siswa tidak dilibatkan secara aktif dalam menggunakan daya nalarnya, sedangkan pembelajaran sastra pada dasarnya harus lebih melibatkan siswa secara aktif dalam proses-proses berpikir logis. Langkah yang dapat ditempuh, agar siswa dapat secara terbuka terlibat dalam proses pembelajaran, yang memungkinkan daya nalar mereka berkembang melalui sarana sastra adalah melalui penerapan suatu strategi pembelajaran dengan prosedur-prosedur yang sistematis dan konsisten. D.
Implementasi Model Pembelajaran Inquiry Sosial yang Dimodifikasi Implementasi model pembelajaran inquiry sosial yang dimodifikasi: Pencapaian kompetensi dasar mengidentifikasi informasi yang mencakup orientasi, rangkaian kejadian yang saling berkaitan, komplikasi, dan resolusi dalam cerita sejarah di kelas XII/1 1. Pelaksanaan Kegiatan pembelajaran yang dilakukan adalah bertema “Menggali Kearifan dalam Peristiwa Sejarah”. Cerita sejarah yang dimaksudkan sub judul di atas adalah jenis teks rekon. Teks rekon merupakan teks yang menceritakan kembali pengalaman masa lalu secara kronologis dengan tujuan untuk memberi informasi atau menghibur pembacanya, atau bisa keduanya. Penulisan ini diharapkan mampu menjadi solusi pemecahan masalah kedua dan keempat pada sub judul atau bahasan yang dipaparkan sebelumnya. Pencapaian kompetensi dasar mengidentifikasi informasi yang mencakup orientasi, rangkaian kejadian yang saling berkaitan, komplikasi, dan resolusi dalam cerita sejarah melalui model pembelajaran dari rumpun interaksi sosial, yakni inquiry dirasa sesuai. Ada tiga karakteristik pengembangan strategi inkuiri sosial: (1) memotivasi peserta didik untuk mencari konsep sosial, (2) mengembangkan keterampilan ilmiah, dan (3) membiasakan peserta didik bekerja keras (National Research Council, 2000). Menurut Zulaeha (2010: 21), pembelajaran dengan model inkuiri sosial didukung oleh empat karakteristik utama, yaitu (1) secara instingtif peserta didik selalu ingin tahu, (2) di dalam percakapan siswa selalu ingin bicara dan mengkomunikasikan idenya, (3) dalam membangun (konstruksi) siswa selalu ingin membuat sesuatu, dan (4) siswa selalu mengekspresikan ide dan gagasan kreatif. Langkah-langkah yang ditempuh dalam pembelajaran dengan menggunakan model inkuiri ini adalah sebagai berikut. Tahap Pertama Sebelum guru mengemukakan masalah yang akan dikerjakan siswa, terlebih dahulu guru menentukan tingkah laku atau tujuan yang ingin dicapai dengan model inkuiri tanpa
108 memberi informasi tentang teori cerita sejarah (teks rekon), orientasi model, dan apersepsi. Guru memberikan tugas membaca sebuah cerita (novel) seminggu sebelumnya. Tahap Kedua Pada tahap ini, guru mengajukan permasalahan (teka-teki) yang dapat menumbuhkan motivasi siswa untuk menemukan pendapatnya. Permasalahan tersebut berupa tugas untuk mengidentifikasi informasi yang mencakup orientasi, rangkaian kejadian yang saling berkaitan, komplikasi, dan resolusi dalam cerita sejarah yang telah ditugaskan sebelumnya. Cerita sejarah tersebut dikaitkan atau dipadankan dengan sumber sejarah (buku sejarah pegangan siswa) untuk kemudian nanti dibuat teks rekon yang baru dengan judul “Peristiwa Pemberontakan Darul Islam”. Peserta didik dapat mempelajari catatan dan rekaman sejarah dari sejumlah sumber. Berikut contoh tabel atau kertas kerja yang dapat dikerjakan siswa secara berkelompok. No. 1
2
3
KUTIPAN NOVEL LTLA Orang-orang kampung menyebut kami “pemuda” saja sebutan baru yang secara ajaib membuat kami merasa gagah dan bangga. Akan tetapi, sebutan itu juga membuat kami merasa urakan. Kiai Ngumar menyebut kami Hizbullah. Tak tahulah pokoknya kami senang sebab merasa dianggap penting. (32) Begini, meskipun sama-sama bertempur melawan Belanda, ada perbedaan yang cukup mendasar antara tentara Republik dan Hizbullah. Tentara Republik adalah pasukan resmi, artinya mereka adalah bagian sah Republik. Maka selama Republik berdiri mereka mutlak diperlakukan kehadirannya. Republikpun wajib memberikan mereka gaji. (43) Hizbullah adalah gerakan perlawanan rakyat yang bersifat sukarela. Dasar niatnya lillahi ta’ala, ikhlas, tujuannya wajib memerangi kafir yang membuat kerusakan di negeri ini seperti sudah difatwakan Hadratus Syaikh. Tidak seperti tentara resmi, Hizbullah tidak dibentuk oleh pemerintah mereka lahir karena keserta-mertaan para ulama. (44)
LATAR SEJARAH
TOKOH SEJARAH Hizbullah merupakan laskar militer dari kalangan penduduk pribumi. Pasukan Hizbullah dibangun pada masa Jepang dan memegang peran sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia (Nasution, 1993: 263) Dapat diganti keterangan lain berdasarkan temuan siswa.
PERISTIWA SEJARAH
109 4
5
Kami mendapat perintah menembak siapa saja, termasuk para ulama di sana jika tidak mau mendukung gerakan Darul Islam.(12) “Wah, kacau. Akan tetapi, kiai, saya harus jujur bahwa kami, DI, juga sering meminta perbekalan kepada penduduk jika pasokan habis” “Maksud kamu, kalian juga merampok? Ah tak usah mengaku, aku sudah tau ...” (103)
Gerakan yang dilakukan DI/TII merupakan sebuah gerakan pemberontakan. Peristiwa sejarah tersebut tidak mudah dilupakan karena telah sempat menimbulkan penderitaan dan penindasan terhadap rakyat. Kahin mengatakan bahwa adapun petani bekerja sama dengan Darul Islam disebabkan oleh teror yang dilakukan Darul Islam. Petani tidak mendukung organisasi tersebut karena nasionalisme dan agama. Darul Islam menyerbu desa-desa, di beberapa daerah sangat sering barangbarang dan hasil panen dirampas, rumah, jembatan, masjid, dan lumbung padi dibakar atau dimusnahkan (1995: 326-331). Untuk kepentingan gerakannya mereka merampok rakyat yang tinggal di pelosok terpencil di lereng gunung, sehingga menurut Ricklefs sulit membedakan gerakan DI dari tindak perampokan, pemerasan, dan terorisme biasa dalam ukuran luas (1994: 343). Dapat diganti keterangan lain berdasarkan temuan siswa
110 6
Pada pertengahan tahun 1948. Barisan pemuda, nama asalasalan yang kami berikan buat kelompok kecil pasukan kami sendiri sah menjadi Hizbullah. (53)
Pada fakta sejarahnya, tahun 1948 sebenarnya merupakan latar waktu dari peristiwa di mana Kartosuwiryo sudah tidak lagi mengakui RI. Ketika divisi Siliwangi mundur, kartosuwiryo merasa bahwa Jawa Barat telah ditinggalkan dan diserahkan kepada Belanda oleh pihak Republik. Reaksinya ialah melancarkan apa yang merupakan pemberontakan daerah yang pertama terhadap Republik Indonesia. Sementara, melanjutkan perjuangan melawan Belanda di Jawa Barat. Pada Bulan Mei 1948 dia memproklamirkan dirinya sebagai imam (pemimpin) negara baru (Ricklef, 1994: 342) Dapat diganti keterangan lain berdasarkan temuan siswa
Tahap Ketiga Pada tahap ini, siswa menetapkan hipotesis/praduga jawaban untuk dikaji lebih lanjut. Hipotesis yang ditetapkan ini berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang diajukan oleh guru. Pada tahap ini terdapat dua kemungkinan yang muncul, yaitu (1) siswa secara spontan melakukan penyelidikan atau penjelajahan tentang informasi/data untuk menguji hipotesis yang ditetapkan, baik secara individu maupun secara kelompok. Selanjutnya, siswa
111 menarik kesimpulan; dan (2) siswa tidak banyak berusaha mencari informasi untuk membuktikan hipotesis. Di sinilah guru membantu siswa, mendorong melakukan kegiatan belajar untuk mencari informasi berkaitan dengan permasalahan yang diajukan guru. Jawaban guru atas pertanyaan siswa hanya berkisar ya atau tidak karena dalam model inkuiri ini siswa sendiri yang menemukan jawaban permasalahan yang diberikan oleh guru. Tahap Keempat Pada tahap ini, siswa mengidentifikasi beberapa kemungkinan jawaban/menarik kesimpulan. Selanjutnya, guru mengumpulkan hasil penyelidikan/eksperimen untuk menjawab teka-teki atau permasalahan yang diajukan oleh guru. Caranya dengan menyuruh siswa untuk menunjukkan hasil pekerjaan mereka. Mereka disuruh untuk memperlihatkan bahan atau informasi yang mencakup orientasi, rangkaian kejadian yang saling berkaitan, komplikasi, dan resolusi dalam cerita sejarah serta teks rekon yang telah disusun bersama teman sekelompoknya. Agar seluruh siswa yang ada dalam kelas terlibat untuk memecahkan permasalahan tersebut, maka setiap siswa mendapat giliran untuk memberikan alasan atau hasil pekerjaannya. Dengan demikian, siswa diarahkan untuk menjawab teka-teki atau permasalahan tersebut. Tahap Kelima Pada tahap ini, guru mengajak dan membimbing siswa untuk merumuskan dan menemukan sendiri teori tentang struktur teks rekon (cerita sejarah), yang meliputi orientasi, rangkaian kejadian yang saling berkaitan, komplikasi, dan resolusi. Selanjutnya, guru memberi komentar dan penjelasan tentang hasil temuan mereka dan menjelaskan kembali prinsip-prinsip atau konsep tentang teks cerita sejarah. 2.
Dampak Instruksional dan Dampak Penyerta Penerapan model inkuiri dalam pembelajaran sastra Indonesia teks cerita sejarah memberikan dampak instruksional dan dampak penyerta. Dampak instruksionalnya adalah: (a) keterampilan dalam proses ilmiah, yakni: mengadakan observasi, mengumpulkan dan mengorganisasikan data, mengidentifikasi dan mengontrol variabel, membuat dan mengetes hipotesis, merumuskan penjelasan, dan membuat kesimpulan; serta (b) strategi penyelidikan secara kreatif. Di sisi lain, dampak penyertanya adalah: (a) menimbulkan semangat kreativitas pada siswa, (b) memberikan kebebasan atau otonomi pada siswa dalam hal menyusun pertanyaan dan mengemukakan pendapat secara verbal, (c) memungkinkan kerja sama secara dua arah (guru-siswa dan siswa-siswa), dan (d) menekankan hakikat kesementaraan dari pengetahuan. Di samping itu, model inkuiri yang diterapkan oleh siswa dalam pembelajaran dapat meningkatkan prestasi belajar atau kemampuan siswa tentang materi yang dipelajarinya. Hal ini sesuai dengan temuan Schuncke (1988) dan Novac (1990) yang menunjukkan beberapa karakteristik keberhasilan penggunaan model inkuiri, yaitu: meningkatkan skor tes akademik, meningkatkan kontak psikoakademis pembelajar, memperkuat keyakinan diri, meningkatkan sikap positif dalam belajar, mengkondisikan siswa menjadi discover dan adventurer pengetahuan, meningkatkan self-concept dan self esteem, meningkatkan daya akomodasi ilmiah, meningkatkan motivasi belajar secara intrinsik, meningkatkan kemampuan dan strategi bernalar secara kritis, serta meningkatkan sikap dan perilaku positif terhadap mata pelajaran dan para guru selama berlangsungnya pembelajaran. Amien (1987) mengatakan
112 bahwa model inkuiri melibatkan siswa secara mental maupun fisik untuk memecahkan suatu permasalahan yang diberikan guru. Dengan demikian, siswa akan terbiasa bersikap seperti para ilmuwan sains, yaitu teliti, tekun/ulet, objektif/jujur, kreatif, dan menghormati pendapat orang lain. KESIMPULAN Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar. Model pembelajaran menurut Joyce terbagi menjadi empat rumpun model, yakni pemprosesan informasi, interaksi sosial, sistem perilaku, dan personal. Setiap rumpun model memiliki beberapa model turunan. Untuk pembelajaran sastra setiap model dapat digunakan. Pemilihan model pembelajaran yang tepat dapat membantu mempermudah pencapaian kompetensi dasar yang harus dimiliki peserta didik. Dalam pembelajaran teks rekon cerita sejarah model dari rumpun interaksi sosial, yakni inkuiri sosial dapat dijadikan alternatif pembelajaran. Kajian sepintas ini baru mencoba menjelaskan tentang penerapan model inkuiri sosial terhadap KD yang berkaitan dengan teks rekon cerita sejarah, belum pada KD yang lainnya sehingga diharapkan pengkaji selanjutnya dapat melengkapi. KD yang dikaji juga hanya memodifikasi dari model inkuiri sosial yang memang diduga paling efektif untuk pencapaian tujuan belajar, namun pengkaji berharap ada temuan lain atau kajian lain untuk pencapaian KD yang sama dengan model yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA Djojosuroto, Kinayati. 2005. Puisi Pendekatan dan Pembelajaran. Jakarta: Nuansa. Jacob Sumardjo dan Saini KM. 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Joyce, Bruce, et. al. 2009. Model of Teaching; Model-Model Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Samadhy, Umar. 2010. Model dalam Pembelajaran Aktif di Pendidikan tinggi. Semarang: LP3 Unnes. Winataputra, Udin S. 2005. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Jakarta: Dirjen Dikti.