Transparansi dan Akuntabilitas Sumbangan untuk Partai Politik Oleh: Ahmad Fikri Hadin
Abstract The lowness of accountability and trust give the regulation on political party in important position. Law Number 2 of 2011 on Amendment of Law Number 2 of 2008 on Political Party is a legal instrument, which constitute matter of political parties financial in Indonesia. Regulation on this financial assessed loose concerning on transparency and financial accountability. Even the monitoring and sanction assessed so weak. Keywords: Transparency, accountability, donation, political party. PENDAHULUAN Pemilu legislatif tahun 2014 sudah selesai dan penetapan siapa pemenang pemilu serta calon legislatif yang terpilih sudah diumumkan kepublik oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pesta demokrasi 5 tahunan telah berjalan dengan lancar dan kondusif. Namun banyak juga pekerjaan rumah untuk perbaikan kualitas pesta demokrasi kedepan salah satunya mengenai sumbangan untuk partai politik. Lahirnya Peraturan KPU No. 17 tahun 2013 merupakan kemajuan di ranah pengaturan dana kampanye Pemilu karena terdapat pelaporan dana kampanye secara periodik yang tidak diatur di dalam pemilupemilu sebelumnya sudah diakomodir. Adanya pelaporan periodik, selain membantu peserta Pemilu menyiapkan laporan penyumbang kampanye jauh-jauh hari sebelum batas waktu yang ditetapkan oleh undang-undang (Pasal 134 ayat (1) dan (2), UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif) yaitu 14 hari sebelum dimulainya masa kampanye Pemilu. Masa Kampanye pemilu dilaksanakan 21 hari dan berhenti 3
hari sebelum hari pencoblosan (Pasal 84). Laporan periodik dana kampanye juga berfungsi sebagai alat akuntabilitas politik sekaligus kampanye positif Partai Politik dan para kandidat terkait kepatuhan atas persoalan keuangan pemilu terutama dana kampanye kepada pemilih namun untuk pemasukan yaitu dana sumbangan untuk partai politik akuntabilitas dan transparansi belum maksimal. Rendahnya akuntabilitas dan kepercayaan membuat regulasi menyangkut partai politik menjadi penting. UndangUndang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik (selanjutnya disebut UU No. 2 Tahun 2011) adalah instrumen hukum yang mengatur tentang keuangan partai politik di Indonesia. Undang-undang tersebut seharusnya berfungsi sebagai alat yang menguatkan kontrol rakyat terhadap partai politik yang mewakilinya di DPR. Kontrol tersebut akan mudah dilaksanakan jika keuangan partai politik transparan dan akuntabel. Memudahkan publik mengidentifikasi 65
jumlah, waktu dan pemberi sumbangan akan memudahkan mengidentifikasi pelaku lobi. Jika ternyata partai politik lebih mengakomodasi kepentingan pemberi sumbangan daride wspada kepentingan para konstituennya, maka konstituen dapat menghukum partai politik dengan menurunkan popularitasnya dan tidak memilihnya pada pemilihan umum periode berikut. Kehilangan pendukung secara terusmenerus dapat membuat partai politik mati. Wacana yang berkembang terakhir ini yang langsung di ucapkan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumulo, mengatakan soal perlunya dalam jangka panjang menggulirkan pembiayaan partai politik sebesar Rp 1 triliun yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara.1 Selanjutnya menurut Tjahjo Komulo bahwa:2 "Political will ini perlu karena partai politik merupakan rekrutmen kepemimpinan nasional dalam negara yang demokratis. Akan tetapi, persyaratan kontrol terhadap partai harus ketat dan transparan". Pengawasan ketat itu bisa berupa sanksi keras jika ada yang melakukan pelanggaran, termasuk pembubaran partai sesuai aturan dalam UU Partai Politik. Alasan wacana pembiayaan parpol ini dilatarbelakangi pandangan bahwa partai politik memerlukan dana untuk persiapan dan pelaksanaan pemilu dan pendidikan kaderisasi serta melaksanakan program dan operasional. "Di samping pola iuran anggota, partai harus diwujudkan terbuka untuk kader partai dan simpatisan partai, dan penggunaan 1
http://nasional.kompas.com/read/2015/03/09/064949 31/Tjahjo.Wacana.Anggaran.Rp.1.Triliun.dari.APBN .untuk.Parpol.Perlu.Dipikirkan, diakses tanggal 20 Maret 2015. 2 Ibid.
66
anggaran dikontrol ketat oleh BPK dan lembaga-lembaga pengawasan lainnya, misalnya dengan partisipasi aktif masyarakat,". Besaran bantuan tahunan dari pemerintah saat ini tidak seberapa karena anggaran negara yang terbatas dan diberikan berdasarkan suara yang diperoleh partai politik dalam pemilu. Ke depan, kalau anggaran pemerintah memadai dan sudah maksimal untuk program pengentasan masyarakat miskin dan pembangunan infrasruktur serta revolusi mental berjalan baik, pembiayaan partai politik dari pemerintah atau negara perlu jadi pertimbangan, termasuk bantuan pembiayaan kepada ormas yang sah. Sayangnya pengaturan keuangan partai politik dalam UU No. 2 Tahun 2011 masih terlalu umum, longgar dan bebas. Dengan kata lain hampir tidak berarti. Pada Pasal 13 huruf h UU No. 2 Tahun 2011 disebutkan bahwa partai politik berkewajiban membuat pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan jumlah sumbangan yang diterima, serta terbuka kepada masyarakat. Rumusan tersebut terlalu longgar karena tidak mengatur standar pembukuan, lama dokumen harus disimpan, dan tidak tegas menentukan cara untuk “terbuka kepada masyarakat”. Sanksi terhadap pelanggaran aturan tersebut juga hanya berupa teguran oleh pemerintah. Selain itu, pelanggaran terhadap kewajiban memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum hanya dikenai sanksi administratif berupa teguran oleh Komisi Pemilihan Umum. Selanjutnya, dalam Pasal 37 UU No. 2 Tahun 2011 ditentukan bahwa pengurus partai politik di setiap tingkatan organisasi menyusun laporan pertanggungjawaban
penerimaan dan pengeluaran keuangan setelah tahun anggaran berkenaan berakhir. Sayangnya, tidak dilengkapi dengan kewajiban partai politik menyediakan laporan keuangan dengan periode yang lebih pendek kepada publik. Lebih lanjut dalam Pasal 38 UU No. 2 Tahun 2011 hanya ditentukan bahwa hasil laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan partai politik (di setiap tingkatan organisasi) terbuka untuk diketahui masyarakat. Rumusan tersebut tidak cukup karena tidak menentukan cara dan batas waktu maksimal melakukan publikasi. Dengan kata lain, masyarakat (rakyat) tidak dipermudah untuk melakukan kontrol. Selain itu, sanksi bagi pelanggaran ketentuan tersebut juga tidak ditentukan. Pengaturan tentang transparansi dan akuntabilitas keuangan partai politik masih sangat longgar. Rumusan-rumusan pengaturan keuangan partai politik dalam UU No. 2 Tahun 2011 tidak tegas dan memberikan kesempatan diskresi yang luas. Singkatnya, penguatan pengawasan dan kontrol masyarakat (rakyat) terhadap partai politik kurang diakomodasi. Secara umum, pengaturan partai politik oleh negara menimbulkan dilema. Di satu sisi jika pemerintah tidak melakukan pengaturan terhadap partai politik maka akan terjadi kekacauan. Pemerintah di sini berfungsi sebagai penjaga untuk mencegah penyalahgunaan kebebasan supaya tidak menjurus pada anarki. Dalam konteks rendahnya akuntabilitas partai politik, pemerintah harus memfasilitasi penguatan pengawasan dan kontrol rakyat sebagai pemilik kedaulatan terhadap partai politik yang diberi mandat mewakili kepentingan rakyat. Persoalannya bukan tentang apakah
pemerintah boleh mengatur partai politik atau tidak tetapi bagaimana mengatur dengan intensitas yang cukup. Jadi, walaupun kebebasan berbicara dan berserikat adalah hak asasi yang diakui secara universal tetapi tidak serta merta lepas dari intervensi negara. Dari paparan diatas dalam tulisan ini akan fokus membahas mengenai transparansi dan akuntabilitas sumbangan untuk partai politik. Pentingnya prinsip akuntabilitas dan transparansi partai politik Jimly Asshiddiqie3 mengatakan sebagai suatu organisasi, partai politik tidak bebas dari kecenderungan bersifat oligarkis4. Partai politik kadang-kadang bertindak dengan lantang untuk dan atas nama kepentingan rakyat, tetapi dalam kenyataannya dilapangan justru berjuang untuk kepentingan pengurusnya sendiri5. Tidak terlalu berbeda dengan Asshiddiqie, T.A Legowo menyatakan bahwa: “Sebagai pengelompokan atas nama partai politik atau gabungan partai 3
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat MK, 2010, hlm. 63. 4 Jeffery A. Winters mendefinisikan oligarki sebagai “...the political processes and arrangements associated with a small number of wealthy individuals who are not only uniquely empowered by their material resources, but set apart in a manner that neccesarily places them in a conflict with large segments of the community (including with each other)”. Terjemahan bebas: proses dan pengaturan politik yang dikaitkan dengan sejumlah kecil individu kaya yang tidak hanya secara unik didukung oleh sumber daya materi miliknya, tetapi dalam cara yang secara terpisah menempatkan mereka dalam konflik dengan bagian besar dalam masyarakat (termasuk dengan sesama mereka sendiri). Lihat Jeffrey A. Winters, Oligarchy, New York: Cambridge University Press, 2011, hlm. 39. 5 Jimly Asshiddiqie, Loc. Cit. hlm.63.
67
politik, fraksi tidak dapat lepas dari memperjuangkan kepentingan politik kelompok. Dalam keadaan seperti ini, mungkin tidak terhindarkan perbenturan kepentingan antara fraksi dan anggota DPR, terutama pada saat tidak terjalin keselarasan antara kepentingan fraksi dan kepentingan anggota DPR, baik untuk urusan pribadi maupun, yang lebih penting, terkait dengan preferensi konstituen yang diwakili. Efek selajutnya dari perbenturan kepentingan adalah tekanan-tekanan politik yang dapat menyebabkan anggota DPR mengubah “perjuangannya” sehingga menjadi selaras dengan kepentingan fraksi-nya"6. Melengkapi pendapat Asshiddiqie dan Legowo, menurut Arief Priyadi: “Masih adanya kesadaran yang keliru bahwa partai adalah kesatuan orangorang dengan segala kepentingannya, dan kepentingan para elit politik yang cenderung dimutlakkan menjadi kepentingan partai. Sehingga permasalahan timbul ketika elit partai mensubordinasikan aspirasi publiknya atau konstituennya dalam kepentingan individu mereka”7. Selanjutnya Legowo berpendapat bahwa tidak cukup mengandalkan mekanisme pemilihan umum supaya rakyat dapat ‘menghukum’ para wakilnya yang dinilai gagal mengakomodasi kepentingan konstituen (rakyat) selanjutnya rakyat harus T.A Legowo, “Reformasi Parlemen Indonesia”, Indra J. Piliang & T.A Legowo (eds.), Disain Baru Sistem Politik di Indonesia, Yogyakarta: Centre for Strategic and International Studies & Kanisius, 2006, hlm. 50. 7 Arief Priyadi, “Amnesia Politik Partai Politik”, Indra J. Piliang & T.A Legowo (eds.), Disain Baru Sistem Politik di Indonesia, Yogyakarta: Centre for Strategic and International Studies & Kanisius, 2006, hlm. 93. 6
68
mengevaluasi penyelenggaraan peran perwakilan (performance/ kinerja para wakil rakyat)8. Oleh sebab itu, maka penting untuk dibuat sarana yang memudahkan rakyat melakukan pengawasan dan evaluasi. Salah satu cara untuk mewujudkan hal tersebut adalah melalui tuntutan akuntabilitas dan transparansi ditubuh partai politik. Terkait mekanisme meningkatkan kualitas pengelolaan partai, pengaturannya tidak cukup hanya dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai yang bersangkutan tetapi juga perlu dituangkan dalam undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya9. Pendapat tersebut dikuatkan oleh Pippa Norris yang menyatakan bahwa: “...parties can serve multiple functions in representative democracies...the formulation of public policy;...and the organization of parliament and government. How well they serve these functions depends in part upon the regulatory framework, including the legal context as well as the internal body of party rules”10. Dengan kata lain, partai politik dapat melayani berbagai macam fungsi dalam demokrasi perwakilan, diantaranya formulasi kebijakan publik, dan pengorganisasian parlemen-pemerintahan. Seberapa baik partai politik melaksanakan fungsi-fungsi tersebut tergantung pada kerangka pengaturan dalam konteks perundang-undangan dan peraturan internal 8
T.A Legowo, Op. Cit., hlm. 46. Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 66. 10 Pippa Norris, “Building Political Parties: Reforming Legal Regulations and Internal Rules”, Report for International IDEA, CambridgeMassachussets, 5 Januari 2005. 9
partai. Singkatnya, perundang-undangan dapat dipakai untuk meningkatkan kemampuan partai politik dalam menjalankan fungsinya dalam demokrasi perwakilan. European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission) dalam Guidelines on Political Party Regulation menetapkan akuntabilitas sebagai salah satu prinsip dalam pengaturan partai politik oleh negara. Dalam dokumen tersebut ditentukan bahwa:
(bantuan) keuangan (dari negara)12 atau akses (iklan kampanye gratis) dari media selama kampanye. Karena pemberian hakhak istimewa tersebut maka dipandang perlu untuk memberikan kewajiban-kewajiban tertentu pada partai politik. Hal tersebut dapat berupa kewajiban melaporkan atau transparansi dalam hal keuangan. Legislasi seharusnya menyediakan detil tentang hakhak dan kewajiban-kewajiban yang melekat pada perolehan status sebagai partai politik.
“Political parties may obtain certain legal privileges, due to being registered as a political party, that are not available to other associations. This is particularly true in the area of political finance and access to media resources during election campaigns. As a result of having privileges not granted to other associations, it is appropriate to place certain obligations on political parties due to their acquired legal status. This may take the form of imposing reporting reqirements or transparency in financial arrangements. Legislation should provide specific details on the relevant rights and responsibilities that accompany the obtainment of legal status as a political party”11.
Pengaturan Transparansi Dan Akuntabilitas Sumbangan Untuk Partai Politik Di Indonesia Ke depan Pengaturan Undang-undang partai politik yang di atur dalam UU No. 2 Tahun 2011 khususnya terkait hak keuangan partai politik, dalam UU No. 2 Tahun 2011 tidak banyak perubahan yang konstruktif dibandingkan dengan undang-undang partai politik yang terdahulu maupun Rancangan Undang-Undang yang disiapkan untuk mengganti UU partai politik yang ada. Perkembangan hak partai politik dalam RUU, UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 2 Tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 1.13
Menurut prinsip diatas, partai politik dapat memperoleh hak-hak istimewa tertentu karena status hukumnya sebagai partai politik (hak-hak istimewa tersebut tidak berlaku bagi jenis perkumpulan lain). Hal tersebut benar adanya dalam hal
11
European Commission for Democracy Through Law, Guidelines on Political Party Regulation, adopted by the Venice Commission at its 84th plenary session, Venice, 15-16 October 2010, hlm.11.
12
Dalam konteks Indonesia, partai politik mendapatkan bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Lihat Pasal 34 ayat (1) huruf c UU No. 2 Tahun 2011. 13 Alit Amarta Adi, Tesis “Politik Hukum Pengaturan Keuangan Partai Politik di Indonesia”, Yogyakarta: Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, 2012, hlm. 104.
69
Tabel 1. Perkembangan Hak Partai Politik dalam RUU Partai Politik, UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 2 Tahun 2011
HAK PARTAI POLITIK
RUU PARPOL
UU 2/2008
UU 2/ 2011
NOTE
REFERENSI
NOTE
REFERENSI
NOTE
REFERENSI
BOLEH
PASAL 33
BOLEH
PASAL 34
BOLEH
PASAL 34
BOLEH
PASAL 33
BOLEH
PASAL 34
BOLEH
PASAL 34
BOLEH
PASAL 34
BOLEH
PASAL 35
BOLEH
PASAL 35
BOLEH
PASAL 34
BOLEH
PASAL 35
BOLEH
PASAL 35
TIDAK JELAS
-
TIDAK JELAS
-
TIDAK JELAS
-
TIDAK JELAS
-
TIDAK JELAS
-
TIDAK JELAS
-
TIDAK
PASAL 39
TIDAK
PASAL 40
TIDAK
PASAL 40
SUMBANGAN ORGANISASI MASYARAKAT ASING
TIDAK
PASAL 39
TIDAK
PASAL 40
TIDAK
PASAL 40
SUMBANGAN BADAN USAHA ASING
TIDAK JELAS
-
TIDAK JELAS
-
TIDAK JELAS
-
PENYERTAAN MODAL DALAM PERUSAHAAN
TIDAK
PASAL 39
TIDAK
PASAL 40
TIDAK
PASAL 40
MENDIRIKAN BADAN USAHA
TIDAK
PASAL 39
TIDAK
PASAL 40
TIDAK
PASAL 40
MEMUNGUT IURAN ANGGOTA BANTUAN DANA PUBLIK SUMBANGAN PERSEORANGAN SUMBANGAN BADAN USAHA SUMBANGAN BADAN HUKUM NIRLABA SUMBANGAN ORGANISASI PROFESI SUMBANGAN ORANG ASING
Walaupun dimuat rincian jenis laporan keuangan yang wajib dibuat oleh partai politik untuk diaudit oleh akuntan publik tetapi tidak diatur tentang pihak yang menunjuk dan membiayai audit. Jika akuntan publik ditunjuk dan audit dibiayai oleh partai politik maka terbuka kesempatan untuk mempengaruhi objektivitas kerja auditor. Selain itu tidak ditentukan batas waktu yang tegas untuk mengumumkan hasil audit kepada masyarakat. Selain hal tersebut, secara umum perkembangan tuntutan kewajiban partai politik terkait transparansi dan akuntabilitas masih belum memadai. Perkembangan tersebut dapat dilihat pada tabel 2.14
14
Ibid, hlm. 105.
70
Tabel 2. Perkembangan Kewajiban Partai Politik dalam RUU Partai Politik, UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 2 Tahun 2011 KEWAJIBAN PARTAI POLITIK
RUU PARPOL
UU 2/2008
UU 2/ 2011
NOTE
REFERENSI
NOTE
REFERENSI
NOTE
REFERENSI
REKENING KAS UMUM PARTAI
ADA
PASAL 35
ADA
PASAL 36
ADA
PASAL 36
REKENING KAMPANYE
ADA
PASAL 10
ADA
PASAL 13
ADA
PASAL 13
PENCATATAN PENDAPATAN
ADA
PASAL 10
ADA
PASAL 13
ADA
PASAL 13
PENCATATAN PENGELUARAN
ADA
PASAL 10
ADA
PASAL 13
ADA
PASAL 13
PENCATATAN ASET
TIDAK JELAS
-
TIDAK JELAS
-
TIDAK JELAS
-
PENCATATAN KEWAJIBAN KEUANGAN
TIDAK JELAS
-
TIDAK JELAS
-
TIDAK JELAS
-
STANDAR LAPORAN KEUANGAN
ADA
PASAL 36
TIDAK JELAS
-
TERLALU UMUM
PASAL 39
PENCATATAN NAMA DONOR, ALAMAT & JUMLAH SUMBANGAN
ADA
PASAL 10
ADA
PASAL 13
ADA
PASAL 13
Dalam hal pendanaan, partai politik tetap bebas menerima sumbangan tanpa batas dari anggotanya; terjadi kenaikan batas sumbangan maksimal yang boleh diterima dari perusahaan/ badan usaha dari empat milyar Rupiah menjadi tujuh milyar lima ratus juta Rupiah dalam satu tahun anggaran; tetap tidak ada ketentuan yang tegas apakah perusahaan asing dikecualikan dari donor yang dilarang memberikan sumbangan kepada partai politik. Selain itu longgarnya batas waktu penyampaian laporan terkait pembukuan dan sumbangan kepada pemerintah dan soal rekening khusus dana kampanye pemilu kepada KPU dalam UU No. 2 Tahun 2008 juga tidak dibenahi dalam UU No. 2 Tahun 2011. Terkait aliran dana dari dan ke dalam rekening partai politik, tetap tidak ada penunjukan badan/ lembaga yang kompeten dalam melakukan pemantauan/ pengawasan.
Secara umum, perkembangan ketentuan tentang pembatasan dalam RUU Partai Politik, UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 2 Tahun 2011 tetap longgar. Hal tersebut dapat dilihat dalam Tabel 3.15
15
Ibid
71
Tabel 3. Perkembangan Pembatasan Partai Politik dalam RUU Partai Politik, UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 2 Tahun 2011 PEMBATASAN PARTAI POLITIK
RUU PARPOL NOTE
UU 2/2008 NOTE
REFERENSI
NOTE
REFERENSI
MAX. TIDAK JELAS SUMBANGAN ANGGOTA/ TAHUN
-
TIDAK JELAS
-
TIDAK JELAS
-
MAX. SUMBANGAN PERSEORANGAN RP 1 MILYAR BUKAN ANGGOTA/ TAHUN
PASAL 34
RP 1 MILYAR
PASAL 35
RP 1 MILYAR
PASAL 35
BATAS MAX. SUMBANGAN BADAN USAHA/ TAHUN
RP. 3 MILYAR
PASAL 34
RP. 4 MILYAR
PASAL 35
RP 7,5 MILYAR
PASAL 35
SYARAT PENDANAAN PUBLIK
KURSI DI DPR, DPRD PROV, DPRD KAB/ KOTA
PASAL 33
KURSI DI DPR, DPRD PROV, DPRD KAB/ KOTA
PASAL 34
KURSI DI DPR, DPRD PROV, DPRD KAB/ KOTA
PASAL 34
PEMBAGIAN DANA PUBLIK
TIDAK JELAS
-
PROPORSIONAL BERDASARKAN KURSI
PASAL 34
PROPORSIONAL BERDASARKAN KURSI
PASAL 34
CARA PENCAIRAN TIDAK JELAS DANA PUBLIK
-
TIDAK JELAS
-
TIDAK JELAS
-
Menurut Jimly Asshiddiqie , sebagai suatu organisasi, partai politik tidak bebas dari kecenderungan bersifat oligarkis . Partai politik kadang-kadang bertindak dengan lantang untuk dan atas nama kepentingan rakyat, tetapi dalam kenyataannya dilapangan justru berjuang untuk kepentingan pengurusnya sendiri . Dari analisis peneliti dari regulasi tentang aturan tidak menggambarkan suatu transparan dan akuntabilitas sumbangan untuk partai politik di Indonesia. Partai politik terkesan lebih cenderung menutupi transparansi dari laporan sumbangan partai politiknya. Karena adanya kelemahan dari aturan sendiri sehingga baik pendapat dari Jimly Asshidiqqie dan Jefrey Winters yang mengatakan partai politik tidak bebas dari kecenderungan bersifat oligarkis “terlegitimasi”.
72
UU 2/ 2011
REFERENSI
Penulis memberi masukan tentang konsep transparansi dan akuntabilitas sumbangan untuk partai politik di Indonesia.16 Pertama, pengawasan keuangan (termasuk sumbangan) akan menjadi mudah dengan prinsip pendaftaran rekening. Untuk menghindari bercampurnya dana kas umum partai dengan dana kampanye maka perlu dilakukan pemisahan rekening. Prinsip pemisahan rekening sebagaimana dianut dalam UU No. 2 Tahun 2011 masih relevan dipertahankan tetapi dengan perubahanperubahan. Dalam konteks kas umum, partai politik idealnya memiliki satu rekening untuk Dewan Pengurus Pusat (DPP), satu rekening untuk tiap Dewan Pengurus Daerah (DPD) dan satu rekening untuk tiap Dewan 16
Ahmad Fikri Hadin dan Alit Amarta Adi, Konsep Transparansi Dan Akuntabilitas Sumbangan Untuk Partai Politik Di Indonesia, Laporan Penelitian Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Melalui Unit Penelitian Dan Pengembangan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2012, hlm. 40
Pengurus Cabang (DPC). Rekening kas umum DPP tetap menjadi syarat pendaftaran partai menjadi badan hukum. Selanjutnya, semua nomor rekening harus dilaporkan kepada KPU dan PPATK. Setiap perubahan nomor rekening harus dilaporkan paling lambat tiga kali 24 jam kepada kedua lembaga tersebut. Ketidakpatuhan dikenai sanksi denda administratif oleh KPU. Dalam konteks dana kampanye Pemilu, partai politik diwajibkan mempunyai masing-masing satu rekening khusus untuk tiap DPP, satu rekening khusus untuk tiap DPD dan satu rekening khusus untuk tiap DPC. Semua nomor rekening harus dilaporkan kepada KPU dan PPATK. Setiap perubahan nomor rekening harus dilaporkan paling lambat tiga kali 24 jam kepada kedua lembaga tersebut. Partai politik dilarang menggunakan rekening selain yang telah terdaftar di KPU dan PPATK. Ketidakpatuhan dikenai sanksi denda administratif oleh KPU. Kedua, harus ada pembatasan tegas terkait jumlah sumbangan maksimal yang boleh diberikan oleh donor pada partai setiap tahun. Artinya, terkait batas maksimal jumlah sumbangan, anggota partai politik dipersamakan dengan perseorangan. Ketiga, terkait larangan sumber sumbangan harus dipertegas bahwa yang termasuk pihak asing adalah juga badan usaha asing, badan usaha Indonesia yang merupakan anak perusahaan asing dan badan usaha yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh orang asing. Selain itu, organisasi yang berdasarkan anggaran dasarnya merupakan organisasi nirlaba harus dilarang memberikan sumbangan kepada partai politik. Hal tersebut untuk mencegah korporasi menggunakan yayasan
yang berafiliasi dengannya untuk memberikan sumbangan tersembunyi kepada partai. Keempat, harus ada format standar pencatatan sumbangan untuk mempermudah dan mempercepat proses pembandingan antar partai. Dengan demikian, tugas pengawas akan menjadi lebih mudah. Kelima, harus ditetapkan lembaga yang kompeten dalam mengawasi arus keuangan keluar-masuk tiap rekening partai politik. Idealnya tugas tersebut diberikan kepada PPATK. Semua laporan pengawasan PPATK ditembuskan kepada KPU sebagai lembaga negara independen yang diberi tugas melakukan pengawasan administratif partai-partai politik. Selanjutnya KPU perlu diberikan kewenangan lebih kuat. Kewenangan mejatuhkan denda administratif kepada partai politik yang melanggar ketentuan akan memperkuat kedudukan KPU dan memaksa partai-partai lebih taat. Kelalaian partai membayar denda sebaiknya diberikan sanksi pemotongan bantuan dari APBN/ APBD. Keenam, partai politik seharusnya diwajibkan memuat laporan keuangan dan daftar penyumbang berserta nominal sumbangan di media massa dan internet setiap bulan. Laporan bulanan harus sudah diterbitkan sebelum tanggal 15 bulan berikutnya. Dengan demikian masyarakat sebagai pemilih selalu mendapatkan data terkini dengan mudah untuk mengawasi partai-partai politik. Ketujuh, sanksi pidana dan penyitaan sebagaimana telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2011 dapat dipertahankan untuk memperkuat tuntutan transparansi dan akutabilitas sumbangan untuk partai politik. Dari ketujuh analisis peneliti kemukakan 73
kiranya konsep transparansi dan akuntabilitas sumbangan untuk partai politik di Indonesia terlaksanakan sehingga kehidupan demokrasi yang di idamankan terwujud.
Hukum Universitas Gadjah Mada Melalui
Unit
Penelitian
Pengembangan
Fakultas
Universitas
Gadjah
Dan Hukum Mada,
Yogyakarta, 2012. KESIMPULAN Regulasi keuangan partai politik di Indonesia mengenai tuntutan transparansi dan akuntabilitas keuangan sangat longgar, serta pengawasan dan sanksi yang lemah. Transparansi dan akuntabilitas sumbangan politik yang ideal yang ditawarkan penulis di Indonesia adalah dengan mengkombinasikan tuntutan transparansi dengan pendaftaran rekening partai tersendiri, adanya pembatasan tegas jumlah sumbangan maksimal, larangan menerima sumbangan dari pihak asing, ada format standar akutansi sumbangan, penguatan lembaga yang kompoten dalam mengawasi arus keluar masuk tiap rekening partai, partai politik diharuskan mempublikasikan daftar penyumbang dan nominal, di pertahankannya sanksi pidana yang telah di atur dalam UU No.2 Tahun 2011. Bahwa transparansi dan akuntabilitas sumbangan untuk parpol di Indonesia perlu diperbaiki agar terciptanya kehidupan demokrasi yang berkeadilan atau yang lebih familiar sekarang disebut sebagai demokrasi subtansional.
Tesis “Politik Hukum
Pengaturan Keuangan Partai Politik di Indonesia”, Yogyakarta: Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, 2012. European
Commission
Through
Law,
for
Democracy
Guidelines
on
Political Party Regulation, adopted by the Venice Commission at its 84th plenary
session,
Venice,
15-16
October 2010. Indra J. Piliang & T.A Legowo (eds.), Disain
Baru
Sistem
Politik
di
Indonesia, Yogyakarta: Centre for Strategic and International Studies & Kanisius, 2006. Jeffrey A. Winters, Oligarchy, New York: Cambridge University Press, 2011. Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010.
DAFTAR PUSTAKA
Kompas,http://nasional.kompas.com/read/20
Buku Ahmad Fikri Hadin dan Alit Amarta Adi, Konsep Akuntabilitas
Transparansi Sumbangan
Dan Untuk
Partai Politik Di Indonesia, Laporan Penelitian Diajukan Kepada Fakultas 74
Alit Amarta Adi,
15/03/09/06494931/Tjahjo.Wacana. Anggaran.Rp.1.Triliun.dari.APBN.u ntuk.Parpol.Perlu.Dipikirkan, diakses tanggal 20 Maret 2015.
Pippa Norris, “Building Political Parties: Reforming
Legal
Regulations
and
Internal Rules”, Report for International IDEA, Cambridge-Massachussets, 2005.
75