newsletter #8 | FEBRUARI 2014
opini Transparansi dan Akuntabilitas Partai Politik OLEH GIRINDRA SANDINO Akuntabilitas dan transparansi keuangan serta dana kampanye partai politik merupakan salah satu prinsip utama demokrasi prosedural yang harus dijalankan. >>Hlm. 5
editorial
#SinemaPemilu
Iseh Penak (Pemilu) Jamanku To? JUDUL tulisan ini diambil dari kalimat “Piye kabare? Iseh penak zamanku to?” bergambar Soeharto, presiden Orde Baru yang kuasannya langgeng dari Pemilu 1971-1997. Kalimat yang belakangan marak dituliskan di kaos dan reklame mobil truk. Dan maksud tulisan ini mau mengklarifikasi benar/tidak-nya kalimat itu dengan membandingkan pemilu saat zaman dinilai penak (enak/gampang) dengan pemilu di zaman setelahnya yang dinilai tak enak. Ada kesan, pertanyaan itu mau membenarkan Orde Baru lebih baik dibandingkan orde setelahnya. Padahal pembenarannya sangat bisa disanggah dengan merujuk kualitas pemilunya. Pemilu adalah miniatur demokrasi. Kualitas pemerintahan “dari, oleh, dan untuk rakyat” sangat bisa dinilai dari kualitas penyelenggaraan pemilunya. Jelas, penyelenggaraan pemilu yang pura-pura di saat Orde Baru merupakan cerminan dari pemerintahan otoriter Soeharto yang penuh kepura-puraan demokrasi. >>Selengkapnya di hlm. 2
Mengalihkan “Ke-Anjingan” Petahana dengan Ekor OLEH KHOLILULLAH P. Di tahun akhir jabatan seorang praktisi politik, biasanya akan banyak kegiatan-kegiatan yang sifatnya berinteraksi atau bertemu muka dengan kelompok sosial atau komunitas masyarakat. >>Hlm. 8
Kaleidoskop Pemilu 2014
>>Hlm. 11
NEWSLETTER #8 | FEBRUARI 2014
editorial
Iseh Penak (Pemilu) Jamanku To? JUDUL tulisan ini diambil dari kalimat “Piye kabare? Iseh penak zamanku to?” bergambar Soeharto, presiden Orde Baru yang kuasannya langgeng dari Pemilu 1971-1997. Kalimat yang belakangan marak dituliskan di kaos dan reklame mobil truk. Dan maksud tulisan ini mau mengklarifikasi benar/tidak-nya kalimat itu dengan membandingkan pemilu saat zaman dinilai penak (enak/gampang) dengan pemilu di zaman setelahnya yang dinilai tak enak. Ada kesan, pertanyaan mau membenarkan Orde Baru lebih baik dibandingkan orde setelahnya. Padahal pembenaran ini sangat bisa disanggah dengan merujuk kualitas pemilunya. Pemilu adalah miniatur demokrasi. Kualitas pemerintahan “dari, oleh, dan untuk rakyat” sangat bisa dinilai dari kualitas penyelenggaraan pemilunya. Jelas, penyelenggaraan pemilu yang pura-pura di saat Orde Baru merupakan cerminan dari pemerintahan otoriter Soeharto yang penuh kepura-puraan demokrasi. Tak ada kontestasi di pemilu Orde Baru karena pemilih sudah tahu, “golongan kuning” akan terpilih. Tak ada kegairahan akademis mengenai sistem pemilu, karena otoritarian Soeharto telah mengabadikan sistem presidensial yang kuasanya pun diabadikan melalui pengkondisian parlemen yang dipilih dari sistem pemilu proporsional tertutup dengan “golongan kuning” yang memaksakan dominasinya dari partai hijau dan partai merah. Tak ada penegakan hukum karena kecurangan berupa rekayasa dilakukan massif dan sistemik menyertai mobilisasi warga negara. Jadi, tak ada partisipasi saat “zaman penak” itu, yang ada mobilisasi. Pegawai negeri dipaksa melalui ancaman karir jika tak patuh memilih “beringin”. Tak ada “komisi pemilihan umum” yang bersifat (nasional, tetap, dan) mandiri. Penyelenggara pemilu saat itu hanyalah perpanjangan tangan eksekutif dan legislatif yang ingin meneruskan kuasanya di masa pemerintahan berikutnya.
pemilu saat itu hanyalah perpanjangan tangan eksekutif dan legislatif yang ingin meneruskan kuasanya di masa pemerintahan berikutnya. Pemilu=miniatur demokrasi Berdasarkan aspek kontestasi peserta pemilu, sistem, penyelenggara (komisi), hukum dan penegakannya, serta demokratisasi, kita bisa menilai kualitas pemilu dan pemerintahan demokrasi. Penilaian berdasar lima aspek itulah yang bisa menjelaskan pemilu merupakan miniatur demokrasi. Demokratisasi baik berjalan jika pembagian pilar kuasa bisa berjalan mandiri dan saling mempengaruhi. Yang terjadi di Orde Baru, legislatif hasil pemilu beserta perwakilan golongan militer merupakan satu kesatuan dengan eksekutif dan yudikatif. Fungsi kendali pilar pers dan organisasi massa tak berjalan karena sistem pemerintahan membungkam warga dengan ancaman. Jika setuju dengan buku pengantar demokrasi kedutaan Amerika Serikat yang berjudul “Demokrasi adalah Diskusi”, Orde Baru yang dihasilkan pemilu pura-pura pun menghasilkan iklim pura-pura diskusi. Kaum “merah” harus sembunyi menyampaikan referensi “kiri” dan berbisik-bisik mengatakan “alineasi”. Kaum “hijau” tak bisa bicara-dengar khilafah, jihad, dan sunatullah pergantian kepemimpinan meski berada di dalam rumah tuhan. Tak ada kebebasan bicara, apa lagi diskursus deliberatif yang menurut Habermas suatu axioma demokrasi. Musisi saat itu banyak memprotes melalui kalimat kiasan dalam lirik lagunya. “Anissa” (1986) karya Sang Legenda Iwan Fals tak ada yang berani memasukannya dalam album karena liriknya merekam pembantaian massa oleh kuasa. Pas Band (1995) teriak, kita selalu jawab “iya” dan “iya”, dicetak jadi penjilat. Azis MS (Jamrud) dalam “Berakit-Rakit” (1996) bilang, 2 kita tak bisa nyanyi di rumah sendiri karena esoknya tubuh pasti luka atau jadi berita
NEWSLETTER #8 | FEBRUARI 2014
(Jamrud) dalam “Berakit-Rakit” (1996) bilang, kita tak bisa nyanyi di rumah sendiri karena esoknya tubuh pasti luka atau jadi berita “dijemput” dan “menghilang”. Lalu Reformasi terjadi, Ahmad Dhani dalam “Impotent” berkata, apa arti damai (perut kenyang) bila otak terkubur dan semuanya membisu.
Zaman Penak lebih rendah dari zaman setelahnya. Sama halnya dengan penyelenggaraan pemilunya yang pura-pura, kesejahteraan Orde Baru pun dirasa baik karena penyelenggaraan negara yang pura-pura menyejahterakan. Hutang luar negeri terus ditumpuk untuk pembangunan sentralistik yang hasilkan kesenjangan pusat dan daerah-daerah luar Jawa. Bisa dibayangkan jika kalimat, “piye kabare? Sek penak zamanku to?” dibaca orang Papua, Timor, atau Pulau Rupat yang mengalami alineasi pembangunan. Pemerintahan hasil pemilu pasca-Reformasi akhirnya menghasilkan demokrasi yang menutup kesejahteraan semu Orde Baru yang tak bisa atasi krisis ekonomi.
Soal kesejahteraan Ada yang mewajarkan, Orde Baru lebih “penak” dari pada orde setelahnya. Aspek penilainya adalah kesejahteraan. Tentu, “sejahtera” merupakan kata dan makna berbeda dengan “pemilu” dan “demokrasi”. Tapi demokrasi yang pemerintahannya dipilih melalui pemilu (salah satunya) bertujuan mencapai kesejahteraan rakyat. Jadi, jika kualitas pemilu bisa mengukur kualitas demokrasi, kualitas kesejahteraan pun bisa diukur melalui kualitas pemilu.
Di jelang pencoblosan 9 April Pemilu 2014 kita akan percaya diri menjawab pertanyaan: “Piye kabare? Sek penak zamanku to?”. Dengan meyakinkan kita menjawabnya: penak kabare. Pemilu, demokrasi, dan kesejahteraan zaman setelah mu (Soeharto), lebih baik. Gunakan hak pilih untuk pemilu, demokrasi, dan kesejahteraan yang lebih baik. []
Sebut saja negara yang kualitas pemilunya baik, kemungkinan besar negara itu tingkat kesejahteraannya baik. Maknai pemilu dan ukur kualitasnya melalui lima aspek: kontestasi peserta, sistem, penyelenggaraan (komisi), hukum dan penegakannya, serta demokratisasi. Semakin baik kualitas dari setiap aspek itu pemilu akan semakin baik. Kualitas pemilu yang baik akan sesuai dengan kesejahteraan suatu negara demokrasi.
USEP HASAN SADIKIN Redaktur
Mungkin kita kesulitan mencari indeks pemilu suatu negara yang mencerminkan kualitas kesejahteraannya. Tapi, mudah kita menilai Tailand dan Mesir yang belum mapan menyelenggarakan pemilu dan mengakui hasil pemilu sampai pemilu berikutnya, tingkat kesejahteraanya di bawah Indonesia. Tentu saja kualitas demokrasi dua negara ini di bawah Indonesia. Dan apa yang terjadi di Tailand dan Mesir mirip dengan yang terjadi di zaman penak Soeharto. Saat di mana negara yang pemerintahannya terbentuk (dan remuk) melalui fondasi militer dan oligarki. Kualitas pemilu, demokrasi, dan kesejahteraan
Zaman Penak lebih rendah dari zaman setelahnya. Sama halnya
3
NEWSLETTER #8 | FEBRUARI 2014
opini
Transparansi dan Akuntabilitas Partai Politik OLEH GIRINDRA SANDINO Ketentuan-ketentuan hukum mengenai laporan keuangan partai politik (parpol) di Indonesia, mulai dirumuskan secara lebih jelas dalam Undang-undang No. 31/2002 tentang Partai Politik, dan kemudian UU No. 2/2008 tentang Partai Politik, yang kini diubah menjadi UU No. 2/2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2/2008 tentang Partai Politik. Penguatan sistem dan kelembagaan parpol menjadi muatan pokok UU No. 2/2011, meliputi demokrasi internal, serta transparasi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan parpol. Dalam UU tersebut diatur, parpol berhak memperoleh bantuan keuangan dari APBN/APBD sesuai peraturan perundangundangan, dan berkewajiban menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan yang bersumber dari dana bantuan APBN/APBD secara berkala 1 (satu) tahun sekali kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pengolaan Keuangan Partai Politik juga diaudit setiap 1 (satu) tahun dan diumumkan secara periodik. Ketentuan lain yang perlu diperhatikan adalah aturan dalam UU No. 2/2011 tentang Partai Politik yang memuat sanksi pidana bagi setiap orang atau perusahaan dan/atau badan usaha yang memberikan sumbangan kepada parpol melebihi ketentuan yang ada, yakni maksimal Rp. 1 milyar bagi perseorangan bukan anggota Parpol dan Rp. 7,5 milyar bagi perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu 1 tahun anggaran. Ketentuan selanjutnya dalam UU tersebut, pengurus parpol di setiap tingkatan organisasi harus menyusun laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan setelah tahun anggaran berakhir, dan hasil pemeriksaan 4 laporan itu terbuka untuk diketahui masyarakat. Sampai sekarang, publik belum mengetahui
tahun anggaran berakhir, dan hasil pemeriksaan laporan itu terbuka untuk diketahui masyarakat. Sampai sekarang, publik belum mengetahui tentang bagaimana hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Pertanggungjawaban Penggunaan Bantuan Keuangan Negara Kepada Parpol, karena memang tidak ada publikasi tentang hal itu. Sebagaimana diketahui, dalam Peraturan Pemerintah No. 83 tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 5/2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Parpol, mengatur ketentuan yang menegaskan bahwa bantuan keuangan yang diberikan kepada Partai Politik penghitungannya berdasarkan pada jumlah perolehan suara hasil Pemilu DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Kemudian bantuan keuangan kepada Partai Politik digunakan sebagai dana penunjang kegiatan pendidikan politik dan operasional sekretariat Partai Politik dan bantuan Keuangan kepada Partai Politik digunakan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat paling sedikit 60 % (enam puluh persen). Menurut Catatan Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), yang dilansir awal Desember 2013 lalu, bahwa anggaran untuk bantuan parpol yang berasal dari APBN melalui Kementerian Dalam Negeri sebesar Rp. 9,904 miliar pada tahun 2011, pada tahun 2012 sebesar Rp10,4 miliar, lalu di tahun 2013 sejumlah Rp10,9 miliar. Kemudian dalam satu periode (lima tahun), jumlah uang negara yang disalurkan ke parpol mencapai Rp 1,4 triliun. Sementara sumber data Litbang “Kompas” yang diolah dari data KPU dan Permendagri No. 24/2009, tanggal 29 Januari 2014, tentang Bantuan keuangan untuk Parpol di DPR dari APBN/APBD diberikan setiap tahun kepada
NEWSLETTER #8 | FEBRUARI 2014
24/2009, tanggal 29 Januari 2014, tentang Bantuan keuangan untuk Parpol di DPR dari APBN/APBD diberikan setiap tahun kepada parpol yang mendapatkan kursi di DPRD provinsi/kabupaten/kota sebesar Rp. 108 persatu suara, dengan rincian sebagai berikut: Partai Demokrat (Perolehan kursi 148, perolehan suara 21.665.295, perolehan bantuan keuangan Rp. 2.338.771.860), Partai Golkar (perolehan kursi 106, perolehan suara 15.031.497, bantuan keuangan Rp. 1.623.401.676), PDI-P (perolehan kursi 94, perolehan suara 14.576.388, perolehan bantuan keuangan Rp. 1.574.249.676), PKS (perolehan kursi 57, perolehan suara 8.204.946, perolehan bantuan keuangan Rp. 886.134.168), PAN (perolehan kursi 46, perolehan suara 6.273.462, perolehan bantuan keuangan Rp. 667.553.869), PPP (perolehan kursi 38, perolehan suara 5.544.332, perolehan bantuan keuangan Rp. 598.787.856), PKB (perolehan kursi 28, perolehan suara 5.146.302, perolehan bantuan keuangan Rp. 555.800.616), Partai Gerindra (perolehan kursi 26, perolehan suara 4.642.795, perolehan bantuan keuangan Rp. 501.421.860), Partai Hanura (perolehan suara 17, perolehan suara 3.925.620, perolehan bantuan keuangan Rp. 423.966.960). Total jumlah dari perolehan bantuan keuangan untuk Parpol tersebut sebesar Rp. 9.180.068.976
memerlukan dana yang sangat besar untuk memastikan kemenangan. Herbert E Alexander (Financing Politics, trans, 2003) mengemukakan terdapat 3 bentuk dasar pengaturan keuangan dalam politik, yaitu: Pertama, keterbukaan publik (public disclosure) untuk memberikan berbagai informasi kepada publik, selama mau pun setelah kampanye tentang pengaruh uang terhadap pejabat-pejabat terpilih dan untuk membantu mengurangi ekseseskes dan tindakan penyalahgunaan, dengan cara meningkatkan risiko-risiko politik yang harus ditanggung oleh mereka yang melakukan praktikpraktik seperti itu. Kedua, pembatasan-pembatasan pengeluaran (expenditure limits)–untuk mengatasi masalahmasalah yang ditimbulkan oleh pembekakan biaya, dan oleh adanya beberapa kandidat yang mempunyai lebih banyak uang dari yang lainnya. Ketiga, pembatasan pemberian sumbangan (contributions restrictions)–untuk mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh adanya kandidat-kandidat yang mengikatkan diri pada kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam pemilu, hal yang secara subtantif penting adalah derajat legitimasi politik sebagai “free and fair democratic elections” yang berpengaruh pada tingkat kepercayaan publik atas hasil-hasil pemilu, yang dengan sendirinya akan sangat rendah jika proses pemilihan umum penuh dengan pelanggaran aturan-aturan dana kampanye.
Namun demikian, walau ada jatah parpol dari anggaran negara, masih saja oknum kader-kader parpol melakukan tindak pidana korupsi atau pencucian uang luar biasa besar. Akuntabilitas keuangan parpol di Indonesia yang rendah serta lemahnya pengawasan atas pelaksanaan ketentuan dalam UU Parpol, memperlihatkan transparansi sebagai asas kehidupan berdemokrasi belum melembaga dalam budaya politik nasional.
Awal Januari 2014, Abdullah Dahlan Koordinator Divisi Korupsi Politik dari Indonesia Corruption Watch (ICW), misalnya, menilai langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatur pelaporan dana kampanye partai politik peserta pemilu lewat Peraturan KPU (PKPU) No. 17/2013 tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye Peserta Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, belum menyentuh substansi. Oleh karena laporan
Salah satu titik rawan penyelenggaraan Pemilu 2014 adalah meningkatnya potensi pelanggaran aturan dana kampanye. Walaupun tentu saja mesin dan aktor politik yang berkompetisi 5
dana
NEWSLETTER #8 | FEBRUARI 2014
dana kampanye hanya sebatas memenuhi syarat administrasi saja. Laporan dana kampanye parpol, hanya disebutkan nominalnya, tidak dari mana asal dana kampanye tersebut.
Akuntabilitas dan transparansi keuangan serta dana kampanye partai politik merupakan salah satu prinsip utama demokrasi prosedural yang harus dijalankan. Salah satunya dalam bentuk laporan dan audit keuangan partai politik dan dana kampanye. Ini dilakukan baik sebagai perwujudan transparasi kelembagaan maupun guna mencegah terjadinya korupsi politik pada Pemilu 2014. []
Dana kampanye parpol di Pemilu 2014 sekarang ini, sangat rawan dengan tindak pidana pencucian uang, sementara itu 12 pasal mengenai dana kampanye, ditambah 4 pasal tentang sanksi pidana pelanggaran dana kampanye legislatif dalam UU No.8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD sama sekali tidak akan mampu menjerat tindak pidana pencucian uang dan tidak cukup luas, rinci dan spesifik untuk menjadi dasar penegakan hukum atas berbagai bentuk penyimpangan. Bahkan perilaku koruptif yang langsung atau tidak langsung berhubungan dengan pemberian dan penerimaan dana kampanye secara melawan hukum yang ditenggarai akan semakin meningkat, mengingat latar belakang kompleksitas kepentingan ekonomi dan politik dewasa ini.
GIRINDRA SANDINO Wakil Sekretaris Jenderal Komite Independene Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia
Oleh karena itu, pencegahan dan penanggulangan tindak pidana pencucian uang dalam pemilu 2014 harus dilengkapi dengan implementasi UU No. 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang serta UU No. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang mendefinisikan secara luas konsep money laundering, transaksi keuangan mencurigakan, jenis-jenis harta kekayaan hasil tindak pidana, kewajiban penyedia jasa keuangan, serta tugas pokok dan fungsi Pusat Pelaporan serta Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), termasuk kerjasama internasional dalam masalah tindak pidana pencucian uang. Adalah langkah maju bagi KPU untuk mengajak kerja sama dengan PPATK dalam mengawasi dana kampanye dan diharapkan ke depannya dapat membantu pelaporan dan audit dana kampanye Pemilu 2014. Ini mampu menekan kecenderungan pelanggaran aturan-aturan dana kampanye.
Akuntabili
6
NEWSLETTER #8 | FEBRUARI 2014
#sinemapemilu
Mengalihkan “Ke-Anjingan” Petahana dengan Ekor OLEH KHOLILULLAH P. “Why does a dog wag its tail?
Wag The Dog
Because a dog is smarter than its tail.
Sutradara:
If the tail were smarter,
Barry Levinson
the tail would wag the dog.”
Pemain:
Kalimat di atas kurang lebih diartikan begini, kenapa anjing menggoyang ekornya? Karena anjing lebih pintar dari ekornya. Jika ekornya yang lebih pintar, maka ekor yang akan menggoyang anjingnya. Idiom ini membuka film Wag The Dog yang bercerita dinamika pemilihan Presiden di Amerika Serikat (USA) dengan sudut pandang orang di balik layar.
Dustin Hoffman, Robert De Niro, Anne Heche
“Wag The Dog” diartikan sebagai upaya mengalihkan perhatian dari apa yang sebenarnya paling penting, kepada suatu hal lain yang sebenarnya kurang signifikan namun dianggap umum/utama oleh masyarakat. Dengan demikian, hal yang sebenarnya tidak begitu penting akhirnya menjadi pusat perhatian dan menenggelamkan masalah awal yang sebenarnya paling penting. Akhirnya, ekor anjing mengalihkan perhatian. Plot Film dimulai dari skandal pelecehan seksual Presiden USA terhadap anak perempuan, anggota pramuka dari Santa Fe. Skandal ini terjadi saat Amerika Serikat dalam masa kampanye pemilu presiden, 11 hari jelang pemungutan suara. “Presiden Berkasus” kembali mengikuti pemilihan sebagai petahana (incumbent) melawan Senator Neal.
Rilis: 1997 Durasi: 97 menit
petahana esok harinya. Kasus amoral seperti ini tentu saja akan menggerogoti dukungan publik yang saat itu berada pada posisi tinggi. Lawan politik tentu saja senang bukan kepalang. Yang aneh, sebelum kasus diungkap media, tim lawan politik (Senator Neal) sudah menyelesaikan sebuah iklan black campaign. Iklan dikemas dalam video singkat untuk tayang di televisi. Isinya, kasus pelecehan seksual sebagai hal untuk menyerang petahana. Presiden adalah kehormatan, prinsip, tentang integritas, karena itu pilih Senator Neal. Tentu saja, harapannya untuk mengalihkan dukungan dari petahana ke Senator Neal.
Di tengah kepanikan dan bayang-bayang kekalahan, tim sukses petahana kedatangan Conrad Brean „si tukang servis‟ a.k.a Connie (Robert De Niro) yang kelihatannya berperan sebagai konsultan politik atau aktor intelektual. Si anak mengungkap pelecehan itu kepada media Ditemani Winiferd Ames (Anne Heche), Connie massa. Bad news is a good news, media massa menyiapkan rangkaian skenario pengalihan sudah menyiapkan santapan politik untuk perhatian agar masyarakat lupa dengan kasus petahana esok harinya. Kasus amoral seperti ini pelecehan seksual tersebut. Poinnya, agar selama tentu saja akan menggerogoti dukungan publik 7 11 hari menuju hari H pemilihan, masyarakat yang saat itu berada pada posisi tinggi. Lawan disibukkan dengan sajian dramatis yang mencuri
NEWSLETTER #8 | FEBRUARI 2014
pelecehan seksual tersebut. Poinnya, agar selama 11 hari menuju hari H pemilihan, masyarakat disibukkan dengan sajian dramatis yang mencuri perhatian publik, yang menenggelamkan kasus pelecehan seksual dan mengembalikan dukungan publik kepada petahana seperti semula. Wag The Dog dimulai. Connie menyiapkan skenario ekstrim. Jangkauan keterlibatannya tak hanya geopolitik nasional, tapi juga internasional. Skenario ini akan mengelabui media dan pada akhirnya menipu masyarakat. Pertama, Connie memasatikan, petahana tak berada di Amerika selama skenario berjalan. Disebarlah isu, Presiden sedang berada di Cina membicarakan pertahanan internasional. Kemudian, tim Connie memanas-manasi politik internasional dengan mengisukan adanya gerakan terorisme dari Albania yang sudah menyiapkan Bom Koper bermuatan B-3 Bomber untuk diselundupkan ke USA. Pada saat itu, pergerakan teroris sudah masuk ke Kanada. Pesannya adalah, ada upaya Albania menyerang USA. Presiden mengambil peran penting melalui banyak publikasi resminya melalui media. Demi menyempurnakan jalannya skenario, Connie melibatkan produser kawakan Hollywood, Stanley Motss (Dustin Hoffman), untuk memperkuat sebaran isu dengan dukungan visual dan ide lainnya. Dengan fasilitas yang tersedia, Stanley melakukan rekayasa visual untuk ditayangkan di televisi tentang kondisi peperangan yang terjadi di Albania. Video editor dan aktor-aktor untuk membuat adegan masyarakat yang terjebak dalam situasi perang. Hasilnya, rekayasa ini menjadi isu nasional dan benar-benar menenggelamkan isu pelecehan seksual Presiden. Bahkan dalam konferensi pers kepresidenan, banyak pertanyaan wartawan lebih menyinggung persoalan perang dengan Albania ketimbang pelecehan seksual. Konspirasi 11 hari berjalan sesuai rencana, petahana terpilih kembali.
Manipulasi media dalam kampanye Wag The Dog setidaknya memberikan beberapa catatan kritis bagi kita. Media ternyata memiliki peran krusial dan berpengaruh besar dalam menciptakan fenomena sosial politik. Tiap strategi yang dimainkan para aktor dalam film, muaranya selalu televisi (media) dan ikut memanipulasi para pekerjanya. Dan ajaibnya, strategi itu menjadi realita politik. Evaluasi yang dilakukan aktor utama untuk memastikan skenario berjalan sesuai rencana adalah televisi dan koran. Mereka memastikan media apa sedang mengangkat isu apa. Saat media mengangkat isu yang mereka kehendaki, maka itu indikasi skenario berhasil. Walaupun apa yang disampaikan media sebenarnya cuma omong kosong belaka. Lebih parah lagi, berita yang disajikan sesungguhnya tak pernah terjadi. Media di sini menjadi alat penting. Bila kita membandingkannya dengan pemilu di Indonesia, khususnya kampanye Pemilu Legislatif, andai skenario serupa ini terjadi maka penelusurannya akan sulit dan kabur. Kenapa? Pertama, pasca-Reformasi, media (pers) semakin mengokohkan eksistensinya sebagai pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pers hadir untuk mengimbangi arogansi politik pemerintahan, sekaligus membantu masyarakat mengawasi jalannya roda pemerintahan yang berpihak kepada rakyat. Kedua, ramainya kelompok politik dengan kekuatan yang relatif berimbang. Kekuatan yang berimbang ini sebagiannya diperkuat penguasaan atas Pers. Dengan situasi politik seperti ini, tahun pemilu berubah menjadi tahun politik dalam konotasi yang cenderung negatif. Setiap kelompok politik pada akhirnya punya motif tersendiri untuk terlibat dalam permainan serang bertahan sepanjang pemilu. Peta kepentingan bertambah luas dan remang-remang.
Ketiga, dengan sistem Pemilu Legislatif yang proporsional terbuka, setiap calon legislatif pada akhirnya membuka front pertarungan sendiri di Manipulasi media dalam kampanye Wag The Dog setidaknya memberikan beberapa 8 antara sesamanya dalam satu kelompok politik. Nomor urut tak lagi menjadi faktor penentu catatan kritis bagi kita. Media ternyata memiliki
NEWSLETTER #8 | FEBRUARI 2014
akhirnya membuka front pertarungan sendiri di antara sesamanya dalam satu kelompok politik. Nomor urut tak lagi menjadi faktor penentu seorang caleg mendapatkan kursi, dan Parliamentary Threshold-lah (PT) menjadi pemaksa agar perilaku politik tetap berada dalam satu ikatan. Namun, persaingan suara di antara sesama terjadi. Peta aktor semakin melebar dan semakin kabur. Setidaknya, dengan tiga alasan di atas sudah menunjukkan betapa rumitnya menelusuri skenario apa yang terjadi. Peta konfliknya saling berpaut dan beririsan. Kerugian politik seseorang bisa saja menjadi keuntungan atau sekaligus kerugian bagi kepentingan lain. Lempar batu sembunyi tangan, cukup mudah bersembunyi dalam situasi pelik seperti sekarang. Ini sebabnya, tak banyak yang dapat dilakukan kecuali kita sebagai pemilih mencerdasi diri kita dengan informasi utuh. Menangkap berbagai informasi dari berbagai sumber, tanpa langsung memberikan kesimpulan dini. Selalu berusaha untuk melakukan konfirmasi secara inisiatif atas suatu informasi dari opini kedua bahkan ketiga, agar berimbang. Di samping itu, penting juga mencermati perkembangan, dan membangun daya tawar yang setara dengan para praktisi politik. Bahwa negara adalah rakyatnya. Bahwa masyarakat adalah alasan di balik sebuah fenomena politik. Dengan demikian, penting bagi masyarakat untuk tahu banyak soal situasi media. Agar masyarakat tak mudah dikelabui sandiwaranya. Tidak selamanya mendung itu kelabu. Fasilitas negara untuk kepentingan petahana
beresiko namun strategis. Agenda negara diubah menjadi agenda kampanye tanpa disadari publik. Yang menyakitkan, agenda negara itu justru diciptakan di bawah bayangan ilusi. Rasa-rasanya, perilaku serupa juga banyak terjadi di sekitar kita. Tidak sedikit petahana memanfaatkan jabatannya untuk sekaligus berkampanye politik. Bila diperhatikan secara seksama, di tahun-tahun akhir jabatan seorang praktisi politik, biasanya akan banyak kegiatankegiatan yang sifatnya berinteraksi atau bertemu muka dengan kelompok sosial atau komunitas masyarakat. Padahal empat tahun sebelumnya, para pejabat publik cenderung memilih banyak kegiatan elitis. Parahnya, agenda seperti ini memang sengaja disiapkan jauh-jauh hari melalui proses penyusunan APBN/APBD. Itu sebabnya ICW pernah merilis bahwa dana bantuan sosial cenderung meningkat pada tahun terakhir periode suatu pemerintahan. Modus seperti ini tergolong konvensional bila dibandingkan dengan modus yang disajikan Wag The Dog. Namun tak menutup kemungkinan, pola-pola baru juga diterapkan. Tinggal kita sebagai masyarakat bisa cerdas membaca situasi. Regulasi bukannya tak mengatur hal-hal demikian. Namun, jangkauan regulasi kita belum sempurna, karena memang dibuat oleh para politisi yang berkepentingan di pemilu. Regulasi yang ada, seperti UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif, tak cukup serius mengatur petahana memakai fasilitas negara untuk kepentingan kampanye politik kuasanya. Tak heran, banyak temuan publik hanya berakhir di tulisan opini.
Catatan lain dari film ini adalah pemanfaatan Pemanfaatan fasilitas dan alat-alat negara untuk fasilitas negara untuk kepentingan kuasa kampanye politik juga cerminan dari petahana. Melalui dukungan konsultan politiknya, ketakmampuan seorang pejabat negara petahana memanfaatkan fasilitas negara untuk menghadirkan kualitas pembangunan yang baik mengamankan skandal sekaligus mendulang bagi rakyatnya. Akibatnya, pejabat negara itu suara. Dengan jabatannya sebagai Presiden, kehilangan percaya diri dan terjebak pada petahana bisa menciptakan momentum yang ketergantungan yang berlebihan terhadap beresiko namun strategis. Agenda negara diubah momentum kampanye politik untuk “menjual menjadi agenda kampanye tanpa disadari publik. 9 kembali” dirinya. Banyak yang menyadari, Yang menyakitkan, agenda negara itu justru mereka minim kinerja. Lantas mengambil jalan
NEWSLETTER #8 | FEBRUARI 2014
momentum kampanye politik untuk “menjual kembali” dirinya. Banyak yang menyadari, mereka minim kinerja. Lantas mengambil jalan pintas dengan memanfaatkan seluruh potensi yang sedang dimiliki untuk mencitrakan dirinya secara baik kepada pemilih. Mumpung sedang menjabat dan ada fasilitas. Realita itu mendorong rakyat harus cerdas, agar tak terjebak dengan sandiwara politik fatamorgana. Wag The Dog sebenarnya mengajak kita untuk skeptis dalam pemilu dan politik. Skeptis bukan untuk tak percaya, tapi untuk tak mudah percaya dengan apa yang disajikan media. Terutama bila berkaitan dengan sisi-sisi heroisme politisi yang tampil di media, tanpa kita sendiri benar-benar merasakan hasilnya. Realita itu pun menjadi pekerjaan rumah bagi organisasi masyarakat (LSM). Betapa rakyat butuh dampingan yang berkualitas dan meluas. LSM sebagai ujung tombak masyarakat, sudah selayaknya memfasilitasi masyarakat dengan pendidikan politik dan pemilih, informasi yang independen, rasionalisasi dan logika jujur, atau menjembatani aspirasi masyarakat terhadap pemerintahan. LSM bertanggung jawab besar untuk dapat menempatkan dirinya pada posisi yang benarbenar netral dalam pemilu dan politik. Jauh dari keberpihakan personal atas kepentingan tertentu, serta menghindari justifikasi politik yang membenarkan dirinya masuk ke dalam lingkaran politik yang kontras. Agar rakyat bisa percaya, bisa mengetahui, mana ekor dan mana anjingnya yang sebenarnya. [] KHOLILULLAH P. Penggiat Perkumpulan Demokrasi (Perludem)
untuk
Pemilu
dan
10
NEWSLETTER #8 | FEBRUARI 2014
Kaleidoskop Pemilu 2014
Januari 2014 belum ada parpol ataupun perusahaan media diberi sanksi.
1/1.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengkaji opsi penghentian siaran sejumlah acara di stasiun televisi sebagai bentuk sanksi atas penyalahgunaan frekuensi untuk kepentingan politik tertentu. Komisioner KPI, Fajar Isnugroho menuturkan, opsi penghentian siaran muncul setelah tak ada perubahan materi dan waktu siaran dari enam stasiun televisi yang ditegur. Mereka ditegur pada awal Desember 2013 setelah isi siarannya dinilai belum adil karena didominasi kelompok politik tertentu.
Sementara itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengharapkan penyelenggara pemilu juga menyerahkan rekening mereka. Hal itu sebagai antisipasi transaksi mencurigakan terkait pemilu. Menurut Kepala PPATK Muhammad Yusuf, usulan itu diusahakan masuk dalam nota kesepahaman dengan KPU. Wakil Ketua PPATK Agus Santoso menuturkan, caleg yang bersedia menyerahkan rekening dana kampanye akan mendapat nilai lebih di mata masyarakat.
Sementara pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, Surabaya, Suko Widodo, menuturkan, KPI punya dasar kuat untuk menjatuhkan sanksi pada lembaga penyiaran. Siaran kampanye yang berlebihan dan tidak proporsional merusak kualitas demokrasi Indonesia. Demokrasi yang berkualitas butuh media berkualitas. KPI harus didukung untuk menghukum lembaga penyiaran yang melanggar. Jika perlu, DPR dan masyarakat menekan KPI untuk menjalankan tanggung jawabnya.
6/1. Pelaporan penerimaan sumbangan dana kampanye oleh partai yang dipublikasikan di situs web Komisi Pemilihan Umum diduga dilakukan dengan tidak serius. Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) M Afifuddin, mengatakan, semua sumbangan dari caleg masuk kolom barang atau jasa. Namun, bentuk barang atau jasa berikut jumlah unit yang disumbangkan tak dijelaskan. Semua hanya ditulis dalam rupiah.
2/1.
KPI belum memiliki aturan penggunaan media penyiaran selama masa kampanye terbuka. Komisioner KPI, Idy Muzayyad, menjelaskan, KPI masih membahas draf peraturan terkait tayangan atau konten kampanye di media elektronik.
Kelengkapan yang belum dipublikasikan adalah dalam bentuk form DK1, DK2, DK3, DK4, DK5, dan DK6. Form tersebut menjadi penting karena berisi seluruh informasi lengkap dari penyumbang, agar masyarakat tahu perolehan sumbangan dari perseorangan, kelompok, dan badan usaha yang diterima parpol.
KPI sudah memberikan teguran kepada enam stasiun televisi agar lebih netral dalam menayangkan berita atau iklan parpol. KPI menilai, iklan kampanye yang marak ditayangkan media elektronik tergolong kampanye.
7/1.
Sekumpulan masyarakat Paralegal Pemilihan Umum, Jumat pekan lalu, mendatangi kantor Bawaslu. Mereka melaporkan Partai Golongan Karya yang dianggap mencuri start kampanye di media elektronik. Partai nomor urut lima itu dituding menggunakan frekuensi publik secara terus-menerus untuk iklan politik.
Peraturan KPU Nomor 15/2013 tentang Kampanye, kampanye terbuka di media massa dijadwalkan selama 21 hari sejak 16 Maret hingga 5 April 2014. Meski melanggar jadwal, 11
Iklan Partai Golkar mulai ditayangkan di televisi sejak KPU menetapkan parpol peserta pemilu awal tahun 2013. Tiga bulan terakhir, iklan partai
NEWSLETTER #8 | FEBRUARI 2014
Iklan Partai Golkar mulai ditayangkan di televisi sejak KPU menetapkan parpol peserta pemilu awal tahun 2013. Tiga bulan terakhir, iklan partai berlambang pohon beringin itu semakin masif ditayangkan di stasiun televisi milik Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie.
8/1. Sejumlah aktivis yang tergabung dalam jejaring Paralegal Pemilu menyisir beberapa tempat di Jakarta untuk mendokumentasikan alat peraga kampanye Pemilu 2014 yang melanggar aturan. Aksi ini untuk mendorong partisipasi masyarakat, khususnya dalam melaporkan pelanggaran pemilu. Di sisi lain, pengawas pemilu diminta menindaklanjuti laporan. Aksi bertajuk ”Rabu Bersih” ini dilakukan aktivis dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Komite Independen Pemantau Pemilu Jakarta, dan Lembaga Bantuan Hukum daerah. Semuanya mendata dan mendokumentasikan alat peraga yang melanggar lalu melaporkannya ke Bawaslu. Komisioner KPU, Ida Budhiati menuturkan, penurunan alat peraga oleh warga yang tanpa disertai perusakan bukan merupakan tindak pidana. Larangan yang eksplisit di undangundang adalah kalau merusak alat peraga. Sementara itu, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat mengungkapkan, MK sedang melakukan finalisasi draf putusan atas uji materi soal pemilu serentak untuk pemilihan presiden dan anggota legislatif. Putusan atas uji materi yang diajukan Effendi Gazali sebagai representasi Koalisi masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak ini akan dibacakan pada akhir Januari atau awal Februari ini.
9/1.
Undang-Undang KY dan UU Mahkamah Agung yang mewajibkan KY mengajukan calon dengan jumlah tiga kali kebutuhan (3:1). MK menyatakan KY cukup mengirimkan satu nama calon untuk satu kursi hakim agung. Hal tersebut terungkap dalam putusan uji materi UU KY yang dibacakan Kamis (9/1). MK mengabulkan permohonan tiga calon hakim agung yang gagal pada uji kelayakan dan kepatutan di DPR, yaitu Made Dharma Weda, RM Panggabean, dan ST Laksanto Utomo. Sidang pembacaan putusan dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
10/1. KPU tetap memilih kotak suara sekali pakai yang terbuat dari bahan kardus. KPU beralasan, langkah itu ditempuh salah satunya untuk menghindari kesulitan menyimpan kotak suara karena tidak semua KPU di daerah memiliki gudang penyimpanan. Ida Budhiati mengatakan, sudah pernah ada kejadian akibat tak memiliki tempat penyimpanan tetap, sejumlah KPU di daerah kehilangan banyak kotak suara. Sementara itu, Kepolisian Negara Republik Indonesia mengharapkan partai politik, termasuk penyelenggara pemilu, memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dalam masa kampanye. Dengan demikian, pelaksanaan kampanye dan tahapan pemilu diharapkan dapat berlangsung aman dan lancar. Hal itu disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen (Pol) Boy Rafli Amar di Jakarta, kemarin.
14/1.
Pemutakhiran daftar pemilih tetap di sejumlah daerah terkendala biaya verifikasi lapangan. KPU di daerah mengaku dimintai biaya oleh oknum petugas dari dinas kependudukan dan catatan sipil di daerah yang ingin memverifikasi data kependudukan. Pemutakhiran data itu merupakan bagian dari kewajiban KPU dibantu pemerintah untuk memastikan 3,3 juta pemilih bermasalah bisa mendapatkan nomor induk kependudukan.
MK membatalkan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat untuk memilih calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial. Menurut MK, DPR hanya berwenang untuk menyetujui atau tidak menyetujui calon yang diusulkan KY. MK pun membatalkan ketentuan di dalam Undang-Undang KY dan UU Mahkamah Agung Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sudah meminta yang mewajibkan KY mengajukan calon dengan 12 jajaran dinas kependudukan membantu kerja pemutakhiran jumlah tiga kali kebutuhan (3:1). MK
NEWSLETTER #8 | FEBRUARI 2014
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sudah meminta jajaran dinas kependudukan membantu kerja pemutakhiran data itu. Namun, kenyataannya di lapangan tak semudah yang dibayangkan. Setidaknya, KPU Papua, KPU Jawa Tengah, dan KPU Sulawesi Selatan mengakui adanya permintaan dana dari oknum petugas dinas kependudukan dan catatan sipil di daerah. KPU Ambon juga mengeluhkan hal serupa.
15/1.
Lembaga survei dan penyelenggara hitung cepat atau quick count Pemilu 2014 harus mendaftarkan diri ke KPU. Pelanggaran terhadap ketentuan ini memang tak ada sanksinya, tapi publik diharapkan bisa menghukum lembaga tersebut sebagai lembaga yang tak jelas dan liar. Komisioner KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengatakan, upaya ini dilakukan antara lain untuk meminimalisasi pertanyaan masyarakat tentang lembaga survei dan hitung cepat yang tidak jelas. Ketidakjelasan itu baik secara metodologi, pendanaan, dan sosok di belakang mereka. Penyelenggara hitung cepat, kata Ferry, juga baru dapat menayangkan hasilnya paling cepat dua jam setelah berakhirnya pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat. Dengan demikian, jika pemungutan suara di Indonesia bagian barat ditutup pukul 13.00, penayangan hitung cepat dimulai pukul 15.00. Sementara lembaga survei antara lain dilarang memublikasikan hasil survei pada masa tenang. Pelanggaran terhadap penayangan hasil hitung cepat dan hasil survei tersebut masuk dalam tindak pidana yang diatur Undang-Undang No 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dalam UU itu disebutkan, pelaksana hitung cepat wajib mendaftarkan diri kepada KPU paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara.
16/1.
Bawaslu menyatakan kotak suara berbahan kardus yang ada di sejumlah provinsi
tak sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan KPU. Menurut anggota Bawaslu, Daniel Zuchron, kotak kardus itu rentan rusak. Ketidaksesuaian itu, kata Daniel, antara lain terlihat di Provinsi Banten, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan Sumatera Utara. Bentuk kotak di tiap provinsi itu tak sama. Warna dan kualitas bahan yang digunakan pun berbedabeda. Bahkan ada kotak suara yang berbahan seperti kardus rokok ukuran besar. Ketua KPU Husni Kamil Manik mengaku belum mendapat laporan dari komisi di daerah soal kotak suara yang tak sesuai dengan spesifikasi. KPU di daerah, kata Husni, sedang memastikan kotak dan bilik suara berbahan alumunium yang ada masih berfungsi. Jika banyak yang rusak, pengadaan kotak suara baru bakal dilakukan secara nasional. KPU menyiapkan Rp 513 miliar untuk pengadaan kotak dan bilik yang diambil dari sisa belanja surat suara.
20/1.
KPI siap menjatuhkan sanksi bagi media elektronik, terutama televisi, yang menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan partai politik tertentu. KPI kini terbentur tafsir legal formal terkait definisi kampanye yang berada di ranah KPU. KPI menegaskan, begitu KPU menyatakan iklan politik beberapa parpol di beberapa stasiun televisi merupakan kampanye, KPI bisa segera mengeluarkan sanksi. Pernyataan itu disampaikan ketika menerima Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) di Kantor KPI, Jakarta, Senin (20/1). Hadir pula Wakil Ketua KPI Idy Muzayydad dan para komisioner KPI, antara lain Sujarwanto Rahmat, Agatha Lily, dan Danang Sangga Buwana. Sementara itu, Bawaslu akan memanggil Ketua Komisi Kejaksaan, Halius Hosen, untuk dimintai keterangan perihal pencalonan dirinya sebagai anggota legislatif. Komisioner Bawaslu, Endang Wihdatiningsih, mengatakan undang-undang melarang pejabat yang digaji negara mencalonkan diri sebagai legislator. 13 Menurut Endang, setelah syarat formal pelaporan
selesai, Bawaslu akan meminta klarifikasi kepada
NEWSLETTER #8 | FEBRUARI 2014
Menurut Endang, setelah syarat formal pelaporan selesai, Bawaslu akan meminta klarifikasi kepada KPU, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai partai penyokong Halius, serta Halius. Bawaslu akan menilik apakah proses penyaringan Halius di KPU sudah sesuai dengan prosedur. Selanjutnya Bawaslu akan melihat apakah partai telah menyerahkan data Halius secara benar atau tidak.
21/1. Daftar pemilih untuk pemilu legislatif, bahkan pada pemilu presiden yang kini sedang digodok KPU, akan menjamin warga yang tak berdokumen sekalipun bisa menjadi pemilih. KPU berjanji akan mengakomodasi semua warga yang telah memenuhi syarat masuk dalam daftar pemilih. Tak pandang apakah mereka punya syarat administratif, seperti Kartu Keluarga atau memiliki Nomor Induk Kependudukan. Dalam pemilu legislatif, mereka yang tak memiliki dokumen kependudukan masuk dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK). Dalam pemilu presiden, yang tak berdokumen masuk dalam DPT. Komisioner KPU Ida Budhiati mengatakan, KPU tengah mewujudkan agar DPT tidak hanya melihat aspek formalistik dan legalistik formal semata.
23/1. MK memutuskan pemilu legislatif serta pemilihan presiden-wakil presiden digelar serentak pada 2019. Keputusan ini merupakan penerimaan sebagian atas uji materi UndangUndang tentang Pemilihan Presiden, yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak. Ketua MK, Hamdan Zoelva, menilai pasal yang mengatur pemilihan presiden digelar setelah pemilihan legislator bertentangan dengan konstitusi. Hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi mengatakan pelaksanaan pemilu serentak tak bisa dilakukan tahun ini karena tahapan Pemilu 2014 telah berjalan.
24/1. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi
untuk pengucuran dana saksi partai pada Pemilu 2014. Menurut rencana, aturan itu akan dirundingkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk dijadikan peraturan presiden. Rencananya, negara menanggung beban Rp 660 miliar untuk biaya saksi tersebut lewat Badan Pengawas. Ketua Bawaslu, Muhammad membantah jika pendanaan saksi partai dalam pemilu disebut melanggar konstitusi. Menurut dia, selama tidak ada larangan dari undang-undang, berarti pengalokasian dana saksi partai bisa dilakukan. Menurut Muhammad, program itu inisiatif pemerintah dan DPR. Eksekusi anggaran, kata dia, dilaksanakan oleh Badan Pengawas.
26/1.
Bawaslu menemukan Daftar Pemilih Tetap di 169 kabupaten dan kota tak beres atau sangat rawan saat tahapan pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih. Anggota Bawaslu, Daniel Zuchron mengatakan, ketidakberesan terjadi karena daftar pemilih di daerah-daerah itu tidak memenuhi tingkat kewajaran perbandingan jumlah pemilih dengan data kependudukan Badan Pusat Statistik tahun 2010. Tingkat kewajaran perbandingan antara jumlah pemilih dan jumlah penduduk di daerah perkotaan adalah 73 persen. Sedangkan tingkat kewajaran di pedesaan sebesar 68 persen. Jika penyimpangan terjadi di 40 persen atau lebih kecamatan di satu kabupaten/kota, daerah itu dinyatakan sangat rawan. Bila penyimpangannya di 20-40 persen kecamatan, kabupaten/kota itu dinyatakan rawan. Tapi jika penyimpangannya kurang dari 20 persen kecamatan, daerah itu tergolong aman. Dalam kajiannya, Bawaslu menggunakan data daftar pemilih terakhir yang ditampilkan di situs milik KPU per Jumat, 24 Januari lalu. KPU menetapkan daftar pemilih tetap berjumlah 186,6 juta penduduk pada awal November tahun lalu. Selain menggunakan data Sensus penduduk 2010, Bawaslu tetap memutakhirkan data dengan data proyeksi kependudukan tahun 2014.
mengatakan pihaknya sedang membahas aturan untuk pengucuran dana saksi partai pada Pemilu 14 Ketua KPU Husni Kamil Manik menyangkal 2014. Menurut rencana, aturan itu akan tudingan Badan Pengawas. Menurut dia, data
NEWSLETTER #8 | FEBRUARI 2014
Ketua KPU Husni Kamil Manik menyangkal tudingan Badan Pengawas. Menurut dia, data daftar pemilih tetap yang sudah disahkan lembaganya terkonfirmasi dengan kependudukan. Sementara itu, penolakan terhadap dana saksi partai dalam Pemilu 2014 melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kian meluas. Kini, sebagian partai enggan menerima dana saksi yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
27/1.
Ketua Bawaslu, Muhammad mengatakan, ide pendanaan saksi partai politik di tempat pemungutan suara (TPS) dengan menggunakan anggaran negara diusulkan oleh pemerintah. Menurut Muhammad, usulan ini diajukan dalam rapat yang dihadirinya di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, 15 Januari lalu. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan dana itu bisa dicairkan setelah Presiden menerbitkan peraturan presiden yang menjadi landasan pemberian duit saksi. Rencana pemerintah itu dikritik berbagai kalangan. Sejumlah partai seperti NasDem pun menolak pembagian duit itu. "Dana itu milik rakyat, bukan hak partai," kata Ketua Badan Pemenangan Pemilu NasDem Ferry Mursyidan Baldan. Deputi Bidang Koordinasi Komunikasi, Informasi, dan Aparatur Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Marsekal Muda Agus R. Barnas, membantah pernyataan Ketua Bawaslu bahwa inisiator dana saksi adalah bosnya. Menurut dia, Djoko Suyanto tak menentukan suatu keputusan sendirian.
28/1.
MK menyatakan, ada delapan rapat permusyawaratan hakim untuk membahas uji materi Undang-Undang Pemilu Presiden terkait pemilu serentak. Penjelasan itu untuk menjawab kecurigaan sejumlah pihak mengenai adanya politisasi oleh MK dengan cara menunda-nunda pembacaan putusan perkara itu.
MK menggelar delapan RPH untuk membahas permohonan Effendi. RPH 26 Maret merupakan RPH pertama yang diikuti sembilan hakim konstitusi, termasuk Mahfud MD (Ketua MK saat itu yang mengakhiri tugasnya 1 April 2013), Achmad Sodiki (Wakil Ketua MK saat itu yang mengakhiri masa jabatan 16 Agustus 2013), dan Akil Mochtar (ditangkap KPK 2 Oktober 2013). Dalam RPH 26 Maret ini, MK baru memutus masalah pemilu serentak. Setelah itu, hakim konstitusi kembali menggelar RPH pada 8 Juli 2013, 22 Juli 2013, 28 Oktober 2013, 18 November 2013, 17 Januari 2014, 20 Januari 2014, dan 22 Januari 2014. Putusan mengenai pelaksanaan pemilu serentak pada 2019 diambil dalam RPH 28 Oktober 2013. Adapun presidential threshold diputus pada 17 Januari 2014. Ditanya mengapa yang dicantumkan di putusan adalah RPH 26 Maret jika sesudahnya masih ada RPH untuk pengambilan putusan, Janedjri mengatakan karena di RPH 26 Maret lengkap ada sembilan hakim konstitusi yang menyidangkan perkara tersebut.
29/1.
Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi menyatakan, pencairan dana untuk mitra petugas pemilu lapangan dan dana saksi tetap bisa dilakukan apabila ada payung hukum. Saat ini, Bawaslu sudah menyiapkan naskah peraturan presiden untuk pencairan dana pengawasan tambahan itu. sudah mendengar naskah peraturan presiden (perpres) sudah siap, tetapi belum membaca isinya. Dana mitra petugas pemilu lapangan (PPL) sekitar Rp 800 miliar dan dana saksi untuk 12 partai politik di 550.000 tempat pemungutan suara diusulkan dalam pembahasan usulan Bawaslu terkait mitra PPL. Menurut Gamawan, dalam pertemuan Mendagri, Menko Polhukam Djoko Suyanto, Bawaslu, dan KPU disampaikan, semestinya parpol juga mendapat bantuan anggaran dari pemerintah. Harapannya, mengurangi beban biaya parpol.
MK menggelar delapan RPH untuk membahas 15 30/1. Sejumlah akademisi menilai dana saksi partai tak sesuai aturan. Alokasi dana saksi partai-partai permohonan Effendi. RPH 26 Maret merupakan
NEWSLETTER #8 | FEBRUARI 2014
30/1. Sejumlah akademisi menilai dana saksi partai tak sesuai aturan. Alokasi dana saksi partaipartai politik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bisa dinilai ilegal. Selain dasar hukumnya tidak cukup, pertanggungjawaban, manfaat, dan capaian penggunaan uang rakyat itu tidak jelas. Pengajar Hukum Administrasi Universitas Atma Jaya, Riawan Tjandra Yogyakarta menjelaskan, dana saksi partai harus dikembalikan kepada beberapa kriteria, yakni kecukupan dasar hukum serta kelengkapan dokumen yang memastikan alokasi, manfaat, dan capaian anggaran. Pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi, juga menilai, dana saksi dari APBN tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan. Oleh karena itu, wacana dana saksi dari APBN berpotensi menggiring pemilu inkonstitusional. []
16