Karakteristik Hukum Kerjasama Daerah Oleh Ahmad Fikri Hadin
Abstract Emergence of law on region autonomy caused a distribution between matters of center government and local government. Based on Law on region autonomy, local government have a right to make a collaboration with other region or privates. Legal characteristic of those regional cooperation is integration between aspect of public law such administrative law and aspect of private law such as contract law in accordance to policies and effort which promote societies welfare by developing of economic lifes. Keywords: Legal, Characteristic, Regional Cooperation Pendahuluan Hadirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan sekarang diperbaharui menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 dalam implikasinya berbagai daerah telah melakukan kerjasama antardaerah selain itu juga melakukan kerjasama daerah dengan badan hukum dalam penyediaan sarana pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Hal tersebut adalah implikasi dari adanya UU Otonomi Daerah tersebut yang dalam aturannya membagi urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dengan daerah. Daerah-daerah yang melakukan kerjasama antardaerah, di antaranya adalah: Kerjasama “Pawonsari” (Pacitan – Jawa Timur, Wonogiri – Jawa Tengah, dan Gunung Kidul – Daerah Istimewa Yogyakarta. Kerjasama Pengelolaan Sumberdaya Laut Teluk Tomini antara
Provinsi Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Sulawesi Utara, serta 11 (sebelas) daerah kabupaten/kota yang ada di sekitar teluk. Kerjasama SINGBEBAS (Singkawang, Bengkayang, dan Sambas di Propinsi Kalimantan Barat) berkenaan Pertukaran Layanan Sumberdaya Unggulan Masingmasing Daerah. Kerjasama Pengelolaan Teluk Balikpapan antara Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Penajam Paser Utara, Kota Balikpapan, Kabupaten Kutai Kertanegara.1 Sementara kerjasama daerah dengan badan hukum (pihak ketiga), dapat dicontohkan kasus kontrak patungan antara Pemerintah Daerah dengan badan hukum dalam Pembangunan Jalan Tol GempolPasuruan yang dilakukan oleh perusahaan patungan yang bernama PT. Trans Marga Jatim Pasuruan, yaitu perusahaan patungan hasil kerjasama PT. Jasa Marga dengan 1
Sutarman Yudo, Aspek Hukum Ekonomi Dalam Kerjasama Daerah, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013, hlm. 1
14
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Daerah Pasuruan. Contoh lain, kontrak konsesi antara Pemerintah Daerah Jawa Timur dengan PT. Jasa Marga yang hasilnya memberikan hak konsesi kepada PT. Jasa Marga atas jalan tol Gempol dan Grati di wilayah Jawa Timur dan tol Surabaya-Gempol. Berbagai kasus lain dilakukan dalam bentuk bentuk kontrak kerjasama BOT (build operate transfer) dan sejenisnya. Demikian dalam kontrak kerjasama daerah dengan badan hukum adalah usaha melakukan kegiatan di bidang penyediaan pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah, terutama setelah diundangkannya Undangundang Otonomi Daerah.2 Urusan pemerintahan yang berhubungan dengan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama merupakan urusan pemerintah pusat. Urusan tersebut tetap berada di tangan pemerintah pusat untuk memberi jaminan terhadap kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Sebelum terbitnya peraturan pelaksana dari UU Pemda terbaru maka tata cara pelaksanaan kerjasama daerah secara penjabarannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah. Kerjasama daerah dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama, antara gubernur dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/walikota atau antara bupati/walikota dengan bupati/walikota yang lain, dan atau gubernur, bupati/walikota dengan pihak ketiga, seperti perjanjian kerjasama daerah dengan perusahaan swasta yang berbadan hukum, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau dengan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). 2
Ibid
Konsep hukum kerjasama daerah menjadi penting, mengingat dalam rumusan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tersebut menyebutkan kerjasama daerah dituangkan dalam bentuk perjanjian yang dikenal dalam ranah hukum privat atau hukum kontrak, padahal kerjasama daerah di pihak lain dilakukan oleh pejabat publik yang terikat dengan berbagai prosedur dan kewenangan yang dimiliki sesuai ketentuan hukum administrasi. Adanya perpaduan kedua ranah hukum tersebut menimbulkan pertanyaan bagaimana karakteristik hukum kerjasama daerah, sehingga dalam tulisan ini akan fokus membahas mengenai karakteristik hukum kerjasama daerah. Konsep Hukum Kerjasama Daerah Kerjasama adalah istilah yang bersumber dari istilah dalam bahasa Inggris cooperation. Menurut Rosen, cooperation adalah kerjasama yaitu upaya yang dilakukan untuk mendapatkan atau sumber efisisensi dan kualitas pelayanan.3 Sedangkan istilah intergovernmental cooperation, diartikan sebagai suatu bentuk pengaturan kerjasama yang dilakukan antarpemerintahan dalam bidang-bidang yang disepakati untuk mencapai nilai efisiensi dan kualitas pelayanan yang lebih baik. Kerjasama antarpemerintahan dimaksud dilakukan baik secara vertikal atau secara horisontal, tanpa melibatkan pihak swasta. Kerjasama antar pemerintahan secara umum memang tidak melibatkan pihak swasta, tetapi apabila para pihak menghendaki dapat saja dilakukan jika 3
Rosen, E.D. 1993. Improving Public Sector Productivity: Concept and Practice. London: Sage Publications, International Educational and Professional Publisher dalam Sutarman Yudo, Aspek Hukum Ekonomi Dalam Kerjasama Daerah, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013, hlm. 9.
15
keterlibatan pihak swasta untuk memberikan nilai efisiensi dan kualitas pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat pada masingmasing daerah. Kerjasama antarpemerintahan secara vertikal dimaksudkan adalah kerjasama antara daerah kabupaten/kota dengan daerah provinsi, sementara kerjasama antarpemerintahan secara horisontal adalah kerjasama antardaerah dalam tingkat pemerintahan yang sama, dalam hal ini antardaerah kabupaten/kota atau antardaerah provinsi. Menurut Tatiek Sri Djatmiati,4 kerjasama antarpemerintahan maupun swasta terbagi sebagai berikut: 1. Kerjasama antarpemerintahan, yang meliputi: a. Kerjasama antarpemerintahan dalam tingkat pemerintahan yang sama atau bersifat horisontal, dan b. Kerjasama antarpemerintahan dalam tingkat pemerintahan yang tidak sama atau bersifat vertikal. 2. Kerjasama antara pemerintah dan swasta. Penggunaan istilah “intergovernmental” menurut Sutarman Yudo, adalah istilah yang masih perlu ditelaah karena secara etimologis posisi pemerintah kurang tepat dipersamakan dengan daerah di dalam suatu perjanjian (kontrak) kerjasama, sekalipun peran daerah dijalankan oleh pemerintah.5 Dalam berbagai literatur yang membahas kontrak pemerintah, istilah pemerintah sering tidak didefinisikan kecuali menjelaskan wewenang pemerintah. Dalam peraturan perundang-undangan tentang Tatiek Sri Djatmiati, “Kerjasama Antardaerah dalam Bidang Perizinan”, Majalah Ilmu Hukum YURIDIKA, Volume 20, No. 4, Juli 2005, Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga, hlm. 256. 5 Sutarman Yudo, Aspek Hukum Ekonomi Dalam Kerjasama Daerah, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013, hlm. 10. 4
kontrak pemerintah di berbagai negara, tidak merumuskan secara eksplisit pengertian pemerintah. Di Singapura, dalam Artikel 2 (1) Goverment Contract Act 1967 menentukan bahwa seluruh kontrak yang dibuat di Singapura untuk kepentingan pemerintah harus dibuat atas nama pemerintah dan ditandatangani oleh menteri atau pejabat publik yang memperoleh mandat tertulis dari menteri keuangan. Ketentuan tersebut sama dengan yang ditemukan di Malaysia, yaitu dalam Artikel 2 Goverment Contracts Act 1949 merumuskan :6 “All contracts made in Malaysia on behalf of the government shall, if reduced to writing, be made in the name of government of Malaysia of may be signed by a minister or by any public officer duly authorized in writing by a Minister either specially in any particular case, or generally for or contracts below a certain value in his department or otherwise as may be specified in the authorization.” Pada saat Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah masih berlaku dan Pasal 1 angka (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah menentukan bahwa pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah (bersama DPRD), dan pemerintah daerah dimaksud adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dalam hubungan ini. mempersamakan pemerintah dan daerah di dalam perjanjian kerjasama, adalah kurang tepat. Selain istilah 6
Ibid
16
pemerintah bersifat jamak, istilah pemerintah dalam kerjasama memberi kesan posisi sebagai penguasa dalam ranah hukum publik, padahal kerjasama daerah adalah suatu perjanjian yang dilakukan oleh daerah otonom sebagai badan hukum publik.7 Kerjasama daerah menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 dan angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah, dan Pasal 1 angka 3, angka 4 dan angka 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerjasama Daerah, dirumuskan sebagai “kesepakatan” antara gubernur dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/wali kota atau antara bupati/wali kota dengan bupati/wali kota yang lain, dan atau gubernur, bupati/wali kota dengan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban. Pihak ketiga dimaksud adalah Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen atau sebutan lain, perusahaan swasta yang berbadan hukum, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Yayasan, dan lembaga di dalam negeri lainnya yang berbadan hukum. Dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 juga ditentukan bahwa kerjasama daerah dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama. Penggunaan istilah “kesepakatan” yang menimbulkan hak dan kewajiban” dalam rumusan pengertian kerjasama daerah yang dikemukakan, sesungguhnya kurang tepat. Menurut Sutarman Yudo, kurang tepatnya karena suatu kesepakatan antara pihak, belum sampai pada kualifikasi figur hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak sebagaimana halnya dengan
7
Ibid, hlm. 11.
perjanjian.8 Dalam ketentuan Pasal 1320 BW dapat diketahui bahwa suatu perjanjian dinilai sah apabila memenuhi syarat, sebagai berikut: 1. Kesepakatan. 2. Kecakapan. 3. Suatu hal tertentu. 4. Sebab (causa) yang halal. Melalui ketentuan pasal tersebut istilah kesepakatan hanya sebagai salah satu elemen dari suatu perjanjian. Atas dasar itu, penggunaan istilah kesepakatan belum mencapai pada tingkat sebagai rechtsfiguur dalam arti lembaga atau pranata hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban. Untuk sampai tingkat rechtsfiguur yang disebut perjanjian masih harus dipenuhi tiga elemen lain sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW. Lebih dari itu, dalam teori perundangundangan rumusan kerjasama daerah dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 sebagaimana diuraikan adalah tidak sinkron dengan norma Pasal 5 dalam peraturan yang sama bahwa kerjasama daerah dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama.9 Dalam ilmu hukum yang dianut selama ini syarat kesepakatan dan kecakapan dalam Pasal 1320 BW merupakan syarat subyektif, yang apabila dilanggar maka salah satu pihak yang merasa dirugikan dalam perjanjian tersebut mempunyai hak untuk meminta pembatalan perjanjian, sementara syarat objek yang jelas (suatu hal tertentu) dan causa yang halal disebut sebagai syarat objektif. Konsekuensi atas pelanggaran syarat objektif mengakibatkan perjanjian menjadi batal demi hukum. Prinsip ini tidak 8
Sutarman Yodo, Figur Hukum Kerjasama Pelayanan Izin Antardaerah, Palu: Lembaga Pengkajian Pembaharuan Hukum dan Kebijakan Publik (LP2HKP), 2007, hlm. 75. 9 Ibid
17
berlaku sepenuhnya dalam perjanjian kerjasama daerah. Syarat kecakapan yang dalam hukum perjanjian selalu dihubungkan dengan umur seseorang, maka ketika perjanjian tersebut melibatkan badan hukum maka batas umur yang menentukan kecakapan para pihak menjadi tidak relevan. Untuk badan hukum yang terlibat di dalam suatu perjanjian lebih tepat menggunakan istilah kewenangan, mengingat yang dipersoalkan mewakili badan hukum dalam suatu perjanjian adalah orang yang berhak atau berwenang mewakili badan hukum sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.10 Pengertian kerjasama daerah sebagaimana dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2009 adalah penjabaran rumusan kerjasama daerah yang diatur dalam Pasal 195 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal ini sama juga dengan Pasal 196 atau secara umum Undang-Undang UU No. 32 Tahun 2004, tidak merumuskan secara konkret pengertian kerjasama daerah. Hal ini dapat dimaklumi mengingat nomenclature undang-undang ini adalah Pemerintahan Daerah dimana kerjasama daerah hanya salah satu cara penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Dua pasal yang disebutkan (Pasal 195 dan Pasal 196) berisikan pokok-pokok penyelenggaraan kerjasama daerah. Dua pasal lainnya dalam undang-undang ini yaitu Pasal 197 berisi delegated legislation kepada Pemerintah Daerah, dan Pasal 198 mengatur penyelesaian perselisihan. Pasal 195 Undang-Undang UU No. 32 Tahun 2004 menentukan: 10
Sutarman Yudo, Aspek Hukum Ekonomi Dalam Kerjasama Daerah, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013, hlm. 12.
(1) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan; (2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama; (3) Dalam penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerjasama dengan pihak ketiga; (4) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) yang membebani masyarakat dan daerah harus mendapatkan persetujuan DPRD. Ketentuan Pasal 195 dihubungkan dengan rumusan pengertian kerjasama daerah menurut Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2009 yang diuraikan sebelumnya, kiranya pengertian kerjasama daerah adalah suatu perjanjian (kerjasama) yang dapat dilakukan oleh suatu daerah dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan atas pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan. Dalam pengertian tersebut, dapat dijelaskan elemen-elemnya sebagai berikut:11 a. kerjasama daerah sebagai suatu perjanjian, dengan sendirinya mengatur hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak; b. kerjasama daerah terbagi atas dua bentuk yaitu kerjasama antardaerah 11
Ibid, hlm. 15
18
c.
d.
e.
f.
dan kerjasama daerah dengan pihak ketiga; daerah yang dimaksud adalah daerah otonom yang dapat berupa daerah Propinsi, Kabupaten dan/atau Kota, yang dalam perjanjian kerjasama tersebut masing-masing daerah diwakili oleh kepala daerahnya (Gubernur, Bupati, atau Walikota); pihak ketiga dimaksud dapat berupa Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen atau sebutan lain, perusahaan swasta yang berbadan hukum, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Yayasan, dan lembaga di dalam negeri lainnya yang berbadan hukum; kerjasama dilakukan atas dasar prinsip Freies Ermessen atau discretionary power yang dimiliki kepala daerah untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah: dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan; serta kerjasama daerah berada dalam ranah hukum privat (hukum perjanjian/kontrak) dan hukum publik (hukum administrasi, termasuk hukum tata negara).
Karakteristik Hukum Kerjasama Daerah Elemen-elemen dalam pengertian kerjasama daerah yang diuraikan sebelumnya merupakan karakteristik hukum kerjasama daerah. Menurut Sutarman Yudo, sekaligus memperkokoh eksistensinya sebagai hukum ekonomi, yaitu hukum yang mengintegrasikan aspek hukum publik (hukum administrasi) dan aspek hukum privat (hukum kontrak), di dalam berbagai
upaya mensejahterakan masyarakat yang dilakukan pemerintah melalui pembangunan kehidupan ekonomi.12 Konsep hukum ekonomi, menurut para ahli seperti Sunaryati Hartono membagi hukum ekonomi dalam dua bidang kajian yaitu hukum ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi sosial. Hukum ekonomi pembangunan yang dimaksud, menyangkut pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi Indonesia secara nasional. Adapun yang dimaksudkan hukum ekonomi sosial, menyangkut pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara pembagian hasil pembangunan ekonomi nasional secara adil dan merata sesuai dengan martabat kemanusiaan (hak asasi manusia) manusia Indonesia.13 Konsep hukum ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi sosial dimaksud, secara mudah ditemukan dalam perjanjian kerjasama daerah yang meliputi kerjasama antardaerah dan kerjasama daerah dengan pihak ketiga, teristimewa dalam kerjasama daerah dengan badan hukum, mengingat kedua bentuk kerjasama daerah tersebut, sasarannya selain tertuju pada pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi masyarakat, juga tertuju pada penyediaan pelayanan publik melalui pola public private partnership (PPP) yang hasil akhirnya dinikmati oleh masyarakat umum.14 Selain itu menurut Sri Redjeki Hartono yang menyatakan bahwa hukum ekonomi adalah hukum yg terbentuk dari asas-asas 12
Ibid, hlm. 16. Sunaryati Hartono, 1982, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1982, hlm. 15. 14 Sutarman Yudo, Aspek Hukum Ekonomi Dalam Kerjasama Daerah, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013, hlm. 17. 13
19
hukum privat dan asas-asas hukum publik, yakni hukum yang mengatur usaha-usaha pembangunan kehidupan ekonomi masyarakat dan pembagian hasil 15 pembangunan ekonomi. Secara substansi konsep hukum ekonomi ini sama dengan konsep hukum ekonomi dari Sunaryati Hartono. Hal yang membedakan tentang penegasan sumber hukum ekonomi dari asas-asas hukum privat dan asas-asas hukum publik. Sumber hukum ekonomi dimaksud juga terungkap dari konsep hukum ekonomi yang dikemukakan oleh Rochmat Soemitro yang menurutnya hukum ekonomi adalah sebagian dari keseluruhan norma yang dibuat oleh pemerintah atau penguasa sebagai suatu personifikasi dari masyarakat yg mengatur kehidupan kepentingan ekonomi masyarakat yang saling berhadapan. Dalam penjelasannya menyatakan bahwa letak hukum ekonomi sebagian pada hukum perdata dan sebagian pada bidang hukum publik.16 Sekalipun Rochmat Soemitro tidak membagi konsep hukum ekonomi ke dalam hukum ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi sosial sebagaimana Sunaryati Hartono dan Sri Redjeki Hartono yang diuraikan sebelumnya, akan tetapi bagi Rochmat Soemitro bahwa sumber hukum ekonomi tersebut terbentuk dari aspek hukum privat dan hukum publik sebagaimana pendapat Sri Redjeki Hartono. Terkait sumber hukum ekonomi sebagaimana dimaksud, dalam telaah pengertian kerjasama daerah yang diuraikan menurut Sutarman Yudo bahwa “rohnya” kerjasama daerah adalah kesepakatan (aspek hukum privat/hukum kontrak), demikian 15
.Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Bandung: Mandar Maju, 2000 hlm. 9. 16 Rochmat Soemitro, dalam Sutarman Yudo, Aspek Hukum Ekonomi Dalam Kerjasama Daerah, Yogyakarta, Genta Publishing, 2013, hlm. 17.
dalam peraturan perundang-undangan menegaskan bahwa kerjasama daerah dituangkan dalam bentuk perjanjian (kontrak), meskipun materi yang diperjanjikan adalah kebijakan (kebijaksanaan) publik yang melahirkan apa yang disebut bleidsovereenkomst atas dasar prinsip Freies Ermessen atau discretionary power yang dimiliki Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, atau Walikota) dalam rangka penyelenggaraan urusan 17 pemerintahan daerah. Atas dasar hal ini adanya hubungan kerjasama antardaerah atau daerah dengan pihak ketiga tunduk pada prinsip/asas-asas hukum kontrak (hukum privat), sekalipun demikian karena materi yang diperjanjikan adalah kebijakan (kebijaksanaan) publik menurut prinsip Freies Ermessen atau discretionary power dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, sehingga aspek hukum publik terutama prosedur, wewenang, dan substansi yang menjadi syarat sahnya suatu tindak pemerintahan menurut hukum administrasi juga berlaku dalam pembuatan perjanjian kerjasama daerah. Syarat sahnya suatu tindak pemerintahan mempengaruhi syarat subjektif (kewenangan bukan kecakapan) dan syarat objektif (causa yang halal) dalam pembentukan perjanjian kerjasama daerah menurut hukum privat (hukum kontrak). 18 Tentang kedudukan pemerintah sebagai suatu personifikasi dari masyarakat Rochmat Soemitro memberikan makna bahwa pemerintah dalam tindakannya membawa kepentingan publik dan bukan kepentingan individu-individu yang saling berhadapan. Demikian pernyataan tersebut adalah konsep hukum administrasi. Dalam hukum kerjasama daerah mengatur, dalam rangka 17 18
Ibid, hlm. 18. Ibid.
20
meningkatkan kesejahteraan rakyat (masyarakat) daerah dapat melakukan kerjasama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga atas pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik (Pasal 195 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Norma tersebut adalah juga konsep hukum administarsi, artinya pemerintah melakukan kerjasama daerah adalah personifikasi kepentingan masyarakat, sekalipun upaya mewujudkan hal tersebut dalam perundangundangan di Indonesia tidak bisa menghindarkan diri kecuali harus melalui sarana hukum hukum kontrak (hukum privat) mengingat rohnya kerjasama daerah ada dalam kesepakatan menurut asas konsensualisme.19 Hukum ekonomi sangat berbeda dengan hukum bisnis yang orientasinya lebih tertuju pada hubungan hukum privat (individu dan atau badan hukum), sedangkan hukum ekonomi orientasinya lebih ditujukan pada kepentingan pembangunan ekonomi masyarakat secara umum (public) yang pelakunya melibatkan pihak pemerintah melalui berbagai peraturan perundangundangan di bidang hukum publik (hukum administrasi) dan bidang hukum privat (hukum perjanjian). Kesimpulan Karakteristik hukum kerjasama daerah yaitu sebagai suatu perjanjian, dengan sendirinya mengatur hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak, kerjasama daerah terbagi atas dua bentuk yaitu kerjasama antardaerah dan kerjasama daerah dengan pihak ketiga, daerah otonom yang dapat berupa daerah Propinsi, Kabupaten dan/atau Kota, yang dalam perjanjian kerjasama tersebut masing-masing daerah diwakili oleh 19
Ibid, hlm. 19
kepala daerahnya (Gubernur, Bupati, atau Walikota), pihak ketiga berupa Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen atau sebutan lain, perusahaan swasta yang berbadan hukum, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Yayasan, dan lembaga di dalam negeri lainnya yang berbadan hukum, kerjasama dilakukan atas dasar prinsip Freies Ermessen atau discretionary power yang dimiliki kepala daerah untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan, serta kerjasama daerah berada dalam ranah hukum privat (hukum perjanjian/kontrak) dan hukum publik (hukum administrasi, termasuk hukum tata negara). Dari semua karakteristik hukum kerjasama daerah benang merah yang didapat adalah hukum kerjasama daerah merupakan bagian dari hukum ekonomi, yaitu hukum yang mengintegrasikan aspek hukum publik (hukum administrasi) dan aspek hukum privat (hukum kontrak), di dalam berbagai upaya mensejahterakan masyarakat yang dilakukan pemerintah melalui pembangunan kehidupan ekonomi. Dengan lahirnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah diharapkan terjadi perbaikan-perbaikan dengan membawa spirit mensejahterakan masyarakat yang dilakukan pemerintah melalui pembangunan kehidupan ekonomi. Selain itu dari norma tersebut melahirkan iklim investasi yang sehat bagi daerah yang bersangkutan. DAFTAR PUSTAKA Sutarman Yodo, Figur Hukum Kerjasama Pelayanan Izin Antardaerah, 21
Lembaga Pengkajian Pembaharuan Hukum dan Kebijakan Publik (LP2HKP), Palu, 2007. ----------------------, Aspek Hukum Ekonomi Dalam Kerjasama Daerah, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013. Tatiek Sri Djatmiati, Kerjasama Antardaerah dalam Bidang Perizinan, Majalah Ilmu Hukum YURIDIKA, Volume 20, No. 4, Juli 2005, Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2005 Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1982. Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Bandung: Mandar Maju, 2000. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2009 tentang Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah
22