TRANSIENT VOLCANIC ERUPTION 1. PENDAHULUAN Sifat gelembung gas yang terbentuk di magma yang naik berbeda-beda, tergantung pada kecepatan naiknya magma. Pada kecepatan tinggi, gelembung gas terperangkap di dalam magma, serta fragmentasi magma stabil, sehingga menghasilkan erupsi dengan model tertahan (sustained) seperti yang dijelaskan di bab 6. Namun apabila magma naik secara lambat bahkan stasioner, gelembung gas dapat naik melalui magma dengan viskositas rendah, sehingga menghasilkan erupsi magma yang eksplosif dan transien. Letusan transient dapat juga terjadi ketika ada kontak antara magma dengan air permukaan atau air bawah permukaan (disebut juga air meteoric, karena dihasilkan oleh air hujan dari atmosfer). Kejadian ini biasa disebut dengan erupsi hidromagmatik, walaupun istilah phreatomagmatic biasa digunakan ketika air yang terlibat adalah air tanah. Pada bab ini akan dijelaskan tentang model dari erupsi transien dan beberapa pendapat tentang mekanisme yang menyebabkan erupsi transien ini.
2. LETUSAN MAGMATIK Ada 2 tipe utama dari letusan transien yang dapat dihasilkan dari pemisahan gas magmatic dari magma induknya, yaitu erupsi Strombolian dan Vulcanian. Kedua tipe ini memiliki beberapa kesamaan :
Tiap letusannya berdurasi pendek (detik hingga menit)
Jeda antar letusan individu biasanya pendek (detik hingga jam)
Letusan biasanya terjadi berurutan, walaupun jedanya bisa bervariasi, dari hitungan hari hingga tahun)
Kedua tipe erupsi bersifat mengeluarkan material secara balistik. Material yang dilemparkan dapat berupa blok batu besar hingga bom vulkanik.
Erupsi dibedakan dengan besar event dan komposisi material magmatic yang terlibat. Letusan Strombolian memiliki event lebih kecil yang melibatkan magma basaltic dimana hamper semua material yang dikeluarkan adalah magmatic dan dengan kecepatan rendah (kurang dari 200 m/s) dan material terdeposit dekat dengan vent. Sedangkan erupsi Vulkanian umumnya melibatkan magma intermediet dan berkecepatan tinggi (200-400 m/s). Kedua tipe erupsi tersebut
mempunyai mekanisme dasar yang mirip, kunci
perbedaan antara keduannya adalah tekanan dimana dihasilkan di dalam vent sebelum erupsi. Erupsi vulkanian dicirikan dengan tekanan yang lebih tinggi pada vent dari pada erupsi strombolian. Mekanisme dasar untuk menjelaskan kedua tipe erupsi adalah terjadinya system magmatic terbuka dimana vent atau kolom magma tertutup oleh magma yang relative dingin.
Naiknya kecepatan magma dari bawah dengan system rendah artinya gelembung gas magma naik melalui magma diatasnya dan teakumulasi di bawah sumbat vent. Pada erupsi strombolian biasanya gas yang terakumulasi yang menyebabkan updoming dari ‘kulit’ magma yang telah mendingin di atas kolom magma. ‘Kulit ‘magma yang telah mendingin masih tetap bersifat plastis dan dapat meregang dan berbentuk seperti karet balon yang ditiup. Saat “kulit” gelembung pecah melepaskan gas yang berada di dalamnya dan menegeluarkan gas serta memecahkan “kulit” gelembung ke atas dan keluar. Jika magma yang memebentuk “kulit” mendingin pada suhu yang rendah maka dia akan membentuk sumbat vent yang rapuh yang memiliki ketahanan yang lebih pada “kulit” yang bersifat plastis. Pada kasus ini tekanan yang lebih akan dibutuhkan untuk membangun sumbatan vent tersebut sebelum sumbat vent gagal terbentuk dan erupsi terjadi. Pada erupsi vulkanian sumbat vent terbentuk dari magma yang dingin dan/atau terbentuk dari material dari letusan sebelumnya yang telah jatuh kembali ke dalam vent dan menutupnya. Kecepatan tinggi pada letusan vulkanian menunjukkan bahwa kekuatan sumbat vent vulkanian lebih kuat dari
strombolian jadi
dibutuhkan tekanan yang tinggi untuk menhancurkan sumbatan vent. Fakta bahwa dua tipe erupsi tersebut dicirikan dengan perbedaan komposisi magma menunjukkan bahwa ada hubungan antara kekuatan sumbat vent dan komposisinya. Hubungan tersebut muncul karena viskositas yang lebih tinggi dari evolved magma menunjukkan bahwa gelembung udara muncul lebih lambat melalui evolved magma. Kemunculan yang lambat dan akumulasi dari gelembung gas menunjukkan bahwa lebih banyak pendingginan dari “kulit” atau sumbat vent sebelum terjadi letusan. Pada kasus yang ekstrim pergerakan gelembung gas pada magma dengan viskositas tinggi sangat lambat, pemisahan dan munculnya gelembung hampir tidak terlihat. Fakta ini menunjukkan kepada pendapat bahwa air meteorik terlibat dalam banyak kejadian erupsi vulkanian. Pendinginan magma oleh kontak dengan air dari luar menghentikannnya naik ke atas dan dalam waktu yang bersamaan air yang mendinginkannya mendidih menjadi uap dan terperangkap lalu menyediakan banyak gas memicu terjadinya letusan. Pada peristiwa magmatic yang murni, pergerkan gas keatas dan kelaur dan material magmatic yang terfragmentasi didorong oleh ekspansi dari gas magmatikv diaman terjadi ketika sumbat vent hancur, memaksa gas yang terperangkap ke lingkungan denga tekanan yang lebih rendah dari atmosfir di sekelilingnya.
2.1. Pemodelan Letusan Magma Transient Tekanan Lubang Relatif Terhadap Kecepatan Erupsi Pada SubBab 6.3 mengatakan bahwa pada saat fase erupsi yang tenang(steady) terjadi ekspansi gas sehingga menambah energi untuk mempercepat dan mengeluarkan(erupt) campuran magma dan gas. Energi yang digunakan untuk erupsi itu dapat didefinisikan
sebagai pers. energi (pse 6.4). Pers. energi sepeti itu membentuk dasar untuk semua cara terhadap dinamika dari letusan transient. Selama letusan transient gas dengan massa tertentu terjebak pada tekanan awal tertentu, Pi, dibelakang sumbat lubang. Tekanan ini lebih besar dibanding tekanan atmosfer, Pa, jadi saat sumbat hancur, gas akan keluar dengan tujuan untuk mengurangi tekanannya terhadap atmosfer. Sejumlah energi akan terbebas, dan jumlah yang nyata merupakan fungsi dari gas dengan massa awal dan tekanan awal. Energi yang terbebaskan terbagi saat letusan dengan mengeluarkan/ekspansi gas, sumbat material dipaksa keluar, dan massa atmosfer bergeser karena diganti oleh proses ekspansi gas.
Ada 2 cara yang ekstrim untuk gas dapat berekspansi: adiabatik atau isotermal. Saat ekspansi, temperatur gas akan turun kecuali panas diberikan. Jika tidak ada panas yang masuk, maka ekspansi yang terjadi disebut adiabatik. Jika sejumlah panas yang banyak tak hingga dapat masuk ke gas dan tidak ada temperatur yang berubah maka ekspansinya disebut isothermal. Pada fase tenang yang dijelaskan di bab 6 sebelumnya diasumsikan bahwa ekspansi yang muncul adalah isothermal. Asumsi ini benar pada kasus saat fase tenang karena gas hanya berperan kecil dari total massa yang terupsi, dan semakin besar massa magma yang membentuk reservoar panas yang dapat menjaga temperatur gas hampir konstan selama kontak antara gas dan magma cukup bagus. Pada kasus letusan transient, kontak antara gas dan magma tidak terlalu bagus-skala waktu pendek dari letusan berarti tidak banyak panas yang dapat menjalar dari dalam piroklas ke permukaan untuk mencapai gas. Dan juga, gas yang telah terakumulasi dibawah jebakan penutup, rasio massa gas magma dalam campuran yang dikeluarkan lebih besar. Secara bersamaan, faktor ini berarti bahwa tidak seperti magma dapat menahan temperatur gas setiap saat. Malah ekspansi lebih seperti mendekati adiabatik. Pada kasus ini per. Energi dapat dituliskan sebagai berikut
n = fraksi massa gas Q = konstanta gas universal m = berat molekul dari gas Ti = suhu awal dari gas dan magma γ = rasio panas dari gas Pi = tekanan awal gas
Pf = tekanan akhir(sama dengan tekanan atmosfer,Pa) ρm = densitas material magma Ui = keceapatan awal gas(biasanya nol karen kelajuan magma sangatlah kecil) Uf = kecepatan akhir dari gas pada akhir ekpansi g = percepatan gravitasi h = jarak vertikal meterial magma selama ekspansi Seperti Pers. 6.4, bagian kiri dari persamaan menunjukkan energi yang keluar oleh ekspansi gas(dalam hal ini adiabtik) sedangkan bagian kanan menunjukkan 3 cara pembebasan energi yang digunakan dalam erupsi. Yang pertama menunjukkan perubahan energi kinetik sistem,dengan kata lain energi yang digunakan untuk mempercepat gas dan magma dalam letusan. Bagian kedua menunjukkan energi yang digunakan untuk mengangkat material magmatik terhadap medan gravitasi saat sedang dipercepat. Yang terakhir berfokus pada gesekan antara gas dan material magmatik dan udara yang melewatinya seperti air drag(gesekan udara). Gesekan udara merupakan masalah yang kritis dalam pemodelan erupsi ini. Saat letusan muncul gas dan material magmatik bergerak ke atas dan keluar dari titik letusan.Untuk melakukan itu mereka harus mendorong udara sekitar keluar dan tahanan dari udara yang didorong disebut gesekan udara/air drag. Model awal letusan transient diasumsikan bahwa udara di depan ekspansi gas dan magma adalah tetap, oleh karena itu sejumlah energi yang besar dari letusan akan digunakan untuk melampaui gesekan udara yang melawan setiap kepingan dari material padat. Meskipun begitu, observasi pada letusan transient menunjukkan bahwa mereka biasanya mengirimkan gelombang kejut keluar dari titik letusan sedikit didepan dari ekspansi awan dari gas dan padat. Gelombang kejut ini mendorong udara sekitar keluar pada tahap awal letusan, daripada berpikir tentang gaya gesek beraksi pada tiap-tiap fragmen yang solid, lebih baik kita mengevaluasi energi untuk menggeser atmosfer seluruhnya. Saat semua faktor ini diperhitungkan, hasilnya dapat dirangkum seperti gambar 7.1, yang menunjukkan kecepatan maksimum dari material padat yang dikeluarkan sebagai fungsi tekanan dimana membuat gas terjebak sebelum letusan dan fraksi berat dimana gas menunjukkan semua material yang dikeluarkan. Dengan mengingat bahwa tipe magma basalt yang mengandung hancuran volatile di dalam letusan Strombolian kurang dari 1 wt% dan kandungan volatile pada magma yang lebih berkembang di letusan Vulkanik mencapai beberapa berat(weight) persen. Kurva dalam gambar 7.1 diberikan untuk kandungan volatile yang lebih besar karena adanya perkiraan akumulasi gas sebelum letusan. Rentang tekanan yang digunakan dalam perhitungan dibatasi pada 10 Mpa karena tidak ada batuan yang sangat kuat untuk menahan tekanan yang besar ini mengumpul sebelum mereka hancur.
Gambar 7.1 menunjukkan perkiraan hubungan yang mendasari antara kekuatan sumbat(skin/plug) dan kecepatan erupsi: seperti kecepatan yang paling tinggi akan berhubungan dengan kekuatan yang paling besar. Observasi pada erupsi Strombolian pada Heimaey dan Stromboli memberikan kecepatan clast kira-kira 150 m/s khusus untuk Heimaey(dengan nilai maksimum 230 m/s) dan 50-100 m/s khusus untuk Stromboli. Perkiraan persentase berat gas dalam erupsi telah dilakukan untuk kedua kasus: kandungan minimum gas di kedua kasus mendekati 11 wt% dan rentangnya berkisar di nilai 36 – 38 wt%. Kombinasi kecepatan pengeluaran dan kandungan gas menyatakan bahwa kekuatan sumbat sebelum retak adalah < 0,3 Mpa. Kekuatan dari sumbat yang kecil itu sejalan dengan ide bahwa sumbatnya masih plastis dan mudah terdeformasi sebelum letusan. Saat sumbat masih palstis faktor yang membatsi sifat deformasi dan titik hancurnya adalah hasil kekuatan(yield strength) dari magma. Observasi pada lava flow dan pada pendinginan lava di danau lava menunjukkan bahwa kekuatannya meningkat bersamaan dengan mendinginnnya magma,dengan kekuatan maksimum yang terekam untuk lava basalt sekitar 0,23 Mpa. Oleh karena itu, kekuatan yang diperkirakan pada gambar 7.1 tetap konsisten dengan ide bahwa hasil kekuatan terbentuk saat pendinginan tapi sumbat lava tetap plasis yang dikontrol oleh tekanan yang terbentuk sebelum erupsi dan juga kecepatan pengeluaran dari clasts. Pada kasus letusan Vulkanik, hasil observasi menunjukkan bahwa khusus untuk rentang kecepatan pengeluaran berkisar antara 200-400 m/s. Persentase berat gas dalam letusan ini tidak diketahui, tapi dengan mengasumsikan adanya beberapa pemisahan dalam gas, hal itu harus melebihi kandungan gas magma mula-mula yang berjumlah beberapa persen. Batasan ini menunjukkan, sebagaimana perkiraan bahwa kekuatan sumbat di erupsi ini lebih besar daripada erupsi Strombolian, tetapi rentang kekuatannya lebih lebar, antara
0,3 Mpa sampai nilai maksimum yang digunkan dalam perhitungan yaitu 10 Mpa. Pada kasus letusan Vulkanik kekuatan magma yang mengeras yang diperkirakan dikontrol oleh faktor tekanan yang terbentuk sebelum letusan. Daya rentang dari magma yang mengeras sangat bervariasi berdasarkan bagaimana retakan dalam batuan. Nilai 10 MPa yang digunakan sebagai batas atas dalam perhitungan ini menunjukkan kekuatan batuan beku asli yang tak retak. Dalam praktiknya sumbat lubang mempunyai retakan atau mengandung komponen material yang masuk lagi ke dalam lubang. Pada kasus lain daya rentang secara signifikan kurang dari 10 MPa. Rentang kekuatan yang diestimasikan dari gambar 7.1 masih sejalan dengan kekuatan material sumbat lubang. Memprediksikan jarak dari balistic clast Hingga saat ini telah digunakan model teoritis dalam menentukan hubungan antara tekanan vent dan kecepatan material yang dikeluarkan dalam erupsi transient. Material letusan besar yang terlontar pada letusan transient dapat menyebabkan bencana, sebagai contoh pada letusan vulcanian lontaran bongkah akibat letusan dapat mencapai 5 km dari vent , sehingga cukup penting untuk memperluas model dalam memprediksikan jarak dari material letusan yang terjadi pada letusan transient. Untuk dapat memprediksikannya , maka kita perlu untuk mengerti apa yang terjadi selama terjadi letusan.
Selama fase awal dari letusan , gas mengembang dan gas serta material klastik material letusan bergerak keatas keluar dari sumber letusan sebagai massa tunggal. Menuju ke akhir proses pengembangan gas, batas antara atmosfer dan material letusan hilang, gas yang berasal dari letusan bercampur dengan udara dan melambat dengan cepat, dan partikelpartikel padat terkecil yang mengalami dorongan dari gas juga melambat. Partikel –partikel ini melepas panas di udara dan memanaskannya, sehingga tercipta konveksi kolom erupsi--ini akan didiskusikan di section selanjutnya. Sementara itu material letusan yang besar (bongkah) bergerak dengan kecepatan tinggi. Bongkah-bongkahan ini mengalami dorongan oleh udara ,sehingga perlu dilakukan perhitungan untuk menentukan sejauh mana bongkah-bongkahan ini dapat terlontar. Kita membuat analisis dengan sedikit lebih mudah dengan mengimajinasikan bahwa bongkahan tersebut berbentuk bola,. Gaya dorong 𝑓𝑑 , berlaku pada bola dengan radius (R) bergerak dengan kecepatan tinggi (U) melalui gas dengan densitas (𝜌𝑎 ) adalah 𝑓𝑑 = 0.5 𝜌𝑎 𝐶𝑑 𝜋 𝑅2 𝑈2
...(7.2)
Dimana 𝐶𝑑 adalah koefisien dorong yang nilainya berkisar antara 0.5 hingga 1.3 untuk bongkahan besar (blok) tergantung dari bentuk dan kekerasannya dan juga dari rotasinya apakah bongkah tersebut berputar atau tidak- angka rata-rata 0.7 dipakai disini. Gaya kedua yang terjadi pada bongkah adalah gaya gravitasi , dimana gaya gravitasi menariknya kembali ke permukaan bumi. Gaya gravitasi 𝑓𝑔 yang terjadi pada bongkahbongkahan yang memiliki densitas 𝜌𝑏 dan radius R ditunjukkan oleh persamaan :
𝑓𝑔 =
4 3
𝜋 𝑅 3 𝜌𝑏 𝑔
...(7.3)
Dimana : g = percepatan gravitasi (umumnya 9,8 𝑚𝑠−2 ) Persamaan diatas merupakan hukum newton ketiga, bahwa percepatan merupakan hasil dari gaya yang berlaku dibagi oleh massa, dari persamaan diatas gaya yang berlaku adalah gaya gravitasi (g), dan massa dari bongkah adalah
4 3
𝜋 𝑅 3 𝜌𝑏 .
Berdasarkan persamaan (7.2) percepatan akibat dorongan udara /air drag acceleration (A) ditunjukkan oleh :
𝐴 = (0.5 𝜌𝑎 𝐶𝑑 𝜋 𝑅2 𝑈2 )/(
4 3
𝜋 𝑅3 𝜌𝑏 ) ... (7.4a)
Yang disederhanakan menjadi : 𝐴 = (3 𝜌𝑎 𝐶𝑑 𝑈2 )/( 8 𝑅 𝜌𝑏 ) ... (7.4b) Gaya dorong 𝑓𝑑 selalu berlaku tepat pada arah sebaliknya bongkahan bergerak, tapi gaya gravitasi 𝑓𝑔 selalu berlaku ke arah bawah menuju pusat bumi, hal inilah yang membuat perhitungan arah dari lontaran bongkah menjadi cukup rumit. Sebagai contoh, anggap ada 2 bongkah dengan jari-jari 1 meter dan 0.1 meter, keduanya memiliki densitas 𝜌𝑏 =
2000 𝑘𝑔 𝑚−3 bergerak keatas dengan kecepatan 100𝑚𝑠−1 relatif terhadap udara. Densitas udara didekat permukaan bumi adalah sekitar 1 𝑘𝑔 𝑚−3 maka berdasarkan persamaan (7.4b) diperoleh percepatan (sebenarnya adalah perlambatan, karena bongkahan bergerak melambat) diperoleh sebesar 1.3 𝑚𝑠−2 untuk bongkahan yang besar (jari-jari 1 meter) dan 13 𝑚𝑠−2 untuk bongkahan berukuran kecil (jari-jari 0.1 meter). Nilai tersebut dibandingkan dengan nilai percepatan gravitasi , yang dialami oleh kedua bongkahan tersebut pada waktu yang sama. Bongkahan yang besar mengalami 13 % perbedaan dari keadaan dimana tidak ada atmosfer disekitarnya, sedangkan bongkahan yang kecil mengalami 130 % perbedaan, tentu saja untuk bongkah yang terlontar vertikal, gaya dorong yang dialaminya akan berubah ukuran dan arahnya , sebagaimana kecepatan bongkah juga berubah baik pada komponen vertikal dan horizontal, tapi perhitungan sederhana ini memberi pengertian mudah mengapa bongkahan yang berukuran beberapa meter dapat bergerak dengan lintasan yang mendekati lintasan ballistic, hal yang sama juga terjadi jika tidak terdapat atmosfer disekitar bongkah, sementara itu bongkah dengan ukuran dibawah satu meter terlontar pada jarak yang lebih dekat. Pengertian diatas
dapat digunakan untuk membuat simulasi
erupsi
dan
memprediksikan jarak maksimum bongkahan dengan berbagai ukuran terlontar. Untuk bongkahan yang telah diketahui ukurannya,
kecepatan awal, dan sudut
terlontarnya diukur dari horisontal, persamaan (7.4b) digunakan untuk menentukan percepatan total akibat adanya gaya dorong. Total gaya dorong ini akan dipisahkan menjadi 2 komponen yaitu komponen vertikal dan komponen horizontal, dan percepatan terhadap gravitasi ditambahkan kepada komponen vertikal. Selanjutnya , percepatan horizontal dan vertikal digunakan untuk menentukan perubahan kecepatan vertikal & horizontal pada interval waktu yang kecil. Dan kecepatan rata-rata dikalikan oleh interval waktu dapat menentukan jarak vertikal dan horizontal yang ditempuh. Maka kita memiliki posisi bongkah , kecepataan dan arah, dan kemudian dapat mengulangi perhitungan pada interval waktu yang kecil yang lainnya. Cara ini dilakukan berkali-kali hingga diperoleh bongkah mencapai permukaan bumi. Berikut ini adalah letusan transient yang terdokumentasi dengan baik dan menunjukkan seperti apa erupsi yang terjadi yang menyebabkan bongkah dapat terlontar sejauh posisi terakhirnya (tabel 7.1)
Tabel 7.1 parameter-parameter pada transient explosive eruptions ( S:Strombolian: V: Vulcanian). D, menunjukkan diameter dari volcanic bomb terbesar yang terukur; R, menunjukkan jarak maksimum dimana bomb terlempar; Up kecepatan maksimum dari lontaran di akhir pengembangan gas (gas expansion); Pi menunjukkan tekanan pada gas di awal letusan; n, menunjukkan persentase berat dari produk letusan yang mengandung gas; KE; menunjukkan perbandingan kinetic energy terhadap total energi letusan; PE, menunjukkan potensial energi; & DE menunjukkan energi yang digunakan untuk menekan atmosfer.
Pada contoh letusan vulkanian (Arenal & Ngauruhoe) tekanan pada vent dan kecepatan lontaran material erupsi dikategorikan tinggi dan masuk kedalam jangkauan nilai pada letusan vulkanian. Pada kedua contoh diatas, gas content menengah (4-6 wt %), namun karena merupakan letusan andesit , kemungkinan terdapat pemisahan gas sebelum terjadi erupsi. Sedangkan pada letusan strombolian (Heimaey & Stromboli) , kecepatan erupsi dan tekanan pada vent lebih rendah. Namun pada kedua contoh letusan Strombolian didapat gas content sekitar 20 wt% menunjukkan adanya konsentrasi gas sebelum terjadi erupsi.
Tinggi Plume pada Erupsi Transient Telah dibahas sebelumnya pada bab 6 bahwa, tinggi plume yang terbentuk pada steady-eruption tergantung pada laju penambahan panas dan flux massa dari erupsi tersebut. Sedangkan pada transient eruption , hal yang berpengaruh terhadap tinggi plume yang dihasilkan adalah total panas yang dihasilkan dan total massa dari material erupsi , hubungan terhadap atmosfer bumi ditunjukkan oleh persamaan sebagai berikut : 1/4
𝐻 = 0.042 𝑀𝑒 dimana :
H = tinggi plume (km) Me = total massa dari material erupsi yang berupa gas & padat (kg)
Namun, terdapat faktor lain yang mempengaruhi tinggi dari plume yang dihasilkan dari erupsi transient yaitu
: jeda waktu antara letusan satu dengan yang lainnya
(interval waktu) Sebagai contoh , pada erupsi Stromboli , terjadi letusan yang muncul pada interval waktu sekitar 10 menit, dimana tersedia waktu yang cukup untuk plume yang tecipta akibat satu letusan berhamburan ke udara (disperse) sebelum muncul satu letusan lainnya. Massa yang keluar dapat mencapai 500 kilogram dan mampu menghasilkan plume dengan ketinggian maksimum sekitar 200 meter. Sebagai perbandingan , erupsi jenis strombolian pada Heimaey pada 1973 terjadi letusan letusan individual yang muncul setiap 0.5-2 detik. Jeda waktu antar letusan yang sedikit ini menyebabkan plume yang terbentuk karena satu letusan, tidak memiliki cukup waktu untuk ter-disperse sebelum terjadi letusan berikutnya, sehingga plume tetap ada dan menghasilkan plume dengan ketinggian 6 hingga 10 km.
Material yang dihasilkan Heimaey berkisar 5 𝑥 105 kg. Material ini keluar setiap detik sehingga laju rata-rata material yang dihasilkan adalah 5 𝑥 105 kg s-1 dan seperti yang telah dibahas pada subbab 6.7, seharusnya menghasilkan plume dengan tinggi 6.3 km.
3. ERUPSI TRANSIENT YANG MELIBATKAN AIR DARI LUAR Beberapa letusan Vulkanian diduga merupakan hasil interaksi antara magma dengan air tanah daripada dari larutan padat dan pemisahan pada volatile magma dan letusan ini termasuk kedalam erupsi hidomagmatik. Interaksi antara magma dan air dari sumber luar sudah biasa, dan menunjukkan adanya ciri erupsi yang bervariasi, seperti letusan Vulkanian. Tipe erupsi ini punya cirri khas transient seperti erupsi magma yang dijelaskan di atas. Variasi yang banyak pada erupsi hidromagmatik menunjukkan tingkat kompleksitas cara magma bercampur dengan air dan perbedaan lingkungan untuk memungkinkan terjadinya interaksi. Letusan Vulkanian yang berisi air diduga merupakan hasil dari interaksi antara magma dan air bawah tanh, tetapi interaksi juga bisa muncul di laut dangkal dan dalam, sebagai contoh saat lava memasuki lautan dan selama erupsi melewati danau atau diatas glacier, dan lain-lain (lihat bab 1).
3.1. Tipe Erupsi Hidromagmatik Tipe interaksi yang mucul pada erupsi hidromagmatik bergantung pada volume relatif air dan magma dan situasi dimana dua material itu bisa bercampur. Saat air melimpah, sebagai contoh pada setting bawah laut, interaksi antara magma dan air mungkin tidak akan jadi eksplosif. Saat lava meletus di bawah laut biasanya membentuk aliran yang diketahui sebagai pillow. Gaya apung dari air menerima berat dari lava dan pillow lebih tebal dan bulat di penampang melintang dibanding aliran subaerial(gb. 7.3). Permukaan pillow yang sedang tumbuh ditutupi oleh lapisan uap setebal 1mm yang mengontrol transfer panas dari lava ke air(gas konduktor panas yang buruk). Di luar lapisan tipis uap, air tidak mendidih, dan cukup stabil, hanya pecah di area kecil tertentu saat gelembung gas keluar dari dalam pillow. Saat volume air yang tersedia lebih kecil dibanding volume magma, maka air akan diuapkan oleh magma dan akan di ubah ke uap tekanan tinggi. Jika hal ini terus berlanjut, meningkatnya volume menyebabkan letusan , tetapi volume air yang kecil dapat menahan ukuran hasil kejadian. Sebagai contoh, saat aliran lava melewati tanah basah kadangkala air terperangkap didepan aliran lalu melewatinya mendidih lebih cepat dibanding uap yang dapat pergi sepanjang kontak antara aliran dan ground. Ledakan uap yang melewati aliran, mendorong lava dan membentuk kawah, tetapi kawah ini tidak akan cukup lebar dibanding tebalnya lava. Contoh kawah yang terbentuk di aliran lava dengan cara ini adalah rootless vent, penamaan ini digunakan karena, meskipun lava terlempar di di lokasi ini, tetapi ini
bukanlah tempat dimana lava segar berasal. Contoh yang lain dari air yang terjebak dan tidak dapat pergi saat aliran lava yang membentuk pipa mencapai permukaan laut. Gelombang pecah didepan aliran dan air masuk ke pipa. Uap terbentuk saat air yang mendidih terjebak oleh inertia air laut dan sekali lagi letusan yang relatif kecil muncul , menghancurkan bagian atas dari pipa(tube). Antara dua cara ekstrem itu, terkadang yang terjadi lebih seperti volume yang sama antara magma dan air bercampur secara cepat dan semua air berubah menjadi uap. Magma mendingin seiring dengan terpanaskannya air dan suhu akhir dari campuran itu minimal 1/3 dari suhu awal magma, anggap saja 500 K. Densitasn dari air adalah 1000 kg/m 3, tetapi densitas dari magma pada 500 K adalah 0.43 kg/m3. Oleh karena itulah konversi air ke uap menyebabkan peningkatan volume lebih dari 2000 kali, dan ekspansi ini yang menyebabkan letusan hidromagmatik. Interaksi semacam ini membuat sebagian besar letusan hidromagmatik yang membentuk kawah disebut maar. Contoh yang bagus terjadi di Ukinrek, Alaska pad 1977, saat letusan kasar terjadi karena interaksi antara magma dan air tanah yang membentuk 2 kawah yang berdekatan dengan diameter 170 dan 300 m(lihat bab 1). Kita dapat mengilustrasikan pentingnya jumlah relative air dan magma dalam mengontrol
tingkat
kekerasan
letusan
hidromagmatik
dengan
menghitung
suhu
setimbangnya Tc, dari hasil uap dan fragmen magma yang dingin saat campuran air dan magma bercampur secara bersamaan. Panas yang hilang oleh magma, Hm, adalah
dimana Vm, ρm, cm, Tm adalah volume, densitas, nilai kalor tertentu, dan suhu awal, berturut-turut untuk magma. Kalor yang diperoleh oleh air, Hw ,merupakan sejumlah panas yang dibutuhkan untuk membuat air mencapai titik didihnya lalu mendidihkannya, dan akhirnya memanaskan lagi untuk menghasilkan uap, diberikan dengan rumus,
dimana Vw, ρw, cw, Tw, adalah volume, densitas, nilai kalor tertentu, dan suhu awal, berturut-turut untuk air, Lw, adalah jumlah panas yang dibutuhkan untuk mendidihkan air, dan cst kalor laten uap. Karena dua jumlah kalor ini harus sama, kita dapat menemukan suhu akhir
sebagai
fungsi
volume
fraksi
air
dalam
campuran[Vw/(Vw+Vm)].
Dengan
mengasumsikan bahwa suhu awal air dan magma secara berturut-turut adalah 300 K dan 1450 K, magma vesicular dengan densitas 2000 kg/m3, dan mengambil nilai parameter thermal untuk air dari table standar, suhu akhir akan ditemukan bervariasi terhadap kandungan air seperti di gambar 7.4 . Dan juga di gambar 7.4 adalah kecepatan maksimum dari magma dingin dan uap yang terlempar saat letusan. Kecepatan dihitung menggunakan
persamaan ekuivalen 7.1, dengan puncak tekanan selama letusan diketahui dari fakta bahwa air diubah menjadi uap dengan sangat cepat sehingga tidak ada perubahan dalam volume. Perhatikan bahwa energi (kecepatan tinggi) yang muncul paling banyak saat air mencapai sekitar 20-25 % dari volume campuran yang meletus. Jika vesikularitas magma sangat kecil maka fraksi volume maksimal air adalah sekitar 30 %.
3.2. Mekanisme Interaksi antara Magma dengan Air Interaksi fisik antara magma dan air yang terjadi di erupsi hidromagmatik yang kuat ketika air dan magma bercampur secara efisien, yang dianalogikan dalam industrial setting disebut dengan fuel-pendingin interaction (FCI). FCI adalah peristiwa dimana transfer panas secara cepat dari fluida panas (fuel) ke fluida dingin yang volatile, menghasilkan konversi dengan cepat dari energy termal menjadi energy kinetic, contohnya letusan. Contoh yang tepat dimana FCI mungkin terjadi adalah ketika baja yang meleleh dituangkan ke kotak untuk ditransferkan ke tempat lain dalam steel-work tapi air hujan masih dapat terkumpul di dasar kotak. Hasil letusannya menghancurkan kotak menjadi serpihan berkecepatan tinggi. Untungnya kecelakaan seperti ini jarang terjadi. Karena FCI sudah dipelajari secara besarbesaran, hal ini dapat dilihat untuk proses yang penting dalam interaksi magma dan air pada erupsi hidromagmatik. Peristiwa pencampuran antara magma dan air, baik itu eksplosif ataupun noneksplosif, tergantung pada tingkat transfer panas antara fuel (magma) dan pendingin (air), dan hal ini tergantung pada daerah permukaan seluas kontak dua komponen ini. Langkah mula-mula dari FCI ini adalah dimana terjadi kontak pertama kali antara fuel dan pendingin. Jika interaksi ini cukup tipis, menghasilkan lapisan uap air yang stabil di antara fuel dan pendingin yang merupakan batas transfer panas antara keduanya, seperti contoh
dalam lava bantal. Sedangkan jika interaksi awalnya cukup kuat, lapisan uap air dapat hancur atau tidak akan terbentuk dengan baik. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa sebab, misal karena bagian daro gelombang seismic melewati sela-selanya, karena ledakan local terjadi ketika kondensasi uap air atau karena letusan magmatic (contohnya pecahnya gelembung Strombolian) tiba-tiba mempercepat magma ke air. Sekalinya lapisan uap air terganggu, maka fuel dan pendingin berada dalam suhu yang tepat dan kontak mekanik dan terjadi konversi secara cepat pada volume kecil dari air ke volume besar dari steam. Apabila pemuaian steam mendesak batas antara magma dan air untuk berubah bentuk dan menjadi bergelombang, daerah permukaan seluas kontak yang terjadi bertambah dan membuat lebih banyak formasi steam. Hal ini merupakan situasi timbal balik yang positif. Panas yang terbuang dari magma dapat menjadi besar sehinggakontak di dekat permukaan menjadi solid. Apabila panas ini mendingin cukup cepat, stress yang dihasilkan dari gradien suhu yang besar di dekat permukaan dapat menghancurkan yang padat. Hal ini melepaskan fragmen dari magma padat yang mengarah ke air dan masih cukup panas untuk mendidihkan air. Mungkin yang lebih penting adalah fragmen yang terbuang terekspos sehingga lebih banyak lagi magma panas yang mengalami kontak dengan air. Situasi lain yang dapat terjadi bila tiap pulsa dari steam memiliki energy yang cukup untuk mendorong siklus selanjutnya dari deformasi, pendinginan, pemecahan, dan pencampuran. Sekalinya kondisi kritis tercapai, interaksi eksplosif antara magma dan air akan terus benlanjut hingga satu dari kedua komponen ini habis digunakan. 3.3. Tephra dari Erupsi Hidromagmatik Tephra dari erupsi ini kadang dapat dibedakan secara signifikan dari tephra yang terproduksi dari erupsi magmatic murni. Misalnya, secara umum erupsi hidromagmatik menghasilkan material dengan butiran yang lebih halus daripada erupsi magmatic. Tephra yang dihasilkan terdiri dari magmatic glass, cristal, dan material litik (wall rock dan material yang jatuh ke system vent), terkadang didominasi oleh komponen litik. Pengujian dari juvenile glass dengan mikroskop optikal atau mikroskop electron menunjukkan kaca memiliki bentuk yang berbeda-beda: berbentuk balok, seperti lumut, datar, dan bulat. Studi lebih lanjut akan menyambungkan hal ini dengan bagaimana terjadinya interaksi magma-air pada erupsi tertentu.
4. RINGKASAN
Ada 2 tipe utama dari letusan transient magmatic yang murni yaitu Strombolian dan Vulcanian. Keduanya memiliki beberapa persamaan, termasuk di dalamnya pendeknya durasi letusan, pendeknya waktu antar letusan individu, keduanya kadang terjadi dalam sekuen yang panjang, mengeluarkan blok batu besar dan bom vulkanik, kedua erupsi
menghasilkan plume berketinggian sedang (ketinggian plume dipengaruhi oleh seberapa cepat suatu letusan terjadi setelah letusan yang sebelumnya).
Perbedaan utama dari kedua tipe letusan itu adalah perbedaan dalam kekuatan serta kandungan kimiawi dari magma yang tererupsi. Strombolian secara umum lebih tenang dan berasosiasi dengan magma basaltic. Sedangkan Vulcanian lebih kuat dan berasosiasi dengan magma intermediet.
Mekanisme kedua letusan hampir sama yaitu kenaikan gas melewati kolom magma stasioner untuk terakumulasi di bawah sumbat vent. Perbedaan kekuatan kedua tipe erupsi berkaitan dengan kekuatan sumbat dan jumlah tekanan yang terkumpul.
Pemodelan menunjukkan bahwa kecepatan erupsi kedua tipe letusan ini berkaitan dengan tekanan vent yang berkembang lebih dulu pada tiap letusan dan kekuatan dari sumbat vent. Kecepatan letusan Strombolian (<200 m/s) berkaitan dengan sumbat vent yang lemah yang terbentuk di antara letusan. Kecepatan letusan Vulkanian yang lebih tinggi (200-400 m/s) menunjukkan kekuatan sumbat magma yang lebih besar yang terlibat dalam erupsi ini.
Modelling dapat digunakan untuk memprediksi rentang besarnya blok batu yang terlempar pada letusan transient, dan sebaliknya, posisi blok dapat digunakan untuk menduga kondisi erupsi pada awalnya. Studi pada beberapa erupsi menunjukkan bahwa kondisi vent diduga berkaitan dengan tekanan vent dan kekuatan sumbat seperti yang telah dijelaskan.
Pemodelan plume yang dihasilkan dari letusan transient menunjukkan bahwa plume biasanya memiliki batas ketinggian tertentu, tapi ketika letusan terjadi dalam urutan yang berdekatan erupsi menjadi seperti terus-menerus (dari sudut pandang plume) dan plume yang jauh lebih tinggi dapat terjadi.
Letusan transient umum terjadi pada erupsi hidromagmatik. Pada peristiwa ini jumlah magma dan air yang ikut serta relative, dan detail tentang bagaimana magma dan air terjadi kontak satu sama lain memiliki pengaruh yang dalam pada karakter erupsi yang dihasilkan. Interaksi yang paling eksplosif yaitu dimana air berjumlah 25-30% dari total volume campuran.