VOLCANIC HAZARDS AND MONITORING 1. PERSEPSI AWAL TENTANG GUNUNG API DAN AKTIVITASNYA Selama hampir 18 abad,gunung api selalu di kaitkan dengan mitos mitos kuno tuhan dan iblis.Sampailah pada saat seorang filsuf Yunani kuno(Empedocles) mulai tertarik dan penasaran dengan salah satu gunung teraktif pada saat itu,yaitu Etna dan Stromboli.Selama 17 abad dan pertengahan abad ke 18 pandangan mengenai apa elemen penyusun gunung api adalah api,angin dan sulfur(coal).Pada pertengahan abad 18 Hamilton konsen meneliti gunung Vesuvius. Bagaimana dan mengapa ada gunung api Gunung api merupakan sebuah bukti bahwa bumi kita ini hidup,sangat panas dan dinamis di lapisan dalamnya.ada 3 aspek penting dalam mempelajari sebuah gunung api yaitu: -
Bagaimana sistem magma dari sebuah gunung api,termasuk seberapa dalam dan seberapa besarnya.
-
Gunung api merupakan hasil dari aktifitas tektonik lempeng
-
Ilmu tentang gunung api semakin berkembang,bukan hanya tentang komposisi dan aspek fisika dari magma tapi juga tentang hubungan dengan lingkungan sekitar.
Terminologi Ada beberapa istilah yang perlu di pahami dalam mempelajari gunung api,guna menjelaskan antara bahaya gunung api,material gunung api,resiko dari sebuah gunung api dan bencana yang diimbulkannya. -
Erupsi gunung api,merupakan proses alam dari sebuah gunung api yang menunjukan ekspresi dari sistem dalam bumi yang dinamis dan hidup.
-
Bahaya gunung api,seperti proses alam lainnya erupsi gunung api erat hubungannya dengan ancaman terhadap manusia dan lingkungan sekitarnya,di definisikan tergantung tipe,besarnya dan seberapa sering.
-
Bencana,merupakan sebuah proses interaksi antara proses alam dengan aspek politik ekonomi sosial dan teknologi.
-
Mitigasi bencana,merupakan seluruh aktifitas untuk mengurangi resiko bencana.
2. Volcanic Explosivity Index (VEI) Skala Pengukuran Untuk Kejadian Alam Mengukur kekuatan sebuah kejadian alam merupakan tantangan bagi seorang ilmuan. Telah diketahui bahwa ilmuan membuat sebuah skala atau ukuran untuk mengestimasi besar kekuatan atau kejadian alam. Sebagai contoh yaitu skala Richter digunakan untuk mengukur
kekuatan gempa, skala Saffir-Simpson digunakan untuk mengukur potensi angina topan dan skala Fujita untuk mengukur intensitas angin topan. Didalam bidang vulkanologi, skala yang digunakan untuk mengukur kekuatan erupsi vulkanik adalah VEI (Volcanic Explosivity Index). Skala ini dikenalkan oleh Chris Newhall dari US Geological Survey dan Stephen SelfdariUniversity of Hawaii pada tahun 1982. Skala ini adalah skala relatif yang membandingkan kejadian erupsi eksplosif vulkanik dengan kejadian yang lain. Karakteristik yang digunakan untuk menentukan VEI ini adalah volume piroklastik material yang dikeluarkan oleh gunung api ketika meletus. Material piroklastik ini terdiri dari abu vulkanik, tepra, aliran piroklastik dan jenis-jenis material lain. Selain itu, ketinggian kolom erupsi dan durasi erupsi juga dipertimbangkan dalam menentukan level VEI. Skala VEI Skala VEI dimulai dari nilai 0 yaitu nilai yang paling rendah untuk erupsi dengan volume material yang dikeluarkan kurang dari 0.0001 kubik kilometer. Sebagian besar erupsi pada skala ini memiliki kekuatan yang relative kecil. Sehingga tipe letusannya cenderung effusif dari pada eksplosif. Erupsi effusif ditandai oleh lava yang mengalir dari kawah. Skala VEI 1 ditandai dengan volume erupsi berkisar antara 0.0001 sampai 0.001 km3. Diatas VEI 1, skala akan menjadi logaritmik, ini artinya setiap penambahan skala maka jumlah volume material yang dikeluarkan akan menjadi 10 kali lipat dari skala dibawahnya. Sebagai contoh pada VEI 2, volume material yang dikeluarkan berkisar antara 0.001 sampai 0,01km3. Pada VEI 3, volume material yang dikeluarkan berkisar antara 0.01 sampai 0.1 km3. Skala VEI 0 sampai 8 ditunjukkan pada gambar dibawah ini. Karena setiap penambahan skala memiliki besar 10 kali lipat dari skala dibawahnya, VEI 5 memiliki besar 10 kali lipat lebih eksplosif dari VEI 4, makan VEI 6 memiliki besar 100 kali lipat lebih eksplosif dari VEI 4. Sehingga VEI 8 memiliki besar 1 juta lebih eksplosif dari VEI 2. Contoh letusan gunung api yang memiliki skala VEI 8 yaitu Toba (74.000 tahun yang lalu), Yellowstone (640.000 tahun yang lalu), dan lake Taupo (26.500 tahun yang lalu). Erupsi gunung api pada skala VEI 8 paling besar sekarang yaitu erupsi Wah Wah Springs yang terjadi di daerah Utah (30 juta tahun yang lalu) dengan material yang dikeluarkan sekitar 5500 km3dengan durasi letusan sekitar satu minggu.
VEI Eruption Frequency
Grafik diatas menunjukkan rangkuman dari frekuensi erupsi berbanding dengan VEI yang diambil dari data Global Volcanism Program Smithsonian Institution untuk erupsi yang terjadi sekitar 10.000 tahun yang lalu sampai tahun 1994. Hanya 4 erupsi yang terjadi pada skala VEI 7 yang pernah terdokumentasikan, sedangkan 3477 erupsi pernah terjadi pada skala VEI 2. Dari grafik ini dapat disimpulkan bahwa erupsi yang besar sangat jarang terjadi.
3. PENGAMATAN GUNUNG API DAN PREDIKSI ERUPSI JANGKA PENDEK Pengamatan terhadap gunung api yang mengalami erupsi secara periodik dilakukan atas 2 alasan yakni untuk mempelajari struktur internal suatu gunung api dan untuk mengerti tandatanda aktivitas guna mengetahui indikator suatu gunung api akan meletus demi mengambil tindakan dalam mengantisipasinya. Pengamatan aktifitas gunung api dapat dilakukan secara visual dan berdasarkan data pengukuran (seismisitas, thermal, deformasi, gas, metode geofisika, dan lain- lain).
3.1. Pengamatan Seismisitas
Tekanan di dapur magma menyebabkan gunung api mengembang (Sumber: USGS-Volcano)
Pengamatan seismisitas gunung api pertama sekali diperkenalkan pada akhir tahun 1970-an melalui publikasi Aki et.al pada tahun 1977. Ketika sebuah gunung api akan meletus maka akan ada aktifitas seismisitas berupa tremor/getaran-getaran kecil/gempa vulkanik yang biasanya dirasakan oleh masyarakat yang dekat dengan gunung api. Aktifitas seismisitas ini meningkat karena peningkatan aktifitas dan tekanan di dapur magma. Peningkatan ini menyebabkan terjadinya rekahan-rekahan yang menjadi sumber gempa vulkanik. Sebelum pengamatan seismisitas ini bisa dilakukan, hal pertama yang harus dilakukan adalah pemasangan seismometer di sekitar gunung api yang akan diamati. Untuk pengamatan lebih akurat, harus dipasang lebih dari satu seismometer di setiap gunung api.
3.1 Pengamatan Gas dan Thermal Selain peningkatan seismisitas, peningkatan gas dan thermal (suhu) juga terjadi apabila sebuah gunung api akan erupsi. Beberapa gas keluar ketika gunung api mau dan sedang erupsi antara lain; Karbonmonoksida (CO), Karbondioksida (CO2), Hidrogen Sulfide (H2S), Sulfurdioksida (S02), dan Nitrogen (NO2). Peningkatan suhu juga bisa teramati dari mulai mengeringnya sungai dan danau serta perpohonan yang mulai mati di sekitar gunung api. Pengukuran untuk gas dan thermal bisa dilakukan secara langsung, namun pengukuran secara langsung sangat berisiko bagi pengukur. Solusi lain adalah dengan cara memasang alat pengukuran gas dan thermal di lapangan fumaroel dan datanya terekam secara terus-menerus dan bisa dikirim
secara
pengamatan.
3.3. Pengamatan Deformasi Ketika gunung api akan meletus (erupsi)
akan
terjadi
peningkatan
tekanan di dapur magma. Peningkatan tekanan di dalam dapur magma ini akanmenyebabkan deformasi (naik dan turun)
permukaan
gunung
api.
Deformasi ini bisa diamati menggunakan GPS, Tiltmeter, dan beberapa peralatan lainnya. Pengamatan deformasi ini akan memberikan informasi apakah gunung api sedang mengembang (akan meletus) atau sedang tidak mengembang (tidur).
automatis
ke
pusat
3.4. Pengamatan Graviti dan Geomagnet Pengamatan berat jenis merupakan salah satu pengamatan menggunakan metode geofisika. Ketika gunung api mau meletus maka akan terjadi perubahan densitas (berat jenis) di bawah permukaan karena adanya magma yang menuju ke permukaan tanah. Untuk mengetahui perubahan magma bawah permukaan ini perlu dilakukan pengukuran metode graviti secara berkala pada sebuah gunung api. Permodelan hasil pengukuran gravitasiakan bisa memprediksi volume dapur magma suatu gunung api. Pengamatan
Geomagnet
dilakukan
untuk
mengamati
nilai
intensitas magnet di atas gunung
api,
apabila
magma mulai naik ke atas permukaan
maka
nilai
intensitas magnet di atas gunung api akan rendah karena pengaruh panas magma. Magma yang naik ke atas permukaan akan memiliki nilai susceptibilitas yang rendah dibandingkan dengan batuan vulkanik pembentuk gunung api. Hasil akhir dari pengukuran Geomagnet juga untuk memodelkan volume daripada dapur magma.
4. Dapatkah Bencana Gunung Berapi Dihindari? 4.1 Diagnosis Analisis yang cermat mengenai sejarah awal sebuah gunung api merupakan salah satu metode yang penting untuk memperkirakan kemungkinan jangka panjang terjadinya tipe letusannya serta energi spesifiknya. Gunung berapi pada umumnya merupakan kumpulan dari kejadian stratigrafi dan kronostratigrafi sejarah dan pra-sejarah yang luar biasa. Sejarah ini dapat direkonstruksi ketika endapannya telah dipetakan, stratigrafinya telah diketahui, struktunya telah dianalisa serta diketahui kapan kejadiannya. Informasi-informasi tersebut salah satunya dapat diketahui dari komposisi kimia dan mineralnya pada lava yang tererupsi serta endapan piroklastiknya.
Parameter-parameter vulkanologi, seperti volume, ukuran grain, karakteristik partikel, mekanisme fragmentasinya, dan lain-lain dapat digunakan untuk menentukan perilaku letusan dari sebuah gunung api. Ini bergantung pada prinsip uniformitas, yaitu, sebuah gunung api cenderung berperilaku sama di masa yang akan datang dengan masa lampau. Dari data ini, peta bahaya dapat ditentukan, dimana di sana tampak distribusi berbagai macam jenis produk letusan (termasuk di dalamnya aliran lava, aliran piroklastik, jatuhan awan panas, lahar, longsoran sisasisa letusan, serta kemungkinan terjadinya tsunami.
Kemungkinan suatu gunung berapi yang pernah meletus akan meletus lagi di kemudian hari dari pada gunung itu mati. Walaupun begitu, waktu ‘tertidur’nya gunung berapi jauh lebih lama di masa lampau dari pada yang terekam oleh sejarah manusia. Gunung berapi yang pernah erupsi besar yang pernah dialami dan dirasakan oleh manusia misalnya adalah Gunung Kilauae, Vesuvius, Hekla (Islandia), Etna (Sisili), Mayon (Filifina), Merapi (Jawa), Sakurajima (Jepang), Komagatake (Jepang), Arenal (Kosta Rika) dan Gunung Augustine (Alaska). Salah satu yang selama ini cuku aktif, tetapi sekarang tidak stabil, adalah Gunung Stromboli di Laut Tyrrhenian, dengan fase erupsinya hanya beberapa menit atau jam saja.
Penyebab perbedaan periode erupsi setiap gunung masih sangat kompleks dan belum diketahui. Kemungkinan perbedaan periode letusan ini bergantung pada umur magma di dapur magma, kecepatan naiknya magma dari dalam bumi, proses kompleks di dapur magma serta interaksinya dengan air tanah atau air permukaan.
Erupsi gunung api dapat berlangsung dalam hitungan menit hingga ratusan tahun, tergantung dari bagaimana orang mendefinisikannya. Rata-rata durasi letusan gunung adalah pada batas lempeng konvergen adalah sekitar 65 hari, sedangkan untuk gunung api yang berada di dalam lempeng adalah sekitar 31 hari. Itu adalah harga minimum, bagaimana pun juga, waktu terjadinya erupsi tidak dapat diketahui secara pasti. Prediksi erupsi gunung berapi yang didasarkan pada analisis statistic pada kejadian masa lampau, tetap tidak dapat menghitung secara tepat dan pasti kapan terjadinya erupsi. Pengalaman yang ada selama ini menunjukkan bahwa warga pedesaan yang ada di sekitar gunung berapi memprediksikan dengan kemungkinan yang belum tentu tepat. Untuk studi secara geologi, monitoring gunung berapi merupakan metode yang sangat penting untuk memprediksikan erupsi yang akan datang, tidak hanya waktu, tetapi juga tipe erupsinya serta lokasi leher magmanya. 4.2 Prediksi ke Depan Salah satu tujuan utama dari penelitian gunung api adalah untuk meningkatkan kemampuan dalam memprediksikan erupsi. Hal ini digunakan untuk memberikan waktu kepada warga setempat untuk dilakukan evakuasi. Tetapi untuk ahli vulkanologis dan saintis,
keakuratan prediksi ini sangat dibutuhkan untuk menentukan tindakan sebelum dan setelah terjadinya erupsi. Salah satu hal paling penting dalam hal ini adalah evakuasi. Selain prediksi kapan terjadinya suatu erupsi gunung api, kesadaran warga untuk menaati peraturan pun perlu ditingkatkan untuk menyelamatkan nyawa mereka sendiri. Karena mungkin masih banyak warga sekitar yang tidak mau dievakuasi dengan alasan mereka yakin bahwa tidak akan terjadi erupsi atau mereka masih terlalu memikirkan masalan harta benda yang akan mereka tinggal jika mereka dievakuasi. Namun peringatan yang terlalu dini mengenai erupsi juga dapat menyebabkan warga merasa tidak percaya akan terjadinya erupsi jika memang gunung tersebut tidak jadi erupsi. Ini juga salah satu hal yang menyebabkan warga tidak antusias lagi ketika mendengarkan peringatan selanjutnya. Contohnya adalah yang terjadi di Hawaii, yaitu ketika saintis yang ada di Observatori Gunung Api Hawaii (Hawaiian Volcano Observatory) berani memprediksikan erupsi di Mauna Loa pada tahun 1976. Pada waktu itu, sudah banyak warga yang bersiap untuk dievakuasi, tetapi letusan terjadi delapan tahun kemudian yaitu pada tahun 1984. Prediksi yang terlalu dini ini dikarenakan data yang digunakan hanyalah data statisktik semata atau hanya dengan analisa kemungkinan. Prediksi yang salah dapat mempengaruhi kondisi politik dan social warga sekitar.
Perkiraan yang tepat adalah dalam jangka waktu yang paling mendekati saat-saat akan terjadinya erupsi, yaitu bisa dalam hitungan minggu atau hari sehingga warga tidak terlalu dirugikan. Prediksi ini juga harus mampu menjelaskan dimana lokasi vent-nya, serta apa tipe kemungkinan letusannya. Prediksi serta perkiraan yang tepat, sangat berpengaruh terhadap mitigasi bencana dari gunung api itu sendiri. Sehingga diperlukan kecermatan dan kredibilitas yang tinggi untuk memprediksi erupsi gunung api, karena dalam hal ini menyangkut hak hidup warga di sekitar gunung api tersebut. Mitigasi Bencana Upaya dalam mengurangi dampak erupsi gunung api bisa dilakukan dengan 2 cara, yakni: kesiapsiagaan sebelum bencana erupsi dan penanganan saat bencana erupsi terjadi. Kesiapsiagaan sebelum bencana terjadi • Pemantauan dan pengamatan kegiatan pada semua gunung berapi yang aktif geologi, geofisika dan geokimia di gunung
peta
ancaman,
mengenali
peningkatan (SDM)
dan
sumberdaya pendukungnya
seperti peningkatan sarana dan prasarana • Membuat
terbuka, lindungi diri dari abu letusan
perencanaan
awan panas • Siapkan diri untuk kemungkinan bencana
daerah ancaman, daerah aman manusia
dan daerah aliran lahar Hindari tempat • Masuk ruang lindung darurat bila terjadi
berapi
• Melakukan
• Hindari daerah rawan bencana seperti lereng gunung, lembah, aliran sungai kering
• Melakukan penyelidikan dan penelitian
• Membuat
Penanganan saat bencana terjadi
penanganan
susulan
Kenakan
pakaian
yang
melindungi tubuh, seperti baju lengan panjang, celana panjang, topi dan lainnya • Memebentuk tim gerak cepat
bencana mempersiapkan jalur dan tempat
• Meningkatkan
pengungsian yang sudah siap dengan
pengamatan
bahan kebutuhan dasar (air, jamban,
penambahan peralatan yang memadai
makanan, diperlukan
pertolongan
pertama)
jika
bisa
pemantauan dengan
dan
didukung
oleh
• Meningkatkan pelaporan tingkat kegiatan alur dan frekuensi pelaporan sesuai dengan kebutuhan • Memberikan
rekomendasi
kepada
pemerintah setempat sesuai prosedur
Kesiapan yang matang sangat dibutuhkan dalam keadaan ini. Karena salah sedikit saja dalam tindakan antisipasi bencana atau evakuasi akan menimbulkan banyak sekali kerugian materil maupun jiwa. Dalam kasus khusus, daerah yang mempunyai curah hujan yang tinggi ataupun erosi yang tinggi, topografi dari gunung api sangat memungkinkan untuk membentuk jalur dari lahar, arus bongkahan piroklastik, dan lahar dingin mencapai pemukiman. Oleh karenanya, diperlukan barrier untuk menahan laju dari arus tersebut atau setidaknya mengalihkan arus dari daerah yang berpenduduk. Contoh kasus pembuatan barrier yang sukses dibuat di gunung Etna
Gambar 1. Peta rencana pembuatan barrier
Gambar 2. Pembuatan monte vetore barrier
Gambar 3. Pembuatan barrier lain, Sapienza barrier
Gambar 4. Lahar aa setebal 10m mencapai Sapienza barrier
Gambar 5. Foto udara kenampakan Sapienza barrier Jika sudah tidak memungkinkan lagi untuk melakukan evakuasi maka tindakan yang harus dilakukan menjadi terbatas.
Upaya penenganan setelah bencana • Jauhi wilayah yang terkena hujan abu • Bersihkan atap dari timbunan abu karena beratnya bisa merusak atau meruntuhkan atap bangunan • Hindari mengendarai mobil di daerah yang terkena hujan abu sebab bisa merusak mesin motor, rem, persneling dan pengapian • Membangun kembali daerah yang rusak karena letusan, membangun infrastruktur yang vital bagi kehidupan masyarakat. • Menghijaukan kembali lahan yang rusak karena letusan gunung berapi dengan reboisasi.
KESIMPULAN 1. Ancaman di GunungApi dapat berupa ancaman langsung yakni berupa efek yang cepat seperti lava dan debu yang mengenai bangunan, maupun ancaman tidak langsung seperti dampak terhadap lahan pertanian/ gagal panen yang dalam jangka panjang dapat menimbulkan bencana kelaparan serta perubahan iklim. 2. Aliran lava walaupun sangat jarang menyebabkan kematian karena kecepatan alirannya yang rendah namun dapat merusak infrastuktur dan lahan pertanian 3. Material piroklastik merupakan salah satu ancaman utama terhadap bangunan karena debu- debu ringan yang membahayakan kesehatan serta bahaya bagi penerbangan. 4. Pyroclastic density current dan surges merupakan ancaman yang paling fatal karena dapat merusak segala sesuatu yang dilewati. Material ini mengalir dengan kecepatan tinggi dan hanya dapat dihindari dengan melakukan evakuasi dini. 5. Aliran lahar yang merupakan campuran piroklastik dengan air juga dapat merusak infrastruktur seperti halnya pyroclastic density currents. 6. Gas yang dikeluarkan dari gunung api, kecuali uap air secara kimiawi beracun dan berbahaya bagi kesehatan 7. Penilaian bahaya terhadap gunung api perlu dilakukan memerlukan data dari erupsi sebelumnya untuk analisa dan prediksi erupsi di masa mendatang. 8. Beberapa gunung api yang sering mengalami erupsi dan berlokasi di kawasan yang berpenduduk umumnya dipantau dengan cara merakam aktivitas seismic di kawasan gunung tersebut, mengukur deformasi yang terjadi di bangunan gunung api, memantau gas yang dikeluarkan dari kantong magma dangkal. 9. Walaupun telah dilakukan pemantauan yang mendetail, tidak mudah untuk dapat menentukan sistem peringatan dini yang paling akurat.