Eruption styles, scales, and frequencies Berbagai macam erupsi vulkanik menunjukkan berbagai jenis karakter, hasil, dan frekuensi erupsi yang berbeda-beda. Setiap erupsi vulkanik bersifat unik, yang berarti jelas berbeda dengan erupsi lainnya. Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa walaupun setiap erupsi memiliki karakter yang berbeda-beda, tetapi setiap erupsi tersebut memiliki mekanisme fisika yang hampir sama. Erupsi vulkanik sangat bervariasi tidak hanya dalam hal karakter saja tetapi dalam hal skala dan frekuensi aktivitasnya. Sebagai contoh pengamatan terhadapa erupsi gunung Stromboli yang teramati mengalami erupsi setiap 1 menit – 10 menit, sebaliknya erupsi yang terjadi di kaldera Yellowstone terjadi dalam interval waktu yang sangat lama yaitu sekitar 600,000 tahun. Dalam bab ini akan dibahas mengenai segala proses fisika yang mempengaruhi frekuensi dan skala erupsi vulkanik.
I. Komposisi Kimia dan Karakter Aktivitas Vulkanik Seperti yang kita ketahui bahwa tipe erupsi, secara garis besar dapat dibedakan menjadi tipe efusif atau eksplosif. Namun, para ilmuwan membuat klasifikasi yang lebih rinci untuk tiap erupsi, misalnya pengamatan pada erupsi Gunung Hawaii yang dinamai dengan erupsi Hawaii yang digunakan untuk menunjukkan erupsi yang terjadi hanya berupa lelehan . jenis erupsi ini tidak hanya digunakan untuk menamai erupsi pada gunung hawai saja, namun setiap gunung yang tipe letusannya seperti gunung hawaii. Ketika para vulkanologis mendeterminasi dan memberi nama pada tipe erupsi yang berebdabeda tersebut, mereka menemukan bahwa terdapat hubungan antara komposisi kimia magma dengan tipe erupsinya. Sebagai contoh, tipe Hawaii dengan Strombolian, tipe magma yang terdeterminasi cenderung bersifat basaltic; tipe vulcanian menghasilkan lava basaltic andesit – dasit dan tipe Plinian menghasilkan lava dengan komposisi silica tinggi andesit –rhyolit. Hal tersebut dapat dilihat dari diagram berikut :
Hubungan antara komposisi magma dan tipe letusan merupakan pola umum, tetapi bisa saya terjadi sebagai contoh tipe Plinian basaltic yang terjadi karena magma yang tererupsi memiliki lebih banyak volatile dari biasanya atau magma tersebut mengandung air yang berasal dari air tanah. Bagaimanapun, hubungan antara komposisi magma dengan tipe erupsi memiliki pengaruh besar terhadap tipe erupsi yang lebih spesifik. Ketika komposisi magma mempengaruhi tipe erupsi, dua sifat magma yaitu viskositas dan kandungan gas memiliki peranan penting terhadap faktor yang mempengaruhi erupsi secara lebih terperinci lagi. Kandungan gas mempengaruhi apakah suatu erupsi bersifat efusif atau eksplosif, selain itu juga memainkan peranan penting dalam viskositas magma. Dalam kenyataannya, viskositas magma dipengaruhi oleh kandungan silica dari magma, temperature, kandungan Kristal, dan kandungan gas di dalam magma. Kandungan silica yang tinggi dan temperature yang rendah membuat magma menjadi lebih kental. Adanya Kristal pada magma membuat viskositas magma menjadi lebih tinggi. Adanya gas gelembung gas juga mempengaruhi viskositas magma, gelembung gas pada magma akan meningkatkan viskositas magma, tetapi pada tingkat potong (shear) yang rendah, adanya gelembung gas akan mengurangi viskositas magma. Diagram dibawah ini, akan menjelaskan pengaruh kandungan silica dan temperature terhadap viskositas magma.
II. Komposisi Kimia dan Letusan Efusif 1. Kondisi Letusan Efusif Satu perbedaan mendasar antara tipe letusan gunungapi adalah apakah letusan itu bersifat efusif atau eksplosif. Karakter hasil letusan tipe eksplosif antara lain magma yang naik ke permukaan mengandung gas terlarut di dalamnya.
Ada empat kondisi utama di mana letusan tipe efusif dapat terjadidaripada tipe eksplosif 1. Jika kandungan gas dari magma yang naik ini sangat kecil maka pelepasan akan terjadi tapi volume gelembung gas yang dihasilkan tidak cukup untuk menyebabkan fragmentasi ( Bab 6 ). Pemodelan komputer menunjukkan bahwa kandungan gas harus kurang dari sekitar 0,02 % berat agar keadaan ini terjadi. Letusan efusif sangat tidak mungkin disebabkan semata-mata oleh kandungan gas pada magma yang kecil. 2. Jika magma kehilangan cukup gas pada tahap tertentu selama proses naiknya magma ke permukaan, kandungan gas dari magma tersebut tidak memungkinkan untuk terjadinya fragmentasi. Kehilangan gas dapat terjadi selama penyimpanan di dapur magma atau melalui dinding saluran permeabel selama proses naiknya magma ke permukaan. Kehilangan gas yang signifikan melalui dinding saluran dapat terjadi hanya jika magma meningkat relatif lambat dan kurang mungkin terjadi jika magma meningkat dengan cepat. Letusan efusif juga dapat terjadi ketika magma naik dengan perlahan dan secara bertahap pengeluaran gas terjadi akibat serangkaian letusan eksplosif sementara, pada akhirnya meletus ke atas permukaan. 3. Letusan bawah laut pada umumnya bersifat efusif (bagian 9.2). Disini efusi terjadi bukan karena kandungan gas dari magma yang rendah tetapi karena larutan padat gas dari magma ditekan akibat tekanan air yang melapisi lubang keluar magma. Tabel 10.2 menginformasikan tentang tekanan pada berbagai kedalaman di laut dan jumlah total (pelarut ditambah dengan sisa terlarut) dari air atau kandungan karbon dioksida dimana magma itu akan meletus secara eksplosif. 4. Efusi juga dapat terjadi jika viskositas letusan magma cukup besar untuk menghambat fragmentasi. Hal ini dapat terjadi pada letusan dimana magma sangat kental dan dalam kisaran komposisi dasit hingga riolit (Gambar 10.1 & 10.2 ). Efusi magma tersebut menghasilkan kubah lava curam (kadang-kadang lebih tinggi daripada mereka (Gambar 1.3) yang mengandung gelembung gas di mana tekanan secara signifikan lebih besar dari tekanan atmosfer. Dengan demikian letusan efusif dapat terjadi karena kisaran keadaan yang berbeda. Komposisi magma tidak memainkan peran dalam mengontrol apakah letusan adalah efusif atau eksplosif, tetapi faktor-faktor seperti penyimpanan sejarah magma dan lingkungan kondisi di mana letusan terjadi..
2. Komposisi kimia dan aliran lava Produk utama dari letusan efusif adalah aliran lava. Perilaku aliran lava sangat dipengaruhi oleh komposisi lava yang meletus karena kekentalan lava adalah factor pengontrol besar terhadap dinamika aliran.
III. Komposisi Kimia dan Letusan Eksplosif 1. Aktivitas eksplosif sementara dan berkelanjutan Mayoritas letusan subaerial di bumi adalah eksplosif. Sebuah perbedaan mendasar yang dapat ditarik antara letusan tersebut apakah mereka berkelanjutan atau sementara di alam. Letusan Strombolian dan Vulcanian sangat berbeda dalam kekerasan dan dalam jenis endapan yang mereka hasilkan tetapi mereka berdua bersifat sementara, letusan strombolian diasosiasikan dengan magma basaltic dan letusan Vulcanian umumnya dengan lebih banyak magma. Demikian pula letusan Hawaii dan Plinian adalah jenis letusan eksplosif yang berkelanjutan meskipun mereka juga berbeda sifatnya dalam produk, dan dalam komposisi magma yang terlibat. Kita telah melihat bahwa baik yang letusan eksplosif bersifat sementara atau berkelanjutan sangat dipengaruhi oleh kecepatan munculnya magma. Ini karena komposisi pengaruh kekentalan, yang pada gilirannya mengontrol kecepatan munculnya gelembung gas dalam magma dan karenanya kemampuan mereka untuk mengambil alih posisi satu sama lain dan bergabung. 1. Kekentalan magma mempengaruhi kemampuan gelembung bergerak ke atas. Semakin besar kekentalan magma itu lambat munculnya gelembung. 2. Kekentalan magma juga mempengaruhi kecepatan naik dari magma itu sendiri, viskositas yang lebih besar cenderung mengurangi kecepatan kenaikan. Hal ini akan meningkatkan waktu yang tersedia untuk pembentukan gelembung. 3. Kandungan gas magma juga mempengaruhi kemungkinan gelembung untuk terbentuk. Semakin besar isi gas menyebabkan kepadatan gelembung dalam magma lebih banyak dan pertumbuhan gelembung selama naik lebih banyak, keduanya juga meningkatkan peluang untuk terjadinya koalesensi gelembung. 2. Komposisi kimia dan aktivitas eksplosif sementara Kita telah melihat bahwa letusan sementara terjadi ketika kecepatan naiknya magma tergolong lambat. Dua jenis utama letusan sementara - strombolian dan Vulcanian -berbeda satu sama lain dalam beberapa hal. Letusan strombolian menghasilkan volume material yang sangat sedikit, mengeluarkan bahan ini dari ventilasi pada kecepatan yang relatif rendah, dan biasanya terjadi pada jarak waktu lebih singkat daripada letusan Vulcanian. Letusan Strombolian biasanya melibatkan magma basaltik sedangkan letusan Vulcanian biasanya terkait dengan magma menengah. Dengan demikian, ada hubungan yang kuat antara komposisi magma yang meletus dan karakter dari hasil letusan sementara. 3. Komposisi kimia dan letusan eksplosif berkelanjutan Letusan eksplosif berkelanjutan terjadi ketika kecepatan munculnya magma cukup besar untuk mencegah pemisahan signifikan magmatik gelembung gas dari magma di mana mereka
berasal. Letusan eksplosif berkelanjutan mempunyai banyak karakter yang berbeda. Letusan Hawaiian melibatkan letusan relatively coarse clasts pada relatively low exit velocities , menghasilkan low eruption plumes dan dominan menghasilkan aliran lava . letusan ini berhubungan dengan magma basaltik . letusan eksplosif berkelanjutan lainnya mulai dari subPlinian, Plinian hingga ultra - Plinian normalnya terkait dengan intermediate hingga evolved magma. menghasilkan greater plume heights , menghasilkan finer clast-size distributions, dan didominasi oleh fall deposits lebih tersebar luas daripada yang diproduksi dalam letusan Hawaii . telah umum diasumsikan bahwa perbedaan viskositas erupsi magma adalah yang mengontrol jenis letusan apakah letusan Hawaiian atau Plinian. Namun, baik viskositas dan kandungan gas magma mempunyai kandungan basaltic yang rendah dan keduanya cenderung mempunyai peran dalam menentukan detail dari eruption dynamics. Peran Viskositas Perbedaan utama antara letusan Hawaii dan spektrum letusan Plinian adalah derajat fragmentasi dari erupting clasts. Letusan Hawaiian menghasilkan coarse clasts yang dapat diangkat biasanya hanya beberapa ratus meter di atas saluran di incandescent lava fountains, dan yang kemudian jatuh kembali di sekitar saluran membentuk cones dan aliran lava. Dalam letusan Plinian tingkat fragmentasi magma jauh lebih besar dan clasts yang meletus jauh lebih kecil. Hal ini memungkinkan transportasi dari massa yang tererupsi keatas dalam convecting eruption plume dan menyebar ke area yang lebih luas. Jadi masalah utama adalah faktor-faktor yang mengontrol tingkat fragmentasi dan distribusi clast-size dari material erupsi. Diperkirakan bahwa fragmentasi dapat terjadi melalui dua mekanisme utama: rapid acceleration atau rapid decompression magma. Rapid decompression memicu terjadinya fragmentasi dan aktivitas eksplosif dimana ada pengurangan dari confining stress dari suatu magma yang terjadi secara cepat. Rapid acceleration sering dianggap sebagai penyebab fragmentasi di hawaiian dan sebagian besar erupsi plinian. Viskositas magma yang terlibat dianggap sebagai hal yang penting di proses ini. Viskositas magma dapat berubah secara dramatis jika air memisah. Efek ini sangat kecil pada magma basaltik oleh karena itu fragmentasi basaltic terjadi secara progesif oleh penipisan dan robekan dinding gelembung dan menghasilkan gumpalan lava yang relatif besar dan cair. Gambar 10.4 Variasi viskositas berbagai magma dengan kadar air terlarut mereka pada suhu konstan. Penurunan kadar air meningkatkan viskositas, terutama pada magma kaya silika. Peran kandungan gas Kandungan gas magma juga
memainkan peran dalam mengontrol gaya letusan ledakan
berkelanjutan. Misalnya, magma basaltik berbeda dari yang lebih berkembang dalam hal memiliki
kandungan gas rendah serta viskositas rendah. Ada kemungkinan bahwa kandungan gas yang lebih rendah dari basaltik magma juga mempengaruhi proses fragmentasi. Jumlah gas yang terkandung di magma mempengaruhi energi yang dilepaskan saat naik dan kemungkinan besar mempengaruhi percepatan yang terjadi sebelum fragmentasi maka akan mempengaruhi tingkat regangan yang dialami oleh magma,dengan adanya kandungan gas yang tinggi menyebabkan tingkat regangan menjadi lebih besar dan fragmentasi yang lebih besar.
IV. Kesimpulan (kontrol komposisi pada Karakter letusan). Komposisi kimia memiliki pengaruh yang relatif kecil dalam menentukan apakah letusan berkarakter efusif atau eksplosif. Sifat letusan bersifat eksplosif sementara atau berkelanjutan sangat ditentukan oleh kecepatan munculnya magma dan kemampuan gelembung gas untuk naik, dan memisahkan diri dari magma. eksplosif transient terjadi ketika gas memisah dan naik melalui magma dalam bentuk gelembung besar yang sedikit sedangkan aktivitas eksplosif berkelanjutan terjadi ketika ada sedikit pemisahan gas dari magma dan banyak gelembung kecil hadir. Dua jenis utama dari ledakan transien dikenal - strombolian dan Vulcanian - dan mereka sangat terkait dengan jenis magma tertentu. Erupsi Strombolian berasosiasi dengan magma basaltik sedangkan vulcanian explosion berasosiasi dengan magma intermediate. Untuk aktivitas eksplosif berkelanjutan perbedaan utama ada pada distribusi ukuran bahan yang dikeluarkan di letusan Hawaiian dan Plinian. Erupsi hawaiian memprodusi gumpalan lava yang cair dan besar sedangkan erupsi plinian memproduksi class yang lebih kecil.
V. Magnitudo dari sejarah erupsi gunung api Aktivitas gunungapi selalu direkam oleh para ahli gunungapi yang diukur berdasaarkan jumlah saksi mata, data geofisika yang terkumpul, pemetaan geologi, dan studi pengindraan jauh yag kemudian direkontruksi. Skala erupsi biasa diklasifikasikan dalam Volcanic Explosivity Index atau biasa disebut VEI. Metode klasifikasi ini berdasarkan magnitude dan intensitas erupsi. Magnitudo erupsi biasa didefinisikan sebagai total volume atau massa material hasil erupsi. Sedangkan intensitas adalah ukuran volumetric massa hasil erupsi. Skala VEI menunjukkan skala angka 0 – 8 yang merupakan gabungan dari magnitudo dan intensitas erupsi.
Walaupun skala VEI biasa digunakan, sistem ini sebenarnya memiliki beberapa kekurangan. Salah satunya adalah beberapa erupsi effusif yang memiliki kecepatan erupsi yang tinggi, mengeluarkan lava dalam volume yang besar serta menimbulkan banyak korban, cenderung dianggap memiliki nilai VEI yang rendah karena VEI hanya menilai erupsi yang explosif. Oleh karena itu, perhitungan magnitude dan intensitas erupsi biasanya dipisahkan masing-masing. Perhitungan magnitude sendiri menggunakan rumus : 𝒎𝒂𝒈𝒏𝒊𝒕𝒖𝒅𝒐 = 𝒍𝒐𝒈𝟏𝟎 𝑴𝒆 − 𝟕 dimana Me adalah total massa hasil erupsi (dalam kg). Sedangkan nilai intensitas dihitung dengan
𝒊𝒏𝒕𝒆𝒏𝒔𝒊𝒕𝒂𝒔 = 𝒍𝒐𝒈𝟏𝟎 𝑴𝒇 + 𝟑 dengan Mf adalah laju aliran (dalam kg/s). Bilangan bulat yang ada dalam perhitungan digunakan karena beberapa erupsi memiliki massa hasil erupsi kurang dari 107 kg atau laju alirannya kurang dari 103 kg/s. Sistem ini bermanfaat untuk membandingkan langsung antara explosif erupsi dan effusive erupsi. Dari tabel bisa dilihat kegunaan sistem yang baru untuk mengklasifikasikan beberapa erupsi. Untuk erupsi explosif, nilai VEI bisa digunakan untuk nilai magnitude, namun tidak bisa digunakan untuk erupsi effusif seperti erupsi gunung Mauna Loa tahun 1950 dan erupsi Gunung Eta tahun 1991 – 1993. Pada erupsi Gunung Kilauea, karena merupakan erupsi effusive, jadi erupsi ini memiliki nilai VEI yang rendah dan juga nilai magnitude serta intensitas yang rendah namun cukup destruktif. Selain itu, erupsi gunung Etna di Sicillia. Erupsi yang dominan lava aliran ini juga cukup memakan banyak korban. Biasanya erupsi ini cenderung menghancurkan desa-desa di sisi gunung dimana lava mengalir. Perbandingannya bisa dilihat pada erupsi Gunung Tambora dimana cakupan erupsinya bisa mencapai 40-50 km dengan asapnya menutupi daerah hampir seluas 600 km dalam 2 hari yang menyebabkan perubahan iklim mendadak.
VI. Magnitudo erupsi gunungpi dalam rekaman geologi Rekaman erupsi gunungapi bisa dilihat dari pengendapan hasil erupsinya yang kemudian diperkirakan waktu geologinya.
Pada tabel kita bisa melihat urutan erupsi guningapi dengan deposit terbesar yang tercatat dalam rekaman geologi. Jumlah deposit ini tidak bisa dibandingkan dengan besar magnitude erupsi seperti pada tabel sebelumnya. Hal ini bisa dilihat bahwa erupsi St Helen dengan magnitude cukup besar ternyata memiliki deposit yang lebih sedikit daripada erupsi Yellowstone. Erupsi terbesar pada rekaman geologi bisa dilihat dalam 2 tipe. Erupsi besar pada pusat gunungapi seperti Yellowstone memproduksi material piroklastik baik jatuhan maupun rontokan. Tipe lain dengan volume yang cukup besar adalah erupsi banjir basalt atau flood basalt eruption . Tipe ini memproduksi aliran lava yang nantinya terendap dengan skala besar dengan tebal 20 – 100 ,.
VII. Frekuensi Erupsi GunungApi Setiap Gunung berapi cenderung memiliki pola aktivitas sendiri, beberapa gunung berapi lebih sering meletus daripada yang lain. Interval antara letusan seringnya puluhan menit pada Stromboli tetapi belasan ribu hingga ratusan ribu tahun untuk gunung berapi besar yang meletus rhyolites. Namun, ada kecenderungan, untuk gunung berapi individu dan gunung berapi secara keseluruhan, untuk letusan yang magnitudenya kecil sering terjadi sedangkan letusan lebih besar jarang. Inilah sebabnya mengapa magnitude letusan yang dialami selama sejarah manusia jauh lebih kecil daripada skala letusan yang ditemukan dalam catatan geologi. Letusan besar yang sangat besar untungnya sangat langka dan begitu pada waktu rangkaian kecil sejarah manusia umumnya telah mengalami letusan kecil. (bisa dilihat di gambar 4.19)
VIII. Magnitude dan frekuensi dapur dan erupsi magma Seperti pada bab sebelumnya, magma umumnya tersimpan pada level tertentu dalam kerak sebelum letusan. Hal ini masuk akal karena akan ada hubungan antara besarnya letusan dan ukuran dapur magma yang terkikis. Sebagai contoh, kecil tapi frekuensi letusan basaltik dari gunung berapi di Hawai dan Islandia yang terjadi dari dapur magma dengan volume hanya 35 – 150 km3, (ditentukan oleh metode yang dijelaskan di Section 4.2.3). Besar densitas arus letusan pyroclastik menghasilkan ribuan kilometer kubik material perlu penyimpanan di dapur magma yang jauh lebih besar daripada dapur-dapur basaltic yang kecil bahkan jika semua magma bisa terevakuasi. Bukti yang lain untuk hubungan umum antara ukuran dapur magma dan besarnya
letusan
berasal
dari
perbandingan ukuran kaldera dengan volume letusan. Formasi kaldera dari runtuhan atap dapur magma sebagai magma yang ditarik selama letusan yang menghasilkan lebih dari ~10 - 50 km3 dari material. Diperkirakan bahwa diameter kaldera adalah refleksi dari diameter magma.
yang Saat
diproduksi
mendasari area
dalam
dapur
kaldera
letusan
yang
tertentu
dibandingkan dengan volume letusan dihubungkan dengan baik(Fig. 10,8).
IX. Erupsi Elastik dan Inelastik
Gambar 10.9 menunjukkan: 1. Rekaman Tilt GunungApi Kileuea tahun 1983 dan 1984 2. Serangkaian inflasi dan deflasi peristiwa-peristiwa yang terjadi pada puncak gunung berapi selama 1983 dan 1984 dalam respon serangkaian letusan yang terjadi pada sisi gunung berapi. 3. Variasi tilt hubungannya dengan letusan 3-19. Rekaman tilt menunjukkan pola siklik dari chamber magma inflasi dan deflasi yang diperkirakan oleh model chamber magma elastis sederhana. 4. Rekaman tilt yang ditunjukkan juga variabilitas pada saat-saat istirahat/tenang antara masing-masing letusan dan jumlah inflasi dan deflasi yang terkait dengan setiap letusan. Jenis aktivitas letusan elastic pada inflasi dan deflasi dapur magma siklik dan tidak terkait dengan setiap deformasi permanen yang penting; letusan berhenti ketika tekanan yang dihasilkan sebelum letusan telah berkurang. Banyak letusan berpola sederhana perilaku secara signifikan diubah karena letusan menyebabkan inelastik, yaitu struktur gunung berapi deformasi, tidak berubah. Ada letusan yang aktivitasnya menerus bahkan setelah tekanan awal telah berkurang dan dalam kemenerusnya letusan akhirnya dapat mengurangi tekanan di dalam dapur magma ke titik dimana atap runtuh. Ada dua kondisi kemungkinan erupsi setelah tekanan yang awal telah berkurang. Yang pertama terjadi pada perisai gunung api. Jika lubang letusan yang terjadi pada elevasi yang lebih rendah daripada bagian atas dapur magma, maka magma dapat terus mengalir dari dapur magma melalui sistem tanggul pengumpan (feeder dike system) bahkan setelah tekanan telah berkurang. Letusan di gunung ini dapat terjadi pada elevasi yang lebih rendah daripada elevasi puncak puncak dapur magma, dan itu diduga sebagai letusan kapal selam secara berkala menyebabkan drain-down (saluran bawah) dapur magma berlebihan dan karenanya formasi kaldera. Kondisi yang memungkinkan aktivitas inelastic dan formasi caldera dalam hubungannya dengan eksplosif letusan yang besar ini sangat berbeda. Hal ini tergantung pada gambaran fase gas yang ada di bagian atas dapur magma pada waktu tekanan awal telah berkurang. Jika bukan fase gas saat ini dalam dapur magma tekanan berkurang maka erupsi harus berhenti, karena tidak ada tekanan yang dapat mendorong magma naik melalui system dike/saluran.
Erupsi dengan Magnitude Tidak Biasa Letusan terbesar yang tercatat dalam sejarah geologi adalah letusan yang berhubungan dengan pembentukan ignimbrite dan letusan banjir basalt. Dua tipe letusan ini cukup menarik dari segi volume letusannya yang tak biasa.
1. Letusan Besar Pada Pembentukan Ignimbrite Letusan ini berasosiasi dengan pembentukan kaldera tipe letusan “inelastic” yang mampu menghasilkan material hasil letusan yang sangat banyak karena tak terpengaruh oleh proses klastika. Ukuran dapur magma memiliki peranan penting yang mampu membuat letusan bisa mencapai skala minimum 10 km3. Semakin besar letusan maka semakin besar dapur magmanya. Umumnya, tipe letusan ini berhubungan dengan aktifitas Plinian yang berevolusi menjadi proses pembentukan ignimbrite dan meletus pada prosesnya. Proses evolusi ini akibat menurunnya kandungan gas dan meningkatnya influx massa pada dalam proses erupsi. Akibat adanya gas exolution dari dapur magma yang melebihi titik batas, maka kemudian retakan mulai terbentuk pada bagian atas dan memulai proses runtuhnya kaldera. Retakan yang terbentuk melalui proses inelastic (tergantung lokasi dan orientasinya) bisa lebih besar daripada dike yang merupakan sumber dari proses Plinian. Diakibatkan oleh penambahan massa erupsi ketika retakan menjadi lebih lebar, penurunan volatile dari magma, dan proses yang terbentuk pada flux massa yang sangat tinggi menuntun “coined volcano” digunakan untuk merujuk gunung api dengan reservoir magma yang besar yang mampu meletus dengan cara seperti ini. 2. Letusan Banjir Basalt Letusan ini nampak seperti proses keluarnya magma langsung dari batas litosfer tanpa melalui proses penyimpanan crustal yang signifikan dan dikenal berasosiasi dengan mantel plume. Letusan ini cenderung terjadi saat pertama kali mantel plume menembus litosfer dan teori terbaru menyatakan bahwa volume magma yang besar berada di lokasi dari “kepala plume” yang terakumulasi di batas litosfer dan mengalir ke permukaan sebagai bagian dari proses letusan mealui sistem dike. Namun, tidak semua sepakat mengenai hal ini karena saat sistem dike mencapai permukaan, magma dapat keluar dalam jumlah yang sangat besar dalam beberapa fase akhir letusan. Letusan ini dianalogikan seperti proses letusan “elastik” akibat lebarnya dike yang membesar dan menembus mantel sehingga energy gesekan berkurang. Ketika tekanan berlebih, proses erupsi akan mulai terjadi dan besarnya volume erupsi adalah cerimanan besarnya magma yang terbentuk di “kepala plume” yang tersimpan di batas litosfer. Teori lain yang mungkin adalah bahwa proses ini berjalan dengan waktu yang lebih lambat dan lava keluar perlahan sehingga tipe ini lebih cenderung berupa letusan tipe Hawaiian seperti yang terjadi pada Gunung Kilauea. Ciri khasnya adalah volume magma yang sedikit jika erupsi terjadi dalam waktu singkat (jam atau hari), dan sebaliknya volume akan sangat besar jika erupsi terjadi dalam waktu lama (tahunan atau decade) dengan jumlah yang konstan. Erupsi dalam waktu lama ini akan menghasilkan hubungan kemenerusan dalam bentuk sistem dike dari mantel yang
menembus dapur magma sampai ke permukaaan dan magma keluar terus menerus tanpa ada jangka waktu pengisian dapur magma dan masa tidak aktif. Besarnya erupsi ditentukan oleh jumlah magma yang keluar dan tidak terbatas pada ukuran dapur magma serta akan terus terjadi selama sistem dike masih terbuka. Namun, proses lain yang juga dapat terjadi adalah pada titik tertentu maka sistem dike akan mensuplai magma sesuai dengan kandungan magma di dalam sistem ini dan dapat membuat magma terpisah dari mantel plume atau keluar dari jalur sistem dike. Proses lain ini membuat letusan ini terlihat lebih besar dan lebar dari apa yang sebarnya terjadi. Aliran lava besar yang mencapai suatu titik terbentuk dan kemudain menjadi jalan untuk mengalirkan magma dengan jumlah lebih besar dan hanya dibatasi oleh jumlah magma yang terproduksi di “kepala plume” (plume head). Jeda proses suplai yang cukup signifikan akan menyebabkan terjadinya pendinginan dan pemadatan sistem dike sehingga akhirnya erupsi terganggu dan berhenti sampai terjadi stress kembali untuk memulai munculnya sistem dike baru.
X. Rangkuman Data hasil pengamatan menunjukkan 3 aspek utama yang berkaitan dengan sifat sistem vulkanik : 1. Ada hubungan antara magnitude dan frekuensi dari erupsi. Erupsi dengan magnitude kecil cenderung memiliki frekuensi erupsi yang tinggi, demikian cenderung sebaliknya. 2. Volume dari magma yang tererupsi dari gunungapi umumnya tergantung dari ukuran dapur magma, semakin besar dapur magma maka cenderung semakin besar letusannya. 3. Dua letusan terbesar dalam catatan geologi ada dua tipe : letusan yang berkaitan dengan pembentukan ignimbrite dan letusan berkaitan dengan banjir basalt.
3 point di atas dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Model sederhana dari dapur magma tidak dapat menjelaskan 2 poin pertama. Dapur magma perlu diisi untuk menghasilkan letusan yang mana saat tekanan berlebih tidak dapat ditahan oleh dinding dapur magma, dinding akan runtuh dan erupsi atau intrusi terjadi. Semakin besar dapur magma maka akan semakin besar jumlah magma yang disuplai ke dalamnya. Jika diasumsikan suplai magma tidak jauh berbeda dengan di sistem vulkanik, maka jeda waktu antar letusan akan semakin lama jika dapur magma semakin besar. Lebih jauh lagi, volume magama yang keluar dari dapur magma setara dengan volume yang disuplai ke dalamnya (proses elastik), sehingga ada penjelasan mengapa besarnya dapur magma dapat memicu besarnya letusan yang terjadi. 2. Letusan vulkanik terbesar hanya ada 2 tipe seperti yang telah dijelaskan di atas karena tipe letusannya yang khusus dan ekstrimnya jumlah magma yang keluar.
3. Letusan pembentukan ignimbrite dengan volume yang besar merupakan proses inelastic dimana terbentuk kaldera yang memicu besarnya volume yang terjadi pada proses elastiknya. Letusan ini dapat terjadi jika terjadi kelebihan fase gas di dalam dapur magma yang mengakibatkan terjadinya proses ekspansi sehingga memicu campuran magma-gas keluar dari dapur magma. Tekanan akan terus turun seiring dengan semakin banyaknya magma yang keluar sehingga akhirnya membuat atap kaldera runtuh dan justru akan menyebabkan banyaknya magma yang terbawa oleh erupsi, sehingga letusan akan semakin besar volumenya. 4. Letusan pada proses banjir basalt berasosiasi dengan proses mendekatnya mantel plume ke litosfer dan merepresentasikan kejadian saat magma keluar dari batas litosfer tanpa ada proses penimbunan. Beberapa teori muncul untuk menjelaskan proses erupsi ini. Satu pandangan menjelaskan bahwa erupsi terjadi dalam skala ekstrim tetapi dalam waktu singkat (beberapa hari). Teori lain menyebutkan bahwa erupsi terjadi dalam skala kecil namun dalam waktu lama (tahunan atau decade). Dua macam teori ini digunakan untuk menganalogikan proses erupsi basalt yang teramati dalam skala kecil. Volume letusan dibatasi oleh ukuran penyimpanan magma di batas litosfer dan seberapa lama magma dapat disuplai melalui sistem dike. Terjadinya jeda suplai akan mengganggu proses erupsi karena terjadi pendinginan dan pemadatan magma yang mengarah pada akhir erupsi jika tidak ada sistem dike baru yang terbentuk.