Volume IV Nomor 11 September –Desember 2010
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
TRANSFORMASI SOSIAL UMAT ISLAM BERBASIS MASJID (Analisis Deskriptif Fungsi Mesjid Raya Ciromed Sumedang) Firman Nugraha, S.Sos.I., M.Ag.1 Abstracts Islam starts evolution from the Faith, historically is institutionalized through mosque. During Rasulullah saw., existence of mosque has function of multiple which it must be allied, namely function of religious ritual and social function. With reference to this, mosque becomes development ground of functioning public to tighten the relation of Islam believer with their God. Based on research MERCI has become agency of change for public Ciromed, its bearing with negative image become positive image (causes). This roles formulated through programs (channel) for public Ciromed (change target). The Role Of MERCI in social evolution in Ciromed is formulated by some things that is returning function of existence base of mosque with social interfunction compensating and function of ritual. MERCI develops three program models namely self-supporting, cooperation and fasilitatif. Public around Ciromed invited to participate is active in every the program. Key Word: Masjid, Social Change A. Pendahuluan Islam semenjak di syi’arkan oleh Nabi Muhammad mendapat pengakuan yang mendunia telah mampu membawa perubahan dalam konteks sosial umat manusia dalam sejarah peradabannya. Islam memulai perubahan itu dari perjalanan keyakinan, yang secara historis dilembagakan melalui Masjid. Keberadaan Masjid bagi umat Islam adalah keniscayaan. Pada masa Rasulullah saw., keberadaan masjid memiliki beragam fungsi. Selain dipakai sebagai tempat ibadah ritual seperti shalat fardlu berjamaah, tarawih, dzikir dan berdoa, masjid pun digunakan sebagai majelis ilmu, musyawarah, peradilan, mengatur strategi perang, merawat korban perang dan menerima tamutamu kenegaraan. Jadi setidaknya masjid memiliki fungsi ganda yang seyogianya dipadukan, yakni fungsi ritual keagamaan dan fungsi sosial kemasyarakatan (Dasuki, 1994: 176). Demikian pentingnya fungsi masjid dalam penataan kehidupan umat Islam, sehingga dalam sejarah hijrah diungkapkan, bahwa sesampainya Rasulullah saw. dan rombongan di Madinah, maka yang pertama kali dilakukan adalah mencari lahan untuk membangun masjid. Setelah mendapatkan tempat yang layak, dengan cara gotong royong mereka membangun masjid dalam bentuk yang sangat sederhana, yaitu tiang dan atapnya dari pohon dan pelepah korma dengan berlantaikan tanah. Sekalipun demikian, fungsi masjid cukup dominan dalam pengembangan syiar dakwah Islam pada masa itu, hingga dapat menjangkau seluruh pelosok Jazirah Arabia. Berkenaan dengan ini, Muhammad Al-Ghazally (tt: 303) mengatakan, bahwa masjid menjadi asas pembangunan masyarakat baru di Madinah yang berfungsi untuk memperkokoh hubungan umat Islam dengan Tuhannya. 1
Widyaiswara Muda bidang Penyuluh Agama dan Kemasjidan BDK Bandung.
600
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
Volume IV Nomor 11 September –Desember 2010
Dengan demikian, kehidupan yang hendak dibangun oleh Islam adalah yang bersendikan nilai-nilai masjid. Artinya kehidupan yang bersendikan Tauhidullah dan bernafaskan ibadah hanya kepada Allah SWT. Kehidupan umat Islam yang tidak lepas dari keimanan dan ketakwaan. Kehidupan yang dapat memadukan aspek ukhrawi dan duniawi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tampak jelas bahwa Masjid dalam satu perannya merupakan agen dari perubahan sosial. Berangkat dari itu pula maka penulis tertarik untuk mengkaji keberadaan Masjid dalam hal ini Mesjid Raya Ciromed Sumedang (MERCI) dan kontribusinya pada perubahan sosial bagi masyarakat sekitarnya. B. Tinjauan Teori Masjid dan Perubahan Sosial 1. Masjid Masjid adalah institusi yang inheren dengan masyarakat Islam. Keberadaannya dapat menjadi ciri bahwa disitu tinggal komunitas muslim. Masjid, pada umumnya terlepas dari keragaman bentuk dan ukuran besar atau kecilnya menjadi kebutuhan yang mutlak bagi umat Islam sebagai tempat untuk menemukan kembali suasana religius yang menjadi simbol keterikatan warga muslim tersebut satu sama lainnya. Penamaan Masjid itu sendiri sebagai suatu institusi dalam pranata religius Islam diambil dari bahsa aslinya (Arab) yaitu dari sajada-sujud yang berarti patuh taat serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim (Shihab, 2001: 459). Dan Masjid dimaknai sebagai tempat bersujud. Pemaknaan ini sejalan dengan fungsi utama Masjid sebagai tempat bersujud (yaitu dalam sholat) yang dilakukan oleh umat Islam. Sementara itu Al Faruqi (1998: 185) menegaskan bahwa Masjid bagaimanapun ukurannya, ornamennya, termasuk di manapun lokasinya secara fungsi sama saja yaitu untuk beribadah. Dan dari aspek kepemilikannya, begitu Masjid tersebut didirikannya maka sekaligus bukan milik manusia, sebagaimana makna harfiahnya sebagai ”rumah Allah” bukan saja dianggap benar dalam makna kiasnya melainkan juga dari aspek hukum. Maka dalam pengertian ini sejalan dengan penjelasan Allah dalam al Quran tidaklah ada aktivitas lain yang semestinya dilakukan selain mengandung unsur kepatuhan dan ketaatan kepadaNya. b. Klasifikasi Masjid Berdasarkan hubungan keberadaan Masjid dengan lingkungannya, menurut Fachrurozy ( 2 0 0 5 ) dapat dikategorikan ke dalam beberapa level: 1) Masjid di pedesaan Masjid pedesaan mencerminkan kehidupan masyarakat pedesaan yang homogen. M akna ini merujuk kepada keadaan masyarakat desa yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan keagamaan. Selain bercirikan karakter masyarakat yang demikian, juga dilihat dari kepengurusannya yang belum baik, serta pendanaan yang relatif tidak stabil. 2) Masjid Wisata Masjid wisata adalah Masjid yang dengan sengaja dibangun untuk
601
Volume IV Nomor 11 September –Desember 2010
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
kepentingan itu, atau dibangun di daerah wisata. Keduanya berbeda. Jika dari awal Masjid tersebut diproyeksikan untuk menjadi pusat kunjungan wisata, maka keberadaanya menjadi pioner dalam pengembangan pola jemaah yang dibinanya. Ciri umum Masjid dengan konsep ini ialah kondisi jemaah yang heterogen dan tidak terukur, namun dari aspek pembiayaan kegiatan relatif stabil dan mudah diperoleh, kemudian dari kepengurusan Masjid relatif stabil dan teratur karena tentu dikelola dengan baik. 3) Masjid Instansi Masjid instansi adalah Masjid yang ada di lokasi perkantoran, ide awal pembangunan Masjid model ini ialah untuk memfasilitasi para karyawan dalam melaksanakan ibadah formal. Ciri lainnya adalah dari aspek kepengurusan relatif stabil, namun masih diwarnai perilaku birokrasi. Dari aspek pendanaan relatif mudah diperoleh. 4) Masjid Pusat Kota Masjid di pusat kota (kaum) merupakan mejid utama dalam penyangga aspek-aspek spiritual dan sosial masyarakat yang ada di sekitarnya. Konsep Masjid kaum ini, jika melihat pada perjalanan sejarah Islam lokal, juga merupakan symbol pemerintahan dan keberagamaan. Masjid model ini biasanya dibangun berdekatan dengan pusat pemerintahan, contoh kongkritnya ialah Masjid besar atau Masjid raya. 5) Masjid Kampus Sebagaimana halnya Masjid instansi, demikian pula dengan Masjid kampus. Didirikan untuk memfasilitasi kepentingan para siswa/mahasiswa muslim dalam melaksanakan kegiatan ibadah formalnya. c. Fungsi-fungsi Masjid Mengenai fungsi Masjid, kita dapat merujuknya kepada sumber otoritas ajaran yakni al Quran dan amal rasul, yang menunjukkan bagaimana sesungguhnya pola penggunaan Masjid itu. Dari sumber pertama, yang diungkapkan dalam QS. An Nuur ayat 36-37. Dimana ayat ini secara tegas dinyatakan bahwa Masjid merupakan tempat untuk memuliakan Nama Allah dengan berdzikir, shalat, serta menunaikan zakat. Kegiatan ini lebih merujuk kepada suatu konsep kegiatan ibadah secara vertical (mahdloh). Namun jika mengingat bahwa Masjid merupakan rumah Allah, dan pemiliknya adalah Allah terlepas dari bentuk dan pendiriannya, maka sesungguhnya segenap aktivitas manusia yang pada prinsipnya adalah ibadah dimulai dari Masjid, dan juga bermuara kepada Masjid, serta akhirnya juga kembalinya ke Masjid. Prinsip ini merupakan hakikat dari bahwa sesungguhnya manusia adalah hamba-Nya. Adapun dari amal rasul kita mendapatkan bahwa di masanya, Masjid selain sebagai tempat untuk menunaikan ibadah mahdloh seperti diungkapkan ayat diatas, juga merupakan pusat kegiatan umat pada umumnya, baik itu menyangkut ibadah formal juga muamalah (horizontal). Harun Nasution (2000: 248). menjelaskan bahwa di masa awal perjalanan sejarah Islam, Masjid oleh Nabi
602
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
Volume IV Nomor 11 September –Desember 2010
Muhammad dan umat Islam digunakan untuk melakukan ibadah shalat, tempat tinggal ahl al shuffah, juga tempat tinggal Nabi Muhammad dan keluarga. Dan seiring perkembangan umat Islam, maka fungsi Masjid di Madinah bertambah sebagai tempat Nabi Muhammad mengatur strategi dalam ketatanegaraan dan pemerintahan, menyampaikan pidato-pidato, juga memutuskan perkara peradilan. Sementara itu Quraish Shihab (2001: 462) merinci fungsi-fungsi Masjid di masa Nabi Muhammad sebagai berikut: Tempat ibadah (shalat, zikir); Tempat konsultasi dan komunikasi persoalan ekonomi, sosial dan budaya; Tempat melangsungkan kegiatan pendidikan umat; Tempat melakukan santunan terhadap fakir miskin (sosial); Tempat latihan militer serta mempersiapkan perlengkapannya; Tempat pengobatan korban peperangan; Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa; Aula dan tempat menerima tamu; Tempat menawan tahanan, dan Pusat penerangan dan pembelaan agama. Berangkat dari aneka pendapat serta rujukan formal di atas, maka fungsi Masjid pada umumnya meliputi: 1) Fungsi Ibadah Fungsi ini merupakan fungsi dasar Masjid. Sebab sebagaimana yang diamanatkan dalam kutipanayat sebelumnya (Q.S. an Nuur: 36-37) Masjid tempat mengingat Allah. Fungsi dasar ini menjadikan Masjid sebagai tempat untuk melakukan ritual formal keagamaan, seperti shalat lima waktu, shalat jumat, termasuk melaksanakan shalat tarawih dan ied. 2) Fungsi Sosial Bermula dari pelaksanaan shalat berjamaah, penunaian zakat, maka disitulah benih pembentukan komunitas Islam yang kuat terbentuk. Dan, salah satu hikmah dari berjamaah memang untuk menghubungkan antar pribadi muslim dengan lainnya sehingga tertanam rasa keterikatan yang kuat berdasarkan prinsip tawhid, bukan atas nama simbol golongan atau lainnya. Dengan demikian maka berarti pula bahwa Masjid menjadi basis pembentukan umatan wahidah dalam konteks tawhid (Islam). Suatu harapan baru, di tengah-tengah kondisi masyarakat yang semakin kompetitif dan plural, untuk membangun masyarakat yang ideal dengan berbasis keMasjidan. Dan itu berarti merupakan tantangan ulang untuk merekonstruksi fungsi sosial kemasyarakatannya ini agar lebih akrab dalam wawasan jemaah. 3) Fungsi Ekonomi Masyarakat tanpa aktivitas adalah masyarakat yang mati. Salah satu aktifitas terpentingnya ialah dalam tataran muamalah (ekonomi). Ketika Masjid menjadi basis pembentukan umat yang tumbuh dan berkembang dengan konsep tawhid, maka setiap aktifitas menjadi bagian integral dalam wacana rekonstruksi peran dan fungsi Masjid ini. Termasuk di dalamnya ialah menjadikan Masjid sebagai pusat pembinaan perekonomian masyarakat. Namun demikian, terdapat tantangan mitos, bahwa Masjid semata-mata untuk melakukani badah ritual formal, dan itu berarti menutup kemungkinan konsep bentuk ibadah secara makro (ghayr mahdloh). Namun demikian, sebagai promotor
603
Volume IV Nomor 11 September –Desember 2010
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
perubahan masyarakat menuju konsep masyarakat yang bertawhid, apakah akan mematikan konsep tersebut dengan mitos belaka? Bahwa kemungkinan yang terjadi adalah kekeliruan dalam memahami dan menafsirkan teks-teks yang telah dianggap mapan dan tidak boleh dirubah atau berubah. Kekeliruan ini niscaya menjauhkan identitas muslim dari pranata pemersatunya. Dan akhirnya menjadikan mereka terkotak-kotak pada golongan atau kepentingan tertentu. Maka menempatkan kembali Masjid sebagai basis pertumbuhan budaya dan aktifitas sosial yang bertawhid adalah mutlak. 4) Fungsi Pendidikan Fungsi pendidikan dari Masjid setidaknya dapat dipetakan ke dalam dua tipe. Pertama melalui pembiasaan. Pembiasaan dari aktifitas ritual formal yang dilakukan secara berjamaah dan konsisten dengan ketentuan-ketentuannya baik dari aspek waktu maupun ketentuan hukumnya, itulah pendidikan dasar yang ditanamkan dalam pembentukan umat yang bertawhid. Kedua, sejatinya Masjid memang dapat dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan ajaran Islam dari para ulama. 5) Fungsi Dakwah Fungsi dakwah bagi Masjid memiliki relevansi dengan fungsi pendidikan. Namun demikian fungsi dakwah ini lebih luas lagi meliputi segenap aktifitas keberagamaan baik melalui transmisi, transformasi dan internalisasi ajaran untuk membentuk masyarakat yang bersendikan ajaran Islam. Pemahaman ini berangkat dari penegrtian dakwah itu sendiri yang secara filosofis berarti segenap upaya (bi ahsani qawl dan bi ahsani amal—ucapan dan tindakan) untuk memanusiakan manusia seutuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip keIslaman. 2. Perubahan Sosial Perubahan sosial adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan.Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan (Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Perubahan_Sosial_Budaya, Tgl 25 Maret 2010). Wilbert Moore (1967: 3) mendefiniskan perubahan sebagai perubahan penting dari struktur sosial. Struktur sosial disini diartikan pola-pola prilaku dan interaksi sosial. Moore memasukan berbagai ekspresi mengenai struktur norma, nilai, dan fenomena kultural, jelaslah definisi demikian serba mencakup. Lebih lanjut Moore menyatakan perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk
604
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
Volume IV Nomor 11 September –Desember 2010
dipisahkan (Soekanto, 1990). Soekanto sendiri mendefiniskan perubahan sosial adalah sebagai perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya. Tekanan pada definisi tersebut adalah pada lembaga masyarakat sebagai himpunan kelompok manusia dimana perubahan mempengaruhi struktur masyarakat lainnya. Dari definisi yang dikemukakan para ahli dapatlah ditarik kesimpulan bahwa perubahan sosial dipandang sebagai konsep yang serba mencakup, yang menunjuk pada perubahan fenomena sosial di berbagai tingkat kehidupan manusia, mulai dari tingkat individual hingga tingkat dunia. Makna “perubahan” dirumuskan oleh agama, sebagai keharusan universal– meminjam istilah Islam sunnnahtullah–agar dapat merubah dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketertindasan dan dari berbagai macam yang bersifat dehumanisasi menuju terwujudnya masyarakat/umat yang berprikemanusian dan berperadaban. Paling tidak, agama mengajarkan nilai-nilai seperti itu, selain doktrindoktrin yang bersifat ritual. Sebab, dapat dibayangkan apabila kehadiran agama di tengah-tengah hingar-bingarnya akselerasi kehidupan manusia tidak dapat menawarkan semangat perubahan, maka eksistensi agama akan menjadi pudar. Kotler (1972: 29-33) menggambarkan bahwa dalam perubahan sosial ada beberapa unsur yang berperan: 1. Causes, yaitu upaya atau tujuan sosial yang dipercaya oleh pelaku perubahan dapat memberikan jawaban pada perubahan sosial. 2. Change Agency, yaitu pihak yang misi utamanya merujuk upaya perubahan sosial. 3. Change Target, yaitu pihak yang ditunjuk sebagai sasaran upaya perubahan. 4. Channel, yaitu media untuk menyampaikan pengaruh dan respon setiap pelaku perubahan ke sasaran perubahan. 5. Change Strategy, yaitu teknik utama mempengaruhi yang ditetapkan oleh pelau perubahan untuk menimbulkan dampak pada sasaran perubahan. Berangkat dari pendapat Kotler tersebut, perubahan sosial dapat terjadi apabila terdapat agen perubahan. Pada tingkat kelompok seringkali dijumpai adanya gerakan sosial. Gerakan sosial ini seringkali menjadi agen perubahan. Kondisi ideal perubahan yang terjadi merupakan proses tuntutan dari bawah (bottom up) namun seringkali pula perubahan melalui gerakan sosial juga berasal dari kalangan elit (top down). Gerakan sosial biasanya didefinisikan sebagai gerakan bersama sekelompok orang atau masyarakat yang terorganisir tetapi informal bersifat lintas kelompok untuk menentang atau mendesakkan perubahan. Banyak versi dan dimensi dari definisi gerakan sosial itu tetapi Diani (Dalam Nash, Kate, 2000:154-176) misalnya, menekankan pentingnya empat unsur utama, yaitu (1) jaringan yang kuat tetapi interaksinya bersifat informal atau tidak terstruktur. Dengan kata lain ada ikatan ide dan komitmen bersama di antara para anggota atau konstituen gerakan itu meskipun mereka dibedakan dalam profesi, kelas sosial, dll. (2) Ada sharing keyakinan dan solidaritas di antara mereka; (3) ada aksi bersama dengan membawa isu yang bersifat konfliktual. Ini berkaitan dengan penentangan atau desakan terhadap perubahan
605
Volume IV Nomor 11 September –Desember 2010
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
tertentu; (4) Aksi tuntutan itu bersifat kontinyu tetapi tidak terinstitusi dan mengikuti prosedur rutin seperti dikenal dalam organisasi atau agama, misalnya. Dalam konteks agama, aktor perubahan adalah penganut agama itu sendiri dengan spirit dari nilai-nilai agama yang dianutnya. Islam menjadikan perubahan sebagai keniscayaan. Dalam Islam, institusi yang mewadahi segenap aktivitas umatnya dan menjadi sumber gerakan dalah Masjid. Dalam hal ini masjid menjadi agen dari perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah, ketika hijrah, bangunan pertama yang dia bangun adalah Masjid dan dijadikannya sebagai pusat kegiatan umat Islam. Maka tidak berlebihan ketika Sidi Gazalba menganggap Masjid sebagai pusat kebudayaan Islam. Ketika Masjid mendapat predikat pusat kegiatan umat Islam, maka seyogianya Masjid menjadi ikon dari setiap gerak perubahan sekaligus sumber spirit perubahan itu sendiri. C. Analisis Deskriptif Fungsi MERCI dalam Perubahan Sosial di Ciromed Masjid Raya Ciromed berada di Desa Kutamandiri Km. 19,5 Kecamatan Tanjungsari, di atas tanah seluas 4000 meter persegi, yang diantaranya (1400 m2) merupakan wakaf dari H. Ma’soem dan selebihnya hasil pembelian Pemda Sumedang, sebelah barat jalan Tanjungsari – Sumedang yang menghubungkan kota Bandung dengan kota Sumedang dan sekitarnya (Kalam Republika, Jumat 25 April 2003). Secara geografis MERCI cukup strategis untuk memenuhi kebutuhan umat Islam dalam beribadah kepada Allah. Baik mereka yang sedang dalam perjalanan maupun bagi penduduk sekitar Ciromed. Letaknya yang strategis seyogianya menjadikan kegiatan dakwah dapat dikelola secara lebih optimal. Letaknya yang mudah diakses, membuat setiap umat Islam mendapat kemudahan untuk dapat beribadah di sini. Sehingga MERCI bukan hanya menjadi kebanggaan Ciromed dan sekitarnya melainkan juga menjadi kebanggaan umat dari luar kota tersebut yang nyata memiliki kemudahan untuk mengakses MERCI. Ini terlihat dari serangkaian kegiatan yang telah dilaksanakan, jemaah dan penyelenggara banyak yang berasal dari luar Tanjungsari maupun Sumedang, diantaranya dari Bandung (Sumber: Dokumen kegiatan MERCI). Aspek pemilihan lokasi dalam pembangunan sebuah Masjid memang penting. Karena banyak Masjid yang dibangun dengan tidak memperhatikan planologi, secara nyata mengakibatkan kurang daya gunanya Masjid itu sendiri. Sehingga peran Masjid sebagai sentral umat Islam menjadi bias (Rukmana: 74-76). MERCI kiranya telah menjawab tantangan ini dengan menjadikan dirinya mudah diakses dan strategis. Latar belakang berdirinya MERCI tidak terlepas dari kondisi sosioekonomi dan sosioreligius penduduk sekitar Ciromed. Sebelum MERCI berdiri, Ciromed terkenal sebagai area G-Spot. Yang ditengarai dengan maraknya beberapa titik hitam sebagai lokasi transaksi asusila (Kalam Republika, Jumat 25 April 2003). Hal ini jelas mempengaruhi terhadap penilaian positif bagi warga Ciromed yang sebetulnya memiliki keinginan yang kuat untuk mewujudkan kehidupan beragama (Islam). Dengan demikian, berdirinya MERCI merupakan kaharusan dengan harapan dapat memberikan pengaruh positif bagi Ciromed. Dengan kesadaran tersebut dan
606
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
Volume IV Nomor 11 September –Desember 2010
didukung oleh aparat pemerintah setempat maupun Pemda Sumedang maka peletakan batu pertama pembangunan Masjid ini dimulai pada tahun 2001 sebagai pernyataan konkrit menolak segala bentuk tindakan tidak bermoral yang tidak sesuai dengan hukum agama dan negara. Masjid ini dibangun dengan menggunakan dana APBD Sumedang, dan para donatur. Kondisi ini dalam konteks Diani merupakan implementasi sharing dan aksi bersama dalam sebuah gerakan sosial. Pada tanggal 26 April 2002, Masjid ini rampung dibangun serta diresmikan oleh Bupati Sumedang sendiri yaitu Bapak Drs. H. Misbach sebagai bupati saat itu dengan total dana terserap 1,5 milyar (Kalam Republika, Jumat 25 April 2003). Tidak cukup sampai peresmian saja, pengelolaan MERCI telah dipikirkan untuk menuju optimalisasi peran dan fungsi Masjid itu sendiri. Kerjasama dijalin dengan beberapa fihak, LPM IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, DEPAG Sumedang dan Pemda Sumedang sendiri untuk menjadi dewan yayasan Masjid (Sumber: Statuta MERCI). Dan penamaan Masjid ini menggunakan level Masjid raya, yang kemudian disingkat menjadi MERCI— diasosiasikan dengan merek mobil mewah—merupakan upaya meningkatkan brand image masyarakat terhadap keberadaan MERCI sebagai Masjid yang ‘istimewa’. Keistimewaan yang meliputi latar belakang berdirinya MERCI, penamaan yang tidak menggunakan gaya bahasa kearaban tetapi lebih melokal dengan hanya menggunakan nama daerah yang sebenarnya telah cemar—Ciromed—namun justru upaya ini dilakukan agar MERCI dapat lebih diakrabi, dan pengelolaan yang berupaya untuk menjadi salahsatu Masjid unggulan sebagai Masjid percontohan bagi MasjidMasjid di Indonesia dalam aspek pengelolaannya. MERCI menyandang keistimewaan lainnya ialah sebagai laboratorium dalam proses Manajemen Masjid. Pengelolaannya mencerminkan sikap akomodatif terhadap situasi dan kondisi masyarakat. Sehingga yang menjadi target MERCI untuk saat ini ialah lebih pembenahan di dalam, dan pendekatan kepada masyarakat lokal dibandingkan dengan gebyar yang penuh publisitas. Pengelolaan MERCI dengan sifat pelayanan internal dalam pandangan Ayub (2005: 33) dinamakan Idarah Binail Maadiy-physical management. Sedangkan pengelolaan dengan sifatnya melayani kepada jemaah disebutnya dengan Idarah Binail Ruhiy. Kemudian berdirinya MERCI sendiri selain sebagai media dalam usaha Dakwah yang berisikan pesan-pesan Islam, juga berperan sebagai pesan itu sendiri. Maksudnya ialah bahwa keberadaan Masjid itu selain sebagai media dalam beribadah juga sebagai bentuk dari pesan Islam itu sendiri. Fungsi MERCI sebagai suatu lembaga keagamaan, tertuang dalam visi dan misi yang diatur dalam statuta MERCI. Hal tersebut antara lain, MERCI berfungsi untuk sarana ibadah yang ditingkatkan mutu dan pelayanannya dengan pelayanan yang dilandasi kesadaran dan kesiapan layanan publik serta dengan tersedianya fasilitas yang memadai untuk menunjang kerja pengelola. Kemudian juga berfungsi sebagai tempat pembinaan dan peningkatan budaya masyarakat ke arah religius Islami, selanjutnya, juga berfungsi dalam bidang pemberdayaan ekonomi umat secara Islami, yang diharapkan menjadi anutan dalam bidang bermuamalah, dan secara khusus berupaya untuk menjadi penopang pengembangan syiar dan budaya Islami serta pemberdayaan ekonomi umat di Sumedang. Segenap peran dan fungsi MERCI
607
Volume IV Nomor 11 September –Desember 2010
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
tersebut, merupakan upaya untuk menghidupkan kembali peran dan fungsi Masjid semenjak Masjid pertama dibangun oleh Nabi Muhammad di Madinah. Menurut Sekretaris Direktur MERCI, dalam rangka menghidupan fungsifungsi masjid yang demikian kompleks, maka dirancang dalam bentuk kegiatankegiatan. Kegiatan di MERCI terbagi ke dalam tiga model. Pertama kegiatan yang besifat mandiri, kedua program yang dilakukan dengan bekerja sama, dan ketiga, program yang sifatnya fasilitatif. Program-program mandiri dirancang sebagaimana peran dan fungsi Masjid umumnya yakni pelayanan jemaah. Pelayanan jemaah ini meliputi aktivitas ritual formal seperti penyelengaraan shalat lima waktu berjamaah, shalat Jumat, termasuk pengajian (ta’lim) bagi jemaah. Dalam kerangka mengTa’lim bagi pria dilaksanakan setiap hari Selasa malam, danbagi wanita setiap hari senin pagi. Tema-tema dalam talim sudah dijadwal dan mengikuti kurikulum yang disusun sebelumnya.Program keagamaan ini diselenggarakan dibawah tanggungjawab divisi ibadah. Selain dalam aktivitas keagamaan formal, juga dalam kegiatan pemberdayaan ekonomi umat dibawah tanggungjawab Lembaga Otonom BMT. Jemaah didata dan diberikanbantuan modal untuk usaha atau pendampingan usaha. Upaya ini dilakukan sebagai salah satu tanggugnjawab sosial MERCI bagi masyarakat binaannya. Sementara itu, unit Pendidikan menyelengarakan pendidikan anak usia dini (PAUD) dan perpustakaan Masjid. Program kerjasama merupakan program yang dilakukan dengan melibatkan pihak lain dalam kegiatan tersebut. Saat ini yang telah dilakukan adalah penyelengaraan pendidikan tinggi yang pelaksanaannya dibawah koordinasi badan otonom serta pihak DPM sendiri. Pendidikan tinggi yang diselenggarakan bekerjasama dengan STAI dan Universitas Terbuka sebagai tempat belajar pokjar. Program fasilitatif adalah program yang dilakukan dimana penanggungjawab kegiatan adalah pihak lain, sementara itu MERCI dan pengelolaannya adalah sebagai penyiap tempat atau sarana lainnya. Program-program ini sering dilakukan dan merupakaan bentuk keterbukaan MERCI atas elemen masyarakat agama yang plural. Menuju tercapainya tujuan sebagaimana peranan yang harus dilakukan MERCI mengembangkan pola pengelolaan dengan pendekatan manajemen modern. Pengelolaan Masjid merupakan upaya untuk memakmurkan kegiatan dalam Masjid dan optimalisasi peran dan fungsi Masjid itu sendiri, selanjutnya dijelaskan bahwa pada umumnya pengelolaan Masjid masih bercorak tradisional. Hal ini sebagai dampak dari minimnya SDM yang tergabung dalam Masjid, sedikit sekali jumlah Masjid yang mulai mengelola secara profesional. MERCI dijadikan suatu terobosan baru dalam pengelolaan Masjid. Konsekuensi dari prinsip profesionalisme ini, bagi Rukmana (144-145) berarti bahwa para pengelola harus memenuhi kriteria sebagai berikut : Berwibawa, berpengetahuan luas, jujur dan berani; Menjadi teladan, amanah dan ikhlas; Berdedikasi untuk perencanaan dan pengembangan sarana keagamaan; Kaderisasi sebagai upaya regenerasi. Menurut Harahap (2001: 37) jika ingin mengelola sebuah Masjid secara profesional, maka Masjid tersebut harus ditata dalam kerangka suatu organisasi. Dalam pengorganisasian kerja pengelolaan Masjid, maka diperlukan suatu tata hubungan yang mengatur alur pertanggungjawaban hasil pekerjaan secara hirarkial
608
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
Volume IV Nomor 11 September –Desember 2010
dalam struktur organisasi. Secara lebih jauh Ayub (2005: 44) menjelaskan struktur organisasi Masjid ini berfungsi untuk memperjelas hubungan antar unit, adanya pembagian kerja sekaligus keterpaduan fungsi-fungsi atau kegiatan yang berbeda-beda itu. Juga mempertegas adanya wewenang, pemberian tugas dan pelaporan. Ayub selanjutnya memberikan contoh sruktur yang harus dikembangkan dalam pngelolaan sebuah Masjid. Selanjutnya dijelaskan bahwa beberapa seksi yang harus dibentuk hendaknya memenuhi dari tujuan dan fungsi Masjid, diantaranya: Seksi Pendidikan dan Dakwah; Seksi Pembangunan dan Pemeliharaan; Seksi Peralatan dan Perlengkapan; Seksi Sosial dan Kemasyarakatan; juga Pembantu Umum. Seksi-seksi tersebut bertanggungjawab untuk melaksanakan tugas-tugasnya dan melaporkan kepada ketua pengelola Masjid. Struktur kepengurusan ini dibentuk untuk melayani dan mengikat jemaah sebagai faktor penting dalam organisasi Masjid, karena dengannya akan jelas tergambar antara hak dan kewajiban jemaah terhadap Masjid dengan tidak mengabaikan keterlibatannya di organisasi lain atau Masjid yang lain. Berangkat dari karakteristik dan keistimewaannya, MERCI berupaya melakukan perubahan-perubahan paradigmatik dalam kehidupan sosial masyarakat sekitar melalui program-program (channel) yang digulirkan selain secara de facto keberadaanya sendiri di Ciromed. Keberadaan MERCI dapat dikatakan telah berhasil mengubah citra Ciromed dari negatif ke positif. Melalui program yang disusun MERCI, ia telah melakukan langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengelola perubahan, yaitu: (1) Unfreezing, merupakan suatu proses penyadaran tentang perlunya, atau adanya kebutuhan untuk berubah, (2) Changing, merupakan langkah tindakan, baik memperkuat driving forces maupun memperlemah resistences, dan (3) Refreesing, membawa kembali kelompok kepada keseimbangan yang baru (a new dynamic equilibrium). Pada dasarnya perilaku manusia lebih banyak dapat dipahami dengan melihat struktur tempat perilaku tersebut terjadi daripada melihat kepribadian individu yang melakukannya. Sifat struktural seperti sentralisasi, formalisasi dan stratifikasi jauh lebih erat hubungannya dengan perubahan dibandingkan kombinasi kepribadian tertentu di dalam organisasi. Dalam konteks ini penulis melihat keberadaan MERCI meupakan bagian dari sifat struktural yang bergerak sebagai agen perubahan bagi Ciromed. Perubahan sosial dalam masyarakat bukan merupakan sebuah hasil atau produk tetapi merupakan sebuah proses. Perubahan sosial merupakan sebuah keputusan bersama yang diambil oleh anggota masyarakat. Konsep dinamika kelompok menjadi sebuah bahasan yang menarik untuk memahami perubahan sosial. Kurt Lewin dikenal sebagai bapak manajemen perubahan, karena ia dianggap sebagai orang pertama dalam ilmu sosial yang secara khusus melakukan studi tentang perubahan secara ilmiah. Konsepnya dikenal dengan model force-field yang diklasifikasi sebagai model power-based karena menekankan kekuatan-kekuatan penekanan. Menurutnya, perubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap kelompok, individu, atau organisasi. Ia berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (driving forces) akan berhadapan dengan penolakan (resistences) untuk berubah.
609
Volume IV Nomor 11 September –Desember 2010
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
Perubahan dapat terjadi dengan memperkuat driving forces dan melemahkan resistences to change. Masjid Raya Ciromed (MERCI) adalah Masjid yang berupaya untuk melayani umat Islam baik dalam aspek ibadah mahdloh maupun aspek muamalah (sosioekonomi umat). Pengelolaannya menggunakan pengetahuan Manajemen sebagai sarana penunjang kegiatan dakwah. Dengan demikian media yang digunakan dalam kegiatan dakwah untuk mentrasformasikan pesan-pesan Islam dilakukan secara keorganisasian, dilakukan secara bersama-sama, dengan pembagian tugas yang sesuai dengan peran masing-masing sehingga menjadi satu kekuatan yang kokoh untuk membangun Islam (Sumber: Statuta MERCI). Keadaan ini seperti yang diungkapkan oleh Shaleh (1977: 77) mengenai pentingnya pengorganisasian dakwah. Dalam pengertian ini MERCI merefresentasikan diri sebagai institusi dengan pola organisasi modern. Setiap organisasi memiliki karakteristik sendiri, apakah itu organisasi bisnis, organisasi sosial, organisasi pendidikan seperti sekolah maupun organsiasi yang bergerak dalam bidang keagamaan, yang terakhir ini dapat juga dinamakan organisasi dakwah yang tujuannya ialah untuk melaksanakan kegiatan dakwah secara efektif dan efesien. Dalam pengertian inipula MERCI dikelola. MERCI sebagai organisasi dakwah. Kaitannya dengan pola perubahan yang dilakukan, maka MERCI dalam hal ini memerankan sebagai driving force bagi perubahan sosial di Ciromed. D. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan tersebut, maka diketahi bahwa MERCI telah menjadi channel of change sekaligus agency of change bagi masyarakat Ciromed, kaitannya dengan citra negatif menjadi citra positif (causes). Peran-peran ini dijabarkan melalui program-program (channels) yakni mandiri, kerjasama dan fasilitatif bagi masyarakat Ciromed (change target). Peran MERCI dalam perubahan sosial di Ciromed dijabarkan melalui mengembalikan fungsi dasar keberadaan Masjid, yakni penyeimbangan antar fungsi sosial dan fungsi ritual. Daftar Pustaka Abdullah, Sutrisno dalam http://www.averroes.or.id/research/agama-perubahansosial-dan-sublimasi-identitas.html Al-Ghazally, Muhammad. tt. Fiqhus Sirah (Terj. Abu Laila) (Bandung: PT. Al-Ma’arif. Bahua, Mohamad Ikbal. Aksi Dan Perubahan Sosial Dalam Http://Eeqbal.Blogspot.Com/2009/06/Aksi-Sosial-Dan-PerubahanSosial.Html. Dasuki, Hafidz dkk., 1994. Ensiklopedi Islam 3, Jakarta: PT Ichtiar Baru. Diani, Mario, 2000, “The Concept of Social Movement,” dalam Nash, Kate, Reading in Contemporary Political Sociology, Blackwell, Oxford. Faruqi, Ismail. R dan Lamya. 1998. Atlas Budaya Islam (terjemahan dari The Cultural Atlas of Islam). Bandung: Mizan. Gazalba, Sidi. 1994. Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Alhusna.
610
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
Volume IV Nomor 11 September –Desember 2010
Harahap, Sopyan Syapri. 2001. Manajemen Masjid. (Yogyakarta: Dhana Bhakti Prima Yasa. Harun Nasution. 2000. Islam Rasional. Bandung: Mizan. http://agussetiaman.wordpress.com/2008/11/25/perubahan-sosial/ diakses tgl 25 Maret 2010 http://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_sosial_budaya diakses tgl 25 Maret 2010 Ismail. R Faruqi dan Lamya. 1998. Atlas Budaya Islam (terjemahan dari The Cultural Atlas of Islam). Bandung: Mizan Kalam Republika, Jumat 25 April 2003 Kotler, Philip. 1972. Creating Social Change. Hold Rine Hart and Wastone Inc. New York. M.E. Ayub. 1996. Manajemen Masjid Petunjuk Praktis Bagi Pengurus. Jakarta: Gema Insani Press. Moch. Fachrurozy, 2005, Manajemen Masjid, Bandung: Benang Merah Press. Moore, Wilbert E., 1967. Order and Change. Essay in Comparative Sosiology”, New York, John Willey & Sons. Nash, Kate, Reading in Contemporary Political Sociology, Blackwell, Oxford. Nana Rukmana. 2002. Masjid dan Dakwah. Jakarta: Al Mawardi Primayasa Shaleh, Rosyad. Manajemen Dakwah. (Jakarta: Bulan Bintang .1977 Shihab, M. Quraih. 2000. Wawasan Al Quran. Bandung: Mizan Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. Supardi dan Teuku Amarudin. 2001. Manajemen Masjid dalam Pembangunan: Optimalisasi Peran dan Fungsi Masjid. Yogyakarta: UII Press.
611