Volume V Nomor 13 Mei - Agustus 2011
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
AKTUALISASI DAKWAH BI L ‘AMAL BERBASIS MASJID Oleh Firman Nugraha1
Abstract
Mosques in the context of Islamic religion is not just building a place of worship rituals. Time of the Prophet Mosque in the center spread of the religion of Islam. In the context of Indonesia and the present, the challenge of preaching has grown so complex. Thus, the mosque increasingly challenged to be able to put ourselves in the proper perspective. Include case-based packaging preaching in action mosque based. Important to note, the contemporary movement in this area is a mosque-based community economy. Key Word: Dakwah, mosque, community economy A. Pendahuluan Islam adalah agama dakwah, dan karena dakwah pula maka pada masa keemasan klasik Islam telah menunjukan prestasi yang gemilang untuk dapat menyebar ke seantero pelosok bumi yang hanya dalam tempo yang singkat untuk ukuran peradaban manusia di muka bumi. Pertanyaan sederhana yang muncul adalah, apa yang mendukung keberhasilan dakwah islam dewasa itu? Ismail R. Al Faruqi (1998: 219-221) menjelaskan adanya beberapa faktor penting yang mendasarinya. Pertama, umat Islam saat itu (masa rasul, sahabat maupun tabi’in) meyakini bahwa dakwah adalah perintah Allah (kewajiban agama). Dalam konteks ini pula maka sejalan dengan kenyataan bahwa Islam merupakan agama dakwah karena Allah menjadikan Muhammad sang Nabi menjadi rahmat bagi seantero Alam. Maka dengan demikian semangat dakwah menjadi pilar penting untuk mewujudkan keberadaan Islam sebagai ajaran yang direstui Allah dan rasulnya untuk memberikan kontribusi positif (rahmatan lil ‘alamin) kepada semua makhluk di muka bumi. Kedua, Dakwah diyakini sebagai sedekah terbesar bagi umat islam yang melakukannya. Mengapa demikian? Karena dengan melakukannya berarti telah menjadikan dirinya menjadi obor bagi orang lain. Islam mengajarkan bahwa sebaikbaiknya umat adalah mereka yang memberikan manfaat positif seluas-luasnya bagi orang lain. Sedekah dalam islam tidak berbatas kepada hal-hal yang bersifat materi semata, sedekah dalam islam bahkan menjangkau kepada hal-hal yang sederhana seperti tersenyum sekalipun. Sementara dakwah esensinya adalah mengajak kepada kebaikan yang diridhai-Nya dan mencegah dari perbuatan munkar, maka dengan demikian tepatlah yang diungkapkan al Faruqi bahwa dakwah merupakan sedekah terbesar bagi umat islam. Ketiga, Kenyataan bahwa dakwah adalah kebutuhan agama, atau kebutuhan manusia atas agama. Hal ini terutama berkenaan dengan hakikat dakwah sebagai 1
Firman Nugraha, M.Ag. Widyaiswara bidang keagamaan di Balai Diklat Keagamaan Bandung
56
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
Volume V Nomor 13 Mei – Agustus 2011
proses proses pembebasan dan kebebasan manusia atas anasir-anasir negatif dalam kehidupannya. Kemudian nilai-nilai rasionalitas kemanusiaan dan universalisme kebenaran bagi umat manusia. Kebebasan adalah fitrah manusia untuk memperoleh kesejatian kebenaran yang sesungguhnya terhadap ajaran agama maupun keyakinan terhadap kebenarannya itu sendiri. Kebebasan ini ditopang oleh prinsip rasionalitas yang niscaya menjadi bagian dari tolok ukur kebenaran yang empirik dan logik sebagai kebenaran ilmiah disamping kebanaran atas nama iman. Sebagai sebuah kebenaran sejati, tentu ia akan membumi dan dapat diterima dan dibuktikan di manapun dan kapan pun. Itulah Islam, dengan prinsip universalisme kebenarannya sebagai sebuah keyakinan agama. Disokong oleh tiga alasan tersebut, maka Islam mampu menyebar dan menjadi agama yang dipeluk oleh umat manusia dari berbagai lapisan sosial, ras, dan karakteristik lainnya. B. Hijrah dan peranannya terhadap Dakwah Disamping alasan-alasan tersebut diatas, tentu terdapat perangkat pendukung yang tidak kalah pentingnya selama proses dakwah itu berlangsung. Kenyataan sejarah menunjukan bahwa Islam mampu menyebar secara lebih pesat paska nabi Muhammad hijrah ke Yatsrib, yang kemudian disebut Madinah. Di madinah, nabi membangun kekuatan politik melalui pemerintahan islam yang dipusatkan kegiatannya di masjid Nabawi sebagai pusat kegiatan umat islam dewasa itu. Dengan kekuatan politik tersebut, maka nabi mulai menyurati beberapa pemimpin negara (kerajaan) saat itu termasuk kedua imperium besar yaitu persia dan Byzantium. Surat-surat dakwah Nabi ini memperoleh beragam reaksi mulai dari yang membenarkan kenabiannya sampai yang menolak sedemikian rupa sebagaimana yang diperlihatkan oleh Kisra dari Persia. Aneka ragam reaksi tersebut, tidaklah menyurutkan langkah nabi untuk terus berdakwah sampai pada puncak keberhasilannya yang ditandai dengan futuhat Mekah. Peristiwa ini juga menjadi tanda berakhirnya masa beliau, yang kemudian akan dilanjutkan oleh para sahabat-sahabatnya dengan naiknya Abu Bakar sebagai pengganti Rasul dalam pemerintahan. Peristiwa hijrah itu sendiri bukanlah suatu hal yang kebetulan atau atas pertimbangan sosiologis semata, ketika umat islam mekah disaat itu mendapat tekanan yang begitu hebat dari musyrikin mekah. Lebih dari itu, peristiwa ini merupakan peristiwa agama dalam artian di baliknya terdapat perintah Allah sebagaimana yang ditunggu nabi ketika beliau telah terlebih dahulu memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk pindah ke Yatsrib (Haikal, 1999: 179). Dari pertimbangan ini, maka peranan hijrah dalam dakwah memang seakan sudah menjadi kehendak Allah untuk menunjukan kepada umat manusia bahwa Islam memang sudah seharusnya tersebar dan menebarkan kebenarannya dilandasi sikap sayang menyayangi antar sesama umat. C. Dakwah bil ’Amal
Memperhatikan lontaran pemikiran Sholahudin di muka, maka sejatinya dakwah tanpa gerakan aktual akan hambar. Hanya menyampaikan suatu kebenaran 57
Volume V Nomor 13 Mei - Agustus 2011
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
secara verbal tanpa tindakan nyata belum memberikan hasil yang signifikan dengan tugas utama yang dikehendaki oleh Allah dalam Q.S. Ali Imran 104. Sebagai berikut. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Implementasi dakwah secara action ini atau dakwah bi al hal dilakukan dengan pendekatan kelompok dan manjemen bukan sekedar pemikiran belaka. Ini artinya ketika menyatakan suatu perbuatan itu buruk dan harus ditinggalkan maka di sisi lain disediakan alternatif kegiatan yang relevan dengan tuntutan agama Allah. Persis seperti yang diungkapkan Sholahudin di atas, menyatakan prostitusi bertolak belakang dengan tuntutan agama, maka dakwah bi al hal-nya ialah meyediakan lapangan pekerjaan yang relevan dengan syariat. Dengan ini maka dapat disimpulkan gerakan dakwah tidak hanya berhubungan dengan tuntutan agama belaka melainkan juga dengan problemproblem kemasyarakatan pada umumnya. Toh, islam sebagai agama didesain memang sesuai dengan fitrah manusia dan kemanusiaan. Lalu apa korelasinya dengan masjid selaku pranata islam? Meningkatkan kesadaran religius masyarakat pada berbaga aspeknya sesungguhnya juga merupakan agenda pemerintah. Dalam hl ini Kementerian Agama senantiasa menggiatkan hal tersebut melalui unsur-unsur pemerintahannya. Secara sistemik ini diwujudkan dengan menyediakan soft ware maupun hard ware untuk itu. Soft ware antara lain meliputi program dan alat atau pelaksana program. Sementara hard ware dengan mendorong untuk menumbuhkembangkan aktifitas kagamaan di masyarakat terutama berbasis kemesjidan. Pelaksana tugas pembinaan peningkatan nilai-nilai keagamaan umat diantaranya penyuluh agama, atau para pembina pengelola kemasjidan. Dua unsur ini seyogianya bersatu padu dan saling mengisi ruang kosong masing-masing sub sistem sebagai bagian dari sistem keseluruhan yang ada pada Departemen Agama. Menilik konsep peningkatan kualitas keagamaan dan dimensi-dimensi lainnya dalam kehidupan yang juga merupakan bagian penting dari tugas Pemerintah dalam hal ini Departemen Agama, maka hal ini merupakan repleksi dari konsep dakwah bi al hal tersebut. Ketika dakwah dilakukan secara sistematis terarah dan memiliki poin tujuan yang jelas dan terukur, maka secara perhitungan sederhana keberhasilan pencapaian tujuan sudah di tangan. Namun demikian, mewujudkan konsep inipun bukanlah semudah membalikan telapak tangan. Segala perangkat pendukung tersebut di atas, baik muatan soft ware maupun hard ware-nya mesti tersedia dan memiliki daya guna yang baik (usefully). 1. Dakwah bil ‘amal: Dimensi Aksiologis.
Kelemahan utama umat islam Indonesia dewasa ini—kalau dapat dikataan demikian—adalah tidak terikatnya dalam suatu tujuan yang serupa serta rincian
58
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
Volume V Nomor 13 Mei – Agustus 2011
pencapaian tujuan tersebut. Kalaupun ada satu tujuan makro yakni mencapai ridla Allah, maka dalam tataran implementasinya masing-masng pihak menampilan wajah yang berbeda satu sama lainnya. Persoalan ini sesungguhnya pada satu sisi berdampak buruk terhadap konsep jamaah umat islam itu sendiri. Namun apa dikata, perbedaan itu sendiri merupakan kewajaran alamiah. Lepas dari kondisi demikian, tetap saja sebagai umat islam, dituntut untuk merujuk kepada teks suci dengan pembacaan yang umum untuk kebaikan bersama. Maka mewujudkan pencapaian tujuan kebaikan bersama ini diperlukan kerjasama yang harmonis. Kerjasama itu ada dalam ruang dakwah bil ’amal dengan memanfaatkan rumah-rumah Allah yang demikian menjamur di Indonesia. Ketika masjid diyakini sebagai basis terakhir dan sekaligus menjadi pusat kegiatan umat, maka seyogianya keseluruhan aktifitasnya memang dilakukan untuk memberikan pelayaan kepada umat pada berbagai lapisan dan dilakukan secara profesional. Problem umat Islam Indonesia yang secara mum dapat ditunjukan dengan term kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan secara mayoritas, harus menjadi bagian penting dari program masjid. Sementara itu dengan tidak menafikan keberadaan para aghniya yang mereka memerlukan suatu lembaga unuk menyalurkan setiap peluang amalnya melalui harta maka masjidpun mesti untuk menjadi penyelengaranya. Jika konsep ini mulai diberlakukan, maka sejatinya masjid dapat menjadi jembatan penghubung antara si kaya dengan si miskin. Dan jika hal ini terwujud sesungguhnya umat islam akan bangkit dan menunjukan peran sejatinya sebagai agama yang mampu menjawab problem-problem kemanusaiaan dari berbagai aspeknya. Suatu hal yan paradoks memang jka kita rujuk kepada beberapa fenomena semangat untuk memakmurkan masjid masih berputar sebatas kemakmuran lahiriyah dan mewah. Sementara di sisi-sisi masjid bergelimpangan para gelandangan dan anak terlantar. Membumikan konsep ini ialah dengan membangun sistem yang kuat dalam pengelolaan masjid serta dilakukan secara terintegrasi antara setiap program pada setiap lini strukur masjid di samping adanya jalinan kerjasama dengan pengelola masjid lain, sehingga apda akhirnya tampaklah apa yang disebut dengan jamaah/ummah dalam Q.S Ali Imran : 104 tersebut. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Memaknai ayat di atas degan perspektif kultural dapat dipahami bahwa bagi setiap orang memiliki kewajiban untuk menegakan kebajikan dan mencegah perbuatan
59
Volume V Nomor 13 Mei - Agustus 2011
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
munkar. Orang kaya dengan segala kelebihannya dapat menunaikan hal tersebut dengan hartanya yang dikelola dengan benar melalui masjid dan sebaliknya orang miskin tercukupi dan dapat menunaikan kebajikan dengan tenaga dan doa. Mengapa kajian menjadi penting? Bagaimana tidak, dewasa ini umat islam seakan silau dengan perlombaan untuk membangun masjid yang sedemikian rupa mewahnya lengkap dengan segala ornamen seni dan arsitektur yang menawan, namun di balik itu, tampak belum menyentuh secara esensial kepada fungsi yang sesungguhnya. Masjid dibangun baik atas nama pribadi, bagi mereka yang mampu, atau secara gotong royong disertai sokongan pemerintah dengan segala kemewahan. Kita baru bangga jika memiliki masjid yang diakui termewah, terluas, termahal atau bahkan berlais emas, sementara saudara kita berelimangan kemiskinan yang memang terbentuk oleh struktur dan kultur. Pada sisi ini maka peran dan fungsi masjid yang sesungguhnya menjadi tanggungjawab pengelola untuk mampu tampil sebagai pembela kaum mustad’afin. Menjembatani keadaan ini maka peran masjid sebagai pembinaan ekonomi isamping pembinaan mental moral dan semangat keagamaan mahdloh perlu dilakukan. Masjid dapat menampung harta orang kaya melalui dan ZIS dalam lembaga BMT atau koperasi Syariah. Dewasa ini BMT banyak bertumbuhan karena diyakini mampu stabil dan tahan terhadap situasi kondisi perekonomian secara makro, namun sekali lagi perlu dicatat, hendaknya BMT buka hanya bangga jika saldonya terus meningkat namun juga harus lebih bangga lagi jika secara nyata mampu mengangkat perekonomian umat islam yang dhuafa. Kemiskinan yang melanda bangsa Inondesia (umat Islam) memang tampak sekali dampak dari struktur dan kultur. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi karena mereka tidak diberi kesempatan untuk memperoleh penghidupan yang layak baik melalui pemerataan perolehan pekerjaan maupun modal dasar untuk mengembangkan usaha. Sedangkan kemiskinan kultural adalah kemiskinan karena pilihan hidup yang terbatas, mereka miskin, mereka bodoh dan tidak memiliki peluang memperoleh pendidikan yang layak, maka masjid harus tampil untuk mereka dengan format yang lebih membumi dan manusiawi. 2. Gerakan Ekonomi Ummat berbasis Masjid
Suatu upaya terpadu untuk mengembangkan salah satu fungsi masjid disamping sebagai aktualisasi dakwah bil ‘amal ialah menjadikan masjid sebagai pusat pebinaan ekonomi umat. Semua umat islam dari segala lapisan ekonomi dapat berkiprah di dalamnya. Menarik sekali konsep penguatan ekonomi bebrbasis masjid yang akan dikembangkan di Jakarta Islamic Centre, Mesjid Daarut Taubah di Saritem atau semacam Dompet Peduli Umat Daarut Tauhid di Bandung. Contoh di atas mungkin baru sebagian kecil yang telah diupayakan oleh umat Islam dalam rangka dakwah bil ‘amal (aksi nyata), namun demikian, hemat penulis halhal yang diupayakan tersebut, masih belum memadai pada beberapa aspek. Misalnya bagi masjid besar, kadang permodalan bukan hal yang terlalu sulit apalagi jika ada link dengan pihak tertentu baik sektor swasta maupun merintah yang siap untuk manyuplai dana. Permasalahnnya ialah jika hal ini tidak disertai dengan kesungguhan untuk 60
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
Volume V Nomor 13 Mei – Agustus 2011
mengelola dana tersebut, maka dikhawatirkan akan terjadi penguapan akibat tidak disertai dengan rasa pemilikan kolektif atas asset modal tersebut. Yang dimaksud dengan rasa pemilikan kolektif ini ialah kesadaran bersama untuk memelihara dan mengembangkan bersama modal yang ada sebab semuanya bermula dari kesadaran bersama, untuk saling membantu dan membangun perekonomian ummat berbasis masjid. Tantangan berikutnya bagi kaum modal yang kuat, kadang lebih tertarik untuk meraup keutugan material daripada keinginan untuk benar-benar membantu kaun dhuafa dalam wujud yang real. Kaum dhuafa menurut hemat penulis tidak selalu tepat jika diberkan modal produktif selama mereka cara berpikir dan kebutuhan konsumtifnya masih tinggi, maka untuk hal semacam ini diperlukan upaya ganda. Isamping mereka diberikan modal konsumtif (qard al hasan) maka secara perlahan mereka diberi modal produktif serta dampingan proses maupun pengembangannya. Menghadapi dilema demikian, ada baiknya upaya penguatan ekonomi ummat berbasis mesjid lebih bertimbang kepada kesadaran kolektif terlebih dahulu dan dalam skala yang lebih sederhana dan kecil artinya masing-masing pengelola masjid menghimpun dana umat dari wilayah internal dan dikembangkan untuk wilayah internal terlebih dahulu. Sementara itu tetap berupaya melakukan hubungan kerjasama dengan pihak luar baik masjid yang lain dengan skala lebih besar atau pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan usaha yang dikembangkan. Dasar pemikiran ini sederhana sekali. Diyakini bahwa pada kelompokkelompok umat yang terkena masalah sosial baik bertentangan dengan legitimasi agama maupun moral negara, mereka pasti berangkat dari wilayah yang disitu ada masjid. Artinya jika kesadaran kolektif untuk saling membantu antar seama (kesalehan sosial) telah terbentuk dan terwujud dalam aksi nyata maka pebinaannya relatif lebih mudah. Dan hal ini terus di uayakan pada masjid-masjid yang lain sehingga permasalahan umat sekarang terkepung atau berada dalam lingkaran masjid yang memiliki kesadaran kolektif ankarya nyata. Jadi membalikan situasi yang semula masjid terlingkupi oleh problem kemanusiaan maka dengan gerakan ini terjadi sebaliknya. Upaya inipun pada dasarya merupakan upaya memutus mata rantai masalah kemanusiaan tersebut. Dan aset utama umat islam saat ini yang masih mungin untuk dikembangkan kembali fungsinya adalah masjid. D. Penutup
Dakwah adalah segala usaha untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan pada berbagai aspeknya, aspek spiritual (vertikal) maupun sosial (horizontal). Dalam tataran praktik, dakwah dilakukan dengan lisan dan lebih dari itu melalui aksi nyata. Dakwah dengan lisan ini mengambil tiga bentuk dasar, yaitu bil hikmah, mauidzah hasanah dan mujadalah. Sementara dakwah bil ’amal dilakukan dengan program-program yang terukur dan baik. Persoalan umat yang beragam menuntut dakwah bil ‘amal lebih membumi dan mengenai sasaran problem kemanusiaan. Aplikasi lebih lanjut dari itu, ialah dengan menjadikan masjid sebagai basis dakwah yang sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah, Muhammad saw. 61
Volume V Nomor 13 Mei - Agustus 2011
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
Masjid yang dibangun harus mecerminkan peran dan fungsi untuk menjadi mediator antara kaum kaya dan kaum dhuafa. Muslim yang kaya dapat percaya untuk menitipkan dana ZIS, maupun wakafnya kepada Masjid dalam hal ini para pengelolanya, sementara kaum dhuafa hendaknya merasa tentram sebab mereka ada yang mengayomi yaitu masjid untuk kepentingan hidup mereka. Jika upaya ini dilakukan atas nama iman dan kerja profesional, maka tidak akan ada lagi anak-anak yang mengais rizqi melalui jalanan sementara mereka semestinya menuntut ilmu, tidak ada lagi para peminta-minta di jalanan sekalipun mereka miskin namun mereka meyakini tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Daftar Pustaka Ali dan Adang Afandi. 1995. Studi Sejarah Islam. Jakarta: Binacipta. Asmuni Syukir, 1983, Dasar-dasar Dakwah Islam, Surabaya: Al Ikhlas. Faruqi, Ismail. R dan Lamya. 1998. Atlas Budaya Islam (terjemahan dari The Cultural Atlas of Islam). Bandung: Mizan. Harun Nasution. 2000. Islam Rasional. Bandung: Mizan. Ibn Taymiah, 1999, Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Jakarta: Aras Pustaka. Konsorsium Bidang Ilmu UIN SGD. 2006. Transformasi IAIN Menjadi UIN Menuju Research University. Bandung: Gunung Djati Press. M.E. Ayub. 1996. Manajemen Masjid Petunjuk Praktis Bagi Pengurus. Jakarta: Gema Insani Press. Moch. Fachrurozy, 2005, Manajemen Masjid, Bandung: Benang Merah Press. Munzier dan Harjani. 2003. Metode Dakwah. Jakarta : Prenada Media. Muhammad Husein Haykal. 1999. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera Antar Nusa _______________. 1999. Umar Al Faruq. Jakarta: Litera Antar Nusa. Muhamnmad Fuad Abd. Al Baqi, 1987.Al Mu.jam Mufakhros li fazh al Quran al Kariim. Beirut : Dar Al Fikr. M. Natsir. 2000. Fiqhud Da’wah, Jakarta: Media Dakwah. M. Quraih Shihab. 2000. Wawasan Al Quran. Bandung: Mizan _______________, 2000. Tafsir Al Misbah Jilid III. Jakarta: Lentera Hati. Nana Rukmana. 2002. Masjid dan Dakwah. Jakarta: Al Mawardi Primayasa Supardi dan Teuku Amarudin. 2001. Manajemen Masjid dalam Pembangunan: Optimalisasi Peran dan Fungsi Masjid. Yogyakarta: UII Press. Sidi Gazalba. 1994. Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Alhusna. Syukriadi Sambas. 1999. Sembilan Fasal Pokok-pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Thomas. W. Arnold. 1981. Sejarah Dakwah. Jakarta: Widjaja. Zaini Muchtarom. 1996. Dasar-dasar Manajemen Dakwah. Yogyakarta: Al Amin dan Kaifa.
62