Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
Volume IX Nomor 25 Juli – Desember 2015
MODEL DAN ETIKA PENYULUHAN AGAMA DI INTERNET Firman Nugraha1
[email protected] Abstrak Tujuan penulisan artikel ini untuk menelisik model penyuluhan agama yang dapat dilakukan apakah dalam konteks religion online atau online religion. Serta bagaimana etika yang harus dipahami dan diterapkan terkait dengan adanya upaya membatasi potensi negatif dari aktifitas di jagat maya, terutama dilihat dari perspektif Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Nilai-nilai yang Dikandung Dalam Al Quran Sebagai Kitab Suci Umat Islam yang tentu di dalamnya terkandung prinsip-prinsip etika dakwah secara umum. Kata kunci: cyberspace, cyberculture, cyberreligion, etika. PENDAHULUAN Internet, telah berhasil menciptakan simulacra dalam kehidupan manusia. Dia menjadikan dunia maya seakan-akan menjadi realitas, dan manusia sudah sulit membedakan kehadirannya apakah berada dalam alam nyata atau dalam realitas semu yang dibangun oleh media. Maka tidak berlebihan kiranya jika Baudrillard menganggap bahwa simulacra telah menggantikan representasi dari realitas. Saat ini kita tidak bisa melepaskan diri dari jangkauan media tersebut, dimanapun dan kapanpun kita berada dalam cengkramannya. Apalagi ketika kemajuan teknologi telah mendorong fasilitas tersebut dapat diakses melalui perangkat yang semakin mobile dan sederhana semisal smartphone (Streeter, 2003). Dunia maya yang kemudian kita sebut dengan cyberspace memiliki suasana yang tidak jauh berbeda dengan dunia nyata yang kita diami ini. Kita bisa melakukan pelbagai aktifitas di dalamnya, berinteraksi dengan pihak lain, sekedar berkomunikasi singkat atau lebih bahkan bukan hanya dunia komunikasi saja melainkan juga aktifitas ekonomi dan agama. Aktifitas-aktifitas bentukan dalam cyberspace itu kemudian kita sebut dengan cyberculture dan cyberreligion (Fakhruroji, 2011). Cyberculture merupakan keadaan sehari-hari yang muncul di cyberspace atau jagat maya. Seseorang kini bisa memperoleh informasi keagamaan dari misalnya bukan hanya dengan mendatangi majlis ta’lim secara real, melainkan juga dengan mengunjungi website organisasi keagamaan tertentu atau blog pribadi tokoh agama dan melakukan konsultasi secara virtual namun dengan topik yang biasa sebagaimana dalam perjumpaan yang real. Sementara itu cyberreligion sebagai sebuah konsep memiliki beberapa bacaan. 1
Widyaiswara Madya pada Balai Diklat Keagamaan Bandung sedang mengikuti S3 Program Studi Perbandingan Agama di UIN Bandung
139
Volume IX Nomor 25 Juli – Desember 2015
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
Bisa jadi berupa religion online atau online religion. Menurut Fakhruroji (2011) dua istilah ini memiliki perbedaan signifikan. Religion online berupaya memberikan penjelasan mengenai informasi, ketentuan serta layanan-layanan keagamaan yang disajikan melalui situs-situs keagamaan. Sedangkan online religion berarti adanya pelayanan keagamaan seperti pengajian atau konsultasi agama yang dilakukan secara online. Hal ini dapat berupa video streaming atau berupa konsultasi online dengan memanfaatkan chatroom pada situs keagamaan tertentu. Artikel ini bertujuan untuk menelisik model penyuluhan agama yang dapat dilakukan apakah dalam konteks religion online atau online religion. Serta bagaimana etika yang harus dipahami dan diterapkan terkait dengan adanya upaya membatasi potensi negatif dari aktifitas di jagat maya, terutama dilihat dari perspektif Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Nilai-nilai yang Dikandung Dalam Al Quran sebagai Kitab Suci Umat Islam yang tentu di dalamnya terkandung prinsip-prinsip etika dakwah secara umum. PEMBAHASAN Sekilas tentang Etika dan Relasi Agama dengan Internet Etika merupakan ilmu yang menetapkan ukuran atau kaidah yang mendasari pemberian tanggapan atau penilaian terhadap perbuatan manusia. Kaidah atau norma adalah nilai yang mengatur dan memberikan pedoman atau patokan tertentu bagi setiap orang atau masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan peraturan yang telah disepakati. Kaidah atau norma biasanya berisi tentang perintah yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu karena akibatnya dipandang baik, Kaidah atau norma juga biasanya berisi tentang larangan yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu karena akibatnya dipandang tidak baik (Mufid, 2010). Kaidah atau norma-norma tersebut umumnya berbentuk norma agama, susila, kesopanan dan norma hukum. Norma-norma tersebut menghasilkan etika agama, moral, etiket, kode etik dan sebagainya. Etika agama atau moral terwujud dalam predikat moral baik dan buruk, etiket terwujud dalam bentuk sopan santun, sedangkan norma hukum yang berbentuk kode etik berbentuk tata tertib yang memelihara perilaku professional (Tajiri, 2015). Fenomena maraknya informasi berbau keagamaan di internet tidak lepas dari karakter umum dunia dewasa ini. Teknologi komunikasi telah memungkinkan melakukan terobosan-terobosan dalam berkomunikasi dari tradisional ke modern. Internet salahsatu anak kandung dari kemajuan teknologi informasi menjadi salah satu jembatan penting dalam memediasi perkembangan berkomunikasi, termasuk dalam informasi keagamaan. Crabtree (e, 2015) dalam The Internet and Religion mengungkapkan beberapa poin penting mengenai relasi internet dengan agama. Pertama, internet memiliki sisi negatif bagi agama. Menurutnya internet membuka peluang penghancuran agama yang diakibatkan dari adanya kompetisi abnormal dalam klaim kebenaran dari beberapa pihak. Melemahnya hubungan guru murid (ketersambungan jalur informasi yang terlembaga) membuat siapapun dapat mengakses informasi dan melakukan interpretasi
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
Volume IX Nomor 25 Juli – Desember 2015
secara mandiri dari setiap informasi kemudian menjadi dasar kebenaran yang dianutnya. Dalam keadaan demikian, tidak sedikit justru organisasi-organisasi keagamaan yang besar dan mapan ketika ia memiliki keterbatasan akses dengan internet akan kalah bersaing dengan kelompok kecil yang memiliki akses ke internet. Dengan demikian, tidak ada lagi monopoli informasi keagamaan oleh sekelompok pihak yang memiliki kuasa atas saluran informasi [konvensional] yang resmi. Kedua, Internet juga memiliki sisi kebaikan bagi agama. (a) para pencari informasi agama dapat memperolehnya secara online. Sesuai dengan karakternya siapapun dapat mencari informasi tanpa terbatas oleh waktu maupun jarak sepanjang memiliki akses ke jaringan. (b) informasi keagamaan dari berbagai ajaran dan keyakinan memiliki ruang terbuka untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Setiap “iman” kini tidak lagi dipengaruhi oleh jumlah pemeluk, namun lebih kepada kemampuan untuk mengelola informasi secara online untuk menunjukkan keberadaan dirinya. Sehingga setiap orang dapat mengetahui keberadaanya dan melakukan kajian secara lebih terbuka. (c) internet telah menjadi semacam “pasar” bagi agama-agama untuk menyebarkan dan memperluas akses setiap orang yang ingin lebih memiliki informasi mengenai sebuah “iman”. Sehingga siapapun dalam proses pencarian “kebenaran” dapat mencoba memulanya dari internet sampai menemukan” iman yang sesuai dengannya. Ketiga, Sensor dan kebebasan berbicara. Poin ini menemukan momentumnya di Indonesia dengan adanya upaya untuk melakukan pembatasan informasi keagamaan yang disinyalir memberikan dampak buruk terutama ketika tendensius radikal baik aspek pemikiran maupun gerakan. Tentu saja hal ini disaat yang sama dianggap bertolak belakang dengan semangat hukum yang memberi ruang bagi siapapun untuk secara bebas berbicara termasuk melalui media internet. Menurut Crabtree (2015) kondisi upaya sensor dari pemerintah justru lahir dari negara yang beragama sekalipun bukan negara agama. Menurutnya semakin renggang relasi aktif antara negara dengan keyakinan semakin kecil tindakan sensor dalam internet, dan berlaku sebaliknya. Keempat, Internet sebagai media suci. Kemajuan media komunikasi bukannya tidak memberikan ruang polemik. Ketika teks-teks suci beralih dari tradisi konvensional ke bahasa mesin yang semuanya murni pekerjaan tangan manusia dan dorongan industrialisasi, maka sikap agamawan niscaya terbelah. Bagaimana kita menerima dan bersikap terhadap teks suci yang kemudian muncul di internet? Teks yang semula sakral akankah berubah menjadi profan? Atau ia tetap dalam kesakralannya? Lain dari itu, bagaimana memastikan bahwa informasi yang diterima dan dikonsumsi bebas dari manipulasi kode teknologi komunikasi. Bagaimana meyakini bahwa informasi tersebut valid dan sahih yang dapat dijadikan sandaran normatif sebagai landasan etika beragama. Jika kita perhatikan, tampaknya lebih banyak orang yang langsung percaya dan bukan hanya percaya namun juga menjadi kebenaran hakiki untuk setiap informasi keagamaan yang diperoleh dari mesin pencari seperti google kemudian ia membagikannya tanpa ada upaya penelaahan lebih lanjut mengenai validitas informasi. Kelima, Bagaimana Tuhan berbicara kepada seluruh umat jika tidak dengan website? Ada suatu anggapan meski terkesan mengada-ada, bahwa website merupakan keniscayaan primordial dari Tuhan dalam upaya penyebaran misi suci agama untuk 141
Volume IX Nomor 25 Juli – Desember 2015
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
seluruh umat manusia. Meski kesannya demikian, namun faktanya memang menunjukkan hal yang sebenarnya. Model Penyuluhan Agama di Internet: religion online dan online religion Penyuluh agama kini dapat berinteraksi dengan jemaahnya tidak hanya melalui media konvensional seperti kelompok pengajian atau bentuk lainnya yang mensyaratkan adanya tatap muka secara real pada suatu waktu dan tempat yang sama. Aktivitas tersebut seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dapat dilakukan dengan pola berbeda dengan memanfaatkan jaringan internet misalnya. Ini adalah salah satu bentuk cyberculture dalam nuansa keagamaan atau cyberreligion. Aktivitas ini dalam konteks cyberculture tentu saja bukan pengganti mutlak dengan meninggalkan aktivitas dalam dunia real (Fakhruroji (2011) melainkan sebagai salah satu varian budaya yang dibentuk dari kemajuan teknologi komunikasi saja. Cyberreligion memiliki dua bentuk yang berkembang, religion online dan online religion. Religion online ini sejalan dengan hasil penelitian bahwa 64 responden menggunakan internet dengan tujuan informasi keagamaan, CRM (2004). Survei ini dikuatkan oleh penelitian Dawson dan Cowan (2004) yang dikutip Fakhruroji (2011) yang menunjukkan bahwa 25% pengguna internet mencari informasi agama dibanding mencari informasi perbankan atau untuk kencan. Fasilitas cyberspace yang paling mudah diakses saat ini antara lain media sosial. Bisa saja aplikasi facebook atau tweeter. Patut diduga bahwa saat ini pengguna dua aplikasi media sosial tersebut sudah merambah bukan hanya mereka yang menggunakannya untuk alasan pertemanan atau ekonomi namun juga dalam rangka penyebaran informasi tertentu termasuk agama dengan membuat halaman atau sengaja memokuskan diri dalam membuat “status”nya untuk keperluan penyebaran informasi keagamaan. Disamping itu, situs yang mudah dibuat dan dikembangkan adalah berupa personal web atau blog. Untuk fasilitas ini mungkin masih sedikit diantara penyuluh yang mulai mengembangkan dan memanfaatkannya untuk tujuan keagamaan. Namun bagi kelompok keagamaan tertentu blog sangat bermanfaat untuk menunjukkan eksistensinya dalam penyebaran informasi keagamaan sesuai dengan haluan pemikiran organisasi mereka. Salah satu blog yang dikembangkan oleh penyuluh agama adalah “Mimbar Penyuluh” yang beralamat di www.mimbarpenyuluh.com. Situs ini sendiri diapresiasi oleh Kementerian Agama atas kreatifitasnya yang juga mengembangkan dalam bentuk aplikasi yang dapat ditanamkan pada smartphone berbasis android. (lihat di bimasislam.kemenag.go.id/.../kreatifpenyuluh-agama-islam-di-bekasi-m..). Fenomena pemanfaatan web atau blog untuk tujuan ini menunjukkan adanya “kebenaran” faktual atas teori Crabtree tentang website sebagai sarana Tuhan berbicara bagi umatnya (2005). Keadaan inipun merupakan perwujudan dari religion online seperti diungkapkan oleh Dawson (2004). Blog keagamaan yang dibangun juga dapat menampilkan aktivitas live dengan bantuan aplikasi lainnya dari pihak ketiga. Dalam kasus “Mimbar Penyuluh” menyediakan menu dengan label konsultasi, namun sayang saat tulisan ini dibuat menu tersebut tidak aktif. Jika menu ini aktif dan menjadi ruang untuk umat Islam melakukan
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
Volume IX Nomor 25 Juli – Desember 2015
konsultasi keagamaan maka aktifitas ini relevan dengan istilah online religion. Yaitu adanya layanan online dalam kegiatan keagamaan. Menurut Fakhruroji (2011) dalam dunia Islam tentu hanya terbatas pada aktifitas sosial keagaman tidak termasuk ritual keagamaan. Kerena menurutnya tidak ada media yang dapat menjadi pengganti untuk melakukan aktifitas ritual sekalipun dengan bantuan teknologi. Namun demikian, “Mimbar Penyuluh” telah melakukan link antara situsnya dengan beberapa media sosial yang cenderung lebih aktif seperti facebook dan tweeter. Link ini menjadikan ruang publik semakin terbuka dalam situs ini. Kegiatan online religion yang dapat dilakukan juga misalnya melakukan live video streaming. Kegiatan rutin dalam penyuluhan kemudian diperluas jangkauannya secara online dengan video streaming. Sehingga kegiatan yang semula ada pada certain place mampu menjangkau space yang lebih luas, tentu dengan syarat adanya jaringan internet. Youtube juga dapat dimanfaatkan untuk menampilkan kegiatan terrekam agar dapat dijangkau oleh publik jagat maya. Aktifitas penyuluhan terekam kemudian disampaikan pada account youtube sehingga memungkin untuk dilakukan re-play dan menjadikan jamaah yang tidak sempat mengikuti kegiatan tersebut dapat mengaksesnya dilain waktu. Etika Penyuluhan Agama di Internet Perspektif UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Al Quran Seperti dikemukakan Crabtree (2015) internet memiliki sisi buruk bagi agama, yakni potensi kekeliruan memeperoleh informasi atau keliru memaknai informasi. Kaitannya dengan hal ini masih menurut Crabtree, pada beberapa Negara yang memiliki relasi kuat dengan agama cenderung melakukan pembatasan dalam pengelolaan dan penyebaran informasi di internet, termasuk agama. Indonesia sebagai negara yang mengakui agama menjadi salah satu negara yang melakukan hal ini. Terbitnya Undangundang ITE menjadi salah satu tanda aktifnya negara melalui pemerintah dalam mengambil peran “penertiban” informasi di jagat maya. Lain dari itu, akhir-akhir ini negara juga aktif melakukan pembatasan pada situssitus keagamaan yang disinyalir menebarkan permusuhan yang dikhawatirkan akan memicu konflik terbuka dan merusak harmoni negara. Akibat dari langkah ini beberapa situs harus “ditutup” atas rekomendasi karakteristik dari BNPT. Beberapa prinsip umum yang dapat ditarik berdasarkan muatan dalam Undangundang ITE ini adalah: 1. Isi penyuluhan agama dalam internet tidak melanggar atau mengandung muatan yang berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan terkait konten dan tindakan kriminalitas. Penjelasan atas perinsip ini dapat kita lihat dalam BAB VII pasal 27 ayat 1 dan 2 sebagai berikut: (1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. (2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi 143
Volume IX Nomor 25 Juli – Desember 2015
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. Sesungguhnya, pesan yang kuat dalam kutipan pasal diatas relevan dengan hakikat dakwah atau penyuluhan agama itu sendiri, yaitu berupaya meningkatkan kualitas keberagamaan sasaran. Bukan hanya hukum-hukum positif yang dibangun oleh negara, agamapun secara terang melarang melakukan tindakan yang asusila dan penyakit masyarakat seperti perjudian dimaksud. Maka, prinsip ini berlaku umum dan menjadi salah satu kaidah dasar yang harus diperhatikan seorang penyuluh dalam kegiatan penyuluhannya di internet. 2. Isi kegiatan penyuluhan di internet tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain baik bersifat materil maupun non materil. Penjelasan atas perinsip ini dapat kita lihat dalam BAB VII pasal 27 ayat 3 dan 4 sebagai berikut: (3) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. (4) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman. 3. Isi penyuluhan agama di internet bukanlah suatu kebohongan. Prinsip ini berdasarkan BAB VII pasal 28 ayat 1 yang berbunyi: “(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.” Kebohongan dimaksud tidak selalu memang perbuatan yang disengaja oleh penyuluh agama, namun dapat juga dalam tindakan menyebarkan kembali “berita” dari pihak lain tanpa terlebih dahulu melakukan pengujian mengenai kebenaran berita tersebut. Hanya karena merasa sesuai dengan sikap kebenaran yang dianut seorang penyuluh agama, kemudian ia melakukan copy dan share sebagai upaya menyebarkan informasi karena dianggap penting dan baik. Dewasa ini internet menjadi salah satu media yang sangat mudah untuk dapat menemukan informasi apapun. Karena itu pula maka tidak menutup kemungkinan diantara jutaan informasi yang tersimpan dan beredar dinternet banyak pula berisi kepalsuan atau disebut juga hoax, yaitu berita sampah. Fenomena ini dalam pandangan Hjarvard (2012) disebut dengan Banal Religion, yaitu manipulasi media terhadap pengguna seolah-olah pemberi informasi adalah pihak resmi dari organisasi atau tokoh agama. 4. Isi penyuluhan agama yang dilakukan hendaknya tidak mermuatan atau berpotensi menimbulkan kebencian salah satu pihak kepada pihak lain. Prinsip ini berdasarkan pada BAB VII pasal 28 ayat 2, yang kutipannya sebagai berikut: “(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
Volume IX Nomor 25 Juli – Desember 2015
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).” Prinsip ini berkenaan dengan larangan bersikap ghuluw dengan klaim kebenaran yang diyakini oleh penyuluh agama. Bahwa setiap kita memiliki standar kebenaran adalah keniscayaan. Namun apabila standar tersebut dijadikan untuk mengukur kebenaran pihak lain dan dilakukan dengan cara-cara yang menimbulkan atau memprovokasi untuk membenci pihak lain yang standar kebenarannya berbeda dengan kita, hal tersebut tidak diperkenankan. Pergaulan di dunia maya pada dasarnya merupakan copy dari pergaulan di dunia nyata. Maka sikap-sikap tertentu yang data muncul di dunia nyata tentu dapat juga muncul di dunia maya. Salah satu sikap yang rentan hadir adalah stereotif dan intoleransi kepada pihak lain yang didorong oleh sikap radikal dalam pemaknaan kebenaran sepihak. Salah satu bahaya laten yang dapat timbul dari sikap ini di internet adalah pembacaan dan pemaknaan tunggal oleh pembaca atau sasaran penyuluhan tanpa ada kesempatan untuk melakukan tabayyun. Sehingga maksud “baik” pun berpotensi melahirkan pemaknaan sebaliknya apabila tidak hati-hati dalam memahami prinsip keempat ini. 5. Isi penyuluhan agama di internet tidak bermuatan ancaman atau intimidasi personal kepada pihak lain. Prinsip ini berdasarkan muatan BAB VII pasal 29 yang kutipannya sebagai berikut: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.” 6. Penyuluhan yang dilakukan tidak dilakukan dengan meretas akun milik orang lain. Prinsip ini berdasarkan muatan subtantif BAB VII pasal 30, yang kutipannya sebagai berikut: (1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik orang lain dengan cara apa pun. (2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apapun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. (3) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan. 7. Kegiatan penyuluhan tidak berdasarkan hasil pelanggaran konten atau penyebaran rahasia pribadi orang atau kelompok lain. 145
Volume IX Nomor 25 Juli – Desember 2015
berikut:
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
Prinsip ini berdasarkan muatan BAB VII pasal 31 yang kutipannya sebagai
(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain. (2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apapun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan. Prinsip-prinsip di atas pada dasarnya relevan dengan prinsip berdakwah yang secara teologis dapat dilihat pada beberapa kutipan ayat Al Quran sebagaimana dirangkum Tajiri (2015) berikut: 1. Lemah lembut dan menghindari sikap kasar ْ ُّب َلَنفَض فَبِ َما َر ۡح َم ٖة ِّمنَ ه ۡ َوا ِم ۡن َح ۡولِ ۖۡكَ ف َ ٱَّللِ لِنتَ لَهُمۡ ۖۡ َولَ ۡو ُكنتَ فَظًّا َغلِي ۡ ٱعفُ ع َۡنهُمۡ َو ۡٱست َۡغ ِف ۡر لَهُم ِ ظ ۡٱلقَ ۡل ۡ ه ه ه ِۚ َاو ۡرهُمۡ فِي ۡٱۡلَمۡ ۖۡ ِر فَإ ِ َذا عَزَمۡ تَ فَت ََوك ۡل َعلَى ]٩٥١, [سورة آل عمران٩٥١ َٱَّللِ إِ هن ٱَّللَ ي ُِحبُّ ٱل ُمتَ َو ِّكلِين ِ َوش Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. [Ali 'Imran: 159] 2. Tidak melakukan pemaksaan َّٰ ت َوي ُۡؤ ِم ۢن بِ ه ۡ ٱَّللِ فَقَ ِد َٓ ك بِ ۡٱلع ُۡر َو ِة ۡٱل ُو ۡۡقَ َّٰى ََل َ ٱستَمۡ َس ِ ين قَد تهبَيهنَ ٱلرُّ ۡش ُد ِمنَ ۡٱل َغ ِۚ ِّي فَ َمن يَ ۡكفُ ۡر بِٱلطه ُغو ِ ۡۖ َل إِ ۡك َراهَ فِي ٱل ِّد صا َم لَهَ ۗا َو ه ]٦٥٢, [سورة البقرة٦٥٢ ٱَّللُ َس ِمي ٌع َعلِي ٌم ف َ ِ ٱن Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui [Al Baqarah: 256]. 3. Tidak mencampurkan antara yang hak dengan yang batil
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
Volume IX Nomor 25 Juli – Desember 2015
ْ ق بِ ۡٱل َّٰبَ ِط ِل َوت َۡكتُ ُم ْ َو ََل ت َۡلبِس وا ۡٱل َح ه ُوا ۡٱل َح ه ]٢٦, [سورة البقرة٢٦ َق َوأَنتُمۡ ت َۡعلَ ُمون Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui. [Al Baqarah: 42] 4. Tidak menghina sesembahan agama lain ْ ٱَّللِ فَيَ ُسب ْ َو ََل تَ ُسب ُّوا ه ُّوا ٱله ِذينَ يَ ۡد ُعونَ ِمن دُو ِن ه ك َزيهنها لِ ُك ِّل أُ هم ٍة َع َملَهُمۡ ُۡ هم إِلَ َّٰى َربِّ ِهم َ ِٱَّللَ ع َۡد ۢ َوا بِغ َۡي ِر ِع ۡل ٖ ۗم َك َّٰ َذل ْ ُ ُ ُ ۡ ]٩٠١, [سورة اۡلنعام٩٠١ َهم ۡر ِج ُعهُمۡ فَيُنَبِّئهُم بِ َما َكانوا يَع َملون Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan [Al An'am: 108]. 5. Tidak diskriminatif ]٦-٩, [سورة عبس٦ أَن َجآ َءهُ ۡٱۡلَ ۡع َم َّٰى٩ س َوتَ َوله َّٰ ٓى َ ََعب 1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling 2. Karena telah datang seorang buta kepadanya ['Abasa:1-2]. 6. Tidak menuduh kafir terhadap muslim ]٢٢, [سورة الروم٢٢ َصلِ ٗحا فَ ِِلَنفُ ِس ِهمۡ يَ ۡمهَ ُدون َ َّٰ َمن َكفَ َر فَ َعلَ ۡي ِه ُك ۡف ُر ۖۡۥهُ َو َم ۡن َع ِم َل Barangsiapa yang kafir maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya itu; dan barangsiapa yang beramal saleh maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan) [Ar Rum44] ۡ ْ ُوا ِمن ُكمۡ َو َع ِمل ْ ُٱَّلل ُ ٱل ه ِذينَ َءا َمن َو َع َد ه ۡ ض َك َما وا ٱل َّٰ ه ٱست َۡخلَفَ ٱله ِذينَ ِمن قَ ۡبلِ ِهمۡ َولَيُ َم ِّكن هَن ِ صلِ َّٰ َح ِ ت لَيَ ۡست َۡخلِفَنههُمۡ فِي ٱۡلَ ۡر َّٰ ِۚ ِۚ ۡ َ ه ك َ ِض َّٰى لَهُمۡ َولَيُبَ ِّدلَنههُم ِّم ۢن بَ ۡع ِد خ َۡوفِ ِهمۡ أمۡ ٗنا يَ ۡعبُدُونَنِي ََل يُش ِر ُكونَ بِي ش َۡيا َو َمن َكفَ َر بَ ۡع َد َذل َ َلَهُمۡ ِدينَهُ ُم ٱل ِذي ۡٱرت ٓ ]٥٥, [سورة النور٥٥ َك هُ ُم ۡٱل َّٰفَ ِسقُون َ ِفَأُوْ َّٰلَئ Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman 147
Volume IX Nomor 25 Juli – Desember 2015
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik [An Nur55] 7. Toleransi ]٢, [سورة الـكافرون٢ لَ ُكمۡ ِدينُ ُكمۡ َولِ َي ِدي ِن Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku" [Al Kafirun: 6] 8. Menghindari pembicaraan buruk dan tidak bermanfaat ]٣, [سورة المؤمنون٣ ََوٱله ِذينَ هُمۡ َع ِن ٱلله ۡغ ِو ُم ۡع ِرضُون dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna [Al Mu"minun: 3]. PENUTUP Kesimpulan sederhana dari tulisan di atas adalah internet telah membuka cakrawala komunikasi dengan lebih luas, sehingga aktifitas penyuluhan keagamaanpun dapat dikembangkan melalui media ini. Model yang dapat dilakukan dalam bentuk religion online maupun online religion. Religion online, berupa penyediaan informasi keagamaan bagi pengguna jagat maya. Sedangkan online religion utamanya dalam aktifitas sosial keagamaan seperti konsultasi agama atau penyuluhan agama. Mengingat adanya potensi yang negatif dari internet, tentu kegiatan penyuluhan harus memperhatikan prinsip-prinsip etika penyebaran informasi sesuai peraturan perundangan juga nilai-nilai normatif dari Al Quran. Saran penting yang harus diperhatikan adalah, terkait dengan posisi penyuluh agama yang merupakan jabatan fungsional. Aktifitas penyuluhan agama di internet ini sampai tulisan ini dibuat belum memiliki payung hukum yang resmi sehingga aktifitas ini belum memiliki bobot angka kredit sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Diharapkan kepada Kementerian Agama dalam hal ini Bimas Islam untuk meninjau dasar hukum yang ada serta melakukan usulan revisi kepada Menpan. DAFTAR PUSTAKA Bertens, Karl (2005) Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka bimasislam.kemenag.go.id
Tatar Pasundan Jurnal Balai Diklat Keagamaan Bandung
Volume IX Nomor 25 Juli – Desember 2015
Dawson, Lorne L. and Douglas E. Cowan (2004) Religion Online: Finding Faith on the Internet. London: Rutledge. Fakhruroji, Moch. (2011) Islam Digital Ekspresi Islam di Internet. Bandung: Sajjad Publishing. Hjarvard, Stig (2006) The Mediatization of Religion: A Theory of the Media as an Agent of Religious Change, Paper presented to the 5th International Conference on Media, Religion and Culture: Mediating Religion in the Context of Multicultural Tension The Sigtuna Foundation, Stockholm/Sigtuna/Uppsala, Sweden, 6-9 July, 2006 Paper session (8): Popular Culture and Popular Religion. Hjarvard, Stig (2012) Three Forms of Mediatized Religion: Changing the Public Face of Religion dalam Stig Hjarvard dan Mia Lovheim (2012) Mediatization and Religion Nordic Perspectives. Nordicom University of Gothenburg. Hoover, Stewart M. and Lynn Schofield Clark (2002) PRACTICING RELIGION IN THE AGE OF THE MEDIA: Explorations in Media, Religion, and Culture. New York: Columbia University Pres. Højsgaard, T. & Margit Warburg (2005) Cyber Religion. London: Rutledge http://www.mimbarpenyuluh.com Mufid, Muhamad (2010) Etika dan Filasafat Komunikasi. Jakarta: Kencana. O’Shaughnessy, Michael and Jane Stadler (2003) Media and Society an Introduction. Oxford. Streeter, Thomas (2003) The Romantic Self and The Politics of Internet Commercialization. CULTURAL STUDIES 1 7 (5) 2 0 0 3, 6 4 8 – 6 6 8. Tajiri, Hajir (2015) Etika dan Estetika Dakwah. Bandung: Simbiosa. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Vexen
Crabtree (2015) The Internet and Religion [e], dalam http://www.humanreligions.info/internet.html (diakses tanggal 20 Oktober 2015)
149