TRANSFORMASI IKM KERAJINAN TRADISIONAL MENJADI INDUSTRI KREATIF Oleh : Ellya Zulaikha Disampaikan untuk : SEMINAR INTERNASIONAL ”PENGEMBANGAN INDUSTRI KREATIF BERBASIS TRADISI” ISI SOLO 17 Desember 2008 ABSTRAK Industri kerajinan tradisional di Indonesia yang sebagian besar tersebar di pedesaan terancam jatuh justru pada saat industri kreatif bidang kerajinan sedang tumbuh pesat. Faktor internal dan eksternal menjadi penyebab bangkrutnya industri kerajinan tradisional. Faktor‐faktor tersebut sebenarnya dapat diatasi jika industri kerajinan tradisional bertransformasi menjadi industri kreatif. Kunci transformasi terletak pada peningkatan kualitas SDM pengrajin. Setelah itu perlu dilakukan upaya introspeksi terhadap keunikan produk yang digeluti selama ini sebagai modal pengembangan desain. Berikutnya pengaturan manajerial, seperti memaksimalkan penerapan clustering dalam sentra kerajinan tradisional, mengambil langkah kebijakan produksi yang strategis serta mengemas pemasaran dengan cara yang baru. ABSTRACT Indonesian traditional craft industries which were most of them located in rural areas are threatened to be bankrupt. Ironically, modern craft industries begin to grow fast at the same time. There are some internal and external factors which causes the minimum growth problem of traditional craft industry. Those problems can be solved if traditional craft industries are transformed into creative industries. The most important key of transformation is the improvement of human intellectual quality. Besides, traditional craft men should make introspection about the uniqueness of their product to find any recommendations in developing design. Strategic management such as applying clustering theory into team work management in traditional craft industries should be optimized. After that, craft men should plan and apply strategic policy about production and apply marketing strategy in a new way.
Pertumbuhan industri kreatif di Indonesia ditandai oleh data Pemetaan Industri Kreatif Departemen Perdagangan tahun 2007, di mana pertumbuhan nilai ekspor industri kreatif Indonesia rata‐rata sebesar 8,21% per tahun, menyerap sekitar 5,4 juta pekerja dan menyumbang 10,8% terhadap total ekspor nasional. Menyadari posisi strategis industri kreatif pada era ekonomi kreatif, Presiden RI menyambutnya dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 28 Tahun 2008, tentang Kebijakan Industri Nasional yang mulai berlaku tanggal 7 Mei 2008. Pemerintah menetapkan beberapa kelompok industri prioritas, di antaranya adalah industri‐industri pengolahan seperti industri batu mulia dan perhiasan, industri gerabah dan keramik hias, industri minyak atsiri dan industri makanan ringan. Secara khusus, Presiden mengajak mengembangkan produk ekonomi yang berbasis seni budaya dan kerajinan, berbasis pada warisan, benda‐benda sejarah dan purbakala, tradisi dan adat, sebagai titik tolak untuk meningkatkan daya saing dalam era ekonomi kreatif. Salah satu bidang industri kreatif di Indonesia yang menyumbang PDB (Produk Domestik Bruto) terbesar adalah kerajinan. Kelompok industri kerajinan menyumbang sebesar 29 triliun (27,72%) dari total PDB, atau terbesar kedua setelah kelompok industri fesyen (44,18%). Di atas kertas, inilah era bagi industri kerajinan tanah air yang sebagian besar tersebar di pedesaan. Seharusnya era ini menjadi momentum peningkatan kesejahteraan di pedesaan. IKM kerajinan tradisional justru terancam bangkrut Jika ditelusuri lebih lanjut, sebagian dari industri kerajinan di Indonesia merupakan industri kerajinan tradisional. Industri kerajinan tradisional ini prosentasenya jauh lebih besar daripada industri kerajinan modern. Populasinya lebih banyak tersebar di daerah pedesaan. Disebut tradisional karena bidang yang digeluti IKM sudah menjadi tradisi keluarga secara turun‐temurun oleh beberapa generasi sehingga pertanyaan tentang kapan usaha kerajinan tersebut didirikan umumnya sulit dijawab. Cara kerja IKM kerajinan tradisional cenderung menganut pola manajemen kekeluargaan di mana pekerja adalah seluruh anggota keluarga (Wiyoso, 1990). Sebagian IKM kerajinan tradisional masih bertahan menggunakan peralatan yang digunakan leluhur mereka, tapi kini sudah banyak yang mulai beralih menggunakan peralatan modern. Pelahan IKM kerajinan tradisional ini mulai tumbang satu per satu. Profit yang minim mengakibatkan masa depan sebagai pengrajin dianggap tidak menguntungkan. Anak‐ anak pengrajin lebih memilih menjadi buruh di kota daripada melanjutkan usaha orangtuanya. IKM kerajinan tradisional terancam punah justru pada saat industri kerajinan menjadi penyumbang terbesar kedua PDB industri kreatif. Sebagai contoh, di Ciomas ada 800 pengrajin alas kaki yang terancam gulung tikar. Di Tanggulangin‐ Sidoarjo, dari data tahun 2000 di mana terdapat 350 pengrajin kulit di sana, kini (tahun 2008) tinggal 50 pengrajin saja yang masih membuat produk sendiri, selebihnya memilih menjadi pedagang produk dari China. 4000 pengrajin perak di Gianyar Bali juga mengalami ancaman yang sama. I Made Damam, sebagai Ketua Asosiasi Pengrajin Perak
menyatakan penurunan kapasitas produksi tidak dapat dihindari, akibat kalah bersaing dengan produk dari Thailand dan India. Permasalahan serupa juga disampaikan oleh asosiasi pengrajin mutiara, pengrajin batik, pengrajin rotan dan pengrajin logam (indosiar.com). Industri kerajinan kuningan tradisional di Bondowoso, Jawa Timur, yang sebelumnya merambah pasar internasional, seperti Singapura, Malaysia dan Arab Saudi kini juga terancam gulung tikar karena penurunan permintaan produk, yang berakibat pada penurunan unit usaha di sentra tersebut hingga tinggal 20% saja. Pada beberapa kesempatan bekerjasama dengan pengrajin di Jawa Timur seperti pengrajin kulit dan alas kaki di Tanggulangin Sidoarjo, pengrajin kerajinan kayu jati Bojonegoro, pengrajin manik‐manik kayu di Kediri, pengrajin Onix Tulungagung, pengrajin batu mulia dan pengrajin batik Pacitan, penulis menemui fenomena yang sama. Ancaman jatuhnya industri kerajinan tradisional justru di saat industri kerajinan mulai bangkit. Faktor Internal dan Eksternal Penyebab kebangkrutan IKM kerajinan tradisional Faktor penyebab kebangkrutan IKM kerajinan tradisional dapat dibagi dalam dua hal, internal dan eksternal. Faktor internal yang perlu dibenahi adalah kualitas dan mentalitas SDM IKM kerajinan tradisional, kegagapan terhadap perkembangan teknologi, kurangnya wawasan tentang pemasaran serta desain. Masalah Kualitas dan Mentalitas Standar skill yang dimiliki pengrajin tradisional variatif, ada kelompok pengrajin yang bisa menghasilkan produk kerajinan dengan halus dan rapi, ada juga yang masih kasar. Kadang desain produk kerajinan sudah bagus, tapi tidak memiliki harga jual tinggi karena teknik pengerjaan yang kurang maksimal. Pihak buyer dari luar negeri biasanya menerapkan standar tinggi terhadap teknik pengerjaan produk, akibatnya lebih banyak produk kerajinan yang belum bisa diekspor daripada yang bisa diekspor. Keluhan tentang kualitas kerja pengrajin menurut hemat penulis berasal dari ketidak tahuan pengrajin tentang “standar” kerja. Apa yang biasa dilakukan selama ini dianggap sebagai yang terbaik. Ketiadaan kontrol kualitas yang konsisten pada saat pengrajin merasa sudah trampil, menyebabkan cara kerja cepat dan terburu‐buru, sehingga kualitas produk kurang baik. Ada pemilik‐pemilik usaha industri kerajinan yang sebenarnya sadar betul kualitas produknya rendah, tapi membiarkan kondisi tersebut dengan alasan pemenuhan target kuantitas atau karena kesulitan mendapat tenaga kerja trampil. Meski sebenarnya bisa diatasi dengan membina tenaga pengrajin baru, kenyataannya dibutuhkan waktu cukup lama untuk “mengajari” tenaga kerja hingga ia benar‐benar trampil dan paham standar kerja yang tinggi. Kalaupun sudah berhasil dibina hingga memiliki skill yang baik, masalah yang kemudian biasa dihadapi adalah perginya para pekerja trampil untuk membuka usaha sendiri, tidak mau bekerja pada orang lain. Tidak mengherankan jika kebutuhan akan tenaga kerja trampil tidak mudah dipenuhi.
Tidak semua pengrajin tradisional menekuni kerajinan sebagai mata pencaharian utama, melainkan sebagai pekerjaan sampingan setelah bertani. Dengan demikian harapan terhadap peningkatan mutu kerajinan maupun konsistensi produksi tidak diprioritaskan. Ditambah lagi pola hidup komunal yang kadang tidak begitu memperhatikan profesionalisme, sehingga seringkali pengrajin pekerja meninggalkan pekerjaan kerajinannya begitu saja jika ada acara keluarga atau hajatan. Penghentian kegiatan produksi biasa terjadi saat menghadapi acara‐acara panen maupun ritual kegiatan bertani/berkebun, ritual keagamaan, ritual keluarga/masyarakat atau karena faktor cuaca. Sementara itu kelangkaan bahan‐baku yang menghambat produksi jarang sekali terjadi di masa lalu, tapi mulai banyak terjadi akhir‐akhir ini. Hal‐hal seperti itu menyebabkan konsistensi produksi terhambat. Selain masalah kualitas dan konsistensi produksi yang tidak menentu, pengrajin belum memiliki visi strategis untuk bertahan di pasar. Fokus pada produksi tanpa pengembangan desain produk membuat IKM kerajinan tradisional terjebak sebagai pembuat produk. Kondisi ini kadang diperburuk saat pengrajin tradisional bersikukuh menerapkan apa yang telah dibuat generasi sebelumnya dengan dalih tradisi. Kecenderungan untuk berpikir linier, mekanistik, rutin dan parsial seperti itu menyebabkan beberapa pihak yang ditunjuk sebagai konsultan pengrajin (seperti LSM, Perguruan Tinggi) kadang menghadapi situasi sulit. Pengrajin terlanjur berada di zona nyaman / comfort zone, sehingga apatis menerima masukan baru. Seringkali sikap pesimis pengrajin justru disuburkan melalui ketabuan untuk berpikir besar. Sebagai contoh, pada masyarakat Jawa ada istilah ‘melip’ [Jw: utopis] yang berarti berpikir terlalu tinggi atau terlalu rumit. Bagi sebagian besar pengrajin tradisional, berpikir ‘melip’ ini harus dihindari. Sebaliknya, pengrajin dituntut untuk sadar diri’, ‘pasrah’ dan mensyukuri apa yang ada. Saat ada kendala eksternal seperti tingkat persaingan yang tinggi, kenaikan ongkos produksi karena kenaikan BBM, TDL atau bencana alam, banyak pengrajin yang tetap bertahan dengan pola kerja yang sudah ada. Ancaman kebangkrutan disiasati sebatas menurunkan kapasitas produksi, atau menurunkan harga, atau menurunkan ongkos produksi yang berdampak pada penurunan kualitas produk. Selebihnya, pengrajin memilih bersandar sepenuhnya pada pemerintah tanpa daya inisiatif sendiri. Masalah Bahan Baku / Peralatan Beberapa IKM mengalami kesulitan mendapat bahan baku dengan kualitas yang bagus dan variatif. Jika sudah memiliki langganan pemasok bahan baku, pengrajin kerap tidak ingin menjajagi kemungkinan adanya varian bahan baku yang lain, atau mencari pemasok lain yang lebih baik. Di sisi lain, pengrajin memiliki keterbatasan waktu, dana dan tenaga untuk mencari bahan baku dan peralatan baru hingga ke kota‐kota lain. Jika ada tawaran peralatan produksi yang baru tidak mudah disosialisasikan pada pengrajin, karena kadang pengrajin bersikap defensif, memilih bertahan dengan peralatan yang sudah ada. Terlebih jika peralatan yang baru tersebut memerlukan skill tertentu untuk mengoperasikannya.
Masalah Desain Industri kreatif yang dimotori SDM kreatif membutuhkan setidaknya 4 pilar kreatifitas : CORE – 1. Curiosity, 2.Open mind, 3.Risk and 4.Energy (Jordan:2002) yaitu keterbukaan untuk menerima masukan dari siapapun, kehausan untuk mencoba hal‐hal baru, keberanian mengambil resiko dan memiliki energi untuk mengerjakan semua itu. Keyakinan pengrajin bahwa apa yang dilakukan merupakan keahlian turun temurun kadang menimbulkan rasa paling tahu yang terbaik, sehingga menjadi penghalang untuk menerima masukan dari yang lain. Selain itu, keinginan untuk segera meraih keuntungan jangka pendek sekadar untuk bertahan hidup membuat pengrajin cepat puas dengan apa yang sudah dimiliki saat ini, tanpa keberanian mengambil resiko dengan mencoba hal‐hal baru. Akibatnya sering timbul keluhan dari pihak buyer (pembeli) tentang kualitas desain pengrajin. Desain yang dihasilkan dianggap kurang variatif dan hampir sama dengan desain produk sejenis dari daerah lain. Buyer yang cerdik, kadang datang dari luar negeri, membawa desain sendiri, kemudian pengrajin diperlakukan sebagai mesin produksi. Toh, pengrajin justru bangga, karena mereka menganggap produk mereka ’diekspor’. Pengrajin memilih tetap bertahan dengan bentuk dan cara tradisional, karena keterbatasan wawasan desain membuat pengrajin tidak tahu bagaimana harus mengembangkan varian desain yang lain. Wawasan desain itu sebenarnya bisa diperoleh baik melalui pendidikan formal atau dengan melakukan banyak studi banding produk serupa dari daerah lain. Minimal dengan menghadiri pameran‐pameran kerajinan berskala nasional / internasional di Indonesia. Pelatihan desain yang kerap diselenggarakan oleh instansi pemerintah, perguruan tinggi maupun LSM dengan rentang waktu singkat tak berkelanjutan tidak pernah akan cukup memberi wawasan desain jika tidak diikuti inisiatif pengrajin untuk mengembangkannya sendiri. Sebab pelatihan‐pelatihan seperti itu bersifat membuka pikiran dan memberikan rangsangan agar pengrajin mengetahui teknik‐teknik baru atau ide desain baru. Setelah itu, pengrajin harus memperdalam pengetahuan desain sendiri, mengingat desain adalah bidang yang sangat dinamis dan terus berkembang sesuai trend. Jadi pengetahuan desain harus selalu di up‐date. Trend desain itu berubah setiap tahun, bahkan di beberapa rumah mode berskala nasional / internasional, mode‐mode desain diperbaharui setiap 2 bulan. Masalah Pemasaran Pedagang yang jeli justru bisa meraup keuntungan dari ketidak mengertian pengrajin mengenai saluran distribusi. Pihak pedagang sering bisa menjual dengan harga berlipat‐ lipat jauh dari harga jual dari pengrajin sebagai produsen. Pengrajin memang terbantu jika pedagang datang ke tempat produksi, sebab hal itu memudahkan pengrajin menjual barang. Tetapi sebagian besar pengrajin kemudian tidak melacak lebih lanjut proses perjalanan produk‐produknya hingga ke konsumen, sehingga mereka tidak tahu persis ke mana produk‐produk mereka dipasarkan. Proses penjualan dengan mengandalkan pesanan atau pedagang yang datang ke rumah pengrajin menyebabkan pengrajin miskin
database konsumen yang seharusnya berharga untuk memprediksi kecenderungan pasar dan langkah‐langkah antisipatifnya. Banyak pengrajin mengakui bahwa pemasaran adalah kendala terbesar yang dihadapi saat ini. Beberapa IKM kerajinan tampak sulit melebarkan jangkauan pemasaran ke luar propinsi atau ke luar pulau apalagi ke luar negeri. Saluran distribusi yang biasa dilakukan selain mengandalkan pedagang langganan adalah menitipkan di toko‐toko atau mengikuti pameran. Pameran ini ada yang berskala kota hingga internasional. Tentu hanya IKM dengan produk berkualitas tinggi yang dapat mengikuti pameran internasional. Sebagian besar IKM kerajinan tradisional hanya dapat mengikuti pameran berskala kota. Biasanya pemerintah memfasilitasi pengrajin untuk mengikuti pameran. Tetapi proses pemilihan IKM tertentu yang bisa ikut pameran kerapkali hanya berdasar hubungan baik dengan petugas/pejabat pemerintah saja, tanpa ada pertimbangan lebih lanjut terhadap hubungannya dengan pengrajin yang lain. Dengan demikian dampak regional terhadap keikut sertaan pameran tersebut kurang terasa oleh pengrajin yang lain, bahkan rawan menyebabkan kecemburuan antar pengrajin. Faktor Eksternal Faktor eksternal yang menghambat perkembangan IKM tradisional antara lain adalah tingginya tingkat persaingan dengan komoditi sejenis dari wilayah lain, kenaikan ongkos produksi akibat kenaikan tarif dasar listrik dan kenaikan BBM, bahan baku yang semakin menipis, maraknya penyelundupan produk impor dan bencana alam. Mengingat kendali faktor eksternal tidak di tangan pengrajin, langkah pro‐aktif yang bisa dilakukan secepatnya adalah menyiasati kendala eksternal tersebut dengan kreativitas. Langkah‐langkah transformatif IKM kerajinan tradisional menjadi industri kreatif Merujuk pada pemikiran John Howkins dalam buku “Creative Economy, How People Make Money from Ideas” bahwa industri kreatif bertumpu pada gagasan sebagai komoditi utama, maka kualitas SDM atau lebih tepatnya kreativitas SDM menjadi kunci keberhasilan industri kreatif. Pada konteks IKM Kerajinan, jelaslah bahwa transformasi IKM kerajinan tradisional untuk menjadi industri kreatif tergantung pada transformasi SDM‐nya. Memang tidak mudah mengubah cara berpikir yang terlanjur melekat turun‐temurun. Inti dari perubahan perilaku menurut hemat penulis adalah perbaikan tingkat pendidikan pengrajin, agar mereka dapat memahami logika berpikir jangka panjang. Saat ini pendidikan rata‐rata sebagian besar setingkat SD‐SMP, sehingga tidak mudah untuk mengajak berpikir visioner. Jika pengrajin sudah bersikap visioner, punya pandangan jauh ke depan, biasanya akan lebih mudah menerima masukan baru (open‐ mind), berdaya inisiatif tinggi, bahkan berani mengambil resiko. Modal sikap inilah yang akan dapat mengantarkan IKM kerajinan tradisional menjadi bagian dari industri kreatif. Setelah itu, ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan. Pertama, IKM Kerajinan perlu introspeksi keunikan bidang kerajinan yang digeluti. Kedua, membuka
kemungkinan merger antar IKM yang berkaitan dalam sebuah tim kerja. Ketiga, merevisi strategi produksi. Keempat, merumuskan strategi pemasaran yang tepat. Introspeksi keunikan bidang kerajinan yang digeluti Tidak semua bidang yang digeluti IKM kerajinan tradisional memiliki keunikan tinggi. Sebagian IKM kerajinan menekuni bidang generik yang dapat ditemui dengan mudah di tempat‐tempat lain di Indonesia atau di dunia, seperti industri kulit, furnitur kayu atau perhiasan. Bidang‐bidang seperti ini bahkan sudah dimassalkan oleh perusahaan‐ perusahaan besar, dengan kualitas produk yang lebih baik dan kapasitas produksi yang jauh lebih besar. Untuk IKM tradisional seperti ini harus mencari celah di mana produk yang dihasilkan memberi tawaran yang berbeda dengan produk perusahaan besar. Upaya melayani konsumen secara khusus dengan desain terbatas (customized design) bisa menjadi salah satu alternatif. Sebaliknya, IKM kerajinan dengan keunikan tertentu ‐baik dari segi bahan maupun teknik pengerjaannya‐ seperti kerajinan batu mulia, tenun, atau anyaman‐anyaman, juga tetap harus waspada, agar tidak cepat puas dengan apa yang ada. Mengingat perkembangan teknologi yang bisa memassalkan hampir semua produk hand‐made, serta membuat material tiruan yang sangat mirip aslinya, ada kemungkinan keunikan tersebut perlahan hilang. Pola kerja tim pada sentra IKM tradisional yang ada Saat keterbatasan pendidikan SDM pengrajin sudah teratasi dan sikap kreatif sudah terbentuk, pola kerja tim seperti dalam teori clustering harus dilakukan untuk mensiasati keterbatasan sumber daya (tenaga) dan biaya. Saat ini sudah ada upaya membentuk klaster industri dalam bentuk sentra, di mana masing‐masing sentra terdiri dari kelompok pengrajin binaan. Akan tetapi pada kenyataannya masing‐masing anggota kelompok tetap melakukan kegiatan produksi sendiri‐sendiri mulai pencarian bahan baku hingga mencari saluran pemasaran. Hal ini menyebabkan beberapa kerugian, antara lain : kualitas produk beragam (tidak ada jaminan kualitas produk), kapasitas produksi terbatas, wawasan desain terbatas, karena tidak ada waktu dan biaya untuk studi banding, pemasaran terbatas, karena tidak ada waktu, biaya dan jaringan pemasaran yang luas dan rawan terjadi persaingan harga antar pengrajin yang menyebabkan harga jual tidak bisa tinggi. Diperlukan upaya merger antar IKM yang berkaitan atau yang sejenis agar terjalin suatu kerja tim. Pada satu tim pengrajin dapat dibagi beberapa kelompok tugas khusus dan saling bersinergi satu sama lain, misalnya bagian bahan baku / peralatan, bagian desain merangkap penjamin mutu, bagian teknik dan bagian pemasaran Namun demikian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pola kerja tim. Pertama, harus ada sosialisasi pelahan tapi terus menerus ditekankan pada pengrajin agar bekerja dalam satu tim. Upaya ini bisa dilakukan baik oleh pemerintah maupun tokoh masyarakat. Jika sudah terbentuk kesamaan visi dibutuhkan pengelolaan
manajerial yang baik antar IKM agar bisa bekerja sama dalam satu tim. Perlu diingat bahwa kehidupan komunal ala masyarakat Indonesia ternyata belum bisa menjamin terbentuknya tim kerja yang baik. Hal mendasar yang harus dilakukan dalam upaya sosialisasi itu adalah membuat kelompok pengrajin menjadi solid, membuang rasa curiga satu sama lain, saling legowo untuk kemajuan bersama. Kedua, diperlukan orang‐ orang visioner yang bisa dijadikan motor penggerak. Orang ini sebaiknya memiliki posisi tawar yang baik di antara teman‐teman pengrajin dan bisa menjalin hubungan dengan pemerintah. Bahkan jika perlu orang‐orang visioner ini yang nantinya mengupayakan merger antar IKM. Memang tidak mudah bagi para pemilik IKM untuk merger dengan pemilik IKM lain, tapi demi memperbesar kapasitas produksi dan memperbaiki kualitas produk, langkah ini perlu dilakukan. Kalaupun masing‐masing IKM memproduksi sendiri, tidak boleh ada tumpang tindih jenis produk, sehingga antar IKM akan saling melengkapi satu sama lain. Ketiga, perlu bantuan pemerintah sebagai fasilitator, agar jika ada even promosi atau pembagian bantuan, pemerintah menunjuk dengan hati‐hati, sehingga tidak terjadi kecemburuan sosial yang bisa merusak iklim kerjasama. Keempat, sebaiknya ada bimbingan /binaan dari lembaga lain agar tim kerja itu terus terpantau. Untuk desain dapat dibina kerjasama konsultasi dengan perguruan tinggi bidang desain. Secara berkala perguruan tinggi dapat bertindak sebagai pemasok bank desain, tentu dengan terus berkoordinasi dengan IKM untuk menjamin kualitasnya. Demikian pula untuk perumusan strategi pemasaran dapat dilakukan kerjasama konsultasi dengan perguruan tinggi bidang pemasaran dan manajerial. Kelima, program pelatihan yang diselenggarakan sebaiknya fokus pada masing‐masing bidang, misal. pelatihan teknis atau pelatihan desain atau pelatihan pengolahan bahan baku atau pelatihan manajemen & pemasaran. Tentu saja pelatihan tersebut hanya bersifat triggered atau merangsang pengrajin untuk membuka wawasan baru, selanjutnya pengrajin harus pro‐aktif memperdalam pengetahuannya. Strategi produksi Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mensiasati kendala produksi. Pertama, jika bahan baku semakin langka, sebaiknya tidak terlalu tergantung pada bahan baku yang ada. Kedua, pengrajin tidak hanya memproduksi barang setengah jadi, tapi finish production, supaya nilainya bisa berlipat ganda. Selain kedua langkah di atas, langkah terakhir adalah mengusahakan bahan baku dari daerah lain. Strategi pemasaran yang kreatif Sebenarnya pemasaran tidak sebatas pada promosi. Hal‐hal yang dilakukan dalam kegiatan pemasaran sekaligus menjadi kegiatan untuk membaca kebutuhan pasar dan kecenderungan / trend yang berlaku. Keberhasilan pemasaran sangat dipengauhi kinerja tim dalam membaca kebutuhan pasar (people), patokan harga yang cocok (price), kualitas produk (product) dan strategi promosi (promotion) itu sendiri. Dengan demikian pemasaran sangat dipengaruhi kegiatan lain mulai desain, teknik pengerjaan, manajemen hingga distribusi.
Jika kualitas produk sudah baik, diperlukan strategi promosi yang tepat dan terintegrasi. Strategi promosi ini meliputi : pembangunan merk (branding), pembuatan label (labelling), pembuatan kemasan (packaging), saluran iklan (website/brosur/katalog/majalah/billboard/dll) hingga keputusan saluran distribusi yang tepat, seperti jenis pameran yang harus diikuti, galeri / butik yang bisa dijadikan mitra. Jika perlu membuat even sendiri dengan menggandeng desainer busana (fashion designer) dan bekerjasama dengan orang‐orang yang bisa menjadi trend setter / public figure / selebriti mulai dari artis, olahragawan hingga politikus. Sayangnya kegiatan pemasaran seperti di atas masih dianggap “terlalu tinggi” oleh sebagian besar pengrajin, karena kendala pengetahuan, waktu, tenaga dan biaya. Padahal pemasaran yang hanya mengandalkan pesanan atau saluran‐saluran tradisional tidak akan berdampak banyak pada perubahan kemajuan penjualan mengingat iklim kompetisi yang semakin ketat dengan produk‐produk dari daerah lain. Perlu diingat pula bahwa tingginya persaingan di industri kreatif menyebabkan tidak ada satu pun industri kreatif yang hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan utilitas semata. Sebagai contoh, pada bidang arsitektur yang dijual bukan sekedar pemenuhan kebutuhan akan hunian, tetapi lebih pada upaya menghadirkan sensasi terhadap artistik ruang, kenyamanan, gengsi dan cerita di balik suatu bangunan. Pada bidang fesyen yang dijual adalah gengsi, citra dan gaya hidup. Hal‐hal seperti kepuasan batin, edukasi, kelucuan, ketakutan, romantisme, semangat, gengsi, kenikmatan visual, rasa petualangan dan cerita adalah hal‐hal yang ditawarkan oleh industri kreatif di samping pemenuhan fungsi utilitas suatu produk barang / jasa. Pada bidang kerajinan, konsumen mencari keunikan. Baik dari segi bahan, teknik pengerjaan, atau filosofi cerita di balik produk. Dengan demikian pengrajin tidak hanya perlu mengeksplorasi desain, tapi juga perlu mengemas proses produksi sedemikian rupa agar cerita di balik pembuatan produk dapat pula dipasarkan. DAFTAR PUSTAKA Howkins, John. 2001. The Creative Economy, How People Make Money from Ideas, Penguin Books. Yudosaputro, Wiyoso. 1990. Industri Kerajinan di Pedesaan. ITB. Zulaikha, Ellya. 2004. Varian Desain untuk Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Produksi Kerajinan Manik‐manik Kayu di Kediri, Laporan Penelitian, ITS. Zulaikha, Ellya. 2007. Fasilitasi program pengembangan SDM IKM Kerajinan Kulit di Sidoarjo, Laporan Pengabdian pada Masyarakat, Pemprov Jatim‐ITS. Zulaikha, Ellya. 2007. Fasilitasi program pengembangan SDM IKM Kerajinan Furniture Kayu di Bojonegoro, Laporan Pengabdian pada Masyarakat, Pemprov Jatim‐ITS.
Zulaikha, Ellya. 2008. Pengembangan Desain Tali Lulup untuk Kerajinan di Tulungagung, Laporan Pengabdian pada Masyarakat, ITS. Zulaikha, Ellya. 2008. Pengembangan Desain untuk Industri Batik dan Bordir Pacitan, Laporan Pengabdian pada Masyarakat, Pemprov Jatim‐ITS. www. kabarindonesia.com www.indosiar.com www.kapanlagi.com www.tempointeraktif.com