FLEKSIBILITAS KERAJINAN BATIK TRADISI SURAKARTA DI ERA INDUSTRI KREATIF* Oleh: Edi Kurniadi**, Ratna Indah Santosa***, Sujadi R Hidayat**** Surakarta, as the most potential district of Batik production in Indonesia, has several supplier regions, such as: (1) Laweyan, (2) Bayat Klaten, (3) Girilayu, and (4) Kliwonan, Sragen. From these five areas of Batik production, it can be gathered some data related to: (1) The original background of batik production as an activity that is full of spiritual purgation and hope on goodness or wishes to God, a part time job, which has shifted to a behavior oriented to market (art for mart); (2) The process of batik making, mbatik, is flexible to be practiced by using various tools, such as: canting writing tools, canting stamps, brushes, milk can for drawing the patterns or nyanting, the screening with liquid wax in low temperature, the coloring by using natural based color that is still done in relatively small amount, the use of naphthol, indigosol and remasol that is dominant, and the wax removal or nglorot that is done traditionally; (3) The flexibility of its visual forms that adapts the traditional batik patterns (the main patterns or Klowongan, the filling of the main patterns or isen- isen and the patterns filling the background as the balancer) to be copied, modified/altered without any boundary so that the traditional patterns can be adjusted to suit the places, times and shapes; (4) Batik handicraft business has survival ability in the huddle of other creative handicraft industries (like woven, lace, net, tie-dye, and hand print), because the craft men and the business owners have quick abilities of adaptation /self adjustment, the sole purpose of making commercial products, the management skills and the reunification from various processes, the inheritance of Javanese trade ethos, the regeneration of batik makers, and also strong corporate networks.
Keywords: The traditional batik has done self-adapting in a creative industrial era.
*Artikel Penelitian Fundamental, **Dosen Program Pendidikan Seni Rupa FKIP UNS, ***Jurusan Kriya Tekstil Fak Sastra dan Seni Rupa , ****Dosen Jurusan Kriya Tekstil Fak Sastra dan Seni Rupa UNS
A. Pendahuluan Batik tradisi sebagai artefak dapat memberikan informasi mengenai berbagai apek antara lain: teknologi yang digunakan, material, teknik pengerjaan,
aspek
sosial,
aspek
idiologi,
aspek
seni
hias,
aspek
simbolik/makna, serta aspek fungsi. Batik sebagai benda hasil keterampilan tangan para pengrajin, selalu mengalami proses behavioral meliputi proses buat (made), proses pakai (use), dan proses deposisi. Bratasiswara (200:85) menyampaikan beberapa hal terkait dengan pengertian batik: Bathikan [batik], merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kerajinan kain bercorak warna-warni yang penggarapannya menggunakan malam [lilin]. Setiap orang Indonesia sudah mengenal batik, yakni bahan sandang, perlengkapan rumah tangga, serta hiasan-hiasan. Batik adalah suatu lukisan di atas mori [kain putih], secara tidak langsung dengan perantara malam [lilin] dan canthing, baik canthing tulis maupun canthing cap sebelum dicelup warna. Pada awalnya bathikan [perbatikan] merupakan kerajinan tradisional yang dikerjakan di rumah tangga keluarga dari desa-desa kemudian berlangsung menjadi perusahaan kerajinan batik yang penuh seluk beluk di dalamnya. Batik tradisi di Surakarta yang bersumber dari batik kraton, dalam penjalanan sejarah sampai saat ini masih dapat dijumpai atau mengalami keberlangsungan dari sisi proses pembuatan maupun pola hiasnya yang baku, dan ada pula proses batik tradisi maupun pola hiasnya telah mengalami peenyesuaian-penyesuaian seiring perkembangan keinginan penggunanya atau memiliki
fleksibilitas.
Mengenai
pengertan
tradisi
Edward
shils
menyampaikan bahwa tradisi dapat berarti sebuah traditium; yaitu semua hal yang disalurkan atau diturunkan dari masa lalu ke masa sekarang (1983:1213). Sedangkan fleksibilitas dalam pembahasan ini didiartikan sebagai bukti adanya kelenturan dan kemapuan untuk menyesuaian diri secara mudah, yang tercermin di dalam batik tradisi, fleksibilitas ini akan dikaji dari aspek material yang digunakan, peralatan,
proses pembuatan dan bentuk visual ragam
hiasnya di era industri kreatif, Sedangkan mengenai fleksibilitas dalam proses pakai (use), dan deposisi akan dibahas pada kesempatan lain. Perjanjian Giyanti tahun 1755 merupakan salah satu tonggak bersejarah dalam perjalanan batik di Surakarta. Melalui perjanjian ini ini 2
wilayah Mataram dibagi menjadi dua yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Sejak itu busana Mataram diboyong ke Yogyakarta, Selanjutnya SISKS Pakoe Boewono III di Surakarta ”membuat” busana sendiri dengan “gagrak” atau gaya Surakarta. Termasuk dalam kain bathik untuk nyampingan coraknya mengalami perubahan-perubahan menyesuaikan dengan busana yang baru, batik Surakarta mulai berkembang corak-corak atau motifnya (Honggopuro, 2002:9). Kraton-kraton di Surakarta beranggapan segala sesuatu dalam hidup diperintah oleh konsep keelokan dan keindahan atau èdi pèni, sedangkan keraton-keraton
di
Yogyakarta
beranggapan
puncak
ekpresi
adalah
kemegahan, agung, atau adi luhung, ekpresi arah estetika yang berbeda ini tercermin dalam bentuk-bentuk seni kedua keraton itu. Selanjutnya Tirta menyampaikan: “Kerajinan batik tradisi Surakarta dalam hal ragam hias, dianggap murah hati, dapat menerima variasi-variasi karena kawasannya yang lebih besar dan lebih mantap” (Titra, 2009: 69). Gerak arah batik Surakarta yang lebih terbuka dan dapat menerima variasi-variasi, akhirnya menemukan pembakuan jati diri (konstan dan stabil), serta teruji oleh waktu, sehingga menjadi batik gaya Surakarta yang memiliki ciri khas latar/ background kuning/ krem muda (tidak putih) sebagai efek dari proses loyor, pewarnaan tidak mencolok atau serasi (ciri khas warna biru kehitaman, coklat kemerahan dan krem),lebih banyak isèn-isèn.terutama serat atau sawut dan titi-titik halus yang dinamakan cecek digunakan lebih rumit dalam kain batik Surakarta (Tirta, 2009: 68-69). Pengertian batik tradisi tidak sekedar dilihat dari bentuk pola hias yang sudah baku, namun juga harus mencermati dari aspek proses yang digunakan dalam pembuatan batik tradisional, yang disebut dengan proses tradisional, yaitu batik yang menggunakan warna biru (indigo), dan warna coklat (soga) dengan tahapan proses tradisional sebagai berikut: mbatik, nembok, medel, ngerok dan nggirah, mbironi, nyoga, dan nglorot (Doellah 2002:13-14). Batik tradisional diwariskan secara turun-temurun, memiliki pola- pola baku bersumber dari batik kraton di Surakarta, dalam perjalanannya hadir 3
pengaruh dari luar seperti dari para pedagang India, Arab, Cina, dan Eropa; pengaruh agama-agama, serta pengaruh penjajah Belanda dan Jepang. Unsurunsur lama dalam batik tradisi dipadukan dengan unsur baru dari luar, menjadi tumpang tindih yang disertai pula dengan hadirnya ide-ide baru, material baru, dan peralatan baru, mampu memperkaya wujud ragam hias batik. Kerajinan batik yang bersumber dari batik kraton di Surakarta, pada saat ini telah mengalami perkembangan dari sisi pola hias, material, dan proses pembuatannya, mampu hadir di berbagai sektor kebutuhan kerajinan tekstil yang tidak terbatas pada fungsi busana, akan tetapi telah meluas untuk fungsi yang lain, termasuk batik untuk pelengkap interior dan benda-benda souvenir sebagai kerajinan untuk dunia pariwisata,.Sementara batik tetap bertahan sebagai sebuah karya seni sebagai media ekpresi seniman, seni sebagai simbol status sosial/untuk kebutuhan sosial, dan komponen tradisi yang menyertai siklus kehidupan khususnya bagi masyarakat Jawa. Batik sebagai salah satu karya budaya bangsa, dalam perjalanannya telah teruji dari waktu-waktu, termasuk ujian dalam ”polemik” mengenai eksistensi batik sebagai budaya asli Indonesia. Ujian terhadap eksistensi batik sebagai budaya asli bangsa Indonesia mencapai puncaknya pada saat Negara Malaysia mengklaim bahwa batik merupakan budaya asli mereka, hal tersebut telah memicu ”sentimen baru”, yaitu dengan naiknya rasa kecintaan masyarakat Indonesia terhadap batik, yang berdampak pada meningkatnya permintaan masyarakat dari berbagai wilayah di Indoonesia tehadap kain batik, para pengrajin di sentra-sentra industri batik turut serta mengalami peningkatan omzet penjualan yang paling ditunggu oleh pelaku usaha batik. Eksistensi batik sebagai budaya asli Indonesia telah pasti, setelah United Nation Education Scientific and Cultural Organization (UNESCO), menetapkan batik sebagai budaya non-benda (intangble cultural heritage) yang dihasilkan oleh Indonesia. Pada tanggal 2 Oktober 2009, di Abu Dhabi. Aspek intangible (”takbenda” tak dapat diraba) menurut Sedyawati (2006:161) dapat berkenaan dengan:
4
(1) konsep mengenai benda itu sendiri, (2) perlambangan yang diwujudkan melalui benda itu, (3) kebermaknaan dalam kaitan dengan fungsi atau kegunaannya, (4) isi pesan itu terkandung di dalamnya, khususnya apabila terdapat tulisan padanya, (5) teknologi untuk membuatnya, dan (6) pola tingkah laku yang terkait dengan kemanfaatanya Mengenai dinamika perkembangan batik, Haryana menyampaikan bahwa perkembangan yang terjadi telah pula membuktikan bahwa seni batik sangat dinamis dan dapat menyesuaikan diri dalam dimensi ruang, waktu, dan bentuk (Haryana, 2008:79). Keberlangsungan dan perubahan batik tradisi tersebut sebagai bukti adanya keluwesan, kemampuan untuk penyesuaian diri secara mudah, cepat, dan dinamis (memiliki fleksibilitas) di tengah kerajinan tekstil (tenun, rajut, renda, ikat celup, ikat celup, smokan, dan lain-lain) sebagai bagian dari produk industri kreatif .bidang kerajinan, yaitu “kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi dan distribusi produk yang dibuat dan dihasilkan oleh para pengrajin dari desain awal sampai dengan proses penyelesaian produknya”. Industri kreatif didefinisikan sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan
serta
lapangan
pekerjaan
dengan
menghasilkan
dan
mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Berdasarkan Departemen Perdagangan Republik Indonesia meliputi: periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, fesyen, video, permainan interaktif, musik, seni pertnjukan, penerbitan, layanan komputer dan piranti lunak, televisi dan radio, riset dan pengembangan, serta kuliner. Isu tentang perlunya industri kreatif telah muncul di Inggris pada tahun 1990. Sedangkan di Indonesia industri kreatif diharapkan dapat menunjang tumbuhnya ekonomi kreatif, yang sudah dimulai sejak era tahun 2006 hingga saat ini, dan diberi wadah melalui Kementrian Pariwisata dan Pengembangan Ekonomi Kreatif Kabinet Indonesia Bersatu II.
5
Berikut akan disampaikan uraian mengenai latar belakang didalam membuat batik, Fleksibilitas proses batik tradisi, fleksibilitas ragam hias batik tradisi, dan kemampuan survival dalam industri kerajinan batik. B. Latar belakang dalam membuat batik Pola pikir pelaku seni dalam berkarya dapat
mempengaruhi
penampilan produk/ karya yang dihasilkan. Pola pikir pelaku seni dalam menghasilkan karya seni dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: 1) pola pikir perilaku berkesenian untuk realisasi diri tanpa peduli kegunaan dari karya tersebut dan apakah karyanya dapat memuaskan orang lain atau tidak (art for art), 2) pola pikir perilaku berkesenian menuruti selera pasar atau berorientasi pada pasar (art for mart), 3) pola pikir yang berorientasi kepada semua pihak (Permas dkk, 2002: 97-98). Pembuatan batik terutama yang mengadopsi dari pola batik tradisi yang kemudian disesuaikan lebih lanjut oleh para pelaku pembatikan dilatarbelakangi oleh: 1. Faktor ekonomi,
merupakan pola pikir perilaku berkesenian menuruti
selera pasar atau berorientasi pada pasar (art for mart). yaitu keinginan untuk membuat batik untuk tujuan komersial yang disesuaikan dengan selera bisnis pemilik usaha, dengan pedoman ”bisa membuat batik harus bisa menjual”, bisa menjual harus mendapatkan keuntungan yang berdampak meningkatnya ekonomi keluarga, karena para pemilik usaha percaya dan optimis bahwa dengan usaha batik terutama batik tulis, maka ekonomi keluarga mereka juga ikut terangkat (Sesuai hasil wawancara dengan Bambang Slameto, Batik Merak Manis Laweyan)., 2. Keinginan untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Pemilik usaha merasa bertanggungjawab terhadap kehidupan ekonomi para pekerja dan keluarga mereka, karena para pekerja di dalam dianggap sebagai keluarga sendiri dan sebagi orang-orang yang setia kepada juragan mereka.
6
3. Keinginan untuk mewarisi tradisi/ budaya membatik, khususnya batik tulis yang telah diwariskan oleh orang tua, dan para leluhur, mereka berkeinginan nguri-nguri budaya batik tulis, terutama bagi para pembatik di Giri Layu, Kliwonan, Bayat. yang merupakan pekerjaan turun temurun dengan sistem sanggan. 4. Keinginan untuk meningkatkan derajat usaha karena pada awalnya hanya sebagai buruh batik di kota, dilanjutkan menerima sanggan dari para pengusaha/ saudagar di kota, dan mulai mampu menjual batik dalam kondisi setengah jadi (berupa kain yang baru dimalam/diberi lilin, belum diberi warna). Akhirnya ingin mewujudkan keinginan untuk dapat memproses secara keseluruhan dari persiapan bahan baku sampai kain jadi dan menjualnya sendiri. (Sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Sugiyem, Usaha Batik wahyu Sari, Girilayu Matesih).
C. Fleksibilitas proses pembuatan batik tradisi Proses pembuatan batik secara baku ada tiga yakni: 1) secara tradisional, 2) kesikan, dan 3) pekalongan atau pesisiran. Proses batik tradisional merupakan proses yang digunakan pada pembatan batik tradisional, yaitu batik yang menggunakan warna biru indigo dan soga, dengan tahapan sebagai berikut: 1) mbatik, 2)nembok, 3 )medel, 4) ngerok dan nggirah, 5) mbironi, 6) nyoga, dan 7) nglorot. (Doellah, 2002,13-14). Pengembangan proses pembuatan, dan pengembangan ragam hias selalu terjadi dalam industri batik sebagai salah satu jenis industri kreatif. Melahirkan produk batik dengan pola ”baru” dan proses ”baru” yang bersumber dari pola batik tradisi, telah melalui gagasan kreatif dari masyarakat pembuatnya, sebagai suatu gagasan kreatif bila bersifat baru dan berharga dan inovatif bila dapat diwujudkan sesuai kebutuhan penggunanya. Inovasi senantiasa mengarah pada market focused. Industri yang berorientsi pada produk facused”, sangat mungkin menghasilkan ”terobosan-terobosan”, namun belum tentu diminati pemakai. (Zuhal, 2010, 78).
7
Penemuan-penemuan baru dalam proses pembatikan telah mampu menghasilkan produk yang variatif dan memperkaya dinamika ragam hias yang bersumber dari batik tradisi. Mengenai flesibilitas produksi kerajinan batik,
dapat di simak dari permasalahan: desain batik, pelekatan lilin,
pewarnaan, penghilangan lilin, material dan peralatan. Desain batik, Kata desain dalam dunia seni rupa oleh Sachari, kerap dipadankan dengan: reka bentuk, reka rupa, perupaan, anggitan, rancangan, rancang bangun, gagas rekayasa, perencanaan, kerangka, sketsa ide, gambar, busana, hasil keterampilan. Selanjutnya Sachari menyampaikan: ”Dalam proses desain harus mempertimbangkan, nilai-nilai inovasi, nilai-nilai ekonomi, kemajuan teknologi, nilai-nilai estetika, sosial, lingkungan, dan moralitas dalam kurun waktu tertentu yang memberikan perubahan, dan peningkatan kualitas hidup manusia” (Sachari, 1998, 46), Di samping itu terdapat pertimbangan lain yang tak kalah penting yaitu trend mode, selera konsumen, dan pemasaran (Rizali, 2006:20-58). Dengan demikian desain bagi dunia pemasaran dan pandangan para pengusaha dapat sebagai salah satu penentu daya saing produk. Aktivitas di dalam produksi terdapat beberapa faktor yang dianggap dapat mempengaruhi lahirnya sebuah produk, antara lain: teknologi, institusi sosial, sistem sponsor atau pelindung, mediator, dan faktor ekonomi (Wolf, 1981:9). Desain-desain batik di Laweyan dan Kauman pada masa lampau yang ”halus dan rumit” dan disesuaikan dengan selera bisnis para saudagar mampu menghasilkan batik sudagaran dengan pola yang bersumber batik kraton. Yang ragam hias utamanya serta isen polanya digubah sedemikian rupa, di sisi lain desain batik petani mewarnai batik Bayat, Girilayu, dan Kliwonan. Perkembangan tuntutan pengguna batik yang semakin komplek, serta persaingan dengan produk sejenis, memberikan tantangan tersendiri bagi para pemilik usaha untuk selalu memunculkan inovasi-inovasi baru. Setelah adanya program ”kampung batik” terutama di Laweyan, Kauman, dan Kliwonan sebagai daerah tujuan wisata para pemilik usaha juga lebih tertantang untuk menciptakan desain-desain yang memiliki konteks lokal 8
yang diperlukan oleh para wisatawan. Perpaduan nilai seni dan nilai uang dalam seni untuk wisata merupakan tantangan pula bagi para pemilik usaha, agar mereka lebih seimbang dalam mengelola aspek ”seni dan uang”. Apabila aspek uang sangat mendominasi pola pikir pelaku seni untuk wisata, maka mereka terkadang dapat mengesampingkan aspek seni dan nilai budaya lokal. Desain batik di beberapa sentra pembatikan dibuat oleh oleh para “juru gambar”. Para juru gambar membuat desain dengan pensil, tinta, spidol warna hitam pada kertas minyak/transparan seuai ukuran/skala 1:1, dalam membuat desain para jurugambar akan melaksanakan sesuai ”arahan” pemilik usahasa atau juragam mereka. Para juru gambar ”setia” pada kehendak para juragan mereka, para juragan/pemilik usaha memiliki prediksi yang baik tetrhadap produk yang akan diterima pasar, para pengusaha ini lebih ”setia” pada kehendak konsumen atau kehendak pasar, kesetiaan para juragan kepada konsumen inilah selanjutnya harus disamapikan dan diterjemahkan oleh” para juru gambar” dalam bentuk desain-desain baru, modifikasi, atau peniruan terhadap ragam hias tradisi yang telah ada. Pelekatan malam/lilin batik sebagi perintang warna dicapai melalui alat bernama canting dengan proses tulis sehingga hasilnya disebut batik tulis, selanjutnya pelekatan lilin batik dicapai dengan alat berupa cap atau stempel dari tembaga sehingga hasilnya disebut batik cap; proses batik cap dapat dianggap sebagai upaya percepatan proses produksi dalam pembatikan, dan pemenuhan terhadap selera konsumen terutama kalangan menengah ke bawah terhadap kain batik. Tidak puas dengan cara pelekatan lilin batik ke kain dengan cara tulis, cap, dan kuwas. Para pengrajin batik mulai mengembangkan teknik pelekatan lilin cair dalam kedaan dingin ke permukaan kain melalui proses sablon. Fleksibilitas pelekatan lilin batik terjadi lagi, dengan menggabungkan proses pelekatan lilin melaui canting tulis dengan canting cap, canting tulis dengan sablon malam cair dalam suhu dingin, canting tulis dipadukan dengan sablon/printing tanpa malam, batik tulis dengan smokan, batik tulis, cap dan smokan, penggunaan sapu lidi, kuwas, kaleng susu, merupakan flesibilitas 9
pelekatan lilin pada kain
lebih disebabkan inovasi para pembatik untuk
menghasilkan batik melalui pelekatan lilin batik dengan berbagai metoda dan peralatan. Peralatan wajan dan anglo yang terbuat dari gerabah lambat laun ditinggalkan oleh pengrajin batik karena dianggap kurang praktis, dan diganti dengan wajan dan kompor kecil dari logam dengan bahan bakan minyak tanah; kompor kecil yang memakai bahan bakar minyak tanah saat ini mulai mengalami perubahan dan menyiasati dalam pemanfatan energi seiring melambungnya harga minyak tanah, yaitu dengan mencampur minyak tanah dengan solar (batik Setya Laweyan), penggunaan kompor gas (di Kliwonan), dan mulai digunakannya kompor batik dengan energi listrik (batik Pandono di Laweyan). Peralatan memanaskan malam/lilin pada proses batik cap yang banyak digunakan peralatan, berupa saringan malam/grenseng, wajan untuk batik cap (ender), dan kompor untuk cap tidak banyak mengalami perubahan. Pewarnaan batik, merupakan titik kritis suksesnya pembuatann kain batik yang berkualitas, terjadi penyesuaian-penyesuaian yang dipengaruhi oleh hadirnya zat warna sintetis dari luar negeri. Pewarnaan batik pada awalnya mempergunakan zat warna alam seperti, nila/tom, soga, yang kemudian dikembangkan oleh para pengrajin dengan memakai pewarna alam dari tumbuhan yang ada di sekitar usaha mereka, walaupun telah dikembangkan oleh para pengusaha, pewarna alam ini dianggap terlalu lama dalam proses dan hasil warna yang kurang berfariasi, maka para pengrajin batik mempergunakan zat pewarna lain seperti pewarna naphtol, indigosal, pada tahun terakhir ini para pengrajin batik di Surakrta dan sekitarnya banyak memanfatkan pewarna rhemazol yang lebih kaya variasi warna fleksibel terutama dalam proses coletan dengan kuwas atau peralatan sejenis. Penggunaan pewarna zat warna alam dalam proses batik tidak serta merta ditinggalkan oleh para pengusaha, hal ini karena keunikannya dan masih banyak konsumen yang ingin memiliki batik dengan pewarna alam. Seperti pada usaha batik Wahyu Sari di Girilayu Matesih, usaha batik di Kliwonan dan
Bayat,
sedangkan
para
pengusaha
batik
di
Laweyan
sedikit 10
mempergunakan pewarna alam dan mereka lebih tertarik meggunakan zat warna sintetis seperti naphtol, indigosal, serta rhemazol. Flesibilitas pemakaian berbagai jenis zat warna sangat dipengaruhi oleh permintaan karakter bahan/kain, kegunaan, dan tujuan pemasaran. Temuan-temuan para pembatik terhadap cara-cara pelekatan lilin batik dan proses pewaranaan dengan resep tertentu, merupakan “rahasia perusahaan” sebagai hasil riset mereka secara berkesinambungan, agar usaha tetap hidup dan memenagkan persaingan dengan produk sejenis dengan warna-warna yang khas dari produk yang dihasilkan oleh perusahaan lain. Penghilangan lilin batik atau proses nglorot dilakukan dengan cara merebus kain secara tradisional, pada saat merebus inilah sangat perlu diperhatikan agan kualis warna dan kualitas kain yang telah dibatik tetap terjaga/ tidak rusak. Untuk pewarna alam para pengrajin lebih suka memakai merebus kain yang telah dimalam dan diwarna dengan membubuhkan aci dari singkong, dan untuk bahar pewarna lain perebusan dapat dibubuhkan soda abu, dalam hal menghilangkan malam pada proses melorot para pengrajin banyak memakai energi kayu bakar seperti di Giri Layu dan Laweyan, minyak tanah, dan gas seperti yang digunakan pada usaha batik Setya Laweyan. Flesibilitas dalam proses nglorot atau penghilangan lilin yang melekat pada kain sangat dipengaruhi poleh jumlah kain yang diproses, jenis kain, dan jenis pewarna batik yang dipergunakan.
D. Fleksibilitas Ragam Hias Batik Tradisi Berdasarkan perkembangan batik di Pulau Jawa, pola batik dapat dirinci menjadi tiga unsur pokok: (1) ragam hias utama (klowongan), (2) isèn-isèn atau isen yang merupakan hiasan yang mengisi bagian-bagian ragam hias utama, dan (3) ragam hias pengisi yang biasa ditempatkan pada latar belakang pola sebagai penyeimbang. Selanjutnya Doellah (2002:19-20) menyampaikan berdasarkan bentuknya pola batik dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu: (1) pola batik geometris (ceplok, parang, lereng), dan (2) pola nongeometris (semen, atau lung-lungan, buketan, pinggiran), dan pola khusus. 11
Tirta (2009:60) menambahkan tentang adanya perpaduan antara pola geometris dengan pola bebas disebut desain tambal mirip karya (patcwork), desain tambal terdiri dari: tambal kitiran, tambal sripamiluta, tambal kar/sekar jagad. Pemakain kain batik pada tahun 50an, sebenarnya telah
mulai
digunakan sebagai bahan pakaian/ sandang, dan busana yang dihasilkan masih terikat pada kaidah-kaidah kain batik. Lahirnya batik sandang umumnya diproduksi menurut ukuran kain kebaya batik halus klasik. Selanjutnya karena barang itu diproduksi dengan kualitas dan biaya produksi yang rendah, maka batik ini menjadi barang konsumsi rakyat. Pada tahun 1956 dikenal dengan batik téjo diproduksi tidak lagi mengikuti pola ukuran kain batik melainkan lebih bebas mengikuti ukuran meteran. (Soedarmono, 2006: 45). Perintisan para perancang mode telah mampu mengangkat kain batik bercorak klasik untuk adi busana (haute couture), tidak berhenti pada corak klasik yang ditampilkan, para desainer batik juga merancang penampilan corak batik yang merupakan gabungan ragam hias tradisi tradisi dan modern, serta murni corak baru untuk pakaian adi busana yang semakin ”mendunia”, karena sering ditindaklanjuti dengan mengadakan peragaan busana di luar negeri. Kedudukan batik semakin mantap menjelang dasawarsa 70-an, berkat Gubernur Jakarta (Ali Sadikin), yang memutuskan bahwa untuk para pegawai pemerintah dalam menghadiri acara-acara resmi mengenakan kemeja batik lengan panjang, sedangkan untuk pakaian sehari-hari memakai kemeja batik lengan pendek. Dampak dari keputusan ini adalah berkembangnya desaindesain baru khususnya untuk kemeja untuk acara formal. Ragam hias tradisi diproses dengan warna yang lebih kaya (tidak terbatas warna biru, coklat, dan krem). Munculnya produk batik meteran yang umumnya diarahkan untuk kemeja laki-laki yang mengadopsi pola dalam batik tradisi. Pola tradisi yang masih sering dibuat adalah: truntum. sidomukti, wahyu
tumurun.
Pola-pola
tersebut
sering
dibuat,
karena
masih
berlangsungnya upacara-upacara pernikahan dengan tata cara tradisi yang memerlukan batik dengan pola tradisi sebagai komponen dalam prosesi 12
pernikahan tradisi masyarakat di Surakarta. Pola lain yang sering dibuat adalah pola parang dan kawung. Fleksibilitas penggunaan batik tradisi di Surakarta, dapat terlihat pada visualisasi ragam hias, material yang digunakan, dan proses pembuatannya. Para pengrajin batik melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan cara: (1) mengurangi dan menyederhanakan ragam hias utama, isen-isen dan hiasan pengisi latar belakang, (2) menambah “kaya” ragam hias utama, isen-isen pada ragam hias utama, dan hiasan pengisi latar belakang isen pola dengan ragam hias lain (non tradisi), termasuk mengadopsi ekpresi dalam seni lukis batik abstrak dari para pelukis di Jogja, dan kreasi kelompok “Canting Kakung” di Sondakan. Perubahan dari seni lukis abstrak untuk ekpresi para seniman menjadi seni kerajinan batik “abstrakan” untuk fungsi sandang. (3) mengurangi jumlah warna, (tinggal biru, atau coklat saja), (4) merubah dan menambah warna batik tradisi (krem, coklat, dan biru), menjadi lebih kaya variasi warna. (5) pola batik tradisi dipadukan dengan pola dari proses non batik, seperti tenun lurik dengan batik hasilnya disebut “lutik” berkembang di Jarum-Bayat, perpaduan batik dengan jumputan, dan perpaduan batik dengan smokan, serta perpaduan antara proses batik tulis dengan printing/sablon printing berkembang di daerah Laweyan). (6) memasukkan isen (cecek, sisik melik, cecek sawut, sisik, grinsing, galaran, sirapan, dan cacah gori) dalam ragam hias batik tradisi untuk komponen hiasan dinding (kipas, dan kerajinan“lukisan” batik). Pada batik Pandana dan batik Setya di Laweyan.
E. Kemampuan suvival industri batik di Surakarta Meminjam teori fungsionalisme struktural Talcott Prsons, (Periksa Geoge Rizter, 2004: 251-293). Berikut keempat sistem tindakan yang dijabarkan sebagaimana Parson menggunakan AGIL (Adaption, Goal/ Ataiment, Intergration dan Latency), sebagai model untuk menjawab pertanyaan mengapa sentra-sentra industri batik di Surakarta masih bertahan hidup, sementara sentra industri batik di wilayah lain, banyak yang mengalami
13
gulung tikar atau sudah tidak berproduksi lagi. Sentra-sentra batik di Surakarta mampu survival disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: Pertama, adaptasi atau penyesuaian diri dari para pelaku industri batik di dalam perkembangan sosial dalam lingkup sentra usaha, yang merupakan pencapaian kematangan hubungan sosial, sebagai hubungan antar manusia yang saling berkomunikasi, saling dibutuhkan, saling mebutuhkan, dan saling bekerja sama, sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri di dalam masyarakat yang dinamis, dan perkembangan ekonomi yang mempengaruhi perilaku usaha yang mampu mempengaruhi wujud/penampilan batik. Para pengrajin melakukan penyesuaian dengan cepat dengan inovasi baru agar mampu membuat produk-produk baru yang dapat diterima konsumen. serta eksis di tengah persaingan dengan produk sejenis. Kedua, memiliki arah pencapaian tujuan yang jelas, agar usaha tetap survival, yaitu dengan berpedoman bahwa “ bisa membuat batik harus bisa menjualnya” , bisa menjual harus mendapatkan keuntungan (wawancara dengan Bambang Slameto). Ketiga, Para pengrajin memiliki kemampuan mengelola/integrasi usaha (mengelola manajemen) dari pengelolaan prosess produksi, pemasaran dan kemampuan dalam melakukan kemitraan/network (wawancara denan Alfa Fabela), serta mampu mengintergrasikan dari individu/para pekerja untuk selalu beradaptasi, memahami tujuan usaha dan budaya kerja. Keempat, kemampuan dalam mewariskan nilai-nilai budaya perusahaan, etos dagang orang Jawa, dan regenerasi. Pemilik perusahaan batik, merupakan seorang guru di lingkungan usaha mereka, pemilik usaha harus mampu mengajarkan pengetahuannya kepada orang-orang yang akan mengikutinya, apabila tidak mampu mengajarkannya maka ia akan terus saja melakukan usaha batik secara sendirian sampai ia ”jatuh”, dan apa yang ia bangun seumur hidupnya akan hancur atau gulung tikar. Bekerja atau mengajar adalah sebuah pilihan pribadi bagi pengusaha batik di Surakarta.
E. Kesimpulan
14
Latar belakang dalam membuat batik didasari oleh pola pikir: (1) bisa membuat harus bisa menjual dan memberikan keuntungaan yang maksimal. Fleksibilitas dalam latar belakang pembuatan batik yang semula didasari oleh
konsep berkarya sebagai realisasi diri penuh makna, doa, dan ritual, mulai bergeser pada pada perilaku dalam membuat batik untuk mengisi waktu senggang, dan sekarang dominan untuk menurut selera pasar (art for mart), (2) untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, (3) melanjutkan tradisi pembuatan batik tulis, dan (4) meningkatkan derajat usaha dari buruh batik, menerima sanggan, menjual kain batik setengah jadi, dan akhirnya ingin memproduksi batik dari awal sampai pengemasan dan menjual sendiri menjadi pengusaha batik. Fleksibilitas material dan produksi kerajinan batik, dapat di simak dari permasalahan: (1) Desain-desain fleksibel sesuai selera bisnis para pemilik usaha yang diterjemahkan oleh “juru gambar” sehingga dihasilkan desain dengan goresan pensil, dan tinta berwarna hitam dalam kertas transparan berwarna putih dengan skala perbadingan 1:1. (2) Pelekatan lilin dilakukan dengan peralatan canting tulis, canting cap, kuwas,sapu lidi, kaleng susu. untuk batik tulis digunakan malam/lilin kualitas baik, dan untuk batik cap memakai malam/lilin “daur ulang. Peralatan berupa wajan kompor untuk batik tulis dan grenseng, ender dan kompor untuk batik cap, energi yang dipakai berupa minyak tanah, minyak tanah campur solar, gas, dan listrik (untuk batik tulis), fleksibel digunakan sesuai kebutuhan dan hitungan dalam efisiensi biaya. (3) Proses pewarnaan kain dilakukan dengan cara celupan, coletan, dan campuran celupan dengan coletan. Zat warna alam dan sintetis berupa naphtol, indigosal yang sangat sering digunakan untuk proses celupan, dan pewarna jenis rhemasol sangat banyak digunakan untuk proses coletan; pemilihan jenis dan proses pewarnaan berdasarkan kalkulasi biaya produksi, kemampuan perusahaan, dan permintaan pasar. (4) Penghilangan lilin batik dilakukan dengan cara merebus kain yang telah dibatik dengan ditambah aci dan soda abu dengan mempertimbangkan jenis kain, dan jenis pewarna yang digunakan. Dalam proses nglorot digunakan kayu bakar untuk mendidihkan air. 15
Fleksibilitas ragam hias batik batik tradisi diera industri kreatif, telah membuktikan bahwa batik tradisi mampu menyesuaikan diri dalam ruang, waktu dan bentuk. Dari sisi bentuk ragam hias batik tradisi terjadi penyesuaian dan perubahan yang disebabkan oleh upaya bertahan hidup dari usaha pembuatan batik, sehingga mengharuskan untuk melkukan inovasi untuk membuat sesuatu yang baru dengan mengembangkan ragam hias batik tradisi, yang disesuaikan dengan keinginan pengguna dan selera bisnis pemilik usaha. Penyesuaian ragam hias tradisi dengan cara: (1) Mengurangi dan menyederhanakan ragam hias utama, isen-isen dan hiasan pengisi latar belakang, (2) Menambah “kaya” ragam hias utama, isen-isen pada ragam hias utama dengan ragam, dan hias pengisi latar belakang isen pola. (3) Mengurangi jumlah warna, (tinggal warna biru, atau warna coklat saja), (4) Merubah dan menambah warna batik tradisi (krem, coklat, dan biru), menjadi lebih kaya variasi warna. (5) Pola batik tradisi dipadukan dengan pola dari smokan dan tenun lurik. (6) Memasukkan isen-isen dalam ragam hias batik tradisi untuk komponen hiasan dinding (kipas, dan kerajinan“lukisan” batik), (7) Tetap mempertahankan dan membuat pola-pola dan proses batik tradisi (Bayat, Girilayu, dan Kliwonan), terutama pola batik yang masih digunakan dalam prosesi pernikahan tradisi gaya Surakarta, pola yang paling sering dibuat , berupa pola truntum, sido mukti, wahyu tumurun, sekar jagat, dan pola lain yang sering dibuat oleh para pengrajin, berupa pola parang, lereng, semen, dan debyah. Industri kerajinan batik di Surakarta mampu bertahan hidup (survival) di tengah industri kreatif, lebih disebabkan oleh: (1) Kemampuan beradaptasi didalam penggunan material, peralatan, proses, dan penampilan ragam hias batik secara berkelanjutan di tengah perkembangan industri tekstil, (2) Keteguhan dan tujuan yang jelas dari para pengrajin dalam membuat kerajinan batik, yaitu bisa membuat batik harus bisa menjual, dan harus mendatangkan keuntungan, (3) Kemampuan dalam mengelola dan menyatukan semua aspek kedalam suatu pengelolaan manajemen usaha pembuatan batik yang baik, (4) Kemampuan dalam menjalin jaringan kemitraan usaha terkait proses pembuatan batik yang terkadang harus di berikan kepada pengrajin lain dengan sistem sanggan serta kemitraan usaha, dan (5) Kemapuan dalam melaksanakan dan 16
melanjutkan pewarisan nilai budaya perusahaan, etos dagang orang Jawa, regenerasi pembatik atau penerus usaha. Pemilik perusahaan batik merupakan seorang guru di lingkungan usaha mereka, pemilik usaha harus mampu mengajarkan pengetahuannya kepada orang-orang yang akan mengikutinya, apabila tidak mampu mengajarkannya maka ia akan terus saja melakukan usaha batik secara sendirian sampai ia ”jatuh”, dan apa yang ia bangun seumur hidupnya akan hancur atau gulung tikar.
Kepustakaan Anas, Binarul. “Batik dalam Tantangan Modernitas”, dalam Seminar Nasional Kehidupan Batik Indonesia. Yogyakarta, 17 Mei 2008. Angelino, P. Dekat. Batik Raport II. Weltevreden: Landsdrukkerij, 1930. Danco, A. Leon. Beyond Survival, Penduan Mencapai Sucses Pemilik Bisnis, Jakarta, PT Alex Media Komputindo, 2007 Doellah, Santosa. Batik Pengaruh Zaman Dan Lingkungan. Surakarta: Danar Hadi, 2002. George Riztzer dan Douglas J. Gooodman, Teori Sosiologi, Alih Bahasa Nurhadi (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008), 259
Haryana, Timbul. Seni Pertunjukkan dan Seni Rupa Dalam Perspektif Arkeologi Seni. Surakarta: ISI Press, 2008. Keetcher W. Perindustrian Batik di Pulau Djawa. terjemahan Poey Keng Seng. Badiche Anilin & Soda Fabric AG. Ludwigshafena: Rhein, 1954. Kerloque, Fiona. The Book of Batik. Singapore: Archipelago Press, 2004. Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI Press, 2007. Mas Pirngadie, JE. Jasper En. De Inlandsche Kunstnijverheid In Nederlandesh Indie III De Batikkusnt. Van Regeringswege Gendrukt En Vitgegeven Te’s-Gravenhage door de Bouk & Konstrukkerij V/II Mounton & Co, 1916. 17
Prabahardjono, Samidjan (Mloyodipoero). ”Sejarah Laweyan”. Dalam Pengetan Jangkep 5 Tahun Adeging Pakémah Widya Budaya Ing Surakarta, 5 Februari 1987. Purba, Afrillyanna. dkk. TRIPs-WTO & Hukum HKI Indonesia: Kajian Pelindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005. Porter, Michael. Competitif Strategi. Alih Bahasa Agus Maulana. Jakarta: Erlangga, 1998. Purwanto. Budaya Perusahaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Rogers, M. Everett. Diffusion Of Innovations. New York: The Free Press. A. Division Of Macmilan Publishing Co. 1983. Sedyawati, Edi. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, Jakarta: PT Raja Grafindo. 2006. Shiraishi Takashi. Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat Jawa 1912-1926. Terjemahan Hilman Farid. Jakarta: Grafiti, 2005. Simanjuntak, Soalon Edward, “Batik Tradisional Semakin Terpojok: Labelisasi Untuk Apa ?”, Laporan Khusus. dalam Majalah Prisma. Jakarta, 8 Agustus 1988. Sarsono dan Suyatno. Suatu Pengamatan Tradisi Lisan Dalam Kebudayaan Jawa: Studi Kasus Masyarakat Laweyan Surakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara. Yogyakarta: Javanologi. 1985. Soedarmono. mbok Masè Pengusaha Batik Laweyan Awal Abad 20. Jakarta: Yayasan Warna Warni Indonesia, 2006. Soedarsono, R.M. ”Dampak Pariwisata Terhadap Perkembangan Seni Di Indonesia,” Pidato Pada Dies Natalis Institut Seni Indonesia. Yogyakarta, 26 Juli 1988. Supangkat, Jim, Risky A. Zaelani. Ikatan Silang Budaya Binarul Anas. Bandung: Art Fabrics Bekerjasama Dengan KPG, 2006. Tirta, Iwan. Batik Sebuah Lakon. Jakarta: PT. Gaya Pavorit Press, 2009.
18
Van, Os Fred W. Batik Sukma Jawa, De Ziel Van Java, The Soul of Java. Nedherlands: Tektielmuseum Tirburg, 1996. Veldhiesen C, Hermen. Fabric of Enchantment. Los Angeles: Country Museum of Art, 1997. Widayanti, Naniek. Settlement Of Batik Enterpreneurs In Surakarta. Yogyakarta: Gajahmada University Press, 2004. Wijaya, Mahendra. Ekonomi Komersial Ganda: Perkembangan Kompleksitas Jaringan Ekonomi Pembatikan di Surakarta, Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press), 2010. Yoeti, A Oka. Ekonomi Pariwisata. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008. Zuhal. Knowledge & Inovation Platform Kekuatan Daya Saing. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.
19