TOLERANSI LARVA DAN NYAMUK DEWASA Aedes aegypti TERHADAP TEMEFOS DAN MALATION DI WILAYAH ENDEMIK KELURAHAN DUREN SAWIT JAKARTA TIMUR
MARISA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Pernyataan mengenai tesis dan sumber informasi
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul:
Toleransi Larva dan Nyamuk Dewasa Aedes aegypti Terhadap Temefos dan Malation di Wilayah Endemik Kelurahan Duren Sawit Jakarta Timur
Adalah benar-benar karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun. Semua informasi yang berasal dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2007
Marisa B025040031
ABSTRAK
MARISA. Toleransi Larva dan Nyamuk Dewasa Aedes aegypti Terhadap Temefos dan Malation di Wilayah Endemik Kelurahan Duren Sawit Jakarta Timur, dibimbing oleh Dr. drh. F.X. Koesharto, M.Sc dan Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini, M.Si. Menurut data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, pada tahun 2006 dan 2007 wilayah Jakarta Timur tercatat sebagai daerah yang mengalami kasus demam berdarah terbesar di Jakarta dan pada wilayah tersebut Kecamatan Duren Sawit adalah yang paling banyak ditemui kasus demam berdarah. Selanjutnya dari wilayah kecamatan Duren Sawit, kelurahan Kelender dan kelurahan Duren Sawit merupakan wilayah dengan kasus DBD yang tinggi. Peningkatan kasus DBD ini patut diduga pula oleh toleransi insektisida yang digunakan dalam pengendalian vektor nyamuk Aedes aegypti. Insektisida yang digunakan untuk mengendalikan nyamuk Aedes aegypti di Indonesia dan banyak negara lain adalah temefos untuk fase larva dan malation untuk nyamuk dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status toleransi nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida yang digunakan dalam program pengendalian larva dan nyamuk dewasa di daerah kelurahan Duren Sawit yang merupakan daerah endemik Jakarta Timur. Penelitian ini diawali dengan identifikasi daerah kajian yang dilanjutkan dengan uji toleransi. Penentuan status toleransi nyamuk Aedes aegypti dilakukan dengan uji bio assay dan biokimia. Uji bio assay mengikuti standar WHO sedangkan prosedur biokimia menggunakan uji elisa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan insektisida temefos pada larva nyamuk Aedes aegypti dengan konsentrasi 0,00004 sampai dengan 0,025 ppm serta penggunaan insektisida malation pada nyakuk dewasa dengan konsentrasi 0,8% dan 5% untuk menanggulangi vektor nyamuk Aedes aegypti di wilayah kelurahan Duren Sawit Jakarta Timur belum terindikasi resisten menuju toleran, hal ini ditunjukkan dengan peningkatan α dan β esterase serta nilai RR yang meningkat.
ABSTRACT
MARISA. The Tolerance of Larvae and Adult Mosquitoes of Aedes aegypti to Themephos and Malathion in the Endemic Area of Duren Sawit, East Jakarta. Under the Supervision of Dr. drh. F.X. Koesharto, M.Sc and Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini, M.Si.
According to the data of Health Services in the Capital City of Jakarta, in the period of 2006 and 2007, the Eastern part of Jakarta has been recorded as an area with the highest number of dengue fever cases in Jakarta, i.e. the District of Duren Sawit, which involves two of its sub-districts (Kelender and Duren Sawit). The increased cases of dengue fever are predicted as a result of the tolerance of the insecticides applied to the control of Aedes aegypti. The insecticides commonly used In Indonesia and many other countries are themephos for larvae and malathion for adult mosquitoes. The objective of this research was to determine the tolerance level of Aedes aegypti against the insecticide used in the control of larvae and adult mosquitoes in the Sub-district of Duren Sawit, an endemic area in East Jakarta. The study was initiated by identifying the research areas followed by a test of tolerance. The degree of Aedes aegypti’s tolerance was measured through a bio essay test (WHO standard) and biochemical test (Elisa test). The research results show that the dosage of themefos at 0,00004 to 0,025 ppm for larvae and malathion at 0,8% and 5% for adult mosquitoes applied in the control of Aedes aegypti in Duren Sawit, East Jakarta, did not result in an indication of resistance, but of tolerance as shown by the increase of α and β esterase as well as the value of RR (resistance ratio).
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak Cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm dan sebagainya
TOLERANSI LARVA DAN NYAMUK DEWASA Aedes aegypti TERHADAP TEMEFOS DAN MALATION DI WILAYAH ENDEMIK KELURAHAN DUREN SAWIT JAKARTA TIMUR
MARISA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr. drh. Susi Soviana, M.Si
Judul Thesis
:
Toleransi Larva dan Nyamuk Dewasa Aedes aegypti Terhadap Temefos dan Malation Di Wilayah Endemik Kelurahan Duren Sawit Jakarta Timur
Nama
:
Marisa
Nomor Pokok Program Studi
: :
B.052040031 Entomologi Kesehatan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. drh. F.X. Koesharto, M.Sc Ketua
Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini, M.Si Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Entomologi Kesehatan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. drh. Upik Kesumawati, M.S
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian: 22 September 2007
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas terselesaikannya tesis ini yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr.drh.F.X.Koesharto, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr.drh. Dwi Jayanti Gunandini, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing yang mana selama penulis merencanakan, melaksanakan dan menyusun tesis banyak dibantu sehingga tesis ini dapat terselesaikan, serta Ibu Dr.drh. Susi Soviana, M.Si atas kesediaannya menguji dalam sidang tesis penulis. Terimakasih kepada Bapak Prof.Dr.drh. Singgih H Sigit, M.Sc, Ibu Dr. drh. Upik Kesumawati, M.S, Bapak Dr.drh. Ahmad Arif Amin atas ilmu pengetahuan yang penulis peroleh selama mengikuti pendidikan.Seluruh pegawaidi Program studi Entomologi Kesehatan IPB (Bapak Heri, Ibu Juju, Bapak Yunus, Bapak Taufik dan Bapak Nanang) atas kekeluargaannya dan dan bimbingan praktikum selama ini. Temanku Bonita Ayu Novelani atas bantuan dan persahabatannya. Terimakasih penulis sampaikan kepada Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular, Provicial Health Project II Departemen Kesehatan RI yang memberikan izin dan biayaselama mengikuti pendidikan pada program studi Entomologi Kesehatan Institut Pertanian Bogor . Terimakasih dan penghargaan yang tidak terhingga kepada suami dan anakku tercinta, atas dukungannya selama ini serta kedua orang tuaku Bapak Tjarsiman Sambas dan Ibu Hartati Aminah yang tiada henti-hentinya berdoa dan memberikan dorongan. Akhirnya
penulis
menyadari
bahwa
karya
tulis
ini
masih
kekurangannya, untuk itu mohon kritik dan saran. Bogor, September 2007 Penulis RIWAYAT HIDUP
terdapat
Penulis dilahirkan di Palembang pada tangal 1 Maret 1968 dari ayah Bapak Tjarsiman Sambas dan Ibu Hartati Aminah. Penulis merupkan putri kedua dari tujuh bersaudara. Tahun 1987 penulis lulus dari Sekolah Analis Kimia Bogor dan melanjutkan ke Universitas Nusa Bangsa pada jurusan Kimia pada tahun 1998, lulus tahun 2002. Tahun 2004 penulis melanjutkan studi ke Sekolah Pascasarjana IPB program Entomologi Kesehatan atas beasiswa PHP II Departemen Kesehatan. Penulis bekerja di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular Departemen Kesehatan sejak tahun 1993 sampai dengan sekarang. Sebelumnya bekerja pada PT. Maskitani pada tahun 1987 – 1988 dan PT. Fega Pakan Sejati pada tahun 1988 – 1993.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ..............................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
xi
PENDAHULUAN ...............................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... Penyakit Demam Berdarah Dengue ................................................................... Biologi Nyamuk Aedes aegypti ............................................................................ Pengendalian Nyamuk Demam Berdarah ............................................................ Toksikologi Insektisida ....................................................................................... Insektisida Organofosfat ..................................................................................... Insektisida Malation ........................................................................................... Insektisida Temefos ............................................................................................ Masalah Resistensi ……………………………………………………………. Mekanisme Detoksifikasi ....................................................................................
3 3 4 9 11 12 16 18 19 22
BAHAN DAN METODE .................................................................................. Lokasi Pengambilan Sampel ............................................................................... Pemeliharaan nyamuk Aedes aegypti di laboratorium ......................................... Uji Toleransi ........................................................................................................ Uji Toleransi Larva Nyamuk Aedes aegypti Terhadap Temefos ........................ Uji Toleransi Nyamuk Dewasa Aedes aegypti Terhadap Malation .................... Uji Peningkatan Enzim Esterase Non Spesifik .................................................... Tanggapan masyarakat terhadap penyakit DBD dan pengendaliannya ..............
23 23 26 29 29 29 31 32
HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………………. Status toleransi larva Aedes aegypti terhadap temefos ………………………… Status toleransi nyamuk Aedes aegypti terhadap malation ................................. Peningkatan enzim esterase ................................................................................ Hasil survei terhadap masyarakat ......................................................................
33 33 38 44 45
SIMPULAN DAN SARAN ...............................................................................
47
Simpulan .............................................................................................................. Saran .....................................................................................................................
47 47
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
48
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL 1. Empat kriteria toksisitas malation berdasarkan nilai LD50 ...................
18
2. Data toksisitas temefos ……………………………………………….
19
3. Persentase kematian larva nyamuk Aedes aegypti pada uji toleransi terhadaptemefos …………………………………………………….... 33 4. Analisis probit larva nyamuk Aedes aegypti terhadap pemakaian temefos 0,00004 sampai dengan 0,025 ppm ........................................
35
5. Persentase kematian nyamuk Aedes aegypti pada konsentrasi malation 0,8% .......................................................................................................
39
6. Analisis probit uji pendahuluan pemakaian malation 0,8% terhadap nyamuk Aedes aegypti ………………………………………………...
40
7. Persentase kematian nyamuk Aedes aegypti pada konsentrasi malation 5% .........................................................................................
41
8. Hasil perhitungan probit uji pendahuluan pemakaian malation 5% terhadap nyamuk Aedes aegypti ……………………………………...
43
9. Nilai α-esterase larva Aedes aegypti ....................................................
44
10. Nilai β-esterase larva Aedes aegypti ....................................................
44
11. Hasil survei tentang sikap masyarakat terhadap penanggulangan penyakit DBD .....................................................................................
46
DAFTAR GAMBAR 1. Nyamuk Aedes aegypti ..........................................................................
5
2. Infeksi virus dengue melalui vektor nyamuk Aedes aegypti .................
7
3. Reseptor neurotransmiter dan saluran ion .............................................
13
4. Transmisi impuls pada celah sinaps.......................................................
14
5. Reaksi enzim asetilkolinesterase ...........................................................
16
6. Rumus bangun malation ........................................................................
17
7. Rumus bangun malaoxon ......................................................................
17
8. Rumus bangun temefos ……………………………………………….
18
9. Tiga jenis perubahan materi genetik yang menyebabkan resistensi ….
20
10. Lokasi Kecamatan Duren Sawit di Jakarta Timur ..............................
23
11. Lokasi penelitian di wilayah Kelurahan Duren Sawit, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur ..................................................................
24
12. Daerah padat dan kumuh .......................................................................
25
13. Daerah terbuka .......................................................................................
26
14. Pemeliharaan larva nyamuk Aedes aegypti ...........................................
27
15. Kandang pemeliharaan nyamuk Aedes aegypti dewasa .......................
28
16. Marmut umpan sebagai sumber darah untuk nyamuk Aedes aegypti dewasa ...................................................................................................
28
17. Peralatan pengujian resistensi nyamuk Aedes aegpti terhadap malation ................................................................................................
30
18. Hubungan kematian larva Aedes aegypti terhadap konsentrasi temefos .................................................................................................
35
19. Hubungan antara waktu kontak dengan kematian nyamuk Aedes aegypti pada penggunaan malation 0,8% ..............................................
40
20. Hubungan antara waktu kontak dengan kematian nyamuk Aedes aegypti pada penggunaan malation 5% ................................................
42
DAFTAR LAMPIRAN
1. Jumlah kematian larva nyamuk Aedes aegypti pada pemakaian temefos 0,00004 sampai dengan 0,025 ppm. ..........................................................
52
2. Jumlah kematian nyamuk Aedes aegypti pada uji pendahuluan konsentrasi malation 0,8% ........................................................................
53
3. Jumlah kematian nyamuk Aedes aegypti pada konsentrasi malation 0,8% ...........................................................................................................
54
4. Jumlah kematian nyamuk Aedes aegypti pada konsentrasi malation 5% .
55
5. Nilai α -esterase larva Aedes aegypti ..........................................................
56
6. Nilai β-esterase larva Aedes aegypti ..........................................................
58
PENDAHULUAN Dengue fever dan dengue hemorrhagic fever masih merupakan problem kesehatan utama di banyak negara sub tropis dan tropis. Tahun 1920 kasus pertama ditemui di Malaysia dan tahun 1962 dilaporkan di Penang. Tahun 1994 laju infeksi dengue menjadi 22,4 kasus per 100.000 populasi dan menjadi 29,5 kasus pada tahun 1998 (Nasir et al, 2001). Sebanyak 1.672.883 kasus dangue di Brazil telah dilaporkan sepanjang tahun 1981 sampai dengan 1998 (Madeira et al, 2002) dan sepanjang tahun 2002 terdapat 672.371
kasus dengue klasik dan 2.090 kasus dengue
hemorrhagic (de Carvalho et all. 2004) Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia dilaporkan untuk pertama kalinya di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972 (Kho et al., 1969 , Pratana et al., 1970, Wahono, 2004). Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga terakhir sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia sudah ditemui kasus demam berdarah dengue. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi kasus luar biasa (KLB) setiap tahun. Tahun 2004 kasus DBD tertinggi terdapat di Propinsi DKI Jakarta (Wahono, 2004). Kasus tersebut cenderung mengalami peningkatan yang cukup besar. Tercatat pada bulan Januari sampai dengan April 2006 terdapat kasus berturut-turut sebesar 2536, 2481, 2923 dan 3038 kasus (Sudin Kesehatan Masyarakat DKI, 2007). Pada bulan yang sama tahun 2007 jumlah kasus berturut-turut sebesar 2459, 3553, 4409 dan 4740 kasus (Sudin Kesehatan Masyarakat DKI, 2007). Menurut data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, pada tahun 2005 wilayah Jakarta Timur tercatat sebagai daerah yang mengalami kasus demam berdarah terbesar di Jakarta (Sudin Kesehatan Masyarakat DKI, 2005). Pada wilayah tersebut kecamatan yang terbanyak ditemui kasus demam berdarah adalah kecamatan Duren Sawit dan Cakung. Tahun 2006 dan 2007 kedua kecamatan tersebut masih menjadi wilayah kasus demam berdarah tertinggi di Jakarta Timur. Selanjutnya dari wilayah
1
kecamatan Duren sawit, kelurahan Kelender dan kelurahan Duren Sawit merupakan wilayah dengan kasus DBD yang tinggi. Luas wilayah Kelurahan Duren Sawit 4,56 km2 atau menempati 20,09% dari total wilayah Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur dengan kepadatan mencapai 10.445 jiwa per km2. Peningkatan kasus demam berdarah tersebut antara lain dimungkinkan oleh perubahan cuaca global dan infrastruktur wilayah yang buruk. Disisi lain patut diduga pula toleransi insektisida yang digunakan dalam pemberantasan vektor nyamuk Aedes aegypti turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan kasus demam berdarah di Jakarta Timur.
Insektisida yang digunakan untuk mengendalikan nyamuk Aedes
aegypti di Indonesia dan banyak negara adalah temefos untuk fase larva dan malation untuk nyamuk dewasa. Insektisida temefos di Indonesia digunakan untuk pengendalian larva nyamuk Aedes aegypti sejak tahun 1980 sedangkan insektisida malation digunakan dalam pengendalian nyamuk dewasa Aedes aegypti sejak tahun 1969 (Hoedojo, 1993). Penggunaan insektisida ini sudah demikian lama sehingga perlu dilakukan pengamatan terhadap kemungkinan adanya perubahan kerentanan larva dan nyamuk dewasa Aedes aegypti terhadap insektisida temefos dan malation. (WHO, 1976). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status kerentanan Aedes aegypti terhadap insektisida (temefos dan malation) yang digunakan dalam program oleh dinas kesehatan untuk pengendalian larva dan nyamuk dewasa di daerah Kelurahan Duren Sawit Kecamatan Duren Sawit yang merupakan wilayah endemik Jakarta Timur. Penelitian ini diawali dengan identifikasi daerah kajian yang dilanjutkan dengan uji toleransi. Daerah kajian meliputi wilayah kelurahan/desa endemis berdasarkan petunjuk Dinas Kesehatan Jakarta Timur. Penentuan status toleransi Aedes aegypti dilakukan dengan uji bio assay dan biokimia. Uji bio assay mengikuti standar WHO sedangkan prosedur biokimia menggunakan uji Elisa. Dari hasil penelitian diharapkan dapat diperoleh status toleransi nyamuk Aedes aegypti terhadap temefos dan malation di wilayah di Kelurahan Duren Sawit, sehingga pengendalian nyamuk Aedes aegypti dapat dilakukan lebih efektif.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Demam Berdarah Dengue Penyakit Demam Berdarah atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Data di bagian anak RSCM menunjukkan pasien DBD sering menunjukkan gejala batuk, pilek, muntah, mual, maupun diare (WHO dan Depkes 2003). Gejala pada penyakit demam berdarah diawali dengan : a. demam tinggi yang mendadak 2 sampai dengan 7 hari (38 °C- 40 °C). b. manifestasi pendarahan, dengan bentuk : uji tourniquet
positif puspura,
pendarahan, konjungtiva, epitaksis, melena, dan sebagainya c. Hepatomegali (pembesaran hati). d. Syok, tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang, tekanan sistolik sampai 80 mmHg atau lebih rendah. e. Trombositopeni, pada hari ke 3 - 7 ditemukan penurunan trombosit sampai 100.000 /mm³. f.
Hemokonsentrasi, meningkatnya nilai Hematokrit.
g. Gejala-gejala klinik lainnya yang dapat menyertai: anoreksia, lemah, mual, muntah, sakit perut, diare kejang dan sakit kepala. h. Pendarahan pada hidung dan gusi. Rasa sakit pada otot dan persendian, timbul bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah. Masa inkubasi terjadi selama 4-6 hari. Masalah bisa bertambah karena virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain seperti flu atau tipus. Oleh karena itu diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan
3
klinis. Dengan pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap, diagnosis DBD serta pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat membantu terutama bila gejala klinis kurang memadai. Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang termasuk famili genus Flavirus grup B arthropod borne viruses (arboviruses) dengan tipe DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 (Jawetz, 1982; Kettle et al, 1984).
Selama ini penyakit DBD
secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi yang berbeda, tergantung dari serotipe virus dengue. Penyakit DBD menyebar di negara-negara Tropis dan Subtropis. Penyakit DBD di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan sekarang menyebar keseluruh propinsi di Indonesia. Kejadian penyakit DBD semakin tahun semakin meningkat dengan manifestasi klinis yang berbeda mulai dari yang ringan sampai berat. Manifestasi klinis berat yang merupakan keadaan darurat dikenal dengan Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) (WHO, 1986). Manifestasi klinis infeksi virus Dengue termasuk didalamnya Demam Berdarah Dengue sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik, demam ringan yang tidak spesifik, Demam Dengue, Demam Berdarah Dengue, hingga yang paling berat yaitu Dengue Shock Syndrome (DSS). Sampai saat ini mekanisme respons imun pada infeksi oleh virus Dengue masih belum jelas karena
banyak faktor yang mempengaruhi kejadian
penyakit Demam Berdarah Dengue. Faktor-faktor tersebut diantaranya: inang (host), lingkungan (environment) dan faktor virusnya sendiri. Faktor host adalah kerentanan (susceptibility) dan respon imun. Faktor lingkungan (environment) adalah kondisi geografi (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, musim); kondisi demografi (kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, sosial ekonomi penduduk). Biologi Nyamuk Aedes aegypti Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor penyakit demam berdarah. Nyamuk tersebut berwarna belang hitam putih, tersebar di daerah tropis tetapi berasal dari Afrika. Nyamuk Aedes dapat dibedakan dari jenis nyamuk lainnya dengan melihat
4
ujung abdomen meruncing dan mempunyai sersi yang menonjol, lalu dibagian lateral dada terdapat rambut postspiracular dan tidak mempunyai rambut spiracular (Mattingly, 1969). Aedes yang berperan sebagai vektor penyakit semuanya tergolong subgenus Stegomyia, dengan ciri-ciri tubuh berorak belang hitam putih pada toraks, abdomen dan tungkai. Corak ini merupakan sisik yang menempel di luar tubuh nyamuk. Corak putih pada dorsal dada Aedes aegypti berbentuk seperti siku yang berhadapan (lyre-shape), sedangkan Aedes albopictus berbentuk lurus ditengahtengah punggung (median stripe). Aedes aegypti merupakan
ordo Diptera dan termasuk famili Culicidae.
Aedes aegypti dewasa berukuran kecil dengan warna dasar hitam. Probosis bersisik hitam, palpi pendek dengan ujung hitam bersisik putih perak. Oksiput bersisik lebar, berwarna putih terletak memanjang. Femur bersisik putih pada permukaan posterior dan setengah basal, anterior dan tengah bersisik memanjang. Tibia semuanya berwarna hitam dan pada tibia belakang berlingkar putih pada segmen basal ke satu sampai ke empat dan segmen ke lima berwarna putih. Sayap berukuran 2,5 – 3,0 mm, bersisik hitam (Christophers, 1960).
Gambar 1. Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti bersifat antropofilik (senang sekali kepada manusia) dan hanya nyamuk betina yang menggigit. Nyamuk betina biasanya menggigit di dalam rumah,
5
kadang-kadang di luar rumah dan di tempat yang agak gelap. Pada malam hari nyamuk beristirahat dalam rumah pada benda-benda yang digantung, seperti pakaian, pada dinding rumah dan sebagainya. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiple bitters), yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dan dalam waktu singkat. Hal ini disebabkan karena nyamuk Aedes aegypti
sangat
sensitif dan mudah terganggu. Keadaan ini sangat membantu Aedes aegypti dalam memindahkan virus dengue ke bebarapa orang sekaligus. Telur Aedes aegypti berwarna hitam seperti sarang tawon, diletakkan satu demi satu di permukaan atau sedikit di bawah permukaan air dalam jarak 2,5 cm dari dinding tempat perindukan. Telur tahan sampai berbulan-bulan pada suhu –2oC sampai 42oC. Dalam keadaan tanpa air (kering) telur mampu bertahan sampai dengan 6 bulan. Namun bila kelembaban terlampau rendah, maka telur akan menetas dalam 4 hari. Dalam keadaan optimal telur akan menetas menjadi larva setelah dua hari terendam air. Larva nyamuk akan tubuh menjadi pupa nyamuk setelah 6 – 8 hari. Kepala larva berkembang baik dengan sepasang antena dan mata majemuk serta sikat mulut yang menonjol. Abdomen larva terdiri atas 9 ruas yang jelas dan ruas terakhir dilengkapi dengan tabung udara (sifon) berbentuk silinder. Tahap larva adalah tahap makan. Perbedaan antara kedua jenis larva nyamuk Aedes hanya dapat dilihat dibawah mikroskop dengan melihat bentuk pekten sifon dan comb pada ruas terakhir abdomen (Christophers, 1960). Pupa nyamuk berbentuk seperti koma, kepala dan dada bersatu dilengkapi dengan terompet pernafasan. Tahap pupa adalah tahap tidak makan. Pupa nyamuk masih dapat aktif bergerak di dalam air dan setelah 1-2 hari akan memunculkan nyamuk Aedes aegypti
baru. Secara ringkas maka perkembangan telur sampai
dengan nyamuk dewasa berlangsung sekurang-kurangnya 9 hari. Nyamuk setelah muncul dari
pupa akan mencari pasangan kemudian mengadakan perkawinan.
Setelah perkawinan inilah nyamuk siap mencari darah untuk perkembangan telurnya. Nyamuk betina dewasa yang mulai menghisap darah manusia kemudian 3 hari sesudahnya sanggup bertelur sampai dengan 100 butir dengan ukuran 0,7 mm per butir.
Dua puluh empat jam kemudian nyamuk mulai menghisap darah lagi,
6
selanjutnya kembali bertelur. Walaupun nyamuk betina berumur kira-kira 10 hari, waktu tersebut cukup untuk untuk berkembang biak dan selanjutnya menyebarkan virus ke manusia. Pada saat nyamuk menghisap darah manusia yang kebetulan menderita demam dengue, virus dengue turut masuk ke dalam tubuh nyamuk. Virus yang dihisap masuk ke dalam saluran pencernaan kemudian sampai di hemosul dan kelenjar ludah. Virus memerlukan waktu 8 – 11 hari untuk dapat berkembang biak baik secara propagatif agar dapat menjadi infektif (masa tunas ekstrinsik). Kemudian nyamuk akan tetap infektif selama hidupnya. Nyamuk betina dapat terbang sejauh 2 kilometer, tetapi kemampuan normalnya adalah kira-kira 50 meter (Horsfall, 1955; Dit Jen. PPM &PLP, 1990). Virus dengue dapat ditularkan secara transovarial dari nyamuk betina Aedes aegypti melalui telur hingga keturunannya (Rosen et al, 1983). Infeksi virus dengue melalui vektor nyamuk Aedes aegypti ditunjukkan pada Gambar 2. Belum terinfeksi
Manusia Manusia sebagai inang dan sumber
terinfeksi
Infeksi pada vektor Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti
Inkubasi ekstrinsik Infeksi pada vektor
Manusia
Transmisi vektor
Infeksi pada manusia Inkubasi intrinsik
Gambar 2. Infeksi virus dengue melalui vektor nyamuk Aedes aegypti (Mullen, 2002)
7
Berdasarkan Gambar 2, maka komponen pada siklus transmisi adalah : -
Inang vertebrata mengembangkan tingkat infeksi yang merupakan infeksi kepada vektor
-
Inang antropoda atau vektor mampu melakukan transmisi
-
Satu atau lebih inang vertebrata terinfeksi setelah digigit vektor
Untuk dapat memberantas nyamuk Aedes aegypti secara efektif terdapat 3 perilaku nyamuk yang perlu diketahui, yaitu: perilaku mencari darah, istirahat dan berkembang biak. Perilaku mencari darah dilakukan pada saat setelah kawin dimana nyamuk betina memerlukan darah untuk bertelur. Nyamuk betina menghisap darah manusia setiap 2 – 3 hari sekali dan pada pagi hari sampai dengan sore, lebih disukai pada jam 08.00 – 12.00 dan 15.00 – 17.00. Untuk memperoleh darah yang cukup nyamuk betina lebih sering menggigit lebih dari 1 orang. Perilaku istirahat nyamuk Aedes aegypti
adalah setelah kenyang menghisap darah, nyamuk betina perlu
beristirahat 2 – 3 hari untuk mematangkan telurnya. Tempat istirahat yang paling disukai adalah tempat-tempat yang lembab, dan kurang terang seperti kamar mandi, WC, dapur; di dalam rumah seperti baju yang digantung, kelambu dan tirai, di luar rumah seperti pada tanaman hias di halaman rumah. Keberadaan Aedes aegypti yang mula-mula ditemukan di Ujung Pandang pada tahun 1860 oleh Walker (Christophers, 1960) kemudian menyebar luas dan ditemukan di Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara dan Irian Jaya. Penyebaran Aedes aegypti yang kosmopolit dan menjangkau daerah yang sangat luas erat kaitannya dengan perkembangan sistem transportasi. Penyebaran spesies nyamuk ini di Indonesia bermula dari kota-kota pelabuhan ke kota-kota di pedalaman termasuk ke desa-desa, diakibatkan oleh transportasi yang mengangkut tempat-tempat penampungan air hujan seperti drum, kaleng, ban bekas, dan benda-benda lainnya yang mengandung larva Aedes aegypti. Penyebaran populasi Aedes aegypti juga erat kaitannya dengan perkembangan pemukiman penduduk akibat didirikannya rumahrumah baru yang dilengkapi dengan sarana pengadaan air untuk keperluan seharihari.
8
Perilaku berkembang biak nyamuk Aedes aegypti
adalah bertelur dan
berkembang biak di tempat penampungan air yang bersih, yaitu: tempat penampung air untuk keperluan sehari-hari sepeti bak mandi, tempayan, drum air, bak menara air yang tidak tertutup; wadah yang berisi air bersih atau air hujan seperti: tempat minum burung, vas bunga, ban bekas, potongan bambu yang dapat menampung air, talang rumah, ketiak daun-daun tebal, lubang pohon, kaleng, botol dan barang
bekas
lainnya. Pengendalian Nyamuk Demam Berdarah Lingkungan pemukiman manusia yang umumnya berupa suatu kompleks bangunan tempat tinggal berikut berbagai fasilitas yang berhubungan dengan berbagai hajat hidupnya, termasuk juga jalan, selokan, berikut tanaman pekarangan dan hewan-hewan peliharaan merupakan suatu ekosistem tersendiri yang unik. Lingkungan tersebut
dibangun dan diciptakan terutama untuk kepentingan
kenyamanan hidup manusia, tetapi pada kenyataannya banyak mahluk hidup lainnya ikut memanfaatkan kondisi itu sebagai habitat, tempat istirahat dan tempat mencari makan. Permasalahan hama pemukiman
termasuk nyamuk Aedes aegypti timbul
sebagai resultante dari faktor-faktor (Rabb, 1972): 1. Tingkat bahaya, kerugian atau gangguan yang mungkin ditimbulkan oleh hama tersebut. 2. Tingkat populasi hama di lingkungan pemukiman. 3. Tingkat toleransi pemukim terhadap keberadaan hama lingkungannya Di dalam ekosistem, populasi suatu jenis hama untuk jangka panjang ada pada tingkat keseimbangan, sesuai dengan komponen-komponen biotik maupun abiotik yang membentuk ekosistem. Namun untuk jangka waktu pendek, sebenarnya tingkat populasi tersebut berfluktuasi tergantung pada faktor-faktor lingkungan yang mengendalikannya. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan menjadi dua macam menurut keefektifan kerjanya, yaitu:
9
(1) faktor yang terpengaruh oleh kepadatan populasi serangga atau density dependent factors, (2) faktor yang tidak terpengaruh oleh kepadatan populasi hama atau density independent factors. Faktor-faktor pengendali yang terpengaruh oleh kepadatan adalah terutama makanan dan musuh-musuh di alam (predator, parasit, patogen). Faktor-faktor pengendali yang tidak terpengaruh oleh kepadatan adalah komponen-komponen cuaca terutama suhu, kelembaban serta berbagai faktor fisik habitat tersebut. Dalam konsep pengendalian hama perlu terlebih dahulu ditanamkan paham bahwa suatu populasi hama tidak mungkin dapat diberantas habis, kecuali dalam suatu lokasi yang amat terbatas dan benar-benar terisolasi dari populasi lainnya. Selama lapangan atau areal merupakan lingkungan yang mempunyai hubungan bebas secara fisik, biologis serta sosial ekonomis dengan lingkungan sekitarnya, maka harus dilakukan pendekatan pengendalian populasi. Pendekatan ini hanya menekan populasi hama sampai ketingkat yang tidak membahayakan, tidak merugikan atau tidak merupakan gangguan pada manusia. Menurut Metcalf (1982), dengan mempelajari sifat-sifat nyamuk, biologi dan perilakunya di alam yang sedemikian kompleks, strategi pengendalian nyamuk Aedes aegypti dapat dirancang.
Secara umum pengendalian nyamuk dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu pengendalian non kimiawi dan kimiawi. Pengendalian non kimiawi pada dasarnya adalah berbagai upaya untuk membuat keadaan lingkungan menjadi tidak sesuai lagi bagi perkembangan nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian ini salah satunya adalah dengan modifikasi lingkungan secara permanen agar tempat perindukan nyamuk tidak tersedia. Kegiatan ini di Indonesia dikenal sebagai Pengendalian Sarang Nyamuk 3M yang berarti menutup, menguras dan menimbun berbagai tempat yang menjadi sarang nyamuk. Pengendalian nyamuk secara kimiawi dilakukan menggunakan insektisida. Insektisida dan cara-cara aplikasinya yang banyak digunakan di Indonesia adalah larvasida, berbagai repelan dan insektisida yang digunakan dalam bentuk semprot dan lainnya.
10
Menurut Rabb (1972), penggunaan insektisida dilakukan hanya bila diperlukan saja dengan mempertimbangkan efek samping insektisida. Bagi ekosistem permukiman yang utama harus dipertimbangkan adalah: (1) kemungkinan keracunan langsung
pada
para
pemukim
maupun
makhluk
bukan
sasaran
lainnya,
(2) kemungkinan pencemaran berbagai medium berkaitan dengan kepentingan aktivitas makhluk hidup lainnya, (3) kemungkinan timbul resistensi pada populasi hama serangga sasaran setelah beberapa generasi. Dalam hal alternatif pestisida yang dipilih, maka masih ada satu persoalan lagi yang krusial yaitu bagaimana cara aplikasinya. Cara aplikasi yang akan dipilih harus efektif, efesien, murah, mudah, diterima dikalangan masyarakat dan tidak merusak lingkungan. Toksikologi Insektisida Interaksi kimiawi toksik dengan sistem biologi berhubungan dengan dosis. Toksisitas pada suatu organisme selalu dinyatakan dalam istilah LD50 (lethal dose) yang berarti jumlah racun per unit berat organisme yang dibutuhkan untuk membunuh 50% populasi
percobaan. Satuan dari LD50 dinyatakan dalam mg
insektisida per Kg berat organisme. Pada kondisi bahan kimia/insektisida digunakan untuk serangga, maka LD50 dinyatakan dalam mikrogram insektisida per serangga (μ g/serangga). Konsentrasi bahan kimia yang digunakan secara eksternal yang dapat membunuh 50% hewan dinamakan LC50 (lethal concentration). Nilai ini digunakan ketika dosis yang pasti pada serangga tidak dapat ditentukan. Istilah LT50 (lethal time) merepresentasikan waktu yang dibutuhkan sehingga menyebabkan kematian 50% hewan percobaan pada dosis atau konsentrasi tertentu (Perry et al, 1998). Metode ini digunakan ketika jumlah hewan percobaan terbatas dan sering digunakan pada pengujian lapangan dimana sulit mengumpulkan jumlah serangga yang cukup untuk suatu pengujian. Pada kasus tertentu digunakan nilai KD50 (knockdown dose) dan KT50 ( knockdown time). Terdapat beberapa cara untuk melakukan pengujian pada serangga dan metode yang paling banyak digunakan adalah aplikasi topical, dimana insektisida
11
dilarutkan dalam pelarut yang relatif tidak toksik seperti aseton dan larutan yang dihasilkan diteteskan pada permukaan tubuh serangga (Perry et al, 1998). Ketika pengetahuan tentang jumlah pasti insektisida dalam tubuh serangga diperlukan, maka metode injeksi dapat digunakan. Metode ini mengunakan jarum suntik yang sangat halus terbuat baja tahan karat 20 – 30 gauge (diameter 0,41 atau 0,3mm). Dibutuhkan gelas kecil untuk wadah insektisida yang akan disuntikkan dengan ukuran diameter 0,1 – 0.16 mm. Insektisida umumnya dilarutkan dalam propilen glikol atau minyak kacang tanah dan injeksi dilakukan intraperitoneal (ke dalam lubang tubuh). Metode pencelupan digunakan ketika aplikasi topical dipandang tidak praktis untuk dilaksanakan. Sebagai contoh pekerjaan pengujian menggunakan serangga-serangga seperti larva, telur, laba-laba merah dan sebagainya. Pengujian menggunakan metode kontak atau residu dengan cara insektisida dilarutkan dalam pelarut yang mudah menguap (volatile) kemudian dimasukkan pada kontainer gelas. Pelarut yang mengandung insektisida tersebut akan menguap dan ditampung dalam kontainer yang diputar-putarkan sehingga menghasilkan lapisan residu pada dinding gelas. Alternatif lain insektisida ditempatkan pada kertas saring, panel kayu atau jenis material bangunan lainnya dan dibiarkan mengering sebelum dipajankan pada serangga percobaan. Deposit residu insektisida tersebut dinyatakan sebagai miligram ramuan aktif per meter persegi ( mg atau g AI/m2). Insektisida Organofosfat Menurut Foley (2005), fungsi sistem syaraf adalah memediasi komunikasi antara sel syaraf dengan sel-sel lain dalam suatu organisme. Komunikasi diawali dengan melepaskan senyawa kimia yang dinamakan neurotransmiter dari pre sinap ke sel-sel syaraf. Neurotransmiter berdifusi sepanjang sinap diantara sel-sel syaraf dan sel-sel pengontak (postsynaptic) dan berikatan pada protein reseptor di dalam membran sel. Ikatan tersebut menstimulasi perubahan saluran ion dalam membran yang difasilitasi oleh ion-ion spesifik (Na+, K+, Ca2+ atau Cl-) yang mengalir disepanjang membran bagian bawah dari gradien konsentrasinya masuk atau keluar dari sel. Gradien konsentrasi ini dapat memicu maupun menghambat tergantung pada
12
perubahan muatan ion di bagian dalam sel. Pada keadaan absennya neurotransmitor muatan di luar sel menjadi negatif. Pemicuan neurotransmiter oleh sel terjadi melalui aliran ion Na+ dan dilipatgandakan melalui pembukaan tegangan listrik sensitif pada saluran Na+ disepanjang akson sel-sel syaraf. Aliran ini membukakan tegangan listrik sensitif saluran Ca2+ pada ujung sel syaraf. Aliran Ca2+ selanjutnya menstimulasi perbedaan neurotransmiter berikutnya yang menghasilkan kontraksi otot. Inhibisi neurotransmiter pada sel disebabkan oleh aliran ion K+ atau ion Cl- yang menghasilkan suatu sel lebih resisten dalam mendepolarisasikan aliran Ca2+. Asetillkolin adalah suatu neurotransmiter yang menstimulasi pembukaan saluran Na+ and K+. Asetillkolin
memberikan sinyal pada sinap yang diakhiri
melalui suatu enzim asetilkolinesterase (AChE) yang berfungsi mengkatalisis reaksi hidrolisis asetilkolin menjadi kolin tidak aktif dan asetat seperti ditunjukkan pada reaksi berikut: AChE (CH3)NCH2CH2OCOCH3
(CH3)3NCH2CH2OH + CH3CO2H
Asetilkolin
kolin
asam asetat
Enzim AChE merupakan kelompok serin esterase yang mengandung sisi aktif serin (Ser), histidin (His) dan residu asam amino glutamat (Glu) yang bersamasama mengkatalisis reaksi hidrolisis asetilkolin.
Ikatan H antara gugus Glu
karboksilat dan N-1 pada histidin meningkatkan kemampuan N-3 His untuk bertindak sebagai basa yang menghilangkan H dari gugus hidroksil Ser. Hal ini yang menyebabkan oksigen pada Ser merupakan nukleofilik dan mampu menyerang gugus karbonil dari asetilkolin. Reseptor neurotransmiter dan transmisi impul pada celah sinap ditunjukkan pada Gambar 3 dan 4.
13
Gambar 3. Reseptor neurotransmiter dan saluran ion (Foley, 2005)
Gambar 4. Transmisi impuls pada celah sinaps (Shankland dan Frazier, 1985 dalam Gunandini 2002) Organofosfat bekerja dengan cara menghambat enzim AChE, sehingga enzim ini tidak dapat menghidrolisis ACh. Senyawa organofosfat secara luas telah digunakan menggantikan insektisida organoklorin. Senyawaan ini merupakan ester atau derifat amida dari asam fosfat dan merupakan zat toksik untuk serangga maupun vertebrata melalui inhibisi enzim kolinesterase. ENZIM –OH
+
enzim kolinesterase
Z-P-(O)(OR)2
Æ ENZIM-O-P(O) (OR)2 + ZH
senyawa organofosfat
enzim terinhibisi
14
Senyawaan organofosfat diproduksi pada suhu tinggi (150 – 200oC) sehingga pada umumnya mengandung isomer atau produk samping yang menyebabkan bau tidak enak (Perry et al, 1998). Gejala peracunan pada serangga mengikuti pola umum dari peracunan syaraf, misalnya keresahan, hyperexiability, gemetaran, kejang, lumpuh dan mati. Untuk mengetahui mekanisme aksi toksik senyawaan organofosfat adalah interaksi enzim asetilkoline dengan asetilkolinesterase (AChE). Pertama-tama AChE menghasilkan kompleks E-OH –ACh (Asetilkolin – Enzim) yang merupakan intermediasi antara enzim dengan substrat
kompleks tersebut bersifat reversibel yang membentuk
asetilase AChE. Selanjutnya asetyl AChE dihidrolisis kembali menghasilkan AChE (Perry et al, 1998).
Reaksi tersebut sangat cepat sehingga tidak terjadi akumulasi
asetilkolin sepanjang sinap atau pada sambungan neuromuscular.
Bagian kolin
kemudian dihilangkan dan asam asetat berkombinasi lagi (dengan pertolongan enzim lain) membentuk asetilkoline dan siklus berulang. Insektisida organofosfat yang diaplikasikan pada serangga bereaksi dengan AChE
pada kondisi yang sama. Tahap pertama enzim membentuk kompleks
reversibel dengan senyawa organofosfat, kemudian kompleks tersebut putus menghasilkan organofosfat dan enzim yang terinhibisi (enzim fosforilate). Inhibisi tersebut menghasilkan fosforilat yang eksistensinya cukup sama dengan tahapan terakhir. Selanjutnya terjadi hidrolisis dan AChE dibebaskan dengan sebuah residu fosfat (sebagai dimetil asam fosfat).
Tahapan hidrolisis tersebut sangat lambat
dibandingkan dengan kondisi normal substrat asetilkolin sehingga enzim tidak dapat berfungsi secara efektif dengan peningkatan asetilkolin yang masuk ke sinap sebagai hasil dari aktivasi syaraf. Mekanisme reaksi inhibisi tersebut ditunjukkan pada Gambar 5.
15
A
B Gambar 5. Reaksi enzim asetilkolinesterase A: Dalam keadaan normal B: Terinhibisi oleh senyawaan organofosfat
16
Insektisida Malation Malation termasuk ke dalam golongan insektisida organofosfat, untuk pertama kalinya organofosfat dibuat di Jerman pada tahun 1934 oleh Schrader. Penggunaan malation di Amerika Serkat sejak tahun 1950 Insektisida ini termasuk jenis yang aman terhadap mamalia dengan nilai LD50 oral akut 900 - 5800 mg/kg berat badan mempunyai tekanan uap 1,25 x 10-4 mm Hg pada suhu 20oC. Malation berwujud cair, tidak berwarna dengan titik didih 156 - 157oC, insektisida ini larut dalam hampir semua pelarut organik dan sedikit larut dalam air. Malation memiliki gugus karboksil yang menyebabkan insektisida ini mudah terhidrolisis dalam tubuh mamalia (Matsumura, 1989). Malation merupakan insektisida organofosfat yang telah digunakan sejak tahun 1950 di Amerika Serikat. Pemakaian malation sebagai insektisida di Amerika Serikat mencapai 30 juta pound per tahun. Malation mulai digunakan di Indonesia sejak tahun 1972 menggunakan metode pengasapan (fogging) (Suroso, 1992 dan Hoedojo. 1993). Malation [O,O-dimethyl dithiophosphate of diethyl mercaptosuccinate] adalah insektisida yang digunakan untuk berbagai tanaman sayuran, buah dan lainlain. Rumus empirik melathion adalah C10H19O6PS2 dengan berat molekul 330,4 (Cox, 2003). Rumus bangun malation ditunjukkan pada Gambar 6
Gambar 6. Rumus bangun malation
17
Malation membunuh serangga sebab di dalam tubuh serangga malation diubah menjadi malaoxon yang menghambat enzim asetilkolinesterase.
Gambar 7. Rumus bangun malaoxon Pada tahun 2000 malation diduga sebagai bahan karsinogenik tetapi tidak cukup berdampak karsinogenik terhadap manusia (Cox, 2003). Toksisitas malation dibagi menjadi 4 jenis sesuai dengan dosisnya dan ditunjukkan pada Tabel. 1. Tabel 1. Empat kriteria toksisitas malation berdasarkan nilai LD50 Jalur masuk ke dalam tubuh
Toksisitas kuat
Toksisitas sedang
Toksisitas rendah
Oral (mulut) LD50
Kurang dari 50 50 - 500 mg/Kg mg/Kg
500 - 5000 mg/Kg
Dermal (kulit) LD50
Kurang dari 200 mg/Kg
200 - 2000 mg/Kg
2000 - 5000 mg/Kg
Inhalasi (pernafasan) LD50
Kurang dari 0.05 mg/l
0,05 – 0,5 mg/l 0,5 – 2,0 mg/l
Toksisitas sangat rendah Lebih besar dari 5000 mg/Kg Lebih besar dari 5000 mg/Kg Lebih besar dari 2,0 mg/Kg
Insektisida Temefos Temefos dikenal dengan nama dagang abate dan merupakan satu-satunya larvasida yang digunakan dalam pengendalian demam berdarah di Indonesia sehingga
18
penggunaannya biasa disebut dengan abatisasi. Temefos mempunyai rumus molekul C16H20O6P2S3 dan rumus bangun ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Rumus bangun temefos Temefos merupakan golongan insektisida organofosfat dengan nama dagang abate dan nama kimia phosphorothioic acid, O,O'-(thiodi-4,1-phenylene) bis (O,O'dimethyl) phosphorothioate atau Phosphoric acid, O,O'-(thiodi,1,4-phenylene) O,O,O',O'-tetramethyl ester. Rumus kimia insektisida ini adalah C16H20O6P2S3 dan mempunyai berat molekul 446,46 dan kelarutannya pada suhu 26oC sebesar 30 g/l. Menurut US EPA (1999), temefos mempunyai toksisitas rendah sampai dengan moderat akut dibandingkan dengan insektisida organofosfat lainnya.
Temefos
bersifat toksisitas moderat akut jika melalui jalur dermal atau oral dan bersifat toksisitas rendah jika melalui jalur inhalasi. Data toksisitas temefos ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Data toksisitas temefos Jenis Studi
Hasil
Akut oral (Tikus) Akut dermal (Kelinci)
LD50= 444 mg/kg LD50 = 1850 mg/kg (Jantan) LD50 = 970 mg/kg (Betina)
Akut inhalasi Iritasi primer pada mata Iritasi primer pda kulit Sensitivitas dermal
LC50 > 1,3 mg/L Corneal opacity 72 jam 1,4 Bukan merupkan sensitizer
Katagori Toksisitas II II II III III IV
19
Masalah Resistensi Cekaman didefinisikan secara luas sebagai suatu perubahan lingkungan yang mempengaruhi kesehatan organisme. Cekaman dapat disebabkan karena faktor fisik, biotik dan senyawa kimia beracun.
Resistensi telah didefinisikan sebagai
perkembangan kemampuan suatu strain organisme untuk bertoleransi terhadap dosis zat beracun yang dapat menyebabkan kematian pada kebanyakan individu dalam spesies yang sama pada kondisi normal (Scott, 1995). Resistensi dan toleransi sering digunakan secara bergantian dalam berbagai pustaka untuk mendefinisikan satu dengan lainnya, walaupun toleransi digunakan juga untuk menjelaskan pergeseran kerentanan yang terjadi dalam generasi tunggal setelah terpajan. Dua istilah lain yang sering digunakan adalah resistensi silang (cross-resistance) dan resistensi ganda (multiple resistance). Resistensi silang adalah resistensi terhadap dua atau lebih insektisida yang mempunyai fungsi kerja yang sama. Sebagai contoh resistensi silang dapat terjadi pada serangga terhadap organofosfat dan karbamat karena kedua insektisida tersebut mempunyai target kerja yang sama. Resistensi ganda mengacu pada resisten terhadap dua atau lebih golongan pestisida dengan mekanisme kerja yang berbeda. Sebagai contoh adalah resistensi serangga terhadap organofosfat dan piretroid. Untuk menjelaskan bagaimana generasi induk dapat menghasilkan keturunan yang resisten terhadap insektisida dapat dijelaskan sebagai berikut, pajanan insektisida yang terus menerus akan membuat cekaman terhadap materi genetik (misalnya DNA) sehingga menjadi berubah. Terdapat 3 jenis perubahan materi genetik yang ditunjukkan pada Gambar 6 (Scott, 1995). Perbanyakan
Ekspresi perubahan
Perubahan struktural
Gambar 6. Tiga jenis perubahan materi genetik yang menyebabkan resistensi
20
Perubahan yang pertama adalah suatu gen mengalami perbanyakan (amplifikasi) sehingga menghasilkan lebih dari satu salinan gen. Jika suatu serangga mempunyai 10 salinan gen detoksifikasi, maka akan menghasilkan produk detoksifikasi 10 kali lebih besar dibandingkan serangga yang mempunyai satu buah gen. Ekspresi gen juga menghasilkan perubahan resistensi. Pada kasus kedua ini hanya ada satu salinan gen yang bermutasi tetapi produk mutasinya menghasilkan gen pengatur yang lebih atau kurang dibandingkan gen induk. Sebagai contoh dalam serangga rasio gen terhadap gen produk adalah 1:1, tetapi pada serangga yang resisten rasio tersebut berubah. Gen dapat mengatur lebih untuk menghasilkan lebih banyak produk sehingga rasio gen terhadap gen produk adalah 1:10 atau gen mengatur kurang sehingga membuat rasionya menjadi lebih sedikit (misalnya 1: 0,1). Perubahan gen yang ketiga yang menyebabkan serangga resisten adalah perubahan struktural suatu gen yang menghasilkan perubahan-perubahan produk.
Sebagai
contoh nukleotida dalam daerah gen pengkode disubstitusi dengan nukleotida yang berbeda sehingga asam amino yang berbeda akan dikodekan pada posisi tertentu. Perubahan ini menyebabkan gen produk mempunyai tiga dimensi struktur yang berbeda dan dapat menghasilkan sifat resisten dalam berbagai cara. Hal ini mungkin dapat menyebabkan penurunan atau peningkatan kemampuan serangga dalam memetabolisme insektisida. Resisten
metabolik
senyawa
organofosfat
pada
serangga
umumnya
disebabkan oleh perbedaan secara kualitatif dan kuantitatif pada karboksilesterase. Perbedaan
kuantitatif
merupakan
penyebab
utama
resistensi
pada
Culex
quinquefasciatus dan C. tritaeniorhynchus. Kenaikan tingkatan enzim disebabkan oleh amplifikasi gen pada kedua spesies ini. Perubahan secara kualitatif, misalnya mutasi dapat menyebabkan perbedaan esterase pada serangga tertentu. Mutasi enzim ini mampu memetabolit insektisida lebih cepat dari pada enzim asalnya. Karunaratne dan Hemingway (2001) dalam percobaan di Srilangka melaporkan bahwa resistensi tingkat tinggi terhadap malation terjadi pada Culex quinquefasciatus dimana 78% dapat selamat dari dosis malation yang dianjurkan oleh WHO. Tingkatan resistensi malation pada Aedes subpictus adalah rendah atau sekitar 15%. Populasi Culex
21
gelidus, Aedes aegypti dan
Aedes albopictus terbukti tidak resisten pada dosis
malation yang dianjurkan oleh WHO. Mekanisme resitensi insektisida mempunyai suatu dasar biokimia (Brogdon dan McAllister, 1998). Terdapat dua bentuk biokimia sebagai sisi target resistensi terhadap insektisida yang terjadi ketika insektisida tidak lagi berikatan dengan target dan terjadi detoksifikasi oleh enzim-enzim seperti esterase, oksidase atau glutathion S-transferase (GST) yang mencegah insektisida mencapai target tersebut. Mekanisme perubahan sisi target
asam-asam amino yang merupakan pengikat
insektisida pada sisi-sisi aktifnya menyebabkan insektisida tersebut kurang atau menjadi tidak efektif. Penggunaan insektisida sejenis secara terus menerus akan menimbulkan dampak yang merugikan yaitu munculnya galur serangga yang resisten. Resistensi Aedes aegypti terhadap berbagai insektisida dapat menimbulkan
masalah pada
program pengendalian vektor dengue dan yellow fever. Studi awal pada dugaan resistensi Aedes aegypti terhadap insektisida telah dilakukan di Puerto Rico, Brazil dan negara-negara
Amerika lainnya. Berdasarkan hasil penelitian telah ditemukan
bukti resistensi Aedes aegypti terhadap insektisida organofosfat (Lima et al, 2003). Untuk menghindari resistensi, pemerintah Srilangka menggunakan malation sebagai insektisida utama untuk mengendalikan malaria menggantikan DDT dan selanjutnya insektisida piretroid digunakan antara tahun 1995 dan 1997. Penggunaan malation yang sangat ekstensif ini telah berkontribusi pada resistensi nyamuk vektor malaria terhadap insektisida organofosfat (Karunaratne dan Hemingway, 2001). Percobaan resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida dilakukan di India menggunakan DDT, dieldrin, fenitrotion, propoksur, malation, deltametrin, pemetrin dan lambdacihalotrin. Hasil percobaan menunjukkan bahwa nyamuk Aedes aegypty telah resisten terhadap DDT dan dieldrin, toleran terhadap fenitrotion dan proporsur dan tidak resisten terhadap malation, deltametrin, permetrin dan lambdasihalotrin (Katyal et al, 2001)
22
Mekanisme Detoksifikasi Menurut Brogdon dan Mc Allister (1998), enzim yang bertanggungjawab terhadap detoksifikasi xenobiotic pada mahluk hidup diturunkan melalui sejumlah besar multigen seperti enzim esterase, oksidase dan GST. Kemungkinan seluruh mekanisme resistensi pada serangga merupakan tingkatan-tingkatan atau aktivitas detoksifikasi enzim esterase yang menghidrolisis ester-ester sejumlah besar insektisida. Enzim estarase tersebut termasuk 6 jenis protein termasuk jenis lipatan enzim
α/β hidrolase. Pada Diptera, hal ini terjadi sebagai kelompok gen pada
kromosom yang sama. Kelompok gen dimodifikasi melalui perubahan suatu asam amino tunggal dan mengubahnya secara khusus suatu ester menjadi hidrolisis insektisida atau melalui penggandaan gen yang memperbesar resistensi insektisida. Oksidase sitokrom P450 memetabolisme insektisida melalui mekanisme: (a) hidroksilasi O-,S-, dan N-alkil, (b) hidroksilasi dan epoksidasi alifatik, (c) hidroksilasi armatik, (d) oksidasi ester (e) oksidasi nitrogen dan tioeter.
23
BAHAN DAN METODE
Lokasi Pengambilan Sampel Nyamuk untuk bahan uji dalam penelitian ini berasal dari telur Aedes aegypti yang diperoleh dari wilayah Jakarta Timur yang memiliki kasus demam berdarah tertinggi. Survey pendahuluan untuk menentukan lokasi penelitian dipandu oleh petugas Dinas Kesehatan Jakarta Timur berdasarkan data kasus kejadian tertinggi di wilayah tersebut. Peta lokasi penelitian tersaji pada Gambar 10 dan 11.
Gambar 10. Lokasi Kecamatan Duren Sawit di Jakarta Timur
25
RT 4
RT 5
RT 6 RT 9
Gambar 11. Lokasi penelitian di wilayah Kelurahan Duren Sawit, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur Setelah ditentukan wilayah studi oleh petugas Dinas Kesehatan Jakarta Timur maka dari lokasi tersebut dipilih beberapa sub lokasi secara random untuk pengambilan telur nyamuk Aedes aegypti. Pengambilan telur dilakukan dengan menggunakan ovitrap selama satu minggu. Pada penelitian ini dilakukan dua kali pengambilan. Pemasangan ovitrap dilakukan pada wilayah rukun warga (RW) yang paling endemik, yaitu di Rawa Domba Kelurahan Duren Sawit, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur. Pemasangan ovitrap dilakukan pada RW 7 yang terdiri dari 4 RT, yaitu RT 4, RT 5, RT 6 dan RT 9. Lokasi pengambilan telur nyamuk dilakukan pada daerah padat dan kumuh serta daerah terbuka seperti terlihat pada Gambar 12 dan 13.
26
a
c
b
d
Gambar 12. Daerah padat dan kumuh a : Tipe rumah tinggal dengan intensitas cahaya kurang (gelap) b: Tipe rumah tinggal dengan talang air yang tidak terawat c: Tipe rumah tinggal tanpa saluran pembuangan air d: Tipe rumah tinggal berfungsi sebagai penampung barang bekas
27
A
B
Gambar 13. Daerah terbuka a: Lahan terbuka yang berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah b: Lahan terbuka yang mempunyai genangan air Jumlah ovitrap
yang dipasang untuk masing-masing RT sebanyak 20 buah.
Pemasangan ovitrap dibantu oleh petugas puskesmas, jumantik dan kader. Sebelum pelaksanaan dilakukan pelatihan untuk tenaga yang akan terlibat sesuai kegiatannya. Pengambilan kertas saring di dalam ovitrap dibantu oleh jumantik dan kader dibawah supervisi ketua PKK dan ketua kader jumantik. Setelah masa pemasangan ovitrap selesai maka semua ovitrap dikumpulkan kembali supaya tidak menjadi tempat nyamuk bertelur.
Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti di Laboratorium Telur yang didapat dari setiap lokasi ditetaskan di dalam nampan yang berbeda untuk setiap lokasi, nampan-nampan tersebut diisi air bersih sebagai media larva. Setelah menjadi larva, dilakukan pemberian pakan berupa hati ayam rebus. Besarnya kebutuhan pakan larva tergantung pada jumlah dan instar larva. Setelah larva menjadi pupa, maka pupa-pupa tersebut dipindahkan ke wadah yang diisi air bersih untuk ditetaskan dalam sangkar. Setelah menetas, nyamuk diberi pakan larutan gula 10%. Nyamuk betina yang
28 menetas dan akan kawin diberi pakan darah marmut agar telur yang dihasilkan menjadi fertil. Untuk mendapatkan telur, dibuat perangkap telur sederhana berupa kertas saring yang diletakkan dalam mangkuk plastik berisi air secukupnya untuk melembabkan media tersebut. Telur-telur hasil pemeliharaan dan pembiakan di laboratorium dikumpulkan sampai jumlahnya dapat menghasilkan larva nyamuk
F2 untuk diuji toleransinya.
Pemeliharaan nyamuk yang berasal dari pengambilan telur di lapangan (wilayah pengamatan) dilakukan di Bagian Parasitologi dan
Entomologi Kesehatan Fakultas
Kedokteran Hewan IPB
a
b
Gambar 14. Pemeliharaan larva nyamuk Aedes aegypti a: Penetasan telur nyamuk Aedes aegypti b: pemeliharaan larva Aedes aegypti
29
Gambar 15. Kandang pemeliharaan nyamuk Aedes aegypti dewasa
Gambar 16. Marmut umpan sebagai sumber darah untuk nyamuk Aedes aegypti dewasa
30 Uji Toleransi Uji Toleransi Larva Nyamuk Aedes aegypti Terhadap Temefos Uji toleransi yang digunakan sesuai standar WHO dan mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Polson (Polson et al, 2001). Sebanyak 50 larva ditempatkan pada wadah plastik yang berisi 500 ml air tanah. Larva-larva dikontakkan dengan temefos berkonsentrasi
0,00004; 0,0002; 0,0001; 0,01 dan 0,025 ppm. Pengujian dilakukan
masing-masing dengan tiga kali pengulangan dan kontrol menggunakan nyamuk yang berasal dari Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Fakultas Kedokteran Hewan IPB sebagai pembanding. Mortalitas dihitung setelah larva nyamuk berkontak dengan temefos selama 24 jam. Kriteria toleransi larva terhadap temefos ditentukan sebagai berikut: •
kematian sebesar 99 — 100%
•
kematian sebesar 80 — 98%
•
kematian sebesar <80%
(peka) (diperlukan verifikasi/toleran) (resisten)
Uji Toleransi Nyamuk Dewasa Aedes aegypti Terhadap Malation Uji toleransi
yang digunakan sesuai standar WHO (1981) untuk insektisida
malation (organofosfat). Percobaan ini dilakukan berdasarkan kontak nyamuk dewasa dengan insektisida yang terimpregnasi (impregnated) dalam kertas saring. Kertas saring yang digunakan mempunyai konsentrasi 0,8% dan 5% (v/v). Nyamuk yang digunakan adalah nyamuk betina dewasa. Sebagai pembanding atau kontrol digunakan nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari insektarium Bagian Parasitologi dan
Entomologi
Kesehatan Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Empat pasang tabung disiapkan dan pada setiap tabung uji (yang diberi tanda merah) dipasang kertas berinsektisida memutari dinding tabung (Gambar 17). Selanjutnya ke dalam tabung uji dimasukkan nyamuk betina sebanyak 25 ekor dengan kondisi abdomen kenyang air gula. Uji toleransi nyamuk Aedes aegypti dilakukan dengan dua standar: 1. Standar WHO,
nyamuk yang
dikontakkan dengan insektisida malation 0,8%
selama 5, 15, 30, 45 dan 60 menit. Setelah uji selesai dan diperoleh data rentang
31 waktu untuk melakukan percobaan, dilakukan percobaan dengan cara yang sama tetapi waktu kontak 45 sampai dengan 90 menit. 2. Standar Indonesia: nyamuk dikontakkan dengan insektisida malation 5% selama 2, 5, 10, 15 dan 30 menit.
a
b
Gambar 17. Peralatan pengujian resistensi nyamuk Aedes aegpti terhadap malation. a. Tabung pengujian resistensi nyamuk dewasa terhadap malation b. Pengujian resistensi nyamuk dewasa terhadap malation
Sebagai kontrol digunakan 2 tabung yang diberi tanda hijau dan dilengkapi kertas tanpa insektisida. Setelah nyamuk diuji kontak, kemudian dipindahkan kedalam tabung penyimpanan (holding) yang diberi tanda hijau. Kematian nyamuk dihitung/diamati setelah 24 jam penyimpanan. Selama penyimpanan kelembaban dijaga dengan cara pada ujung tabung penyimpanan diletakkan kapas basah. Percobaan yang sama dilakukan pada nyamuk pembanding.
Data seluruh uji toleransi baik larva maupun nyamuk
dewasa digunakan untuk menghitung konsentrasi kematian (LC) untuk larva dan waktu kematian (LT) untuk dewasa menggunakan piranti lunak POLO. Perbandingan nilai LC nyamuk yang diamati dengan nyamuk laboratorium merupakan nilai rasio resistensi (RR).
32 Untuk membuktikan secara komprehensif status toleransi nyamuk Aedes aegypti terhadap temefos dilakukan perhitungan probit untuk menentukan LC50, LC95 dan rasio resistensi (RR). Setelah LC50, LC95 diperoleh dari perhitungan probit, maka nilai rasio toleransi (RR) dapat dihitung menggunakan persamaan di bawah ini (Rawlins, 1998., Ponlawat et al, 2005): RR =
LC strain yang diamati LC strain
pembanding
Uji Peningkatan Enzim Esterase Non Spesifik (Lee, 1990 dalam Widiarti, et al 2002) Larutan yang disediakan untuk pengujian peningkatan enzim esterase adalah: 1. Larutan α-naftil asetat (α-NA), dibuat dengan cara melarutkan 0,0559 g α-NA ke dalam 10 ml aseton sehingga diperoleh α-NA 30 mM (larutan stock) 2. Larutan β-naftil asetat (β-BA) dibuat dengan cara melarutkan 0,0559 g α-NB ke dalam 10 ml aseton sehingga diperoleh α-NA 30 mM (larutan stock) 3. Larutan A (NaH2PO4 0,2M) dibuat dengan cara melarutkan 6 g Na2H2PO4 ke dalam 200ml H2O. 4. Larutan B (Na2HPO4 0,2M) dibuat dengan cara melarutkan 6 g Na2HPO4 ke dalam 200ml H2O. 5. Larutan fosfat buffer (PBS) 0,1 M; pH 7, dibuat dengan cara mencampur 35 ml larutan A + 90 ml larutan B + 125 ml H2O. 6. Larutan fosfat buffer (PBS) 0,2 M; pH 7,2 dibuat dengan cara mencampur 5 ml larutan A + 90 ml larutan B + 125 ml H2O. 7. Larutan SDS 5% dibuat dengan cara melarutkan 2,5 g SDS ke dalam 50 ml PBS 0,1M pH 7. 8. Larutan α-NA 0,3 mM dibuat dengan cara mencampur 120 μl larutan α-NA 30 mM ke dalam 11,88 ml PBS 0,002M; pH 7,2. 9. Larutan β-NA 0,3 mM dibuat dengan cara mencampur 120 μl larutan β-NA 30 mM ke dalam 11,88 ml PBS 0,002M; pH 7,2. 10. Larutan fast blue, dibuat dengan cara melarutkan 50 mg Fast Blue B salt + 5 ml H2O + 11,66 ml SDS 5%. 11. Asam asetat 10%
33
Cara pengujian sebagai berikut, seekor larva nyamuk Aedes aegypti
instar 4
digerus dengan dengan 150 μl deionized water di dalam tabung Eppendorf menggunakan grinder bertenaga baterai sampai hancur. Untuk setiap piringan dengan jumlah lubang 96 buah dibutuhkan 47 larva, satu larva digunakan untuk dua sumur, masing-masing untuk pengujian dengan α-NA dan β-NA. Sebagai standar digunakan air untuk diisikan pada dua buah sumur pertama (A1 dan B1). Setelah itu ekstrak dari setiap satu tabung minitub eppendorf diambil 2 X 20 μl larutan yang mengandung gerusan larva nyamuk (homogenat), satu sumur diisi 20 μl homogenat. Untuk baris pertama, ketiga, kelima dan ketujuh (A, C, E dan G) direaksikan dengan 200 μl larutan α-NA, sedangkan untuk barisan kedua, keempat, keenam dan kedelapan (B, D, F dan H) direaksikan dengan 200 μl larutan β-NA, setelah itu didiamkan selama satu menit, kemudian ditambahkan 50 μl larutan fast blue. Reaksi dibiarkan berlangsung selama 15 menit. Untuk menghentikan reaksi ditambahkan 50 μl larutan asam asetat ke dalam setiap mikroplate. Pembacaan hasil reaksi dilakukan mengunakan Elisa reader pada panjang gelombang 450 nm.
Tanggapan masyarakat terhadap penyakit DBD dan pengendaliannya Tanggapan masyarakat terhadap penyakit DBD dan pengendaliannya dilakukan dengan membagikan angket berupa kuesioner yang disampaikan kepada 80 kepala keluarga. Angket tersebut berupa isian data mengenai: (1) Karakteristik responden: umur, pekerjaan dan penghasilan perbulan (2) Pengetahuan terhadap perilaku nyamuk Aedes aegypti (3) Sikap responden terhadap pengendalian vektor penyakit DBD.
34 HASIL DAN PEMBAHASAN
Status toleransi larva Aedes aegypti terhadap temefos Penentuan staus toleransi Aedes aegypti terhadap temefos di Kelurahan Duren Sawit, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur, dilakukan berdasarkan kriteria WHO (WHO 1981) bahwa suatu populasi dianggap resisten bila pada saat dilakukan pengujian bioassay, kematian nyamuk kurang dari 80% dengan konsentrasi temefos 0,02 ppm. Hasil pengujian bioassay ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Persentase kematian larva nyamuk Aedes aegypti pada uji toleransi terhadap temefos
Lokasi RT 4 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata RT 5 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata RT 6 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata RT 9 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata Nyamuk Lab IPB Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata
0,00004
Jumlah larva nyamuk yang mati (%) Konsentrasi temopos (ppm) 0,0002 0,001 0,01 0,025 Control
32 40 38 36,67
98 92 86 92
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
0 0 0 0
26 24 20 23,33
52 60 54 55,33
72 82 80 78
100 100 100 100
100 100 100 100
0 0 0 0
42 40 34 38,67
66 82 90 79,33
92 90 92 91,33
100 100 100 100
100 100 100 100
0 0 0 0
46 66 70 60,67
92 90 88 90
98 94 98 96.67
100 100 100 100
100 100 100
0 0 0 0
86 86 92 88
94 94 98 95,33
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
0 0 0 0
35 Merujuk Tabel 3, pemakaian temefos pada konsentrasi 0,00004 ppm menunjukkan jumlah kematian larva nyamuk Aedes aegypti pada seluruh daerah pengamatan berkisar antara 23,33 sampai dengan 60,67%. Pada konsentrasi tersebut larva nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Fakultas Kedokteran Hewan
IPB yang digunakan sebagai pembanding
mengalami kematian sebesar 88%. Pada konsentrasi temefos 0,0002 ppm jumlah larva nyamuk yang mati berada pada kisaran 55,33 sampai dengan 92%. Disisi lain kematian larva nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari laboratorium entomologi FKH IPB 95,33%. Pada konsentrasi temefos 0,001% menunjukkan respon kematian yang signifikan pada kisaran 78 sampai dengan 100% untuk larva nyamuk dari seluruh daerah pengamatan.
Pemakaian konsentrasi temefos 0,01% atau setengah dari konsentrasi yang
dianjurkan oleh WHO menunjukkan seluruh larva nyamuk mengalami kematian sebanyak 100%, demikian juga pada konsentrasi temefos 0,025%. Berdasarkan hasil percobaan menunjukkan bahwa larva nyamuk Aedes aegypti
pada semua lokasi
pengamatan belum berada pada status resisten. Hal ini merujuk pada WHO, yang menyatakan bahwa
suatu populasi dinyatakan resisten jika persen kematian larva
nyamuk kurang dari 80% setelah mengalami pajanan temefos 0,02 ppm selama 24 jam (WHO, 1981). Dari pengolahan data menggunakan perhitungan probit diperoleh hubungan antara respon kematian larva nyamuk Aedes aegypti terhadap pengaruh peningkatan konsentrasi temefos (mortalitas dalam probit), hal ini ditunjukkan pada Gambar 18. Dari gambar tersebut dapat dilihat adanya hubungan antara respon kematian larva Aedes aegypti terhadap pengaruh peningkatan konsentrasi temefos yang digunakan. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien korelasi antara log konsentrasi dengan mortalitas dalam probit pada semua daerah pengamatan. Hasil perhitungan koefisien korelasi tersebut untuk wilayah RT 4, RT 5, RT 6 dan RT 9 berturut-turut adalah 0,861; 0,9041; 0,913 dan 0,805.
36
1.4
1.2
Mortalitas dalam prob
1
0.8
0.6
RT 4 RT 5 RT 6 RT 9 IPB
0.4
0.2
0 0
-4.39794
-3.69897
-3
-2
Log Konsentrasi
Gambar 18. Hubungan kematian larva Aedes aegypti terhadap konsentrasi temefos Nilai koefisien korelasi tersebut diatas 0,5 atau 50% yang berarti terdapat hubungan antara kematian larva Aedes aegypti dengan konsentrasi temefos pada kisaran 0,00004 sampai dengan 0,025 ppm. Nilai koefisien korelasi disetiap daerah pengamatan yang berkisar antara 0,805 sampai dengan 0,913 menunjukkan adanya homogenitas respon larva nyamuk terhadap konsentrasi temefos. Perhitungan probit
yang digunakan untuk menyatakan status toleransi larva
nyamuk Aedes aegypti terhadap larvasida temefos di kelurahan Duren Sawit, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Analisis probit larva nyamuk Aedes aegypti terhadap pemakaian temefos 0,00004 sampai dengan 0,025 ppm Lokasi RT 4 RT 5 RT 6 RT 9 Nyamuk Lab IPB
LC50 (ppm) 0,00006 0,00017 0,00006 0,00002 0,00001
LC95 (ppm) 0,00028 0,00382 0,0012 0,0005 0,00013
RR50
RR95
Persamaan regresi
6 17 6 2
2,15 29,38 9,23 3,85
Y = 2,47 + 10,41X Y = 1,21 + 4,58X Y = 1,27 + 5,36X Y = 1,26 + 5,81X Y = 1,02 + 5,62X
37 Mengacu pada Tabel 4, nilai RR50 larva Aedes aegypti yang berasal dari RT 4, RT 5, RT 6 dan RT 9 berturut-turut 6, 17, 6 dan 2 kali dibandingkan dengan larva nyamuk pembanding. Disisi lain nilai RR95 larva yang berasal dari RT 4, RT 5, RT 6 dan RT 9 berturut-turut 2,15; 29,38; 9,23 dan 3,85 kali dibandingkan dengan larva nyamuk pembanding. Berdasarkan nilai rasio resistensi (RR) maka terbukti pemakaian temefos untuk menangani kasus demam berdarah di Kelurahan Duren sawit, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur belum berada pada status resisten. Hal ini mengacu pada Brown (1989) yang menyatakan bahwa nyamuk berada pada tahap resisten jika nilai rasio resistensi meningkat lebih dari 10 kali dan nilai LC50 melebihi 0,25 ppm. Walaupun sebagian besar wilayah Kelurahan Duren Sawit Jakarta Timur belum berada pada status resisten tetapi perlu diwaspadai kemungkinan peningkatan status temefos.
Dari Hasil penelitian Gunandini (2002)
toleran terhadap
pada 20 generasi terlihat bahwa
besarnya LC50 temefos semakin meningkat dengan semakin bertambahnya generasi yaitu pada konsentrasi 0,025 ppm (Fo), 0,032 ppm (F5) 0,042 ppm (F10), 0,062 (F15) dan 0,071 ppm (F20). Toleransi terhadap temefos pada Aedes aegypti telah dilaporkan di Bangkok. Pada tahun 1966, larva
Aedes aegypti
yang berasal dari 14 daerah di kota Bangkok
menunjukkan toleran terhadap temefos. Tahun 1986 sampai dengan 1993 nyamuk Aedes terindikasi resisten terhadap temefos (Ponlawat, et.al 2005). Paeporn et al
aegypti
(2005) melaporkan terdapat satu kasus toleran terhadap temefos dari
4 wilayah
pengamatan di Thailand. Tingkat resistensi yang tinggi terdeteksi di wilayah Surat Thani yang ditunjukkan oleh nilai rasio resistensi (RR95) sebesar 130 kali terhadap strain pembanding. Uji toleransi terhadap temefos di Rajahmundry town India, memberikan hasil pada konsentrasi malation 0,125 dan 0,625 ppm menyebabkan kematian larva nyamuk Aedes aegypti sebesar 100% (Mukhopadhyay et al, 2006). Laporan internal sebanyak
Environmental Surveillance Directory Brazil menunjukkan
33,833 ton temefos telah digunakan sepanjang tahun 1997-2001. Terkait
dengan hal tersebut, penelitian uji kepekaan nyamuk Aedes aegypti terhadap temefos di Brazil menunjukkan indikasi resisten. Dua dari tujuh
wilayah yang diamati yaitu
Ceilandia dan Gama masih menunjukkan status peka terhadap temefos. Tiga
wilayah
lainnya yaitu: Planaltina, Sobradinho dan Taguartinga terindikasi kepekaan menengah
38 dan dua wilayah Guara dan N. Bandeirante terindikasi resisten. Dua wilayah yang diindikasikan resisten tersebut berdasarkan hasil percobaan bioassay menunjukkan sebanyak 54,1% sampai dengan 61,9% larva nyamuk Aedes aegypti yang mati pada konsentrasi temefos 0,012 ppm (de Carvalho et al, 2004). Berdasarkan data pembanding kasus resistensi di kedua negara tersebut diatas, timbul pertanyaan mengapa disebagian besar wilayah pengamatan belum terdapat kasus resistensi temefos. Dari 4 wilayah pengamatan, hanya 1 wilayah yang terindikasi toleran yaitu di RT 5. Di wilayah ini bertahun-tahun terjadi kasus demam berdarah yang cukup tinggi dan mendapat perhatian yang cukup besar dari setiap stake holder termasuk upaya pemberantasan vektor nyamuk Aedes aegypti.
Disisi lain pemakaian temefos di
Indonesia juga telah digunakan selama bertahun-tahun dan secara masal pernah digunakan pada tahun 1986 sampai dengan 1989 di berbagai kota endemis (Hoedojo, 1993). Menurut petunjuk Departemen Kesehatan RI konsentrasi temefos yang dianjurkan adalah 1% atau jauh lebih tinggi dari konsentrasi yang dianjurkan oleh WHO yaitu 0,02% (Suroso et al, 2003). Belum terindikasinya resistensi temefos di wilayah pengamatan ini kemungkinan karena upaya pengendalian nyamuk Aedes aegypti sebagian besar hanya dilakukan melalui pemutusan rantai penularan manusia-nyamuk-manusia, yaitu dengan membasmi habitat nyamuk dan jarang dilakukan menggunakan metoda kimiawi. Usaha ini lebih banyak dilakukan dengan program pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan menguras dan menutup tempat penampungan air serta mengubur wadah-wadah yang dapat digunakan untuk berkembangbiak nyamuk dibandingkan dengan pemakaian temefos. Hal ini dapat dijelaskan dari hasil kuesioner dengan responden sebanyak 50 kepala keluarga (30 kepala keluarga tidak mengembalikan kuesioner) di wilayah penelitian ini. Berdasarkan hasil kuesioner, sebanyak 48,15% tidak mengetahui penyakit demam berdarah sedangkan 46,15% dari responden mengetahui penyakit demam berdarah tetapi tidak mengetahui cara pemberantasan jentik nyamuk Aedes aegypti menggunakan temefos. Seperti halnya diberbagai wilayah di Indonesia, pemberantasan sarang nyamuk dilakukan dan dikoordinasi oleh juru pemantau jentik (jumantik) dibawah pengawasan puskesmas setempat. Kegiatan PSN dilakukan setiap minggu dengan menyisir, memantau
39 dan mengambil tindakan pemusnahan jentik dari rumah ke rumah dan lingkungan sekitarnya. Hasil kegiatan PSN ini seharusnya menekan perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang berdampak pada penurunan jumlah kasus DBD bukan sebaliknya. Namun demikian berdasarkan data dari puskesmas, kasus demam berdarah di wilayah ini cenderung meningkat. Jadi yang perlu diteliti lebih lanjut adalah apakah pelaksanaan PSN di wilayah kelurahan Duren Sawit ini sudah dilakukan dengan baik dan diawasi dengan ketat.
Status toleransi nyamuk Aedes aegypti terhadap malation Toleransi nyamuk Aedes aegypti terhadap malation di Kelurahan Duren Sawit Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur berpeluang terjadi karena penggunaann malation yang sering dilakukan. Penggunaan malation untuk mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti sudah dilakukan sejak tahun 1969 pada radius 100 m di sekitar rumah penderita DBD (Hoedojo, 1993). Untuk mengetahui kemungkinan terjadinya toleransi nyamuk Aedes aegypti terhadap malation, dilakukan pengujian berdasarkan metoda bioassay.
Pengujian
tersebut meliputi pengujian pendahuluan dan pengujian resistensi nyamuk Aedes aegypti pada konsentrasi malation 0,8% serta
5%. Konsentrasi malation 0,8% merupakan
konsentrasi anjuran WHO yang tertuang dalam Discriminating concentration for adult mosquito-WHO/CDB/CPC/MAL/98.12. Disisi lain konsentrasi malation 5% merupakan konsentrasi yang digunakan di Indonesia dalam mengendalikan vektor nyamuk Aedes aegypti. Pengujian pendahuluan dilakukan pada konsentrasi 0,8%
untuk memperoleh
variabel waktu terhadap kematian nyamuk Aedes aegypti. Hasil pengujian pendahuluan menunjukkan pada rentang waktu 5 sampai dengan 60 menit, nyamuk Aedes aegypti belum menunjukkan respon kematian 100% termasuk nyamuk laboratorium entomologi FKH IPB yang digunakan sebagai pembanding. Berdasarkan hal tersebut maka pengujian toleransi nyamuk Aedes aegypti terhadap malation 0,8% dilakukan pada rentang waktu 45 sampai dengan 90 menit. Hasil pengujian pendahuluan ditunjukkan pada Tabel 5 dan Lampiran 2.
40 Tabel 5. Persentase kematian nyamuk Aedes aegypti pada konsentrasi malation 0,8% Jumlah nyamuk yang mati (%) Lokasi RT 4 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata RT 5 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata RT 6 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata RT 9 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata Nyamuk Lab IPB Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata
45 menit
60 menit
75 menit
90 menit
8 16 12 12
20 24 24 22,67
64 56 60 60
100 100 100 100
16 20 12 16
28 28 24 26,67
68 52 80 66,67
100 100 100 100
20 20 20 20
48 52 52 50.67
72 84 84 80
100 100 100 100
28 20 28 25,33
72 68 60 66,67
88 92 92 90,67
100 100 100 100
60 80 60 66,67
96 44 76 72
100 88 100 96
100 100 100 100
Berdasarkan data pada Tabel 5, nyamuk Aedes aegypti mengalami kematian 100% setelah kontak dengan malation 0,8% selama 90 menit atau 1,5 jam. Hasil perhitungan probit yang menjelaskan respon kematian nyamuk Aedes aegypti terhadap malation 0,8% ditunjukkan pada Gambar 19 dan Tabel 6.
41
1.4 RT 4 RT 5 RT 6 RT 9 IPB
1.2
Mortalitas dalam probit
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0 0
1.653213
1.778151
1.875061
1.954243
Log Waktu
Gambar 19. Hubungan antara waktu kontak dengan kematian nyamuk Aedes aegypti pada penggunaan malation 0,8% Tabel 6. Analisis probit uji pendahuluan pemakaian malation 0,8% terhadap nyamuk Aedes aegypti Lokasi RT 4 RT 5 RT 6 RT 9 Lab IPB
LT50 66,31 63,95 57,49 53,4 39,20
LT95 98,04 96,90 87,60 79.13 79,20
RR50 1,24 1,22 1,11 0,99
RR95 1,24 1,22 1,11 1,00
Persamaan regresi Y= 9,68 – 17,64X Y= 9,11 - 16,46X Y = 899 – 15,82X Y = 16,64 – 9,63X Y = 10,36 – 6,50 X
Berdasarkan Gambar 19, perhitungan koefisien korelasi nyamuk yang berasal dari RT 4, 5, 6, dan 9 berturut-turut sebesar 0,75, 0,79, 0,89 dan 0,89 atau berkisar pada 75 sampai dengan 89%. Perhitungan ini menunjukkan terdapat korelasi antara waktu dan kematian nyamuk serta homogenitas respon nyamuk terhadap insektisida malation. Hasil perhitungan ini memberikan informasi bahwa seluruh nyamuk yang digunakan sebagai hewan uji mempunyai kesamaan respon terhadap insektisida malation.
42 Mengacu pada Tabel 5, diperoleh LT95 sebesar 79,13 sampai dengan 98,04 menit dan nilai RR95 berkisar antara 1,00 sampai engan 1,24. Nilai RR95 memberikan informasi bahwa penggunaan malation sesuai anjuran WHO belum menunjukkan resisten terhadap nyamuk Aedes aegypti. Namun demikian data tersebut tidak realistis karena tidak memungkinkan fooging
dilakukan selama 90 menit disuatu lokasi. Berdasarkan hal
tersebut maka percobaan toleransi Aedes aegypti terhadap malation dilakukan menggunakan konsentrasi 5% atau sesuai dengan dosis yang digunakan di Indonesia. Konsentrasi ini 6,25 kali lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi malation 0,8% sehingga LT95 diperkirakan 14,4 menit. Percobaan menggunakan konsentrasi malation 5% ditunjukkan pada Tabel 7 dan Tabel 13 Lampiran 4. Tabel 7. Persentase kematian nyamuk Aedes aegypti pada konsentrasi malation 5%
Lokasi RT 4 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata RT 5 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata RT 6 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata RT 9 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata Nyamuk Lab IPB Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata
2 menit
Jumlah nyamuk yang mati (%) 5 10 15 30 menit menit menit menit
Kontrol
20 24 24 22,67
60 52 44 52
96 92 92 93,33
100 100 100 100
100 100 100 100
0 0 0 0
36 28 36 33,33
72 60 60 64
52 52 56 53,33
100 100 100 100
100 100 100 100
0 0 0 0
24 28 40 30,67
68 60 60 62,67
88 96 88 90,67
100 100 100 100
100 100 100 100
0 0 0 0
60 48 52 53,33
80 88 88 85,33
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
0 0 0 0
96 92 91 93
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
100 100 100 100
0 0 0 0
43 Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa 100% kematian nyamuk terjadi setelah nyamuk kontak dengan malation selama 15 menit. Jika diaplikasikan dilapangan hal ini tidak realistik karena pengasapan malation (fogging) hanya membutuhkan waktu yang singkat dimana kontak nyamuk dengan malation hanya berlangsung dibawah lima menit. Kontak berikutnya tetap terjadi tetapi konsentrasi malation mengalami penurunan yang disebabkan oleh pengenceran udara. Untuk menghindari keraguan menetapkan status toleransi nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Duren Sawit, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, maka dilakukan perhitungan probit untuk memperoleh homogenitas respon, lethal time dan nilai Rasio Toleransi. Hasil perhitungan yang menjelaskan respon nyamuk terhadap insektisida malation ditunjukkan pada Gambar 20.
1.4 RT 4 RT 5 RT 6 RT 9 IPB
1.2
Mortalitas dalam probit
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0 0
1.176091
1.477121
1.653213
1.778151
Log Waktu
Gambar 19. Hubungan antara waktu kontak dengan kematian nyamuk Aedes aegypti pada penggunaan malation 5% Berdasarkan Gambar 19, diperoleh perhitungan nilai koefisien korelasi antara waktu kontak dengan mortalitas dalam probit untuk RT 4, 5, 6 dan 9 berturut-turut sebesar 0,877; 0,911; 0,92 dan 0,814. Nilai koefisien korelasi ini meunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara waktu kontak dan mortalitas dalam probit serta homogenitas respon. Keadaan ini indentik dengan penggunaan malation 0,8% yang
44 membuktikan homogenitas respon nyamuk Aedes aegypti
dari seluruh wilayah
pemantauan terhadap insektisida malation. Perhitungan probit konsentrasi malation 5% ditunjukkan pada Tabel 8 Tabel 8. Hasil perhitungan probit uji pendahuluan pemakaian malation 5% terhadap nyamuk Aedes aegypti Lokasi RT 4 RT 5 RT 6 RT 9 Lab IPB
LT50
LT95
RR50
RR95
3,88 3,12 3,39 1,97 1,63
12,12 11,49 14,16 6,64 2,64
2,38 1,91 1,72 1,21
4,59 4,35 2,13 2,52
Persamaan regresi Y= -1,95 + 3.32X Y = -1,43 + 2,90X Y = -1,40 + 2,67X Y=0,91+ 3,11X Y= -3,72 + 17.35 X
Mengacu pada Tabel 8, LT50 nyamuk Aedes aegypti terhadap pemakaian malation 5% untuk wilayah RT 4, RT 5, RT 6, RT 9 dan nyamuk laboratorium IPB berturut-turut sebesar 3,88; 3,12; 3,39; 1,97 dan 1,63. Nilai LT95 nyamuk Aedes aegypti terhadap pemakaian malation 5% untuk wilayah RT 4, RT 5, RT 6, RT 9 dan nyamuk laboratorium IPB berturut-turut sebesar 12,12; 11,49; 14,16; 6,64 dan 2,64. dan 1,63. Nilai RR50 nyamuk yang berasal dari wilayah wilayah RT 4, RT 5, RT 6, RT 9 dan nyamuk laboratorium IPB berturut-turut sebesar 3,88; 3,12; 3,39; 1,97 dan 1,63. Nilai RR95 nyamuk yang berasal dari wilayah wilayah RT 4, RT 5, RT 6, RT 9 dan nyamuk laboratorium IPB berturut-turut sebesar 4,59; 4,35; 2,13 dan 2,52. Berdasarkan nilai RR95 maka nyamuk Aedes aegypti
yang berasal dari
seluruh daerah pengamatan
terindikasi tidak resisten (RR95<10). Hal ini mengacu pada Brown (1989) yang menyatakan bahwa nyamuk berada pada tahap resisten jika nilai rasio resistensi meningkat lebih dari 10 kali. Pemakaian yang terus menerus
seharusnya menyebabkan toleransi sedang
(RR95>40) dan toleransi berat (RR95>100). Untuk memperoleh justifikasi hasil percobaan ini dilakukan perbandingan kasus toleransi malation dibeberapa negara lain. Rawlins (1998) melaporkan penelitian toleransi terhadap malation yang digunakan secara terusmenerus selama 20 sampai dengan 30 tahun di wilayah Karibia hanya menunjukkan toleransi rendah (RR95<4).
Toleransi nyamuk Aedes aegypti
terhadap malation di
Thailand menunjukkan tingkatan rendah, dengan nilai RR95 berkisar antara 2,2 sampai
45 dengan 6,6 (Ponlawat et al, 2005). Akan tetapi jika mengacu pada Brown (1989) maka penelitian tersebut belum menunjukkan resistensi. Peningkatan enzim esterase Esterase adalah enzim hidrolase yang menguraikan ester dengan penambahan air menjadi alkohol dan asam asetat. Enzim eseterase mampu mendetoksifikasi insektisida dari golongan organofosfat. Enzim esterase bekerja secara cepat dalam mengikat toksin insektisida dibandingkan metabolisme insektisida tersebut. Peningkatan enzim esterase ditunjukkan pada Tabel 9 dan 10 serta Lampiran 4 dan 5 . Tabel 9. Nilai α-esterase larva Aedes aegypti Asal nyamuk Aedes aegypti
Nilai α -esterase larva Aedes aegypti (µmol/menit/mg protein)
RT 4 RT 5 RT 6 RT 9 Nyamuk Laboratorium IPB
0.948 + 0,0362 1,072 + 0,054 1,261 + 0,0043 1,424 + 0,101 0,266 + 0,022
Tabel 10. Nilai β-esterase larva Aedes aegypti
Asal nyamuk Aedes aegypti
Nilai β -esterase larva Aedes aegypti (µmol/menit/mg protein)
RT 4 RT 5 RT 6 RT 9 Nyamuk Laboratorium IPB
0,0776 + 0,0094 0,104 + 0,0060 0,1367 + 0,04 0,246 + 0,055 0,03172 + 0,000785
Mengacu pada Tabel 9 dan 10, Peningkatan enzim α esterase Aedes aegypti sebesar 4,31 sampai dengan 5,58 kali dibandingkan dengan nyamuk laboratorium entomologi IPB, sedangkan peningkatan enzim β esterase Aedes aegypti sebesar 2,45 sampai dengan 7,76 kali dibandingkan dengan nyamuk laboratorium entomologi IPB.
46 Terjadinya peningkatan enzim α dan β esterase menunjukkan kedua gen yang mengkode esterase berada pada lokus yang sama /amplicon (Small, 1998). Dari hasil penelitian dan Wicaksana (2006), seleksi 20 generasi nyamuk Aedes aegypti terhadap malation menunjukkan adanya peningkatan enzim α esterase, setelah itu terjadi peningkatan enzim asetilkolinesterase. Nilai enzim α esterase pada generasi F0 semula 0,15 menjadi 0,215, seharusnya pada generasi nyamuk F20. Sedangkan nilai peningkatan aktivitas enzim ACHE dari 20,35 (F0) menjadi 24,9% pada generasi F20. Hasil survei terhadap masyarakat Dari 80 angket yang disampaikan pada masyarakat ternyata hanya sebanyak 50 buah angket (62,5%) yang dikembalikan dengan berbagai alasan. Hal ini menunjukkan keperdulian masyarakat setempat untuk mendukung penelitian penanggulangan nyamuk Aedes aegypti sangat minim. Tabulasi hasil survei terhadap masyarakat ditunjukkan pada Tabel 11 di bawah ini. Tabel 11. Hasil survei tentang sikap masyarakat terhadap penanggulangan penyakit DBD No Uraian 1.
2.
3. 4.
Pengeluaran rata-rata perbulan: a. Lebih kecil dari Rp. 200.000,b. Rp. 200.000,- sampai dengan kurang dari Rp. 500.000,c. Rp. 500.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000d. Diatas Rp. 1000.000,Pendidikan a. Tidak sekolah b. Sekolah Dasar (SD) c. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) d. Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) e. Diploma III, Sarjana muda f. Sarjana ke atas Pernah menerima penyuluhan DBD Pengetahuan terhadap penyakit DBD Dari yang mengetahui tersebut terdiri : a. pengetahuan terhadap nyamuk Aedes aegypti b. pengetahuan terhadap tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti c. sikap terhadap pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan 3 M d. sikap terhadap pengendalian sarang nyamuk dengan penggunaan temefos
Jumlah (%) 0 14,81 70,38 14,81 3,7 14,81 25,93 55,56 0 0 64 51,85 46,15 46,15 46,15 46,15
47 Berdasarkan hasil tersebut, partisipasi masyarakat terhadap pengendalian penyakit DBD sangat minim. Dari 50 kepala keluarga yang mengembalikan angket, hanya 51,85% mengetahui penyakit DBD dan setelah menerima penyuluhan tentang penyakit DBD. Sebanyak 46,15% dari 51,85% kepala keluarga yang mengetahui
penyakit DBD,
mempunyai pengetahuan yang cukup terhadap nyamuk Aedes aegypti, tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti serta sikap terhadap pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan 3M dan penggunaan insektisida temefos (abate). Dengan demikian hanya 23,93% dari 50 kepala keluarga yang mengembalikan kuesioner yang peduli terhadap penyakit DBD. Disisi lain jumlah kepala keluarga yang berpendidikan cukup tinggi (lulusan SLTA) sebanyak 55,56% dengan tingkat penghasilan yang cukup (belanja perbulan Rp. 500.000sampai dengan Rp. 1.000.000,-) sebanyak 70,38% seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi tehadap penanganan DBD. Pengetahuan yang tidak cukup, dapat mempercepat resistensi terhadap kedua insektisida tersebut karena penggunaan dosis yang mungkin tidak sesuai dengan anjuran.
48
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1. Penggunaan insektisida temefos pada larva Aedes aegypti dengan konsentrasi 0,00004 ppm sampai dengan 0,025 ppm belum terindikasi resisten, tetapi menuju kearah toleran terhadap insektisida temefos. 2.
Penggunaan insektisida malation pada nyamuk dewasa dengan konsentrasi 0,8% dan 5% belum terindikasi resisten, menuju toleran.
Hal ini ditunjukkan dengan
peningkatan α dan β esterase serta nilai RR yang meningkat. 3. Dari kuesioner yang masuk, sebanyak 23,93% kepala keluarga yang memahami dan berpartisipasi dalam pengendalian nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor DBD.
Saran 1. Perlu dilakukan penelitian serupa dengan cakupan yang lebih luas untuk menentukan strategi manajemen insektisida tersebut. 2. Temefos dan malation masih dapat digunakan dalam pengendalian nyamuk Aedes aegypti di wilayah keluran Duren Sawit masih belum terindikasi resisten. 3. Sosialisasi penyakit demam berdarah dan penanggulangannya di wilayah kelurahan Duren Sawit harus ditingkatkan agar masyarakat lebih paham dan lebih aktif ikut serta dalam pengendalian DBD 4. Perlu dikaji lebih seksama mengapa kasus DBD di wilayah keluran Duren Sawit menjadi daerah endemis dengan jumlah kasus yang tinggi.
49 DAFTAR PUSTAKA
Brown, A.W.A.1989. Insecticide resistance in mosquioes: a pragmatic review, Mosq. Contr. Assoc. 2(2) 123-140
J Am.
Brogdon, W.G. and J.C. McAllister. 1998. Insecticide resistance and vector. Control emerging infectious diseases 4(4) : 605 - 613 Christophers, S. R. 1960. Aedes aegypti (L) The yellow fever mosquito. Cambridge Univ. Press. London. halaman 739 Cox, C. 2003. Insecticide factsheet malathion, Journal of pesticide reform. 23: 1 - 4 de Carvalho, M.S.L., E.D Caldas., N. Degallier., R.V., de Tarso, L.C.K.R. Souza, L.C.K.R., M.A.C, Yoshizawa., M.B, Knox and C, de Oliveira. 2004, Susceptibility of Aedes aegypti larvae to the insecticide temephos in the federal district, Brazil, Rev Saúde Pública 38(5): 1- 6 Ditjen. PPM dan PLP.1990, Survai entomologi demam berdarah dengue EPA. 1997. Product chemistry chapter for the malation registration eligibility decision (RED) Document. USA EPA Foley T.D. 2005 , Biochemical toxicology of insecticides: The road towards reduced-risk insecticides, Chemistry Department, University of Scranton. Gunandini, D.J. 2002.Kemampuan hidup populasi alami nyamuk Aedes aegypti (Linn.) yang diseleksi malation pada stadium larva. ITB (Desertasi S3) Hemingway J. and Ranson. 2000. Insecticide resistance in insect vector of human discase. Ann Rev. Entomol. 45:471-491 Horsfall, W.R. 1955, Mosquito their bionomics and relation to disease, The Ronald Press Co., New York, halaman 355 - 720. Hoedojo. 1993. DHFVector and Its Control efforts. Maj. Parasitol. Ind.6 (1): 31-45. Jawetz, E. (Edit). 1982. Microbiology. Lange Med. Publ. California. Halaman 840 Karunaratne. H.P.P, J. Hemingway. 2001. Malation resistance and prevalence of the malation carboxylesterase mechanism in populations of mosquito vectors of disease in Sri Lanka, Bulletin of the World Health Organization 79: 1060-1064
50 Katyal. R, P. Tewari. S.J. Rahman., H.R. Pajni., K. Kumar and K.S. Gill. 2001.Susceptibility Status of Immature and Adult Stages of Aedes aegypti Against Conventional Insecticides in Delhi, India Dengue Bulletin 25: 84-87 Kho, LK, H. Wulur Karsono A, Thaib, S. 1969 Dengue haemorrhagic fever in Djakarta. Maj Kedok Indon . 19 : 417 - 420. Knobler S.L., M.L. Stanley., N. Marjan., dan B. Tom. 2003, The Resistance phenomenon in microbes and infectious disease vectors. The National Academic Press. Washington. Lima .J.B.P, M.P. da-Cunha., J.R.C. da Silva., G.A.K. Ribeiro., S. da Silva., R. Braga., P. Ramos., and D. Valle. 2003 Resistance of Aedes aegypti to organophosphates in several municipalities in the State of Rio de Janeiro and Espírito Santo, Brazil”, Am. J. Trop. Med. Hyg., 68(3), 329-333. Katyal, R., P. Tewari., S.J. Rahman,. H.R. Pajni., H.R., K. Kumar. K.S. Gill. 2001. Susceptibility status of immature and adult stages of Aedes aegypti against conventional insecticides in Delhi, India, Dengue Bulletin. 25: 84-87. Kettle, D.S. 1984, Medical and veterinary entomology, a Wiley-Inter Science Publ, New York, halaman 99-136. Nasir. Z., I. Ishak., O. Ali. 2001. Behavioural factors influencing the dengue infection: The study among students in the higher learning institution, Malaysian Journal of Public Health Medicine, 1: 39 - 43 NPIC.2001 , Malathion (General Fact Sheet), Oregon State University Madeira. NG, C.A. Macharelli, L.R. Carvalho, L.R (2002);.Variation of the Oviposition Preferences of Aedes aegypti in Function of Substratum and Humidity,. 415 Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro, 97(3): 415- 420 Mattingly, P.F, 1969. The biology of mosquito-borne disease. London, George Allen and Unwin Ltd Matsumura, F. 1989. Insect resistance to Insecticide. Pesticide Science. 65-264 Metcalf, R.L. 1982 Insecticide in pest management. Wiley and Son, New York. Mullen, G, L. Burden, 2002., Medical and verterinary entomology, Kluwer Academic Pubisher, London Mukhopadhyay, A.K., S.K. Patnaik , P. Satya Babu. 2007 Susceptibility status of some culicine mosquitoes to insecticides in Rajahmundry town of Andhra Pradesh, India, J Vect Borne Dis 43:3: 39–41
51
Paeporn, P., K. Supaphathom, . S. Sathantriphop., P. Mukkhun and S. Sangkitporn. 2005. Insecticide susceptibility of Aedes aegypti in tsunami-affected areas in Thailand, Dengue Bulletin 29: 210-213 Perry , AS., L. Yamamoto., I. Ishaya, I. R.Y, Perry. 1998, Insecticide in Agriculture and Environment,.Springer, Berlin Plapp, F.W. Jr. and T.C. Wang. 1983. Genetic origins of insecticide resistance. Inpest resistance to pesticides. Bab 2. Georghiou. G.P., T. Saito. Editor,Plenum Press, New York. Halaman 47 Ponlawat,P., J.G, Scott., L, Harrington. 2005. Insecticide susceptibility of Aedes aegypti and Aedes albopictus across Thailand J. Med. Entomol. 42(5) 821- 825 Pratana JS., S, Tharir. 1970. Haemorhagic fevershock syndrome in Surabaya, Indonesia. Kobe J Med Sci . 16: 189 Rawlins, S.C. 1998. Spatial distribution of insecticide resistance in Caribbean populations of Aedes aegypti and its significance. Rev Panam Salud Publica/Pan Am J Public Health 4(4) 243-251 Rabb, R.L. 1972. Principle and concept of pest management, Proc Intl. Ext. Pest Management Workshop, Perdue Univ, Lafayette Rosen L, D.A. Shroyer R.B. Tesh, J.E.Freier, J.C. Lien. 1983. Transovarial transmission of dengue viruses by mosquitoes: Aedes albopictus and Aedes aegypti. Am J. Trop.Med.Hyg. 32(5):1108 Scott, J.A (1995) The Molecular genetics of resistance: Resistance as a response to stress, Florida Entomologist 78(3): 399-414 Small, G. 1998. Genetical background of insecticide resistance, makalah dalam Molecular Entomology Workshop, Universitas Gajah Mada. Suroso, T., S.R, Hadinegoro., S, Wuryadi., G. Simanjuntak., A.I, Umuar, P.D, Pitoyo, P.D., R, Kusriartuti., A, Izhar, A.2003. Pencegahan dan penanggulangan penyakit demam dengue dan demam berdarah dengue, Departemen Kesehatan RI, Jakarta Subdinas Kesehatan Masyarakat. 2005, Statistika pasien penyakit menular 2005, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Subdinas Kesehatan Masyarakat. 2006, Statistika pasien penyakit menular 2006, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Subdinas Kesehatan Masyarakat. 2007, Statistika pasien penyakit menular : Data bulan Januari sampai dengan april 2007, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.
52 US EPA . 1999, Temephos: Revised HED Chapter for the Registration Eligibility Decision (RED) Document. Wahono, T.J. 2004, “ Kajian masalah kesehatan demam berdarah dengue”, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen kesehatan RI WHO, 1976. Criteria and meaning of the test for determining the suspectibility of resistance of insecticides. WHO Tech. Report. Ser. 585. 78-83 WHO. 1981. Instructions for determining the susceptibility of adult mosquito to organochlorine, organophosphate and carbamate insecticides establishment of base line. Geneva: WHO, 1981. WHO/VBC/81.806. halaman 1 - 7 WHO. 1986. Tenth report of WHO expert commitee on vector biology and control. Geneva: WHO, Technical report series 737 WHO dan Departemen Kesehatan RI. 2003. Pencegahan dan penanggulangan penyakit demam dengue dan demam berdarah dengue. WHO. 1998, Discriminating concentration for adult mosquito-WHO /CDB/ CPC/ MAL/ 98.12 Widiarti., D. Triboenomo., U. Widyastuti, Mujiono, 2002. Uji biokimia kerentanan vektor malaria terhadap karbamat di provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Jogyakarta. Balai Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit. Balitbang Depkes
Lampiran 1. Jumlah kematian larva nyamuk Aedes aegypti pada pemakaian temefos 0,00004 sampai dengan 0,025 ppm.
53
Lokasi
0,00004
Jumlah larva nyamuk yang mati (ekor) Konsentrasi temopos 0,0002 0,001 0,01 0,025 Kontrol
RT 4 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
16 20 18
49 46 43
50 50 50
50 50 50
50 50 50
0 0 0
RT 5 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
13 12 10
26 30 27
36 41 40
50 50 50
50 50 50
0 0 0
RT 6 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
21 20 17
33 41 45
46 45 46
50 50 50
50 50 50
0 0 0
RT 9 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
23 33 35
46 45 44
44 49 47
50 50 50
50 50 50
0 0 0
Nyamuk lab IPB Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
43 43 46
47 47 49
50 50 50
50 50 50
50 50 50
0 0 0
Lampiran 2. Jumlah kematian nyamuk Aedes aegypti pada uji pendahuluan konsentrasi malation 0,8%
54
Lokasi
5 menit
Jumlah nyamuk yang mati (ekor) 15 30 45 60 menit menit menit menit
Kontrol
RT 4 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
0 0 0
0 1 1
2 1 1
2 3 2
4 4 7
0 0 0
RT 5 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
0 0 0
1 1 1
2 1 2
4 3 3
6 7 4
0 0 0
RT 6 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
0 0 0
1 1 2
3 2 3
2 5 4
8 10 12
0 0 0
RT 9 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
0 0 0
1 0 1
3 2 1
7 4 5
15 13 13
0 0 0
Nyamuk Lab IPB Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
0 1 1
3 1 1
7 8 5
9 15 11
19 15 21
0 0 0
Lampiran 3. Jumlah kematian nyamuk Aedes aegypti pada konsentrasi malation 0,8% Lokasi
Jumlah nyamuk yang mati
Kontrol
55 (ekor) 45 menit
60 menit
75 menit
90 menit
RT 4 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
2 4 3
5 6 6
16 14 15
25 25 25
0 0 0
RT 5 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
4 5 3
7 7 6
17 13 20
25 25 25
0 0 0
RT 6 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
5 5 5
12 14 14
18 21 21
25 25 25
0 0 0
RT 9 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
7 5 7
18 17 15
22 23 23
25 25 25
0 0 0
Nyamuk Lab IPB Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
15 20 15
24 22 19
25 22 25
25 25 25
0 0 0
Lampiran 4. Jumlah kematian nyamuk Aedes aegypti pada konsentrasi malation 5%
56
Jumlah nyamuk yang mati (ekor) 5 10 15 30 menit menit menit menit
Lokasi
2 menit
RT 4 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
5 6 6
15 13 11
24 23 23
25 25 25
25 25 25
0 0 0
RT 5 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
9 7 9
18 15 15
23 23 24
25 25 25
25 25 25
0 0 0
RT 6 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
6 7 10
17 15 15
22 24 22
25 25 25
25 25 25
0 0 0
RT 9 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
15 12 13
20 22 22
25 25 25
25 25 25
25 25 25
0 0 0
Nyamuk Lab IPB Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
24 23 23
25 25 25
25 25 25
25 25 25
25 25 25
0 0 0
Lampiran 5. Nilai α -esterase larva Aedes aegypti
Kontrol
57
Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Nilai α -esterase larva Aedes aegypti (µmol/menit/mg protein) IPB RT 4 RT 5 RT 6 RT 9 0,27 0,905 1,089 1,281 1,3710 0,263 0,902 1,305 1,305 1,3740 0,261 0,99 1,098 1,280 1,4160 0,278 0,998 1,301 1,1790 1,6020 0,298 0,997 1,021 1,1550 1,8530 0,271 0,995 1,065 1,245 1,5630 0,269 0,96 1,046 1,317 1,4760 0,256 0,992 1,053 1,188 1,3740 0,267 0,948 1,080 1,259 1,4490 0,3 0,987 1,090 1,167 1,5630 0,281 0,998 1,060 1,269 1,390 0,3 0,926 1,050 1,236 1,420 0,256 0,936 1,036 1,289 1,490 0,261 0,9 1,068 1,256 1,530 0,238 0,898 1,051 1,205 1,389 0,247 0,879 1,038 1,230 1,690 0,243 0,923 1,022 1,268 1,382 0,256 0,91 1,054 1,269 1,403 0,278 0,909 1,015 1,300 1,303 0,269 0,9 1,055 1,299 1,402 0,245 0,99 1,035 1,239 1,421 0,268 0,98 1,056 1,248 1,398 0,263 0,91 1,057 1,244 1,387 0,278 0,936 1,092 1,267 1,393 0,298 0,96 1,053 1,256 1,311 0,32 0,945 1,062 1,260 1,300 0,271 0,97 1,072 1,360 1,423 0,216 0,98 1,055 1,291 1,498 0,258 0,93 1,066 1,283 1,436 0,255 0,99 1,062 1,236 1,500 0,263 0,98 1,071 1,300 1,373 0,245 0,97 1,053 1,198 1,377 0,261 0,99 1,077 1,228 1,389 0,236 0,921 1,088 1,219 1,393 0,236 0,94 1,056 1,269 1,383 0,258 0,987 1,023 1,310 1,356
Lanjutan Lampiran 5 Ulangan 37
Nilai α -esterase larva Aedes aegypti (µmol/menit/mg protein) IPB RT 4 RT 5 RT 6 RT 9 0,298 0,923 1,087 1,297 1,356
58 38 39 40 41 42 43 44 45 46
0,274 0,269 0,23 0,297 0,289 0,288 0,256 0,231 0,272
0,902 0,904 0,932 0,953 0,987 0,903 0,985 0,943 0,956
1,059 1,086 1,089 1,056 1,035 1,087 1,059 1,077 1,082
1,289 1,272 1,296 1,286 1,299 1,279 1,205 1,239 1,320
Lampiran 6. Nilai β-esterase larva Aedes aegypti Ulangan Nilai β -esterase larva Aedes aegypti (µmol/menit/mg protein)
1,379 1,365 1,409 1,388 1,379 1,409 1,356 1,329 1,346
59
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
IPB 0,006 0,011 0,01 0,04 0,022 0,044 0,029 0,04 0,041 0,039 0,025 0,028 0,032 0,041 0,029 0,038 0,03 0,029 0,027 0,032 0,032 0,031 0,033 0,033 0,041 0,035 0,032 0,033 0,029 0,031 0,033 0,028 0,029 0,033 0,041 0,029
RT4 0,072 0,082 0,075 0,071 0,064 0,055 0,058 0,055 0,078 0,061 0,086 0,082 0,081 0,086 0,088 0,073 0,076 0,078 0,081 0,083 0,063 0,066 0,071 0,068 0,072 0,068 0,074 0,083 0,087 0,085 0,089 0,089 0,079 0,077 0,081 0,081
RT 5 0,109 0,101 0,114 0,115 0,115 0,093 0,098 0,116 0,094 0,091 0,101 0,106 0,109 0,102 0,098 0,097 0,108 0,103 0,104 0,108 0,101 0,106 0,104 0,104 0,098 0,105 0,107 0,098 0,101 0,106 0,105 0,098 0,099 0,109 0,112 0,108
RT 6
RT 9 0,107 0,137 0,128 0,124 0,148 0,129 0,154 0,132 0,118 0,13 0,115 0,121 0,123 0,128 0,118 0,111 0,131 0,129 0,127 0,126 0,123 0,132 0,128 0,139 0,32 0,315 0,128 0,134 0,13 0,138 0,129 0,127 0,129 0,128 0,128 0,128
0,234 0,332 0,233 0,163 0,321 0,212 0,286 0,162 0,164 0,166 0,169 0,172 0,28 0,26 0,19 0,28 0,27 0,21 0,29 0,222 0,2 0,28 0,31 0,24 0,234 0,252 0,249 0,239 0,248 0,301 0,309 0,325 0,321 0,299 0,287 0,312
Lanjutan Lampiran 6. Ulangan 37
Nilai β -esterase larva Aedes aegypti (µmol/menit/mg protein) IPB RT4 RT 5 RT 6 RT 9 0,033 0,085 0,103 0,125 0,298
60 38 39 40 41 42 43 44 45 46
0,038 0,041 0,029 0,034 0,041 0,032 0,031 0,032 0,032
0,086 0,082 0,086 0,087 0,085 0,088 0,084 0,086 0,081
0,098 0,102 0,107 0,116 0,109 0,107 0,102 0,109 0,106
0,126 0,137 0,133 0,129 0,127 0,131 0,129 0,13 0,131
0,278 0,333 0,334 0,352 0,32 0,309 0,292 0,302 0,338
DAFTAR PUSTAKA
Brown, A.W.A.1989. Insecticide resistance in mosquioes: a pragmatic review, J Am. Mosq. Contr. Assoc. 2(2): 123-140 Brogdon, W.G. and J.C. McAllister. 1998. Insecticide resistance and vector Control emerging infectious diseases 4(4) : 605-613 Christophers, S. R. 1960. Aedes aegypti (L) The yellow Cambridge Univ. Press. London. halaman 194-527
fever
mosquito.
Cox, C. 2003. Insecticide factsheet malathion, Journal of pesticide reform. 23: 1-4 de Carvalho, M.S.L et al. 2004, Susceptibility of Aedes aegypti larvae to the insecticide temephos in the federal district, Brazil, Rev Saúde Pública 38(5): 1-6 [DEPKES] Departemen Kesehatan . 1990., Survai entomologi demam berdarah dengue Ditjen. PPM dan PLP Foley T.D. 2005 , Biochemical toxicology of insecticides: The road towards reduced-risk insecticides, Chemistry Department, University of Scranton. Gunandini, D.J. 2002.Kemampuan hidup populasi alami nyamuk Aedes aegypti (Linn.) yang diseleksi malation pada stadium larva. ITB (Desertasi S3) Gunandini, D.J dan P.B. Wicaksana. 2005. Peningkatan dan aktivitas enzim asetilkolisterase pada nyamuk Aedes aegypti (Linn.) yang diseleksi dengan malation. J. Entomol. Ind 2(2): 24-32 Hemingway J. and Ranson. 2000. Insecticide resistance in insect vector of human disease. Ann Rev. Entomol. 45:471-491 Horsfall, W.R. 1955, Mosquito their bionomics and relation to disease, The Ronald Press Co., New York, halaman 355 - 720. Hoedojo. 1993. DHFVector and Its Control efforts. Maj. Parasitol. Ind. 6(1):31-45. Jawetz, E(Edit).1982. Microbiology Lange Med. Publ. California. halaman 475532 Karunaratne. H.P.P, J. Hemingway. 2001. Malation resistance and prevalence of the malation carboxylesterase mechanism in populations of mosquito vectors of disease in Sri Lanka, Bulletin of the World Health Organization 79: 1060-1064
49
Katyal. R, P. Tewari. S.J. Rahman., H.R. Pajni., K. Kumar and K.S. Gill. 2001.Susceptibility Status of Immature and Adult Stages of Aedes aegypti Against Conventional Insecticides in Delhi, India Dengue Bulletin 25: 84-87 Kho, LK, H. Wulur Karsono A, Thaib, S. 1969 Dengue haemorrhagic fever in Djakarta. Maj Kedok Indon . 19 : 417-420. Knobler S.L., M.L. Stanley., N. Marjan., dan B. Tom. 2003, The Resistance phenomenon in microbes and infectious disease vectors. The National Academic Press. Washington. Lima .J.B.P, M.P et al. 2003 Resistance of Aedes aegypti to organophosphates in several municipalities in the State of Rio de Janeiro and Espírito Santo, Brazil. Am. J. Trop. Med. Hyg. 68(3): 329-333. Katyal, R., P. Tewari., S.J. Rahman,. H.R. Pajni., H.R., K. Kumar. K.S. Gill. 2001. Susceptibility status of immature and adult stages of Aedes aegypti against conventional insecticides in Delhi, India, Dengue Bulletin. 25: 8487. Kettle, D.S. 1984, Medical and veterinary entomology, a Wiley-Inter Science Publ, New York, halaman 99-136. Nasir. Z., I. Ishak., O. Ali. 2001. Behavioural factors influencing the dengue infection: The study among students in the higher learning institution, Malaysian Journal of Public Health Medicine, 1: 39 - 43 NPIC.2001 , Malathion (General Fact Sheet), Oregon State University Madeira. NG, C.A. Macharelli, L.R. Carvalho, L.R 2002. Variation of the Oviposition Preferences of Aedes aegypti in Function of Substratum and Humidity,. 415 Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro, 97(3): 415- 420 Mattingly, P.F, 1969. The biology of mosquito-borne disease. London, George Allen and Unwin Ltd Matsumura, F. 1989. Insect resistance to Insecticide. Pesticide Science. halaman 65-264 Metcalf, R.L. 1982 Insecticide in pest management. Wiley and Son, New York. Halaman 333-358 Mullen, G, L. Burden, 2002., Medical and verterinary entomology, Kluwer Academic Pubisher, London. halaman 16-18
50
Mukhopadhyay, A.K., S.K. Patnaik , P. Satya Babu. 2007. Susceptibility status of some culicine mosquitoes to insecticides in Rajahmundry town of Andhra Pradesh, India, J Vect Borne Dis 43:3: 39–41 Paeporn, P., K. Supaphathom, . S. Sathantriphop., P. Mukkhun and S. Sangkitporn. 2005. Insecticide susceptibility of Aedes aegypti in tsunamiaffected areas in Thailand, Dengue Bulletin 29: 210-213 Perry , AS., L. Yamamoto., I. Ishaya, I. R.Y, Perry. 1998, Insecticide in Agriculture and nvironment,.Springer, Berlin. halaman 52-63 Plapp, F.W. Jr. and T.C. Wang. 1983. Genetic origins of insecticide resistance. Inpest resistance to pesticides. Bab 2. Georghiou. G.P., T. Saito. Editor,Plenum Press, New York. halaman 47-50 Ponlawat,P., J.G, Scott., L, Harrington. 2005. Insecticide susceptibility of Aedes aegypti and Aedes albopictus across Thailand J. Med. Entomol. 42(5) 821- 825 Pratana JS., S, Tharir. 1970. Haemorhagic fevershock syndrome in Surabaya, Indonesia. Kobe J Med Sci . 16: 189-201 Rawlins, S.C. 1998. Spatial distribution of insecticide resistance in Caribbean populations of Aedes aegypti and its significance. Rev Panam Salud Publica/Pan Am J Public Health 4(4):243-251 Rabb, R.L. 1972. Principle and concept of pest management, Proc Intl. Ext. Pest Management Workshop, Perdue Univ, Lafayette Rosen L, D.A. Shroyer R.B. Tesh, J.E.Freier, J.C. Lien. 1983. Transovarial transmission of dengue viruses by mosquitoes: Aedes albopictus and Aedes aegypti. Am J. Trop.Med.Hyg. 32(5):1108 Scott, J.A (1995) The Molecular genetics of resistance: Resistance as a response to stress, Florida Entomologist 78(3): 399-414 Small, G. 1998. Genetical background of insecticide resistance, makalah dalam Molecular Entomology Workshop, Universitas Gajah Mada. Suroso, T., S.R, Hadinegoro., S, Wuryadi., G. Simanjuntak., A.I, Umuar, P.D, Pitoyo, P.D., R, Kusriartuti., A, Izhar, 2003. Pencegahan dan penanggulangan penyakit demam dengue dan demam berdarah dengue, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Subdinas Kesehatan Masyarakat. 2005, Statistika pasien penyakit menular 2005, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta
51
Subdinas Kesehatan Masyarakat. 2006, Statistika pasien penyakit menular 2006, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Subdinas Kesehatan Masyarakat. 2007, Statistika pasien penyakit menular : Data bulan Januari sampai dengan april 2007, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. [US-EPA] United State of America -Environment Protection Agency. 1997. Product chemistry chapter for the malation registration eligibility decision (RED) Document. [USA- EPA] United State of America -Environment Protection Agency. 1999, Temephos: Revised HED Chapter for the Registration Eligibility Decision (RED) Document. Wahono, T.J. 2004, “ Kajian masalah kesehatan demam berdarah dengue”, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen kesehatan RI WHO, 1976. Criteria and meaning of the test for determining the susceptibility of resistance of insecticides. WHO Tech. Report. Ser. 585. 78-83 WHO. 1981. Instructions for determining the susceptibility of adult mosquito to organochlorine, organophosphate and carbamate insecticides establishment of base line. Geneva: WHO, 1981. WHO/VBC/81.806. halaman 1 - 7 WHO. 1986. Tenth report of WHO expert commitee on vector biology and control. Geneva: WHO, Technical report series 737 WHO dan Departemen Kesehatan RI. 2003. Pencegahan dan penanggulangan penyakit demam dengue dan demam berdarah dengue. WHO. 1998, Discriminating concentration for adult mosquito-WHO /CDB/ CPC/ MAL/ 98.12 Widiarti., D. Triboenomo., U. Widyastuti, Mujiono, 2002. Uji biokimia kerentanan vektor malaria terhadap karbamat di provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Jogyakarta. Balai Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit. Balitbang Depkes