Perilaku 3M Plus Ibu Rumah Tangga dan Kondisi Lingkungan Terhadap Kepadatan Larva Aedes Aegypti di Wilayah Zona Merah Kelurahan Kebon Kacang, Jakarta Pusat Tahun 2014
SKRIPSI
DISUSUN OLEH : ILHAM EKA PRADITYA 1110101000015
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa 1.
:
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah saru persyaratan memperoleh gelar strata
I di Fakultas
Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2.
Semua sumber yang saya gunakan dalarn penelitian
ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 3.
Jika d-ikemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku
di
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, Juli 2014
Ilham Eka Praditya
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, 3 Juli 2014 Ilham Eka Praditya, NIM : 1110101000015 Perilaku 3M Plus Ibu Rumah Tangga dan Kondisi Lingkungan Terhadap Kepadatan Larva Aedes Aegypti di Wilayah Zona Merah, Kelurahan Kebon Kacang, Jakarta Pusat Tahun 2014 (xvii + 118 + Lampiran + 3 Gambar + 11 Tabel ) ABSTRAK Kelurahan Kebon Kacang merupakan salah satu wilayah di Jakarta Pusat yang berbatasan langsung dengan zona merah di Kelurahan Menteng. Zona merah adalah daerah yang dalam tiga minggu berturut-turut terdapat lebih dari sembilan penderita DBD atau ada yang meninggal akibat DBD. Vektor utama penyebaran DBD adalah nyamuk Aedes aegypti dan cara paling efektif untuk mengurangi penyebaran kasusnya adalah dengan mencegah keberadaan larvanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku 3M Plus ibu rumah tangga dan kondisi lingkungan terhadap kepadatan larva Aedes aegypti di wilayah zona merah Kelurahan Kebon Kacang. Desain yang digunakan adalah cross sectional dengan jumlah sampel sebesar 201 ibu rumah tangga di Kelurahan Kebon Kacang. Faktor yang diteliti adalah perilaku (pengetahuan, sikap, dan tindakan) 3M Plus ibu rumah tangga dan kondisi lingkungan (TPA, kelembaban udara, suhu, dan fungsi jendela). Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei – Juni 2014. Hasil penelitian terhadap perilaku 3M Plus ibu rumah tangga adalah terdapat 23,9% memiliki pengetahuan yang baik, 84,6% memiliki sikap yang baik, dan 53,7% memiliki tindakan yang baik. Kemudian, hasil penelitian terhadap kondisi lingkungan adalah terdapat 88,6% TPA yang beresiko, 40,8% suhu yang optimal untuk perkembangan larva, rata-rata kelembaban udara 36,99% dan 61,7% jendela yang tidak berfungsi dengan baik. Saran yang diberikan kepada masyarakat Kelurahan Kebon Kacang adalah untuk turut serta berperan aktif dalam melaksanakan 3M Plus secara terus menerus. Sedangkan untuk Puskesmas Tanah Abang selaku pihak kesehatan terdekat harus terus mempublikasikan 3M Plus kepada seluruh masyarakat secara rutin dan memberlakukan reward dan punishment agar masyarakat lebih aktif dan bersemangat dalam menjalankan 3M Plus. Harapannya adalah agar kepadatan larva Aedes aegypti akan berkurang serta angka kasus DBD akan turun dengan sendirinya.
Referensi : 86 (1985 - 2014)
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH ENVIRONMENTAL HEALTH Undergraduate Thesis, 3rd July 2014 (xviii + 118 pages + Attachments + 3 Pictures + 11 Tables) Ilham Eka Praditya, NIM : 1110101000015 Housewife’s 3M Plus Behavior and Environment Condition Toward The Density of Aedes Aegypti Larvae in The Red Zone, Kebon Kacang Village, Central Jakarta 2014 ABSTRACT Kebon Kacang ward is one of the area within Central Jakarta which directly adjacent to the red zone in Menteng ward. The red zone is an area that there were more than nine dengue hemorrhagic fever (DHF) patient in three weeks or any fatality because of DHF. The main vector of DHF spread was Aedes aegypti mosquitoes and the most effective way to reduce the disease is by prevent the presence of Aedes aegypti larvae. The purpose of this study was to know housewife’s 3M Plus behavior and environment condition toward the density of Aedes aegypti larvae in the red zone, Kebon Kacang village. Using a cross sectional study design, this study used 201 housewives in Kebon Kacang village as samples. The factors that investigated in this study were housewife’s 3M Plus behavior (knowledge, attitude, and action) and the condition of the environment (the condition of the containers, air humidity, temperature, and window function). Data collection was done by May – June 2014. The result about 3M Plus showed there were 23,9% housewives had a good knowledge, 84,6% had a good attitude, and 53,7% had a good action. Then, there were 88,6% had containers that can be potential to the development of Aedes aegypti larvae, 40,8% had optimal temperature, had 36,99% average of air humidity and 61,7% had window that wasn’t in its function. The suggestion to all communities in Kebon Kacang ward is to take an active role doing 3M Plus continuously. While the suggestion for Puskemas Tanah Abang as a health committee is doing a non-stop publication about 3M Plus and imposing a reward and punishment so that all people will take an active role and has spirit doing 3M Plus. The hopes are the density of Aedes aegypti larvae and the DHF cases will reduce by themselves.
References : 86 (1985 – 2014)
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP IDENTITAS PERSONAL NAMA
:
ILHAM EKA PRADITYA
ALAMAT ASAL :
JL. KEBON KACANG 41 NO. 10 RT/RW 001/008 TANAH ABANG,
JAKARTA PUSAT, 10240
ALAMAT KOST :
JL. LEGOSO RAYA NO. 10 RT/RW 004/011 PISANGAN, CIPUTAT
TIMUR, TANGERANG SELATAN, 15419
TTL
:
PURBALINGGA, 4 OKTOBER 1991
JENIS KELAMIN :
PRIA
AGAMA
ISLAM
:
GOL. DARAH :
O
NO. HP
:
081289177573
EMAIL
:
[email protected]
PENDIDIKAN FORMAL ♦ 2010 -‐ 2014 UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
♦ 2006 -‐ 2009 SMAN 35 JAKARTA ♦ 2003 -‐ 2006 SLTPI AL-‐AZHAR 4 KEMANDORAN ♦ 1997 -‐ 2003 SDI AL-‐AZHAR 5 KEMANDORAN
vi
PELATIHAN 2011
:
RESEARCH TRAINING (1ST INDONESIAN PUBLIC HEALTH STUDENT
SUMMIT)
2011
:
LEADERSHIP TRAINING (ESQ LEADERSHIP TRAINING)
2011
:
SCHOLARSHIP EDUCATION TRAINING (INTERNATIONAL
SCHOLARSHIP EDUCATION EXPO)
PENGALAMAN ORGANISASI 2006-‐2008 :
ANGGOTA PASKIBRA SMAN 35 JAKARTA
2007-‐2008 :
KETUA EKSKUL BASKET SMAN 35 JAKARTA
2011
:
STAFF DEPARTEMEN PENELITIAN, PENDIDIKAN, DAN KEILMUAN
PAMI (PERGERAKAN ANGGOTA MUDA IAKMI) JAKARTA RAYA
2012-‐2013 :
SEKRETARIS JENDRAL PAMI (PERGERAKAN ANGGOTA MUDA
IAKMI) JAKARTA RAYA
2012-‐2013 :
ANGGOTA AKTIF ACIKITA (AKU CINTA INDONESIA KITA)
FOUNDATION
2013-‐2014 :
KETUA ENVIHSA (ENVIRONMENTAL HEALTH STUDENT
ASSOCIATION) UIN JAKARTA
vii
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmaanirrahiim Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas rahmatnya telah mendorong saya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perilaku 3M Plus Ibu Rumah Tangga dan Kondisi Lingkungan Terhadap Kepadatan Larva Aedes Aegypti di Wilayah Zona Merah, Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014”. Shalawat serta salam selalu terjunjung kepada Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan akan iman dan pengetahuan ke zaman yang terang benderang. Saya sebagai Penulis sangat sadar akan banyaknya keterbatasan dalam penulisan serta dalam penyusunan skripsi ini. Saya mengucapkan kepada berbagai pihak atas segala dukungan, dorongan, bantuan, serta keikhlasannya, kepada : 1.
Pimpinan dan staff Fakultas dan Program Studi Kesehatan Masyarakat serta Peminatan Kesehatan Lingkungan atas dukungan dan bantuannya dalam proses penyusunan skripsi.
2.
Ibu Febrianti, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes dan Ibu Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D selaku Dosen Pembimbing I dan II, atas segala dukungan, saran, kritik, semangat, kepercayaan yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
4.
Ibu Yuli selaku bagian dari Departemen Kesehatan Lingkungan di Puskesmas Tanah Abang yang telah membantu dan memberikan dorongan selama pencarian data di Kelurahan Kebon Kacang.
5.
Para Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat terutama dosen peminatan Kesehatan Lingkungan, atas segala ilmu dan bimbingan yang telah diberikan.
viii
6.
Seluruh rekan-rekan seperjuangan di Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN 2010 dan utamanya Kesehatan Lingkungan 2010 (Angger, Akbar, Febri, Faradillah, Alya, Ifa, Reka, Annis, Fitri, Yuni, Rizka, Tuti, Nida, dan Elfira) atas dukungan, senyuman, saran, dan doa yang tiada henti menemani perjalanan penyusunan skripsi ini. Terima kasih untuk semuanya!
7.
Keluarga besar ENVIHSA UIN yang tercinta. Mereka alasan utama untuk tetap semangat dan giat mengejar cita-cita, tetap tersenyum lebar di kala semangat memudar, serta dukungan serta doa yang tak pernah henti. Terima kasih, kalian luar biasa! I am nothing without them.
8.
Nabila Dewi Ichsani atas dorongan, semangat, dan segalanya selama penyusunan skripsi ini.
9.
Sahabat super di kampus Misyka Nadziratul Haq, Agung Raharjo, dan Fuad Hilmi Sudasman yang membuat kehidupan kampus menjadi tidak biasa.
10.
Dhayfi Lutfina, Atika Fitriani, Bayu Tripratomo, Chairul Anam, dan Haulussy Melkianus. True friends are very difficult to find, hard to leave, and impossible to forget.
11.
Terakhir dan menjadi yang paling penting adalah untuk kedua orang tua dan segenap keluarga yang mendukung, mendoakan, serta mencurahkan segalanya setiap saat. Alm. Bapak, Mama, Papa, Ibnu, Intan, Irdina, dan Irsyad. Terima kasih banyak! They are my world.
Akhir kata, sungguh segala sesuatu hanya milik Allah SWT dan sebagai hamba yang dhaif tentu segala kekurangan dan kesalahan datangnya dari Penulis. Kritik dan saran sangat dinantikan oleh Penulis agar bisa menjadi perbaikan di masa yang akan datang.
Jakarta, Juli 2014
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN…………………………..…………………………..ii ABSTRAK…………………………………………..…………………………...iii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING…...……..……………………….v DAFTAR RIWAYAT HIDUP………………………………………………….vi KATA PENGANTAR…………..……………………………………………..viii DAFTAR ISI…………………..…………………………………………………x DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………xv DAFTAR TABEL…………....………………………………………………...xvi DAFTAR LAMPIRAN…..…………………………………………………..xviii BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang ............................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah....................................................................................... 6 1.3. Pertanyaan Penelitian .................................................................................... 7 1.4. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 7 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................. 8 1.6. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 9 BAB II Tinjauan Pustaka 2.1. Demam Berdarah Dengue ........................................................................... 10 2.1.1. Pengertian Demam Berdarah Dengue .................................................... 10 2.1.2. Penularan Demam Berdarah Dengue ..................................................... 10 2.1.3. Tempat Penularan ..................................................................................... 11 2.1.4. Tanda dan Gejala ...................................................................................... 12 2.1.5. Pencegahan ................................................................................................ 12
x
2.1.6. Faktor Kejadian ........................................................................................ 14 2.2. Siklus Hidup Aedes aegypti .......................................................................... 17 2.2.1. Telur ........................................................................................................... 17 2.2.2. Larva .......................................................................................................... 17 2.2.3. Pupa ............................................................................................................ 18 2.2.4. Nyamuk ...................................................................................................... 18 2.3. Angka Kepadatan Aedes aegypti ................................................................ 20 2.4. Pemberantasan Nyamuk ............................................................................. 23 2.5. Lingkungan ................................................................................................... 26 2.5.1. Tempat Penampungan Air ....................................................................... 27 2.5.2. Kelembaban Udara ................................................................................... 27 2.5.3. Suhu ............................................................................................................ 27 2.5.4. Jendela ........................................................................................................ 28 2.6. Perilaku ......................................................................................................... 28 2.6.1. Pengetahuan............................................................................................... 29 2.6.2. Sikap ........................................................................................................... 30 2.6.3. Tindakan .................................................................................................... 30 2.7. Kerangka Teori ............................................................................................ 32 BAB III Kerangka Konsep ................................................................................. 34 3.1. Kerangka Konsep ......................................................................................... 34 3.2. Definisi Operasional ..................................................................................... 35 BAB IV Metodologi Penelitian ........................................................................... 40 4.1. Desain Penelitian .......................................................................................... 40
xi
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................... 40 4.3. Populasi dan Sampel Penelitian .................................................................. 40 4.4. Besar Sampel ................................................................................................ 41 4.5. Teknik Pengambilan Sampel ...................................................................... 43 4.6. Pengumpulan Data ....................................................................................... 44 4.6.1. Sumber Data .............................................................................................. 44 4.6.2. Metode ........................................................................................................ 44 4.6.3. Instrumen Penelitian ................................................................................. 45 4.7. Pengolahan dan Analisis Data..................................................................... 50 BAB V Hasil ......................................................................................................... 50 5.1. Kondisi Geografis Kelurahan Kebon Kacang ........................................... 50 5.2. Kondisi Demografis Kelurahan Kebon Kacang ........................................ 53 5.3. Wawancara Tokoh Masyarakat ................................................................. 54 5.4. Kepadatan dan Persebaran Larva Aedes aegypti ...................................... 55 5.5. Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan 3M Plus Ibu Rumah Tangga .......... 57 5.6. Kondisi Lingkungan..................................................................................... 58 5.7. Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan 3M Plus ............................................................................................... 59 5.7. Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Kondisi Lingkungan .............. 62 BAB VI Pembahasan .......................................................................................... 64 6.1. Keterbatasan Penelitian............................................................................... 64 6.2. Kepadatan dan Persebaran Larva Aedes aegypti ...................................... 65 6.3. Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan 3M Plus Ibu Rumah Tangga .......... 68
xii
6.3.1. Pengetahuan 3M Plus Ibu Rumah Tangga ............................................. 69 6.3.2. Sikap 3M Plus Ibu Rumah Tangga ........................................................ 70 6.3.3. Tindakan 3M Plus Ibu Rumah Tangga ................................................. 71 6.4. Kondisi Lingkungan..................................................................................... 71 6.4.1. TPA ............................................................................................................. 71 6.4.2. Kelembaban Udara ................................................................................... 72 6.4.3. Suhu ............................................................................................................ 73 6.4.4. Fungsi Jendela ........................................................................................... 73 6.5. Kepadatan Larva Aedes aegypti Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan 3M Plus ....................................................................................................................... 74 6.5.1. Kepadatan larva Aedes aegypti menurut pengetahuan 3M Plus .......... 74 6.5.2. Kepadatan larva Aedes aegypti menurut sikap 3M Plus ....................... 76 6.5.3. Kepadatan larva Aedes aegypti menurut tindakan 3M Plus ................ 77 6.6. Kepadatan Larva Aedes aegypti menurut kondisi lingkungan ................ 79 6.6.1. Kepadatan Larva Aedes aegypti menurut kondisi TPA......................... 79 6.6.2. Kepadatan Larva Aedes aegypti menurut kelembaban udara .............. 80 6.6.3. Kepadatan Larva Aedes aegypti menurut suhu ...................................... 82 6.6.4. Kepadatan Larva Aedes aegypti menurut fungsi jendela ...................... 83 BAB VII Simpulan dan Saran ........................................................................... 86 7.1. Simpulan ....................................................................................................... 86 7.2. Saran.............................................................................................................. 87 7.2.1. Ibu Rumah Tangga ................................................................................... 87 7.2.2. Puskesmas Tanah Abang .......................................................................... 87
xiii
7.2.3. Peneliti Lain ............................................................................................... 88 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 89 Lampiran ............................................................................................................. 97
xiv
Daftar Gambar Gambar 2.1. Kerangka Teori ............................................................................. 33 Gambar 3.1. Kerangka Konsep ......................................................................... 34 Gambar 5.1. Wilayah dan Batas-batas Kelurahan Kebon Kacang................ 53
xv
Daftar Tabel Tabel 4.1. Jumlah Sampel .................................................................................. 41 Tabel 4.2. Jumlah Sampel Per RW.................................................................... 42 Tabel 4.3. Hasil Uji Validitas Pengetahuan 3M Plus ....................................... 46 Tabel 4.4. Hasil Uji Validitas Sikap 3M Plus.................................................... 47 Tabel 4.5. Hasil Uji Validitas Tindakan 3M Plus ............................................. 48 Tabel 4.6. Hasil Uji Realibilitas ......................................................................... 49 Tabel 5.1. Kepadatan dan Persebaran Aedes aegypti di Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014 ............................................................................................ 56 Tabel 5.2. Perilaku 3M Plus Ibu Rumah Tangga Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014 .......................................................................................................... 57 Tabel 5.3. Kondisi Lingkungan di Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014 .. 58 Tabel 5.4. Distribusi Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Kepadatan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014 ..................... 60 Tabel 5.5. Distribusi Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Kondisi Lingkungan di Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014 .................................. 62
xvi
Daftar Lampiran
1.
Kuesioner Penelitian
2.
Uji Validitas Kuesioner
3.
Uji Realibilitas Kuesioner
4.
Output Univariat
5.
Pedoman Wawancara
xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang World Health Organization (WHO) memperkirakan penduduk yang terkena DBD telah meningkat selama 50 tahun terakhir. Insiden DBD terjadi baik di daerah tropik maupun subtropik wilayah urban, menyerang lebih dari 100 juta penduduk tiap tahun, termasuk 500.000 kasus DBD dan sekitar 30.000 kematian terutama pada anak-anak dan menjadi endemik di 100 negara termasuk Asia. Perubahan kondisi lingkungan merupakan variabel utama penyebab meluasnya kasus DBD di berbagai belahan dunia (Achmadi, 2010). Belakangan ini memang terjadi peningkatan epidemik DBD di seluruh dunia terutama pada anak-anak yang sering terjadi di negara kawasan Asia Tenggara (Soedarmo, 2010). Selama ini, vektor DBD yang dikenal di Indonesia adalah Aedes aegypti dan Aedes albopictus namun sampai saat ini Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit tersebut. Vektor ini, secara biologis dan bionomiknya selalu berdekatan dan berhubungan dengan kehidupan manusia (Sukana, 1993). Selain itu WHO (1982), menyatakan untuk mengendalikan populasi Aedes aegypti terutama dilakukan dengan cara pengelolaan lingkungan (environtmental management). Pengelolaan sanitasi lingkungan yang dapat diterapkan di masyarakat dalam rangka menekan sumber habitat larva Aedes aegypti antara lain : perbaikan
1
penyediaan air bersih, perbaikan pengelolaan sampah padat, pengubahan tempat perkembangbiakan buatan manusia dan perbaikan desain rumah. Aktivitas semacam itu dapat diterapkan pada tempat dimana penyakit dengue bersifat endemik (WHO, 2001). Depkes RI, (2000), juga menyatakan
bahwa
keberhasilan
upaya
penyehatan
lingkungan
perumahan/tempat-tempat umum (dalam indikator “Indonesia Sehat 2010”), dapat dilihat dari pencapaian cakupan angka bebas jentik minimal 95%. Insiden DBD ini erat kaitannya dengan cuaca dan mencapai puncaknya pada awal dan akhir musim hujan (Iriani, 2012). Dewasa ini, iklim juga tidak dapat diprediksi akibat perubahan iklim global sehingga perlu penelitian untuk mengetahui trend DBD di Jakarta sepanjang tahun. Selain itu, Jakarta tetap harus waspada karena DBD pada umumnya terjadi dan penyebarannya dipengaruhi oleh tingkat urbanisasi serta tingginya lalu lintas manusia (Sanofi Pasteur, 2013). Jumlah penderita DBD terus meningkat pada tahun 2008 dilaporkan 27.400 penderita DBD dan 28 orang diantaranya meninggal dunia (Depkes RI, 2006). Jakarta, sebagai ibukota Indonesia, merupakan wilayah dengan DBD sebagai masalah kesehatan masyarakat yang paling utama. Jumlah kejadian DBD paling serius memang terjadi di Provinsi Jakarta dengan 2768 kasus (Sungka dkk, 2006). Jakarta Pusat merupakan salah satu wilayah yang paling banyak mempunyai zona merah. Zona merah adalah daerah yang dalam tiga
2
minggu berturut-turut terdapat lebih dari sembilan penderita DBD atau ada yang meninggal akibat DBD. Di Jakarta Pusat terdapat 44 kelurahan dan sembilan diantaranya merupakan zona merah. Hal tersebut hanya lebih baik dari Jakarta Timur yang mempunyai sebelas zona merah di wilayah tersebut (Pujiastuti, 2009). Sembilan kelurahan di Jakarta Pusat yang tergolong zona merah DBD adalah Kelurahan Cempaka Putih Barat, Rawasari, Galur, Johar Baru, Serdang, Sumur Batu, Menteng, dan Kramat (Pujiastuti, 2009). Kelurahan Kebon Kacang terletak di dekat Kelurahan Menteng yang sudah disebutkan menjadi salah satu wilayah yang tergolong zona merah. Tingginya lalu lintas manusia juga diketahui menjadi salah satu penyebab penyebaran kasus DBD (Tjokronegoro, 2005). Hal tersebut kemudian menjadi alasan masih adanya kasus DBD yang terjadi di Kelurahan Kebon Kacang. Jumlah kasus DBD berturut-turut di Kelurahan Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang dari tahun 2010-2013 adalah sebesar 57, 6, 17, dan 5 (Laporan Tahunan Puskesmas Kecamatan Tanah Abang, 2010-2013). Padahal angka bebas jentik (ABJ) di Kelurahan Kebon Kacang pada tahun 2011-2013 adalah 99,38%, 95,5%, dan 99,5% (Bagian Kesehatan Lingkungan Puskesmas Tanah Abang, 2011-2013). Angka tersebut lebih tinggi dari anjuran ABJ dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia yakni 95%. Tetapi, pada kenyataannya masih ditemukan kasus DBD di wilayah tersebut setiap tahunnya.
3
Suatu daerah dinyatakan mempunyai resiko penularan DBD yang tinggi jika container index ≥ 5%, house index ≥ 10%, dan breteu index > 50 (Ramadhani, Astuty, 2009). Indikator tersebut merupakan gambaran keberadaan jentik nyamuk di rumah penduduk dan di tempat penampungan airnya. Khusus untuk breteu index, indikator ini merupakan jumlah akumulasi dari keberadaan jentik nyamuk dalam 100 rumah (Depkes RI, 1998). Dari data di atas maka perlu dilakukan pemberantasan DBD dengan mencegah perkembangan larvanya yaitu dengan melakukan program 3M Plus (Rini dkk, 2012). 3M Plus adalah program yang berisi kegiatan berupa ; menguras tempat penampungan air, menutup rapat tempat penampungan air, mengubur dan menyingkirkan barang bekas, dan pengelolaan lingkungan berlanjut seperti meningkatkan kesadaran akan kebersihan lingkungan dan sebagainya (Ditjen P2P dan PL, Depkes RI, 2008). Semakin tinggi kesadaran masyarakat untuk melakukan 3M Plus dan kesadaran mengelola lingkungan, kasus DBD akan menurun dengan sendirinya (Ulumuddin, 2010). Seperti yang sudah kita ketahui bahwa siklus hidup nyamuk Aedes aegypti adalah 10 hari dari telur hingga dewasa. Jadi, jika Pemberantas Sarang Nyamuk (PSN) dilakukan seminggu satu kali sudah pasti akan memutus siklus hidup nyamuk. Cara yang dapat dilakukan dalam memberantas sarang nyamuk adalah dengan cara mengaplikasikan metode
4
3M plus, yakni menguras, menutup, mengubur barang bekas, dan pengelolaan lingkungan (Amin, 2013). Sasaran pemberantasan sarang nyamuk DBD yaitu semua tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti seperti ; tempat penampungan air (TPA untuk keperluan sehari-hari, tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari, dan tempat penampung air alamiah). Sedangkan ukuran keberhasilan PSN DBD dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) yang apabila ABJ bernilai sama dengan 95%, diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi (Depkes RI, 2005). Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa perlu melakukan penelitian untuk menganalisis perilaku 3M plus (menguras, menutup, mengubur, dan pengelolaan lingkungan) ibu rumah tangga dan kondisi lingkungan terhadap kepadatan larva Aedes aegypti di wilayah Kelurahan Kebon Kacang, Jakarta Pusat. Hal tersebut dikarenakan bahwa nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit DBD (Sukana, 1993) dan cara paling ampuh untuk memberantas penyakit tersebut adalah dengan memberantas larva Aedes aegypti di tempat perkembang biakannya (Ganie, 2009). Alasan pemilihan lokasi penelitian adalah salah satu zona merah yang disebutkan di atas (Kelurahan Menteng) berbatasan dengan Kelurahan Kebon Kacang. Jumlah kasus yang masih fluktuatif dari dari empat tahun terakhir di Kelurahan Kebon Kacang juga menjadi alasan kuat untuk melakukan penelitian di lokasi ini.
5
1.2.
Perumusan Masalah Kasus DBD di Kelurahan Kebon Kacang erat kaitannya dengan kepadatan larva Aedes aegypti yang diketahui akan berkembang sebagai vektor utama penyakit DBD. Perilaku 3M plus sebagai bagian dari pencegahan penyakit ini yang mencakup sikap, tindakan dan pengetahuan ibu rumah tangga di wilayah penelitian juga dilihat. Kelurahan Kebon Kacang, yang berdekatan dengan Kelurahan Menteng (salah satu Kelurahan dengan zona merah DBD di Jakarta Pusat), memiliki potensi untuk turut serta dalam penyebaran kasus DBD yang dikarenakan tingginya lalu lintas manusia. Jumlah kasus yang masih fluktuatif dari dari empat tahun terakhir di Kelurahan Kebon Kacang menjadi alasan kuat untuk melakukan penelitian di lokasi ini. Jumlah kasus DBD berturut-turut di Kelurahan Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang dari tahun 2010-2013 adalah sebesar 57, 6, 17, dan 5 (Laporan Tahunan Puskesmas Kecamatan Tanah Abang, 2010-2013). Kemudian, angka bebas jentik (ABJ) yang sebesar 95,5% (Bagian Kesehatan Lingkungan Puskesmas Tanah Abang, 2012) dan melebihi target dari nilai ABJ Departemen Kesehatan Republik Indonesia tidak diikuti dengan tidak ditemukannya kasus DBD di Kelurahan Kebon Kacang. Cara yang dilakukan untuk melakukan penelitian ini adalah dengan cara melihat perilaku 3M Plus ibu rumah
6
tangga dan kondisi lingkungan untuk mengetahui kepadatan larva Aedes aegypti yang berkaitan erat dengan penyakit DBD.
1.3.
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, pertanyaan penelitian yang diajukan dan diharapkan dapat dijawab dengan penelitian ini, yaitu: 1.
Berapa kepadatan larva Aedes aegepty di wilayah Kelurahan Kebon Kacang?
2.
Bagaimana pengetahuan, sikap, dan tindakan ibu rumah tangga mengenai 3M plus?
3.
Bagaimana kondisi lingkungan (kondisi tempat penampungan air (TPA), suhu, kelembaban udara, dan fungsi jendela suatu rumah) di wilayah zona merah Kelurahan Kebon Kacang?
4.
Bagaimana kepadatan larva Aedes aegypti menurut perilaku 3M Plus ibu rumah tangga dan kondisi lingkungan?
1.4.
Tujuan Penelitian Berdasarkan dengan masalah di atas, penelitian ini memiliki tujuan yaitu: 1.4.1 Tujuan Umum Untuk melihat perilaku 3M Plus ibu rumah tangga dan kondisi lingkungan terhadap kepadatan larva Aedes aegepty di wilayah Kelurahan Kebon Kacang, Jakarta Pusat periode 2014.
7
1.4.2. Tujuan Khusus 1.
Mengetahui kepadatan larva Aedes aegypti di wilayah zona merah Kelurahan Kebon Kacang
2.
Mengetahui pengetahuan, sikap, dan tindakan ibu rumah tangga mengenai 3M Plus
3.
Mengetahui kondisi lingkungan (keberadaan dan kondisi tempat
penampungan
air,
suhu
di
sekitar
tempat
penampungan air, kelembaban udara di sekitar tempat penampungan air, dan fungsi jendela suatu rumah) 4.
Mengetahui kepadatan larva Aedes aegypti menurut perilaku 3M Plus ibu rumah tangga dan kondisi lingkungan.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan analisis perilaku 3M plus ibu rumah tangga dan kondisi lingkungan terhadap kepadatan larva Aedes aegepty di wilayah zona merah Kelurahan Kebon Kacang, Jakarta Pusat. Populasi dari penelitian ini adalah ibu rumah tangga sebagai pengelola di dalam rumah tangga. Ibu rumah tangga dinilai memiliki peran paling penting dalam melakukan pengelolaan lingkungan di sekitar rumahnya. Perilaku 3M plus yang di dalamnya terdapat pengetahuan, sikap, dan tindakan juga dinilai dengan skoring sesuai pertanyaan yang ada di kuesioner. Data
8
kepadatan jentik akan dinilai dengan observasi langsung menggunakan senter lampu. Pengumpulan data tersebut akan diambil langsung oleh peneliti dan akan dilakukan selama bulan Mei - Juni 2014.
1.6.
Manfaat Penelitian 1.6.1. Masyarakat Kelurahan Kebon Kacang Penelian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya perilaku 3M plus sebagai program pengendalian penyakit DBD. Dari hal tersebut harapannya adalah kasus DBD akan turun atau bahkan segera menghilang. 1.6.2. Peneliti Untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang DBD serta merupakan syarat kelulusan Sarjana Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1.6.3. Peneliti lain Dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Demam Berdarah Dengue (DBD)
2.1.1. Pengertian Demam Berdarah Dengue Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang di sebabkan oleh infeksi virus DEN-1, DE-2, DEN-3, atau DEN-4 yang di tularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang sebelumnya telah terinfeksi virus Dengue dari penderita DBD lainnya (Ginanjar, 2008). Demam dengue (DD) adalah penyakit fibris–virus akut, sering kali di sertai dengan sakit kepala, nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam dan leukopenia sebagai gejalanya. demam berdarah dengue (DBD) di tandai oleh empat manifestasi klinis utama demam tinggi, fenomena hemoragik, sering dengan hepatomegali dan pada kasus berat, tanda-tanda kegagalan sirkulasi, pasien ini dapat mengalami syok hipovolemik yang diakibatkan oleh kebocoran plasma (WHO, 1999). 2.1.2. Penularan Demam Berdarah Dengue Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus betina. Cara penularan penyakit DBD adalah melalui gigitan nyamuk Aedes sp. yang mengigit penderita DBD kemudian ditularkan kepada orang sehat. Orang yang beresiko terkena demam
10
berdarah adalah anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun, dan sebagian besar tinggal di lingkungan lembab, serta daerah pinggiran kumuh. Penyakit DBD sering terjadi di daerah tropis, dan muncul pada musim penghujan. Virus ini kemungkinan muncul akibat pengaruh musim/alam serta perilaku manusia. Karena nyamuk yang menggigit orang yang darahnya mengandung virus dengue, sepanjang nyamuk tersebut hidup akan tetap mengandung virus dengue dan setiap saat dapat ditularkan kepada orang lain melalui gigitannya pula (menggigit pada siang hari) (Wahono, 2004). 2.1.3. Tempat Penularan Penularan DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya. Tempat potensial untuk terjadi penularan DBD adalah (Depkes RI, 1992) : 1.
Wilayah yang banyak kasus DBD (endemis)
2.
Tempat-tempat umum yang menjadi tempat berkumpulnya orangorang yang datang dari berbagai wilayah. Tempat-tempat tersebut antara lain :
•
Sekolah, karena anak/murid sekolah berasal dari berbagai wilayah selain itu merupakan kelompok umur yang paling susceptible terserang DBD
•
Rumah sakit/puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya.
11
Karena dalam hal ini orang yang datang dari berbagai wilayan dan kemungkinan diantaranya adalah penderita DBD atau carier virus dengue •
Tempat umum lainnya seperti : hotel, pertokoan, pasar, restoran,
dan tempat ibadah 2.1.4. Tanda dan Gejala DBD Pada umumnya penderita DBD dikenal dengan gejala bintik-bintik atau ruam merah pada kulit yang apabila diregangkan malah terlihat jelas bintik-bintiknya. Hal itu memang menjadi salah satu tanda bahwa telah tergigit nyamuk Aedes aegepty. Untuk lebih waspada dan menindaklanjuti kasus DBD, berikut beberapa gejala DBD : 1.
Demam
Penyakit ini didahului oleh demam tinggi yang mendadak, terus menerus berlangsung 2-7 hari. Panas dapat turun pada hari ke-3 yang kemudian naik lagi, dan pada hari ke-6 atau ke-7 mendadak turun. Jika digambarkan, maka grafiknya menyerupai pelana kuda (Depkes RI, 2005).
2.1.5. Pencegahan DBD Pencegahan utama demam berdarah terletak pada menghapuskan atau mengurangi vektor nyamuk demam berdarah yaitu Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu :
12
1) Lingkungan Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah. Sebagai contoh : menguras bak mandi / penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu, mengubur kaleng-kaleng dan ban-ban bekas, menutup dengan rapat bak penampungan air, dan mengganti/menguras vas bunga / tempat minum burung seminggu sekali (Ditjen P2MPL, 2000). 2) Biologi Yaitu berupa intervensi yang dilakukan dengan memanfaatkan musuhmusuh (predator) nyamuk yang ada di alam seperti ikan pemakan jentik (ikan cupang, dll), dan bakteri (Ditjen P2MPL, 2000). 3) Kimiawi Yaitu berupa pengendalian vektor dengan bahan kimia, baik bahan kimia sebagai racun, bahan penghambat pertumbuhan, dan sebagai hormon. Penggunaan
bahan
mempertimbangkan
kimia kerentanan
untuk
pengendalian
terhadap
pestisida,
vektor bisa
harus diterima
masyarakat, aman terhadap manusia dan organisme lain. Caranya adalah : a) pengasapan/fogging , b) memberi bubuk abate pada tempat-tempat penampungan air seperti gentong, vas bunga, kolam, dan lain-lain (Ditjen P2MPL, 2000).
13
4) Terpadu Langkah ini tidak lain merupakan aplikasi dari ketiga cara yang dilakukan secara tepat/terpadu dan kerja sama lintas program maupun lintas sektoral dan peran serta masyarakat. Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan “3M Plus”, yaitu menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dll sesuai dengan kondisi setempat (Ditjen P2MPL, 2000).
2.1.6 Faktor Kejadian DBD Menurut Sari (2005) menyatakan bahwa faktor- faktor yang terkait dalam penularan DBD pada manusia adalah : 1)
Kepadatan penduduk, lebih padat lebih mudah untuk terjadi penularan DBD, oleh karena jarak terbang nyamuk diperkirakan 50 meter.
2)
Mobilitas penduduk, memudakan penularan dari suatu tempat ke tempat lain.
3)
Kualitas perumahan, jarak antar rumah, pencahayaan, bentuk rumah, bahan bangunan akan mempengaruhi penularan. Bila di suatu rumah ada nyamuk penularnya maka akan menularkan penyakit di orang
14
yang tinggal di rumah tersebut, di rumah sekitarnya yang berada dalam jarak terbang nyamuk dan orang-orang yang berkunjung kerumah itu. 4)
Pendidikan, akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan penyuluhan dan cara pemberantasan yang dilakukan.
5)
Penghasilan, akan mempengaruhi kunjungan untuk berobat ke puskesmas atau rumah sakit.
6)
Mata pencaharian, mempengaruhi penghasilan
7)
Sikap hidup, kalau rajin dan senang akan kebersihan dan cepat tanggap dalam masalah akan mengurangi resiko ketularan penyakit.
8)
Perkumpulan yang ada, bisa digunakan untuk sarana PKM
9)
Golongan umur, akan memperngaruhi penularan penyakit. Lebih banyak golongan umur kurang dari 15 tahun berarti peluang untuk sakit DBD lebih besar.
10) Suku bangsa, tiap suku bangsa mempunyai kebiasaannya masingmasing, hal ini juga mempengaruhi penularan DBD. 11)
Kerentanan terhadap penyakit, tiap individu mempunyai kerentanan tertentu
terhadap penyakit, kekuatan dalam tubuhnya tidak sama
dalam menghadapi suatu penyakit, ada yang mudah kena penyakit, ada yang tahan terhadap penyakit. Sedangkan faktor yang dianggap dapat memicu kejadian DBD adalah : 1)
Lingkungan. Perubahan suhu, kelembaban nisbi, dan curah
hujan mengakibatkan nyamuk lebih sering bertelur sehingga vektor
15
penular penyakit bertambah dan virus dengue berkembang lebih ganas. Siklus perkawinan dan pertumbuhan nyamuk dari telur menjadi larva dan nyamuk dewasa akan dipersingkat sehingga jumlah populasi akan cepat sekali naik. Keberadaan penampungan air artifisial/ kontainer seperti bak mandi, vas bunga, drum, kaleng bekas, dan lainlain akan memperbanyak tempat bertelur nyamuk. Penelitian oleh Ririh dan Anny (2005) tentang “Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer, dan Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes Aegypti di Daerah Endemis Surabaya” menunjukkan bahwa ada hubungan antara kelembaban, tipe kontainer, dan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan jentik nyamuk Aedes Aegypti. 2)
Perilaku. Kurangnya perhatian sebagian masyarakat terhadap
kebersihan lingkungan tempat tinggal, sehingga terjadi genangan air yang menyebabkan berkembangnya nyamuk. Kurang baik perilaku masyarakat terhadap PSN (mengubur, menutup penampungan air), urbanisasi yang cepat, transportasi yang makin baik, mobilitas manusia antar daerah, kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan, dan kebiasaan berada di dalam rumah pada waktu siang hari (Sari, 2005).
16
2.2. Siklus Hidup Aedes Aegypti 2.2.1. Telur Telur Aedes aegypti berbentuk lonjong dengan panjang kira-kira 0,6 mm. Saat diletakkan telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam dalam 40 menit. Sekali bertelur jumlah telurnya dapat mencapai 100-300 butir, rata-rata 300 butir. Frekuensi nyamuk betina bertelur yaitu setiap dua atau tiga hari. Selama hidupnya, nyamuk betina dapat bertelur lima kali. Jumlah telur yang dihasilkan tergantung dari banyak darah yang dihisapnya. Telur diletakkan satu persatu pada dinding tempat air atau pada benda yang terapung di permukaan air yang terlindung dari cahaya matahari langsung. Tidak seperti spesies lain, tidak semua telur langsung diletakkan. Semua telur diletakkan dalam beberapa jam sampai hari. Pada iklim yang hangat, telur dapat bertumbuh dan berkembang dalam dua hari, namun pada iklim yang
sejuk
dapat
mencapai
waktu
satu
minggu.
Telur tersebut dapat menetas beberapa saat setelah terkena air hingga dua sampai tiga hari setelah berada di air (Depkes RI, 2004). 2.2.2. Larva Larva terdiri dari kepala, toraks, dan abdomen, serta ada corong udara dengan pekten dan sekelompok bulu-bulu. Sepanjang hidupnya, larva kebanyakan berdiam di permukaan air walaupun mereka akan berenang ke dasar kontainer jika terganggu terdahap rangsang getaran dan cahaya atau sedang mencari makanan. Pada waktu istirahat, larva membentuk sudut dengan permukaan air (Depkes RI, 2004).
17
Umur rata-rata pertumbuhan mulai jentik sampai menjadi pupa berkisar antara 8-14 hari. Larva mengalami empat masa pertumbuhan (instar) yaitu instar I sampai instar IV. Perkembangan larva tergantung pada suhu sekitarnya. Jika suhunya sejuk, larva Aedes aegypti dapat bertahan hingga berbulan-bulan selama ada air yang cukup. Perkembangan instar I sampai menjadi instar III hanya sebentar, dan kira-kira 3 hari pada tahap instar IV. Instar IV mencapai panjang 8 mm. Perbedaan masing-masing instar tersebut adalah ukurannya dan kelengkapan bulunya. Tiap kali larva mengalami pergantian instar disertai dengan pergantian kulit. Nyamuk jantan tumbuh lebih cepat dari jetina. Larva banyak dijumpai pada genangan air di tempat tertentu (drum, bak, tempayan, kaleng bekas, pelepah pohon, objek apapun yang dapat menampung air) (Hu, 2012). 2.2.3. Pupa Setelah menjadi instar IV, larva memasuki tahap menjadi pupa. Berbeda dengan larva, pupa terdiri atas sefalotoraks, abdomen, dan kaki pengayuh. Terdapat sepasang corong pernafasan berbentuk segitiga pada sefalotoraks dan kaki pengayuh yang lurus dan runcing terdapat pada distal abdomen (Sungkar, 2002). 2.2.4. Nyamuk Nyamuk
Aedes aegypti dewasa
berukuran
lebih
kecil
jika
dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain. Nyamuk ini mempunyai dasar hitam dengan bintik- bintik putih pada bagian badan, kaki, dan sayapnya.
18
Nyamuk jantan menghisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya. Sedangkan yang betina mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia dari pada binatang. Biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya pagi (pukul 09.00-10.00) sampai petang hari (16.00-17.00). Aedes aegypti mempunyai kebiasan mengisap darah berulang kali untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat infektif sebagai penular penyakit. Setelah mengisap darah, nyamuk ini hinggap (beristirahat) di dalam atau diluar rumah. Tempat hinggap yang disenangi adalah benda-benda yang tergantung dan biasanya ditempat yang agak gelap dan lembab. Nyamuk akan bertelur dan berkembang biak di tempat penampungan air bersih, seperti tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari: bak mandi, WC, tempayan, drum air, bak menara (tower air) yang tidak tertutup, sumur gali. Selain itu, wadah berisi air bersih atau air hujan: tempat minum burung, vas bunga, pot bunga, ban bekas, potongan bambu yang dapat menampung air, kaleng, botol, tempat pembuangan air di kulkas dan barang bekas lainnya yang dapat menampung air walau dengan volume kecil, juga menjadi tempat kesukaannya (Depkes RI, 2004). Telur akan diletakkan dan menempel pada dinding penampungan air, sedikit di atas permukaan air. Setiap kali bertelur, nyamuk betina dapat mengeluarkan sekitar seratus butir telur dengan ukuran sekitar 0,7 milimeter perbutir. Di tempat kering (tanpa air), telur dapat bertahan sampai enam bulan. Telur akan menetas menjadi jentik setelah sekitar dua hari terendam
19
air. Setelah 6-8 hari, jentik nyamuk akan tumbuh menjadi pupa nyamuk. Pupa nyamuk yang masih dapat aktif bergerak di dalam air tanpa makan, itu akan memunculkan nyamuk menunggu proses pematangan telurnya. Selanjutnya nyamuk betina akan meletakkan telurnya didinding tempat perkembangbiakan, sedikit diatas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu 2 hari setelah terendam air. Suhu air yang cocok antara 26° – 30°C, kelembaban antara 26 – 28%. Larva akan menjadi kepompong dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa (Depkes RI, 2004).
2.3. Angka Kepadatan Aedes Aegypti Untuk mengetahui kepadatan vektor di suatu lokasi dapat di lakukan beberapa survei yang di pilih secara acak yang meliputi survei nyamuk, survei larva dan survei perangkap telur, survei jentik di lakukan dengan cara pemeriksaaan terhadap semua tempat air di dalam dan di luar rumah dari 100 (seratus) rumah yang di periksa di suatu daerah dengan mata telanjang untuk mengetahui ada tidaknya jentik. Menurut Depkes RI (2005) pelaksaaan survei ada 2 (dua) metode yang meliputi: a. Metode single survei Survei ini di lakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan air yang di temukan ada jentiknya untuk identifikasi lebih lanjut jentiknya.
20
b. Metode visual Survei ini di lakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik di setiap tempat genagan air tanpa melakuan pengambilan jentik. Dalam program pemberantasan penyakit DBD, survei jentik yang biasa di gunakan adalah cara visual dan ukuran yang di pakai untuk mengetahui kepadatan jentik yaitu: 1. Angka bebas jentik (ABJ) Angka bebas jentik adalah persentase pemeriksaan jentik yang di lakukan di semua desa/kelurahan setiap 3 (tiga) bulan oleh petugas puskesmas pada rumah - rumah penduduk yang diperiksa secara acak (Depkes RI, 1998).
Jumlah rumah atau bangunan yang tidak ditemukan jentik x 100 % Jumlah rumah atau bangunan yang diperiksa
2. House indeks (HI) House Indeks (HI) adalah persentasi jumlah rumah yang di temukan jentik yang di lakukan di semua desa/kelurahan oleh petugas puskesmas setiap 3 (tiga) bulan pada rumah-rumah yang di periksa secara acak (Depkes RI, 1998). Jumlah rumah atau bangunan yang ditemukan jentik Jumlah rumah atau bangunan yang diperiksa
x 100 %
21
3. Container indeks (CI) Container indeks (CI) adalah persentase pemeriksaan jumlah container yang di periksa di temukan jentik pada container di rumah penduduk yang dipilih secara acak (Depkes RI, 1998). Jumlah container yang ditemukan jentik Jumlah container yang diperiksa
x 100 %
4. Breteau indeks (BI) Jumlah container yang terdapat jentik dalam 100 rumah. Container adalah tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembang biaknya nyamuk Ae.aegypti. Angka bebas jentik dan house index lebih menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk di suatu daerah. Tidak ada teori yang pasti angka bebas jentik dan house index minimal 1% yang berarti persentase rumah yang di periksa jentikya harus negatip. Ukuran tersebut di gunakan sebagai indikator keberhasilan pengendalian penularan DBD (Depkes RI, 1998).
22
2.4.
Pemberantasan Nyamuk Pemberantasan nyamuk Ae.aegypti dan Ae.albopictus bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan hingga ke tingkat yang bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat lagi. Kegiatan pemberantasan nyamuk Aedes aegypti yang dilaksanakan sekarang adalah terhadap nyamuk dewasa dan jentiknya (Rithie, 2003).
a. Pemberantasan nyamuk dewasa Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan cara penyemprotan Mengingat
(pengasapan/pengabutan=fogging)
kebiasaan
nyamuk
senang
hinggap
dengan
insektisida.
pada
benda-benda
bergantungan seperti kelambu dan pakaian, maka penyemprotan tidak dilakukan di dinding rumah seperti pada pemberantasan nyamuk penular malaria. Insektisida yang dapat digunakan antara lain golongan: Organophospate, misalnya malathion; Pyretroid sintetik, misalnya lamda sihalotrin, cypermettrin, alfamethrin; Carbamat (Depkes RI, 2005). Alat yang di gunakan untuk menyemprot adalah mesin Fog atau mesin ultra light volum (ULV) dan penyemprotan dengan cara pengasapan tidak mempunyai efek residu. Untuk membatasi penularan virus Dengue, penyemprotan di lakukan dua siklus dengan interval 1 minggu. Pada penyemprotan siklus pertama, semua nyamuk yang mengandung virus Dengue (nyamuk infektif) dan nyamuk-nyamuk lainya akan mati. Tetapi akan segera muncul nyamuk-nyamuk baru yang di antaranya akan
23
menghisap darah penderita viremia yang masih ada yang dapat menimbulkan terjadinya penularan kembali. Oleh karena itu perlu di lakukan penyemprotan siklus kedua, penyemprotan yang kedua dilakukan 1 minggu sesudah penyemprotan yang pertama agar nyamuk baru yang infektif tersebut akan terbasmi sebelum sempat menularkan pada orang lain (Depkes RI, 2005). Dalam waktu singkat, tindakan penyemprotan dapat membatasi penularan, akan tetapi tindakan ini harus diikuti dengan pemberantasan terhadap jentiknya yaitu dengan memprioritaskan gerakan pemberantasan sarang nyamuk DBD agar populasi nyamuk penular dapat tetap ditekan serendah-rendahnya. Dengan demikian bila ada penderita DBD atau orang dengan viremia, maka tidak dapat menular ke orang lain (Depkes RI, 2005).
b. Pemberantasan jentik Pemberantasan terhadap jentik Aedes aegypti yang dikenal dengan istilah pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD). Pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD) adalah kegiatan memberantas telur, jentik dan kepompong nyamuk penular DBD (Aedes aegypti) di tempat-tempat perkembangbiakannya. Tujuan PSN DBD ini adalah untuk mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti, sehingga penularan DBD dapat di cegah atau di kurangi. Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti (Ditjen P2P dan PL, Depkes RI, 2008).
24
Pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD) dilakukan dengan cara: 1. Fisik Cara ini dikenal dengan kegiatan “3M”, yaitu menguras dan menyikat tempat- empat penampungan air, seperti bak mandi/WC, drum dan tempat lainya seminggu sekali (M1), menutup rapat-rapat penampungan air, seperti gentong air/tempayan dan lain-lain(M2), mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampungan air hujan (M3). Selain cara di atas pada saat ini telah dikenal pula dengan istilah “3M” plus (Ditjen P2P dan PL, Depkes RI, 2008) yaitu mengganti atau menyingkirkan air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat yang sejenisnya seminggu sekali, memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak, menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain (dengan tanah atau benda sejenisnya), menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang sulit dikuras atau di daerah yang sulit air, memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan air, memasang kawat kasa, menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar, mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai, mengunakan kelambu, memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk.
25
2. Kimia Cara memberantas jentik Ae.aegypti dengan menggunakan insektisida pembasmi jentik dengan (larvasida) yang dikenal dengan istilah larvasidasi. Larvasidasi yang biasa digunakan adalah granules (sand granules). Dosis yang digunakan 1 ppm atau 10 gram (± 1 sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air. Larvasidasi dengan temephosini mempunyai efek risidu 3 bulan. Selain itu dapat pula digunakan golongan insect growth regulator (Ditjen P2P dan PL, Depkes RI, 2008). 3. Biologi Misalnya memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan gupi, ikan cupang/tempalo, dan lain-lain). Dapat juga digunakan Bacillus thurringlensisvar, Israeliensia (Bti) (Ditjen P2P dan PL, Depkes RI, 2008).
2.5. Lingkungan Aktivitas dan metabolisme nyamuk Aedes aegypti dipengaruhi secara langsung oleh faktor lingkungan, yaitu : temperatur atau suhu, kelembaban udara, tempat perindukan (TPA), dan curah hujan (Oktaviani, 2009). Selain itu, terdapat pula faktor kesehatan lingkungan lainnya seperti fungsi dan keadaan jendela di dalam rumah, jarak antar rumah, kepadatan penghuni, jumlah tanaman hias, dan sebagainya (Ekaputra dkk, 2010).
26
2.5.1. Tempat Penampungan Air Tempat penampungan air adalah suatu wadah yang digunakan untuk menampung
air
sehari-hari.
Dalam
kehidupan
sehari-hari,
tempat
penampungan air yang biasa digunakan masyarakat adalah bak mandi, ember, kontainer air, dan sebagainya. Tempat penampungan air dapat menjadi faktor resiko penyebab adanya larva Aedes aegypti di dalamnya karena sangat berkaitan dengan perilaku pemilik TPA tersebut. Hal yang dapat menyebabkan TPA menjadi breeding places bagi nyamuk Aedes aegypti berkaitan dengan kebiasaan menutup TPA yang ada di dalam rumahnya (Hayunurdia, 2010).
2.5.2. Kelembaban Udara Kelembaban udara merupakan salah satu kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangan larva Aedes aegypti (Yudhastuti dkk, 2005). Kelembaban udara sendiri merupakan banyaknya uap air yang terkandung dalam udara yang dinyatakan dalam %. Menurut Mardihusudo (1988), disebutkan bahwa kelembaban udara yang optimal untuk perkembangbiakan dan perkembangan embrio nyamuk berkisar antara 81,5 – 89,5%.
2.5.3. Suhu Selain kelembaban udara, suhu juga merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan larva Aedes aegypti (Sugito,
27
1989). Suhu merupakan derajat panas dingin yang dinyatakan dalam satuan °C. Menurut Iskandar, et al. (1985), pada umumnya nyamuk Aedes aegypti akan meletakkan telurnya pada suhu optimal untuk perkembangan larva Aedes aegypti yakni antara 20-30°C. Selain suhu yang tersebut, perkembangan dan pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali (Yotopranoto et al., 1998).
2.5.4. Jendela Salah satu faktor kesehatan lingkungan menurut Ekaputra dkk (2010) yang mempunyai faktor penting terhadap keberadaan larva Aedes aegypti adalah keberadaan dan fungsi jendela. Jendela dikatakan berfungsi apabila dapat dilewati oleh cahaya dan berfungsi sebagai ventilasi, serta dibuka secara teratur (Gulo, 2012). Fungsi jendela juga akan semakin baik bila ditambahkan kawat nyamuk untuk mencegah masuknya nyamuk ke dalam rumah seseoarang.
2.6. Perilaku Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas daripada manusia itu sendiri. Untuk kepentingan kerangka analisis dapat dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung atau secara tidak langsung (Notoatmodjo, 2003).
28
Menurut Robert Kwick (1974) dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap adalah hanya suatu kecenderungan untuk mengadakan tindakan terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tandatanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia. Jadi, pada dasarnya perilaku manusia merupakan urutan proses yang dimulai dari mempelajari sesuatu untuk mendapatkan pengetahuan, menumbuhkan rasa ingin tahu dan respon terhadap sesuatu berupa sikap, dan keinginan untuk melakukan aksi berupa tindakan. Hal tersebut berkaitan dengan domain perilaku yang dijelaskan oleh Bloom (Notoatmodjo, 2005) yang mengatakan bahwa perilaku itu dibagi menjadi tiga domain yang saling melengkapi untuk membentuk perilaku seseorang, yakni : a. Pengetahuan b. Sikap c. Tindakan 2.6.1. Pengetahuan Pengetahuan adalah segala sesuatu yang dapat diterangkan dengan metode ilmiah yang harus dilakukan untuk menyelesaikan suatu persoalan ilmiah dengan menggunakan teori kebenaran baik yang dilakukan saat
29
sekarang atau masa yang akan datang (Tjokronegoro, A & Sudarsono, S., 2001). Pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri (Bakhtiar, 2004). Pengetahuan adalah suatu proses untuk mengetahui dan menghasilkan sesuatu yang didorong rasa ingin tahu yang bersumber dari kehendak dan kemauan manusia (Suhartono, 2005).
2.6.2. Sikap Sikap (attitude) menurut Sarwono (2003) adalah kesiapan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku atau merespons sesuatu baik terhadap rangsangan positif maupun rangsangan negatif dari suatu objek rangsangan. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan faktor predisposisi bagi seseorang untuk berperilaku. Merupakan respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak langsung dilihat akan tetapi harus ditafsirkan terlebih dahulu sebagai tingkah laku yang tertutup. 2.6.3. Tindakan Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan (Notoatmodjo, 2003). Tindakan dibedakan atas beberapa tingkatan :
30
a. Persepsi (Perception) Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama (Notoatmodjo, 2003). b. Respon terpimpin (guided response)
Dapat melakukan sesuatau sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan
contoh
adalah
merupakan
indikator
praktek
tingkat
dua
(Notoatmodjo, 2003).
c. Mekanisme (mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga (Notoatmodjo, 2003).
d. Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik (Notoatmodjo, 2003).
31
2.7. Kerangka Teori Vektor Aedes aegypti merupakan penyebab penyebaran virus penyakit DBD. Vektor tersebut erat kaitannya dengan perkembangan dan pertumbuhan larvanya. Kepadatan larva Aedes aegypti dipengaruhi oleh perilaku manusia dalam melakukan pengelolaan lingkungan. Dewasa ini, program untuk mencegah keberadaan larva Aedes aegypti disebut 3M Plus. Program 3M Plus harus dijalankan oleh masyarakat di suatu wilayah agar dapat mencegah bahkan mengurangi kasus DBD di kemudian hari. Program tersebut sangat erat berkaitan dengan perilaku masyarakat terkait 3M Plus yang disusun atas pengetahuan, sikap, dan tindakan. Kondisi lingkungan seperti kondisi tempat penampungan air (TPA), kelembaban udara, suhu, dan fungsi jendela juga mempengaruhi kepadatan larva Aedes aegypti. Selain itu terdapat faktor kepadatan penduduk, keberadaan pemukiman kumuh, dan keberadaan pasar Tanah Abang juga turut serta disebut sebagai faktor pendukung kepadatan larva Aedes aegypti di wilayah Kelurahan Kebon Kacang. Selain itu, frekuensi penyuluhan terkait DBD pun menjadi faktor pendukung dalam mengurangi kepadatan larva Aedes aegypti di suatu daerah. Hal tersebut berkaitan dengan penyadaran kepada masyarakat tentang bahaya dari DBD. Oleh sebab itu, dasar pemikiran inilah yang menjadi landasan dalam pembuatan kerangka teori. Kerangka teorinya adalah sebagai berikut.
32
Kondisi Lingkungan
a. Tempat Penampungan Air (TPA) b. Suhu c. Kelembaban udara d. Jendela
i. ii. iii.
Kepadatan penduduk Keberadaan pemukiman kumuh Keberadaan pasar
Kepadatan Larva Aedes aegypti
Pengetahuan, sikap, dan tindakan 3M plus : a. Menguras b. Menutup c. Mengubur d.Pengelolaan lingkungan
Frekuensi penyuluhan tentang DBD
Pelayanan Kesehatan Perilaku Ibu Rumah Tangga
Gambar 2.1. Kerangka Teori (Kurnianto, 2013; Depkes RI, 2005; Sugito, 1989; Mardihusodo, 1988; Gulo, 2012; Asri, 2008; Aisyah, 2013; Wiratanya dkk, 2008)
33
BAB III KERANGKA KONSEP 3.1. Kerangka Konsep Kerangka konsep yang dibuat oleh peneliti adalah berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan terdahulu. Kepadatan larva Aedes aegypti selama ini dikenal sebagai penyebab awal vektor utama penyakit DBD. Kepadatan larva tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor dan beberapa faktor yang akan diteliti adalah : Perilaku 3M plus ibu rumah tangga yang mencakup pengetahuan, sikap, dan tindakan serta kondisi lingkungan seperti tempat penampungan air, kelembaban udara, suhu, dan fungsi jendela.
Pengetahuan 3M Plus Sikap 3M Plus Tindakan 3M Plus Tempat Penampungan Air (TPA)
Kepadatan Larva Aedes aegypti
Kelembaban Udara Suhu Fungsi Jendela
Gambar 3.1. Kerangka Konsep
34
3.2. Definisi Operasional No
Variabel
Definisi
Alat
. 1.
Hasil Ukur
Skala
Ukur
Ukur
Tempat
Tempat penampungan air Lembar
1. Terbuka
Nomina
Penampun
yang
2. Tertutup
l
gan (TPA)
digunakan
untuk observasi
Air keperluan sehari-hari dan berpotensi
menjadi
breeding places nyamuk dan
dalam
terbuka.
kondisi Contohnya
adalah bak mandi, ember air, kontainer air, dan lainnya. Responden yang tidak
memiliki
penampungan dimasukkan
tempat air
ke
dalam
kategori tertutup.
35
No
Variabel
Definisi
Alat
. 2.
Hasil Ukur
Ukur Suhu
Derajat panas dingin di Thermohy sekitar
TPA
dan drometer
dinyatakan dalam ° C dan
Skala Ukur
1. Optimal : Ordinal 20-30° C 2. Tidak
rentang waktu observasi
optimal :
adalah 15 menit setiap
<20°C &
rumah yang dimulai dari
>30°C
pukul 08.00 – 16.00 WIB.
(Iskandar, et al., 1985)
3.
Kelembab
Banyaknya uap air yang Thermohy
an udara
terkandung dalam udara drometer di
sekitar
TPA
0-100%
Rasio
dan
rentang waktu observasi adalah 15 menit setiap rumah yang dimulai dari pukul 08.00 – 16.00 WIB.
36
No
Variabel
Definisi
Alat
. 4.
Hasil Ukur
Skala
Ukur Jendela
Adanya suatu tempat yang Lembar berfungsi ventilasi,
Ukur 1. Berfungsi
sebagai Observasi 2. Tidak serta
dibuka
Nomina l
Berfungsi
secara teratur.
5.
Kepadatan Hasil dari observasi larva Lembar
1. Ada
Nomina
larva
yang dilakukan pada saat Observasi
2. Tidak
l
Aedes
penelitian.
aegypti
37
No
Variabel
Definisi
Alat
. 6.
Hasil Ukur
Skala
Ukur sesuatu
Ukur
Pengetahu
Segala
yang Kuesioner 1. Baik
an
diketahui
responden
≥80%
terhadap
tentang 3M+ dan akan
2. Buruk
3M+
dihitung dengan skoring
<80%
(Ganie, 2009)
: Ordinal
:
(Yudhastuti dkk, 2005)
7.
Sikap
Tanggapan
atau
reaksi Kuesioner 1. Baik
terhadap
responden tentang 3M+
≥80%
3M+
dan akan dihitung dengan
2. Buruk
skoring (Ganie, 2009)
: Ordinal
:
<80% (Yudhastuti dkk, 2005)
38
No
Variabel
Definisi
Alat
. 8.
Hasil Ukur
Skala
Ukur tindakan
Ukur
Tindakan
Segala
terhadap
dilakukan
responden
≥80%
3M+
tentang 3M+ dan akan
2. Buruk
dihitung dengan skoring
<80%
(Ganie, 2009)
yang Kuesioner 1. Baik
: Ordinal
:
(Yudhastuti dkk, 2005)
39
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1.
Desain Penelitian Dalam penelitian ini, desain yang digunakan adalah cross sectional study. Hal ini dikarenakan tujuan dari penelitian yang dilakukan untuk menganalisis perilaku 3M Plus ibu rumah tangga dan kondisi lingkungan terhadap kepadatan larva Aedes aegypti pada saat penelitian dijalankan. Sehingga hal tersebut sesuai dengan kriteria penggunaan desain cross sectional dimana desain ini berfungsi dalam meneliti pada waktu yang bersamaan.
4.2.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Kelurahan Kebon Kacang, Jakarta Pusat pada bulan Mei-Juni 2014.
4.3.
Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah ibu rumah tangga dan seluruh rumah di wilayah Kelurahan Kebon Kacang.
40
2. Sampel Sampel yang merupakan bagian dari populasi tersebut adalah rumah tangga dengan unit analisisnya ibu rumah tangga sebagai pengelola lingkungan di dalam rumahnya.
4.4.
Besar Sampel Rumus besar sampel yang digunakan pada penelitian kali ini adalah komparatif kategorik tidak berpasangan, yaitu :
Gambar 3. Rumus Komparatif Kategorik Tidak Berpasangan Tabel 4.1. Jumlah Sampel No.
P1
P2
Variabel
Jumlah
Sumber
Sampel 1
0,6
0,7
Suhu
182
Yudhastuti dkk, 2005
2
0,6
0,5
Suhu
138
Yudhastuti dkk, 2005
a. Nilai P1 yang diambil sebesar 0,6 mengenai hubungan suhu dengan keberadaan larva Aedes aegypti (Yudhastuti dkk, 2013) b. Nilai P2 yang diambil adalah menggunakan estimasi beda 10% dikarenakan peneliti tidak mengetahui nilai P2 dari penelitian sebelumnya. 1. P2 yang pertama adalah 10% > P1 P2 = 10% + 60% = 70% P2 = 0,7
41
2. P2 yang kedua adalah 10% < P1 P2 = 60% - 10% = 50% P2 = 0,5 c. Kesalahan tipe I 5%, Z1-α/2 = 1,96 d. Kesalahan tipe II 10%, Z1-β = 1,28 Jadi, sampel yang didapat adalah sampel terbesar dari hasil perhitungan tersebut. n = 182 n + 10%(n) = 182 + 19 = 201 Untuk mengantisipasi adanya data yang hilang atau kurang, peneliti merasa perlu menambahkan 10% dari total sampel yang telah di dapat. Jadi, total sampelnya adalah 201 KK.
42
Tabel 4.2. Jumlah Sampel Per RW
4.5.
RW
Jumlah Sampel
I
20
II
27
III
18
IV
18
V
25
VI
12
VII
15
VIII
22
IX
12
X
21
XI
11
Total
201
Teknik Pengambilan Sampel Teknik sampling yang digunakan adalah teknik simple random sampling. Teknik ini akan menentukan sampel yang ada di dalam wilayah penelitian yaitu Kelurahan Kebon Kacang yang terbagi menjadi 11 rukun warga (RW). Jumlah KK yang ada di Kelurahan Kebon Kacang adalah 8347 KK (Laporan Bulanan Kelurahan Kebon Kacang, 2014). Dari seluruh jumlah KK yang ada, akan dibuat nomor urut dari 1 hingga 8347 dan akan dipilih 201 KK secara acak. Pemberian nomor urut tersebut akan
43
disesuaikan dengan nomor rumah yang ada di tiap RT yang berada di dalam suatu RW.
4.6.
Pengumpulan Data
4.6.1. Sumber Data a.
Data Primer Data primer akan diambil saat melakukan observasi di wilayah penelitian.
b.
Data Sekunder Data sekunder berupa data statistik penduduk dan data ABJ yang akan diambil di Kelurahan Kebon Kacang dan Puskesmas Tanah Abang.
4.6.2. Metode a.
Data Primer Variabel tentang perilaku 3M Plus akan diambil melalui pengisian
kuesioner yang di dalamnya mencakup pertanyaan tentang pengetahuan, sikap, dan tindakan terkait 3M Plus. Kuesioner tersebut akan diberikan kepada ibu rumah tangga yang sudah ditunjuk dan setuju menjadi responden. Untuk mendukung hasil kuesioner yang ada, dilakukan pula wawancara mendalam kepada kepala RW 10 yang bernama Bapak Suroso karena beliau merupakan tokoh yang dikenal masyarakat dan paham mengenai 3M Plus di wilayah Kelurahan Kebon Kacang. Kemudian,
44
kepadatan larva Aedes aegypti akan diobservasi langsung menggunakan lampu senter (visual survey) di tempat penampungan air yang ada di dalam rumah ibu rumah tangga. Faktor kondisi lingkungan juga diobservasi juga secara langsung oleh peneliti di saat yang bersamaan.
4.6.3. Instrumen Penelitian Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Kuesioner Kuesioner yang digunakan mencakup beberapa pertanyaan yang terkait dengan variabel perilaku 3M Plus ibu rumah tangga (pengetahuan, sikap, dan tindakan). Penilaian atau skoring yang dilakukan adalah dengan memberikan nilai 1 untuk jawaban benar dan 0 untuk jawaban salah. Pembagian kategori baik atau buruk amat tergantung dengan total skor yang didapat oleh responden berkaitan dengan jawaban yang ada di dalam kuesionernya. Contoh skoring akan dijelaskan sebagai berikut : a. Pengetahuan (8 pertanyaan) = (P1+ … +P8 / 8) x 100% b. Sikap (7 pertanyaan) = (S1 + … + S7 / 7) x 100% c. Tindakan (8 pertanyaan) = (T1 + … + T8 / 8) x100% Kuesioner yang akan diujikan ini telah melewati uji validitas dan uji realibilitas terlebih dahulu menggunakan 19 responden. Berikut adalah hasil uji validitas dan uji realibilitas yang telah dilakukan.
45
a. Uji validitas Validitas merupakan indeks yang menunjukkan apakah suatu alat ukut yang digunakan dapat mengukur apa yang dia ukur. Tabel 4.3. Hasil Uji Validitas Pengetahuan 3M Plus No.
Pertanyaan
Nilai Uji
R Tabel
Status
( n=19) 1
P1
0,635
2
P2
0,635
3
P3
0,652
4
P4
0,462
5
P5
0,461
6
P6
0,854
7
P7
0,642
8
P8
0,642
0,456 (Sugiyono,
Valid
1999)
Semua pertanyaan untuk variabel pengetahuan memiliki nilai uji validitas di atas nilai R tabel pada n = 19. Oleh sebab itu, seluruh pertanyaannya dinyatakan valid.
46
Tabel 4.4. Hasil Uji Validitas Sikap 3M Plus No.
Pertanyaan
Nilai Uji
R Tabel
Status
( n=19) 1
S1
0,459
2
S2
0,667
3
S3
0,667
0,456
4
S4
0,667
(Sugiyono,
5
S5
1,000
1999)
6
S6
0,667
7
S7
0,667
Valid
Semua pertanyaan untuk variabel sikap memiliki nilai uji validitas di atas nilai R tabel pada n = 19. Oleh sebab itu, seluruh pertanyaannya dinyatakan valid.
47
Tabel 4.5. Hasil Uji Validitas Tindakan 3M Plus No.
Pertanyaan
Nilai Uji
R Tabel
Status
( n=19) 1
T1
0,464
2
T2
0,609
3
T3
0,885 0,456
4
T4
0,885 (Sugiyono,
5
T5
Valid
0,885 1999)
6
T6
0,885
7
T7
0,464
8
T8
0,464
Semua pertanyaan untuk variabel tindakan memiliki nilai uji validitas di atas nilai R tabel pada n = 19. Oleh sebab itu, seluruh pertanyaannya dinyatakan valid.
b. Uji realibilitas Realibilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukuran dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Uji realibilitas menggunakan Alpha Cronchbach dimana instrument penelitian dianggap reliabel jika nilai alpha minimal 0,6.
48
Tabel 4.6. Hasil Uji Realibilitas No.
Variabel
Alpha Cronchbach
Alpha
Status
Minimal 1
Pengetahuan
0,810
2
Sikap
0,845
3
Tindakan
0,819
0,6
Reliabel
2. Thermohydrometer Thermohydrometer merupakan alat yang digunakan untuk mengukur kelembaban udara dan suhu. Alat ini dapat bekerja optimal juga sudah diletakkan selama minimal 15 menit.
3. Lampu senter dan lembar kepadatan larva Lampu senter digunakan untuk melihat keberadaan larva yang ada di dalam TPA rumah responden. Jumlah larva yang ditemukan kemudian dicatat di lembar kepadatan larva yang telah disiapkan.
4. Pedoman wawancara Pedoman wawancara ini digunakan untuk memperkuat informasi terkait masalah keberadaan larva Aedes aegypti dan kasus DBD yang masih fluktuatif di Kelurahan Kebon Kacang.
49
4.7.
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data yang akan dilakukan pada penelitian kali ini yaitu melakukan editing dan coding menggunakan Epi Data. Sedangkan untuk melakukan entry data akan menggunakan software SPSS. Proses terakhir yang dilakukan adalah cleaning data. Dalam tahap ini dilakukan pemeriksaan ulang terhadap seluruh data yang telah di entry dan diolah. Jenis analisis data yang digunakan yaitu analisis univariate dan bivariate. a.
Univariat Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian berupa gambaran distribusi yang ditampilkan dalam tabel distribusi frekuensi.
50
BAB V HASIL
5.1.
Kondisi Geografis Kelurahan Kebon Kacang Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 1227 Tahun 1989 tanggal 8 Mei 1989 tentang Penyempurnaan Lampiran Keputusan KDKI Jakarta Nomor 1251 Tahun 1986 tanggal 29 Mei 1986 tentang Pemecahan, Penyatuan, Penetapan Batas, Pembaharuan Nomor Kelurahan di DKI Jakarta, luas wilayah Kelurahan Kebon Kacang terdapat 71 Ha dengan batas-batas wilayah sebagai berikut (Laporan Bulanan Kelurahan Kebon Kacang, 2013): a.
Sebelah Utara : Di sebelah Utara Kelurahan Kebon Kacang dibatasi oleh Jl. KH. Fakhrudin atau Jl. KH. Wahid Hasyim Kelurahan Kampung Bali. Kelurahan ini bukan merupakan zona merah.
b.
Sebelah Timur : Kali Cideng atau Kecamatan Menteng adalah wilayah yang membatasi Kelurahan Kebon Kacang di sisi Selatan. Kecamatan Menteng merupakan satu dari sembilan wilayah yang dinilai sebagai zona merah. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kelurahan Kebon Kacang. Antara Kecamatan Menteng dan Kelurahan Kebon Kacang hanya dipisahkan oleh Kali Cideng dan jalan di sekitar Bundaran HI. Tingginya aktifitas manusia di daerah ini dapat menjadi
51
faktor resiko penyebaran kasus DBD dan aka meningkatkan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Kebon Kacang. Di Kecamatan Menteng juga terdapat Taman Menteng yang biasa dijadikan masyarakat sebagai tempat rekreasi dan olahraga di sore hari. Adanya kebiasaan pergi ke taman bisa jadi turut serta dalam meningkatkan kasus DBD dan keberadaan larva Aedes aegypti di wilayah lain. Hal tersebut dikarenakan mungkin pada saat bermain di taman, mereka digigit oleh nyamuk Aedes aegypti yang membawa virus DBD. Berikut akan diberikan gambar peta batas-batas wilayah Kelurahan Kebon Kacang dan akan memperlihatkan bahwa Kelurahan ini sangat berbatasan langsung dengan Kecamatan Menteng. c.
Sebelah Selatan : Jl. Kebon Kacang Raya atau Jl. Lontar Raya Kelurahan Kebon Melati membatasi bagian Selatan Kelurahan Kebon Kacang dan bukan merupakan wilayah zona merah.
d.
Sebelah Barat : Kali Banjir Kanal atau Kelurahan Petamburan terletak di sebelah Barat Kelurahan Kebon Kacang. Wilayah ini bukan termasuk zona merah. Untuk memperjelas batas wilayah Kelurahan Kebon Kacang, berikut adalah peta wilayah Kelurahan Kebon Kacang dan batas-batas wilayahnya.
52
Gambar 5.1. Wilayah dan Batas-batas Kelurahan Kebon Kacang
5.2.
Kondisi Demografis Kelurahan Kebon Kacang Kelurahan Kebon Kacang memiliki jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 8347 KK dengan jumlah penduduk sebesar 26.380 jiwa. Kelurahan Kebon Kacang juga memiliki 11 Rukun Warga (RW) dan mempunyai 152 Rukun Tetangga (RT) (Laporan Bulanan Kelurahan Kebon Kacang, 2014).
53
5.3.
Wawancara Tokoh Masyarakat Saat observasi, peneliti juga melakukan wawancara mendalam kepada tokoh masyarakat yang mengerti tentang keadaan wilayah Kelurahan Kebon Kacang serta masalah kesehatan yang dihadapi di wilayah ini. Beliau adalah seorang ketua RW 10 dan merupakan individu yang aktif berorganisasi dan dekat dengan semua masyarakat. Sudah lebih dari 20 tahun beliau tinggal di wilayah Kelurahan Kebon Kacang dan menurutnya masalah DBD masih menjadi isu di wilayah tersebut. Menurutnya, program 3M Plus yang dipublikasikan oleh pihak kesehatan belum terlalu didengar oleh masyarakat terutam untuk kalangan menengah ke bawah. Lebih lanjut dikatakannya bahwa tidak ada inovasi baru dari pihak-pihak kesehatan agar memacu semangat masyarakat menjalankan 3M Plus tersebut. Hambatan dalam menjalankan program tersebut selain kurangnya inovasi yang dilakukan pihak kesehatan, juga masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk hidup sehat dan menyayangi lingkungannya. Hal tersebut terutama berlaku untuk wilayah RW yang padat penduduk dan di dominasi oleh kalangan menengah ke bawah. Pernyataan itu didukung oleh fakta bahwa hanya beberapa RW saja yang rutin menjalankan kerja bakti di wilayahnya. Padahal menurut dia, program 3M Plus di masa yang akan datang akan memiliki pengaruh kuat dalam mencegah keberadaan larva Aedes aegypti dan mungkin akan menghilangkan kasus DBD dengan sendirinya.
54
Kasus DBD yang ada dapat dihilangkan dengan cara sadar diri untuk menyayangi lingkungan dan keluarganya. Jadi, dengan dilakukannya 3M Plus dimulai dari keluarga masing-masing dan adanya beberapa inovasi dari pihak kesehatan, harapannya kasus DBD akan menghilang dengan sendirinya.
5.4.
Kepadatan dan Persebaran Larva Aedes aegypti Berikut adalah kepadatan dan persebaran larva Aedes aegypti yang ada di Kelurahan Kebon Kacang selama masa penelitian. Metode yang digunakan dalam melihat kepadatannya adalah menggunakan cara single survey dan menggunakan bantuan lampu senter.
55
Tabel 5.1. Kepadatan Dan Persebaran Larva Aedes aegypti di Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014 No
Rw
Rumah Ditemukan
Jumlah Rumah
Larva
Diperiksa
Jumlah Larva
1
I
2
20
2
2
II
0
27
0
3
III
0
18
0
4
IV
0
18
0
5
V
0
25
0
6
VI
0
12
0
7
VII
3
15
7
8
VIII
0
22
0
9
IX
0
12
0
10
X
6
21
20
11
XI
2
11
2
13
201
31
Total HI
6,5%
ABJ
93,5% Menurut tabel 5.1., persebaran larva Aedes aegypti di Wilayah
Zona Merah Kelurahan Kebon Kacang terletak di RW I, VII, X, dan XI dengan House Index sebesar 6,5% dan ABJ sebesar 93,5%.
56
5.4.
Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan 3M Plus Ibu Rumah Tangga Hasil
wawancara
menggunakan
kuesioner
memperlihatkan
distribusi pengetahuan, sikap, dan tindakan ibu rumah tangga mengenai 3M Plus di wilayah Kelurahan Kebon Kacang. Berikut adalah distribusi perilaku ibu rumah tangga terkait 3M Plus. Tabel 5.2. Perilaku 3M Plus Ibu Rumah Tangga Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014 Hasil
n
%
Pengetahuan Buruk
153
76,1
Baik
48
23,9
Sikap Buruk
31
15,4
Baik
170
84,6
Tindakan Buruk
94
46,8
Baik
107
53,2
Berdasarkan tabel 5.2., dari 201 ibu rumah tangga diketahui bahwa yang memiliki pengetahuan 3M Plus yang buruk ada 76,1%, sikap 3M Plus yang buruk ada 15,4%, dan tindakan 3M Plus yang buruk ada 46,8%.
57
5.5.
Kondisi Lingkungan Kondisi lingkungan yang diobservasi selama penelitian adalah kondisi Tempat Penampungan Air (TPA), kelembaban udara, suhu, dan fungsi jendela. Berikut adalah distribusi kondisi kondisi lingkungan di Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014. Tabel 5.3. Kondisi Lingkungan di Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014 Hasil
n
%
Kondisi TPA Tertutup
23
11,4
Terbuka
178
88,6
Suhu Tidak Optimal
119
59,2
Optimal
82
40,8
Jendela Berfungsi
77
38,3
Tidak Berfungsi
124
61,7
Berdasarkan tabel 5.3., diketahui terdapat 88,6% TPA yang terbuka dan berpotensi menjadi breeding places bagi vektor Aedes aegypti, terdapat 40,8% suhu di sekitar TPA yang optimal untuk perkembangbiakan vektor dan perkembangan larva Aedes aegypti, dan terdapat 61,7% jendela yang tidak berfungsi dengan baik. Penelitian ini
58
juga ditemukan rata-rata kelembaban udara sebesar 36,99% dengan nilai minimal 15% dan nilai maksimal 65%. 5.6.
Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan 3M Plus. Berikut adalah distribusi kepadatan larva Aedes aegypti menurut pengetahuan, sikap dan tindakan 3M Plus ibu rumah tangga di Kelurahan Kebon Kacang.
59
Tabel 5.4. Distribusi Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Perilaku 3M Plus Ibu Rumah Tangga di Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014 Kepadatan Larva Aedes aegypti
Total
Hasil Ada n
Tidak Ada %
n
%
n
%
Pengetahuan Buruk
11
7,2
142
92,8
153
100
Baik
2
4,2
46
95,8
48
100
Total
13
6,5
188
93,5
201
100
Sikap Buruk
1
3,2
30
96,8
31
100
Baik
12
7
158
93
170
100
Total
13
6,5
188
93,5
201
100
Tindakan
Buruk
6
6,4
88
93,6
94
100
Baik
7
6,5
100
93,5
107
100
Total
13
6,5
188
93,5
201
100
60
Berdasarkan tabel 5.4., dari 6,5% rumah yang ditemukan larva Aedes aegypti, 85% berasal dari rumah ibu rumah tangga yang memiliki pengetahuan 3M Plus yang buruk, 92,3% berasal dari rumah ibu rumah tangga yang memiliki sikap 3M Plus yang baik, dan 54% berasal dari rumah ibu rumah tangga yang memiliki tindakan 3M Plus yang baik.
61
5.7.
Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Kondisi Lingkungan Berikut adalah distribusi kepadatan larva menurut kondisi lingkungan. Tabel 5.5.
Distribusi Kepadatan Larva Menurut Kondisi Lingkungan di Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014 Kepadatan Larva Aedes aegypti
Total
Hasil Ada n
Tidak Ada %
n
%
n
%
Kondisi TPA Terbuka
10
5,6
168
94,4
178
100
Tertutup
3
13
20
87
23
100
Total
13
6,5
188
93,5
201
100
Suhu Optimal
13
15,9
69
84,1
82
100
Tidak Optimal Total
0
0
119
100
119
100
13
6,5
188
93,5
201
100
Fungsi Jendela
Berfungsi
7
9
70
91
77
100
Tidak Berfungsi Total
6
4,8
118
95,2
124
100
13
61,7
188
38,3
201
100
62
Berdasarkan tabel 5.5, dari 6,5% rumah yang ditemukan larva Aedes aegypti, 77% berasal dari TPA yang terbuka, 100% pada suhu yang optimal, dan 46% pada jendela yang tidak berfungsi dengan baik. Sedangkan larva Aedes aegypti ditemukan pada kelembaban dengan ratarata 29,38%.
63
BAB VI PEMBAHASAN
6.1.
Keterbatasan Penelitian Dalam prosesnya, penelitian ini memiliki beberapa kelemahan antara lain : a.
Suasana formal saat pengambilan data. Beberapa responden terlihat menjawab hal-hal yang baik saja dikarenakan mereka berpikir bahwa penelitian ini digunakan sebagai laporan ke pihak Puskesmas Tanah Abang.
b.
Letak TPA. Keberadaan dan lokasi TPA tidak menjadi perhatian di penelitian ini. Terdapat perbedaan cara dan waktu pengelolaan TPA yang berlokasi di dalam dan di luar ruangan.
c.
Suhu di dalam air. Perkembangan larva Aedes aegypti amat tergantung dengan suhu di dalam air. Penelitian ini hanya mengukur suhu lingkungan saja sehingga tidak mengetahui suhu optimal di dalam air untuk perkembangan larva.
d.
Cuaca. Cuaca di lingkungan wilayah penelitian tidak diperhatikan. Hal tersebut dapat menyebabkan bias saat menilai kelembaban udara dan suhu lingkungan.
e.
Sampel.
Sampel
yang
digunakan
untuk
uji
validitas
tidak
menggunakan standar perhitungan parametrik.
64
6.2.
Kepadatan dan Persebaran Larva Aedes aegypti Observasi kepadatan larva Aedes aegypti dilakukan terhadap 201 KK yang sudah terpilih untuk kemudian dilihat keberadaan larva di dalam TPA yang ada di dalam rumah KK tersebut. Observasi terhadap kepadatan larva dan kondisi lingkungan dilakukan pada pukul 08.00 – 16.00 WIB. Observasi ini menggunakan lampu senter yang diarahkan langsung ke dalam TPA. Depkes RI (2004) menyatakan bahwa larva Aedes aegypti sepanjang hidupnya kebanyakan berdiam di permukaan air dan mereka akan berenang ke dasar TPA jika terganggu dengan cahaya dan getaran atau jika sedang mencari makanan. Namun, satu hingga dua menit kemudian larva akan kembali lagi ke permukaan untuk bernafas. Hal ini terlihat ketika dilakukan observasi menggunakan lampu senter. Ketika ada TPA yang di dalamnya terdapat larva Aedes aegypti, larva tersebut akan bergerak cepat ke bawah hingga akhirnya akan kembali lagi ke permukaan air. Larva yang ditemukan itulah yang kemudian dihitung jumlahnya dan dianggap ada. Menurut Soegijanto (2004) dan Soedarmo (2005), tempat perindukan Aedes aegypti yang ada di dalam rumah yang paling utama adalah tempat-tempat penampungan air seperti bak mandi, bak wc, tandon air minum, tempayan, gentong tanah liat, gentong plastik, ember, drum, dan vas tanaman hias yang kurang diperhatikan kebersihannya dan jarang dikuras. Akan tetapi, responden yang ada di Kelurahan Kebon Kacang hanya menggunakan bak mandi dan ember sebagai TPA yang ada di
65
dalam rumahnya. Semua larva yang ditemukan berada di bak mandi dan tidak ada larva yang ditemukan di ember. Hal tersebut dikarenakan penggunaan ember tidak seperti penggunaan bak mandi. Bak mandi digunakan untuk menampung air dalam jumlah lebih banyak dan dalam waktu yang lebih lama daripada ember. Sedangkan ember biasanya hanya digunakan sekali pakai dan kemudian akan diisi kembali sehingga tidak memungkinkan untuk nyamuk berkembang biak di ember. Penggunaan jenis TPA tersebut tenyata menentukan keberadaan larva Aedes aegypti. Hal tersebut berkaitan dengan perilaku nyamuk Aedes aegypti terkait tempat perindukannya. Selain penggunaan jenis TPA, belakangan ini terdapat pula penelitian yang membahas adanya perubahan perilaku pada nyamuk Aedes aegypti. Hadi (2005) menyatakan bahwa perubahan cuaca dianggap juga sebagai salah satu pemicu kepadatan nyamuk meningkat serta adanya kemungkinan berubahnya perilaku berkembang biak nyamuk vektor. Terdapat indikasi perubahan perilaku nyamuk, salah satunya adalah berkembangnya larva nyamuk Aedes aegypti pada tempat-tempat yang tidak jernih. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2006) yang menyatakan bahwa kondisi kering akan menyebabkan kepadatan nyamuk meningkat di dalam rumah dan akan berkembang biak di air yang jernih maupun tidak jernih.
66
Kemudian menurut Depkes RI (2010), kepadatan larva bisa dilihat dari nilai ABJ atau Angka Bebas Jentik yaitu ada tidaknya rumah yang tidak ditemukan larva pada tempat penampungan air di rumah yang diperiksa. ABJ dikatakan baik jika nilainya ≥ 95% dan dikatakan buruk jika <95%. Dari hasil observasi, terdapat 13 rumah yang ditemukan larva dari total 201 rumah yang diperiksa. Jadi dapat diketahui nilai ABJ yang ada di Kelurahan Kebon Kacang adalah 93,5% yang artinya lebih kecil dari standar yang ditetapkan oleh Depkes RI. Nilai tersebut dapat memperlihatkan keadaan kepadatan larva yang ada di Kelurahan Kebon Kacang termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini dapat menjadi masalah kesehatan di kemudian hari jika tidak
dilakukan
pengelolaan
lingkungan
dengan
baik
sekaligus
membuktikan bahwa program 3M Plus di Kelurahan Kebon Kacang belum berjalan optimal. Ini dibuktikan dengan dari 201 responden, terdapat 16 penderita DBD di dalam anggota keluarga mereka dalam kurun waktu Januari hingga Mei 2014. Hasil observasi ini dimasukkan dalam kuesioner penelitian dimana terdapat pertanyaan untuk mendukung dan memperkuat penelitian ini. Pertanyaan tersebut adalah terkait ada tidaknya penderita DBD di dalam rumah mereka dalam kurun waktu yang sudah ditentukan.
67
6.3.
Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan 3M Plus Ibu Rumah Tangga Menurut Kurnianto (2013), 3M Plus adalah cara yang dapat dilakukan untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk sebagai vektor dan dapat dibagi menjadi empat cara yang harus dilakukan secara terus menerus. Empat cara tersebut adalah : a.
Menguras
b.
Menutup
c.
Mengubur dan membersikan barang bekas
d.
Pengelolaan lingkungan 3M Plus sudah seharusnya dijalankan oleh seluruh lapisan masyarakat terutama oleh ibu rumah tangga. Hal tersebut dikarenakan biasanya ibu rumah tangga merupakan orang yang paling mengerti kondisi lingkungan di sekitar rumahnya. Karena semakin tinggi kesadaran masyarakat untuk melakukan 3M Plus, kasus DBD akan menurun dengan sendirinya (Ulumuddin, 2010). Kesadaran tersebut biasanya dijalankan berdasarkan perilaku seseorang. Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh suatu organisme bernama manusia, baik dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Perilaku biasanya mencakup tiga hal yakni pengetahuan, sikap, dan tindakan. Tanpa adanya pengetahuan, seseorang tidak akan tahu mengenai sikap yang ditunjukkan dan tindakan yang dilakukannya kemudian sudah tepat atau belum. Pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari
68
kesadarannya sendiri (Bakhtiar, 2004). Dalam prosesnya, pengetahuan ini akan menumbuhkan sikap di dalam hati seseorang untuk kemudian menjalankan suatu tindakan. Sikap sendiri merupakan kesiapan seseorang untuk bertingkah laku atau merespon sesuatu baik terhadap rangsangan positif maupun negatif (Sarwono, 2003). Sikap ini yang akan kemudian akan memberikan dorongan kepada seseorang untuk bertindak. Namun, sebelum bertindak harus ada beberapa hal yang harus dipenuhi antara lain : a. Persepsi b. Respon c. Mekanisme d. Adopsi 6.3.1.
Pengetahuan Seperti yang tertera pada tabel 5.2., hanya terdapat 23,9% ibu rumah tangga yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik mengenai 3M Plus. Hal ini disebabkan karena kebanyakan dari mereka belum terlalu sering mendengar istilah 3M Plus. Selama ini mereka menganggap cukup dengan melakukan 3M saja sudah cukup tanpa harus mengelola lingkungan secara menyeluruh. Hal ini menjadi gambaran masih belum optimalnya penyuluhan yang dilakukan oleh pihak-pihak kesehatan terdekat seperti puskesmas, iklan layanan di televisi, dan sebagainya. Kemudian, terlihat pula jarangnya ada kerja bakti yang dilaksanakan di Kelurahan Kebon Kacang. Hanya beberapa RW saja
69
yang rutin melaksanakan kerja bakti di wilayahnya. Fakta ini merupakan hasil wawancara saat peneliti melakukan observasi pada responden yang dituju.
6.3.2. Sikap Sesuai dengan tabel 5.2., ditemukan bahwa terdapat 84,6% ibu rumah tangga yang memiliki sikap baik mengenai 3M Plus. Ini menjadi bukti bahwa tidak setiap orang yang memiliki pengetahuan buruk, mempunyai sikap yang buruk pula terhadap sesuatu. Sikap yang ditujukkan oleh responden biasanya dikarenakan kebiasaan dan perasaan nyaman terkait dengan lingkungan yang ada. Namun, sikap baik yang dilakukan responden dinilai lebih untuk menjawab pertanyaan dengan jawaban yang baik-baik saja. Hal ini tidak diikuti dengan tindakan yang baik untuk memberantas larva dengan cara menjalankan program 3M Plus. Masih adanya sikap yang sedang dan kurang dalam menjalani 3M Plus dikarenakan kurangnya kesadaran mereka tentang bahaya dari penyakit DBD yang mempunyai akar masalah di keberadaan larvanya. Upaya yang bisa dilakukan untuk memperbaiki sikap mereka adalah dengan cara melakukan penyadaran keyakinan sebagai aspek yang mendasari sikap seseorang.
70
6.3.3. Tindakan Tindakan yang dilakukan oleh ibu rumah tangga di Kelurahan Kebon Kacang sudah cukup baik. Hal ini dibuktikan dengan adanya 53,2% responden yang memiliki tindakan terkait 3M Plus yang baik sesuai dengan tabel 5.2. Tindakan yang banyak dilakukan oleh mereka merupakan tindakan setelah persepsi positif yang diterima selama ini. Persepsi yang dihasilkan dari sikap yang mereka tanamkan mengenai lingkungan yang nyaman, mendorong mereka untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan 3M Plus. Namun, yang menjadi masalah adalah tindakan yang mereka lakukan tidak diikuti dengan keinginan untuk menjalankan tindakan tersebut secara terus menerus. 6.4.
Kondisi Lingkungan
6.4.1. TPA Tempat penampungan air beresiko adalah tempat penampungan yang terlihat terbuka dan berpotensi menjadi breeding places nyamuk Aedes aegypti. Sesuai tabel 5.3. yang tertera di atas, bahwa terdapat 88,6% TPA yang terbuka dan berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan vektor DBD. Padahal, tempat penampungan air yang terbuka merupakan tempat yang paling disukai oleh nyamuk sebagai vektor DBD untuk meletakkan telurnya.
71
Jumlah TPA yang terbuka dapat ditemukan di sebagian rumah responden. Mereka belum memiliki kesadaran untuk menutup TPA yang ada di rumahnya. Hal ini mungkin terkait dengan banyaknya responden yang menggunakan ember sebagai TPA mereka. Mereka berpendapat ember tidak perlu ditutup dikarenakan setiap saat air yang ada di dalamnya digunakan dan diisi kembali untuk keperluan lainnya. 6.4.2. Kelembaban Udara Kelembaban udara merupakan salah satu faktor kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangan larva Aedes aegypti. Menurut Mardihusodo (1988) disebutkan bahwa kelembaban udara yang berkisar 81,5 - 89,5% merupakan kelembaban yang optimal untuk proses perkembangan dan ketahanan hidup embrio nyamuk. Kelembaban udara memiliki pengertian banyaknya uap air yang terkandung dalam udara di sekitar TPA dan dinyatakan dalam persen (%) (Mardihusodo, 1998). Pada penelitian ini diketahui bahwa rata-rata kelembaban di sekitar TPA pada 201 rumah responden adalah 36,99% dengan tidak ada satupun yang memiliki kelembaban yang optimal untuk perkembangan larva Aedes aegypti. Mungkin juga disebabkan karena adanya pergeseran atau perubahan perilaku vektor dan larva Aedes aegypti dalam merespon kondisi lingkungan (Huat, 2009). Selain dikarenakan adanya perubahan perilaku vektor dan larva, kelembaban udara sangat dipengaruhi oleh iklim dan cuaca yang ada di
72
suatu daerah. Kelembaban udara merupakan variabel yang tidak bisa dimodifikasi karena mencakup banyak faktor dan proses yang berkaitan dengan alam. 6.4.3. Suhu Selain kelembaban udara, suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan larva Aedes aegypti (Sugito, 1989). Suhu yang dihitung pada penelitian kali ini dilakukan di sekitar TPA responden. Pengambilan suhu ini dilakukan selama kurang lebih 15 menit. Dari tabel 5.3. diketahui bahwa terdapat 40,8% rumah responden yang memiliki suhu optimal di sekitar TPA untuk perkembangan larva. Suhu yang optimal menurut Iskandar, et al. (1985), adalah suhu yang berkisar antara 20-30°C. Sama seperti kelembaban udara, suhu merupakan variabel yang tidak dimodifikasi karena berkaitan dengan proses yang ada di alam. 6.4.4. Fungsi Jendela Pengertian pencahayaan alami adalah penerangan dalam rumah pada pagi, siang atau sore hari yang berasal dari sinar matahari langsung yang masuk melalui jendela atau genteng kaca (Gulo, 2012). Jendela yang dimaksud berfungsi dengan baik adalah selalu memungkinkan masuknya cahaya dari pagi hingga sore. Cahaya yang masuk diharapkan akan mengganggu perilaku vektor Aedes aegypti untuk berkembang biak di
73
dalam suatu rumah dan mengganggu perkembangan larvanya dikarenakan respon yang sangat sensitif terhadap cahaya. Menurut tabel 5.3. diketahui bahwa terdapat 61,7% jendela yang tidak berfungsi dengan sebagaimana mestinya. Jendela yang tidak berfungsi tersebut adalah jendela yang tidak teratur dibuka dan tidak berfungsi dengan baik sebagai ventilasi. Jendela yang tidak teratur dibuka akan menyebabkan kondisi ruangan menjadi lembab. Selain akan menyebabkan tumbuhnya jamur, kelembaban ruangan yang tinggi akan menyebabkan larva Aedes aegypti tumbuh optimal. 6.5.
Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan 3M Plus Ibu Rumah Tangga
6.5.1. Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Pengetahuan 3M Plus Berdasarkan tabel 5.4., dari 13 rumah yang ditemukan larva, 85% ditemukan pada rumah ibu rumah tangga yang memiliki pengetahuan 3M Plus buruk. Menurut
Notoatmodjo
(1993)
pengetahuan
atau
kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) dan dikatakan pula bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Karena menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (1997), pengetahuan merupakan salah satu wujud dari faktor predisposisi untuk melakukan suatu perilaku. Bila responden tidak
74
mengetahui dengan jelas bagaimana cara pemberantasan sarang nyamuk dan faktor yang mempengaruhi keberadaan jentik maka perilaku mereka terkait 3M Plus tidak tepat, sehingga di rumah responden ditemukan adanya larva Aedes aegypti. Masih sedikitnya responden yang memiliki pengetahuan yang baik terkait 3M Plus disebabkan oleh kurang optimalnya penyuluhan dan publikasi terkait 3M Plus yang dijalankan oleh pihak kesehatan yaitu Puskesmas Tanah Abang. Fakta tersebut merupakan hasil dari wawancara yang dilakukan peneliti terhadap salah satu tokoh masyarakat di RW 10 yang sudah lama tinggal di Kelurahan Kebon Kacang dan beliau sangat mengerti tentang masalah kepadatan larva Aedes aegypti dan penyakit DBD. Dikatakan juga bahwa masyarakat jenuh dengan program-program yang dijalankan oleh pihak puskemas karena dinilai kurang inovatif. Penelitian ini didukung dengan hasil penelitian Nahumarury dkk (2013) mengenai hubungan pengetahuan 3M Plus responden dengan keberadaan larva di Kelurahan Kassi-Kassi Kota Makassar menunjukkan bahwa dari 62 responden yang memiliki pengetahuan cukup ditemukan 33 (53.2 %) rumah tidak ada larva dan 29 (46.8 %) rumah ada larva. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Veronika tahun 2001 di Kelurahan Padang Bulan Medan yang menyatakan bahwa sebanyak 57.3% tingkat pengetahuan masyarakat tentang 3M Plus
75
termasuk dalam kategori baik. Hal ini muncul dikarenakan adanya perbedaan informasi yang didapat mengenai 3M Plus ibu rumah tangga.
6.5.2. Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Sikap 3M Plus Berdasarkan tabel 5.4., dari 13 rumah yang ditemukan adanya larva, 92,3% ditemukan pada rumah ibu rumah tangga yang memiliki sikap 3M Plus yang baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa ternyata yang paling banyak ditemukan larva justru di dalam TPA yang berada di rumah responden yang memiliki sikap baik terhadap 3M Plus. Alasannya mungkin disebabkan oleh responden selalu menjawab hal-hal yang baik saja, tidak disertai dengan kesadaran sebagai tindakan menghilangkan larva Aedes aegypti. Mereka terkesan ingin menjawab yang baik-baik saja karena banyak dari responden yang mengaku khawatir jika dinilai tidak mendukung program-program pencegahan DBD. Penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian Suyasa dkk (2008). Hasil wawancara dari 68 responden dengan sikap yang baik, diketahui tidak ada jentik DBD sebanyak 52 (76,5%) dan ada jentik DBD sebanyak 16 (23,5%). Sebanyak 22 responden dengan sikap yang sedang, tidak ada jentik DBD sebanyak 19 responden (86,4%) dan ada jentik DBD sebanyak 3 responden (13,6%). Sikap responden untuk menguras TPA tidak disertai kesadaran sebagai tindakan menghilangkan larva nyamuk
76
Aedes aegypti tetapi lebih mengarah kepada kondisi fisik air yang kurang baik. 6.5.3. Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Tindakan 3M Plus Berdasarkan tabel 5.4., dari 13 rumah yang ditemukan larva, 54% ditemukan pada rumah ibu rumah tangga yang memiliki tindakan 3M Plus yang baik. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sekalipun responden yang memiliki tindakan baik terhadap 3M Plus lebih banyak daripada yang memiliki tindakan kurang, namun tidak mencerminkan kepadatan larva Aedes aegypti yang ada di rumahnya.
Masalah ini mungkin
memperlihatkan tidak teraturnya tindakan yang mereka jalankan untuk program 3M Plus. Selain itu, kurangnya penyuluhan dan faktor-faktor pendorong yang dilakukan oleh pihak-pihak kesehatan seperti puskesmas mungkin menjadi salah satu penyebab masih kurangnya kesadaran dan keyakinan untuk menjalankan tindakan 3M Plus secara maksimal dan teruse menerus. Faktor pendorong yang seharusnya dilakukan oleh Puskesmas Tanah Abang adalah dengan memberikan reward dan punishment agar memacu dan memberikan semangat kepada masyarakat untuk turut aktif dalam melakukan 3M Plus. Selain itu, menurut hasil wawancara yang dilakukan juga disebutkan ternyata beberapa RW di Kelurahan Kebon Kacang memang
77
sangat jarang melakukan kerja bakti. Menurut peneliti, hal tersebut dapat menjadi faktor penting dalam keberadaan larva Aedes aegypti di suatu wilayah. Lingkungan yang jarang dikelola tentunya akan menjadi breeding places nyamuk untuk berkembang biak dan kemungkinan nyamuk tersebut masuk ke dalam rumah masyarakat sangatlah besar. Kemudian, Setyobudi (2011) mengatakan bahwa partisipasi dalam kegiatan PSN yang di dalamnya terdapat 3M Plus termasuk faktor yang berhubungan dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti. Partisipasi yang diharapkan dari masyarakat adalah partisipasi yang dilakukan secara terus menerus. Namun, kurangnya penyuluhan dari tenaga medis kepada masyarakat dapat menyebabkan ketidaktahuan masyarakat tentang bahaya yang ditimbulkan oleh penyakit DBD sehingga sikap dan tindakan masyarakat tetap buruk dalam mencegah terjadinya DBD. Penyuluhan perlu diberikan terutama kepada masyarakat yang berpendidikan rendah agar lebih memahami tentang bahaya penyakit DBD. Materi utama dalam penyuluhan adalah mengajarkan tentang bagaimana cara penularan penyakit DBD, resiko terkena penyakit DBD dan yang terpenting pengenalan tentang gejala dan tanda penyakit DBD serta pengobatan dari penyakit DBD, kemudian melakukan perlindungan pribadi untuk menghindari dari gigitan nyamuk dengan pemberantasan sarang nyamuk Aedes aegypti.
78
Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang selama ini ada, yakni menunjukkan bahwa responden yang memiliki tindakan baik terhadap 3M Plus jarang ditemui larva Aedes aegypti di dalam rumahnya. Penelitian yang menyebutkan hal tersebut adalah Yudhastuti dkk (2005) dan Nahumarury dkk (2013). Yudhastuti dkk (2005) menyatakan bahwa tindakan responden dengan kategori kurang baik dan terdapat jentik dirumahnya adalah sebesar 65,5 % sedangkan tindakan responden dengan kategori baik dan terdapat jentik dirumahnya yaitu sebesar 34,5 %. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan responden sangat berkaitan erat dengan keberadaan jentik di rumahnya. 6.6.
Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Kondisi Lingkungan
6.6.1. Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Kondisi TPA Berdasarkan tabel 5.5., dari 13 rumah yang ditemukan larva, 23% ditemukan pada rumah yang di dalamnya terdapat TPA yang terbuka. TPA yang terbuka seharusnya menjadi tempat beresiko sebagai breeding places nyamuk Aedes aegypti karena tidak ada pembatas untuk vektor tersebut meletakkan telurnya di dinding tempat penampungan air. Namun penelitian di Kelurahan Kebon Kacang ini masih menemukan adanya larva pada TPA yang tertutup. Hal tersebut berkaitan dengan banyaknya responden yang menggunakan ember sebagai tempat penampungan air mereka. Jadi, sekalipun ember tersebut dibiarkan terbuka, nyamuk Aedes aegypti tidak akan meletakkan telurnya di sana karena setiap saat air di dalamnya dipakai dan ember tersebut diisi
79
kembali. Asumsi peneliti adalah belum tentu TPA yang terbuka terdapat larva di dalamnya karena masih harus tergantung keadaan air yang ada di dalamnya seperti digunakan terus menerus atau tidak. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Badrah dkk (2011). Mereka mengatakan bahwa terdapat 121 (58.5 %) TPA dalam keadaan terbuka tetapi tidak terdapat jentik di dalamnya dan memiliki hubungan antara keadaan TPA dengan keberadaan larva Aedes aegypti. Hal ini dapat terjadi karena responden membersihkan TPA secara rutin (1 minggu sekali) atau TPA berukuran kecil, sehingga air dalam TPA cepat habis dan tidak memungkinkan nyamuk Aedes betina untuk meletakkan telurnya di TPA tersebut. Sedangkan dari 133 TPA yang tertutup terdapat 1 (0.8%) positif jentik. Masalah ini dapat terjadi dikarenakan pada saat penelitian dilakukan TPA tersebut dalam keadaan tertutup tetapi terdapat kemungkinan apabila dalam penggunaan air sehari – hari, TPA ini dibiarkan dalam keadaan terbuka selama beberapa lama, sehingga memungkinkan nyamuk Aedes Aegypti betina untuk meletakkan telurnya di TPA tersebut.
6.6.2. Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Kelembaban Udara Berdasarkan tabel 5.5., diketahui varian pada masing-masing kelompok berbeda. Hal ini dikarenakan nilai pada kolom Levene’s Test for Quality of Variance menunjukkan nilai 0,901 yang lebih besar dari 5%. Jadi ada beda varian kelembaban udara yang optimal dan tidak optimal
80
dengan kepadatan larva. Diketahui pula rata-rata kelembaban udara yang di dalamnya terdapat larva adalah 29,38% dengan standar deviasi 12,725%. Kelembaban udara yang di dalamnya tidak terdapat larva adalah 37,52% dengan standar deviasi 10,410%. Rata-rata kelembaban udara di sekitar TPA yang ditemukan di Kelurahan Kebon Kacang saat penelitian tidak menunjukkan kelembaban udara yang optimal untuk nyamuk untuk berkembang biak dan untuk larva untuk berkembang. Hal tersebut dibuktikan sekalipun nilai HI yang didapat bernilai 6,5%, terdapat 13 rumah dari 201 rumah yang ditemukan adanya larva Aedes aegypti. Perbedaan kelembaban udara di sekitar TPA juga dapat disebabkan oleh kondisi dan perbedaan letak beberapa ruangan di rumah responden. Kelembaban udara juga merupakan variabel yang tidak bisa dimodifikasi karena berkaitan dengan proses yang ada di alam. Menurut Mardihusudo (1988) disebutkan bahwa kelembaban yang berkisar antara 81,5-89,5% merupakan kelembaban yang optimal bagi perkembangan larva Aedes aegypti. Dengan demikian, kelembaban yang ada di Kelurahan Kebon Kacang tidak optimal bagi larva Aedes aegypti untuk berkembang. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Ridha dkk (2013) yang menyebutkan kelembaban udara di rumah Kelurahan Loktabat Utara memiliki rata-rata sebesar 58,6%. Kelembaban tersebut bukan kelembaban yang optimal untuk perkembangan larva Aedes aegypti namun masih ditemukan keberadaan larvanya.
81
Fathi, et al (2005) juga menjelaskan bahwa daya tahan hidup Aedes aegypti yang rendah lebih disebabkan oleh proses metabolisme yang lambat akibat temperatur dan kelembaban yang rendah sehingga dapat mengakibatkan kematian larva. Oleh sebab itu, di dalam rumah butuh cahaya yang cukup dan jendela yang berfungsi dengan baik agar ruangan tidak menjadi lembab. Selain untuk mencegah perkembangan larva Aedes aegypti, menjaga kelembaban di ruangan juga bagus untuk mencegah penyakit lainnya. 6.6.3. Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Suhu Berdasarkan tabel 5.5., dari 13 rumah yang ditemukan larva, 100% ditemukan
pada
rumah
yang
memiliki
suhu
optimal
untuk
perkembangbiakan vektor dan perkembangan larva Aedes aegypti. Suhu yang optimal berkisar antara 20-30°C yang memungkinkan bagi vektor DBD untuk berkembang biak dan menjadikan suhu yang optimal bagi perkembangan larva Aedes aegypti. Disebutkan bahwa suhu berperan sebagai penentu untuk kerhasilan pertumbuhan stadium larva – stadium pupa dan stadium larva – stadium dewasa. Disebutkan pula bahwa pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali bila temperatur kurang ° ° dari 10 C atau lebih dari 40 C (Krebs, 2001). Jadi, suhu yang ada di Kelurahan Kebon Kacang sebenarnya sangat mendukung nyamuk Aedes aegypti untuk berkembang biak dan larvanya untuk berkembang. Namun, suhu bukanlah faktor satu-satunya penentu hal tersebut.
Suhu dan
kelembaban udara merupakan faktor yang sangat sulit untuk di modifikasi
82
karena sangat tergantung dengan keadaan lingkungan sekitar. Hasil dari penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya milik Oktaviani (2009) tentang faktor-faktor yang berhubungan terhadap densitas larva Aedes aegypti di Kota Pekalongan. Dalam penelitian ini, ° ° temperatur lokasi penelitian berkisar antara 26 sampai 34 C, suatu kisaran temperatur yang sesuai untuk perkembangan larva sebagaimana dikemukakan oleh Swaina et al. (2008). Penelitian lain yang membahas hubungan suhu dengan kepadatan larva Aedes aegypti adalah penelitian Arifin dkk (2013). Disebutkan bahwa
jumlah
responden
yang
suhu
rumahnya
optimal
untuk
perkembangan larva Aedes aegypti dan di dalamnya ditemukan larva ada 58,3% . Sedangkan untuk responden yang suhu rumahnya tidak optimal dan ditemukan larva ada 14,3%. 6.6.4. Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Fungsi Jendela Berdasarkan tabel 5.5., dari 13 rumah yang ditemukan larva, 54% ditemukan pada rumah yang memiliki jendela yang berfungsi dengan baik. Kondisi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko sumber penularan berbagai jenis penyakit khususnya penyakit yang berbasis lingkungan. Secara umum rumah dikatakan sehat apabila memenuhi beberapa kriteria, diantaranya adalah bebas jentik nyamuk. Bebas jentik nyamuk terutama bebas jentik nyamuk Aedes aegypti yang merupakan vektor penyakit demam berdarah
83
dengue (Sukowirnasih dkk, 2010). Jendela sebagai salah satu faktor kepadatan larva Aedes aegypti juga harus diperhatikan kondisinya dan fungsinya (Awida, 2008). Larva ada di tempat penampungan air karena adanya vektor yang berhasil masuk ke dalam rumah seseorang. Observasi fungsi jendela adalah melihat kebiasaan responden untuk membuka dan menutup jendelanya agar cahaya alami dapat masuk dan terjadi pertukaran udara. Cahaya yang masuk dapat meningkatkan suhu serta tidak membuat keadaan lembab di dalam ruangan. Peneliti berasumsi bahwa dengan adanya cahaya yang masuk ke dalam ruangan secara rutin, akan menyebabkan keadaan yang tidak optimal bagi nyamuk Aedes aegypti untuk berkembang biak. Namun, dalam penelitian kali ini ditemukan ibu rumah tangga yang menggunakan fungsi jendela dengan baik tetapi masih ditemukan adanya larva Aedes aegypti. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh saat observasi dilakukan, jendela yang ada di rumah mereka kebetulan dalam keadaan terbuka. Belum tentu jendela di rumah mereka difungsikan dengan baik setiap harinya. Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ekaputra dkk (2010) yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara variabel kesehatan lingkungan (salah satunya adalah fungsi jendela) dengan keberadaan larva Aedes aegypti. Kesehatan lingkungan rumah yang kurang baik mempunyai peluang terdapat jentik tujuh kali lebih besar
84
dibandingkan dengan yang mempunyai kesehatan lingkungan baik.
85
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1.
Simpulan 1.
Kepadatan larva Aedes aegypti yang ada di Kelurahan Kebon Kacang tahun 2014 cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dengan nilai HI yang didapat sebesar 6,5% dan nilai ABJ sebesar 93,5 yang lebih rendah dari standar yang ditetapkan oleh Depkes RI.
2.
Terdapat 23,9% ibu rumah tangga yang memiliki pengetahuan 3M Plus yang baik.
3.
Terdapat 84,6% ibu rumah tangga yang memiliki sikap 3M Plus yang baik.
4.
Terdapat 53,7% ibu rumah tangga yang memiliki tindakan 3M Plus yang baik.
5.
Terdapat 88,6% responden yang memiliki TPA beresiko sebagai breeding places nyamuk Aedes aegypti dan memungkinkan keberadaan larva di dalam TPA mereka.
6.
Terdapat 40,8% responden yang di sekitar TPA nya memiliki suhu yang optimal untuk perkembangbiakan nyamuk dan perkembangan larva Aedes aegypti.
7.
Tidak
ada
kelembaban
udara
yang
optimal
untuk
perkembangbiakan nyamuk dan perkembangan larva Aedes aegypti di sekitar TPA responden.
86
8.
Terdapat 61,7% responden yang mempunyai jendela tetapi tidak berfungsi dengan baik.
7.2.
Saran
7.2.1. Ibu Rumah Tangga 1.
Ibu rumah tangga harus aktif dalam mencari tahu bahaya dan cara pencegahan DBD.
2.
Kelembaban udara dan suhu yang tidak bisa dimodifikasi mengharuskan untuk terus waspada terhadap keberadaan larva. Caranya adalah dengan terus melakukan pemantauan terhadap larva Aedes aegypti yang ada di dalam TPA mereka.
3.
TPA harus selalu ditutup bila tidak sedang digunakan.
4.
Jendela yang ada di rumah ibu rumah tangga harus dibuka dan ditutup secara teratur serta menambahkan kawat berdiameter sangat kecil agar mencegah masuknya nyamuk ke dalam rumah.
7.2.2. Puskesmas Tanah Abang 1.
Memberlakukan reward dan punishment kepada RW yang menjalankan 3M Plus agar dapat memacu dan menanamkan sikap dan tindakan untuk mencegah keberadaan larva Aedes aegypti.
2.
Program 3M Plus harus dipublikasikan secara menyeluruh agar tidak terjadi perbedaan pendapat terkait pengertian 3M Plus.
87
7.2.3. Peneliti Lain 1.
Sebisa mungkin menjadikan suasana yang tidak formal saat pengambilan data di masyarakat.
2.
Sebaiknya jenis dan lokasi TPA juga diperhatikan dan dimasukkan ke dalam variabel.
3.
Suhu di dalam air sebaiknya juga dihitung.
88
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar Fachmi. 2010. Manajemen Demam Berdarah Berbasis Wilayah, http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/buletin/BULETIN%20DBD. pdf. Diakses tanggal 17 Februari 2012. [Buletin] Agustina, E. 2006. Studi Preferensi Tempat Bertelur dan Berkembangbiak Larva Nyamuk Aedes aegepti Pada Air Terpolusi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. [Tesis] Aisyah, Siti. 2013. Mengidentifikasi Jentik Nyamuk & Menghitung Kepadatan Jentik Nyamuk. Surabaya. [Tesis] Ambarita, Lasbudi P. 2014. Sticky Trap Sebagai Alternatif Alat Pendeteksi Vektor Demam Berdarah Dengue . Loka Litbang P2B2 Baturaja. Baturaja Timur. [Tesis] Amin, Kurnianto. 2013. Kasus DBD Meningkat PSN Harus Ditingkatkan. Sudinkes Jakarta Selatan. Jakarta. [Artikel] Amran, Yuli. 2012. Pengolahan Dan Analisis Data Statistik Di Bidang Kesehatan. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat. [Modul] Anwar, Ruswana. 2005. Teori Sederhana Prosedur Pemilihan Uji Hipotesis. Fakultas Kedokteran UNPAD. Bandung. [Seminar] Arifin, Asrianti, dkk. 2013. Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti Di Wilayah Endemis DBD Di Kelurahan Kassi-Kassi Kota Makasar 2013. Unhas. Makasar. [Jurnal] Awida, R. 2008. Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan Dengan Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. [Tesis] Bakhtiar, A. 2004. Filsafat Ilmu. Edisi 1. Raja Grafindo Persada. Jakarta. [Buku] Badrah, Siti, dkk. 2011. Hubungan Antara Tempat Perindukan Nyamuk Aedes Aegepty Dengan Keberadaan Nyamuk Dan Kasus DBD Di Kelurahan Penajam Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman. [Jurnal]
89
Dahlan, M. Sopiyudin. 2010. Langkah-langkah Membuat Proposal Penelitian Bidang Kedokteran Dan Kesehatan. Sagung Seto. Jakarta. [Buku] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Pedoman Ekologi Dan Aspek Perilaku Vektor. Departemen Kesehatan. Jakarta Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Departemen Kesehatan. Jakarta Ekaputra, dkk. 2010. Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberadaan Jentik Aedes Aegypti Di Puskesmas III Denpasar Selatan. Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana. Denpasar. [Jurnal] Fath, dkk. 2005. Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku. Jurnal Kesehatan Lingkungan. [Jurnal] Fathi, Soedjajadi Keman., et al. 2005. Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Mataram. Jurnal Kesehatan Lingkungan. [Jurnal] Gama A, Betty F. 2010. Analisis Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue di Desa Mojosongo Kabupaten Boyolali. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta. [Jurnal] Ganie, Meutia Wardhanie. 2009. Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Tentang 3M (Mengubur Barang Bekas, Menutup Dan Menguras Tempat Penampungan Air) Pada Keluarga Di Kelurahan Padang Bulan Tahun 2009. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan. [Skripsi] Ginanjar. 2008. Demam Berdarah, a survival quide, Cet. 1. PT Benteng Pustaka. Yogyakarta. [Buku] Gulo, SP. 2012. Hubungan Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Kebersihan Lingkungan Dengan Upaya Pencegahan DBD Di Wilayah Puskesmas Simalingkar Kec. Medan Tuntungan Medan. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sumatera Utara. Medan. [Tesis] Hadi, U.K. 2005. Studi Perilaku Berkembangbiak Nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) Pada Berbagai Tipe Habitat. Institut Pertanian Bogor. Bogor. [Tesis]
90
Hasyimi, dkk. 2007. Hubungan Tempat Penampungan Air Minum Dan Faktor Lainnya Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Provinsi DKI Jakarta Dan Bali. Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat. Badan Litbangkes. Media Litbang Kesehatan Volume 21 Nomor 2. [Jurnal] Huat, Lim Eng. 2009. Study of Behaviour of Larvae Aedes Aegypti With Change In Illumination. National University of Singapore. Iriani, Yulia. 2012. Hubungan Antara Curah Hujan Dan Peningkatan Kasus Demam Berdarah Degue Anak di Kota Palembang. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Palembang. Sari Pediatri, Vol. 3, No. 6. [Jurnal] Iskandar, dkk. 1985. Pemberantasan Serangga Dan Binatang Pengganggu. Pusdinakes. Jakarta. [Jurnal] Komara, Eka. 2012. Gambaran Stress Kerja Pada Perawat Di RSUD 45 Kuningan Jawa Barat Tahun 2012. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta. [Skripsi] Krebs, Charles J. 2001. Ecology : The Experimentak Analysis of Distribution and Abundance. An imprint of addison Wesley Longman, Inc. [Journal] Laksmono, Widagdo. 2008. Kepadatan Jentik Aedes aegypti Sebagai Indikator Keberhasilan Pemberantasan Sarang Nyamuk (3M PLUS) Di Kelurahan Grondol Wetan Semarang. Makara. Semarang. [Jurnal] Mardihusodo, Sugeng Juwono. 1988. Pengaruh Perubahan Lingkungan Fisik Terhadap Penetasan Telur Nyamuk Aedes aegypti. Berita Kedokteran Masyarakat IV : 6. [Jurnal] Marwati, Eka. 2010. Hubungan Kebiasaan Makan, Konsumsi Makanan, Dan Pengetahuan Gizi Dengan Status Gizi Kurang Siswa Kelas IV, V, Dan VI Di SDN Wargasetra 2 Kecamatan Tegal Waru Karawang Jawa Barat Tahun 2010. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta. [Skripsi] Muhlisin, Adi. Pratiwi, Arum., 2006, Penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Singopuran Kartasura Sukoharjo. http://eprints.ums.ac.id/390/1/2._ABI_MUHLISIN.pdf. Diakses tanggal 19 Februari 2012. [Tesis] Nahumarury, dkk. 2013. Hubungan Pengetahuan, Sikap, Dan Tindakan Pemberantasa Sarang Nyamuk Aedes Aegypti Dengan Keberadaan Larva Di Kelurahan Kassi-Kassi Kota Makasar. Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular. Ambon. [Jurnal]
91
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. PT. Rineka Cipta. Jakarta. [Buku] Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya. PT. Rineka Cipta. Jakarta. [Buku] Nugraeni, Putri. 2009. Pengetahuan Ibu Rumah Tangga Di Paseban Barat Jakarta Pusat Tentang Demam Berdarah Dengue Dan Faktor-Faktor Yang Berhubungan. [Tesis] Nur.
2012. Pemberantasan Sarang Nyamuk, http://nurtang18.blogspot.com/2012/11/pemberantasan-sarangnyamuk.html. Diakses tanggal 4 Januari 2014. Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. [Jurnal]
Oktaviani, Nila. 2009. Faktor - Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Densitas Larva Nyamuk Aedes aegypti Di Kota Pekalongan. Kesehatan Masyarakat Universitas Pekalongan. Pekalongan. [Tesis] Ramadhani MM, Astuty H. 2009. Kepadatan dan Penyebaran Aedes Aegepty Setelah Penyuluhan DBD di Kelurahan Paseban, Jakarta Pusat. Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. eJKI Vol.1 No.1. [Jurnal] Rampengan . 2008. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. EGC. Jakarta. [Buku] Ridha, M. Rasyid, dkk. 2013. Hubungan Kondisi Lingkungan Dan Kontainer Dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes Aegypti Di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Di Kota Banjarbaru. Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang Vol. 4, No. 3. [Jurnal] Rini, A.S., dkk. 2012. Hubungan Pemberdayaan Ibu Pemantau Jentik (BUMANTIK) Dengan Indikator Keberhasilan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) Di Kelurahan Wonokromo Surabaya. Universitas Airlangga. Surabaya. [Jurnal] Ritchie, A.S., et. al . 2003. An Adulticidal Sticky Ovitrap For Sampling Container-Breeding Mosquitoes. J. Am. Mosq. Control Association. [Journal] Sanofi Pasteur. 2013. Press Release Peringatan Hari Dengue ASEAN 2013 : Jakarta Bebas DBD 2020 - Pemda DKI Jakarta dan Sanofi Pasteur Berdayakan Kader Jumantik se-DKI Jakarta. Jakarta
92
Sari, Puspita, dkk. 2012. Hubungan Kepadaran Jentik Aedes sp dan Praktik PSN Dengan Kejadian DBD Di Sekolah Tingkat Dasar Di Kota Semarang. Universitas Diponegoro. Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Volume 1, Nomor 2[Jurnal] Sarwono, S., 2003. Sosiologi Kesehatan Beberapa Konsep dan Aplikasinya. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. [Buku] Setyobudi. 2011. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Di Daerah Endemik DBD Di Kelurahan Sananwetan Kecamatan Sananwetan Kota Blitar. Unsil. [Tesis] Soegijanto, Soegeng, 2006. Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di Indonesia. Cetakan I. Airlangga. Surabaya. [Buku] Soedarmo, Sumarno Sunaryo Poowo. 2010. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Universitas Indonesia Press. Jakarta. [Buku] Sugito, R. 1989. Aspek Entomologi Demam Berdarah Dengue -Proceeding Seminar and Workshop The Aspects of Hemoragic Fever ang Its Control . Unair. Surabaya. [Proceeding] Sugiyono. 1999. Metode Penelitian Bisnis. Alfabeta. Bandung. [Buku] Suhartono, S. 2005. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Edisi 1. AR-RUZZ. Yogyakarta. [Buku] Sukana, Bambang. 1993. Pemberantasan Vektor DBD di Indonesia. Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. [Jurnal] Sukowirnasih, Tur Endah, dkk. 2010. Hubungan Sanitasi Rumah Dengan Angka Bebas Jentik Aedes aegypti di Wilayah Kerja Puskesmas Sekaran Kota Semarang. KEMAS. Vol.6. No.1. [Jurnal] Sungkar, Saleha, dkk. 2011. Trend of Dengue Hemorrhagic Fever in North Jakarta. Department of Parasitology, Faculty of Medicine Universitas Indonesia. Jakarta. J Indon Med Assoc, Volum : 61, Nomor : 10 [Jurnal] Sungkar, Saleha. 2002. Demam Berdarah Dengue. Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta. [Jurnal] Suwito, dkk. 2010. Hubungan Iklim Kepadatan Nyamuk Dan Kejadian Malaria. Perhimpunan Entomologi Indonesia. J. Entomol Indon. Vol. 7 No. 1, 4253 [Jurnal]
93
Suwita, C.S., dkk.. 2010. Efektivitas Bacillys thuringiensis israelensis dalam Pemberantasan Larva Aedes aegepty di Kecamatan Cempaka Ptih, Jakarta Pusat. Program Pendidikan Dokter Umum & Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. [Jurnal] Suyasa, dkk. 2008. Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan. Universitas Udayana. Ecotropic Journal 3 (1) :1-6. Bali. [Jurnal] Swaina, V., et al. 2008. Sunlight Exposure Enhances Larva Mortality Rate in Culex quinguefasciatus Say. J Vektor Borne Disease. [Journal] Tjokronegoro, Aryatmo. 2005. Naskah Lengkap Demam Berdarah Dengue, Pelatihan Bagi Dokter Spesialis Anak Dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Dalam Tatalaksana Kasus DBD. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. [Buku Panduan] Tjokronegoro, A. & Sudarsono, S. . 2001. Metodologi Penelitian Bidang Kedokteran. Gaya Baru. Jakarta. [Buku] Trapsilowati W, Sulistyorini E. Pelaksanaan Standar Pelayanan Minilal Program Pencegahan Dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue Di Dinas Kesehatan Kota Semarang. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit. Salatiga. [Buletin] Ulumuddin. Ihya’. 2010. 31 Kecamatan endemik DBD. Seputar Indonesia. 17 Februari 2010. http://www.seputarindonesia.com/edisicetak/content/view/305173/. [Diakses 26 April 2014]. Veronika, 2001. Hubungan Perilaku IRT dengan pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru Tahun 2001. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara . Medan. [Skripsi] Wahono, Tri Joko. 2004. Demam Berdarah Dengue. http://www.litbang.depkes.go.id. Diakses tanggal 5 Juli 2014. Wahyuni, Sri . 1999. Perilaku Ibu Rumah Tangga Terhadap upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Medan. [Skripsi]
94
WHO. 1999. Dengue Haemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control. EGC. Jakarta. [Buku] Wilder-Smith, A, et al. 2008. Geographic Expansion of Dengue: the Impact of Inter- national Travel. Med Clin Nam. [Journal] Wirahjanto,A, dkk. 2006. Epidemilogi Demam Berdarah Dengue, dalam Demam Berdarah Dengue Edisi 2. Airlangga University Press. Surabaya. [Buku] Wiratanya, dkk. 2008. Hubungan Perilaku (Hidup) Sehat Masyarakat Terhadap Timbulnya Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Desa Seketi Kecamatan Balongbendo Kabupaten Sidoarjo. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma. Surabaya. [Penelitian] Xi Ping Hu. 2012. Mosquitoes In And Around Homes. Entomology and Plant Pathology Auburn University. Alabama. [Journal] Yohanes, Santoso. 2006. Pengetahuan, Sikap, Dan Perilaku Terhadap Demam Berdarah Pada Masyarakat Di Cimahi Tengah. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha Bandung. Bandung. [Tesis] Yotopranoto, S., et al. (1998). Dinamika Populasi Vektor pada Lokasi dengan Kasus Demam Berdarah Dengue yang Tinggi Di Kotamadya Surabaya. Majalah Kedokteran Tropis Indonesia. [Jurnal] Yudhastuti, Ririh, dkk. 2005. Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer, Dan Perilaku Masyarakat Dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegepty Di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Surabaya. Fakultas Kesehatan Masyarakat UNAIR. Surabaya. [Jurnal] Zuhriyah, Sriwahyuni, Setyarini. 2009. Hubungan Angka Bebas Jentik (ABJ) Dan Frekuensi Fogging Dengan Angka Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Gribig Kecamatan Kedungkandang Kota Malang Tahun 2008-2009. Universitas Brawijaya. Malang. [Jurnal] Zulkarnaini, Siregar, Dameria. 2009. Hubungan Kondisi Sanitasi Lingkungan Rumah Tangga Dengan Keberadaan Jentik Vektor Dengue Di Daerah Rawan Demam Berdarah Dengue Kota Dumai Tahun 2008. Universitas Riau. Pekanbaru. [Jurnal] ---------. 2000. Pencegahan Dan Pemberantasan Demam Berdarah di Indonesia. Direktorat Jenderal PPM&PL ---------. 2004. Buletin Harian : Perilaku dan Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegepty Sangat Penting Diketahui Dalam Melakukan Kegiatan Pemberantasan
95
Sarang Nyamuk Termasuk Pemantauan Jentik Berkala. Penanggulangan DBD Departemen Kesehatan RI. Jakarta
Tim
---------. 2008. Kebijaksanaan Program P2-DBD dan Situasi Terkini DBD Indonesia. Dirjen PP-PL Depkes. Jakarta ---------. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi – Topik Utama : Demam Berdarah Dengue. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI. Jakarta ---------. 2010. Kecamatan Tanah Abang Dalam Angka 2010. Jakarta ---------. 2010. Laporan Tahunan Puskesmas Kecamatan Tanah Abang Tahun 2010. Jakarta ---------. 2011. Laporan Tahunan Puskesmas Kecamatan Tanah Abang Tahun 2011. Jakarta ---------. 2012. Laporan Tahunan Puskesmas Kecamatan Tanah Abang Tahun 2012. Jakarta ---------. 2013. Laporan Tahunan Puskesmas Kecamatan Tanah Abang Tahun 2013. Jakarta ---------. 2013. Laporan Bulanan Kelurahan Kebon Kacang. Jakarta
96
Lampiran I Kuesioner Penelitian
Hubungan Perilaku 3M Plus Ibu Rumah Tangga dan Kondisi Lingkungan Terhadap Kepadatan Larva Aedes Aegypti di Wilayah Zona Merah Kelurahan Kebon Kacang, Jakarta Pusat Tahun 2014
Assalamu’alaikum wr. wb. Saat ini, saya selaku mahasiswa S-1 Jurusan Kesehatan Masyarakat, Peminatan Kesehatan Lingkungan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, sedang melakukan penelitian mengenai hubungan perilaku 3M Plus ibu rumah tangga dan kondisi lingkugan terhadap kepadatan larva Aedes aegypti di wilayah Kelurahan Kebon Kacang, Jakarta Pusat tahun 2014. Untuk kepentingan data penelitian ini, saya mengharapkan partisipasi Anda dalam menjawab pertanyaan di bawah ini dengan sejujurnya sesuai dengan pengetahuan, pendapat, dan pengalaman Anda. Terima kasih.
No.
Kuesioner
:
Hari & tanggal
:
Peneliti
:
97
Isi dan lingkarilah jawaban berdasarkan pilihan jawaban yang disediakan. (MOHON DIJAWAB SEJUJURNYA DAN JANGAN ADA YANG DIKOSONGKAN. JAWABAN DAN IDENTITAS ANDA AKAN KAMI RAHASIAKAN)
Data Pribadi
1.
Nomor Induk Responden
:
2.
Usia
:
3.
Alamat
:
4.
Telepon (jika ada)
:
5.
Pendidikan
:
a.
Tidak tamat SD
b.
Tamat SD atau sederajat
c.
Tamat SMP atau sederajat
d.
Tamat SMA atau sederajat
e.
Tamat Akademi atau Perguruan Tinggi atau sederajat
f.
Lainnya
98
A. Umum 1.
Apakah pernah mendengar Demam Berdarah Dengue (DBD)? a. Iya
2.
b. Tidak
Tahu info tentang DBD dari? (boleh lebih dari satu jawaban) a. Petugas kesehatan (bidan, perawat, dokter) b. Media cetak & elektronik (koran, majalah, brosur, pamphlet, televisi, radio) c. Kegiatan di lingkungan (penyuluhan, arisan, pengajian) d. Keluarga e. Tetangga f. Lainnya ………………………… g. Tidak pernah mendapat informasi
3.
Apakah ada anggota keluarga terdekat yang menderita DBD selama kurun waktu Januari hingga Mei? a. Ya, yaitu…….. b. Tidak
4.
Jika ya, dirawat dimana? a. Rumah sakit ……. b. Puskesmas…… c. Lainnya
5.
Berapa hari lama dirawatnya? a. 1 minggu b. Lebih dari 1 minggu
99
6.
Dimana aktivitas sehari-hari orang yang terkena DBD tersebut? a. Rumah b. Kantor c. Lainnya
B. Pengetahuan DBD 1.
Penyakit DBD ditularkan oleh….. a. Nyamuk b. Kuman c. Tidak tahu
2.
Penyebab DBD adalah….. a. Virus b. Kuman c. Nyamuk d. Tidak tahu
3.
Nyamuk penular DBD senang beristirahat di…. a. Dekat cahaya lampu b. Pakaian yang tergantung c. Tidak tahu
4.
Apakah ciri nyamuk penular DBD? a. Warna hitam bintik-bintik putih b. Warna cokelat bintik-bintik putih c. Tidak tahu
100
5.
Dimana biasanya nyamuk penular DBD berkembang biak? (jawaban boleh lebih dari satu) a. Bak mandi b. Kaleng bekas c. Comberan d. Tidak tahu
6.
Kapan waktu nyamuk penular DBD biasa menggigit orang? a. Siang b. Malam c. Tidak tahu
C. Pengetahuan 3M Plus 1.
Apakah yang dimaksud dengan gerakan 3M plus? a. Menguras bak mandi b. Menutup tempat penampungan air c. Mengubur barang bekas d. Pengelolaan lingkungan secara menyeluruh e. Benar semua
2.
Berapa kali kita harus menguras tempat penampungan air seperti bak mandi dan drum bekas yang berisi air? a. Paling sedikit seminggu sekali b. Paling sedikit dua minggu sekali c. Tidak tahu
101
3.
Bagaimanakah cara menguras bak mandi yang benar untuk memberantas jentik nyamuk penular DBD? a. Menggosok dinding dalam bak mandi b. Mengganti air saja c. Memberikan antiseptic pada air bak d. Tidak tahu
4.
Apakah setelah menguras bak mandi, masih perlu menaburkan serbuk pemberantas jentik? a. Perlu b. Tidak perlu c. Tidak tahu
5.
Kapan seharusnya diadakan pengasapan (fogging)? a. Jika ada yang terkena DBD di lingkungan rumah b. Satu bulan sekali c. Satu minggu sekali d. Tidak tahu
6.
Apakah pengasapan (fogging) merupakan cara yang paling efektif dalam menurunkan angka kasus DBD? a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu
102
7.
Apakah jendela yang secara teratur dibuka pada pagi hari dan ditutup pada sore hari dapat menurunkan angka kasus DBD? a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu
8.
Apakah menutup tempat penampungan air yang ada di rumah dapat menurunkan angka kasus DBD? a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu
D. Sikap 3M Plus 1.
Menurut Anda, siapa yang bertanggung jawab menanggulangi DBD? a. Pemerintah b. Penderita DBD dan keluarganya c. Semua komponen masyarakat
2.
Apakah Anda setuju bila program 3M Plus dijalani oleh setiap lapisan masyarakat? a. Ya b. Tidak
3.
Jika ya, apakah Anda akan berperan aktif dalam program tersebut? a. Ya b. Tidak
103
4.
Apakah perlu diadakan pengawasan terhadap jentik nyamuk di rumah? a. Ya b. Tidak
5.
Apakah perlu untuk membersihkan atau menguras bak mandi? a. Ya b. Tidak
6.
Apakah boleh menggantungkan pakaian di dalam rumah? a. Ya b. Tidak
7.
Bagaimana seharusnya untuk mencegah DBD? a. Memperhatikan diri dan melakukan 3M Plus b. Memperhatikan diri saja c. Melakukan 3M Plus saja d. Tidak tahu
E.
Tindakan 3M Plus 1.
Apakah keluarga Anda selalu menguras tempat penampungan air di rumah? a. Ya b. Tidak
104
2.
Jika ya, berapa kali? a. Satu minggu sekali b. Dua minggu sekali c. Satu bulan sekali
3.
Apakah keluarga Anda secara teratur membersihkan / mengubur / membakar barang bekas yang dapat menjadi sarang nyamuk? a. Ya b. Tidak
4.
Apakah keluarga Anda selalu menutup tempat penampungan air di rumah? a. Ya b. Tidak
5.
Apakah keluarga Anda selalu menggantungkan baju yang tidak dipakai (selain di dalam lemari baju)? a. Ya b. Tidak
6.
Apakah keluarga Anda selalu menutup jendela / lubang angin / pintu dengan kawat anti nyamuk? a. Ya b. Tidak
105
7.
Apakah keluarga Anda selalu melakukan pengawasan terhadap jentik nyamuk di rumah? a. Ya b. Tidak
8.
Bagaimana cara Anda membuang sampah rumah tangga selama ini? a. Diangkut secara rutin oleh petugas kebersihan b. Dibakar / dikubur secara rutin di lingkungan sekitar rumah c. Dibuang ke sungai / selokan
---Terima Kasih---
106
Lampiran II Uji Validitas Kuesioner 1. Pengetahuan 3M Plus Correlations P1 P1
Pearson Correlation
P2 1
1,000
Sig. (2-tailed) N P2
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
P3
**
,002
20
20
20
20
20
1
*
*
,216
,028
,013
,361
,002
20
20
20
20
1
*
,140
,491
,042
,556
,028
20
20
20
1
*
,350
,013
,130
,000 20
20
*
*
,490
,490
20
20
*
*
*
,546
,459
,546
,459
,546
,642
**
*
Pearson Correlation
,546
Sig. (2-tailed)
,013
,013
,042
20
20
20
20
20
20
*
1
,336
Pearson Correlation
,216
,216
,140
,546
Sig. (2-tailed)
,361
,361
,556
,013
20
20
20
20
20
20
**
**
*
,350
,336
1
Pearson Correlation
Pearson Correlation
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
,642
,642
,491
,147
,002
,002
,028
,130
,147
20
20
20
20
20
20
-,140
-,140
,250
-,076
,327
,509
,556
,556
,288
,749
,160
,022
20
20
20
20
20
20
-,140
-,140
,250
-,076
,327
,509
,556
,556
,288
,749
,160
,022
20
20
20
20
20
20
**
**
**
,462
,461
*
,635
,635
,652
,854
*
*
**
,003
,003
,002
,051
,041
,000
20
20
20
20
20
20
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
,642
,361
20
Sig. (2-tailed)
Hasil_P
,216
,013
,028
N
P8
,546
P6
,028
,028
Sig. (2-tailed)
P7
P5 *
,000
Sig. (2-tailed)
N P6
,490
,490
N P5
**
P4 *
Pearson Correlation
N P4
20 1,000
P3 **
107
Correlations P7 P1
Pearson Correlation
,556
,556
,003
20
20
20
-,140
-,140
,556
,556
,003
20
20
20
Pearson Correlation
,250
,250
Sig. (2-tailed)
,288
,288
,002
20
20
20
-,076
-,076
,442
,749
,749
,051
20
20
20
Pearson Correlation
,327
,327
,461
Sig. (2-tailed)
,160
,160
,041
20
20
20
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
N P4
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
P5
N P6
**
,022
,000
20
20
20
1
**
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Hasil_P
*
,022
1,000
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
,854
**
Sig. (2-tailed)
Sig. (2-tailed)
P8
*
,652
**
,509
Pearson Correlation
,509
,635
Pearson Correlation
N P7
*
,635
**
-,140
N
P3
Hasil_P
-,140
Sig. (2-tailed)
P2
P8
,642
**
,000
,002
20
20
20
**
1
1,000
,000
,642
**
,002
20
20
20
**
**
1
,642
,642
,002
,002
20
20
20
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
108
2. Sikap 3M Plus Correlations S1 S1
Pearson Correlation
S2 1
,688
Sig. (2-tailed) N S2
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
S3
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
S4
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
S5
,459
*
-,076
,042
,749
20
20
20
20
20
1
**
**
**
-,111
20 **
1,000
,001
,000
20
20 1,000
**
1,000
1,000
,667
,000
,000
,001
,641
20
20
20
20
1
**
**
-,111
,000
,001
,641
20
20
20
20
**
1
**
-,111
,001
,641 20
1,000
1,000
,667
,667
,001
,000
,000
20
20
20
20
20
*
**
**
**
1
,042
,001
,001
,001
20
20
20
20
20
20
**
1
Pearson Correlation
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
,667
,667
,667
,001
-,076
-,111
-,111
-,111
,667
,749
,641
,641
,641
,001
20
20
20
20
20 **
-,111
-,111
-,111
,749
,641
,641
,641
,001
,000
20
20
20
20
20
20
,667
**
,667
**
,667
**
1,000
**
1,000
**
-,076
*
,667
20
,459
Sig. (2-tailed)
,042
,001
,001
,001
,000
,001
20
20
20
20
20
20
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
109
,667
**
Pearson Correlation
N
,667
**
Sig. (2-tailed)
N
Hasil_S
**
,001
**
**
,688
,001
20
,688
**
S6
,001
,001
,688
,688
S5
,459
Sig. (2-tailed)
S7
**
**
S4
Pearson Correlation
N S6
20 ,688
S3
Correlations S7 S1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
S2
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
S3
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
S4
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
S5
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
S6
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
S7
Pearson Correlation
Hasil_S ,459
,749
,042
20
20
-,111
,667
Hasil_S
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
**
,641
,001
20
20
-,111
,667
**
,641
,001
20
20
-,111
,667
**
,641
,001
20
20
,667
**
1,000
**
,001
,000
20
20
1,000
**
,667
**
,000
,001
20
20
1
Sig. (2-tailed) N
*
-,076
,667
**
,001 20
20
**
1
,667
,001 20
20
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
110
3. Tindakan 3M Plus Correlations T1 T1
Pearson Correlation
T2 1
Sig. (2-tailed) N T2
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
T3
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
T4
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
T5
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
T6
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
-,111
-,111
-,111
-,111
,749
,641
,641
,641
,641
20
20
20
20
20
1
**
**
**
20
20
-,111
**
,688
,641
,001
20
20 ,688
**
,688
,688
**
,001
,001
,001
20
20
20
20
1
**
**
1,000
1,000
1,000
**
,000
,000
,000
20
20
20
20
**
1
1,000
,001
,000
20
20
20
-,111
**
**
1,000
1,000
**
1,000
**
,000
,000
20
20
20
**
1
1,000
1,000
**
,641
,001
,000
,000
20
20
20
20
20
20
-,111
**
**
**
**
1
,688
1,000
1,000
,000
1,000
,000
,000
20
20
20
20
20
20
**
-,076
-,111
-,111
-,111
-,111
,000
,749
,641
,641
,641
,641
20
20
20
20
20
20
**
-,076
-,111
-,111
-,111
-,111
,000
,749
,641
,641
,641
,641
20
20
20
20
20
20
Pearson Correlation
,464
**
**
**
**
Sig. (2-tailed)
,114
,004
,000
,000
,000
,000
20
20
20
20
20
20
Pearson Correlation
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
N
1,000
1,000
,609
,885
,885
,885
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
,688
,001
,641
,688
,688
,000
N
Hasil_T
T6
-,076
,749
-,111
T5
,001
Sig. (2-tailed)
T8
-,076
T4
,641
N T7
20
T3
111
,885
**
Correlations T7 T1
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
T2
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
T3
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
T4
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
T5
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
T6
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
T7
Pearson Correlation
T8
,464
,000
,000
,114
20
20
20
-,076
-,076
,749
,749
,004
20
20
20
-,111
-,111
,641
,641
,000
20
20
20
-,111
-,111
,641
,641
,000
20
20
20
-,111
-,111
,641
,641
,000
20
20
20
-,111
-,111
,641
,641
,000
20
20
20
1
**
,464
,000
,114
20
20
20
**
1
,464
1,000
1,000
Sig. (2-tailed) N T8
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Hasil_T
Hasil_T **
1,000
**
1,000
,000
,609
,885
,885
,885
,885
**
**
**
**
**
,114
20
20
20
Pearson Correlation
,464
,464
1
Sig. (2-tailed)
,114
,114
20
20
N
20
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
112
Lampiran III Uji Realibilitas Kuesioner 1. Pengetahuan 3M Plus Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items ,810
8
2. Sikap 3M Plus Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items ,845
7
3. Tindakan 3M Plus Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items ,819
8
113
Lampiran IV Output Univariat 1. Pengetahuan 3M Plus
2. Sikap 3M Plus
3. Tindakan 3M Plus
114
4. TPA
5. Kelembaban Udara
115
6. Suhu
116
7. Fungsi Jendela
8. Kepadatan Larva
117
Lampiran V Pedoman Wawancara 1. Sudah berapa lama Anda tinggal di Kelurahan Kebon Kacang? 2. Bagaimana pendapat Anda mengenai 3M Plus di wilayah tempat Anda tinggal? 3. Apa saja hambatan program 3M Plus di wilayah tempat Anda tinggal? 4. Apakah ada pengaruh antara 3M Plus dengan kasus DBD di wilayah tempat Anda tinggal? 5. Jika masih ada kasus DBD, apa yang sebaiknya dilakukan oleh masyarakat dan pihak kesehatan seperti puskesmas untuk menghilangkan kasus DBD?
118