HUBUNGAN FAKTOR PERILAKU DAN FAKTOR LINGKUNGAN DENGAN KEBERADAAN LARVA NYAMUK AEDES AEGYPTI DI KELURAHAN SAWAH LAMA TAHUN 2013
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh: Mentary Putry Rendy 109101000043
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, Agustus 2013 MENTARY PUTRY RENDY, NIM : 109101000043 Hubungan Faktor Perilaku dan Faktor Lingkungan dengan Keberadaan Larva Nyamuk AedesAegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 XVII + 112halaman, 3 bagan, 2 gambar, 20 tabel, 4lampiran ABSTRAK Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) di Indonesia dan sering menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di berbagai wilayah. Salah satu cara mencegahnya adalah dengan memutus siklus kehidupan nyamuk, khususnya pada stadium larva. Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada penelitian ini, ditemukan larva nyamuk Aedes aegypti pada 4 dari 10 rumah yang diperiksa. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional, yang dilakukan pada bulan Juni-Juli di Kelurahan Sawah Lama Kota Tangerang Selatan tahun 2013. Tujuannya untuk mengetahui hubungan faktor perilaku dan faktor lingkungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. Sampel pada penelitian ini merupakan ibu-ibu yang bertempat tinggal di Kelurahan Sawah Lama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 55% rumah responden ditemukan larva Aedes aegypti. Faktor-faktor yang berhubungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti dalam penelitian ini yaitu pengetahuan (p value 0,001), sikap (p value 0,004), praktek menguras tempat penampungan air (p value 0,013),praktekmenyingkirkanbarangbarangbekas yang dapatmenjaditempatpenampungan air(p value 0,032), jenis tempat penampungan air(p value 0,007). Sedangkan faktor-faktor yang tidak berhubungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti dalam penelitian ini yaitu praktek menutup tempat penampungan air (p value 0,099) dan ketersediaan tutup pada tempat penampungan air (p value 0,621). Faktor yang paling dominan dengan keberadaan larva Aedes aegypti adalah pengetahuan. Untuk mengurangi adanya keberadaan larva Aedes aegypti disarankan agar setiap masyarakat dan stakeholder bekerjasama untuk mencegah adanya larva dengan selalu berperilaku hidup bersih dan sehat sehingga dapat meniadakan tempat-tempat yang berpotensi untuk kelangsungan siklus hidup nyamuk. Kata kunci : DBD, larva nyamuk Aedes aegypti, perilaku dan lingkungan Daftar bacaan : 62 (1971 - 2012)
ii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH ENVIRONMENTAL HEALTH Undergraduate Thesis, August 2013 Mentary Putry Rendy, NIM : 109101000043 Behavioral Factors Relationships And Environmental Factors With Aedes Aegypti Mosquito Larvae Presence In Kampung Sawah 2013 XVII + 112 pages, 3 charts, 2 images, 20 tables, 4 attachments ABSTRACT Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a kind of diseases which causes an extra ordinary ambience in Indonesia and often become a major healthy problem of people among the citizen. One of the way to prevent this disease is to break the life cycle of mosquitoes, especially over the larva level. Based on result of the preliminary study in this research, 4 from 10 houses that had been checked there are larvae to be found over the research. This research is quantitative research by approaching cross sectional, the research conducted on June-July at Sawah Lama village of Tanggerang Selatan in 2013. The objection of this research is to know about the correlation of the behavior factor and the environment factor over the larvae of Aedes aegypti that has exist on it at Sawah Lama district of Tanggerang Selatan in 2013. The samples of the research are the house wives as the resident of Sawah Lama district. The result of the research showed that 55% houses as respondent have been found larve Aedes aegypti. The common factors that has a correlation with the existence of Aedes aegypti larva in this research is a knowledge (p value 0,001), behavior (p value 0,004), act of draining the water container (p value 0,013), act of throw out unusable thing that can be mosquito’s nest (p value 0,032), kind of water container (p value 0,007). More over factors that not related to Aedes aegypti larva in this research is the act of closing the water container cap (p value 0,099) and the existence of the water lid (p value 0,621). Dominantly, a knowledge factor as the most factor of the existence of Aedes aegypti larvae. For reducing the existence of Aedes aegypti larvae, suggested to every people over the community and stakeholder work together to break the existence Aedes aegypti larva by applying clean and health life behavior in order to leave the environment prospects of mosquito’s life cycle.
Keywords : dengue, mosquito larvae of Aedes aegypti, behavioral and environmental References : 62 (1971 - 2012)
iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Identitas Pribadi Nama
: Mentary Putry Rendy
TTL
: Pasir, 25Februari 1992
AlamatAsal
: Surau Kamba No. 25, IV Angkat, Kab. Agam, Sumatera Barat
AlamatSekarang : Jalan Nubala No. 25 B, RT. 004 / RW. 08, Pisangan, Ciputat, Tangerang Selatan Agama
: Islam
Gol.Darah
:A
Status
: BelumMenikah
No. Telp
: 085697258905
Email
:
[email protected]
RiwayatPendidikan 2009 - sekarang
: S1-Peminatan Kesehatan Lingkungan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2006 - 2009
: SMA Negeri 3 TeladanBukittinggi
2003 - 2006
: SMP Negeri 2 Bukittinggi
1997 - 2003
: SD Negeri 01 BPA Bukittinggi
PengalamanOrganisasi 2009 - 2010
: Anggota KSR PMI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2010 – 2011
: Staff Publikasi dan Humas KSR PMI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2010 - 2011
: Koordinator Departemen Seni dan Budaya IKMM Ciputat
2011 - sekarang : Anggota Environmental Health Student Association (ENVIHSA) Indonesia 2011 - sekarang : Sekretaris I IKMM Ciputat
vi
PengalamanKerja 2011 - 2012
: Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) di Puskesmas Ciputat
2012
: Orientasi Kerja di PT. Proton Gumilang
2012
: Panitia Peresmian dan Pelatihan Program CSR Kemitraan PT. Yama Engineering dengan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2013
: Kerja Praktek di PT. Chevron Pacific Indonesia
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Skripsi yang berjudul “Hubungan Faktor Perilaku dan Faktor Lingkungan dengan Keberadaan Larva Nyamuk Aedes Aegypti di Kelurahan Sawah Lama Kota Tangerang Selatan tahun 2013”. Sholawat dan salam juga dihaturkan kepada Rasulullah SAW, semoga kita memperoleh syafaatnya di akhirat nanti. Amin. Penulis menyadari bahwa laporan ini tidak akan tersusun dan selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan hingga terselesaikannya laporan skripsi ini, diantaranya: 1. Orang tua dan keluarga besar penulis yang senantiasa memberikan dukungan moril dan materil serta doa yang tulus untuk keberhasilan penulis. 2. Bapak Prof. Dr. (hc). Dr. M.K. Tadjuddin, Sp. And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Febrianti, MSi, selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat. 4. Ibu Ela Laelasari, S.KM, M.Kes dan Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku pembimbing skripsi yang telahbanyakmembantupenelitidariawalsampai akhir penulisan laporan skripsi ini serta telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan masukan dan arahan dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes selaku penguji dalam ujian proposal skripsi, terima kasih atas kesediaannya untuk menjadi penguji dalam ujian proposal skripsi dan saran-saran yang sangat berarti bagi penulis. 6. Bapak/Ibu dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan banyak ilmu yang sangat bermanfaat dan semoga dapat diaplikasikan dalam kehidupan peneliti.
viii
7. Para pegawai di Puskesmas Kampung Sawah yang telah memberikan izin pengambilan data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini dan membantu di lapangan. 8. Sahabat-sahabat terbaik cumi-cumi (Amelia Marif, Indryani, Nani Sulistyarini dan Rahmi Fadhila). 9. Sahabat-sahabat di kosan (Ami, Rosita, Emmy dan Reni). 10. Sahabat-sahabat Jamaah Kesehatan Lingkungan 2009 (Nisa, Agung,Ima, Ersa, Ratna, Rudi, Zia, Yeni, Maya, Dilla, Cita, Udin, Reni, Yudi, Ami, Aan, Nita, Morrys, Risma) serta adik-adik kelas Kesehatan Lingkungan. 11. Sahabat-sahabat di Program Studi Kesehatan Masyarakat angkatan 2009. 12. Dunsanak-dunsanak IKMM Ciputat. 13. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan skripsi ini, yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu. Peneliti menyadari bahwa dalam penulisan laporan skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan dimasa mendatang. Semoga laporan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin.
Jakarta, 2013
Peneliti
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK ABSTRAC LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI DAFTAR RIWAYAT HIDUP KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR BAGAN
Halaman i ii iii iv v vi viii x xiii xv xvii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Pertanyaan Penelitian D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum 2. Tujuan Khusus E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Dinas Kesehatan 2. Bagi Puskesmas 3. Bagi Kelurahan 4. Bagi Program Kesehatan Lingkungan F. Ruang Lingkup
1 1 5 6 8 8 8 10 10 10 10 10 11
BAB II TINJAUAN PUSAKA A. Demam Berdarah Dengue (DBD) B. Vektor Penular C. Pengendalian Vektor DBD D. Patogenesis Penyakit Berbasis Lingkungan E. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti F. KerangkaTeori
12 12 17 24 33
x
34 43
BAB IIIKERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Kerangka Konsep B. Definisi Operasional C. Hipotesis Penelitian
44 44 46 53
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian B. Lokasi dan Waktu Penelitian C. Populasi dan Sampel D. Pengumpulan Data E. Instrument Penelitian F. Jenis Data G. Pengolahan Data H. Analisis Data
54 54 54 54 57 58 59 59 60
BAB V HASIL A. Gambaran Umum Tempat Penelitian B. Analisis Univariat 1. Gambaran Keberadaan Larva 2. Gambaran Pengetahuan 3. Gambaran Sikap 4. Gambaran Praktek Menguras Tempat Penampungan Air 5. Gambaran Praktek Menyingkirkan Barang-Barang Bekas 6. Gambaran Praktek Menutup Tempat Penampungan Air 7. Gambaran Ketersediaan Tutup Pada TPA 8. Gambaran Jenis TPA C. Analisis Bivariat 1. Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti 2. Hubungan Antara Sikap Dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti 3. Hubungan Antara Praktek Menguras Tempat Penampungan Air Dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti 4. Hubungan Antara Praktek Menyingkirkan Barang-Barang Bekas Yang Dapat Menjadi Tempat Penampungan Air Dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti 5. Hubungan Antara Praktek Menutup Tempat Penampungan Air Dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti
62 62 62 63 64 64 65 66 67 67 68 69
xi
69 71 72
73 75
6.
Hubungan Antara Ketersediaan Tutup Pada TPA Dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti 7. Hubungan Antara Jenis TPA Dengan Keberadaan Larva Nyamuk Aedes Aegypti D. Analisis Multivariat 1. Pemilihan Variabel Kandidat Analisis Multivariat 2. Pembuatan Model Faktor Penentu Variabel yang Paling Berpengaruh
76 78 79 79 80
BAB VI PEMBAHASAN A. Keterbatasan Penelitian B. Gambaran Keberadaan Larva Aedes Aegypti C. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Praktek Menguras Tempat Penampungan Air 4. Praktek Menyingkirkan Barang-Barang Bekas 5. Praktek Menutup Tempat Penampungan Air 6. Ketersediaan Tutup pada Tempat Penampungan Air 7. Jenis Tempat Penampungan Air
86 86 88 91 93 96 97 100
BAB VII PENUTUP A. Simpulan B. Saran
102 102 104
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xii
83 83 84
DAFTAR TABEL No.Tabel No. Halaman 3.1 Definisi Operasional 46 4.1 Hasil Perhitungan Sampel 56 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Keberadaan Larva Aedes aegypti 63 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan 64 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap 64 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menguras Tempat Penampungan Air 65 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menyingkirkan Barang – Barang Bekas 66 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menutup Tempat Penampungan Air 67 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Ketersediaan Tutup Pada Tempat Penampungan Air 68 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Tempat Penampungan Air 69 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan dan Keberadaan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 70 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap dan Keberadaan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 71 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menguras Tempat Penampungan Air dan Keberadaan Larva Aedes aegyptidi KelurahanSawah Lama Tahun 2013 72 5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menyingkirkan Barang – Barang Bekas dan Keberadaan Larva Aedes aegyptidi Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 74 5.13 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menutup Tempat Penampungan Air dan Keberadaan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 75 5.14 Distribusi Responden Berdasarkan Ketersediaan Tutup Pada Tempat Penampungan Air dan Keberadaan Larva Aedes aegypti Di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 77 5.15 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Tempat Penampungan Air Dan Keberadaan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 78
xiii
5.16
5.17 5.18
Hasil Analisis Bivariat Antara Variabel Pengetahuan, Sikap, Praktek Menguras Tempat Penampungan Air, Praktek Menyingkirkan Barang-Barang Bekas yang Dapat Menjadi Tempat Penampungan Air, Praktek Menutup Tempat Penampungan Air dan Jenis Tempat Penampungan Air di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 Hasil Analisis Multivariat di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 Hasil Analisis Multivariat Antara Pengetahuan, Sikap, Praktek Menyingkirkan Barang-Barang Bekas yang dapat Menjadi Tempat Penampungan Air dan Jenis Tempat Penampungan Air Di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013
xiv
80 81
82
DAFTAR GAMBAR No.Gambar 2.1 2.2
Nomor Halaman Siklus Hidup Nyamuk Tempat yang Diperlukan untuk Siklus Perkembangan Nyamuk
xv
21 22
DAFTAR BAGAN Nomor Bagan 2.1
Nomor Halaman Patogenesis Penyakit Dalam Prespektif Lingkungan Dan Kependudukan
33
2.1
Kerangka Teori
43
3.1
Kerangka Konsep
45
xvi
LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran4
Surat Izin Penelitian Lembar Kuesioner Lembar Observasi Output
xvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever (DHF) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang terinfeksi virus dengue ke manusia. Virus dengue mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Penyakit DBD dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian, (Kemenkes RI, 2010). Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan bahwa Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya, (Kemenkes RI, 2010). WHO (2007), memperkirakan setiap tahun terdapat sekitar 50-100 juta kasus DBD dengan 500.000 diantaranya memerlukan perawatan di rumah sakit dan diketahui bahwa DBD merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian di Asia Tenggara dengan 57% dari total kasus DBD di Asia Tenggara terjadi di Indonesia. Sementara itu, WHO dalam Kemenkes RI (2010) juga mencatat sejak tahun 1968 hingga tahun 2009 Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara.
1
2
Dalam epidemiologi terdapat ukuran-ukuran yang dapat menggambarkan angka kesakitan/angka insiden (IR/Incident Rate) dan angka kematian (CFR/Case Fatality Rate) kasus DBD. IR merupakan frekuensi penyakit baru yang berjangkit dalam masyarakat di suatu wilayah/tempat pada waktu tertentu. Sedangkan CFR merupakan persentase angka kematian oleh sebab penyakit tertentu, (Notoatmodjo, 2007). Data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009) dalam Kemenkes RI (2010), menunjukkan angka insiden DBD per 100.000 penduduk di Indonesia tahun 19682009 terjadi tren yang terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi
peningkatan
kasus
termasuk
lemahnya
upaya
program
pengendalian DBD, sehingga upaya program pengendalian DBD perlu mendapat perhatian lebih terutama pada tingkat kabupaten/kota dan Puskesmas. Berdasarkan data Ditjen PP & PL, Kemenkes (2012) dalam Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011, dari jumlah penduduk Indonesia 241.182.182 jiwa terjadi kasus DBD sebanyak 65.432 jiwa dan jumlah kasus meninggal 595 dengan CFR 0,91% dan IR per 100.000 penduduk adalah 27,56. Sementara itu, target nasional untuk IR adalah <53 per 100.000 penduduk. Provinsi Banten dengan jumlah penduduk 10.922.177 jiwa terdapat jumlah kasus 1.736 jiwa dan jumlah kasus meninggal 32 kasus dengan CFR 1,84% dan IR per 100.000 penduduk adalah 15,89. Angka IR di atas masih di bawah standar nasional, namun Indonesia dan Provinsi Banten masih merupakan daerah endemis DBD. Hal ini
3
dikarenakan penyakit DBD di wilayah Indonesia dan Banten sering terjadi pada populasi secara konstan dalam jumlah sedikit atau sedang. Kota Tangerang Selatan merupakan salah satu kota Endemis DBD di Provinsi Banten. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan (2013), IR tahun 2012 adalah 60 per 100.000 penduduk, tercatat juga beberapa Puskesmas masih memiliki angka kesakitan DBD diatas target nasional. Selain itu, berdasarkan data tersebut diketahui pula bahwa Puskesmas Kampung Sawah merupakan daerah dengan kasus DBD yang tinggi dibandingkan dengan Puskesmas lainnya yang berada di wilayah Tangerang Selatan. Dari 66.496 jumlah penduduk terdapat 79 total kasus DBD dengan 1 orang meninggal dengan IR 11,9 per 10.000 penduduk dan CFR 1,3. Puskesmas Kampung Sawah mempunyai 2 kelurahan wilayah kerja, yakni Kelurahan Sawah Lama dan Sawah Baru. Untuk kasus DBD Kelurahan Sawah Lama memiliki angka kasus paling tinggi dibandingkan dengan Kelurahan Sawah Baru dan Kelurahan lainnya di Kota Tangerang Selatan, yaitu dengan total 41 kasus dari 35.130 jumlah penduduk. Disamping itu IR dan CFR masing-masing yaitu 11,671 per 10.000 penduduk dan 0,00. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi
lingkungan
yang
kurang
baik
sehingga
memungkinkan
untuk
perkembangan siklus hidup vektor DBD, (Dinkes Tangsel, 2013). Kondisi lingkungan yang memungkinkan nyamuk Aedes aegypti hidup merupakan faktor yang mendorong adanya kejadian DBD. Memutus mata rantai penularan DBD adalah cara yang tepat untuk mencegah terjadinya penyakit ini.
4
Memberantas jentik-jentik/larva nyamuknya adalah cara yang tepat untuk mencegah kejadian DBD, (Depkes, 2000). Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (2005) menetapkan bahwa standar nasional untuk Angka Bebas Jentik (ABJ) yaitu 95%. Namun, yang sangat penting diperhatikan adalah peningkatan pemahaman, sikap dan perubahan perilaku masyarakat terhadap penyakit ini akan sangat mendukung percepatan untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit DBD, (Ginanjar, 2008). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Angka Bebas Jentik (ABJ) di wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah ini sangat rendah yaitu 69%. Sedangkan untuk kelurahan wilayah kerjanya yakni Kelurahan Sawah Lama dan Kelurahan Sawah Baru memiliki Angka Bebas Jentik masing-masing wilayah 53% dan 83%. Studi pendahulan yang dilakukan peneliti pada 10 rumah di Kelurahan Sawah Lama ditemukan 4 rumah dengan jentik nyamuk. Hal ini menandakan kurangnya perilaku untuk hidup bersih dan sehat di masyarakat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ririh (2005) menunjukkan terdapat hubungan antara kelembaban udara, jenis kontainer, pengetahuan dan sikap terhadap keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Wonokusumo, Kecamatan Semampir, Kota Surabaya. Penelitian Suyasa (2008), menunjukkan ada hubungan antara kepadatan penghuni, keberadaan tempat ibadah, keberadaan pot tanaman hias, saluran air hujan, mobilitas penduduk, keberadaan kontainer, tindakan dan kebiasaan menggantung pakaian dengan
5
keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan. Penelitian lain, Setiawan (2002) menunjukkan ada hubungan antara letak TPA/tempat penampungan air, tutup TPA dan frekuensi pembersihan TPA. Selain itu penelitian Damyanti (2009) mengenai hubungan pengetahuan, sikap dan praktek 3M (menutup, mengubur dan menguras) dengan keberadaan jentik Aedes aegypti menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan, sikap, praktek menguras tempat penampungan air dan praktek mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Kepolorejo, Magetan. Berdasarkan uraian di atas, penyebab terjadinya DBD bukan hanya terjadi karena adanya vektor pembawa virus DBD saja, namun ada faktor lain seperti perilaku masyarakat terhadap pemberantasan sarang nyamuk atau yang dikenal PSN DBD dengan kegiatan 3M (mengubur, menutup dan menguras tempat penampungan air/TPA) serta lingkungan yang mempengaruhi keberadaan vektor tersebut yang menyebabkan keberadaan vektor tetap ada. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti mengenai hubungan faktor perilaku dan faktor lingkungan dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
B. Rumusan Masalah Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang sering ditemukan baik endemik maupun epidemik di wilayah tropis dan subtropis. Di
6
Indonesia sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) DBD dan sering menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di berbagai wilayah. Faktor manusia, faktor agen dan faktor lingkungan merupakan faktor yang saling berhubungan dengan kejadian penyakit ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan untuk mengurangi dan menghabiskan penyakit ini. Salah satu caranya adalah dengan memutus siklus vektor pembawa penyakit DBD yaitu siklus kehidupan nyamuk Aedes aegypti. Keberadaan larva/jentik nyamuk Aedes aegypti pada tempat penampungan air rumah tangga merupakan keadaan yang harus dihilangkan. Standar nasional menetapkan standar untuk Angka Bebas Jentik yaitu 95%. Kelurahan Sawah Lama memiliki Angka Bebas Jentik 53%. Disamping itu, total kasus DBD di Kelurahan Sawah Lama juga tinggi dibandingkan dengan total kasus yang ada di tiap kelurahan yang ada di Kota Tangerang Selatan yakni 41 total kasus. Berdasarkan hal di atas penelitian ingin meneliti hubungan faktor perilaku dan faktor lingkungan dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013? 2.
Bagaimana gambaran pengetahuan di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?
7
3.
Bagaimana gambaran sikap di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?
4.
Bagaimana gambaran praktek menguras tempat penampungan air di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?
5.
Bagaimana gambaran praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?
6.
Bagaimana gambaran praktek menutup tempat penampungan air di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?
7.
Bagaimana gambaran ketersediaan tutup pada TPA di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?
8.
Bagaimana gambaran jenis TPA di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?
9.
Bagaimana hubungan pengetahuan dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?
10. Bagaimana hubungan sikap dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013? 11. Bagaimana hubungan praktek menguras tempat penampungan air dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013? 12. Bagaimana hubungan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?
8
13. Bagaimana hubungan praktek menutup tempat penampungan air dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013? 14. Bagaimana hubungan ketersediaan tutup pada TPA dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013? 15. Bagaimana hubungan jenis TPA dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013? 16. Apakah faktor yang paling dominan terhadap keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan faktor perilaku dan faktor lingkungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui gambaran keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. b. Mengetahui gambaran pengetahuan di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. c. Mengetahui gambaran sikap di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. d. Mengetahui gambaran praktek menguras tempat penampungan air dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
9
e. Mengetahui gambaran praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. f. Mengetahui gambaran praktek menutup tempat penampungan air di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. g. Mengetahui gambaran ketersediaan tutup pada TPA di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. h. Mengetahui gambaran jenis TPA di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. i. Mengetahui hubungan pengetahuan dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. j. Mengetahui hubungan sikap dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. k. Mengetahui hubungan praktek menguras tempat penampungan air dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. l. Mengetahui hubungan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. m. Mengetahui hubungan praktek menutup tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. n. Mengetahui hubungan ketersediaan tutup pada TPA dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
10
o. Mengetahui hubungan jenis TPA dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. p. Mengetahui faktor yang paling dominan yang mempengaruhi keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Dinas Kesehatan Untuk memberikan masukan bagi pengambil keputusan dan pengelola program pada Dinas Kesehatan dalam melakukan intervensi yang tepat untuk program pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD. 2. Bagi Puskesmas Untuk meningkatkan kinerja dan intervensi dalam program pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD melalui Puskesmas. 3. Bagi Kelurahan Untuk memberikan masukan sebagai upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD. 4. Bagi Program Kesehatan Lingkungan Untuk memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya tentang faktorfaktor yang berhubungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti terhadap kejadian DBD.
11
F. Ruang Lingkup Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan faktor perilaku dan faktor lingkungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan rancangan cross sectional. Penelitian dilakukan pada bulan Juni-Juli tahun 2013. Data diperoleh dari data primer yaitu lembar kuesioner dan lembar observasi serta data sekunder yaitu data Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, Puskesmas Kampung Sawah dan Kelurahan Sawah Lama.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Demam Berdarah Dengue (DBD) 1. Pengertian Demam Berdarah Dengue Demam Berdarah Dengue (Dengue Haemorraghic Fever) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, diatesis hemoragik dan perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh, (Nisa, 2007).
2. Etiologi DBD Virus dengue memiliki 4 tipe virus penyebab DBD, yaitu: DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Tiap virus dapat dibedakan melalui isolasi virus di laboratorium. Infeksi oleh satu tipe virus dengue akan memberikan imunitas yang menetap terhadap infeksi virus yang sama pada masa yang akan datang. Namun hanya memberikan imunitas sementara dan parsial terhadap infeksi tipe virus lainnya, (Ginanjar, 2008). Virus yang ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti memerlukan 8-10 hari untuk menyelesaikan masa inkubasi ekstrinsik dari lambung sampai kelenjar ludah nyamuk tersebut. Sebelum demam 12
13
muncul pada penderita, virus ini sudah terlebih dulu berada dalam darah 1-2 hari. Setelahnya penderita berada dalam kondisi virenia selama 4-7 hari, (Ginanjar, 2008).
3. Gejala Klinis Gejala klinis yang mungkin timbul pasca-infeksi virus dengue sangat beragam, mulai dari demam tidak spesifik (sindrom infeksi demam virus), demam dengue, demam berdarah dengue (DBD), hingga yang terberat yaitu sindrom syok dengue, (Ginanjar, 2008). Pada penderita penyakit DBD dapat ditemukan gejala-gejala klinis dan laboratoris, sebagai berikut, (Tumbelaka, 2004): a. Kriteria Klinis 1) Demam tinggi yang berlangsung dalam waktu singkat, antara 2-7 hari, yang dapat mencapai 40oC. Demam sering disertai gejala tidak spesifik, seperti tidak nafsu makan (anoreksia), lemah badan (malaise), nyeri sendi dan tulang serta rasa sakit di daerah bola mata (retro orbita) dan wajah yang kemerah-merahan (flusing). 2) Tanda-tanda perdarahan seperti mimisan (epistaksis), perdarahan gusi, perdarahan pada kulit seperti tes Rumpeleede (+), ptekiae dan ekimosis, serta buang air besar berdarah berwarna merah kehitaman (melena). 3) Pembesaran organ hati (hepatomegali).
14
4) Kegagalan sirkulasi darah yang ditandai dengan denyut nadi yang teraba lemah dan cepat, ujung-ujung jari terasa dingin serta dapat disertai penurunan kesadaran dan renjatan (syok) yang dapat menyebabkan kematian.
b. Kriteria Laboratoris Diagnosis penyakit DBD ditegakkan berdasarkan adanya dua kriteria klinis atau lebih, ditambah dengan adanya minimal satu kriteria laboratoris. Kriteria laboratoris meliputi: 1) Penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) ≤ 100.000/mm3. 2) Peningkatan kadar hematokrit >20% dari normal.
c. Derajat Keparahan/Besar Penyakit DBD Derajat keparahan penyakit DBD berbeda-beda menurut tingkat keparahannya. Tingkat keparahan penyakit DBD terbagi menjadi: 1) Derajat 1
: badan panas selama 5-7 hari, gejala umum tidak khas.
2) Derajat 2
: seperti derajat 1, disertai pendarahan spontan pada
kulit berupa ptekiae dan ekimosis, mimisan (epistaksis), muntah darah (hematemesis), buang air besar berdarah berwarna merah kehitaman (melena), perdarahan gusi, perdarahan rahim (uterus), telinga dan sebagainya.
15
3) Derajat 3
: ada tanda-tanda kegagalan sirkulasi darah, seperti
denyut nadi teraba lemah dan cepat (>120x/menit), tekanan nadi (selisih antara tekanan darah sistolik dan diastolik) menyempit (<20 mmHg). DBD derajat 3 merupakan peringatan awal yang mengarah pada terjadinya renjatan (syok). 4) Derajat 4
: denyut nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur,
denyut jantung >140x/menit, ujung-ujung jari kaki dan tangan terasa dingin, tubuh berkeringat, kulit membiru. DBD derajat 4 merupakan manifestasi syok, yang sering kali berakhir dengan kematian.
4. Epidemiologi DBD a. Distribusi penyakit DBD menurut orang Menurut WHO (1998), DBD dapat menyerang semua umur walaupun sampai sampai saat ini DBD lebih banyak menyerang anak-anak tetapi dalam dekade terakhir DBD terlihat kecendrungan kenaikan proporsi pada kelompok dewasa, karena pada kelompok umur ini mempunyai mobilitas yang tinggi dan sejalan dengan perkembangan transportasi yang lancar, sehingga memungkinkan tertularnya virus dengue lebih besar. Pada awal epidemi, jenis kelamin pernah ditemukan perbedaan nyata antara anak laki-laki dan perempuan. Beberapa negara melaporkan banyak kelompok wanita dengan Dengue Shock Syndrome (DSS)
16
menunjukkan angka kematian yang tinggi daripada laki-laki. Singapura dan Malaysia pernah mencatat adanya perbedaan angka kejadian infeksi di antara kelompok etnik. Penduduk Cina banyak terserang DBD dari pada yang lain (Soegijanto, 2003).
b. Distribusi penyakit DBD menurut tempat Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempattempat dengan ketinggian 1000 meter dari permukaan laut karena pada tempat yang tinggi dengan suhu yang rendah siklus perkembangan Aedes aegypti tidak sempurna, (Depkes RI, 2007). Depkes (2005), menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit meningkat pesat. Hingga saat ini DBD telah ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa dengan IR meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi 6-27 per 100.000 penduduk pada tahun 2004. Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit disebablan karena semakin baiknya sarana transportasi, adanya pemukiman baru dan terdapatnya vektor nyamuk hamper di seluruh wilayah di Indonesia (Depkes RI, 2003).
17
c. Distribusi penyakit DBD menurut waktu Menurut Djunaedi (2006), menyebutkan bahwa epidemi DBD di negara-negara 4 musim, berlangsung pada musim panas walaupun ditemukan kasus DBD yang sporadis pada musim dingin. Negara-negara kawasan Asia Tenggara, epidemik DBD terutama terjadi pada musim hujan. Epidemi DBD yang berlangsung pada musim hujan, erat kaitannya dengan kelembaban yang tinggi pada musim hujan. Kelembaban yang tinggi merupakan lingkungan yang optimal bagi masa inkubasi (dapat mempersingkat masa inkubasi) dan juga dapat meningkatkan aktivitas vektor penular virus DBD.
B. Vektor Penular 1. Morfologi Nyamuk Aedes Aegypti Nyamuk Aedes aegypti betina dewasa memiliki tubuh berwarna hitam kecoklatan. Ukuran tubuh nyamuk Aedes aegypti betina antara 3-4 cm dengan mengabaikan panjang kakinya. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan garis-garis putih keperakan. Di bagian dorsal (punggung) tubuhnya tampak dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan yang menjadi ciri dari nyamuk Aedes aegypti, (Ginanjar, 2008). Sisik pada tubuh nyamuk pada umumnya mudah rontok dan terlepas sehingga menyulitkan identifikasi pada nyamuk-nyamuk tua. Ukuran dan warna nyamuk Aedes aegypti kerap berbeda antarpopulasi, tergantung pada
18
kondisi lingkungan dan nutrisi yang diperoleh nyamuk selama perkembangan, (Ginanjar, 2008). Dalam hal ukuran nyamuk jantan dan betina tidak memiliki perbedaan nyata. Biasanya, nyamuk jantan memiliki tubuh lebih kecil dari pada betina dan terdapat rambut-rambut tebal pada antena nyamuk jantan. Kedua ciri ini dapat diamati dengan mata telanjang, (Ginanjar, 2008).
2. Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti Nyamuk termasuk hewan yang bermetamorfosis sempurna atau holometabola. Masa pertumbuhan dan perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dibagi menjadi empat tahap, yaitu telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa, (Soegijanto, 2006). a. Stadium Telur Telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk elips atau oval memanjang, berwarna hitam, berukuran 0,5-0,8 mm, tidak memiliki alat pelampung dan terpisah satu dengan yang lain. Nyamuk Aedes aegypti meletakkan telur pada permukaan air bersih secara individual dan meletakkan telurtelurnya satu per satu pada permukaan air, biasanya pada tepi air di kontainer/tempat penampungan air (TPA) bersih dan sedikit di atas permukaan air. Setiap hari nyamuk Aedes aegypti betina dapat bertelur rata-rata 100 butir apabila telah menghisap darah manusia. Telur pada
19
tempat kering (tanpa air) dapat bertahan hingga 6 bulan. Telur-telur menetas dalam satu sampai dua hari menjadi larva/jentik, (Herms, 2006). b. Stadium Larva Larva nyamuk Aedes aegypti mempunyai ciri khas yakni memiliki siphon yang pendek, besar dan berwarna hitam. Tubuh larva ini langsing, bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif dan pada waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan permukaan air. Larva menuju ke permukaan air dalam waktu kira-kira setiap ½-1 menit, guna mendapatkan oksigen untuk bernapas. Larva nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang selama 6-8 hari, (Herms, 2006). Larva
sangat
membutuhkan
air
yang
cukup
untuk
perkembangannya. Kondisi larva saat berkembang dapat memengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang dihasilkan. Contohnya, populasi larva yang melebihi ketersediaan makanan akan menghasilkan nyamuk dewasa yang cenderung lebih rakus dalam menghisap darah, (Ginanjar, 2008). Menurut Depkes RI (2005) terdapat empat tahapan pada perkembangan larva yang disebut instar. Pertumbuhan larva tersebut yaitu: 1) Instar I
: berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm
2) Instar II
: 2,5-3,8 mm
3) Instar III
: lebih besar sedikit dari larva instar II
4) Instar IV
: berukuran paling besar, yaitu 5 mm
20
Perkembangan dari instar satu ke instar empat memerlukan waktu sekitar lima hari. Setelah mencapai instar keempat, larva berubah menjadi pupa dimana larva memasuki masa dorman (inaktif/tidur), (Ginanjar, 2008). c. Stadium Pupa Pupa nyamuk Aedes aegypti mempunyai bentuk bengkok dengan bagian kepala dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya sehingga tampak seperti tanda baca „koma‟. Tahap pupa pada nyamuk Aedes aegypti umumnya berlangsung selama 2-4 hari. Pupa akan naik ke permukaan dan berbaring sejajar dengan permukaan air saat nyamuk dewasa akan melengkapi perkembangannya dalam cangkang pupa untuk persiapan munculnya nyamuk dewasa, (Achmadi, 2011). d. Nyamuk Dewasa Nyamuk dewasa yang baru muncul akan beristirahat untuk periode singkat di atas permukaan air agar sayap-sayap dan badan mereka kering dan menguat sebelum akhirnya dapat terbang. Nyamuk jantan dan betina muncul dengan perbandingan jumlah 1:1. Nyamuk jantan muncul satu hari sebelum nyamuk betina, menetap dekat tempat perkembangbiakan, makan dari sari buah tumbuhan dan kawin dengan nyamuk betina yang muncul kemudian. Setelah kemunculan pertama nyamuk betina makan sari buah dan tumbuhan untuk mengisi tenaga, kemudian kawin dan menghisap
21
darah manusia. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan, (Achmadi, 2011). Gambar 2.1 Siklus Hidup Nyamuk Sumber: Febrianto (2012)
3. Prilaku Nyamuk Ada tiga tempat yang diperlukan untuk kelangsungan hidup nyamuk, hubungan tersebut terlihat pada diagram berikut:
22
Gambar 2.2 Tempat yang Diperlukan untuk Siklus Perkembangan Nyamuk Sumber : Sumantri (2010) Tempat untuk berkembang biak
Environment Tempat untuk istirahat
Tempat untuk mencari makan
Perilaku vektor yang berhubungan dengan ketiga macam habitat tersebut penting diketahui untuk menunjang program pemberantasan vektor, (Sumantri, 2010). a. Tempat Perkembangbiakan Vektor Tempat perkembangbiakan utama nyamuk Aedes aegypti adalah tempat penampungan air bersih di dalam atau sekitar rumah, berupa genangan air yang tertampung di suatu tempat atau bejana seperti bak mandi, tempayan, tempat minum burung dan barang-barang bekas yang dibuang sembarangan yang dapat terisi air pada waktu hujan. Nyamuk Aedes aegypti tidak dapat berkembangbiak pada genangan air yang berhubungan langsung dengan tanah, (Depkes RI, 2005). Pernyataan ini diperkuat dengan penelitian Nelson (1976), bahwa tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti di Jakarta sebagian besar terletak di rumah. Sedangkan penelitian Chan (1971) 95% tempat
23
perindukan Aedes aegypti adalah di rumah. Serta penelitian Suzuki (1976), menunjukkan bahwa 70% bejana penyimpanan air di dalam rumah merupakan tempat berkembangbiaknya Aedes aegypti. Menurut
Direktorat
Jenderal
Pengendalian
Penyakit
dan
Penyehatan Lingkungan (2005), jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan menjadi: 1) Tempat penampunga air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti: drum, tangki reservoir, bak mandi/wc, tempayan dan ember. 2) Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari (non TPA), seperti tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut dan barang-barang bekas (ban, botol, kaleng, dan lain-lain). 3) Tempat penampungan air alamiah, seperti: lubang pohon, lubang batu, potongan bambu dan lain-lain.
b. Tempat Mencari Makan Vektor Nyamuk Aedes aegypti memiliki kebiasaan yang disebut dengan endophagic, artinya golongan nyamuk yang lebih senang mencari makan di dalam rumah, (Sumantri, 2010). Selain itu nyamuk Aedes aegypti bersifat diurnal, yakni aktif pada pagi dan sore hari, biasanya pada jam 09.00-10.00 dan 16.00-17.00 (Ginanjar, 2008). Berdasarkan data Depkes RI (2004), nyamuk betina membutuhkan protein untuk memproduksi telurnya. Oleh karena itu, setelah kawin nyamuk betina memerlukan
24
darah untuk pemenuhan kebutuhan proteinnnya. Nyamuk betina menghisap darah manusia setiap 2-3 hari sekali. Untuk mendapatkan darah yang cukup, nyamuk betina sering menggigit lebih dari satu orang. Posisi menghisap darah nyamuk Aedes aegypti sejajar dengan permukaan kulit manusia. Jarak terbang nyamuk ini sekitar 100 meter.
c. Tempat Istirahat Vektor Setelah selesai menghisap darah, nyamuk betina akan beristirahat sekitar 2-3 hari untuk mematangkan telurnya. Nyamuk Aedes aegypti hidup domestik, artinya lebih menyukai tinggal di dalam rumah daripada di luar rumah. Tempat-tempat yang lembab dan kurang terang seperti kamar mandi, dapur dan WC adalah tempat-tempat beristirahat yang disenangi nyamuk. Di dalam rumah nyamuk ini beristirahat di baju-baju yang digantung, kelambu dan tirai. Sedangkan di luar rumah nyamuk ini beristirahat pada tanaman-tanaman yang ada di luar rumah, (Depkes RI, 2004).
C. Pengendalian Vektor DBD 1. Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) Salah satu program pemerintah Republik Indonesia untuk mengontrol keberadaan vektor DBD dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD). Indikator keberhasilan PSN
25
DBD dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ). Jika ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Apabila kegiatan PSN DBD dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, maka populasi nyamuk Aedes aegypti dapat ditekan sehingga penyakit DBD tidak terjadi lagi. Oleh karena itu, upaya penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat harus dilakukan secara terus-menurus karena keberadaan jentik nyamuk berkaitan erat dengan prilaku masyarakat, (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2005). PSN DBD dalam program kesehatan dikenal dengan istilah 3M. Pelaksanaan 3M meliputi, (WHO, 2009): a. Menguras tempat-tempat penampungan air seperti bak mandi, bak WC dan lain-lain. Praktek ini merupakan banyaknya jumlah pengurasan yang dilakukan oleh masyarakat dalam 1 minggu. Dikatakan baik adalah jika responden menguras lebih atau sama dengan 1 kali per minggu (≥ 1x minggu), dan tidak baik jika melakukan pengurasan kurang dari 1 kali per minggu (< 1x minggu), (Rahman, 2012). b. Menutup rapat tempat-tempat penampungan air, seperti tong, gendi, drum maupun yang lainnya yang ada di luar maupun di dalam rumah. Praktek ini merupakan prilaku masyarakat yang memperlakukan tempat penampungan air dengan baik, yaitu dengan memberikan tutup
26
pada tempat penampungan air sehingga nyamuk tidak dapat berkembangbiak di dalamnya, (Rahman, 2012). c. Mengubur, memusnahkan atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air seperti kaleng bekas dan plastik bekas. Praktek
ini
merupakan
kebiasaan
masyarakat
dalam
memperlakukan sampah rumah tangga ataupun barang bekas yang ada disekitar rumahnya seperti plastik, kaleng bekas, pecahan kaca, ember bekas dan lainnya yang memungkinkan menjadi tempat berkembangbiakkan nyamuk dengan cara dikubur, (Rahman, 2012). Kegiatan diatas dapat menjadikan tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti tidak ada, sehingga dapat memutus mata rantai perkembangbiakan nyamuk. Selain kegiatan 3M, kegiatan PSN DBD ditambah dengan tindakan plus yaitu: a. Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya yang sejenis seminggu sekali b. Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak c. Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon dan lain-lain, seperti dengan tanah d. Menaburkan bubuk larvasida, misalnya pada tempat-tempat yang sulit dikuras atau di daerah yang sulit air e. Memasang kawat kasa f. Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan air
27
g. Menghindari kebiasaan menggantung pakaian h. Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai i. Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk j. Menggunakan kelambu Berdasarkan penelitian Ayubi dan Hasan (2007), menemukan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan melakukan PSN DBD dengan kejadian DBD di Kota Bandar Lampung. Individu yang tidak melakukan dan melakukan 1M (menguras atau menutup atau mengubur saja) berisiko 2,22 kali dan 5,85 kali lebih besar untuk menderita DBD dari pada yang melakukan PSN (2M atau 3M). Selain itu, penelitian Setyobudi (2011) menunjukkan bahwa partisipasi PSN memiliki hubungan yang bermakna dengan keberadaan jentik nyamuk dengan nilai p = 0,0001.
2. Pengendalian secara Kimia Pengendalian secara kimiawi masih paling sering digunakan baik bagi program pengendalian DBD dan masyarakat. Penggunaan insektisida dalam pengendalian vektor DBD bisa menguntungkan sekaligus merugikan. Insektisida jika digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan organisme yang bukan sasaran. Penggunaan insektisida dalam jangka tertentu secara akan menimbulkan resistensi vektor.
28
Insektisida untuk pengendalian DBD harus digunakan dengan bijak dan merupakan media yang ampuh untuk pengendalian vektor, (Sukowati, 2010).
3. Pengendalian secara Biologi Pengendalian secara biologis merupakan upaya pemanfaatan agent biologi untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa agen biologis yang sudah digunakan dan terbukti mampu mengendalikan populasi larva vektor DBD adalah dari kelompok bakteri, predator seperti ikan pemakan jentik dan cyclop (Copepoda), (Sukowati, 2010).
4. Manajemen Lingkungan Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan untuk mengurangi bahkan menghilangkan habitat perkembangbiakan nyamuk vektor sehingga akan mengurangi kepadatan populasi. Manajemen lingkungan hanya akan berhasil dengan baik kalau dilakukan oleh masyarakat, lintas sektor, para pemegang kebijakan dan lembaga swadaya masyarakat melalui program kemitraan, (Sukowati, 2010). a. Predator Cukup banyak predator larva di alam, namun yang bisa digunakan untuk pengendalian larva vektor DBD tidak banyak jenisnya dan yang paling mudah didapat dan dikembangkan masyarakat serta murah adalah ikan pemakan jentik. Ada beberapa ikan yang berkembang biak secara
29
alami dan biasa digunakan di Indonesia adalah ikan kepala timah dan ikan cetul. Namun ikan pemakan jentik yang terbukti efektif dan telah digunakan untuk pengendalian larva DBD adalah ikan cupang. Meskipun terbukti efektif untuk pengendalian larva Aedes aegypti, namun sampai sekarang
belum
digunakan
oleh
masyarakat
secara
luas
dan
berkesinambungan. Jenis predator lainnya yang dalam penelitian terbukti mampu mengendalikan larva DBD adalah dari kelompok Copepoda atau cyclops, jenis ini merupakan jenis Crustacea dengan ukuran mikro. Beberapa spesies sudah diuji coba dan efektif, antara lain Mesocyclops aspericornis diuji coba di Vietnam, Tahiti dan juga di Balai Besar Penelitian Vektor dan Reservoir, Salatiga. Peran Copepoda dalam pengendalian larva DBD masih harus diuji coba lebih rinci ditingkat operasional.
b. Bakteri Kelompok bakteri merupakan agen biologis yang sudah dibuat secara komersial dan digunakan untuk larvasidasi dan efektif untuk pengendalian larva vektor.
Dua spesies
bakteri
yang sporanya
mengandung endotoksin dan mampu membunuh larva adalah Bacillus thuringiensis serotype H-14 (Bt. H-14) dan B. spaericus (BS). Endotoksin merupakan racun perut bagi larva, sehingga spora harus masuk ke dalam saluran pencernaan larva. Keunggulan agent biologis ini tidak mempunyai
30
pengaruh negatif terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran. Kelemahan cara ini harus dilakukan secara berulang dan sampai sekarang masih harus disediakan oleh pemerintah melalui sektor kesehatan. Karena endotoksin berada di dalam spora bakteri, bilamana spora telah berkecambah maka agent tersebut tidak efektif lagi.
5. Kepadatan Vektor Menurut WHO-South East Region (2010), kepadatan vektor DBD dapat diketahui dengan melakukan surveilans nyamuk Aedes aegypti. Kegiatan ini dapat memperoleh distribusi, kepadatan vektor, habitat utama vektor serta faktor resiko lainnya seperti tempat dan waktu yang berhubungan dengan transmisi virus dengue dan level insektisida yang rentan atau resisten untuk menentukan wilayah dan musim yang menjadi prioritas kegiatan pengendalian vektor. Suatu metode yang digunakan untuk mendeteksi dan memonitoring populasi larva nyamuk yaitu dengan melakukan metode survey larva atau jentik. Metode ini paling sering digunakan dibandingkan dengan metode survei telur maupun nyamuk dewasa karena lebih praktis dibandingkan metode lainnya. Tempat pengambilan sampelnya adalah rumah atau tempat yang dilakukan penyelidikan tempat penampungan air atau kontainer vektor (WHO-South East Region, 2010). Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian
31
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (2005) pemeriksaan jentik dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Memeriksa keberadaan jentik nyamuk pada semua TPA atau kontainer di rumah tangga yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Pemeriksaan dilakukan dengan mata telanjang. b. Pemeriksaan pada TPA yang berukuran besar (bak mandi, drum dan lainlain), jika pada pandangan pertama tidak menemukan jentik maka tunggu kira-kira ½ - 1 menit untuk memastikan bahwa jentik benar-benar tidak ada. c. Pemeriksaan pada TPA berukuran kecil (vas bunga, air tampungan kulkas, tempat minum burung dan lain-lain), airnya harus dipindahkan dahulu ke tempat lain. d. Pemeriksaan pada tempat yang agak gelap atau airnya keruh dapat menggunakan senter. Direktorat
Jenderal
Pengendalian
Penyakit
dan
Penyehatan
Lingkungan (2005), menyebutkan bahwa terdapat 2 metode yang digunakan pada survei jentik, yaitu: a. Single larva, dimana dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan air yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut. b. Visual, cukup dengan melihat ada atau tidaknya jentik di setiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya.
32
Ukuran-ukuran yang digunakan untuk mengetahui kepadatan larva Aedes aegypti yaitu (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2005): a. Angka Bebas jentik (ABJ) X 100% Angka bebas jentik yang tergolong aman yaitu lebih dari sama dengan 95%. b. House index (HI) X 100% House index yang dianggap aman untuk penularan penyakit DBD adalah kurang dari 5 %. c. Container Index (CI) X 100% Container index menyediakan informasi mengenai proporsi kontainer atau tempat penampungan air yang positif jentik. d. Breateau Index (BI) X 100% Breateau index menentukan hubungan antara kontainer positif jentik dalam rumah dan ukuran ini merupakan yang paling informatif, namun tetap tidak dapat mengetahui produktivitas dari kontainer.
33
D. Patogenesis Penyakit Berbasis Lingkungan Menurut Achmadi (2011), hubungan interaktif antara manusia dan perilakunya serta komponen lingkungan yang memiliki potensi penyakit akan menghasilkan kejadian penyakit, dengan kata lain kejadian penyakit hanya dipengaruhi oleh variabel-variabel kependudukan dan variabel lingkungan. Patogenensis
penyakit
dalam
prespektif
lingkungan
dan
kependudukan
digambarkan dalam teori simpul, (Achmadi, 2008) berikut: Bagan 2.1 Patogenesis Penyakit Dalam Perspektif Lingkungan Dan Kependudukan
Simpul 3 Simpul 2 Simpul 1 Sumber Penyakit
Media Transmisi 1. Air 2. Udara 3. Vektor 4. Makanan
Kependudukan 1. Umur 2. Gizi 3. Pengetahuan 4. Pendidikan 5. Sosial dan Ekonomi 6. Perilaku kesehatan 7. dll
Simpul 5 Lingkungan, topografi, suhu, iklim, dll Sumber : (Achmadi, 2011)
Simpul 4 Sakit/Sehat
34
Berdarkan bagan diatas, proses kejadian suatu penyakit diuraikan pada 5 simpul, yakni: 1. Simpul 1, yaitu sumber penyakit. 2. Simpul 2, yaitu Komponen lingkungan yang merupakan media transmisi penyakit. 3. Simpul 3, yaitu penduduk dengan berbagai variabel kependudukan seperti pendidikan, perilaku, gizi, dan lain-lain. 4. Simpul 4, yaitu penduduk dengan keadaan sehat atau sakit. 5. Simpul 5, yaitu semua variabel yang memiliki pengaruh terhadap keempat simpul tersebut, seperti lingkungan, iklim, topografi, dan lain-lain.
E. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti 1. Faktor Individu (Perilaku) Para ahli psikologi pendidikan dalam Notoatmodjo (2007), perilaku dibagi menjadi perilaku dalam bentuk operasional menjadi: 1) Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan yaitu dengan diketahuinya situasi atau ransangan dari luar. Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan adalah pengindraan terhadap suatu objek yang dilakukan oleh seseorang, hasilnya seseorang itu tahu terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan manusia terjadi melalui panca indra manusia, yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
35
Pengetahuan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dimana pengetahuan kesehatan akan berpengaruh pada perilaku sebagai hasil jangka menengah dari pendidikan kesehatan, perilaku kesehatan akan berpengaruh pada peningkatan indikator kesehatan masyarakat sebagai hasil dari pendidikan, (Notoatmodjo, 2003). Prilaku yang didasarkan pada pengetahuan akan lebih bertahan daripada yang tidak didasarkan pada pengetahuan, (Notoatmodjo, 2007). Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoadmodjo, 2007). Pengukuran pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003) dapat dikategorikan menjadi: a) Baik, apabila subjek mampu
menjawab dengan benar 76-100% dari
semua pertanyaan. b) Cukup, apabila subjek mampu menjawab dengan benar 60-75% dari semua pertanyaan. c) Buruk, apabila subjek mampu menjawab pertanyaan benar < 60% dari semua pertanyaan. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, seperti penelitian Benthem, (2002), seseorang yang memiliki pengetahuan baik mengenai penyakit DBD akan melakukan upaya pencegahan penyakit DBD dibandingkan orang yang tidak memiliki pengetahuan. Sejalan dengan penelitian Hairi, (2003), pengetahuan yang baik mengenai DBD memiliki
36
hubungan yang signifikan (p = 0,047) dengan sikap seseorang terkait pengontrolan nyamuk Aedes aegypti. Berbeda dengan penelitian Santoso, (2008), pengetahuan tidak memiliki hubungan dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di rumah dengan p value 0,40. Sejalan dengan penelitian Nugrahaningsih (2010), bahwa pengetahuan tidak berhubungan dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di wilayah kerja Puskesmas Kuta Utara. Penelitian Suyasa (2008), yang juga menunjukkan tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan keberadaan vektor DBD di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan.
2) Sikap Sikap yaitu tanggapan bathin terhadap keadaan atau ransangan dari luar diri subjek atau kecendrungan untuk berespon (secara positif dan negatif) terhadap orang banyak, objek dan situasi tertentu. Menurut Notoatmodjo (2007), sikap adalah suatu stimulus atau objek yang diterima seseorang yang digambarkan melalui reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup. Sikap tidak dapat langsung terlihat tetapi hanya dapat diartikan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu secara nyata. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau
37
pernyataan responden terhadap suatu objek yang bersangkutan. Pengukuran secara langsung juga dapat dilakukan dengan cara memberikan pendapat dengan menggunakan kata “setuju” atau “tidak setuju” terhadap pertanyaanpertanyaan terhadap objek tertentu. Beberapa penelitian sebelumnya, seperti penelitian Nugrahaningsih (2010) menunjukkan bahwa sikap dan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti mempunyai hubungan yang signifikan. Menurut Fathi (2005), semakin kurang sikap seseorang atau masyarakat terhadap penanggulangan dan pencegahan penyakit DBD maka akan semakin besar kemungkinan timbulnya kejadian luar biasa (KLB) DBD. Sikap baik responden terhadap upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) berupa gerakan 3M perlu diikuti dengan tindakan/praktek yang nyata. Sikap yang mau berperan dan terlibat aktif dalam upaya pemberantasan sarang nyamuk akan sangat berpengaruh dalam tindakan dan upaya penanggulangan dan pencegahan penyakit DBD, (Nugrahaningsih, 2010).
3) Tindakan Tindakan/praktik (practice), sudah konkrit berupa perbuatan terhadap situasi dan ransangan dari luar. Dalam penelitian ini tindakan yang dimaksud adalah kegiatan PSN DBD yang dinyatakan oleh WHO (2009). Menurut Notoatmodjo (2007), tindakan belum tentu terlaksana dalam suatu sikap. Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu tindakan yang nyata diperlukan
38
faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. Faktor pendukung tersebut seperti fasilitas, dukungan dari pihak lain (support). Pengukuran tindakan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Sedangkan pengukuran secara langsung dapat dilakukan dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden. Penelitian Suyasa (2008), menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tindakan responden dengan keberadaan vektor DBD di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan. Penelitian Sumekar (2007) dalam Suyasa (2008) juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara pelaksanaan PSN dengan keberadaan jentik DBD. Penelitian Nugrahaningsih (2010), menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tindakan responden dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Suroso (2003) dan Sumekar (2007) dalam Suyasa (2008), yang menyatakan bahwa cara yang tepat dalam pemberantasan penyakit DBD adalah dengan pelaksanaan pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
2. Faktor Lingkungan a. Suhu dan Kelembaban Menurut Michael (2006) dalam Kemenkes RI (2010), perubahan iklim dapat menyebabkan perubahan suhu, kelembaban, curah hujan, arah udara
39
sehingga berpengaruh terhadap ekosistem daratan dan lautan serta kesehatan terutama pada perkembangbiakan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes dan lainnya. Hampir sama dengan pernyataan Achmadi (2011), bahwa suhu lingkungan dan kelembaban akan mempengaruhi bionomik nyamuk, seperti perilaku menggigit, perilaku perkawinan, lama menetas telur dan lain sebagainya. Menurut Iskandar (1985) dalam Nugrahaningsih (2010), nyamuk pada umumnya akan meletakkan telurnya pada temperatur udara sekitar 20oC30oC. Toleransi terhadap suhu tergantung pada spesies nyamuk. Susanna, et al. (2011), suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk Aedes berkisar antara 25oC-27oC dan pertumbuhan akan terhenti pada suhu kurang dari 10oC atau di atas 40oC. Hasil penelitian Ririh (2005) menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara suhu udara dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Wonokusumo. Sedangkan penelitian Nugrahaningsih (2010), menunjukkan ada hubungan antara kelembaban udara dengan keberadaan jentik nyamuk penular DBD di wilayah kerja Puskesmas Kuta Utara. Penelitian Ririh (2005) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kelembaban udara dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Wonokusumo.
40
b. Ketersediaan Kontainer/ Tempat Penampungan Air (TPA) Adanya keberadaan tempat penampungan air (TPA)/breeding place akan menciptakan peluang bagi nyamuk Aedes aegypti untuk berkembang biak. Hal ini dikarenakan sebagian besar siklus hidup nyamuk (telur, larva, pupa) terjadi di dalam air. Nyamuk yang berkembang biak di sekitar rumah akan lebih mudah dalam menjangkau manusia (host), dengan hal ini keberadaan tempat penampungan air di sekitar rumah akan meningkatkan angka kejadian DBD, (Rahman, 2012; Nugrahaningsih, 2010). Hal ini sejalan dengan Brunkard, et al., (2004), faktor resiko yang sangat penting pada kejadian penyakit DBD adalah keberadaan habitat larva. Keberadaan
kontainer/tempat
penampungan
air
berpotensi
untuk
perkembangbiakan vektor dalam kontak dengan manusia sebagai hospes. Tingkat endemisitas penyakit DBD dipengaruhi oleh keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti pada kontainer/tempat penampungan air terutama yang digunakan untuk kebutuhan manusia, (Barrera, et al., 2011). Menurut Fathi (2005) keberadaan kontainer sangat berperan dalam kepadatan vektor nyamuk Aedes aegypti karena dengan semakin banyak kontainer akan semakin banyak pula tempat perindukan nyamuk sehingga populasi nyamuk Aedes aegypti semakin padat. Hal ini mengakibatkan resiko terinfeksi virus dengue akan semakin tinggi dengan periode penyebaran yang cepat sehingga jumlah kasus DBD meningkat dengan cepat dan dapat menimbulkan terjadinya KLB DBD.
41
Berdasarkan penelitian Nugrahaningsih (2010), menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara keberadaan kontainer dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti. Penelitian Respati (2007), terdapat hubungan yang bermakna antara keberadaan larva Aedes aegypti dengan kejadian penyakit DBD. Penelitian Setyobudi (2011), juga menunjukkan keberadaan TPA (breeding place) memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap keberadaan jentik nyamuk nyamuk Aedes aegypti. Begitu pula dengan penelitian Widyanto (2007) dalam Setyobudi (2011), bahwa DBD disebabkan oleh karena keberadaan breeding place positif jentik.
c. Ketersediaan Tutup Pada Kontainer/Tempat Penampungan Air (TPA) Penggunaan tutup pada kontainer dengan benar memiliki dampak yang signifikan untuk mengurangi keberadaan larva dan pupa nyamuk Aedes aegypti dibandingkan dengan kontainer tanpa penutup, (Tsuzuki, et al., 2009). Penelitian Arsin (2004) mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD di Kota Makasar menunjukkan bahwa keberadaan tutup pada kontainer berhubungan dengan keberadaan vektor DBD. Dengan adanya tutup berarti tempat hidup bagi nyamuk Aedes aegypti tidak tersedia. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Sandra (2010), menunjukkan
42
bahwa terdapat hubungan antara ketersediaan tutup pada TPA (p=0,009) dengan kejadian DBD di Kelurahan Pabuaran Kecamatan Cibinong.
d. Jenis Kontainer Penelitian Wonokusumo berdasarkan
yang
dilakukan
mengenai jenis
oleh
keberadaan
kontainer,
hasilnya
Ririh larva
(2005)
di
Kelurahan
nyamuk
Aedes
aegypti
menunjukkan
bahwa
tempat
perindukan nyamuk yang paling potensial untuk perkembangbiakan nyamuk adalah TPA yang digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti drum, bak mandi/WC ember dan sejenisnya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara jenis kontainer dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Wonokusumo. Penelitian Medronho, et al. (2009) di Brazil, menunjukkan bahwa kontainer dengan persentase keberadaan larva dan pupa terbanyak ditemukan pada kontainer yang digunakan untuk penyimpanan air (bak mandi, drum, tanki air) dan kontainer pada barang-barang tidak terpakai atau sampah (kaleng dan ban bekas). Pada daerah penelitian Setyobudi (2011) menyatakan bahwa keberadaan tempat penampungan air (TPA) paling banyak terinfeksi jentik di daerah endemis dan non endemis DBD adalah bak mandi. Sejalan dengan penelitian Ririh dan Anny (2005) menunjukkan bahwa ada hubungan yang
43
bermakna antara jenis kontainer dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti.
F. Kerangka Teori Berdasarkan teori-teori diatas, diperoleh kerangka teori sebagai berikut: Bagan 2.2 Kerangka Teori Modifikasi Achmadi (2011), Notoatmodjo (2007), WHO (2009), Nugrahaningsih (2010), Arsin (2004), Ririh (2005) Faktor Individu : 1. Perilaku a. Pengetahuan b. Sikap c. Praktek menguras tempat penampungan air d. Praktek menyingkirkan barang - barang bekas e. Praktek menutup tempat penampungan air
Faktor Lingkungan : 1. Suhu 2. Kelembaban 3. Ketersediaan TPA 4. Ketersediaan tutup TPA 5. Jenis TPA
Keberadaan Vektor Penular : (Telur-Larva-PupaNyamuk Aedes aegypti)
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
A. Kerangka Konsep Tidak semua faktor yang ada dalam kerangka teori diambil dan diikutsertakan sebagai variabel pada penelitian ini. Variabel yang tidak diteliti yaitu: suhu, kelembaban dan ketersediaan TPA, karena pada penelitian ini diasumsikan sama. Hal ini disebabkan karena keadaan geografis antara rumah yang satu dengan yang lain tidak jauh berbeda. Sedangkan untuk ketersediaan TPA tidak diteliti karena setiap rumah dipastikan mempunyai tempat penampungan air. Oleh karena pertimbangan diatas, hanya beberapa variabel yang diteliti pada penelitian ini. Adapun variabel-variabel yang diteliti dalam penelitian ini, yakni: variabel dependen yaitu keberadaan larva Aedes aegypti. Keberadaan larva Aedes aegypti menjadi dependen karena merupakan topik dan tujuan penelitian dalam penelitian ini. Sedangkan variabel independen yakni faktor perilaku meliputi: pengetahuan, sikap, praktek menguras tempat penampungan air, praktek menyingkirkan barang-barang bekas dan praktek menutup tempat penampungan air, serta faktor lingkungan meliputi: ketersediaan tutup pada TPA dan jenis TPA. Berikut bagan kerangka konsep pada penelitian ini:
44
45
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Pengetahuan
Sikap
Praktek menguras TPA
Praktek menyingkirkan barangbarang bekas
Keberadaan larva Aedes aegypti
Praktek menutup TPA
Ketersediaan tutup pada TPA Jenis TPA
46
B. Definisi Operasional Tabel 3.1. Definisi Operasional
No.
Variabel
Definisi
1
Keberadaan larva Aedes
Larva nyamuk Aedes
aegypti
aegypti yang ditemukan
Cara Ukur
Alat Ukur
Observasi
Lembar Observasi
Hasil Ukur 0. Ada larva 1. Tidak ada larva
dari hasil survai jentik
(Setyobudi, 2011;
secara visual di tempat
Nugrahaningsih,
penampungan air yang
2010)
dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti baik di dalam maupun di luar rumah responden.
Skala Ukur Ordinal
47
Tabel Lanjutan …
No. 2
Variabel Pengetahuan
Definisi Kemampuan responden
Cara Ukur
Alat Ukur
Wawancara
Kuesioner
Hasil Ukur 0. Kurang,
menjawab pertanyaan
<60%
seputar DBD pada lembar
total skor
jika
Skala Ukur Ordinal
dari
1. Baik, jika ≥
kuesioner.
60% dari total skor (Notoatmodjo, 2003) 3
Sikap
Kemampuan responden
Wawancara
Keusioner
0. Negatif,
jika
menjawab pertanyaan
total skor <
terkait sikap pada lembar
median 32
kuesioner.
1. Positif,
jika
total skor ≥ median 32 (Cut of point)
Ordinal
48
Tabel Lanjutan …
No. 4
5
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Praktek menguras
Banyaknya jumlah
Wawancara
Kuesioner
tempat penampungan
pengurasan yang dilakukan
air
oleh responden dalam 1
2. ≥1x seminggu
minggu.
(Rahman, 2012)
1. < 1x
Kebiasaan responden
barang-barang bekas
dalam memperlakukan
seminggu
sampah rumah tangga
1. ≥1x seminggu
ada disekitar rumahnya seperti kaleng bekas, pecahan kaca, ember bekas dan lainnya yang memungkinkan menjadi tempat berkembangbiakkan nyamuk dengan cara menyingkirkan.
Ukur Ordinal
seminggu
Praktek menyingkirkan
ataupun barang bekas yang
Skala
Wawancara
Kuesioner
0. < 1x
Ordinal
49
Tabel Lanjutan …
No. 6
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Wawancara
Kuesioner
Hasil Ukur
Praktek menutup
Prilaku responden yang
0. Tidak
tempat penampungan
memperlakukan tempat
air
penampungan air dengan
1. Menutup
baik yaitu dengan
(Rahman, 2012)
Skala Ukur Ordinal
menutup
memberikan tutup pada tempat penampungan air sehingga nyamuk tidak dapat berkembangbiak di dalamnya. 7
Ketersediaan tutup
Tersedianya tutup pada
pada kontainer/TPA
kontainer/TPA yang diteliti.
Observasi
Lembar
0. Terbuka
observasi
1. Tertutup (Setiawan, 2002)
Ordinal
50
Tabel Lanjutan …
No. 8
Variabel Jenis TPA
Definisi Jenis tempat perkembangbiakan nyamuk
Cara Ukur
Alat Ukur
Observasi
Lembar observasi
Hasil Ukur 0. Tempat penampungan
Aedes aegypti menurut
air (TPA)
Direktorat Jenderal
untuk
Pengendalian Penyakit dan
keperluan
Penyehatan Lingkungan
sehari-hari,
tahun 2005.
seperti: drum, tangki reservoir, bak mandi/wc, tempayan dan ember.
Skala Ukur Nominal
51
Tabel Lanjutan …
No
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur 1. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari (non TPA), seperti tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut dan barang-barang bekas (ban, botol, kaleng, dan lain-lain).
Skala Ukur
52
Tabel Lanjutan …
No
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur 2. Tempat penampungan air
alamiah,
seperti: lubang pohon, lubang batu dan lainlain.
Skala Ukur
53
C. Hipotesis Penelitian 1. Ada hubungan antara pengetahuan dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. 2. Ada hubungan antara sikap dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. 3. Ada hubungan antara praktek menguras tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. 4. Ada hubungan antara praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. 5. Ada hubungan antara praktek menutup tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. 6. Ada hubungan antara ketersediaan tutup pada TPA dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. 7. Ada hubungan antara jenis TPA dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. 8. Adanya faktor yang memiliki hubungan yang lebih dominan yang mempengaruhi keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menggunakan desain cross sectional melalui pendekatan kuantitatif. Dimana tiap variabel hanya diobservasi dan diukur pada waktu yang bersamaan. Pendekatan ini digunakan untuk melihat hubungan antara variabel yang satu dengan variabel lainnya, (Notoatmodjo, 2010).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sawah Lama Kota Tangerang Selatan. 2. Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Juli tahun 2013.
C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Penelitian Populasi merupakan keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti, (Notoatmodjo, 2010). Populasi pada penelitian ini adalah semua rumah masyarakat yang berada di Kelurahan Sawah Lama, Kota Tangerang Selatan. 54
55
2. Sampel Sampel merupakan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi, (Notoatmodjo, 2010). Perhitungan jumlah sampel yang akan diambil diperoleh dengan rumus menurut Lameshow (1997) dengan menggunakan rumus uji hipotesis beda dua proporsi, yaitu: [
⁄
√
(
)
√ (
(
)
(
)]
)
Keterangan : n
: Jumlah sampel minimal yang diperlukan
P1
: Proporsi variabel pada kelompok yang ditemukan larva
P2
: Proporsi variabel pada kelompok yang tidak ditemukan larva
P
: Rata-rata proporsi pada populasi {(P1+P2/2)} : Derajat kemaknaan
Z1-ß
yaitu sebesar 5%=1,96
: Kekuatan uji 1-ß yaitu sebesar 80%
56
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Sampel Peneliti
Variabel
P1
P2
P
OR
n
0,668
0,304
0,486
4,63
29
Setiawan
Ketersediaan
(2002)
tutup pada
(2,42-
kontainer/TPA
8,84)
Setyobudi
Ketersediaan
(2011)
TPA
Setyobudi
Perilaku PSN
0.019
0.937
0,478
-
4
0,733
0,236
0,4845
-
15
(2011)
Berdasarkan hasil perhitungan dari beberapa variabel yang dilakukan, peneliti memilih jumlah sampel yang paling besar yaitu 29 sampel. Dari hasil tersebut, kemudian dikali 2 karena perhitungan sampel menggunakan uji beda dua proporsi. Sehingga diperoleh total sampel sebanyak 58 sampel. Namun untuk menghindari missing jawaban dari responden, maka peneliti menambahkan dan membulatkan jumlah sampel penelitian menjadi 80 responden.
3. Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan quota sampling. Quota sampling merupakan teknik untuk menentukan sampel dari populasi yang mempunyai kriteria-kriteria tertentu sampai jumlah kuota yang diinginkan peneliti (Kriyantono, 2012). Sedangkan responden pada penelitian
57
ini diutamakan adalah ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga dipilih menjadi sampel karena yang bertanggung jawab mengurus rumah tangga termasuk masalah kebersihan rumah adalah ibu rumah tangga (Depkes RI, 1998).
D. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara dan observasi. Menurut Notoatmodjo (2010), wawancara merupakan metode pengumpulan data dimana peneliti mendapatkan informasi atau keterangan secara lisan dari responden. Sedangkan, observasi merupakan suatu prosedur yang terencana, meliputi melihat, mendengar dan melakukan pencatatan-pencatatan. Penelitian ini menggunakan alat pengumpulan data berupa lembar kuesioner, lembar observasi dan senter. Kegiatan wawancara dilakukan oleh peneliti. Sedangkan observasi dilakukan Petugas Jumantik dan peneliti. Observasi dilakukan menggunakan metode visual, karena Dinas Kesehatan RI dalam melaksanakan programnya menggunakan metode ini. Pemeriksaan keberadaan jentik dilakukan dengan cara sebagai berikut (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2005): 1. Memeriksa keberadaan jentik nyamuk pada semua TPA atau kontainer di rumah tangga yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Pemeriksaan dilakukan dengan mata telanjang.
58
2. Pemeriksaan pada TPA yang berukuran besar (bak mandi, drum dan lainlain), jika pada pandangan pertama tidak menemukan jentik maka tunggu kira-kira ½ - 1 menit untuk memastikan bahwa jentik benar-benar tidak ada. 3. Pemeriksaan pada TPA berukuran kecil (vas bunga, air tampungan kulkas, tempat minum burung dan lain-lain), airnya harus dipindahkan dahulu ke tempat lain. 4. Pemeriksaan pada tempat yang agak gelap atau airnya keruh dapat menggunakan senter.
E. Instrumen Penelitian Penelitian
ini
menggunakan
metode
kuantitatif
dimana
kualitas
pengumpulan data sangat ditentukan oleh kualitas instrumen atau alat pengukuran yang digunakan peneliti. Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Lembar kuesioner untuk mengetahui pengetahuan, sikap dan perilaku 3M responden meliputi: praktek menguras tempat penampungan air, praktek menyingkirkan
barang-barang
bekas
yang
dapat
menjadi
tempat
penampungan air dan praktek menutup tempat penampungan air. 2. Lembar observasi untuk mengetahui ketersediaan tutup pada TPA dan jenis TPA.
59
F. Jenis Data Berdasarkan sumbernya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah (Amran, 2012): 1. Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti dan diperoleh secara langsung dari responden baik dalam bentuk wawancara dan observasi. Pada penelitian ini meliputi: pengetahuan, sikap, praktek menguras TPA, praktek menyingkirkan barang-barang bekas, praktek menutup TPA, ketersediaan tutup pada TPA dan jenis TPA. 2. Data sekunder yaitu data yang bersumber dari instansi (pihak tertentu) melalui penelusuran dokumen, data pustaka, literatur, catatan, laporan dari perusahaan dan instansi terkait. Pada penelitian ini meliputi: data Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, Puskesmas Kampung Sawah, Kelurahan Sawah Lama serta literatur lainnya.
G. Pengolahan Data Semua data yang telah terkumpul baik data primer maupun data sekunder akan diolah melalui tahap-tahap sebagai berikut: 1. Coding Data Data diklasifikasikan dan diberi untuk masing-masing kelas sesuai dengan tujuan dikumpulkannya data.
60
2. Editing Data Kegiatan penyuntingan data sebelum proses memasukkan data. Data yang telah
dikumpulkan
diperiksa
kelengkapannya
terlebih
dahulu,
yaitu
kelengkapan jawaban kuesioner, konsistensi atas jawaban dan kesalahan jawaban pada kuesioner. Data ini merupakan data input utama untuk penelitian ini. 3. Entry Data Proses memasukkan data ke dalam program (software) atau fasilitas analisis data statistik. Data dimasukkan ke dalam software statistik untuk dilakukan analisis univariat (untuk mengetahui gambaran secara umum), bivariat (untuk mengetahui variabel yang berhubungan) dan multivariat (untuk mengetahui variabel yang paling dominan). 4. Cleaning Data Proses pembersihan data setelah data dientri. Hal ini dilakukan supaya data yang telah dimasukkan tidak ada yang salah, sehingga data tersebut telah siap untuk dianalis.
H. Analisis Data 1. Analisis Univariat
Analisa yang dilakukan terhadap tiap variabel dan hasil penelitian pada umumnya. Dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel. Analisis univariat dalam penelitian ini untuk
61
semua variabel, meliputi hasil secara deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi. 2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dalam penelitian ini adalah untuk menguji hipotesis penelitian antara variabel independen dengan variabel dependen. Uji yang digunakan yaitu Chi-Square yaitu untuk melihat hubungan antara dua variabel yang dikategorikan secara statistik. Derajat kemaknaan 5% dan tingkat keyakinan CI=95%. Jika p ≤ 0,05 artinya ada hubungan secara statistik antara variabel independen dan variabel dependen, sebaliknya jika p > 0,05 artinya tidak ada hubungan secara statistik antara variabel independen dengan variabel dependen. 3. Analisis Multivariat
Analisis multivariat dalam penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara variabel dependen dengan seluruh variabel independen sehingga diketahui variabel independen yang paling dominan hubungannya dengan variabel dependen. Analisis multivariat pada penelitian ini menggunakan uji regresi logistik berganda, dimana variabel yang telah dilakukan analisis bivariat dengan uji Chi-Square yang memiliki p < 0,25. Hasil analisis multivariat akan didapatkan variabel independen yang paling dominan terhadap variabel dependen yaitu yang memiliki nilai p value < 0,05.
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Tempat Penelitian Puskesmas Kampung Sawah merupakan puskesmas yang berada di Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan. Puskesmas ini memiliki 2 Kelurahan yakni Kelurahan Sawah Lama dan Kelurahan Sawah Baru yang terdiri dari 559 Ha dengan jumlah penduduk 47.480 jiwa. Di Kelurahan Sawah Lama terdapat 54 RT dan 12 RW dengan luas wilayah 261 Ha sedangkan di Kelurahan Sawah Baru terdapat 55 RT dan 9 RW dengan luas wilayah 289 Ha. Batas wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah: a. Sebelah utara
: Pondok Jaya
b. Sebelah selatan
: Serua Indah/Kedaung
c. Sebelah barat
: Sawah Baru
d. Sebelah timur
: Pondok Ranji
B. Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari masing-masing variabel penelitian baik variabel dependen maupun variabel independen. Hasil analisis univariat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
62
63
1. Gambaran Keberadaan Larva Variabel dependen pada penelitian ini adalah keberadaan larva Aedes aegypti pada rumah responden di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. Dimana responden dikategorikan menjadi dua, yaitu rumah responden yang ada ditemukan larva Aedes aegypti dan rumah responden yang tidak ditemukan larva Aedes aegypti. Adapun gambaran responden berdasarkan ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya dapat dilihat pada tabel 5.1 dibawah ini : Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Keberadaan Larva Aedes Aegypti Keberadaan Larva
Jumlah
Persentase (%)
Ada Larva
44
55%
Tidak Ada Larva
36
45%
Total
80
100%
Aedes aegypti
Sumber : Data Primer
Berdasarkan pengumpulan data dengan observasi terhadap rumah responden, diketahui bahwa rumah responden yang ditemukan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013 adalah sebesar 55%. Sedangkan rumah responden yang tidak ditemukan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama adalah sebesar 45%.
64
2. Gambaran Pengetahuan Pengetahuan responden terhadap ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut ini: Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Pengetahuan
Jumlah
Persentase (%)
Kurang
30
37,5%
Baik
50
62,5%
Total
80
100%
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 5.2 diatas diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan kurang yaitu sebesar 37,5%. Sedangkan responden yang memiliki pengetahuan baik yaitu 62,5%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang baik.
3. Gambaran Sikap Sikap responden terhadap ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya dapat dilihat pada tabel 5.3 berikut ini: Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Sikap
Jumlah
%
Negatif
39
48,8%
Positif
41
51,2%
Total
80
100%
Sumber : Data Primer
65
Berdasarkan tabel 5.3 diatas diketahui bahwa sebagian besar responden bersikap negatif yaitu sebesar 48,8%. Sedangkan responden yang bersikap positif yaitu 51,2%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden memiliki sikap yang sudah positif.
4. Gambaran Praktek Menguras Tempat Penampungan Air Praktek menguras tempat penampungan air responden terhadap ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya dapat dilihat pada tabel 5.4 berikut ini: Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menguras Tempat Penampungan Air Variabel
Jumlah
%
<1 x seminggu
35
43,8%
≥1 x seminggu
45
56,2%
Total
80
100%
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 5.4 diatas diketahui bahwa responden yang melakukan praktek menguras tempat penampungan air sebanyak <1 x seminggu yaitu sebesar 43,8%. Sedangkan responden yang melakukan praktek menguras tempat penampungan air sebanyak ≥1 x seminggu yaitu 56,2%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden telah melakukan praktek menguras tempat penampungan air dengan frekuensi yang benar.
66
5. Gambaran Praktek Menyingkirkan Barang-Barang Bekas Praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air responden terhadap ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya dapat dilihat pada tabel 5.5 berikut ini: Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menyingkirkan Barang-Barang Bekas Praktek Menyingkirkan
Jumlah
%
<1 x seminggu
53
66,2%
≥1 x seminggu
27
33,8%
Total
80
100%
Barang-Barang Bekas
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 5.5 diatas diketahui bahwa responden yang melakukan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air sebanyak <1 x seminggu yaitu sebesar 66,2%. Sedangkan responden yang melakukan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air sebanyak ≥1 x seminggu yaitu 33,8%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden belum melakukan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air dengan frekuensi yang benar.
67
6. Gambaran Praktek Menutup Tempat Penampungan Air Praktek
menutup
tempat
penampungan
air
responden
terhadap
ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya dapat dilihat pada tabel 5.6 berikut ini: Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menutup Tempat Penampungan Air Variabel
Jumlah
%
Tidak Menutup
63
78,8%
Menutup
17
21,2%
Total
80
100%
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 5.6 diatas diketahui bahwa responden yang tidak melakukan praktek menutup tempat penampungan air yaitu sebesar 78,8%. Sedangkan responden yang melakukan praktek menutup tempat penampungan air yaitu 21,2%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden belum melakukan praktek menutup tempat penampungan air.
7. Gambaran Ketersediaan Tutup Pada TPA Ketersediaan tutup pada tempat penampungan air responden terhadap ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya dapat dilihat pada tabel 5.7 berikut ini:
68
Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Ketersediaan Tutup pada Tempat Penampungan Air Ketersediaan Tutup pada
Jumlah
%
57
71,2%
Ada Tutup
23
28,8%
Total
80
100%
TPA Tidak Ada Tutup
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 5.7 diatas diketahui bahwa responden yang tidak memiliki tutup pada tempat penampungan air yaitu sebesar 71,2%. Sedangkan responden yang memiliki tutup pada tempat penampungan air yaitu 28,8%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden tidak memiliki tutup pada tempat penampungan air.
8. Gambaran Jenis TPA Jenis tempat penampungan air responden terhadap ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya dapat dilihat pada tabel 5.8 berikut ini:
69
Jenis TPA
Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Tempat Penampungan Air Jumlah % 62
77,5%
18
22,5%
TPA Alamiah
0
0%
Total
80
100%
TPA Sehari-hari Tidak Keperluan Sehari-hari
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 5.8 diatas diketahui bahwa responden yang memiliki tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari yaitu sebesar 77,5%, responden yang memiliki tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari yaitu 22,5%, sedangkan tempat penampungan air alamiah sebesar 0%.
C. Analisis Bivariat 1. Hubungan antara Pengetahuan dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 Hubungan antara pengetahuan dengan keberadaan larva Aedes aegypti dapat dilihat pada tabel 5.9 dibawah ini:
70
Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan dan Keberadaan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 Keberadaan Larva Aedes aegypti Pengetahuan
Ada
Tidak ada
OR (95%
P
CI)
value
Jumlah
n
%
N
%
n
%
Kurang
24
80%
6
20%
30
100%
6
Baik
20
40%
30
60%
50
100%
(2.082 -
Total
44
55%
36
45%
80
100%
17.292)
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel 5.9 diatas, dapat diketahui bahwa responden yang memiliki pengetahuan kurang dan ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya adalah sebesar 24 dari 30 responden (80%). Sedangkan responden yang memiliki pengetahuan baik dan ditemukan larva Aedes aegypti dirumahnya adalah sebesar 20 dari 50 responden (40%). Dari uji statistik, diperoleh bahwa nilai probabilitas (p-value) sebesar 0,001, artinya pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara pengetahuan dengan adanya keberadaan larva Aedes aegypti. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR (Odd Ratio) = 6, artinya responden yang memiliki pengetahuan kurang memiliki peluang 6 kali untuk ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya.
0,001
71
2. Hubungan antara Sikap dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 Hubungan antara sikap dengan keberadaan larva Aedes aegypti dapat dilihat pada tabel 5.10 dibawah ini: Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap dan Keberadaan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 Keberadaan Larva Aedes aegypti
OR
Tidak ada
(95%
P Sikap
Ada
Jumlah
value n
%
n
%
n
%
CI)
Negatif
28
71,8%
11
28,2%
39
100%
3,977
Positif
16
39,0%
25
61,0%
41
100%
(1.556 -
Total
44
55,0%
36
45,0%
80
100%
10.163)
Sumber data : data primer
Berdasarkan tabel 5.10 diatas, dapat diketahui bahwa responden yang memiliki sikap negatif dan ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya adalah sebesar 28 dari 39 responden (71,8%). Sedangkan responden yang memiliki sikap positif dan ditemukan larva Aedes aegypti dirumahnya adalah sebesar 16 dari 41 responden (39%). Dari uji statistik, diperoleh bahwa nilai probabilitas (p-value) sebesar 0,004, artinya pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara sikap dengan adanya keberadaan larva Aedes aegypti.
0,004
72
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR (Odd Ratio) = 3,977, artinya responden yang memiliki sikap negatif memiliki peluang 3,977 kali untuk ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya.
3. Hubungan antara Praktek Menguras Tempat Penampungan Air dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 Hubungan antara praktek menguras tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti dapat dilihat pada tabel 5.11 dibawah ini: Tabel 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menguras Tempat Penampungan Air dan Keberadaan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 Keberadaan Larva Aedes aegypti
OR
Praktek
P Ada
Menguras
Tidak ada
Jumlah
(95% value
TPA
n
%
N
%
N
%
CI)
<1xseminggu
25
71,4%
10
28,6%
35
100%
3,421
≥1xseminggu
19
42,2%
26
57,8%
45
100%
(1,333 0,013 -
Total
44
55%
36
45%
80
100% 8,777)
Sumber data : data primer
Berdasarkan tabel 5.11 diatas, dapat diketahui bahwa responden yang melakukan praktek menguras tempat penampungan air sebanyak <1 x seminggu dan ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya adalah sebesar 25 dari 35
73
responden (71,4%). Sedangkan responden yang melakukan praktek menguras tempat penampungan air sebanyak ≥1 x seminggu dan ditemukan larva Aedes aegypti dirumahnya adalah sebesar 19 dari 45 responden (42,2%). Dari uji statistik, diperoleh bahwa nilai probabilitas (p-value) sebesar 0,013, artinya pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara praktek menguras tempat penampungan air dengan adanya keberadaan larva Aedes aegypti. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR (Odd Ratio) = 3,421, artinya responden yang melakukan praktek menguras tempat penampungan air <1 x seminggu memiliki peluang 3,421 kali untuk ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya.
4. Hubungan antara Praktek Menyingkirkan Barang-Barang Bekas dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 Hubungan antara praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti dapat dilihat pada tabel 5.12 dibawah ini:
74
Tabel 5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menyingkirkan BarangBarang Bekas dan Keberadaan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 Praktek
Keberadaan Larva Aedes aegypti
Menyingkir
Ada
Tidak ada
OR
Jumlah
(95%
kan BarangBarang
CI) n
%
n
%
n
%
34
64,2%
19
35,8%
53
100%
10
37%
17
63%
27
100%
44
55%
36
45%
80
100%
P value
Bekas <1
x
seminggu ≥1
x
seminggu Total
3,042 (1,163 7,960)
Sumber data : data primer
Berdasarkan tabel 5.12 diatas, dapat diketahui bahwa responden yang melakukan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air sebanyak <1 x seminggu dan ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya adalah sebesar 34 dari 53 responden (64,2%). Sedangkan responden yang melakukan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air sebanyak ≥1 x seminggu dan ditemukan larva Aedes aegypti dirumahnya adalah sebesar 10 dari 27 responden (37%). Dari uji statistik, diperoleh bahwa nilai probabilitas (p-value) sebesar 0,032, artinya pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat
0,032
75
penampungan air sebanyak <1 x seminggu dengan adanya keberadaan larva Aedes aegypti. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR (Odd Ratio) = 3,042, artinya responden yang tidak melakukan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air sebanyak <1 x seminggu memiliki peluang 3,042 kali untuk ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya.
5. Hubungan antara Praktek Menutup Tempat Penampungan Air dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 Hubungan antara praktek menutup tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti dapat dilihat pada tabel 5.13 dibawah ini: Tabel 5.13 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menutup Tempat Penampungan Air dan Keberadaan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 Keberadaan Larva Aedes aegypti Praktek
P Ada
Menutup TPA
Tidak ada
Jumlah value
n
%
N
%
n
%
38
60,3%
25
39,7%
63
100%
Tidak menutup 0,099 Menutup
6
35,3%
11
64,7%
17
100%
Total
44
55%
36
45%
80
100%
Sumber data : data primer
76
Berdasarkan tabel 5.13 diatas, dapat diketahui bahwa responden yang melakukan praktek menutup tempat penampungan air dan ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya adalah sebesar 38 dari 63 responden (60,3%). Sedangkan responden yang melakukan praktek menutup tempat penampungan air dan ditemukan larva Aedes aegypti dirumahnya adalah sebesar 6 dari 17 responden (35,3%). Dari uji statistik, diperoleh bahwa nilai probabilitas (pvalue) sebesar 0,099, artinya pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara praktek menutup tempat penampungan air dengan adanya keberadaan larva Aedes aegypti.
6. Hubungan antara Ketersediaan Tutup Pada Tempat Penampungan Air dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 Hubungan antara ketersediaan tutup pada tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti dapat dilihat pada tabel 5.14 dibawah ini:
77
Tabel 5.14 Distribusi Responden Berdasarkan Ketersediaan Tutup pada Tempat Penampungan Air dan Keberadaan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 Keberadaan Larva Aedes aegypti Ketersediaan
P Ada
Tutup pada TPA
Tidak ada
Jumlah value
n
%
n
%
n
%
30
52,6%
27
47,4%
57
100%
Punya tutup
14
60,9%
9
39,1%
23
100%
Total
44
55%
36
45%
80
100%
Tidak punya tutup
0,621
Sumber data : data primer
Berdasarkan tabel 5.14 diatas, dapat diketahui bahwa responden yang tidak memiliki tutup pada tempat penampungan air dan ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya adalah sebesar 30 dari 57 responden (52,6%). Sedangkan responden yang memiliki tutup pada tempat penampungan air dan ditemukan larva Aedes aegypti dirumahnya adalah sebesar 14 dari 23 responden (60,9%). Dari uji statistik, diperoleh bahwa nilai probabilitas (p-value) sebesar 0,621, artinya pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara ketersediaan tutup pada tempat penampungan air dengan adanya keberadaan larva Aedes aegypti.
78
7. Hubungan antara Jenis Tempat Penampungan Air dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 Hubungan antara jenis tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti dapat dilihat pada tabel 5.15 dibawah ini: Tabel 5.15 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Tempat Penampungan Air dan Keberadaan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 Keberadaan Larva Aedes aegypti Jenis TPA
TPA Seharihari
Ada
Tidak ada
OR
Jumlah
n
%
n
%
n
%
29
46,8%
33
53,2%
62
100%
Tidak Keperluan
alamiah Total
CI)
P value
0,176 15
83,3%
3
16,7%
18
100%
Sehari-hari TPA
(95%
(0,046 -
0
0%
0
0%
0
0%
44
55%
36
45%
80
100%
0,669)
Sumber data : data primer
Berdasarkan tabel 5.15 diatas, dapat diketahui bahwa responden yang memiliki tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari dan ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya adalah sebesar 29 dari 62 responden (46,8%). Sedangkan responden yang memiliki tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari dan ditemukan larva Aedes aegypti dirumahnya adalah sebesar 15 dari 18 responden (83,3%). Untuk tempat penampungan alamiah
0,007
79
tidak ditemukan adanya larva Aedes aegypti. Dari uji statistik, diperoleh bahwa nilai probabilitas (p-value) sebesar 0,007, artinya pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari dengan adanya keberadaan larva Aedes aegypti. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR (Odd Ratio) = 0,176, artinya responden yang memiliki tempat penampungan air untuk keperluan seharihari memiliki peluang 0,176 kali untuk ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya.
D. Analisis Multivariat Untuk mengetahui variabel yang paling dominan dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013, perlu dilakukan analisis multivariat dengan menggunakan uji regresi logistik berganda. 1. Pemlilihan Variabel Kandidat Analisis Multivariat Pada penelitian ini variabel yang masuk dalam kandidat analisis multivariat adalah variabel pengetahuan, sikap, praktek menguras tempat penampungan air, praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air, praktek menutup tempat penampungan air dan jenis tempat penampungan air. Pemilihan variabel sebagai kandidat analisis multivariat adalah variabel yang telah dilakukan analisis bivariat dan memiliki nilai p value < 0,25. Adapun hasil analisis bivariat antara variabel independen dengan variabel dependen dapat dilihat pada Tabel 5.16, berikut:
80
Tabel 5.16 Hasil Analisis Bivariat Antara Variabel Pengetahuan, Sikap, Praktek Menguras Tempat Penampungan Air, Praktek Menyingkirkan BarangBarang Bekas yang Dapat Menjadi Tempat Penampungan Air, Praktek Menutup Tempat Penampungan Air dan Jenis Tempat Penampungan Air di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 No 1 2 3 4
5 6
Variabel Pengetahuan Sikap Praktek menguras tempat penampungan air Praktek menyingkirkan barangbarang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air, Praktek menutup tempat penampungan air Jenis tempat penampungan air
P Value 0,001 0,004 0,013 0,032
0,099 0,007
2. Pembuatan Model Faktor Penentu Variabel yang Paling Berpengaruh Adapun hasil dari analisis multivariat adalah didapatkannya model yang terbaik dalam menentukan faktor penentu keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama. Dalam pemodelan ini semua variabel kandidat dianalisis secara bertahap atau dengan metode enter. Model terbaik akan dipertimbangkan pada variabel yang memiliki nilai p value < 0,05. Pemilihan model dilakukan secara hirarki dengan cara semua variabel independen yang menjadi kandidat yang memebuhi syarat dimasukkan ke dalam model, kemudian variabel yang memiliki p value > 0,05 dikeluarkan dari model satu-persatu. Secara keseluruhan hasil pembuatan model faktor penentu dapat dilihat pada tabel 5.17
81
Tabel 5.17 Hasil Analisis Multivariat di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 No. 1. 2. 3. 4.
5. 6.
Variabel Pengetahuan Sikap Praktek menguras tempat penampungan air Praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air Praktek menutup tempat penampungan air Jenis tempat penampungan air
Model 1 0,004 0,063 0, 161 0,079
Model 2 0,003 0,048 0,156 0,075
Model 3 0,003 0,049 0,025
0,915 0,016
0,016
0,009
Hasil analisis multivariat di tabel 5.17 dapat diketahui bahwa dari 6 (enam) variabel yang masuk dalam analisis, 4 (empat) diantaranya yaitu variabel pengetahuan, sikap, praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air dan jenis tempat penampungan air mempunyai p value < 0,05. Hal tersebut menunjukkan bahwa keempat variabel tersebut merupakan variabel yang mempunyai hubungan secara signifikan dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti.
82
Tabel 5.18 Hasil Analisis Multivariat Antara Pengetahuan, Sikap, Praktek Menyingkirkan Barang-Barang Bekas yang dapat Menjadi Tempat Penampungan Air dan Jenis Tempat Penampungan Air Di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 No.
Variabel
B
Pwald
1.
Pengetahuan
1,918 9,140
2.
Sikap
1,115 3,887
3.
Praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air Jenis tempat penampungan air Constant
1,376 5,000
4.
OR
95% CI 6,807 1,96323,604 3,050 1,0079,240 3,957 1,18513,215
6,746 0,129 0,0282,046 0,605 10,591 0,030 – 3,508
Pvalue 0,003 0,049 0,025
0,009
Sedangkan jika dilihat dari koefisien B dan nilai OR pada tabel 5.18 dapat disimpulkan bahwa dari keempat variabel yang memiliki hubungan signifikan, variabel pengetahuan merupakan variabel yang paling dominan yang mempengaruhi keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti.
BAB VI PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian Dalam pelaksanaan penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan penelitian, yaitu: 1. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Desain ini tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat, hanya menjelaskan hubungan keterkaitan. Meskipun demikian, desain ini dipilih karena paling sesuai dengan tujuan penelitian serta efektif dari segi waktu. 2. Pemeriksaan keberadaan larva Aedes aegyipti hanya dilihat secara visual yang mengandalkan penglihatan, tanpa pengujian seperti teknik single larva method untuk memperkuat hasil. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan biaya dan waktu penelitian. 3. Penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuesioner yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori-teori dan pengembangan dari kuesioner penelitian terdahulu, sehingga dapat dikatakan bahwa instrumen penelitian bukan merupakan instrumen baku. 4. Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara kepada responden dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Sehingga kualitas data mengenai kebenaran, keakuratan dan kelengkapan data yang diperoleh sangat dipengaruhi
83
84
oleh kejujuran, keterbukaan dan pemahaman responden dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan setiap variabel.
B. Gambaran Keberadaan Larva Aedes aegypti Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) tetap ada sepanjang tahun yang berarti keberadaan vektornya yaitu nyamuk Aedes aegypti tetap ada sepanjang tahun (Troyo, 2008). Memutus siklus hidupnya adalah cara yang tepat dalam mengurangi vektor DBD. DBD dapat dicegah dengan memberantas larva-larvanya (jentik-jentik), (Depkes RI, 2005). Survey terhadap keberadaan larva nyamuk sangat bermanfaat untuk keperluan pemberantasan penularan DBD. Survey terhadap keberadaan larva nyamuk dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan Angka Bebas Jentik (ABJ) di suatu daerah. Apabila suatu daerah memiliki angka bebas jentik sama atau lebih besar dari 95% kemungkinan terjadinya penularan penyakit DBD berkurang, demikian juga sebaliknya, (Setyobudi, 2011). Penelitian keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013 dilakukan dengan metode visual. Larva nyamuk dilihat dengan mata telanjang sesuai dengan petunjuk Direktoral Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (2005). Pada penelitian ini, pemeriksaan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti dibantu oleh petugas jumantik. Hasil penelitian, ditemukan bahwa 55% dari rumah responden yang diperiksa rumahnya di
85
Kelurahan Sawah Lama terdapat larva Aedes aegypti dan yang tidak ditemukan larva Aedes Aegypti sebanyak 45%. Angka tersebut menunjukan bahwa kepadatan nyamuk di Kelurahan Sawah Lama termasuk kategori tinggi sehingga mempunyai risiko transmisi nyamuk yang cukup tinggi untuk terjadi penularan penyakit DBD. Jika dihitung ABJ dari hasil yang diperoleh diketahui bahwa ABJ di Kelurahan Sawah Lama adalah sebesar 45%. Hal ini sangat jauh dengan indikator ABJ yang telah ditetapkan oleh nasional dan internasional (WHO), yaitu 95%. Rendahnya nilai ABJ di Kelurahan Sawah Lama kemungkinan disebabkan oleh wilayah Kelurahan Sawah Lama yang cukup padat penduduk dan lingkungan yang memungkinkan untuk perkembangan siklus kehidupan nyamuk. Selain itu, perilaku masyarakat terkait pengetahuan, sikap dan tindakan (praktek) juga sangat berpengaruh dengan adanya keberadaan vektor penular DBD. Berdasarkan uji statistik, dapat diketahui bahwa terdapat 5 variabel yang memiliki hubungan yang bermakna secara statistik terhadap keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013, yaitu variabel pengetahuan, sikap, praktek menguras tempat penampungan air, praktek menyingkirkan barangbarang bekas dan jenis tempat penampungan air. Sedangkan 2 variabel yang tidak memiliki hubungan yang bermakna secara statistik terhadap keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013, yaitu variabel praktek menutup tempat penampungan air dan keberadaan tutup pada tempat penampungan air.
86
C. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberadaan Larva Aedes aegypti 1. Pengetahuan Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan isinya termasuk manusia dan kehidupannya (Keraf, 2001). Sedangkan menurut Tafsir (2004), pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui. Manusia memiliki rasa ingin tahu, lalu mencari, hasilnya ia tahu sesuatu. Sesuatu itulah yang dinamakan pengetahuan. Pengetahuan responden mengenai DBD dan vektor penyebabnya serta faktor yang mempengaruhi keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya penularan penyakit DBD serta menekan perkembangan dan pertumbuhan larva nyamuk Aedes aegypti, (Ririh, 2005). Dalam penelitian ini, untuk mengetahui tingkat pengetahuan seseorang dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan tentang keberadaan larva Aedes aegypti dan seputar penyakit demam berdarah serta pencegahannya. Informasi mengenai pengetahuan pada penelitian ini diperoleh dari hasil jawaban pertanyaan yang diajukan kepada responden. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden yang memiliki pengetahuan kurang dan ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya sebanyak 24 dari 30 (80%). Sedangkan responden yang memiliki pengetahuan baik dan ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya sebanyak 20 dari 50 (40%).
87
Berdasarkan hasil analisis bivariat, diperoleh nilai p-value sebesar 0,001 (p-value < 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara pengetahuan dengan adanya keberadaan larva Aedes aegypti pada rumah responden di Kelurahan Sawah Lama. Dari hasil uji statistik juga diperoleh nilai OR (odd ratio) sebesar 6, artinya responden yang memiliki pengetahuan buruk memiliki peluang 6 kali untuk adanya keberadaan larva Aedes aegypti di rumahnya dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ririh (2005), dimana diperoleh p = 0,001 (p<0,05), berarti terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara tingkat pengetahuan responden dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di Kelurahan Wonokusumo. Penelitian Damyanti (2009) juga menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Kepolorejo Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan dengan p value sebesar 0,046. Pengetahuan berpengaruh sebagai motivasi awal bagi seseorang dalam berprilaku, (Green, 1980). Seseorang yang mempunyai pengetahuan yang baik mengenai suatu penyakit, dalam hal ini DBD akan muncul sikap dan tindakan/perilaku yang benar. Jika pengetahuan seseorang semakin tinggi maka semakin benar pula sikap dan tindakan seseorang (Notoadmodjo, 2003). Menurut Notoadmodjo (2007), pengetahuan yang baik akan membuat perilaku akan bertahan daripada perilaku yang tidak didasarkan pengetahuan.
88
Oleh karena itu, seharusnya masyarakat yang memiliki pengetahuan yang baik terkait DBD dapat berpartisipasi aktif secara berkesinambungan untuk melakukan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD (PSN DBD) di lingkungannya. Hal tersebut dapat menaikkan angka bebas jentik dari 45% menjadi lebih tinggi, sehingga standar nasional bisa dicapai. Program edukasi mengenai DBD hendaknya dilakukan oleh Puskesmas yang berada di Kelurahan Sawah Lama. Program edukasi dapat dilakukan oleh Puskesmas dengan memberikan TOT (Training of Trainer) kepada ibu-ibu kader. Program edukasi tersebut hendaknya dapat menjadi jembatan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat Kelurahan Sawah Lama. Hal ini dikarenakan kader merupakan tangan kanan Puskesmas yang dekat dengan masyarakat, sehingga diharapkan pemberian pengetahuan kepada masyarakat dapat lebih efektif melalui peran kader.
2. Sikap Sikap adalah kesiapan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku atau merespon sesuatu baik terhadap ransangan positif maupun ransangan negatif dari objek rangsangan. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi merupakan faktor predisposisi bagi seseorang untuk berperilaku, (Tafsir, 2004). Dalam penelitian ini, untuk mengetahui sikap seseorang dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama dilakukan dengan
89
mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan tentang respon seseorang terhadap DBD serta cara pencegahannya. Informasi mengenai sikap pada penelitian ini diperoleh dari hasil jawaban pertanyaan yang diajukan kepada responden. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa responden yang memiliki sikap negatif dan ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya sebanyak 28 dari 39 (71,8%). Sedangkan responden yang memiliki sikap positif dan ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya sebanyak 16 dari 41 (39%). Berdasarkan hasil analisis bivariat, diperoleh nilai p-value sebesar 0,004 (p-value < 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara sikap dengan adanya keberadaan larva Aedes aegypti pada rumah responden di Kelurahan Sawah Lama. Dari hasil uji statistik juga diperoleh nilai OR (odd ratio) sebesar 3,977, artinya responden yang memiliki sikap negatif memiliki peluang 3,977 kali untuk adanya keberadaan larva Aedes aegypti di rumahnya dibandingkan dengan responden yang memiliki sikap positif. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Damyanti (2009), yang menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara sikap dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Kepolorejo Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan dengan p value sebesar 0,008. Penelitian Nugrahaningsih (2010) juga menunjukkan bahwa sikap dan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti mempunyai hubungan yang
90
bermakna secara statistik di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Utara tahun 2010 dengan p value 0,001. Sikap merupakan produk dari proses sosialisi, seseorang akan bereaksi sesuai dengan ransangan yang diterimanya. Pengetahuan pada diri seseorang mempengaruhi sikap yang muncul, (Mar’at, 1984). Jika pengetahuan seseorang semakin tinggi maka semakin benar pula sikap dan tindakan seseorang. Seseorang yang mempunyai pengetahuan yang baik mengenai suatu penyakit, dalam hal ini DBD akan muncul sikap dan tindakan/perilaku yang benar, (Notoadmodjo, 2003). Sikap yang mau terlibat dan berperan aktif dalam upaya pemberantasan sarang nyamuk akan sangat berpengaruh dalam tindakan dan upaya penanggulangan serta pencegahan penyakit DBD, (Nugrahaningsih, 2010). Sama halnya dengan pengetahuan, program edukasi mengenai DBD hendaknya dilakukan oleh Puskesmas yang berada di Kelurahan Sawah Lama. Program edukasi dapat dilakukan oleh Puskesmas dengan memberikan TOT (Training of Trainer) kepada ibu-ibu kader. Program edukasi tersebut hendaknya dapat menjadi jembatan untuk menjadikan perubahan sikap yang positif masyarakat Kelurahan Sawah Lama terhadap pemberantasan sarang nyamuk. Sehingga angka bebas jentik di Kelurahan Sawah Lama bisa meningkat dan mencapai standar nasional yaitu sebesar 95%.
91
3. Praktek Menguras Tempat Penampungan Air Praktek menguras tempat penampungan air merupakan salah satu dari kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Dalam penelitian ini praktek menguras tempat penampungan air diukur dengan frekuensi pengurasan dalam satu minggu yang dilakukan oleh responden. Keadaan yang dikatakan baik adalah jika responden melakukan praktek menguras tempat penampungan air lebih dari satu kali dalam seminggu. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa responden yang melakukan praktek menguras tempat penampungan air dengan frekuensi <1 x seminggu dan ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya sebanyak 25 dari 35 (71,4%). Sedangkan responden yang melakukan praktek menguras tempat penampungan air dengan frekuensi ≥1 x seminggu sebanyak 19 dari 45 (42,2%). Berdasarkan hasil analisis bivariat, diperoleh nilai p-value sebesar 0,013 (p-value < 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara praktek menguras tempat penampungan air sebanyak <1 x seminggu dengan adanya keberadaan larva Aedes aegypti pada rumah responden di Kelurahan Sawah Lama. Dari hasil uji statistik juga diperoleh nilai OR (odd ratio) sebesar 3,421, artinya responden yang melakukan praktek menguras tempat
penampungan air sebanyak <1 x
seminggu memiliki peluang 3,421 kali untuk adanya keberadaan larva Aedes
92
aegypti di rumahnya dibandingkan dengan responden yang melakukan praktek menguras tempat penampungan air sebanyak <1 x seminggu. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Damyanti (2009), yang menunjukkan ada hubungan yang bermakna secara statistik antara praktek menguras tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Kepolorejo Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan dengan p value sebesar 0,003. Selain itu, penelitian Adam (2008), menunjukkan ada hubungan yang bermakna secara statistik antara praktek menguras tempat penampungan air dengan kejadian demam berdarah dengue di Puskesmas Sukomoro Kabupaten Magetan tahun 2008. Penelitian Falah (2010) juga menunjukkan ada hubungan secara statistik antara praktek menguras tempat penampungan air dengan kejadian demam berdarah di Sendangmulyo Kecamatan Tembalang Kota Semarang dengan dengan p value sebesar 0,015. Penelitian Mahardika (2009) juga menunjukkan ada hubungan yang bermakna secara statistik antara praktek menguras tempat penampungan air dengan kejadian DBD (p value = 0,004) di wilayah kerja Puskesmas Cepiring Kecamatan Cepirin Kabupaten Kendal tahun 2009. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori, bahwa Pemberantasan Sarang Nyamuk harus dilakukan secara berkesinambungan untuk memberantas tempattempat perindukan nyamuk Aedes aegypti agar tidak berkembangbiak salah satunya yaitu dengan membersihkan tempat penampungan air dengan
93
menguras, menyikat dindingnya dan mengganti airnya seminggu sekali (Dinkes Jawa Tengah, 2006). Sebaiknya masyarakat tetap melakukan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di rumah dan lingkungannya. Salah satunya adalah dengan melakukan praktek menguras tempat penampungan air paling sedikit seminggu sekali. Praktek ini pun harus dilakukan dengan cara yang benar yaitu dengan cara menyikat dindingnya dan mengganti airnya, sehingga siklus kehidupan nyamuk dapat dihentikan. Pihak Puskesmas dapat memberikan program penyuluhan kepada masyarakat secara kontinu mengenai praktek menguras tempat penampungan air yang benar dan dapat memotivasi masyarakat agar dapat mempraktekkannya dengan frekuensi yang benar, yaitu ≥ 1 kali dalam 1 minggu.
4. Praktek Menyingkirkan Barang-Barang Bekas Praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air juga merupakan salah satu dari praktek Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Dalam penelitian ini praktek menyingkirkan barangbarang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air diukur dengan frekuensi dalam satu minggu yang dilakukan oleh responden. Keadaan yang dikatakan baik adalah jika responden melakukan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air lebih dari satu kali dalam seminggu.
94
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa responden yang melakukan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air sebanyak <1 x seminggu dan ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya adalah sebesar 34 dari 53 responden (64,2%). Sedangkan responden yang melakukan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air sebanyak ≥1 x seminggu dan ditemukan larva Aedes aegypti dirumahnya adalah sebesar 10 dari 27 responden (37%). Berdasarkan hasil analisis bivariat, diperoleh bahwa nilai probabilitas (pvalue) sebesar 0,032, artinya pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air sebanyak <1 x seminggu dengan adanya keberadaan larva Aedes aegypti. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR (Odd Ratio) = 3,042, artinya responden yang melakukan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air sebanyak <1 x seminggu memiliki peluang 3,042 kali untuk ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Damyanti (2009), yang menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Kepolorejo Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan dengan p value sebesar 0,007. Penelitian Falah (2010) juga menunjukkan ada hubungan secara statistik
95
antara praktek mengubur barang-barang bekas dengan kejadian demam berdarah di Sendangmulyo Kecamatan Tembalang Kota Semarang dengan dengan p value sebesar 0,0001. Gambaran praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air yang diperoleh dari responden di lapangan pada penelitian ini adalah sebanyak 60% responden menyingkirkan dengan memberikan
ke
tukang
sampah/loak
dan
sebanyak
40%
responden
menyingkirkan dengan cara membakar. Depkes RI (1995), menyatakan bahwa salah satu cara untuk mencegah dan memberantas nyamuk Aedes aegypti adalah dengan mengubur barangbarang bekas dan sampah-sampah lainnya yang dapat menampung air hujan sehingga tidak menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk. Sebaiknya masyarakat tetap melakukan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di rumah dan lingkungannya. Salah satunya adalah dengan melakukan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air paling sedikit seminggu sekali. Praktek ini dapat dilakukan dengan cara mengubur, memberikan ke tukang sampah/loak, membuat kerajinan dan cara lainnya, sehingga siklus kehidupan nyamuk dapat dihentikan. Pihak Puskesmas dapat memberikan program penyuluhan kepada masyarakat secara kontinu yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam melakukan praktek menyingkirkan barang-barang bekas
96
yang dapat menjadi tempat penampungan air dan dapat memotivasi masyarakat agar dapat mempraktekkannya dengan frekuensi yang benar, yaitu ≥ 1 kali dalam 1 minggu. Di samping itu, dalam praktek ini tokoh masyarakat juga memiliki peranan yang penting dalam upaya pemberantasan sarang nyamuk di lingkungannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh tokoh masyarakat adalah menggerakkan masyarakat melalui kegiatan kemasyarakatan, seperti kerja bakti membersihkan lingkungan sekitar.
5. Praktek Menutup Tempat Penampungan Air Praktek menutup tempat penampungan air merupakan salah satu dari kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Dalam penelitian ini praktek menutup tempat penampungan air diketahui dengan praktek dilakukan oleh responden. Keadaan yang dikatakan baik adalah jika responden melakukan praktek menutup tempat penampungan air. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa responden yang melakukan praktek menutup tempat penampungan air dan ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya adalah sebesar 38 dari 63 responden (60,3%). Sedangkan responden yang melakukan praktek menutup tempat penampungan air dan ditemukan larva Aedes aegypti dirumahnya adalah sebesar 6 dari 17 responden (35,3%). Berdasarkan hasil analisis bivariat, diperoleh bahwa nilai probabilitas (p-value) sebesar 0,099, artinya pada alpha 5% tidak terdapat
97
hubungan yang bermakna secara statistik antara praktek menutup tempat penampungan air dengan adanya keberadaan larva Aedes aegypti. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Damyanti (2009), yang menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara praktek menutup tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Kepolorejo Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan dengan p value sebesar 0,130. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Mahardika (2009) yang menunjukkan ada hubungan yang bermakna secara statistik antara praktek menutup tempat penampungan air dengan kejadian DBD (p value = 0,002) di wilayah kerja Puskesmas Cepiring Kecamatan Cepirin Kabupaten Kendal 2009. Temuan dalam penelitian ini dapat terjadi kemungkinan karena data penelitian yang kurang bervariasi (homogen), dimana sebesar 78,8% responden tidak melakukan praktek menutup tempat penampungan air. Hal ini dapat terjadi karena sebagian besar responden tidak memiliki tutup pada tempat penampungan airnya, sehingga secara statistik tidak adanya hubungan antara praktek menutup dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.
6. Ketersediaan Tutup pada Tempat Penampungan Air Ketersediaan tutup pada tempat penampungan air merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap keberadaan larva nyamuk
98
Aedes aegypti. Adanya tutup pada tempat penampungan air dan penggunaannya yang benar memiliki dampak yang signifikan terhadap keberadaan larva dan pupa nyamuk Aedes aegypti dibandingkan tempat penampungan air tanpa tutup (Tsuzuki, et al, 2009). Dalam penelitian, data mengenai ketersediaan tutup pada tempat penampungan air diperoleh dari hasil observasi ke tiap rumah responden. Observasi dilakukan pada tempat penampungan air yang dimungkinkan menggunakan tutup, seperti ember dan tempayan. Selanjutnya, data hasil observasi tersebut dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu tempat penampungan air dengan tutup dan tempat penampungan air tanpa tutup. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa responden yang tidak memiliki tutup pada tempat penampungan air dan ditemukan larva nyamuk Aedes aegypti di rumahnya adalah sebesar 30 dari 57 responden (52,6%). Sedangkan responden yang memiliki tutup pada tempat penampungan air dan ditemukan larva nyamuk Aedes aegypti dirumahnya adalah sebesar 14 dari 23 responden (60,9%). Dari uji statistik, diperoleh bahwa nilai probabilitas (pvalue) sebesar 0,621, artinya pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara ketersediaan tutup pada tempat penampungan air dengan adanya keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Arsin (2004) yang menunjukkan bahwa keberadaan tutup pada tempat penampungan air mempunyai hubungan dengan keberadaan vektor DBD di kota Makasar.
99
Demikian pula dengan penelitian Sandra (2010), yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara statistik dengan kejadian DBD di Kelurahan Pabuaran Kecamatan Cibinong. Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara ketersediaan tutup pada tempat penampungan air dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti. Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena data penelitian yang bersifat homogen, dimana sebesar 71,2% responden tidak memiliki tutup pada tempat penampungan airnya, sehingga hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara ketersediaan tutup pada tempat penampungan air dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. Adanya tutup pada tempat penampungan air berarti tidak menyediakan tempat untuk siklus hidup nyamuk Aedes aegypti. Namun, hasil penelitian menunjukkan tidak adanya hubungan antara ketersediaan tutup pada tempat penampungan air dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti. Hal ini kemungkinan terjadi karena praktek menguras tempat penampungan air yang lebih berperan penting terhadap keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti pada tempat penampungan air. Dengan melakukan praktek menguras tempat penampungan air dengan frekuensi yang benar (≥ 1 kali seminggu) dapat meminimalisir perkembangan larva di tempat penampungan air. Hal ini karena larva nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang selama 6-8 hari (Herms, 2006).
100
7. Jenis Tempat Penampungan Air Selama ini diketahui bahwa nyamuk Aedes aegypti memiliki kebiasaan berkembangbiak pada air-air tergenang yang jernih seperti pada tempat penampungan air buatan manusia. Banyaknya tempat penampungan air maupun tempat berair lainnya yang dapat menjadi tempat perindukan nyamuk merupakan kondisi yang sangat potensial untuk terjadinya kasus DBD, (Troyo, 2008). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden yang memiliki tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari dan ditemukan larva Aedes aegypti di rumahnya adalah sebesar 29 dari 62 responden (46,8%). Sedangkan responden yang memiliki tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari dan ditemukan larva Aedes aegypti dirumahnya adalah sebesar 15 dari 18 responden (83,3%). Berdasarkan hasil analisis bivariat, diperoleh bahwa nilai probabilitas (pvalue) sebesar 0,007, artinya pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara jenis tempat penampungan air dengan adanya keberadaan larva Aedes aegypti. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR (Odd Ratio) = 0,176, artinya responden yang memiliki tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari memiliki peluang 0,176 kali untuk ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya. Penelitian Ririh (2005), juga menunjukkan hasil ada hubungan yang bermakna secara statistik (p value = 0,004) antara jenis tempat penampungan
101
air dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Wonokusumo. Penelitian Ririh (2005) menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna secara statistik (p value = 0,004) antara jenis tempat penampungan air dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di daerah endemis DBD Surabaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari yang banyak ditemukan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama, yaitu sebesar 15 dari 18 (83,3%). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuwono dalam Yotopranoto (1998) yang menunjukkan bahwa dari beberapa survey yang dilakukan di beberapa kota di Indonesia menunjukkan tempat perindukan yang paling potensial adalah pada tempat penampungan air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti tempayan, bak mandi, bak WC, ember, drum dan sejenisnya. Perbedaan hasil penelitian antara penelitian ini dengan penelitian Yuwono dalam Yotopranoto (1998) dapat terjadi karena jumlah sampel yang diperiksa pada penelitian ini terkait jenis tempat penampungan air bukan untuk keperluaan sehari-hari hanya berjumlah 18 sampel (22,5%). Sedangkan tempat penampungan air bukan untuk keperluaan sehari-hari yang diperiksa lebih banyak, yaitu sebesar 62 sampel (77,5%).
BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Dari 80 rumah responden, diketahui bahwa terdapat 55% rumah responden yang ditemukan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama.
2.
Responden di Kelurahan Sawah Lama sebagian besar (62,5%) memiliki pengetahuan mengenai demam berdarah yang baik.
3.
Responden di Kelurahan Sawah Lama sebagian besar (51,2%) memiliki sikap yang positif mengenai demam berdarah.
4.
Responden di Kelurahan Sawah Lama sebagian besar (56,2%) melakukan praktek menguras tempat penampungan air sebanyak ≥1 x seminggu.
5.
Responden di Kelurahan Sawah Lama sebagian besar (66,2%) melakukan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air sebanyak <1 x seminggu.
6.
Responden di Kelurahan Sawah Lama sebagian besar (78,8%) tidak melakukan praktek menutup tempat penampungan air.
7.
Responden di Kelurahan Sawah Lama sebagian besar (71,2%) tidak memiliki tutup pada tempat penampungan air.
102
103
8.
Responden di Kelurahan Sawah Lama sebagian besar (77,5%) memiliki jenis tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari.
9.
Ada hubungan antara pengetahuan dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama dengan p value sebesar 0,001.
10. Ada hubungan antara sikap dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama dengan p value sebesar 0,004. 11. Ada hubungan antara praktek menguras tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama dengan p value sebesar 0,013. 12. Ada hubungan antara praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama dengan p value sebesar 0,032. 13. Tidak terdapat hubungan antara praktek menutup tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama dengan p value sebesar 0,099. 14. Tidak terdapat hubungan antara ketersediaan tutup pada tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama dengan p value sebesar 0,621. 15. Ada hubungan antara jenis tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama dengan p value sebesar 0,007.
104
16. Variabel yang paling dominan terhadap keberadaan larva Adedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013 adalah variabel pengetahuan, karena memiliki nilai B dan OR lebih tinggi dibandingkan dengan variabel lain.
B. Saran 1. Bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan Memberikan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) kepada masyarakat mengenai penyakit deman berdarah dengue (DBD), cara pencegahannya dan cara mengobatinya. Hal ini dapat dilakukan melalui program TOT (Training of Trainer) antara Puskesmas kepada Kader. Keterlibatan Kader diharapkan dapat lebih efektif dalam meningkatkan perilaku (pengetahuan, sikap dan praktek) masyarakat. Kegiatan yang dapat dilakukan kepada masyarakat adalah seperti penyuluhan, leaflet dan media lainnya.
2. Bagi Kelurahan Tokoh
masyarakat
sebaiknya
dapat
turut
serta
dalam
upaya
pemberantasan sarang nyamuk di lingkungannya, dengan cara menggerakkan masyarakat melalui kegiatan kemasyarakatan, seperti kerja bakti membersihkan lingkungan sekitar minimal seminggu sekali.
105
3. Bagi Program Kesehatan Lingkungan Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan penelitian gabungan antara kuantitatif dengan pendekatan kualitatif sehingga dapat menghasilkan penelitian yang lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti.
Daftar Pustaka
Achmadi, UF. 2011. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta: Rajawali Pers. Adam, Arifin Al-Ghazali. 2008. Hubungan Kondisi Fisik Lingkungan Rumah Dan Praktik 3M dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Puskesmas Sukomoro Kabupaten Magetan Tahun 2008. Skripsi : Undip. Amran, Yuli. 2012. Pengolahan Dan Analisis Data Statistik Bidang Kesehatan. Jakarta: UIN Jakarta. Arsin A.A dan Wahiddudin. 2004. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Makasar. Jurnal Kedokteran Yarsi. ISSN:0854-1159 Vol. 12 No. 2. Mei-Agustus 2004:23. Ayubi D, Hasan A. 2007. Hubungan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk dan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Bandar, Lampung. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 2007;2(2) Oktober. Barrera, Roberto., Manuel A., & Andrew J.M. 2011. Population Dynamics of Aedes aegypti and Dengue as Influenced by Weather and Human Behavior in San Juan, Puerto Rico. Plos Neglected Tropical Diseases, 5 (12): 1-9. Benthem, BHB van., Khantikul, N., Panart, K., et al. 2002. Knowledge and Use of Prevention Measure Related to Dengue in Northern Thailand. Tropical Medicine and International Health, 7 (11): 993-1000.
106
107
Brunkard, J.M., Lopez, J.L.R., Ramirez, J. et al. 2007. Dengue Fever Seroprevalence And Risk Factors, Texas-Mexico Border, 2004. Emerging Infectious Diseases, 13 (10): 1477-1483. Chan, YC.BC dan K.L. Chan. 1971. Aedes Aegypti and Aedes Albopictus (Skuse) in Singapore City, Larva Habitat. Bulletin WHO 44. Damyanti. 2009. Hubungan Pengetahuan, Sikap Dan Praktek 3M Dengan Keberadaan Jentik Aedes Aegypti Pada Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Di Kelurahan Kepolorejo Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan. Skripsi: Undip. Depkes RI. 1995. Menggerakkan Masyarakat PSN-DBD. Jakarta: Depkes RI. Depkes RI. 1998. Kepemimpinan Wanita. Jakarta. Depkes RI. 2003. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue. Jakarta. Depkes RI. 2004. Buletin Harian Perilaku dan Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti. Depkes RI. 2005. Penemuan dan Tatalaksana Penderita DBD. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta. 2005. Depkes RI. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Ditjen PP & PL. Jakarta. Depkes RI. 2007. Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) oleh Juru Pemantau Jentik. Jakarta. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. 2006. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006. Semarang: Dinkes Jateng.
108
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Falah, Miftakhul. 2010. Faktor-Faktor Yang Behubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah (DBD) di Kelurahan Sendangmulyo Kecamatan Tembalang. Skripsi. Undip. Fathi., Keman, S., & Wahyuni, C.U. 2005. Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Mataram. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 2 (1): 1-10. Febrianto., Muhammad Rizki. 2012. Analisis Spasiotemporal Kasus Demam Berdarah Dengue Di Kecamatan Ngaliyan Bulan Januari-Mei 2012. Karya Tulis Ilmiah: Undip. Ginanjar, Genis. 2008. Apa Yang Dokter Anda Tidak Katakan Tentang Demam Berdarah. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka. Green, L. W. 1980. Health Education Planning, A Diagnostic Approach Mayfield Publishing Company. USA Hairi, F., Ong, CH., Suhaimai, a. et al. 2003. A Knowledge, Attitude and Practice (KAP) Study on Dengue Among Selected Rural Communities in The Kuala Kangsar District. Asia Pasific Journal Public Health, 15 (1): 37-43. Herms, W., 2006. Medical Entomology. The Macmillan Company, United States of America.
109
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Buletin Jendela Epidemioogi. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Keraf, A. S. Dan Dua M. 2001. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada Jakarta Mar’at. 1984. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya. Ghalia Indonesia. Jakarta. Medronho, R.A., Macrini, L., Novellino, D.M. et al. 2009. Aedes aegypti Immatures Forms Distribution According to Type of Breeding Site. The American Society of Tropical Medicine and Hygiene, 80: 401-404. Nelson, M.J. et al., 1972. Seasonal Abudance of Adult and Immature Aedes Aegypti in Jakarta. Buletin Penelitian Kesehatan 4 (1). Nisa, Hoirun. 2007. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: UIN Jakarta Press. Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Nugrahaningsih, M., Putra, N.A., Aryanta, I.W.R. 2010. Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Jentik Nyamuk
110
Penular Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Utara. Ecotropic, 5 (2): 93-97. Rahman., Deni Abdul. 2012. Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah Dan Praktik 3m Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Wilayah Kerja Puskesmas Blora Kabupaten Blora. Unnes Journal Of Public Health 2 (1). Rajab,. Wahyudin. 2008. Buku Ajar Epidemiologi Untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Respati, Yunita Ken dan Soedjajadi Keman. (2007). Perilaku 3M, Abatisasi dan Keberadaan Jentik Aedes Hubungannya dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 3 (2): 107-118. Ririh, Y., dan Anny, V. 2005. Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer dan Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan I (2) : 170 -182. Sandra., Mariana Ivoretty. 2010. Hubungan karakteristik individu dan kondisi tempat penampungan air (TPA) dengan kejadian Demam Berdarah (DBD) Di Kelurahan Pabuaran Kecamatan Cibinong Tahun 2010. Skripsi: UI Santoso & Anif, B. 2008. Hubungan Pengetahuan Sikap dan Prilaku (PSP) Masyarakat terhadap vektor DBD di Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Ekologi Kesehatan, 7 (2): 732-739.
111
Setiawan. 2002. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberadaan Jentik Aedes Pada TPA Rumah Tangga Di Kecamatan Bekasi Selatan Tahun Tahun 2001. Thesis: UI. Setyobudi,. Agus. 2011. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Di Daerah Endemik DBD Di Kelurahan Sananwetan Kecamatan Sananwetan Kota Blitar. Prosiding Seminar Nasional, “Peran Kesehatan Masyarakat Dalam Pencapaian MDG’s Di Indonesia”. Soegijanto. S., 2003. Demam Bedarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003. Airlangga University Press, Surabaya. Sukowati, Supratman. 2010. Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Pengendaliannya di Indonesia. Puslitbang Ekologi dan Status Kesehatan. Kementrian Kesehatan. Sumantri., Arif. 2010. Kesehatan Lingkungan dan Perspektif Islam. Jakarta. Kencana Susanna, D dan Terang U.J.S. 2011. Entomologi Kesehatan. Jakarta: UI Press Suyasa. 2008. Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan. Ecotrophic. 3 (1) : 1 - 6 Suzuki, T, 1976. Distribution and Density of Aedes Aegypti in the South Pacific Dengue Newsletter South East Asia and Western Pacific Region WHO 2. Tafsir Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu. Surabaya: Pt. Remaja Rosdaharya. Troyo A, Calderon-Arguedas O, Fuller Do, Solano Me, Advendano A, Arheart Kl, Chade Dd, Beier Jc. 2008. Seasonal Profiles Of Aedes Aegypti (Diptera:
112
Culicidae) Larva Habitats In An Urban Area Of Costa Rica With A History Of Mosquito Control. J Vector Ecology; 33(1), 76-88. Tsuzuki, A., Huynh, T., Tsunida, T. et al. 2009. Effect of Existing Practices on Reducing Aedes aegypti Pre-adults in Key Breeding Containers in Ho Chi Minh City, Vietnam. The American Society of Tropical Medicine and Hygiene, 80 (5): 752-757. Tumbelaka. A.R. 2004. Diagnosis Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue. Dalam: Hadinegoro dan Satari. Demam Berdarah Dengue (Naskah Lengkap) Cetakan Keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. WHO. 1998. Demam Berdarah Dengue, Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan dan Pengendalian, Edition Asih Yasmin. Buku Kedokteran EGC, Jakarta. WHO. 2007. Case Dengue in South East Asia. http:/www.who.int/ WHO. 2009. Dengue: guideline for diagnosis, treatment, prevention and control. Geneva: WHO Press. WHO. 2010. South East Region Dengue. WHO. 2012. Case Dengue Fever. Yotopranoto, S., Sri Subekti, Rosmanida, Sulaiman. (1998). Dinamika Populasi Vektor Pada Lokasi Dengan K Asus Demam Berdarah Dengue Yang Tinggi Di Kotamadya Surabaya. Majalah Kedokteran Tropis Indonesia.Vol 9 : No. 1 -2.
Lampiran 2 KUESIONER PENELITIAN
Saat ini saya (Mentary Putry Rendy) Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, sedang melakukan penelitian mengenai Hubungan Faktor Perilaku dan Faktor Lingkungan dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti di Kelurahan Sawah Lama Kota Tangerang Selatan Tahun 2013. Untuk kepentingan pengumpulan data penelitian ini, saya mengharapkan partisipasi Ibu dalam menjawab pertanyaan di bawah ini dengan sejujur-jujurnya sesuai dengan pengetahuan, pendapat dan pengalaman yang dimiliki. Terima kasih sebesar-besarnya atas kesediaan Ibu berpartisipasi dalam penelitian ini.
Enumerator
(
Responden
)
(
)
LEMBAR KUESIONER No. Responden Nama Kepala Keluarga Nama Ibu Tanggal wawancara Pewawancara Alamat Rumah
Jl./Gang RT RW
KARAKTERISTIK RESPONDEN Umur Ibu Pendidikan
…….. tahun 1. Tidak sekolah 2. Tidak tamat SD 3. SD 4. SMP 5. SMA 6. Perguruan Tinggi
Pekerjaan Responden
1. Petani 2. PNS 3. Guru 4. Wiraswasta/usaha mandiri 5. Pegawai Swasta 6. Ibu Rumah Tangga 7. Lain-lain ………..
PENGETAHUAN Menurut Ibu, apa yang dimaksud dengan penyakit DBD (demam
[
]
[
]
[
]
[
]
berdarah)? 1. Penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk yang sudah A1
menggigit penderita DBD (demam berdarah) 2. Penyakit yang ditularkan melalui cacing 3. Penyakit yang ditularkan melalui batuk / dahak dari penderita DBD (demam berdarah) 4. Tidak tahu Menurut Ibu, DBD (demam berdarah) disebabkan oleh apa? 1. Air kencing tikus
A2
2. Gigitan nyamuk 3. Makanan dihinggapi kecoa 4. Makanan dihinggapi lalat 5. Tidak tahu Menurut Ibu, apa bahaya penyakit DBD (demam berdarah) bagi penderita? 1. Menyebabkan kecacatan
A3
2. Menyebabkan kebutaan 3. Menyebabkan kematian 4. Menularkan pada anggota keluarga lain 5. Tidak tahu Menurut Ibu, demam penyakit DBD (demam berdarah) mempunyai ciriciri yang berbeda dengan demam pada penyakit lain, karena demam
A4
tersebut disertai? (jawaban harus lebih dari 1) 1. Buang air besar berdarah 2. Mimisan 3. Kulit kemerah-merahan
4. Gusi berdarah 5. Mual 6. Tidak tahu Menurut Ibu, nyamuk DBD (demam berdarah) senang hinggap dimana? (jawaban harus lebih dari 1) 1. Pakaian yang tergantung A5
2. Tempat yang gelap
[
]
[
]
[
]
[
]
3. Dekat cahaya lampu 4. Di air 5. Tidak tahu Menurut Ibu, dimanakah tempat berkembangbiaknya nyamuk DBD (demam berdarah)? (jawaban harus lebih dari 1) 1. Bak mandi 2. Dispenser A6
3. Ember 4. Tempat minum burung 5. Batang bambu 6. Selokan 7. Rawa-rawa Menurut Ibu, bagaimana ciri-ciri nyamuk DBD (demam berdarah)? 1. Warna merah bintik-bintik putih
A7
2. Warna hitam bintik-bintik putih 3. Warna coklat bintik-bintik putih 4. Tidak tahu Menurut Ibu, kapan waktu nyamuk penyebab DBD (demam berdarah)
A8
biasa menggigit orang? 1. Pagi (09.00-10.00) dan sore (16.00-17.00) 2. Pagi (09.00-10.00) dan siang (12.00-13.00)
3. Pagi (09.00-10.00) dan malam (19.00-20.00) 4. Siang (12.00-13.00) dan malam (19.00-20.00) 5. Tidak tahu Menurut Ibu, apa kepanjangan 3M?
[
]
[
]
[
]
[
]
1. Mengubur, menguras, membersihkan A9
2. Membunuh, membakar, menimbun 3. Mengubur, menutup, menguras 4. Tidak tahu Menurut Ibu, apa cara mencegah penyakit DBD (demam berdarah)? (jawaban harus lebih dari 1) 1. Pemberantasan sarang nyamuk melalui 3M 2. Menggunakan kelambu
A10
3. Membiarkan air menggenang 4. Menggunakan obat nyamuk 5. Menggantung baju di pintu 6. Penyemprotan lingkungan (fogging) 7. Tidak tahu Menurut Ibu, apa saja program puskesmas tentang DBD (demam berdarah)? (jawaban harus lebih dari 1) 1. 3M
A11
2. Juru pengawas jentik 3. Fogging (pengasapan) 4. Penyebaran bubuk abate 5. Tidak tahu Menurut Ibu, kapan sebaiknya dilakukan fogging/pengasapan?
A12
1. Saat ada yang sakit demam berdarah 2. Saat hari-hari biasa 3. Saat setelah musim hujan
4. Tidak tahu Menurut Ibu, pada musim apa terjadi DBD (demam berdarah)? A13
[
]
[
]
1. Musim kemarau 2. Musim dingin 3. Musim hujan Menurut Ibu, tindakan apa yang dilakukan jika ada anggota keluarga yang terkena DBD (demam berdarah)? (jawaban harus lebih dari 1) 1. Membiarkan saja
A14
2. Membawa ke dokter 3. Dirawat di rumah 4. Membawa ke Puskesmas 5. Membawa ke mantri/dukun 6. Membawa ke rumah sakit
SIKAP
No
Pertanyaan Sikap
A15 Demam berdarah harus dicegah dengan pemberantasan sarang nyamuk. A16 Pemberantasan sarang nyamuk tidak perlu dilakukan jika tidak ada yang sakit demam berdarah. A17 Pemberantasan sarang nyamuk adalah tugas/tanggung jawab masyarakat. A18 Kegiatan pemberantasan sarang nyamuk perlu peran serta masyarakat secara terus menerus.
Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
A19 Masyarakat
harus
melakukan
pemberantasan sarang nyamuk di rumah masing-masing. A20 Tokoh
masyarakat
perlu
mengajak/menyuruh masyarakat untuk melaksanakan
pemberantasan
sarang
nyamuk. A21 Setiap warga tidak perlu mengingatkan tetangganya
untuk
melakukan
pemberantasan sarang nyamuk. A22 Saya mau berpartisipasi dalam kegiatan kerja bakti dalam rangka pemberantasan sarang nyamuk. A23 Jika di rumah warga ada kasus deman berdarah, tetangga melakukan
tidak perlu ikut
pemberantasan
sarang
nyamuk di lingkungannya karena itu merupakan tugas tenaga kesehatan. A24 Saya
lebih
suka
melakukan
pemberantasan sarang nyamuk di rumah sendiri daripada penyemprotan yang dilakukan oleh pemerintah.
PERILAKU 3M Praktek Menguras Tempat Penampungan Air NO A25
Pertanyaan Berapa kali Ibu menguras tempat penampungan air? 1. Paling sedikit seminggu sekali
Kode [
]
2. Paling sedikit dua minggu sekali 3. Paling sedikit sebulan sekali 4. Lainnya … Bagaimana cara Ibu menguras bak mandi? (jawaban boleh
[
]
[
]
[
]
[
]
lebih dari 1) 1. Menggosok dinding bak mandi A26
2. Mengganti air saja 3. Memberi anti septik pada air bak 4. Membiarkan saja 5. Tidak tahu 6. Lainnya … Jika Ibu punya vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lain sejenis yang bisa menimbulkan genangan air. Apakah ibu mengganti airnya, jika ya, berapa kali?
A27
1. Paling sedikit seminggu sekali 2. Paling sedikit dua minggu sekali 3. Paling sedikit sebulan sekali 4. Lainnya …
Praktek Mengubur Barang-Barang Bekas Apakah
Ibu
menyingkirkan A28
melakukan
kegiatan
barang-barang
bekas
mengubur yang
atau dapat
menimbulkan genangan air? 1. Ya 2. Tidak Jika ya, bagaimana cara ibu memperlakukan barang bekas?
A29
1. Dikubur 2. Diberikan ke tukang sampah/loak
3. Dibuat kerajinan 4. Dibakar 5. Lainnya … Berapa kali Ibu menyingkirkan barang-barang bekas yang A30
[
]
[
]
dapat menjadi tempat penampungan air? 1. Kurang dari 1 kali dalam seminggu 2. Lebih dari 1 kali dalam seminggu
Praktek Menutup Tempat Penampungan Air Apakah setelah selesai menggunakan tempat penampungan A31
air biasanya ditutup kembali secara benar (tertutup rapat)? 1. Iya 2. Tidak
KETERSEDIAAN TUTUP Apakah terdapat tutup pada tempat penampungan air di rumah Ibu? A32
[
1. Ya 2. Tidak
Pertanyaan Tambahan Apakah di lingkungan ibu terdapat petugas Jumantik? A33
1. Ya 2. Tidak
[
]
]
Lampiran 3
LEMBAR OBSERVASI KONDISI TEMPAT PENAMPUNGAN AIR RUMAH TANGGA
1
OBSERVASI KEBERADAAN LARVA Keberadaan Ketersediaan Jentik* tutup* Jenis Tempat Penampungan Air Tidak Tidak Ada Ada Ada Ada Bak mandi
2
Ember
3
Tempayan
4
Dispenser
5
Ban bekas berisi air
6
Vas bunga
7
Tempat minum burung
8
Pot tanaman air
9
Kaleng/barang bekas berisi air Batang bamboo
N o
10 11
Penampungan air belakang kulkas 12 Lainnya ……………….. * Beri tanda V pada jawaban yang sesuai **Lingkari jawaban yang sesuai Jumlah TPA Responden
= …………………………….
Jumlah TPA yang Dibersihkan
= …………………………….
Keterangan** a. b. a. b. a. b. a. b. a. b. a. b. a. b. a. b. a. b.
Air keruh Jernih Air keruh Jernih Air keruh Jernih Air keruh Jernih Air keruh Jernih Air keruh Jernih Air keruh Jernih Air keruh Jernih Air keruh Jernih
a. b. a. b.
Air keruh Jernih Air keruh Jernih
a. Air keruh b. Jernih
LAMPIRAN 4
A. Univariat 1. Dependen (Keberadaan Larva) larva Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
ada larva
44
55.0
55.0
55.0
tidak ada larva
36
45.0
45.0
100.0
Total
80
100.0
100.0
2. Independen a. Pengetahuan
pengetahuan1 Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
kurang
30
37.5
37.5
37.5
baik
50
62.5
62.5
100.0
Total
80
100.0
100.0
b. Sikap sikap2 Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
negatif
39
48.8
48.8
48.8
positif
41
51.2
51.2
100.0
Total
80
100.0
100.0
c. Menguras menguras Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
< 1 kali seminggu
35
43.8
43.8
43.8
> = 1 kali seminggu
45
56.2
56.2
100.0
Total
80
100.0
100.0
d. Menyingkirkan -
Gambaran perlakuan perlakuan Cumulative Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Loak
48
60.0
60.0
60.0
Dibakar
32
40.0
40.0
100.0
Total
80
100.0
100.0
-
Menyingkirkan Menyingkirkan Cumulative Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Percent
<1xseminggu
53
66.2
66.2
66.2
>=xseminggu
27
33.8
33.8
100.0
Total
80
100.0
100.0
e. Menutup
menutup Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
tidak menutup
63
78.8
78.8
78.8
menutup
17
21.2
21.2
100.0
Total
80
100.0
100.0
f. Ketersediaan tutup ketersediaan tutup Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
tidak punya tutup
57
71.2
71.2
71.2
punya tutup
23
28.8
28.8
100.0
Total
80
100.0
100.0
g. Jenis TPA TPA Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
tpa sehari2
62
77.5
77.5
77.5
tdk sehari2
18
22.5
22.5
100.0
Total
80
100.0
100.0
B. Bivariat 1. Pengetahuan pengetahuan1 * larva Crosstabulation larva ada larva pengetahuan1
kurang
Count % within pengetahuan1
baik
Count % within pengetahuan1
Total
Count % within pengetahuan1
tidak ada larva
Total
24
6
30
80.0%
20.0%
100.0%
20
30
50
40.0%
60.0%
100.0%
44
36
80
55.0%
45.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.000
10.559
1
.001
12.777
1
.000
12.121 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.001
Linear-by-Linear Association
11.970
b
N of Valid Cases
1
.001
80
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.50. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for pengetahuan1 (buruk / baik) For cohort larva = ada larva For cohort larva = tidak ada larva N of Valid Cases
Lower
Upper
6.000
2.082
17.292
2.000
1.363
2.936
.333
.157
.706
80
.000
2. Sikap sikap2 * larva Crosstabulation larva ada larva sikap2
negatif
Count % within sikap2
positif
Total
11
39
71.8%
28.2%
100.0%
16
25
41
39.0%
61.0%
100.0%
44
36
80
55.0%
45.0%
100.0%
Count % within sikap2
Total
28
Count % within sikap2
tidak ada larva
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.003
7.399
1
.007
8.855
1
.003
8.673 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
.004 8.564
1
.003
80
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.55. b. Computed only for a 2x2 table
.003
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for sikap2 (negatif / positif) For cohort larva = ada larva For cohort larva = tidak ada larva N of Valid Cases
Lower
Upper
3.977
1.556
10.163
1.840
1.197
2.829
.463
.265
.808
80
3. Menguras menguras * larva Crosstabulation larva ada larva menguras
< 1 kali seminggu
Count % within menguras
> = 1 kali seminggu
Count % within menguras
Total
Count % within menguras
tidak ada larva
Total
25
10
35
71.4%
28.6%
100.0%
19
26
45
42.2%
57.8%
100.0%
44
36
80
55.0%
45.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df a
1
.009
5.657
1
.017
6.933
1
.008
6.785 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.013
Linear-by-Linear Association
6.700
b
N of Valid Cases
1
.010
80
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.75. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for menguras (< 1 kali seminggu / > = 1 kali
3.421
1.333
8.777
1.692
1.133
2.526
.495
.277
.883
seminggu) For cohort larva = ada larva For cohort larva = tidak ada larva N of Valid Cases
80
.008
4. Menyingkirkan
menyingkirkan * larva Crosstabulation larva ada larva menyin <1xsem Count gkirkan inggu
% within A30
% within A30
Total
19
53
64.2%
35.8%
100.0%
10
17
27
37.0%
63.0%
100.0%
44
36
80
55.0%
45.0%
100.0%
Count % within A30
Total
34
≥1xsem Count inggu
tidak ada larva
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.021
4.274
1
.039
5.338
1
.021
5.313 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
.032 5.247
1
.022
80
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,15. b. Computed only for a 2x2 table
.019
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for A30 (1 / 2)
3.042
1.163
7.960
For cohort larva = ada larva
1.732
1.018
2.947
.569
.359
.904
For cohort larva = tidak ada larva N of Valid Cases
80
5. Menutup Crosstab larva ada larva menutup
tidak menutup
Count % within menutup
menutup
Count % within menutup
Total
Count % within menutup
tidak ada larva
Total
38
25
63
60.3%
39.7%
100.0%
6
11
17
35.3%
64.7%
100.0%
44
36
80
55.0%
45.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df a
1
.066
2.451
1
.117
3.393
1
.065
3.387 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.099
Linear-by-Linear Association
3.345
b
N of Valid Cases
1
.067
80
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,65. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for menutup (tidak menutup / menutup) For cohort larva = ada larva For cohort larva = tidak ada larva N of Valid Cases
Lower
Upper
2.787
.913
8.502
1.709
.871
3.353
.613
.385
.976
80
.059
6. Ketersediaan tutup
Crosstab larva ada larva ketersediaan tutup
tidak punya tutup
Count % within ketersediaan tutup
punya tutup
Count % within ketersediaan tutup
Total
Count % within ketersediaan tutup
tidak ada larva
Total
30
27
57
52.6%
47.4%
100.0%
14
9
23
60.9%
39.1%
100.0%
44
36
80
55.0%
45.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.503
.178
1
.673
.452
1
.501
.449 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
.621 .444
1
.505
80
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,35. b. Computed only for a 2x2 table
.338
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for ketersediaan tutup (tidak punya tutup /
.714
.267
1.914
.865
.574
1.303
1.211
.679
2.159
punya tutup) For cohort larva = ada larva For cohort larva = tidak ada larva N of Valid Cases
80
7. Jenis TPA
TPA * larva Crosstabulation larva ada larva TPA
tpa sehari2
Count % within TPA
tdk sehari2
Count % within TPA
Total
Count % within TPA
tidak ada larva
Total
29
33
62
46.8%
53.2%
100.0%
15
3
18
83.3%
16.7%
100.0%
44
36
80
55.0%
45.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df a
1
.006
6.129
1
.013
8.190
1
.004
7.533 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.007
Linear-by-Linear Association
7.439
b
N of Valid Cases
1
.006
80
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,10. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for TPA (tpa sehari2 / tdk sehari2) For cohort larva = ada larva For cohort larva = tidak ada larva N of Valid Cases
Lower
Upper
.176
.046
.669
.561
.401
.786
3.194
1.108
9.209
80
.005
C. Multivariat
Logistic Regression Case Processing Summary Unweighted Cases
a
N
Selected Cases
Percent
Included in Analysis
80
100.0
0
.0
80
100.0
0
.0
80
100.0
Missing Cases Total Unselected Cases Total
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding Original Value
Internal Value
ada larva
0
tidak ada larva
1
Block 0: Beginning Block Classification Table
a,b
Predicted larva Observed Step 0
larva
ada larva
Percentage
tidak ada larva
Correct
ada larva
44
0
100.0
tidak ada larva
36
0
.0
Overall Percentage
55.0
Classification Table
a,b
Predicted larva Observed Step 0
larva
ada larva
Percentage
tidak ada larva
Correct
ada larva
44
0
100.0
tidak ada larva
36
0
.0
Overall Percentage
55.0
a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500
Variables in the Equation B Step 0
Constant
-.201
S.E.
Wald
.225
df
.797
Sig. 1
.372
Variables not in the Equation Score Step 0
Variables
df
Sig.
Kuras
6.785
1
.009
singkir
5.313
1
.021
Menutup
3.387
1
.066
TPA
7.533
1
.006
12.121
1
.000
8.673
1
.003
28.126
6
.000
pengetahuan1 sikap2 Overall Statistics
Block 1: Method = Enter Omnibus Tests of Model Coefficients
Exp(B) .818
Chi-square Step 1
df
Sig.
Step
33.953
6
.000
Block
33.953
6
.000
Model
33.953
6
.000
Model Summary
Step
Cox & Snell R
Nagelkerke R
Square
Square
-2 Log likelihood
1
76.149
a
.346
.463
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.
Classification Table
a
Predicted larva Observed Step 1
larva
ada larva tidak ada larva
Overall Percentage a. The cut value is ,500
ada larva
Percentage
tidak ada larva
Correct
34
10
77.3
8
28
77.8 77.5
Variables in the Equation 95,0% C.I.for EXP(B) B Step 1
a
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
Lower
Upper
Kuras
.846
.603
1.969
1
.161
2.330
.715
7.598
singkir
1.125
.641
3.078
1
.079
3.081
.876
10.830
.083
.777
.011
1
.915
1.086
.237
4.986
-1.966
.820
5.752
1
.016
.140
.028
.698
pengetahuan1
1.890
.650
8.443
1
.004
6.617
1.850
23.669
sikap2
1.128
.606
3.467
1
.063
3.088
.942
10.119
-3.779
1.288
8.604
1
.003
.023
Menutup TPA
Constant
a. Variable(s) entered on step 1: Kuras, singkir, Menutup, TPA, pengetahuan1, sikap2.
Logistic Regression Case Processing Summary Unweighted Cases Selected Cases
a
N Included in Analysis Missing Cases Total
Unselected Cases Total
Percent 80
100.0
0
.0
80
100.0
0
.0
80
100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding Original Value
Internal Value
ada larva
0
tidak ada larva
1
Block 0: Beginning Block Classification Table
a,b
Predicted larva Observed Step 0
larva
ada larva
Percentage
tidak ada larva
Correct
ada larva
44
0
100.0
tidak ada larva
36
0
.0
Overall Percentage
55.0
a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500
Variables in the Equation B Step 0
Constant
-.201
S.E.
Wald
.225
df
.797
Sig. 1
.372
Variables not in the Equation Score Step 0
Variables
df
Sig.
Kuras
6.785
1
.009
singkir
5.313
1
.021
TPA
7.533
1
.006
12.121
1
.000
8.673
1
.003
28.062
5
.000
pengetahuan1 sikap2 Overall Statistics
Exp(B) .818
Block 1: Method = Enter Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1
df
Sig.
Step
33.942
5
.000
Block
33.942
5
.000
Model
33.942
5
.000
Model Summary
Step
Cox & Snell R
Nagelkerke R
Square
Square
-2 Log likelihood
1
76.160
a
.346
.463
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.
Classification Table
a
Predicted larva Observed Step 1
larva
ada larva tidak ada larva
Overall Percentage a. The cut value is ,500
ada larva
Percentage
tidak ada larva
Correct
34
10
77.3
8
28
77.8 77.5
Variables in the Equation 95,0% C.I.for EXP(B) B Step 1
a
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
Lower
Upper
Kuras
.852
.600
2.014
1
.156
2.344
.723
7.601
singkir
1.133
.637
3.166
1
.075
3.105
.891
10.813
-1.974
.818
5.833
1
.016
.139
.028
.689
pengetahuan1
1.898
.646
8.630
1
.003
6.675
1.881
23.689
sikap2
1.146
.580
3.907
1
.048
3.146
1.010
9.805
-3.709
1.106
11.247
1
.001
.025
TPA
Constant
a. Variable(s) entered on step 1: Kuras, singkir, TPA, pengetahuan1, sikap2.
Logistic Regression Case Processing Summary Unweighted Cases Selected Cases
a
N Included in Analysis Missing Cases Total
Unselected Cases Total
Percent 80
100.0
0
.0
80
100.0
0
.0
80
100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding Original Value
Internal Value
ada larva
0
tidak ada larva
1
Block 0: Beginning Block Classification Table
a,b
Predicted larva Observed Step 0
larva
ada larva
Percentage
tidak ada larva
Correct
ada larva
44
0
100.0
tidak ada larva
36
0
.0
Overall Percentage
55.0
a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500
Variables in the Equation B Step 0
Constant
-.201
S.E.
Wald
.225
df
.797
Sig. 1
.372
Variables not in the Equation Score Step 0
Variables
df
Sig.
singkir
5.313
1
.021
TPA
7.533
1
.006
12.121
1
.000
8.673
1
.003
26.860
4
.000
pengetahuan1 sikap2 Overall Statistics
Block 1: Method = Enter Omnibus Tests of Model Coefficients
Exp(B) .818
Chi-square Step 1
df
Sig.
Step
31.899
4
.000
Block
31.899
4
.000
Model
31.899
4
.000
Model Summary
Step
Cox & Snell R
Nagelkerke R
Square
Square
-2 Log likelihood
1
78.203
a
.329
.440
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.
Classification Table
a
Predicted larva Observed Step 1
larva
ada larva
Percentage
tidak ada larva
Correct
ada larva
36
8
81.8
tidak ada larva
10
26
72.2
Overall Percentage a. The cut value is ,500
77.5
Variables in the Equation 95,0% C.I.for EXP(B) B Step 1
a
singkir
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
Lower
Upper
1.376
.615
5.000
1
.025
3.957
1.185
13.215
-2.046
.788
6.746
1
.009
.129
.028
.605
pengetahuan1
1.918
.634
9.140
1
.003
6.807
1.963
23.604
sikap2
1.115
.566
3.887
1
.049
3.050
1.007
9.240
-3.508
1.078
10.591
1
.001
.030
TPA
Constant
a. Variable(s) entered on step 1: singkir, TPA, pengetahuan1, sikap2.