Antisipasi Gigitan Nyamuk Aedes aegypti dengan Lotion Tolak Nyamuk Oleh Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS Unit Kajian Pengendalian Hama Pemukiman (UKPHP) Fakultas Kedokteran Hewan IPB
Tren kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) selalu mencuat setiap kali musim penghujan tiba. Lingkungan alam tropis, sanitasi dan kebersihan yang buruk serta rendahnya kesadaran masyarakat menjadi alasan utama maraknya kejadian demam berdarah setiap tahunnya di tanah air. Hingga saat ini program pencegahan dengan menggunakan vaksin DBD juga belum berjalan karena masih dalam proses pengembangan oleh para ahli, dan belum adanya obat-obatan untuk penyakit, turut menambah deretan alasan mengapa kasus demam berdarah belum dapat di atasi. Saat ini, Indonesia menduduki peringkat dua penderita DBD setelah negara Brazil. Potensi penyakit demam berdarah kian besar terlebih adanya pengaruh faktor perubahan iklim global. Mengutip catatan BMKG mengenai kesesuaian unsur iklim dengan tingkat DBD, bahwa potensi penyebaran demam berdarah muncul saat temperatur mencapai 27 derajat celcius – merupakan saat yang tepat dan optimal bagi nyamuk untuk berkembang biak. Data Kementerian Kesehatan pada tahun 2009-2011 pun menunjukkan bahwa jumlah rata-rata kasus akibat virus dengue di Indonesia adalah 126.908 kasus dengan angka kematian mencapai 1.125 kasus yang menempatkan Indonesia sebagai negara tertinggi dalam kasus penyakit dengue di Asia Tenggara. Penyebab dan Penular DBD Penyakit DBD merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh satu dari empat bahan antigenik (virus) yang dikenal serotipe 1-4 (DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4) dari genus Flavivirus, famili Flaviridae. Virus ini terdapat dalam darah penderita 1-2 hari sebelum demam. Virus ini terdapat dalam darah penderita (viremia) selama 4-7 hari. Apabila seseorang terinfeksi dengan satu dari empat serotipe ini tidak menimbulkan kekebalan (protektif) silang. Orang yang tinggal di daerah endemik dapat tertular oleh empat jenis virus sepanjang waktu. Infeksi dengan satu serotipe virus akan menghasilkan reaksi kekebalan yang lama terhadap virus itu, tetapi tidak terhadap serotipe yang lain. Publikasi Tertulis Program Komunikasi Soffell 2013
Penyakit ini ditularkan kepada manusia melalui nyamuk yang sejauh ini di Indonesia dikenal dua jenis yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus. Siklus normal infeksi DBD terjadi antara manusia ke nyamuk Aedes dan ke manusia. Dari darah seorang penderita yang dihisap, nyamuk betina dapat menularkan virus DBD setelah melewati masa inkubasi 8-10 hari. Selama waktu ini di dalam tubuh nyamuk, virus akan mengalami replikasi (perbanyakan) dan penyebaran yang berakhir pada infeksi saluran kelenjar ludah sehingga nyamuk menjadi tertular selama hidupnya. Sekali nyamuk tertular virus, seumur hidupnya akan menjadi nyamuk yang infektif dan mampu menyebarkan virus ke orang lain ketika menghisap darah berikutnya. Nyamuk yang infektif ini juga dapat menularkan virus ke generasi berikutnya secara transovarial melalui telur, tetapi peranannya dalam melanjutkan transmisi virus pada manusia belum diketahui. Nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus tersebar di seluruh pelosok tanah air, kecuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Keduanya bisa dibedakan dengan mudah pada stadium dewasa dan larva. Tanda pada bagian dorsal dada (mesonotum) sangat jelas bisa dilihat dengan mata telanjang (Gambar 1), pada Ae. aegypti terdapat garis lengkung putih dan 2 garis pendek di bagian tengah, sedang pada Ae. albopictus terdapat garis putih di bagian tengah dada (dorsal toraks). Selain itu Ae. albopictus secara umum berwarna lebih gelap daripada Ae. aegypti.
Gambar 1 Aedes aegypti (kiri) dan Aedes albopictus (kanan).
Publikasi Tertulis Program Komunikasi Soffell 2013
Adapun untuk melihat perbedaan larva/jentik diperlukan diseccting microscope. Bagian yang paling jelas adalah perbedaan bentuk sisik sikat (comb scales) dan gigi pekten (pecten teeth), dan sikat ventral yang terdiri atas empat pasang rambut pada Ae. albopictus dan lima pasang pada Ae. aegypti. Selama ini stadium pradewasa Ae. aegypti dikenal mempunyai kebiasaan hidup pada genangan air jernih pada bejana buatan manusia yang berada di dalam dan luar rumah, nyamuk dewasanya beristirahat dan aktif menggigit di siang hari di dalam rumah (endofilik-endofagik).
Umumnya Ae. aegypti dan Ae. albopictus betina mempunyai daya
terbang sejauh 50-100 meter, tetapi keduanya mampu terbang dengan mudah dan cepat dalam mencari tempat perindukan di seluruh daerah penelitian di Singapura dengan radius 320 meter. Nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus berkembang biak di dalam wadah (container breeding) dengan penyebaran di seluruh daerah tropis maupun subtropis. Tempat perkembangbiakan larva nyamuk Ae. aegypti adalah tempat-tempat yang digunakan oleh manusia sehari-hari seperti bak mandi, drum air, kaleng-kaleng bekas, ketiak daun dan lubang-lubang batu. Tipe-tipe kontainer baik yang kecil maupun yang besar yang mengandung air merupakan tempat perkembangbiakan yang baik bagi stadium pradewasa nyamuk Ae. aegypti.
Hasil-hasil pengamatan entomologi menunjukkan bahwa Ae. aegypti menempati
habitat domestik terutama penampungan air di dalam rumah, sedangkan Ae. albopictus berkembang biak di lubang-lubang pohon, drum, ban bekas yang terdapat di luar (peridomestik). Sejauh ini karena DBD merupakan penyakit virus, maka tidak ada pengobatan untuk menghentikan atau memperlambat perkembangan virus ini. Pengobatan hanya dapat dilakukan dengan cara simptomatis yaitu menghilangkan gejala- gejala yang terlihat setiap penderita. Cairan bisa diberikan untuk mengurangi dehidrasi dan obat-obatan diberikan untuk mengurangi demam, serta mengatasi perdarahan. Mengetahui bahwa belum ada obat atupun vaksin yang mampu membunuh virus dengue, maka upaya pencegahan demam berdarah saat ini terfokus pada upaya menghindari gigitan nyamuk dan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), pengasapan (fogging), larvasida dan penggunaan berbagai macam obat antinyamuk secara personal atau individual. Langkah yang paling sering didengungkan pemerintah adalah PSN dengan menjalankan gerakan 3M (menutup, menguras dan mengubur) tempat-tempat perindukan nyamuk. Berbagai upaya tersebut kiranya telah dilakukan sebagai langkah antisipasi untuk mengendalikan vektor Publikasi Tertulis Program Komunikasi Soffell 2013
penular penyakit DBD. Namun kejadian DBD terus meningkat bahkan menimbulkan kejadian luar biasa di berbagai daerah di Indonesia saat musim penghujan tiba dan peralihan. Penggunaan obat anti nyamuk di kalangan masyarakat untuk mencegah gigitan nyamuk vektor dan penyakit DBD merupakan cara sederhana yang paling sering digunakan oleh masyarakat saat ini. Terlebih saat ini berbagai variasi penggunaan obat nyamuk telah tersedia di pasaran, mulai dari lotion tolak nyamuk, anti nyamuk bakar, obat semprot aerosol, anti nyamuk cair (dimasukan ke dalam alat semprot), dan anti nyamuk elektrik (mat, liquid vaporizer), paper vaporizer, raket anti nyamuk, gelang anti nyamuk, AC anti nyamuk dan lainlain. Saat ini banyak juga ditawarkan tanaman anti nyamuk seperti Lavender, Rosemary, Sereh Wangi, Akar Wangi baik dalam bentuk tanaman maupun ekstrak yang telah diolah. Semua penggunaan obat anti nyamuk ini tidak lain berfungsi untuk menghalangi aktivitas menggigit dan menghisap darah yang diperlukan oleh nyamuk betina untuk proses produksi telur, yang pada akhirnya berakibat kepada menurunnya populasi nyamuk pada tingkat yang tidak mengganggu kenyamanan manusia. Efektivitas Lotion Tolak Nyamuk Efektivitas penggunaan Lotion Tolak Nyamuk (repelen) di Indonesia juga telah diteliti oleh tim Tim Peneliti Unit Kajian Pengendalian Hama Pemukiman (UKPHP) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB)
yang melihat pengaruh
penggunaan repelen secara massal dalam jangka panjang pada suatu pemukiman terhadap keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti. Peneltian ini didasarkan atas pemikiran jika kegiatan menghisap darah dihalangi oleh repelen secara massal pada suatu lokasi, maka dapat diharapkan terjadi dua hal. Pertama nyamuk berpindah ke tempat lain untuk mencari makan (darah). Akibatnya populasi nyamuk di lokasi semula akan menurun karena sebagian besar individu nyamuk berpindah tempat dan tidak kembali lagi. Kedua, meskipun nyamuk hanya sedikit saja yang berpindah, produksi telurnya akan jauh menurun akibat terhambatnya pasokan darah. Kedua keadaan ini tentu diharapkan mampu menurunkan populasi nyamuk Aedes aegypti di lokasi penggunaan repelen massal itu. Dengan menurun, bahkan ”menghilangnya” populasi Aedes aegypti itu, dapat diharapkan kondisi ini dapat mencegah merebaknya kasus demam berdarah pada permukiman tersebut. Pada penelitian ini pengukuran keberadaan nyamuk Ae. aegypti tidak berdasarkan pada nyamuk dewasanya, tetapi keberadaan jentik nyamuk. Pengukuran standar kepadatan jentik dilakukan berdasarkan ketetapan World Health Organization (WHO) Publikasi Tertulis Program Komunikasi Soffell 2013
meliputi: House Index (persentase rumah yang mengandung jentik nyamuk), Container Index (persentase wadah yang mengandung jentik nyamuk); dan Breteau Index (persentase rumah yang mengandung jentik dari 100 buah rumah di lokasi penelitian). Penelitian yang telah berjalan pada tahun 2008 ini dilakukan di empat RW yang terdiri dari 15 RT di Desa Laladon, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor selama 15 minggu dengan total populasi sebanyak 954 Kepala Keluarga (3864 penduduk) atau sebanyak 828 rumah. Repelen yang digunakan sebagai bahan uji dalam penelitian ini adalah lotion tolak nyamuk Soffell (bahan aktif: diethyltoluamide 13%). Pengolesan dilakukan setiap hari pada setiap orang penduduk di keempat RW, pada bagian yang tidak tertutup oleh busana. Pengolesan dilakukan pukul 06.00 pagi dan 06.00 sore sesudah mandi sebanyak satu sachet untuk setiap orang. Penelitian dilakukan dengan dua metode pokok yaitu mengukur keberadaan nyamuk, melalui keberadaan jentiknya dan kedua mengevaluasi/membandingkan kepadatan jentik nyamuk, sebelum, selama dan sesudah penggunaan repelen. Secara keseluruhan penelitian terbagi atas tiga tahap. Tahap pertama disebut tahap survei berlangsung selama tiga minggu, merupakan masa pra-oles repelen dan pada tahap ini setiap seminggu dilakukan pengukuran kepadatan jentik nyamuk Ae.aegypti yang bertujuan untuk memperoleh informasi/data awal populasi jentik. Tahap kedua berlangsung selama empat minggu dan disebut tahap evaluasi. Selama tahapan ini seluruh penduduk di keempat RW secara massal dan berkala menggunakan repelen Soffell dua kali sehari (pagi dan sore hari). Pada periode ini dilakukan pengukuran terhadap jentik nyamuk sebagaimana yang dilakukan pada tahap survei. Tahapan terakhir adalah tahap pasca oles yang berlangsung selama tiga minggu. Pada tahap ini repelen tidak lagi digunakan atau merupakan masa henti oles repelen, akan tetapi pengukuran terhadap jentik tetap dilakukan untuk mengetahui apakah masih terdapat dampak repelen terhadap populasi jentik nyamuk. Selama satu bulan (4 minggu) setelah tahap pasca oles tidak dilakukan pemeriksaan jentik atau kunjungan ke responden (disebut tahap jeda) selanjutnya kembali dilakukan pemeriksaan jentik terakhir, yang disebut tahap pengukuran akhir. Kegiatan terakhir ini dilakukan hanya sekali dan bertujuan untuk mengetahui proteksi repelen setelah masa henti oles dan dilakukan setelah tahap jeda untuk menghindari bias keberadaan jentik akibat intervensi manusia. Dari hasil penelitian ini (Tabel 1), dapat disimpulkan bahwa penggunaan repelen secara massal dalam jangka panjang mampu menurunkan populasi nyamuk suatu daerah, dengan penurunan angka House Index (persentase rumah yang mengandung jentik nyamuk) sebesar 58%, Container Index (persentase wadah yang mengandung jentik nyamuk) sebesar Publikasi Tertulis Program Komunikasi Soffell 2013
24%; dan Breteau Index (persentase rumah yang mengandung jentik dari 100 buah rumah di lokasi penelitian) sebesar 12%. Penurunan angka-angka tersebut berlangsung hingga minimal tiga minggu setelah penghentian pengolesan massal.
Tabel 1. Rata-rata angka jentik (larval index) di empat RW, Desa Laladon Kecamatan Ciomas Bogor
Survei
Evaluasi
Pasca Oles
(%)
(%)
(%)
House Index (HI)
73,27
15,22
8,42
13, 86
Container Index (CI)
31,87
7,80
4,72
7,68
Breteau Index (BI)
15,93
3,90
2,36
3,84
Ukuran padat populasi larva
PO akhir (%)
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka penggunaan repelen lotion tolak nyamuk dapat ditambahkan pada program pemerintah dalam menghadapi penyakit DBD yaitu 3 M (Menutup, Menguras dan Mengubur) menjadi 3 M plus 1 M yaitu mengoleskan repelen. Terlebih saat ini lotion tolak nyamuk merupakan obat nyamuk yang harganya terjangkau dan mudah ditemukan di berbagai tempat penjualan. Selain penggunaannya mudah dan praktis, mengacu pada penelitian tersebut lotion pun efektif mencegah gigitan nyamuk dan aman untuk kulit. Diethyl-toluamide (DEET) atau nama kimianya N,N, diethyl-3-methylbenzamide (dahulu dikenal sebagai N,N-diethyl-meta-toluamide ) adalah bahan aktif repelen yang paling banyak digunakan di dunia saat ini. DEET dikembangkan oleh Angkatan Darat Amerika Serikat (US Army) pada tahun 1946 untuk kepentingan pasukan Amerika dan baru digunakan untuk umum pada tahun 1957 di Amerika. DEET dapat diaplikasikan langsung pada kulit maupun pakaian dan saat ini tersedia dalam berbagai formulasi, mulai lotion, liquid, gel, aerosol dan sebagainya. Bekerjanya DEET lebih ke mengusir serangga daripada membunuhnya. DEET diyakini bekerja dengan memblok reseptor serangga (yang digunakan untuk mendeteksi karbondioksida dan asam laktat) yang digunakan untuk menemukan sasaran. DEET efektif mengacaukan indera serangga sehingga insting menggigit atau makan tidak dipicu oleh keberadaan manusia yang menggunakannya.
Publikasi Tertulis Program Komunikasi Soffell 2013
Kewaspadaan masyarakat untuk menyikapi demam berdarah melalui langkah antisipatif dengan penggunaan obat anti nyamuk merupakan cara tepat untuk memberikan perlindungan dari gigitan nyamuk di tingkat individu dan keluarga. Selain itu, yang tak kalah penting adalah melaksanakan perilaku hidup sehat, terutama peduli akan kesehatan lingkungan. Semua ini menjadi tanggung jawab yang harus dijalankan secara bersinergi antar individu, komponen masyarakat agar upaya pencegahan demam berdarah dapat terwujud lebih optimal di Indonesia. Referens Upik Kesumawati Hadi, Singgih H. Sigit, D.J. Gunandini, S. Soviana dan Sugiarto. 2008. Pengaruh Penggunaan Repelen Massal Jangka Panjang Pada Suatu PermukimanTerhadap Keberadaan Nyamuk Aedes aegypti (Diptera : Culicidae). J. Entomol. Indon. 5(1): 27-35. Upik Kesumawati Hadi. 2011. Penyakit Tular Vektor: Demam Berdarah Dengue. http://upikke.staff.ipb.ac.id [june 23 2011] Gubler, DJ. 2002. The global emergence/resurgence of arboviral diseases as public health problems. Arch.Med. Res. 33: 330-342. WHO, 1994. Guidelines for Dengue Surveillance and Mosquito Control. WHO Regional Office for The Western Pasific, Manila.
Publikasi Tertulis Program Komunikasi Soffell 2013