STATUS KERENTANAN NYAMUK Aedes aegypti TERHADAP INSEKTISIDA MALATION DI KOTA SURABAYA
AGUSTINUS. H.B
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PERNYATAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Status kerentanan nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida malation di Kota Surabaya adalah benar-benar karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun. Semua informasi yang berasal dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebut dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Bogor, Mei 2010
Agustinus. H.B B252070011
ABSTRACT AGUSTINUS H.B. Aedes aegypti mosquito’s resistance state to malathion insecticide in Surabaya, West Java Province. Supervised by F.X. Koesharto and Susi Soviana. Dengue haemorragic fever is a relatively common problem in Indonesia, with high mortality and morbidity cases. Control of A. aegypti using insecticide as fogging is the best and fast method. The aim of the research is to identify the susceptibility of A. aegypti againt malathion. The study started from July until December 2009. The research using the WHO “Susceptibility tes methods” in 5, 15, 30, 45, and 60 minutes contact time with three replications. The A. aegypti mosquitoes were come from some areas which categorized as high to low case area. The regression curve in mortality of field mosquitoes from high to low case indicated that the curves tended to move to the right side. Even, the result of RR95 count of A. aegypti from high case area showed less than ten times (RR95 =5,576), but these mosquito’s mortality rate were 85%, which mean the population are being tolerant againts of malathion. Keyword : kerentanan, A. aegypti , malathion, Kota Surabaya. .
RINGKASAN AGUSTINUS. H.B. Status kerentanan nyamuk A. aegypti terhadap insektisida malation di Kota Surabaya. Dibimbing oleh F.X. Koesharto dan Susi Soviana. Penyakit Demam Berdarah Dengue telah lama menjadi masalah kesehatan di beberapa negara Asia khususnya di Indonesia dengan angka kesakitan dan kematian tetap tinggi setiap tahun terutama pada golongan anak-anak. Pada tahun 1968 sejak ditemukan kasus demam berdarah di Jakarta dan Surabaya, sebanyak 58 orang menderita dan meninggal 24 orang (CFR 41,3%). Sampai sekarang penyakit ini telah menyebar di seluruh provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus pada tahun 2005 mencapai 95,279 kasus, tahun 2006 kasus 114,656 dan tahun 2007 mencapai 123,828 kasus (Dep.Kes. RI. 2008). Keadaan ini erat kaitannya dengan peningkatan mobilitas penduduk sejalan dengan semakin lancarnya hubungan transportasi. Kota Surabaya yang terdiri atas 31 kecamatan dengan 163 kelurahan adalah merupakan satu kota di Indonesia dengan jumlah penduduk padat, permukiman padat serta mobilitas yang tinggi, sejak tahun 2005 sampai dengan 2008 jumlah kasus demam berdarahdan angka kematian secara berturut-turut sebesar 2568 kasus, kematian 33 orang (CFR 1,28%), 4187 kasus dengan kematian 22 orang (CFR 0,52%), 214 kasus dengan kematian 25 orang (CFR 0,78%) dan 2169 kasus dengan kematian 10 orang (CFR 0,51%). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi status kerentanan nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida malation di Kota Surabaya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar dalam hal penanggulangan penyakit demam berdarah dengue dengan pengasapan (fogging) yang lebih efektif dan efisien. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2009. Pengumpulan larva nyamuk pada tempat penampungan air dalam beberapa sampel rumah di daerah dengan endemisitas rendah, sedang dan tinggi, selanjutnya larva di indentifikasi dan di kirim ke Insektarium PEK-IPB. Di tempat ini, larva dipelihara (rearing) sampai diperoleh nyamuk dewasa generasi F3. Nyamuk generasi F3 ini g dilakukan uji toleransi dengan standar WHO dengan waktu kontak 5, 15, 30, 45 dan 60 menit dengan tiga ulangan, setiap perlakuan menggunakan impregnated paper malation 5%. Sebagai pembanding digunakan nyamuk dewasa A. aegypti generasi F74 Strain Liverpool yang ada di Insektarium PEK-IPB. Analisis data menggunakan regresi Anova dan Analisa probit serta Uji Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase kematian nyamuk Aedes aegypti pada kasus tinggi diperoleh persamaan regresi (Y)= - 6,870 + 1,404 (x) dengan nilai R2 = 78,3%, pada kasus sedang (Y) =3,80 + 1,920 (x) dengan nilai R2 = 78,2%, pada kasus rendah (Y) = 30,05 +1,439 (x) dengan nilai R2 = 69,3%, pada taraf kepercayaan 95%, lama kontak berpengaruh nyata terhadap kematian nyamuk. Hasil analisis probit diperoleh waktu kematian 50% (LT50) nyamuk pada kasus tinggi 37,242, kasus sedang 18,812 dan kasus rendah 10,868. Sedangkan nilai RR95 pada kasus tinggi, sedang dan rendah berturut-turut adalah 5,576, 1,373 dan 1,205, dapat disimpulkan bahwa pada ketiga lokasi tersebut dengan nilai RR95
<10 belum terindikasi resisten, tetapi sudah mengarah ke toleran (pada kasus tinggi) dengan persentase kematian 85%. Pelaksanaan fogging harus sesuai dengan tata laksana yang telah ditetapkan, (siklus pengasapan I dan II) sehingga efektifitas dan efisiensi insektisida malation seperti yang diharapkan, serta perlu rotasi insektisida yang dipergunakan.
Kata kunci : Aedes aegypti, kerentanan, malation, Kota Surabaya
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dialrang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
STATUS KERENTANAN NYAMUK Aedes aegypti TERHADAP INSEKTISIDA MALATION DI KOTA SURABAYA
AGUSTINUS. H.B
Tesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
SEKOLAH PASCASARJA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PENGUJI LUAR KOMISI PADA UJIAN TESIS
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Drh. Dwi Jayanti Gunandini, M.Si
LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis
: Status kerentanan nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida malation di Kota Surabaya
Nama
: Agustinus. H.B
NRP
: B 252070011
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. drh. F.X. Koesharto, M.Sc Ketua
Dr. drh. Susi Soviana, M.Si Anggota
Diketahui,
Ketua Mayor Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S
Tanggal Ujian :
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Lulus :
HALAMAN PERSEMBAHAN Kupersembahkan kepada Ytc. 1. Kakak Agus Tulung T [Kapt. Inf. AD] (Alm) Agustus 2007 2. Ibunda Tercinta Agustina D (Alm) September 2009 1 Korintus 13: 1-13 Sekalipun aku dapat berkata-kata Dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, Tetapi jika aku tidak mempunyai KASIH, Aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing Sekalipun aku mempunyai KARUNIA untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan. Dan sekalipun aku memiliki IMAN yang sempurna untuk memindahkan gunung, Tetapi jika aku tidak mempunyai KASIH aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku... Bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar Tetapi jika aku tidak mempunyai KASIH sedikitpun tidak ada faedahnya. Kasih ituSABAR, kasih itu MURAH HATI Ia tidak CEMBURU, ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong Ia tidak melakukan yang tidak SOPAN Dan tidak mencari keuntungan diri sendiri Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain Ia tidak bersuka cita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu Mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu Kasih tidak berkesudahan, nubuat akan berakhir, bahasa roh akan berhenti Pengetahuan akan lenyap sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna, Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak, Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, Tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu IMAN, PNGHARAPAN dan KASIH dan yang paling besar diantaranya ialah KASIH
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2009 hingga desember 2009 ini adalah Status kerentanan nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida malation di Kota Surabaya. Dalam menyelesaikan tesis ini tidak lepas dorongan, bantuan dan bimbingan dari semua pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak. Dr. drh. F.X. Koesharto, M.Sc, selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. drh. Susi Soviana, M.Si, selaku anggota komisi pembimbing. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. drh. Singgih H. Sigit, M.Sc, Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS (Ketua Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan), Dr. drh. Ahmad Arif Amin, MS serta Dr. drh. D. J. Gunandini, M.Si yang telah banyak memberi saran dan bimbingan, serta seluruh staf pengajar dan laboratorium di lingkungan Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan yang telah banyak memberikan bantuan dan bimbingan selama menyelesaikan studi. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak. H. Moh. Muchson, M.Sc selaku Direktur Politeknik Kesehatan Surabaya yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi ke S2 juga kepada Ibu Hj. Siti Sundari, SE, M. Kes selaku Pembantu Direktur II yang berhubungan dengan dana mahasiswa tugas belajar. Ucapan terima kasih kepada Menteri Kesehatan RI melalui Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan yang memberikan beasiswa, Drs. Winarno, M.Si selaku Kasubdit P2B2 beserta staf yang banyak membantu memberikan bimbingan selama pendidikan. Ucapan terima kasih kepada staf Puskesmas di Kota Surabaya sebagai lokasi penelitian serta teman-teman di program studi PEK angkatan 2007 ( Bpk. Gondo Suprapto dari Papua, Bpk. Ali Wardana dari Lombok, Yahya dari Palembang, Ibu Ety dari Kupang, Bpk Mulyadi dari Buton dan Mas Irwan Sulistio dari Surabaya). Doa penulis panjatkan untuk Ibunda dan kakak tercinta Agustina Dadu (alm), Kapten Inf. Agus Tulung Tolanda (alm), terima kasih yang tulus disampaikan kepada Ayahanda serta saudara-saudara tercinta (Andreas . B. Bu’tu, Mama Anto, Mama Linda, Mama Lia sekeluarga dan adikku Paulus P.B) serta semua keponakan Yanto, Tika, Serly, Linda, Irvin, Lia dan Eko yang banyak memberikan dukungan dalam doa. Terima kasih kepada Bapak Winarko, SKM, M.Kes selaku Ketua Program Studi beserta staf di Program Studi Kesehatan Lingkungan Surabaya serta semua sahabat-sahabatku berkat doanya penulis dapat berhasil dan sukses. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan informasi yang telah dimuat dalam tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Bogor, Mei 2010 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 17 Agustus 1968 dari pasangan orang tua bernama Andreas B. Bu’tu dan Agustina Dadu (Alm). Penulis merupakan putra keempat dari lima bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas pada tahun 1987 dari SMA Negeri 6 Ujungpandang. Pada tahun 1987 diterima sebagai Mahasiswa Diploma Satu (D I) Sekolah Pembantu Penilik Hygiene (SPPH) Depkes RI di Makassar dan menamatkan pada tahun 1998. Tahun 1991 penulis diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Pusat oleh Depkes RI dan ditempatkan di Puskesmas Kabupaten Raha-Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada tahun 1995 penulis mendapatkan beasiswa dari Depkes RI untuk melanjutkan pendidikan pada Diploma III [Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL)] di Surabaya dan menamatkannya pada tahun 1997. Pada tahun 2000 penulis mutasi kerja ke Provinsi Jawa Timur pada Institusi pendidikan Akademi Kesehatan Lingkungan Surabaya. Tahun 2001 melanjutkan pendidikan Strata Satu (S1) di Universitas PGRI Adibuana Surabaya sebagai ijin belajar dengan peminatan Biologi pada Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) dan memperoleh gelar Sarjana Sains tahun 2003. Tahun 2007 penulis mendapat kesempatan studi kejenjang Strata Dua (S2) di Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Sekolah Pascasarjana IPB dan mendapat beasiswa dari Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan Depkes RI melalui Politeknik Kesehatan Surabaya Depkes RI.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL...................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................
xiv
1. PENDAHULUAN.............................................................................. 1.1. Latar Belakang............................................................................. 1.2. Tujuan Penelitian......................................................................... 1.3. Manfaat Penelitian....................................................................... 1.4. Hipotesis...................................................................................... 1.5. Analisis Data...............................................................................
1 1 3 4 4 4
2. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 2.1. Masalah Resistensi..................................................................... 2.2. Faktor yang Mempengaruhi Kerentanan...................................... 2.3. Mekanisme Resistensi.................................................................. 2.4. Penyakit Demam Berdarah.......................................................... 2.5. Biologi Aedes aegypti.................................................................. 2.6. Peranan Aedes aegypti sebagai Vektor Penyakit......................... 2.7. Toksikologi Insektisida...............................................................
5 5 6 7 12 14 20 20
3. BAHAN DAN METODE................................................................... 3.1. Lokasi Pengambilan Sampel........................................................ 3.2. Waktu dan Tempat Penelitian...................................................... 3.3. Alat dan Bahan Penelitian............................................................ 3.4. Metode Penelitian........................................................................
26 26 26 26 26
4. HASIL DAN PEMBAHASAN...........................................................
30
5. SIMPULAN DAN SARAN................................................................ 5.1. Simpulan...................................................................................... 5.2. Saran............................................................................................
43 43 43
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................
44
LAMPIRAN............................................................................................
50
xi
DAFTAR TABEL Halaman 1
Insiden dan Case Fatality Rate demam berdarah di Kota Surabaya Tahun 2005-2008……………………………………………………….……….. 15
2
Empat kriteria toksisitas malation berdasarkan nilai LD50...........................
3
Persentase kematian nyamuk A. aegypti pada lokasi kasus tinggi terhadap malation 5% ................................................................................................. 30
4
Frekuensi fogging dan jumlah malation pada lokasi kasus tinggi di Kec. Sawahan dan Tambaksari………………………………………………....
25
31
5
Persentase kematian nyamuk A. aegypti pada lokasi kasus sedang terhadap malation 5% .................................................................................. 32
6
Frekuensi fogging dan jumlah malation pada lokasi kasus sedang di Kec. Wiyung dan Wonocolo................................................................................. 33
7
Persentase Kematian nyamuk A. aegypti pada lokasi kasus rendah terhadap malation 5%................................................................................... 34
8
Frekuensi fogging dan jumlah malation pada lokasi kasus rendah di Kec. Bulak dan Pakal............................................................................................
9
35
Persentase Kematian nyamuk A. aegypti pada strain Liverpool terhadap malation 5% ................................................................................................. 36
10 Pengukuran LT50,LT95 dan RR50, RR95 nyamuk A. aegypti terhadap malation 5%.................................................................................................. 38 11 Persentase kematian nyamuk A. aegypti, pada lama kontak di lokasi kasus tinggi, kasus sedang, kasus rendah dan strain Liverpool terhadap malation 5%................................................................................................................. 39
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Siklus hidup nyamuk A. aegypti ..................................................................
2
Ciri-ciri diagnostik untuk membedakan beberapa jenis nyamuk Aedes yang penting di bidang kesehatan............................................................... 17
3
Reaksi enzim asetilkolinestaerase (A) dalam keadaan normal (B) Terinhibisi oleh senyawa organofosfat....................................................... 24
4
Rumus bangun malation..............................................................................
24
5
Garis regresi kematian nyamuk A. aegypt pada kasus tinggi.....................
31
6
Garis regresi kematian nyamuk A. aegypti pada kasus sedang ..................
33
7
Garis regresi kematian nyamuk A. aegypti pada kasus rendah ..................
34
8
Garis regresi kematian nyamuk A. aegypti pada strain Liverpool...............
36
9
Garis regresi kematian nyamuk A. aegypti pada lokasi (tinggi, sedang, rendah) dan strain Liverpool .......................................................................
37
xiii
14
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Jumlah penduduk dan luas wilayah Kota Surabaya tahun 2008..................
50
2
Jumlah kasus DBD per kelurahan Kota Surabaya tahun 2005-2008..........
51
3
Peta Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Surabaya…………………….
56
4
Gambar Lokasi Penelitian di Kota Surabaya.................................................
57
5
Alat Susceptibility tes kit ............................................................................
58
6
Pelaksanaan uji kerentanan nyamuk A. aegypti (A) nyamuk dimasukkan dalam tabung penyimpanan (holding tube), (B) nyamuk dalam tabung penyimpanan, (C) nyamuk ditiup pelan-pelan ke tabung kontak (exposure tube), (D) menghitung waktu kontak, (E) Tabung kontak (exposure tube) bertanda merah, (F) Memindahkan nyamuk ke tabung penyimpanan setelah dikontakkan....................................................................................... 59
7
Regression Analysis kematian pada kasus tinggi vs lama kontak (x)...........
61
8
Regression Analysis kematian pada kasus sedang vs lama kontak (x).........
63
9
Regression Analysis kematian pada kasus rendah vs lama kontak (x)..........
65
10 Regression Analysis kematian pada strain Liverpool vs lama kontak (x) ..
67
11 Persentase kematian nyamuk pada Lokasi Tinggi, Sedang, Rendah dan Strain Liverpool terhadap malation 5%......................................................... 69 12 Uji Beda Nyata Duncan Persentase kematian nyamuk pada lama kontak 5 menit............................................................................................................... 70 13 Uji Beda Nyata Duncan dengan Persentase kematian nyamuk pada lama kontak 15 menit ............................................................................................ 72 14 Uji Beda Nyata Duncan dengan Persentase kematian nyamuk pada lama kontak 30 menit ............................................................................................ 73 15 Uji Beda Nyata Duncan dengan Persentase kematian nyamuk pada lama kontak 45 menit ............................................................................................ 74 16 Uji Beda Nyata Duncan dengan Persentase kematian nyamuk pada lama kontak 60 menit ............................................................................................ 75 17 Probit Analysis Program Used for Calculating LT/EC Values Version 1.5................................................................................................................... 76
xiv
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penyakit deman berdarah Dengue (DBD) hingga saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia dengan angka kesakitan dan angka kematian tinggi. Pertama kali mewabah tahun 1635 di French West Indies (Kepulauan Karibia), tercatat pada tahun 1897 di Australia, kemudian tahun 1928 di Italia serta tahun 1931 di Taiwan. Kejadian luar biasa (KLB) pertama kali dikonfirmasi di Filipina tahun 1953-1954. Sejak saat itu penyakit tersebut mewabah dan disertai tingkat kematian tinggi yang melanda beberapa negara Asia Tenggara termasuk di Indonesia, selama 20 tahun terjadi peningkatan kasus dan penyebaran yang luar biasa, hingga KLB setiap tahunnya (Dep.Kes RI, 2004). Kasus DBD untuk pertama kali di Indonesia diketahui abad 18 oleh David Bylon, dokter kebangsaan Belanda, di kenal dengan penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts) atau demam sendi (knokkel koorts) kemudian setelah lima hari penyakitnya menghilang, tidak pernah ada laporan yang menyatakan bahwa penyakit tersebut menimbulkan kematian, tetapi sejak tahun 1952, infestasi virus dengue menimbulkan gejala dengan manifestasi berat. Wabah demam berdarah dilaporkan pertama kali tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya dengan 58 penderita dan 24 diantaranya meninggal (CFR=41%). Konfirmasi virologis baru di dapat tahun 1972, sejak saat itu DBD mewabah ke daerah-daerah lain sampai tahun 1980, demam berdarah telah dilaporkan di 26 provinsi dari 27 provinsi di Indonesia (Dep.Kes RI. 2004). Proporsi kasus DBD pergolongan umur di Indonesia tahun 1993-1998 tertinggi pada usia sekolah (5-14 th), sedangkan pada tahun 1999-2000 kasus DBD bergeser ke usia diatas 14 tahun baik di perkotaan maupun pedesaan, kasus terjadi tidak lagi di bulan-bulan tertentu namun terjadi sepanjang tahun ( Kusriastuti et al. 2005) Penelitian untuk mencegah dan memberantas penyakit Demam Berdarah Dengue telah banyak dilakukan, seperti cara diagnosis yang cepat, tepat dan efektif, serta pencarian vaksin dan obat, hingga sampai saat ini hasilnya masih belum
1
memuaskan. Alternatif yang paling membawa harapan adalah mengendalikan kepadatan populasi vektor sampai dibawah ambang batas. Pengendalian nyamuk vektor telah banyak dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan pengendalian menggunakan bahan-bahan kimia yaitu menggunakan insektisida kimia yang sesuai baik untuk larva maupun nyamuk dewasa, pengendalian genetik yaitu dengan teknik jantan mandul, pengendalian mekanik yaitu memanipulasi/modifikasi lingkungan dengan mengendalikan tempat – tempat perindukan yang disukai oleh nyamuk atau menghalangi kontak vektor dengan manusia, selain itu pula dikenal pengendalian hayati yaitu menggunakan makhluk hidup baik mikroorganisme, hewan invertebrata atau hewan vertebrata sebagai pemangsa larva atau nyamuk dewasa. Pengendalian kimia dengan menggunakan insektisida banyak dipakai oleh masyarakat karena dapat menurunkan populasi nyamuk dengan cepat dan penggunaannya yang praktis, tetapi penggunaan insektisida terbukti banyak menimbulkan dampak negatif, antara lain matinya organisme bukan sasaran, adanya residu sehingga terjadi pencemaran lingkungan serta munculnya nyamuk yang resisten (Tarumingkeng, 1992). Pemerintah sedang mengupayakan berbagai strategi dalam mengatasi kasus ini, diantaranya adalah menggunakan larvasida yang merupakan cara efektif yaitu dengan membunuh larva untuk memutuskan siklus hidup nyamuk. Dalam larvasida yang mengandung bahan kimia temephos bila digunakan secara terus – menerus sangat mungkin terjadi toleransi larva nyamuk. Pada tahun 2005 Indonesia pernah mengalami kasus terbesar (53%) DBD di Asia Tenggara yaitu 95,270 kasus dan kematian 1,298 orang (CFR = 1,36 %) (WHO, 2006). Jumlah kasus tersebut meningkat menjadi 17% dan kematian 36% dibanding tahun 2004. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit demam berdarah dengue. Beberapa di antaranya adalah faktor inang (host), lingkungan (environment) dan faktor penular (vector) serta patogen (virus). Di Kota Surabaya pada tahun 2005-2008, angka kesakitan dan angka kematian penyakit demam berdarah secara berurutan adalah 2568 kasus, kematian 33 orang (CFR= 1,28%),
4187 kasus, kematian 22 orang (CFR= 0,52%), 3214 kasus,
kematian 25 orang (CFR= 0,78%) dan 2169 kasus, kematian 10 orang (CFR=
2
0,51%). Angka kesakitan dan kematian tersebar di 31 kecamatan dengan 163 kelurahan. Wilayah endemis DBD sebanyak 154 kelurahan, 9 kelurahan sporadis sedangkan kelurahan yang potensial belum ada (DinKes Kota Surabaya, 2009). Pengambilan sampling berdasarkan endemisitas kasus DBD yakni kasus tinggi, sedang dan rendah. Jumlah kasus DBD rata-rata sebesar ≥ 100 kasus/tahun tersebar pada 12 kecamatan, jumlah kasus rata-rata 50-99 kasus/tahun tersebar pada 16 kecamatan dan jumlah kasus rata-rata ≤ 49 kasus/tahun tersebar di 3 kecamatan. Berdasarkan tingginya jumlah kasus demam berdarah dan penyebaran yang tidak merata disebabkan oleh permukiman yang begitu padat dan mobilitas yang cukup tinggi antar kota serta arus urbanisasi yang tidak terkontrol, maka untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit demam berdarah, dilakukan upaya pengendalian vektor nyamuk dengan pengasapan (fogging)
focus
menggunakan malation. Penggunaan malation secara terus menerus memungkinkan terjadinya galur Aedes aegypti yang resisten terhadap malation. Resistensi serangga terhadap insektisida telah lama terjadi di beberapa penjuru dunia, sehingga banyak insektisida yang akhirnya tidak dapat digunakan lagi. Adanya resistensi merupakan satu hambatan utama dalam pengendalian vektor secara kimia dengan insektisida. Hambatan ini sangat mengganggu keberhasilan usaha yang dilakukan, sehingga perlu dilakukan pelacakan terhadap timbulnya galur A. aegypti yang resisten terhadap malation. Penggunaan malation di Kota Surabaya sudah cukup lama yakni ± 20 tahun, evaluasi terhadap efektivitas malation
belum pernah
dilakukan serta uji toleransi terhadap insektisida jarang dilakukan oleh Dinas Kesehatan. Untuk itu perlu dilakukan uji status kerentanan nyamuk A. aegypti terhadap insektisida malation untuk mengetahui. Untuk mengetahui status kerentanan suatu serangga terhadap insektisida dilakukan uji Susceptibility yang mengikuti standar WHO demikian pula halnya untuk mengetahui status toleransi nyamuk A. aegypti terhadap insektisida di Kota Surabaya dilakukan uji tersebut. 1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi status kerentanan nyamuk A. aegypti terhadap insektisida malation di Kota Surabaya.
3
1.3. Manfaat Penelitian. Sebagai masukan kepada instansi setempat dalam upaya pengendalian populasi nyamuk A. aegypti dalam kaitannya pemberantasan penyakit demam berdarah dengan menggunakan insektisida. 1.4. Hipotesis. Ada pengaruh pemakaian insektisida tunggal terhadap status kerentanan nyamuk A. aegypti di Kota Surabaya. 1.5. Analisis Data. Data yang diperoleh dari penelitian di olah menurut analisis regresi Anova dan analisis probit kemudian dilanjutkan menggunakan uji beda nyata Duncan yang dilengkapi dengan gambar maupun tabel.
4
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Masalah Resistensi Populasi suatu serangga yang dikendalikan, pada mulanya rentan terhadap insektisida yang digunakan untuk memberantasnya. Pada beberapa generasi, keampuhan dari insektisida itu semakin menurun sebab serangganya semakin toleran terhadap insektisida dan akhirnya tidak berdayaguna lagi sebab serangga yang diberantas sudah menjadi resisten terhadap insektisida yang digunakan (Brown dan Pal, 1971). Menurut Darwin (dalam Villee, 1957; Bishop, 1982) di alam terjadi seleksi alamiah terhadap makhluk hidup, yang dapat meningkatkan daya penyesuaian populasi terhadap lingkungannya. Hal ini mungkin terjadi bila faktor-faktor yang menentukan daya penyesuaian itu mempunyai keragaman. Darwin mengatakan bahwa faktor-faktor itu juga diwariskan kepada keturunannya. Mendel (dalam Villee, 1957) menyatakan bahwa hanya karakter yang diatur oleh gen yang dapat diwariskan. Fisher (dalam Bishop, 1982) menyatakan bahwa laju pertambahan daya penyesuaian sebanding dengan keragaman genetik yang mengatur daya penyesuaian itu. Toleransi suatu spesies serangga terhadap insektisida sangat beragam, dapat terbukti dengan terjadinya berbagai presentasi kematian bila beberapa kelompok serangga dari spesies yang sama, dipaparkan dengan berbagai dosis atau konsentrasi insektisida. Toleransi itu berkisar antara 0 dan 100% yang merupakan distribusi kumulatif normal yang disebut sebaran toleransi sedangkan Macnair (1981) menyebut differential susceptibility. Wood (1981) telah mengumpulkan fakta-fakta yang menunjukkan bahwa toleransi diatur oleh gen R. Misalnya resistensi terhadap DDT pada A. aegypti diatur oleh gen RDDT1 dan gen RDDT2 . Resistensi terhadap dieldrin diatur oleh gen Rdl , terhadap pyretroid oleh gen Rpy dan terhadap HCH/cyclodien diatur oleh gen y. Gen-gen RDDT1 , y dan Rdl terdapat pada kromosom II sedangkan gen-gen RDDT2 dan Rpy terdapat pada kromosom III. Alel lainnya dari gen R adalah gen (+). Oleh karena kromosom berpasangan maka gen juga berpasangan, sehingga dari gen R dan (+) diperoleh tiga kombinasi genotip
5
yaitu RR, R(+) dan (+)(+), yang paling toleran adalah RR sedangkan yang paling rentan adalah (+)(+). Fenotip dari R(+) tergantung kepada kombinasi dominasi gen R. Bila gen R dominan maka fenotip dari R(+) menyerupai RR, bila gen R resesif maka fenotip dari R(+) menyerupai (+)(+) dan bila gen intermediate maka fenotip dari R(+) beragam diantara RR dan (+)(+). Oleh karena toleransi terhadap pestisida beragam dan diatur oleh gen maka toleransi ini akan mengalami seleksi bila kontak dengan pestisida sehingga menjadi lebih toleran untuk kemudian menjadi resistensi. Teori Darwin (dalam Villee, 1957) menyatakan bahwa seleksi alam menyebabkan punahnya individu-individu yang daya penyesuainnya lemah, sedangkan yang daya penyesuainnya baik akan terus mempertahankan eksistensi populasinya. Seperti halnya dengan gen (+) yang (+) akan punah sedangkan gen RR akan mampu hidup bila kontak dengan insektisida. Untuk gen R(+) keadaannya tergantung kepada dominasi gen R, bila gen R dominan maka R(+) akan terus hidup bersama-sama RR, sedang bila gen R resesif maka R(+) akan punah bersama-sama (+)(+). Bila gen R bersifat intermediate maka nasib R(+) tergantung pada dosis yang digunakan. Culex pipiens pipiens mempunyai gen R dominan, Anopheles sp mempunyai gen R resesif
sedangkan A. aegypti mempunyai gen R yang
intermediate (Wood dan Mani, 1981; Wood, 1981). 2.2. Faktor yang mempengaruhi kerentanan Faktor – faktor seperti suhu, kelembaban nisbi, umur, jenis kelamin, dan berat badan dapat mempengaruhi kerentanan serangga terhadap insektisida (Bainbridge et al. 1982) Ogushi et al. (1968) meneliti pengaruh suhu atas kerentanan larva Culex pipiens terhadap beberapa insektisida. Uji kerentanan terhadap dieldrin dan DDT menunjukkan peningkatan konsentrasi letalitas 50% (KL50) bila suhu semakin tinggi. Sebaliknya bila menggunakan fenthion, fenitrothion, fenchlorphos, diazinon, malathion, trichlorfon, dichlorvos, naled dan lindane menunjukkan penurunan KL50 dengan meningkatnya suhu. Faktor lain yang mempengaruhi kerentanan serangga terhadap insektisida adalah umur. Brown dan Pal (1971) meneliti KL50 larva A. aegypti mulai umur satu hari sampai umur 8 hari terhadap DDT dan dieldrin dengan waktu kontak 1 dan 24 jam. Bila waktu kontak 1 jam maka KL50 terhadap DDT berkisar antara 2,2- 3,00
6
ppm sedang bila waktu kontaknya 24 jam maka KL50 terhadap DDT berkisar antara 1,2 pada hari keempat sampai 30 ppm pada hari kedelapan. Kondisi pemeliharaan ternyata besar pengaruhnya terhadap kerentanan. Bila kepadatan meningkat dari 200 menjadi 2000 larva pernampan maka KL50 akan menurun 20 kali yang berarti larvanya semakin rentan (Garm dalam Brown dan Pal, 1971). Bila larva lapar selama 4-6 jam maka KL50nya mengecil menjadi seperduanya (Jones, 1971). Penelitian Rosen (1967) menunjukkan bahwa kerentanan larva Culex pipiens pipiens terhadap DDT dan dieldrin serta gamma HCH di Rangoon (Burma), paling rendah pada musim kemarau dan paling tinggi pada peralihan musim. KL50 mempunyai keragaman paling tinggi pada musim angin muson (Monsoon). Toleransi A. taeniorhynchus terhadap beberapa pestisida pada musim semi, 2 – 8 kali toleransinya pada musim panas (Keller dalam Brown dan Pal, 1971). Bainbrigde et al. (1982) meneliti kerentanan larva dan dewasa nyamuk A. aegypti dari galur rentan dan resisten terhadap DDT selama 12 jam periode gelap dan 12 jam periode terang secara bergantian dan bersambung. Galur rentan menunjukkan tiga saat paling rentan yang ditunjukkan oleh angka kematian yang paling tinggi dengan kisaran antara 32% sampai 37%. Galur ini menunjukkan dua saat yang paling toleran dengan kematian 5% dan 7%. Saat yang paling rentan adalah dua jam setelah gelap, empat jam setelah waktu gelap dan saat peralihan periode gelap menjadi terang. Saat paling toleran terjadi pada peralihan periode terang menjadi gelap, dan empat jam sebelum terang. Galur resisten hanya menunjukkan satu saat yang paling rentan yang terjadi pada pertengahan periode terang. 2.3. Mekanisne resistensi Resistensi serangga terhadap insektisida diartikan sebagai kemampuan peningkatan daya tahan suatu populasi serangga terhadap insektisida yang biasanya mematikan. Pada suatu populasi serangga, individu-individu yang pada dasarnya sudah resisten terhadap suatu insektisida akan menghasilkan keturunan yang resisten (Brown dan Pal, 1971). Adapun kerugian penggunaan insektisida adalah timbulnya galur-galur serangga sasaran yang resisten terhadap insektisida. Mekanisme resistensi serangga
7
terhadap insektisida dapat terjadi melalui perubahan fisiologi dan perubahan tingkah laku (O’Brien, 1967, Brown dan Pal, 1971). Resistensi fisiologi pada serangga memperlihatkan kenyataan yang lebih penting. Hal ini disebabkan karena faktorfaktor 1) daya absorbsi insektisida yang sangat lambat sehingga serangga tidak mati; 2) daya penyimpanan insektisida dalam jaringan yang tidak vital, seperti jaringan lemak sehingga alat-alat vital terhindar dan serangga tidak mati; 3) daya ekskresi insektisida yang cepat sehingga tidak sampai membunuh serangga; 4) daya beberapa enzim yang bersifat meniadakan efek keracunan (detoksifikasi) yang menyebabkan serangga tidak mati seperti dehidroklorinase untuk senyawa DDT (Tarumingkeng, 1992). Mekanisme resistensi perubahan tingkah laku disebabkan karena faktor-faktor 1) perubahan habitat serangga sehingga terhindar dari pengaruh insektisida dan keturunannya akan mempertahankan habitat yang baru tersebut; 2) meningkatnya kepekaan serangga terhadap insektisida, dengan demikian serangga tersebut dapat menghindarkan diri dari pengaruh insektisida sehingga tidak terbunuh, tanpa mengubah habitatnya. Lalat rumah yang resisten terhadap DDT mempunyai kutikula yang lebih tebal pada pulvilusnya dari pada galur yang rentan. Kutikula berpengaruh terhadap penetrasi DDT, hal ini diatur oleh gen organotonin-R atau tin (Plapp dan Hoyer, 1968). Ketebalan ini dapat menyebabkan lalat rumah menjadi lebih toleran terhadap pestisida lainnya (Plapp, 1970) Finney (1964) menyatakan bahwa toleransi suatu spesies serangga terhadap insektisida adalah beragam. Toleransi berkisar antara 0 sampai 100% yang merupakan distribusi komulatif normal yang disebut sebagai sebaran toleransi. Hal ini dapat ditunjukkan bila beberapa kelompok serangga dari spesies yang sama dikontakkan dengan berbagai dosis insektisida yang sama. Senyawa fosfor organik dan karbamat bekerja sebagai penghalang kolinesterase, suatu enzim yang berfungsi dalam rangsangan syaraf dan bekerja pada sinap kolinergik. Adapun senyawa hidrokarbon berklor bekerja menimbulkan kerusakan pada komponen selubung sel-sel syaraf menyebabkan fungsinya terganggu (Matsumura, 1975). Brown dan Pal (1971) menyatakan bahwa resistensi merupakan perkembangan yang terjadi di dalam suatu populasi yang memang telah
8
mengandung gen-gen yang tahan terhadap insektisida. Detoksikasi diatur oleh gen madya (intermediate) yang menghasilkan resistensi melalui peningkatan kemampuan detoksikasi insektisida (Plapp, 1970). Dehidroklorinase adalah faktor utama pada detoksikasi DDT. Detoksikasi senyawa orgonfosfat (OP) dengan karboksilesterase, fosfotriesterase, asetilkolinesterase (AChE), glutation dependen transferase dan mixed function oxidase (MFO) (Georghiou dan Pasteuer, 1978). Dehidroklorinase pada larva A.aegypti galur yang resisten menghasilkan DDT lebih banyak dibanding dengan yang dihasilkan oleh galur yang rentan (Abedi et al. 1963). Kimura dan Brown (1964) menyatakan bahwa dehidroklorinase mempunyai korelasi kuat dengan tingkat resistensi A.aegypti galur Amerika Tengah, tetapi lemah pada galur Asia, Rathor dan Wood (1981) menemukan bahwa DDT dihasilkan lebih banyak oleh galur resisten dari pada galur rentan, bukan hanya pada galur Amerika tetapi juga pada galur Asia dan Afrika. Senyawa OP dan karbamat berfungsi menghambat pekerjaan enzim AChE. Bila serangga mampu menggurangi pengaruh itu melalui seleksi alam, maka serangga tersebut akan menjadi resisten terhadap OP dan Karbamat (Wood, 1981). Hemingway dan Georghiou (1983) menyimpulkan bahwa pada larva Anopheles albimanus yang resisten, AChE semakin sukar dihambat dibanding dengan AChE pada galur yang rentan dan ada korelasi yang kuat antara laju hambat AChE dengan tingkat resistensi serangganya. Sifat merangsang (iritasi) beberapa insektisida dapat menyebabkan serangga meninggalkan permukaan yang ada lapisan insektisidanya, sebelum memperoleh dosis yang mematikan. Hal ini menyebabkan kontak berulang-ulang untuk menghasilkan kematian. Sifat ini dikenal pada DDT terutama terhadap Anopheles sp. (Brown dan Pal, 1971). Selain itu pula resistensi silang (cross resistance) dapat terjadi bila suatu spesies serangga resisten terhadap beberapa insektisida dalam satu golongan. Hal ini dapat terjadi karena secara umum daya kerja insektisida di dalam satu kelas adalah sama, misalnya malation dan paration atau fosfor organik yang lain. Suatu spesies serangga juga dapat mengalami resistensi majemuk (multiple resistance) yaitu terjadi bila serangga tersebut resisten terhadap beberapa insektisida dari kelas yang
9
berbeda (Brown dan Pal, 1971; WHO, 1976). Faktor-faktor yang mempengaruhi laju perkembangan resistensi adalah 1) faktor genetik; 2) faktor ekologi; 3) faktor fisiologi/biokimia dan 4) frekuensi penggunaan insektisida (Metcalf dan Luckman, 1975; WHO, 1976) Laju perkembangan resistensi untuk setiap spesies organisme berbeda. Resistensi dapat berkembang sangat cepat pada suatu spesies tapi lebih lambat pada spesies yang lain. Menurut Fisher semakin besar keragaman genetik yang mengatur resistensi, maka semakin cepat pula tercapainya status resistensi. Wood dan Mani (1981) mengemukakan bahwa bila gen R dominan maka resistensi semakin cepat tercapai dibanding dengan bila gen R intermediate atau resesif. Demikian pula bila gen R intermediate , resistensi akan lebih cepat tercapai dari pada bila gen R resesif. Faktor ekologi yang penting dalam mempengaruhi laju resistensi adalah tingkah laku isolasi, migrasi dan mobilitas dari individu-individu yang bersifat rentan (WHO, 1975). Faktor fisiologi dan biokimia sangat berpengaruh terhadap laju resistensi suatu populasi serangga. Kecepatan menghasilkan keturunan merupakan faktor yang penting, semakin besar jumlah generasi per tahun yang dihasilkan maka makin cepat terjadi evolusi resistensi. Anopheles
stephensi di Irak hanya membutuhkan waktu selama sekali
perlakuan dengan DDT untuk menjadi resistensi terhadap DDT. Spesies yang sama di Arab Saudi membutuhkan waktu 5 tahun untuk menjadi resistensi terhadap DDT (Davidson, 1958). Culex pipiens pipiens setelah mengalami kontak selama 40 generasi, toleransinya meningkat 100 kali semula (RF = 100), sedang bila kontak dengan triprene selama 27 generasi RF nya hanya 10 (WHO, 1980). RF (resistance factor (Wood, 1981) atau resistance ratio (Brown dan Pal, 1971) adalah rasio antara KL50 atau KL90 dari satu spesies yang telah mengalamai seleksi dengan KL50 atau KL90 dari populasinya yang normal. Status dan ukuran kerentanan serangga terhadap insektisida dapat diukur dengan uji kerentanan (Susceptibility). Uji ini didasarkan atas kontak serangga dengan insektisida yang menghasilkan respon berupa kematian. Status kerentanan dapat dilihat dari hasil kontak selama periode waktu tertentu, misalnya satu jam dengan masa pengamatan 24 jam (WHO, 1975; Dit. Jen. PPM & PLP, 1986). Dalam melacak kemungkinan adanya galur yang resisten, WHO (1980) mengan
10
jurkan untuk menggunakan dosis diagnosa tentative yang besarnya tergantung pada spesies, jenis insektisida dan stadium hidup serangganya. Untuk menentukan status kerentanan nyamuk A. aegypti dewasa terhadap malation dengan konsentrasi 5%. Pelacakan untuk mengetahui timbulnya galur serangga yang resistensi perlu dilakukan di berbagai tempat secara periodik. Hal ini disebabkan karena waktu timbulnya resistensi tidak dapat diduga dengan tepat sebab tergantung pada tempat, waktu, spesies serangga sasaran, dan insektisida yang digunakan. Faktor-faktor seperti suhu, kelembaban nisbi, umur, jenis kelamin, dan berat badan mempengaruhi kerentanan serangga terhadap insektisida (Bainbridge et al. 1982). Brown dan Pal (1971), mengatakan bahwa hingga akhir dekade enam puluhan, belum ada laporan adanya galur A. aegypti yang resisten terhadap senyawa OP. Tetapi WHO (1980) telah mencatat adanya galur spesies ini yang resisten terhadap senyawa OP seperti malathion, temephos dan fenitrithion di Kepulauan Karibia, malation di India, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Masalah resistensi sudah dilaporkan di beberapa wilayah Indonesia seperti Jakarta, Yogyakara, Surabaya dan Palembang menunjukkan populasi nyamuk A. aegypti asal Jakarta dan Surabaya, dengan kematian 92,8% dan 91% sudah mulai toleran terhadap malation (Soekirno et al, 1990). Di wilayah Jabotabek, populasi A. aegypti dari Jakarta Pusat telah resisten terhadap malation 5%, populasi dari Bogor dan Tangerang masih rentan sedangkan populasi dari Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Kota Bekasi telah toleran terhadap insektisida organophosphat dan pyretroid (Shinta et al, 2006). Seperti halnya di wilayah endemik Kel. Duren Sawit Jakarta Timur penggunaan insektisida malation dengan konsentrasi 0,8% dan 5% belum terindikasi resisten, tetapi menuju ke arah toleran (Marisa. 2007). Di Yogyakarta dari 14 kelurahan (8 kecamatan) nyamuk A.aegypti masih rentan (RR) sebesar 96,7% dan 3,3% (RS) toleran terhadap insektisida piretroid, di Kab. Bantul dari 14 kelurahan (9 kecamatan), beragam status resistensinya terhadap insektisida organofosfat dengan mekanisme peningkatan aktivitas enzim esterase non - spesifik (Mardihusodo, 1995). Sementara populasi nyamuk A. aegypti
di
Kota Bandung belum terjadi resistensi oleh insektisda malation (Sulianti et al, 2008).
11
Resistensi di Brazil dilaporkan oleh Lima et al, (2003) adanya tanda-tanda resistensi larva dan dewasa A. aegypti terhadap beberapa jenis insektisida, sampel diambil dari 10 kota di Rio de Janeiro dan Espirito Santo, delapan kota yang resisten terhadap temefos (0,012 mg/L), dengan tingkat mortalitasnya adalah 23,5% - 74%. Menurut Dep. Kes R.I (1986), macam-macam resisten yang terjadi pada serangga yang disebabkan oleh insektisida adalah; 1) Resistensi fisiologis (physiological resistance), resisten yang disebabkan oleh mekanisme fisiologis suatu gen sehingga menurun dimana populasi nyamuk sebagai mahluk hidup akan mengadakan reaksi akibat adanya tekanan racun serangga, dengan cara menghasilkan enzym untuk menawarkan daya racun serangga, mengikat racun serangga dalam jaringan lemak, memblokir racun serangga dalam tubuh, atau segera mengeluarkan racun serangga dari dalam tubuhnya; 2) resistensi perilaku (behaviouristic resistance). resisten yang disebabkan oleh kepekaan terhadap adanya rangsangan dari racun serangga yang menyebabkan nyamuk menghindari kontak dengan racun tersebut sehingga yang sensitif akan hidup dan kurang sensitif akan mati; 3) resistensi bersifat toleransi (toleransi resistance), resisten bukan karena faktor genetik, karena variasi musiman seperti bentuk yang lebih besar, kutikula menebal, kenaikan kandungan lemak, sehingga konsentrasi insektisida tidak cukup untuk mematikannya; 4) resistensi terhadap kelompok insektisida yang sama (cross resistance), kekebalan yang terjadi pada racun serangga lain dalam kelompok yang sama, misalnya penyemprotan dieldrin menyebabkan serangga kebal terhadap DDT atau gamexane. 2.4. Penyakit Demam Berdarah Penyakit demam berdarah merupakan masalah kesehatan di Asia Tenggara sejak tahun 1950. Kasus penyakit demam berdarah pertama kali dilaporkan di Filipina tahun 1954, kemudian Thailand
1958, Singapura 1960, Vietnam 1961,
Malaysia 1962, India 1963 dan Indonesia 1968 (Kho et al, 1969; Hammon, 1973). Hsiech et al. (1982) melaporkan bahwa demam berdarah dengue merupakan masalah yang sangat serius di Asia Tenggara. Pada tahun 1981 terjadi wabah di Taiwan yang disebabkan oleh virus dengue tipe 2. Selanjutnya tahun 1987 sampai
12
1988 terjadi wabah yang disebabkan oleh virus dengan tipe 1, dengan jumlah kasus sebanyak 10,420 orang, Di Taiwan virus tipe 1 ini telah diketahui sejak tahun 1945. Penyakit demam berdarah adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengan tipe 1, 2, 3 dan 4 yang ditandai dengan demam mendadak 2 sampai 7 hari, lemah atau lesu disertai tanda pendarahan di kulit berupa bintik-bintik kadangkadang mimisan, muntah darah, berak darah, kesadaran menurun atau shock (Krupp dan Chatton, 1976; Soedarmo, 1988; WHO, 1986). Virus dengue memperbanyak diri dan menyebar ke seluruh tubuh nyamuk, termasuk ke kelenjar liurnya, virus dengue ini dapat dibedakan dalam tipe 1, 2, 3 dan 4 (Jawetz, 1982; Kettle, 1984). Infeksi virus ini pada manusia mengakibatkan suatu manifestasi klinis yang bervariasi (WHO, 1986) yaitu : a) Demam Dengue (Dengue klasik atau “Silent Dengue Infection”); b) Demam berdarah dengue (“Dengue Haemorragic Fever”); dan c)Dengue dengan renjatan (“Dengue Shock Syndrome DSS”). Orang yang terinfeksi virus dengue, tidak semuanya akan sakit demam berdarah dengue. Ada yang menderita demam ringan yang akan sembuh dengan sendirinya atau bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit, tetapi semuanya merupakan pembawa virus dengue selama kurang lebih tujuh hari sehingga dapat menularkan kepada orang lain di berbagai wilayah yang ada nyamuk penularnya (Ramalingam, 1974). Di Indonesia kasus demam berdarah ditemukan pertama kali pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta dan dari tahun ke tahun ada kecenderungan peningkatan kasus. Dalam tahun 1988 diketahui ada 47,573 orang penderita dan sebanyak 1,527 orang meninggal atau 3,2 % (Suroso, 1991). Seluruh wilayah mempunyai resiko untuk kejangkitan penyakit demam berdarah dengue, namum tempat yang potensial bagi penyebaran penyakit adalah rumah-rumah maupun tempat-tempat umum, kecuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter dari permukaan laut. Semua tipe virus penyebab demam berdarah telah diisolasi di Indonesia (Suharyono, 1990). Nyamuk A. aegypti sebagai vektor utama penyakit demam berdarah tersebar luas di seluruh Indonesia. Meskipun nyamuk ini banyak ditemukan di daerah perkotaan yang padat penduduk, namun ditemukan juga di daerah pedesaan. Faktor lingkungan fisik yang penting dalam mempengaruhi endemisitas penyakit demam berdarah terutama berkaitan dengan keberadaan nyamuk A. aegypti.
13
Kelembaban udara akan mempengaruhi umur nyamuk. Nyamuk A. aegypti hanya dapat menularkan penyakit demam berdarah bila umurnya lebih dari sepuluh hari, karena masa inkubasi ekstrinsik virus dengue di dalam tubuh nyamuk antara delapan sampai sepuluh hari. Disamping itu faktor curah hujan akan menambah genangan air sebagai tempat perindukan, dengan demikian populasi vektor akan bertambah dan kemungkinan terjadinya penularan penyakit demam berdarah lebih besar lagi (Soedarmo, 1988; Dit.Jen. PPM & PLP, 1990). Di Kota Surabaya, dilaporkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit demam berdarah oleh Subdin P2M Dinas Kesehatan Kota dari tahun 2005-2008 seperti lokasi dengan kasus tinggi di Kecamatan Sawahan, tahun 2005 (CFR =2,01%) dan tahun 2007 (CFR =1,92%) sedangkan di Kecamatan Tambaksari secara berurutan angka CFR adalah 2,20%, 1,06%, 0,85% dan 0,79%. Pada lokasi kasus sedang di wilayah Wiyung, tahun 2007 (CFR =1,37%) dan tahun 2008 (CFR =1,78%). Pada Wilayah Wonocolo, tahun 2005 angka (CFR =3,57%). Sementara diwilayah Bulak, tahun 2005 (CFR = 2,94%), tahun 2006 (CFR=1,88%), dan tahun 2008 (CFR = 5,26%) pada (Lampiran 3). Gambaran kasus penyakit demam berdarah oleh Subdin P2M Dinas Kesehatan Kota Surabaya Tahun 2005-2008 ditunjukkan pada Tabel 1. 2.5. Biologi Aedes aegypti Siklus hidup vektor yang berperan dalam penularan demam berdarah dengue adalah nyamuk family Culicidae, subfamily Culicinae, genus Aedes spesies aegypti (Gubler
et
al.
1978).
Nyamuk
ini
mengalami
metamorfosis
sempurna
(holometabola) ditunjukkan pada Gambar 1 berikut :
Telur
Larva
Pupa
Gambar 1 Siklus hidup nyamuk A. aegypti (www.google.com)
14
Dewasa
Tabel 1 Insiden dan Case Fatality Rate Demam Berdarah di Kota Surabaya Tahun 2005-2008 No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Sukomanunggal Tandes Asemrowo Benowo Pakal Lakarsanti Sambi Kerep Genteng Tegalsari Bubutan Simokerto Pab. Cantikan Semampir Krembangan Kenjeran Bulak Tambaksari Gubeng Rungkut Teng. Mejoyo G. Anyar Sukolilo Mulyorejo Sawahan Wonokromo Krg.pilang Dukuh Pakis Wiyung Gayungan Wonocolo Jambangan Jumlah
2005 Kasus CFR
2006 Kasus CFR
2007 Kasus CFR
2008 Kasus CFR
86 93 35 29 26 29 46 134 86 93 122 61 178 154 124 34 227 122 70 40 58 53 57 199 74 55 66 60 39 84 32 2568
163 206 66 52 31 41 71 122 128 150 118 119 181 235 122 53 378 208 152 122 82 147 88 320 232 85 71 122 108 129 85 4187
115 164 51 62 33 88 88 67 152 147 76 90 124 128 129 20 236 146 147 87 58 95 83 208 95 102 100 73 68 101 81 3214
88 133 46 27 31 60 50 68 41 68 58 55 140 85 80 19 127 80 117 83 74 71 58 159 60 59 52 56 40 47 37 2169
1,16 2,15 0 0 0 0 0 0 1,16 1,07 0,82 1,64 1,12 1,30 0,81 2,94 2,20 0,82 1,43 0 0 1,89 3,51 2,01 1,35 0 0 0 2,56 3,57 3,12
0 0,97 0 0 0 0 0 0 2,34 0,67 0,53 0 0.55 0.42 0 1,88 1,06 0,48 0 1.64 0 0,68 0 0 1.29 0 0 0 0,93 0 0
1,74 0,61 0 0 0 0 0 0 0 0,68 1,32 1,11 0.81 1.56 0.76 0 0,85 0 0,68 1.15 1.72 1,05 0 1,92 2,10 0.98 0 1,37 0 0 1,23
1,14 0,75 0 0 0 0 0 0 0 0 1,72 0 0.71 1.18 0 5,26 0,79 0 0,85 0 0 1,41 0 0 0 0 0 1,79 2,50 0 0
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Subdin P2M
Tahap Telur. Telur A. aegypti berbentuk ellips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 0,5 – 0,8 mm, permukaan polygonal, tidak memiliki alat pelampung dan diletakkan satu per satu pada benda – benda yang terapung atau pada dinding bagian dalam tempat penampungan air (TPA) yang berbatasan langsung dengan air. Dilaporkan bahwa dari telur yang lepas, sebanyak 85% melekat di dinding TPA, sedangkan 15% lainnya jatuh ke permukaan air .
15
Tahap Larva. Larva nyamuk A. aegypti tubuhnya memanjang dan tanpa kaki dengan bulu – bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Ciri utama larva A. aegypti adalah bentuk siphon oval agak gemuk dan berwarna kecoklatan. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami empat kali pergantian kulit (ecdysis), dan larva yang terbentuk berturut – turut disebut larva instar I, II, III dan IV . Tahap Pupa. Pupa nyamuk A. aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala – dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga tampak seperti tanda baca “koma”. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat bernafas seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 terdapat sepasang alat pengayuh yang berguna untuk berenang. Alat pengayuh tersebut berjumbai panjang dan bulu di nomer 7 pada ruas perut ke-8 tidak bercabang. Pupa adalah bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila dibandingkan dengan larva. Waktu istirahat posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air . Tahap Dewasa. Nyamuk A. aegypti tubuhnya tersusun dari tiga bagian, yaitu kepala, dada dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antena yang berbulu. Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk – penghisap (piercing – sucking) dan termasuk lebih menyukai manusia (anthropophagus), sedangkan nyamuk jantan bagian mulut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia, karena itu tergolong lebih menyukai cairan tumbuhan (phytophagus). Nyamuk betina mempunyai antena tipe-pilose, sedangkan nyamuk jantan tipe mulut plumose. Dada nyamuk ini tersusun dari 3 ruas, prothorax, mesothorax dan metathorax. Setiap ruas dada ada sepasang kaki yang terdiri dari femur (paha), tibia (betis) dan tarsus (tampak). Pada ruas – ruas kaki ada gelang – gelang putih, tetapi pada bagian tibia kaki belakang tidak ada gelang putih. Pada bagian dada juga terdapat sepasang sayap tanpa noda – noda hitam. Bagian punggung (mesonotum) ada gambaran garis – garis putih yang dapat dipakai untuk membedakan dengan jenis lain. Perut terdiri dari 8 ruas dan pada ruas-ruas tersebut bintik-bintik putih. Waktu istirahat posisi nyamuk A. aegypti, tubuhnya sejajar dengan bidang permukaan yang dihinggapinya.
16
Gambar 2 Ciri-ciri diagnostik untuk membedakan beberapa jenis nyamuk Aedes yang penting di bidang kesehatan (Taboada, 1967). Morfologi Larva. Larva A. aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu – bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangan mengalami 4 (empat) kali pergantian kulit (ecdysis), dan larva yang terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III, dan IV sebagai berikut (Soegijanto, 2003): Larva instar I memiliki ciri-ciri tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1 – 2 mm, duri-duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong pernafasan (siphon) belum menghitam. Larva instar II memiliki ciri-ciri tubuhnya tambah besar, ukuran 2,5 – 3,8 mm, duri belum jelas, dan corong pernafasan sudah berwarna hitam. Larva instar III Pada stadium ini telah memasuki siklus perkembangan larva menjadi pupa atau berumur sekitar 4 hari. Larva instar IV Memiliki ukuran tubuh 5 mm dan telah lengkap struktur anatominya, tubuh dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax), dan perut (abdomen).
17
Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antenna tanpa duri-duri, dan alat-alat mulut tipe pengunyah (chewing). Bagian dada tampak paling besar dan terdapat bulu-bulu yang simetris. Perut tersusun atas 8 ruas. Ruas perut ke-8, ada alat untuk bernafas yang disebut corong pernafasan. Corong pernafasan tanpa duri-duri, berwarna hitam, dan ada seberkas bulu-bulu (tuft). Ruas ke-8 juga dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu sikat (brush) di bagian ventral dan gigi-gigi sisir (comb) yang berjumlah 15 -19 gigi yang tersusun dalam 1 (satu) baris. Gigigigi sisir dengan lekukan yang jelas membentuk gerigi. Larva ini tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif, dan waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan bidang permukaan air. Lamanya perkembangan larva akan tergantung pada suhu, ketersediaan makanan, dan kepadatan larva pada sarang. Habitat alami larva jarang ditemukan, tetapi dapat mencakup lubang pohon, pangkal daun, dan tempurung kelapa. Di daerah yang yang panas dan kering, tanki air di atas, tanki penyimpanan air di tanah, dan septic tank bisa menjadi habitat utama larva. Di wilayah yang persediaan airnya tidak teratur, penghuni menyimpan air untuk kegunaan rumah tangga sehingga semakin memperbanyak jumlah habitat yang ada untuk larva (WHO. 2004). Habitat. Tempat berkembang biak larva A. aegypti adalah kontainer buatan yang berada di lingkungan perumahan. Habitat larva buatan manusia yang banyak ditemukan di dalam rumah dan sekitar lingkungan perkotaan (rumah tangga, lokasi pembangunan dan pabrik), misalnya botol minuman, pot bunga, bak mandi, tong kayu dan logam, ban, kaleng, pipa saluran (WHO, 2004). Soegijanto (2003) melaporkan nyamuk Aedes hanya senang di air yang cukup bersih dan tidak langsung beralaskan tanah. Tempat perkembangbiakan utamanya ialah tempat-tempat penampungan air di dalam atau di sekitar rumah atau tempattempat umum biasanya tidak melebihi jarak 100 meter dari rumah . Habitat larva yang alami seperti pada lubang pohon, bambu, ketiak daun, dan tempurung kelapa merupakan habitat utama larva Aedes . Agustina (2006), melaporkan bahwa A. aegypti dapat hidup di air terkontaminasi deterjen dengan perolehan telur tertinggi 2,7 ppm, kaporit dengan konsentrasi 10 ppm ditemukan perolehan telur tertinggi, pada tanah konsentrasi 30
18
gm/ml juga memperoleh jumlah telur tertinggi sedangkan air terkontaminasi feses ayam, perolehan telur tertinggi pada konsentrasi 10 gr/ml. Aktifitas menghisap darah. A. aegypti dewasa betina menghisap darah manusia umumnya pada siang hari yang dilakukan baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Aktifitas menghisap darah pada nyamuk A. aegypti ini memperlihatkan dua puncak waktu yaitu pukul 08.00 sampai pukul 12.00 dan pukul 15.00 sampai pukul 17.00. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang, yaitu aktifitas menghisap darah dilakukan pada beberapa orang dalam waktu singkat secara bergantian. Hal ini disebabkan karena nyamuk ini sangat sensitif dan mudah terganggu. Pada siang hari manusia aktif melakukan pekerjaan dan selalu bergerak, nyamuk belum kenyang darah, orang sudah bergerak lagi maka nyamuk akan terbang untuk menggigit orang lain sampai cukup mendapatkan darah untuk pertumbuhan dan perkembangan telurnya. Keadaan seperti ini sangat membantu nyamuk tersebut dalam transmisi atau memindahkan virus dengue ke beberapa orang (Dit.Jen PPM & PLP, 1990). Perubahan suhu dan kelembaban udara dan angin dapat mempengaruhi aktifitas nyamuk dalam hal menghisap darah (Bruce Chwatt, 1980). Menurut Marchoux dan Simond (dalam Christopher, 1960) nyamuk A. aegypti pada suhu 15 0C tidak dapat melakukan aktifitas menghisap darah. Umumnya jarak terbang A. aegypti sekitar 50 meter (Horsfall, 1955; Dit.Jen. PPM & PLP. 1990) dengan demikian populasi nyamuk ini penyebarannya akan terpencar – pencar atau tersebar. Menurut Howard, 1923 (dalam Christopher 1960) pada suhu 13 - 14 0C nyamuk akan susah terbang dan kakinya akan lemah. Jangka hidup. Lama hidup A. aegypti ditentukan terutama oleh tinggi rendahnya suhu dan kelembaban udara, persediaan air dan makanan. Makanan di sini darah dan air juga merupakan kebutuhan pokok bagi serangga karena air sangat penting untuk kelangsungan hidupnya (Christopher, 1960). Gubler et al. (1978) melaporkan bahwa pada suhu 20 0C dan kelembaban 70% umur nyamuk betina dapat mencapai lebih kurang 100 hari dan nyamuk jantan sekitar 35 hari. Nyamuk yang tidak menghisap darah umurnya lebih pendek daripada yang menghisap darah. Lama hidup A. aegypti
di laboratorium
dipengaruhi oleh jenis makanan. Menurut Fielding (dalam Christopher, 1960)
19
nyamuk yang dipelihara pada suhu optimum tanpa diberi makan dapat hidup selama tujuh hari, diberi makan larutan gula dapat hidup sampai 20 hari, dengan pemberian makan susu di campur gula dapat hidup sampai 19 hari, dengan pisang sampai 68 hari, sedangkan diberi makan dengan darah manusia mencapai umur 93 hari. Dilaporkan oleh Gould et al. (1970) bahwa rata-rata lama hidup nyamuk A. aegypti dewasa di Malaysia adalah 3 – 6 minggu pada suhu 28 0C dan kelembaban nisbi antara 80% sampai 90%. Suhu yang tinggi yaitu 35 0C akan mengurangi umur nyamuk A. aegypti, sedangkan suhu rendah antara 15– 20 0C dengan kelembaban 90% akan memperpanjang lama hidupnya. 2.6. Peranan A. aegypti sebagai vektor penyakit. Chen et al. (1993) di Taiwan mengatakan bahwa A. albopictus dan A. aegypti mempunyai kemampuan sebagai virus dengue 1 dan virus ini telah di isolasi dari A. aegypti yang terdapat di Taiwan sedangkan A. albopictus belum dilakukan (Lien et at, 1975). Kemudian dilanjutkan pula dengan percobaan menginfeksikan virus dengue 1 kepada nyamuk A. aegypti dan A. albopictus. Pada hari ke 7 (tujuh) positif terinfeksi dari 30 ekor A. albopictus dan 30 ekor A. aegypti masing-masing 3,3%. Pada hari ke 35,24% dari 28 A. albopictus positif terinfeksi dan pada hari ke 21 terdapat 100% dari 6 ekor nyamuk A. aegypti positif terinfeksi. Selain virus dengue A. aegypti dapat pula terinfeksi oleh virus Sinbis. Virus Sinbis (Sin) adalah suatu alphavirus yang termasuk Famili Togoviridae (Westaway et al. 1985). Virus Sinbis ini dapat merupakan grup yang penting karena dapat menyebabkan penyakit ensefalitis pada manusia dan kuda (Jackson dan Johnson, 1987). 2.7. Toksikologi Insektisida. Toksisitas pada suatu organisme selalu dinyatakan dalam istilah LD50 (lethal dose) yang berarti jumlah racun per unit berat organisme yang dibutuhkan untuk membunuh 50% populasi percobaan. Satuan dari LD50 dinyatakan dalam mg insektisida per Kg berat organisme. Pada kondisi bahan kimia/insektisida digunakan untuk serangga, maka LD50 dinyatakan dalam mikrogram insektisida per serangga ( μ g/serangga ). Konsentrasi bahan kimia yang digunakan secara eksternal dapat membunuh 50% hewan dinamakan LC50 (lethal concentration). Nilai ini digunakan ketika dosis
20
yang pasti pada serangga tidak dapat ditentukan. Istilah LT50 (lethal time) adalah waktu yang dibutuhkan sehingga menyebabkan kematian 50% hewan percobaan pada dosis dan konsentrasi tertentu (Perry et al. 1998). Metode ini digunakan ketika jumlah hewan percobaan terbatas dan sering digunakan pada pengujian lapangan dimana sulit mengumpulkan jumlah serangga yang cukup untuk suatu pengujian. Pada kasus tertentu digunakan nilai KD50 (knockdown dose) dan KT50 (knockdown time). Beberapa cara untuk melakukan pengujian pada serangga dan metode yang paling banyak digunakan adalah aplikasi topikal, karena insektisida dilarutkan dalam pelarut yang relatif tidak toksik seperti aseton dan larutan yang dihasilkan diteteskan pada permukaan tubuh serangga (Perry et al. 1998). Metode lain yaitu metode injeksi yang menggunakan jarum suntik yang halus terbuat dari baja tahan karat 20-30 gauge (diameter 0,41 atau 0,3 mm), yang membutuhkan gelas kecil untuk wadah insektisida yang dilarutkan dalam propiles glikol atau minyak kacang tanah dan injeksi dilakukan ke dalam rongga tubuh (intraperitoneal). Metode pencelupan digunakan ketika aplikasi topical dipandang tidak praktis untuk dilaksanakan. Pengujian menggunakan metode kontak atau residu dengan cara insektisida dilarutkan dalam pelarut yang mudah menguap (volatile) kemudian dimasukkan pada kontainer gelas. Pelarut yang mengandung insektisida tersebut akan menguap dan ditampung dalam kontainer yang diputar-putar sehingga menghasilkan lapisan residu pada dinding gelas. Alternatf lain insektisida ditempatkan pada kertas saring, panel kayu atau jenis material bangunan lainnya dan dibiarkan mengering sebelum dipajankan pada serangga percobaan. Deposit residu insektisida tersebut dinyatakan sebagai miligram ramuan aktif per meter persegi (mg atau g AI/m2). Insektisida Organofosfat. Menurut Foley (2005), fungsi sistem syarat adalah perantaraan komunikasi antara sel syaraf dengan sel-sel lain dalam suatu organisme. Komunikasi
diawali
dengan
melepaskan
senyawa
kimia
yang
disebut
neurotransmiter dari pre sinap sel-sel syaraf. Senyawa ini berdifusi sepanjang sinap diantara sel-sel syaraf dan sel-sel pengontak (postsynaptic) dan berikatan pada protein reseptor di dalam membran sel. Ikatan tersebut menstimulasi perubahan saluran ion dalam membran yang difasilitasi oleh ion-ion spesifik (Na+, K+, Ca2+
21
atau Cl-) yang mengalir sepanjang membran bagian bawah dari gradien konsentrasinya masuk atau keluar dari sel. Gradien konsentrasi ini dapat memicu ataupun menghambat tergantung pada perubahan muatan ion di bagian dalam sel. Pada keadaan absennya neurotransmiter muatan di luar sel menjadi negatif. Pemicu neurotransmiter oleh sel terjadi melalui aliran ion Na+ dan dilipatgandakan melalui pembukaan tegangan listrik sensitif pada saluran Na+ disepanjang akson sel-sel syaraf. Aliran ini membukakan tegangan listrik sensitif saluran Ca2+ pada ujung sel syaraf. Aliran Ca2+ selanjutnya menstimulasi perbedaan neurotransmiter berikutnya yang menghasilkan kontraksi otot. Inhibisi neurotransmiter pada sel disebabkan oleh aliran ion K+ atau ion Cl- yang menghasilkan suatu sel lebih resisten dalam mendepolarisasika aliran Ca2+. Asetilkolin adalah suatu neurotransmiter yang menstimulasikan pembukaan saluran Na+ dan K+ . Asetilkolin memberikan sinyal pada sinap yang diakhiri melalui suatu enzim asetilkolinesterase (AchE) yang berfungsi mengkatalisis reaksi hidroksil asetilkolin menjadi kolin tidak aktif dan asetat seperti ditunjukkan pada reaski berikut : AChE (CH3)NCH2CH2OCOCH3
CH3)3NCh2CH2OH + CH3CO2H
Asetilkolin
kolin
asam asetat
Enzim AchE merupakan kelompok serin esterase yang mengandung sisi aktif serin (Ser), histidin (His) dan residu asam amino glutamat (Glu) yang bersama-sama mengkatalisis reaksi hidrolisis asetilkolin. Ikatan H antara gugus Glu karboksilat dan N-1 pada histidin meningkatkan kemampuan N-3 His untuk bertindak sebagai basa yang menghilangkan H dari gugus hidroksil Ser. Hal ini menyebabkan oksigen pada Ser merupakan neukleofilik dan mampu menyerang gugus karboksil dari asetilkolin. Organofosfat bekerja dengan cara menghambat enzim AchE, sehingga enzim ini tidak dapat menghidrolisis Ach. Senyawa orgaonfosfat secara luas telah digunakan menggantikan insektisida organoklorin. Senyawa ini merupakan ester atau derifat amida dari asam fosfat dan merupakan zat toksik untuk serangga maupun vertebrata melalui inhibisi enzim kolinesterase.
22
ENZIM-OH + Z-P-(O)(OR)2 Enzim kolinesterase Senyawa organofosfat
ENZIM-O-P(O)(OR)2 + ZH enzim terinhibisi
Senyawa organofosfat diproduksi pada suhu tinggi (150 – 200 oC) sehingga pada umumnya mengandung isomer atau produk samping yang menyebabkan bau tidak enak (Perry et al. 1998). Gejala keracunan pada serangga mengikuti pola umum dari peracunan syaraf, misalnya keresahan, hyperexitibility, gemetaran, kejang, lumpuh dan mati. Untuk mengetahui mekanisme aksi toksik senyawa organofosfat adalah interaksi enzim asetilkoline dengan asetilkolinesterase (AChE). Pertama-tama AChE menghasilkan kompleks E-OH – Ach (Asetilkolin – Enzim) yang merupakan intermediasi antara enzim dengan substrat kompleks tersebut bersifat reversibel yang membentuk asetilase AChE, selanjutnya asetil AChE dihidrolisis kembali menghasilkan AChE (Perry et al. 1998). Reaksi tersebut sangat cepat sehingga tidak terjadi akumlasi asetilkolin sepanjang sinap atau pada sambungan neuromuscular. Bagian kolin kemudian dihilangkan dan asam asetat berkombinasi lagi (dengan bantuan enzim lain) membentuk asetilkolin dan siklus berulang. Insektisida organofosfat yang diaplikasikan pada serangga bereaksi dengan AChE pada kondisi yang sama. Tahap pertama enzim membentuk kompleks reversibel dengan senyawa organofosfat, kemudian kompleks putus menghasilkan organofosfat dan enzim yang terinhibisi (enzim fosforilate). Inhibisi tersebut menghasilkan fosforilat yang eksistensinya cukup sama dengan tahapan terakhir. Kemudian terjadi hidrolisis dan AChE dibebaskan dengan sebuah residu fosfat (sebagai dimetil asam fosfat). Tahapan hidrolisis tersebut sangat lambat dibanding dengan kondisi normal substrat asetilkolin sehingga enzim tidap dapat berfungsi secara efektif dengan peningkatan asetilkolin yang masuk ke sinap hasil akhir dari aktivitas syaraf. Mekanisme reaksi inhibisi tersebut ditunjukkan pada Gambar 3. ++
ENZIM –OH
(CH3)3N+CH2OC(O)CH3 ÆENZIM-OH ---(CH3)3N+CH2OC(O)CH3 (CH3)3N+CH2OC(O)CH3 ENZIM-OC(O)CH3
HOC(O)CH3 A
23
ENZIM-OC(O)CH3 = X-P (O)(OR2) Æ ENZIM-OC(O)CH3 ------X-P(O)(OR2) XH ENZIM-O-P(O)(OR)2 X-P(O)OR2)
B ENZIM-O-P(OR)(OH) Gambar 3 Reaksi enzim asetilkolinesterase (A). dalam keadaan normal (B). Terinhibisi oleh senyawa organofosfat. Insektisida Malation. Malation termasuk ke dalam golongan insektisida organofosfat, yang pertama kali dibuat di Jerman pada tahun 1934 oleh Schrader. Insektisida ini termasuk jenis yang aman bagi mamalia dengan nilai LD50 oral akut 900-5800 mg/kg berat badan mempunyai tekanan uap 1.25 x 10-4 mm Hg pada suhu 20 oC. Malation berwujud cair, tidak berwarna dengan titik didih 156 – 157 oC, larut dalam hampir semua pelarut organik dan sedikit larut dalam air. Malation memiliki gugus karboksil yang menyebabkan insektisida ini mudah terhidrolisis dalam tubuh mamalia (Matsumura, 1975). Malation merupakan insektisida organofosfat yang telah digunakan sejak tahun 1950 di Amerika Serikat. Pemakaian malation sebagai insektisida di Amerika Serikat mencapai 30 juta pound per tahun. Malation mulai digunakan di Indonesia sejak tahun 1972 dengan metode pengasapan (fogging) ( Suroso, 1991 dan Heodojo, 1993). Malation (O,O-dimetyl dithiophosphate of diethyl mercaptosuccinate) adalah insektisida yang digunakan untuk berbagai tanaman sayuran, buah dan lain-lain. Rumus empirik malation adalah C10H19O6PS2 dengan berat molekul 330,4 (Cox, 2003). Rumus bangun malation (gambar 4).
Gambar 4. Rumus bangun malation (www.google.com)
24
Malation membunuh serangga dengan cara dalam tubuh serangga malation diubah menjadi malaoxon yang menghambat enzim asetilkolinesterase. Tahun 2000 malation diduga sebagai bahan karsinogenik, tetapi tidak cukup berdampak karsinogenik terhadap manusia (Cox, 2003). Toksisitas malation dibagi menjadi empat jenis sesuai dengan dosisnya dan ditunjukkan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 Empat kriteria toksisitas malation berdasarkan nilai LD50 Jalur masuk ke dalam tubuh Oral (mulut) LD50
Toksisitas kuat -50 mg/kg
Toksisitas sedang
Toksisitas rendah
Toksisitas sangat rendah
50-500 mg/kg
500-5000 mg/kg
>5000 mg/kg
Dermal(kulit) LD50
-200 mg/kg
200-2000 mg/kg
2000-5000 mg/kg
>5000 mg/kg
Inhalasi (pernapasan) LD50
-0,05 mg/l
0,05-0,5 mg/l
0,5-2,0 mg/l
> 2,0 mg/kg
25
BAHAN DAN METODE
3.1. Lokasi pengambilan sampel. Pengambilan sampel larva A. aegypti berasal dari Kota Surabaya. Koleksi larva dilakukan pada beberapa lokasi berdasarkan tingkat endemisitas yang mempunyai kasus demam berdarah tinggi, kasus demam berdarah sedang dan kasus demam berdarah rendah. Dengan menggunakan kategori berikut : - Lokasi dengan kasus tinggi ≥100 yang diwakili Kecamatan Tambaksari dan Sawahan - Lokasi dengan kasus sedang 50- 99 yang diwakili Kecamatan Wonocolo dan Wiyung - Lokasi dengan kasus rendah ≤ 49 yang diwakili Kecamatan Bulak dan Pakal. Pemilihan lokasi berdasarkan data sekunder
Dinas Kesehatan Kota (DKK)
mengenai jumlah kasus DBD pertahun di wilayah Kota Surabaya (Lampiran 2) dan merupakan lokasi yang mudah dijangkau serta kepadatan permukiman sangat tinggi. 3.2. Waktu dan Tempat penelitian. Waktu penelitian di laksanakan pada bulan Juli
sampai Desember 2009.
Tempat penelitian di Kota Surabaya dilanjutkan di Insektarium Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) – IPB Bogor. 3.3. Alat dan Bahan penelitian. Perlengkapan
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
”WHO
Susceptibility test kit, hygrometer dan termometer, penghitung waktu (timer), gelas plastik, aspirator, pinset, kapas, karet gelang, handuk (basah), ovitrap, kertas saring, spidol, kandang nyamuk (40x40x60cm), nampan (20x30x5cm), pipet plastik, botol dan kertas perekat (Lampiran 6). Bahan yang digunakan adalah kertas berinsektisida (impregnated paper) malation 5%, larutan gula, marmut, rebusan ati ayam serta sejumlah nyamuk A. aegypti yang akan diuji, kira-kira 60 ekor setiap percobaan. 3.4. Metode Penelitian. Pengadaan Nyamuk untuk uji kerentanan. Larva nyamuk dikumpulkan dari tiga lokasi pada TPA yang berada di dalam maupun luar rumah kemudian diidentifikasi. Larva yang didapat ditampung dalam botol aqua (650 ml) diberi label
26
kemudian dikirim ke laboratorium. Pengiriman larva dengan wadah termos es yang diberi kain basah/handuk guna menjaga kelembaban agar larva tidak mati. Di laboratorium larva dipelihara di dalam nampan plastik (20x30x5 cm) dan diberi makan rebusan ati ayam. Setelah menjadi pupa maka pupa dipindahkan ke dalam gelas plastik, selanjutnya dimasukkan dalam kandang nyamuk (40x40x60 cm),
dipelihara sampai menjadi nyamuk dewasa serta di identifikasi untuk
memastikan jenisnya. Nyamuk setelah menjadi dewasa umur 2 – 3 hari, baru diberi makan darah marmut, sebelumnya marmut dicukur bulunya pada bagian punggung setelah itu dimasukkan ke dalam kandang jepit. Disamping itu di dalam kandang nyamuk disediakan larutan air gula 10% ke dalam botol tersebut dimasukkan kapas agar nyamuk dapat menghisap air gula melalui kapas untuk memberi makan nyamuk jantan. Setelah menghisap darah 2-3 hari, dipasang perangkap telur menggunakan ovitrap yang berisi air dan pada bagian tepinya diberi kertas saring secara melingkar sebagai tempat peletakkan telur. Setiap kertas yang telah ada telurnya diambil dan dikeringkan secukupnya dan dipasang kembali kertas saring yang baru. Setelah telur generasi pertama (F1) terkumpul kemudian dengan cara yang sama telur-telur ditetaskan menurut lokasinya sampai diperoleh nyamuk dewasa generasi ketiga (F3). Nyamuk F3 inilah yang kemudian digunakan untuk uji kerentanan. Uji kerentanan. Uji kerentanan mempergunakan standar WHO Susceptibility test kit. Percobaan ini dilakukan berdasarkan kontak nyamuk dewasa dengan insektisida malation (impregnated paper) dengan konsentrasi 5%, sebagai pembanding digunakan nyamuk strain Liverpool yang ada di insektarium PEK. Jumlah nyamuk yang digunakan sebanyak 20 ekor tiap lokasi dengan tiga ulangan. Sebagai kontrol, digunakan 20 ekor nyamuk A.aegypti yang berasal dari ketiga lokasi yang dikontakkan dengan kertas tanpa insektisida dalam tabung bertanda hijau. Dua puluh ekor nyamuk betina yang seragam umur dan kondisi perut kenyang air gula diambil dari kandang, menggunakan aspirator kemudian dimasukkan ke dalam tabung penyimpanan (holding tube) bertanda hijau. Selanjutnya nyamuk di pindahkan ke dalam tabung kontak (exposure tube) bertanda merah yang sudah
27
dilapisi kertas berinsektisida malation 5% dengan cara meniup pelan-pelan. Nyamuk dibiarkan di dalam tabung kontak selama waktu yang telah ditentukan dengan masa kontak bervariasi yakni 5 menit, 15 menit, 30 menit, 45 menit dan 60 menit. Kematian nyamuk dihitung setelah 24 jam penyimpanan. Selama penyimpanan dijaga suhu dan kelembaban dengan meletakkan handuk basah/kapas basah pada tabung penyimpanan. Pengamatan. Setelah masa kontak kemudian nyamuk tersebut dipindahkan ke tabung penyimpanan (holding tube) warna hijau dengan cara ditiup secara perlahan, selanjutnya di simpan selama 24 jam dan pada bagian atas tabung penyimpanan (holding tube) diberi kapas yang mengandung larutan air gula 5%. Disimpan pada kondisi yang baik untuk hidup nyamuk yaitu suhu 27 – 30 ºC dan kelembaban nisbi udara antara 75% sampai 90%. Setelah 24 jam, dari masing-masing tabung diperiksa jumlah kematian nyamuk, dan bila ada dicatat kematiannya. Penghitungan. Penghitungan hasil percobaan dilakukan setelah 24 jam masa penyimpanan, dihitung jumlah nyamuk yang mati dan yang masih hidup. Nyamuk dinyatakan mati bila sudah tidak mampu bergerak lagi. Apabila pada kelompok nyamuk pembanding terjadi kematian antara 5 - 20 % maka data harus dilakukan koreksi dengan rumus Abbot yaitu: % kematian nyamuk uji - % kematian kontrol -------------------------------------------------------- x 100 % 100 - % kematian kontrol. Apabila kematian pada nyamuk pembanding lebih besar dari 20% maka harus diuji ulang. Penentuan Status Kerentanan. Penentunan uji kerentanan dengan masa kontak 60 menit dan pengamatan selama 24 jam dapat dihasilkan tiga golongan populasi nyamuk yaitu 1) resisten, bila kematian nyamuk di bawah 80%; 2) toleran, bila kematian nyamuk antara 80 - 97% dan 3)rentan bila kematian nyamuk antara 98 - 100% (WHO, 1975). Rancangan Percobaan dan Analisis Data. Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan lima perlakuan dan tiga ulangan, kemudian dibuat persamaan regresi antara waktu kontak dengan mortalitas sehingga dapat diketahui status kerentanan terhadap insektisida. Analisis kerentanan tiap-tiap lokasi
28
didasarkan pada persentase kematian nyamuk dengan uji statistik regresi dan analisis probit serta uji beda nyata Duncan menggunakan bantuan sofware program minitab versi 15 dan EFA. Analisis Hasil Uji Kerentanan Nyamuk. Analisis hasil uji kerentanan nyamuk atau larva dilihat pada gambar garis regresi, bila pada gambar terlihat garis regresi bergeser ke kanan berarti ada perubahan dalam tingkat kerentanan nyamuk (Dep.Kes. R.I. 1986). Untuk membuktikan secara komprehenshif status toleransi nyamuk A. aegypti terhadap malation dilakukan perhitungan probit untuk menentukan LT50, LT95 dan rasio resistensi (RR). Setelah LT50, LT95 diperoleh dari perhitungan probit, maka nilai rasio resistensi (RR) dapat dihitung menggunakan persamaan berikut ini (Rawlins, 1998., Ponlawat et al, 2005): LT strain yang diamati RR = --------------------------------LT strain pembanding
29
HASIL DAN PEMBAHASAN
Demografi. Letak geografis kota Surabaya berada antara 112° 36¨ dan 112° 54¨ bujur timur serta 07° 12¨ garis lintang selatan dengan luas wilayah 326,37 km² yang terdiri dari 31 kecamatan dan 163 kelurahan. Jumlah penduduk kota Surabaya tahun 2008 adalah 2.866.844 jiwa terdiri dari penduduk laki-laki 1.420.296 jiwa dan penduduk perempuan 1.446.545 jiwa dengan ratio jenis kelamin 98,18 serta kepadatan penduduk 8,784 jum/km. Kematian nyamuk A. aegypti pada lokasi kasus tinggi terhadap malation 5% Jumlah kematian nyamuk A. aegypti pada lokasi dengan kasus tinggi terhadap malation 5% dari hasil pengamatan selama 24 jam dengan suhu antara 27 - 32 ºC secara berturut-turut yakni lama kontak 5 menit (0%), 15 menit (18%), 30 menit (35%), 45 menit (45%) dan lama kontak 60 menit (85%) ditunjukan pada Tabel 3. Tabel 3 Persentase Kematian nyamuk A. aegypti pada lokasi kasus tinggi terhadap malation 5% Ulangan
Waktu kontak (menit)/(persentase)
Kontrol
5
(%)
15
(%)
30
(%)
45
(%)
60
(%)
1
0
(0)
9
(45)
10
(50)
8
(40)
18
(90)
0
2
0
(0)
1
(5)
10
(50)
10
(50)
15
(75)
0
3
0
(0)
1
(5)
1
(5)
9
(45)
18
(90)
0
0
(0)
3.67 (18)
7
(35)
9
(45)
17
(85)
0
Rerata
Berdasarkan analisis statistik (Tabel 3) diperoleh persamaan garis regresi adalah (Y) = - 6,870 + 1,404 lama kontak (x), angka p-value= 0.000 < α = 0,05, (X2
hitung
< X2
tabel),
dengan nilai R2 = 78,3%, ditunjukkan pada (Gambar 5). Pada
Tabel 3 populasi nyamuk A. aegypti mengalami kematian 50% setelah kontak 60 menit selama pengamatan 24 jam sebesar 85%.
30
90 80 Persentase kematian
70 60 50 40 30 20 10 0 0
10
20
30 40 wa kt u kont a k (me nit )
50
60
Gambar 5 Garis regresi kematian nyamuk A. aegypti pada lokasi kasus tinggi Berdasarkan data Sekunder dari Puskesmas, pada Kecamatan Sawahan frekuensi fogging focus yang telah dilakukan selama kurun waktu ± 5 tahun (20052009) sebanyak 270 kali (rata-rata 54/tahun) atau 4,5 kali setiap bulan, dengan jumlah pemakaian malation sebanyak 540 liter (rata-rata 108 liter/tahun) sedangkan di Kecamatan Tambaksari adalah 373 kali (rata-rata 74,60/tahun) atau 6,22 kali setiap bulan, dengan jumlah pemakaian malation 746 liter (rata-rata 149,2 liter/tahun) ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Frekuensi fogging dan jumlah malation pada lokasi kasus tinggi di Kec. Sawahan dan Tambaksari No.
Tahun
1. 2. 3. 4. 5.
2005 2006 2007 2008 2009 Jumlah Rerata
Kec. Sawahan Frek. Jum. Malation* fogging 57 114 86 172 58 116 36 72 33 66 270 054 54 108
* Jum. Malation = (2 ltr x 1 kali pengasapan).
31
Kec. Tambaksari Frek. Jum. Malation* fogging 100 200 126 252 62 124 42 84 43 86 373 746 74.60 149.20
Hasil wawancara diperoleh kegiatan fogging focus dimulai pada jam 08.00 sampai selesai, oleh buruh/tukang yang belum pernah mendapatkan pendidikan formal oleh karena itu kelayakan metoda fogging perlu dipertanyakan. Suhu udara 32– 36 °C dengan mobilitas penduduk yang cukup tinggi serta permukiman yang begitu padat. Pengendalian yang sejalan dilakukan selain fogging tersebut adalah pemberantasan larva nyamuk menggunakan larvasida dengan temefos, selain itu penyuluhan dilaksanakan 1-2 kali/bulan dan kegiatan PSN
dengan 3M serta
Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) rutin dilaksanakan. Kematian nyamuk A. aegypti pada lokasi kasus sedang terhadap malation 5% Jumlah kematian nyamuk A. aegypti pada lokasi dengan kasus sedang terhadap malation 5% dari hasil pengamatan selama 24 jam dengan suhu antara 27 31 ºC secara berturut-turut yakni lama kontak 5 menit (0%), 15 menit (23%), 30 menit (95%), 45 menit (100%) dan lama kontak 60 menit (98%) ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Persentase kematian nyamuk A. aegypti pada lokasi kasus sedang terhadap malation 5% Ulangan
Waktu kontak (menit)/(persentase) 5
(%)
15
(%)
30
(%)
45
1
0
(0)
7
(35)
19
(95)
2
0
(0)
5
(25)
19
3
0
(0)
2
(10)
Rerata
0
(0)
4,67 (23)
(%)
Kontrol 60
(%)
20 (100)
20
(100)
0
(95)
20 (100)
19
(95)
0
19
(95)
20 (100)
20
(100)
0
19
(95)
20 (100) 19,67 (98)
0
Berdasarkan analisis statistik (Tabel 5) diperoleh persamaan regresi (Y) = 3.80 + 1.920 lama kontak (x), angka p= 0.000 < α = 0.05, (X2
hitung
< X2
tabel),
dengan nilai R²= 78.2%, ditunjukkan pada Gambar 6. Data sekunder dari Puskesmas diwilayah Kecamatan Wiyung, frekuensi fogging fokus yang sudah dilakukan selama kurun waktu 5 tahun sebanyak 366 kali (rata-rata 73,20 kali/tahun) atau 6,10 kali setiap bulan dengan pemakaian malation sebanyak 732 liter (rata-rata 146,40 liter/tahun). Pada Kec. Wonocolo frekuensi fogging focus sebanyak 256 kali (rata-rata 51,20/tahun) atau 4,27 kali setiap bulan
32
dengan pemakaian malation sebanyak 512 liter (rata-rata 102,40/tahun) ditunjukkan pada (Tabel 6).
120
Persentase kematian
100 80 60 40 20 0 0
10
20
30 40 wa kt u kont ak (me nit )
50
60
Gambar 6. Garis regresi kematian nyamuk A. aegypti pada lokasi kasus sedang Hasil wawancara pada petugas mengatakan Fogging fokus telah lama dipergunakan yakni ± 30 tahun dengan waktu penyemprotan dimulai pada jam 08.00 sampai selesai. Pengendalian yang sejalan dilakukan adalah mengunakan larvasida dengan temefos selain itu penyuluhan dilaksanakan setiap ada kasus dan pemeriksaan jentik sekitar permukiman penderita dengan mengalakkan 3M. Tabel 6 Frekuensi fogging dan jumlah malation pada lokasi kasus sedang di Kec. Wiyung dan Wonocolo No.
Tahun
1. 2. 3. 4. 5.
2005 2006 2007 2008 2009 Jumlah Rerata
Kec. Wiyung Frek. Jum. Malation* fogging 57 114 122 244 69 138 58 116 60 120 366 732 73.20 146.40
*Jum. Malation = (2 ltr x 1 kali pengasapan).
33
Kec. Wonocolo Frek. Jum. Malation* fogging 53 106 73 146 54 108 31 62 45 90 256 512 51.20 102.40
Kematian nyamuk A. aegypti pada kasus rendah terhadap malation 5% Jumlah kematian nyamuk A. aegypti pada lokasi dengan kasus rendah terhadap malation 5% dari hasil pengamatan selama 24 jam pada suhu antara 28 33 ºC secara berturut-turut yakni lama kontak 5 menit (12%), 15 menit (67%), 30 menit (95%), 45 menit (100%) dan lama kontak 60 menit (100%) ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 Persentase kematian nyamuk A. aegypti pada lokasi kasus rendah terhadap malation 5% Ulangan
Waktu kontak (menit)/(persentase)
Kontrol
1
5 4
(%) 15 (20) 11
(%) (55)
30 20
(%) (100)
45 20
(%) (100)
60 20
(%) (100)
0
2
2
(10) 15
(75)
17
(85)
20
(100)
20
(100)
0
3
1
(5)
14
(70)
20
(100)
20
(100)
20
(100)
0
(12) 13
(67)
19
(95)
20
(100)
20
(100)
0
Rerata
2.34
Berdasarkan analisis statistik (Tabel 8) diperoleh persamaan regresi (Y) = 30,05 + 1,439 lama kontak (x), angka p = 0.000 < α = 0,05 atau (X2 hitung < X2 tabel), dengan nilai R2 = 69,3%, seperti ditunjukkan pada Gambar 7.
120
Persentase kematian
100 80
60 40
20 0 0
10
20
30 40 waktu kontak (menit)
50
60
Gambar 7. Garis regresi kematian nyamuk A. aegypti pada kasus rendah
34
Berdasarkan data sekunder Puskesmas di Kecamatan Bulak frekuensi fogging fokus yang telah dilaksanakan selama kurun waktu ± 5 tahun adalah 145 kali (ratarata 29 kali/tahun) atau 2,42 kali setiap bulan, dengan pemakaian malation sebanyak 290 liter (rata-rata 58 liter/tahun) sedangkan di Kecamatan Pakal, frekuensi fogging focus sebanyak 150 kali (rata-rata 30 kali/tahun) atau 2,5 kali setiap bulan, pemakaian malation sebanyak 300 liter (rata-rata 60 liter/tahun) ditunjukkan pada (Tabel 8). Pengendalian larva nyamuk dengan larvacida menggunakan temefos selain itu tindakan PSN dan 3M masih tetap dilaksanakan. Tabel 8 Frekuensi fogging dan jumlah malation pada lokasi kasus rendah di Kecamatan Bulak dan Pakal No.
1. 2. 3. 4. 5.
Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 Jumlah Rerata
Kec. Bulak Frek. fogging 33 54 17 19 22 145 29
Kec. Pakal
Jum. Malation* 66 108 34 38 44 290 58
Frek. fogging 28 28 31 31 32 150 30
Jum. Malation* 56 56 62 62 64 300 60
*Jum. Malation = (2 ltr x 1 kali pengasapan).
Kematian nyamuk A. aegypti pada strain Liverpool terhadap malation 5% Jumlah kematian nyamuk A. aegypti pada strain Liverpool terhadap malation 5% di Insektarium Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) - IPB, setelah pengamatan 24 jam dengan suhu antara 29 - 34 ºC secara berturut-turut yakni pada lama kontak 5 menit (0%), 15 menit (60%), 30 menit (98%), 45 menit (100%) dan lama kontak 60 menit sebesar 100% ditunjukkan pada Tabel 9.
35
Tabel 9 Persentase Kematian nyamuk A. aegypti pada strain Liverpool terhadap malation 5% Ulangan
Waktu kontak (menit)/(persentase) (%)
45
(%)
kontrol
5
(%)
15
(%)
30
60
(%)
1
0
(0)
13
(65)
20
(100) 20 (100) 20 (100)
0
2
0
(0)
14
(70)
20
(100) 20 (100) 20 (100)
0
3
0
(0)
9
(45)
19
(95)
20 (100) 20 (100)
0
Rerata
0
(0)
12
(60)
20
(98)
20 (100) 20 (100)
0
Berdasarkan analisis statistik (tabel 6) diperoleh persamaan regresi (Y) = 20,66 + 1,646 lama kontak (x), angka signifikansi p= 0.000 < α = 0,05, (X2 tabel),
hitung
< X2
dengan nilai R2 = 69,2%, seperti ditunjukkan pada Gambar 8 berikut.
120
Persentase kematian
100 80 60 40 20 0 0
10
20
30 40 wa kt u kont a k (me nit )
50
60
Gambar 8. Garis regresi kematian nyamuk A. aegypti pada strain Liverpool Persamaan regresi pada lokasi dengan kasus tinggi (Y) = - 6,870 + 1,404 (x) dimana nilai R2= 78,3%, lokasi dengan kasus sedang (Y) = 3,80 + 1,920 (x) nilai R2= 78,2%, lokasi dengan kasus rendah (Y) = 30,05 + 1,439 (x), nilai R2= 69,3 dan strain Liverpool (Y) = 20,66 + 1,646 (x) nilai R2= 69,2%, disimpulkan bahwa pada taraf kepercayaan 95% berpengaruh nyata, menunjukkan ada korelasi positif antara lama kontak dengan persentase kematian nyamuk pada lokasi dengan kasus tinggi,
36
kasus sedang, kasus rendah dan strain Liverpool terhadap insektisida malation 5% seperti ditunjukkan pada (Gambar 9). Pada persamaan garis regresi yang ditunjukkan pada lokasi dengan kasus tinggi cenderung bergeser lebih ke kanan berarti nyamuk A. aegypti di wilayah Kec. Sawahan dan Kec. Tambaksari menunjukkan adanya kecendrungan populasi nyamuk yang toleran terhadap malation 5% dibandingkan pada lokasi dengan kasus rendah dan lokasi kasus sedang serta strain Liverpool yang masih normal.
120
Persentase kematian
100 80 60 40 20 0 0
10
20
30 wa k t u k o n t a k (m e nit )
40
50
60 V ariab le K asu s T in g g i K asu s S ed an g K asu s Ren d ah S train Liv er p o o l
Gambar 9. Garis regresi kematian nyamuk A. aegypti pada kasus tinggi, sedang rendah dan strain Liverpool Untuk menghindari keraguan menetapkan status toleransi nyamuk A. aegypti di Kota Surabaya, maka dilakukan perhitungan probit untuk memperoleh homogenitas respon, lethal time dan rasio toleransi (LT50, LT95 dan RR50, RR95) dengan konsentrasi malation 5% ditunjukkan pada Tabel 10, diperoleh hasil perhitungan probit tentang respon kematian nyamuk pada LT50 nyamuk A. aegypti terhadap pemakaian malation 5% untuk lokasi dengan kasus tinggi, sedang, rendah berturut-turut sebesar 37,242, 18,812, dan 10,868 . Nilai LT95 nyamuk A. aegypti terhadap pemakaian malation 5%
berturut-turut sebesar 136,442, 33,599 dan
29,491. Nilai RR50 pada ketiga lokasi berturut-turut sebesar 2,68, 1,35 dan 0,784, sedangkan nilai RR95 dari ketiga lokasi berturut-turut sebesar 5,576, 1,373 dan
37
1,205
Nilai RR95 memberikan informasi bahwa penggunaan malation sesuai
anjuran WHO belum menunjukkan resistensi terhadap nyamuk A. aegypt. Tabel 10 Pengukuran LT50, LT95 dan RR50, RR95 nyamuk A. aegypti terhadap malation 5% LT95 (menit) 136,442
RR50
RR95
Kasus tinggi
LT50 (menit) 37,242
2,68
5,576
Kasus sedang
18,812
33,599
1,35
1,373
Kasus rendah
10,868
29,491
0,784
1,205
Strain Liverpool (PEK)
13,851
24,467
Lokasi
Nilai LT50 pada ketiga lokasi menunjukkan tingkat kematian nyamuk berbeda, dimana semakin sering kontak insektisida yang diaplikasikan dilapangan dengan serangga vektor nyamuk maka akan memberikan pengaruh mortalitas pada nyamuk semakin lama, misalnya pada lokasi dengan kasus tinggi kematian 50% nyamuk terjadi pada 37,242 menit. Bila diaplikasikan di lapangan hal ini tidak realistis karena pengasapan (fogging) hanya membutuhkan waktu yang singkat dimana kontak nyamuk dengan malation hanya berlangsung dibawah 5 menit. Kontak berikutnya tetap terjadi tetapi konsentrasi malation mengalami penurunan yang disebabkan oleh pengenceran udara dengan suhu lingkungan Kota Surabaya antara 32-36 °C dengan kecepatan angin 3-10 knot serta kelembaban udara 65-99% (Sasmito, 2007). Gunandini (2002) mengatakan bahwa pada 20 generasi nyamuk A. aegypti terlihat bahwa besarnya LC50 larva terhadap temefos semakin meningkat dengan semakin bertambahnya generasi yaitu pada konsentrasi 0,025 ppm (F0), 0,032 ppm (F5), 0,042 ppm (F10), 0,062 ppm (F15) dan 0,071 ppm (F20), bila mengacu pada Brown (1989) menyatakan bahwa nyamuk berada pada tahap resistensi jika nilai ratio resistensi meningkat lebih dari 10 kali seharusnya pemakaian insektisida yang terus menerus akan memicu terjadinya resistensi. Pemakaian insektisida malation yang cukup lama dan frekuensi fogging yang tinggi dengan rata-rata 2-6 kali/bulan (Tabel 4) seharusnya menimbulkan resistensi pada serangga vektor, tetapi mengacu pada Tabel 10, hasil perhitungan probit
38
diperoleh nilai RR95 antara 1,205 sampai dengan 5,576 dimana (RR95 <10). Berdasarkan nilai RR95 maka nyamuk A.aegypti yang berasal dari ketiga lokasi pengamatan terindikasi tidak resisten (RR<10). Hal ini mengacu pada Brown (1989) yang menyatakan bahwa nyamuk berada pada tahap resisten jika nilai ratio resistensi meningkat lebih dari 10 kali. Rawlins (1998) melaporkan penelitian toleransi terhadap malation yang digunakan secara terus menerus selama 20 sampai 30 tahun diwilayah Karibia hanya menunjukkan toleransi rendah (RR95<4). Toleransi nyamuk A.aegypti terhadap malation di Thailand menunjukkan tingkatan rendah, dengan nilai RR95 berkisar antara 2,2 sampai dengan 6,6 (Ponlawat et al. 2005), akan tetapi mengacu pada Brown (1989) maka penelitian tersebut belum menunjukkan resistensi. Berdasarkan nilai kritis dari persentase kematian nyamuk dengan lama kontak terhadap malation 5% digunakan uji beda nyata Duncan yang ditunjukkan pada Tabel 11 diperoleh kematian nyamuk 100% dengan waktu kontak 45 menit pada lokasi kasus rendah, sedang dan strain Liverpool. Tabel 11 Persentase kematian nyamuk A. aegypti pada masa kontak di lokasi kasus rendah, sedang, tinggi dan strain Liverpool terhadap malation 5% Masa Kontak (menit) 5
Rendah 12 a
Lokasi (%) Sedang 0b
Tinggi 0b
Strain Liverpool (%) 0b
15
67 a
23 b
18 b
60 a
30
95 a
95 a
35 b
98 a
45
100 a
100 a
45 b
100 a
60
100 a
98 a
85 b
100 a
Ket: ab) huruf superskrip yang berbeda pada jalur yang sama menunjukkan perbedaan signifikan terhadap persentase kematian nyamuk pada taraf 5%. Mengacu pada Tabel 11 pada masa kontak 60 menit selama pengamatan 24 jam diperoleh kematian nyamuk pada lokasi kasus tinggi sebesar 85% yang menunjukkan bahwa nyamuk A.aegypti dilokasi tersebut sudah toleran terhadap malation yang digunakan selama ini (WHO. 1975). Sedangkan mengacu pada Gambar 9 dengan melihat garis regresi sudah menunjukkan bergeser kearah kanan
39
yang berarti populasi di lokasi tersebut sudah mengalami perubahan physiologis. Hal ini disebabkan oleh penggunaan malation dengan cara fogging yang tidak sesuai aturan yang telah ditetapkan oleh Depkes. RI. Menurut aturan Dep.Kes. RI (2005), bahwa pelaksanaan fogging fokus disuatu daerah yang endemis seharusnya dilakukan 2 siklus dengan interval 5-10 hari, pada pengasapan siklus I diharapkan semua nyamuk A.aegypti akan mati termasuk yang mengandung virus dengue, tetapi beberapa hari kemudian akan muncul nyamuk A.aegypti yang baru keluar dari pupa yang diantaranya akan menghisap darah penderita viremia yang masih ada setelah pengasapan siklus I. Oleh karena itu perlu dilakukan pengasapan siklus II dengan harapan pada pengasapan ini nyamuk baru yang infektif akan terbasmi sebelum sempat menularkan pada orang lain dalam kurun waktu 2 minggu sejak pengasapan pertama, semua penderita viremia (orang yang mengandung virus DBD dalam darahnya) telah sembuh dengan demikian penularan akan terhenti dan angka kesakitan bisa dikendalikan. Hal tersebut diatas kurang menjadi perhatian di dalam aplikasi fogging, dimana fogging dilaksanakan pada saat ada kasus disuatu wilayah sehingga akan memberikan pengaruh pada serangga vektor. Pelaksanaan dilapangan dimulai pukul 08.00 sampai selesai, dengan tidak memperhitungan faktor-faktor lingkungan yang dapat memberikan pengaruh secara langsung. Seperti suhu lingkungan (32-34 oC) yang tinggi saat penyemprotan tidak memberikan hasil optimal oleh karena partikelpartikel yang dihasilkan akan mengalami penguapan yang cepat dengan udara yang panas, demikian halnya kecepatan angin (3-10 knot) yang tinggi mengakibatkan partikel insektisida terbawah oleh hembusan angin yang dapat mempengaruhi efektifitas dan efisiensi pengasapan. Disamping itu resistensi bisa terjadi karena pemakaian dosis yang tidak sesuai, waktu pelaksanaan dan sasaran operasional tidak tepat, serta akibat kemampuan petugas dalam pelaksanaan fogging sangat minim, sehingga fogging focus tidak menjadi efektif dan efisien. Penggunaan dosis/konsentrasi yang tidak tepat akan mengakibatkan serangga vektor tidak mengalami kematian pada saat fogging, sehingga akan menyebabkan resistensi lebih mudah terjadi dengan tidak memperhatikan efek selanjutnya,
40
misalnya pengurangan dosis oleh karena wilayah yang di fogging sangat luas guna untuk penghematan malation sehingga lebih memperbanyak bahan bakar solar dibanding insektisida malation, akibatnya pada saat penyemprotan serangga vektor tidak mati atau lumpuh kemudian beberapa menit kemudian terbang lagi. Sasaran operasional yang tidak tepat dengan melakukan fogging bukan pada keberadaan vektor nyamuk melainkan habitat yang juga keliru yakni saluran atau got diluar rumah, selain itu bau yang tidak enak serta sisa-sisa (residu) dari insektisida malation
banyak menempel pada perabot rumah tangga, sehingga
masyarakat/ibu-ibu rumah tangga melarang petugas untuk menyemprot
dalam
rumah. Disamping itu pula masyarkat banyak menggunakan insektisida rumah tangga guna mengendalikan nyamuk. Kemampuan petugas pelaksana dilapangan sangat minim pengetahuan tentang bioekologi vektor, sehingga faktor-faktor lingkungan fisik yang dapat memberikan pengaruh secara langsung maupun tidak langsung pada saat penyemprotan kurang menjadi perhatian yang serius, akibatnya keberhasilan dari pengendalian ini kurang efektif dan efisien. Hal tersebut diatas saling berkaitan dalam melaksanakan fogging dan yang paling memegang peranan adalah tenaga operasional dilapangan yang perlu mendapat pelatihan tentang bioekologi dan cara-cara pengendalian yang sesuai standar operasional. Pelaksanakan fogging seharusnya dilakukan pada pagi/sore hari, hal ini dimaksudkan agar 1). Tepat pada saat puncak aktifitas vektor, 2). Mencegah penguapan droplet/partikel insektisida akibat udara yang panas serta mengurangi terbuangnya partikel insektisida akibat hembusan angin yang kencang. Faktor lain adalah perubahan gaya hidup masyarakat menjadikan perubahan perilaku sehingga kurang memperhatikan kebersihan lingkungan misalnya membuang sampah-sampah berupa gelas plastik, botol plastik, kaleng bekas tersebut sembarangan, menampung persediaan air dalam berbagai wadah. Dengan pola perubahan seperti ini dapat memberikan dampak yakkni semakin bertambahnya habitat perkembangbiakan serangga vektor. Hal tersebut didukung oleh kemajuan teknologi sehingga lingkungan kurang mendapat perhatian dan pada akhirnya alternatif yang diinginkan oleh masyarakat dalam pengendalian serangga vektor adalah fogging yang dianggap cepat dan praktis. Pengendalian vektor DBD
41
dengan insektisida merupakan cara pengendalian yang populer khusus saat outbreak di wilayah endemis guna menurunkan kepadatan populasi vektor dalam waktu relatif singkat, sehingga rantai penularan penyakit terputus (WHO. 2001; Kusriastuti et al. 2005). Selain faktor-faktor diatas, ada beberapa faktor yang memicu laju resistensi yakni faktor genetik, faktor ekologi dan faktor fisiologi yang saling berkaitan (Tarumingkeng, 1992), misalnya faktor genetik pada populasi nyamuk A.aegypti mempunyai gen R yang intermediate (Brown dan pal, 1971; Wood dan Mani, 1981), sehingga setelah beberapa generasi daya guna insektisida akan semakin menurun sebab serangga yang menjadi sasaran semakin toleran terhadap insektisida tersebut.
42
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan Berdasarkan nilai RR95 = 5,576 maka nyamuk A.aegypti yang berasal dari ketiga lokasi pengamatan tidak terindikasi resisten, sedangkan menurut standar WHO, pada masa kontak 60 menit, pengamatan 24 jam persentase kematian nyamuk pada lokasi kasus tinggi adalah 85% menunjukkan populasi nyamuk sudah toleran terhadap malation 5%. 5.2. Saran Penggunaan insektisida harus memperhatikan tatalaksana fogging dan rotasi insektisida dari golongan yang berbeda serta perlu penelitian serupa untuk mengetahui status kerentanan serangga lain sebagai pembanding.
43
DAFTAR PUSTAKA
Abedi, Z. H, J. R. Dufty dan A. W. A. Brown. 1963. Dehydrochlorination and DDT resistance ini Aedes aegypti. J Econ Entomol. 56 : 511-517. Agustina. 2006. Studi Preferensi Tempat Bertelur dan Berkembang Nyamuk dan Jentik Nyamuk Aedes aegypti pada Air Terpolusi (Tesis) Pascasarjana IPB. Bogor. Anonim. 2009. Peta Kota Surabaya. Profil Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Bainbridge, C. A, P. Margham dan M. Thomas. 1982. Diurnal fluctuation in susceptibility to insecticide in several straina of yellow fever mosquito (Aedes aegypti). Pestic. Sci. 13 : 92-96. Barson, G. 1983. The effects of temperature and humidity on the toxicity of three organophosphorus insecticide to adult Oryzaephyllus surinamensis (L). Pestic. Sci. 14 : 145- 152. Bishop, J. A. 1982. The neo_ Darwinian theory and pesticide resistance. Pestic. Sci. 13 : 97 – 103. Brown, A. W. Q dan R. Pal. 1971. Insecticide Resistance in Arthropoda. WHO. Geneva, 491 hal. Chan, T. C, B. C. Ho dan K. L.Chan. 1971. Aedes aegypti and Aedes albopictus in Singapore City in relation to denque haemorragic fever. Bull. WHO. 44: 651657. Chen, W. J, H. L. Wei, E.L.Hsu dan E. R. Chen. 1993. Vector competence of Aedes albopictus and Aedes aegypti (Diptera : Culicidae) to dengue 1 virus on Taiwan development of the virus in orally and parenterally infected mosquitoes. J Med Entomol. 30(3):524-530. Christopher, S. S. R. 1960. Aedes aegypti (L) The Yellow Fever Moquito. Cambridge At the Univ. Press. London. 739 hal. Cox, C. 2003. Insecticide factsheet malathion, Journal of pesticide reform. 23:1-4 Davidson, G. 1958. Studies on insecticide resistance in Anophelin mosquitoes. Bull. WHO. 18 : 579 – 621. [DEPKES] Departemen Kesehatan R.I. 1982. Sistem Kesehatan Nasional. 2nd Ed. Jakarta. 65 hal.
44
[DEPKES] Departemen Kesehatan R.I. 1986. Petunjuk Melakukan Macam-macam Uji Entomologi yang Diperlukan untuk Menunjang Operasional Program Pemberantasan Penyakit Ditularkan Serangga Ed.II. September. 40 hal. [DEPKES] Departemen Kesehatan R.I. 2002. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Dit.Jen. PPM & PL). Pedoman Survei Entomologi Demam Berdarah Dengue. [DEPKES] Departemen Kesehatan R.I. 2004. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue, Petunjuk Lengkap Terjemahan dari WHO Regional Publication SEARO no. 29 ”Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. [DEPKES] Departemen Kesehatan R.I. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Dir.Jen. PP & PL. Jakarta. [DEPKES] Departemen Kesehatan R.I. 2007. Media Komunikasi Pokjanal dan Pokja DBD. No.16. Th. XI. Okt-Nov. 16 hal. [DINKES] Dinas Kesehatan Kota Surabaya. 2009. Laporan Tahunan Kasus Demam Berdarah (tidak dipublikasikan). Subdin. P2M & PLP. Surabaya. Direktorat Jenderal PPM & PLP. 1986. Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah. 26 hal. Direktorat Jenderal PPM & PLP. 1990. Survey Entomologi Demam Berdarah Dengue. 43 hal. Finney, D. J. 1964. Statistical methods in bio-assay. Compton Printing LTD., London, 668 hal. Foley, T. D. 2005. Biochemical toxicology of insecticides: The road towards reduced-risk insecticides, Chemistry Departement, University of Scranton. Georghiou, G. P. dan N. Pasteur. 1978. Electrophoretic esterase patterns in insecticide-resistant and susceptible mosquito. J. Econ. Entomol. 71 : 201 205. Georghiou, G. P. 1983. Pesticide resistance in time and space. In: Georghiou, G.P, Saito T, Editors: Pest resistance to pesticide. New York. Plenum Press: 1-46 hal Gubler, D. J., S. S. Soeharyono, H. Kalim dan S. Nalim. 1978. Studies on DHF in Indonesia Dengue Newsletter. 4(1) hlm.
Gunandini, D. J. 2002. Kemampuan Hidup Populasi Alami Nyamuk Aedes aegypti
45
(Linn) yang Diseleksi Malation pada Stadium Larva [Disertasi]. Pascasarjana ITB. Bandung. Gould, D. J, G. A Mount, J. E Scanlon, H. R Ford and M. F Sullivan. 1970. Ecology and control of dengue vectors on an island in the Gulf of Thailand. J. Med. Entomol: 499 hal. Hammon, W. 1973. DHF-Dowe know its cause. Amer. J. Trop. Med. Hyg. 22(1) :82-91. Hemingway, J. dan G. P. Georghiou. 1983. Studies on the acetylcholinesterase of Anopheles albimanus resistant and carbamate insecticides. Pestic. Biochem. Physiol. 19 : 167 -177. Hoedojo, R. 1993. DHF vector and its control efforts. Maj. Parasitol. Ind. 6(1):3145. Horsfall, W. R. 1955. Mosquito their bionomic and relation to Disease. The Ronald Press Company. New York. 723 hal. Hsiech, W. C, M. F. Chen, K. T. Lin dan S. S. Wu. 1982. Study of outbreak of dengue fever on Liouchyou Shiang Pingtung Country in 1981. J Formoson Med. Assoc. 81 : 1388 – 1395. Jackson dan Johnson D.E. 1987. Entomocidal activity of crystal proteins from Bacillus thuringiensis toward cultured insect cells. dalam: K. Maramorosch (ed). Biotechnology in invertebrate pathology and cell culture. Academic Press, Inc. New York. 511 hal. Jawetz, E. 1982. Microbiology Lange Medical. Publ. California. hal: 475-532. Kettle, D. S. 1984. Medical and Veterinary Entomology, a wiley-Inter Science Publ, New York, hal: 99-136. Kho, L. K, H Wulur Karsono A, Thaib S. 1969. Dengue haemorrhagic fever in Djakarta. Maj Kedok Indo. 19:417-420 hal. Kimura, T dan A. W. A. Brown. 1964. DDT dehydrochlorinase in Aedes aegypti. J. Econ. Entomol. 57: 710-716 hal. Krupp, M. A and M. J. Chatton. 1976. Current Medical Diagnosis and Treatment. Maruzen Co. Ltd. Tokyo. 1055 hal. Kusriastuti R dan Sumengen S. 2005. Evolution of Denque Prevention and Control Programme in Indonesia. Denque Bulletin. Vol 29:1-7. Lima, J. B. P., Da-Cunha, M. P., Da Silva, R. C, Galardo., A. K. R, Soares, S. D., Braga, I. A., Ramos, R. P., Valle, D. 2003. Resistance of Aedes aegypti to
46
organophosphat in several municipalities in the state of Rio de Janeiro and Espirito Santo, Brazil. Amer. J. Trop. Med. Hyg. 68:329-333. Lien, J. C, L. Kusman, F. Partono, A. Joesoef, E. Kosim and J. H. Cross. 1975. A brief survey of mosquitoes in North Sumatra Indonesia. J. Med. Entomol. (2):233-239. Macnair, M. R. 1981. Tolerance of higher plants to toxic materials dalam J.A. Bishop dan L.M. Cook (ed.s) Genetic consequences of man made change. Academic Press, London. 409 hal. Mardihusodo, S. J. 1995. Analisis Uji Mikroplat terhadap Potensi Resistensi Insektisida organophosphate pada Aedes aegypti di Kotamadya Yogyakarta, Indonesia. Ilmu Kedokteran. XXVII (2). http://www.google.com [29 Mar 2010] Marisa, 2007. Toleransi Larva dan Nyamuk Aedes aegypti Terhadap Temefos dan Malation di Wilayah Endemik Kel. Duren Sawit Jakarta Timur [Tesis]. Pascasarjana. IPB. Bogor. Margham, J. P. dan J. O. M. Thomas. 1980. Weight related susceptibility to an insecticide in Tribolium casteneum (Herbs) (Coleoptera: tenebrionidae). J Stored Prod. 16 : 33 – 38. Matsumura, F. 1975. Toxicology of insecticides. 2nd Ed. Plenum Press. New York: 598 hal. Metcalf, R. L. dan W. H. Luckmann. 1975. Introduction to Insect pest management. John Wiley & Sons. Toronto. 586 hal. O’Brien, R. D. 1967. Insecticides action and metabolism. Academic Press. New York. 332 hal. Ogushi, K, T. Takumitsu dan T. Iwata. 1968. Studies on evaluation of insecticides (I) Effect of temperature on toxicity of several insecticides to larvae of Culex pipiens. J Sanit. Zool. 19(2) : 101 -104. Perry, A. S, L. Yamamoto, I. Ishaya, I. R.Y Perry. 1998. Insecticide in agriculture and environment. Spinger, Berlin. 52-63 hal. Plapp, F. W. 1970. On moleculer biology of insecticide resistance dalam: R. D. O’Brien (ed.) Biochemical Toxicology of Insecticides. Academic Press, New York, hal. 179-192. Ponlawat, P, J. G Scott, L. Harrington. 2005. Insecticide susceptibility of Aedes aegypti and Aedes albopictus across Thailand. J. Med. Entomol. 42(5);821825.
47
Ramalingam, S. 1974. A brief mosquitoes survey of Java dokumen, WHO/VBC/74. 540 hal. Rathor, H. R. dan R. J. Wood. 1981. In-vivo and in-vitro studies on DDT uptake and metabolism in susceptible and resistant strains of mosquito Aedes aegypti L. Pestic. Sci. 12:255-264. Rosen, P. 1967. The susceptibility of Culex pipiens fatigans larvae to insecticides in Rangoon, Burma. Bull. Wld. Hlth. Org. 67 :301 -310. Sasmito, A. 2007. Informasi Meteorologi untuk peringatan Dini DBD di wilayah Surabaya dalam seminar sehari pemanfaatan informasi Meteorologi untuk bidang Kesehatan. Jakarta, 51 hal. Shinta, Supratman S, M. Soekirno dan Y. Ariati. 2006. Uji kerentanan vektor Demam Berdarah dengue Aedes aegypti terhadap organophosphat dan pyretroid di delapan Kecamatan Endemis DBD di DKI Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. (Laporan Penelitian). Balitbangkes. Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan. Jakarta. Soedarmo, S. S. P. 1988. Demam Berdarah Dengue pada Anak. UI Press. Jakarta. 227 hal. Soegijanto S, 2003. Demam Berdarah Dengue. Surabaya, Airlangga University Press. 1nd Ed : 101 hal. Soekirno, M., Supratman, S., Suyitno, Lestari, W. E dan Mardiana. 1990. Uji Kerentanan Nyamuk Aedes aegypti dari 4 kota di Indonesia terhadap malation. (Laporan Penelitian). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Pusal Penelitian Ekologi Kesehatan. Jakarta. Sulianti, A dan Agoes R. 2008. Uji resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap malation di kota Bandung. MKB. Vol.35(3). Suharyono, W. 1990. Pengamatan Virus Dengue dan Penderita Demam Berdarah Dengue di Indonesia 1975-1978. Dalam proceeding Seminar and Workshop the Aspect of Dengue haemorragic Fever and Its Control. Jakarta, 49-58. Suroso, T. 1991. Kebijakan dan Pokok-pokok Program P2 DBD di Indonesia. Dir.Jen P2M & PL. Subdit Arbovirosis. 1-12 hal. Taboada, O. 1967. Medical entomology for student. Naval Medical School. Bethesda, Maryland. 395 hal. Tarumingkeng, R. C. 1992. Insektisida Sifat, Mekanisme, Kerja dan Dampak Penggunaannya. Ukrida Press. Jakarta. 250 hal.
48
Untung, K. 2004. Ketika Larva dan Nyamuk Dewasa sudah Kebal Terhadap Insektisida. Farmacia. Vol.7 (7):1-12 http://www.google.com.htlm [29 Mar 2010]. Villee, C. A. 1957. Biology. W. B. Saunders Co., Philadelphia, 3 nd Ed, 615 hal. Wood, R. J. 1981. Insecticide resistance : Genes mechanism dalam J.A Bishop dan L. M. Cook (ed.s) Genetic Consequences of Man Made Change. Academic Press, London. 409 hal. Wood, R. J. dan J. A. Bishop. 1981. Insecticide resistance population and evolution dalam J. A Bishop dan l. M. Cook (ed.s) Genetic Consequences of Man Made Change. Academic Press, London. 409 hal. Wood, R. J. dan G. S. Mani. 1981. The effective dominance of resistance. Pestic . Sci. 12 : 157-158. WHO. 1975. Instruction for determining the susceptibility or resistance of adult mosquitos to organophosphorus and carbamate insecticides. WHO/VBC/75. 582. 7 hal. WHO. 1976. Resistance of disease vector to pesticides. WHO/VBC/76. 609. 9 hal. WHO. 1980. Resistance od vectors of desease to pesticides. WHO, Geneva, 82 hal. WHO. 1986. Dengue Haemorrhagic Fever Control Program in Singapore, A. case study on the successful control of Aedes aegypti and Aedes albopictus using mainly environmental measure as a part of integrated vector control. 38 hal. WHO. 2001. Dengue haemorrhagic fever prevention and control. WHO Regional office for South East Asia, New Dehli. hal: 1-33.
49
Lampiran 1 Jumlah penduduk dan luas wilayah Kota Surabaya tahun 2008 No.
Kecamatan
Luas wilayah (km2)
Jumlah Penduduk
9.23
118.557
1.
Sukomanunggal
2.
Tandes
11.07
103.061
3.
Asemrowo
15.44
40.732
4.
Benowo
23.74
38.297
5.
Pakal
22.05
35.666
6.
Lakarsantri
17.77
39.688
7.
Sambi Kerep
18.71
46.694
8.
Genteng
4.04
60.105
9.
Tegalsari
4.29
103.066
10.
Bubutan
3.86
96.909
11.
Simokerto
2.59
93.048
12.
Pabean Cantikan
6.80
80.215
13.
Semampir
8.76
170.318
14.
Krembangan
8.34
126.267
15.
Kenjeran
5.80
28.968
16.
Bulak
8.62
116.434
17.
Tambaksari
8.99
208.288
18.
Gubeng
7.99
146.646
19.
Rungkut
21.08
122.715
20.
Tenggilis Mejoyo
5.52
83.911
21.
Gunung Anyar
9.71
56.301
22.
Sukolilo
23.69
110.435
23.
Mulyorejo
6.93
94.051
24.
Sawahan
8.47
208.156
25.
Wonokromo
14.21
161.963
26.
Karang Pilang
9.23
78.819
27.
Dukuh Pakis
9.94
63.126
28.
Wiyung
12.46
57.098
29.
Gayungan
6.07
43.928
30.
Wonocolo
6.78
90.049
31.
Jambangan
4.19
43.264
326.37
2.866.841
Jumlah
Sumber: Profil Laporan Tahunan Dinas Kes. Kota Surabaya
50
Lampiran 2 Jumlah Kasus DBD Per Kelurahan Kota Surabaya Tahun 2005-2008 No Kecamatan / Kelurahan 1. KEC. SUKOMANUNGAL : 1. Tanjung sari 2. Sonokwijenan 3. Putat Gede 4. Simomulyo 5. Sukomanunggal 2. KEC. TANDES : 1. Manukan Kulon 2. Manukan Wetan 3. Banjar Sugihan 4. Buntaran 5. Tubanan 6. Balongsari 7. Tandes Lor 8. Tandes Kidul 9. Bibis 10. Gedangasin 11. Gadel 12. Karang Poh 3. KEC. ASEMROWO : 1. Asemrowo 2. Genting 3. Kalianak 4. Greges 5. Tambak Langon 4. KEC. BENOWO : 1. Klakah Rejo 2. Sememi 3. Kadangan 4. Romokalisari 5. Tambakoso Wilangon 5. KEC. PAKAL : 1. Babat Jerawat 2. Pakal 3. Benowo 4. Sumber Rejo 5. Tambak Dono 6. KEC. LAKARSANTRI : 1. Jeruk 2. Lakarsantri 3. Lidah Kulon 4. Lidah Wetan 5. Sumur Welut 6. Bangkingan
2005 2006 2007 2008 Rata2 15 0 6 56 9
21 14 6 107 15
18 19 10 52 16
18 4 1 53 12
18 9.25 5.75 67 13
49 7 5 2 1 9 2 4 2 0 8 4
101 7 15 2 21 21 8 7 3 1 8 12
83 8 16 0 3 14 6 11 4 2 9 8
59 7 5 2 1 22 5 7 7 4 8 6
73 7.25 10.25 1.5 6.5 16.5 5.25 7.25 4 1.75 8.25 7.5
26 1 4 4 0
49 7 1 4 5
31 9 7 1 3
36 6 0 4 0
35.5 5.75 3 3.25 2
2 9 16 0 2
7 26 19 0 0
4 23 35 0 0
3 18 4 1 1
4 19 18.5 0.25 0.75
11 9 5 1 0
11 4 11 5 0
17 8 9 4 0
11 4 8 7 1
12.5 6.25 8.25 4.25 0.25
0 11 6 11 0 1
3 10 12 9 3 4
15 11 23 20 3 16
17 25 8 5 0 5
8.75 14.25 12.25 11.25 1.5 6.5
51
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
KEC. SAMBI KEREP : 1. Sambikerep 2. Beringin 3. Made 4. Lontar KEC. GENTENG 1. Peneleh 2. Genteng 3. Kapasari 4. Ketabang 5. Embong Kaliasin KEC. TEGALSARI : 1. Kedungdoro 2. Tegalsari 3. Dr. Soetomo 4. Wonorejo 5. Keputran KEC. BUBUTAN : 1. Alon-Alon Contong 2. Tembok Dukuh 3. Jepara 4. Gundih 5. Bubutan KEC. SIMOKERTO : 1. Tambakrejo 2. Kapasan 3. Simokerto 4. Simolawang 5. Sidodadi KEC. PAB.CANTIKAN : 1. Nyamplungan 2. Bongkaran 3. Krembangan Utara 4. Perak Utara 5. Perak Timur KEC. SEMAMPIR : 1. Pegirian 2. Ujung 3. Sidotopo 4. Ampel 5. Wonokusumo KEC. KREMBANGAN : 1. Krembangan Selatan 2. Kemayoran 3. Perak Barat 4. Morokrembangan 5. Dupak
17 1 6 22
10 11 4 46
30 4 7 47
16 4 6 24
18.25 5 5.75 34.75
33 7 32 18 44
35 9 30 32 16
21 17 5 23 1
30 10 9 16 3
29.75 10.75 19 22.25 16
27 22 19 12 6
43 19 32 23 11
40 20 30 38 24
13 5 10 6 7
30.75 16.5 22.75 19.75 12
9 25 22 26 11
16 39 52 28 15
7 33 49 32 26
5 23 11 25 4
9.25 30 33.5 27.75 14
41 22 36 16 7
32 12 37 23 14
16 16 28 12 4
20 6 19 10 3
27.25 14 30 15.25 7
11 13 10 16 13
11 6 25 51 26
9 5 20 33 23
4 4 12 24 11
8.75 7 16.75 31 18.25
42 31 40 8 57
41 27 37 27 49
33 13 29 18 31
26 17 16 15 66
35.5 22 30.5 17 50.75
21 29 24 57 23
35 56 42 49 53
23 17 21 39 28
16 23 13 21 12
23.75 31.25 25 41.5 29
52
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
KEC. KENJERAN : 1. Tanahkali Kedinding 2. Sidotopo Wetan 3. Bulak Banteng 4. Tambak Wedi KEC. BULAK : 1. Kedung Cowek 2. Komplek kenjeran 3. Kenjeran 4. Bulak 5. Sukolilo KEC. TAMBAKSARI : 1. Tambaksari (Pusk) 2. Rangkah 3. Ploso 4. Pacar Keling (Pusk) 5. Pasar Kembang 6. Gading ( Pusk) KEC. GUBENG : 1. Pucang Sewu 2. Kertajaya 3. Baratajaya 4. Mojo 5. Airlangga 6. Gubeng KEC. RUNGKUT : 1. Kalirungkut 2. Rungkut Kidul 3. Kedung Baruk 4. Medokan Ayu 5. Penjaringan Sari 6. Wonorejo KEC. TENGGILIS MEJOYO 1. Panjang Jiwo 2. Prapen 3. Tenggilis Mejoyo 4. Kendangsari 5. Kutisari KEC. GUNUNG ANYAR : 1. Gununganyar Tambak 2. Gunung Anyar 3. Rungkut Menanggal 4. Rungkut Tengah KEC. SUKOLILO : 1. Menur Pumpungan 2. Nginden Jangkungan 3. Semolowaru 4. Medokan semampir
42 63 14 5
39 58 18 7
28 82 16 3
24 43 7 6
33.25 61.5 13.75 5.25
0 3 7 23 1
1 8 8 30 6
1 4 6 6 3
0 4 8 6 1
0.5 4.75 7.25 16.25 2.75
15 29 25 20 38 100
49 34 65 43 61 126
20 20 43 30 61 62
14 4 17 12 38 42
24,5 21,75 37,5 26,25 49,5 82,5
13 28 7 35 23 16
22 51 35 63 19 18
25 22 23 38 18 20
8 9 14 34 12 3
17 27,5 19,75 42,5 18 14,25
19 18 13 17 4 4
51 26 17 24 28 7
30 36 13 36 20 12
30 15 12 28 28 4
32,5 23,75 13,75 26,25 20 6,75
6 4 9 11 10
17 6 29 35 35
11 10 23 16 27
9 5 17 24 28
10,75 6,25 19,5 21,5 25
3 17 28 10
6 32 37 17
5 18 25 10
7 31 21 15
5,25 24,5 27,75 13
9 8 10 11
29 13 26 19
24 14 24 8
6 9 16 14
17 11 19 13
53
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
5. Klampis Ngasem 6. Gebang Putih 7. Keputih KEC. MULYOREJO : 1. Mulyorejo 2. Manyar sabrangan 3. Kejawan Putih 4. Kalisari 5. Dukuh Sutorejo 6. Kalijudan KEC. SAWAHAN : 1. Sawahan 2. Petemon 3. Putat Jaya (pusk) 4. Pakis 5. Banyu Urrip 6. Kupang Krajan KEC. WONOKROMO : 1. Jagir 2. Darmo 3. Sawunggaling 4. Wonokromo 5. Ngagel Rejo 6. Ngagel. KEC. KARANG PILANG 1. Kedurus 2. Kebraon 3. Warugunung 4. Karangpilang KEC. DUKUH PAKIS : 1. Dukuh Kupang 2. Dukuh Pakis 3. Gunung Sari 4. Pradah Kali Kendal KEC. WIYUNG : 1. Wiyung 2. Babadan 3. Jajar Tunggal 4. Balas Klumprik KEC. GAYUNGAN : 1. Gayungan 2. Dukuh Menanggal 3. Mananggal 4. Ketintang KEC. WONOCOLO : 1. Jemur Wonosari 2. Siwalankerto 3. Sidosermo
5 3 7
32 8 20
14 5 6
14 6 6
16,25 5,5 9,75
18 11 9 6 10 3
22 22 3 16 15 10
13 20 8 7 19 16
19 4 4 10 11 10
18 14,25 6 9,75 13,75 9,75
10 31 62 38 29 29
35 65 74 57 54 35
17 48 59 39 27 18
19 32 38 25 30 15
20,25 44 58,25 39,75 35 24,25
1 2 7 20 36 8
24 13 12 69 106 8
4 18 13 17 33 10
1 5 8 16 30 0
7,5 9,5 10 30,5 51,25 6,5
23 16 11 5
19 55 3 8
29 48 13 12
27 28 2 2
24,5 36,75 7,25 6,75
21 15 10 20
30 19 9 13
54 22 11 13
18 11 14 9
30,75 16,75 11 13,75
16 31 8 5
38 45 24 15
21 35 10 7
10 30 10 6
21,25 35,25 13 8,25
8 8 1 22
21 18 22 47
13 6 23 26
13 4 8 15
13,75 9 13,5 27,5
24 16 13
31 28 22
32 26 13
14 14 4
25,25 21 13
54
31.
4. Bendul Merisi 5. Margorejo KEC. JAMBANGAN : 1. Kebonsari 2. Jambangan 3. Pagesangan 4. Karah Jumlah
19 12
26 22
13 17
8 7
13 43 24 12 14 11 15 6 0 15 21 7 5 16 21 12 2568 4187 3214 2169
16,5 14,5 23 11,5 10,75 13,5
Sumber: Laporan Tahunan DinKes Kota Surabaya pada Sub. Din. PPM dan PLP.
55
Lampiran 3. Peta Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Surabaya
Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kota Surabaya . 2009.
Keterangan ; Batas wilayah kecamatan Kecamatan Pakal Kecamatan Bulak Kecamatan Wiyung Kecamatan Wonocolo Kecamatan Tambaksari Kecamatan Sawahan
56
Lampiran 4. Gambar Lokasi Penelitian di Kota Surabaya
57
Lampiran 5. Alat Susceptibility test kit (WHO).
58
Lampiran 6. Pelaksanaan uji kerentanan nyamuk A. aegypti insektarium PEK
A. Nyamuk dimasukkan dalam tabung penyimpanan (holding tube)
B. Nyamuk dalam tabung penyimpanan (holding tube)
C. Nyamuk ditiup pelan-pelan ke tabung kontak (exposure tube)
D. Menghitung waktu kontak
59
E. Tabung kontak (exposure tube)
F. Memindahkan nyamuk ke tabung kontak (exposure tube) bertanda merah
60
Lampiran 7. Regression Analysis kematian pada Kasus tinggi vs Lama Kontak (x) The regression equation is kematian pada kasus Tinggi (Y) = - 6.87 + 1.40 X Predictor Constant X
Coef SE Coef T P -6.870 7.544 -0.91 0.379 1.4044 0.2049 6.85 0.000
S = 15.7549 R-Sq = 78.3% R-Sq(adj) = 76.7% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 11657 11657 46.96 0.000 Residual Error 13 3227 248 Total 14 14883 Durbin-Watson statistic = 2.01378 Residual Plots for Y Tinggi Normal Probability Plot
Versus Fits
99
30 Residual
Percent
90 50 10 1
15 0 -15 -30
-40
-20
0 Residual
20
40
0
20
30
3
15
2 1 0
60
80
Versus Order
4 Residual
Frequency
Histogram
40 Fitted Value
0 -15 -30
-30
-20
-10
0 10 Residual
20
30
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15
Observation Order
Persamaan regresi yang diperoleh yaitu kematian pada kasus tinggi (Y) = -6.87 + 1.40 lama kontak (x) Karena p-value = 0.000 < α = 0.05 maka tolak Ho. Lama kontak berpengaruh nyata terhadap kematian nyamuk pada kasus tinggi. 1. Asumsi kenormalan Sisaaan Ho : sisaan menyebar normal H1 : Sisaan tidak menyebar normal.
61
Probability plot tinggi Normal 99
Mean StDev N KS P-Value
95 90
-1,27898E-14 15,18 15 0,104 >0.150
Percent
80 70 60 50 40 30 20 10 5
1
-40
-30
-20
-10
0 RESI3
10
20
30
40
Karena pvalue > α = 0.05 maka terima Ho. Asumsi sisaan menyebar normal terpenuhi 2. Asumsi homogenan Ragam Sisaan Ho : ragam sisaan homogen H1 : ragam sisaan tidak homogen Resi Tinggi Bartlett's Test
0.1523
Test Statistic P-Value
4,69 0,196
Lev ene's Test Test Statistic P-Value
FITS3
14.1963
35.2623
56.3283
77.3942 0 50 100 150 200 250 300 350 95% Bonferroni Confidence Intervals for StDevs
3. Asumsi Kebebasan Sisaan H0 : Sisaan saling bebas H1 : Sisaan tidak saling bebas Durbin-Watson statistic = 2.01378
62
0,49 0,741
Lampiran 8. Regression Analysis kematian pada Kasus sedang vs lama kontak (x) The regression equation is Kematian pada kasus sedang (Y) = 3.80 + 1.920 lama kontak (x) Predictor Constant X
Coef SE Coef T P 3.80 10.36 0.37 0.720 1.9205 0.2814 6.82 0.000
S = 21.6368 R-Sq = 78.2% R-Sq(adj) = 76.5% Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF SS MS F P 1 21797 21797 46.56 0.000 13 6086 468 14 27883
Durbin-Watson statistic = 0.850936 Residual Plots for Y Sedang Normal Probability Plot
Versus Fits
99
40 20
Residual
Percent
90 50
0
10 1
-20 -50
-25
0 Residual
25
50
0
30
60 Fitted Value
120
Versus Order
4
40
3
20
Residual
Frequency
Histogram
90
2
0
1 -20 0
-20
-10
0 10 Residual
20
30
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15
Observation Order
Persamaan regresi yang diperoleh yaitu : Kematian pada Kasus Sedang (Y) = 3.80 + 1.920 Lama Kontak (x) Karena Pvalue = 0.000 < α = 0.05 maka tolak H0. Lama kontak berpengaruh nyata terhadap kematian nyamuk pada kasus sedang. 1. Asumsi Kenormalan Sisaan H0 : Sisaan menyebar normal H1 : Sisaan tidak menyebar normal
63
Probability Plot of RESI2 Normal 99
Mean StDev N KS P-Value
95 90
-2.72375E-15 4.170 15 0.176 >0.150
Percent
80 70 60 50 40 30 20 10 5
1
-10
-5
0 RESI2
5
10
Karena pvalue > α = 0.05 maka terima H0. Asumsi sisaan menyebar normal terpenuhi. 1.
Asumsi Kehomogenan Ragam Sisaan H0 : Ragam sisaan homogen H1 : Ragam sisaan tidak homogen Test for Equal Variances for RESI2 F -Test 2.6802
Test Statistic P-Value
FITS2
6.5212
19.00 0.100
Lev ene's Test
12.2826
Test Statistic P-Value
18.0440
2.94 0.076
23.8054 0
5 10 15 20 9 5 % Bonfer r oni Confidence Inter vals for StD evs
25
2.6802 FITS2
6.5212 12.2826 18.0440 23.8054 -5.0
-2.5
0.0
2.5 RESI2
5.0
7.5
Karena pvalue = 0.076 > α = 0.05 maka terima H0. Asumsi kehomogenan ragam sudah terpenuhi. 2. Asumsi Kebebasan Sisaan H0 : Sisaan saling bebas H1 : Sisaan tidak saling bebas Durbin-Watson statistic = 0.850936
64
Lampiran 9. Regression Analysis kematian pada kasus rendah vs lama kontak (x) The regression equation is Kematian pada kasus Rendah (Y) = 30.1 + 1.44 lama kontak (x) Predictor Constant X
Coef 30.055 1.4391
SE Coef 9.789 0.2659
T P 3.07 0.009 5.41 0.000
S = 20.4449 R-Sq = 69.3% R-Sq(adj) = 66.9% Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF SS MS F P 1 12239 12239 29.28 0.000 13 5434 418 14 17673
Durbin-Watson statistic = 0.601913 Residual Plots for Y Rendah Normal Probability Plot
Versus Fits
99 20 Residual
Percent
90 50 10 1
-50
-25
0 Residual
25
0 -20 -40
50
40
60
Histogram
120
20
3
Residual
Frequency
100
Versus Order
4
2 1 0
80 Fitted Value
-30
-20
-10
0 10 Residual
20
0 -20 -40
30
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15
Observation Order
Persamaan regresi yang diperoleh yaitu Kematian pada Kasus rendah (Y) = 30.05 + 1.439 Lama Kontak (x) Karena Pvalue = 0.000 < α = 0.05 maka tolak H0. Lama kontak berpengaruh nyata terhadap kematian nyamuk pada kasus rendah. 1.
Asumsi Kenormalan Sisaan H0 : Sisaan menyebar normal H1 : Sisaan tidak menyebar normal
65
Probability Plot of RESI3 Normal 99
Mean StDev N KS P-Value
95 90
-5.56592E-15 3.940 15 0.168 >0.150
Percent
80 70 60 50 40 30 20 10 5
1
-10
-5
0 RESI3
5
10
Karena pvalue > α = 0.05 maka terima H0. Asumsi sisaan menyebar normal terpenuhi. 2. Asumsi Kehomogenan Ragam Sisaan H0 : Ragam sisaan homogen H1 : Ragam sisaan tidak homogen Test for Equal Variances for RESI3 Bartlett's Test
7.4501
Test S tatistic P-Value
0.16 0.923
Lev ene's Test Test S tatistic P-Value
FITS3
10.3283
0.92 0.489
14.6455
18.9628
23.2800 0
5 10 15 20 25 95% Bonferroni Confidence Intervals for StDevs
Karena pvalue = 0.489 > α = 0.05 maka terima H0. Asumsi kehomogenan ragam sudah terpenuhi. 3. Asumsi Kebebasan Sisaan H0 : Sisaan saling bebas H1 : Sisaan tidak saling bebas Durbin-Watson statistic = 0.601913
66
Lampiran 10. Regression Analysis kematian nyamuk strain Liverpool vs lama kontak (x) The regression equation is Kematian strain Liverpool (Y) = 20.7 + 1.65 lama kontak (x) Predictor Constant X
Coef 20.66 1.6455
SE Coef 11.21 0.3046
T P 1.84 0.088 5.40 0.000
S = 23.4204 R-Sq = 69.2% R-Sq(adj) = 66.8% Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 13 14
SS MS F P 16003 16003 29.17 0.000 7131 549 23133
Durbin-Watson statistic = 0.693816 Residual Plots for Liverpool
Normal Probability Plot
Versus Fits
99
30
10
1
-25
0 Residual
25
50
40
60 80 Fitted Value
100
120
Versus Order 30
2 1 0
0 -15 -30
-50
3 Frequency
15
Histogram
Residual
50
Residual
Percent
90
15 0 -15 -30
-30
-20
-10
0 10 Residual
20
30
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15
Observation Order
Persamaan regresi yang diperoleh yaitu kematian nyamuk strain Liverpool (Y) = 20.66 + 1.646 Lama Kontak (x) Karena Pvalue = 0.000 < α = 0.05 maka tolak H0. Lama kontak berpengaruh nyata terhadap kematian nyamuk pada strain Liverpool. 1.
Asumsi Kenormalan Sisaan H0 : Sisaan menyebar normal H1 : Sisaan tidak menyebar normal
67
Probability Plot of RESI4 Normal 99
Mean StDev N KS P-Value
95 90
-3.55271E-15 4.458 15 0.142 >0.150
Percent
80 70 60 50 40 30 20 10 5
1
-10
-5
0 RESI4
5
10
Karena pvalue > α = 0.05 maka terima H0. Asumsi sisaan menyebar normal terpenuhi. 2.
Asumsi Kehomogenan Ragam Sisaan H0 : Ragam sisaan homogen H1 : Ragam sisaan tidak homogeny Test for Equal Variances for RESI4 F -Test 5.6396
Test Statistic P-Value
FITS4
8.9577
19.00 0.100
Lev ene's Test
13.9349
Test Statistic P-Value
18.9120
2.94 0.076
23.8892 0
5 10 15 20 95% Bonferroni Confidence Intervals for StDevs
25
5.6396
FITS4
8.9577 13.9349 18.9120 23.8892 -5.0
-2.5
0.0 RESI4
2.5
5.0
7.5
Karena pvalue = 0.076 > α = 0.05 maka terima H0. Asumsi kehomogenan ragam sudah terpenuhi. 3.
Asumsi Kebebasan Sisaan H0 : Sisaan saling bebas H1 : Sisaan tidak saling bebas Durbin-Watson statistic = 0.693816
68
Lampiran 11. Persentase kematian nyamuk A. aegypti pada Lokasi Tinggi, Sedang , Rendah dan strain Liverpool dengan waktu kontak terhadap malation 5% Ulangan 1 2 3 Rerata
Ulangan 1 2 3 Rerata
Ulangan 1 2 3 Rerata
Ulangan 1 2 3 Rerata
Ulangan 1 2 3 Rerata
Waktu kontak 5 menit/strata Tinggi (%) 0 0 0 0
Sedang (%) 0 0 0 0
Rendah (%) 20 10 5 12
Waktu kontak 15 menit/strata Tinggi (%) 45 5 5 18
Sedang (%) 35 25 10 23
Rendah (%) 55 75 70 67
Waktu kontak 30 menit/strata Tinggi (%) 50 50 5 35
Sedang (%) 95 95 95 95
Rendah (%) 100 85 100 95
Waktu kontak 45 menit/strata Tinggi (%) 40 50 45 45
Sedang (%) 100 100 100 100
Rendah (%) 100 100 100 100
Waktu kontak 60 menit/strata Tinggi (%) 90 75 90 85
Sedang (%) 100 95 100 98
69
Rendah (%) 100 100 100 100
Strain Liverpool (PEK) 0 0 0 0
Strain Liverpool (PEK) 65 70 45 60
Strain Liverpool (PEK) 100 100 95 98
Strain Liverpool (PEK) 100 100 100 100
Strain Liverpool (PEK) 100 100 100 100
Lampiran 12. Uji Beda Nyata Duncan Persentase Kematian Nyamuk Lama Kontak 5 menit Dependent Variable: respon Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
306.2500000
102.0833333
7.00
0.0126
Error
8
116.6666667
14.5833333
11
422.9166667
Corrected Total
Karena pvalue = 0.0126 <α = 0.05 maka model berpengaruh nyata terhadap persentase kematian nyamuk. R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon Mean
0.724138
130.9307
3.818813
2.916667
karena nilai koefisien keragaman (coeff var) sangat besar maka perlu ditransformasi Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
306.2500000
102.0833333
7.00
0.0126
kasus Source kasus
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
306.2500000
102.0833333
7.00
0.0126
Karena pvalue = 0.0126 <α = 0.05 maka kasus kematian pada lokasi (rendah, sedang, tinggi, strain Liverpool) berpengaruh nyata terhadap persentase kematian nyamuk pada taraf nyata 5%. Duncan's Multiple Range Test for respon Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Mean Critical Range
0.05 8 14.58333 2 7.190
3 7.493
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N A 11.667 3 B 0.000 3 B 0.000 3 B 0.000 3
70
4 7.662
Strata/lokasi rendah Strain Liverpool sedang Tinggi
Hasil Transformasi persentase kematian nyamuk pada lama kontak 5 menit transformasi ln(y+10) Dependent Variable: respon Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
1.22102500
0.40700833
13.56
0.0017
Error
8
0.24006667
0.03000833
11
1.46109167
Corrected Total
Karena pvalue = 0.0017 <α = 0.05 maka model berpengaruh nyata terhadap persentase kematian nyamuk. R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon Mean
0.835694
6.973330
0.173229
2.484167
83.57% keragaman persentase kematian nyamuk dapat dijelaskan oleh kasus kematian pada lokasi (sedang, rendah, tinggi, strain Liverpool) dalam model. Source kasus
Source kasus
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
1.22102500
0.40700833
13.56
0.0017
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
1.22102500
0.40700833
13.56
0.0017
Karena pvalue = 0.0017 <α = 0.05 maka kasus kematian pada lokasi (rendah, sedang, tinggi, strain Liverpool) berpengaruh nyata terhadap persentase kematian nyamuk pada taraf nyata 5%. Duncan's Multiple Range Test for respon Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Mean Critical Range
2 .3262
0.05 8 0.030008 3 .3399
Means with the same letter are not significantly different Duncan Grouping Mean N A 3.0367 3 B 2.3000 3 B 2.3000 3 B 2.3000 3
71
4 .3476
Strata/lokasi rendah Strain Liverpool sedang tinggi
Lampiran 13. Uji Beda Nyata Duncan Persentase Kematian Nyamuk Lama Kontak 15 menit Dependent Variable: respon Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
5350.000000
1783.333333
7.44
0.0106
Error
8
1916.666667
239.583333
Corrected Total
11
7266.666667
Karena pvalue = 0.0106 <α = 0.05 maka model berpengaruh nyata terhadap persentase kematian nyamuk.
R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon Mean
0.736239
37.14835
15.47848
41.66667
73.62% keragaman persentase kematian nyamuk dapat dijelaskan oleh kasus kematian pada lokasi (sedang, rendah, tinggi, strain Liverpool) dalam model. Source kasus
Source kasus
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
5350.000000
1783.333333
7.44
0.0106
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
5350.000000
1783.333333
7.44
0.0106
Karena pvalue = 0.0106 <α = 0.05 maka kasus kematian pada lokasi (rendah, sedang, tinggi, Strain Liverpool) berpengaruh nyata terhadap persentase kematian nyamuk pada taraf nyata 5%. Duncan's Multiple Range Test for respon Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Mean Critical Range
0.05 8 239.5833 2 29.14
3 30.37
4 31.06
Means with the same letter are not significantly different Duncan Grouping Mean N Strata/Lokasi A 66.67 3 rendah A 58.33 3 Strain Liverpool B 23.33 3 sedang B 18.33 3 tinggi
72
Lampiran 14. Uji Beda Nyata Duncan Persentase Kematian Nyamuk Lama Kontak 30 menit Dependent Variable: respon Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
8425.000000
2808.333333
14.81
0.0012
Error
8
1516.666667
189.583333
Corrected Total
11
9941.666667
Karena pvalue = 0.0012 < α = 0.05 maka model berpengaruh nyata terhadap persentase kematian nyamuk. R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon Mean
0.847443
17.03372
13.76893
80.83333
84.74% keragaman persentase kematian nyamuk dapat dijelaskan oleh kasus kematian pada lokasi (sedang, rendah, tinggi, strain liverpool) dalam model. Source
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
8425.000000
2808.333333
14.81
0.0012
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
kasus
3
8425.000000
2808.333333
14.81
0.0012
kasus
DF
Karena pvalue = 0.0012 <α = 0.05 maka kasus kematian pada lokasi (rendah, sedang, tinggi, strain liverpool) berpengaruh nyata terhadap persentase kematian nyamuk pada taraf nyata 5%. Duncan's Multiple Range Test for respon Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Mean Critical Range
0.05 8 189.5833 2 25.92
3 27.02
4 27.63
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Strata/lokasi A 98.33 3 Strain liverpool A 95.00 3 Rendah A 95.00 3 Sedang B 35.00 3 Tinggi
73
Lampiran 15. Uji Beda Nyata Duncan Persentase Kematian Nyamuk Lama Kontak 45 menit Dependent Variable: respon Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
6806.250000
2268.750000
363.00
<.0001
Error
8
50.000000
6.250000
11
6856.250000
Corrected Total
Karena pvalue < 0.0001 <α = 0.05 maka model berpengaruh nyata terhadap persentase kematian nyamuk.
R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon Mean
0.992707
2.898551
2.500000
86.25000
99.27% keragaman persentase kematian nyamuk dapat dijelaskan oleh kasus kematian pada lokasi (sedang, rendah, tinggi, strain liverpool) dalam model. Source kasus
Source kasus
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
6806.250000
2268.750000
363.00
<.0001
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
6806.250000
2268.750000
363.00
<.0001
DF 3
Karena pvalue < 0.0001 <α = 0.05 maka kasus kematian(rendah, sedang, tinggi, strain liverpool) berpengaruh nyata terhadap persentase kematian nyamuk pada taraf nyata 5%. Duncan's Multiple Range Test for respon Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Mean Critical Range
0.05 8 6.25 2 4.707
3 4.905
4 5.016
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Strata/lokasi A 100.000 3 Strain Liverpool A 100.000 3 Rendah A 100.000 3 sedang B 45.000 3 Tinggi
74
Lampiran 16. Uji Beda Nyata Duncan Persentase Kematian Nyamuk Lama Kontak 60 menit Dependent Variable: respon Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
3
475.0000000
158.3333333
7.60
0.0100
Error
8
166.6666667
20.8333333
11
641.6666667
Corrected Total
Karena pvalue = 0.0100 <α = 0.05 maka model berpengaruh nyata terhadap persentase kematian nyamuk. R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon Mean
0.740260
4.762805
4.564355
95.83333
74.03% keragaman persentase kematian nyamuk dapat dijelaskan oleh kasus kematian pada lokasi (sedang, rendah, tinggi, strain Liverpool) dalam model. Source kasus
Source kasus
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
475.0000000
158.3333333
7.60
0.0100
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
3
475.0000000
158.3333333
7.60
0.0100
Karena pvalue = 0.0100 <α = 0.05 maka kasus kematian pada lokasi (rendah, sedang, tinggi, strain Liverpool) berpengaruh nyata terhadap persentase kematian nyamuk pada taraf nyata 5%. Duncan's Multiple Range Test for respon Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Mean Critical Range
0.05 8 20.83333 2 8.594
3 8.956
4 9.158
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Strata/ lokasi A 100.000 3 Strain Liverpool A 100.000 3 Rendah A 98.333 3 sedang B 85.000 3 Tinggi
75
Lampiran. 18. Probit Analysis Program EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LT/EC VALUES Version 1.5 LT50 Tinggi Conc.
Number Exposed
Number Resp.
Observed Proportion Responding
5.000 15.000 30.000 45.000 60.000
60 60 60 60 60
0 14 57 60 59
0.0000 0.2333 0.9500 1.0000 0.9833
Proportion Responding Adjusted for Controls 0.0000 0.2333 0.9500 1.0000 0.9833
Chi - Square for Heterogeneity (calculated) Chi - Square for Heterogeneity (tabular value at 0.05 level)
Predicted Proportion Responding 0.0001 0.2604 0.9072 0.9933 0.9995 = 12.449 = 7.815
Mu = 1.571038 Sigma = 0.342823 Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits -----------------------------------------------------------------------------------------Intercept 0.417348 1.153650 ( -3.253567, 4.088264) Slope 2.916958 0.743493 ( 0.551163, 5.282753) Theoretical Spontaneous Response Rate = 0.0000 Estimated LT/EC Values and Confidence Limits Point LT/EC 1.00 LT/EC 5.00 LT/EC 10.00 LT/EC 15.00 LT/EC 50.00 LT/EC 85.00 LT/EC 90.00 LT/EC 95.00 LT/EC 99.00
LT/Exposure Conc
95% Confidence Limits
5.936 10.165 13.542 16.434 37.242 84.399 102.424 136.442 233.640
76
Lower 0.003 0.051 0.225 0.607 20.095 49.548 56.250 67.342 92.799
Upper 13.917 19.289 23.260 26.698 96.235 4664.026 12710.669 56744.578 954881.500
EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LT/EC VALUES Version 1.5 LT50 Sedang Conc.
5.000 15.000 30.000 45.000 60.000
Number Number Observed Exposed Resp. Proportion Responding 60 60 60 60 60
0 14 57 60 59
Proportion Responding Adjusted for Controls 0.0000 0.2333 0.9500 1.0000 0.9833
0.0000 0.2333 0.9500 1.0000 0.9833
Chi - Square for Heterogeneity (calculated) Chi - Square for Heterogeneity (tabular value at 0.05 level)
Predicted Proportion Responding 0.0001 0.2604 0.9072 0.9933 0.9995
= 33.160 = 7.815
Mu = 1.274442 Sigma = 0.153134 Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits ---------------------------------------------------------------------------------------------Intercept -3.322405 3.450224 ( -14.301018, 7.656208) Slope 6.530235 2.608107 ( -1.768761, 14.829230) Theoretical Spontaneous Response Rate = 0.0000 Estimated LT/EC Values and Confidence Limits Point
LT/Exposure Conc
95% Confidence Limits Lower
LT/EC 1.00 LT/EC 5.00 LT/EC 10.00 LT/EC 15.00 LT/EC 50.00 LT/EC 85.00 LT/EC 90.00 LT/EC 95.00 LT/EC 99.00
8.283 10.533 11.973 13.054 18.812 27.111 29.560 33.599 42.725
77
Upper
EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LT/EC VALUES Version 1.5 LT50 Kasus Rendah. Conc.
Number Exposed
5.000 15.000 30.000 45.000 60.000
60 60 60 60 60
Number Observed Resp. Proportion Responding 7 40 57 60 60
0.1167 0.6667 0.9500 1.0000 1.0000
Proportion Responding Adjusted for Controls 0.1167 0.6667 0.9500 1.0000 1.0000
Chi - Square for Heterogeneity (calculated) Chi - Square for Heterogeneity (tabular value at 0.05 level)
Predicted Proportion Responding 0.1004 0.7023 0.9528 0.9904 0.9976 = 1.279 = 7.815
Mu = 1.036132 Sigma = 0.263579 Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits --------------------------------------------------------------------Intercept 1.068988 0.438650 ( 0.209235, 1.928742) Slope 3.793928 0.372822 ( 3.063197, 4.524658) Theoretical Spontaneous Response Rate = 0.0000 Estimated LT/EC Values and Confidence Limits Point LT/EC 1.00 LT/EC 5.00 LT/EC 10.00 LT/EC 15.00 LT/EC 50.00 LT/EC 85.00 LT/EC 90.00 LT/EC 95.00 LT/EC 99.00
LT/Exposure Conc 2.648 4.005 4.993 5.794 10.868 20.385 23.656 29.491 44.596
78
95% Confidence Limits Lower 1.740 2.879 3.758 4.491 9.288 17.595 20.197 24.642 35.417
Upper 3.552 5.068 6.140 6.998 12.497 24.362 28.911 37.459 61.526
EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LT/EC VALUES Version 1.5 LT50 Pembanding (strain Liverpool) Conc.
5.000 15.000 30.000 45.000 60.000
Number Number Observed Exposed Resp. Proportion Responding 60 60 60 60 60
0 14 57 60 59
0.0000 0.2333 0.9500 1.0000 0.9833
Proportion Responding Adjusted for Controls 0.0000 0.2333 0.9500 1.0000 0.9833
Chi - Square for Heterogeneity (calculated) Chi - Square for Heterogeneity (tabular value at 0.05 level)
Predicted Proportion Responding 0.0001 0.2604 0.9072 0.9933 0.9995 = 0.210 = 7.815
Mu = 1.141469 Sigma = 0.150230 Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits -------------------------------------------------------------------------------------------Intercept -2.598170 1.416345 ( -5.374206, 0.177865) Slope 6.656482 1.170132 ( 4.363024, 8.949940) Theoretical Spontaneous Response Rate = 0.0000 Theoretical Spontaneous Response Rate = 0.0000 Estimated LT/EC Values and Confidence Limits Point LT/EC 1.00 LT/EC 5.00 LT/EC 10.00 LT/EC 15.00 LT/EC 50.00 LT/EC 85.00 LT/EC 90.00 LT/EC 95.00 LT/EC 99.00
LT/Exposure Conc
95% Confidence Limits Lower 3.705 5.283 6.374 7.228 12.021 17.781 19.142 21.235 25.570
6.194 7.841 8.891 9.678 13.851 19.823 21.578 24.467 30.971
79
Upper 8.022 9.605 10.589 11.320 15.357 23.422 26.373 31.620 44.833