DAYA TAHAN HIDUP NYAMUK Aedes aegypti (Linn) SETELAH TERPAPAR TEMEFOS PADA FASE LARVA
YULIDAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Daya tahan hidup nyamuk Aedes aegypti (Linn) setelah terpapar temefos pada fase larva adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2012 Yulidar NRP B252090061
ABSTRACT
YULIDAR. The survival of Aedes aegypti (Linn) after exposure of temephos at larval stage. Dwi Jayanti Gunandini and Singgih H. Sigit
The purpose of this research was to find out the effect of exposure to concentration of temephos upon the survival of Ae. aegypti. The temephos concentration used KL0 : 0,180 mg/liter, KL25 : 0,285 mg/liter, KL50 : 0,330 mg/liter, KL75 : 0,384 mg/liter; KL90: 0,433 mg/liter and control. The data were analyzed using descriptif, probit analysis and analysis of variance, if there were significant differences followed by Tuckey's mean test. The results show that the larvae and eggs abnormality, larvae activity decreased, while the larvae and pupae longevity were increased, but the lifespan of the adult stage become shorter. The adult stage fecundity decreased as well as the number of egg batches, however hatchability, ecdicis and eclotion also decreased. The adult female emergences was less than male after treated by temephos.
Key word : temephos, survival, ecdisis, eclotion.
RINGKASAN
Yulidar. Daya tahan hidup nyamuk Aedes aegypti (Linn) setelah terpapar temefos pada fase larva. Dibimbing oleh Dwi Jayanti Gunandini dan Singgih H. Sigit.
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah cukup besar yang menyangkut kesehatan masyarakat di negara beriklim tropis dan sub tropis. Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit tersebut, oleh karena itu pengendalian Ae. aegypti dengan sanitasi lingkungan yang bertujuan untuk mengurangi habitat larva merupakan kunci strategi program pengendalian vektor. Penggunaan larvasida untuk mengendalikan populasi nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor penyakit DBD adalah cara yang paling umum digunakan oleh masyarakat. Larvasida yang digunakan di Indonesia sejak tahun 1976 adalah temefos. Pada tahun 1980, temefos ditetapkan sebagai larvasida dalam program pengendalian masal larva Ae. aegypti (Depkes, 2005). Mengingat masa penggunaan temefos telah lebih dari tiga dasa warsa, maka perlu dipelajari pengaruh temefos terhadap daya tahan hidup nyamuk Ae. aegypti bila terpapar dengan insektisida tersebut. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Entomologi Kesehatan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (PEK-FKH IPB), Bogor. Penelitian ini berlangsung sejak bulan November 2010 sampai dengan Juni 2011 dalam empat tahap : (1) tahap persiapan yaitu pemeliharaan dan perbanyakan Ae. aegypti, (2) tahap penelitian pendahuluan yaitu penetapan konsentrasi uji, (3) tahap penelitian utama yaitu pemaparan konsentrasi uji, pengamatan dan pengumpulan data, serta (4) analisis & penyajian data. Tahap persiapan merupakan tahap perbanyakan Ae. aegypti secara massal di insektarium. Pemeliharaan dan perbanyakan Ae. aegypti dilakukan selama satu bulan sampai dihasilkan koloni Ae. aegypti dewasa dan pradewasa dengan jumlah yang mencukupi untuk penelitian. Tahap penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan konsentrasi temefos yang akan digunakan. Tahap penelitian utama merupakan tahap pemaparan konsentrasi temefos KL0, KL25, KL50, KL75, dan KL90 dibandingkan dengan kontrol yang dipaparkan pada larva instar 3 (L3). Konsentrasi temefos yang digunakan adalah 0 mg/liter (Kontrol ); 0,180 mg/liter (KL0); 0,285 mg/liter (KL25); 0,330 mg/liter (KL50); 0,384 mg/liter (KL75), dan 0,433 (KL90). Setelah dipaparkan dengan temefos larva dipindahkan ke media air, selanjutnya diamati daya tahan hidup nyamuk Ae. aegypti melalui pertumbuhan dan perkembangan larva hingga dewasa. Plastisitas fenotip suatu organisme tercermin dari kemampuan menanggapi kondisi lingkungan yang memaksa organisme tersebut untuk mampu mempertahankan keragaman fenotip di lingkungan yang heterogen. Hal ini memungkinkan suatu organisme mampu beradaptasi menghadapi berbagai perubahan lingkungan, termasuk memiliki kemampuan bertahan di bawah cekaman. Nyamuk Ae. aegypti memiliki kemampuan bertahan di bawah cekaman temefos dengan melakukan pengalokasian energi yang menyebabkan sifat yang satu mengalami peningkatan sedangkan sifat yang lain mengalami penurunan, hal ini karena jumlah energi yang digunakan sangat terbatas, peristiwa ini dikenal dengan istilah “trade-off”. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa temefos menyebabkan terjadinya
abnormalitas bentuk telur dan larva, aktivitas gerak larva untuk menempuh jarak sejauh 30 cm semakin lambat. Fenomena trade-off energi yang dilakukan oleh nyamuk Ae. aegypti jangka hidup pradewasa (larva dan pupa) yang semakin lambat sedangkan jangka hidup dewasa (jantan dan betina) yang semakin pendek, ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan normal sehingga berat badan menyebabkan penurunan berat badan stadium pradewasa dan stadiumdewasa. Pemaparan temefos pada nyamuk Ae. aegypti tahap larva juga menyebabkan penurunan jumlah telur dan kelompok telur, penurunan persentase daya tetas telur, penurunan persentase ekdisis dan eklosi, serta ratio kelamin jantan yang lebih banyak dibandingkan dengan betina pada keturunannya.
Kata kunci : temefos, daya tahan hidup, ekdisis, eklosi
Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
DAYA TAHAN NYAMUK AEDES AEGYPTI (Linn) SETELAH TERPAPAR TEMEFOS PADA FASE LARVA
YULIDAR
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : drh. Upik Kesumawati Hadi, MS., Ph.D
Judul Tesis Nama NIM
: Daya Tahan Hidup Nyamuk Aedes aegypti (Linn) Setelah Terpapar Temefos Pada Fase Larva : Yulidar : B252090061
Disetujui, Komisi Pembimbing
DR. Drh. Dwi Jayanti Gunandini, M.Si Ketua
Prof. drh. Singgih H. Sigit, M.Sc., PhD Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi/Mayor Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
Dekan Sekolah Pascasarjana
drh. Upik Kesumawati Hadi, MS., Ph.D
Tanggal Ujian : 1 Desember 2011
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.ScAgr
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Rasa syukur yang tak terhingga penulis panjatkan Ke-hadirat ALLAH SWT karena tanpa ridha dan kehendak-NYA tidak mungkin penulis bisa mneyelesaikan pendidikan ini dan selawat beserta salam penulis panjatkan ke pangkuan Nabi Besar Muhammad SAW. Ucapan terimakasih kepada Dr. Drh. Dwi Jayanti Gunandini, M.Si sebagai ketua pembimbing dan Prof. drh. Singgih H. Sigit, M.Sc., PhD sebagai anggota pembimbing dalam penelitian atas segala saran, pengarahan, bimbingan dan nasihat sejak dari penyusunan proposal, selama penelitian sampai selesainya tahap penulisan tesis ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Keluarga Besar Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK)-FKH IPB yang telah membimbing saya untuk mempelajari entomologi kesehatan, teman-teman pascasarjana PEK angkatan 2009, Keluarga Besar LokaLitbang Biomedis Aceh atas saran dan motivasinya, Badan LitbangKes Jakarta yang telah membiayai pendidikan saya dan Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Aceh-IKAMAPA yang selalu meramaikan tahap-tahap penyelesaian tesis ini. Dan akhir kata, ucapan rindu dan terimakasihku untuk Ibuku, Ibu Zubaidah H. Hamid dan Bapak M. Yacob Puteh (alm)......(tiada kata)....serta Kakakku Yusniar Yacob, Yusadi Yacob dan adindaku Yulia Yacob yang selalu mengingatkan untuk segera menyelesaikan pendidikan pascasarjana ini. Akhirnya semua pihak yang membantu penelitian ini penulis menyampaikan rasa terimakasih setulus-tulusnya. AMIN YRA....
RIWAYAT
Penulis dilahirkan tanggal 16 september 1978 di Bireuen-Aceh, anak ketiga dari empat bersaudara, Yusniar Yacob, Yusadi Yacob, Yulidar Yacob, dan Yulia Yacob dari Ibu Zubaidah Hamid dan Bapak M.Yacob Puteh (alm). Pendidikan dasar di SDN No 8 Bireuen tamat tahun 1991, SMPN No 1 Bireuen tamat tahun 1994, SMAN No 2 Bireuen tamat tahun 1997 dan kuliah di MIPA Biologi UNSYIAH Banda Aceh selesai tahun 2002. Program Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) Pascasarjana IPB tahun 2009. Sejak tahun 2006 sampai dengan sekarang bekerja di Badan Penelitian dan Pengembangan Biomedis Kementrian Kesehatan-Aceh.
Wassalam
Yulidar
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL -----------------------------------------------------------------
DAFTAR GAMBAR -------------------------------------------------------------- DAFTAR LAMPIRAN -----------------------------------------------------------
xiv xv xvi
1
PENDAHULUAN --------------------------------------------------------- 1.1 Latar Belakang ------------------------------------------------------- 1.2 Perumusan Masalah ------------------------------------------------- 1.3 Tujuan Penelitian ---------------------------------------------------- 1.4 Manfaat Penelitian --------------------------------------------------
1 1 2 2 2
2
TINJAUAN PUSTAKA --------------------------------------------------- 2.1 Kemampuan dan Plastisitas Fenotip Serangga ------------------ 2.2 Temefos -------------------------------------------------------------- 2.3 Pengaruh Cekaman Insektisida Terhadap Daya Tahan Serangga --------------------------------------------------------------
3 3 4 5
3
BAHAN DAN METODE KERJA ---------------------------------------- 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian --------------------------------------- 3.2 Cara Kerja ------------------------------------------------------------ 3.3 Alur Penelitian ------------------------------------------------------- 3.4 Analisa Data ---------------------------------------------------------
11 11 11 20 21
4
HASIL DAN PEMBAHASAN ------------------------------------------- 4.1 Abnormalitas Bentuk Larva dan Telur Ae. aegypti -------------- 4.2 Aktivitas Gerak Larva Nyamuk Ae. aegypti ---------------------- 4.3 Jangka Nyamuk Ae. aegypti --------------------------------------- 4.4 Berat Badan Nyamuk Ae. aegypti ---------------------------------- 4.5 Jumlah Telur dan Kelompok Telur Selama Nyamuk Betina Ae. aegypti ---------------------------------------------------------------- 4.6 Daya Tetas Telur Nyamuk Ae. aegypti ---------------------------- 4.7 Kemampuan Ekdisis dan Eklosi Nyamuk Ae. aegypti ---------- 4.8 Ratio Kelamin Jantan dan Betina Nyamuk Ae. aegypti --------- 4.9 Pembahasan Umum -------------------------------------------------
22 22 26 28 32 36 40 42 45 46
5
KESIMPULAN -------------------------------------------------------------
53
DAFTAR PUSTAKA--------------------------------------------------------------
54
LAMPIRAN ------------------------------------------------------------------------
58
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Jumlah pakan nyamuk Ae. aegypti yang disesuaikan dengan perkembangan instar ----------------------------------------------------- Konsentrasi temefos yang diuji ----------------------------------------- Rata-rata waktu tempuh larva Ae. aegypti sejauh 30 cm setelah terpapar temefos ---------------------------------------------------------- Rata-rata jangka pradewasa nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos --------------------------------------------------------------------- Rata-rata jangka dewasa nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos -------------------------------------------------------------------- Rata-rata berat basah dan berat kering pradewasa nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos ---------------------------------------- Rata-rata berat basah dan berat kering nyamuk Ae. aegypti dewasa setelah terpapar temefos ------------------------------------------------- Rata-rata jumlah telur dan kelompok telur selama hidup nyamuk Ae. aegypti betina setelah terpapar temefos --------------------------- Rata-rata persentase daya tetas telur Ae. aegypti setelah terpapar temefos -------------------------------------------------------------------- Rata-rata kemampuan ekdisis dan eklosi nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos ------------------------------------------------- Rata-rata persentase ratio kelamin nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos ---------------------------------------------------------- Jangka hidup larva Ae. aegypti setelah terpapar temefos ----------- Berat badan nyamuk Ae. aegypti detelah terpapar temefos pada fase L3 --------------------------------------------------------------------- Fekunditas nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos pada fase L3 -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
12 15 27 29 30 32 34 37 40 42 45 47 49 45
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Struktur kimia temefos ------------------------------------------------- Kandang tempat pemeliharaan dan perbanyakan Ae. aegypti ------- Pemberian pakan darah -------------------------------------------------- Ovitrap -------------------------------------------------------------------- Kemasan temefos -------------------------------------------------------- Regresi konsentrasi temefos yang diuji -------------------------------- Pipa paralon yang dibelah memanjang -------------------------------- Kandang perlakuan ------------------------------------------------------ Wadah tempat penetasan telur untuk pengamatan daya tetas telur dan ekdisis ---------------------------------------------------------------- 10. Wadah tempat pemeliharaan pupa eklosi dan ratio kelamin -------- 11. Bagan alur penelitian ---------------------------------------------------- 12. Abnormalitas morfologi telur Ae. aegypti setelah terpapar temefos dibandngkan dengan kontrol -------------------------------------------- 13. Abnormalitas morfologi larva Ae. aegypti setelah terpapar temefos dibandingkan dengan kontrol ------------------------------------------- 14. Rata-rata waktu tempuh larva (L3) nyamuk Ae. aegypti sejauh 30 cm setelah terpapar temefos -------------------------------------------- 15. Rata-rata jangka pradewasa nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos -------------------------------------------------------------------- 16. Rata-rata jangka hidup nyamuk dewasa Ae. aegypti (jantan dan betina) setelah terpapar temefos----------------------------------------- 17. Rata-rata berat basah dan berat kering larva nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos ------------------------------------------------- 18. Rata-rata berat basah dan berat kering pupa nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos ------------------------------------------------- 19. Rata-rata berat basah dan berat kering nyamuk jantan Ae. aegypti setelah terpapar temefos ------------------------------------------------- 20. Rata-rata berat basah dan berat kering nyamuk betina Ae. aegypti setelah terpapar temefos ------------------------------------------------- 21. Rata-rata jumlah telur/ekor nyamuk betina Ae. aegypti setelah terpapar temefos ---------------------------------------------------------- 22. Rata-rata jumlah kelompok telur/ekor nyamuk betina Ae.aegypti setelah terpapar temefos ------------------------------------------------- 23. Rata-rata persentase daya tetas telur nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos ---------------------------------------------------------- 24. Rata-rata kemampuan ekdisis nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos--------------------------------------------------------------------- 25. Rata-rata kemampuan eklosi nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos -------------------------------------------------------------------- 26. Rata-rata persentase nisbah kelamin nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos ---------------------------------------------------------
4 12 13 13 14 15 17 17 19 20 20 22 24 27 29 30 33 33 34 35 37 38 41 43 44 45
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8.
Penetapan Konsentrasi Uji --------------------------------- Aktivitas Gerak Larva Nyamuk Ae. aegypti ------------- Jangka Nyamuk Ae. aegypti ------------------------------ Berat Badan Nyamuk Ae. aegypti ------------------------ Jumlah Telur dan Kelompok Telur Ae. aegypti --------- Daya Tetas Telur Nyamuk Ae. aegypti ------------------- Kemampuan ekdisis dan eklosi nyamuk Ae. aegypti --- Ratio Kelamin Jantan dan Betina Nyamuk Ae. aegypti
58 60 61 65 67 70 71 73
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah cukup besar
yang menyangkut kesehatan masyarakat di negara beriklim tropis dan sub tropis. Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit tersebut, oleh karena itu pengendalian Ae. aegypti dengan sanitasi lingkungan yang bertujuan untuk mengurangi habitat larva merupakan kunci strategi program pengendalian vektor. Penggunaan insektisida sebagai larvasida adalah cara yang paling umum digunakan oleh masyarakat untuk mengendalikan larva Ae. aegypti. Larvasida yang digunakan di Indonesia adalah temefos yang termasuk dalam golongan organofosfat. Penggunaan temefos di Indonesia untuk mengendalikan larva Ae. aegypti sudah digunakan sejak tahun 1976, kemudian pada tahun 1980 temefos ditetapkan sebagai larvasida dalam program pengendalian masal larva Ae. aegypti (Depkes, 2005). Temefos merupakan insektisida organofosfat non sistemik yang dapat digunakan dengan cara ditabur di bak mandi, tempayan atau tempat-tempat penampungan air rumah tangga. Temefos tersedia dalam bentuk emulsi, serbuk (wettable powder) dan bentuk granul. Senyawa murni temefos berupa kristal putih padat dengan titik lebur 30-30,50C (EPA, 2009). Penetrasi temefos dengan konsentrasi efektif ke dalam tubuh larva dapat diabsorpsi dalam waktu 1-24 jam setelah perlakuan, dengan efek residu masih efektif dalam wadah yang tidak pernah dibersihkan selama 15 minggu sampai 5 bulan (Matsumura, 1975; Chen & Lee, 2006; Tavara et al. 2005). Temefos tidak larut dalam heksana tetapi larut dalam aseton, asetonitril, eter, kebanyakan aromatik dan klorinasi hidrokarbon, mudah terdegradasi bila terkena sinar matahari sehingga kemampuan membunuh larva tergantung dari sinar matahari. Konsentrasi efektif temefos menurut anjuran Kementerian Kesehatan (DepKes) RI yaitu 10 gr/100 liter air. Kerja dari temefos adalah dengan menghambat enzim kolinesterase, sehingga menimbulkan gangguan pada aktivitas syaraf akibat tertimbunnya asetilkolin pada ujung syaraf. Keracunan fosfat
2
organik pada serangga diikuti oleh kegelisahan, hipereksitasi, tremor, konvulsi dan kemudian kelumpuhan otot (Matsumura, 1997). Setiap organisme memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri dan keturunannya walaupun hidup pada lingkungan yang tidak optimal dibawah cekaman insektisida (Schneider, 2011). Menurut Uvarov (1961) setiap organisme memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri melalui perubahan fisiologis dan kemampuan adaptasi dengan lingkungan yang sifatnya reversibel, keadaan demikian memberikan pengaruh yang besar terhadap dinamika populasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui daya tahan hidup nyamuk Ae. aegypti dalam mempertahankan diri dan keturunannya setelah dipaparkan temefos pada fase larva instar 3 (L3).
1. 2. Perumusan Masalah Temefos telah digunakan lebih dari 30 tahun (sejak tahun 1976) dalam pengendalian larva Ae. aegypti, untuk itu perlu dipelajari pengaruh cekaman insektisida temefos terhadap daya tahan hidup nyamuk Ae. aegypti.
1. 3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya tahan hidup nyamuk Ae. aegypti dibawah cekaman temefos yang dipaparkan pada fase larva instar 3 (L3). .
1. 4. Manfaat Penelitian Mengetahui dan memberikan informasi daya tahan hidup nyamuk Ae. aegypti di bawah cekaman temefos dengan mengamati perubahan yang terjadi pada daur hidup dan keturunannya.
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kemampuan Hidup dan Plastisitas Fenotip Serangga Serangga dengan daur hidup yang kompleks memiliki kemampuan
adaptasi yang lebih tinggi terhadap lingkungannya dibandingkan dengan serangga yang dalam siklus hidupnya tidak kompleks. Ae. aegypti adalah serangga dengan daur hidup yang kompleks sehingga memiliki adaptasi yang tinggi dalam mempertahankan hidupnya. Nyamuk ini dapat hidup dan bertelur dalam habitat yang kecil, minim sumber nutrisi, suhu yang kurang optimum dan cekaman dari luar (Hoffmann & Hercus, 2000; Badvaev, 2005). Kelenturan organisme untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan menunjukkan adanya kelenturan sifat yang dimiliki sebagai hasil interaksi dengan lingkungan, kelenturan ini dikenal dengan istilah plastisitas fenotip. Suatu hubungan antara dua sifat yang dimiliki satu individu karena sesuatu hal dapat menyebabkan sifat yang satu mengalami peningkatan sedangkan sifat yang lain mengalami penurunan, hal ini karena jumlah energi yang digunakan sangat terbatas, peristiwa ini dikenal dengan istilah “trade-off” (Begon et al. 1996). Peristiwa “trade-off” terjadi akibat peningkatan cekaman karena perubahan lingkungan misalnya ketersediaan nutrisi, adanya predator, kompetisi dan paparan insektisida (Agnew et al. 2000; Bedhomme et al. 2003; Schneider et al. 2011). Fenomena trade off yang ditampakkan oleh nyamuk Ae. aegypti untuk mempertahankan hidupnya dibawah cekaman insektisida antara lain adalah dengan mengalami perubahan ukuran tubuh dan sayap, jumlah betina menjadi lebih sedikit dalam populasi serta proses pupasi menjadi lebih lambat akibat kekurangan energi (Yan et al. 1998; Koella & Offenberg, 1999). Plastisitas fenotip suatu organisme tercermin dari kemampuan menanggapi kondisi lingkungan yang memaksa organisme tersebut untuk mampu mempertahankan keragaman fenotip di lingkungan yang heterogen. Hal ini memungkinkan suatu organisme mampu beradaptasi menghadapi berbagai perubahan lingkungan, termasuk memiliki kemampuan bertahan di bawah cekaman.
4
Gunandini (2002) menyatakan bahwa Ae. aegypti yang diseleksi pada stadium larva dengan malation sampai generasi ke-20 memperlihatkan perubahan pada daur hidupnya sebagai suatu usaha untuk beradaptasi dibawah cekaman insektisida. Perubahan daur hidup yang terjadi yaitu stadium pradewasa semakin lambat sebaliknya stadium dewasa semakin singkat, sedangkan ratio kelamin jantan menjadi lebih besar dibanding kelamin betina. Kemampuan nyamuk Ae. aegypti untuk beradaptasi terhadap malation ditunjukkan dengan jumlah kelompok telur, jumlah telur dan daya tetas telur yang tidak berubah.
2.2
Temefos Temefos merupakan larvasida golongan organofosfat yang sedikit beracun
(toksisitas kelas III) sehingga dapat digunakan secara umum (EPA, 2009). Penggunaannya pada tempat penampungan air minum telah dinyatakan aman oleh WHO, dapat digunakan di bak mandi serta tempat penampungan air rumah tangga (DepKes RI, 2005) selain itu temefos juga dapat digunakan untuk membasmi kutu pada anjing, kucing dan manusia (EPA, 2009).
Gambar 1. Struktur kimia temefos
Temefos tersedia dalam bentuk emulsi, serbuk (Wettable powder) dan bentuk granul. Senyawa murni temefos berupa kristal putih padat dengan titik lebur 30-30,50C. Produk komersial temefos berupa cairan kental berwarna coklat, tidak larut dalam air pada suhu 200C dan heksana, tetapi larut dalam aseton, asetonitril, ether, kebanyakan aromatik dan klorinasi hidrokarbon. Insektisida ini mudah terdegradasi bila terkena sinar matahari, sehingga kemampuan membunuh larva tergantung dari degradasi akibat paparan sinar matahari (EPA, 2009).
5
2.2.1 Cara kerja temefos Temefos bekerja dengan cara menghambat enzim kolinesterase, sehingga menimbulkan gangguan pada aktivitas syaraf akibat tertimbunnya
asetilkolin
pada ujung syaraf. Keracunan fosfat organik pada serangga diikuti oleh gelisah, hipereksitasi, tremor dan konvulsi, kemudian kelumpuhan otot (paralise). Penetrasi temefos ke dalam tubuh larva Ae. aegypti berlangsung cepat karena dapat mengabsorpsi lebih dari 99% temefos dalam waktu 24 jam. Setelah diabsorpsi, temefos diubah menjadi produk-produk metabolik, sebagian dari produk metabolik tersebut diekskresikan melalui air (Matsumura, 1997). Menurut Thavara et al. (2005), saat ini konsentrasi efektif temefos yang dianjurkan di Thailand 1 gr/200 liter air untuk wadah yang gelap dan 2-5 gr/200 liter air untuk wadah yang terang, hal ini berkaitan dengan efek temefos yang rendah bila terdegradasi dengan sinar matahari. Di Indonesia sendiri konsentrasi temefos yang dianjurkan untuk membunuh larva Ae. aegypti dalam air minum adalah 10 gr/100 liter air dalam wadah yang terlindungi oleh sinar matahari (DepKes RI, 2005). Temefos relatif aman dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia, meskipun demikian konsentrasi tinggi temefos dapat menimbulkan overstimulasi sistem syaraf. Pada pajanan yang sangat tinggi temefos dapat menyebabkan paralise nafas dan kematian (Matsumura, 1978). Reyes-Villanueva et al. (1990 & 1992) menyatakan bahwa konsentrasi temefos sebesar 0,009 mg/liter; 0,013 mg/liter; 0,015 mg/liter; 0,016 mg/liter; 0,020 mg/liter dan 0,025 mg/liter
dapat
mengakibatkan
penurunan
kesuburan
(fecundity)
dan
memperlambat jangka hidup (longevity) Ae. aegypti. Taviv (2005) menyatakan bahwa temefos masih sangat efektif untuk pengendalian larva Ae. aegypti dengan KL50 : 0,28 mg/100 liter dan KL90: 0,79 mg/100 liter.
2.3
Pengaruh Cekaman Insektisida Terhadap Daya Tahan Hidup Serangga
Dalam teori kehidupan, jumlah energi yang tersedia sangat terbatas sehingga untuk kelangsungan hidup organisme dalam lingkungan yang tidak normal alokasi energi dialihkan. Energi yang seharusnya dimanfaatkan untuk
6
kehidupan secara normal dialihkan penggunaannya untuk beradaptasi di bawah cekaman insektisida (Sibly & Calow, 1988 dalam Gunandini, 2002). Setiap organisme memiliki kemampuan untuk tetap hidup dan mempertahankan kesuksesan keturunannya walaupun hidup pada lingkungan yang tidak optimal di bawah cekaman insektisida (Schneider et al. 2011). Kehidupan bukanlah hal yang kaku sehingga suatu kelenturan (plastisitas) dapat terjadi akibat interaksi individu dengan lingkungannya. Termasuk di dalam kerangka plastisitas fenotip adalah kelenturan dalam skala waktu (Begon et al. 1996). Fenomena yang ditunjukkan oleh nyamuk Ae. aegypti dalam mempertahankan diri dan keturunan akibat cekaman insektisida organofosfat telah dilaporkan oleh Reyes-Villanueva et al. (1990 & 1992) dan Gunandini (2002). Cekaman insektisida pada nyamuk ini mengakibatkan antara lain penurunan kesuburan (fecundity) dan menyebabkan jangka hidup (longevity) stadium pradewasa semakin panjang serta stadium dewasa semakin pendek.
2.3.1 Jangka Hidup Nyamuk Ae. aegypti Pengaruh insektisida terhadap jangka hidup pradewasa nyamuk Ae. aegypti yang dipaparkan dengan temefos pada stadium larva instar 3 (L3) mengakibatkan rata-rata jangka hidup larva menjadi lebih panjang, dari semula 32,1 hari (kontrol) menjadi 36,6 hari (0,016 ppm); 37,0 hari (0,020 ppm) dan 34,3 hari (0,025 ppm) (Reyes-Villanueva et al. (1992). Penelitian Gunandini (2002) juga membuktikan bahwa masa pertumbuhan larva Ae. aegypti menjadi lebih lambat setelah diseleksi malation. Rata-rata jangka hidup larva 5,46 hari (F0) menjadi 5,63 hari (F5); 6,06 hari (F10); 6,58 hari (F15) dan 6,64 hari (F20). Fenomena yang sama juga dilaporkan oleh Sudjatmiko (2002), pemaparan insektisida BPMC (golongan karbamat) pada larva Anopheles aconitus menunjukkan jangka hidup larva menjadi lebih panjang dari 3,147 hari (KL0) menjadi 4,113 hari (KL30). Di bawah cekaman insektisida nyamuk Ae. aegypti melakukan adaptasi dengan memperpanjang periode pupanya. Reyes-Villanueva et al. (1992) melaporkan rata-rata jangka hidup pupa yang dipaparkan temefos pada tahap L3
7
yang semula 25,9 hari (0 ppm) menjadi 28,7 hari (0,016 ppm); 32,4 hari (0,020 ppm) dan 30,93 hari (0,025 ppm. Larva Ae. aegypti yang telah diseleksi dengan malation juga menunjukkan jangka hidup pupa yang lebih lambat dari normal. Jangka hidup pupa yang semula 2,10 hari (F0) menjadi 2,26 hari (F5); 2,33 hari (F10); 2,34 hari (F15) dan 2,39 (F20) (Gunandini, 2002). Malation mempengaruhi jangka hidup nyamuk Ae. aegypti jantan. Di bawah cekaman insektisida ini nyamuk Ae. aegypti jantan akan memperpendek jangka hidupnya. Gunandini (2002) melaporkan bahwa jangka hidup nyamuk jantan dari awalnya 18,88 hari (F0) menjadi 17,53 hari (F5); 13,93 hari (F10); 13,67 hari (F15) dan 9,83 hari (F20). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Antonio et al. (2009), insektisida spinosad 0,06 mg/l yang
dicampur dengan dengan
sukrosa 10% diberikan secara ad-libitum selama 1x24 jam mengakibatkan perubahan jangka hidup jantan yang lebih singkat yaitu semula 40,2 hari menjadi 38,1 hari. Pengaruh insektisida terhadap jangka hidup nyamuk Ae. aegypti betina juga dilaporkan oleh Gunandini (2002). Seleksi malation menyebabkan jangka hidup nyamuk Ae. aegypti betina semakin lambat, jangka hidup Ae. aegypti betina berubah dari 34,53 hari (F0) menjadi 30,42 hari (F5); 21,85 hari (F10); 19,20 hari (F15) dan 14,35 hari (F20).
2.3.2 Berat Badan Nyamuk Ae. aegypti Ae. aegypti yang terpapar dengan temefos akan memperkecil ukuran tubuhnya sehingga energi untuk kelangsungan hidupnya akan lebih kecil, hal ini merupakan salah satu bentuk adaptasi yang diakibatkan oleh seleksi insektisida (Yan et al. 1998). Reyes-Villanueva et al. (1992) melaporkan bahwa pemaparan temefos konsentrasi 0,016 ppm; 0,020 ppm dan 0,025 ppm mampu menurunkan berat badan larva Ae. aegypti sampai 10% dan berat pupa sampai 31-33% bila dibandingkan dengan kontrol. Rata-rata berat larva Ae. aegypti adalah 2,82 mg (kontrol) menjadi 2,30 mg (0,016 ppm); 2,52 mg (0,020 ppm) dan 2,55 mg (0,025 ppm), sedangkan berat pupa berubah dari 1,57 mg (kontrol) menjadi 1,53 mg (0,016 ppm); 1,40 mg (0,020 ppm) dan 1,09 mg (0,025 ppm). Kondisi lingkungan yang tidak stabil dapat mengakibatkan ukuran tubuh menjadi lebih kecil pada
8
organisme sebagai kompensasi dari mempertahankan hidup dan keturunannnya (Schneider et al. 2011). Peningkatan berat badan pada serangga ternyata bisa juga terjadi akibat penggunaan insektisida. Sujatmiko (2002) melaporkan bahwa penggunaan insektisida BPMC konsentrasi 0,071 ppm (KL10); 0,0963 ppm (KL20) dan 0,113 ppm (KL30) pada larva instar 2 (L2) mengakibatkan peningkatan berat badan nyamuk Anopheles aconitus. Berat basahnya semula 0,443 mg (0 ppm) menjadi 0,497 mg (KL10); 0,557 mg (KL20) dan 0,490 mg (KL30), sedangkan berat kering semula 0,417 mg (kontrol) menjadi 0,460 mg (KL10); 0,503 mg (KL20) dan 0,477 mg (KL30). Pada nyamuk betina, berat basah semula 0,117 mg (kontrol) menjadi 0,130 mg (KL10); 0,143 mg (KL20) dan 0,140 mg (KL30), sedangkan berat kering betina dari 0,130 mg (0 ppm) menjadi 0,153 mg (KL10); 0,163 mg (KL20); 0,147 mg (KL30).
2.3.3 Jumlah Telur dan Kelompok Telur Nyamuk Ae. aegypti Setiap organisme berusaha untuk tetap hidup dan mempertahankan diri dengan meneruskan keturunannya, walaupun hidup pada lingkungan yang tidak optimal di bawah cekaman insektisida (Schneider et al. 2011). Nyamuk Ae. aegypti betina yang dipaparkan malation menjadi lebih singkat hidupnya sehingga jumlah telur dan kelompok telur yang dihasilkan selama hidup betina menjadi lebih sedikit. Peningkatan jumlah telur terjadi pada tahap awal, kemudian pada tahap selanjutnya jumlah telur cenderung menurun. Nyamuk Ae. aegypti yang diseleksi oleh insektisida malation menghasilkan telur rata-rata 117,65 butir (F0) menjadi 139,05 butir (F5); 133,02 butir (F10); 89,88 butir (F15) dan 78,33 butir (F20). Rata-rata jumlah kelompok telur 6,83 batch (F0); 6,49 batch (F5); 4,85 batch (F10); 3,57 batch (F15) dan 2,04 batch (F20) (Gunandini, 2002). Nyamuk Ae. aegypti dalam menghadapi cekaman insektisida berusaha untuk meningkatkan jumlah telur sampai batas maksimal yang mampu dicapai. Adanan et al. (2005) membuktikan bahwa insektisida d-allethrin konsentrasi 36 mg/mat (d-allethrin) menyebabkan penurunan jumlah telur Ae. aegypti semula 117,35 butir (kontrol) menjadi 102,47 butir (36 mg/mat d-allethrin). Perez et al.
9
(2007) menggunakan insektisida nabati spinosad pada Ae. aegypti gravid. Rata- rata jumlah telur yang dihasilkan adalah 274,4 butir (kontrol) menjadi 245,6 butir (5 ppm) dan 241,8 butir (20 ppm). Kumar et al. (2009) menyatakan bahwa Ae. aegypti menunjukkan penurunan jumlah telur, semula 99 butir (kontrol) menjadi 91 butir (F20) dan 64 butir (F40).
2.3.4 Penurunan Daya Tetas Telur Nyamuk Ae. aegypti Efek pemberian insektisida deltamethrin terhadap nyamuk Ae. aegypti yang dipaparkan pada stadium larva dengan kosentrasi 0,004585 ppm (F20) dan 0,082965 ppm (F40) mengakibatkan penurunan daya tetas telur, rata-rata persentase daya tetas telur semula adalah 82,5% (F0) menjadi 67,8% (F20) dan 57,2% (F40). Penurunan daya tetas telur pada nyamuk Ae. aegypti juga terjadi akibat pemaparan insektisida nabati spinosad, rata-rata daya tetas telur semula 86,90% (kontrol) menjadi 58,20% (5 ppm) dan 62,40% (20 ppm) (Perez et al. 2007). Antonio et al. (2009) juga melaporkan bahwa konsentrasi 0,06 ppm spinosad menyebabkan perubahan daya tetas telur nyamuk Ae. aegypti dari 84,90% (kontrol) menjadi 72,60%. Pemaparan insektisida BPMC (golongan karbamat) pada nyamuk Anopheles aconitus pada tahap larva mengakibatkan perubahan daya tetas telur, semula 59,69% (kontrol) menjadi 63,58% (KL10); 56,87% (KL20) dan 58,37% (KL30). Hal ini menunjukkan bahwa sampai konsentrasi tertentu cekaman insektisida dapat meningkatkan daya tetas telur sebelum selanjutnya kembali menurun (Sujadmiko, 2000).
2.3.5 Kemampuan Ekdisis dan Eklosi Nyamuk Ae. aegypti Kemampuan ekdisis dan eklosi cenderung menurun akibat pemaparan insektisida. Gunandini (2002) melaporkan bahwa nyamuk Ae. aegypti yang diseleksi malation menurunkan kemampuan ekdisis yang awalnya 91% (F0) menjadi 82% (F5), 89% (F10), 89% (F15) dan 84% (F20). Adanan et al. (2005) menyatakan bahwa D-allethrin (36 mg/mat) dan Prallethrin (15 mg/mat) menurunkan kemampuan ekdisis nyamuk Ae. aegypti dari 73,43% (kontrol) menjadi 68,06% (D-allethrin) dan 71,64% (Prallethrin).
10
Efek malation juga menurunkan kemampuan ekdisis Ischiodon scutellaris Fabr (Diptera : Syrphidae) semula 73,95% (kontrol) menjadi 55,38% (25 µg/ml); 66,86% (100 µg/ml); 47,77% (150 µg/ml)., 54,98% (200 µg/ml) dan 33,46% (250 µg/ml) (Hoe et al. 1983). Perez et al. (2007) menyatakan bahwa penggunaan temefos (0,1 gr) pada Ae. aegypti yang sedang gravid menyebabkan penurunan kemampuan eklosi dari 41,20% (kontrol) menjadi 38,70%. Gunandini (2002) juga menyatakan bahwa larva Ae. aegypti
yang diseleksi dengan malation
menghasilkan penurunan kemampuan eklosi,
semula 93% (F0) menjadi 82%
(F5), 81% (F10), 86% (F15) dan 91% (F20). Adanan et al. (2005) menyatakan D-allethrin (36 mg/mat) dan Prallethrin (15 mg/mat) mampu menurunkan kemampuan eklosi nyamuk Ae. aegypti dari 99,91% (kontrol) menjadi 99,05% (Prallethrin) dan 97,29% (D-allethrin). Braga et al. (2005) melaporkan bahwa pemakaian insektisida IGR metophren mempengaruhi kemampuan eklosi nyamuk Ae. aegypti. Kemampuan eklosi menurun dari 96,20% (kontrol) menjadi 79,80% (5µ mg/l) dan 78,10 (10 mg/l).
2.3.6 Ratio Kelamin Jantan dan Betina Nyamuk Ae. aegypti Perubahan pupa menjadi dewasa secara normal pada awalnya didominasi oleh jenis kelamin jantan (Christophers, 1960). Gunandini (2002) melaporkan bahwa nyamuk Ae. aegypti yang diseleksi dengan malation meningkatkan jenis nyamuk berkelamin jantan, persentase ratio kelamin jantan dan betina semula 46 : 54 (F0) menjadi 49 : 51% (F5); 49 : 51 (F10), 50 : 50 (F15) dan 54 : 46 (F20). Sudjatmiko (2000) menyatakan bahwa jenis nyamuk berkelamin jantan Anopheles aconitus meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi insektisida BMPC (golongan karbamat). Ratio kelamin jantan dibandingkan dengan betina, semula 1,127 : 1 (K0); menjadi 1,129 : 1 (KL10); 1,327 : 1 (KL20) dan 1,385 : 1 (KL30).
3
BAHAN DAN METODE KERJA
3.1
Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Entomologi Bagian Parasitologi
dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (IPHK), Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB) sejak November 2010 sampai dengan Juni 2011. Penelitian ini dibagi menjadi empat tahap, yaitu : (1) tahap persiapan dimulai dari pemeliharaan dan perbanyakan nyamuk Ae. aegypti, (2) tahap penelitian pendahuluan untuk menentukan konsentrasi temefos yang akan diuji, (3) tahap penelitian utama yaitu perlakuan pemaparan temefos pada tahap larva L3 dilanjutkan dengan pengamatan dan pengumpulan data serta (4) analisis & penyajian data.
3.2
Cara Kerja
3.2.1 Tahap Persiapan Tahap persiapan merupakan tahap perbanyakan Ae. aegypti secara massal di insektarium. Pemeliharaan dan perbanyakan Ae. aegypti dilakukan selama satu bulan sampai dihasilkan koloni Ae. aegypti dewasa dan pradewasa dengan jumlah yang mencukupi untuk penelitian. Pemeliharan Ae. aegypti dilakukan pada suhu kamar 27-310C dengan kelembaban relatif 85-90%.
Media Air Media untuk pemeliharaan larva yang digunakan adalah air tanah yang diendapkan. Air endapan ini merupakan air yang selalu digunakan untuk pemeliharaan dan perbanyakan Ae. aegypti di insektarium, sehingga bias akibat dari kandungan zat yang ada di dalam air dapat diabaikan. Untuk pemeliharaan larva, media air diganti setiap 2 hari sekali. Setelah larva menjadi pupa segera pupa dimasukkan ke dalam gelas plastik bervolume 200 ml yang diisi air ¾ bagian. Gelas yang telah berisi pupa tersebut dimasukkan ke dalam kandang nyamuk yang berukuran 40x40x40 cm3. Rusuk kandang terbuat dari kayu dengan dinding terbuat dari kain kasa (Gambar 2).
12
Gambar 2. Kandang tempat pemeliharaan dan perbanyakan Ae. aegypti
Pakan Nyamuk Pakan larva adalah pelet makanan ikan yang sebelumnya dihaluskan, jumlah pemberian pakan disesuaikan dengan perkembangan setiap instar larva sebagaimana tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah pakan larva nyamuk Ae. aegypti yang disesuaikan dengan perkembangang instar (Christophers, 1960 & Gerberg et al. 1994). Umur larva 1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari 7 hari 8 hari sampai larva menjadi pupa
Jumlah pakan/larva 0,2 mg 0,3 mg 0,4 mg 0,6 mg 0,6 mg 0,7 mg 0,7 mg 0,7 mg
Sebagai pakan nyamuk Ae. aegypti dewasa adalah air gula dengan konsentrasi 10% yang secara periodik diganti setiap dua hari sekali. Pemberian pakan darah khusus untuk nyamuk betina dilakukan setiap empat hari sekali sesuai dengan siklus gonotropik. Pakan darah yang diberikan berasal dari darah manusia yaitu darah peneliti. Waktu pemberian pakan darah dilakukan sehari dua kali yaitu pada pukul 11.00 s/d 13.00 dan pukul 15.00 s/d 17.00 selama 2-3 jam sampai nyamuk Ae. aegypti betina kenyang darah (Gambar 3).
13
Gambar 3. Pemberian pakan darah
Tempat peletakan telur (ovitrap) berupa gelas plastik bervolume 200 ml yang diisi air ¾ bagian dengan kertas saring diletakkan mengelilingi permukaan air tersebut (Gambar 4). Nyamuk Ae. aegypti betina akan meletakkan telur di sepanjang bagian kertas saring. Kertas saring diambil bersama-sama dengan telur yang telah melekat diatasnya, kemudian kertas tersebut dimasukkan ke dalam nampan penetasan. Pekerjaan ini terus menerus diulangi sesuai dengan siklus gonotrofik nyamuk setiap empat hari sekali.
Gambar 4. Ovitrap
3.2.2 Tahap Penelitian Pendahuluan Temefos yang digunakan dalam penelitian ini adalah Abate® dengan bahan aktif temefos 1% (PT. BASF) (Gambar 5). Temefos yang digunakan sebagai
14
larutan induk mempunyai konsentrasi 10 gr dalam 100 liter air (sesuai konsentrasi yang tertera pada label kemasan). Larutan induk ini selanjutnya diencerkan untuk konsentrasi uji selanjutnya.
Gambar 5. Kemasan temefos
Penetapan Konsentrasi Uji Penetapan konsentrasi temefos KL0, KL25, KL50, KL75 dan KL90 diperoleh dari data kematian larva L3 merujuk pada hasil penelitian pendahuluan. Temefos dalam bentuk granul digerus sampai halus kemudian ditimbang 0,1 gr (100 mg) dan dilarutkan dalam 1 liter air (100 ppm). Larutan ini dijadikan sebagai larutan induk yang akan diencerkan sesuai dengan konsentrasi uji yang digunakan (Tabel 2, Gambar 6 dan Lampiran 1). Perhitungan larutan induk berdasarkan konsentrasi anjuran : 10 gr/100 liter = 0,1 gr/liter = 100 mg/liter = 100 ppm (1 mg/liter = 1 ppm)
Dari hasil analisis probit kematian larva L3 diperoleh konsentrasi temefos 0,180 ppm (KL0); 0,285 ppm (KL25); 0,330 ppm (KL50); 0,384 ppm (KL75); dan 0,433 ppm (KL90). Konsentrasi inilah yang kemudian digunakan sebagai
15
konsentrasi uji perlakuan dalam penelitian. Untuk membuat 1.500 ml larutan dengan konsentrasi yang sesuai dengan konsnetrasi temefos yang diinginkan digunakan rumus : N1 x V1 = N2 x V2 Keterangan : N1 : konsentrasi awal (100 ppm), V1 : volume awal (volume dicari, berapa volume yang akan diambil dari konsentrasi awal), N2 : konsentrasi uji (ppm), V2 : volume media yang dibutuhkan (sesuai kebutuhan untuk media perlakuan)
Tabel 2. Konsentrasi temefos yang diuji
Konsentrasi larutan uji Kontrol KL0 (0,180 ppm) KL25 (0,285 ppm) KL50 (0,330 ppm) KL75 (0,384 ppm) KL90 (0,433 ppm)
(ppm)
0,5 0,45 0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0
Volume pengenceran yang diambil dari larutan induk 0 2,70 ml 4,25 ml 4,95 ml 5,76 ml 6,50 ml
Total Volume 1.500 ml 1.500 ml 1.500 ml 1.500 ml 1.500 ml 1.500 ml
Y = 1,22 (x) + 0,65
0.285 mg/liter 0.330 mg/liter 0.180 mg/liter 0
0.384 mg/liter
0.433 mg/liter
SD= 1.08+ 0,22
Gambar 6. Regresi konsentrasi temefos yang diuji
3.2.3 Tahap Penelitian Utama 3.2.3.1 Pemaparan Konsentrasi Uji Dari setiap konsentrasi larutan uji diambil 500 ml larutan kemudian dimasukkan ke dalam larutan uji tersebut sebanyak 100 ekor larva instar 3 (L3) Ae. aegypti, untuk setiap konsentrasi dilakukan tiga kali ulangan. Lamanya pemaparan dengan temefos berlangsung selama 1x24 jam. Konsentrasi temefos
16
yang digunakan adalah KL0 (0,180 ppm), KL25 (0,285 ppm), KL50 (0,330 ppm), KL75 (0,384 ppm), KL90 (0,433 ppm) dan kontrol.
3.2.3.1 Pengamatan daya tahan hidup Larva yang telah terpapar temefos dengan konsentrasi uji kemudian dipindahkan ke media tanpa temefos (500 ml air tanpa temefos). Dari setiap konsentrasi perlakuan diambil 25 ekor larva untuk diamati lama stadium pradewasa sampai dewasa, selanjutnya diamati sesuai dengan parameter penelitian.
(1) Abnormalitas bentuk larva dan telur Abnormalitas larva yaitu perubahan morfologi larva yang terjadi akibat pemaparan dengan temefos selama 1x24 jam. Semua larva yang mati dikumpulkan dan dipisahkan dari yang masih hidup, kemudian dikelompokkan menurut konsentrasi perlakuan. Analisis dilakukan secara deskriptif dibandingkan dengan larva normal. Abnormalitas telur yaitu perubahan morfologi telur yang dihasilkan oleh nyamuk betina dewasa yang telah terpapar temefos pada tahap larva instar 3 (L3). Telur yang dihasilkan kemudian dikelompokkan menurut konsentrasi perlakuan. Analisis dilakukan secara deskriptif dibandingkan dengan telur normal. Pengamatan dan pengambilan gambar dilakukan di bawah mikroskop. Foto diambil dengan kamera Sony Series ecp 12,8 megapixel.
(2) Aktivitas gerak larva Media penelitian berupa tabung yang terbuat dari pipa paralon dibelah memanjang, ukuran paralon 80 cm dengan diameter 8 cm. Pada salah satu ujung pipa paralon diletakkan lampu TL 5 watt yang berfungsi sebagai rangsangan cahaya sehingga larva bergerak menjauhi cahaya (Gambar 7). Pengamatan aktivitas gerak larva dilakukan dengan meletakkan seekor larva pada ujung pipa kemudian diamati waktu yang diperlukan sampai larva menempuh jarak 30 cm (sepanjang penggaris). Perlakuan ini diulangi tiga kali untuk setiap konsentrasi uji kemudian dibandingkan dengan kontrol.
17
Gambar 7. Pipa paralon yang dibelah memanjang
(3) Jangka hidup nyamuk Ae. aegypti Jangka hidup Ae. aegypti pradewasa dibedakan antara larva dengan pupa. Jangka hidup larva merupakan perubahan dari L3 sampai menjadi pupa, sedangkan jangka hidup pupa dimulai dari pupa sampai dewasa.
Gambar 8. Kandang perlakuan.
Pengamatan terhadap jangka hidup larva dan pupa dilakukan setiap jam sampai terjadi perubahan stadium. Penggantian media air dilakukan setiap dua hari sekali agar tidak terjadi kekurangan oksigen akibat penimbunan sisa makanan dan kulit sisa moulting. Jangka hidup Ae. aegypti dewasa dibedakan antara jantan dan betina. Pupa yang akan menyilih dimasukkan kedalam kandang pengamatan berukuran 20x20x20 cm3 (Gambar 8). Pengamatan dilakukan setiap dua hari sekali.
(4) Berat badan Ae. aegypti Berat badan Ae. aegypti dalam penelitian ini mencakup berat basah dan berat kering dari stadium larva, pupa, dewasa jantan dan betina. Penimbangan
18
berat basah larva dilakukan terhadap 20 larva instar 3 (L3) setelah larva dipaparkan dengan temefos 1x24 jam. Penimbangan dilakukan dengan menggunakan timbangan elektronik OHAUS GA200. Larva dan pupa yang akan ditimbang di letakkan di atas plastik sebagai alas ukuran 10x6 cm2 yang di atasnya ditempel kertas saring ukuran 3x3 cm2 untuk menyerap air, berat alas 0,6 mg yang nantinya tidak dihitung (sebagai pengurang). Setelah penimbangan berat basah, larva dikeringkan dalam oven pada suhu 880C selama 3 jam untuk penimbangan berat kering (Sujatmiko, 2000). Penimbangan berat badan Ae. aegypti dewasa dibedakan antara jantan dan betina. Nyamuk Ae. aegypti dewasa yang akan ditimbang berumur maksimal 24 jam, belum diberi pakan darah maupun cairan sukrosa. Untuk mendapatkan berat basah, sebelum ditimbang Ae. aegypti dewasa dianestesi dengan menggunakan eter selama 40 detik. Berat kering diperoleh dengan menimbang nyamuk yang sama setelah penimbangan berat basah. Pengeringan dilakukan dengan oven pada suhu 880C selama 3 jam (Sujatmiko, 2000).
(5) Jumlah telur dan kelompok telur Pada penelitian ini ternyata tidaklah sama jumlah nyamuk yang bertahan hidup, karena semakin tinggi konsentrasi temefos yang dipaparkan maka semakin sedikit pula nyamuk yang hidup. Untuk mengamati jumlah telur dan kelompok telur yang dihasilkan selama hidup nyamuk, diambil perbandingan antara betina dengan jantan sebesar 2 : 1. Untuk memenuhi kriteria perbandingan betina dengan jantan 2 : 1 maka diambil 20 betina : 10 jantan (Kontrol, KL0, KL25 dan KL50), sedangkan untuk KL75 digunakan 14 betina : 7 jantan, terakhir untuk KL90 digunakan 4 betina : 2 jantan. Nyamuk jantan dan betina ini kemudian dimasukkan ke dalam kandang berukuran 20x20x20 cm3. Di dalam kandang disediakan larutan glukosa 10% yang diganti setiap dua hari sekali Pengambilan telur dilakukan setiap empat hari sekali sesuai siklus gonotrofik nyamuk. Siklus ini bersamaan waktunya dengan pemberian pakan darah. Pekerjaan ini dilakukan setiap empat hari sekali hingga nyamuk betina yang ada di dalam kandang mati semua. Jumlah telur adalah total semua telur
19
yang diperoleh selama hidup nyamuk sedangkan setiap sekali panen dihitung sebagai satu kelompok telur.
(6) Daya tetas telur Telur yang akan ditetaskan dimasukkan ke dalam nampan berukuran 20x14x4 cm3 yang berisi air 500 ml (Gambar 9). Daya tetas telur dihitung berdasarkan persentase telur yang menetas diantara total telur yang dihasilkan nyamuk. Telur dianggap tidak menetas apabila melewati 15 hari.
Gambar 9. Wadah tempat penetasan telur untuk pengamatan daya tetas telur dan ekdisis
(7) Kemampuan ekdisis dan eklosi Kemampuan ekdisis dihitung berdasarkan persentase larva yang berhasil menjadi pupa diantara jumlah total larva, sedangkan kemampuan eklosi dihitung berdasarkan pupa yang berhasil menjadi dewasa dari total pupa.
(8) Ratio kelamin jantan dan betina Jenis kelamin jantan dan betina dihitung berdasarkan pupa yang berhasil menjadi dewasa (eklosi) dari total pupa. Sebelumnya, pupa dimasukkan ke dalam gelas plastik bervolume 200 ml yang diisi ¾ bagian air, permukaan gelas ditutup dengan kain kasa. Dari setiap perlakuan konsentrasi diambil 25 ekor pupa sehingga pupa yang eklosi dapat diamati. Setelah eklosi, nyamuk diambil dengan aspirator. Nyamuk yang sudah diambil kemudian dibius dan diamati jenis kelaminnya.
20
Gambar 10. Wadah tempat pemeliharaan pupa eklosi dan ratio kelamin
3.3
Alur Penelitian
Larva L3 (F0)
Konsentrasi temefos : Kontrol, KL0, KL25,, KL50, KL75 dan KL90
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
(1) Abnormalitas Larva dan Telur Secara Makroskopis, (2) Aktivitas Gerak Larva, (3) Jangka Hidup, (4) Berat Badan, (5) Jumlah Telur dan Jumlah Kelompok Telur, (6) Daya tetas telur, (7) Kemampuan Ekdisis dan Eklosi, (8) Ratio Kelamin Jantan dan Betina.
Gambar 11. Bagan alur penelitian
21
3.4
Analisis Data Data dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (analysis of variance).
Jika hasil analisis berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji rerata Tuckey (Walpole, 1995), selain itu data juga disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Untuk parameter abnormalitas telur dan larva dianalisis secara deskriptif.
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Abnormalitas Bentuk Telur dan Larva Ae. aegypti
4.1.1 Abnormalitas bentuk telur Ae. aegypti Pada kondisi normal telur Ae. aegypti berukuran kecil (50µ), sepintas lalu tampak bulat panjang dan berbentuk lonjong (oval). Pada dinding luar (exochorion) telur nyamuk ini tampak adanya garis-garis dan terdapat bahan lengket (glikoprotein) yang mengeras bila kering (Christophers, 1960).
Kontrol KL25
Normal, bentuk oval telur rapuh, mudah pecah
KL0 KL50
piph KL75 KL90 Telur terpotong
Gambar 12. Abnormalitas morfologi telur Ae. aegypti setelah terpapar temefos dibandingkan dengan kontrol
23
Temefos merupakan racun kontak yang dapat masuk ke dalam tubuh larva melalui spirakel, segmen tubuh pada abdomen, dan mulut. Akumulasi temefos terbesar di dalam otot. Pemaparan temefos pada larva instar 3 (L3) terakumulasi paling besar dalam otot dan beredar keseluruh tubuh melalui hemolim. Penetrasi insektisida dipengaruhi oleh daya larutnya dalam lemak, semakin larut suatu insektisida dalam lemak maka semakin mudah insektisida tersebut masuk kedalam tubuh serangga (Matsumura, 1978). Temefos terpenetrasi ke dalam ovum pada proses embriogenesis yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan terganggunya sintesis protein ke kuning telur. Terakumulasinya temefos didalam folikel ovum menyebabkan pertumbuhan telur atau kesuburan telur menurun dan kerapuhan pada dinding telur (Inwang, 1968 dalam Kumar et al. (2009). Pemaparan temefos konsentrasi KL0, KL25 dan KL50 menyebabkan kerapuhan dinding telur sehingga telur mudah pecah, bentuk telur pipih (KL50), salah satu ujung yang tidak sempurna (KL75) dan telur yang membelah secara melintang (KL90) (Gambar 12).
4.1.2 Abnormalitas bentuk larva Ae. aegypti Secara normal larva nyamuk Ae. aegypti memiliki comb scale pada ruas abdomen kedelapan sebanyak 8-21 yang berjajar 1-3 baris. Bentuk individu dari comb scale seperti duri dengan lekukan yang jelas yang merupakan ciri dari larva Ae. aegypti. Larva normal juga dan memiliki corong udara atau sifon. Pada sifon terdapat pekten serta sepasang rambut yang berjumbai. Selain itu, larva juga memiliki rambut-rambut berbentuk kipas (palmate hairs) di sepanjang sisi tubuh (Christophers, 1960; Dekpes, 2008). Temefos merupakan insektisida organofosfat yang merupakan racun syaraf pada serangga dengan akumulasi terbesar adalah di dalam otot (Matsumura, 1978). Larva Ae. aegypti setelah terpapar temefos mengalami perubahan morfologi. Beberapa kerusakan larva Ae. aegypti setelah terpapar temefos antara lain rambut seta (palmate hairs) yang terdapat di sepanjang sisi tubuh menjadi rontok, abdomen mengkerut, kepala, torak, sifon dan ruas abdomen bagian belakang menghitam (Gambar 13).
24 Larva normal
Kontrol
Kepala, torak dan sifon, ruas abdomen belakang yang menghitam KL25
rambut seta rontok KL0
Abdomen yang mengkerut dan memendek
Abdomen yang memanjang
KL50
KL75
KL90
Gambar 13. Abnormalitas morfologi larva Ae. aegypti setelah terpapar temefos dibandingkan dengan kontrol
Secara umum, pengaruh temefos terhadap larva diawali oleh kejadian kejang-kejang atau tremor. Tremor atau kejang-kejang menyebabkan larva memerlukan energi yang lebih besar akibatnya larva kehabisan energi sehingga menyebabkan larva paralisis (lumpuh) atau bahkan kematian. Proses paralisis pada larva terjadi akibat penimbunan asetilkolin pada syaraf, asetilkolin merupakan neurotransmiter pada sistim syaraf larva serangga. Penimbunan asetilkolin pada syaraf disebabkan oleh kerja temefos yang menghambat enzim
25
asetilkolinterase sehingga enzim ini tidak dapat menghidrolisis asetilkolin. Hal ini yang menyebabkan paralisis atau kelumpuhan dan kematian larva. Pemaparan temefos KL0 menyebabkan kerontokan seta. Pemaparan temefos KL25 menyebabkan tubuh larva yang semakin memanjang. Proses pemanjangan dan pemendekan tubuh larva Ae. aegypti setelah terpapar temefos diduga akibat perbedaan kandungan air dalam tubuh larva dengan lingkungan. Pengaturan keseimbangan air merupakan kesetimbangan kimia larutan (Murray et al. 1995). Penentuan kandungan air tubuh larva dihitung menggunakan rumus di bawah ini (Sudjatmiko, 2000) :
Kadar air =
x 100%
Kandungan air rata-rata dalam tubuh larva setelah terpapar temefos pada konsentrasi normal (kontrol), KL0 dan KL25 adalah adalah 35% (Kontrol) dalam keadaan larva hidup, 37% (KL0), 36% (KL25), 61% (KL50), 55% (KL75) dan 72% (KL90) dalam keadaan larva sudah mati. Semakin tinggi kandungan temefos pada media air menyebabkan kadar air pada tubuh larva semakin tinggi akibatnya terjadi perbedaan tekanan osmotik. Tekanan osmotik merupakan tekanan koligatif larutan yang dapat menghentikan perpindahan molekul-molekul pelarut ke dalam larutan melalui membran sel semi-permeabel. Perpindahan molekul larutan dan melalui membran semi-permeabel lebih dikenal dengan istilah osmosis. Kesetimbangan larutan kimia osmosis dapat terjadi dengan cara difusi. Larutan yang berpindah secara osmosis adalah larutan yang mengandung kepadatan molekul lebih tinggi ke larutan yang kepadatan molekul lebih rendah. Difusi merupakan proses perpindahan kandungan air dari larutan yang memiliki kandungan air tinggi ke rendah. Pada larva yang mati terjadi perpindahan air dari kandungan molekul air yang tinggi pada lingkungan ke dalam tubuh larva Ae. aegypti yang mempunyai tekanan osmotik lebih rendah, hal ini terlihat pada kondisi larva yang terpapar dengan temefos pada perlakuan KL25, sehingga tubuh larva menjadi lebih panjang.
26 Pemaparan temefos dengan konsentrasi KL50 memperlihatkan perubahan
warna pada sifon dan ruas abdomen belakang menjadi kehitaman. sifon dan ruas abdomen belakang menghitam kemungkinan disebabkan oleh proses oksidasi biologis yang terhambat di dalam tubuh larva Ae. aegypti. Kelangsungan hidup larva dipengaruhi oleh pH atau tingkat keasaman. Perbedaan sifat kimia air berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan larva. Larva Ae. aegypti dapat hidup pada lingkungan dengan pH antara 5,8-8,6 (Chan et al. 1971), penelitian Hidayat et al. 1997 menemukan bahwa larva nyamuk Ae. aegypti dapat hidup pada pH 5-9. pH lambung atau usus larva adalah 5,5-5,8 (Christophers, 1960). Keasamaan atau pH ekstraseluler lingkungan yang normal makhluk hidup adalah 7,35-7,45 (Murray, 1995). Hasil pengukuran pH larutan normal adalah 7,5 (kontrol) dan larutan temefos KL0, KL25, KL50, KL75 dan KL90 secara berurutan adalah 6,8; 7,1; 7,4; 8,3 dan 9,5. Perbedaan pH tubuh larva dengan pH lingkungan berpengaruh terhadap transportasi oksigen dalam tubuh larva. Akumulasi temefos menghambat masuknya oksigen sehingga proses oksidasi biologis (pembakaran) di dalam otot ikut terhambat (Tarumingkeng, 1992). Terhambatnya transportasi oksigen menyebabkan terganggunya
pembentukan enzim
sitokromoksidase, enzim
sitokromoksidase merupakan enzim respirasi dalam proses oksidasi biologi atau metabolisme (Murray et al. 1995). Perubahan warna ini diduga akibat akumulasi temefos yang masuk melalui sifon sehingga aliran oksigen terhambat. Pemaparan temefos KL75 dan KL90 menyebabkan tubuh larva Ae. aegypti memendek diduga akibat kandungan air dari tubuh larva keluar melalui ruas-ruas abdomen ke dalam lingkungan. Perpindahan air dari tubuh larva ke lingkungan adalah akibat kandungan temefos yang tinggi (0,433 ppm atau KL90) di dalam larutan, hal ini menyebabkan tekanan osmotik lingkungan lebih tinggi. Akibat air keluar dari tubuh larva maka tubuh larva mengkerut dan memendek.
4.2
Aktivitas Gerak Larva Nyamuk Ae. aegypti Rata-rata waktu yang diperlukan oleh larva Ae. aegypti setelah terpapar
dengan temefos untuk menempuh jarak 30 cm (Tabel 3) adalah 2 menit 39 detik (KL0), 3 menit 49 detik (KL25), 9 menit 2 detik (KL50), 14 menit 36 detik (KL75),
27
dan 24 menit 35 detik (KL90) sedangkan waktu tempuh larva Ae. aegypti yang tidak terpapar dengan temefos (kontrol) adalah 2 menit 57 detik.
Tabel 3. Rata-rata waktu tempuh larva nyamuk Ae. aegypti sejauh 30 cm setelah terpapar temefos Konsentrasi Kontrol KL0 KL 25 KL 50 KL75 KL90
Waktu tempuh (menit, detik) a 2,57 a 2,39 a 3,49 b 9,2 c 14,36 d 24,35
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%. 24,35
25,00
20,00 14,36
(menit, detik)
15,00
10,00
9,20
2,395 3,49
5,00
2,57
0,00
Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
Waktu Tempuh
Gambar 14. Rata-rata waktu tempuh larva (L3) Ae. aegypti sejauh 30 cm setelah terpapar temefos
Waktu tempuh yang dibutuhkan oleh larva Ae. aegypti yang terpapar temefos KL0 dan KL25
bila dibandingkan dengan kontrol tidak terdapat
perbedaan yang nyata (P>0,05). Perbedaan yang nyata terlihat pada waktu tempuh yang diperlukan oleh larva Ae. aegypti
KL50, KL75, KL90 dengan kontrol,
sedangkan antara KL50, KL75, dan KL90 masing-masing berbeda nyata (P<0,05). Larva Ae. aegypti menyukai habitat yang tenang tanpa aliran air (genangan air dalam wadah) dan terlindungi dari cahaya secara langsung karena sifat larva menjauhi cahaya atau dengan kata lain bersifat fototropisme negatif.
28 Larva lincah dan aktif bergerak dengan memperlihatkan gerakan-gerakan
naik ke permukaan air dan turun ke dasar wadah secara berulang atau zig-zag. Gerakan yang dilakukan oleh larva adalah untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, dengan tujuan untuk memperoleh makan dan oksigen. Larva mengambil makanan di dasar wadah, oleh karena itu larva Ae. aegypti disebut pemakan makanan di dasar atau bottom feeder. Pada saat larva mengambil oksigen dari udara, larva bergerak menempatkan corong udara (sifon) pada permukaan air seolah-olah badan larva berada pada posisi membentuk sudut dengan permukaan air (Christophers, 1960). Pada penelitian ini adanya cahaya lampu TL 5 watt yang dipasang pada salah satu ujung pipa memaksa larva Ae. aegypti untuk bergerak menjauhi arah cahaya lampu. Gerakan menjauhi cahaya lampu membuktikan bahwa larva Ae. aegypti berusaha untuk memepertahankan diri meskipun dalam kondisi lemah akibat cekaman temefos. Semakin tinggi konsentrasi temefos yang dipaparkan semakin lambat aktivitas larva, hal ini terlihat dari semakin lamanya waktu yang diperlukan oleh larva untuk bergerak sejauh 30 cm. Waktu yang semula diperlukan 2 menit 57 detik menjadi 24 menit 35 detik setelah terpapar temefos dengan konsentrasi tertinggi yaitu 0,433 ppm (KL90). Keracunan temefos menyebabkan gangguan transmisi impuls pada ujung syaraf akibatnya terjadi gangguan pada aktivitas larva sehingga larva menjadi kejang-kejang dan aktivitas geraknya semakin lambat.
4.3
Jangka Hidup Nyamuk Ae. aegypti
4.3.1 Jangka hidup larva dan pupa nyamuk Ae. aegypti Jangka hidup larva (L3 sampai menjadi pupa) adalah 54 jam 12 menit (KL0), 86 jam 14 menit (KL25), 87 jam 21 menit (KL50), 87 jam 24 menit (KL75), dan 126 jam (KL90), sedangkan yang tidak terpapar temefos (kontrol) adalah 45 jam 54 menit. Jangka hidup larva (L3 sampai menjadi pupa) tidak berbeda nyata antara KL0, KL25, KL50, KL75 (P>0,05). Perbedaan yang nyata terdapat antara KL90 dengan KL0 dan kontrol (P<0,05).
29
Jangka hidup pupa Ae. aegypti setelah terpapar temefos adalah 36 jam 24 menit (KL0), 46 jam 6 menit (KL25), 57 jam 35 menit (KL50), 66 jam 32 menit (KL75) dan 69 jam 44 menit (KL90), sedangkan kontrol 32 jam 41 menit. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kontrol dengan KL0 dan KL25. Perbedaan yang nyata terdapat antara kontrol dengan KL50, KL75 dan KL90 (P<0,05), sedangkan diantara KL25, KL50, KL75 dan KL90 tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05).
Tabel 4. Rata-rata jangka hidup pradewasa nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos
Konsentrasi
Pupa-Dewasa (jam, menit) a 32,41 ab 36,24 abc 46,6 bc 57,35 c 66,32 c 69,44
L3-Pupa (jam, menit) a 45,54 54,12 a ab 86,14 ab 87,21 ab 87,24 126b
Kontrol KL 0 KL 25 KL 50 KL 75 90 KL
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%
140
126
120
100
86,22 87,35
87,23
80 (Jam, Menit)
66,53
60
54,20
45,87
76,73
57,58
46,10
40
32,68
36,40
20
0
Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
Larva L3-Pupa
Pupa-Dewasa
Gambar 15. Rata-rata jangka hidup pradewasa nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos
30
4.3.2 Jangka hidup nyamuk jantan dan betina Ae. aegypti Jangka hidup nyamuk Ae. aegypti jantan setelah terpapar temefos adalah 39 hari (KL0); 24,2 hari (KL25); 23,8 hari (KL50); 23,14 hari (KL75); 22 hari (KL90), sedangkan secara normal nyamuk jantan dapat hidup rata-rata 42,6 hari (kontrol). Perbedaan yang tidak nyata terdapat pada KL0, KL25, KL50 dengan kontrol (P>0,05). Perbedaan yang tidak nyata juga terdapat pada KL0, KL25, KL50, KL75 dan KL90 (P>0,05), tetapi terdapat perbedaan yang nyata bila dibandingkan antara kontrol dengan KL75 dan KL90(P<0,05).
Tabel 5. Rata-rata jangka hidup nyamuk dewasa Ae. aegypti setelah terpapar temefos
Konsentrasi
Dewasa (hari) Jantan a 42,6 ab 39 ab 24,2 ab 23,8 b 23,14 b 22
Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
Betina a 54,2 ab 46,7 abc 37,9 abc 36,9 bc 32,71 c 27
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%.
60,00 50,00
54,20
39,00
40,00 (hari) 30,00
36,90
37,90
32,71
23,80 23,14 22,00
27,00
24,20
20,00 10,00 0,00
46,70
42,60
KL0 KL25 KL50 KL75 KL90 Jantan Betina
Kontrol
Gambar 16. Rata-rata jangka hidup nyamuk dewasa Ae. aegypti (jantan dan betina) setelah terpapar temefos
31
Rata-rata jangka hidup nyamuk betina Ae. aegypti setelah terpapar temefos adalah 46,7 hari (KL0); 37,9 hari (KL25); 36,9 hari (KL50); 32,71 hari (KL75); 27 hari (KL90) dan rata-rata jangka hidup nyamuk betina normal adalah 54,2 hari. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kontrol, KL0, KL25 dan KL50, demikian pula antara KLo, KL25, KL50 dan KL75 (P>0,05). Perbedaan yang nyata terdapat antara kontrol dengan KL90 (P<0,05), sedangkan antara KL25, KL50 KL75 dan KL90 tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05). Data ditampilkan dalam Tabel 5 dan Gambar 16. Tidak terdapat perbedaan antara konsentrasi temefos paling rendah (0,180 mg/liter pada KL0) dengan konsentrasi yang tinggi (0,433 mg/liter pada KL90). Hal ini menunjukkan bahwa dibawah cekaman temefos, nyamuk jantan Ae. aegypti masih berusaha untuk mempertahankan hidupnya walaupun jangka hidupnya lebih pendek. Demikian juga halnya dengan jangka hidup betina, tidak terdapat perbedaan antara konsentrasi temefos KL0 dengan KL75. Hal ini juga membuktikan bahwa, nyamuk Ae. aegypti yang hidup pada lingkungan yang kurang optimal masih berusaha untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan meneruskan keturunannya. Semakin tinggi konsentrasi temefos yang digunakan maka jangka hidup larva dan pupa Ae. aegypti memiliki kecenderungan semakin lambat. Larva dan pupa membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan tahapan dalam daur hidupnya akibat alokasi energi yang seharusnya digunakan untuk jangka hidup secara normal dialihkan untuk mempertahankan diri dibawah cekaman insektisida. Larva dan pupa melakukan penghematan energi agar tujuan hidup meneruskan generasi berikutnya tercapai. Sebaliknya jangka hidup nyamuk dewasa jantan dan betina Ae. aegypti menjadi lebih singkat dibandingkan dengan normal, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Gunandini (2002) yang menyatakan bahwa Ae. aegypti mengalami pertumbuhan yang lebih lama pada stadium pradewasa dan memperpendek stadium dewasa setelah diseleksi dengan malation. Pada pengamatan ini telihat bahwa nyamuk Ae. aegypti
melakukan
“trade-off” energi. Fenomena “trade-off” yang ditunjukkan oleh oleh nyamuk Ae. aegypti dengan memperpanjang jangka hidup pradewasa, sebaliknya memperpendek jangka hidup dewasa. Suatu hubungan antara dua sifat yang
32
dimiliki satu individu karena sesuatu hal dapat menyebabkan sifat yang satu mengalami peningkatan sedangkan sifat yang lain mengalami penurunan akibat jumlah energi yang digunakan sangat terbatas (Begon et al. 1996).
4.4
Berat Badan Nyamuk Ae. aegypti Semakin tinggi konsentrasi temefos yang dipaparkan menyebabkan berat
basah maupun berat kering larva dan pupa menjadi semakin ringan. Tabel 6 dan Gambar 17 menampilkan data berat larva nyamuk Ae. aegypti. Berat basah larva Ae. aegypti yang terpapar dengan temefos adalah 0,0268 mg (KL0); 0,1933 mg (KL25); 0,1167 mg (KL50); 0,0108 mg (KL75); 0,0108 mg (KL90) sedangkan berat basah larva yang tidak terkontaminasi adalah 0,0280 mg. Berat kering larva Ae. aegypti yang normal adalah 0,0177 mg, sedangkan berat basah rata-rata larva yang dipaparkan temefos adalah 0,0175 mg (KL0); 0,0123 mg (KL25); 0,0045 mg (KL50); 0,0048 mg (KL75); 0,0030 mg (KL90). Berat basah dan berat kering larva antara kontrol dan KL0 tidak berbeda nyata (P>0,05), demikian juga antara KL50, KL75 dan KL90 tidak berbeda nyata (P>0,05).
Tabel 6. Rata-rata berat basah dan berat kering pradewasa nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos Konsentrasi Kontrol KL 0 KL 25 KL 50 KL 75 KL 90
Larva (mg) Berat basah Berat kering a a 0,0280 0,0177 a a 0,0268 0,0175 b b 0,1933 0,0123 c c 0,1167 0,0045 c c 0,0108 0,0048 c c 0,0108 0,0030
Pupa (mg) Berat basah Berat kering a a 0,0375 0,0170 b b 0,0200 0,0093 b b 0,0195 0,0080 c b 0,0113 0,0075 d c 0,0073 0,0022 e c 0,0032 0,0012
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%.
Tabel 6 dan Gambar 18 menunjukkan rata-rata berat pupa. Pemaparan temefos menyebabkan berat basah pupa Ae. aegypti semula 0,0375 mg (kontrol) menjadi 0,0200 mg (KL0); 0,0195 mg (KL25); 0,0113 mg (KL50); 0,0073 mg (KL75); 0,0032 mg (KL90). Rata-rata berat kering pupa Ae. aegypti yang terpapar dengan temefos adalah 0,0093 mg (KL0); 0,0080 mg (KL25); 0,0075 mg (KL50);
33
0,0022 mg (KL75); 0,0012 mg (KL90) dan yang tidak terpapar temefos adalah 0,0170 mg (kontrol). Perbedaan yang nyata pada berat basah dan berat kering terdapat antara kontrol dengan semua perlakuan (P<0,05). 0,03 0,025
0.0268
0,028
0.0177
0,02
0.0193
0,0175
0.0117
0.0123
0,01 0,005 0
(mg) 0,015
0.0108 0.0108
0.0048
0,0045
0.003
KL KL KL KL KL
Kontrol
0
25
50
75
90
Berat Basah Larva
Berat Kering Larva
Gambar 17. Rata-rata berat basah dan berat kering larva nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos
0,04
0,0375
0,035 0,03 0,025 (mg)
0,02 0,015 0,01 0,005 0
0,0195
0,02 0,017
0.0113
0.0093
0,0075 0.0073
0,008
0.0022
0.0032
KL KL KL KL KL Berat Basah Pupa Berat Kering Pupa Kontrol
0
25
50
75
0.0012
90
Gambar 18. Rata-rata berat basah dan berat kering pupa nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos
Tabel 7 dan Gambar 19 menampilkan rata-rata berat badan nyamuk jantan Ae. aegypti. Rata-rata berat basah nyamuk jantan Ae. aegypti semula 0,0227 mg (kontrol) menjadi 0,0123 mg (KL0); 0,0115 mg (KL25); 0,0105 mg (KL50);
34
0,0077 mg (KL75) dan 0,0044 mg (KL90). Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara KL0, KL25, KL50, KL75, demikian juga antara KL75 dan KL90 (P>0,05). Perbedaan yang nyata terdapat antara kontrol dengan semua perlakuan (P<0,05). Data berat kering jantan dari semula 0,0117 mg (kontrol) menjadi 0,0090 mg (KL0); 0,0085 mg (KL25); 0,0068 mg (KL50); 0, 0027 mg (KL75) dan 0,0013 mg (KL90). Tidak terdapat perbedaan nyata pada berat kering nyamuk jantan Ae. aegypti antara kontrol dengan KL0, KL25 dan KL50, demikian juga antara KL50 dengan KL75 dan antara KL75 dan KL90 (P>0,05). Sebaliknya terdapat perbedaan yang nyata antara kontrol, KL0, KL25, KL50 dengan KL75 dan KL90 (P<0,05).
Tabel 7. Rata-rata berat basah dan berat kering nyamuk Ae. aegypti dewasa setelah terpapar temefos Konsentrasi Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
Jantan Berat basah Berat kering a a 0,0227 0,0117 a b 0,0090 0,0123 a b 0,0085 0,0115 ab b 0,0068 0,0105 bc bc 0,0077 0,0027 c c 0,0044 0,0013
Betina Berat basah Berat kering a a 0,0323 0,0173 b b 0,0193 0,0125 b b 0,0180 0,0122 c b 0,0137 0,0107 d c 0,0092 0,0057 e d 0,0050 0,0018
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%.
(%)
0,0250 0,0200 0,0150 0,0100 0,0050 0,0000
0,0227
0,01170,0123 0,0115
0,0105
0,0085
0,0090
0,0068
0,0077
0,0027
0,0044 0,0013
KL KL KL KL KL
Kontrol
0
Berat Basah Jantan
25
50
75
90
Berat Kering Jantan
Gambar 19. Rata-rata berat basah dan berat kering nyamuk jantan Ae. aegypti setelah terpapar temefos
35 Rata-rata berat basah betina yang tidak mendapatkan perlakuan adalah
0,0323 mg (kontrol), sedangkan yang mendapat perlakuan temefos adalah 0,0193 mg (KL0); 0,0180 mg (KL25); 0,0137 mg (KL50); 0,0092 mg (KL75) dan 0,0050 mg (KL90). Data ini menunjukkan perbedaan yang tidak nyata antara KL0 dengan KL25 (P>0,05). Perbedaan yang nyata terdapat antara KL0, KL25 dengan kontrol, dan juga dengan KL50, KL75, KL90, perbedaan yang nyata juga terdapat diantara KL50, KL75 dan KL90 (P<0,05). Rata-rata berat kering nyamuk betina Ae. aegypti yang tidak terpapar temefos (kontrol) semula 0,0173 mg menjadi
0,0125 mg (KL0); 0,0122 mg
(KL25); 0,0107 mg (KL50); 0,0057 mg (KL75) dan 0,0018 mg (KL90) setelah dipaparkan dengan temefos. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara KL0, KL25, KL50 (P>0,05). Berat kering nyamuk betina antara kontrol dengan KL0, KL25, KL50 berbeda nyata, demikian juga antara kontrol dengan KL75 dan KL90, perbedaan yang nyata juga terdapat antara KL75 dan KL90 (P<0,05) (Tabel 7 dan Gambar 20).
0,0350 0,0300 0,0250 0,0200
0,0323
0,0173
(mg) 0,0150 0,0100 0,0050 0,0000
0,0193
0,0180
0,0122
0,0125
0,0137
0,0107
0,0092 0,0057
KL KL KL KL KL
Kontrol
0
Berat Basah Betina
25
50
75
0,0050
0,0018
90
Berat Kering Betina
Gambar 20. Rata-rata berat basah dan berat kering nyamuk betina Ae. aegypti setelah terpapar temefos
Semakin tinggi konsentrasi temefos yang digunakan maka berat badan pradewasa dan dewasa nyamuk Ae. ageypti semakin rendah. Dibawah cekaman temefos nyamuk Ae. aegypti stadium larva, pupa maupun dewasa berusaha untuk bertahan hidup. Kondisi nyamuk Ae. aegypti pradewasa dan stadium dewasa
36
yang gerakannya semakin lemah mempengaruhi kemampuan larva untuk mencari makan. Jumlah pakan yang dimakan menjadi sedikit akibatnya energi yang dimiliki oleh larva, pupa dan stadium dewasa Ae. aegypti menjadi terbatas, sehingga ukuran tubuh menjadi lebih kecil dibandingkan dengan normal. Hal inilah yang menyebabkan penurunan berat badan pada stadium pradewasa maupun dewasa nyamuk Ae. aegypti. Bentuk adaptasi yang ditampakkan oleh Ae. aegypti yang terpapar dengan temefos adalah dengan memperkecil ukuran tubuhnya, secara tidak langsung hal ini mengakibatkan efisiensi atau penghematan energi yang diperlukan untuk kelangsungan hidup (Yan et al.1998). Penurunan berat badan Ae. aegypti merupakan respon negatif terhadap kerja insektisida temefos. Sibly & Calow (1988) dalam Gunandini (2002) menyatakan jumlah energi yang tersedia sangat terbatas sehingga untuk kelangsungan hidup organisme di dalam lingkungan yang tidak normal, akan terjadi pengalokasikan energi untuk mempertahankan hidup.
4.5
Jumlah telur dan Kelompok Telur Ae. aegypti Rata-rata jumble telur per individu nyamuk Ae. aegypti yang terpapar
temefos adalah 63 butir (KL0), 64 butir (KL25), 76 butir (KL50), 93 butir (KL75) dan 34 (KL90) serta 64 butir pada nyamuk yang tidak terpapar oleh temefos (Kontrol). Jumlah telur nyamuk Ae. aegypti betina ternyata tidak berbeda nyata antara kontrol dengan KL0, KL25, KL50 dan KL75 (P>0,05), perbedaan yang nyata hanya terdapat antara KL90 dengan kontrol, KL0, KL25, KL50 dan KL75 (P<0,05). Tabel 8 dan Gambar 21. Rata-rata jumlah kelompok telur selama hidup nyamuk Ae. aegypti betina setelah terpapar temefos yaitu 17 batch (KL0), 16 batch (KL25), 15 batch (KL50), 12 batch (KL75) dan 11 batch (KL90), sedangkan yang tidak terpapar temefos adalah 16 batch (kontrol). Data menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara KL0, KL25, KL50 dengan kontrol, demikian juga KL75 dan KL90 (P>0,05). Perbedaan yang nyata hanya pada KL75, KL90 dengan kontrol (P<0,05). Tabel 8 dan Gambar 22. Semakin tinggi konsentrasi temefos yang digunakan maka kemampuan oviposisi Ae. aegypti betina semakin rendah. Penetrasi temefos menyebabkan
37
terhambatnya pertumbuhan dan terganggunya sintesis protein ke kuning telur selama embriogenesis (Kumar et al. 2009). Belinato et al. (2009) menyatakan bahwa Ae. aegypti yang hidup dibawah cekaman triflumuron, kemampuan menghisap darahnya semakin rendah. Jumlah telur dan jumlah kelompok telur dipengaruhi oleh kemampuan betina menghisap darah, volume darah yang masuk, dan banyaknya siklus gonotropik yang dilewati selama hidup nyamuk. Nyamuk Ae. aegypti betina mampu menghisap darah sebanyak 17-40 kali dengan oviposisi sampai 17 kelompok.
Tabel 8. Rata-rata jumlah telur dan jumlah kelompok telur selama hidup nyamuk Ae. aegypti betina setelah terpapar temefos
Konsentrasi
Jumlah telur / nyamuk (butir) 64a 67a 64a 76a 93a 34b
Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
Jumlah kelompok telur / nyamuk (batch) 16a 17a 16a 15a 12b 11b
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%.
93
100
(butir)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
76
64 67 64
KL KL KL KL KL Jumlah Telur / Nyamuk
Kontrol
0
25
50
75
34
90
Gambar 21. Rata-rata jumlah telur/nyamuk betina Ae. aegypti setelah terpapar temefos
38
Periode menghisap darah selama sekali siklus gonotropik antara 3-4 hari. Siklus gonotropik dimulai sejak betina menghisap darah, meletakkan telur dan menghisap darah kembali (Christophers, 1960; Bahang, 1978). Kemampuan betina menghisap darah dan volume darah yang masuk dipengaruhi oleh berat badan. Temefos mengakibatkan penurunan berat badan betina Ae. aegypti. Berat badan dan ukuran tubuh nyamuk yang lebih kecil menyebabkan volume darah yang dihisap akan semakin berkurang. Volume darah yang sedikit dapat menyebabkan kemampuan bertelur menurun sehingga jumlah telur dan jumlah kelompok telurpun menjadi lebih sedikit. Banyaknya siklus gonotropik dipengaruhi oleh jangka hidup nyamuk betina Ae. aegypti. Dari pengamatan terbukti bahwa jangka hidup nyamuk ini semakin pendek dengan semakin tingginya konsentrasi temefos. Sejalan dengan semakin singkatnya umur nyamuk maka banyaknya siklus gonotropik semakin berkurang. Pemaparan malation pada fase larva Ae. aegypti menyebabkan jumlah telur yang dihasilkan oleh nyamuk betina selama hidupnya menurun, semula 117,65 butir (F0) menjadi 139,05 butir (F5); 133,02 butir (F10); 89,88 butir (F15) dan 78,33 butir (F20) (Gunandini, 2002).
18
16
17
16
16
15
14
11
12
12 (batch)
10 8 6 4 2 0
KL KL KL KL KL Jumlah Kelompok Telur / Nyamuk
Kontrol
0
25
50
75
90
Gambar 22. Rata-rata jumlah kelompok telur/nyamuk betina Ae. aegypti setelah terpapar temefos
39
Penurunan jumlah telur juga terjadi pada nyamuk Ae. aegypti yang dipaparkan deltametrin pada fase larva dan dewasa. Jumlah telur Ae. aegypti semula 104,5 butir (F0) menjadi 95 butir (F20) dan 65,67 butir (F40) akibat. Pemaparan deltametrin pada stadium pupa juga menyebabkan penurunan jumlah telur semula 94,5 butir (F0) menjadi 68,91 butir (F20) dan 70 butir (F40). Demikian juga pemaparan deltametrin pada stadium dewasa mengakibatkan penurunan jumlah telur, rata-rata jumlah telur berubah dari 108, 4 butir per betina menjadi 78,50 butir (F20) dan 68 butir(F40) (Kumar et al. 2009). Pemaparan temefos mengakibatkan penurunan jumlah telur (Tabel 8). Jumlah telur nyamuk Ae. aegypti yang terpapar temefos dengan konsentrasi KL0, KL25, KL50, KL75 tidak berbeda dengan kontrol, hal ini menunjukkan bahwa dibawah cekaman temefos nyamuk Ae. aegypti betina masih berusaha untuk mempertahankan diri. Kemampuan bertelur yang masih sama dengan kontrol sampai KL75 merupakan usaha maksimal trade-off yang dilakukan oleh nyamuk Ae. aegypti. Gunandini (2002) juga menyatakan bahwa jumlah rata-rata telur yang dihasilkan oleh seekor nyamuk Ae. aegypti setelah diseleksi oleh malation sampai generasi ke-20 (F20) tidak terdapat perbedaan yang nyata dengan kontrol (F0). Jumlah telur yang dihasilkan oleh nyamuk betina Ae. aegypti selama hidup secara normal tanpa ada cekaman insektisida menurut Niendria (2011); Antonio et al. (2009); Adanan et al. (2005); Gunandini (2002); Bahang (1978) dan Clements (1963) secara berurutan adalah 284,6 butir; 108,5 butir; 117,65 butir; 117,35 butir; 128 butir dan 100 butir sedangkan jumlah telur Ae. aegypti normal dalam penelitian ini adalah 64 butir. Jumlah telur perindividu yang berbeda diantara peneliti lain kemungkinan juga dipengaruhi oleh luas kandang yang digunakan. Luasan kandang yang optimal untuk tempat istirahat (density site resting) seekor Ae. aegypti adalah 1,82 cm2, (Gerberg et al. 1994). Dalam penelitian ini luas kandang perlakuan yang digunakan adalah 2.400 cm2 (rusuk kandang 20x20x20 cm3) sehingga tempat istirahat per ekor nyamuk hanya 1,25 cm2. Sempitnya luasan kandang ini berakibat secara normalpun nyamuk terganggu dalam beraktivitas, keadaan ini diduga menjadi salah satu faktor penyebab jumlah telur rata-rata yang dihasilkan berada dibawah standar.
40
Banyaknya kelompok telur yang dihasilkan oleh seekor nyamuk betina Ae. aegypti sangat tergantung dari lamanya jangka hidup nyamuk itu sendiri, meskipun jumlah kelompok telur pada setiap kelompok tidaklah sama. Gunandini (2002) menyatakan bahwa akibat seleksi malation terjadi penurunan jumlah kelompok telur nyamuk Ae. aegypti selama hidup seekor betina yaitu 6,83 (F0); 6,49 (F5); 4,85 (F10); 3,57 (F15) dan 2,04 (F20). Hasil penelitian menunjukkan jumlah kelompok telur nyamuk Ae. aegypti yang terpapar temefos dengan konsentrasi KL0, KL25, KL50 tidak berbeda dengan kontrol. Usaha yang dilakukan oleh nyamuk Ae. aegypti untuk meneruskan generasi selanjutnya dengan mempertahankan jumlah telur maupun kelompok telur merupakan fenomena adaptasi yang dikenal dengan istilah “plastisitas fenotip”.
4.6
Daya Tetas Telur Nyamuk Ae aegypti Daya tetas telur dipengaruhi oleh kemampuan betina menghisap darah,
volume darah yang masuk, dan periode menghisap darah. Kemampuan betina menghisap darah dan volume darah yang masuk dipengaruhi oleh berat badan. Penurunan kesuburan atau penurunan daya tetas telur dapat terjadi akibat cekaman insektisida. Insektisida temefos yang masukke ke dalam ovum menyebabkan efek racun terakumulasi dalam folikel ovum. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan telur atau kesuburan telur berkurang, penetrasi organofosfat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan terganggunya sintesis protein ke kuning telur selama embriogenesis (Kumar et al. 2009).
Tabel 9. Rata-rata persentase daya tetas telur Ae. aegypti setelah terpapar temefos
Konsentrasi Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
Daya tetas telur (%) a 80.09 ab 66.37 bc 48.60 bc 46.96 c 41.71 c 41.00
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%.
41
Rata-rata persentase daya tetas telur Ae. aegypti setelah terpapar temefos adalah 66,37% (KL0); 48,60% (KL25); 46,96% (KL50); 41,71% (KL75); 41,00% (KL90), sedangkan rata-rata daya tetas telur yang normal adalah 80,09%. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara KL0, KL25 dan KL50 demikian juga antara KL25, KL50, KL75 dan KL90 (P>0,05). Bila dibandingkan dengan kontrol, maka terdapat perbedaan yang nyata antara kontrol dengan KL25, KL50, KL75 dan KL90 (P<0,05). Dari penjelasan ini terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi temefos yang digunakan maka semakin rendah persentase kemampuan daya tetas telur. Perbedaan yang tidak nyata dengan kontrol hanya terdapat pada KL0 (P>0,05). Semakin tinggi konsentrasi temefos yang digunakan maka semakin kecil daya tetas telur hal ini kemungkinan disebabkan oleh suplai protein dalam darah tidak mencukupi sehingga menurunkan daya tetas telur. Protein yang sangat dibutuhkan oleh nyamuk dalam proses vitelogenesis adalah protein yang berasal dari darah sehingga darah merupakan nutrisi utama dalam proses pembentukan telur. Nyamuk Ae. aegypti betina bersifat antropofilik, artinya nyamuk lebih menyukai darah manusia dibandingkan dengan darah hewan (Clements, 1963). 90,00 80,00
87,06 76,49
70,00
55,89
48,27
50,00
(%)
53,68
60,00
44,95
40,00 30,00 20,00 10,00 -
KL KL KL KL KL Daya Tetas Telur
Kontrol
0
25
50
75
90
Gambar 23. Rata-rata persentase daya tetas telur nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos
Periode menghisap darah dipengaruhi oleh jangka hidup nyamuk Ae. aegypti betina, rata-rata jangka hidup betina yang normal tanpa cekaman temefos adalah 54,2 hari sedangkan yang terpapar temefos dengan konsentrasi tertinggi
42
(KL90) yaitu 27 hari (KL90), akibat pendeknya jangka hidup maka kesempatan menghisap darahpun semakin berkurang (Christophers, 1960). Kumar et al. (2009) melakukan penelitian efek pemberian insektisida deltamethrin dan kombinasi deltamethrin terhadap nyamuk Ae. aegypti yang dipaparkan pada stadium larva, pupa dan dewasa. Pemamparan deltametrin stadium larva menghasilkan rata-rata persentase daya tetas telur semula 82,5% (F0) menjadi 67,8% (F20) dan 57,2% (F40). Pemaparan deltametrin pada stadium pupa mengakibatkan jumlah persentase daya tetas telur pada awalnya 84,56% menjadi 66,50% (F20) dan 67,90% (F40), sedangkan pemaparan deltametrin pada stadium dewasa rata-rata persentase daya tetas telur semula sebesar 77,50% (F0) menjadi 66,40% (F20) dan 63,60% (F40). Perez et al. (2007) menyatakan bahwa senyawa nabati spinosad yang merupakan insektisida nabati dari jamur kelas Actomycotina. Spinosad diberikan pada nyamuk betina Ae. aegypti dewasa yang sedang gravid. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata daya tetas telur semula adalah 86,90% pada nyamuk kontrol menjadi 58,40% (5 ppm spinosad). Antonio et al. (2009) menggunakan spinosad dengan konsentrasi 0,06 ppm, dari hasil penelitian diperoleh rata-rata daya tetas telur dari semula 84,90% (kontrol) menjadi 72,60%.
4.7
Kemampuan Ekdisis dan Eklosi Nyamuk Ae. aegypti Persentase kemampuan ekdisis nyamuk Ae. aegypti yang dipaparkan
dengan temefos adalah 72,38% (KL0); 61,56% (KL25); 54,43% (KL50); 44,23% (KL75) dan 42,66 (KL90) sedangkan yang tidak terpapar temefos (kontrol) adalah 75,50%. Perbedan yang tidak nyata terdapat pada KL0, KL25 dan KL50 dan kontrol, demikian juga antara KL25, KL50, KL75 dan KL90 (P>0,05). Perbedaan yang nyata hanya pada KL75 dan KL90 bila dibandingkan dengan kontrol (P<0,05) (Tabel 10 dan Gambar 24). Pemaparan temefos mengakibatkan persentase kemampuan eklosi nyamuk Ae. aegypti yang terpapar dengan temefos dari 89,61% (kontrol) berubah menjadi 76,53 (KL0); 57,36 (KL25); 56,69 (KL50); 51,29 (KL75) dan 53,21 (KL90). Perbedaan yang nyata antara kontrol dan KL0 dengan KL25, KL50, KL90 (P<0,05). Kemampuan ekdisis KL0 tidak berbeda nyata dengan kontrol, demikian juga KL0,
43
KL25, KL50, KL90, dan juga antara KL25, KL50, KL75, KL90 (P>0,05). Data ditampilkan dalam Tabel 10 dan Gambar 25.
Tabel 10. Kemampuan ekdisis dan eklosi nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos
Konsentrasi Kontrol KL 0 KL 25 KL 50 KL 75 KL 90
Kemampuan ekdisis (%) a 77,50 a 72,38 ab 61,56 ab 54,43 b 44,23 b 42,66
Kemampuan eklosi (%) a 89,61 ab 76,53 bc 57,36 bc 56,69 c 51,29 bc 53,21
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%.
76,19
75,95
80,00
64,52
70,00
60,70
53,28
60,00
46,29
50,00 (%)
40,00 30,00 20,00 10,00
KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
-
Kontrol
Kemampuan Ekdisis
Gambar 24. Rata-rata kemampuan ekdisis nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos
Secara keseluruhan dapat dikatakan temefos tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pesentase kemampuan ekdisis nyamuk Ae. aegypti pada konsentrasi KL0, KL25, KL50. Semakin tinggi konsentrasi temefos semakin menurun persentase kemampuan ekdisis dan eklosi nyamuk Ae. aegypti. Keberhasilan nyamuk Ae. aegypti dalam mempertahankan kemampuan larva untuk berkembang menjadi pupa dan kemampuan pupa menjadi imago menunjukkan suatu kerjasama seluruh komponen sifat yang dimiliki nyamuk
44
demi keberhasilan meneruskan keturunan, meskipun disisi lain terjadi penurunan sifat yang lain. Hal ini dimungkinkan karena pengalokasian energi dalam kelangsungan hidup dan kepentingan generasi selanjutnya lebih diprioritaskan dibandingkan dengan kebutuhan energi yang digunakan untuk pertumbuhan diri sendiri. Fenomena ini menunjukkan bahwa kehidupan bukanlah suatu hal yang kaku, sehingga adanya suatu kelenturan proses akibat interaksi nyamuk Ae. aegypti dengan lingkungannya dapat menyebabkan nyamuk bertahan hidup dan meneruskan keturunan.
100,00
(%)
90,67
85,83
80,00 60,00 40,00 20,00
63,80
63,35
68,10
64,08
-
KL KL KL KL KL
Kontrol
0
25
50
75
90
Kemampuan Eklosi
Gambar 25. Rata-rata kemampuan ekdisis nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos
Penelitian yang dilakukan oleh Perez et al. (2007) menggunakan temefos dan vectobac menunjukkan bahwa rata-rata persentase kemampuan eklosi akibat cekaman temefos semula 41,20% menjadi 38,70% (temefos 0,1 gr) sedangkan pemaparan vectobac mengakibatkan penurunan eklosi dari 41,20% menjadi 38,70% (Vectobac 1 µl). Penurunan persentase ekdisis dan eklosi akibat pengaruh insektisida juga dilaporkan oleh Gunandini (2002), pemaparan malation terhadap nyamuk Ae. aegypti mampu menurunkan kemampuan ekdisis dan eklosi yang semula 91% dan 93% (F0) menjadi 84% dan 91% (F20). Hoe et al. (1983) menyatakan bahwa pemaparan malation mempengaruhi kemampuan ekdisi Ischiodon scutellaris Fabr (Diptera:Syrphidae) yang semula 73,95% (kontrol)
45
menjadi 55,38% (25 µg/ml); 66,86% (100 µg/ml); 47,77% (150 µg/ml); 54,98% (200 µg/ml) dan 33,46% (250 µg/ml).
4.8
Ratio Kelamin Jantan dan Betina Nyamuk Ae. aegypti Persentase kemunculan jantan dan betina tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata antara kontrol dan KL0, juga antara KL25, KL50, KL75 dan KL90 (P>0,05). Perbedaan ratio kelamin jantan dan betina yang nyata terdapat antara KL25, KL50, KL75, KL90 bila dibandingkan dengan kontrol (P<0,05).
Tabel 11. Rata-rata persentase ratio kelamin nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos
Konsentrasi
Perbandingan nisbah kelamin (%) Jantan Betina a a 56,83 43,17 a a 57,81 42,19 b b 52,38 47,62 b b 60,06 39,94 b b 70,70 29,30 b b 82,73 17,27
Kontrol KL0 KL 25 KL 50 KL 75 KL90
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%.
80,00 70,00 60,00 50,00 (%)
40,00 30,00 20,00 10,00 -
Kontrol
KL KL KL KL KL 0
Jantan
25
50
75
90
Betina
Gambar 26. Rata-rata persentase kelamin jantan dan betina nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos
46 Setiap organisme memiliki kemampuan untuk tetap mempertahankan
hidup dan keturunannya walaupun hidup pada lingkungan yang tidak optimal dibawah cekaman insektisida (Schneider et al. 2011). Hal ini terlihat dari semakin tinggi konsentrasi temefos yang digunakan maka cenderung semakin rendah persentase kemampuan eklosi nyamuk Ae. aegypti. Saling keterkaitan antar komponen dalam kelangsungan hidup nyamuk Ae. aegypti, mengakibatkan bila satu komponen terganggu maka mempengaruhi komponen yang lain. Penurunan persentase eklosi nyamuk Ae. aegypti akibat cekaman temefos menyebabkan terjadinya perubahan ratio kelamin jantan dan betina bila dibandingkan dengan normal. Secara normal eklosi pupa menjadi dewasa pada awalnya didominasi oleh jenis kelamin jantan, hal ini menunjukkan bahwa lebih mudah bagi nyamuk menghasilkan jenis kelamin jantan dibandingkan betina (Christophers, 1960). Terbukti dari penelitian ini bahwa nyamuk yang semakin lemah karena paparan temefos lebih banyak menghasilkan jenis kelamin jantan untuk generasi selanjutnya. Hasil penelitian menunjukkan efek temefos menyebabkan perubahan ratio jenis kelamin jantan dibandingkan dengan betina dari 56,83% : 43,17% (kontrol) menjadi 82,73% : 17,27% (KL90). Gunandini (2002) menyatakan bahwa nyamuk Ae. aegypti yang diseleksi oleh malation merubah komposisi ratio jenis kelamin antara jantan dan betina. Ratio jenis kelamin yang semula jantan dan betina yang semula 46% : 54% (F0) menjadi sebaliknya 54% : 46 % (F20).
4.9. Pembahasan Umum Lingkungan yang tidak optimal di bawah cekaman insektisida temefos memaksa nyamuk Ae. aegypti beradaptasi untuk menggunakan jumlah energi sebaik mungkin. Jumlah energi yang terbatas ini akan dialokasikan untuk berbagai keperluan hidup, terutama untuk meneruskan keturunan. Nyamuk Ae. aegypti berhasil bertahan di bawah cekaman temefos apabila dapat memanfaatkan energi dengan baik. Kemampuan nyamuk Ae. aegypti beradaptasi dengan lingkungan yang tidak optimal menunjukkan adanya kelenturan sifat yang dimiliki sebagai hasil interaksi dengan lingkungan, kelenturan sifat ini dikenal dengan istilah plastisitas fenotip (Uvarov, 1961).
47
Setiap makhluk hidup dapat beradaptasi dalam lingkungan yang tidak optimal dengan berbagai perubahan fisiologis. Nyamuk Ae. aegypti merupakan serangga dengan daur hidup yang kompleks sehingga memiliki kemampuan adaptasi yang lebih tinggi terhadap lingkungannya. Fase pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Ae. aegypti
merupakan komponen sifat yang saling
berkaitan. Suatu hubungan antara dua sifat yang dimiliki satu individu karena sesuatu hal dapat menyebabkan sifat yang satu mengalami peningkatan sedangkan sifat yang lain mengalami penurunan, hal ini karena jumlah energi yang digunakan sangat terbatas, peristiwa ini dikenal dengan istilah “trade-off” (Begon et al. 1996, Bedhomme et al. 2003, Schneider et al. 2011).
Tabel 12. Jangka hidup larva Ae. aegypti setelah terpapar temefos
Jangka hidup Pradewasa (jam, menit) Pupa - Dewasa L3 – Pupa a a 45,54 32,41 ab 54,12 a 36,24 ab abc 46,6 86,14 bc ab 87,21 57,35 c ab 66,32 87,24 c 126b 69,44
Konsen Trasi Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
Dewasa (hari) Jantan Betina a a 42,6 54,2 ab 39ab 46,7 ab abc 37,9 24,2 abc ab 23,8 36,9 bc b 32,71 23,14 27c 22b
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%. Tidak berbeda nyata dengan kontrol. Berbeda dengan kontrol.
Fenomena yang ditunjukkan oleh nyamuk Ae. aegypti akibat cekaman temefos terlihat pada Tabel 12. Pertumbuhan dan perkembangan larva nyamuk Ae. aegypti setelah dipaparkan temefos menunjukkan jangka hidup yang berubah, stadium pradewasa semakin lambat sedangkan stadium dewasa menjadi semakin singkat. Dalam keadaan tercekam tersebut jangka hidup L3-pupa pada perlakuan KL75 masih terlihat sama dengan normal. Jangka hidup pupa-dewasa sampai perlakuan KL25 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kontrol. Dari penjelasan ini terlihat bahwa sampai KL75 untuk perkembangan L3-pupa, larva Ae. aegypti mampu menunjukkan kelenturan sifat yang dimiliki (plastisitas
48
fenotip), tetapi pada perkembangan pupa-dewasa plastisitas yang dimiliki hanya sampai perlakuan KL25. Semakin tinggi konsentrasi temefos yang dipaparkan terlihat jangka hidup jantan dan betina semakin singkat. Nyamuk Ae. aegypti masih mampu menyamai jangka hidup nyamuk normal sampai perlakuan KL50. Dalam hal ini kemampuan nyamuk jantan maupun betina masih bisa menyamai nyamuk kontrol, artinya kelenturan sifat yang dimiliki kedua jenis kelamin ini relatif sama. Pada parameter jangka hidup nyamuk pradewasa dan dewasa setelah tercekam temefos terlihat adanya pertukaran energi di antara kedua stadium. Di satu sisi stadium pradewasa menjadi semakin lambat, sebaliknya stadium dewasa menjadi semakin singkat. Disinilah terjadi peristiwa pertukaran energi yang dikenal dengan istilah trade-off. Suatu hubungan antara dua sifat yang dimiliki satu individu karena sesuatu hal dapat menyebabkan sifat yang satu mengalami peningkatan sedangkan sifat yang lain mengalami penurunan, hal ini karena jumlah energi yang digunakan sangat terbatas. Keadaan ini memaksa nyamuk untuk menghemat energi yang terbatas, contoh nyata yang terlihat adalah aktivitas gerakan larva yang semakin lemah. Pada keadaan normal larva Ae. aegypti mampu menempuh jarak 30 cm selama 2 menit 57 detik, tetapi pada perlakuan KL90 untuk menempuh jarak yang sama larva memerlukan waktu 24 menit 35 detik. Hal ini menunjukkan jumlah energi yang dimiliki oleh nyamuk semakin berkurang karena bertahan terhadap cekaman temefos. Berat badan (berat basah dan berat kering) nyamuk Ae. aegypti stadium pradewasa dan dewasa setelah terpapar temefos semakin rendah (Tabel 13). Secara umum larva, pupa maupun dewasa (jantan dan betina) nyamuk Ae. aegypti bertahan terhadap cekaman temefos dengan menggunakan energi secara efisien. Energi yang ada sedapat mungkin digunakan untuk keperluan yang vital dengan mengabaikan kebutuhan dirinya sendiri (nyamuk tidak mampu menyamakan berat badannya dengan nyamuk normal). Keadaan ini terlihat pada terjadinya penurunan berat badan seiring dengan semakin tinggi konsentrasi temefos yang diujikan.
Tabel 13. Berat badan nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos pada fase L3 Berat Badan (mg) Konsentrasi Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
Pradewasa Larva (mg) Berat basah Berat kering a a 0,0280 0,0177 a a 0,0268 0,0175 b b 0,1933 0,0123 c c 0,1167 0,0045 c c 0,0108 0,0048 c c 0,0108 0,0030
Pupa (mg) Berat basah Berat kering a a 0,0375 0,0170 b b 0,0200 0,0093 b b 0,0195 0,0080 c b 0,0113 0,0075 d c 0,0073 0,0022 e c 0,0032 0,0012
Dewasa Jantan Berat basah Berat kering a a 0,0227 0,0117 a b 0,0090 0,0123 a b 0,0085 0,0115 ab b 0,0068 0,0105 bc bc 0,0077 0,0027 c c 0,0044 0,0013
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%. Tidak berbeda nyata dengan kontrol. Berbeda dengan kontrol.
Betina Berat basah Bera a 0,0323 0,0 b 0,0193 0,0 b 0,0180 0,0 c 0,0137 0,0 d 0,0092 0,0 e 0,0050 0,0
Tabel 14. Fekunditas nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos pada fase L3 Konsentrasi
Jumlah telur/nyamuk (butir)
Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
64a 67a 64a 76a 93a 34b
Jumlah kelompok telur/nyamuk (batch) 16a 17a 16a 15a 12b 11b
Daya tetas telur (%) a
80.09 ab 66.37 bc 48.60 bc 46.96 c 41.71 c 41.00
Kemampuan ekdisis (%) a
77,50 a 72,38 ab 61,56 ab 54,43 b 44,23 b 42,66
Kemampuan eklosi (%) a
89,61 ab 76,53 bc 57,36 bc 56,69 c 51,29 bc 53,21
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%. Tidak berbeda nyata dengan kontrol. Berbeda dengan kontrol.
Perbandingan nisba kelamin (%) Jantan Betin a
56,83 a 57,81 b 52,38 b 60,06 b 70,70 b 82,73
43,17 42,19 47,62 39,94 29,30 17,27
Usaha untuk mempertahankan keturunannya diperlihatkan oleh nyamuk Ae. aegypti yang telah terpapar oleh temefos. Pada perlakuan KL75 jumlah telur yang dihasilkan tidak berbeda dengan kontrol, demikian pula jumlah kelompok telur sampai KL50 masih sama dengan normal (Tabel 14). Hal ini membuktikan bahwa dibawah cekaman temefos nyamuk berusaha untuk mempertahankan keturunannya dengan menggunakan energi yang terbatas secara efisisen. Daya tetas telur yang dimiliki nyamuk setelah terpapar temefos tidak sebaik keberhasilan jumlah telur dan kelompok telur, daya tetas telur hanya menyamai kontrol sampai perlakuan KL0. Kemampuan ekdisis dapat menyamai kontrol sampai pada perlakuan KL50 tetapi kemampuan eklosi kembali hanya bertahan sampai pada perlakuan KL0..Kemampuan ekdisis dapat menyamai kontrol sampai pada perlakuan KL50 tetapi kemampuan eklosi kembali hanya bertahan sampai pada perlakuan KL0. Hal ini menggambarkan bahwa nyamuk dengan energi yang terbatas berusaha menghasilkan telur sebanyak-banyaknya, tetapi pada kenyataannya energi yang dimiliki tidak mampu memaksimalkan daya tetas telur. Temefos yang masuk ke dalam ovum menyebabkan efek racun terakumulasi dalam folikel. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan telur atau kesuburan telur berkurang, penetrasi temefos menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan terganggunya sintesis protein ke kuning telur selama embriogenesis (Kumar et al. 2009). Nyamuk Ae. aegypti dalam penelitian ini hanya mampu menyamai normal sampai KL75 (jumlah telur) dan KL50 (jumlah kelompok telur), sebaliknya nyamuk gagal menyamai normal pada kemampuan daya tetas telur. Gunandini (2002) menyatakan bahwa nyamuk Ae. aegypti yang diseleksi dengan malation sampai generasi ke-20 dapat menyamai nyamuk normal dalam hal jumlah telur, jumlah kelompok telur, daya tetas telur, kemampuan ekdisi dan kemampuan eklosi. Fenomena ini menunjukkan bahwa Ae. aegypti yang diseleksi secara bertahap oleh insektisida akan memiliki kelenturan sifat dan pertukaran energi yang lebih baik. Hal ini membuktikan bahwa di bawah cekaman insektisida nyamuk
berusaha
menggunakan
energi
semaksimal
mungkin
untuk
mempertahankan keturunannya. Dalam penelitian ini, daya tetas telur nyamuk Ae.
aegypti tidak mampu menyamai kontrol disebabkan temefos dipaparkan hanya pada satu generasi dan pada konsentrasi yang relatif tinggi. Perbandingan nisbah kelamin jantan dan betina menunjukkan semakin tinggi konsentrasi temefos yang dipaparkan maka persentase kelamin jantan lebih tinggi dibandingkan betina (Tabel 14). Nyamuk Ae. aegypti dibawah cekaman temefos berusaha untuk mempertahankan keturunannya dengan mengalokasikan energi semaksimal mungkin. Pemanfaatan energi dilakuan dengan meningkatkan jumlah kelamin jantan dan menurunkan terbentuknya jenis kelamin betina. Pengalokasian energi dalam proses pembentukan jantan dan betina merupakan usaha “trade-off” yang dilakukan oleh nyamuk Ae. aegypti. Suatu hubungan antara dua sifat yang dimiliki satu individu karena sesuatu hal dapat menyebabkan sifat yang satu mengalami peningkatan sedangkan sifat yang lain mengalami penurunan, hal ini karena jumlah energi yang digunakan sangat terbatas. Terlihat bahwa nyamuk Ae. aegypti dibawah cekaman temefos lebih mampu menhasilkan jenis kelamin jantan dibandingkan betina. Hal ini menmbuktikan bahwa nyamuk Ae. aegypti tetap berusha meneruskan keturunannya, meskipun hanya mampu menghasilkan jenis kelamin jantan yang semakin banyak dibandingkan betina. Proses pemebentukan kelamin jantan memerlukan energi yang lebih rendah dibandingkan dengan membentuk jenis kelamin betina, hal ini sesuai dengan pendapat Christophers (1960). Hasil penelitian ini juga menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian Gunandini (2002) pada nyamuk Ae. aegypti yang diseleksi dengan malation, dalam penelitian tersebut perbandingan jumlah jantan dan betina semula 46 : 54 (F0) menjadi 54 : 46 (F20).
5
KESIMPULAN
1. Secara umum dapat disimpulkan bahwa setelah dipaparkan dengan temefos nyamuk Ae. aegypti berusaha menyamai kondisi nyamuk normal. Semakin tinggi konsentrasi temefos yang digunakan maka semakin rendah daya tahan hidup nyamuk Ae. aegypti.
2. Nyamuk Ae. aegypti setelah dipaparkan dengan temefos berusaha bertahan hidup dengan melakukan adaptasi pada beberapa sifat. Nyamuk yang berhasil bertahan terhadap cekaman temefos adalah yang mempunyai kelenturan sifat paling tinggi (plastisitas fenotip).
3. Pada beberapa sifat terjadi pertukaran energi (trade-off) yaitu antara jangka hidup stadium pradewasa dengan dewasa serta antara jenis kelamin jantan dan betina.
4. Pemaparan temefos pada fase Larva instar 3 menyebabkan :
(L3) nyamuk Ae. aegypti
a. Abnormalitas bentuk telur dan larva. Pada telur terlihat bentuk telur menjadi lebih pipih, eksokorion semakin rapuh, telur pecah atau retak serta telur terpotong (potongan membujur dan melintang). Pada larva yang telah terpapar temefos rambut seta (palmate hairs) terlihat rontok, abdomen memanjang dan mengkerut, kepala, toraks dan sifon menghitam.
b. Aktivitas gerak larva semakin lemah sehingga waktu tempuh yang diperlukan semakin lambat untuk menempuh jarak 30 cm.
c. Jangka hidup stadium pradewasa semakin lambat, sebaliknya jangka hidup stadium dewasa semakin cepat.
d. Berat badan (berat basah dan berat kering) stadium pradewasa dan stadium dewasa semakin rendah.
e. Jumlah telur dan kelompok telur menjadi lebih sedikit.
f. Kemampuan daya tetas telur semakin menurun.
g. Kemampuan ekdisis dan eklosi semakin rendah.
h. Jenis kelamin jantan lebih banyak dihasilkan dibandingkan dengan jenis kelamin betina.
DAFTAR PUSTAKA
Adanan CR, Zairi J. 2005. Efficacy and sublethal effects of mosquito mats on Ae. aegypti and Culex quinquefasciatus (Diptera: Culicidae). Proc Fifth Internat Conf Urban Pests. Malaysia. 265-269.
Agnew P, Hauss CY, Michalakis Y. 2002. A minimalist approach to the effects of density dependent competition on insect life-history traits. J. Med. Entomol. 37 (2): 396-402.
Amir OG, Peveling R. 2004. Effect of triflumuron on brood development and colony survival of free-flying honeybee, Apis mellifera (L). J. Appl, Entomol. 128 (3) : 242-249.
Antonio GE, Daniel S, Trevor W, Carlos FM. (2009). Paradoxical effects of sublethal exposure to the naturally derived insecticide spinosad in the dengue vector mosquito, Aedes aegypti. J. Pest Mngt, Sci. 65 (2): 323– 326.
Badvaev AV. 2005. Stress-induced variation in evolution: from behavioural plasticity to genetic assimilation. Proc. R. Soc. 27 (2): 877-886.
Bahang ZB. 1978. Life history of Aedes aegepty and Aedes albopictus under laboratory conditions. Institute for Medical Research, Malaysia, Kuala Lumpur.
Bedhomme S, Agnew P, Sidobre C, Michalakis Y. 2003. Sex-specific reaction norms to intraspecific larval competition in the mosquito Aedes aegypti. J. Evol, Biol. 16 (1) : 721-730.
Begon M, Harper JL, Townsend CR. 1996. Ecology, individuals, populations and communities, Blackwell Science Ltd, Oxford.
Belinato TA, Ademir JM, Lima JBP, Lima-Camara TN, Alexandre AP, Denise V. 2009. Effect of the chitin synthesis inhibitor triflumuron on the. development, viability and reproduction of Aedes aegypti. Mem, Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro. 104 (1) : 43-47.
Braga IA, Mello CM, Peixoto AA & Denise V. 2005. Evaluation of methoprene effect on Aedes aegypti (Diptera:Culicidae) development in laboratory conditions. Mem, Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro. 100 (4) : 435-440.
Chan KL, Ho BC, Chan YC. 1971. Aedes aegypti (L.) and Aedes albopictus (Skuse) in Singapore City. Bull. Wld Hlth Org. 4 (1) : 629-633.
55
Chen CD, Lee HL. 2006. Laboratory bioefficacy of CREEK 1.0 G (temephos) against Aedes aegypti larvae (Stegomyia) (Linnaeus). J. Trop Biomed. 23 (2) : 220-223.
Christophers SSR. 1960. Aedes aegypti (L) the yellow fever mosquito, Its life history, bionomics and structure. Cambridge Univ Press, Cambridge. London.
Clements AN. 1963. The physiology of mosquitoes. Pergamon Press Ltd.
Departemen Kesehatan RI [DepKes]. 2005. Pencegahan dan pemberantasan demam berdarah dengue di Indonesia. Ditjen PPM&PLP, Jakarta.
Departemen Kesehatan RI [DepKes]. 2008. Kunci Identifikasi Nyamuk Aedes. Ditjen PPM&PLP, Jakarta.
EPA. 2009. Temephos. Http:///www.epa.gov/pesticides/op/temephos facts.
Gerberg EJ, Barnard DR, Ward RA. 1994. Manual for mosquito rearing and experimental techniques. J. Ame Mosq Cont. Assoc. 5 (1) : 97-105.
Gunandini DJ. 2002. Kemampuan Hidup Populasi Alami Nyamuk Aedes aegypti (Linn.) Yang Diseleksi Malathion Pada Stadium Larva. Disertasi. ITB. Bandung.
Murray RK. Granner DK. Mayes PA. Rodwell VW. 1995. Biokimia Harper Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Hoe TK, Sook-Ming NG, Sudderuddin KI. The effect of malathion on the weight, fecundity and longevity of Ischiodon scutellaris Fabr. (Diptera : Syrphidae). Pertanika. 6 (1) : 22-27.
Hoffmann AA, Hercus MJ. 2000. Environmental Stress as an Evolutionary Force. J. Bioscie. 50 (1) : 217–226.
Koella JC, Offenberg J. 1999. Food availability and parasite infection influence the correlated responses of life history traits to selection for age at pupation in the mosquito Aedes aegypti. J. Evol. Biol. 12 (2) :760–769.
Kumar S, Anita T, Thomas S, Arunima S, Anita V, Pillai MKK. 2009. Diminished reproductive fitness associated with the deltamethrin resistance in an Indian strain of dengue vector mosquito, Aedes aegypti L. Tropic Biomedicine. 26 (2): 155-164.
Laranja AT, Antonio JM, Hermione EMCB. 2003. Effects of caffeine and used coffee grounds on biological features of Aedes aegypti (Diptera : Culicidae) and their possible use in alternative control. J. Gene, Molec Biol. 26 (4) : 419-429.
56
Matsumura F. 1975. Toxicology of Insecticides. Plenum Press, New York.
Niendria A. 2011. Kapasitas reproduksi nyamuk Aedes aegypti di laboratorium. Skripsi. IPB. Bogor.
Paeporn P, Narumon K, Vanida D, Yupha R, Yuki E, Supatra T. 2003. Temephos Resistance In Two Forms on Aedes aegypti and Its Significance For The Resistance Mechanism. J. Trop. Med South. Asian. Pub. Hlth. 34 (4) : 786-792.
Perez CM, Marina CF, Rojas JC, Valle J, Williams T. 2007. Spinosad a naturally derived insecticide for control of Aedes aegypti (Diptera: Culicidae): efficacy, persistence, and elicited oviposition response. J. Med. Entomol. 44 (4): 631-638.
Reyes-Villanueva F, Juarez-Eguia M, Flores-Leal A. 1990. Effects of Sublethal Dosages of Abate Upon Adult Fecundity and Longevity of Aedes aegypti. J. Am. Mosq Contr. Assoc. 6 (4) : 739–741.
Reyes-Villanueva F, Juarez-EguiaM, Flores-Leal A. 1992. Efecto de Concentraciones Subletales de Abate Sobre Algunos Parametros Biologicos de Aedes aegypti. J. Mex. Salud Publ. 34 (4) : 406-412.
Roff DA, Bradford MJ. 2000. A quantitative genetics analysis of phenotypic plasticity of diapauses induction in the cricket Allonemibos socius. J. Gen. Evol. and co-ordination. 23(4) : 5-27
Schneider JR, Dave DC, Akio M, Jeanne R, David WS. 2011. Heritability and adaptive phenotypic plasticity of adult body size in the mosquito Aedes aegypti with implications for dengue vector competence. J. Inf, Gen, Evol. 11 (1) : 11-16.
Sujatmiko. 2002. Pengaruh konsentrasi subletal insektisida BPMC terhadap biologi Anopheles aconitus Donitz (Diptera : Culicidae). Tesis. IPB. Bogor.
Tarumingkeng RC. 1992. Insektisida : sifat, mekanisme kerja dan dampak penggunaannya. Ukrida Press, Jakarta.
Taviv Y. 2004. Efektivitas Ikan Cupang (Ctenops vitatus) Dalam Pengendalian Larva dan Daya Tahannya Terhadap Temephos. Laporan Penelitian. Loka Litbang P2B2 Baturaja. Palembang.
Thavara U, Apiwat T, Ruthairat S, Morteza Z, Mir SM. 2005. Sequential Release and Residual Activity of Temephos Applied as Sand Granules to Water- Storage Jars for The Control of Aedes aegypti Larvae (Diptera: Culicidae). J. Vect. Ecol. 30 (1) : 62-73.
57
Uvarov BP. 1961. Quantity and Quality in Insects Population. Proc. R. Entomol. Soc. London, Sec. C. 25 (1) : 52-59.
Walpole RE. 1995. Pengantar Statistika. PT. Gramedia Pustaka, Jakarta.
Yan G, Chadee DD, Severson DW. 1998. Molecular population genetics of the yellow fever mosquito:evidence for genetic hitch hiking effects associated with insecticide resistance. J. Inf, Gen, Evol. 148 (2) : 793–800.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Penetapan Konsentrasi Uji
Rata-rata kematian larva (L3) nyamuk Ae. aegypti Konsentrasi 0,60 ppm 0,50 ppm 0,40 ppm 0,35 ppm 0,30 ppm 0,25 ppm 0,20 ppm 0,10 ppm
Populasi (N)
Ulangan (r)
@ 25
Rata-rata kematian
% Kematian
24,5 24,4 21,4 16,8 9 0 0 0
98,0 97,6 85,6 67,2 36 0 0 0
@5
Analisis probit konsentrasi temefos EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LC/EC VALUES Version 1.5
Number Conc.
LC50-L3 Strain lokal (dramaga) Proportion Observed Responding Predicted Number Proportion Adjusted for Proportion Exposed Resp. Resp. Controls Resp.
0.1000 0.2000 0.2500 0.3000 0.3500 0.4000 0.5000 0.6000
25 25 25 25 25 25 25 25
0 0 3 9 17 21 24 24
0.0000 0.0000 0.1200 0.3600 0.6800 0.8400 0.9600 0.9600
0.0000 0.0000 0.1200 0.3600 0.6800 0.8400 0.9600 0.9600
0.0000 0.0221 0.1364 0.3636 0.6117 0.7972 0.9597 0.9937
Chi - Square for Heterogeneity (calculated) Chi - Square for Heterogeneity (tabular value at 0.05 level) Mu = - 0.485963 Sigma = 0.105858 Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits --------------------------------------------------------------------- Intercept 9.590690 0.602557 (8.409678, 10.771702) Slope 9.446592 1.226479 (7.042694, 11.850492) Theoretical Spontaneous Response Rate = 0.0000
= 5.944 = 12.592
59
Estimated LC/EC Values and Confidence Limits
Exposure 95% Confidence Limits
Point LC/EC 00.00 LC/EC 01.00 LC/EC 05.00 LC/EC 10.00 LC/EC 15.00 LC/EC 25.00 LC/EC 50.00 LC/EC 75.00 LC/EC 85.00 LC/EC 90.00 LC/EC 95.00 LC/EC 99.00
Conc. 0,180 0,185 0,219 0,239 0,254 0,285 0,330 0,384 0,420 0,433 0,488 0,576
Lower 0,150 0,173 0,187 0,210 0,226 0,255 0,307 0,354 0,391 0,411 0,443 0,508
Upper 0,189 0,211 0,242 0,260 0,274 0,285 0,347 0,384 0,468 0,505 0,566 0,704
60
Lampiran 2. Aktivitas Gerak Larva Nyamuk Ae. aegypti
Rata-rata waktu tempuh sejauh 30 cm larva nyamuk Ae. aegypti (menit,detik)
Kontrol
Perlakuan
1 2 3
1 2.45 2.40 3.10
2 3.25 3.10 3.39
KL0
3 3.16 2.49 3.10
1 2.54 2.34 2.19
2 2.10 3.24 3.45
KL25 3 2.14 2.37 3.51
1 3.52 4.56 4.10
2 3.42 4.53 3.10
KL50 3 4.31 3.38 3.49
1 10.11 9.29 10.31
2 8,37 11.10 12.47
KL75 3 9.28 10.18 8.54
1 15.35 17.18 12.35
2 14.38 13.21 17.46
Analisis ragam waktu tempuh sejauh 30 cm larva nyamuk Ae. aegypti Sum of Analisis ragam Squares Between Groups 1128.119 Within Groups 34.897 Total 1163.016
Mean Square 5 225.624 12 2.908 17 df
F
Sig.
77.585
.000
Analisis lanjut Tuckey waktu tempuh sejauh 30 cm larva Ae. aegypti. Perlakuan a
Tuckey HSD
KL0 Kontrol KL25 KL50 KL75 KL90 Sig.
N 3 3 3 3 3 3
1 2.6533 2.9400 3.8233
Subset for alpha = 0.05 2 3
9.0300
14.6033
.954
4
1.000
1.000
24.5900 1.000
KL90
3 14.56 13.55 13.37
1 24.31 21.21 26.10
2 31.18 27.10 28.30
3 17.56 27.12 18.43
61
Lampiran 3. Jangka Hidup Nyamuk Ae. aegypti
Jangka hidup larva (L3) sampai pupa nyamuk Ae. aegypti (menit,detik) Konsentrasi temefos No
Kontrol U1 U2 U3
2
38
3 4
5 7
42
8 9
10 11 12 13 14
15 16 17
18 19 20
1
6
Jangka hidup larva (L3) sampai pupa nyamuk Ae. aegypti (jam) KL0 KL25 KL50 KL75 U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1
41
41
41
52
41 41
42 42
43
42 42
42 42 42 42 42
42 42 42
42 42 42
52
50
41 43
43 43
52
43 43
43 43 43 44 44
44 44 44
44 44 44
51
51
52 52
52
52 53
54
52
54
52 52
52 52 52 54 54
54 54 54
54 54 55
55
50
54
50
54
56
56
51
55 55
56 56 57
56
57 57 58
53
76
82
94
62
81
112
88
88
76
205
57
53
78
84
96
64
83
112
90
90
83
206
57
58
58
58
59
58
59 59 59
61
59
61
59 61 61 61
50
52
94
45
81
108
67
79
U1
53
77
U3
49
69
U2
52
49
55
186
KL90 U2
U3
123
100
136
100
136
100
136
179
144
154 154
179
144
201
69 77 94 46 81 110 67 79 60 186 129 100
69 69
77 77
94 94
50 51
81 81
110 110
70 72
79 79
62 69
198 198
72 79 94 56 81 112 74 82 70 200 136 179
72
79
94
57
81
112
88
85
71
202
74 80 94 60 81 112 88 87 75 204 144 179
54 54
80 82
85 86
98 98
64 65
85 87
112 112
91 93
90 90
85 88
206 206 54 82 88 98 65 87 112 95 90 89 206 154 55 82 88 98 65 87 113 97 90 90 211 55 83 89 103 65 87 115 98 90 91 211 55 83 89 103 67 87 115 99 90 92 211 55 86 89 103 67 87 115 100 90 97 218 56 88 89 103 69 87 115 108 90 101 218 56 89 89 103 69 88 115 109 94 104 223 56 90 90 106 70 89 115 110 94 108 56 91 90 107 72 90 115 111 94 110
201 205
Analisis ragam rata-rata jangka aegypti
hidup larva (L3) sampai pupa nyamuk Ae.
Analisis ragam
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Between Groups
12270.741
5
2454.148
4.083
Within Groups
7213.272
12
601.106
Total
19484.013
17
Sig. .021
Analisis lanjut Tuckey rata-rata jangka hidup larva (L3) sampai pupa nyamuk Ae. aegypti
Perlakuan Tuckey HSDa
N
Subset for alpha = 0.05
2
1
Kontrol
3
45.8667
KL0
3
55.3300
KL50
3
86.2167
86.2167
KL25
3
87.2667
87.2667
KL75
3
87.3500
KL90
3 Sig.
87.3500 126.0667
.361
.400
60
Jangka hidup pupa sampai dewasa nyamuk Ae. aegypti (menit,detik) Konsentrasi temefos No
Jangka hidup pupa sampai dewasa nyamuk Ae. aegypti (jam) KL0 KL25 KL50 KL75 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3
U1
Kontrol U1 U2 U3
U1
KL90 U2
U3
1
26
31
28
29
34
29
39
40
39
49
49
49
53
51
49
56
58
56
2
26
31
28
32
34
38
39
40
42
55
55
51
53
51
53
68
59
71
3
26
31
28
32
34
38
43
43
42
55
57
51
53
54
56
71
69
87
4
26
31
28
35
35
38
43
43
42
55
57
51
56
54
56
87
78
101
5
34
31
28
35
35
38
43
43
42
55
57
51
61
54
56
98
78
124
6
34
31
28
35
35
38
45
44
45
57
59
51
61
54
56
101
82
124
7
34
31
28
35
35
38
45
46
46
57
59
51
66
59
56
124
82
131
8
34
31
28
35
35
38
45
46
46
57
59
51
66
59
59
131
82
134
9
34
31
35
35
38
38
45
48
46
57
60
51
66
59
64
131
91
155
10
34
31
35
35
38
38
45
48
46
57
60
58
66
73
73
131
99
163
11
34
31
35
35
38
38
45
48
46
57
60
58
66
73
74
133
12
34
31
35
35
38
38
45
53
46
57
60
58
66
73
74
133
13
34
34
35
35
38
38
45
53
46
59
66
58
66
73
74
133
14
34
34
35
35
38
38
45
53
46
59
66
58
66
73
74
133
15
34
34
35
35
40
38
16
34
34
35
35
40
38
121 168 123
45 53 46 59 66 60 66 73 74 149 45
53
46
59
66
60
72
73
78
155
45 53 46 59 66 60 78 73 78 40 18 34 39 35 35 40 38 47 53 48 59 66 60 85 73 81 17
34
39
35
35
19
34
39
35
35
40
38
47
53
53
59
68
60
87
73
81
20
39
39
35
35
40
38
47
53
53
59
68
60
89
78
81
38
Analisis ragam rata-rata jangka hidup pupa sampai dewasa nyamuk Ae. aegypti
Analisis ragam Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 3604.679 881.463 4486.143
df 5 12 17
Mean Square 720.936 73.455
F 9.815
Sig. .001
Analisis lanjut Tuckey rata-rata jangka hidup pupa sampai dewasa nyamuk Ae. aegypti
Perlakuan N Tuckey HSDa
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
Kontrol
3
32.6833
KL0
3
36.4000
36.4000
KL25 KL50 KL75 KL90
3 3 3 3
46.1000
46.1000 57.8500
.437
.081
Sig.
46.1000 57.8500 66.5333 69.5000 .051
63
Jangka hidup nyamuk jantan dan betina nyamuk Ae. aegypti (hari). No
Jantan
No
Betina
Kontr
KL0
KL25
KL50
KL75
KL90
Kontr
KL0
KL25
KL50
KL75
KL90
1
27
23
13
11
14
10
1
29
29
13
13
18
12
2
27
27
13
11
18
34
2
37
29
13
13
20
24
3
31
31
17
13
18
3
43
29
13
21
20
26
4
31
35
19
17
24
4
43
33
19
21
20
46
5
41
35
21
21
28
5
43
33
23
27
28
-
6
45
39
25
27
28
6
45
33
29
27
28
-
7
47
47
27
29
32
7
45
33
31
33
32
-
8
53
47
31
31
8
47
37
37
33
34
-
9
61
51
37
39
9
51
41
37
33
36
-
10
63
55
39
39
10
55
41
39
35
38
-
11
57
41
41
39
42
-
12
57
45
41
39
42
-
13
57
49
45
41
48
-
14
61
51
45
41
52
-
15
61
55
45
47
-
-
16
61
59
47
49
-
-
17
73
61
47
49
-
-
18
73
75
53
55
-
-
19
73
79
69
55
-
-
20
73
81
71
67
-
-
Analisis ragam rata-rata jangka hidup nyamuk jantan Ae. aegypti Sum of Squares 3554.645 5048.457 8603.102
Analisis ragam Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
F
Sig.
5 43 48
710.929 117.406
6.055
.000
Analisis lanjut Tuckey rata-rata jangka hidup nyamuk jantan Ae. aegypti Perlakuan a
Tuckey HSD
N
Kontrol KL0 KL50 KL25 KL75 KL90
10 10 10 10 10 10 Sig.
Subset for alpha = 0.05 1 2 22.0000 23.1429 23.8000 23.8000 24.2000 24.2000 39.0000 39.0000 42.6000 .105 .055
64 Analisis ragam rata-rata jangka hidup nyamuk betina Ae. aegypti. Sum of Squares 6368.918 19717.857 26086.776
Analisis ragam Between Groups Within Groups Total
df 5 92 97
Mean Square
F
Sig.
1273.784 5.943 214.325
.000
Analisis lanjut Tuckey rata-rata jangka hidup nyamuk betina Ae. aegypti Perlakuan a
Tuckey HSD
N
Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
20 20 20 20 14 4 Sig.
Subset for alpha = 0.05 1 2 3 27.0000 32.7143 32.7143 36.9000 36.9000 36.9000 37.9000 37.9000 37.9000 46.7000 46.7000 54.2000 0.480 .208 .061
65
Lampiran 4. Berat Badan Nyamuk Ae. aegypti
Rata-rata berat basah dan berat kering larva (L3) Ae. aegypti (mg) Kontrol No
Berat basah
KL0 Berat kering
KL25
Berat basah
Berat kering
Berat basah
Berat kering
0.0195 0.0205 0.0275 0.0175 0.0280 0.0195 0.0180 3
KL50
KL75
Berat basah
Berat kering
0.0130 0.0045 0.0120 0.0035 0.0120 0.0100 0.0055
KL90
Berat basah
Berat kering
0.0055 0.0040 0.0105 0.0050
Berat basah
0.0030 0.0020 0.0095 0.0040
1
0.0260
0.0190
0.0275
0.0175
0.0135
0.0125
0.0125
2
0.0270
0.0160
0.0285
0.0160
0.0115
0.0095
0.0105
Analisis ragam rata-rata berat basah larva (L3) nyamuk Ae. aegypti. Analisis ragam
Sum of Squares
Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
F
Sig.
.001
5
.000
123.329
.000
.000
12
.000
.001
17
Analisis lanjut Tuckey rata-rata berat basah larva (L3) nyamuk Ae. aegypti
Perlakuan
N
Subset for alpha = 0.05 1
2
KL75
3
.010833
KL90
3
.010833
KL50
3
.011667
KL25
3
Kontrol
3
KL0
3
Tuckey HSDa
3
.019333 .026833 .028000
Sig.
.959
1.000
.855
Analisis ragam rata-rata berat kering larva (L3) nyamuk Ae. aegypti.
Analisis ragam Between Groups
Sum of Squares .001
df 5
Mean Square .000
Within Groups Total
.000 .001
12 17
.000
F 90.565
Sig. .000
Analisis lanjut Tuckey rata-rata berat kering larva (L3) nyamuk Ae. aegypti.
Perlakuan N Tuckey HSDa
Subset for alpha = 0.05 1 2 3
KL90
3
.003000
KL50 KL75
3 3
.004500 .004833
KL25 Kontrol
3 3
KL0
3 Sig.
.012333 .017500 .482
1.000
Berat kering
.017667 1.000
66
Rata-rata berat basah dan berat kering pupa nyamuk Ae. aegypti (mg) Kontrol
KL0
No
Berat basah
Berat kering
1
0.0390
0.0190
2
0.0360
0.0165
3
0.0375
Berat basah
KL25
Berat kering
Berat basah
Berat kering
KL50
KL75
Berat basah
Berat kering
Berat basah
KL90
Berat kering
Berat basah
Berat kering
0.0210 0.0105 0.0200 0.0095 0.0125 0.0095 0.0065 0.0015 0.0040 0.0020 0.0200 0.0095 0.0195 0.0075 0.0115 0.0075 0.0075 0.0040 0.0030 0.0010 0.0155 0.0190 0.0080 0.0190 0.0070 0.0100 0.0055 0.0080 0.0010 0.0025 0.0005
Analisis ragam rata-rata berat basah pupa nyamuk Ae. aegypti.
Analisis ragam Between Groups Within Groups
Sum of Squares .002 .000
df 5 12
Total
.002
17
Mean Square .000 .000
F 432.429
Sig. .000
Analisis lanjut Tuckey rata-rata berat basah pupa nyamuk Ae. aegypti.
Perlakuan N Tuckey HSD a
KL90
3
KL75
3
KL50 KL25
3 3
KL0 Kontrol
3 3 Sig.
Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4 5 .003167 .007333 .011333 .019500 .020000 1.000
1.000
1.000
.989
.037500 1.000
Analisis ragam rata-rata berat kering pupa nyamuk Ae. aegypti. Analisis ragam
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
.000
5
.000
42.522
.000
Within Groups
.000
12
.000
Total
.001
17
Analisis lanjut Tuckey rata-rata berat kering pupa nyamuk Ae. aegypti. Perlakuan
N
Subset for alpha = 0.05 1
Tuckey HSD a
KL90
3
.001167
KL75
3
.002167
KL50 KL25 KL0 Kontrol
3 3 3 3
Sig.
2
3
.007500 .008000 .009333 .017000
.960
.680
1.000
67
Rata-rata berat basah dan berat kering nyamuk jantan Ae. aegypti (mg)
No 1 2 3
Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90 Berat Berat Berat Berat Berat Berat Berat Berat Berat Berat Berat Berta basah kering basah kering basah kering basah kering basah kering basah kering 0.0255 0.0140 0.0140 0.0090 0.0135 0.0090 0.0110 0.0080 0.0060 0.0040 0.0051 0.0025 0.0225 0.0075 0.0095 0.0095 0.0120 0.0095 0.0105 0.0045 0.0090 0.0025 0.0045 0.0005 0.0200 0.0135 0.0135 0.0085 0.0090 0.0070 0.0100 0.0080 0.0080 0.0015 0.0035 0.0010
Analisis ragam rata-rata berat basah nyamuk jantan Ae. aegypti. Analisis ragam Between Groups
Sum of Squares .001
df 5
Mean Square .000
Within Groups
.000
12
.000
Total
.001
17
F 31.195
Sig. .000
Analisis lanjut Tuckey rata-rata berat basah nyamuk jantan Ae. aegypti.
Perlakuan N Tuckey HSD
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
KL90
3
.004367
KL75 KL50 KL25
3 3 3
.007667
KL0 Kontrol
3 3
a
.007667 .010500 .011500 .012333
Sig.
.347
.022667 1.000
.094
Analisis ragam rata-rata berat kering nyamuk jantan Ae. aegypti. Analisis ragam Between Groups
Sum of Squares .000
df 5
Mean Square .000
Within Groups
.000
12
.000
Total
.000
17
F 12.907
Sig. .000
Analisis lanjut Tuckey rata-rata berat kering nyamuk jantan Ae. aegypti.
Perlakuan Tuckey HSDa
N
Subset for alpha = 0.05 1 2 3
KL90
3
.001333
KL75 KL50
3 3
.002667
KL25 KL0 Kontrol
3 3 3 Sig.
.950
.002667 .006833
.006833
.152
.008500 .009000 .011667 .076
68
Rata-rata berat basah dan berat kering nyamuk betina Ae. aegypti (mg)
No 1 2 3
Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90 Berat Berat Berat Berat Berat Berat Berat Berat Berat Berat Berat Berat basah kering basah kering basah kering basah kering basah kering basah kering 0.0305 0.0190 0.0200 0.0135 0.0195 0.0140 0.0145 0.0105 0.0095 0.0065 0.0055 0.0025 0.0340 0.0175 0.0195 0.0115 0.0180 0.0105 0.0130 0.0095 0.0100 0.0055 0.0045 0.0015 0.0325 0.0155 0.0185 0.0125 0.0165 0.0120 0.0135 0.0120 0.0080 0.0050 0.0050 0.0015
Analisis ragam rata-rata berat basah nyamuk betina Ae. aegypti.
Analisis ragam Between Groups
Sum of Squares .001
df 5
Mean Square .000
Within Groups
.000
12
.000
Total
.001
17
F 208.947
Sig. .000
Analisis lanjut Tuckey rata-rata berat basah nyamuk betina Ae. aegypti.
Perlakuan N Tuckey HSDa
KL90
3
KL75
3
KL50 KL25 KL0 Kontrol Sig.
Subset for alpha = 0.05 1 2 3 4 5 .005000 .009167
3 3 3 3
.013667 .018000 .019333 1.000
1.000
1.000
.711
.032333 1.000
Analisis ragam rata-rata berat kering nyamuk betina Ae. aegypti. Analisis ragam Between Groups
Sum of Squares .000
df 5
Mean Square .000
Within Groups
.000
12
.000
Total
.000
17
F 56.098
Sig. .000
Analisis lanjut Tuckey rata-rata berat kering nyamuk betina Ae. aegypti.
Perlakuan N
Tuckey HSD
a
KL90
3
KL75
3
KL50 KL25 KL0 Kontrol Sig.
Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4 .001833 .005667
3 3 3 3
.010667 .012167 .012500 1.000
1.000
.517
.017333 1.000
69
Lampiran 5. Jumlah Telur dan Kelompok telur Nyamuk aegypti Selama Hidup Betina
Ae.
Rata-rata jumlah telur (butir) dan kelompok telur (batch)
Kelompok telur 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Kontrol 493 976 1021 1120 842 1004 852 1117 812 781 895 675 568 338 198 207
Jumlah Telur KL25 KL50 978 849 950 674 718 839 436 822 764 809 704 1051 492 1035 771 690 882 636 503 274 324 121 0 231 421 0 101 87 127 103 69
KL0 623 1186 1307 924 1186 1307 924 868 875 517 434 308 321 123 107 98 0
KL75 KL90 684 85 487 72 542 153 664 142 567 177 604 125 714 58 659 64 231 55 0 59 181 0 213
Analisis ragam rata-rata jumlah telur Analisis ragam Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 3182698.695 8823262.155 1.201E7
df
Mean Square
F
Sig.
5 81 86
636539.739 108929.162
5.844
.000
Analisis lanjut Tuckey rata-rata jumlah telur Perlakuan a
Tuckey HSD
N 11 16 16 17 15 12
KL90 kontrol KL25 KL0 KL50 KL75 Sig.
Subset for alpha = 0.05 1 2 34.2800 63.7581 63.7581 64.2281 64.2281 67.4531 67.4531 76.2067 76.2067 93.0992 .101 .444
70
Lampiran 6. Daya Tetas Telur Nyamuk Ae. aegypti
Rata-rata daya tetas telur nyamuk Ae. aegypti (%)
Daya tetas telur No
Kontrol KL0 (n=20) (n=20) Telur Larva Telur Larva
KL25 (n=20)
KL50 (n=20)
KL75 (n=14)
Telur
Larva
Telur
Larva
Telur
KL90 (n=4)
Larva Telur
Larva
1
493
401
623
447
978
562
849
335
684
352
85
23
2
976
765
1186
895
950
457
674
421
487
267
72
45
3
1021
897
1307
989
718
439
839
459
542
349
153
35
4
1120
1091
924
876
436
331
822
542
664
334
142
65
5
842
768
1186
908
764
342
809
576
567
298
177
78
6
1004
998
1307
1017
704
435
1051
521
604
453
125
91
7
852
785
924
675
492
213
1035
659
714
176
58
26
8
1117
876
868
762
771
342
690
243
659
231
64
31
9
812
765
875
672
882
452
636
451
231
107
55
32
10
781
678
517
412
503
234
274
87
0
0
59
19
11
895
809
434
231
324
128
121
32
181
34
0
0
12
675
456
308
156
0
0
231
142
91
17
13
568
521
321
189
421
238
0
0
14
338
189
123
67
101
57
87
26
15
198
78
107
81
127
56
103
43
16
207
102
98
45
69
32
0
0
17
Analisis ragam rata-rata daya tetas telur Ae. aegypti.
Analisis ragam Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 18152.127 31287.054 49439.181
df 5 81 86
Mean Square
F
Sig.
3630.425 9.399 386.260
.000
Analisis lanjut Tuckey rata-rata daya tetas telur nyamuk Ae. aegypti
Konsentrasi
temefos
N
Tuckey HSDa
KL75 KL90 KL50 KL25 KL0 Kontrol
11 12 15 16 17 16 Sig.
Subset for alpha = 0.05 1 2 3 41.0022 41.7025 46.9627 46.9627 48.5967 48.5967 66.3667 66.3667 80.0901 .908 .103 .437
71
Lampiran 7. Kemampuan ekdisis dan eklosi nyamuk Ae. aegypti
Rata-rata kemampuan ekdisis nyamuk Ae. aegypti (%)
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Kontrol KL0 Larva Pupa Larva Pupa 401 368 447 387 765 672 895 783 897 761 989 761 1091 872 876 569 768 435 908 701 998 651 1017 762 785 542 675 349 876 673 762 498 765 451 672 653 678 569 412 312 809 761 231 189 456 345 156 145 521 321 189 173 189 156 67 23 78 67 81 78 102 87 45 34 0 0
Konsentrasi KL25 KL50 Larva Pupa Larva Pupa 562 219 335 201 457 327 421 213 439 397 459 241 331 236 542 398 342 189 576 349 435 298 521 418 213 109 659 391 342 211 243 187 452 249 451 198 234 185 87 52 128 93 32 21 0 0 142 48 238 187 0 0 57 13 26 9 56 45 43 28 32 28
KL75 Larva Pupa 352 127 267 109 349 210 334 231 298 178 453 238 176 109 231 104 107 78 0 0 34 11 17 0
KL90 Larva Pupa 23 12 45 19 35 27 65 39 78 23 91 41 26 9 31 11 32 18 19 7 0 0
Analisis ragam kemampuan ekdisi nyamuk Ae. aegypti Analisis ragam Sum of Squares Between Groups 14275.431 Within Groups 36871.063 Total 51146.494
df
Mean Square
F
Sig.
5 81 86
2855.086 455.198
6.272
.000
Analisis lanjut Tuckey rata-rata kemampuan ekdisi nyamuk Ae. aegypti Subset for alpha = 0.05
Perlakuan N
a
Tuckey HSD
KL90 11 KL75 KL50 KL25 KL0 Kontrol
12 15 16 17 16 Sig.
1
2
42.6611
44.2259 54.4314 61.5583
.185
54.4314 61.5583 72.3843 77.5042 .056
73
Rata-rata kemampuan eklosi nyamuk Ae. aegypti (%)
No
Kontrol
Konsentrasi KL25 KL50
KL0
KL75
KL90
Pupa
Dewasa
Pupa
Dewasa
Pupa
Dewasa
Pupa
Dewasa
Pupa
Dewasa
Pupa
Dewasa
1
368
357
387
365
219
178
201
98
127
56
12
11
2
672
561
783
666
327
215
213
128
109
71
19
13
3
761
734
761
658
397
227
241
102
210
115
27
14
4
872
869
569
545
236
187
398
290
231
187
39
21
5
435
342
701
689
189
102
349
210
178
125
23
18
6
651
548
762
670
298
187
418
214
238
214
41
29
7
542
421
349
213
109
76
391
321
109
75
9
4
8
673
568
498
357
211
174
187
145
104
59
11
7
9
451
401
653
523
249
109
198
169
78
45
18
13
10
569
562
312
289
185
112
52
31
0
0
7
2
11
761
739
189
178
93
65
21
7
11
3
0
0
12
345
327
145
123
0
0
48
27
0
0
13
321
311
173
152
187
90
0
0
14
156
145
23
18
13
5
9
2
15
67
56
78
48
45
23
28
13
16
87
69
34
14
28
15
0
0
17
Analisis ragam kemampuan eklosi nyamuk Ae. aegypti. Analisis ragam Sum of Squares 17966.055 Between Groups Within Groups 39924.113 Total 57890.168
df 5 81 86
Mean Square 3593.211 492.890
F 7.290
Sig. .000
Analisis lanjut Tuckey rata-rata kemampuan eklosi nyamuk Ae. aegypti Perlakuan a
Tuckey HSD
N 12 15 11 16 17 16
KL75 KL50 KL90 KL25 KL0 Kontrol Sig.
Subset for alpha = 0.05 1 2 51.2992 53.2164 53.2164 56.6957 56.6957 57.3646 57.3646 76.5363 .978
.069
3
76.5363 89.6109 .624
73
Lampiran 8. Ratio Kelamin Jantan dan Betina Nyamuk Ae. aegypti
Rata-rata ratio kelamin jantan dan betina nyamuk Ae. aegypti (%) Nisbah kelamin jantan dan betina No
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 1
Kontrol
561 734 869 342 548 421 568 401 562 739 327 311 145 56 69
KL
Σ
J
357
211
B
146 349 212 432 302 567 302 189 153 231 317 309 112 211 357 139 262 312 250 342 397 156 171 181 130 56
13
109
36
32
24
666 658 545 689 670 213 357 523 289 178 123 152 18 48 14 0
Σ
J
365
231
B
134 370 296 341 317 245 300 478 211 351 319 109 104 241 116 378 145 145 144 56 4 34 11 0
96 14 14 3 0
98
80
102
21
215 227 187 102 187 76 174 109 112 65 0 90 5 23 15 Σ
178
59 49 133 63 120 27 93 84 63 48 0 66 0 15 9 J
80
KL25
0
44 48 74
KL50
156 178 54 39 67 49 81 25 49 17 0 24 5 8 6 B
98
128 102 290 210 214 321 145 169 31 7 27 0 2 13 Σ
98
63 59
KL75
65 43 103 117 107 103 98 98 169 152 114 31 115 54 19 12 5 2 16 11 0 0 1 1 9 4 J
B
74
24
71 115 187 125 214 75 59 45 0 3 0 56
J 9 10 12 15 12 25 4 6 9 2 0
KL90
23 41 149 38 96 29 143 71 49 26 40 19 18 27 0 0 3 0 0 0 J
Σ
B
12
13 14 21 18 29 4 7 13 2 0 Σ
11
Analisis ragam rata-rata ratio kelamin jantan nyamuk Ae. aegypti
Analisis ragam
Sum of Squares 4727.910 42119.620 46847.531
Between Groups Within Groups Total
df Mean Square F Sig. 5 81 86
945.582 519.995
1.818
.118
Analisis lanjut Tuckey rata-rata ratio kelamin jantan nyamuk Ae. aegypti.
Perlakuan N Tuckey HSD
a
KL90
11
KL75 KL50 KL0 Kontrol KL25
12 15 17 16 16 Sig.
Subset for alpha = 0.05
1 2 3 15.5941 24.4203
.760
24.4203 36.1393 39.7079 43.1740 .059
36.1393 39.7079 43.1740 44.6427 .787
3 2 5 6 4 0 1 4 0 0
B 2
74
Analisis ragam rata-rata ratio kelamin betina nyamuk Ae. aegypti Analisis ragam Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 8418.574
df
Mean Square
F
Sig.
5
1683.715
5.521
.000
24700.386
81
304.943
33118.960
86
Analisis lanjut Tuckey rata-rata ratio kelamin betina nyamuk Ae. aegypti Perlakuan a
Tuckey HSD
N
Subset for alpha = 0.05 1 2 3
KL90
11
15.5941
KL75 KL50 KL0 Kontrol KL25
12 15 17 16 16
24.4203
Sig.
.760
24.4203 36.1393 36.1393 39.7079 39.7079 43.1740 43.1740 44.6427 .059 .787