1
Toko Bunga Aurflower
Jakarta Selatan. Toko Bunga Aurflower. Pukul 12.45 WIB. “Jika akuuu… bukan jalanmu… kuberhenti mengharapkanmuuu….” Lirik lagu Afgan “Jodoh Pasti Bertemu” dinyanyikan oleh Bunga dengan penuh penghayatan. Menurutnya, lagu itu adalah aku banget. Membicarakan jodoh, Bunga tak tahu siapa dan seperti apa rupa jodohnya kelak. Entah ia ataukah pangeran hatinya yang akan datang mendekat. Yang pasti adalah jodohnya sedang berada di suatu tempat, sedang menunggunya, dan mereka hanya menunggu waktu sampai pertemuan itu tiba. Bunga melihat jam dinding yang tergantung di belakang meja counter. Jam satu siang. Kepalanya melongok ke luar jendela. Udara siang ini terasa panas. Segelas es cendol sudah berada dalam benak khayalnya. Terdengar bunyi kloneng pada lonceng kecil yang menggantung di atas pintu masuk Aurflower. Setiap orang yang menarik pintu itu maka terdengarlah bunyi kloneng. Seorang perempuan bertubuh agak sintal menyembul masuk ke dalam. 1
“Gimana tadi wawancaranya, Mbak?” tanya Bunga pada kakak perempuannya. Melati melangkah gontai menuju sebuah kursi panjang. Map yang sedari tadi ditenteng, sekarang digunakannya sebagai kipas. Duduknya melorot ke bawah dengan tengkuk leher bersandar pada punggung kursi. Rambut panjang sepunggungnya dibiarkan tergerai, terlihat lepek dan berminyak. Wajahnya tak kalah berminyak dengan dua jerawat kemerahan yang menempel di dagu. “Gagal lagi, ya?” skeptis Bunga seakan bisa menebak air muka kecewa kakak perempuannya, yang terpaut empat tahun darinya. “Perusahaan itu aja yang nggak melihat betapa besar potensiku.” Bunga membuat lengkung senyum ke bawah disertai dengan gerakan angguk-angguk kepala. “Mana Ibu, Dek?” tanya Melati yang tak melihat ibu di toko. “Ke warung depan.” “Pipin?” tanya Melati selanjutnya yang merujuk pada pegawai toko bunga, satu-satunya di Aurflower. “Beli mi ayam.” “Aku juga, kan?” “Cuma dua. Kan, Mbak Mel nggak tahu kapan selesai interview-nya.” Melati mendesis. Tangannya merogoh cepat ponsel di dalam saku rok span hitam. Menekan nomor Pipin dan langsung menyambar lelaki di seberang sana. Ia meminta Pipin membelikan mi ayam bakso untuknya juga. Tak lama kemudian terdengarlah bunyi kloneng berikutnya. Seorang gadis berparas oriental, rambut diikat rapi melangkah masuk ke dalam Aurflower. Tersenyum 2
manis pada Bunga dan Melati sambil mengangkat tentengan plastik transparan berisi rujak. “Mukamu kenapa Mbak Mel? Kusut banget,” tanya Rena Widja yang melihat wajah Melati bak dilipat-lipat seperti kertas. “Biasa, Ren. Putus cinta,” sahut Bunga asal. Tangannya meraih kantong plastik yang ditenteng oleh Rena. “Ngarang aja,” sambar Melati. “Ssshh, makanan aja cepatnya minta ampun,” desis Rena saat Bunga berhasil menarik kantong plastik dari tangannya. Bunga menyengir lebar. Ketiganya duduk di teras samping sambil menikmati rujak. Tempat yang paling nyaman untuk mengobrol ataupun curhat. “Jadi, Mbak Mel udah putus sama Mas Dika?” Rena mencoba mencari tahu. “Putus? Siapa juga yang pacaran sama Dika? Lha kita cuma sahabatan aja. Putus dari mana? Adek nih ngarang,” Melati menggerung kesal ke Bunga yang mengarang cerita seenaknya. Bunga dan Rena saling melemparkan pandang sembari kompakan melengkungkan senyum ke bawah. Keduanya seakan mengisyaratkan bahwa mereka tak memercayainya. “Pacarmu masih yang itu, kan? Siapa itu namanya?” gantian Melati yang bertanya balik pada Rena. “Ruli,” Rena menyahut malas. Tangannya mencomot irisan mangga. Seketika wajahnya mengerut masam. “Dia kan, udah putus sama Ruli, Mbak.” Bunga menunjuk ke Rena dengan dagunya. “Putus?” Melati memekik. “Kenapa? Kalian kelihatannya cocok.” Rena mendesah. “Cocok apanya? Tukang selingkuh.” 3
“Jadi kamu diselingkuhin?” Melati semakin tertarik dengan topik pembicaraan ini, namun tidak bagi Rena. “Males, ah ngomonginnya.” Rena mencomot irisan mangga lagi. Kali ini wajahnya mengerut semakin masam. “Ren, ada kerjaan nggak di butikmu? Menggunting pola juga nggak masalah. Jadi modelmu lebih bagus lagi,” pinta Melati. “Ugh, itu sih maunya Mbak Mel aja,” tandas Bunga, yang disambut tawa renyah Rena. “Ada kok,” sahut Rena santai. “Palingan satu bulan Mbak Mel keluar lagi,” sambar Bunga. “Nggak. Nggak bakal deh,” Melati berkoar pasti. “Ada, kan?” tanyanya ke Rena. Rena mengangguk mengiyakan. “Menggunting bahan.” “Ah, itu sih kecil.” Melati menjentikkan jari tengah dengan ibu jari. Menganggapnya remeh. “Tapi,” Bunga memotong kesenangan Melati, “Rena ini bos yang galak. Semua pekerjaan harus sesuai dengan standarnya. Kalau terjadi kesalahan,” lanjutnya dengan menempelkan kedua jari telunjuknya di atas kepala seperti dua tanduk, “tanduknya akan keluar,” kelakarnya menakutnakuti kakaknya. “Siapa takut,” seloroh Melati. Tak gentar. “Siapa takut?” Bunga mengulangi selorohan Melati dengan nada ejekan. “Mbak Mel resign dari kerjaan yang ini kan, karena bosnya galak. Mbak Mel dimarah-marahin melulu. Rena ini lebih galak dari bosnya Mbak Mel yang dulu. Yakin deh. Percaya deh sama adikmu ini. Mana pernah sih adikmu ini bohong?”
4
Rena tertawa geli melihat Bunga mencoba untuk menakut-nakuti kakaknya. Dan, sepertinya Melati sedikit termakan ucapan adiknya. Ini makin menambah geli Rena yang melihatnya. “Novel terbarumu kapan keluar?” Rena mengubah topik pembicaraan. “Ini lagi revisi,” sahut Bunga. “Aku cuma dikasih waktu satu minggu untuk merevisi dua bab. Tapi sekarang aku lagi buntu banget nih,” sungutnya. Kemudian, ia menegakkan senyumnya. “Oh, iya, Mbak Mel! Kenapa Mbak Mel nggak kerja di kantor Enbuk aja? Enbuk lagi kekurangan banyak pegawai nih. Katanya Mas Dika mau buka lowongan besarbesaran gitu.” “Malas, ah,” ogah Melati. “Mas Dika bos yang baik lho, Mbak,” Bunga membujuk. “Ganteng lagi,” sambung Rena. Melati mengerucutkan bibirnya. VVV Motor matic merah muda terparkir di pelataran sebuah coffee shop, Coffee Taste. Bunga melompat turun dengan memanggul tas ransel berwarna merah muda. Gadis itu sangat menyukai apa pun yang berbau merah muda. Kamarnya saja berwallpaper bunga-bunga kecil berwarna merah muda. Dan hari itu, Bunga bagaikan gadis merah muda. Kaus berkerah lengan panjang merah muda; sepatu—tanpa hak—merah muda; jam tangan bunga merah muda; serta bando merah muda. Bunga menaiki anak tangga yang berada di samping coffee shop untuk menuju ke lantai dua bangunan. Dari luar memang tak tampak kantor penerbitan. Yang terlihat hanyalah bangunan coffee shop berlantai dua. 5
Kakinya melangkah masuk ke dalam sebuah ruangan yang terbilang masih kosong dari barang-barang. Hanya ada sofa maroon yang menempel di dinding dekat jendela. Satu meja di sudut ruang; komputer di atasnya, dan jelas meja itu bersih tanpa adanya kertas-kertas atau apa pun yang membuatnya berantakan. Bunga adalah satu-satunya penulis di penerbitan ini yang belum genap satu tahun berdiri. Pemilik kantor Enbuk ini adalah Andika Putra, yang juga adalah editornya. Dika pernah bekerja sebagai copy editor, penulis lepas di sebuah majalah, dan penulis skenario FTV. Lalu bersama dengan Rendi—teman semasa sekolahnya—mendirikan usaha penerbitan, yang kemudian diberi nama Enbuk. “Hei, Bunga,” sapa pria yang baru keluar dari dapur. Kemeja biru yang dipakainya terlihat necis dengan tatanan rambutnya yang glossy. Lelaki itu terlihat mirip eksmud— eksekutif muda—daripada seorang desainer sampul. “Hai, Kak Rendi. Mana Mas Dika?” “Di ruangannya. Masuk aja.” VVV Bolpoin merah di genggaman tangan Dika diketukketukkannya ke naskah yang dipegangnya. Di depannya duduk Bunga yang menunjukkan ketegangan setiap kali melihat kerutan di kening Dika. Gadis itu berharap tulisannya tak sejelek naskah pertamanya. Sesekali terdengar deheman kecil dari Dika. Tentunya itu makin membuat Bunga meremas kasar jemari tangannya. Kedua kaki Bunga dientakkannya pelan untuk mengusir ketegangan. Tahap selanjutnya untuk mengusir ketegangannya, Bunga mengalihkan perhatiannya dengan menjelajahi isi ruangan kerja Dika. Meja dan kursi kerja; 6
sofa untuk menerima tamu; dua lemari berisi buku-buku. Selebihnya ruangan di lantai dua ini bercat putih. “Alurnya sudah mulai menarik.” Bunga melega napas. Ia pun menerima dua bab naskah berikutnya yang harus diperbaikinya. Matanya membeliak mendapati ada banyak coretan merah di sana-sini. Tanda silang sampai bulatan gemuk dalam paragraf. Tega. Padahal ia berpikir tulisannya sudah jauh lebih bagus dari naskah pertamanya. Tapi kenapa makin parah begini? “Satu minggu. Sesuaikan dengan bab sebelumnya. Sekalian serahkan dengan bab yang sebelumnya juga.” Bunga menurut patuh. Satu minggu, lagi. Wah, ia bisa begadang setiap malam. Ingin membantah atau protes tapi ia tak berani. Takut kalau naskahnya bakal diperlambat, dan bisa-bisa tidak jadi terbit. Bunga hanya bisa mengerucutkan mulut. Tangannya merapikan lembaran naskah, memasukkannya ke dalam kotak map plastik, tentunya dengan warna merah muda. Kemudian, ia memasukkan kotak map itu ke dalam tas. “Mas Dika,” panggil Bunga, “Mbak Mel lagi pusing nih nyari kerja,” ujarnya bak seorang adik yang mengadu pada sang kakak. “Resign lagi?” ujar Dika yang seakan itu bukan masalah baru. “Kalau Mel mau, dia bisa bekerja di sini. Tapi jangan berharap mendapatkan gaji tinggi. Atau kalau dia nggak nyaman kerja denganku, dia bisa kerja di Coffee Taste,” kata Dika yang merujuk pada coffee shop miliknya. “Akan aku sampaikan,” ujar Bunga sembari beranjak dari duduknya. VVV
7
Di teras samping Aurflower tampak Bunga Gunawan sedang menyibukkan dirinya di depan laptop. Dua jam menghadapi laptop, namun tak sampai satu halaman berhasil diketiknya. Lagu-lagu kesayangan sudah disetelnya agar membantu meningkatkan mood. Sayang, mood-nya hari ini sedang tidak bersahabat dengannya. Menyebalkan. Berulang kali Bunga mengacak-acak poninya hingga berantakan. Rambut hitam lurus sebahu dengan ujung rambut yang menggelung ke dalam tampak sedikit berantakan. Bando berpita yang tersemat di rambutnya menambahkan kesan manis pada penampilannya di siang itu. Wajah manis dengan tatapan polos kian merekatkannya pada sosok anak kecil yang menggemaskan. Siapa yang mengira jika usianya sudah dua puluh empat tahun. Orang yang melihatnya pasti akan mengira ia baru anak SMA. Satu tangan menyangga di dagu, sedang telunjuk tangan satunya menekan tombol delete untuk menghapus kalimat yang baru diketiknya. Sekali lagi ia mengacak poninya pertanda ia sedang frustasi karena tak ada satu pun ide di benaknya. Ia benar-benar mengalami kebuntuan ide yang membuat kepalanya mendenyut pusing. Biasanya ideide di kepalanya bermunculan bagaikan air hujan yang turun ke bumi. Namun, kali ini ide-ide tersebut seakan tak mau turun dan berbagi dengannya. Ini semakin menyebalkan. Berhubung tak ada satu pun ide yang muncul, Bunga pun menjejalkan mulutnya dengan onde-onde untuk menambal lapar. Menyandarkan punggungnya ke kursi sambil mengedarkan luas pandangannya. Teras samping Aurflower selalu menjadi tempat yang nyaman untuknya mengetik. 8
Baginya, Aurflower adalah rumah keduanya. Aurflower menyimpan banyak kenangan, terutama bersama dengan ayahnya. Dari ayahnya-lah, Bunga banyak tahu mengenai bunga. Ternyata bunga memiliki bahasanya juga. Bahasa bunga dinamakan floriografi. Setiap bunga, jenis, warna, dan berapa banyak jumlah tangkai pada bunga memiliki maknanya masing-masing. Aurflower juga menjadi tempatnya berbagi, tertawa, dan menangis. Semuanya tertuang di dalam Aurflower. Dan, malam ini adalah Sabtu malam. Bagi jomblowati seperti dirinya, pantangan menyebutkan malam Minggu. Habisnya tak ada yang datang mengapeli. Ia suka iri melihat para lelaki yang datang ke Aurflower dan membeli buket bunga untuk sang kekasih. Semilir angin siang meniup-niup ujung poni Bunga. Embusan angin berusaha memporak-porandakan ujungujung rambutnya yang menggelung ke dalam. Bunga kembali mengetik. Merangkai kata demi kata, walaupun beberapa kali hapus dan ketik. Matanya sesekali melirik pada lembaran kertas di samping laptop. Telinganya mendengarkan lantunan lagu balada milik Aryan yang mengalir melalui winamp. Melati datang dan mengambil duduk di depan Bunga dengan meja bundar sebagai penyekatnya. “Udah sampai mana revisinya, Dek?” “Udah sampai… aku bingung,” dengus Bunga. “Banyak banget yang disuruh ganti sama Mas Dika. Belum lagi ada beberapa yang dibuang. Huwaaa… padahal aku memikirkan adegan itu setengah mati. Begadang. Nggak tidur semalaman. Tega deh Mas Dika.” Kemudian ia mengangkat seulas senyum. “Tapi, kata Mas Dika alurnya mulai menarik.” “Wah, semangat, ya.” 9
Terdengar tuts-tuts keyboard terus beradu dengan jemari Bunga. Matanya tetap berfokus pada layar laptop. Sesekali melirik pada memo kecil berwarna yang tertempel di lembaran naskah. “Mbak Mel,” panggil Bunga tanpa mengalihkan perhatian dari layar laptop. “Ada lowongan lho.” “Di mana? Mau dong.” Kedua siku lengan Melati menumpu di atas meja. Tubuhnya mencondong ke depan dengan mata berkilatan. “Kalau Mbak Mel mau, Mbak Mel bisa kok kerja di penerbitannya Mas Dika. Tapi kalau Mbak Mel merasa nggak nyaman kerja dengan Mas Dika, Mbak Mel boleh kok kerja di Coffee Taste.” Bunga mengutip ulang apa yang diucapkan oleh Dika padanya. Melati yang mendengarnya hanya mengedutngedutkan ujung bibirnya sembari tertawa hambar. “Walaupun di Jakarta ini sudah habis lowongan, aku nggak bakalan mau kerja di tempatnya Dika. Titik.” Jemari Bunga melayang di udara. Perhatiannya teralihkan dari layar laptop kepada Melati yang duduk di hadapannya. Menatap Melati dari balik kacamata berbingkai hitam. “Putus sama Mas Dika bukan berarti berakhir semuanya.” “Siapa yang pacaran dan siapa yang putus sih, Dek?” sewot Melati. “Lha, itu sampai segitu marahnya.” “Halah, anak kecil tahu apa?” “Makanya beri tahu aku apa yang terjadi.” “Perbaiki saja revisimu.” “Sudah dari tadi.” “Disuruh Ibu makan dulu.” 10