TIPOLOGI KOMUNITAS LAMUN KAITANNYA DENGAN POPULASI BULU BABI DI PULAU HATTA, KEPULAUAN BANDA, MALUKU
JOHNY DOBO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2009 Johny Dobo
ABSTRACT JOHNY DOBO. Tipology of the Seagrass Community and Its Relation with Sea Urchin in Hatta Island, Banda Archipelago, Moluccas. Under direction of NEVIATY P. ZAMANY and I WAYAN NURJAYA Sea urchin (Echinoidea) is a group of animal inhabiting seagrass bed. As a grazer, sea urchin could create the bare area of seagrass bed and it will be disturbing the important role of this ecosystem in buffering the linked ecosystems. The aims of this study were to analyse seagrass condition, sea urchin population and relation of both at Hatta Island of Banda Archipelagos, Moluccas. Sampling were carried out from July to October 2008 using quadrat transect method. There are 6 species of seagrasses dominated by Thalassia hemprichii, and 5 species of sea urchins dominated by Tripneustes gratilla. The area where the high density of seagrass and sea urchin were found in sandy substrates. Tripneustes gratilla usually present following the presence of Thalassia hemprichii. Grazing rates of Tripneustes gratilla for Thalassia hemprichii in seagrass bed at Hatta Island is 0.15% sheet/m2/day. The lower density of seagrasses were found at the area which highest density of sea urchin. This research concludes that seagrass condition at Hatta Island is still carrying the life of sea urchin population. Keywords: seagrass, sea urchin, grazing, Thalassia, Tripneustes, Hatta Island
ii
RINGKASAN JOHNY DOBO. Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku. Dibimbing oleh NEVIATY P. ZAMANI and I WAYAN NURJAYA Penelitian ini dilakukan sejak Bulan Juli hingga Oktober 2008 di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku. Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan informasi mengenai tipologi komunitas lamun, mengkaji karakteristik habitat, sebaran dan komposisi jenis bulu babi di padang lamun, mendeterminasi kemampuan merumput bulu babi serta menguraikan keterkaitan antara bulu babi dan komunitas lamun. Pengambilan contoh lamun dan bulu babi dilakukan pada empat stasiun penelitian yaitu stasiun tenggara Hatta, timur Hatta, utara Hatta, dan barat Hatta dengan menggunakan metode transek kuadrat yang berorientasi sejajar garis pantai. Analisis terhadap data karakteristik habitat, komunitas lamun dan komunitas bulu babi menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) dan Analisis Kelompok (Cluster Analysis). Untuk mengkaji keterkaitan antara lamun dan bulu babi digunakan Analisis Faktorial Koresponden (Correspondence Analysis). Keseluruhan analisis ini dintegrasikan dalam perangkat lunak Statistica 6.0 release for windows. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik habitat lamun dan bulu babi di Pulau Hatta dicirikan oleh tipe substrat yang didominasi sedimen berpasir, dengan parameter fisik kimia perairan berada dalam kisaran baku mutu yang dapat ditoleransi oleh biota laut. Tipe vegetasi lamun di Pulau Hatta adalah vegetasi campuran (mixed seagrass beds) yang umumnya didominasi oleh Thalassia hemprichii baik dalam kerapatan, penutupan, frekuensi jenis maupun nilai pentingnya. Bulu babi yang dijumpai di padang lamun Pulau Hatta terdiri dari Tripneustes gratilla, Toxopneustes pileolus, Diadema setosum, Echinotrix diadema, dan Echinometra mathaei dengan kepadatan tertinggi diwakili oleh Tripneustes gratilla. Tripneustes gratilla yang merupakan salah satu grazer penting di padang lamun Pulau Hatta terlihat mampu menghabiskan Thalassia hemprichii sebanyak 0.15% teg/m2/hari. Keterkaitan antara bulu babi dengan komunitas lamun ditunjukkan dengan adanya kecenderungan bulu babi Tripneustes gratilla, Diadema setosum dan Echinotrix diadema berasosiasi dengan kerapatan jenis lamun T. hemprichii, Halodule uninervis, Halophila ovalis yang lebih rendah dan Enhalus acoroides serta Cymodocea rotundata yang lebih padat, sementara Toxopneustes pileolus dan Echinometra mathaei cenderung berasosiasi dengan daerah dimana kerapatan Thalassia hemprichii lebih padat. Kata kunci: lamun, bulu babi, Thalassia, Tripneustes, Pulau Hatta
iii
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
iv
TIPOLOGI KOMUNITAS LAMUN KAITANNYA DENGAN POPULASI BULU BABI DI PULAU HATTA, KEPULAUAN BANDA, MALUKU
JOHNY DOBO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
v
Judul
:
Nama NRP Program Studi
: : :
Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku Johny Dobo C551060051 Ilmu Kelautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 29 Mei 2009
Tanggal Lulus:
vi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunianya sehingga tesis ”Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku” ini berhasil diselesaikan. Telah diketahui bahwa padang lamun memiliki peran penting baik dalam meningkatkan produksi perikanan maupun perlindungan bagi ekosistem di sekitarnya. Dalam perannya sebagai pelindung bagi ekosistem lain (pencegah erosi), padang lamun tidak senantiasa dalam keadaan siap, tetapi tergantung faktor fisik-kimia perairan maupun faktor biologi yang bekerja di dalamnya. Bulu babi sebagai salah satu grazer penting di padang lamun, dalam jumlah besar, mampu mengurangi peran padang lamun ini. Olehnya itu, tesis ini berusaha untuk memberikan gambaran mengenai keterkaitan antara komunitas lamun dan bulu babi, khususnya di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku. Penulis sadari, tesis ini tidak diselesaikan sendiri, namun berkat kemudahan dan bantuan yang tidak terkuantifikasi dari Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing serta Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA selaku Penguji Luar Komisi yang banyak memberikan masukan sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini. Tulisan ini juga bukan merupakan hasil kerja penulis semata, olehnya itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung terutama kepada : 1. Bapak H. Des Alwi, Ketua Yayasan Warisan dan Budaya Banda Naira. 2. Bapak Prof. Dr. Hamadi B. Husain, Ketua Sekolah Tinggi Perikanan HattaSjahrir Banda Naira. 3. Dirjen DIKTI, Departemen Pendidikan Nasional RI, atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) yang diberikan. 4. Pimpinan dan staf SPs IPB, terutama Program Studi Ilmu Kelautan, atas layanan dan kerjasamanya selama ini. 5. Program Mitra Bahari-COREMAP II, terutama Ibu Tri Iswari Subekti, atas bantuan penulisan tesis tahun 2008. 6. Bapak Dr. Ir. Safar Dody, M.Si dan keluarga, atas kepedulian dan petunjukpetunjuk praktisnya. 7. Bapak Drs. Usman Thalib, M.Hum dan Bapak Drs. Hadji Sama, MS atas bantuan dan motivasinya. 8. Seluruh Civitas Akademika Sekolah Tinggi Perikanan Hatta-Sjahrir Banda Naira, atas kebersamaannya selama ini. 9. Teman-teman IKL ’06 (Faizal Kasim, Chaterina A. Paulus, Mukti Trenggono, Iis Triyulianti, Rikoh Manogar Siringoringo, Dondy Arafat, Degen E. Kalay, Nurmila Anwar, Ira Puspita Dewi, Ria Faizah, Ernawati Widyastuti, Syahrul Purnawan, Ratih Deswati, dan Pak Muhamad Ramli) serta teman-teman IKL ’05 (Heron Surbakti dan Wa Nurgayah).
vii
10. Budiono Senen, S.Pi., Jenny Abidin, S.Pi., Iksan Rumakat, S.Pi., Johan Ahmad, Jafar Rumakat, Idul La Muhammad, S.Pi, Dewi Ode Saleh, S.Pi, Nurhayati Bugis, S.Pi., Iksan La Hoari, Nardi Rumbawas, Jusuf Difinubun, Salem Ahmad, Oga Ahmad, Buhari, Sani Abdullah, Sariwati Kamidin, Bang Dede, Bang Fauzan, Oom Djumsari Dobo serta keluarga besar ”Pulau Hatta” atas bantuannya selama pengambilan data. 11. Bapak Chalid Ohorella dan Ibu Saadiah Polanunu, atas perhatian dan doanya. 12. Istriku tercinta Munira Ohorella, atas perhatian, pengertian dan doa serta secara khusus kepada Ayahandaku Muhammad Bin Dobo (alm.) atas harapannya, Ibundaku Hadidjah Dobo dan Adikku Fitria Jofari Dobo atas ketabahan, kesabaran, perhatian, pengertian, restu dan doa sehingga penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah ini. Akhirnya penulis menyadari, hasil yang disampaikan dalam tulisan ini belum merupakan hasil mutlak, penjelasan-penjelasan ilmiah yang ada di dalamnya bersifat sementara, dan senantiasa dalam keadaan siap untuk diperluas, diperhalus, diperbaiki atau bahkan diganti. Penulis berusaha untuk membuat tulisan ini sebaik mungkin dan semoga tulisan ini dapat memenuhi fungsinya.
Bogor, Mei 2009 Johny Dobo
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Banda Naira, Maluku Tengah pada tanggal 13 Mei 1977, anak pertama dari dua bersaudara, Ayah Muhammad Bin Dobo dan Ibu Hadidjah Dobo. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Banda dan diterima pada program studi Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura, Ambon pada tahun yang sama. Tahun 1999 penulis pindah ke Universitas Haluoleo, Kendari dan menyelesaikan pendidikan sarjana pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan tahun 2001. Sejak tahun 2002 hingga kini penulis bekerja sebagai pengajar pada Sekolah Tinggi Perikanan Hatta-Sjahrir Banda Naira, Maluku. Tahun 2006 penulis menerima beasiswa (BPPS DIKTI) untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPs IPB) pada program studi Ilmu Kelautan, program minat Biologi Laut. Selama mengikuti pendidikan pascasarjana, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan Wahana Interaksi Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan (WATERMASS-IKL). Tahun 2008 penulis mendapat beasiswa penulisan tesis dari Program Mitra BahariCOREMAP II. Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana IPB penulis melakukan penelitian mengenai ”Tipologi Komunitas Lamun kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku”.
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xiii PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................................ Perumusan Masalah ........................................................................................ Tujuan dan Manfaat ........................................................................................
1 3 4
TINJAUAN PUSTAKA Komunitas Lamun........................................................................................... 6 Morfologi dan Klasifikasi Lamun............................................................ 6 Habitat, Distribusi dan Peran Ekologis Lamun......................................... 7 Bulu Babi (Echinoidea)................................................................................... 11 Morfologi dan Klasifikasi ......................................................................... 11 Habitat, Distribusi dan Tingkah Laku Bulu Babi ..................................... 13 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian .......................................................................... Alat dan Bahan Penelitian.............................................................................. Prosedur Penelitian ......................................................................................... Analisis Data .................................................................................................. Komunitas Lamun..................................................................................... Komunitas Bulu Babi................................................................................ Sebaran Karakteristik Biofisik-Kimia Perairan ........................................ Keterkaitan antara Komunitas Lamun dan Populasi Bulu Babi................
15 15 15 18 18 21 22 22
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lokasi Penelitian ............................................................................... Vegetasi Lamun di Pulau Hatta ...................................................................... Struktur Komunitas dan Pola Penyebaran Lamun di Pulau Hatta .................. Sebaran Karakteristik Fisik-kimia Padang Lamun di Pulau Hatta.................. Struktur Komunitas dan Pola Penyebaran Bulu Babi di Pulau Hatta ............. Kemampuan Merumput Tripneustes gratilla terhadap Thalassia hemprichii Sebaran Spasial Lamun dan Bulu Babi di Pulau Hatta ................................... Keterkaitan antara Komunitas Lamun dan Bulu Babi di Pulau Hatta ............
24 26 30 32 35 38 39 44
SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 46 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 47 LAMPIRAN........................................................................................................ 55
x
DAFTAR TABEL Halaman 1 Distribusi Jenis Lamun di Kepulauan Maluku................................................
9
2 Kepadatan beberapa Jenis Bulu Babi di Kepulauan Indonesia....................... 14 3 Parameter Fisik-kimia Perairan dan Metode Pengukurannya......................... 16 4 Nilai rata-rata Parameter Fisik-kimia di Padang Lamun Pulau Hatta............. 26 5 Nilai Struktur Komunitas dan Pola Penyebaran Lamun di Pulau Hatta ......... 30 6 Nilai Struktur Komunitas dan Pola Penyebaran Bulu Babi di Pulau Hatta .... 36 7 Kemampuan merumput Tripneustes gratilla terhadap Thalassia hemprichii. 38
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka Pendekatan Masalah .....................................................................
5
2
Morfologi Tumbuhan Lamun........................................................................
6
3
Bentuk Umum Bulu Babi Regularia ............................................................. 11
4 Peta Lokasi Penelitian ................................................................................... 15 5
Ilustrasi pengambilan contoh lamun dan bulu babi dengan transek kuadrat 16
6
Ilustrasi kurungan pengamatan kemampuan grazing bulu babi.................... 17
7
Perbandingan Persentase Sedimen di Lokasi Penelitian............................... 24
8
Perbandingan Topografi Dasar Perairan di Pulau Hatta ............................... 25
9 Perbandingan Kerapatan Rata-rata Jenis Lamun di Pulau Hatta .................. 27 10 Perbandingan Penutupan Rata-rata Jenis Lamun di Pulau Hatta .................. 28 11 Perbandingan Indeks Nilai Penting Lamun di Pulau Hatta........................... 30 12 Ilustrasi Sebaran Spasial Lamun di Pulau Hatta ........................................... 31 13 Grafik Analisis Komponen Utama: Karakteristik Fisik-Kimia di Padang Lamun Pulau Hatta........................................................................... 33 14 Dendogram Klasifikasi Hierarki Stasiun Penelitian berdasarkan Karakteristik Fisik-Kimia Padang Lamun Pulau Hatta................................. 34 15 Kepadatan Rata-rata Jenis Bulu Babi di Pulau Hatta.................................... 35 16 Ilustrasi Sebaran Spasial Bulu Babi di Pulau Hatta ...................................... 37 17 Grafik Analisis Faktorial Koresponden antara Stasiun Penelitian dan Lamun pada Sumbu Faktorial 1 dan 2. ......................................................... 40 18 Dendogram Klasifikasi Hierarki Stasiun Pengamatan berdasarkan Kerapatan Jenis Lamun di Pulau Hatta ......................................................... 40 19 Grafik Analisis Faktorial Koresponden antara Stasiun Penelitian dan Bulu Babi pada Sumbu Faktorial 1 dan 2. ............................................. 41 20 Dendogram Klasifikasi Hierarki Stasiun Pengamatan berdasarkan Kepadatan Jenis Bulu Babi di Pulau Hatta ................................................... 42 21 Ilustrasi Sebaran Spasial Lamun dan Bulu Babi di Pulau Hatta ................... 43 22 Grafik Analisis Faktorial Koresponden antara Bulu Babi dan Kerapatan Jenis Lamun pada Sumbu Faktorial 1 dan 2 ................................................ 44
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Persentase Sedimen di Lokasi Penelitian...................................................... 55
2 Topografi Pantai Pulau Hatta ........................................................................ 56 3 Profil Pasang Surut di Kepulauan Banda Naira tanggal 3-17 Juli 2008. ...... 57 4 Nilai Parameter Fisik-Kimia Padang Lamun Pulau Hatta ............................ 58 5
Hasil Perhitungan Kerapatan, Penutupan dan Frekuensi Jenis Lamun di Pulau Hatta................................................................................................ 59
6 Nilai Kerapatan Relatif (RDi), Frekuensi Relatif (RFi), Penutupan Relatif (RCi), dan Indeks Nilai Penting (INP).......................................................... 60 7
Pola Penyebaran Lamun di Pulau Hatta........................................................ 62
8
Hasil Analisis Komponen Utama Parameter Fisik Kimia Perairan .............. 64
9
Hasil Perhitungan Kepadatan Jenis Bulu Babi di Padang Lamun Pulau Hatta .................................................................................................... 67
10 Pola Penyebaran Bulu Babi di Lokasi Penelitian.......................................... 68 11 Hasil Pengamatan Kemampuan Merumput (Daya Grazing) Tripneustes Gratilla terhadap Thalassia Hemprichii di Padang Lamun Pulau Hatta ...... 70 12 Hasil Analisis Faktorial Koresponden (CA) Lamun dengan Stasiun Pengamatan ...................................................................................... 71 13 Hasil Analisis Faktorial Koresponden (CA) Bulu Babi dengan Stasiun Pengamatan ...................................................................................... 72 14 Hasil Analisis Faktorial Koresponden (CA) Bulu Babi dengan KomunitasLamun.......................................................................................... 73 15 Dokumentasi Kegiatan Penelitian ................................................................ 75
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Bulu babi termasuk anggota dari Filum Echinodermata yang tersebar mulai dari daerah intertidal yang dangkal hingga ke laut dalam (Jeng 1998). Fauna ini umumnya menghuni ekosistem terumbu karang dan padang lamun dan menyukai substrat yang agak keras terutama substrat di padang lamun campuran yang terdiri dari pasir dan pecahan karang (Aziz 1994a). Di dunia terdapat kurang lebih 6000 jenis fauna Echinodermata (Guille et al. 1986, diacu dalam Jeng 1998) dan diperkirakan 950 jenis diantaranya adalah bulu babi (Suwignyo et al. 2005) yang terbagi dalam 15 ordo, 46 famili (Aziz 1987; Suwignyo et al. 2005) dan 121 genus (Heinke & Schultz 2006). Di Indonesia, terdapat kurang lebih 84 jenis bulu babi yang berasal dari 31 famili dan 48 genus (Clark & Rowe 1971). Studi mengenai berbagai aspek ekologi bulu babi telah dilakukan di berbagai tempat di dunia, antara lain studi ekologi komunitas: Echinoidea (McClanahan et al. 1994; Jeng 1998; McClanahan 1998; Larrain et al. 1999; Chao 2000; Paulay 2003; Putchakam & Soncaeng 2004; Lessios 2005), Echinometra mathaei (McClanahan 1995), dan Echinometra viridis (McClanahan 1999); struktur komunitas: Echinoidea (McClanahan & Shafir 1990; Andrew & McDiarmid 1991; Levitan 1992; McClanahan et al. 1996;), Diadema antillarum (Carpenter 1990a, 1990b), dan Echinometra mathaei (Kessing 1992; Prince 1995); ekologi tingkah laku: Echinoidea (Shulman 1990; Ikuo et al. 1999), Strongylocentrotus droebachiensis (Bernstein et al. 1981; Mann et al. 1984; Scheibling & Hamm 1991; Russell 1998), Strongylocentrotus purpuratus (Edwards & Ebert 1991), Paracentrotus lividus (Barnes & Cook 2001), Echinometra mathaei (Black et al. 1982; Black et al. 1984; Neill 1988), Diadema antillarum (Levitan 1991), dan Heliocidaris erythrogramma (Constable 1993); dan studi aktivitas makan: Echinoidea (Valentine & Kenneth 1991; Macia 2000; Alcovero & Mariani 2002), Echinometra mathaei (Hart & Chia 1990), Lytechinus variegatus (Greenway 1995), dan Evechinus chloroticus (Barker et al. 1998). Berbagai aspek ekologi bulu babi yang telah diteliti di Indonesia, antara lain aspek ekologi Echinoidea (Tuwo et al. 1997; Rondo 1992, Radjab 2004), Diadema setosum (Darsono & Aziz 1979), Clypeasteroidae (Radjab 2000a);
2
studi aktivitas makan: Echinoidea (Aziz 1994b, 1999a) dan Tripneustes gratilla (Darsono & Aziz 2000).
Selain aspek ekologi, telah dilaporkan juga berbagai
studi mengenai aspek biologi: Echinoidea
(Sumitro et al. 1992, Aziz 1999a);
Tripneustes gratilla (Darsono & Sukarno 1993; Tuwo 1995); pertumbuhan: Diadema setosum (Yusron & Manik 1989), Tripneustes gratilla (Yusron 1991; Radjab 1997); aspek reproduksi: Diadema setosum (Aziz & Darsono 1979, Darsono 1993), Tripneustes gratilla (Andamari et al. 1994; Tuwo & Pelu 1997; Radjab 1998; Baszary et al. 2001), Echinometra mathaei (Lintong, 1998; Lasut et al. 2002), Toxopneustes pileolus (Hayati 1998 & Zulaika 1998), Temnopleurus alexandri (Sugiharto, 1995), dan komposisi kimia gonad Tripneustes gratilla (Chasanah & Andamari 1997). Di Indonesia, beberapa marga bulu babi yang dijumpai di padang lamun antara lain Diadema, Tripneustes, Toxopneustes, Echinotrix, Echinometra, Temnopleurus, Mespilia dan Salmacis (Sumitro, et al. 1992 dan Aziz 1994a). Gonad bulu babi dari marga-marga tersebut telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir sebagai bahan makanan (Darsono 1982; Aziz 1993; Chasanah & Andamari 1997 dan Radjab 1998) dan dapat dijadikan sebagai bahan uji toksikologi lingkungan (Sumitro et al. 1992; Lasut et al. 2002).
Selain itu,
jenis-jenis seperti Toxopneustes pileolus, Tripneustes gratilla, Diadema setosum, dan Asthenosoma menghasilkan peditoxin, bahan bioaktif yang berguna dalam bidang farmasi (Takei et al. 1991; Nakagawa et al. 2003). Padang lamun sebagai salah satu habitat bagi bulu babi memiliki peran ekologis yang penting tidak hanya bagi bulu babi semata tetapi juga bagi berbagai organisme lain yang ada di dalamnya serta bagi lingkungan di sekitarnya. Kikuchi dan Peres (1977) menyebutkan bahwa secara ekologi padang lamun berfungsi sebagai habitat dari berbagai organisme, sementara secara fisik padang lamun merupakan suatu bentuk tahanan yang mempengaruhi pola aliran arus dengan mereduksi kecepatan arus sehingga perairan di sekitarnya menjadi tenang (Randall 1965, diacu dalam Azkab 2006), sehingga berfungsi sebagai stabilisator dasar, penangkap sedimen dan penahan erosi (Kikuchi & Peres 1977). Secara ekonomi padang lamun memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Dalam penelitian mengenai nilai ekonomi padang lamun di Balerang dan Bintan,
3
Kusumastanto et al. (1999) melaporkan bahwa dari produksi perikanan nilai ekonomi padang lamun mencapai 3,858.91 US$/ha/tahun, pencegahan erosi 34,871.75 US$/ha/tahun, dari biodiversity mencapai 15.00 US$/ha/tahun, dan total nilai ekonominya mencapai 38,745.66 US$/ha/tahun. Kepulauan Banda terdiri atas 6 (enam) pulau besar dan 7 (tujuh) pulau kecil yang berada di sekitar pulau besar tersebut. Di kepulauan ini, padang lamun dijumpai hampir di semua pulau, kecuali Pulau Gunung Api karena daerah intertidalnya yang sangat sempit. Secara ekonomi, padang lamun di kepulauan ini dimanfaatkan nelayan sebagai daerah penangkapan ikan dengan berbagai alat tangkap seperti jaring insang (gill net), jaring pantai (beach seine) maupun pancing. Pada musim-musim tertentu juga masyarakat memanen berbagai jenis moluska, krustasea dan echinodermata. Selain padang lamun, terumbu karang yang ada di wilayah ini menyimpan berbagai jenis organisme ekonomis penting seperti ikan dan moluska yang dimanfaatkan nelayan sebagai sumber penghasilan. Karenanya, keberadaan padang lamun yang dapat berfungsi sebagai pelindung bagi ekosistem terumbu menjadi penting artinya baik secara ekonomi maupun ekologi bagi masyarakat di kepulauan ini. Keberadaan
populasi
bulu
babi
di
padang
lamun
tidak
hanya
menggambarkan kekayaan ataupun keanekaragaman jenis organisme yang menempati habitat tersebut, akan tetapi, kehadiran bulu babi mampu mempengaruhi fungsi ekologis ekosistem ini. Walaupun studi ekologi bulu babi di Indonesia telah lama dilakukan, namun, hingga kini studi yang secara khusus menggambarkan keterkaitan antara bulu babi dengan padang lamun masih relatif sedikit. Oleh karena itu penelitian ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya yang dapat memperkaya khazanah informasi mengenai keterkaitan antara populasi bulu babi dengan padang lamun yang berperan sebagai habitatnya. Perumusan Masalah Adanya proses hidrologis dan aktivitas manusia yang berlangsung di ekosistem lamun akan menghasilkan tipologi tertentu bagi komunitas lamun serta mempengaruhi organisme lain yang memanfaatkan ekosistem ini sebagai habitatnya.
Padang lamun sebagai salah satu habitat bagi beberapa jenis bulu
babi menyediakan tegakan lamun sebagai tempat perlindungan dari predator dan
4
segatan sinar matahari, menyediakan daun lamun sebagai makanan serta menciptakan kondisi fisik kimia yang baik bagi kelangsungan hidupnya. Kelompok bulu babi tertentu akan cenderung memilih tipe habitat tertentu yang disediakan padang lamun, dimana kecenderungan ini baik disebabkan oleh faktor tingkah laku maupun akibat dari hasil interaksinya dengan padang lamun. Oleh karenanya, akan dijumpai kelompok populasi bulu babi tertentu menempati tipe komunitas lamun tertentu pula. Sebagai grazer penting di padang lamun, kehadiran bulu babi dalam jumlah besar mampu meninggalkan area gundul (bare area) sehingga fungsi ekologis ekosistem ini dapat terganggu. Hingga kini informasi yang mengungkap berbagai keterkaitan antara komunitas lamun dengan jenis-jenis bulu babi yang menempati padang lamun belum banyak dilaporkan. Untuk mendapatkan jawaban terhadap permasalahan di atas, penelitian ini
dilakukan dengan berpatokan pada kerangka pendekatan masalah
sebagaimana yang dijabarkan dalam Gambar 1. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan: (i) untuk mendapatkan informasi mengenai tipologi komunitas lamun, (ii) mengkaji karakteristik habitat dan sebaran spasial bulu babi di padang lamun, (iii) mendeterminasi kemampuan merumput bulu babi dan menguraikan keterkaitan antara bulu babi dan padang lamun. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah tersedianya informasi mengenai komunitas lamun di Kepulauan Banda, diketahuinya sebaran spasial bulu babi di padang lamun Pulau Hatta, dan diketahuinya keterkaitan antara komunitas lamun dengan jenis-jenis bulu babi yang menempati padang lamun sebagai habitatnya.
5
Aktivitas Manusia
Proses Hidrologis
EKOSISTEM LAMUN
TIPOLOGI KOMUNITAS LAMUN
KOMUNITAS BULU BABI
• • •
Habitat
Komponen Biotik: H’, E, C Kepadatan Jenis Pola Penyebaran
• • Grazer
•
Aktifitas Grazing • • •
Komponen Biotik: H’, E, C Kerapatan, Frekuensi & Penutupan Indeks Nilai Penting (INP)
Komponen Abiotik: Suhu, Salinitas, pH, Kec. Arus, Topografi, Pasut DO, PO4, NO3 Tipe Substrat
ANALISIS KOMPONEN UTAMA
Menentukan karakteristik habitat bulu babi ANALISIS KELOMPOK
Menentukan similaritas habitat dan keterkaitan rata-rata antar kelompok ANALISIS FAKTORIAL KORESPONDEN
Menentukan sebaran spasial lamun dan bulu babi
Keterkaitan antara Bulu Babi dengan Tipologi Komunitas Lamun
Gambar 1. Kerangka Pendekatan Masalah
TINJAUAN PUSTAKA Komunitas Lamun Morfologi dan Klasifikasi Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (Anthophyta) yang hidup dan tumbuh terbenam di lingkungan laut, berpembuluh, berimpang (rhizoma), berakar, dan berkembang biak secara generatif maupun vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh terbenam dan menjalar dalam substrat pasir, lumpur dan pecahan karang (Azkab 2006). Jenis-jenis lamun umumnya memiliki morfologi luar yang tampak hampir serupa yakni memiliki daun panjang, tipis dan mirip pita yang mempunyai saluran air, serta bentuk pertumbuhannya monopodial.
Bagian tubuh lamun dapat
dibedakan ke dalam morfologi yang tampak seperti akar, batang, daun, bunga dan buah (Philips & Menez 1988; Fortes 1990; Tomascik et al. 1997).
Ujung daun
Lembaran daun
Ruas memanjang daun
Lembaran daun berbentuk oval
Pelepah daun
Alur ruas daun
Batang daun
Pelepah daun
Sarung daun Pangkal daun
Tunas yang berduri Bekas patahan akar
Sambungan akar Batang akar
Rhizome Akar tunggal
Akar cabang
Gambar 2. Morfologi tumbuhan lamun (dimodifikasi dari Philips & Menez 1988)
7
Tumbuhan lamun yang terdapat di seluruh perairan dunia berjumlah kurang lebih 58 jenis yang berasal 12 genus dan 2 famili. Famili Potamogetonaceae terdiri dari 9 genus sedangkan famili Hydrocharitaceae terdiri dari 3 genus (Azkab 2006). Hingga kini, tercatat kurang lebih 12 jenis lamun dijumpai di perairan Indonesia yang termasuk dalam 7 genus dan 2 famili. Famili Hydrocharitaceae terdiri dari Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, dan H. minor sedangkan famili Potamogetonaceae terdiri dari Syringodium isoetifolium, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halodule pinifolia, H. uninervis, dan Thalassodendron ciliatum (Nontji, 1993; Azkab 2006). Klasifikasi tumbuhan lamun yang terdapat di Indonesia menurut Philip dan Menez (1988) adalah sebagai berikut : Divisi: Anthophyta Subkelas: Monocotyledoneae Ordo: Helobiae Famili: Hydrocharitaceae Genus: Enhalus Genus: Thalassia Genus: Halophila Famili: Patamogetonaceae Genus: Cymodoceae Genus: Halodule Genus: Syringodium Genus: Thalassodendron Habitat, Distribusi dan Peran Ekologis Lamun Lamun dapat berhasil hidup di laut karena mampu hidup di media air asin, mampu berfungsi normal dalam keadan terbenam, mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik, mampu berbiak generatif dalam keadaan terbenam, dan mampu berkompetisi dengan organisme lain dalam keadaan kondisi stabil ataupun tidak stabil pada lingkungan laut (Philips & Menez 1988). Syarat dasar habitat lamun adalah perairan dangkal, memiliki substrat yang lunak dan perairan yang cerah. Syarat lainnya adalah adanya sirkulasi air yang
8
membawa pergi sisa-sisa metabolisme. Selanjutnya, di beberapa daerah padang lamun dapat tumbuh namun tidak dapat berkembang dengan baik karena tidak terlindung pada saat air surut (Dahuri et al. 1997). Lamun dapat tumbuh pada empat tipe substrat yaitu rataan terumbu, paparan terumbu, teluk dangkal yang didominasi oleh pasir hitam terigenous dan pantai intertidal datar yang didominasi oleh lumpur halus (Erftemeijer 1993). Lamun juga dapat ditemukan pada daerah subtidal dengan kedalaman 40 m bahkan hingga 90 m selama masih ada sinar matahari (den Hartog 1977). Dari 12 genus lamun yang dijumpai di seluruh perairan dunia, 7 genus diantaranya yakni Enhalus, Halophila, Thalassia, Cymodoceae, Halodule, Syringodium, dan Thalassodendron tersebar di perairan tropis, sedangkan 5 genus lainnya yakni Zostera, Heterozostera, Phyllospadix, Posidonia dan Amphibolis merupakan penghuni perairan subtropis (den Hartog 1970). Komunitas lamun biasanya terdapat dalam area yang luas dan rapat. Secara umum, terdapat tiga tipe vegetasi padang lamun, yaitu: 1) padang lamun vegetasi tunggal (monospecific seagrass beds), dimana hanya terdapat satu jenis lamun, 2) padang lamun yang terdiri dari dua atau tiga jenis, tipe ini lebih sering dijumpai dibanding tipe vegetasi tunggal, dan 3) padang lamun vegetasi campuran (mixed seagrass beds), umumnya terdiri dari E. acoroides, T. hemprichii, C. Rotundata, C. serrulata, S. isoetifolium, Halodule uninervis dan Halophila ovalis (Brouns & Heijs 1991; Tomascik et al. 1997). Padang lamun di perairan Indonesia umumnya termasuk padang lamun vegetasi campuran (Nienhuis et al. 1989). Penyebaran lamun di Indonesia meliputi perairan Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara serta Irian Jaya (Fortes, 1990; Tomascik et al. 1997). Dari 12 jenis lamun yang terdapat di perairan Indonesia, hanya Halophila spinulosa yang belum dijumpai di Kepulauan Maluku (Kuriandewa 1998a).
Hingga kini, terdapat 8 jenis lamun yakni Enhalus
acoroides, Thallasia hemprichii, Halophila ovalis, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium, dan Thalassodendron ciliatum yang dijumpai di Kepulauan Banda (David et al. 2002).
9
Tabel 1. Distribusi jenis lamun di Kepulauan Maluku Jenis Lamun No
Lokasi
Sumber Ea
Th
Ho
Hm
Hd
Hs
Cr
Cs
Hp
Hu
Si
Tc
1
T. Elpaputih
+
+
+
+
-
-
+
-
+
+
+
-
Kuriandewa (1998a)
2
T. Piru
+
+
+
+
-
-
+
+
+
+
+
-
Kuriandewa (1998a)
3
T. Kotania
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
-
Kuriandewa (1998a)
4
T. Ambon
+
+
-
+
-
-
-
-
+
-
-
-
Kuriandewa (1998a)
5
T. Buli
+
+
+
-
-
-
+
+
+
+
+
-
Kuriandewa (1998a)
6
Waisarissa
+
+
+
-
-
-
+
-
+
-
-
-
Kuriandewa (1998a)
7
P. Tayandu & Tual
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
+
Kuriandewa (1998a)
8
P. Kei Besar
+
+
+
-
-
-
+
-
+
-
-
-
Kuriandewa (1998a)
9
P. Yamdena
+
+
+
+
-
-
+
+
+
+
+
+
Kuriandewa (1998a)
10
Kep. Sermata
+
+
+
-
-
-
+
+
+
+
+
+
Kuriandewa (1998a)
11
Kep. Sula
+
+
+
-
-
-
+
+
+
+
-
+
Kuriandewa (1998a)
12
Kep. Banda
+
+
+
-
-
-
+
+
-
+
+
+
David et al. (2002)
Ket:
Ea=Enhalus acoroides, Th=Thalassia hemprichii, Ho=Halophila ovalis, Hm=H. minor, Hd=H. decipiens, Hs=H. spinulosa, Cr=Cymodocea rotundata, Cs=C. serrulata, Hp=Halodule pinifolia, Hu=H. uninervis, Si=Syringodium isoetifolium, Tc=Thalassodendron ciliatum. + = ada, - = tidak ada
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan di Indonesia, dilaporkan bahwa kerapatan dan penutupan jenis lamun di Teluk Kuta, Lombok Selatan masing-masing berkisar antara 90-2520 teg/m2 dan <5-35% (Kiswara & Winardi 1994), di Teluk Awur, Jepara kerapatan jenis berkisar antara 46.41-545.43 teg/m2 dan penutupan 4.87-31.64% (Merryanto 2000), sementara di Teluk Banten, kerapatan jenis berkisar antara 16.7-159 teg/m2 dan penutupan mencapai 67% (Erina 2006). Dari penelitian-penelitian ini juga dijumpai adanya kecenderungan dominasi kerapatan dan penutupan oleh Thalassia hemprichii seperti di Teluk Awur, Jepara (Merryanto 2000), Teluk Gilimanuk (Rosalinda 2006), Air Cina, Kupang (Putra 2006), Pulau Lima, Teluk Banten (Erina 2006), tetapi berbeda dengan Teluk Kuta, Lombok Selatan dimana kerapatan didominasi Halodule pinifolia dan penutupan oleh Enhalus acoroides (Kiswara & Winardi 1994), maupun di Temukanak dan Wasmolok, Timur Tengah Utara (Putra 2006) dimana kerapatan didominasi Thalassia hemprichii sementara dominasi tutupan diwakili Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata. Kehadiran padang lamun di perairan dangkal sangat penting karena perannya sebagai produser primer, pendaur ulang zat hara, tempat berpijah dan
10
mencari makan berbagai biota bentik dan ikan, stabilisator dasar, penangkap sedimen dan penahan erosi (Kikuchi & Peres 1977). Sebagai produser primer, lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian memasuki rantai makanan di laut. Kandungan bahan organik di lamun yang tinggi berasal dari serasah daun lamun.
Sebagai habitat biota, lamun memberikan perlindungan
bagi beberapa jenis biota baik yang menempel di daun, berada di atas akar dan rhizoma, maupun pada sedimen dasar sehingga terlindung dari predator (Fortes 1990). Sebagai sumber makanan, biota yang menghuni padang lamun dapat memakan tumbuhan lamun secara langsung (direct grazing) maupun melalui jalur detritus (Wood et al. 1969, diacu dalam Philips & Menez 1988). McRoy dan Helfferich (1980) melaporkan bahwa salah satu avertebrata yang memakan daun lamun secara langsung adalah bulu babi, sedangkan dari kelompok vertebrata yaitu beberapa ikan (Scaridae, Acanthuridae), penyu dan duyung, sedangkan bebek dan angsa memakan lamun ketika lamun tersebut muncul pada surut terendah. Dalam kaitannya dengan peran lamun sebagai habitat, Kikuchi (1980) menyebutkan bahwa terdapat lima hal pokok dari ekosistem lamun dalam kaitannya sebagai penyusun suatu habitat yaitu: 1) lamun membentuk vegetasi lebat di bawah permukaan air dan menyediakan lapisan dasar yang ada bagi organisme penggali dan epifit, 2) vegetasi yang lebat tersebut menenangkan gerakan air yang ditimbulkan oleh arus dan gelombang, 3) dengan keadaan hidrodinamik yang tenang, mineral dan partikel organik dalam air dengan mudah dapat mengendap di dasar perairan, dimana endapan dari serasah lamun yang membusuk dan partikel organik lainnya membentuk suatu lingkungan yang sesuai bagi kehidupan mikroorganisme dan hewan bentik lainnya, 4) daun-daun lamun mereduksi cahaya yang berlebihan sehingga menjadi teduh dan melindungi organisme yang ada di bawahnya, 5) berdasarkan penyebab di atas, maka padang lamun merupakan habitat yang baik bagi juvenil dan nekton bahari berukuran kecil untuk mendapatkan tempat berlindung dan mencari makanan. Selanjutnya, Howard et al. (1989) membagi empat grup besar fauna yang menghuni padang lamun, yaitu: 1) infauna, merupakan hewan yang hidup di dalam sedimen di antara rhizoma, 2) epifauna motil, merupakan hewan yang berukuran kecil dan bergerak berasosiasi dengan permukaan sedimen, hancuran
11
lamun dan di helaian daun, 3) epifauna sessil, merupakan hewan yang hidup secara permanen melekat di helaian lamun, 4) fauna epibentik, merupakan hewan yang berukuran lebih besar, mampu bergerak bebas dan lebih berasosiasi dengan padang lamun daripada lamun secara individual. Bulu Babi (Echinoidea) Morfologi dan Klasifikasi Secara morfologi, bulu babi terbagi dalam dua kelompok yakni bulu babi regularia atau bulu babi beraturan (regular sea urchin) dan bulu babi iregularia atau bulu babi tidak beraturan (irregular sea urchin). Bentuk tubuh bulu babi regularia adalah simetri pentaradial hampir berbentuk bola sedangkan bulu babi iregularia memperlihatkan bentuk simetri bilateral yang bervariasi (Aziz 1987; Chao 2000; Pechenik 2005; Radjab 2001).
Gambar 3. Bentuk umum bulu babi regularia Selain itu, Suwignyo et al. (2005) juga menyebutkan bahwa tubuh bulu babi berbentuk bulat atau pipih bundar, tidak bertangan, mempunyai duri-duri panjang yang dapat digerakkan. Semua organ pada bulu babi umumnya terletak di dalam tempurung (test sceleton) yang terdiri atas 10 keping pelat ganda, biasanya bersambungan dengan erat, yaitu pelat ambulakra, disamping itu terdapat pelat ambulakra yang berlubang-lubang tempat keluarnya kaki tabung.
Pada
permukaan tempurung terdapat tonjolan-tonjolan pendek yang membulat, tempat menempelnya duri.
Di antara duri-duri tersebar pedicellaria dengan 3 gigi.
Kebanyakan bulu babi mempunyai 2 macam duri, duri panjang atau utama dan duri pendek atau sekunder. Selanjutnya, mulut bulu babi terletak di daerah
12
oral, dilengkapi dengan lima gigi tajam dan kuat untuk mengunyah yang dikenal sebagai aristotle’s lantern. Anus, lubang genital dan madreporit terletak di sisi aboral. Klasifikasi bulu babi menurut Heinke dan Schultz (2006) adalah: Filum: Echinodermata Subfilum: Echinozoa Kelas: Echinoidea Ordo: Cidaroida Famili: Cidaridae, Psychocidaridae, Histocidaridae Ordo: Echinothuroida Famili: Echinothuridae Ordo: Diadematoida Famili: Diadematidae, Micropygidae Ordo: Phymosomatoida Famili: Glyptocidariidae, Stomopneustidae Ordo: Arbacioida Famili: Arbaciidae Ordo: Temnopleuroida Famili: Temnopleuridae Ordo: Echinoida Famili: Echinidae, Parechinidae, Echinometridae, Strongylocentrotidae, Toxopneustidae Ordo: Clypeasteroida Famili: Clypeasteridae, Arachnoididae, Laganiidae, Rotulidae, Echinarachniidae, Dendrasteridae, Mellitidae Ordo: Spatangoida Famili: Spatangidae, Mycrasteridae, Brissidae, Loveniidae, Schizasteridae, Pericosmidae, Asterostomatidae Ordo: Holectypoida Famili: Echinoneidae Ordo: Cassiduloida Famili: Cassidulidae, Apatopygidae, Echinolampadidae Ordo: Holasteroida Famili: Stereoneustidae, Urechinidae, Pourtalesiidae
13
Habitat, Distribusi dan Tingkah Laku Bulu Babi Bulu babi hidup pada ekosistem terumbu karang dan ekosistem lamun.
Di
ekosistem terumbu karang bulu babi tersebar di zona pertumbuhan algae dan zona lamun.
Bulu babi ini dapat ditemui mulai dari daerah intertidal sampai ke
kedalaman 10 m (Aziz 1993), bahkan ditemukan juga bulu babi hingga kedalaman 5000 m (Suwignyo et al. 2005). Bulu babi juga lebih menyukai perairan yang jernih dan airnya relatif tenang (Radjab 2004). Bulu babi sebagai salah satu biota penghuni padang lamun, kerap kali ditemukan di daerah padang lamun campuran. Kondisi ini terutama disebabkan karena bulu babi tergantung kepada berbagai jenis lamun dari marga Thalassia, Syringodium, Thalassodendron, dan Cymodocea. Selain itu bulu babi juga lebih menyukai substrat yang agak keras, dimana substrat padang lamun campuran terutama terdiri dari campuran pasir dan pecahan karang. Bulu babi yang menempati padang lamun dapat hidup mengelompok seperti Diadema setosum, D. Antilarrum, Tripneustes gratilla, T. ventricosus, Lytechinus
variegatus,
Temnopleurus toreumaticus dan Strongilocentrotus spp. maupun yang cenderung hidup menyendiri seperti Mespilia globulus, Toxopneustes pileolus, Pseudoboletia maculata dan Echinotrix diadema (Aziz 1994a). Ditambahkan, bulu babi marga Tripneustes, Lytechinus dan Temnopleurus lebih sering dijumpai di padang lamun dibandingkan dengan di daerah terumbu karang. Penyebaran lokal bulu babi sangat tergantung pada faktor habitat dan makanan yang terdapat di sekeliling biota tersebut (de Beer 1990).
Pada
umumnya masing-masing jenis memiliki habitat yang spesifik, seperti Tripneustes gratilla sering ditemukan di daerah berpasir atau pasir lumpur yang banyak ditumbuhi lamun dengan kedalaman antara 0.5 m sampai dengan 20 m (Radjab 2004).
Mellita quinquisperforata merupakan salah satu komponen
penting di komunitas pantai berpasir (Tavares & Borzone 2006).
Hingga kini,
tercatat kurang lebih 151 jenis fauna Echinoidea yang terdiri dari 93 genus dan 34 famili dijumpai di perairan Laut Banda dan sekitarnya.
Fauna Echinoidea
yang dijumpai di wilayah ini tersebar mulai dari perairan dangkal hingga kedalaman 2250 m (Aziz 1999b). Penyebaran dan kepadatan beberapa jenis bulu babi di perairan Indonesia ditampilkan dalam tabel di bawah ini.
14
Tabel 2. Kepadatan beberapa jenis bulu babi di Kepulauan Indonesia Jenis Tripneustes gratilla Tripneustes gratilla Diadema setosum Brissus latecarinatus Heterocentrotus mammilatus Echinometra mathaei Protoreaster gratiosa Echinoidea Echinoidea
Lokasi Bali Padaido Padaido Padaido Padaido Padaido Padaido Spermonde Bunaken
Kepadatan 1-60/50m2 0.003-0.021/m2 0.001-0.002/m2 0.010/m2 0.001/m2 0.008/m2 0.001/m2 0.17-0.61/m2 0.17-0.61/m2
Sumber Darsono & Sukarno (1993) Radjab (2004) Radjab (2004) Radjab (2004) Radjab (2004) Radjab (2004) Radjab (2004) de Beer (1990) Rondo (1992)
Menurut Aziz (1987), kelompok bulu babi regularia baik yang menyendiri ataupun mengelompok, hidup bebas mencari makan secara aktif, berpindah dari satu rumpun ke rumpun algae lainnya. Aktifitas makan ini terutama dilakukan pada malam hari. Sementara itu, kelompok bulu babi iregularia baik sand dollar, heart urchin ataupun sea biscuit hidup dengan makan sisa-sisa organik yang terkandung dalam lumpur (deposit feeders). Hewan ini hidup membenamkan diri dalam lumpur atau pasir halus dan secara pasif mengumpulkan jasad-jasad renik dan sisa organik yang tertangkap oleh duri-durinya terutama pada sisi aboral, atau memperoleh makanan dengan cara menelan pasir yang ada pada medium di sekitarnya. Selanjutnya, kebiasaan bulu babi jenis tertentu untuk hidup mengelompok seperti pada marga Diadema dan Strongylocentrotus ternyata mempunyai pengaruh negatif terhadap komunitas algae dan lamun (Aziz 1987).
Dari
penelitian yang dilakukan di Teluk Mukkaro Washington, Paina dan Vadas (1969) dalam Aziz (1987) dilaporkan bahwa apabila semua bulu babi Strongylocentrotus disingkirkan pada luas areal tertentu pada kedalaman 0-6 m, akan terlihat algae dari marga Hedophyllum menjadi predominan. Hal yang sama juga terlihat pada kedalaman sampai 8 m dimana kelp dari marga Laminaria akan menjadi predominan setelah bulu babi disingkirkan. Selain itu, Scheibling (1984) juga melaporkan bahwa meningkatnya populasi bulu babi Strongylocentrotus droebachiensis telah mengakibatkan rusaknya padang kelp (kelp beds) di Nova Scotia.
METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan selama bulan Juli hingga Oktober 2008 di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku. Lokasi penelitian dibagi dalam 4 (empat) stasiun dimana masing-masing stasiun terletak di Pantai Utra (Tenggara Hatta), Pantai Polo (Timur Hatta), Pantai Bakereij (Utara Hatta), dan Pantai Ujung Paser (Barat Hatta). Posisi stasiun penelitian selengkapnya ditampilkan dalam Gambar 4.
Gambar 4. Peta lokasi penelitian Alat dan Bahan Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain rol meter, petak kuadrat, sedimen core, kantong plastik, alat tulis, buku identifikasi lamun (Philips & Menez 1988) dan buku identifikasi bulu babi (Colin & Arneson 1995) serta bahan pengawet formalin 4%.
Peralatan yang digunakan dalam pengukuran
parameter kualitas air selengkapnya ditampilkan dalam Tabel 3. Prosedur Penelitian Evaluasi terhadap tipologi padang lamun dilakukan melalui penggambaran terhadap distribusi, kerapatan dan penutupan jenis lamun yang diperoleh dengan menggunakan metode transek linear kuadrat berdasarkan petunjuk
16
English et al. (1994). Lokasi penelitian dibagi dalam 4 (empat) stasiun pengamatan dimana setiap stasiun terdiri atas 3 (tiga) substasiun yang dipasang sejajar garis pantai. Substasiun A berada pada daerah lamun bagian belakang, substasiun B pada daerah lamun bagian tengah dan substasiun C pada daerah lamun bagian depan (Gambar 5). Tabel 3. Parameter fisik kimia perairan dan metode pengukurannya Parameter Suhu Salinitas pH Kekeruhan Kec. Arus Pasut/Topografi DO Nitrat Fosfat Tipe substrat
Unit o C ppt NTU m/det cm mg/l mg/l mg/l %
Alat/Metode Termometer/Pemuaian Refraktometer/Refraksi pH indikator Turbidimeter Floating Dradge/Lagrangian Palm tide & water pass DO meter Spektrofotometer/Spektrofotometri Spektrofotometer/Spektrofotometri Saringan bertingkat/Wentworth
Substasiun A
Substasiun B
Keterangan in situ in situ in situ lab in-situ in situ in situ lab lab lab
Substasiun C
Gambar 5. Ilustrasi pengambilan contoh lamun dan bulu babi dengan transek kuadrat Pengamatan terhadap komunitas bulu babi dilakukan dalam 3 (tiga) petak kuadrat pada setiap substasiun, dengan ukuran kuadrat 2.5 m x 10 m. Pengamatan terhadap komunitas lamun dilakukan dalam 6 (enam) petak kuadrat pada setiap substasiun dengan ukuran kuadrat 0.5 m x 0.5 m dan setiap petak kuadrat tersebut
17
dibagi dalam grid-grid berukuran 0.1 m x 0.1 m. Pengamatan terhadap komunitas dilakukan dalam kuadrat pengamatan bulu babi. Untuk keperluan analisis keterkaitan antara bulu babi dan lamun, hasil pengmatan pada setiap kuadrat dikonversi ke dalam satuan individu per meter kuadrat (ind/m2). Selanjutnya, pada setiap substasiun pengamatan dilakukan pengukuran terhadap kondisi fisik kimia air yang meliputi suhu, salinitas, pH, kekeruhan, kecepatan arus, DO, nitrat, fosfat, dan tipe substrat. Pengamatan tingkah laku bulu babi (aktivitas merumput) terhadap lamun dilakukan secara langsung (alam) dan tidak langsung (akuarium). Pengamatan secara langsung dilakukan dengan menempatkan kurungan berukuran 25 cm x 25 cm x 50 cm sebanyak 8 buah di padang lamun yang telah dihitung jumlah tegakannya. Kemudian, setiap kurungan tersebut dimasukkan 1 individu bulu babi dan diamati kecepatan makan bulu babi tersebut hingga lamun yang terdapat dalam kurungan tersebut habis. Pengamatan tak langsung (akuarium) dilakukan dengan memelihara 4 individu bulu babi dalam akuarium yang berbeda selama 12 hari, dan diberi makan daun lamun yang telah diketahui berat awalnya. Setiap 24 jam, lamun yang tersisa ditimbang beratnya untuk mengetahui bobot lamun yang dimakan bulu babi per hari. (A)
(B)
Gambar 6. Ilustrasi kurungan pengamatan langsung aktivitas merumput bulu babi (A), pengamatan tak langsung aktivitas merumput bulu babi di akuarium (B).
18
Analisis Data Komunitas Lamun Keanekaragaman, keseragaman dan dominansi jenis Indeks keanekaragaman (H’) merupakan penggambaran terhadap keadaan suatu populasi organisme secara matematis sehingga mempermudah menganalisis informasi jenis dan jumlah individu setiap jenis yang menyusun suatu komunitas. Penghitungan keanekaragaman jenis ini dilakukan dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener yang didasarkan pada logaritma basis dua (Krebs 1989) dengan formula: s
H ' = − ∑ p i log 2 p i i =1
dimana
H’ pi ni N s
= = = = =
indeks keanekaragaman Shannon-Wiener ni/N jumlah individu jenis ke-i jumlah total individu seluruh jenis jumlah jenis
dengan kriteria (Brower et al. 1990): H’ < 3.322 3.322 < H’ < 9.966 H’ > 9.966
= = =
Keanekaragaman rendah Keanekaragaman sedang Keanekaragaman tinggi
Nilai indeks keseragaman (E) digunakan untuk menggambarkan komposisi individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas, yang dihitung dengan menggunakan petunjuk Krebs (1989), sebagai berikut:
E=
H' H max
dimana: E = H’ = Hmax = S =
indeks keseragaman indeks keanekaragaman Shannon-Wienner log2 S jumlah jenis
dengan kriteria: 0.00 < E < 0.50 0.50 < E < 0.75 0.75 < E < 1.00
= = =
komunitas tertekan komunitas labil komunitas stabil
19
Nilai indeks dominasi (C) digunakan untuk menggambarkan ada tidaknya dominansi suatu jenis dalam suatu komunitas, yang dihitung dengan menggunakan indeks dominasi Simpson (Magurran 1988), sebagai berikut: s
C = ∑ pi 2 i =1
dimana: C pi ni N s
= = = = =
indeks dominansi Simpson ni/N jumlah individu jenis ke-i jumlah total individu seluruh jenis jumlah jenis
dengan kriteria: 0.00 < C < 0.50 0.50 < C < 0.75 0.75 < C < 1.00
= = =
dominansi rendah dominansi sedang dominansi tinggi
Kerapatan jenis dan kerapatan relatif jenis lamun Kerapatan jenis lamun adalah jumlah total individu atau tegakan lamun dalam suatu unit area yang dihitung berdasarkan petunjuk English et al. (1994) sebagai berikut :
Di = ni dimana: Di ni A
A
= kerapatan jenis ke-i (ind/m2) = jumlah total individu jenis ke-i (ind.) = luas area total pengambilan contoh (m2)
Kerapatan relatif jenis lamun adalah perbandingan kerapatan mutlak jenis ke-i dan jumlah kerapatan seluruh jenis, dihitung berdasarkan petunjuk English et al. (1994) sebagai berikut :
RDi =
Di x 100 D ∑
dimana: RDi = kerapatan relatif jenis ke-i Di = kerapatan jenis ke-i (ind/m2) ΣD = jumlah kerapatan seluruh jenis (ind/m2)
20
Frekuensi jenis dan frekuensi relatif jenis lamun Frekuensi jenis lamun adalah peluang ditemukannya jenis ke-i dalam suatu petak contoh terhadap seluruh petak contoh yang diamati, dihitung berdasarkan petunjuk English et al. (1994) sebagai berikut:
Fi = Pi
∑P
dimana: Fi = frekuensi jenis ke-i Pi = jumlah petak contoh ditemukannya jenis ke-i ΣP = jumlah total petak contoh yang diamati Frekuensi relatif jenis lamun adalah perbandingan frekuensi jenis ke-i dengan jumlah total frekuensi jenis, dihitung berdasarkan petujuk English et al. (1994) sebagai berikut :
RFi =
Fi x 100 F ∑
dimana: RFi = frekuensi relatif jenis ke-i Fi = frekuensi jenis ke-i ΣF = jumlah total frekuensi jenis Penutupan jenis dan penutupan relatif jenis lamun Perhitungan penutupan jenis lamun dilakukan berdasarkan petunjuk Saito dan Atobe (1970), diacu dalam English et al. (1994) sebagai berikut:
Ci =
(
∑ Mi x fi
)
∑ fi
dimana: Ci = penutupan jenis ke-i Mi = persentase nilai tengah kelas ke-i fi = frekuensi (jumlah tutupan kotak-kotak kecil dari jenis ke-i, yang dominan) Σf = jumlah total frekuensi jenis ke-i Penutupan relatif jenis lamun adalah perbandingan antara penutupan jenis ke-i dengan jumlah total penutupan seluruh jenis.
RCi =
Ci x 100 C ∑
dimana; RCi = penutupan relatif jenis ke-i Ci = penutupan jenis ke-i ΣC = jumlah total penutupan
21
Indeks nilai penting jenis lamun Indeks nilai penting digunakan untuk menghitung dan menduga peranan jenis ke-i dalam suatu komunitas. Semakin tinggi Indeks Nilai Penting jenis ke-i maka semakin tinggi jenis ke-i di dalam komunitas dan sebaliknya (Brower et al. 1990) :
IVi= RDi+ RFi+ RCi dimana: IVi RDi RFi RCi
= = = =
indeks nilai penting jenis ke-i kerapatan relatif jenis ke-i frekuensi relatif jenis ke-i penutupan relatif jenis-ke-i
Komunitas Bulu Babi Echinoidea Keanekaragaman, keseragaman dan dominansi jenis Formula perhitungan nilai indeks keanekaragam, keseragaman dan dominansi jenis bulu babi dilakukan dengan menggunakan formula sebagaimana yang digunakan terhadap komunitas lamun. Pola Penyebaran Pola penyebaran bulu babi dalam suatu komunitas dihitung dengan menggunakan Indeks Penyebaran Morisita (Poole 1974), sebagai berikut:
Id = n dimana: Id n N x2
2 ∑x − N
N (N − 1)
= = = =
indeks penyebaran Morisita jumlah plot jumlah total individu dalam total n plot kuadrat jumlah individu per plot untuk total n plot
dengan kriteria, jika: Id = 1, maka pola penyebaran acak Id = 0, maka pola penyebaran merata Id = n, maka pola penyebaran mengelompok Selanjutnya, untuk mendeterminasi signifikansi pola penyebaran yang diperoleh, dilakukan uji khi-kuadrat (χ2) pada selang kepercayaan 95% (α=0.05) dengan formula:
χ = 2
n∑ X 2 N
−N
22
Sebaran Karakteristik Biofisik-Kimia Untuk menentukan sebaran karakteristik biofisik-kima perairan, digunakan pendekatan sidik peubah ganda melalui Analisis Komponen Utama (Principal
Component Analysis) dengan menggunakan pengukuran jarak Euklidean (jumlah kuadrat beda antar individu untuk variabel yang berkoresponden) dengan rumus (Legendre & Legendre 1983; Bengen 2000) : p
d 2 (i, i ' ) = ∑ ( X ij − X i ' j ) 2 j =1
dimana: i,i’ = dua baris j = indeks pada kolom (bervariasi dari 1 hingga p) Analisis Komponen Utama (PCA) ini merupakan metode statistik interdependen yang bertujuan yang bertujuan mempresentasikan informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data dalam bentuk grafik. Matriks data ini terdiri dari stasiun pengamatan sebagai individu statistik pada baris dan parameter biofisik-kimia air sebagai variabel kuantitatif pada kolom. Keterkaitan antara Komunitas Lamun dan Populasi Bulu Babi Evaluasi keterkaitan antara komunitas lamun dan populasi bulu babi di lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan Analisis Faktorial Koresponden (Correspondence Analysis) (Bengen 2000), yang didasarkan pada matriks data i baris (kerapatan lamun, kepadatan bulu babi) dan j kolom (stasiun) dimana kepadatan bulu babi atau kerapatan lamun kei-i untuk stasiun ke-j terdapat pada baris ke-i dan kolom ke-j. Matriks datanya merupakan tabel kontigensi kerapatan jenis bulu babi x stasiun pengamatan dan tabel kontigensi kerapatan jenis lamun x stasiun pengamatan. Matriks yang sama dievaluasi pula kerapatan jenis dalam menentukan sebaran kepadatan bulu babi. Evaluasi terhadap variabel tersebut dilakukan dengan cara memasukkannya sebagai variabel asosiatif. Matriks datanya merupakan tabel kontigensi kepadatan bulu babi x kerapatan jenis lamun. Analisis ini merupakan suatu analisis komponen utama ganda dengan pengukuran jarak khi-kuadrat. Analisis Faktorial Koresponden ini tidak menghasilkan dua grafik yang independen tapi hanya satu grafik unik dimana baris dan kolom dipresentasekan pada grafik yang sama. Pengukuran kemiripan
23
antara dua baris dan dua kolom dilakukan melalui pengukuran jarak khi-kuadrat dengan persamaan: p
d 2 (i, i ' ) = ∑ ( X ij / X i − X i ' j / X i ' ) 2 / X j j =1
dimana: d2 = jarak khi-kuadrat Xi = jumlah dari baris i untuk keseluruhan kolom j Xj = jumlah dari kolom j untuk keseluruhan baris i Pengelompokan
stasiun
yang
diperoleh
dari
Analisis
Faktorial
Koresponden, selanjutnya dikonfirmasi dengan klasifikasi hierarki (Cluster
Analysis) yang diwujudkan dalam bentuk dendogram (Bengen 2000).
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lokasi Penelitian Kepulauan Banda adalah gugusan kepulauan oseanik yang terletak kurang lebih pada 04 31’ S dan 129 54’BT di laut Banda – Indonesia Timur, dengan panjang garis pantai ± 84.81 km dan diperkirakan memiliki luas padang lamun mencapai 3.1 km2 (David et al. 2002). Ditambahkan bahwa, lamun di daerah ini umumnya terbatas (localized) dengan jarak 150 m dari pantai dan lebar sampai dengan 500 m sepanjang pantai. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan pada empat stasiun di Pulau Hatta yang merupakan salah satu pulau yang terletak di sebelah tenggara Kepulauan Banda. Stasiun 1 terletak di Pantai Utra (Tenggara Hatta), stasiun 2 di Pantai Polo (Timur Hatta), stasiun 3 di Pantai Bakereij (Utara Hatta) dan stasiun 4 di Pantai Ujung Paser (Barat Hatta). Panjang garis pantai Pulau Hatta mencapai ± 9.5 km dengan garis pantai potensial yang ditumbuhi lamun ± 3.1 km. Tipe substrat di lokasi penelitian umumnya didominasi oleh sedimen pasir. Perbandingan komposisi sedimen antar stasiun penelitian ditampilkan dalam
100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
24.79 3.52
8.60
27.39 15.81
13.67
5.08
1.13
KS
K
PSK
PAK
PS
PAH
PSH
LMP
-2.5
-1.5
-0.5
0.5
1.5
2.5
3.5
4.5
Persentase Bobot (%)
Persentase Bobot (%)
gambar di bawah ini. 100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
22.99 3.68
8.83
23.94 16.57
14.39
8.09 1.51
KS
K
PSK
PAK
PS
PAH
PSH
LMP
-2.5
-1.5
-0.5
0.5
1.5
2.5
3.5
4.5
Nilai Tengah Kategori Ukuran Butiran Sedimen (φ)
Persentase Bobot (%)
Nilai Tengah Kategori Ukuran Butiran Sedimen (φ) 100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
37.77 29.10 15.74 5.17
7.96
K
PSK
PAK
PS
PAH
PSH
LMP
-1.5
-0.5
0.5
1.5
2.5
3.5
4.5
0.00
0.60
KS -2.5
3.66
Ket: KS=kerikil sedang, K=kerikil, PSK=pasir sangat kasar, PAK=pasir kasar, PS=pasir sedang, PH=pasir halus, PSH=pasir sangat halus, LMP=lumpur.
Persentase Bobot (%)
Nilai Tengah Kategori Ukuran Butiran Sedimen (φ) 100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
37.03 22.23
20.76 2.58
5.47
8.12
0.45 KS
K
PSK
PAK
PS
PAH
PSH
LMP
-2.5
-1.5
-0.5
0.5
1.5
2.5
3.5
4.5
3.35
Nilai Tengah Kategori Ukuran Butiran Sedimen (φ)
Gambar 7. Perbandingan persentase sedimen di lokasi penelitian
25
Tipe substrat seperti yang ditampilkan dalam Gambar 7 dan Lampiran 1, menunjukkan bahwa pantai tenggara dan pantai timur Pulau Hatta umumnya didominasi oleh pasir halus dengan rata-rata diameter ukuran butiran sebesar 0.231 mm dan 0.211 mm, sementara tipe substrat pada pantai utara dan pantai barat adalah pasir kasar dengan rata-rata diameter ukuran butiran sebesar 0.524 mm dan 0.554 mm.
Utara Hatta
Barat Hatta
Timur Hatta
Tenggara Hatta
Kedalaman (m)
0.0
Stasiun 1 (Tenggara Hatta)
1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 0.0
Kedalaman (m)
Stasiun 2 (Timur Hatta) 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0
0.0 Kedalaman (m)
Stasiun 3 (Utara Hatta) 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0
Kedalaman (m)
0.0
Pasang tertinggi
Stasiun 4 (Barat Hatta)
1.0 2.0
Surut terendah
3.0 4.0
Jarak dari Pantai (m)
5.0 0
20
40
60
80
100
120
Gambar 8. Perbandingan topografi dasar perairan di Pulau Hatta
140
160
26
Topografi pantai di lokasi penelitian (Gambar 8 dan Lampiran 2) umumnya landai, dengan derajat kemiringan pada pantai tenggara hingga pantai barat sebesar 1.504o, 1.509o, 1.495o, dan 1.491o. Pasang surut yang terjadi di wilayah ini adalah tipe campuran yang condong ke harian ganda (mixed tide prevailing semi diurnal) dimana pergerakan air pasang dan surut masing-masing terjadi dua kali sehari dengan tinggi dan periode yang berbeda (Lampiran 3). Hasil pengukuran rata-rata parameter fisik-kimia perairan Pulau Hatta seperti yang ditampilkan dalam Tabel 4 dan Lampiran 4 menunjukkan kisaran nilai yang relatif kecil. Suhu perairan berkisar antara 28-29.3 oC, salinitas berkisar antara 30.2-31.2 ppt, pH antara 7.5-8.0, kekeruhan antara 0.39-0.96 NTU, kecepatan arus antara 0.05-0.12 m/det, oksigen terlarut antara 5.38-6.96 mg/l, nitrat antara 0.04-0.67 mg/l, fosfat antara 0.29-0.34 mg/l. Tabel 4. Nilai rata-rata parameter fisik kimia di padang lamun Pulau Hatta Parameter Fisik Kimia Suhu (oC) Salinitas (ppt) pH Kekeruhan (NTU) Kec. Arus (m/det) DO (mg/l) Nitrat (mg/l) Fosfat (mg/l)
Stasiun Tenggara Hatta 28.8 30.5 7.5 0.71 0.09 6.61 0.04 0.34
Timur Hatta 28.5 31.1 8.0 0.96 0.05 5.97 0.67 0.29
Utara Hatta 29.3 31.2 7.5 0.60 0.06 5.38 0.52 0.31
Barat Hatta 28.0 30.2 7.5 0.39 0.12 6.96 0.11 0.29
Hasil ini menunjukkan bahwa nilai parameter fisik kimia yang terukur di perairan Pulau Hatta berada dalam kisaran standar baku mutu bagi biota laut yang disarankan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51/MENLH/2004, dimana suhu perairan berkisar antara 28-32oC, salinitas tertinggi 34o/oo, pH antara 6.5-8.5, kekeruhan <5 mg/l, oksigen terlarut (DO) > 5 mg/l. Vegetasi Lamun di Pulau Hatta Tipe vegetasi lamun yang umum dijumpai di Pulau Hatta adalah vegetasi campuran (mixed seagrass beds), dan terlihat adanya asosiasi antara dua atau tiga jenis lamun pada beberapa titik pengambilan contoh. Di Pulau Hatta terdapat 7 (tujuh) jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis (famili Hydrocharitaceae), Cymocea rotundata, Syringodium isoetifolium,
27
Halodule uninervis dan Thalassodendron ciliatum (famili Potamogetonaceae). Lamun Thalassodendron ciliatum yang dijumpai di Pulau Hatta berada pada daerah yang lebih dalam, di luar area pengamatan. Berdasarkan Gambar 9, kerapatan rata-rata jenis lamun di Pulau Hatta berkisar antara 3.85-296.89 teg/m2, dengan kerapatan tertinggi diwakili Thalassia hemprichii (296.89±31.74 teg/m2), Halodule uninervis (249.33±81.75 teg/m2), Syringodium
isoetifolium
(123.67±61.97
teg/m2),
Cymodocea
2
rotundata
2
(113.11±50.11 teg/m ), Enhalus acoroides (48.22±16.73 teg/m ) dan terendah Halophila ovalis (3.85±1.86 teg/m2).
Kerapatan lamun pada pantai tenggara
didominasi Thalassia dan Cymodocea, pantai timur dan utara didominasi Thalassia dan Halodule, dan pantai barat didominasi Thalassia, Syringodium dan Halodule. T otal
Kerapatan Jenis (teg/m2)
1400 T otal
1200 1000 800
T otal
600
T otal
Th
Hu Th
400 200 0
Cr
Th
Th Ea
Si
Cr Si
Hu Ea
Cr
Si Hu
Si Ea
Cr
Ea
Te nggara Hatta
Timur Hatta
Utara Hatta
Barat Hatta
Cr
226.67
51.56
9.33
164.89
Si
24.89
11.11
203.56
255.11
Hu
0.00
105.78
388.89
253.33
Ho
0.00
1.78
2.22
7.56
Ea
72.89
80.44
26.67
12.89
Th
272.44
220.44
330.67
364.00
Total
596.89
471.11
961.33
1057.78
Ket: Cr=Cymodocea rotundata, Si=Syringodium isoetifolium, Hu=Halodule uninervis, Ho=Halophila ovalis, Ea=Enhalus acoroides, Th=Thalassia hemprichii.
Gambar 9. Perbandingan kerapatan rata-rata jenis lamun di Pulau Hatta ( x ± SE) Penutupan relatif jenis lamun seperti yang ditampilkan dalam Gambar 10 dan Lampiran 6 memperlihatkan bahwa pada pantai tenggara dan pantai timur penutupan lamun didominasi oleh Thalassia hemprichii dengan penutupan relatif mencapai 64.13%,
pada pantai utara didominasi oleh Thalassia hemprichii dan
Halodule uninervis dengan penutupan relatif sebesar 41.84% dan 35.19% sementara pada pantai barat, lamun Thalassia dan Cymodocea rotundata mendominasi tutupan sebesar 37.24% dan 23.16%.
28 100% 90%
Penutupan Relatif
80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10%
Penutupan Jenis
0%
Te nggara Hatta
Timur Hatta
Utara Hatta
Barat Hatta
Th
22.39
20.33
23.64
24.71
Ea
3.17
3.84
1.79
0.73
Ho
0.00
0.03
0.04
0.28
Hu
0.00
5.03
19.88
12.99
Si
0.71
0.28
10.77
12.29
Cr
12.48
2.19
0.37
15.37
Ket: Cr=Cymodocea rotundata, Si=Syringodium isoetifolium, Hu=Halodule uninervis, Ho=Halophila ovalis, Ea=Enhalus acoroides, Th=Thalassia hemprichii.
Gambar 10. Perbandingan penutupan rata-rata jenis lamun di Pulau Hatta Secara keseluruhan, penutupan rata-rata jenis lamun di Pulau Hatta didominasi oleh Thalassia hemprichii (22.77%), kemudian Halodule uninervis (12.63%), Cymodocea rotundata (7.60%), Syringodium isoetifolium (6.01%), Enhalus acoroides (2.38%), dan terendah Halophila ovalis (0.12%). Sesuai Gambar 9 dan 10, kerapatan dan penutupan lamun di Pulau Hatta umumnya didominasi Thalassia hemprichii, Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata. Tingginya kerapatan dan penutupan Thalassia hemprichii berkaitan dengan kemampuan adaptasinya terhadap tipe substrat pasir halus hingga pasir kasar yang umumnya dijumpai di Pulau Hatta. Kondisi ini sejalan dengan laporan den Hartog (1970) bahwa Thalassia hemprichii hidup dalam semua jenis substrat, bervariasi dari pecahan karang hingga substrat lunak. Keberadaan Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata di Pulau Hatta juga sejalan dengan laporan Tomascik et al. (1997) yang menyebutkan bahwa Halodule uninervis lebih banyak hidup pada pasir halus hingga kasar di zona intertidal dan subtidal, dan Cymodocea rotundata hidup pada daerah dangkal yang tertutup pasir karang dan mempunyai toleransi yang tinggi pada daerah terbuka (tidak terendam air).
29
Lamun Syringodium isoetifolium memiliki nilai kerapatan dan penutupan yang lebih rendah dibanding Thalassia, Halodule dan Cymodocea. Kondisi ini terjadi karena jenis ini hanya mampu mentoleransi kekeringan dalam waktu singkat (Phillips & Menez 1998), dan biasanya ditemukan di antara lamun lain yang dominan (den Hartog 1970). Enhalus acoroides, walaupun mampu beradaptasi terhadap berbagai tipe substrat, di Pulau Hatta, jenis ini memiliki kerapatan dan penutupan yang relatif lebih rendah. Kondisi ini berkaitan dengan kedalaman dan topografi perairan Pulau Hatta yang landai sehingga lebih banyak area padang lamun yang terbuka saat surut, akibatnya jenis ini hanya tersebar pada padang lamun yang saat surut masih terendam air. Lamun Halophila ovalis
yang memiliki nilai kerapatan dan penutupan
terendah di keempat stasiun penelitian, ditemukan secara bersama-sama dengan Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium dengan Thalassia hemprichii sesuai dengan yang dikemukakan oleh Brazier (1975), diacu dalam Philips dan Menez (1988) bahwa keempat marga lamun ini membentuk "Asosiasi Thalassia" yang terutama ditemui pada perairan tropis. Selain itu, Nienhuis et al. (1991) juga menyebutkan bahwa jenis ini sering terlihat sebagai jenis pembuka yang mendiami substrat pasir. Peranan masing-masing jenis lamun di lokasi penelitian ditunjukkan dengan Indeks Nilai Penting (INP).
Perbandingan indeks nilai penting lamun antar
stasiun penelitian di Pulau Hatta selengkapnya ditampilkan dalam Gambar 11. Hasil perhitungan Indeks Nilai Penting seperti yang ditampilkan dalam Gambar 11 dan Lampiran 6 menunjukkan bahwa Thalassia hemprichii memiliki nilai penting tertinggi (105.16-143.56) mulai dari stasiun 1 (Tenggara Hatta) hingga stasiun 4 (Barat Hatta).
Hal ini berarti, secara ekologis Thalassia
hemprichii memiliki peranan yang paling penting terhadap struktur komunitas lamun di Pulau Hatta. Setelah Thalassia hemprichii, Cymodoce rotundata juga memiliki peran penting (67.70-100.87) di Tenggara Hatta dan Barat Hatta , dan Halodule uninervis (107.99) di Utara Hatta.
30 Cr, 67.70
Th, 105.16
Ea, 6.08
Ho, 3.01
Cr, 5.58
Th, 115.74
Hu, 62.02
Si, 56.29
Si, 56.04
Ea, 13.34
Cr, 32.22
Th, 152.14
Si, 7.49 Hu, 50.30
Ea, 56.85
Ho, 1.00
Cr, 100.87
Th, 143.58
Ket: Th=Thalassia hemprichii, Ea=Enhalus acoroides, Ho=Halophila ovalis, Hu=halodule uninervis, Si=Syringodium isoetifolium, Cr=Cymodocea rotundata
Hu, 107.99
Ho, 1.05
Ea, 41.82
Si, 13.72
Gambar 11. Perbandingan indeks nilai penting jenis lamun di lokasi penelitian Struktur Komunitas dan Pola Penyebaran Lamun di Pulau Hatta Hasil perhitungan nilai indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dominansi (C), dan pola penyebaran (Id) lamun di Pulau Hatta ditampilkan dalam tabel berikut. Tabel 5. Nilai struktur komunitas dan pola penyebaran lamun di Pulau Hatta Stasiun Struktur Komunitas
Tenggara Hatta
Timur Hatta
Utara Hatta
Barat Hatta
1A
1B
1C
2A
2B
2C
3A
3B
3C
4A
4B
4C
Jumlah Individu (Ind.)
1896
1800
1676
1504
1372
1364
2808
3372
2472
4868
3960
692
Keanekaragaman (H’)
1.362 1.671 1.697 1.443 1.423 1.340 0.598 1.839 1.276 1.388 1.596 0.509
Keseragaman (E)
0.859 0.836 0.849 0.621 0.711 0.670 0.598 0.711 0.805 0.598 0.687 0.321
Dominansi (C)
0.418 0.353 0.352 0.460 0.452 0.486 0.752 0.317 0.443 0.431 0.410 0.830
Pola Penyebaran (Id)
1.053 1.025 1.008 1.087 1.070 1.003 1.030 1.173 1.640 1.134 1.257 1.322
Cymodocea rotundata
1.585 1.156 1.065 2.196 3.000 3.000
Syringodium isoetifolium
1.181 1.313
3.000 3.000
3.000 0.000 3.000 1.580 1.520 3.000 1.927
1.667
Halodule uninervis
1.498
1.082 1.396 0.000 1.380 3.000
Halophila ovalis
3.000
3.000 0.000 3.000
Enhalus acoroides
1.495 1.008 1.034 3.000 1.101 1.057
Thalassia hemprichii
1.034 1.002 1.045 3.000 1.091 1.026 1.095 1.598 1.191 1.169 1.469 3.000
3.000 1.928 3.000 2.087 3.000
31
0.0 0.5
Kedalaman (m)
1.0 1.5 2.0 2.5
Substasiun A
3.0 3.5
Substasiun B
4.0
Substasiun C
4.5
Stasiun 1 (Tenggara Hatta)
5.0
0.0 0.5
Kedalaman (m)
1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5
Stasiun 2 (Timur Hatta)
5.0 0.0 0.5 1.0 Kedalaman (m)
1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5
Stasiun 3 (Utara Hatta)
5.0
0.0
Pasang tertinggi
0.5
Kedalaman (m)
1.0 1.5 2.0
Surut terendah
2.5
Ho Hu
3.0
Cr
Th Ea
3.5
Si
4.0 4.5 5.0
Ket:
Stasiun 4 (Barat Hatta) 0
20
Jarak dari Pantai (m) 40
60
80
100
120
140
160
Ho=Halophila ovalis, Hu=Halodule uninervis, Cr=Cymodocea rotundata, Th=Thalassia hemprichii, Ea=Enhalus acoroides, Si=Syringodium isoetifolium.
Gambar 12. Ilustrasi sebaran spasial lamun di Pulau Hatta
32
Keanekaragaman jenis lamun yang dijumpai di lokasi penelitian umumnya rendah (H’ < 3.322). Hal ini terjadi karena selain jumlah jenis lamun yang relatif sedikit, juga karena proporsi jumlah tegakan antar jenis yang menyusun komunitas tersebut relatif memiliki rentang yang lebar. Selain itu, adanya asosiasi antara dua atau tiga jenis pada beberapa titik pengamatan sepertinya turut berkontribusi
terhadap
nilai
keanekaragaman
ini.
Walaupun
demikian,
keseragaman jenis (E) di setiap stasiun relatif mendekati 1 (0.598-0.859) kecuali pada substasiun 4C (0.321), dengan dominansi jenis (C) yang relatif mendekati 0 (0.352-0.752), kecuali spada substasiun 4C (0.830). Hal ini menandakan bahwa komunitas lamun di Pulau Hatta berada dalam kondisi yang relatif stabil dengan dominansi jenis yang rendah. Pola penyebaran lamun di Pulau Hatta umumnya mengelompok dengan nilai Id berkisar antara 1.003-1.640. Perhitungan pola penyebaran dari setiap jenis lamun (Tabel 5 dan Lampiran 7) juga menghasilkan nilai pola penyebaran (Id) yang lebih besar dari 1 dengan nilai χ2 hitung > χ2 tabel sehingga setiap jenis lamun yang dijumpai di Pulau Hatta menyebar mengelompok.
Sesuai Gambar 12,
sebaran kerapatan lamun berdasarkan kedalaman relatif sama kecuali pada stasiun barat Hatta dimana kerapatan lamun berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini berkaitan dengan tingginya kerapatan Halodule uninervis di daerah dekat daratan. Sebaran Karakteristik Fisik-kimia Padang Lamun di Pulau Hatta Analisis komponen utama untuk mengkaji sebaran karakteristik fisik-kimia padang lamun di Pulau Hatta dilakukan terhadap suhu, salinitas, pH, kekeruhan, kecepatan arus, oksigen terlarut, nitrat, fosfat, dan tipe substrat (pasir kasar, pasir sedang dan pasir halus) sebagai variabel aktif serta variabel suplemen berupa kerapatan jenis lamun dan kepadatan jenis bulu babi. Analisis ini memunculkan empat sumbu utama yang merepresentasikan 86.68% informasi dari ragam total. Akar ciri dan persentase ragam dari masing-masing sumbu berturut-turut sebesar 4.536 (37.80%), 2.810 (23.42%), 1.567 (13.06%), dan 1.49 (12.41%). Berdasarkan Gambar 13A dan Lampiran 8, pembentukan sumbu 1 positif diwakili oleh kekeruhan (TUR) dan pasir halus (PAH) dengan kontribusi 92.96% dan 58.82%, pembentukan sumbu 1 negatif diwakili oleh kecepatan arus (KEA), pasir sedang (PS), dan pasir kasar (PAK) dengan kontribusi 78.25%, 57.31%, dan
33
48.49%. Sumbu 2 positif dibentuk oleh oksigen terlarut (DO) dengan kontribusi 63.98%, sementara sumbu 2 negatif dibentuk oleh salinitas (SAL) dan suhu (SUH) dengan kontribusi 49.94% dan 44.54%. Sumbu 3 negatif dibentuk oleh fosfat (FOS) dan pH (PH) dengan kontribusi 51.55% dan 38.62% dan pembentukan sumbu 4 negatif diwakili oleh nitrat (NIT) dan kedalaman (KED) dengan kontribusi 41.23% dan 24.04%. A
Ket:
B
SUH=suhu, SAL=salinitas, PH=pH, NIT=nitrat, FOS=fosfat, DO=oksigen terlarut, KEA=kec. arus, TUR=kekeruhan, PAH=pasir halus, PAS=pasir sedang, PAK=pasir kasar, TH=Thalassia hemprichii, EA=Enhalus acoroides, HO=Halophila ovalis, HU=halodule uninervis, SI=Syringodium isoetifolium, CR=Cymodocea rotundata, Tg=Tripneustes gratilla, Tp=Toxopneustes pileolus, Ds=Diadema setosum, Ed=Echinotrix diadema, Em=Echinometra mathaei, 1A - 4C = stasiun 1 substasiun 1 – stasiun 4 substasiun 3.
Gambar 13.
Grafik analisis komponen utama karakteristik fisik-kimia padang lamun Pulau Hatta. A) Lingkaran korelasi variabel fisik-kimia pada sumbu utama 1 dan 2; B) Sebaran stasiun penelitian pada sumbu utama 1 dan 2
Matriks korelasi antara parameter fisik-kimia sebagai variabel aktif dan kerapatan jenis lamun serta kapadatan jenis bulu babi sebagai variabel suplemen memperlihatkan adanya korelasi antara beberapa parameter fisik-kimia perairan. Kekeruhan (TUR) berkorelasi positif dengan pasir halus (PAH), oksigen terlarut (DO) berkorelasi positif dengan kecepatan arus (KEA). Kondisi substrat pasir sedang (PS) dan pasir kasar (PAK) juga berkorelasi positif dengan kecepatan arus (KEA). Selain itu terlihat adanya korelasi positif antara suhu (SUH) dan salinitas (SAL). Berdasarkan variabel suplemen, lamun Enhalus acoroides (EA) berkorelasi dengan pasir halus (PAH) dan kekeruhan (TUR), Cymodoce rotundata (CR) berkorelasi positif dengan kecepatan arus (KEA) dan Oksigen terlarut (DO), Halodule uninervis (HU) berkorelasi positif dengan pasir sedang (PS), Halophila
34
ovalis (HO) berkorelasi negatif dengan kedalaman (KED), Syringodium isoetifolium (SI) berkorelasi positif dengan pasir kasar (PK), dan Thalassia hemprichii (TH) cenderung berasosiasi dengan keadaan lingkungan yang dicirikan dengan oksigen terlarut (DO), kecepatan arus (KEA), pasir sedang (PS) dan pasir kasar (PAK) yang tinggi. Gambar 13A dan Lampiran 8 juga menunjukkan bahwa bulu babi Tripneustes gratilla (TG), Diadema setosum (DS), Echinotrix diadema (D) dan Echinometra mathaei (EM) berkorelasi positif dengan kedalaman (KED), sementara Toxopneustes pileolus (TP) cenderung berkorelasi positif dengan kecepatan arus (KEA) dan berkorelasi negatif dengan kekeruhan (TUR). Adanya korelasi positif antara bulu babi dengan kedalaman ini diduga berkaitan dengan tingkah laku bulu babi yang cenderung menghindari cahaya (fototaxis negatif) serta penghindarannya terhadap keadaan yang terbuka ketika air surut. Sebaran stasiun pengamatan berdasarkan kondisi biofisik padang lamun di Pulau Hatta (Gambar 13B) memperlihatkan bahwa stasiun timur Hatta umumnya dicirikan oleh kekeruhan, pasir halus dan kerapatan Enhalus acoroides yang tinggi. Stasiun tenggara Hatta umumnya dicirikan oleh oksigen terlarut yang tinggi, sementara stasiun utara Hatta dan barat Hatta umumnya dicirikan dengan kecepatan arus, pasir sedang dan pasir kasar. Kerapatan jenis lamun serta kepadatan jenis bulu babi yang tinggi cenderung berasosiasi dengan stasiun ini. 25
21.69
Jarak Euklidean
20
15
15.79 13.79
10
8.03
7.5
5
5.71 3.97
3.57
3.04
4.19 2.75
8.18
0 4C
4B
3C
Kel. 1
Ket:
3B
4A
3A
Kel. 2
1C
Kel. 3
1B
2C
2B
2A
1A
Kel. 4
1A, 1B, 1C = stasiun 1; 2A, 2B, 2C = stasiun 2; 3A, 3B, 3C = stasiun 3; 4A, 4B, 4C = stasiun 4
Gambar 14. Dendogram klasifikasi hierarki stasiun pengamatan berdasarkan parameter fisik-kimia padang lamun Pulau Hatta
35
Sesuai Gambar 13B, sebaran karakteristik fisik-kimia perairan yang selanjutnya diverifikasi dengan analisis kelompok (cluster analysis) berdasarkan jarak euklidean (Gambar 14) menunjukkan adanya 4 (empat) kelompok stasiun. Kelompok pertama terdiri dari stasiun utara Hatta (3B, 3C) dan barat Hatta (4B, 4C) yang dicirikan dengan kecepatan arus, persentase pasir sedang serta oksigen terlarut yang tinggi, kelompok kedua terdiri dari stasiun utara Hatta (3A) dan barat Hatta (4A) yang dicirikan dengan suhu dan salinitas yang tinggi. Kelompok ketiga adalah stasiun tenggara Hatta (1C), dan kelompok keempat terdiri dari stasiun tenggara Hatta (1B, 1C) dan stasiun timur Hatta (2A, 2B, 2C) yang dicirikan dengan persentase pasir halus serta kekeruhan yang lebih tinggi Struktur Komunitas dan Pola Penyebaran Bulu Babi di Pulau Hatta Bulu babi yang dijumpai di padang lamun Pulau Hatta terdiri dari 5 (lima) jenis yaitu Tripneustes gratilla, Toxopneustes pileolus, Diadema setosum, Echinotrix diadema, dan Echinometra mathaei. Kelima jenis bulu babi ini berasal dari famili Toxopneustidae (Tripneustes gratilla dan Toxopneustes pileolus), famili Diadematidae (Diadema setosum dan Echinotrix diadema), dan famili Echinometridae (Echinometra mathaei).
Kepadatan Jenis (ind/25 m2) )
16.00 T ot al
12.00
T otal
10.00 Tg
8.00
Tg
Tg
6.00 4.00 2.00 0.00
Ds
Ed Em
Tg Ds
Tp
Tp
Em
Ed
Ed
Ed Ds
Em
Ds Tp
Em
Tp
Te nggara Hatta
Ti mur Hatta
Utara Hatta
Barat Hatta
Tg
5.89
4.89
4.22
5.33
Tp
0.22
0.22
0.44
1.22
Ds
1.78
2.00
1.22
1.67
Ed
3.11
2.00
1.67
2.78
Em
0.89
0.67
0.89
1.33
11.89
9.78
8.44
12.33
Total
Ket:
T otal
T ot al
14.00
Tg=Tripneustes gratilla, Tp=Toxopneustes pileolus, Ds=Diadema setosum, Ed=Echinotrix diadema, Em=Echinometra mathaei.
Gambar 15. Kepadatan rata-rata jenis bulu babi di Pulau Hatta ( x ± SE)
36
Kepadatan bulu babi di Pulau Hatta berkisar antara 8.44-12.33 ind/25m2 dengan kepadatan jenis tertinggi diwakili oleh Tripneustes gratilla (4.22-5.89 ind/25m2), Echinotrix diadema (1.67-3.11 ind/25m2), dan Diadema setosum (1.67-2.00 ind/m2). Tingginya kepadatan Tripneustes gratilla di lokasi ini diduga berkaitan dengan ketersediaan makanan yang cukup (lamun Thalassia hemprichii) dan kondisi substrat yang didominasi oleh sedimen berpasir yang lebih disukai oleh bulu babi jenis ini. Tabel 6. Nilai struktur komunitas dan pola penyebaran bulu babi di Pulau Hatta Stasiun Struktur Komunitas Jumlah Individu (ind)
Tenggara Hatta
Timur Hatta
Utara Hatta
Barat Hatta
1A
1B
1C
2A
2B
2C
3A
3B
3C
4A
4B
4C
23
29
55
15
18
55
8
20
48
24
26
54
Keanekaragaman (H’)
1.121 1.442 1.970 0.700 1.405 1.999 1.299 1.292 2.085 1.428 1.323 2.101
Keseragaman (E)
0.483 0.621 0.848 0.301 0.605 0.861 0.559 0.556 0.898 0.615 0.570 0.905
Dominansi (C)
0.520 0.474 0.277 0.760 0.488 0.275 0.469 0.580 0.260 0.406 0.518 0.255
Pola Penyebaran (Id)
1.269 0.975 0.980 0.886 0.961 0.996 0.857 0.900 0.960 1.062 0.957 0.969
Tripneustes gratilla
1.400 1.316 1.316 0.923 0.955 1.263 1.800 0.886 0.941 0.885 0.882 1.081
Toxopneustes pileolus Diadema setosum
0.000 0.000 1.022
0.925
2.143 0.933
1.000 1.145
Echinotrix diadema
1.000 1.200 1.000
1.000 0.923 0.000 0.000 1.145 0.500 0.500 0.904
Echinometra mathaei
0.000 3.000 0.600
0.000 1.000
1.000
0.800
Hasil perhitungan nilai indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dominansi (C), dan pola penyebaran (Id) bulu babi di Pulau Hatta seperti yang ditampilkan dalam Tabel 6 menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis (H’) bulu babi pada setiap stasiun di Pulau Hatta menghasilkan nilai yang relatif kecil (1.121-2.101), karenanya status diversitas bulu babi di Pulau Hatta termasuk dalam kategori rendah (H’ < 3.322).
Berdasarkan nilai keseragaman (E),
komunitas bulu babi pada substasiun 1A dan 2A berada dalam kondisi tertekan, substasiun 1B, 2B, 3A, 3B, 4° dan 4B dalam kondisi labil, sementara pada substasiun 1C, 2C, 3C dan 4C berada status komunitas yang stabil. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas bulu babi yang stabil berada pada daerah yang lebih dalam karena senantiasa tergenang ketika terjadi surut serta berkurangnya penetrasi cahaya matahari. Selain itu, di setiap stasiun penelitian tidak dijumpai adanya dominansi jenis tertentu.
37
0.0 0.5
Kedalaman (m)
1.0
Substasiun A
1.5
Substasiun B
2.0 2.5
Substasiun C
3.0 3.5 4.0 4.5
Stasiun 1 (Tenggara Hatta)
5.0
0.0 0.5 1.0 Kedalaman (m)
`
1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5
Stasiun 2 (Timur Hatta)
5.0 0.0 0.5 1.0 Kedalaman (m)
1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5
Stasiun 3 (Utara Hatta)
5.0 0.0
Pasang tertinggi
0.5
Kedalaman (m)
1.0
Tg
1.5
Ds
2.0
Surut terendah
2.5
Ed
3.0
Tp
Em
3.5 4.0 4.5 5.0
Ket:
Stasiun 4 (Barat Hatta) 0
20
Jarak dari Pantai (m) 40
60
80
100
120
140
160
Tg=Tripneustes gratilla, Tp=Toxopneustes pileolus, Ds=Diadema setosum, Ed=Echinotrix diadema, Em=Echinometra mathaei
Gambar 16. Ilustrasi sebaran spasial bulu babi di Pulau Hatta
38
Hasil perhitungan indeks penyebaran bulu babi di Pulau Hatta berkisar antara 0.857-1.269 dan setelah dilakukan uji khi-kuadrat ternyata pola penyebaran bulu babi umumnya acak (Tabel 6 dan Lampiran 9). Pola penyebaran bulu babi seperti ini didukung oleh pendapat Aziz (1994a) bahwa di padang lamun, bulu babi dapat hidup soliter atau hidup mengelompok tergantung pada jenis dan habitatnya. Sesuai Gambar 16, sebaran kepadatan jenis bulu babi di Pulau Hatta menunjukkan adanya peningkatan dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini diduga berkaitan dengan
kecenderungan bulu babi untuk menghindari area
terbuka ketika surut sehingga lebih banyak bulu babi yang menyebar pada area yang lebih dalam. Kemampuan merumput Tripneustes gratilla terhadap Thalassia hemprichii Bulu babi jenis Tripneustes gratilla memiliki kepadatan yang relatif lebih tinggi dibandingkan keempat jenis bulu babi lainnya yang dijumpai di Pulau Hatta. Menurut Aziz (1994a), jenis ini merupakan salah satu grazer penting di padang lamun. Ditambahkan, makanan utama bulu babi ini adalah lamun Thalassia, Syringodium, Thalassodendron, dan Cymodocea. Aziz (1994b) juga menyebutkan bahwa 82.4% isi lambung Tripneustes gratilla adalah Thalassia hemprichii. Pengamatan kemampuan merumput Tripneustes gratilla di Pulau Hatta dikhususkan terhadap Thalassia hemprichii yang merupakan lamun penting di pulau ini. Tabel 7. Kemampuan merumput Tripneustes gratilla terhadap Thalassia hemprichii No 1 2 3 4 5 6 7 8 Rata-rata
Bobot Tripneustes gratilla (g) 50.11 52.16 59.73 60.78 87.04 87.65 96.21 97.05
Kemampuan merumput Alami Aquarium (teg/ind/hari) (g/ind/hari) 13.538 3.000 12.548 2.202 12.290 1.826 1.756 12.262 2.196 12.660
Hasil pengamatan kemampuan grazing bulu babi seperti yang ditampilkan dalam Tabel 7 dan Lampiran 10 memperlihatkan rata-rata kemampuan grazing Tripneustes gratilla di Pulau Hatta sebesar 12.660 g/ind/hari, hampir sama dengan
39
Kasim (1999) yang menemukan kemampuan grazing Tripenustes gratilla dengan bobot tubuh 51.9-56.2 g sebesar 13.38-14.65 g/ind/hari. Selain itu, terlihat kemampuan grazing lebih tinggi cenderung dilakukan oleh bulu babi dengan bobot tubuh yang lebih kecil. Hasil ini sejalan dengan yang ditemukan Kasim (1999) yang menyebutkan bahwa Tripneustes dengan bobot tubuh yang lebih kecil cenderung rakus karena memerlukan energi yang lebih besar bagi pertumbuhannya. Berdasarkan pengamatan langsung, kemampuan grazing Tripneustes gratilla terhadap Thalassia hemprichii di Pulau Hatta berkisar antara 1.756-3.000 teg/ind/hari dengan daya grazing rata-rata 2.196 teg/ind/hari. Dengan kenyataan bahwa kepadatan rata-rata bulu babi ini sebesar 5.08 ind/25m2, dan kepadatan rata-rata Thalasiia hemprichii sebesar 296.89 teg/m2 (7422.25 teg/25m2), maka dalam sehari, populasi Tripneustes gratilla yang ada pada padang lamun seluas 25 m2 menghabiskan 11.16 tegakan Thalassia atau 0.15% teg/m2/hari. Dengan kata lain, populasi Tripneustes gratilla yang ada di Pulau Hatta hanya mampu menghabiskan Thalassia hemprichii sebanyak 0.45 teg/m2/hari. Kondisi ini menandakan bahwa keberadaan populasi Tripneustes gratilla di Pulau Hatta tidak akan mengganggu stabilitas komunitas lamun di pulau ini, sehingga peran padang lamun sebagai produser primer, habitat dari berbagai biota laut, pendaur ulang zat hara dan peredam arus serta perangkap sedimen akan tetap berlangsung. Sebaran Spasial Lamun dan Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda Informasi maksimum sebaran spasial lamun terhadap stasiun penelitian yang dihasilkan dari analisis faktorial koresponden (correspondence analysis) sebesar 80.68% dari ragam total terpusat pada sumbu faktorial 1 dan 2, dengan akar ciri dan ragam pada masing-masing sumbu sebesar 0.50 (48.53%) dan 0.33 (32.1%). Hasil analisis seperti yang ditampilkan dalam Gambar 17 dan Lampiran 12 yang selanjutnya diverifikasi melalui analisis kelompok (cluster analysis) berdasarkan jarak khi-kuadrat (Gambar 18 dan Lampiran 12) menunjukkan adanya 7 (tujuh) kelompok habitat di lokasi penelitian. Kelompok pertama terdiri dari substasiun 1A, 1B, 1C, 2B, 2C dan 4C, kemudian kelompok 2 (2A), kelompok 3 (3B), kelompok 4 (3C), kelompok 5 (3A), kelompok 6 (4A), dan kelompok 7 (4B).
40
Ket: CR=Cymodocea rotundata, SI=Syringodium isoetifolium, HU=Halodule uninervis, HO=Halophila ovalis, EA=Enhalus acoroides, TH=Thalassia hemprichii; 1A-4C=substasiun
Gambar 17. Grafik Analisis Faktorial Koresponden antara stasiun penelitian dan lamun pada sumbu faktorial 1 dan 2
12.0
Khi-kuadrat
10.0 8.0
6.59
6.0 4.0 2.0
4 4 3 3 3 2 4 2 2 1 1 1 1A
1B
1C
2B Kel 1
2C
4C
2A
3B
3C
3A
4A
4B
Kel 2
Kel 3
Kel 4
Kel 5
Kel 6
Kel 7
Gambar 18. Dendogram klasifikasi hierarki stasiun pengamatan berdasarkan kerapatan jenis lamun di Pulau Hatta
41
Berdasarkan hasil di atas, terlihat bahwa Cymodocea rotundata dan Enhalus acoroides lebih banyak menyebar pada tenggara Hatta (1A, 1B, 1C) dan timur Hatta (2B, 2C). Kondisi ini terjadi karena Cymodocea rotundata mampu beradaptasi terhadap substrat dan keadaan yang terbuka dari stasiun tenggara, sementara Enhalus acoroides terlihat lebih menyukai perairan dengan substrat yang lebih halus yang disediakan stasiun timur Hatta. Syringodium isoetifolium lebih banyak dijumpai pada substasiun 3C dan 4B, Halodule uninervis dan Halophila ovalis lebih banyak menyebar pada daerah dangkal di timur Hatta (2A), utara Hatta (3A) dan barat Hatta (4A), karena komposisi substrat di ketiga substasiun ini lebih didominasi oleh pasir sedang dan pasir kasar disamping kondisi perairannya yang lebih jernih. Sementara itu, Thalassia hemprchii yang berperan penting di padang lamun pulau ini cenderung menyebar merata di setiap stasiun karena kemampuan adaptasinya terhadap berbagai tipe substrat.
Ket: TG=Tripneustes gratilla. DS=Diadema setosum, EM=Echinometra mathaei; 1A-4C=substasiun
ED=Echinotrix
diadema,
TP=Toxopneustes
pileolus,
Gambar 19. Grafik Analisis Faktorial Koresponden antara stasiun penelitian dan bulu babi pada sumbu faktorial 1 dan 2. Hasil analisis faktorial koresponden (correspondence analysis) sebaran populasi bulu babi di lokasi penelitian seperti yang ditampilkan dalam Gambar 19 dan Lampiran 13 menunjukkan bahwa sebaran bulu babi terpusat pada sumbu
42
faktorial 1 dan 2. Akar ciri dan ragam dari masing-masing sumbu adalah 0.129 (53.55%) dan 0.083 (34.23%), dengan informasi maksimum dari kedua sumbu tersebut sebesar 87.78% dari ragam total. Setelah diverifikasi dengan analisis kelompok (cluster analysis) berdasarkan jarak khi-kuadrat (Gambar 20), pada batas penskalaan dendogram 0.40, terlihat adanya 4 (empat) kelompok substasiun. Kelompok pertama adalah substasiun 1A, 1B, 2A, 2B, 3A, 3B, dan 4B, kelompok ke-2 terdiri dari 1C, 2C, dan 4C, kelompok ke-3 adalah 3C, dan kelompok ke-4 adalah 4A. 0.96
Khi-kuadrat
0.80 0.64 0.48 0.40
0.32 0.16
1A
1B
2A
3B
Kel 1
2B
4B
3A 1C
4 3 4 2
3 4 2 3 2
0.00
2C Kel 2
4C 3C
4A
Kel 3
Kel 4
Gambar 20. Dendogram klasifikasi hierarki stasiun pengamatan berdasarkan kepadatan jenis bulu babi di Pulau Hatta Sesuai Gambar 19 dan 20 terlihat bahwa secara spasial, Diadema setosum, Echinotrix diadema dan Echinometra mathaei cenderung berasosiasi dengan kelompok substasiun yang berdekatan dengan daerah terumbu karang (daerah lamun bagian depan), sedangkan Toxopneustes pileolus berasosiasi dengan substasiun A di barat Hatta. Bulu Babi Tripneustes gratilla cenderung berasosiasi dengan dengan kelompok substasiun pertama dimana karakteristik habitat di masing-masing substasiun ini lebih bervariasi baik tipe substrat maupun kedalamannya.
43
0.0
Substasiun A
0.5
Substasiun B
Kedalaman (m)
1.0
Substasiun C
1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5
Stasiun 1 (Tenggara Hatta)
5.0
0.0 0.5
Kedalaman (m)
1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5
Stasiun 2 (Timur Hatta)
5.0 0.0 0.5 1.0 Kedalaman (m)
1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5
Stasiun 3 (Utara Hatta)
5.0 0.0
Pasang tertinggi
0.5
Kedalaman (m)
1.0 1.5 2.0
Surut terendah
2.5
Th
3.0 3.5 4.0 4.5 5.0
Stasiun 4 (Barat Hatta) 0
20
Jarak dari Pantai (m) 40
60
80
100
120
140
Gambar 21. Ilustrasi sebaran spasial lamun dan bulu babi di Pulau Hatta
160
44
Keterkaitan antara Komunitas Bulu Babi dan Komunitas Lamun di Pulau Hatta, Kepulauan Banda Hasil analisis faktorial koresponden (correspondence analysis) sebaran populasi bulu babi terhadap beberapa kategori kerapatan jenis lamun di lokasi penelitian seperti yang ditampilkan dalam Gambar 22 dan Lampiran 14 menunjukkan bahwa sebaran bulu babi terpusat pada sumbu faktorial 1 dan 2. Akar ciri dan ragam dari masing-masing sumbu adalah 0.12 (72.39%) dan 0.04 (21.36%), dengan informasi maksimum dari kedua sumbu tersebut sebesar 93.75%. Dari hasil ini terlihat adanya 3 (tiga) kelompok stasiun. Kelompok pertama terdiri dari stasiun tenggara Hatta dan timur Hatta, kelompok kedua adalah stasiun utara Hatta, dan kelompok ketiga adalah stasiun barat Hatta.
Ket:
TG =Tripneustes gratilla. DS =Diadema setosum, ED =Echinotrix diadema, TP =Toxopneustes pileolus, EM =Echinometra mathaei;
CR1 CR2 SI1 SI2 HU1 HU2
=C. rotundata <113.11 ind/m2 = C. rotundata 113.11 - 604 ind/m2 = S. isoetifolium < 123.67 ind/m2 = S. isoetifolium 123.67-1532 ind/m2 = H. uninervis < 187 ind/m2 = H. uninervis 187 - 1176 ind/m2
HO1 HO2 EA1 EA2 TH1 TH2
= H. ovalis < 2.89 ind/m2 = H. ovalis 2.89 - 68 ind/m = E. acoroides < 48.22 ind/m2 = E. acoroides 48.22 - 148 ind/m2 = T. hemprichii < 296.89 ind/m2 = T. hemprichii 296.89 - 1112 ind/m2
Gambar 22. Grafik Analisis Faktorial Koresponden antara bulu babi dan kerapatan jenis lamun pada sumbu faktorial 1 dan 2.
45
Berdasarkan Gambar 22, pada kelompok stasiun pertama yang terdiri dari stasiun tenggara Hatta dan timur Hatta terlihat adanya asosiasi antara bulu babi dari jenis Tripneustes gratilla, Diadema setosum dan Echinotrix diadema dengan kategori kerapatan jenis lamun T. hemprichii < 296.89 ind/m2, H. uninervis < 187 ind/m2, H. ovalis < 2.89 ind/m2, dan
E. acoroides 48.22-148 ind/m2
Sementara itu, kategori kerapatan lamun C. rotundata <113.11 ind/m2, H. ovalis 2.89 - 68 ind/m2 dan H. uninervis 187 - 1176 ind/m2 cenderung berasosiasi dengan kelompok stasiun kedua (utara Hatta) dan tidak terlihat adanya bulu babi jenis tertentu yang berasosiasi dengan kategori kerapatan lamun di stasiun ini. Pada kelompok stasiun ketiga (barat Hatta) bulu babi Echimetra mathaei terlihat berasosiasi dengan kategori kerapatan lamun T. hemprichii 296.89 - 1112 ind/m2, dimana bulu
babi Toxopneustes pileolus juga cenderung berasosiasi dengan
kelompok stasiun ini. Keterkaitan antara bulu babi dan komunitas lamun seperti yang dihasilkan dari grafik Analisis Faktorial Koresponden (Gambar 22) juga menjelaskan bahwa kepadatan bulu babi yang tinggi cenderung dijumpai pada area dengan kerapatan lamun yang lebih rendah sebagaimana yang dijumpai pada stasiun tenggara dan timur Hatta.
Hal ini berkaitan dengan peran bulu babi sebagai grazer yang
memanfaatkan lamun tidak hanya sebagai tempat berlindung tetapi secara langsung memakan daun lamun. Selain itu, asosiasi yang terlihat antara Echinometra mathaei dan Toxopneustes pileolus dengan T. hemprichii yang lebih padat di barat Hatta sepertinya berkaitan juga dengan kondisi substrat yang lebih kasar serta perairan yang lebih jernih.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Tipe vegetasi lamun di Pulau Hatta adalah vegetasi campuran (mixed seagrass beds) yang didominasi oleh Thalassia hemprichii baik dalam kerapatan, penutupan, maupun peranan ekologisnya. Padang lamun di Pulau Hatta umumnya didominasi oleh substrat pasir halus dan pasir kasar. 2. Terdapat 5 jenis bulu babi dengan kepadatan jenis tertinggi diwakili oleh Tripneustes gratilla. Bulu babi yang dijumpai umumnya hidup berasosiasi dengan pasir sedang dan pasir kasar.
Jenis Diadema setosum, Echinotrix
diadema dan Echinometra mathaei cenderung berasosiasi daerah lamun bagian depan yang berdekatan dengan daerah terumbu karang, Toxopneustes pileolus cenderung berasosiasi dengan daerah lamun bersubstrat kasar dan jernih, sementara Tripneustes gratilla terlihat lebih kosmopolit karena dapat dijumpai pada daerah lamun bagian belakang, bagian tengah maupun bagian depan. 3. Keterkaitan antara bulu babi dengan komunitas lamun ditunjukkan dengan adanya kecenderungan bulu babi Tripneustes gratilla, Diadema setosum dan Echinotrix diadema berasosiasi dengan kerapatan jenis lamun T. hemprichii, H. uninervis, H. ovalis yang lebih rendah dan E. acoroides serta C. rotundata yang lebih padat, sementara Toxopneustes pileolus dan Echinometra mathaei cenderung berasosiasi dengan daerah dimana kerapatan T. hemprichii lebih padat.
Populasi Tripneustes gratilla yang ada di Pulau Hatta mampu
menghabiskan lamun Thalassia hemprichii di habitatnya sebanyak 0.15% teg/m2/hari.
Kerapatan lamun cenderung lebih rendah pada area dengan
kepadatan bulu babi yang tinggi. Saran Perlu dilakukan penelitian yang secara khusus mengkaji trap eficiency tumbuhan lamun dalam mencegah erosi dan memerangkap sedimen dan dampak aktifitas grazing bulu babi pada kedalaman yang berbeda terhadap trap eficiency ini. Selain itu, sebagai ekosistem penyangga, keberadaan padang lamun patut diperhatikan kelestariannya sehingga fungsinya sebagai pelindung pantai dan terumbu karang di lokasi ini dapat berlangsung maksimal.
DAFTAR PUSTAKA Alcovero T, and Mariani S. 2002. Effects of sea urchin grazing on seagrass (Thalassodendron ciliatum) beds of a Kenyan lagoon. Mar.Ecol.Prog.Ser 226: 255–263. Andamari R, Zubaidi T, dan Subagiyo. 1994. Beberapa aspek biologi bulu babi Tripneustes spp. di Pulau Naira, Kep. Banda. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 94: 23-34. Andrew NL and MacDiarmid AB. 1991. Interrelationships between sea urchins and spiny lobsters in northeastern New Zealand. Marine Ecology Prog.Ser. 70: 211-222. Aziz A. 1987. Makanan dan cara makan berbagai jenis bulu babi. Oseana 12(4): 91-100. Aziz A. 1993. Beberapa catatan tentang perikanan bulu babi. Oseana 18(2): 65-75 Aziz A. 1994a. Tingkah laku bulu babi di padang lamun. Oseana 19(4): 35-43 Aziz A. 1994b. Aktivitas grazing bulu babi jenis Tripneustes gratilla pada padang lamun di pantai Lombok Selatan Dalam: W. Kiswara, M.K. Mosa, & M. Hutomo (eds.). Struktur komunitas biologi padang lamun di pantai selatan Lombok dan kondisi lingkungannya. P3O-LIPI. Jakarta. Hal 64-70. Aziz A. 1999a. Biologi pakan: Daya grazing, efisiensi asimilasi, preferensi, dan peranan bulu babi di padang lamun. Dalam: Soemodihardjo, S., O.H. Arinardi, I. Aswandy (eds.). Dinamika komunitas biologis pada ekosistem lamun di Pulau Lombok, Indonesia. Jakarta: P3O-LIPI. Hal 69-76. Aziz A. 1999b. Fauna ekinodermata Laut Banda. Dalam: Suyarso (ed.). Atlas Oseanologi Laut Banda. Jakarta: P3O LIPI. Aziz A. dan Darsono P. 1979. Reproduksi Bulu Babi Diadema setosum (Leske) di daerah Gugus Pulau Pari Jakarta. Kongres Nasional Biologi IV. Bandung: Perhimpunan Biologi Indonesia. Azkab MH. 2006. Ada apa dengan lamun. Oseana 31(3): 45-55. Barker MF, Keogh JA, Lawrence JM and Lawrence AL. 1998. Feeding rate, absorption efficiencies, growth and enhancement of gonad production in the New Zealand sea urchin Evechinus chloroticus Valenciennes (Echinoidea: Echinometridae) fed prepared and natural diets. Journal of Shellfish Research 17(5): 1583-1590. Barnes DKA, and Crook AC. 2001. Quantifying behavioural determinants of the coastal European sea-urchin Paracentrotus lividus. Marine Biology 138: 1205-1212. Baszary CDU, Sumitro SB, Djati MS, dan Samino S. 2001. Penghambatan pembelahan mikromer sebagai trigger proses awal gastrulasi dengan perlakuan surfaktan pada embrio landak laut (Tripneustes gratilla L). Biosain 1(2): 65-75. Bengen DG. 2000. Sinopsis Teknis Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor: PKSPL IPB.
48
Bernstein BB, Williams BE, and Mann KH. 1981. The role of behavioural responses to predators in modifying urchins’ (Strongylocentrotus droebachiensis) destructive grazing and seasonal foraging patterns. Marine Biology 63: 39-49. Black R, Codd C, Herbert D, Vink S, and Burt J. 1984. The functional significance of the relative size of Aristotle’s lantern in the sea urchin Echinometra mathaei (de Blainville). Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 77: 81-97. Black R, Johnson MS, and Trendall JT. 1982. Relative size of Aristotle’s lantern in Echinometra mathaei occurring at different densities. Marine Biology 71: 101-106. Brouns JJWM, and Heijs FML. 1991. Seagrass ecosystem in the tropical west Pacific. In: Mathieson, A.C., and P.H. Nienhuis (ed.). Ecosystem Of the World 24: Intertidal and littoral ecosystem. Elsevier. 371-390. Brower JE, Zar JH, and von Endo CN. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Boulevard-USA: Wm. C. Brown publ. Carpenter RC. 1990a. Mass mortality of Diadema antillarum i. Long-term effects on sea urchin population dynamics and coral reef algal communities. Marine Biology 104: 67-77. Carpenter RC. 1990b. Mass mortality of Diadema antillarum ii. Effects on population densities and grazing intensity of parrotfishes and surgeonfishes. Marine Biology 104: 79-86. Chao SM. 2000. The Iregular Sea Urchin (Echinodernata: Echinoids) from Taiwan, with Descriptions of Six New Record. Zoological Studies 39(3): 250-265. Chasanah E, dan Andamari R. 1997. Komposisi kimia, profil asam lemak dan asam amino gonad bulu babi Tripneustes gratilla dan Salmacis sp. dan potensi pengembangannya. Ambon: Seminar Kelautan LIPI-Unhas. Clark AM and Rowe FWE. (1971). Monograph of Shallow-water Indo-West Pacific Echinoderms. No. 690. British Museum. pp. 238. Colin PL and Arneson C. 1995. Tropical Pacific Invertebrates; a Field Guide to the Marine Invertebrates Occurring on Tropical Pacific Coral Reefs, Seagrass Beds and Mangroves. Coral Reef Press, USA. Constable AJ. 1993. The role of sutures in shrinking of the test in Heliocidaris erythrogramma (Echinoidea: Echinometridae). Marine Biology 117: 423-430. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, dan Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Darsono P. 1982. Mengenal perikanan bulu babi. Oseana 8(6):1-8 Darsono P. 1993. Gametogenesis pada bulu babi Diadema setosum (Leske) di Pulau Pari, Pulau-Pulau Seribu. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 27: 21-31.
49
Darsono P, dan Aziz A. 1979. Beberapa catatan populasi bulu babi Diadema setosum (Leske) di terumbu Pulau Pari, Pulau-pulau Seribu. Kongres Nasional Biologi IV. . Bandung : Perhimpunan Biologi Indonesia. Darsono P, dan Aziz A. 2000. Percobaan pemberian makan daun lamun pada bulu babi (Tripneustes gratilla : Ekhinoidea) di laboratorium. Pros. Seminar Nasional Biologi XVI. Bandung: Perhimpunan Biologi Indonesia Darsono P, dan Sukarno. 1993. Beberapa aspek biologi bulu babi Tripneustes gratilla (Linnaeus), di Nusa Dua-bali. Oseanologi di Indonesia 26: 13-25. Dartnal JH, and Jones M. 1986. A Manual Survey for Living Resources in Coastal Area. ASEAN-Australia Cooperative Program In Marine Science. AIMS. David L, Nacorda H, Purwadi M, Nasution I, and Fortes M. 2002. Seagrasses of the Banda Islands, Indonesia. In: P.J. Mous (ed.). Report on a rapid ecological assessment of the Banda Islands, Maluku, Eastern Indonesia. Jakarta: UNESCO-TNC. De Beer M. 1990. Distribution patterns of regular sea urchins (Echinodermata: Echinoidea) across the Spermonde Shelf, SW Sulawesi Indonesia. In: De Ridder, Dubois and Jangoux (eds), Echinoderm Research, Balkema Rotterdam: 165-169. Den Hartog C. 1970. The Seagrasses of the World. Amsterdam: North Holland publishing co. Den Hartog C. 1977. Structure, function and classification in seagrass communities. In: McRoy, C.P., and C. Helfferich (ed.). Seagrasses ecosystem: a scientific perspective. New York: Marcel Dekker, Inc. 89-121 Edwards PB, and Ebert TA. 1991. Plastic responses to limited food availability and spine damage in the sea urchin Strongylocentrotus purpuratus (Stimpson). Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 145: 205-220. English S, Wilkinson C, and Baker VJ, 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australia: ASEAN-Australia Marine Project. Erftemeijer PLA. 1993. Differences In Nutrient Concentration and Resources Between Seagrasses Communities on Carbonate and Terrigenous Sediments In South Sulawesi In : P.L.A. Erftemeijer (Eds.). Factor Limiting Growth and Production of Tropical Seagrasses; Nutrient Dynamics In Indonesia Seagrass Bed. Bulletin of Marine Science. 54 (1). Erina Y. 2006. Keterkaitan antara Komposisi Perifiton pada Lamun Enhalus acoroides (Linn.F) Royle dengan Tipe Substrat Lumpur dan Pasir di Teluk Banten [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Fortes MD. 1990. Seagrass: A Resource Unknown in the ASEAN Regions. ICLARM education series 5. 46p. Greenway M. 1995. Trophic relationships of macrofauna within a Jamaican seagrass meadow and the role of the echinoid Lytechinus variegatus (Lamarck). Bulletin of Marine Science 56 (3): 719-736.
50
Hart LJ, and Chia FS. 1990. Effect of food supply and body size on the foraging behaviour of the burrowing sea urchin Echinometra mathaei (de Blainville). Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 135: 99-108. Hayati A. 1998. Pengaruh Cycloheximide dan ZnCl2 terhadap Proses Differensiasi dan Sintesa Protein pada Perkembangan Embrio Landak Laut Toxopneutes pileolus [tesis]. Malang: Pascasarjana Universitas Brawijaya. Heinke and Schultz P. 2006. Sea urchin, a guide to worldwide shallow water species. 3rd ed. Germany: Heinke & Peter Schultz Scientific Publication. Ikuo H, Yuko I and Kazuya T. 1999.. Development of an experimental system to determine the diel behaviour of creeping animals, with special emphasis on gastropods and sea urchins. Bull. of the Japan Sea National Fisheries Research Institute 49: 1-12. Jeng MS. 1998. Shallow-water Echinoderms of Taiping Island in the South China Sea. Zoological Studies 37(2): 137-153 Kasim M. 1999. Aktivitas merumput dan pertumbuhan bulu babi (Tripneustes gratilla) pada habitat lamun di perairan Bone-Bone Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Keesing JK. 1992. Influence of persistent sub-infestation density Acanthaster planci (L.) and high-density Echinometra mathaei (de Blainville) populations on coral reef community structure in Okinawa, Japan. Proceedings of the Seventh International Coral Reef Symposium, Guam 2: 769-779. Kikuchi T, and Peres JM. 1977. Consumer ecology of seagrass beds. In: McRoy, P & C. Helfferich (ed.) Seagrass Ecosystem. A scientific perspective. Marine Science 4: 147-193 Kiswara W. dan Winardi. 1994. Kenaekaragaman dan Sebaran Lamun di Teluk Kuta dan Teluk Gerupuk, Lombok Selatan. W Kiswara (eds.). Struktur Komunitas Biologi Padang Lamun di Pantai Lombok Selatan dan Kondisi Lingkungannya. Jakarta: LIPI. Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. New York: Harper and Row Publisher.. 694 p. Kuriandewa TE. 1998. Lamun di Teluk Ambon dan permasalahannya. Dalam: L.F. Wenno & F. Salampessy (ed.). Pros.Sem. Pengenalan Lingkungan Pesisir Pulau Ambon. Ambon: BAPPEDA Maluku-P3O LIPI. Kusumastanto SK, Haridijatno S, and Wahyudi Y. 1999. Economic valuation of marine coastal resources in Balerang and Bintan. Bogor: PKSPL IPB. Larrain A, Mutschke E, Riveros A, and Solar E. 1999. Preliminary report on Echinoidea and Asteroidea (Echinodermata) of the Joint Chilean-GermanItalian Magellan “Victor Hensen” Campaign 17-25 November 1994. Scientia Marina 63(1): 433-438. Lasut MT, Sumilat DA, dan Arbie DT. 2002. Pengaruh konsentrasi sublethal diazinon 60 EC terhadap Perkembangan awal embrio bulu babi Echinometra mathaei. Ekoton 2(1): 17-24. Legendre L, and Legendre P. 1983. Numerical Ecology. New York: Elsevier
51
Lessios HA. 2005. Echinoids of the Pacific Waters of Panama: Status of knowledge and new records. Int. J. Trop. Biol. 53 (3): 147-170. Levitan DR. 1991. Skeletal changes in the test and jaws of the sea urchin Diadema antillarum in response to food limitation. Marine Biology 111: 431-435. Levitan DR. 1992. Community structure in times past: influence of human fishing pressure on algal-urchin interactions. Ecology 73, no.5: 1597-1605. Lintong O. 1998. Efek Lanjut Sianida (KCN) terhadap Keberhasilan Reproduksi Bulu Babi Echinometra Mathaei. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Program Studi Ilmu Kelautan Unsrat. Macia S. 2000. The effects of sea urchin grazing and drift algal blooms on a subtropical seagrass bed community. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 246, no.1: 53-67. Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and its Measurement. New Jersey: Princetown Press. Mann KH, Wright JLC, Welsford BE and Hatfield E. 1984. Responses of the sea urchins Strongylocentrotus droebachiensis (O.F. Muller) to waterborne stimuli from potential predators and potential food algae. J. Experimental Marine Biology and Ecology 79: 233-244. McClanahan TR and Shafir SH. 1990. Causes and consequences of sea urchin abundance and diversity in Kenyan coral reef lagoons. Oecologia 83: 362-370. McClanahan TR, Kamukuru AT, Muthiga NA, Yebio MG and Obura D. 1996. Effect of sea urchin reductions on algae, coral and fish populations. Conservation Biology 10 (1): 136-154. McClanahan TR, Nugues M and Mwachireya S. 1994. Fish and sea urchin herbivory and competition in Kenyan coral reef lagoons: the role of reef management. J. Experimental Marine Biology and Ecology 184: 237-254. McClanahan TR. 1995. Fish predators and scavengers of the sea urchin Echinometra mathaei in Kenyan coral-reef marine parks. Environmental Biology of Fishes 43: 187-193. McClanahan TR. 1998. Predation and the distribution and abundance of tropical sea urchin populations J. Experimental Marine Biology and Ecology 221: 231-255. McClanahan TR. 1999. Predation and the control of the sea urchin Echinometra viridis and fleshy algae in the patch reefs of Glovers Reef, Belize. Ecosystems 2: 511-523. McRoy CP, and Helfferich C. 1980. Applied Aspect of Seagrass. In: Philips, R.C., & C.P. McRoy (ed.). Handbook of seagrass biology: an ecosystem perspective. p 297-343. Merryanto Y. 2000. Struktur komunitas ikan dan asosisasinya dengan padang lamun di Perairan Teluk Awur Jepara [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. [MNLH] Menteri Negera Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Jakarta: KEP No. 51/MENLH/I/2004. 8 April 2004.
52
Nakagawa H, Tanigawa T, Tomita K, Tomihara Y, Araki Y, and Tachikawa E. 2003. Recent studies on the pathological effects of purified sea urchin toxins. J. Toxicology: Toxin Reviews 22 (4): 633-649 Neill BJ. 1988. Experimental analysis of burrow defense in Echinometra mathaei (de Blainville) on Indo-West Pacific reef flat. J. Experimental Marine Biology and Ecology115: 127-136. Nienhuis PH, Coosen J, and Kiswara W. 1989. Community structure and biomass distribution of seagrasses and macrofauna in the Flores Sea, Indonesia. Sea Research 23(2): 197-214 Nontji A. 1997. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan. Paulay G. 2003. The Asteroidea, Echinoidea, and Holothuroidea (Echinodermata) of the Mariana Islands. Micronesica 35-36:563-583. Pechenik JA. 2005. Biology of the Invertebrates. 5th ed. McGraw-Hill International. P 885-521. Philips RS and Menez EG. 1988. Seagrasses. Washington D.C: Smithsonian Institution Press. Poole RW. 1974. An Introduction to Quantitative Ecology. McGrow-Hill. Kogakusha limited. Prince J. 1995. Limited effects of the sea urchin Echinometra mathaei (de Blainville) on the recruitment of benthic algae and macroinvertebrates into intertidal rock platforms at Rottnest Island, Western Australia. J. Experimental Marine Biology and Ecology 186: 237-258. Putchakam S and Soncaeng P. 2004. Echinoderm fauna of Thailand: history and inventory reviews. ScienceAsia 30: 417-428 Putra AF. 2006. Konektivitas ikan di ekosistem padang lamun dengan ekosistem terumbu karang pada perairan Kabupaten Timur Tengah Utara dan Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Radjab AW. 2004. Sebaran dan kepadatan bulu babi di perairan Kepulauan Padaido, Biak Irian Jaya. Dalam: Setyawan, W.B., Y. Witasari, Z. Arifin, O.S.R. Ongkosongo, S. Birowo (eds.). Jakarta: Pros. Sem. Laut Nasional III. Radjab AW. 1997. Pertumbuhan dan reproduksi bulu babi Tripneustes gratilla (Linnaeus) di perairan Tamedan, Pulau Dullah, Maluku Tenggara. Ambon: Pros. Seminar Kelautan LIPI-Unhas ke-1. P30 LIPI. Hal 149-156. Radjab AW. 1998. Percobaan pemijahan dan pemeliharaan larva bulu babi Tripneustes gratilla (Linnaeus) skala laboratorium. Ujung Pandang: Pros. Seminar Nasional Kelautan-II. Unhas-LIPI. Radjab AW. 2000. Komunitas bulu babi (Clypeasteroid: Ekinoidea) di perairan pantai Pulau Faer, Kei Kecil, Maluku Tenggara. Radjab AW. 2001. Reproduksi dan siklus hidup bulu babi. Oseana 26(3): 25-36. Rondo M. 1992. Potensi dan komunitas bulu babi (Echinoidea) di rataan terumbu karang Pulau Bunaken, Sulawesi Utara. Pros. Sem. Ekologi Laut dan Pesisir I. Jakarta, P3O-LIPI, ISSOI : 72-80.
53
Rosalinda R. 2006. Konektivitas ikan pada ekosistem padang lamun dan terumbu karang di Teluk Gilimanuk, Taman Nasional Bali Barat, Provinsi Bali. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Russell MP. 1998. Resource allocation plasticity in sea urchins: rapid, diet induced, phenotypic changes in the green sea urchin, Strongylocentrotus droebachiensis (Miller). Journal of Experimental Biology and Ecology 220: 1-14. Scheibling RE and Hamm J. 1991. Interactions between sea urchins (Strongylocentrotus droebachiensis) and their predators in field and laboratory experiments. Marine Biology 110: 105-116. Scheibling RE. 1984. Echinoids, epizootics and ecological stability in the rocky subtidal off Nova Scotia, Canada. Helgol~inder Meeresunters 7: 233-242. Shulman MJ. 1990. Aggression among sea urchins on Caribbean coral reefs. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 140: 197-207. Sugiharto L. 1995. Perkembangan normal embrio landak laut (Sea Urchin) Temnopleurus alexandri sampai tahap pluteus. Malang: FMIPA Universitas Brawijaya. Sumitro SB, Wijarni U, Pramana A, Soewondo A dan Samino S. 1992. Inventarisasi jenis, habitat dan tingkah laku hewan bulu babi (Sea Urchin) di Jawa Timur serta usaha pemijahan dan pengembangan teknik kultur embrio. Jurnal Universitas Brawijaya, . 4(2): 50-58. Suwignyo S, Widigdo B, Wardiatno Y, Krisanti M. 2005. Avertebrata Air Jilid 2. Jakarta: Penebar Swadaya. Takei M, Nakagawa H, Kimura A and Endo K. 1991. A toxic substance from the sea urchinToxopneustes pileolus induces histamine release from rat peritoneal mast cells. Inflammation Research 32(3-4): 224-228. Tavares YAG and Borzone CA. 2006. Reproductive Cycle of Mellita quinquiesperforata (Leske) (Echinodermata, Echinoidea) in two contrasting beach environtment. Revista Brasileira de Zoologia 23 (2): 573-580. Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, and Moosa MK. 1997. The ecology of the Indonesian Seas. The Ecology of Indonesia series. Vol VIII. Singapore: Periplus Edition (HK) Ltd. Tuwo A, dan Pelu U. 1997. Biologi reproduksi bulu babi Tripneustes gratilla. Ambon: Seminar Kelautan LIPI-Unhas. Tuwo A, Tresnati J, Saru A, dan Rohani. 1997. Strategi adaptasi populasi bulu babi di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Ambon: Seminar Kelautan LIPI-Unhas. Tuwo A. 1995. Aspek biologi bulu babi jenis Tripneustes gratilla di Pulau Kapoposan, Pangkep, Sulawesi Selatan. Oseana 20(1): 21-29. Valentine JF and Kenneth LHJr. 1991. The role of sea urchin grazing in regulating subtropical seagrass meadows: evidence from field manipulations in the northern Gulf of Mexico. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 154: 215-230.
54
Yusron E, dan Manik N. 1989. Pendugaan beberapa parameter pertumbuhan bulu babi Diadema setosum (Leske) di perairan terumbu karang Pulau Burung, Seram Barat. Padang.: Kongres Biologi Nasional IX. Yusron E. 1991. Pertumbuhan bulu babi (Tripneustes gratilla) dalam bak akuarium di Balitbang Sumberdaya Laut-LIPI Ambon. Bogor: Pros. Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi X. Zulaika E. 1998. Pengaruh surfaktan terhadap sintesis protein dan diferensiasi embrio landak laut (Toxopneustes sp.) [tesis]. Malang: Pascasarjana Universitas Brawijaya.
55
Lampiran 1. Persentase sedimen di lokasi penelitian Stasiun 1
Ukuran mm
Kategori
1A
1B
1C
Stasiun 2 R
2A
2B
2C
Stasiun 3 R
3A
3B
3C
Stasiun 4 R
4A
4B
4C
R
Kerikil sedang
4
-
64
0.00
0.00
1.36
0.45
0.00
0.00
0.00
0.00
2.92
3.88
4.24
3.68
2.95
3.40
4.22
3.52
Kerikil
2
-
4
0.00
1.15
6.60
2.58
0.00
0.61
1.20
0.60
5.03
10.96
10.51
8.83
6.54
9.25
10.00
8.60 13.67
Pasir sangat kasar
1
-
2
2.89
5.42
8.10
5.47
4.24
5.44
5.82
5.17
9.14
15.95
18.08
14.39
9.99
15.13
15.90
0.5
-
1
6.50
8.23
9.62
8.12
7.79
7.89
8.19
7.96
20.23
25.96
22.78
22.99
20.42
24.70
29.27
24.79
0.25
-
0.5
16.86
20.76
24.66
20.76
15.48
15.23
16.51
15.74
30.97
19.08
21.77
23.94
29.43
28.18
24.55
27.39
Pasir kasar Pasir sedang Pasir halus Pasir sangat halus
0.125
-
0.25
42.96
35.64
32.50
37.03
35.83
39.32
38.17
37.77
20.03
14.57
15.11
16.57
21.88
14.64
10.91
15.81
0.0625
-
0.125
26.55
25.85
14.31
22.23
32.67
28.13
26.50
29.10
9.82
7.50
6.95
8.09
7.20
4.49
3.56
5.08
Lumpur
< 0.0625
4.25
2.95
2.84
3.35
3.99
3.39
3.60
3.66
1.87
2.10
0.56
1.51
1.59
0.21
1.58
1.13
Rata-rata diameter butiran (mm)
0.178
0.207
0.308
0.231
0.176
0.217
0.239
0.211
0.397
0.577
0.597
0.524
0.429
0.577
0.657
0.554
ket: 1A-4C: substasiun
55
56
Lampiran 2. Topografi pantai Pulau Hatta Kedalaman (m)
Jarak dari pantai (m)
Tenggara Hatta
Timur Hatta
Utara Hatta
Barat Hatta
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 Kemiringan
0.00 0.98 1.57 1.70 2.06 2.23 2.52 2.71 2.77 2.99 3.14 3.20 3.31 3.45 3.66 3.84 4.25 1.5040
0.00 1.03 1.57 1.89 2.06 2.23 2.52 2.71 2.83 2.99 3.14 3.29 3.44 3.70 3.90 4.10 4.56 1.5090
0.00 1.24 1.74 1.93 2.06 2.23 2.46 2.47 2.84 2.95 2.92 2.90 3.21 3.54 3.22 3.61 3.73 1.4950
0.00 1.04 1.69 1.74 1.89 1.99 2.12 2.28 2.51 2.67 2.77 2.97 3.20 3.11 3.30 3.44 3.54 1.4910
56
57
Lampiran 3. Profil pasang surut di Kepulauan Banda tanggal 3-17 Juli 2008 300
Tinggi Muka Laut (cm)
250
200
150
100
50
0 0:00 12:00
0:00 12:00
0:00 12:00
0:00 12:00
0:00 12:00 0:00 12:00 0:00 12:00
0:00 12:00
0:00 12:00 0:00 12:00 0:00 12:00 0:00 12:00
0:00 12:00
0:00 12:00
0:00
Waktu Pengamatan (jam)
Hari ke Jam 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
0:00
172
136
95
70
50
54
65
82
107
135
155
168
167
164
1:00
203
181
117
100
88
94
100
87
101
129
144
159
179
177
2:00
211
203
189
168
137
117
114
106
108
121
136
139
171
187
3:00
214
212
216
204
186
168
144
135
127
129
128
135
164
178
4:00
189
217
223
225
217
206
187
178
138
144
143
147
154
164
5:00
173
192
212
237
231
233
217
198
177
169
157
154
150
155
6:00
143
164
191
239
233
230
231
219
204
189
180
168
157
149
7:00
128
143
138
217
214
223
225
228
215
208
200
184
168
157
8:00
138
122
129
143
170
197
211
214
217
216
209
194
177
167
9:00
168
140
118
119
129
156
176
199
204
213
212
204
190
180
10:00
192
159
128
114
108
116
137
169
182
199
204
209
204
194
11:00
230
189
153
122
99
99
103
123
154
170
191
199
200
206
12:00
242
219
184
146
112
92
87
99
109
152
164
181
197
201
13:00
243
239
218
182
140
109
94
87
100
121
139
153
178
196
14:00
234
247
242
214
173
131
105
89
88
84
111
143
149
167
15:00
205
237
244
234
202
176
126
98
79
79
87
110
122
144
16:00
164
209
234
238
225
192
161
109
108
84
79
79
89
109
17:00
108
164
203
224
228
205
175
119
115
93
77
70
71
79
18:00
57
110
157
204
209
209
191
145
138
112
90
77
61
56
19:00
18
45
102
156
177
194
189
169
153
134
105
83
54
51
20:00
0
21
55
102
139
168
173
173
164
149
129
105
75
59
21:00
14
4
21
62
94
108
151
162
162
158
144
122
99
79
22:00
45
18
15
32
65
97
126
144
154
163
156
146
124
107
23:00
87
54
34
28
43
73
98
125
147
160
165
164
139
138
0:00
136
95
70
50
54
65
82
107
135
155
168
167
164
160
57
58
Lampiran 4. Nilai parameter fisik-kimia padang lamun Pulau Hatta Stasiun Parameter Fisik Kimia
Tenggara Hatta 1A
1B
1C
o
Suhu ( C)
28.00
29.00
29.50
Salinitas (ppt)
30.00
30.50
31.00
pH
7.5
7.0
8.0
Kekeruhan (NTU)
0.74
0.71
Kec. Arus (m/det)
0.08
0.09
Kedalaman (m)
1.57
DO (mg/l) Nitrat (mg/l) Fosfat (mg/l)
Timur Hatta R
2A
2B
2C
28.83
28.00
28.50
29.00
30.50
31.20
30.60
31.60
7.5
7.5
8.0
0.68
0.71
1.00
0.10
0.09
0.04
2.99
4.25
2.94
7.81
6.02
6.00
0.04
0.04
0.05
0.35
0.32
0.35
Utara Hatta R
3A
3B
3C
28.50
30.00
29.00
29.00
31.13
31.60
31.00
31.00
7.5
8.0
7.50
8.0
7.50
0.94
0.95
0.96
0.60
0.59
0.06
0.04
0.05
0.05
0.06
1.56
2.83
4.56
2.98
1.74
6.61
5.38
6.91
5.62
5.97
0.04
0.68
0.73
0.59
0.67
0.34
0.29
0.31
0.28
0.29
Barat Hatta R
4A
4B
4C
R
29.33
28.00
28.00
28.00
28.00
31.20
30.20
30.00
30.50
30.23
7.5
7.0
8.0
7.5
7.5
0.60
0.60
0.40
0.38
0.39
0.39
0.07
0.06
0.11
0.11
0.14
0.12
2.95
3.73
2.81
1.69
2.67
3.54
2.63
5.23
5.23
5.68
5.38
6.86
6.98
7.04
6.96
0.06
0.64
0.87
0.52
0.10
0.11
0.13
0.11
0.30
0.32
0.31
0.31
0.28
0.29
0.29
0.28
ket: 1A-4C: substasiun, R=rata-rata
58
59
Lampiran 5. Hasil perhitungan kerapatan, penutupan dan frekuensi jenis lamun di Pulau Hatta Kepadatan Jenis Lamun Tenggara Hatta
Jenis Cymodocea rotundata
Timur Hatta
1A
1B
1C
R
2A
2B
2C
Utara Hatta R
3A
3B
3C
Barat Hatta R
4A
4B
4C
R
294.67
217.33
168.00
226.67
84.00
44.00
26.67
51.56
0.00
28.00
0.00
9.33
96.00
189.33
209.33
164.89
Syringodium isoetifolium
0.00
34.67
40.00
24.89
0.00
14.67
18.67
11.11
0.00
238.67
372.00
203.56
0.00
765.33
0.00
255.11
Halodule uninervis
0.00
0.00
0.00
0.00
317.33
0.00
0.00
105.78
800.00
366.67
0.00
388.89
709.33
50.67
0.00
253.33
Halophila ovalis
0.00
0.00
0.00
0.00
5.33
0.00
0.00
1.78
0.00
6.67
0.00
2.22
22.67
0.00
0.00
7.56
61.33
78.67
78.67
72.89
6.67
118.67
116.00
80.44
0.00
28.00
52.00
26.67
6.67
14.67
17.33
12.89
276.00
269.33
272.00
272.44
88.00
280.00
293.33
220.44
136.00
456.00
400.00
330.67
788.00
300.00
4.00
364.00
Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Penutupan Jenis Lamun
Tenggara Hatta
Jenis Cymodocea rotundata
1A
1B
1C
Timur Hatta R
2A
2B
2C
Utara Hatta R
3A
3B
3C
Barat Hatta R
4A
4B
4C
R
19.90
11.84
5.69
12.48
4.37
1.50
0.71
2.19
0.00
1.12
0.00
0.37
8.14
17.21
20.76
15.37
Syringodium isoetifolium
0.00
1.17
0.96
0.71
0.00
0.38
0.46
0.28
0.00
12.89
19.43
10.77
0.00
36.86
0.00
12.29
Halodule uninervis
0.00
0.00
0.00
0.00
15.10
0.00
0.00
5.03
49.76
9.89
0.00
19.88
37.01
1.96
0.00
12.99
Halophila ovalis
0.00
0.00
0.00
0.00
0.08
0.00
0.00
0.03
0.00
0.13
0.00
0.04
0.83
0.00
0.00
0.28
Enhalus acoroides Thalassia hemprichii
3.02
3.12
3.37
3.17
0.04
5.75
5.72
3.84
0.00
1.45
3.91
1.79
0.33
0.08
1.79
0.73
24.30
21.26
21.59
22.39
7.18
25.51
28.29
20.33
5.95
37.91
27.06
23.64
51.74
22.40
0.00
24.71
Frekuensi Jenis Lamun Jenis
Tenggara Hatta
Timur Hatta
Utara Hatta
Barat Hatta
1A
1B
1C
R
2A
2B
2C
R
3A
3B
3C
R
4A
4B
4C
R
Cymodocea rotundata
0.77
0.68
0.67
0.71
0.37
0.20
0.15
0.24
0.00
0.21
0.00
0.07
0.29
0.63
0.52
0.48
Syringodium isoetifolium
0.00
0.21
0.32
0.18
0.00
0.09
0.12
0.07
0.00
0.33
0.53
0.29
0.00
0.67
0.00
0.22
Halodule uninervis
0.00
0.00
0.00
0.00
0.60
0.00
0.00
0.20
0.97
0.77
0.00
0.58
0.79
0.13
0.00
0.31
Halophila ovalis
0.00
0.00
0.00
0.00
0.03
0.00
0.00
0.01
0.00
0.04
0.00
0.01
0.09
0.00
0.00
0.03
Enhalus acoroides
0.36
0.59
0.53
0.49
0.04
0.68
0.67
0.46
0.00
0.15
0.25
0.13
0.04
0.09
0.05
0.06
Thalassia hemprichii
0.91
0.92
0.95
0.92
0.31
0.91
0.85
0.69
0.59
0.67
0.88
0.71
0.97
0.65
0.04
0.56
59
60
Lampiran 6. Nilai Kerapatan Relatif (RDi), Frekuensi Relatif (RFI), Penutupan Relatif (RCi), dan Indeks Nilai Penting (INP) Stasiun 1 (Tenggara Hatta) Jenis Lamun Cymodocea rotundata Syringodium isoetifolium Enhalus acoroides Thalassia hemprichii TOTAL
Di (teg/m2)
RDi (%)
226.667 24.889 72.889 272.444 596.889
37.975 4.170 12.211 45.644 100.000
Di (teg/m2)
RDi (%)
51.556 11.111 105.778 1.778 80.444 220.444 471.111
10.943 2.358 22.453 0.377 17.075 46.792 100.000
Di (teg/m2)
RDi (%)
9.333 203.556 388.889 2.222 26.667 330.667 961.333
0.971 21.174 40.453 0.231 2.774 34.397 100.000
Fi 0.707 0.178 0.493 0.924 2.302
RFi (%) 30.695 7.722 21.429 40.154 100.000
Ci (%) 12.477 0.709 3.171 22.385 38.742
RCi (%) 32.205 1.830 8.184 57.781 100.000
INP 100.875 13.722 41.824 143.579 300.000
Stasiun 2 (Barat Hatta) Jenis Lamun Cymodocea rotundata Syringodium isoetifolium Halodule uninervis Halophila ovalis Enhalus acoroides Thalassia hemprichii TOTAL
Fi 0.240 0.071 0.200 0.009 0.462 0.689 1.671
RFi (%) 14.362 4.255 11.968 0.532 27.660 41.223 100.000
Ci (%) 2.193 0.278 5.033 0.028 3.840 20.327 31.699
RCi (%) 6.919 0.877 15.878 0.088 12.112 64.125 100.000
INP 32.224 7.491 50.299 0.997 56.847 152.141 300.000
Stasiun 3 (Utara Hatta) Jenis Lamun Cymodocea rotundata Syringodium isoetifolium Halodule uninervis Halophila ovalis Enhalus acoroides Thalassia hemprichii TOTAL
Fi 0.071 0.289 0.582 0.013 0.133 0.711 1.800
RFi (%) 3.951 16.049 32.346 0.741 7.407 39.506 100.000
Ci (%) 0.374 10.774 19.882 0.042 1.785 23.639 56.496
RCi (%) 0.662 19.071 35.192 0.074 3.160 41.841 100.000
INP 5.584 56.294 107.990 1.046 13.342 115.744 300.000
60
61
Lampiran 6. lanjutan Stasiun 4 (Utara Hatta) Jenis Lamun Cymodocea rotundata Syringodium isoetifolium Halodule uninervis Halophila ovalis Enhalus acoroides Thalassia hemprichii TOTAL
Di (teg/m2)
RDi (%)
164.889 255.111 253.333 7.556 12.889 364.000 1057.778
15.588 24.118 23.950 0.714 1.218 34.412 100.000
Fi 0.480 0.222 0.307 0.031 0.062 0.556 1.658
RFi (%) 28.954 13.405 18.499 1.877 3.753 33.512 100.000
Ci (%) 15.368 12.286 12.987 0.278 0.734 24.712 66.365
RCi (%) 23.157 18.513 19.569 0.419 1.106 37.236 100.000
INP 67.699 56.036 62.017 3.010 6.078 105.160 300.000
61
62
Lampiran 7. Pola penyebaran lamun di Pulau Hatta Stasiun
Substasiun
χ2 hitung χ2 tabel
Pola Penyebaran
N
Σχ2
Id
3
884
413264
1.58
Enhalus acoroides
3
184
16960
1.49
92.52
5.99
Mengelompok
Thalassia hemprichii
3
828
236816
1.03
30.03
5.99
Mengelompok
Total
3
1896
1263072
1.05
102.53
5.99
Mengelompok
Cymodocea rotundata
3
652
164176
1.16
103.41
5.99
Mengelompok
Syringodium isoetifolium
3
104
4320
1.18
20.62
5.99
Mengelompok
Enhalus acoroides
3
236
18864
1.01
3.80
5.99
Mengelompok
Thalassia hemprichii
3
808
218592
1.00
3.60
5.99
Mengelompok
Total
3
1800
1107936
1.02
46.56
5.99
Mengelompok
Cymodocea rotundata
3
504
90528
1.07
34.86
5.99
Mengelompok
Syringodium isoetifolium
3
120
6368
1.31
39.20
5.99
Mengelompok
Enhalus acoroides
3
236
19344
1.03
9.90
5.99
Mengelompok
Thalassia hemprichii
3
816
232416
1.04
38.47
5.99
Mengelompok
Total
3
1676
944560
1.01
14.74
5.99
Mengelompok
Cymodocea rotundata
3
252
46544
2.20
302.10
5.99
Mengelompok
Halodule uninervis
3
952
453152
1.50
476.00
5.99
Mengelompok
Halophila ovalis
3
16
256
3.00
32.00
5.99
Mengelompok
Enhalus acoroides
3
20
400
3.00
40.00
5.99
Mengelompok
Thalassia hemprichii
3
264
69696
3.00
528.00
5.99
Mengelompok
Total
3
1504
820384
1.09
132.40
5.99
Mengelompok
Cymodocea rotundata
3
132
17424
3.00
264.00
5.99
Mengelompok
Syringodium isoetifolium
3
44
1936
3.00
88.00
5.99
Mengelompok
Enhalus acoroides
3
356
46736
1.10
37.84
5.99
Mengelompok
Thalassia hemprichii
3
840
257184
1.09
78.51
5.99
Mengelompok
Total
3
1372
672464
1.07
98.40
5.99
Mengelompok
Jenis Cymodocea rotundata
n
518.48
5.99
Mengelompok
Syringodium isoetifolium Halodule uninervis 1A
Halophila ovalis
Halodule uninervis 1
1B
Halophila ovalis
Halodule uninervis 1C
Halophila ovalis
Syringodium isoetifolium 2A
Mengelompok
Halodule uninervis 2
2B
Halophila ovalis
Cymodocea rotundata
3
80
6400
3.00
160.00
5.99
Mengelompok
Syringodium isoetifolium
3
56
3136
3.00
112.00
5.99
Mengelompok
Enhalus acoroides
3
348
42896
1.06
21.79
5.99
Mengelompok
Thalassia hemprichii
3
880
265344
1.03
24.58
5.99
Mengelompok
Total
3
1364
622928
1.00
6.08
5.99
Mengelompok
Halodule uninervis 2C
Halophila ovalis
62
63
Lampiran 7. lanjutan Stasiun
Substasiun
Jenis
n
N
Σχ2
Id
2400
2079264
1.08
χ2 hitung χ2 tabel
Pola Penyebaran
Cymodocea rotundata Syringodium isoetifolium Halodule uninervis 3A
3
199.08
5.99
Mengelompok
Halophila ovalis Enhalus acoroides
3
3B
Thalassia hemprichii
3
408
60992
1.09
40.47
5.99
Mengelompok
Total
3
2556
2245520
1.03
79.59
5.99
Mengelompok
Cymodocea rotundata
3
84
7056
3.00
168.00
5.99
Mengelompok
Syringodium isoetifolium
3
716
512656
3.00
1432.00
5.99
Mengelompok
Halodule uninervis
3
1100
563632
1.40
437.18
5.99
Mengelompok
Halophila ovalis
3
20
400
3.00
40.00
5.99
Mengelompok
Enhalus acoroides
3
84
7056
3.00
168.00
5.99
Mengelompok
Thalassia hemprichii
3
1368
997664
1.60
819.86
5.99
Mengelompok
Total
3
4288
7189984
1.17
742.31
5.99
Mengelompok
3
1116
800336
1.93
1035.44
5.99
Mengelompok
Cymodocea rotundata Syringodium isoetifolium Halodule uninervis 3C
Halophila ovalis Enhalus acoroides
3
156
15696
1.93
145.85
5.99
Mengelompok
Thalassia hemprichii
3
1200
572288
1.19
230.72
5.99
Mengelompok
Total
3
1808
1787424
1.64
1157.86
5.99
Mengelompok
Cymodocea rotundata
3
288
82944
3.00
576.00
5.99
Mengelompok
Halodule uninervis
3
2128
2083936
1.38
809.88
5.99
Mengelompok
Halophila ovalis
3
68
4624
3.00
136.00
5.99
Mengelompok
Enhalus acoroides
3
20
400
3.00
40.00
5.99
Mengelompok
Thalassia hemprichii
3
2364
2179344
1.17
401.66
5.99
Mengelompok
Total
3
4868
8960976
1.13
654.38
5.99
Mengelompok
Cymodocea rotundata
3
568
170176
1.58
330.82
5.99
Mengelompok
Syringodium isoetifolium
3
2296
2930720
1.67
1533.34
5.99
Mengelompok
Halodule uninervis
3
152
23104
3.00
304.00
5.99
Mengelompok
Enhalus acoroides
3
44
1360
2.09
48.73
5.99
Mengelompok
Thalassia hemprichii
3
900
397008
1.47
423.36
5.99
Mengelompok
Total
3
3960
6575072
1.26
1021.12
5.99
Mengelompok
Cymodocea rotundata
3
628
200080
1.52
327.80
5.99
Mengelompok
Enhalus acoroides
3
52
2704
3.00
104.00
5.99
Mengelompok
Thalassia hemprichii
3
12
144
3.00
24.00
5.99
Mengelompok
Total
3
692
211376
1.32
224.37
5.99
Mengelompok
Syringodium isoetifolium 4A
4
4B
Halophila ovalis
Syringodium isoetifolium Halodule uninervis 4C
Halophila ovalis
63
64
Lampiran 8. Hasil analisis komponen utama parameter fisik kimia perairan a) Akar ciri, korelasi antar variabel dengan sumbu utama dan kordinat individu dalam sumbu-sumbu utama Sumbu Faktorial
Akar Ciri (Eigenvalue) Sumbu 1
Sumbu 2
Sumbu 3
Nilai
4.5363
2.8101
1.5668
1.4889
Ragam (%)
37.8027
23.4172
13.0568
12.4071
Kumulatif Ragam (%) Variabel Aktif
37.8
61.22
Sumbu 4
74.28
86.68
Kode
a
b
a
b
a
b
Suhu
SUH
0.34027
0.11578
-0.66735
0.44536
-0.53538
0.28664
Salinitas
SAL
0.63810
0.40717
-0.70669
0.49940
0.04302
PH
0.17415
0.03033
0.16802
0.02823
-0.62144
Kekeruhan
TUR
0.96417
0.92963
0.21179
0.04486
Kec. Arus
KEA
-0.88460
0.78252
0.18651
Kedalaman
KED
0.13519
0.01828
DO
-0.48183
0.23216
pH
Oksigen terlarut
a
b
0.34025
0.11577
0.00185
0.15727
0.02474
0.38619
-0.52333
0.27387
0.07876
0.00620
-0.01801
0.00032
0.03479
-0.18119
0.03283
-0.12162
0.01479
-0.37520
0.14078
-0.48020
0.23059
-0.49029
0.24039
0.79984
0.63975
-0.09321
0.00869
-0.16272
0.02648
Nitrat (NO3-N)
NIT
0.57672
0.33260
-0.26446
0.06994
0.29700
0.08821
-0.64213
0.41233
Fosfat (PO4-P)
FOS
0.20394
0.04159
0.32520
0.10575
-0.71799
0.51551
0.24874
0.06187
Pasir Kasar
PAK
-0.69637
0.48493
-0.55682
0.31005
0.06239
0.00389
-0.35368
0.12509
PS
-0.75705
0.57312
-0.39966
0.15973
-0.07855
0.00617
0.39622
0.15699
PAH
0.76694
0.58820
0.57570
0.33144
0.00764
0.00006
0.19028
0.03621
a
b
a
b
a
b
a
b
0.04552
Pasir Sedang Pasir Halus Variabel Suplemen Kepadatan Lamun Cymodocea rotundata
*CR
-0.36897
0.13614
0.75614
0.57174
-0.23546
0.05544
0.21336
Syringodium isoetifolium
*SI
0.01397
0.00020
0.09781
0.00957
-0.01831
0.00034
-0.40037
0.16030
Halodule uninervis
*HU
-0.22149
0.04906
-0.44632
0.19920
0.44472
0.19778
0.49523
0.24525
Halophila ovalis
*HO
-0.15130
0.02289
0.16307
0.02659
0.52171
0.27218
0.17131
0.02935
Enhalus acoroides
*EA
0.95744
0.91669
0.50803
0.25810
-0.52321
0.27375
-0.27373
0.07493
Thalassia hemprichii
*TH
-0.23873
0.05699
0.03170
0.00100
0.10047
0.01009
-0.05088
0.00259
Kepadatan Bulu Babi Tripneustes gratilla
*TG
-0.15723
0.02472
0.12257
0.01502
-0.27162
0.07378
-0.42137
0.17756
Toxopneustes pileolus
*TP
Diadema setosum
*DS
-0.08284 0.13711
0.00686 0.01880
0.29849 -0.32061
0.08910 0.10279
0.42801 -0.26463
0.18319 0.07003
0.09126 -0.30198
0.00833 0.09119
Echinotrix diadema
*ED
-0.10128
0.01026
-0.12225
0.01494
-0.37222
0.13855
-0.22644
0.05128
Echinometra mathaei
*EM
-0.23451
0.05499
-0.22668
0.05139
-0.14732
0.02170
-0.33578
0.11275
c
d
c
d
d
c
d
3.59809
0.84953
-0.43600
0.01247
0.95251
0.05954 0.31671
Stasiun Pengamatan
c
Tenggara Hatta
1A
0.22936
0.00345
Tenggara Hatta
1B
0.38283
0.04103
0.79656
0.17762
-0.73240
0.15016
1.06367
Tenggara Hatta
1C
0.32038
0.01228
-0.35906
0.01543
-2.60214
0.81038
0.71303
0.06085
Timur Hatta
2A
2.72669
0.50644
0.51521
0.01808
2.49494
0.42401
0.52565
0.01882
Timur Hatta
2B
2.20089
0.34654
1.71271
0.20986
-0.66703
0.03183
-1.81587
0.23590
Timur Hatta
2C
2.90562
0.63315
-1.02095
0.07817
0.53456
0.02143
-0.55874
0.02341
Utara Hatta
3A
0.08457
0.00053
-2.50895
0.46599
-0.15532
0.00179
2.30341
0.39276
Utara Hatta
3B
0.36132
0.02061
-1.62355
0.41623
-0.41382
0.02704
-0.92056
0.13382
Utara Hatta
3C
0.06364
0.00062
-1.88554
0.54755
0.10689
0.00176
-1.22289
0.23032
Barat Hatta
4A
-2.90225
0.69573
0.49551
0.02028
1.58502
0.20751
0.77356
0.04943
Barat Hatta
4B
-3.14415
0.86905
0.44751
0.01761
0.03737
0.00012
-0.74483
0.04877
Barat Hatta
4C
-3.22891
0.80055
-0.16753
0.00215
0.24794
0.00472
-1.06894
0.08774
Ket: a = korelasi antar variabel dengan sumbu utama, b = koefisien determinasi (korelasi kuadrat), c = koordinat individu dalam sumbu-sumbu utama, d = kontribusi relatif (kosinus kuadrat)
64
65
b) Matriks korelasi antar variabel SUH
SAL
PH
SUH
1.000
SAL
0.706
PH
0.149 -0.130
1.000
0.134
0.167
TUR KEA KED DO
TUR
KED
DO
0.487
0.307
-0.678 -0.854
0.284
0.063
0.208 -0.290
0.135
0.509 -0.584
0.240 -0.428
FOS
0.279 -0.132
0.302
0.157 -0.057
0.016
-0.026 -0.118 -0.055 -0.804 0.214 -0.143 -0.246 -0.810 0.123
0.101
0.487
0.141 -0.077
0.528 -0.142
0.878 -0.544 -0.108
1.000
0.024 -0.608 -0.234
0.558
*CR
-0.480 -0.714 -0.068 -0.240
0.612 -0.140
0.715 -0.689
*SI
-0.146 -0.317
0.237
0.051
0.207 -0.446
0.119
0.070
0.126
1.000
0.420 -0.203
0.164
0.105 -0.120
0.120
0.548
0.165 -0.420
0.602 -0.266
0.049 -0.065 -0.354
0.584
0.098
0.274
0.548
0.011
*EA
*TH
*TG
*TP
*DS
*ED
*EM *DLAM *DBB
0.196
0.536 -0.292 -0.432 -0.199
1.000
0.283 -0.195 -0.153 -0.158
0.635
0.290 -0.569 -0.603
0.107 -0.103
0.089
0.045 -0.078
0.140
*TG
-0.210 -0.265
0.405
0.166
0.039
0.030 -0.255
*TP
-0.287 -0.253 -0.461 -0.559
0.020 -0.054
0.687
0.480 -0.079
0.254 -0.215 -0.466
*DS
0.234
0.353 -0.029
0.042
0.181
0.894 -0.148
*ED
0.095
0.099 -0.040 -0.125
0.427
0.773
0.151 -0.118
*EM
0.044 -0.017 -0.132 -0.315
0.500
0.654
0.044
*DLAM
-0.076 -0.313 -0.180 -0.576 0.064 -0.045 -0.060
0.154
0.376
1.000
0.617 -0.008 -0.225 -0.654 -0.418
0.210 -0.184 -0.202 0.020
0.402
0.150
0.328
0.319 -0.782 -0.215
0.497 -0.442 -0.055 -0.106
0.419
1.000
0.762 -0.012 0.416
0.783 -0.332
1.000 0.067
1.000
0.644 -0.020 1.000
0.094 -0.041 -0.095 -0.069 -0.015 -0.500 -0.318
0.408 -0.170
0.620 0.119
0.079
0.116
0.022 -0.132
0.343 -0.226
0.604 0.194
0.914
1.000
0.094 -0.189
0.347
0.192 -0.358 -0.075 -0.029 -0.293
0.118
0.200
0.522 0.528
0.710
0.737
0.169 -0.401
0.010 -0.181 -0.209
0.417
0.588 -0.494 -0.173
0.675 -0.512
0.383
0.104
0.075 -0.082 -0.073
0.839
0.125 -0.088
1.000
0.144
-0.091 -0.295 -0.085 -0.290
0.050
*HO
1.000
0.270 -0.516 -0.003
*TH
*DBB
*HU
1.000
0.298 -0.975 -0.717
0.243 -0.401 -0.249 -0.197 -0.608 -0.342 -0.170 -0.318
-0.328 -0.233 -0.428 -0.297 0.207
*SI
1.000
0.037 -0.341
-0.057
*EA
*CR
1.000
0.124 -0.226
PAH
0.211
PAH
1.000
0.210
*HO
PS
1.000
0.592 -0.214
0.423
*HU
PAK
1.000
0.005
PS
FOS
1.000
NIT
PAK
NIT
1.000
-0.396 -0.694 -0.073 -0.795 0.352
KEA
0.004
0.078
0.230 -0.127 -0.551 -0.328
0.474
0.606
0.202 -0.008 -0.645 -0.281
0.241
1.000
1.000
0.771 -0.213 0.521 -0.432 -0.495 -0.106
0.432 -0.087
0.773 0.176
0.936
0.960
0.777
1.000 -0.424
1.000
65
66
c) Grafik analisis komponen utama pada sumbu 1 dan 3, 1 dan 4
d) Matriks disimilaritas (euclidean distance) stasiun pengamatan berdasarkan karakteristik fisik-kimia padang lamun Pulau Hatta 1A 1A
0.00
1B
1C
2A
1B
10.20
0.00
1C
25.68
15.79
0.00
2A
4.19
9.17
24.45
0.00
2B
2C
3A
3B
3C
4A
4B
2B
5.09
8.25
23.22
2.75
2C
7.88
5.71
20.02
5.46
3.98
0.00
3A
46.74
36.84
21.69
45.16
43.90
40.84
0.00
3B
57.66
48.55
35.09
55.36
53.80
51.03
19.04
0.00
3C
57.25
47.93
34.02
55.07
53.52
50.66
16.84
3.03
0.00
4A
47.28
37.54
22.54
45.71
44.36
41.42
3.57
17.17
15.01
0.00
4B
59.96
50.37
35.69
58.11
56.62
53.73
15.57
10.06
7.50
13.80
0.00
4C
66.13
56.75
42.46
64.08
62.52
59.68
23.22
10.17
9.36
21.42
8.03
4C
0.00
0.00
66
67
Lampiran 9. Hasil perhitungan kepadatan jenis bulu babi (ind/25 m2) di padang lamun Pulau Hatta Stasiun Pengamatan Bulu Babi 1A Tripneustes gratilla Toxopneustes pileolus Diadema Setosum Echinotrix diadema Echinometra mathaei
5.00 0.33 0.00 2.33 0.00
Tenggara Hatta 1B 1C
6.33 0.00 0.67 1.67 1.00
6.33 0.33 4.67 5.33 1.67
R
2A
5.89 0.22 1.78 3.11 0.89
4.33 0.00 0.33 0.33 0.00
Timur Hatta 2B 2C
4.00 0.00 0.33 1.00 0.67
6.33 0.67 5.33 4.67 1.33
R
3A
4.89 0.22 2.00 2.00 0.67
1.67 0.33 0.00 0.67 0.00
Utara Hatta 3B 3C
5.00 0.33 0.33 0.67 0.33
6.00 0.67 3.33 3.67 2.33
R
4A
4.22 0.44 1.22 1.67 0.89
4.33 2.33 0.33 1.33 1.67
Barat Hatta 4B 4C
6.00 0.33 1.00 1.33 0.33
5.67 1.00 3.67 5.67 2.00
R
5.33 1.22 1.67 2.78 1.33
67
68
Lampiran 10. Pola penyebaran bulu babi di lokasi penelitian Stasiun
Substasiun
1A
Jenis
n
N
Tripneustes gratilla
3
15
Toxopneustes pileolus
3
1
3
7
χ2 hitung
χ2 tabel
1.40
7.60
5.99
Mengelompok
21.00
1.00
2.00
5.99
Acak
Σχ2
Id
113.00
Pola Penyebaran
Diadema setosum Echinotrix diadema Echinometra mathaei Total
3
23
237.00
1.27
7.91
5.99
Mengelompok
Tripneustes gratilla
3
19
169.00
1.32
7.68
5.99
Mengelompok
Diadema setosum
3
2
2.00
0.00
1.00
5.99
Acak
Echinotrix diadema
3
5
13.00
1.20
2.80
5.99
Acak
Echinometra mathaei
3
3
9.00
3.00
6.00
5.99
Mengelompok
Total
3
29
293.00
0.98
1.31
5.99
Acak
Tripneustes gratilla
3
19
169.00
1.32
7.68
Toxopneustes pileolus
3
1
Diadema setosum
3
14
76.00
1.02
2.29
5.99
Acak
Echinotrix diadema
3
16
96.00
1.00
2.00
5.99
Acak
Echinometra mathaei
3
5
9.00
0.60
0.40
5.99
Acak
Toxopneustes pileolus 1
1B
1C
Total
3
55
1025.00
0.98
0.91
5.99
Acak
Tripneustes gratilla
3
13
61.00
0.92
1.08
5.99
Acak
Diadema setosum
3
1
Echinotrix diadema
3
1
Toxopneustes pileolus 2A
Echinometra mathaei Total
3
15
77.00
0.89
0.40
5.99
Acak
Tripneustes gratilla
3
12
54.00
0.95
1.50
5.99
Acak
5.00
1.00
2.00
5.99
Acak
Toxopneustes pileolus 2
2B
2C
Diadema setosum
3
1
Echinotrix diadema
3
3
Echinometra mathaei
3
2
2.00
0.00
1.00
5.99
Acak
Total
3
18
116.00
0.96
1.33
5.99
Acak
Tripneustes gratilla
3
19
163.00
1.26
6.74
5.99
Mengelompok
Toxopneustes pileolus
3
2
2.00
0.00
1.00
5.99
Acak
Diadema setosum
3
16
90.00
0.93
0.88
5.99
Acak
Echinotrix diadema
3
14
70.00
0.92
1.00
5.99
Acak
Echinometra mathaei
3
4
8.00
1.00
2.00
5.99
Acak
Total
3
55
1041.00
1.00
1.78
5.99
Acak
68
69
Lampiran 10. lanjutan Stasiun
Substasiun
3A
Jenis
n
Σχ2
N
Tripneustes gratilla
3
5
Toxopneustes pileolus
3
1
3
Id
χ2 hitung
χ2 tabel
Pola Penyebaran
17.00
1.80
5.20
5.99
Acak
2
2.00
0.00
1.00
5.99
Acak
3
8
24.00
0.86
1.00
5.99
Acak
77.00
0.89
0.40
5.99
Acak
2.00
0.00
1.00
5.99
Acak
Diadema setosum Echinotrix diadema Echinometra mathaei Total
3
3B
3C
4A
Tripneustes gratilla
3
15
Toxopneustes pileolus
3
1
Diadema setosum
3
1
Echinotrix diadema
3
2
Echinometra mathaei
3
1
Total
3
20
134.00
0.90
0.10
5.99
Acak
Tripneustes gratilla
3
18
114.00
0.94
1.00
5.99
Acak
Toxopneustes pileolus
3
2
4.00
0.00
4.00
5.99
Acak
Diadema setosum
3
10
38.00
0.93
1.40
5.99
Acak
Echinotrix diadema
3
11
53.00
1.15
3.45
5.99
Acak
Echinometra mathaei
3
7
21.00
1.00
2.00
5.99
Acak
Total
3
48
770.00
0.96
0.13
5.99
Acak
Tripneustes gratilla
3
13
59.00
0.88
0.62
5.99
Acak
Toxopneustes pileolus
3
7
37.00
2.14
8.86
5.99
Mengelompok
3
4
6.00
0.50
0.50
5.99
Acak
Diadema setosum Echinotrix diadema Echinometra mathaei Total
3
30
338.00
1.06
3.80
5.99
Acak
Tripneustes gratilla
3
18
108.00
0.88
0.00
5.99
Acak
Diadema setosum
3
3
5.00
1.00
2.00
5.99
Acak
Echinotrix diadema
3
4
6.00
0.50
0.50
5.99
Acak
Echinometra mathaei
3
1
Toxopneustes pileolus 4
4B
4C
Total
3
27
251.00
0.96
0.89
5.99
Acak
Tripneustes gratilla
3
17
115.00
1.08
3.29
5.99
Acak
Toxopneustes pileolus
3
3
5.00
0.00
2.00
5.99
Acak
Diadema setosum
3
11
53.00
1.15
3.45
5.99
Acak
Echinotrix diadema
3
17
99.00
0.90
0.47
5.99
Acak
Echinometra mathaei
3
6
14.00
0.80
1.00
5.99
Acak
Total
3
54
978.00
0.97
0.33
5.99
Acak
69
70
Lampiran 11. Hasil pengamatan kemampuan merumput (daya grazing) Tripneustes gratilla terhadap Thalassia hemprichii di padang lamun Pulau Hatta a) Metode tak langsung (akuarium) Hari ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 R
Bobot Tripneustes gratilla (gr) 50.11 59.73 87.04 97.05 20.98 22.58 5.56 16.78 35.66 40.44 30.62 20.54 10.94 5.78 8.29 16.83 18.49 3.86 9.05 15.08 8.86 5.09 5.2 8.21 3.56 9.78 7.8 9.27 11.15 10.94 9.61 7.72 4.43 7.02 8.43 6.06 19.09 21.89 30.55 10.72 9.2 6.99 8.79 7.38 5.71 7.49 15.44 6.45 14.39 8.72 8.14 22.1 13.5383 12.5483 12.2900 12.2617
R 16.475 31.815 10.46 11.62 6.84 7.6025 9.855 6.485 20.5625 8.09 8.7725 13.3375 12.65958
b) Metode langsung Thalassia No hemprichii (teg) 1 7 2 8 3 10 4 15 5 16 6 20 7 24 8 29 R
52.16 H L 3
Bobot Tripneustes gratilla (gr) 60.78 87.65 96.21 H L H L H L 3 2.333
2.667 8 9
6
R
6
1.667
13
1.846
1.875 1.778
3.333 14 3.000
2.071 2.202
1.826
1.756
2.196
Ket: H=jumlah hari merumput, L=laju merumput (teg/ind/hari), R=rata-rata.
70
71
Lampiran 12.
Hasil Analisis Faktorial Koresponden (CA) lamun dengan stasiun pengamatan
a) Akar Ciri, persentase ragam, kualitas representase dan kontribusi relatif variabel pada sumbu faktorial Sumbu Faktorial
Akar Ciri (Eigenvalue)
e
Sumbu 1 0.50221 48.52507 48.52507 f
g
-0.5940 -0.7150 1.1757 0.8098 -0.6403 -0.1203 e -0.5526 -0.5566 -0.5342 0.8801 -0.4514 -0.4306 1.3933 0.2215 -0.5949 0.6055 -0.6902 -0.8315
0.2256 0.2823 0.9729 0.3005 0.2594 0.0865 f 0.2703 0.4332 0.4898 0.8082 0.1816 0.1602 0.9380 0.2853 0.3732 0.7670 0.3450 0.1468
0.1030 0.1631 0.6669 0.0049 0.0510 0.0111 g 0.0415 0.0400 0.0343 0.0835 0.0200 0.0181 0.3907 0.0119 0.0627 0.1279 0.1352 0.0343
Nilai Ragam (%) Kumulatif Ragam (%) Lamun Cymodocea rotundata Syringodium isoetifolium Halodule uninervis Halophila ovalis Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Stasiun Pengamatan Tenggara Hatta A Tenggara Hatta B Tenggara Hatta C Timur Hatta A Timur Hatta B Timur Hatta C Utara Hatta A Utara Hatta B Utara Hatta C Barat Hatta A Barat Hatta B Barat Hatta C Keterangan :
Kode CR SI HU HO EA TH 1A 1B 1C 2A 2B 2C 3A 3B 3C 4A 4B 4C
e
Sumbu 2 0.33279 32.15512 80.68019 f
g
0.8436 -1.1123 -0.0861 0.0615 0.6344 0.0925 e 0.8586 0.6345 0.5346 0.1945 0.4624 0.3906 -0.1043 -0.3286 -0.7232 0.1051 -0.8652 1.4126
0.4551 0.6831 0.0052 0.0017 0.2547 0.0511 f 0.6525 0.5630 0.4906 0.0395 0.1906 0.1318 0.0053 0.6278 0.5516 0.0231 0.5422 0.4236
0.3134 0.5957 0.0054 0.0000 0.0756 0.0099 g 0.1512 0.0784 0.0518 0.0062 0.0317 0.0225 0.0033 0.0394 0.1398 0.0058 0.3206 0.1493
e = kordinat f = kosinus kuadrat (kualitas representase) g = kontribusi relatif ragam terhadap sumbu faktorial
b) Matriks dissimilaritas (jarak khi-kuadrat) antar stasiun berdasarkan kerapatan jenis lamun di Pulau Hatta 1A
1B
1A
0
1C
2A
2B
2C
3A
3B
3C
4A
4B
1B
2.398
0
1C
3.664
1.347
0
2A
9.668
8.82
8.392
0
2B
7.22
5.02
3.814
8.891
0
2C
7.642
5.434
4.19
8.991
0.542
0
3A
19.005
18.344
17.971
10.515
17.803
17.781
0
3B
12.767
11.396
10.778
8.979
10.867
10.706
12.411
0
3C
12.716
10.84
10.045
13.229
9.959
9.743
20.067
8.697
0
4A
18.624
18.308
18.101
14.656
18.311
18.225
12.028
11.542
19.619
0
4B
20.197
19.204
19.06
21.168
20.377
20.349
26.062
16.094
11.705
26.004
0
4C
5.429
5.208
5.385
7.71
7.708
8.071
17.969
13.467
13.101
20.524
20.512
71
72
Lampiran 13.
Hasil Analisis Faktorial Koresponden (CA) bulu babi dengan stasiun pengamatan
a) Akar Ciri, persentase ragam, kualitas representase dan kontribusi relatif variabel pada sumbu faktorial Sumbu Faktorial
Akar Ciri (Eigenvalue)
e
Sumbu 1 0.12918 53.55154 53.55154 f
g
-0.3351 -0.1749 0.5947 0.2479 0.2246 e -0.4192 -0.3131 0.3478 -0.6516 -0.3452 0.3626 -0.4710 -0.5405 0.2241 -0.2662 -0.3303 0.3031
0.8892 0.0225 0.8783 0.5626 0.1776 f 0.5211 0.5489 0.8825 0.6894 0.5687 0.8131 0.5449 0.9339 0.6520 0.0801 0.7432 0.8200
0.4163 0.0118 0.4300 0.1071 0.0348 g 0.0819 0.0576 0.1348 0.1291 0.0435 0.1466 0.0360 0.1184 0.0488 0.0431 0.0597 0.1005
Nilai Ragam (%) Kumulatif Ragam (%) Bulu Babi Tripneustes gratilla Toxopneustes pileolus Diadema setosum Echinotrix diadema Echinometra mathaei Stasiun Pengamatan Tenggara Hatta A Tenggara Hatta B Tenggara Hatta C Timur Hatta A Timur Hatta B Timur Hatta C Utara Hatta A Utara Hatta B Utara Hatta C Barat Hatta A Barat Hatta B Barat Hatta C Keterangan :
Kode TG TP DS ED EM 1A 1B 1C 2A 2B 2C 3A 3B 3C 4A 4B 4C
e
Sumbu 2 0.08257 34.23159 87.78314 f
g
0.1146 -1.1332 0.1376 0.0372 -0.3202 e 0.1279 0.2012 0.1243 0.3861 0.1901 0.0855 -0.2115 0.0830 -0.0479 -0.8999 0.1508 -0.0791
0.1039 0.9446 0.0471 0.0126 0.3609 f 0.0485 0.2268 0.1127 0.2420 0.1725 0.0452 0.1098 0.0220 0.0298 0.9154 0.1549 0.0559
0.0761 0.7735 0.0360 0.0038 0.1105 g 0.0119 0.0372 0.0269 0.0709 0.0206 0.0128 0.0113 0.0044 0.0035 0.7703 0.0195 0.0107
e = kordinat f = kosinus kuadrat (kualitas representase) g = kontribusi relatif ragam terhadap sumbu faktorial
b) Matriks dissimilaritas (jarak khi-kuadrat) antar stasiun berdasarkan kepadatan jenis bulu babi di Pulau Hatta 1A
1B
1A
0
1C
2A
2B
2C
3A
3B
1B
0.415
0
1C
1.296
1.151
0
2A
0.412
0.471
1.464
0
2B
0.375
0.347
1.338
0.239
0
2C
1.347
1.217
0.256
1.483
1.385
0
3A
0.527
0.72
1.565
0.378
0.394
1.584
0
3C
4A
4B
3B
0.333
0.356
1.374
0.196
0.218
1.394
0.444
0
3C
1.064
0.85
0.494
1.198
1.039
0.57
1.294
1.073
0
4A
0.963
0.987
1.483
1.068
0.976
1.467
1.008
0.902
1.078
0
4B
0.333
0.261
1.18
0.36
0.345
1.198
0.618
0.232
0.913
0.927
0
4C
1.222
1.123
0.377
1.447
1.296
0.487
1.494
1.325
0.417
1.239
1.154
72
73
Lampiran 14.
Hasil Analisis Faktorial Koresponden (CA) Bulu Babi terhadap Komunitas Lamun
a) Akar Ciri, persentase ragam, kualitas representase dan kontribusi relatif variabel pada sumbu faktorial Sumbu Faktorial
Akar Ciri (Eigenvalue) Sumbu 1
Sumbu 2
Nilai
0.11972
0.03532
Ragam (%)
72.38898
21.35657
Kumulatif Ragam (%) Variabel
e
72.38898 f
g
e
93.74555 f
g
Kode TG
-0.0928
0.8800
0.0057
0.0319
0.1039
0.0023
TP
0.2815
0.1372
0.0054
0.6972
0.8413
0.1124
Diadema setosum
DS
-0.1136
0.4919
0.0028
-0.0270
0.0277
0.0005
Echinotrix diadema
ED
-0.1741
0.6256
0.0094
0.1238
0.3164
0.0160
Echinometra mathaei
EM
0.0608
0.0639
0.0005
0.2300
0.9149
0.0219
C. rotundata < 113.11 ind/m2
CR1
0.3473
0.6229
0.0897
-0.2665
0.3668
0.1790
C. rotundata 113.11 - 604 ind/m2
CR2
-0.5698
0.6394
0.1364
0.4204
0.3480
0.2517
S. isoetifolium < 123.67 ind/m2
SI1
-0.1356
0.7113
0.0184
-0.0664
0.1704
0.0150
0.8228
0.1480
0.2785
0.0697
0.0425
Tripneustes gratilla Toxopneustes pileolus
SI2
0.9571
H. uninervis < 187 ind/m
HU1
-0.2426
0.9664
0.0514
0.0404
0.0267
0.0048
H. uninervis 187 - 1176 ind/m2
HU2
0.7924
0.9373
0.1827
-0.1950
0.0568
0.0375
H. ovalis < 2.89 ind/m2
HO1
-0.0260
0.3198
0.0007
-0.0217
0.2241
0.0017
H. ovalis 2.89 - 68 ind/m2
HO2
0.4792
0.6696
0.0223
0.0174
0.0009
0.0001
E. acoroides < 48.22 ind/m2
EA1
0.5374
0.8499
0.1680
0.2253
0.1494
0.1001
E. acoroides 48.22 - 148 ind/m
EA2
-0.5052
0.7871
0.1485
-0.2623
0.2121
0.1356
T. hemprichii < 296.89 ind/m2
TH1
-0.0577
0.0774
0.0024
-0.1304
0.3946
0.0410
T. hemprichii 296.89 - 1112 ind/m2
TH2
0.1322
0.1785
0.0079
0.1573
0.2529
0.0380
S. isoetifolium 123.67-1532 ind/m2 2
2
Stasiun Pengamatan
e
f
g
e
f
g
Tenggara Hatta
1
-0.4751
0.9531
0.4808
-0.0237
0.0024
0.0041
Timur Hatta
2
-0.0850
0.1187
0.0149
-0.1793
0.5277
0.2246
Utara Hatta
3
0.4909
0.9190
0.4864
-0.1165
0.0517
0.0928
Barat Hatta
4
0.0916
0.0809
0.0180
0.3056
0.9009
0.6786
Keterangan :
e = kordinat f = kosinus kuadrat (kualitas representase) g = kontribusi relatif ragam terhadap sumbu faktorial
73
74
Lampiran 14. lanjutan b) Matriks kontigensi kerapatan lamun dan kepadatan bulu babi dengan stasiun pengamatan Stasiun
Jenis Lamun (ind/m2) CR
SI
HU
Jenis Bulu Babi (ind/m2)
HO
EA
TH
TG
TP
DS
ED
EM 0.00
1A
294.67
0.00
0.00
0.00
61.33
276.00
0.20
0.01
0.00
0.09
1B
217.33
34.67
0.00
0.00
78.67
269.33
0.25
0.00
0.03
0.07
0.04
1C
168.00
40.00
0.00
0.00
78.67
272.00
0.25
0.01
0.19
0.21
0.07
2A
84.00
0.00
317.33
5.33
6.67
88.00
0.17
0.00
0.01
0.01
0.00 0.03
2B
44.00
14.67
0.00
0.00
118.67
280.00
0.16
0.00
0.01
0.04
2C
26.67
18.67
0.00
0.00
116.00
293.33
0.25
0.03
0.21
0.19
0.05
3A
0.00
0.00
800.00
0.00
0.00
136.00
0.07
0.01
0.00
0.03
0.00
3B
28.00
238.67
366.67
6.67
28.00
456.00
0.20
0.01
0.01
0.03
0.01
3C
0.00
372.00
0.00
0.00
52.00
400.00
0.24
0.03
0.13
0.15
0.09
4A
96.00
0.00
709.33
22.67
6.67
788.00
0.17
0.09
0.01
0.05
0.07
4B
189.33
765.33
50.67
0.00
14.67
300.00
0.24
0.01
0.04
0.05
0.01
4C
209.33
0.00
0.00
0.00
17.33
4.00
0.23
0.04
0.15
0.23
0.08
74
75
Lampiran 15. Dokumentasi hasil penelitian Jenis-jenis Lamun di Pulau Hatta
Cymodocea rotundata
Halophila ovalis
Enhalus acoroides
Syringodium isoetifolium
Thalassia hemprichii
Halodule uninervis
75
76
Lampiran 15. Lanjutan Jenis-jenis Bulu Babi di Padang Lamun Pulau Hatta
Tripneustes gratilla
Toxopneustes pileolus
Echinotrix diadema
Echinometra mathaei
76
77
Lampiran 15. lanjutan Lokasi Pengambilan Data
Pantai Tenggara Hatta
Pantai Timur Hatta
Pantai Utara Hatta
Pantai Barat Hatta
77
78
Lampiran 15. lanjutan
78