TESIS
RASIO SERAT KOLAGEN TIPE III/TIPE I LEBIH RENDAH DAN KEKUATAN TENSILE LEBIH TINGGI PADA KESEMBUHAN CEDERA TENDON ACHILLES KELINCI YANG DIBERIKAN ASTAXANTHIN
I KOMANG AGUS KRISNA SAPUTRA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016
TESIS
RASIO SERAT KOLAGEN TIPE III/TIPE I LEBIH RENDAH DAN KEKUATAN TENSILE LEBIH TINGGI PADA KESEMBUHAN CEDERA TENDON ACHILLES KELINCI YANG DIBERIKAN ASTAXANTHIN
I KOMANG AGUS KRISNA SAPUTRA NIM 1114118102
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016
i
RASIO SERAT KOLAGEN TIPE III/TIPE I LEBIH RENDAH DAN KEKUATAN TENSILE LEBIH TINGGI PADA KESEMBUHAN CEDERA TENDON ACHILLES KELINCI YANG DIBERIKAN ASTAXANTHIN
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
I KOMANG AGUS KRISNA SAPUTRA NIM 1114118102
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL, 25 April 2016
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes NIP. 195301311980031004
dr. K. G. Mulyadi Ridia, Sp. OT (K) NIP. 19600201 198610 1 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK NIP 19580521 198503 1 002
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP 19590215 198510 2 001
iii
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 5 April 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No : 1379/UN14.4/HK/2016 Tertanggal 4 April 2016
Ketua : Prof. Dr. dr. I Ketut Siki Kawiyana, Sp. B., Sp.OT (K) Anggota : 1.
Prof. Dr. dr Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes
2.
dr. I Ketut Suyasa, Sp.B, Sp.OT (K)
3.
dr. K.G Mulyadi Ridia, Sp.OT (K)
4.
dr. Wayan Suryanto Dusak Sp.OT (K)
iv
SURAT Pernyataan Bebas Plagiat
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya tesis dengan judul : “Rasio Serat Kolagen Tipe Iii/Tipe I Lebih Rendah dan Kekuatan Tensile Lebih Tinggi pada Kesembuhan Cedera Tendon Achilles Kelinci yang Diberikan Astaxanthin” dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan syarat dalam menyelesaikan Program Magister Combined Degree, Program Studi Biomolekuler, Program Pascasarjana Universitas Udayana –Denpasar, Bali. Saya sangat menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dorongan, semangat, bantuan, saran dan bimbingan baik dalam hal konsultasi maupun dukungan moril dari para pembimbing, senior, teman sejawat maupun keluarga, proposal ini tidak dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan karya akhir ini kepada : Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD sebagai Rektor Universitas Udayana Denpasar – Bali atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Program Dokter Spesialis-1 di Universitas Udayana Denpasar – Bali. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar – Bali, atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti PPDS-1 Ilmu Bedah Orthopaedi dan Traumatologi di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar - Bali. dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes sebagai Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar - Bali, atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menempuh pendidikan keahlian di Rumah Sakit yang beliau pimpin.
vi
Prof. Dr. dr. Ketut Siki Kawiyana, SpB, SpOT (K) sebagai Ketua Program Studi PPDS-1 Ilmu Orthopaedi dan Traumatologi di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar - Bali, atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti pendidikan keahlian Ilmu Bedah Orthopaedi dan Traumatologi. dr. I Ketut Suyasa, SpB, SpOT (K) Spine sebagai Ketua SMF Orthopaedi dan Traumatologi Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar - Bali, atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk dapat menjalani PPDS-1 Ilmu Orthopaedi dan Traumatologi di institusi yang beliau pimpin. dr. Gede Eka Wiratnaya, SpOT sebagai Sekretaris Program Studi PPDS-1 Ilmu Orthopaedi dan Traumatologi di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar - Bali yang dengan tulus membimbing dan memberi dukungan baik akademik maupun moril sampai karya akhir ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar – Bali atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Program Pascasarjana Program Magister Ilmu Biomedik di Universitas Udayana Denpasar – Bali Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, SpAnd, FAACS sebagai Ketua Program Studi Program Magister Ilmu Biomedik Universitas Udayana Denpasar – Bali atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Pendidikan Program Pascasarjana Program Magister Ilmu Biomedik di Universitas Udayana Denpasar – Bali dr. I Gede Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., SpGK sebagai Sekretaris Program Studi Program Magister Ilmu Biomedik Universitas Udayana Denpasar – Bali atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Pendidikan Program Pascasarjana Program Magister Ilmu Biomedik di Universitas Udayana Denpasar – Bali
vii
Prof. Dr. Tjokorda Gde Tirta Nindhia, ST, MM sebagai Ketua Grup Riset Industri Manufaktur dan Permesinan Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Udayana atas dukungannya selama proses penelitian. Dr. Drh. Ida Bagus Oka Winaya, M.Kes sebagai staf bagian Laboratorium Patologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana atas dukungannya selama proses penelitian. Seluruh staf pengajar di Bagian / SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar - Bali, atas bimbingan dan bantuannya dalam mendukung dalam proses pendidikan dan bimbingan tesis ini. dr. Wayan Suryanto Dusak, SpOT ; dr. Made Bramantya Karna, SpOT ; dr. IGN. Wien Aryana SpOT; dr. Cok Oka Dharmayuda, SpOT ; dr. IGLNA. Artha Wiguna, SpOT (K) Spine ; dr. Gede Eka Wiratnaya, SpOT ; dr. Kadek Ayu Chandradewi, SpOT ; dr. AAG. Yuda Asmara, SpOT ; dr. Wayan Subawa, SpOT selaku staff pengajar SMF Orthopaedi dan Traumatologi Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar-Bali, atas bimbingan yang telah diberikan kepada saya selama pendidikan. Teman-teman sejawat PPDS-1 Ilmu Orthopaedi dan Traumatologi serta PPDS-1 Ilmu Bedah Umum Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar Bali, atas bantuan dan dukungannya Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, atas segala bantuan dan bimbingan selama proses pendidikan/ penyelesaian tesis ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan segenap dan seluruh RahmatNya. Amin Denpasar, April 2016 Penulis
viii
ABSTRAK RASIO SERAT KOLAGEN TIPE III/TIPE I LEBIH RENDAH DAN KEKUATAN TENSILE LEBIH TINGGI PADA KESEMBUHAN CEDERA TENDON ACHILLES KELINCI YANG DIBERIKAN ASTAXANTHIN
Cedera pada tendon bervariasi dari cedera minor yang memiliki risiko relatif minimal terhadap aktivitas sehari – hari, sampai dengan robekan pada tendon yang memerlukan tindakan pembedahan. Komplikasi yang sering terjadi akibat cedera tendon ini adalah terjadinya gangguan mekanis. Proses inflamasi dan pembentukan radikal bebas dapat memperburuk kapasitas penyembuhan tendon setelah cedera. Penggunaan kolagen kuat seperti astaxanthin merupakan salah satu agen yang bisa dimanfaatkan untuk membantu penyembuhan tendon. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pemberian astaxanthin dapat menurunkan rasio serat kolagen tipe III/tipe I dan meningkatkan kekuatan tensile pada kesembuhan tendon. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan post-test only control group design dengan subjek kelinci. Sebanyak 18 subyek penelitian yang memenuhi persyaratan inklusi penelitian secara random dikelompokkan menjadi kelompok perlakuan dan kontrol. Kelompok kontrol adalah kelompok yang tidak diberikan astaxanthin setelah tendon achillesnya diputus secara tajam dan dijahit sedangkan pada kelompok perlakuan adalah kelompok yang diberikan astaxanthin setelah tendon achillesnya diputus secara tajam dan dijahit Analisis statistik dengan menggunakan uji parametrik independent t-test didapatkan adanya perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan dan kontrol pada variabel rasio kolagen III/I dan kekuatan tensile tendon. Rasio kolagen III/I pada tendon Achilles kelinci yang mendapatkan perlakuan astaxanthin lebih kecil dibandingkan dengan kelompok tanpa perlakuan dan hal ini ditunjukkan dari nilai p = 0,000 (p<0,05). Analisis statistik juga menunjukkan kekuatan tensile tendon Achilles kelinci yang diberikan astaxanthin lebih besar dibandingkan dengan kelompok tanpa perlakuan dan hal ini ditunjukkan dari nilai p = 0,044 (p<0,05). Hal ini menunjukkan adanya pengaruh astaxanthin terhadap rasio kolagen III/I dan kekuatan tensile tendon achilles kelinci. Hasil perhitungan diatas menunjukkan bahwa pemberian astaxanthin pada cedera tendon achilles dapat menurunkan rasio kolagen III/I sehingga sintesis kolagen tipe I lebih banyak dibandingkan dengan tipe III dan dapat membantu meningkatkan kekuatan tensilenya. Kata kunci: Astaxanthin, Cedera Tendon Achilles Kelinci, Rasio Kolagen III/I, Kekuatan Tensile,
ix
ABSTRACT LOWER RATIO OF COLLAGEN’S FIBER TYPE III/TYPE I AND HIGHER TENSILE STRENGTH IN HEALING ACHILLES TENDON IN RABBIT WITH ASTAXANTHIN
Injuries to the tendons vary from minor injuries that have a relatively minimal risk to the daily activities - day, up to a tear in the tendon that requires surgery. Complications are common due to a tendon injury this is the occurrence of mechanical disturbances. Inflammatory process and formation of free radicals can worsen the capacity of tendon healing after injury. The use of potent antioxidants like astaxanthin as an agent that can be used to help tendon healing. This study aims to prove the administration of astaxanthin can reduce the ratio of fibers of collagen tipe III/tipe I and increase the tensile strength of the tendon healing. This study is an experimental research design using post-test only control group design with the subject rabbits. A total of 18 research subjects who meet the inclusion requirements of the study were randomly divided into treatment and control groups. The control group is the group that was not given astaxanthin after tendon achillesnya sharply cut and sewn, while the treatment group was given astaxanthin group after tendon achillesnya sharply cut and sewn Statistical analysis using parametric tests independent t-test found a significant difference between treatment and control groups on a variable ratio of collagen III/I and the tensile strength of the tendon. The ratio of collagen type III/type I of the Achilles tendon rabbit which receive treatment of astaxanthin is smaller compared with the untreated group and this is shown on the value of p = 0.000 (p <0.05). Statistical analysis also showed a tensile strength of rabbit Achilles tendon given astaxanthin is greater than the non-treated group and this is shown on the value of p = 0.044 (p <0.05). This shows the influence of astaxanthin on the ratio of collagen type III/type I and tensile strength rabbit achilles tendon after injury. The result of the above calculation shows that the administration of astaxanthin on the Achilles tendon injury can reduce the ratio of collagen type III/type I so that the synthesis of type I collagen higher than the type III and thus can help improve the tensile strength.
Keywords: Astaxanthin, Rabbit’s Achilles Tendon Injuries, Ratio of Collagen III/I, Tensile Strength
x
DAFTAR ISI Halaman
SAMPUL DALAM ............................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ...............................................................................
iii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT...................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ..............................................................................
vi
ABSTRAK .........................................................................................................
ix
ABSTRACT ......................................................................................................
x
DAFTAR ISI ......................................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
xv
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xvi DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xix BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................
5
1.3 Tujuan Penelitian..............................................................................
5
1.4 Manfaat Penelitian............................................................................
6
BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................
7
2.1 Tendon ..............................................................................................
7
2.1.1 Tendon Manusia .......................................................................
7
xi
2.1.1.1 Anatomi ........................................................................
7
2.1.1.2 Vaskularisasi ................................................................
13
2.1.1.3 Persarafan .....................................................................
14
2.1.1.4 Kekuatan Tendon ........................................................
16
2.1.1.5 Fisiologi dan Biomekanika Tendon .............................
19
2.1.2 Tendon Achilles Manusia .........................................................
20
2.1.3 Tendon Kelinci .........................................................................
21
2.1.3.1. Kekuatan Tensile Tendon Achilles Kelinci.................
22
2.2 Cedera Tendon .................................................................................
23
2.3 Mekanisme Penyembuhan Tendon ..................................................
24
2.4 Astaxanthin.......................................................................................
31
2.4.1 Sumber Astaxanthin ........................................................
31
2.4.2 Struktur dan Biokimia Astaxanthin.................................
32
2.4.3 Bioavailabilitas dan Farmakokinetik Astaxanthin .........
33
2.4.4 Aktivitas Biologis Astaxanthin .......................................
34
2.4.4.1 Efek Antioksidan ..........................................................
34
2.4.4.2 Efek anti-inflamasi dan imunomodulator ....................
35
2.4.4.3 Efek terhadap Jaringan Kolagen dan Kekuatan Tensile 36 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir .........................................................................
39
3.2 Konsep. .........................................................................................
41
xii
3.3 Hipotesis Penelitian. ......................................................................
41
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ..........................................................
42
4.1 Rancangan Penelitian ....................................................................
42
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................
43
4.3 Populasi dan Sampel… ..................................................................
44
4.3.1 Variabilitas Populasi ............................................................
44
4.3.2 Kriteria Subjek .....................................................................
44
4.3.3 Besaran Sampel....................................................................
45
4.3.4 Teknik Penentuan Sampel ...................................................
46
4.4 Variabel Penelitian .........................................................................
46
4.4.1 Klasifikasi Variabel .............................................................
46
4.4.2 Definisi Operasional Variabel .............................................
46
4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian ...................................................
47
4.6 Prosedur Penelitian .......................................................................
48
4.7 Alur Penelitian ...............................................................................
51
4.8 Protokol Penelitian .........................................................................
52
4.9 Analisis Data ..................................................................................
54
BAB V HASIL PENELITIAN ..........................................................................
55
5.1. Analisis Sampel ............................................................................
55
5.1.1.Analisis Deskriptif ...............................................................
55
xiii
5.2. Analisis Inferensial .......................................................................
57
5.2.1.Uji Normalitas dan Homogenitas ........................................
57
5.2.2. Uji Independent t-Test ........................................................
58
BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................................
60
6.1 Subjek Penelitian ................................................................................
60
6.2 Pengaruh Astaxanthin terhadap Rasio Kolagen III/I Tendon Achilles 61 6.3 Pengaruh Astaxanthin terhadap Kekuatan Tensile Tendon Achilles ..
62
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ............................................................
64
7.1 Simpulan .............................................................................................
64
7.2 Saran ...................................................................................................
64
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
65
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman 2.1. Anatomi Tendon (Hierarchical organization of Collagen within the tendon) ................................................................................................
12
2.2. Pola vaskularisasi tendon dan susunan pembuluh darah di epitenon dengan cross-anastomosis .........................................................................
14
2.3. Kurva Stress –Strain Tendon terhadap Cedera Tendon (Tendon Healing Mechanobiology) ......................................................................................
16
2.4. Pengukuran Stress –Strain Curve Respon Tendon terhadap Tes Mekanik (Tendon Material Properties) ...................................................................
18
2.5 Anatomi Tendon Achilles serta komponen fibrilnya ...............................
21
2.6 Skema mekanis pengukuran kekuatan tensile tendon Achilles kelinci ......
22
2.7 Skema fotografi Oscilloscope kekuatan tensile tendon Achilles kelinci ..
23
2.8 Sumber Astaxanthin dan persentase berat keringnya.................................
30
2.9 Gambar struktur rantai Astaxanthin ...........................................................
31
2.10 Gambar struktural dan biokimia Astaxanthin ..........................................
31
2.11 Mekanisme kerja Astxanthin pada inflamasi ...........................................
34
2.12 Gambar kaskade Astaxanthin pada Radikal Bebas terhadap apoptosis sel ..............................................................................................
35
3.1 Skema kerangka berpikir............................................................................
38
3.2 Skema konsep penelitian ............................................................................
39
4.1 Rancangan penelitian .................................................................................
40
4.2 Alur penelitian ...........................................................................................
49
xv
DAFTAR TABEL
Halaman 5.1
Distribusi frekuensi subjek penelitian masing-masing kelompok ..........
55
5.2
Rerata Kekuatan Tarik pada masing-masing kelompok .........................
56
5.3
Uji normalitas data variabel-variabel penelitian dengan Shapiro-Wilk .
57
5.4
Uji Homogenitas varian data variabel-variabel penelitian dengan Levene’s Test ..........................................................................................
5.5
58
Hasil uji komparabilitas data post-test variabel penelitian untuk kelompok perlakuan dan kontrol .............................................................................
xvi
58
DAFTAR SINGKATAN
ADAMs : A Disintegrin And Metalloproteases bFGF : Basic Fibroblast Growth Factor cAMP : Cyclic Adenosine Monophospate cGMP : Cyclic Guanosine Monophosphate DNA : Deoxyribonucleic Acid ECM : Extracellular Matrix GAG : Glycosaminoglycans GPx : Gluthation Peroxidase H2O2 : Hydrogen Peroxide IGF : Insuline-like Growth Factor IL : Interleukin MMP : Matrix Metalloproteinase MPa : Megapascal mRNA : Messenger Ribonucleic Acid NO : Nitric Oxide OTJ : Attachment Zone Of Tendon
xvii
PDGF : Platelet Derived Growth Factor PGA : Matriks Proteoglycan PGE2 : Prostaglandin E-2 ROS : Reactive Oxygen Species SOD : Superoxide Dysmutase TGF : Transforming Growth Factor VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 Keterangan Kelaikan Etik .............................................................
70
Lampiran 2 Data Hasil Penelitian ....................................................................
73
Lampiran 3 Analisis Data Dengan SPSS Statistic Version 22 for PC…...........
78
Lampiran 4 Foto Proses Penelitian ..................................................................
86
Lampiran 5 Foto Gambaran Histopatologis Kolagen Tipe I dan Tipe III........
89
xix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tendon merupakan organ yang menghubungkan otot dengan tulang dan memungkinkan transmisi kekuatan yang dihasilkan oleh otot ke tulang yang menghasilkan pergerakan sendi. Sebagian besar cedera pada tendon terjadi di daerah yang dekat dengan sendi, seperti bahu, siku, lutut, dan pergelangan kaki. Cedera pada sendi yang disertai dengan robekan sebagian atau keseluruhan dari tendon terjadi sebanyak 45% dari semua cedera muskuloskeletal tiap tahunnya (Woo, 2000; Hildebrand dkk, 2005). Cedera pada tendon cukup sering terjadi dengan persentase kejadian 30% - 50% dari semua cedera. Cedera ini terutama terjadi akibat kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas ataupun cedera akibat olah raga (Jarvinen dkk, 2005). Cedera pada tendon bervariasi dari cedera minor yang memiliki risiko relatif minimal terhadap aktivitas sehari – hari, sampai dengan robekan pada tendon yang memerlukan tindakan pembedahan. Komplikasi yang sering terjadi akibat cedera tendon ini adalah terjadinya gangguan kelenturan, kekakuan dan berkurangnya kekuatan tendon itu sendiri. Pada akhirnya fungsi tendon sebagai buffer serta sifat viskoelastiknya untuk mengurangi kerusakan otot akan menurun sehingga pergerakan dan fungsi proteksinya menjadi terbatas (Jarvien, 2005; Hildebrand dkk, 2005;Gianotti, 2015)
1
2
Tujuan utama penyembuhan tendon adalah untuk mengembalikan fungsi
mekanisnya
(gliding
function).
Tendon
memiliki
kapasitas
regeneratif spontan yang buruk setelah cedera sehingga sulit untuk mendapatkan kembali fungsi biologis dan biomekanis seperti sebelum cedera (Gianotti, 2015). Hal ini disebabkan karena adanya perlengketan dan pembentukan jaringan parut yang menghambat proses regeneratif tendon. Pada proses penyembuhan tendon, terjadi perubahan dalam tipe dan distribusi jaringan kolagen yang terbentuk. Terdapat peningkatan rasio kolagen tipe III/tipe I dimana terjadi peningkatan sintesis kolagen tipe III dibandingkan dengan tipe I. Kolagen tipe III yang terbentuk lebih banyak dan lebih tipis dibandingkan dengan tipe I serta cross-link serat kolagen yang terbentuk hanya 45% dan kebanyakan imatur (Woo, 2000; Bauge dkk, 2015). Menurut Maffulli (2005) dan Bauge et al (2014), sintesis kolagen tipe I pada tendon yang mengalami cedera grade III akan mengalami penurunan dan diganti dengan peningkatan sintesis kolagen tipe III seiring dengan ekspansi jaringan granulasi dan proses remodeling sehingga rasio kolagen tipe III/tipe I meningkat dan terjadi substitusi kolagen ke arah pembentukan jaringan parut dan fibrosis. Pembentukan jaringan parut pada tendon dapat menimbulkan adhesi dan penurunan kekuatan tensile sampai dengan 20% (Woo, 2000;Maffulli, 2005;Romani, 2010). Dalam fase penyembuhan tendon banyak molekul yang ikut berperan. Cedera yang terjadi pada tendon dapat memicu terbentuknya radikal bebas seperi hidrogen peroxida dan pelepasan mediator inflamasi
3
seperti TNF-, IL-1, IL-6 dan IL-10. Radikal bebas yang terbentuk dapat mengaktivasi enzim metalloproteinase, dan meningkatkan ekspresi PGE2 sehingga dapat mendegradasi matriks kolagen tendon yang terbentuk. Proses inflamasi ini juga dapat memicu pelepasan growth factor seperti TGF-1 yang dapat menginduksi infiltrasi dramatis tenosit dan fibroblast sehingga terjadi reorganisasi ekstensif kolagen. Proporsi kolagen tipe III yang terbentuk lebih banyak daripada tipe I akibat efek inhibisi PGE2 terhadap sintesis kolagen I dan peningkatan ekspresi mRNA kolagen tipe III (Bauge dkk, 2015). Tendon yang tersusun atas matrix terdegradasi dengan proporsi kolagen dominan tipe III ini akan lebih fibrotik dan memiliki kualitas serta komponen mekanik yang lebih rendah dibandingkan dengan yang normal sehingga kekuatan tensilenya menurun (Woo, 2000; Annemarie dkk, 2005; Maffulli, 2005;Romani, 2010; Bauge dkk, 2014). Berbagai metode telah dilakukan untuk mengembalikan fungsi tendon setelah cedera. Pilihan terapi dapat non operatif maupun operatif dengan repair atau tanpa graft yang diikuti dengan imobilisasi atau mobilisasi terkontrol. Beberapa metode tersebut secara biokimia dan biomekanik gagal kembali ke fungsi normal sehingga para peneliti memfokuskan modalitas terapi pada kualitas dan akselerasi penyembuhan tendon setelah cedera. Modalitas yang dikembangkan dapat berupa penggunaan growth factors atau substansi yang dapat mempengaruhi ekspresi growth factors, gene transfer ataupun cell therapies (Aro, 2014;
4
Bauge, 2014). Antioksidant merupakan salah satu agen suplementasi yang memiliki kemampuan anti-inflamasi kuat yang berguna untuk membantu proses penyembuhan cedera pada tendon. Penggunaan kolagen kuat seperti astaxanthin pada cedera tendon dapat membantu mengurangi stress oksidatif akibat terbentuknya ROS oleh mithokondria yang dapat membantu proses penyembuhan pada cedera. Stress oksidatif dapat mengganggu proses penyembuhan. Sel fibroblast tendon akan membentuk komponen kolagen matriks ekstraseluler yang tidak terorganisir berupa peningkatan proliferasi dari kolagen tipe III serta cross-link serat kolagen matur yang rendah sehingga tendon yang terbentuk akan lebih fibrotik, stiff, memiliki modulus yang lebih rendah serta distribusi load bearing yang tidak merata (Chamberlain dkk, 2009; Mizuta dkk, 2014). Hal ini menyebabkan penurunan komponen mekanik tendon sampai 56,7% dari normal sehingga sangat rentan terhadap ruptur kembali (Maffulli, 2005;Chamberlain dkk, 2009). Dengan pemberian kolagen seperti astaxanthin selama masa penyembuhan, selain dapat mencegah atau menetralisir ROS yang terbentuk, ia juga akan membantu meregulasi ekspresi gen yang berhubungan dengan oksidasi, sitokin, kolagen, dan growth factors (Naito dkk, 2008). Pada robekan komplit tendon, terjadi suatu rangkaian proses pembentukan neotendon yang memiliki karakteristik lebih fibrotik dibandingkan jaringan normal. Antioksidant seperti astaxanthin memiliki efek penekanan terhadap ekspresi MMP, PGE2 serta growth factor seperti
5
TGF-β sehingga proses fibrosis dalam penyembuhan cedera tendon bisa ditekan (Naito dkk, 2008; Yilgor dkk, 2012; Mizuta dkk, 2014; Bauger dkk, 2014). Namun penelitian terhadap pengaruh kolagen astaxanthin terhadap penyembuhan tendon secara kualitatif masih sangat kurang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh astaxanthin terhadap rasio serat kolagen tipe III/tipe I dan kekuatan tensile pada kesembuhan tendon yang pada penelitian ini digunakan tendon Achilles kelinci.
1.2 Rumusan masalah Untuk membuktikan astaxanthin berperan dalam penyembuhan tendon maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah rasio serat kolagen tipe III/tipe I pada kesembuhan tendon
Achilles kelinci yang mengalami cedera yang diberikan Astaxanthin lebih rendah daripada yang tidak diberikan Astaxanthin? 2. Apakah kekuatan tensile pada kesembuhan tendon Achilles kelinci yang mengalami cedera yang diberikan Astaxanthin lebih tinggi daripada yang tidak diberikan Astaxanthin? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh Astaxanthin terhadap penyembuhan cedera tendon Achilles kelinci.
6
1.3.2 Tujuan Khusus 1. Membuktikan rasio serat kolagen tipe III/tipe I pada kesembuhan
cedera tendon Achilles kelinci yang diberikan Astaxanthin lebih rendah daripada yang tidak diberikan Astaxanthin. 2. Membuktikan kekuatan tensile pada kesembuhan cedera tendon Achilles kelinci yang diberikan Astaxanthin lebih tinggi daripada yang tidak diberikan Astaxanthin. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat ilmiah: sebagai dasar pertimbangan untuk pengembangan penelitian lebih lanjut tentang aspek biomolekular pada cedera tendon dan terapi yang diberikan untuk meningkatkan fungsi optimal tendon setelah penyembuhan. 2. Manfaat klinis: sebagai acuan oleh para klinisi khususnya dokter orthoped dalam memilih terapi terhadap kesembuhan tendon setelah cedera secara kualitatif. 3. Manfaat sosial: memberi pengetahuan kepada masyarakat umum bahwa pemberian astaxanthin membantu penyembuhan tendon secara kualitatif.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tendon 2.1.1 Tendon Manusia 2.1.1.1 Anatomi Tendon yang sehat berwarna putih dan memiliki tekstur fibroelastik. Bentuknya pun bisa bervariasi dari bentuk tali bulat, sabuk straps, sampai bentuk pita pipih. Dalam jaringan matriks ekstraselular, element tendon mengandung 90 – 95% tenoblast dan tenosit. Tenoblast adalah sel – sel tendon yang imatur yang berbentuk spindel, memiliki organel sitoplasmik yang banyak yang mencerminkan aktivitas metabolik yang tinggi. Ketika tenoblast ini matur, ia akan elongasi dan membentuk tenosit yang memiliki rasio nukleus ke sitoplasma yang lebih rendah dibandingkan tenoblast dengan aktivitas metabolik yang lebih rendah pula. Sedangkan sisa 5 – 10 % elemen seluler tendon terdiri dari kondrosit pada bagian perlekatan dengan tulang dan bagian insersi, sel sinovial pada pembungkus tendon, dan sel – sel vaskular termasuk sel endotel kapiler dan otot polos arteriol (Sharma P; Mafulli N, 2005; Maffulli dkk, 2005). Tendon berbeda dengan jaringan konektif lainnya di mana lebih banyak mengandung kolagen tipe I. Tendon memiliki 9% sampai 12% kolagen tipe III yang lebih selular daripada tipe I. Kolagen tipe III ditemukan pada fibrokartilago di attachment zone of tendon (OTJ) dan juga
7
8
berada pada tendon yang membungkus tonjolan tulang (Maffulli, 2005). Konsumsi oksigen tendon 7,5 kali lebih rendah dibandingkan otot rangka. Tingkat metabolisme yang rendah dan kapasitas pembentukan energi secara anaerob yang cukup baik sangat penting untuk membawa beban dan mempertahankan tekanan dalam waktu yang lama, mengurangi risiko iskemia dan nekrosis. Tapi, akibat tingkat metabolisme yang rendah maka penyembuhannya pun menjadi lambat setelah mengalami cedera. Sekitar 70% tendon terdiri dari air dan 30% terdiri dari massa tendon itu sendiri yang terdiri dari kolagen tipe I sebanyak 65 – 80% dan elastin sebanyak 2%. Serat – serat kolagen ini tersusun bertingkat kompleksitasnya secara hierarki mulai dari tropokolagen yang menyatu membentuk fibril, fiber (primary bundles), fasikula (secondary bundles), tertiary bundles, dan tendon itu sendiri. Epitenon merupakan jaringan ikat pembungkus halus yang mengandung pembuluh darah, limfatik, dan suplai saraf ke tendon serta membungkus seluruh tendon
dan masuk ke dalamnya antara tertiary
bundles sebagai endotendon. Endotendon merupakan jaringan ikat dengan sistem retikular tipis di setiap fiber. Epitenon di superfisial diselimuti oleh paratenon yang merupakan jaringan ikat longgar areolar yang mengandung fibril kolagen tipe I dan III, beberapa fibril elastik dan deretan sel – sel sinovial (Sharma P, 2005; Mafulli N, 2005;James et al, 2008). Pembungkus tendon sinovial ditemukan di area yang memiliki stress mekanik yang tinggi seperti di tangan dan kaki dimana diperlukan lubrikasi yang efisien. Pembungkus sinovial ini terdiri dari pembungkus fibrus di bagian luar yang
9
berfungsi sebagai fulcrums untuk membantu fungsi tendon dan pembungkus sinovial di bagian dalam yang terdiri dari lembaran – lembaran visceral dan parietal yang berfungsi sebagai membran ultrafiltrasi untuk membentuk cairan sinovial (Sharma P, 2005; Mafulli N, 2005).
Pembentukan Kolagen Kolagen merupakan salah satu struktur protein penting pada vertebrata. Unit struktural dari kolagen adalah tropokolagen, protein yang tipis dan panjang (280 nm) dan dengan lebar 1.5 nm yang utamanya mengandung kolagen tipe I. Tropokolagen dibentuk dalam sel fibroblast sebagai prokolagen, yang kemudian disekresikan dan dipecah di ekstraselular menjadi kolagen. Karakteristik kolagen adalah terdapat sedikitnya satu triple-helical domain yang terdiri dari rantai polypeptida dengan sekuen Gly-X-Y (Bode, Michaela, 2000). Kolagen terdiri dari tiga rantai polipeptida yang sama atau identik yaitu rantai alpha dengan 33% glisin di setiap posisi ketiga, 15% hidroxiprolin dan 15% residu lisin pada posisi X dan Y. Glisin meningkatkan stabilitas dengan membentuk ikatan hidrogen di antara 3 rantai. Kolagen juga mengandung 2 asam amino hidroksiprolin dan hidroksilisin yang jarang ditemukan pada protein lainnya (Bode & Michaela, 2000). Biosintesis
kolagen dimulai dengan proses
transkripsi
gen
prokolagen dan pembentukannya di dalam sel mRNA untuk setiap
10
polipeptida rantai alpha. Polipeptida rantai alpha dipasang pada poliribosom yang terikat pada membran retikulum endoplasmik yang kasar. Kemudian polipeptida tersebut disuntikan ke dalam sisterna sebagai molekul preprokolagen. Sinyal peptida pada rantai akhir aminoterminal dipotong oleh signal peptidase setelah translokasi melewati retikulum endoplasmik kasar dan membentuk prokolagen. Kemudian prokolagen akan keluar menuju matriks ekstraseluler dan propeptida kolagen fibrilar akan membelah dan kolagen akan dibentuk menjadi fibril dan terjadi cross-link antara hidroksiprolin dan lisin residual. Sekitar setengah dari prolin dan beberapa lisin terhidroksilasi, tepat sebelum rantai memuntir menjadi triple helix untuk membentuk prokolagen. Enzim yang memediasi memerlukan besi dan vitamin c sebagai kofaktor (O’Brien, 2008).
Crosslinks Cross-linking kolagen sangat penting untuk kekuatan tensile dan
kekuatan mekanik
jaringan karena dapat meningkatkan resistensi serat
kolagen terhadap proteolisis (Bode & Michaela, 2000;Trevor dkk, 2000;Annemarie dkk 2005;Yilgor, 2012). Molekul kolagen yang baru saja disintesis distabilisasi oleh crosslink, tetapi jumlahnya menurun saat maturasi. Crosslink yang nonreducible ditemukan dalam kolagen matang, yang mana lebih kaku, kuat dan matang. Reduksi dari crosslink menghasilkan fiber kolagen yang sangat lemah dan rapuh (Maffulli dkk., 2005).
11
Terdapat dua jalur enzimatik cross-linking dari kolagen fibrilar yaitu jalur alisin aldehid dimana residu lisin dalam telopeptida kolagen diubah menjadi lisin aldehid, dan hidroksilisin dimana residu hidroksilisin dalam telopeptida kolagen diubah menjadi hidroxilisin aldehid. Rute alisin terjadi saat Cross-linking ini terbentuk melalui oksidasi deaminasi dari group ethaamino lisin yang bereaksi dengan aldehid pada satu titik spesifik dalam triple helix untuk membentuk di-,tri- atau tetrafungsional cross-link. Pada tulang dan tendon, kolagen sebagian besar mengalami cross-linking melalui jalur hidroksialisin, sedangkan jalur lisin kebanyakan terjadi pada kulit, kornea dan sklera (Bode, 2000; Annemarie, 2005).
Crimp Fibril kolagen dalam posisi istirahat, tanpa tegangan, adalah tidak
lurus tapi bergelombang atau berkerut. Kerutan menandakan bentukan sinusoid regular dalam matriks. Kerutan merupakan tanda dari tendon. Periodositas serta amplitudo kerutan merupakan struktur spesifik yang dievaluasi paling baik di bawah sinar terang. Kerutan memberikan buffer yang merupakan perpanjangan longitudinal tipis yang dapat muncul tanpa kerusakan fibrous, sehingga bekerja sebagai penahan guncangan di sepanjang jaringan (Maffulli dkk., 2005).
12
Gambar 2.1 Anatomi Tendon (Hierarchical organization of Collagen within the tendon, Thorpe (2013))
Elastin Elastin merupakan protein matriks ekstraseluler yang merupakan substansi penting dalam elastisitas tendon. Protein ini tidak mengandung banyak hidroksiprolin atau lisin, tetapi kaya akan glisin dan prolin. Elastin memiliki banyak valine dan mengandung desmosin dan isodesmosin, yang membentuk crosslink antara polipeptida tetapi tidak hidroksilisin. Elastin tidak membentuk heliks dan sifatnya hidrofobia. Panjang elasin biasanya kurang dari 1 mm, tidak memiliki periodisitas dan memerlukan pewarnaan spesial. Sangat kecil elastin ditemukan pada penyembuhan luka (Mithieux, Weiss, 2005).
13
Sel Tenosit dan tenoblas terdapat di antara serat – serat kolagen sepanjang axis panjang tendon. Tenosit pipih dan runcing, berbentuk spindle longitudinal. Tenosit tersusun dengan baik pada deretan di antara fibril kolagen. Tenosit dan tenoblast membentuk jaringan tiga dimensi memanjang melewati matriks ekstraselular. Tenoblast berbentuk spindel atau sel bintang dengan nukleus yang panjang, meruncing dan pipih. Tenoblast merupakan sel tendon imatur berbentuk spindel yang mengandung banyak organel sehingga mencerminkan aktivitas metabolik yang tinggi. Tenosit dan Tenoblast membentuk 90 sampai 95% elemen seluler tendon, sedangkan elemen lainnya mengandung kondrosit, sel sinovial dan sel endotel (Bauge dkk, 2015).
2.1.1.2 Vaskularisasi Tendon menerima suplai darah dari 3 sumber yaitu sistem intrinsik pada myotendinous junction, osteotendinous junction dan sistem ekstrinsik melalui paratenon atau pembungkus sinovial (Sharma P, 2005; Mafulli N, 2005; James et al, 2008;). Rasio suplai darah dari sitem intrinsik dan ekstrinsik bervariasi dari tendon ke tendon. Pada tendon yang berselimut, cabang dari pembuluh darah utama melewati vincula (mesotenon) untuk mencapai
lembar
visceral
pembungkus
sinovial
dimana
mereka
membentuk plexus yang mensuplai bagian supervisial dari tendon. Sementara beberapa pembuluh darah dari vincula menembus epitenon dan
14
mengalir dalam septa endotenon dan membentuk hubungan antara jaringan vaskuler peritendinous dan intratendinous. Pada tendon yang tak berselimut, paratenon menyediakan komponen vaskulatur ekstrinsik. Pembuluh darah yang masuk mengalir secara transversal dan bercabang berkali – kali membentuk jaringan vaskuler kompleks. Cabang arterial dari paratenon menembus epitenon untuk mengalir ke dalam septa endotenon dimana jaringan vaskuler intratendinous membentuk anastomosis. Pada zona persimpangan, bagian lipatan, gesekan atau tekanan, vaskularisasi tendon berkurang (Sharma P, 2005; Mafulli N, 2005).
Gambar 2.2 Pola vaskularisasi tendon dan susunan pembuluh darah di epitenon dengan cross-anastomosis (Fenwick et al, 2002)
2.1.1.3 Persarafan Inervasi tendon berasal dari kulit, otot, dan badan saraf peritendinous. Pada myotendinous junction, serat saraf menyeberangi dan masuk ke septa endotenon. Serat saraf membentuk pleksus di dalam
15
paratenon dan cabang – cabangnya menembus epitenon. Sebagian besar serat saraf tidak masuk ke badan utama tendon, tetapi berakhir sebagai ujung saraf pada permukaannya. Ujung saraf (nerve endings) dari serat saraf yang berselubung myelin berfungsi sebagai mekanoreseptor spesial untuk mendeteksi perubahan – perubahan dalam tekanan. Mekanoreseptor ini merupakan organ tendon Golgi yang paling banyak ada pada daerah insersi tendon ke otot. Sedangkan pada ujung serat saraf tanpa myelin berfungsi sebagai nosiseptor yang merasakan dan mentransmisi rasa sakit. Kedua saraf simpatik dan parasimpatik ada pada tendon (Sharma P, 2005; Mafulli N, 2005). Terdapat 4 tipe reseptor. Resptor tipe I disebut Ruffini corpuscles, merupakan reseptor tekanan yang sangat sensitif pada regangan dan beradaptasi dengan sangat lambat. Ruffini corpuscle berbentuk oval dan berdiameter 200 m sampai 400 m. Reseptor tipe II, Vater-Pacini corpuscles diaktivasi oleh gerakan. Reseptor tipe III, Golgi tendon organ merupakan mekanoreseptor. Reseptor tersebut tersusun dari ujung saraf tidak bermyelin yang diselubungi oleh jaringan endoneural. Reseptor tersebut tersusun dengan fiber ekstrafusal dan terjadi peningkatan dalam tegangan otot daripada panjang. Golgi tendon organ berdiameter 100 m dan panjang 500 m. Fiber tendon ini kurang padat dibandingkan dengan tendon lainnya. Jaringan endoneural menyelubungi fiber saraf tidak bermyelin. Korpuskel merespon stimulus yang dialirkan oleh jaringan sekitar seperti contoh tekanan, yang dihasilkan oleh kontraksi otot. Jumlah
16
tekanan tergantung dari kekuatan kontraksi. Tekanan tersebut juga dapat memberikan aliran balik yang disesuaikan. Reseptor tipe IV merupakan ujung saraf bebas yang bertindak sebagai reseptor nyeri (Mafulli N, 2005). 2.1.1.4 Kekuatan Tendon Tendon dapat mentransmisikan kekuatan antara otot dengan tulang serta memiliki sifat elastik deformasi. Komponen material tendon memiliki kemampuan menyimpan energi potensial, mencegah kerusakan akibat cedera, dan membantu kekuatan regangan otot (Maffulli, 2005; Matson dkk, 2014). Pada saat berjalan dan berlari, sifat peregangan tendon membantu meningkatkan ekonomi lokomotor melalui penekanan kerja otot dan membantu otot bekerja pada panjang dan kecepatan optimal untuk memproduksi kekuatan gerak (Matson dkk, 2014).
Gambar 2.3 Kurva Stress –Strain Tendon terhadap Cedera Tendon (Tendon Healing Mechanobiology, Funk L., 2007)
17
Komponen mekanik tendon dapat berupa komponen deformasi, stiffness, strain dan modulus of elasticity. Deformasi merupakan perubahan terhadap bentuk jaringan ketika diberikan kekuatan. Deformasi ini dapat berupa elastik deformasi yang reversibel dan plastik deformasi yang ireveribel. Sedangkan viskoelastik deformasi adalah kombinasi antara elastik deformasi dengan sifat viscous jaringan. Stiffness merupakan resistensi jaringan terhadap elastik deformasi, sedangkan strain adalah deformasi jaringan akibat kekuatan eksternal yang menyebabkan elongasi tendon. Modulus of elasticity (Young’Modulus) adalah nilai mekanik yang menggambarkan hubungan antara stress dan deformasi pada material elastik. Kolagen merupakan komponen yang bertanggung jawab untuk fungsi mekanik ini, dimana memiliki struktur serat paralel yang kuat atau crosslinks ideal untuk bantalan ketegangan. Sifat mekanis tendon diungkapkan oleh analisis dari kurva tegangan-regangan di bawah ini (Matson dkk, 2000) :
18
Gambar 2.4 Pengukuran Stress –Strain Curve Respon Tendon terhadap Tes Mekanik (Tendon Material Properties (2005)) Kurva ini kurva ini menunjukkan pengukuran strain pada tendon dengan kontrol isovelocity lengthening 1 mm s-1. Modulus elastik kontinyu kemudian diukur sebagai turunan stress over strain. Modulus elastik maksimum dilihat dari puncak kurva modulus elastik kontinyu. Luas total di bawah tegangan-regangan kurva adalah total energi yang diserap dalam test. Modulus Young dari tendon manusia adalah 2000 Mpa, dengan kekuatan ultimate mulai 50-150 MPa (Matson dkk., 2014). Analisis linier sederhana mekanika tendon menyebutkan pentingnya viscoelasticity. Dua utama parameter viscoelasticity adalah creep dan stres
19
relaksasi. Creep adalah perpanjangan tergantung waktu jaringan di bawah beban konstan ditandai oleh perpanjangan besar awal diikuti oleh perpanjangan secara bertahap lebih kecil. Stres relaksasi adalah penurunan seiring beban diperlihatkan sebagai jaringan dengan perpanjangan tetap. (Matson dkk, 2014). 2.1.1.5 Fisiologi dan Biomekanika Tendon Tendon mentransmisi kekuatan dari otot ke tulang dan berlaku sebagai buffer dengan cara menyerap kekuatan dari luar untuk mengurangi kerusakan otot. Tendon memiliki kekuatan mekanik yang tinggi, fleksibilitas yang tinggi serta tingkat elastisitas yang optimal untuk melakukan peran uniknya. Tendon merupakan jaringan viskoelastik yang menunjukkan kemampuan relaksasi stress. Perilaku mekanik kolagen tergantung pada jumlah dan tipe ikatan intramolekul dan intermolekul. Pada saat istirahat, serat – serat kolagen dan fibril menunjukkan pengkerutan. Pada tegangan di atas 2%, serat ini menunjukkan pemipihan dan apabila point ini terlampaui maka serat ini akan berubah secara linier sebagai akibat pergeseran intramolekul triple heliks kolagen. Apabila tegangan tetap <4%, tendon akan menjadi elastik dan akan kembali ke panjang semula saat tegangan hilang. Tegangan antara 8 – 10% terjadi elongasi fibril kolagen dan akan ruptur bila tegangan terus bertambah (Sharma P, 2005; Mafulli N, 2005; James et al, 2008). Kekuatan tensile tendon berhubungan dengan ketebalan dan komponen kolagennya. Sebuah tendon dengan area 1 cm2 dapat menahan beban 500 – 1000 kg. Saat aktivitas seperti melompat dan
20
angkat berat, tendon mendapat beban yang sangat tinggi. Tendon akan berada pada risiko ruptur yang tinggi apabila tegangan berlangsung cepat, oblik, serta dengan kontraksi otot yang kekuatannya sangat tinggi. 2.1.2 Tendon Achilles Manusia Tendon Achilles merupakan struktur tendon terbesar dan terkuat dalam
tubuh.
Secara
anatomis
merupakan
konfluensi
distal
otot
gastrocnemius dan soleus serta plantaris longus. Saat aktivitas, tendon Achilles dan menahan beban sampai dengan 3500 N sehingga walaupun kuat tetapi rentan terhadap cedera (Freedman et al, 2014). Tendon Achilles terdiri dari 90% kolagen tipe I yang dapat membentuk struktur fibril, fiber dan fasiculus yang disatukan dalam molekul matriks proteoglycan (PGA). Disamping itu juga mengandung elastin sebanyak 2% dari massa kering tendon. Saat cedera, komponen tendon akan mengalami perubahan sel dan matriks ekstraselulernya. Pada daerah cedera akan terjadi inflamasi kemudian diikuti dengan penurunan jumlah kolagen. Sel tenosit kemudian akan menurun jumlahnya serta ekspresi scleraxis (marker tenosit) yang berkurang akibat adanya apoptosis. Proses ini kemudian dapat berlanjut dengan meningkatnya ekspresi MMPs, decorin dan ADAMs yang mengindikasikan mulainya proses remodeling. Namun, akibat cedera komplit tendon Achilles komponen kolagen dan kekuatan tensile tendon akan menurun sehingga secara biologis menurunkan kualitas tendon
21
dibandingkan dengan sebelum cedera (Maffulli, 2005; Freedman dkk, 2014).
Gambar 2.5 Anatomi Tendon Achilles serta komponen fibrilnya (Friedmann et al, 2013)
2.1.3 Tendon Kelinci Dengan bertambahnya umur, jaringan tendon kelinci mengalami beberapa tahap perubahan morfologis dan biokimia termasuk baik sel dan matriks ekstraselular. Ekstraselular matriks meningkat dalam volume menyebabkan penurunan relatif dari jumlah sel perunit dari permukaan jaringan (Chen dkk., 2002). Semakin bertambahnya umur, fiber kolagen meningkat dalam diameter dan lebih bervariasi dalam ketebalan. Perubahan morfologis ini berhubungan dengan perubahan biokimia yang mana termasuk peningkatan kolagen, penurunan dari mukopolisakarida dan penurunan isi air. Selama penuaan, perubahan yang seiring muncul pada fiber elastis, yang mana
22
menurun dalam jumlah dan terlihat perubahan struktural (Hatano dkk., 2000). 2.1.3.1 Kekuatam Tensile Tendon Achilles Kelinci Tendon achilles kelinci terdiri jaringan ikat padat yang tersusun paralel yang memiliki komponen mekanik tensile yang kuat. Kekuatan tensile tendon achilles kelinci telah lama diinvestigasi oleh para peneliti. Menurut Viidik (2009), kekuatan tensile normal tendon Achilles kelinci adalah sebesar 50 – 100 N/mm2. Komponen mekanik tendon ini diukur dengan mengisolasi tendon tersebut yang kemudian ditarik menggunakan alat khusus dan diukur kekuatannya dengan oscilloscope. Tendon achilles perlu diisolasi dari sistemnya yaitu calcaneus-achilles tendon-otot gastrocnemius-femur.
Gambar 2.6. Skema mekanis pengukuran kekuatan tensile tendon Achilles kelinci (Viidik, 2009)
Hal ini dilakukan karena achilles tendon pada kelinci berinsersio ke bagian kecil dari dorsoplantar calcaneus, dan bentuk dari calcaneus pada
23
kelinci lebih panjang dan sempit serta memiliki lapisan korteks tulang yang tipis dibandingkan dengan manusia. Hal ini menyebabkan tendon achilles memiliki titik paling lemah pada insersinya di calcaneus (sampai 5 cm proximal calcaneus) (Viidik, 2009). Hasil pemeriksaan dengan oscilloscope memberikan gambaran kurve seperti pada gambar berikut:
Gambar 2.7 Skema fotografi Oscilloscope kekuatan tensile tendon Achilles kelinci (Viidik, 2009)
Gambar di atas menunjukkan adanya elongasi kurve mulai dari pembebanan 50 N dan area yang diarsir pada gambar tersebut menunjukkan failure energy dari tendon yang diukur sebagai area antara elongasi kurva dengan axis deformasi dari titik pembebanan awal sampai pembebanan maksimal.
2.2 Cedera Tendon
24
Cedera tendon dapat terjadi akut atau kronis akibat faktor intrinsic atau ekstrinsik. Pada trauma akut, faktor ekstrinsik yang lebih dominan sedangkan pada trauma kronis faktor instrinsik memiliki peranan penting (Sharma P; Mafulli N, 2005). Cedera pada tendon dapat terjadi tiba-tiba akibat trauma seperti kecelakaan kerja, kecelakaan lalu-lintas ataupun saat berolahraga. Gejala yang dapat timbul akibat cedera pada tendon antara lain nyeri, kekakuan, dan kehilangan kekuatan di daerah yang terkena (Watson, 2012). Sebagian besar cedera tendon adalah akibat proses yang bertahap akibat aktivitas yang berlebih atau akibat dari proses penuaan. Pada rupture tendon Achilles, lebih dari 90% diakibatkan oleh mekanisme akselerasi/deselerasi yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas tendon dan kekuatan tensilenya.
2.3 Mekanisme Penyembuhan Tendon Penyembuhan tendon dapat terjadi secara intrinsik melalui proliferasi tenosit epitenon dan endotenon atau secara ekstrinsik melalui invasi sel dari pembungkus (sheath) dan sinovium di sekitarnya (Sharma P., 2005). Tenoblast epitenon menginisiasi proses repair melalui proliferasi dan migrasi. Fibroblast dalam epitenon dan tenosit kemudian mensintesis kolagen yang kemudian diikuti oleh
sintesis melalui endotenon. Sel
fibroblast dan tenosit dalam epi dan endotenon memproduksi kolagen dan glikosaminoglikan lebih banyak dibandingkan tendon sheath, tetapi sel dalam tendon sheath berploriferasi lebih cepat dibandingkan sel dalam
25
epitenon dan endotenon. Proses penyembuhan intrinsik menghasilkan biomekanik lebih baik karena mekanisme gliding yang masih baik, serta komplikasi lebih sedikit. Sedangkan pada penyembuhan secara ekstrinsik dapat memicu pembentukan jaringan parut lebih banyak dan adhesi yang dapat mengganggu mekanisme gliding. Tiga tahap penyembuhan tendon antara lain inflamasi, proliferasi dan remodelling di mana setiap fase dapat terjadi overlap antara satu dengan yang lainnya. Pada tahap inflamasi, banyak hormon maupun molekul yang ikut berperan. Fase ini dapat berlangsung sampai 72 jam setelah cedera. Cedera yang terjadi pada tendon dapat memicu pelepasan mediator inflamasi seperti TNF-alpha, IL-1ß, IL-6 dan IL-10 serta terbentuknya radikal bebas seperi hidrogen peroxide yang ditandai dengan munculnya keluhan nyeri, pembengkakan, kemerahan dan peningkatan suhu lokal cedera. Sel inflamasi seperti neutrofil dibawa menuju lokasi cedera bersama dengan eritrosit untuk membentuk bekuan darah di tempat cedera. Akumulasi eksudat, oedema dan anoxia yang terjadi akan memicu hipoksia jaringan dan pelepasan radikal bebas seperti hydrogen peroksida sehingga terjadi kerusakan dan kematian sel. Monosit dan macrophage kemudian akan muncul dalam 24 jam pertama, mengubah bekuan darah menjadi jaringan granulasi dan memfagosit materi nekrotik pada lokasi cedera (Frank, 2000; Woo dkk, 2000; Sharma P., 2005; Maffulli, 2005). Setelah fase inflamasi berupa pelepasan faktor vasoaktif dan kemotaktik, fase proliferasi dimulai dan berlangsung 48 jam sampai lebih
26
dari 6 minggu. Pada fase ini terjadi angiogenesis dan proliferasi dari tenocyte dan fibroblast. Sel tenocyte dan fibroblast ini bergerak menuju lokasi dan mulai mengekskresikan matriks ekstraseluler dan mensintesis kolagen III berupa serat kolagen imatur yang terususun paralel dan kontinyu yang mengganti jaringan granulasi. Pada ruptur tendon, terjadi infiltrasi dramatis fibroblast dan tenocyte sehingga terjadi reorganisasi ekstensif kolagen yang terbentuk. Enzim metalloproteinase akan teraktivasi, dan ekspresi PGE2 meningkat sehingga dapat mendegradasi matriks kolagen yang terbentuk. Hal ini menyebabkan komponen biomekanik yang diperlukan untuk kekuatan tendon akan menurun dan risiko terjadinya cedera kembali juga meningkat (Woo dkk, 2000; Sharma P., 2005;Maffulli, 2005;Bauge dkk, 2014). Degradasi kolagen ditandai dengan proporsi kolagen tipe III yang terbentuk lebih banyak daripada tipe I akibat efek inhibisi PGE2 terhadap sintesis kolagen I dan peningkatan ekspresi mRNA kolagen tipe III (Bauge dkk, 2015). Matrix ekstraseluler dari tendon yang menyembuh ini mengalami beberapa perubahan pada glicosaminoglikan, elastin, dekorin, fibromodulin dan glikoprotein lainnya. Terjadi perubahan distribusi tipe serat kolagen yaitu jumlah kolagen tipe III yang lebih banyak dibandingkan dengan tendon normal dengan rasio Tipe III/Tipe I yang tinggi (Woo, 2000;Pingel dkk., 2014). Dibandingkan dengan tendon normal, scar-like tendon ini memiliki susunan kolagen yang tidak terorganisir, fibrotik, terdapat defek, kolagen fibrilnya kecil (rasio fibril kolagen diameter kecil/diameter besar meningkat), kebanyakan cross-linknya imatur, rasio
27
protein kolagen III/I yang tinggi, buckling fasikulus kolagen dalam ECM, kadar proteoglikan yang banyak, metabolisme sel yang tinggi serta peningkatan densitas sel dan vaskularisasi (Frank, 2000;Pingel dkk., 2014). Tendon yang terbentuk akan lebih fibrotik, stiff, memiliki modulus yang lebih rendah serta distribusi load bearing yang tidak merata (Sharma P., 2005;Chamberlain dkk., 2009;Mizuta dkk, 2014). Hal ini menyebabkan penurunan kekuatan komponen mekanik tendon sampai 56,7% dari normal dalam 1 tahun sehingga sangat rentan terhadap ruptur kembali (Sharma P; Maffulli N; 2005). Setelah 6 minggu, fase remodeling dimulai. Bagian pertama dari remodeling adalah konsolidasi, yang berjalan selama 6 sampai 10 minggu setelah injuri. Selama waktu ini, sintesis dari kolagen dan GAG menurun, dan selularitas juga menurun seiring dengan jaringan menjadi lebih fibrous akibat dari meningkatnya produksi kolagen I dan fibril menjadi tersusun sesuai arah stress mekanik. Fase maturasi akhir muncul setelah 10 minggu dan selama masa ini terdapat peningkatan daripada crosslinking fibril kolagen yang menyebabkan jaringan menjadi lebih keras. Secara bertahap, selama waktu 1 tahun, jaringan akan berubah menjadi scar-like (Woo dkk., 2000;Sharma P., 2005; Maffulli, 2005). Namun, penelitian jangka panjang pada hewan menunjukkan bahwa histologi dan morfologi tendon yang menyembuh setelah cedera komplit tendon dibandingkan dengan normal sangat berbeda. Komponen fibrilnya lebih banyak, cross-link yang kebanyakan masih imatur dan memiliki komponen hydroxylallisine yang
28
tinggi, massa dan diameternya lebih kecil serta pola crimping yang tetap abnormal setelah 2 tahun (Woo, 2000; Maffulli, 2005). Hal ini menyebabkan komponen biomekanik tendon tetap inferior setelah cedera grade III. Matrix metalloproteinase atau MMP memiliki peran penting dalam degradasi dan remodeling dari matriks eksraseluler selama proses penyembuhan cedera tendon. Beberapa MMP termasuk MMP-1, MMP-2, MMP-8, MMP-13 dan MMP-14 memiliki aktivitas kolagenase, yang artinya tidak seperti kebanyakan enzim yang lainnya, mereka mampu mendegradasi fibril kolagen I. Degradasi dari fibril kolagen oleh MMP-1 bersama dengan adanya kolagen terdenaturasi adalah faktor yang dipercaya menyebabkan kelemahan dari matriks ekstraseluler tendon dan peningkatan dari potensi munculnya robekan lainnya. Pada respon terhadap pembebanan atau cedera yang berulang, sitokin IL-1 yang dilepaskan dapat menginduksi pelepasan MMP yang dapat menurunkan ekspresi kolagen tipe I dan meningkatkan ekspresi kolagen tipe III (Bauge dkk, 2014). Hal ini dapat menyebabkan degradasi dari matriks ekstraseluler yang pada akhirnya menuju timbulnya cedera berulang (Maffulli, 2005;Chamberlain dkk., 2009) Terdapat berbagai macam molekul yang terlibat dengan regenerasi tendon. Lima faktor pertumbuhan yang terlihat secara signifikan teregulasi dan aktif selama penyembuhan tendon, antara lain insulin-like growth factor 1 (IGF-I), platelet-derived growth factor (PDGF), vascular endothelial growth factor (VEGF), basic fibroblast growth factor (bFGF), dan
29
transforming growth factor beta (TGF-β) (Leask A., Abraham D., 2004; Mizuta dkk, 2014). Faktor pertumbuhan ini memiliki peran yang berbeda selama proses penyembuhan. IGF-1 meningkatkan produksi kolagen dan proteoglikan selama fase pertama inflamasi, dan PDGF juga terlihat pada fase awal setelah cedera dan mencetuskan sintesis dari faktor pertumbuhan lainnya bersama dengan sintesis DNA dan proliferasi dari fibroblast. Tiga isoform dari TGF-β (TGF-β1, TGF-β2, TGF-β3) dikenal memiliki peran dalam penyembuhan luka dan pembentukan jaringan parut, diferensiasi jaringan tendon serta mencetuskan fibrogenesis. bFGF dan VEGF juga dikenal dapat menginduksi angiogenesis, proliferasi dan migrasi sel endothelial, pembentukan jaringan parut serta terekspresi pada lokasi cedera bersama dengan ekspresi mRNA kolagen tipe I dan III (Hildebrand dkk., 2005; Sharma P., 2005;Mizuta dkk, 2014). Pada proses penyembuhan tendon, terjadi perubahan dalam tipe dan distribusi jaringan kolagen yang terbentuk. Terdapat peningkatan rasio kolagen tipe III/tipe I dimana terjadi peningkatan sintesis kolagen tipe III dibandingkan dengan tipe I. Kolagen tipe III yang terbentuk lebih banyak dan lebih tipis dibandingkan dengan tipe I serta cross-link serat kolagen yang terbentuk hanya 45% dan kebanyakan imatur (Woo, 2000; Bauge dkk, 2015). Menurut Maffulli (2005) dan Bauge et al (2014), sintesis kolagen tipe I pada tendon yang mengalami cedera grade III akan mengalami penurunan dan diganti dengan peningkatan sintesis kolagen tipe III seiring dengan ekspansi jaringan granulasi dan proses remodeling sehingga rasio
30
kolagen tipe III/tipe I meningkat dan terjadi substitusi kolagen ke arah pembentukan jaringan parut dan fibrosis. Pembentukan jaringan parut pada tendon dapat menimbulkan adhesi dan penurunan kekuatan tensile sampai dengan 20% (Woo, 2000;Maffulli, 2005;Romani, 2010). Dalam fase penyembuhan tendon banyak molekul yang ikut berperan. Cedera yang terjadi pada tendon dapat memicu terbentuknya radikal bebas seperi hidrogen peroxida dan pelepasan mediator inflamasi seperti TNF-, IL-1, IL-6 dan IL-10. Radikal bebas yang terbentuk dapat mengaktivasi enzim metalloproteinase, dan meningkatkan ekspresi PGE2 sehingga dapat mendegradasi matriks kolagen tendon yang terbentuk. Proses inflamasi ini juga dapat memicu pelepasan growth factor seperti TGF-1 yang dapat menginduksi infiltrasi dramatis tenosit dan fibroblast sehingga terjadi reorganisasi ekstensif kolagen. Proporsi kolagen tipe III yang terbentuk lebih banyak daripada tipe I akibat efek inhibisi PGE2 terhadap sintesis kolagen I dan peningkatan ekspresi mRNA kolagen tipe III (Bauge dkk, 2015). Tendon yang tersusun atas matrix terdegradasi dengan proporsi kolagen dominan tipe III ini akan lebih fibrotik dan memiliki kualitas serta komponen mekanik yang lebih rendah dibandingkan dengan yang normal sehingga kekuatan tensilenya menurun (Woo, 2000; Annemarie dkk, 2005; Maffulli, 2005;Romani, 2010; Bauge dkk, 2014). Sel fibroblast tendon akan membentuk komponen kolagen matriks ekstraseluler yang tidak terorganisir berupa peningkatan proliferasi dari
31
kolagen tipe III serta cross-link serat kolagen matur yang rendah sehingga tendon yang terbentuk akan lebih fibrotik, stiff, memiliki modulus yang lebih rendah serta distribusi load bearing yang tidak merata (Chamberlain dkk, 2009; Mizuta dkk, 2014).
2.4 Astaxanthin Astaxanthin merupakan kolagen golongan xantophyll carotenoid yang ditemukan pada berbagai spesies mikroorganisme dan binatang dari laut. Merupakan suatu pigmen yang larut dalam lemak yang tidak memiliki aktivitas pro-vitamin A dalam tubuh manusia. Haematococcus pluvialis merupakan microalga hijau yang memiliki kadar astaxanthin paling tinggi. Astaxanthin sendiri diekstraksi dan dipergunakan sebagai suplemen mencegah dan mengurangi risiko terjadinya beberapa penyakit
2.4.1. Sumber Astaxanthin Sumber alami astaxanthin adalah alga, salmon, udang dan lainnya. Astaxanthin komersial kebanyakan berasal dari haematococcus pluvialis dan sintesis kimia. Haematococcus pluvialis merupakan salah satu sumber alami terbaik astaxanthin dengan berat kering sekitar 3.8% dibandingkan sumber alami lainnya.
32
2.4.2. Struktur dan Biokimia Astaxanthin Astaxanthin merupakan golongan xantophyll karena secara biokimia mengandung atom karbon, hidrogen dan oksigen. Astaxanthin terdiri dari dua cincin terminal yang digabung dengan rantai polyene.
Gambar 2.8 Sumber Astaxanthin dan Persentase berat keringnya
(Ambati al, 2014)
Gambar 2.9 Gambar struktur rantai Astaxanthin (Ambati al, 2014; Yamasihita, dkk 2013).
33
Astaxanthin mengandung dua ikatan grup hidroxil dan keto yang keduanya bersifat lipofilik dan hidrofilik. Warna merah yang muncul merupakan akibat dari konjugasi dari dua ikatan tersebut. Ikatan konjugasi ini berfungsi sebagai antioxidan kuat dengan jalan menyumbangkan elektron dan bereaksi dengan radikal bebas untuk kemudian dikonversi menjadi produk yang stabil dan menterminasi reaksi rantai radikal bebas (Ambati dkk, 2014; Yamasihita, dkk 2013).
Gambar 2.10 Gambar struktural dan biokimia Astaxanthin (Ambati al, 2014; Yamasihita, dkk 2013)
2.4.3 Biovailabilitas dan farmakokinetik Astaxanthin Astaxanthin bersifat larut lemak sehingga bila dikonsumsi bersama dietary oils akan meningkatkan absorpsinya. Astaxanthin dapat membantu meningkatkan respon imun dan menurunkan risiko infeksi dan penyakit vaskuler. Setelah pemberian astaxanthin, terjadi penurunan aktivitas proliferasi limfosit T dan B yang diikuti dengan penurunan level O2, H2O2 dan produksi NO, meningkatkan
34
enzim superoxide dismutase, katalase dan gluthation peroxidase (GPx) dan pelepasan kalsium di dalam sitosol (Ambati, 2014). Carotenoid ini merupakan yang terbaik dalam melindungi sel, lipid dan membran lipoprotein dari kerusakan oksidatif. Karotenoid diabsorpsi ke dalam tubuh seperti lemak dan ditransportasi melalui sistem limfatik ke dalam hati.
2.4.4. Aktivitas Biologis Astaxanthin terhadap Kesehatan 2.4.4.1. Efek Antioksidan Antioksidan merupakan molekul yang dapat menghambat proses oksidasi. Kerusakan oksidatif dapat disebabkan oleh radikal bebas dan spesies oksigen reaktif (ROS). Molekul oksidatif yang berlebihan akan bereaksi dengan protein, lipid dan DNA melalui reaksi berantai yang dapat menimbulkan oksidasi protein dan lipid dan kerusakan DNA. Molekul oksidatif tipe ini dapat dihambat oleh antioksidan endogen dan eksogen seperti golongan carotenoid ini. Carotenoid mengandung rantai polyene, ikatan ganda panjang terkonjugasi yang memiliki aktivitas kolagen dengan jalan menghilangkan singlet oksigen dan mencari radikal bebas untuk menterminasi reaksi rantainya. Astaxanthin
memiliki
aktivitas
antioxidan
lebih
tinggi
10
kali
dibandingkan dengan carotenoid lainnya seperti lutein, lycopene, alphatocopherol, alpha-caroten dan beta-caroten (Ambati dkk, 2014; Yamasihita, dkk 2013). Rantai polyene pada astaxanthin menahan radikal bebas dalam membran sel dan bagian cincin terminalnya mencari radikal pada bagian dalam dan luar dari
35
membran sel. Enzim antioxidan seperti superoxide dismutase dan thioreduxin reduktase akan meningkat dalam plasma dan aktivitas paraoxonase akan dihambat setelah suplementasi astaxanthin.
2.4.4.2. Efek anti-inflamasi dan imunomodulator Astaxanthin merupakan antioxidan poten untuk mengakhiri induksi inflamasi pada sistem biologis. Astaxanthin bekerja melawan inflamasi, meningkatkan respon imunitas, meningkatkan aktivitas cAMP, cGMP dan memberikan efek protektif terhadap stress oksidatif, inflamasi dan apoptosis serta mencegah dan mengurangi reduksi kolagen pada kulit, tendon dan tendon (Guerin, 2003; Ambati dkk, 2014; Yamasihita, dkk 2013). Penelitian oleh Chew, dkk (2003) menyebutkan bahwa astaxanthin dapat menstimulasi proliferasi limfosit, meningkatkan jumlah total antibodi yang memproduksi sel B, meningkatkan jumlah sel T, memperkuat aktivitas sitotoksik sel NK, meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat, dan juga secara dramatis menurunkan tingkat kerusakan DNA. Astaxanthin bekerja menekan mediator inflamasi seperti TNF-, Prostaglandin E-2, IL-1, dan nitric oxide.
36
Gambar 2.11 Mekanisme kerja Astaxanthin pada inflamasi
Astaxanthin dapat mencegah terbentuknya radikal bebas seperi Katalase, SOD dan hidrogen peroxida dan menghambat pelepasan mediator inflamasi seperti TNF-, IL-1, IL-6 dan IL-10 sehingga ekspresi PGE2 dapat diturunkan.
2.4.4.3 Efek terhadap Jaringan Kolagen dan Kekuatan Tensile Pada proses penyembuhan cedera tendon, proporsi sintesis kolagen tipe I akan ditingkatkan dan ekspresi sintesis kolagen tipe III akan ditekan sehingga rasio ekspresi mRNA kolagen III/I akan menurun (Bauge dkk, 2015;Mizuta dkk, 2014). Ekspresi growth factor terutama TGF- yang dapat mengaktivasi jalur fibrotik pada proses penyembuhan cedera tendon grade III juga ditekan sehingga dapat menekan proses fibrotik oleh fibroblast pada sintesis matriks kolagen. Proses apoptosis yang terjadi saat inflamasi akibat produksi ROS dan juga IL-1 akan menginisiasi kaskade yang dapat menyebabkan kerusakan kolagen sebagai komponen tendon serta hilangnya integritas biomekanik strukturalnya (Bauge
37
dkk, 2014). Astaxanthin dapat membantu menurunkan tingkat apoptosis pada sel melalui jalur mithokondria seperti yang tergambar pada gambar berikut (Song dkk, 2014).
Gambar 2.12 Gambar kaskade Astaxanthin pada Radikal Bebas terhadap apoptosis sel (Song dkk 2014)
Pada penyembuhan tendon, astaxanthin mampu membantu mempromosikan pengaturan ekspresi beberapa gen faktor pertumbuhan (growth factors gene) seperti IGF-I, TGF-beta, VEGF, bFGF, EGF dan PDGF. Gen – gen ini dapat membantu mengatur proliferasi sel dan pembentukan matriks (Yilgor dkk; 2012; Mizuta dkk, 2014). Astaxanthin membantu menekan ekspresi mRNA pada bFGF dan TGF- sehingga dapat menekan pembentukan jaringan parut ekstensif
38
melalui peningkatan biosintesis prokolagen tipe I (Mizuta dkk, 2014). Tendon dengan komposisi dominan kolagen tipe I dan cross-link dominan matur akan meningkatkan kekuatan tensile tendon (Woo, 2000; Aro dkk, 2009). Astaxanthin juga dapat membantu menghambat ekspresi dan kinerja beberapa MMP termasuk MMP-1, MMP-2, MMP-8, MMP-13 dan MMP-14 yang memiliki aktivitas kolagenase, sehingga mampu mencegah proses fibrogenesis dan mencegah terjadinya degradasi fibril kolagen I (Kishimoto dkk, 2010; Song dkk, 2014). Degradasi dari fibril kolagen oleh MMP-1 bersama dengan adanya kolagen terdenaturasi dengan jumlah cross-link imatur yang tinggi adalah faktor yang dipercaya menyebabkan kelemahan dari tendon dan peningkatan dari potensi munculnya robekan kembali setelah mengalami cedera (Woo, 2000; Maffulli, 2005;Chamberlain dkk, 2009; Akamatsu dkk, 2012;Yilgor dkk; 2012; Mizuta dkk, 2014).
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Tendon yang cedera yang kemudian dilakukan repair dan diberikan astaxanthin dalam masa penyembuhannya akan terjadi fase inflamasi, proliferasi dan remodeling. Pada fase inflamasi akan terjadi pembentukan radikal bebas seperi hidrogen peroxida dan pelepasan mediator inflamasi seperti TNF-, IL-1, IL-6 dan IL-10. Radikal bebas yang terbentuk dapat mengaktivasi enzim metalloproteinase, dan meningkatkan ekspresi PGE2 sehingga dapat mendegradasi matriks kolagen yang terbentuk. Proporsi kolagen tipe III yang terbentuk lebih banyak daripada tipe I akibat efek inhibisi PGE2 terhadap sintesis kolagen I dan peningkatan ekspresi mRNA kolagen tipe III (Maffulli, 2005; Chamberlain dkk, 2009; Bauge dkk, 2014). Pada fase proliferasi terjadi biosintesis kolagen tipe I, kolagen tipe III, provokasi pelepasan growth factor seperti IGF-I, TGF-, VEGF, bFGF, EGF dan PDGF, sedangkan pada fase remodeling akan terjadi aktivasi enzim metalloproteinase oleh enzim radikal bebas (Katalase dan SOD) yang dapat
mendegradasi
matriks
kolagen.
Astaxanthin
dalam
masa
penyembuhan selain mencegah atau menetralisir ROS yang terbentuk, ia juga akan membantu menurunkan ekspresi MMP, PGE2 serta membantu menekan ekspresi growth factor yang bersifat profibrotik seperti IGF-I,
39
40
TGF-, VEGF, bFGF, EGF dan PDGF. Sehingga proliferasi fibroblast yang ekstensif dan sintesis matriks ekstraseluler dengan rasio kolagen tipe III/tipe I dapat ditekan. Hal ini secara signifikan dapat membantu meningkatkan komponen biomekanik tendon setelah cedera. CEDERA PADA TENDON ASTAXANTHIN
PELEPASAN MEDIATOR INFLAMASI (IL-1, IL-6, IL-10, TNF-α)
Provokasi pelepasan Growth Factors pro fibrotik (IGF-I, TGF-
INFLAMASI
Aktivasi COX-2
PELEPASAN NO dan ROS HIDROGEN PEROXIDA
, VEGF, bFGF, EGF dan PDGF) Pembentukan PGE2
PROLIFERASI
Neovaskularisasi, proliferasi ekstensif fibroblast, sintesis matriks dan migrasi sel
Ekspresi mRNA Kolagen Tipe I
Ekspresi mRNA Kolagen Tipe III
Apoptosis Degradasi Kolagen
Rasio Kolagen Tipe III/tipe I
Tensile Strength
Gambar 3.1 Skema kerangka berpikir
REMODELING
MMPs
41
3.2 Konsep
Kesembuhan Tendon Rasio serat kolagen tipe III/tipe I Kekuatan tensile tendon
Kesembuhan Tendon Rasio serat kolagen tipe III/tipe I Kekuatan tensile tendon
Gambar 3.2 Konsep Penelitian Keterangan : : Variabel Bebas
: Variabel Tergantung
: Variabel Kendali
3.3 Hipotesis Penelitian Dari kerangka konsep tersebut dibuat suatu hipotesis penelitian yaitu: 1. Rasio serat kolagen tipe III/tipe I pada kesembuhan cedera tendon
Achilles kelinci yang diberikan Astaxanthin lebih rendah daripada yang tidak diberikan Astaxanthin 2. Kekuatan tensile pada kesembuhan cedera tendon Achilles kelinci yang diberikan Astaxanthin lebih tinggi daripada yang tidak diberikan Astaxanthin.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian
ini
adalah
penelitian
eksperimental
dengan
menggunakan rancangan post-test only control group design dengan subjek kelinci (Regehr, 2002). Dari populasi subjek penelitian tersebut dilakukan pengambilan sampel yang memenuhi persyaratan inklusi penelitian secara random di mana kelompok kontrol tidak diberikan astaxanthin pada tendon Achilles yang telah diputus secara tajam dan dijahit sedangkan pada kelompok perlakuan diberikan astaxanthin pada tendon Achilles yang telah diputus secara tajam dan dijahit Rancangan penelitian dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut :
P
S
P0
O1
P1
O2
R
Gambar 4.1 Rancangan penelitian
42
43
Keterangan:
P
: Populasi Kelinci
S
: Sampel
R
: Randomisasi sampel
P0
: Kelompok kontrol dimana tendon Achilles dipotong
secara tajam dan dijahit tanpa diberikan astaxanthin
P1
: Kelompok perlakuan dimana tendon achilles tendon
Achilles dipotong secara tajam dan dijahit kemudian diberikan astaxanthin
O1
: rasio serat kolagen tipe III/tipe I dan kekuatan tensile
tendon Achilles yang telah dijahit pada kelompok kontrol pada minggu ke 3
O2
: rasio serat kolagen tipe III/tipe I dan kekuatan tensile
tendon Achilles yang telah dijahit yang telah dijahit pada kelompok perlakuan pada minggu ke 3 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Patologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Denpasar – Bali pada bulan November 2015 sampai dengan selesai. Hewan coba dirawat dan dipelihara selama 3 minggu. Pemeriksaan jaringan dilakukan di
44
Laboratorium Patologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Denpasar – Bali. Pemeriksaan kekuatan tarik tendon dilakukan di Sentra Teknologi Polimer Tangerang - Banten. 4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Variabilitas populasi Populasi pada penelitian adalah kelinci yang sesuai dengan sampel yang telah ditentukan dalam penelitian 4.3.2 Kriteria subjek Sampel dalam penelitian ini adalah kelinci dewasa, yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria drop out sebagai berikut: Kriteria Inklusi : a) Kelinci Ras New Zealand b) Kelinci sehat menurut dokter hewan c) Kelinci dengan jenis kelamin Jantan d) Kelinci berumur 3 – 5 bulan. e) Berat Kelinci 1,5 – 2 Kg. Kriteria Drop Out : Kelinci mati pada saat penelitian.
45
4.3.3 Besaran Sampel Pada penelitian ini perhitungan jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus Federer (Federer, 2008) (t-1) (n-1) ≥ 15 (2-1) (n-1) ≥ 15 n - 1 ≥ 15 n ≥ 15+1 n ≥ 16 Keterangan n = Besar Sampel t = Jumlah Perlakuan Dari hasil perhitungan rumus di atas, besar sampel minimal yang diperlukan sebesar 16 sampel dalam satu kelompok. Kemudian untuk mengantisipasi kemungkinan drop out, sampel ditambahkan 10%, maka jumlah sampel dalam penelitian ini adalah: 16 + 16(0,1) = 18,7 Sehingga diperoleh 18 sampel dalam satu kelompok atau total 36 tikus dalam 2 kelompok.
46
4.3.4 Teknik penentuan sampel Teknik penentuan sampel penelitian dilakukan dengan cara berikut : a) Dari populasi kelinci diadakan pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi. b) Dari jumlah sampel yang telah memenuhi syarat diambil secara random (simple random sampling) untuk mendapatkan jumlah sampel. c) Dari sampel yang telah dipilih kemudian dibagi menjadi dua kelompok yaitu
Kelompok
Kontrol
(tanpa
pemberian
astaxanthin)
dan
Kelompok Perlakuan dengan pemberian astaxanthin selama 3 minggu.
4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Klasifikasi variabel a) Variabel bebas
: Astaxanthin
b) Variabel tergantung : proporsi kolagen tipe III/tipe I dan kekuatan tensile c) Variabel kendali
: Strain kelinci, jenis kelamin, umur, berat badan,
lingkungan, nutrisi, perawatan luka.
4.4.2 Definisi Operasional Variabel 1. Astaxanthin adalah suatu jenis kolagen yang berasal dari keluarga xantofil karotenoid yang diekstraksi dari microalgae Haematococcus pluvialis dalam kemasan kapsul yang mengandung natural astaxanthin
47
4 mg (AstaREAL 200 mg) dengan merk dagang “Asthin Force” yang diberikan dalam dosis 0.106 mg/kgbb/hari 2. Kelompok Kontrol adalah kelompok kelinci yang tidak diberikan astaxanthin setelah tendon Achilles diputus secara tajam kemudian dijahit dengan benang nylon 4-0. 3. Kelompok Perlakuan adalah kelompok kelinci yang diberikan astaxanthin setelah tendon Achilles diputus secara tajam kemudian dijahit dengan benang nylon 4-0. 4. Rasio kolagen tipe III/tipe I adalah perbandingan jumlah sintesis kolagen tipe III dengan tipe I yang jumlahnya didapat melalui pemeriksaan imunohistokimia di Laboratorium PA FKH Unud. 5. Kekuatan tensile tendon adalah kekuatan yang diukur menggunakan alat Universal Testing Machine TX I Buatan Taiwan dengan kecepatan 100 mm/min dengan arah vertikal dimana tendon ditarik sampai putus kemudian dihitung besar load yang diberikan dalam satuan Newton.
4.5 Bahan dan Instrumen penelitian Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah : 1. Kassa steril 2. Minor set bedah 3. Mesh steril no 11 dan 15 4. Astaxanthin 5. Benang nylon 4-0 dan 5-0
48
6. Ketamine 7. Phenobarbital 8. Formalin 10% 9. Plester 10. Plaster of Paris (Gypsona) 11. Buku 12. Pensil
Instrumen yang dipergunakan adalah : 1. Kandang kelinci individual 2. Alat fiksasi kelinci 3. Timbangan 4. Penggaris 5. Kamera digital 6. Komputer
4.6 Prosedur penelitian 1. Kelinci diadaptasi selama 1 minggu, dan setiap kelinci akan menempati satu kandang yang dibuat dari kayu atau bambu dan tetap dijaga kebersihannya, terlindung dari angin, hujan dan cahaya matahari langsung, suhu lingkungan sekitar 15 – 20 C. 2. Sebanyak 4 kelinci mati saat adaptasi, sehingga penelitian dilanjutkan dengan menggunakan jumlah sampel 16 ekor tiap kelompok.
49
3. Kelinci dibius menggunakan Ketamine 44-50 mg/kg bb dan Xylazine 5 mg/kgBB secara Intramuskular. 4. Rambut di sekitar tempat pemotongan tendon achilles dicukur lalu diberikan antiseptik. 5. Dilakukan insisi kulit longitudinal sepanjang 4 cm di atas Tendon Achilles menggunakan mesh no 15. 6. Dilakukan pemisahan jaringan sehingga terlihat Tendon Achilles. 7. Kemudian dilakukan pemutusan Tendon Achilles secara tajam menggunakan mesh no 11. 8. Tendon Achilles yang telah diputus dilakukan penjahitan secara primer menggunakan benang non absorbable nylon (monofilamen 4-0) dengan tehnik 4 strand modified kessler. 9. Kemudian kulit dijahit secara interrupted dengan benang nylon 5-0. 10. Setelah itu, kaki kelinci difiksasi menggunakan Cast dari Plaster of Paris (Gypsona). 11. Untuk kelompok perlakuan, kelinci yang Tendon Achillesnya telah dijahit kemudian diberikan sediaan asthaxanthin secara ad libitum 12. Untuk kelompok kontrol, kelinci yang Tendon Achillesnya telah dijahit kemudian tidak diberikan asthaxanthin. 13. Hewan coba dipelihara di tempat pemeliharaan hewan dengan perlakuan sesuai dengan etika perlakuan terhadap hewan coba.
Pemberian makanan konsentrat sebanyak 75 – 100 gr per hari yang mengandung protein yang dibutuhkan 16 – 20 %, lemak 5 –
50
10%, pati 40 – 50%, serat kasar 10 – 20% dan abu 5% ditambah dengan vitamin, mineral dan pemberian minum secara ad libitum.
Jika kelinci sakit segera dikonsultasikan dengan dokter hewan.
14. Setelah minggu ke tiga hewan coba dikorbankan dengan memberikan suntikan Phenobarbital (100 mg/kg IV) lalu diambil jaringan tendon Achilles beserta dengan tulang Calcaneus pada luka sejajar dengan ujung pertemuan stump secara en-block dari bawah kulit. 15. Organ yang tidak digunakan dalam penelitian akan dikubur. 16. Jaringan tendon tersebut kemudian diukur kekuatan tariknya (tensile strength) dengan Universal Testing Machine TX I. 17. Kemudian Tendon Achilles tersebut difiksasi dengan buffer formalin 10% dan dilakukan pemeriksaan imunohistokimia untuk mengetahui rasio kolagen tipe III/tipe I. 18. Data dikumpulkan lalu dianalisis menggunakan program SPSS 22.
51
4.7 Alur Penelitian
36 Kelinci New Zealand Diadaptasi Selama 1 Minggu (4 ekor kelinci mati)
Pemutusan Tendon Achilles secara Steril Kemudian Dijahit dengan Nylon 4-0
16 Kelompok Perlakuan
16 Kelompok Kontrol
Diberikan Astaxanthin
Tidak diberikan Astaxanthin
Luka dijahit dengan nylon 5-0 dan -
imobilisasi dengan Cast
Minggu 3 Pengambilan Jaringan Pemeriksaan kekuatan tensil tendon Pemeriksaan Immunohistokimia kolagen
Analisis Data
Gambar 4.2 Alur Penelitian
52
4.8 Protokol Penelitian Jaringan tendon kelinci diperiksa kadar kolagen tipe III dan tipe I dengan pemeriksaan imunohistokimia. Pemeriksaan ini dilakukan dengan fiksasi jaringan tendon kelinci menggunakan netral buffer formalin 10% dan diproses routin untuk preparat histologi. Tendon kemudian diembedding ke dalam paraffin selanjutnya disectioning dengan ketebalan 5 micron dan ditempelkan pada slide yang telah dicoating dengan xylene sebelumnya. Slide dilanjutkan dengan rehidrasi, blocking endogenous peroksidase menggunakan 3% H2O2 dalam methanol. Kemudian epitop dibuka dengan pemanasan menggunakan microwave pada berbagai temperature mulai dari temperature tinggi 700 0C sampai dengan 140 oC. Slide kemudian diteteskan 100 µL anti-mouse kolagen III/I antibodi dalam 2% skim milk dan diinkubasikan semalaman pada temperature 4 o
C. Kemudian dicuci dengan PBS, slide kembali diteteskan dengan
antibodi sekunder anti-mouse IgG/biotin yang telah dikonjugasikan dengan horseradish peroxidase. Reaksi positif ditandai dengan warna coklat dilakukan dengan menambahkan substrat diaminobenzidine (DAB). Sebagai counterstain berikutnya diteteskan kembali meyerhematoksilin dan siap untuk diperiksa di bawah mikroskop (Howart dkk, 2009; Kiernan dkk, 2011). Penghitungan jumlah kolagen tendon dengan menggunakan piranti lunak Adobe PhotoShop CS3 dan Image J. Jaringan bukan kolagen tampak berwarna putih dipilih menggunakan fungsi “Magic
53
Wand” oleh Adobe PhotoShop CS3. Kemudian dengan menggunakan fungsi “inverse” maka terpilihlah pixel selain warna putih, lalu dihapus menggunakan fungsi “delete” sehingga pada gambar hanya tersisa pixel dengan warna coklat (kolagen). Ekspresi kolagen dihitung sebagai persentase pixel dimana area kolagen keseluruhan (coklat) dikurangi area bukan kolagen. Pertama-tama gambar yang sudah dihilangkan pixel selain warna coklat, dipisah channel warna coklat melalui fungsi “RGB stack” pada Image J. Setelah didapatkan channel warna coklat kemudian dibuat nilai “threshold” untuk warna coklat dan secara otomatis didapatkan persentase area selain warna coklat (Kiernan dkk, 2011). Sedangkan pemeriksaan kekuatan tarik tendon dilakukan dengan menggunakan alat Universal Testing Machine AGS-10kNG Merk Shimadzu Buatan Jepang Tahun 1999 dengan kecepatan 100mm/min dengan arah vertikal dimana tendon ditarik sampai putus kemudian dihitung besar load yang diberikan dalam satuan Newton (Viidik, 2009).
54
4.9 Analisis Data Data yang didapatkan pada penelitian dianalisis sebagai berikut 1. Analisis Deskriptif 2. Analisis Inferensial : a. Uji Homogenitas = test of the equality of variances = F test (Levene’s Test for Equality of Variance). b. Uji Normalitas data dengan Shapiro Wilks c. Jika didapatkan data berdistribusi normal maka untuk uji parametrik compare means menggunakan IndependentSamples t- Test, dan bila tidak berdistribusi normal dapat digunakan uji Kruskal Wallis
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Analisis Sampel Analisis penelitian mencakup sebaran data secara deskriptif, tensile strength serta rasio kolagen tipe III/tipe I. Selanjutnya data yang terkumpul dilakukan analisis secara statistic dengan SPSS for Windows version 22.0.
5.1.1. Analisis Deskriptif Analisis data secara deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai distribusi dan simpangan baku dari masing-masing variable penelitian.
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi subjek penelitian masing-masing kelompok Kelompok
Frekuensi (n)
Persentase (%)
Perlakuan (dengan Astaxanthin) Kontrol (tanpa Astaxanthin)
16
50.00
16
50.00
Total
32
100
Dari distribusi di atas dapat dilihat bahwa total jumlah subjek penelitian adalah sebanyak 32 dengan kelompok perlakuan dengan pemberian Astaxanthin adalah sebanyak 16 atau 50.00 % dari total seluruh subjek dan kelompok kontrol tanpa pemberian Astaxanthin sebanyak 16 atau 50.00%.
55
56
Tabel 5.2 Rerata Kekuatan Tarik pada masing-masing kelompok Kelompok Variabel
Kolagen Tipe III (%) Kolagen Tipe I (%)
Kelompok Perlakuan dengan Astaxanthin (n=16) (Mean SD)
Kelompok Kontrol tanpa Astaxanthin (n=16) (Mean SD)
14,80 ± 2,0559
29,70 ± 6,4301
86,25 ± 0,9402
73,07 ± 4,7582
Rasio Kolagen III/I
0,172 ± 0,0242
0,408 ± 0,0919
Tensile Strength (N)
92,56 ± 4,3384
88,53 ± 6,3248
Rerata persentase kolagen tipe III pada kelompok perlakuan adalah sebesar 14,80 % ± 2,0559 sedangkan pada kelompok kontrol adalah sebesar 29,70 % ± 6,4301. Kolagen tipe I pada kelompok perlakuan memiliki rerata sebesar 86,25 % ± 0,9402 sedangkan pada kelompok kontrol adalah sebesar 73,07 % ± 4,7582. Rasio Kolagen III/I pada kelompok perlakuan adalah sebesar 0,172 ± 0,0242 dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu sebesar 0,408 ± 0,0919. Rasio paling kecil terdapat pada kelompok perlakuan dengan nilai rasio 0,133 ± 0,0242 sedangkan nilai rasio paling besar terdapat pada kelompok kontrol dengan nilai rasio 0,570 ± 0,0919. Rerata kekuatan tarik pada kelompok perlakuan adalah sebesar 92,56 N ± 4,3384 sedangkan rerata kekuatan tarik pada kelompok kontrol adalah sebesar 88,53 N ± 6,3248. Kekuatan tarik paling tinggi ada pada kelompok perlakuan
57
dengan nilai 98,74 N ± 4,3385 SD dengan kekuatan tarik paling rendah terdapat pada kelompok kontrol yaitu 80,05 N ± 6,3248 SD.
5.2 Analisis Inferensial Analisis ini bertujuan untuk melakukan generalisasi hasil penelitian ke populasi. Uji statistik inferensial yang digunakan pada penelitian ini adalah independent ttest bila data berdistribusi normal dan varian datanya homogen. Penilaian hasil uji menggunakan 95% CI dan nilai p pada batas kemaknaan 0.05.
5.2.1.
Uji Normalitas dan Homogenitas Variabel-variabel penelitian pada kelompok perlakuan dan kontrol
dilakukan uji normalitas. Dengan jumlah data sebanyak 32 (n < 50), maka uji normalitas yang digunakan terhadap rasio kolagen tipe III/tipe I dan kekuatan tarik tendon adalah Shapiro-Wilk test, sedangkan uji homogenitas varian data dilakukan dengan menggunakan Levene’s test. Tabel 5.3 Uji normalitas data variabel-variabel penelitian dengan Shapiro-Wilk Variabel
Kelompok
N
P
Keterangan
Rasio Kolagen Tipe III/tipe I
Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol
16 16 16 16
0,362 0,298 0,099 0,050
Normal Normal Normal Normal
Tensile Strength
Tabel di atas menunjukkan bahwa data rasio kolagen tipe III/tipe I dan tensile strength berdistribusi normal, dimana nilai p > 0,05
58
Tabel 5.4 Uji Homogenitas varian data variabel-variabel penelitian dengan Levene’s Test Variabel
Kelompok
N
P
Keterangan
Rasio Kolagen Tipe III/tipe I
Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol
16 16 16 16
0,000
Homogen
0,049
Homogen
Tensile Strength
Tabel di atas menunjukkan bahwa data rasio kolagen tipe III/tipe I dan tensile strength memiliki varian yang homogen, dimana nilai p < 0,05 5.2.2.
Uji Independent t-Test Untuk variabel numerik dilakukan uji kemaknaan untuk data dua
kelompok tidak berpasangan yaitu independent t-test untuk data yang berdistribusi normal. Untuk mengetahui efek dari masing-masing variabel pada kelompok perlakuan dan kontrol dilakukan dengan membandingkan rerata post-test dari masing-masing kelompok. Tabel 5.5 Hasil uji komparabilitas data post-test variabel penelitian untuk kelompok perlakuan dan kontrol Kelompok Variabel
Rasio Kolagen TipeIII/I Tensile Strength
Perlakuan dengan Astaxanthin (n = 16)
Kontrol tanpa Astaxanthin
0,172 ± 0,0242
0,408 ± 0,0919
-9,955
-0,285 – (0,188)
0,000
92,56 ± 4,3384
88,53 ± 6,3248
4,0343
0,12 – 7,95
0,044
Beda rerata
95% CI
Nilai p
(n = 16)
59
Tabel di atas menunjukkan bahwa rasio kolagen III/I pada kelompok perlakuan lebih kecil dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan perbedaan rerata antar kelompok perlakuan dan kontrol signifikan secara statistik dengan nilai p = 0,000 (p< 0,05). Sedangkan tensile strength pada kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan perbedaan rerata antar kelompok perlakuan dan kontrol signifikan secara statistik dengan nilai p = 0,044 (p< 0,05).
BAB VI PEMBAHASAN
Hasil interpretasi dari data penelitian yang sudah diolah dan dianalisis secara statistik, semuanya sesuai dengan hipotesis dari penelitian. Berikutnya hasil interpretasi data tersebut akan dibahas untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi hasil penelitian ini.
6.1 Subjek Penelitian Pada penelitian ini menggunakan subjek kelinci untuk mengetahui pengaruh Astaxanthin terhadap rasio Kolagen III/I dan tensile strength pada tendon yang mengalami cedera. Kelinci tersebut dipilih karena sangat mudah didapatkan, tidak memerlukan biaya besar dalam pemeliharaannya, ukuran tubuh yang kecil sehingga tidak banyak memerlukan ruang dalam pemeliharannya. Disamping itu, kelinci mampu berkembang biak dengan sangat cepat dan untuk mencapai umur dewasa cukup singkat yaitu 4 sampai 5 bulan. Hal ini cukup menguntungkan dalam memperoleh subjek kelinci dewasa yang sesuai dengan kriteria inklusi. Secara spesifik, ukuran tendon kelinci dewasa juga relatif besar sehingga memudahkan dalam melakukan proses penelitian. Keuntungan tersebut yang menyebabkan kelinci sering digunakan sebagai subjek penelitian terutama dalam meneliti tendon.
60
61
6.2 Pengaruh Astaxanthin terhadap Rasio Kolagen III/I Pengaruh
Astaxanthin
terhadap
rasio
kolagen
III/I
dianalisis
dengan
membandingkan rasio kolagen III/I antara kelompok perlakuan dengan Astaxanthin dengan kelompok control tanpa pemberian Astaxanthin. Sebelum dilakukan uji komparatif, dilakukan uji normalitas dan homogenitas terlebih dahulu dimana hasilnya menunjukkan bahwa data rasio kolagen III/I berdistribusi normal dan homogen. Berdasarkan hasil analisis parametrik dengan uji t-independent didapatkan adanya perbedaan yang bermakna secara statistik antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol, dimana rasio kolagen III/I pada kelompok perlakuan dengan Astaxanthin lebih kecil dibandingkan dengan kelompok kontrol tanpa pemberian Astaxanthin. Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Bauge dkk dan Mizuta dkk yang menyebutkan bahwa, proporsi sintesis kolagen tipe I akan ditingkatkan dan ekspresi sintesis kolagen tipe III akan ditekan sehingga rasio ekspresi mRNA kolagen III/I akan menurun pada cedera tendon yang diberikan suplementasi antioksidan seperti Astaxanthin dan Spirulina (TOL19-001). Hal ini disebabkan karena aktivitas Astaxanthin menghambat pembentukan ROS dan IL1 sehingga proses inflamasi ekstensif dan apoptosis dapat dihambat. Penelitian lain oleh Kishimoto dan Song dkk juga menunjukkan bahwa Astaxanthin juga dapat menghambat ekspresi dan kinerja beberapa MMP termasuk MMP-1, MMP-2, MMP-8, MMP-13 dan MMP-14 yang memiliki aktivitas kolagenase melalui penekanan pembentukan ROS dan IL-1, sehingga
62
mampu mencegah proses fibrogenesis dan mencegah terjadinya degradasi fibril kolagen I.
6.3 Pengaruh Astaxanthin terhadap Kekuatan Tensile Tendon Pengaruh Astaxanthin terhadap kekuatan tensile tendon kelinci juga dianalisis dengan membandingkan kekuatan tensile tendon antara kelompok perlakuan dengan Astaxanthin dengan kelompok kontrol tanpa pemberian Astaxanthin. Sebelum dilakukan uji komparatif, dilakukan uji normalitas dan homogenitas terlebih dahulu dimana hasilnya menunjukkan bahwa data kekuatan tensile tendon berdistribusi normal dan homogen. Berdasarkan hasil analisis parametrik dengan uji t-independent didapatkan adanya perbedaan yang bermakna secara statistik antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol, dimana kekuatan tensile tendon pada kelompok perlakuan dengan Astaxanthin lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol tanpa pemberian Astaxanthin. Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian Woo dan Aro dkk yang menunjukkan bahwa tendon dengan komposisi dominan kolagen tipe I dan crosslink dominan matur akan meningkatkan kekuatan tensilenya. Menurut Bauge dkk, pemberian kolagen seperti Spirulina (TOL19-001) dapat meningkatkan crosslinking dan kekuatan tensile pada serat kolagen, elastisitas serta struktur tendon. Hal ini sejalan dengan penelitian ini dimana kekuatan tensile tendon pada kelompok perlakuan dengan Astaxanthin secara signifikan lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol tanpa pemberian Astaxanthin.
63
Rerata kekuatan tensile tendon Achilles setelah perlakuan masih dalam rentang kekuatan tensile normal pada kelinci, namun kekuatan setelah pembebanan maksimal menurun dibandingkan dengan tendon normal. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Woo yang menyatakan bahwa komponen biomekanik tendon tetap inferior setelah cedera grade III.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan 1. Rasio serat kolagen tipe III/tipe I pada kesembuhan cedera tendon
Achilles kelinci yang diberikan Astaxanthin lebih rendah daripada yang tidak diberikan Astaxanthin 2. Kekuatan tensile pada kesembuhan cedera tendon Achilles kelinci yang diberikan Astaxanthin lebih tinggi daripada yang tidak diberikan Astaxanthin.
7.2 Saran Dari simpulan yang telah dikemukakan, bahwa pemberian Astaxanthin dapat menurunkan rasio kolagen tipe III/ tipe I pada tendon Achilles sehingga kekuatan tensile meningkat. Hal ini dapat digunakan sebagai dasar penggunaan Astaxanthin dalam cedera tendon. Namun, masih diperlukan penelitian menggunakan sampel yang berbeda atau jumlah sampel lebih banyak untuk mendapatkan efek klinis terutama pada manusia.
64
DAFTAR PUSTAKA
Agostini C., et al, 2014. Scientific Opinion on the safety of Astaxanthin-rich aingredients (AstaREAL A1010 and L10) as Novel food ingredients. European Food Safety Authority, Parma, Italy;12(7):3757 Ambati R.R., Phang S.M., Ravi S., Aswathanarayana R.G., 2014. Astaxanthin: Sources, Extraction, Stability, Biological Activities and its Commercial Applications. Mar. Drugs;12:128-152 Annemarie J., Dura E.A., Attena J., Blauw B., DeGroot J., Huizinga T.W.J., Zuurmond A., Bank R.A., 2005. The Type of Collagen Cross-Link determines the reversibility of experimental skin fibrosis. Biochimica et Biophysica Acta, Elsevier;60-67 Aoi W., Naito Y., Takanami Y., Ishii T., Kawai Y., Akagiri S., Kato Y., Yoshikawa T., 2008. Astaxanthin improves muscle lipid metabolism in exercise via inhibitory effect of oxidative CPT I Modification. Biochemical and Biophysical Research Communication, Japan. Elsevier, 366; 892-897. Aro A., Perez M., Vieira, Esquisatto, Rodrigues, Gomez, Pimentel, 2015. Effect of Calendula Officinalis Cream on Achilles Tendon Healing. The Anatomical record; 298:428435 Bauge C., Leclercq S., Conrozier T., Boumediene K., 2015. TOL19-001 Reduces Inflammation and MMP Expression in Monolayer Cultures of Tendon Cells. BMC Complementary and Alternative Medicine; 15:217. Barker T., 2009. Oxidative Stress and Muscle Dysfunction Following Anterior Cruciate Ligament Surgery. A dissertation submitted to Oregon State University. Bray R.C., Salo P.T., Lo I.K., Ackerman P., Rattner J.B., Hart D.A., 2005. Normal Ligament Structure, Physiology and Function. Sports Med Arthrosc Rev;13 :127-135
65
66
Bode M., 2000. Characterization of Type I and Type III Collagens in Human tissues. Department of Clinical Chemistry, University of Oulu, Finland;1-76. Buckwalter J.A., Grodzinsky A.J., 2000. Loading of Healing Bone, Fibrous Tissue, and Muscle: Implications for Orthopaedic Practice. J Am Acad Orthop Surg;7:291-299 Capelli B., Keily S., Linhart J., Cysewski, 2013. The Medical Research of Astaxanthin. Cyanotech Coorporation, Hawaii Chamberlain C.S., Crowley E.M., Kobayashi H., Eliceiri K.W., Vnderby R., 2011. Quantification of Collagen Organization and Extracellular Matrix Factors within the Healing Ligament. Microsc Microanal;17(5):779-787 Chen, B., Wang Z., Li Q. 2002. Repair Flexor Tendon Defect of Rabbits with Complex of Fibroblast and Human Amnion Extracellular Matrix (HAECM). J. Chin Med. 115; 542-545. Cheng W., Yan-hua R., Fang-gang N., Guo-an Z., 2011. The Content and Ratio of Type I and Type III Collagen in Skin differ with Age and Injury. African Journal of Biotechnology;10(13);2524-2529 Federer, W T. 2008. Experiment Design. Statistic and Society Data Collection and Interpretation Second Edition Revised and Expanded. Marcel Dekker, New York ; P: 157. Frank C.B., 2000. Ligament Healing: Current Knowledge and Clinical Applications. J Am Acad Orthop Surg; 4:74-83 Freedman B., Gordon, Soslowsky L., 2014. The Achilles Tendon: Fundamental Properties and Mechanisms Governing Healing. Muscles, Ligaments and Tendon Journal;4(2): 245-255 Gammone M.A., Gemello E., Riccioni G., 2014. Marine Bioactive and Potential Application in Sports. Mar.Drugs 2014, 12,2357-2382.
67
Harris G.K., Baer D.J., 2006. Antioxidants: Scientific Evidence for Musculoskeletal, Bariatric and Sports Nutrition, Taylor & Francis Group, New York. II; 7; 111-127. Giannotti S., et al. 2015. Treatment of Tendon Injuries of The Lower Limb with Growth Factors Associated with Autologous Fibrin Scaffold or Collagenous Scaffold. Surg Technol Int; 26: 324-8 Grover D.M., Chen A.A., Hazelwood S.J., 2000. Biomechanic of the Rabbit Knee and Ankle: Muscle, ligament, and joint contact force predictions. Department of Orthopaedic Surgery, University of California, USA:1-6 Guerin M., Huntley M.E., Olaizola M, 2003. Haematococcus astaxnthin: Application for human health and nutrition. Trends in Biotechnology. Elsever, USA.21.5;210-216 Hector E.E., Robins S.P., Mercer D.K., Brittenden J., Wainwright C.L., 2010. Quantitative measurement of mature collagen cross-links in human carotid artery plaques. Artherosclerosis;211(11):471-4 Hilderbrand K.A., Corrie L., Behm G., Alison, Hart D.A., 2005. The Basic of Soft Tissue Healing and General Factors that Influence Such Healing. Sports Med Arthrosc Rev; 13(3):136-144 Howart M, Chinnapen DJF, Gerrow K, Dorrestein PC, Grandy MR, Kelleher NL, Husseini E,Ting A and Alice Y. 2006. A Monovalen sterptavidin with a single fentomer biotin binding site. Nature Methods 3 (4): 267-73. James R. et al, 2008, Tendon: Biology, Biomechanics, Repair, Growth Factors, and Evolving
Treatment
Options.
Orthopedic
Research
Laboratories,
University of Virginia. Charlottesville Jarvinen T., Kannus P., Mafulli N., 2005. Achilles Tendon Disorders Etiology and Epidemiology. Foot Ankle Clin N Am; 10: 255 – 266. Kiernan JA. 2011. Histological and histochemical method: Theory and practice. 2nd. NSW Australia. Pergamon Press.Pp 330-341.
68
Kishimoto Y., Tani M., Uto-Kondo H., Saita E., Sone H., Kurata H., Kondo K., 2010. Astaxanthin
Supresses
Scavenger
Expression
and
Matrix
Metalloproteinase Activity in Macrophages. Eur J Nutr; 49(2): 119-26. Kim S., Akaike T., Sasagawa T., Atomi Y., Kurosawa H., 2002. Gene Expression of Type I and Type III Collagen by Mechanical Stretch in Anterior Cruciate Ligament Cells. Cell Structure and Function. Japan Society for Cell Biology;27:139-144 Leask A., Abraham D.J., 2004. TGF- Signaling and Fibrotic Response. Royal Free & University Collage Medical School, Rowland Hill Street, London, UK. FASEB J. 18,816-827. Maffulli N., Renstrom P., Leadbetter W.B., 2005. Tendon Injuries. Basic Science and Clinical Medicine. Springer-Verlag London Limited.pp 3-313. Matson A., Konow N., Miller S., Roberts T., 2012. Tendon Material Properties Vary and are Interdependent among Turkey Hindlimb Muscles. The Journal of Experimental Biology. The Company of Biologist, 215, 3552-3558. McCormick R.J., Thomas D.P., 2000. Collagen Crosslinking in the Heart: Relationship to development and function. Basic Appl. Myol.;8(2):143150 Mizuta M., Hirano S., Hiwatashi N., Tateya I., Kanemaru S., Nakamura T., Ito J., 2013. Effect of Astaxanthin on Vocal Fold Wound Healing. The American Laryngological, Rhinological and Otological Society, Inc. Kyoto University.124:E1-E7. Naito Y., Takahashi J., Aoi W., 2008. Gene Expression Regulating Agents. US Patent Application Publication;12:155-914 Romani W., Langenberg P., Belkoff S.M., 2010. Sex, Collagen Expression, and Anterior Cruciate Ligament Strength in Rats. Journal of Athletic Training;45(1):22-48 Sharma Pankaj et al, 2006, Tendon Injury and Tendinopathy: Healing and Repair. The Journal of Bone and Joint Surgery, 87:187-201, Needham MA.
69
Sims T.J., Avery N.C., Bailey A.J., 2010. Quantitative Determination of Collagen Cross-Links. Methods in Molecular Biology. Humana Press Inc;139:1-24 Song X., Wang B., Lin S., Jing., Mao C., Xu P., Changjun L., Liu W., Zuo J., 2014. Astaxanthin inhibits apoptosis in alveolar epithelial cells type II in vivo and in vitro through the ROS-dependent mithocondrial signalling pathway. J. Cell. Mol. Med.; 18(11);2198-2212 Soufen H.N., Salemi V.M.C., Aneas I.M.S., Ramires F.J.A., Benicio A.M.D., Benvenuti L.A., Krieger J.E., Mady C.,2008. Collagen content, but not the ratios of collagen tipe III/tipe I mRNAs, differs among hypertensive, alcoholic, and idiopathic dilated cardiomiopathy. Braz J Med Biol Res; 41(12):1098-1104 Terajima M.,Damle S., Yang X., Bostrom M., Hidaka C., Yamauchi M., Phlesko N., 2002. Monitoring repair tissue quality by collagen cross-link analysis in a rabbit osteochandral defect model. 56th Annual Meeting of the Orthopaedic Research Society. Poster No. 964 Thorpe C., Bierch, Clegg P., Screen H., 2013. The Role of Non Colagenous Matrix in Tendon Function. Int. J. Exp. Path; 94: 248-259 Viidik A., 2009. Tensile Strength Properties of Achilles Tendon System in Trained and Untrained Rabbits. Acta orthop. Scandinav. 40,261-272. Woo S.L., Vogrin T.M., Abramowitch S.D., 2000. Healing and Repair of Ligament Injuries in the Knee. J Am Acad Orthop Surg;8:364-372 Yamashita E., 2013. Astaxanthin as Medical Food. Functional Foods in Health and Disease; 3(7):254-258 Yilgor C., Huri P.Y., 2012. Tissue Engineering Strategies in Ligament Regeneration. Stem Cell International;12:1-10
70
Lampiran 1
71
72
73
Lampiran 2
Data Hasil Penelitian Kelompok 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Kekuatan Tensile (N) 98,74 96,39 94,91 92,14 90,80 88,23 89,13 87,53 86,2 88,97 97,08 96,26 97,47 96,40 94,23 86,58 96,98 80,70 84,21 80,05 96,30 87,57 80,90 93,84 86,49 89,14 83,84 96,94 86,00 94,92 82,86 95,77
Kolagen III/I (Rasio) 0,1567 0,1336 0,1790 0,1772 0,1641 0,1413 0,1932 0,2128 0,2268 0,1717 0,1555 0,1542 0,1759 0,1780 0,1724 0,1545 0,3218 0,4668 0,4517 0,3614 0,2824 0,4171 0,3228 0,5094 0,4406 0,3683 0,3159 0,5313 0,5708 0,5158 0,2997 0,3593
Keterangan : 1. Kelompok dengan pemberian Astaxanthin, 2. Kelompok dengan tanpa pemberian Astaxanthin
74
75
76
77
78
Lampiran 3 Analisis Deskriptif Kekuatan Tensile Tendon antar Kelompok Case Processing Summary Cases Valid Kelompok tensile
N
Missing
Percent
N
Total
Percent
N
Percent
Asta(+)
16 100.0%
0
0.0%
16 100.0%
Asta(-)
16 100.0%
0
0.0%
16 100.0%
Group Statistics
Kelompok
N
Mean
Std.
Std. Error
Deviation
Mean
Tensile Asta(+)
16
92.5663
4.33846
1.08461
Asta(-)
16
88.5319
6.32481
1.58120
Uji Normalitas Data Kekuatan Tensile Tendon Achilles Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Kelompok
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Tensile Asta(+)
.178
16
.189
.906
16
.099
Asta(-)
.174
16
.200
*
.887
16
.050
79
Grafik Histogram Kekuatan Tensile Tendon Achilles antar Kelompok
80
Grafik Box-Plot Kekuatan Tensile Tendon Achilles antar Kelompok
81
Hasil Uji t-Test Kekuatan Tensile Tendon
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F tensile Equal variances
4.220
assumed
t-test for Equality of Means
Sig. (2-
Mean
tailed)
Difference
30
.044
4.03438
2.104 26.557
.045
4.03438
Sig. .049
Equal variances not assumed
t
df
2.104
Independent Samples Test t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Difference tensile Equal variances assumed Equal variances not assumed
Lower
Upper
1.91744
.11843
7.95032
1.91744
.09703
7.97172
82
Analisis Deskriptif Rasio Kolagen III/I Tendon Achilles antar Perlakuan
Case Processing Summary Cases Valid kelompok
N
Missing
Percent
N
Total
Percent
N
Percent
Rasio Kolagen III/I Asta(+)
16
100.0%
0
0.0%
16
100.0%
Asta(-)
16
100.0%
0
0.0%
16
100.0%
Group Statistics
kelompok Rasio Asta(+) Kolagen III/I Asta(-)
N
Mean
Std. Std. Error Deviation Mean
16 .171681 .0242925 .0060731 16 .408444 .0919835 .0229959
Hasil Uji Normalitas Data Kolagen III/I Tendon Achilles
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova kelompok Rasio
Statistic
df
Sig.
Shapiro-Wilk Statistic
df
Sig.
Asta(+)
.194
16
.109
.941
16
.362
Asta(-)
.169
16
.200*
.936
16
.298
Kolagen III/I
83
Grafik Histogram Rasio Kolagen III/I Tendon Achilles antar Kelompok
84
Grafik Box-Plot Rasio Kolagen Tendon Achilles antar Kelompok
85
Hasil Uji t-Test Rasio Kolagen III/I Tendon Achilles antar Kelompok Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F Rasio
t-test for Equality of Means
Sig.
t
df
Sig. (2-
Mean
tailed)
Difference
Equal
Kolagen III/I variances
30.899
.000
-9.955
30
.000 -.2367625
-9.955 17.082
.000 -.2367625
assumed Equal variances not assumed
Independent Samples Test t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Difference Rasio
Equal variances
Kolagen
assumed
Lower
Upper
.0237843
-.2853365
-.1881885
.0237843
-.2869246
-.1866004
III/I Equal variances not assumed
86
Lampiran 4 Proses Penelitian
87
Proses Panen dan Pemeriksaan Kekuatan Tensile Tendon Achilles
88
Proses Pemeriksaan Imunohistokimia Kolagen Tipe III dan I
89
Lampiran 5
Gambaran Histopatologi Kolagen Tipe I pada Tendon Achilles Kelinci yang Mendapat Astaxanthin
Gambaran Histopatologi Kolagen Tipe I pada Tendon Achilles Kelinci yang tidak Mendapat Astaxanthin
90
Gambaran Histopatologi Kolagen Tipe III pada Tendon Achilles Kelinci yang Mendapat Astaxanthin
Gambaran Histopatologi Kolagen Tipe III pada Tendon Achilles Kelinci yang tidak Mendapat Astaxanthin