5
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut
sampai dengan daerah pengairan yang
masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No 7/2004 Ps 1). Menurut Wiersum (1979) dan Seyhan (1990), DAS adalah suatu wilayah daratan yang dibatasi oleh batas alam berupa topografi yang berfungsi untuk menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang diterima menuju ke sistem sungai terdekat yang selanjutnya bermuara di waduk atau danau atau laut. Asdak (1995) menyatakan Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang menerima, menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkan ke laut atau danau melalui satu sungai utama. Suatu DAS akan dipisahkan dari wilayah DAS lain di sekitarnya oleh batas alam (topografi) berupa punggung bukit atau gunung, sehingga seluruh wilayah daratan habis terbagi ke dalam unit-unit Daerah Aliran Sungai. Komponen di dalam suatu DAS terdiri dari komponen biotis dan abiotis yang saling berinteraksi dan membentuk satu kesatuan yang teratur (ekosistem). Aktivitas suatu komponen ekosistem di dalam DAS selalu memberi pengaruh pada komponen lain dan dapat mengakibatkan dampak yang berantai. Manusia memegang peranan yang penting dan dominan dalam mempengaruhi kualitas suatu DAS. Keseimbangan ekosistem akan terjamin apabila kondisi hubungan
5
6
timbal balik antar komponen berjalan dengan baik dan optimal. Kualitas interaksi antar komponen ekosistem terlihat dari kualitas output ekosistem tersebut. Kualitas ekosistem di dalam DAS secara fisik terlihat dari besarnya erosi, aliran permukaan, sedimentasi, fluktuasi debit, dan produktifitas lahan. Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Bali tahun 2013, bahwa luas lahan kritis di Provinsi Bali adalah 44.669, 78 ha. Lahan kritis dalam kawasan hutan seluas 16.323, 68 ha dan di luar kawasan seluas 28.346,10 ha. Secara lengkap perkembangan lahan kritis di Provinsi Bali disajikan pada Tabel 2.1 Tabel 2.1 Perkembangan Lahan Kritis di Provinsi Bali Di Dalam Kawasan Hutan (Ha.) No
Tahun
Kritis
Sangat Kritis
Di Luar Kawasan Hutan (Ha).
Jumlah
Kritis
Sangat Kritis
Jumlah
Total Ha
1
2004
18.992,00
3.993,00
22.985,00
31.479,00
909,00
32.388,00
55.373,00
2
2008
16.210,32
2.240,00
18.450,32
31.656,94
1.000,00
32.656,94
51.107,26
3
2013
13.693,34
2.630,44
16.322,68
28.346,10
28.346.10
44.669,78
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Bali (2013)
Kerusakan sumberdaya alam pada DAS selama kurun waktu yang cukup lama tidak terlepas dari kenyataan yang menyangkut: (1) sistem pengelolaan sumberdaya alam yang tidak transparan, sehingga menimbulkan konflik berbagai kepentingan, (2) pandangan yang keliru dalam pengelolaan sumberdaya alam yang menganggap bahwa masyarakat merupakan faktor eksternalis, yaitu faktor penghambat, ancaman dan kelemahan dalam sistem pengelolaan sumberdaya alam (Karyana, 2000 dalam Sutari, 2004). Pertambahan jumlah penduduk beserta aktifitas di dalamnya turut mendorong terjadinya konversi lahan pertanian dalam DAS, yang dapat
7
menyebabkan terjadinya degradasi lahan, kepunahan flora fauna, perubahan iklim, erosi dan sedimentasi. DAS yang tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan kerusakan DAS yang ditandai dengan peristiwa longsor, banjir, dan kekeringan. DAS perlu dikelola dan dikonservasi dengan baik agar terhindar dari kerusakan yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi DAS untuk mendukung kehidupan. 2.2 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan (BPDAS Unda Anyar, 2013). Pengelolaan DAS yang baik memerlukan kerja sama antara masyarakat, badan/lembaga terkait dan pemerintah. Pengelolaan DAS juga menuntut adanya kerja sama dari pihak yang berada di hulu dan di hilir. Menurut Asdak (1999), dalam keterkaitan biofisik wilayah hulu sampai hilir suatu DAS, perlu adanya beberapa hal yang menjadi perhatian, yaitu: a) Kelembagaan yang efektif seharusnya mampu merefleksikan keterkaitan lingkungan
biofisik dan sosial ekonomi dimana lembaga tersebut
beroperasi. Aktifitas pengelolaan di bagian hulu DAS akan menimbulkan dampak yang nyata pada lingkungan biofisik dan/atau sosial ekonomi di bagian hilir dari DAS yang sama, sehingga perlu adanya desentralisasi pengelolaan DAS yang melibatkan bagian hulu dan hilir sebagai satu kesatuan perencanaan dan pengelolaan. b) Eksternalities, adalah dampak (positif/negatif) suatu aktifitas/program dan atau
kebijakan
yang
dialami/dirasakan
di
luar
daerah
dimana
8
program/kebijakan dilaksanakan. Dampak tersebut seringkali tidak terinternalisir dalam perencanaan kegiatan. Negative externalities dapat mengganggu tercapainya
keberlanjutan pengelolaan DAS bagi : (a)
masyarakat di luar wilayah kegiatan (spatial externalities), (b) masyarakat yang tinggal pada periode waktu tertentu setelah kegiatan berakhir (temporal externalities), dan (c) kepentingan berbagai sektor ekonomi yang berada di luar lokasi kegiatan (sectoral externalities). c) Dalam kerangka konsep “externalities”, maka pengelolaan sumberdaya alam dapat dikatakan baik apabila keseluruhan biaya dan keuntungan yang timbul oleh adanya kegiatan pengelolaan tersebut dapat ditanggung secara proporsional
oleh
para
pihak
(organisasi
pemerintah,
kelompok
masyarakat atau perorangan) yang melaksanakan kegiatan pengelolaan sumberdaya alam (DAS) dan pihak yang akan mendapatkan keuntungan dari adanya kegiatan tersebut.
2.3 Karakteristik Daerah Aliran Sungai Karakteristik DAS merupakan komponen penting yang perlu untuk diidentifikasi sebagai tahap awal pengelolaan suatu DAS. Seyhan (1977), menyatakan bahwa karakteristik Daerah Aliran Sungai dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu faktor lahan (ground factor), yang meliputi topografi, tanah, geologi, geomorfologi dan faktor vegetasi serta penggunaan lahan. Peran vegetasi mempunyai arti yang sangat penting dalam proses hidrologi suatu DAS terutama intercepting hujan yang jatuh dan transpirating air yang terabsorpsi oleh akarnya. Tipe dan distribusi tanah dalam suatu Daerah Aliran Sungai penting untuk
9
mengontrol aliran bawah permukaan (sub surface flow) melalui proses infiltrasi. Variasi dalam tipe tanah dengan kedalaman dan luas tertentu akan mempengaruhi karakteristik infiltrasi dan timbunan kelembaban tanah (soil moisture storage). Berdasarkan surat
Kementrian
Kehutanan
No.
P.3 tahun 2013
Karakteristik DAS adalah gambaran spesifik mengenai DAS yang dicirikan oleh parameter yang berkaitan dengan keadaan morfomeri, topografi, tanah, geologi, vegetasi, penggunaan lahan, hidrologi dan manusia. Karakteristik DAS pada dasarnya meliputi 2 bagian, yaitu karakteristik biogeofisik dan karakteristik sosial ekonomi budaya dan kelembagaan, yang secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut : a.
Karakteristik biogeofisik meliputi: karakteristik meteorologi DAS, karakteristik
morfologi
DAS,
karakteristik
morfometri
DAS,
karakteristik hidrologi DAS dan karakteristik kemampuan DAS. b.
Karakteristik sosial ekonomi budaya dan kelembagaan meliputi: karakteristik sosial kependudukan DAS, karakteristik sosial budaya DAS, karakteristik sosial ekonomi DAS dan karakteristik kelembagaan DAS.
2.4 Kemampuan Lahan Klasifikasi Kemampuan Lahan (Land Capability Classification) adalah penilaian
lahan
(komponen-komponen
lahan)
secara
sistematik
dan
pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari (Arsyad, 2010). Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang umumnya digunakan yaitu Hockensmith dan Steele atau Klingebiel dan Montgomery (Arsyad, 2010), meskipun ide mengenai kelas kemampuan lahan telah muncul jauh sebelumnya
10
(Helms, 2005 dalam Arsyad 2010). Sistem ini mengelompokan lahan berdasarkan intensitas faktor penghambat menjadi tiga kategori yaitu kelas, subkelas dan satuan kemampuan (capability unit) atau satuan pengelolaan (management unit). Tanah dikelompokan ke dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf romawi I sampai VIII. Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan pada tingkatan kelas ditentukan berdasarkan faktor penghambat lereng permukaan, kepekaan erosi, tingkat erosi, kedalaman tanah, tekstur lapisan atas, tekstur lapisan bawah, permeabilitas, drainase, kerikil/batuan, ancaman banjir dan garam/salinitas. Kemampuan lahan tingkat sub kelas dibedakan menjadi bahaya erosi (e), kelebihan air (w), perakaran tanaman (s) dan iklim (c). Sub kelas e menunjukan ancaman erosi atau tingkat erosi yang telah terjadi merupakan masalah utama. Ancaman erosi didapatkan dari kecuraman lereng dan kepekaan erosi tanah. Sub kelas w menunjukan bahwa tanah mempunyai hambatan yang disebabkan oleh drainase buruk, atau kelebihan air dan/atau terancam banjir yang merusak tanaman. Sub kelas s menunjukan tanah mempunyai hambatan daerah perakaran. Termasuk dalam hambatan daerah perakaran adalah kedalaman tanah terhadap batuan dipermukaan lahan, kapasitas menahan air yang rendah, sifat-sifat kimia yang sulit diperbaiki seperti salinitas (kandungan Natrium) atau senyawa-senyawa kimia lainnya yang menghambat pertumbuhan tanaman yang tidak praktis dihilangkan. Subkelas c menunjukan adanya faktor iklim (temperatur dan curah hujan) menjadi pembatas penggunaan lahan. Faktor penghambat yang dituliskan di belakang angka kelas merupakan masalah utama lahan (Arsyad, 2010).
11
Tanah pada Kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk penanaman tanaman pertanian umumnya (tanaman semusim dan tahunan), rumput untuk makanan ternak, padang rumput dan hutan. Tanah pada kelas V, VI, dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohon atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal tanah kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu seperti buah-buahan, tanaman hias atau bungabungaan dan bahkan jenis sayuran bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah dalam kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami. 2.5 Arahan Penggunaan Lahan dan Tata Guna Lahan Arahan penggunaan lahan merupakan bagian utama dalam studi pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Arahan penggunaan lahan ditentukan oleh kemiringan lereng, jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi dan intensitas curah hujan. Ketiga faktor tersebut akan menentukan rekomendasi penggunaan lahannya. Arahan penggunaan lahan (Sukartiko, 1988 dalam Adnyana 2001) berdasarkan perhitungan nilai skor terhadap ketiga faktor karakteristik tersebut di atas. Penetapan nilai skor yaitu dengan mengalikan masing-masing kelas faktor karakteristik tersebut dengan nilai timbangan (bobot) sesuai dengan besarnya pengaruh relatif terhadap kepekaan wilayah bersangkutan terhadap erosi. Penetapan arahan penggunaan untuk setiap unit lahan dilakukan dengan memperhatikan status tersebut. Status lahan dibedakan atas lahan di dalam kawasan hutan dan lahan di luar kawasan hutan. Lahan di dalam kawasan hutan
12
sesuai dengan peruntukannya dapat digolongkan menjadi hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka alam dan hutan wisata. Lahan di luar kawasan hutan digolongkan menjadi kawasan lindung, kawasan penyangga, kawasan budidaya tanaman tahunan dan kawasan budidaya tanaman semusim. Tata guna lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Vink, 1975 dalam Arsyad, 2010). Tata guna lahan secara umum tergantung pada kemampuan lahan dan pada lokasi lahan. Penggunaan lahan untuk aktivitas pertanian tergantung pada kelas kemampuan lahan yang dicirikan oleh adanya perbedaan pada sifat-sifat yang menjadi penghambat bagi penggunaannya seperti tekstur tanah, lereng permukaan tanah, kemampuan menahan air dan tingkat erosi yang telah terjadi. Tata guna lahan juga tergantung pada lokasi, khususnya untuk daerah-daerah pemukiman, lokasi industri, maupun untuk daerah-daerah rekreasi (Suparmoko, 1995 dalam Arsyad 2010). Faktor-faktor yang mempengaruhi tata guna lahan (Barlowe, 1986 dalam Arsyad 2010) adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor institusi (kelembagaan). Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar dan transportasi. Faktor institusi dicirikan oleh hukum pertanahan, keadaan politik, keadaan sosial dan secara administrasi dapat dilaksanakan.