TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Kondisi Umum Estuaria Sungai Sembilang Sungai Sernbilang yang merupakan sebagian dari daerah perairan
mulai dari daerah hulu sampai muara sungai yang diteliti merupakan lingkungan perairan yang kornpleks dan unik. Dari hulu sampai rnuara sungai terdapat
11 percabangan sungai.
Hasil penelitian SEAMEO-BIOTROP
(1990) menunjukan bahwa Sungai Sembilang sebagai sungai yang dalam dan sempit. Cebar sungai rnempunyai keragarnan antara 40 rn sampai 80 rn di muara sungai dengan kedalarnan berkisar antara 22 m sampai 25 m. Hasil
penelitian
SEAMEO-BIOTROP
(1990),
daerah
daratan
sepanjang kiri kanan Sungai Sernbilang terdiri dari enam formasi vegetasi hutan yakni : I.Forrnasi peralihan antara hutan garnbut dan hutan rawa atau hutan
campuran rawa-garnbut. Daerah ini terletak di bagian hulu sungai, yang ditandai oleh lapisan garnbut yang tidak tebal dan susunan flora yang hampir serupa dengan formasi hutan rawa (hulu Sungai Sirnpang Kodir).
2. Forrnasi hutan rawa air tawar yang biasanya terdapat di belakang forrnasi hutan mangrove atau sepanjang pinggir sungai yang rnernpunyai tanggul alami sebagai hasil sedimentasi butiran tanah akibat banjir sungai. Tumbuh-turnbuhan yang terdapat di sini didominasi oleh Campnosperma, Alstonia, dan Gluta rengas (Sungai Sirnpang Tengkorak).
3. Hutan mangrove terbentuk di tanah aluvial sebagai hasil sedimentasi lurnpur yang dibawa dari sungai dan tertirnbun di daerah rnulut sungai
yang mendapat pengaruh gelombang laut yang lemah.
Jenis-jenis dari
marga tumbuh-tumbuhan pionir adalah Avicennia dan Sonneratia datam kondisi tanah yang stabil, Rhizophora spp, Bruguiera sp. dan Xylocarpus sp. akan menyerbu formasi mangrove ini (Sungai Simpang Satu). 4. Formasi Acrostichum, sisa dari formasi mangrove yang terbentuk secara
alarni oleh sedimentasi sungai sekitar dataran rata yang tidak lagi dipengaruhi pasang-surut.
Formasi ini lambat laun akan mengganti
formasi mangrove dengan Acrostichum sebagai tutupan hutan yang dapat mencapai 3 - 4 m tingginya (Sungai Simpang Bugis). 5. Formasi Nypa, memerlukan air untuk tumbuh, terdapat di sepanjang tepi sungai yang memiliki aliran air yang tenang, Acrostichum ini dapat tumbuh sebagai pionir pada sedimen lumpur. 6. Formasi nibung sangat penting sebagai batas antara hutan mangrove dan
hutan gambut, lebarnya berkisar antara $00 - 500 m (Sungai Simpang Kayu Turun). Ekosistem perairan sering digambarkan berdasarkan sifat produktivitas primernya, baik oleh fitoplankton, rumput laut, mangrove, maupun lamun. Produktivitas primer fitoplankton sangat bervariasi dari satu perairan ke perairan lainnya dan dari satu lokasi ke lokasi lainnya dalam satu perairan. Karena
produktivitas primer merupakan fungsi dari fotosintesis, maka
besarnya produktivitas primer fitoplankton sangat dipengaruhi oleh faktorfaktor yang mempengaruhi besarnya suhu,
salinitas,
dan
nutrien.
laju fotosintesis, terutama
Faktor
yang
mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton.
disebutkan
di
cahaya,
atas
juga
Penelitian di laboratorium oleh
Jitts et a/.(1964) serta Kain dan Fogg (1958), menunjukan bahwa fitoplankton laut mampu membelah diri dua sarnpai lima kali sehari pada kondisi cahaya, suhu, salinitas, dan nutrien yang optimum. Penelitian
produktivitas
primer
dapat
menunjukkan
kernampuan
potensial suatu perairan untuk menghasilkan sumberdaya alam hayati yang ditentukan oleh produktivitas primernya (Ryther dan Yentsch 1957; Saijo dan lchirnura 1960),yakni banyaknya zat-zat organik yang dapat dihasilkan dari zat-zat anorganik melalui proses fotosintesis dalam satuan waktu dan volume air tertentu. Di alam, proses fotosintesis hanya dapat terjadi pada tumbuhan yang mengandung klorofil.
2.2.
Pengelolaan Ekosistem Estuaria Secara Berkelanjutan
2.2.1. Ekosistem Estuaria
Estuaria (Aestus, air pasang) adalah suatu badan air pantai setengah tertutup yang berhubungan langsung dengan laut terbuka, jadi sangat terpengaruh oleh gerakan pasang-surut, dimana air laut bercampur dan biasanya diukur lebih cair dengan air tawar dari buangan air daratan (Odum 1998). Contohnya rnuara sungai, teluk pantai, rawa pasang surut. Estuaria dapat dianggap sebagai zona ekoton atau peralihan antara dua atau lebih habitat. Lebih jauh lagi pernanfaatan dan penyalahgunaan zona ini oleh manusia semakin rnengkhawatirkan sehingga perlu sekali ciri-ciri estuaria yang unik ini dikenal secara luas. Meskipun kondisi fisik di estuaria seringkali penuh tekanan, dan keragaman jenis yang sesuai sedikit, tetapi keadaan
estuaria yang rnerupakan surnber potensi pangan maka akibatnya wilayah ini dijejali berbagai kehidupan. Estuaria yang berpotensi produktivitasnya tinggi kadang-kadang tidak dihargai oleh rnanusia dan seringkali menggolongkan sebagai wilayah "tak berharga" hanya c o w k untuk menurnpuk bahan limbah atau dianggap hanya berguna kalau dikeringkan, ditirnbun atau diubah menjadi daratan.
Suatu
perubahan yang sangat menyedihkan karena berarti menghancurkan zona yang paling produktif dan menciptakan wilayah pemukiman yang mudah diserang badai. Potensi produksi protein makanan laut telah diubah menjadi potensi masalah akibat timbulnya biaya ganda atas bencana atau biaya perawatan yang tinggi atas frsik. Estuaria juga rnerupakan ekosistem yang sangat sensitif menerima segala macam limbah industri, limbah pertanian, lirnbah rumah tangga dan limbah transportasi air yang terakumulasi dari tahun ke tahun.
Selanjutnya
dijelaskan bahwa semua limbah tersebut secara bersama atau sendiri-sendiri berkontribusi bagi pencemaran
degradasi
tersebut
bisa
habitat
di
estuaria.
mempengaruhi
Efek
terhadap
biologi
pola
dari
rnakan.
pertumbuhan, ketahanan dan recruitment biota perairan (Kennish, 1990). Sesekumar et a1.(1992) menyimpulkan bahwa panen ikan di estuaria dan laguna adalah proporsional atau seimbang dengan produktivitas primer di daerah ini. Lenanton dan Potter (1987) mencatat ha1 kontroversial bahwa antara tahun 1976 dan 1984 perikanan estuaria hanya memberikan kontribusi
20,3 % dari biomassa dan 2,4 % dari nilai total perikanan di Australia.
Kesimpulan yang lain mengatakan bahwa banyak spesies adalah bersifat oportunis dan tidak bergantung pada ekosistem estuaria. Perairan estuaria sekitar
Sungai Sembilang, rnerupakan daerah
mangrove yang sangat lebat sepanjang pantai dan sungai. Gambaran morfologis ekologis mangrove Sungai Sembilang adalah dataran rendah yang terpecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil oleh kanal-kanal pasang surut. Secara fisik kanal-kanal ini cukup lebar dan dalam, akan tetapi panjangnya relatif pendek, bentuknya berkelok-kelok merupakan bentuk khas kanal pasang surut di hutan mangrove. Satu-satunya yang relatif panjang adalah kanal Sembilang atau sering disebut sebagai Sungai Sembilang. Air pada kana\-kanal ini umumnya berwarna kecoklatan karena mengandung larutan gambut. Umumnya suhu air permukaan berkisar antara 26 - 32 "C, sedangkan suhu udara berkisar antara 23 - 32 besar
yaitu
berkisar antara 0 "I,,
OC. Kisaran salinitas cukup
(tawar) sampai 29 ".,/
Terlihat di sini.
pengaruh air tawar cukup besar, terutama dijumpai pada ujung terjauh Sungai Sembitang dan ini dapat dimengerti karena pada saat
air surut
pengaruh air tawar sangat dorninan. Dari segi keasaman air (pH) tampak kisarannya tidak terlampau besar yaitu antara 6,l sampai 7.8. Berdasarkan citra spot, kawasan mangrove di Sernbilang terdiri atas hutan mangrove primer di Sungai Sembilang dengan luasan mencapai sekitar 15.400 ha; hutan mangrove sekunder mempunyai luas sekitar 1.650 ha dan hutan nipah dan
nibung
(Oncosperma
tigillarium)
masing-masing mempunyai
luas
sebesar 949 ha dan 7.700 ha (Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIP1 1999). Menurut French (1997) mernbagi tipe-tipe estuaria berdasarkan tipe tekanan yang ada seperti konstruksi pantai, pencemaran, pemukirnan, turisme, dan
industri.
Perubahan di hulu sungai seperti pembuatan
bendungan, perubahan sistem beberapa daerah aliran sungai (DAS) dapat rnengakibatkan terjadi perubahan pola arus sungai, dan akibatnya akan sampai di estuaria (Dahuri et al. 1996). Dapat disirnpulkan bahwa ekosistern estuaria adalah suatu ekosistem sangat kornpleks dan penting serta sangat rnenarik untuk dipelajari. 2.2.2. Ekosistem Mangrove
Mangrove rnerupakan tumbuhan pantai yang tumbuh di daerah tropis dan sub tropis. Daerah pertumbuhan mangrove merupakan suatu ekosistem yang spesifik, ha1 ini disebabkan adanya proses kehidupan biota (flora dan fauna) yang saling berkaitan baik yang terdapat di daratan rnaupun lautan (Martosubroto dan Naamin 1977). Energi yang terdapat pada ekosistem mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik seperti sungai-sungai, pasang surut, aliran taut dan faktor-faktor biologi seperti produksi serasah dari tumbuhan yang jatuh dan dekomposisi serta semua mekanisrne yang rnengatur kecepatan pernasukan, pengeluaran dan penyimpanan bahan organik dan anorganik (Odum 1998). Studi lain rnenunjukkan bahwa 80 % dari ikan-ikan kornersial yang tertangkap di beberapa perairan pantai ternyata berhubungan erat dengan rantai makanan yang terdapat dalarn ekosistern
mangrove. Selain ha1 tersebut dijelaskan bahwa banyaknya serasah yang dihasilkan berkaitan dengan struktur dan komposisi jenis mangrove yang berada di suatu tempat (Swift 1979). Dengan dernikian hutan mangrove dapat dipandang sebagai pengekspor bahan organik perairan sekitarnya (Heald 1971). Bahan organik ini berasal dari serasah yang jatuh (Snedaker 1978).
Hutan mangrove merupakan surnberdaya aiam yang rnempunyai manfaat ganda dengan pengaruh yang sangat luas ditinjau dari aspek sosial dan ekonomi.
Besarnya peranan hutan mangrove dipandang dari segi
ekologis bagi kehidupan dapat dikefahui dari banyaknya jenis binatang dan tumbuhan mangrove. pantai
termasuk
manusia
yang
hidupnya
bergantung
dari
hutan
Pada rnulanya mangrove tumbuh dan berkembang di kawasan
yang
terlindung, rnuara
sungai
dengan
sedimentasi
aktif
dan
tingkungan terumbu karang yang telah mati (Anonim 1982). Mangrove umumnya turnbuh dan berkernbang sangat baik pada kawasan pantai yang terlindung terlebih pada kawasan tersebut sedang terjadi proses sedimentasi. Beberapa faktor pendukung yang cukup berpengaruh terhadap hutan mangrove diantaranya adalah fisiologi atau bentuk permukaan pantai, luas genangan dan tinggi rendahnya kisaran pasang-surut dan iklim termasuk presipitasi dan evaporasi.
Pada kawasan tersebut tumbuhan mangrove
umumnya menampakan adanya suatu zonasi kornunitas, yakni sabuk-sabuk dari jenis dominan mangrove urnurnnya merupakan adanya suatu zonasi komunitas, yakni sabuk-sabuk dari jenis dominan yang lebih kurang paralel atau sejajar dengan garis pantai (Suyarso 1999). diinterpretasikan
sebagai
tingkat
perbedaan
Zone mangrove sering dalarn
suksesi
yakni
perturnbuhan secara progresif dalarn kornposisi jenis selarna perkernbangan vegetasi (Lear dan Turner 1977). Salah satu fungsi hutan mangrove apabila dipandang segi
peruntukannya
rnerupakan kawasan hutan yang untuk
adalah
hutan
suaka
alarn.
Hutan ini
karena sifatnya yang khas secara khusus
perlindungan alarn hayati, yang
berhubungan dengan keadaan
alarnnya yang khas terrnasuk alarn hayati dan atam nabati perlu dijaga keberadaannya untuk keperluan ilrnu pengetahuan dan kebudayaan (Irawan 1991; Abdullah 1991),
termasuk hutan mangrove Suaka Margasatwa
Sernbilang di Sernbilang, Surnatera Selatan. Kondisi tanah di hutan mangrove mernpunyai ciri-ciri seialu basah, rnengandung gararn, kandungan oksigen terlarut kecil, berbutir-butir dan kaya akan bahan-bahan organik. Hal ini rnerupakan kebutuhan yang terusrnenerus yang rnerupakan siklus di daerah pasang surut. yang terdapat dalarn tanah
Bahan organik
terutama berasal dari perombakan sisa
turnbuhan yang diproduksi oleh mangrove itu sendiri. Adanya serasah secara larnbat laun akan hancur di bawah kondisi sedikit asarn oleh rnikro-organisme seperti bakteri, jarnur dan kernungkinan algae (Lear dan Turner 1977). Selain zat organik, tanah mangrove juga terjadi dari sedirnen-sedirnen halus atau partikel-partikel pasir, bahan kasar seperti potongan-potongan batu dan koral, pecahan kulit -kulit kerang, telur dan siput. Biasanya tanah-tanah mangrove kurang membentuk lurnpur berlernpung dan warnanya abu
bervariasi dari abu-
rnuda sarnpai hitarn, terbentuk oleh pengendapan sedimen-sedirnen
yang terbawa oleh aliran sungai ditarnbah oleh bahan yang dibawa dari laut pada waktu air pasang. Sedimen-sedirnen halus dan bahan tersuspensi lain
terbawa oleh aliran sungai dapat rnengendap di mangrove disebabkan oleh berkurangnya aliran, berkurangnya turbulensi dan pengaruh koagulasi yang disebabkan oleh percarnpuran dengan air laut. Menurut Ewuisie (1980) walaupun terjadi pengendapan tanah dalarn hutan mangrove yang dapat meninggikan lapisan lumpur, tanah tersebut tidaklah konstan karena ha1 ini rnungkin sangat dipengaruhi oleh aliran laut. Dengan demikian proses pembentukan tanah mangrove ditentukan oleh beberapa faktor (Lear dan Turner 1977) antara lain
faktor fisik, yang
dipengaruhi oleh transpor hara oleh arus pasang, aliran air laut, gelornbang dan aliran sungai. Faktor fisika-kimia, ini merupakan penggabungan dari beberapa partikel oleh penggumpalan dan presipitasi dan terakhir faktor biotik yang merupakan produksi dan perornbakan senyawa-senyawa organik. Robertson dan Blaber (1992) rnengatakan bahwa meskipun fakta-fakta menunjukan banyaknya hubungan antara hutan mangrove dan perikanan kornersial, akan tetapi seluruh hubungan sebab-akibat belum dilakukan penelitian.
Ketidak-jelasan ini adalah karena banyak fakta lain, selain
mangrove yang berpengaruh, sekitar 90 % dari jenis ikan laut di perairan tropika rnenghabiskan masa hidupnya paling tidak satu fase dalam daur hidupnya, di daerah pesisir berhutan mangrove (Snedaker 1978). Poiner et
a/.
(1992) dan Burchmore (1993) rnengatakan bahwa
tekanan-tekanan terhadap habitat kawasan pesisir akibat pembangunan di hulu atau di pantai harus menjadi perhatian bagi perikanan kornersial dan rekreasi, karena dapat rnenurunkan luas wilayah bagi sumberdaya ikan untuk mencari makan dan tempat pembesaran. Sebagai contoh bahwa mangrove
di
Malaysia
mendukung perikanan
dengan
menyediakan
habitat
dan
makanan bagi ikan dan udang Sesekumar (1992). Calon lokasi Suaka Margasatwa Sembilang terletak di pantai tiwur Sumatera Selatan luasnya mencapai 387.000 ha dan lebih dari 100.000 ha diantaranya berupa hutan mangrove.
Menurut Soeroyo (1995), dipandaqg
dari segi vegetasi mangrove Sembilang mempunyai jenis-jenis
komersial
yang begitu besar. Dilihat dari segi ekologis, ekosistem hutan mangrove Sembilang juga mempunyai manfaat yang besar terhadap dukungan faktor lingkungan perairan sekitarnya. Hutan mangrove Sernbilang terletak di pantai timur Surnatera Setatan pada posisi 02" 20'
-
03" 00' L.U. dan 104°-1050 B.T. Secara administras~
daerah ini termasuk Kecamatan Banyuasin It, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Luas seluruhnya mencapai 387.500 ha termasuk di daiamnya ekosistem mangrove seluas 77.500 ha (Danielsen dan Verbeught 1990).
Dari permulaan tahun 1993 sampai tahun 2001, kawasan hutan
mangrove
Sembilang,
Sumatera
Selatan
mempunyai
status
Suaka
Margasatwa yang sesungguhnya masih belum resrni, tetapi sedang dalam proses akhir penunjukannya. Kawasan perairan mangrove Sungai Sembilang, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan merupakan perairan yang cukup produktif sebagai daerah perikanan tangkap.
Musi Banyuasin menghadap ke perairan Laut Gina
Selatan yang merupakan daerah pengelolaan perikanan tersendiri (Komnas Kajis-Kan Laut 1998).
Permasalahan yang dihadapi oleh sumberdaya
mangrove Sernbilang adalah masih sangat terbatasnya data dan inforrnasi yang tersedia, baik dari segi fisik, biologi perikanan dan pengelolaan ekologinya.
2.3.
Parameter Lingkungan Perairan Estuaria
2.3.1. Parameter Fisika
Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalarn rnengatur proses kehidupan dan penyebaran organisrne. Proses kehidupan yang vital dan secara kolektif yang disebut proses rnetabolisme, hanya dapat berfungsi didalarn kisaran suhu yang relatif sempit biasanya antara 0 - 40
"C,
narnun ada juga organisme yang rnarnpu mentolelir suhu sedikit di atas dan di bawah batas tersebut (Nybakken 1988). Suhu dapat rnempengaruhi proses fotosintetis di laut, baik secara langsung maupun tak langsung. Pengaruh langsung adanya reaksi kimia enzirnatik yang berperan daiam proses fotosintetis dikendalikan oleh suhu.
Peningkatan suhu 10
"C (dari 10 "C
menjadi 20 OC) akan menaikkan laju fotosintetis rnaksimum menjadi kurang lebih dua kali lipat (Steernann-Nielsen 1975). Pengaruh suhu tak langsung ialah karena suhu akan rnenentukan struktur hidrologis suatu perairan, salah satu diantaranya adalah kerapatan air (water density) dimana suhu semakin rendah dengan sernakin dalarnnya perairan dan rneningkatnya nilai salinitas, sehingga kerapatan air yang
meningkat akan dapat
penenggelarnan fitoplankton (Rayrnont 1980).
rnengurangi laju
Setiap organisme mempunyai suhu maksimum, optimum dan minimum bagi kehidupannya. Menurut Boyd (1979) suhu optimum untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis berkisar antara 25 - 30 OC. Selanjutnya Nontji (1987) menyatakan bahwa suhu merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian dalam pengkajian kelautan.
Selain itu, suhu memegang peranan penting
dalarn proses metabolisrne organisme perairan, bahkan untuk terumbu karang
keberadaan
suhu
merupakan
faktor
pembatas
yang
sangat
menentukan.
2.3.2. Parameter Kimia Parameter kirnia perairan yang diamati dalam penelitian rni adalah parameter kunci di ekosistem estuaria yaitu salinitas, pH, oksigen terlarut, logarn berat, dan analisis fosfat, nitrat serta silika. Unsur hara yang dibutuhkan dalarn jumlah besar disebut hara makro (macro nutrient), yaitu: C. H, 0 , N, P, Si, S, Mg, K, dan Ca sedang hara rnikro (micro nutrient) terdiri dari unsur-unsur kelumit (trace element), yaitu: Fe, Mn, Cu, Zn, B, Mo, V dan Co. Fitoplankton biasanya rnemperoleh unsur
P dari senyawa fosfor
anorganik (ion ortofosfat) dan unsur Si dalam bentuk silikat dibutuhkan oleh jenis-jenis yang dinding selnya mengandung kerangka Si, misalnya diatom dan silicoflagellata. Unsur nitrogen dalam air laut berada dalam bentuk nitrogen molekuler (N2) atau sebagai garam-garam anorganik : nitrat, nitrit, amonium dan beberapa senyawa nitrogen organik seperti urea dan asamasam
amino.
Nitrogen
molekuler
dapat
diikat
alga
biru
rnisalnya
Trichodesmium dan amonium biasanya digunakan Iangsung untuk sintesis asam-asam amino melalui transaminasi (Nontji 1984).
Salinitas Salinitas merupakan jumlah total zat terlarut yang berada dalam satu kilogram air, yang biasanya dinyatakan dalam parts per thousand (O1OO). Salinitas memegang peranan penting sebagai faktor pembatas maupun sebagai faktor yang mempengaruhi kehidupan ikan. Salinitas di daerah tropis pada umumnya berkisar antara 33-36 Berbagai jenis
"/OO
(Supriharyono 2000a).
biota sangat tergantung hidupnya pada salinitas
perairan, diantaranya fitoplankton yang bersifat stenohaline (dapat hidup pada kisaran salinitas yang sernpit) dan euryhaline (dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebar). Jenis-jenis fitoplankton air payau (mangrove) yang bersifat stenohaline dapat hidup dalam kisaran salinitas antara 8 - 12 0100 adalah Peridinium balficum dan P. chattoni, sedangkan Exuviella bersifat euryhaline dapat
hidup dalam kisaran salinitas antara 8 - 35
Skeletonema bahkan dapat (Raymont, 1966).
hidup dalam
kisaran salinitas
O/OO.
Jenis
11-40
01,0
Beberapa faktor yang mempengaruhi kandungan nilai
salinitas pada suatu perairan adalah adanya evaporasi (penguapan) pada permukaan
perairan, serta
perubahan
musim.
Besarnya evaporasi
di
permukaan perairan tergantung dari lamanya penyinaran dan intensitas cahaya matahari (Sverdrup et al. 1942).
pH (puissance negative de 14)suatu perairan adalah negatif logaritma dari kepekatan ion-ion hidrogen yang terdapat dalam cairan. pH merupakan indikator baik atau buruknya suatu iingkungan perairan.
Nilai pH perairan
adalah sebagai salah satu parameter penting dalam pemantauan kualitas air. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : aktivitas biologi, suhu, kandungan oksigen, dan adanya ion-ion (Pescal 1973 dalam Samosir 1995). Menurut Benerjea (1967) dalam Mula (1989), suatu perairan dengan pH antara 7,5 - 8,5 memiliki produktivitas yang tinggi. Lebih jauh
dijelaskan oleh Anonim (1984), bahwa nilai derajat
keasaman (pH) di perairan juga merupakan salah satu parameter lingkungan yang berhubungan dengan susunan spesies maupun proses-proses hidup dari
suatu
komunitas diantaranya
terhadap
kehidupan organisme air
termasuk fitoplankton. Perubahan pH secara langsung dapat mengakibatkan kematian ikan, telur dan lain-lain sedangkan secara tidak langsung dapat mengakibatkan perubahan toksitas zat dalam air laut. Air laut mempunyai kemampuan sebagai penyangga untuk mencegah penarnbahan nilai pH yang sedikit saja dapat menunjukkan terganggunya sistem penyangga.
Perairan dengan nilai pH kurang dari 4 merupakan
perairan yang bersifat asam dan akan rnengakibatkan kematian organisme akuatik, sedangkan bila pH lebih dari 9,s perairan tersebut tidak produktif (Wardoyo 1975).
Oksigen Terlarut (DO) Kandungan oksigen terlarut dalam perairan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: (a) suhu dan salinitas; (b) kegiatan biologi; dan (c) arus dan proses pencampuran yang cenderung mengubah pengaruh kegiatan biologi lewat gerakan massa air dan difusi (Samosir 1995). Oksigen terlarut sangat esensial bagi pernapasan dan rnetabolisrne organisme perairan.
Proses ini merupakan salah
satu faktor
yang
menentukan konsentrasi oksigen selain adanya pertukaran oksigen dari permukaan air. Oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi udara dan hasil fotosintetis organisme berklorofil yang hidup dalarn suatu perairan dan dibutuhkan oleh organisme untuk mengoksidasi hara yang masuk kedalam tubuhnya
(Nybakken
1988).
Beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
penyebaran kandungan oksigen terlarut di laut antara lain suhu, salinitas yang berbanding terbalik dengan oksigen, aktivitas biologi dan arus serta proses percampuran yang dapat mengubah pengaruh-pengaruh dari kegiatan biologis lewat gerakan massa air dan proses difusi (Birowo e t a/. 1975). Dengan bertambahnya kedalaman, proses fotosintesis akan semakin kurang efektif, maka akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut sampai pada suatu kedalaman yang disebut compensation depth yaitu kedalaman tempat oksigen yang dihasilkan melalui proses fotosintetis sebanding dengan oksigen yang dibutuhkan untuk respirasi (Sverdrup et a/.1942). Kandungan oksigen terlarut yang turun drastis dalam suatu perairan menunjukkan terjadinya penguraian zat-zat organik dan menghasilkan gas berbau busuk dan membahayakan kesehatan (Anonim
1985). Vailasi kadar oksigen
terlarut alami di lapisan permukaan perairan Indonesia berkisar antara 4,s-7,O mgll.
Nitrat Nitrat (NO<) adalah bentuk senyawa nitrogen yang merupakan suatu senyawa yang stabil.
Senyawa ini penting sebagai hara bagi pertumbuhan
plankton dan berperan dalam pembentukan serta perneliharaan protein yang merupakan bagian dari organisme (Ruttner 1973). Senyawa nitrogen dalam air laut terdapat dalam 3 bentuk utama yang berada dalam keseimbangan, yaitu amonia, nitrit dan nitrat. Keseimbangan tersebut sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen bebas dalam air. Pada saat kadar oksigen rendah, keseimbangan bergerak menuju ke amonia, sedangkan pada saat kadar oksigen tinggi keseimbangan bergerak menuju nitrat.
Dengan dernikian nitrat merupakan hasil akhir dari proses oksidasi
nitrogen dalam air laut.
Di beberapa perairan laut, nitrat digambarkan
sebagai senyawa mikro nutrien pengontrot produktivitas primer dilapisan permukaan daerah eufotik (euphotic zone).
Bila intensitas cahaya yang
masuk ke dalam air cukup, maka kecepatan pengambilan nitrat (intake) lebih cepat daripada proses transportasi nitrat ke lapisan permukaan (GrasshofF 1976 dalam Hutagalung dan Razak 1997). Distribusi nitrat secara vertikal di laut menunjukkan bahwa kadar nitrat semakin tinggi bila kedalaman laut bertambah.
Sedangkan distribusi horizontal kadar nitrat semakin tinggi
menuju ke arah pantai, dan kadar tertinggi biasanya ditemukan di perairan muara.
Peningkatan kadar nitrat di laut biasanya disebabkan oleh masuknya
lirnbah dornestik
atau pertanian (pemupukan)
yang urnumnya banyak
mengandung nitrat. Fosfat
Fosfat
(pod3-) merupakan salah satu
hara yang
penting bagi
metabolisme plankton dan tanaman air. Urnumnya fosfat perairan ditemukan dalam bentuk ortofosfat, polifosfat dan fosfat organik.
Kandungan fosfat
dalam perairan rata-rata sekitar 2 pg dalarn PO4-PI1dan kadar ini akan bisa meningkat, bila ada penambahan dan pelimpahan air buangan pertanian dan rumah tangga (Lund dalam Ali 1994).
Kandungan fosfat dapat dipakai
sebagai penentu kesuburan suatu perairan.
Perairan dengan kandungan
fosfatnya berkisar antara 0.000 - 0,021 rngll dikategorikan kesuburan rendah; kandungan fosfat 0,021 - 0,050 mgll
tergolong cukup; kandungan fosfat
0,051 - 0,100 mgll tergolong baik; dan kandungan fosfat 0,101
- 0,200
mgll
tergolong baik sekali. Sedangkan untuk kategori kesuburan perairan sangat baik apabila memiliki kandungan fosfat di atas 0,201 mgll (Liaw 1969 dalam Wardoyo 1981). Fosfat yang terkandung dalam air laut baik yang terlarut maupun yang tersuspensi berada dalam bentuk anorganik dan organik. Fosfat yang berada dalam
bentuk
senyawa anorganik terutama terdiri dari ortofosfat dan
polifosfat (tri-dan pirofosfat), sedangkan yang berada dalarn bentuk senyawa organik terdiri dari gula-fosfat. Senyawa anorganik fosfat yang terkandung dalam laut umumnya berada dalam bentuk ion asam fosfat,
H3P04.
Kira-kira
10 % dari fosfat anorganik terdapat sebagai ion pod3- dan sebagian besar (90 %) dalam bentuk
~ ~ 0 4 (Hutagalung ' dan
Razak 1997).
Fosfat yang berada di dalam iaut umumnya berasal dari hasil dekomposisi organisme yang sangat penting. Fosfat merupakan salah satu senyawa hara yang sangat penting.
Fosfat tersebut diabsorbsi oleh
fitoplankton dan seterusnya masuk ke dalam rantai makanan (Hutagalung dan Razak 1997). Logam Berat
Dalam sistem berkala periodik, ada 71 dari 21-92 unsur tergolong dalam unsur logam berat. Logam berat ialah logam yang mempunyai berat 5 gram atau lebih untuk setiap cm3, dan bobotnya 5 kali dari bobot air.
Logam-logam
berat
tertentu
sangat
berbahaya
bila
ditemukan dalam
konsentrasi tinggi dalam lingkungan (darat, tanah dan udara).
Hal ini
disebabkan karena logam tersebut mempunyai sifat yang merusak jaringan tubuh mahluk hidup (Darmono 1995). Daya toksisitas logam berat terhadap mahluk hidup sangat bergantung pada spesies, lokasi, umur (fase siklus hidup), daya tahan (detoksikasi) dan kemampuan individu untuk menghindarkan diri dari pengaruh pencemaran (Darmono
2001).
Menurut Simkiss dan Mason (1984) dalam Darmono
(2001), logam dibagi menjadi dua tipe utama, yaitu logam tipe klas A, seperti Na,
K. Ca dan Mg, yang pada dasarnya bersifat elektro-statik dan pada
larutan garam berbentuk ion hidrofilik. Logam tipe klas 6, seperti Cu, Zn, dan Ni, yang merupakan komponen kovalen dan jarang berbentuk ion bebas.
Tipe klas B ini yang bersifat toksik seperti Cd, Pb dan Hg menjadi perhatian yang sangat penting bagi setiap pengamat lingkungan. Logam berat yang dilimpahkan ke perairan, baik di sungai ataupun di laut, akan mengaiami paling tidak tiga proses, yaitu pengendapan, adsorpsi, dan absorbsi oleh organisme-organisme perairan (Bryan 1971 dalam Supriharyono 2000). Semua spesies kehidupan dalam air sangat terpengaruh oleh hadirnya logam yang terlarut dalarn air, terutama pada konsentrasi yang melebihi normal.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya toksisitas logam
dalam air terhadap mahluk yang hidup di dalam air, yaitu sebagai berikut : 1. Bentuk ikatan kimia dari logarn yang terlarut. 2. Pengaruh interaksi antara logam dan jenis toksikan lainnya. 3. Pengaruh lingkungan seperti suhu, kadar garam, pH, dan kadar
oksigen yang terlarut dalarn air. 4. Kondisi hewan, fase hidup (telur, larva, dewasa), besarnya ukuran
organisme, jenis kelamin, dan kecukupan kebutuhan nutrisi. 5. Kemampuan hewan air untuk menghindarkan diri. 6. Kemarnpuan hewan air untuk beraklimatisasi terhadap bahan toksik
logam. Hugles ef al. (1979) dalam Darmono (2001) melaporkan bahwa pengaruh toksisitas Cd, Ni dan Cr pada morfologi ikan salmon, ikan mengalami hipoksia (karena kesulitan mengambil oksigen dari air), sehingga terjadi penebalan pada sei epitel insang, yang mengakibatkan ikan kurang rnampu berenang.
Toksisitas logam pada saluran pencernaan ikan dapat
terjadi melalui pakan maupun melalui air yang mengandung dosis toksik
logam. Selain itu ginjal ikan dari percobaan Delarnase dan Truchet (1984)
dalam Darrnono (2001) rnernperlihatkan pembengkakan pada ginjal ikan Akumulasi logarn dalarn jaringan ikan dapat terjadi rnelalui pakan dan air Sekitar tahun 1970-an, Kornisi Pengawas Bahan Makanan dan Obat Amerika (USFDA) dan Kanada (CFDD) rnenentukan batas maksirnum konsentrasi Hg dalarn produk perikanan yaitu 0.5 mg Hglkg berat basah Adapun batas rekomendasi untuk ikan konsumsi rnanusia menurut Suwirrna (1981) dalarn Darrnono (2001) adalah: Hg= 0,s mglkg berat basah; Cd= 0,2 mglkg; Cr = 0.4 rnglkg; Pb = 2,O mglkg. kandungan
logarn
yang
ketentuan FAOMHO
direkornendasikan
untuk
Lebih jelasnya batas konsurnsi
menurut
(JECFA: Joint Expert Comitte on Food Additives)
terlihat pada Tabel 1 Tabel 1 .
1
I
Batas kandungan logam yang direkornendasikan untuk konsumsi menurut ketentuan FAOMHO (JECFA : Joint Expert Cornitte on Food Additives) (Darmono 2001).
Logam
Ketentuan
mglorang
mglg (bf>)
mml (bb)
Cd
PTWl
0,5
0,0083
8.3
0.05-0.5 0.05
50-500 50.0
0,0033
3,3
Cu Pb
Hg (metil)
1
1 /
PMTDl PTWl PTWl
I
1 /
3.0 0,2
11 1
Keterangan : Untuk kontarninan, diberlakukan sebagai berikut : 1. Bahan yang bersifat cumulative diberlakukan aturan: Provisional Tolerable Weekly Intake (PTWI) 2. Bahan yang bersifat esensial, tetapi dapat toksik diberlakukan aturan : Provisional Maximum Tolerable Daily Intake (PMTDI) 3. bb = bobot basah
1
1 (
Hasil penelitian Suwirma (1981) dalam Darmono (2001) terhadap beberapa jenis ikan yang dijual di tempat pelelangan ikan Kalibaru Jakarta selama tahun 1976-1977, menunjukan bahwa persentase kandungan logam dalam daging ikan yang melebihi rekomendasi cukup tinggi. Penelitian bioakumulasi logam dalam jaringan ikan telah banyak dilakukan. Adapun jumlah akurnulasi logam, dari yang besar ke yang kecil berturut-turut ialah: hati > ginjal > insang > daging.
Sedangkan kekuatan
penetrasi logam ke dalam jaringan tubuh ikan ialah: Cd > Hg > Pb > Cu > Zn > Ni. Jenis kerang dapat mengakumulasi logam lebih besar daripada hewan
air lainnya karena sifatnya yang menetap, lambat untuk dapat menghindarkan diri dari pengaruh pencemaran, dan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap konsentrasi logam tertentu. Oleh karena itu, beberapa jenis kerang dapat merupakan indikator yang sangat
baik untuk
memonitor suatu
pencemaran lingkungan. Pada daerah estuaria dan daerah pesisir laut, logam berat menjadi lebih rendah, dan mudah mengendap. Rendahnya daya larut iogam berat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan, pada daerah yang kekurangan oksigen daya larut logam berat menurun dan mudah mengendap. Demikian pula perairan yang banyak mengandung HzS (hidrogen sulfida), beberapa logam berat seperti Zn, Cu, Pb, Hg dan Ag, akan sulit terlarut dalam keadaan
anoksik, atau cenderung diendapkan (Supriharyono 2000). Seianjutnya dijelaskan, kontaminasi logam berat pada organisme perairan terjadi pada seluruh jenis organisme air di setiap tropic level.
Logam berat tersebut
cenderung terakumulasi di dalam jaringan-jaringan tertentu pada organisme, seperti di dalam hati, ginjal, lirnpa dan sebagainya, tergantung kepada spesies organisme. Pokok masalah yang menjadi perhatian utarna ialah pengaruh negatif toksisitas logam terhadap rnanusia. Beberapa kasus keracunan logam berat, misalnya kasus nelayan di Minamata dan pada penduduk yang tinggal di pernukiman Sungai Jinsu di Jepang.
Tidak tertutup kemungkinan ha1 yang
sama telah terjadi di Indonesia, tetapi tidak diketahui karena kurangnya penelitian. Di antara beberapa jenis beberapa
yang
sangat
logarn yang telah ditemukan ternyata
berbahaya
rnenyebabkan keracunan fatal.
dalam
jumlah
kecil
yang
dapat
Menurut Gossel dan Bricker (1984) dalarn
Darmono (2001) ada lirna logarn berat yang berbahaya pada manusia yaitu: arsen (As), kadmium (Cd), timbal (Pb), merkuri (Hg), dan besi (Fe). Selain itu ada 3 logam yang kurang beracun, yaitu tembaga (Cu), selenium (Se), dan seng (Zn).
Dikatakan bet-sifat toksik karena logarn tersebut terikat dengan
logam dari struktur biologi, ikatan terjadi dengan beberapa jenis sistem enzim.
lkatan tersebut rnengakibatkan tidak dapat aktifnya enzim yang
bersangkutan.
Hal inilah penyebab utama dari toksisitas logam tersebut,
tetapi belum dapat dipastikan enzim mana yang menjadi target ikatan logam tersebut. Merkuri (Hg) yang
menumpuk di dalam jaringan
meracuni rnanusia bila ikan tersebut dikonsumsi.
daging dapat
Akibatnya akan terjadi
kelernahan otot, kehilangan penglihatan, ketidakseimbangan fungsi otot
sampai kelumpuhan. Merkuri dapat rneracuni janin, yang merusak sistem syaraf pusat (Supriharyono 2000). Kadrnium (Cd) yang rnenumpuk pada tubuh rnanusia akan meracuni manusia dan
mempengaruhi faktor-faktor
kehamilan, laktasi,
ketidak-
seimbangan dalam internal sekresi, penuaan, kekurangan kalsiurn dan sebagainya (Wittrnan 1979).
Tanda-tanda keracunan Cd adalah warna
kuning pada gigi, rasa nyeri pada pungung bawah dan otot-otot kaki. Plurnbum (Pb) atau timbal rnerupakan salah satu jenis logam berat yang beracun bagi rnanusia dan rnahluk hidup lainnya. Menurut EPA (1976) racun Pb
biasanya rnenyerang pada tiga
hematologis, neurvlogis. dan renal (ginjal).
sistem organ tubuh,
yaitu
Selain itu dapat rnenyebabkan
miozocityz anemia. Juga P b dapat rnengakibatkan bahaya bagi sistem saraf pusat, biasanya terjadi pada anak-anak. Tanda-tanda keracunan pada manusia adalah ataxia, korna. dan convulsion (gangguan pada pergerakan). Standar konsentrasi baku mutu logam berat untuk kehidupan di laut menurut Surat Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02 Tahun 1988, yaitu untuk Cd < 0.01 mgll dan Pb < 0,075 mgll.
Public Health Service (EPA) menetapkan bahwa surnber-sumber air alami tidak boleh mengandung Hg lebih dari 0,05 mgll dan WHO rnenetapkan kadar air sebesar 0 , l ppm (Fardiaz 1992). Fenol Fenol merupakan senyawa berdcun dan umum digunakan dalam industri kimia seperti resin dan polim&r. Nilai baku mutu konsentrasi fenol
yang diperuntukan bagi biota laut dan konservasi perairan laut menurut Surat Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02 Tahun 2988 yaitu 0.002 mgll. Suatu fenol (ArOH) ialah senyawa dengan suatu gugus OH yang terikat pada cincin aromatik.
Gugus OH merupakan aktivator kuat dalam
reaksi substitusi aromatik daripada alkohol, pKa fenol adalah 10. Jadi fenol kira-kira di tengah antara etanol dan asam asetat (pKa = 4.75). Selanjutnya asam ion feroksida merupakan basa yang lebih lemah daripada OH. Oteh karena itu feroksida dapat dibuat dengan rnengolah suatu fenol dengan NaOH dalam air.
Fenol bersifat lebih asam dibandingkan dengan alkohol,
karena anion yang dihasilkan distabilkan oleh resonansi, dengan rnuatan negatifnya (delokalisasi) oleh cincin aromatik, karena keasamannya fenol disebut asam karboksilat. Pada tahun 1800-an Joseph Listen, ahli bedah lnggris mengusulkan agar fenol digunakan sebagai bahan antiseptik rurnah sakit.
Sekarang fenol sebagai antiseptik telah digantikan peranannya oleh
senyawa lain yang kurang merangsang.
Cukup menarik bahwa antiseptik
modern rnasih menggunakan gugus fenolik
2.3.3. Parameter Biologi Menurut Sutomo (1999) di perairan muara sungai pertumbuhan fitoplankton lebih baik dikarenakan banyaknya hara yang dinamis untuk pertumbuhan fitoplankton. Tingginya kadar klorofil pada bulan Desember 1997,
di muara Sungai Sembilang kemrlrkgkinan berasal dari proses
penaikan air yang berasal dari pengadukan air lapisan dasar ke atas oleh
pengaruh pasang surut dan gelombang, yang mernbawa hara untuk memacu pertumbuhan fitoplankton. Fitoplankton dan
kondisi
hidrologi
(hara
dan
oksigen)
sangat
mendukung untuk perturnbuhan biota. Kondisinya masih dalam arnbang konsentrasi yang aman dan baik digunakan dalam perikanan maupun untuk budidaya biota laut lainnya yang sesuai.
2.3.3.1. Plankton Plankton (fitoplankton dan zooplankton) adalah jasad renik yang melayang dalam air, tidak bergerak atau bergerak sedikit dan selalu mengikuti arus (Arinardi 1998). Plankton berperan penting bagi kehidupan ikan dan organisme perairan, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Menurut Arinardi (1998) ada beberapa kegunaan plankton antara lain adalah: a.
Kesuburan perairan. Plankton rnerupakan sumber pakan bagi sernua
anak ikan dan juga ikan pelagik dewasa. Oleh karena itu rnelimpahnya plankton sering dikaitkan dengan indikasi suburnya perairan. b.
Manfaat langsung. Berbagai jenis zooplankton sering secara Iangsung
dimanfaatkan oleh rnanusia seperti misalnya rebon dan jarnbret.
c.
Tempat pemijahan dan asuhan.
Banyaknya meroplankton di suatu
perairan dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa perairan tersebut merupakan tempat pemijahan atau tempat asuhan biota tertentu. d.
lndikator arus massa air.
Kehidupan plankton terkait erat dengan
faktor lingkungannya seperti antara lain kebutuhan akan suhu tertentu
sehingga dikenal akan plankton perairan tropis, plankton perairan iklim sedang, plankton perairan kutub dan sebagainya.
Ada pula plankton
yang sangat tergantung pada salinitas tertentu dan ini menyebabkan perbedaan sangat tergantung pada salinitas tertentu menyebabkan perbedaan antara plankton neritik dan oseanik. Sebagai contoh apabila plankton iklim sedang dijumpai di perairan tropis ini berarti ada massa air dingin yang mengalir ke perairan sekitar katulistiwa. e.
Petunjuk proses upwelling.
Di lokasi penaikan air paling intensif,
Calanoides philippinensis sangat melimpah. lndikator biologi ini lebih memperjelas tentang bilamana dan dimana proses upwelling terjadi dibandingkan hanya melihat nilai suhu dan salinitas. f.
Kondisi perairan. Pada tingkat dan keadaan tertentu, diduga jenis dan
kelimpahan plankton dapat digunakan untuk mengetahui terjadinya perubahan kondisi perairan. Skeletonema costaturn akan melimpah di perairan dengan kadar hara tinggi dan Brachionus sp. banyak terdapat di perairan dengan kandungan organik berlebih. g.
Obat-obatan. Walaupun penelitiannya masih sangat terbatas dan belum
efisien tetapi diduga Asterionela japonica dan A. notata mengandung antibiotik yang sama seperti pinisilin dan streptomisin. Menurut Martinsen (1966) dalam Arinardi (1 998) dari berbagai jenis ikan di seluruh dunia, terbukti banyak ikan pelagis dan larva dari hampir seluruh jenis ikan telah mernanfaatkan plankton sebagai makanannya. Dari seluruh produksi ikan di dunia, 74 % merupakan ikan pelagis. makanannya ternyata
Berdasarkan jenis
63 % adalah ikan pemakan plankton, 24 % ikan
predator dan 8 % yang hidup di dasar (demersal).
Dari penelitian di
Indonesia, potensi surnberdaya ikan pelagis kecil pernakan plankton seperti layang (Decapterus spp.), selar (Caranx spp.), teri (Stolephorus spp.), japuh (Dusumieria acuta) , lernuru (Sardinella spp.) dan kembung (Rastrelliger spp.) sekitar 3.244.000 ton atau hampir 53 % dari potensi lestari sumberdaya perikanan (di luar ikan hias, rajungan-kepiting, rnoluska, teripang, rebon dan ubur-ubur) (Merta ef at. 1998). Fitoplankton
berperan
sebagai
produsen
primer
perairan
dan
zooplankton berada pada tingkatan berikutnya. Tiga teori penting yang dapat menerangkan hubungan terbalik antara fitoplankton dengan zooplankton dijelaskan oieh Davis (1955) dalarn Samosir (1995) sebagai berikut: 1).
Theory of grazing (Hervey et a/.
1935 dalam Samosir 1995) yang
menyatakan bahwa apabila populasi zooplankton meningkat, maka pemakan fitoplankton akan sampai pada kecepatan tertentu, sehingga kecepatan membelah
diri
fitoplankton
perturnbuhan zooplankton.
tidak
mampu
rnengimbangi
kecepatan
Bila zooplankton menurun, maka fitoplankton
akan berkembang dan menjadi berlimpah.
2). The theory of animal
exclusion (Hardy dan Gunther 1935 dalam Samosir 1995), yang menyatakan bahwa selama zooplankton melakukan migrasi vertikal harian, akan menernui hambatan untuk rnencapai perrnukaan bila berjurnpa dengan kelirnpahan fitoplankton yang menghasilkan
sangat
suatu
zat
padat. kimia
Hal ini diduga karena fitoplankton tertentu
sehingga
zooplankton
rnendekatinya. 3) Theory of different growth rate (Nielson
tidak
1937 dalam
Samosir 1995), yang menyatakan bahwa walaupun zooplankton rnemakan
fitoplankton
tetapi
untuk
mencapai
populasi
yang
melimpah
membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan fitoplankton.
akan Hal ink
disebabkan zooplankton mempunyai siklus reproduksi yang lebih panjang dibanding fitoplankton. Nitai indeks keanekaragaman plankton dapat menjadi standar kuatitas lingkungan, seperti yang dijelaskan melalui Kep.Men. KLH No. 0211988 yang disajikan pada Tabel 2 Tabel 2. Standar kualitas lingkungan berdasarkan indeks keanekaragam plankton (Menteri Negara-KLH, 1988)
1
indeka Keaneksragarnrn Plankton
I
Nilai Kualttas Iingkungan Sangat jelek Jelek Sedang Baik Sangat Baik
2.3.3.2.Jenis Surnberdaya lkan di Daerah Estuaria Berbagai
biota
dan
hasil
tangkapan
nelayan
dilaporkan
oleh
Burhanuddin (1980 a), dan pengamatan ikan gelodok (Burhanuddin 1980 b). perikanan kelong di Selat Bangka telah dilaporkan oleh Burhanuddin et at. (1983),
dan
telaah
biologi
ikan
kuro
(Eleuthemnema tetradactylurn),
Polynemidae di muara Sungai Musi, Sumatera Selatan (Djamali et al. 1985). Martosewojo
et
a/.
(1984)
telah
membahas
makanan
ikan
gelodok
(Boleophthalmus boedarti) dari muara Sungai Banyuasin. Demikian pula
Burhanuddin dan Ganisa (1997) melakukan analisis yang sama. Berikut ini beberapa jenis sumberdaya ikan ekonorni penting yang ada di daerah penelitian. Penaeidae
Udang penaeidae termasuk flum Arthropods, kelas Crustacea, anak kelas Eumalocastraca, induk ordo Eucarida, ordo Decapoda, anak ordo Natantia dan suku Penaeidae. Suku Penaeidae yang ukurannya cukup besar dan bernilai niaga di lndonesia adalah Penaeus monodon (udang windu, udang pancet, udang bago) dan P. merguiensis putih,
( udang jerbung, udang
udang peci, udang kelong). Udang windu
mempunyai sebaran
geografis yang sangat luas membentang dari pantai timur Afrika sarnpai Australia dan ke utara sarnpai bagian selatan kepulauan Jepang. Udang jerbung mempunyai sebaran geografis rnulai dari teluk Persia ke timur sarnpai ke Australia dan ke utara mendekati Taiwan. Menurut Naamin (1977) dan Surniono dan Naamin (1988) penyebaran udang windu dan udang jerbung di Indonesia hampir mencakup seluruh perairan Indonesia. Habitat udang berbeda-beda tergantung pada tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Udang dewasa bersifat bentik, habitat yang disukai ialah dasar laut yang lurner (soft), biasanya terdiri dari campuran lurnpur dan pasir (Unar 1965; Munro 1968; Munro 1975 dan Motoh 1981). Udang dewasa banyak ditemukan di daerah perairan selasar (shelf), dekat rnuara sungai, kadang-kadang dapat mencapai 60 pada kedalaman 8 - 40 rn (Naamin 1975).
terutama perairan
- 80 mil dari pantai
Menurut Joesoef (1974) P. rnerguiensis dan P. indicus mempunyai daya penyesuaian yang besar terhadap semua tipe dasar perairan, tetapi lebih menyukai dasar perairan lempung liat. P. monodon lebih menyukai tekstur dasar lempung berdebu (lempung dan pasir). Menurut
Poernomo
(1968)
pasca
larva
udang
windu
umunya
ditemukan di sepanjang pantai yang landai, keadaan pasang yang terendah dan tertinggi berfluktuasi sekitar 2 m, dengan aliran sungai kecil, dasarnya berpasir atau lumpur kadang-kadang dengan batu-batu kecil atau cangkang kerang di sana-sini. Martosubroto (1978) melaporkan bahwa dari Tanjung Karawang banyak ditangkap
udang jerbung
(Metapenaeus ensis). dan sungai besar
(P. merguiensis)
dan
udang dogol
Kawasan tersebut banyak dialiri sungai-sungai kecil
yaitu Sungai Citarum. Juga dari perairan muara Sungai
Cisadane, Tangerang, banyak tertangkap udang jerbung (P. merguiensis). Selain ikan juga tertangkap Penaeus monodon,
P.
semisulcatus dan
P.orientalis (Toro dan Djarnali 1979). Di daerah muara sungai dan mangrove banyak ditemui larva dan juwana udang penaeid serta sekaligus menjadikan daerah tersebut sebagai daerah asuhannya sebelum beremigrasi ke laut lepas (Sastrakusumah 1976; Grey et a/.1983). Staples (1980a) mendapatkan bahwa wiiayah utama pasca larva atau juwana P. merguiensis di Sungai Norman, Teluk Carpentaria, jauhnya 48 - 72 krn ke hulu dan mengatakan bahwa pasca larva yang akan mencapai tempat tersebut memerlukan beberapa hari Turner (1977).
Martosubroto dan Naamin (1977) dan Naamin (1984) menyatakan bahwa hasil perikanan regional berkorelasi dengan luas hutan mangrove. Juwana Penaeidae juga memainkan peranan penting di ekosistem mangrove di Segara Anakan, Cilacap. Beberapa pakar dari manca negara antara lain Motoh (1981) telah menerangkan pentingnya muara sungai dan hutan mangrove dalam daur hidup udang windu (P. monodon) dan Munro (1968) menggambarkan tentang daur hidup udang jerbung (P. merguiensis). Sastrakusumah (1976) mengernukakan bahwa perairan Cilacap yang bermangrove merupakan nursery ground udang. Hal ini juga diperkuat oleh hasil penelitian Naamin dan
Van
Zalinge
(1975) serta
Naarnin dan
Martosubroto (1985) terhadap hasil tangkapan wideWsero dan jaring di Sungai
Donan.
Sungai
Kembang Kuning dan
Segara Anakan.
Hasil
tangkapan dari alat perangkap pasang surut (tidal trap) tersebut terdiri dari juwana udang penaeid sekitar 80%. Sebelurnnya dilaporkan oleh Wahyuni dan Nuraini (1984) bahwa di Segara Anakan dengan alat waring dudukan mendapatkan udang muda sebanyak 90%, waring surungan mendapatkan udang 80% dan wide impes yang dipasang di tepian daerah mangrove mendapatkan udang muda 80%. Daur hidup udang windu telah digambarkan oleh Motoh (1981) dan udang jerbung oleh Munro (1968). Daur hidupnya terjadi di dua daerah ekologis yaitu di laut dan air payau. Pemijahan terjadi di iaut dan telur yang menetas menjadi larva udang yang bersifat planktonik terbawa arus menuju pantai, rnuara sungai dan sampai menjelang dewasa menyenangi daerah yang bermangrove dan dewasa menuju laut kembali untuk memijah (Gambar 2 dan 3).
ESTUARINE
INNER 1,ITORAI.
OIJTER I.1TORAL
Gambar 2 Daur h~dupudang windu, Penaeus monodon Fabricus (Motoh 1981)
Garnbar 3. Daur hidup udang jerbung, Penaeus merguiensis de Man (Munro .1968)
Udang jerbung yang umumnya hidup di daerah tropis dikenal beruaya dari pantai ke tengah laut dan sebaliknya. Setelah menetas, larva udang jerbung bergerak secara pasif dari daerah pemijahan ke arah pantai. Selama dalam perjalanan dari tengah laut ke pesisir atau muara sungai, larva turnbuh dan berkembang. Larva yang beruntung akan mencapai muara sungai atau pesisir pada akhir stadium rnysis atau awal stadium pasca larva. Biasanya perairan yang ada hutan mangrovenya disenangi oleh udang ini (Kirkkegaard et
a/. 1970; Sastrakusumah 1976). Menurut Villaluz et al. (1972) stadium pasca larva hidup di muara
sungai dan terdiri dari 39 tingkatan. Untuk mencapai tingkatan juwana memerlukan waktu sekitar 3 - 4 bulan (Munro 1968). Juwana udang ini rnulai mengadakan migrasi ke laut lepas.
Waktu meninggalkan daerah muara
sungai, udang windu betina belum mencapai masak kelarnin (Naarnin 1968). Udang jerbung yang normal dapat hidup selama 12 bulan, kadang-kadang dapat mencapai umur dua tahun (Naamin 1975; Unar et a/.1978). Udang pada semua tingkatan dalam siklus hidupnya sangat peka terhadap perubahan faktor-faktor lingkungan tempat hidupnya. Lingkungan juga mempengaruhi usaha perikanan dalam banyak ha1 dan cara.
Oleh
karena itu adalah banyak aspek interaksi antara udang dan perikanan udang dengan lingkungannya yang harus dipelajari (Naamin 1984; Ahmad 1988). Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan dan perikanan udang penaeid menurut Naamin (1984) adalah : suhu, salinitas, oksigen, sedimen, curah hujan, muara sungai dan aliran sungai,
tingkat kekeruhan air, arus, pasang surut air, fase bulan, keadaan hari (siang atau rnalarn), rnakanan dan planton serta keadaan hutan mangrove. Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan udang. antara 26-30
Pada
suhu
OC dianggap paling baik untuk kehidupan udang (Shigueno
1970). Selanjutnya dikatakan suhu 32,5
OC dalarn waktu relatif lama,
rnenyebabkan daya tahan udang rnenurun. Udang-udang rnuda dan dewasa rnernpunyai toleransi suhu antara $ 0 - 40
OC, tetapi jarang diternukan pada
suhu 36 "C atau lebih (Munro 1968). Oksigen terlarut dalarn air rnerupakan faktor utarna untuk proses rnetabolisrne pada hewan aquatik.
Pada udang, konsurnsi oksigen terlarut
lebih tinggi daripada ikan (Martosudarrno dan Ranoemihardjo 1980). Udang rnerupakan hewan yang rnernpunyai kisaran cukup luas terhadap salinitas (eurihalin). Pada salinitas yang sangat rendah atau air tawar, Penaeus monodon dan Mefapenaeus spp. rnasih dapat hidup (Shigueno 1970). Selanjutnya pakar ini rnenyatakan P. monodon, M. monoceros dan rnasih dapat hidup pada kadar gararn 40
%O
P.indicus,
bila perubahannya terjadi
perlahan-lahan. Selanjutnya ia rnengatakan, tiap jenis udang rnernpunyai pilihan kadar gararn yang berbeda-beda.
P. monodon dan M. monoceros
lebih rnenyukai kadar garam yang agak rendah (10 - 25
%o).
Phiyakarnchana
(1975) dalarn Poernorno (1979) rnengatakan. P. merguiensis mencapai perturnbuhan yang optimal pada kadar gararn 25
400.Shigueno (1975)
mengatakan, untuk perturnbuhan udang penaeid, dibutuhkan kadar gararn sekitar 20 - 30 %O
(Munro 1968).
Air dengan pH yang rendah atau tinggi di luar batasan yang normal, mempunyai pengaruh yang kurang baik terhadap pertumbuhan udang Penaeid. Wickins
(1976) dalam
Poernomo (1979) mengatakan dalam
percobaan di laboratorium pH air 6,4 rnenyebabkan pertumbuhan udang P. monodon menyusut 60%. Pada pH tersebut,
P. merguiensis dan
P. aztecus mulai mengalami lernas atau pingsan dan terjadi kematian. Jika diturunkan menjadi 5.0, kematian total akan terjadi. Menurut Poernomo (1979), pH air yang normal yang mendukung kehidupan udang adalah 7,O 8.9. Menurut Staples (1980a, 1980b) curah hujan berpengaruh langsung baik terhadap emigrasi udang jerbung di muara Sungai Norman. Variasi musiman curah hujan di rnuara sungai tersebut sangat tinggi dan tingginya laju aliran sungai selama musim hujan yang panjang rnencegah imigrasi pasca larva. Dia berpendapat bahwa imigrasi dipengaruhi langsung oleh periode musim hujan. Selain perubahan salinitas, emigrasi juga dirangsang oleh faktor-faktor lain yang berhubungan dengan curah hujan. Staples et at. (1981) menunjukkan bahwa hasil udang jerbung di bagian tenggara Teluk Carpentaria adalah paling baik korelasinya dengan curah hujan musim panas dan
musirn
dingin.
Sedangkan
Naamin
(1984)
dalam
penelitiannya
menyimpull..an bahwa curah hujan ternyata tidak mempengaruhi kelimpahan stok udang jerbung (P. merguiensis) di daerah Dolak, Arafuru, baik secara langsung maupun secara tak langsung. Curah hujan juga ada hubungannya dengan puncak musirn berteiur sepanjang tahun dengan puncak pada awal dan akhir musim hujan
(Poernomo 1968; Naamin dan Poernomo 1972). Menurut Zalinge dan Naamin (1975) upaya penangkapan dan curah hujan merupakan faktor-faktor yang sangat berpengaruh (negatif) terhadap kelimpahan stok udang di perairan Cilacap. Relatif tingginya pemijahan pada periode
Maret
-
September bertepatan dengan musim kering di mana curah hujan rendah yang barangkali disenangi bagi perkembangan gonada (spawn).
Dasyatidae Jenis-jenis ikan ini dikenal dengan nama lkan Pari di Indonesia atau Ray oleh orang-orang berbahasa Inggris.
Ikan-ikan ini terbagi menjadi 2
bangsa yaitu Rhinobatiformes dan Myliobatiformes. Rhinobatiformes hanya terdiri dari 2 suku,
sedangkan
Myliobatiformes meliputi 4
suku yaitu
Urolophidae, Dasyatidae, Myliobatidae dan Mobulidae (Munro 1967).
Dari
suku-suku ini yang umum tertangkap oleh para nelayan di perairan lndonesia adalah Dasyatidae. Burhanuddin et a/. (1980) mencatat 8 jenis di perairan ini.
Dasyatis zugei dan Dasyatis irnbricatus merajai hasil tangkap dengan
trawl dan kedua jenis ikan pari itu tergolong pari muda. Perairan pantai utara Jawa juga didominasi oleh Dasyatis zugei dan Dasyatis imbricatus (Toro et al. 1980). Sudradjat dan Beck (1978) mencatat tiga jenis 0.imbricatus yaitu Taeniura lymma, Himantura uarnak dan Amphotistus kuhli di perairan selatan Laut Cina Seiatan. Suku ini terdiri dari 4 marga yaitu Taeniura, Himantura, Dasyatis dan Arnphofistus.
Marga Dasyatis yang paling banyak diperoleh
para nelayan. lkan pari rnudah dikenal, karena mereka mernpunyai bentuk tubuh yang kurang lebih bulat pipih seperti cakram.
Ekornya bulat dan
panjang rnirip ekor tikus, dan pada ekor itu terdapat satu sarnpai dengan tiga buah duri.
Dalarn keadaan bahaya, ekor dengan durinya yang berbisa itu
dapat terangkat dan rnenyengat musuhnya, sehingga orang-orang lnggris menyebutnya dengan narna Stingray. Jenis-jenis
ikan
pari
ini
rnempunyai
kebiasaan
rnembenarnkan
sebagian atau seluruh tubuhnya di dasar perairan yang datar, seperti di daerah gosong (shoal), goba (lagoon), muara-muara sungai, atau di sela-sela batu karang yang berpasir. Dengan membenarnkan diri di pasir atau lurnpur, rnaka yang tampak hanya bagian mata dan punggungnya saja. Hal ini dapat rnerupakan rnalapetaka bagi orang-orang yang rnernijaknya. Makanan ikan ini terdiri cacing (worm), Moluska, Krustase dan ikan-ikan kecii, sehingga ikan pari termasuk ke dalarn kelompok karnivora (Halstead 1970). lkan pari umurnnya hidup di perairan dangkal, tetapi juga beberapa jenis yang dapat hidup sampai pada kedalarnan 100 rn atau lebih. Seluruh rnarga Dasyatis terrnasuk golongan ovoviviparous. Hal ini berarti bahwa ikan pari ini bertelur, dan telur-telur ikan pari itu tetap tersirnpan di dalarn tubuh sarnpai menetas, kernudian anak-anaknya dilahirkan (Halstead 1970). Pada ikan pari yang tertangkap di perairan Teluk Jakarta, biasanya terlihat melahirkan satu sarnpai dengan tiga ekor. Stromateidae Narna ikan bawal tidak asing lagi untuk sebagian besar bangsa Indonesia. Para nelayan umurnnya dapat mernbedakan ikan bawal meojadi dua, yaitu ikan bawal putih dan ikan bawal hitarn. Beberapa ahli sisternatika
rnernbedakan ikan bawal putih rnenjadi dua jenis yaitu Pampus argenteus (Euphrasen) dan Pampus chinensis (Euphrasen), sedangkan ikan bawal hitam tetap satu jenis saja, yaitu Parastromateus niger (Bloch). Jenis-jenis ikan bawal ini rnudah dikenal, karena bentuk tubuhnya seperti "bet pingpong" dan ekor sebagai gagangnya. Ketiga jenis ikan bawal ini mudah dibedakan satu dengan lainnya. Parastromateus niger rnempunyai warna tubuh coklat keabu-abuan, sedangkan dua lainnya bewarna putih. Perturnbuhan sirip punggung dan sirip dubur pada Pampus argenteus ada yang rnenyerupai bentuk rnata kail, sedangkan Pampus chinensis tubuh rnelebar saja.
Pampus argenteus (Euphrasen) Abe dan Bathia (1974), rnenyatakan bahwa jenis ikan ini hidup di perairan yang keadaan dasarnya terdiri dari lurnpur atau berlurnpur, sarnpai pada kedalarnan 100 rn.
Pendapat ini diperkuat oleh hasil penelitian
Kuthalingam (1963), di perairan Bengal, India. la rnenyatakan bahwa daerah penangkapan ikan bawal ini terdapat pada kedalaman antara 10 - 75 m dengan keadaan dasar lurnpur pasiran.
Daerah yang paling produktif pada
kedalaman 10 - 50 rn, di rnuka rnuara sungai. Jenis ikan ini banyak disukai orang baik di dalarn rnaupun di luar negeri, karena dagingnya yang putih dan lernbut. Jenis ikan ini rnerupakan salah satu kornoditi ekspor dari Indonesia. Jenis ikan ini hidup di perairan pantai, perairan payau bahkan dapat tahan hidup di air tawar (Beaufort dan Chapman 1951), dan dapat rnencapai panjang maksimurn 50 cm (Abe dan Bathia 1974).
Makanan ikan bawal yang berukuran kecil, yaitu antara 18-26 mrn terdiri dari Copepoda (60,2 %), Krustase lain (21,8 %), Plankton nabati (8 %), Polychaeta (5 %) dan Moluska (5 %), sedangkan pada yang sudah berukuran besar terdiri dari Krustase yang kecil-kecil (38,2%), Krustase yang besarbesar (20,8 %), sisa jkan (202 %), Polychaeta (6,6 %), dan jenis-jenis lain (14,2 %). Terlihat adanya perubahan jenis makanan ikan ini pada waktu ikan kecil dan ikan besar.
Meskipun makanan utarnanya sama yaitu Krustase,
tetapi pada ikan berukuran kecil tidak pernah terlihat adanya ikan atau sisa ikan di dalarn isi perutnya, sedangkan pada yang berukuran besar tidak pernah terlihat adanya moluska di dalarn isi perutnya. lntensitas makan pada ikan ini sangat dipengaruhi oleh tingkat kernatangan gonad, intensitas rnakan tinggi pada waktu tingkat kematangan gonad rnasih rendah, dan intensitas ini akan menurun pada waktu tingkat kematangan gonad sernakin tinggi.
Jadi tingkat kematangan gonad adalah
berbanding terbalik dengan intensitas makan.
Hal ini disebabkan oleh
kebutuhan protein dan katori yang banyak pada rnasa tingkat kematangan gonad rendah, dan pada waktu tingkat kematangan gonad tinggi, rongga perut terdesak oleh rnenurun.
membesarnya gonad, sehingga intensitas makan
Narnun demikian intensitas makan tentu saja tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor tingkat kematangan gonad saja, tetapi masih banyak faktor-faktor biologi lain yang mempengaruhinya. lkan bawal hitam ini menyukai daerah yang juga disenangi oleh bawal putih yaitu di daerah lapisan dasar perairan terutarna di depan muara-muara sungai. Pada waktu tertentu ikan bawal ini hidup berkelompok dalam jurnlah
yang besar, dan bergerak mengikuti arah arus, hidup di perairan pantai dan dapat mencapai panjang baku 600 mm (Beaufort dan Chapman 1951). Hasil pengukuran panjang baku ikan bawal hitam yang tertangkap dengan kelong di muara Sungai Sembilang berkisar antara 20 - 25 cm. Di kelong ikan bawal ditangkap baik pada waktu malam maupun siang hari. Malam hari ikan ini tertangkap karena tertarik pada cahaya lampu.
Kadang-kadang nelayan
kelong mendapat keberuntungan bila gerombolan ikan rnasuk ke kelong mereka pada waktu siang hari.
Umumnya kelong beroperasi pada waktu
malam hari terutama pada gelap bulan. lkan bawal (Stromateidae) umurnnya dijadikan ikan asin karena nelayan kelong tidak memiliki persediaan es . Bila rombongan bawal tertangkap dalam jumlah besar di kelong, maka segera dibawa ke pembeli ikan di darat.
Tampaknya masa keemasan nelayan
kelong sebagai produsen ikan bawal telah berakhir karena alat ini bersaing dengan jaring insang dan jaring klitik yang dinamis yakni jaring khusus ikan bawal. Akhir-akhir ini nelayan-nelayan kelong mulai mengeluh karena hasil tangkapan ikan bawal terus menurun. bawal,
mini
trawl
serta
sondong
Jaring insang, pancing rawai, jaring dianggap
sebagai
pesaing
yang
menurunkan produksi ikan bawal di Sembilang. Sivaprakasam (1963) memerinci makanan ikan ini sesuai dengan panjang ikan. la membagi ikan itu menjadi sembilan kelompok panjang yaitu Kelompok 1 untuk ikan berukuran 10 - 15 cm, keiompok II yang berukuran 15
- 20 cm, kelompok Ill yang berukuran 20
-
25 cm, kelompok IV yang
berukuran 25 - 30 cm, Kelompok V untuk panjang ikan 30 - 35 cm, kelornpok VI untuk panjang ikan 35
- 40
cm, kelompok VII untuk panjang ikan 40 - 45
cm, kelornpok Vlll yang berukuran 45 - 50 cm, dan kelompok IX yang berukuran 50
- 55
cm.
Hasil pengamatan sebagai berikut : (a) kelornpok I
terdiri dari Thaliacea (12,6 %), udang (4 %), Arnphipoda (0,6 %). (b) kelompok II terdiri dari Thaliacea (16,7 %), udang (33,l %), Amphipoda (1,l %), dan Stomatopoda (6.8 %). (c) kelompok Ill terdiri dari Thaliacea (58,9 %), udang (3,3 %), Amphipoda (7,8 O/O) dan Stornatopoda (10,8 %). (d) kelompok IV terdiri dari Thaliacea (85,9 %), Arnphipoda (3,8 %) dan Stomatopoda (0,9 '10).(e) kelompok V terdiri
dari Thaliacea (55,7 Oh), udang
(6.9 %), Amphipoda (3,9 %) dan Stomatopoda (2.3 %). (f) kelompok V1 terdiri dari Thaliacea (57,2 %), udang (3.1 %), Amphipoda (5,6 %) dan Stomatopoda
(7,6YO). (g) kelompok VII terdiri dari Thaliacea (38 YO), udang (4,9 %), Amphipoda (5,6 %) dan Stomatopoda (7,6%). (h) kelompok VIII terdiri dari Thaliacea (54.4 %), udang (7 %), Amphipoda (7 %) dan Stornatopoda (3,5 %). (i) kelompok IX terdiri dari Thaliacea (25 Oh). Hasil pengamatan ini menunjukkan makanan utarna ikan ini ialah Thaliacea terutarna pada kelornpok panjang Ill hingga kelompok IX. Udang juga hampir terdapat pada sernua kelornpok panjang ikan, tetapi yang menonjol terdapat pada kelompok panjang 15
-
20 crn.
Dari kelornpok
Krustase yang paling menonjol adalah Arnphipoda, tetapi ha1 ini hanya terjadi pada kelompok panjang ikan di atas 20 crn saja, di bawah kelornpok panjang ini persentasenya kecil saja.
Persentase sisik ikan tinggi, hanya pada
kelornpok I - Ill saja. Dari hasil penelitian makanan ini dapat dinyatakan bahwa jenis ini termasuk karnivora (Sivaprakasam 1963;
Basheeruddin dan Nayar 1961).
Sivaprakasarn (1963) menyimpulkan bahwa Thaliacea sebagai makanan utama ikan bawal hitarn, ia rnenyatakan pula bahwa rnungkin Jelly like salps (Thaliacea)
dan
Meduacea
dapat
digunakan
sebagai
indikator
untuk
penangkapan ikan bawal hitarn, sedangkan indikator untuk penangkapan ikan bawal putih adalah Ctenophore dan Meducea (Chopra 1960).
Hasil
penelitian isi perut ikan bawal dari perairan rnuara Sungai Sernbitang menunjukkan ha1 yang sama yaitu tergolong ikan karnivora. Leiognathidae Suku ini dikenal dengan narna ikan petek, berukuran relatif pendek, dan kaya dengan jenis ikan. Menurut F A 0 (1974). 31 jenis tercatat di perairan yang terletak antara 20" LU
- 55"
LS dan 80" BT - 180° ST. Suku ini terdiri
dari 3 rnarga yaitu Gazza, Leiognathus, dan Secutor.
Marga Gazza hanya
rnemiliki 1 jenis, Secutor 2 jenis, dan Leiognathus 28 jenis. Kekayaan jenis di rnarga terakhir ini diternukan juga di perairan Indonesia.
Pauly (1977)
rnencatat 20 jenis ikan petek hidup di perairan Indonesia. lkan petek hidup bergerornbol di dasar perairan dangkal hingga mencapai kedalarnan lebih dari 60 rn.
Kesenangan bergerornbol ini dapat
dilihat dengan hasil tangkap dengan trawl.
Nilai tangkap tertinggi diperoleh
pada kedalarnan air antara 0 - 20 rn, dengan nilai rata-rata rnaksirnurn pada kedalaman 5 rn di pantai Utara Jawa (Beck dan Sudradjat 1978). Widodo (1980) di dalam rangka survai dengan trawl rnencatat ha!-ha1 sebagai berikut: Sebaran ikan petek pada berbagai kedalaman di Laut Jawa rnenunjukkan bahwa suku ini mempunyai nilai tangkapan telfinggi di antara jenis-jenis ikan
demersal, juga memperoleh nilai tangkapan tertinggi ikan petek di dasar lumpur, lumpur pasiran;
pasir dan gravel; rock dan coral. Tampaknya tipe
sedimen di dasar perairan tidak mempengaruhi kehidupan ikan petek. Jenis-jenis ikan petek tertentu senang tinggal di kedalaman tertentu sehingga sebarannya menjadi terbatas.
Leiognathus splendens merajai
perairan dangkal hingga mencapai kedalaman 20 m.
Jadi jenis ikan ini
berkonsentrasi di perairan dekat pantai. Keadaan yang sama ditemukan oleh Loose dan Dwiponggo (1977) di Laut Jawa, Burhanuddin et al. (1980 c) di Teluk Jakarta, dan Toro et al. (1980) di pantai utara Jawa. Ukuran ikan ini yang biasa tertangkap berkisar 20
-
86,7 mm.
Panjang asimtotik untuk
L. splendens belum ada kesepakatan antara ahli-ahli perikanan. Perbedaan
ini terjadi karena sumber data berasal dari perairan yang berbeda. (1977) menduga untuk L. splendens
L
-
=
13
crn
panjang
Pauly baku,
sedangkan Beck dan Sudradjat (1978) menduga L - = 15,8cm panjang baku. Mereka juga menduga jangka waktu hidup ikan ini tidak melebihi bulan ke 12 di
pantai
utara
Jawa.
Jenis
berikutnya di
perairan dangkal
ialah
L. brevirosfris. Ikan ini masih tertangkap pada perairan payau. Panjang ikan
yang biasa tertangkap antara 40 - 77 mm, dengan panjang maksimum diduga 120 mm (FA0 1974). Jenis ikan petek yang berukuran besar ialah L. equulus. maksimum mendekati 220 mm.
Panjang
Jenis ikan petek yang senang hidup di
perairan lepas pantai ialah L. elongatus.
Pendapat ini didukung dengan tidak
tertangkapnya jenis ini di perairan dekat pantai di utara Jawa (Toro et al. 1980)
Jenis L. bindus telah diamati oleh ahli-ahli India.
Balan (1963) telah
mencacah fekunditas jenis ini berdasarkan kematangan gonad tingkat V.
la
memperoleh hasil sebanyak 6.162 - 7.735 butir telur untuk setiap ekor lain. L. bindus mencapai kedewasaan pada panjang total 85 mm.
Perbandingan ikan jantan dan betina di suatu perairan umumnya tergantung pada alat tangkap yang digunakan di sana.
Alat tangkap yang
berbeda akan menghasilkan nilai perbandingan yang berbeda pula. terjadi pada L. bindus di India.
Hal ini
Balan (1963) memperoleh hasil sebagai
berikut : perbandingan jantan dan betina seimbang bila digunakan bech seine.
Perbandingan ini jadi menyolok bila digunakan jaring insang.
la
mendapat angka 2.58 : 1 untuk jantan dan betina. Jenis ikan jantan lebih banyak dari ikan betina.
Setelah melakukan penelitian lebih lanjut, Balan
(1963) menyimpulkan bahwa L.
bindus jantan
berkelompok besar di
permukaan dan L. bindus betina berkelompok kecil di dekat dasar, jenis ikan betina memijah di perairan dalam. L. bindus mencapai panjang maksimum 11 crn.
L. bindus berukuran
panjang 32 - 103 mm di Teluk Jakarta (Burhanuddin et al. 1980), jenis ini jarang tertangkap dengan trawl di Laut Jawa. Makanan utarna ikan petek berupa zooplankton dan fitoplankton. Meskipun dernikian komposisi makanan berupa plankton dan bukan plankton tidak sama pada setiap jenis petek. Makanan L. bindus terdiri dari Copepoda, Cladocera,
Krustase,
Polychaeta,
sisik-sisik
ikan
dan
fitoplankton.
Fitoplankton ini hanya sedikit saja, kurang dari 10 %, sehingga Balan (1963) rnenyatakan bahwa jenis ikan ini pemakan zooplankton. Menurut Thiews et
al. (1972),
L. splendens dan L. daura makan lebih banyak foraminifera serta
Secutor insidiator dan S. ruconius senang rnernakan organisrne pelagik. Perbedaan kornposisi makanan ini ternyata ada hubungannya dengan struktur rahang bawah, sehingga bentuk mulut ikan petek rnempunyai ciri yang khas. Kedua jenis yang terdahulu rnempunyai rnulut yang rnembuka ke arah bawah, sedangkan rnulut kedua jenis terakhir rnernbuka ke atas atau rnendatar. Jadi arah mulut mernegang peranan di dalarn rnenentukan makanan. Menurut Pauly (1977) tubuh semua ikan petek menghasilkan cahaya. Cahaya ini dilepaskan pada siang hari ke arah bawah berupa cahaya difusi yang cenderung mernecah bayangan dirinya rnenjadi tidak utuh. Akibatnya pemangsa potensiat tidak dapat rnelihat nyata mangsanya (ikan petek). sehingga ikan petek terhindar dari pernangsa. ikan petek tidak tergolong ikan ekonornis penting tetapi data produksi tetap tercantum di dalam buku statistik perikanan. Beberapa wilayah di tanah air tidak mencantumkan produksi ~ k a npetek karena peranannya di dalam perikanan seternpat tidak rnenonjol. Di sepanjang pantai utara Jawa ikan petek sudah diterirna oleh sebagian penduduk sebagai ikan pangan (food fish). Psettodidae Suku ini punya satu rnarga dan satu genus yang dikenal dengan nama Psettodes erumei. Di Indonesia ikan ini dikenal dengan nama ikan sebelah. Narna ikan ini agaknya rnempunyai kaitan dengan bentuk tubuhnya
yang tidak simetris. Tubuhnya hanya berkembang sempurna pada salah satu sisi sedangkan sisi lainnya tidak sernpurna. Narna ikan sebelah ini memang cocok karena hanya sebelah tubuhnya saja yang berkembang. Pada saat rnenetas atau dalarn tingkat larva, sebetulnya bentuk tubuh ikan ini rnasih berbentuk simetris dengan rnata rnasih berada pada dua sisi kepala.
Dengan bertambahnya urnur, salah satu mata berpindah
rnendekati rnata lainnya, sehingga kedua mata berada di salah satu sisi kepala. Umumnya kedua mata berada di sisi tubuh yang berpigmen. Warna tubuh ikan sebelah yang dewasa putih dan coklat. Pada waktu istirahat warna putih berada di bagian bawah dan warna coklat di bagian atas. Pigmenpigrnen
ikan ini dapat mengatur pola warna di tubuhnya hingga sesuai
dengan keadaan lingkungannya, sehingga penyamaran ikan ini rapih sekali di dasar
perairan. Dengan cara begini ikan sebelah mudah menangkap
mangsanya. Giginya kuat dan runcing, tertanarn di kedua rahangnya.
lkan ini
tergolong ikan buas, dan rakus. Panjang maksimurn ikan rnendekati 60 crn. lkan ini hidup di dasar perairan yang berlurnpur dan berpasir di landas benua hingga kedalaman 100 m (FA0 1974). Polynemidae Ikan-ikan dalam suku ini mempunyai ciri khas pada sirip dada berupa jari-jari lernah yang bebas satu dengan lainnya di bawah sirip dada.
Panjang
jari-jari lernah yang bebas ini sedernikian rupa hingga dada yang rnencapai sirip ekor.
lkan yang dernikian ini tarnpak pada Polynemus dubius dan
P. paradiseus.
Kedua jenis terdapat di Indonesia dan jenis kedua juga hidup
di anak benua India. Surnatera.
lkan ini dinarnakan kuro di Jawa dan senangin di
Selain panjang, jumlah jari-jari lemah yang bebas itu dapat
rnenjadi petunjuk ke arah narna jenis. Tridactylurn berarti ikan ini mempunyai jari-jari lernah yang bebas sebanyak tiga helai. Tetradactylurn, sextarius, heptadactylus bagi ikan-ikan yang rnernpunyai empat. enam, tujuh helai jari-
jari lernah itu. Tetapi tidak banyak narna jenis ikan ini rnengikuti pola jumlah jari-jari lemah yang bebas tadi. Dari 25 jenis yang tercatat oleh F A 0 (1974). hanya 5 jenis ikan rnengikuti pola demikian. Kekayaan jenis ikan Polynemidae suatu perairan tidak besar. Hal ini tarnpak jelas dari hasil pengarnatan beberapa ahli berikut ini.
Hardenberg
(1931), mencatat 3 jenis ikan senangin di Sungai Rokan yaitu Eleutheronema tetradactylum, P. indicus dan
P. dubius. Perairan di sekitar Sungai Musi dan
Sungai Banyuasin hanya tertangkap 4 jenis yaitu E. tetradactylum, P. indicus,
P. dubius dan P. sextarius.
Teluk Jakarta baru tercatat 2 jenis yaitu
P. heptadactylurn dan P. sextarius (Burhanuddin et a / . 1980), serta Hutomo (1978) menarnbah satu jenis lagi yaitu E. tetradactylurn dari rnuara Sungai Karang, Teluk Jakarta. Dari perairan Labuhan, Selat Sunda dilaporkan oleh Djamali (1980)
sebanyak
4
jenis
yaitu E. tetradactylurn, P. hexanemus,
P. microstoma dan P. paradiseus, tertangkap di muara Kali Mas Surabaya. Laut Jawa cukup banyak dihuni oleh ikan ini. Beck dan Sudradjat (1978), mencatat
jenis-jenis
sebagai
berikut
:
E.
tetradactylurn,
P.
indicus,
P. sextarius dan P. heptadactylus, sedangkan 2 jenis yaitu P. nigripinnis dan
P. plebeius di Indonesia bagian timur (Randall et al. 1976).
Keadaan ini
menunjukkan I 1 jenis terdapat di perairan Indonesia yaitu E. tridactylurn,
E. tetradactylum, P. dubius, P. heptadactylus, P. hexanemus, P. indicus,
P. microstoma, P. paradiseus, P. sextarius, P. nigripinnis dan P. plebecus. Umumnya ikan ini hidup di perairan dangkal dan di sekitar muara sungai.
Menurut Widodo (1980), ~ k a nini sangat jarang ditangkap pada
kedalaman lebih dari 41 rn di Laut Jawa. Pada kedalaman kurang dari 43 m, ikan
ini
masih
tertangkap
meskipun
nilai tangkapnya
rendah
sekali
dibandingkan dengan ikan-ikan demersal lainnya. lkan senangin memegang peranan penting dalam perikanan muara sungai.
Hal ini tercermin dengan
melihat produksi ikan ini di propinsi di seluruh Indonesia. Data dari statistik perikanan menunjukkan bahwa produksi tinggi terdapat di daerah Riau, Kalimantan Timur. Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah dan Surnatera Selatan.
Semua daerah ini mempunyai persamaan berupa
sungai-sungai besar berrnuara di sana.
Hardenberg (1931) mengatakan
bahwa E. tetradactylurn mernegang peranan penting di muara Sungai Rokan. Hasil pemeriksaan isi perut E. tetradactylum menunjukkan bahwa makanan utamanya terdiri dari ikan teri (Stolephorus spp.), ikan beloso (Saurida spp.), ikan petek (Leiognathus splendens), cacing, udang dan Uca spp. Patnaik (1970) rnernerinci makanan ikan ini sesuai dengan panjang ikan.
la membagi ikan itu menjadi tiga kelornpok panjang yaitu kelompok I
untuk ikan berukuran 16
-
100 mm, kelompok II yang berukuran 101 - 300
mrn dan kelompok Ill untuk ikan yang berukuran lebih dari 300 mrn. Hasil pengarnatannya sebagai berikut : a) kelompok I terdiri dari rebon (69,6 %), Amphipod (10,8 %) dan Copepod (5 %). b) kelompok II berupa udang (43,2
O/O),
rebon (19,6 %) dan ikan (18,5 %), dan c) kelompok Ill berupa udang
sebanyak 55, 8 % dan ikan sebanyak 33,8 %. Banyak udang rebon ( M y s i d ) dalam perut ikan ini rnungkin menjadi salah satu faktor berkurnpulnya ikan ini di perairan dangkal dan rnuara sungai. Pemantauan jenis kelamin E. tetradactylurn sulit dilakukan dari luar tubuh pada pengarnatan bagian dalam, jenis kelarnin dapat ditentukan pada panjang total ikan 140 rnm. Patnaik (1970) rnenyatakan bahwa ikan betina terkecil yang rnatang pada panjang 285 mm dan jantan 225 mrn. la menjumpai
seluruh ikan jantan matang pada ukuran 350 mm dan betina
pada panjang 450 mrn. Di Danau Chilka, musim memijah ikan ini terjadi dua kali yaitu Desember hingga Februari dan Mei hingga Juli. Puncak pernijahan terjadi pada bulan Januari dan Juni. Panjang rnaksirnum yang pernah dicatat di dunia 200 crn (Weber dan Beaufort, 1922). 1970).
Panjang rnaksimum di Danau Chilka 100 cm (Patnaik,
Pada umumnya ikan senangin yang tertangkap di sekitar rnuara
Sungai Musi berkisar antara 1 10 - 380 rnm dengan kelornpok panjang 120 150 mrn merajai hasil tangkapan. Fekunditas ikan senangin rnenurut Djamali et al. (1985) pada panjang 310 rnrn sebanyak 179.546 butir dari rnuara Sungai Musi dan 488.927 butir pada panjang 600 mm di perairan Cilacap.
Patnaik (1970) mendapatkan
harga 226.541 - 3.826.683 butir pada kelornpok panjang ikan antara 347 840 rnm. ikan.
Tampaknya jumlah telur ikan senangin sejalan dengan panjang
P. heptadactylus jarang tertangkap dan hidup di dasar berlurnpur dan juga di perairan payau. lkan ini berukuran kecil, panjang maksirnurn 368 mm. Kagwade (1971) berhasil rnenentukan urnur pada panjang tertentu.
la
rnembagi urnur ikan ini rnenjadi 8 kelornpok urnur yaitu tahun ke I rnencapai panjang 83 rnrn, tahun ke 11 mencapai panjang 128 mrn, tahun ke Ill rnencapai panjang 158 rnrn, tahun ke IV rnencapai panjang 188 rnrn, tahun ke V rnencapai panjang 213 rnm, tahun ke V1 mencapai panjang 237 rnm, tahun ke VII rnencapai panjang 255 rnrn dan tahun ke VIII rnencapai 273 rnrn. lkan ini rnendukung perikanan di Bombay, India. Trichiuridae Suku ini dikenal dengan nama ikan layur.
Ciri-ciri khas ikan ini
bertubuh pipih sekali bila dilihat dari sarnping dan profil tubuh besar di bagian kepala lalu rnengecil hingga ke ujung ekor.
Tampang yang rapuh ini
menyernbunyikan dirinya sebagai ikan buas.
Kedua rahang dilengkapi
dengan gigi yang kuat sehingga rnangsa seperti ikan, krustase dan curnicurni, dapat ditangkapnya dengan rnudah.
Hidupnya bergerombol dan
ditangkap dengan bagan kelong, jermal, sero, pukat pantai, sondong dan trawl.
Pada
rnasa
trawl
masih
beroperasi,
aiat
ini
paling
banyak
rnenyumbang dalarn produksi perikanan di pantai utara Jawa dan pantai timur Surnatera.
lkan layur hidup di perairan estuaria, pantai dan perairan jeluk
hingga kedalarnan tertentu.
Dirjen Perikanan (q983) dalarn rangka survai
dengan trawl menangkap rnarga Trichiurus sampai kedalarnan air 300 m di perairan selatan Jawa Tengah. Jadi rnarga Trichiurus hidup di wilayah pesisir
hingga kedalarnan 300 rn.
Belurn jelas, apakah marga ini masih hidup di
perairan yang lebih dari 300 m. Peranan ikan layur sangat kecil pada tataniaga ikan, tetapi perannya cukup besar bagi konsumen yang tergolong ekonorni lernah.
lkan ini
biasanya dijual dalarn keadaan segar atau telah diasin. Produsen utama ikan ini berada di wilayah pesisir.
Sebagian besar hasil ikan layur di Propinsi
Surnatera Utara berasal dari Kabupaten Asahan.
Tahun-tahun terakhir ini
ikan layur telah diekspor ke Jepang, karena perrnintaan sangat besar. Jenis-jenis ikan layur yang biasa tertangkap terdiri dari dua jenis yaitu Trichiurus
haumela
dan
Trichiurus
savala.
Trichiurus
haumela
dapat
rnencapai panjang maksirnurn 110 crn dan Trichiurus savala hanya rnencapai 100 crn (FA0 1974).
Ariidae Suku ini hidup di ketiga wilayah tropis dunia yaitu : Atlantik Tengah bagian barat
-
Laut Karibia dan pantai utara Amerika Selatan, Afrika Timur
dan dari Laut Merah rnelalui bagian utara Samudera Hindia hingga Indonesia, Filipina, Taiwan, Papua Niugini dan Australia Utara. dikenal dengan narna ikan rnanyung.
lkan ini di lndonesia
Pusat-pusat sebaran utarna suku ini
agaknya berada di bagian utara Amerika Selatan, India, Indonesia dan Papua Nugini (Kailola 1980). Urnurnnya penentuan jenis kelarnin ikan dengan rnelihat bentuk atau tanda-tanda luar tubuh sulit diketahui. Keadaan yang sarna terjadi juga pada rnarga Anus yang belum dewasa.
Pada ikan-ikan dewasa kadang-kadang
jenis kelarnin dapat ditentukan dengan rnengukur panjang sirip perut. Sirip perut ikan betina selalu rnencapai sirip dubur, dan sirip perut ikan jantan tidak rnencapai sirip dubur. tarnpak
Tanda lainnya ialah siri-sirip dada, perut dan dubur
kernerahan baik
pada ikan betina maupun ikan jantan
yang
rnenjelang rnernijah. Pada ikan betina yang dekat memijah, jari-jari keenarn sirip dubur rnenjadi sangat tebal dan dasarnya berbentuk bantal. Ariidae tergolong ikan dernersal yang ekonornis penting, Widodo (1980) rnenyatakan bahwa suku ini rnenernpati kedudukan ke tiga diantara 29 suku ikan demersat dalam nilai hasil tangkap trawl pada kedalaman 0 - 20 rn di Laut Jawa.
Pada kedalaman 21 - 60 rn nilai hasil tangkapnya rnenurun
hingga berada di luar lirna besar ikan dernersal di perairan itu. Hasil survai yang dilakukan oleh Losse dan Dwiponggo (1977) dengan trawl di Laut Jawa pada rnusirn timur rnenunjukkan bahwa ikan pangan merajai hasit tangkap ikan demersal.
Sayang sekali ikan pangan berukuran kecil mendorninasi
hasil tangkapan, bukan sebaliknya. Dari ikan pangan yang berukuran besar itu, suku Ariidae menduduki tempat pertarna di antara suku-suku ikan pangan yang ekonornis penting. Suku Ariidae terdiri dari 8 marga yaitu : Doiichthys, Arius, Hemipimelodus,
Tetranesodon,
Osteogeniiosus (FA0 1974).
Nelysfoma,
Ketengus,
Satrachocephalus
dan
Dari 8 marga tadi, hanya rnarga Arius yang
kaya jenis dan tergolong ikan pangan yang berukuran besar.
F A 0 (1974)
rnencatat sebanyak 60 jenis dalam rnarga Arius meskipun jurnlahnya rnasih diragukan sebanyak itu. Perairan lndinesia yang rnerupakan salah satu pusat sebaran utama di dunia, merniiiki 19 jenis (Weber dan Beaufort 1913) dan
jurnlah ini belurn rnerupakan tetapan karena rnasih banyak perairan Indonesia yang belurn di teliti oleh ahli sistematika. Marga Arius hidup di air tawar, estuaria dan laut. Kebanyakan ikan ini hidup di dua habitat yaitu mula-mula di air tawar lalu beruaya ke perairan estuaria atau di air laut dahulu lalu pergi ke perairan estuaria untuk rnernijah. Jenis yang tergolong ikan laut sejati yaitu Arius thalassinus.
Panjangnya
dapat mencapai 150 cm panjang baku rneskipun ukuran yang demikian ini sudah sulit diperoleh.
Ukuran yang biasa tertangkap kurang dari 60 crn.
Sekarang ikan manyung dianggap rnewakili suku Ariidae terutarna dalam buku statistik perikanan. Gonad ikan manyung besarnya tidak berbeda dengan gonad ikan laut lainnya.
Yang sangat menarik perhatian ialah ukuran telur yang sangat
besar, sehingga pencacahan telur ikan ini dengan rnata sahaja sangat mudah.
Pada tingkat kernatangan gonad tertentu, diameter telur rnencapai
22,4 rnm. Hasil pencacahan telur ikan rnanyung di perairan Cilacap diperoleh
jumlah telur rnaksimum sebanyak 391 butir dari 22 ekor ikan (Djamali dan Burhanuddin 1983). lkan ini meletakkan telurnya berkelompok di dasar laut pada kedatarnan tertentu. pada kedalarnan 20 - 60
Kailola (1980) rnenduga ikan rnanyung rnemijah
rn di Australia Utara dan 100 - 144 rn di Australia
Barat-Laut. Jadi Arius thalassinus tarnpaknya mernijah di perairan yang jauh dari pantai. Waktu yang tepat A. thalassinus rnemijah di perairan lndonesia belurn diketahui. Kailola (1980) rnenduga ikan ini memijah pada bulan Nopember Desernber. Dugaan ini mungkin benar bila hasil pengarnatan diameter telur
(22,4 mm) dijadikan tolok ukuran pada bulan Oktober di perairan Cilacap. Dmitrenko dalam Kailola (1980) menyatakan bahwa A. thalassinus memijah antara bulan Oktober - Mei di Laut Arab.
lkan manyung di Indonesia
mungkin mengikuti pola yang sama dengan di Laut Arab. Makanan
ikan
rnanyung
biasanya
terdiri
dari
ikan
kecil
dan
invertebrata. Secara lebih terperinci makanan ikan ini dapat dilihat lebih jelas pada isi perut Arius thalassinus di perairan Cilacap terdiri dari ikan, krustase, moluska, cacing dan potongan atau bahagian dari tubuh ikan dan udang. lkan terdiri dari Leiognathus sp, Trichiurus sp, Mene maculata dan Setipinna spp.
Krustase diwakili oleh Penaeus spp. ; Metapenaeus spp.; dan
Decapoda.
Moluska diwakili oleh Octopus spp.; dan cacing hanya dikenal
dengan nama Polychaeta. A. maculatus merupakan salah satu jenis ikan dari marga Arius yang
terdapat di Laut Jawa. Jenis ikan ini hidup di Teluk Jakarta (Burhanuddin et a/. 1980 c), Selat Bangka (Burhanuddin et al. 1983), dan perairan Kalimantan bagian selatan (Sadhotomo 1981). Jenis ini hidup di perairan dekat pantai dan sungai yang masih dipengaruhi oleh pasang surut. Panjang maksimum ikan 50 cm dan biasanya ukuran yang tertangkap antara 20 - 40 cm. Data hasil tangkapan dengan trawl di perairan pantai sebelah barat Tanjung Selatan, Kalimantan Selatan, menunjukkan bahwa jenis ini mewakili sebanyak 70,6 % dari suku Ariidae atau 10 % dari hasil tangkapan total selama musim timur, sedangkan pada rnusim barat tercatat sebanyak 40,l '10 dari suku Ariidae atau 4,2 % dari hasil tangkapan total (Loose dan Dwiponggo 1977).
Sciaenidae Suku ini dikenal dengan nama tigawaja di pantai utara Jawa dan gulamah di pantai timur Sumatera.
Nama lokal ini tidak menggambarkan
kekayaan jenis pada suku ini.
Sebenarnya jurnlah jenis pada suku ini
tergolong luar biasa banyaknya.
F A 0 (1974) mencatat sebanyak 64 jenis
ikan untuk wilayah yang dibatasi oleh 20°
LU - 55" LS dan 80° BT - 175O BB.
Wilayah ini merupakan bahagian dari wilayah Indo-Pasifik yang akhirnya akan menambah lagi kekayaan jenis suku ini keseluruhan. Pengenalan jenis ikan sebanyak itu bukanlah pekerjaan mudah.
Khusus pada suku ini,
kesulitan mengenal jenis ikan ini seakan-akan bertambah karena bentuk tubuh dan warna ikan hampir seragam. Pada saat ini hanya ahli sisternatika yang biasa bergelut dengan suku ini dapat mengenal dan membedakan antar jenis ikan.
Mereka menggunakan bentuk gelembung renang dan otolit
sebagai kriteria tambahan dalam mengidentifikasi jenis ikan ini.
Tigawaja
hidup di perairan pantai dan estuaria. Widodo (1980) mencatat bahwa ikan tigawaja ditangkap terbanyak dengan trawl pada kedalaman 0 - 20 m di Laut Jawa.
la mendapatkan pula suku ini banyak tertangkap di dasar perairan
yang berupa gravel, karang dan batu di perairan yang sama. Jenis-jenis tertentu telah diteliti di mancanegara hasilnya sebagai berikut: Pseudosciaena coibor telah diteliti di India. Rajan (1968) mencatat hasil-hasil sebagai berikut: ikan ini secara berturut-turut rnencapai panjang 260 mm, 410 mm, 510 rnm dan 610 mm pada akhir tahun I, 11, Ill dan IV. lkan dewasa makan udang dan makanan utama ikan muda Amphipod. Komposisi makanan P. coibor dewasa terdiri dari udang, ikan, Amphipod.
Isopod. Stornatopoda, algae, kepiting, tarnellibranch, Curnacea. Mysid, Arachnid dan Gastropoda.
Makanan ikan rnuda terdiri dari Arnphipod, ikan,
rnisid, udang, Lucifera, Copepod, turnbuhan, lsopod dan kepiting.
Lebih
lanjut ia rnerinci jenis-jenis udang dan ikan yang menjadi rnakanan ikan dewasa. berikut
Tarnpaknya ikan ini rnenyenangi jenis udang dan ikan sebagai Penaeus
:
indicus
56,2
%;
Penaeus
semisulcatus
38,O %;
Metapenaeus dobsoni 7.5 %; Anchoviella 38,7 %; Trissocles 25,9 %; Mystus gulio 12,s %; Sciaenidae 11,7 O/O; Gobiidae 6,2 %; Caranx 3,l % dan Gerres 1,9 %.
Musirn rnernijah berlangsung pada bulan Mei-Agustus di Danau
Chika yang terletak di dekat rnuara Sungai Daya.
Baik ikan betina rnaupun
jantan rnencapai kedewasaan pada tahun pertarna dari hidupnya. lkan betina terkecil berukuran 213 rnrn dan jantan 176 rnm panjang total. P.
diacanthus
diacanthus.
LACEPEDE
dikenal sekarang dengan Profonibea
lkan ini dapat rnencapai panjang rnaksirnurn 120 cm. Menurut
Rao (1963). ikan ini mencapai dewasa pada urnur 3 atau 4 tahun dengan panjang rata-rata 85 crn. Agustus.
Musirn rnemijah terjadi pada bulan Juni sarnpai
Rao (1963) menyatakan ikan ini rnemakan rnakanan rnarga atau
jenis dari Krustase, Moluska dan ikan. Kemudian ia rnernerinci lebih lanjut rnakanan ikan yang terdiri dari Metapenaeus spp.; Parapenaeopsis spp.; Parapenaeopsis
hardwickii;
Atypenaeus
cornpressipes;
Metapenaeus
novaeguinea; Solenocera indicus; Acetes indicus; Hippolysmata ensixostris; Leander stylifera; Leander tenuipes; Aipheus spp.; Squilla spp.; Portunus spp. dan Charibdys calianasa.
Sernua jenis atau rnarga yang disebutkan tadi
tergolong Krustase. Moluska hanya berupa jenis Sepia spp., Loligo spp., dan Octopus spp. lkan beraneka jenis atau marga seperti : Apogon novemfasciatus; Drepane spp.; Upenoides spp.; Polynemus heptadactylus; Johnius spp.; Ofolithes
spp. ;
Rasfrelliger
Ofolithes
kanagurta;
rubec
Trichiurus
Bregmaceros
spp.;
Lactarius
macclenlandi;
Harpodon nehereus; Anchoviella spp.; Trissocles spp.;
lactarius;
Cynoglossus
spp.;
Coilia dussumieri;
Muraenesox spp. dan Neenchelys buiterdiiki. Krustase yang dorninan terdiri dari Acetes indicus; Hyppolysmata ensirostris; Solenocera indicus dan Parapenaeopsis sfylifera.
lkan yang
dorninan diternpati oleh Bregmaceros macclellandi pada kedudukan pertama dan tempat kedua oleh Polynemus heptadactylus; Lactarius lactarius dan Johnius spp. Alat tangkap yang efisien dan efektif untuk ikan gulamah adalah trawl, sondong dan jaring gulamah (untuk Sungai Sembilang).