II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sungai
..
'
Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus menerus pada arah tertentu, berasal dari air tanah, air hujan dan air permukaan yang akhirnya bermuara ke Laut atau Perairan Terbuka yang lebih luas (Hadiwigeno, 1990). Suatu ekosistem sungai mempunyai kemampuan untuk memperbaiki atau memelihara diri sendiri dan mengatur serta mengadakan keseimbangan kembali apabila mendapat gangguan dari alam atau manusia. Kecenderungan untuk melakukan perubahan untuk tetap dalam keadaan seimbang disebut homeostatis (Harahap, lingkungan
1999). Selanjutnya menurut Soeseno yang
berfungsi
sebagai
media
(1977), sungai merupakan tempat
tumbuh
organisme,
berkembangbiak, melakukan pergerakan, sebagai pembawa zat-zat hara serta pelarut gas-gas dan zat mineral. Banyak fungsi sungai dalam kehidupan manusia, sehingga tidak kurang pula banyaknya masalah yang timbul sebagai akibat adanya fungsi yang saling berlawanan. Sungai dapat juga secara menyeluruh dijadikan indikator seberapa jauh manusia telah menimbulkan akibat dan pengaruh yang nyata terhadap lingkungan hidupnya secara urn urn (Nurdin, 1999). Menurut Kordi (1996) bahwa air merupakan suatu media yang ekstrim, karena didalam air itu terkandung unsur-unsur fisika, kimia dan biologi yang sewaktu-waktu dapat membahayakan kehidupan organisme didalamnya. Ekosistem perairan terdiri dari lingkungan biotik dan abiotik yang meliputi sifat fisika, kimia dan biologi yang saling berinteraksi satu sama lain. Ekosistem
alami dicirikan dengan adanya keanekaragaman komunitas yang tinggi, tidak adanya dominasi spesies. Sebaliknya pada lingkungan yang tercemar dicirikan dengan keanekaragaman jenis yang rendah dan adanya perubahan struktur komunitas yang menjadi mantap atau stabil atau menjadi rapuh atau labil (Odum, 1971).
2.2. Pencemaran Menurut PP No. 82 Tahun 2001, pencemaran air didefinisikan sebagai masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain kedalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya. Selanjutnya dikatakan juga bahwa dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan industri pada suatu tempat dapat berupa gangguan, kerusakan dan bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan masyarakat di sekelilingnya antara lain oleh pencemaran air, tercemarnya air akan dapat menimbulkan akibat negatif terhadap derajat kesehatan anggota masyarakat sekitarnya. Anna (2001) menyatakan bahwa penurunan kualitas sungai yang mencapai kondisi tercemar banyak diakibatkan oleh ulah manusia. secara alamiah memang terjadi juga penurunan kualitas sungai akan tetapi biasanya masih berada pada batas daya dukung lingkungan. Sedangkan yang diakibatkan oleh ulah manusia dapat melampaui batas daya dukung lingkungan sehingga perlu upaya agar hal tersebut tidak terjadi. Haslam (dalam Anna, 2001) menyatakan terdapat beberapa jenis kegiatan utama yang menimbulkan pencemaran sungai antara lain : 1) kegiatan domestik; termasuk didalamnya kegiatan kesehatan (rumah sakit) dan food additives (seperti bahan pengawet makanan) serta kegiatan-kegiatan yang berasal dari lingkungan
pemukiman baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Efluen yang dibuang biasanya berupa pencemar organik, ada juga berupa senyawa anorganik, logam, garam-garaman (seperti deteijen) yang cukup berbahaya bagi kehidupan organisme perairan. 2) kegiatan industri; mempunyai banyak sekali variasi; bisa berupa efluen organik (dari pabrik makanan dan dapat juga dari industri minyak dan petrokimia). Bisa juga berupa pencemaran panas, misalnya dari pembangkit tenaga listrik. 3) kegiatan pertanian; terutama akibat penambahan pupuk dan pembasmi hama, dimana senyawa-senyawa yang terdapat didalamnya tidak mudah terurai walaupun dalam jumlah yang sedikit, tetapi justru aktif pada konsentrasi yang rendah. Selain itu, sedimen termasuk pencemaran yang cukup besar ketika terjadi penebangan pohonpohonan, pembuatan parit-parit, perambahan hutan dan Iain-lain. Belum lagi, efluen organik yang dihasilkan oleh peternakan dapat menyebabkan pencemaran yang cukup serius. Salah satu zat pencemar utama di sungai adalah sedimen (suspended solid) yaitu merupakan partikel yang tidak larut atau terlalu besar untuk dapat segera larut. Kecenderungan sedimen untuk tinggal di dasar air tergantung pada ukurannya, rasio aliran (flow rate) dan besarnya turbulensi yang ada pada suatu badan air (Haslam dan Hayward dalam Anna, 2001). Selanjutnya dikatakan juga, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dampak pencemaran sungai yaitu : 1) kemampuan pengenceran pencemaran, 2) konsentrasi terlarut pada sungai, 3) jenis polusi, 4) struktur fisik sungai. Khusus mengenai pencemaran sungai, meningkatnya limbah industri, limbah pemukiman atau limbah perkotaan merupakan ancaman serius terhadap penurunan kualitas perairan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari perubahan karakteristik fisika dan kimia air, serta terganggunya kehidupan organisme perairan yang hidup didalamnya, pendapatan nelayan dan kesehatan masyarakat (Adriman, 2002).
Kegiatan pertanian dan perkebunan berpotensi untuk mempengaruhi kuaiitas air sungai. Potensi pencemaran akibat kegiatan pertanian dan perkebunan terutama oleh gangguan pupuk dan pestisida disamping intensitas penggunaan tanah yang meningkat sehingga mempengaruhi organisme perairan (Pemda Tingkat I Propinsi Riau, 1995). Limbah yang masuk ke lingkungan perairan ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat negatif sehingga akan menipengaruhi kehidupan organisme yang ada di lingkungan perairan tersebut, seperti dinyatakan Sastrawijaya (1991) bahwa biasanya suatu pencemar cukup banyak untuk membunuh spesies tertentu, tetapi tidak membahayakan spesies lainnya, sebaliknya ada kemungkinan suatu pencemar justru dapat mendukung perkembangan spesies tertentu. Selanjutnya dikatakan bahwa bila air tercemar, ada kemungkinan pergeseran-pergeseran dari jumlah spesies yang banyak dengan ukuran yang sedang populasi spesiesnya, kepada jumlah spesies yang sedikit tetapi berpopulasi yang tinggi sehingga air dikatakan tercemar. Akibat pencemaran air maka ketersediaan air sungai yang sudah terbatas menjadi semakin berkurang karena air yang ada tidak lagi dapat didayagunakan. Kondisi air sungai yang tercemar juga akan mengancam fungsi sungai sebagai sumberdaya perikanan dan sumberdaya pariwisata, serta fungsi""' sungai sebagai prasarana transfortasi. Penurunan kuaiitas air sungai antara lain diakibatkan karena sungai umumnya di fungsikan juga sebagai penerima buangan limbah. Penurunan kuaiitas air sungai juga disebabkan karena debit air sungai semakin berkurang sehingga daya pengencerannya menurun, dan keseimbangan ekologisnya terganggu sehingga daya pemulihan alami mengecil. Kedua faktor ini menyebabkan daya tampung sungai untuk menerima beban pencemaran mengecil (Prokasih, 2005).
8
Menurut Harahap (1999) bahwa industri Plywood merupakan industri yang potensial dan strategis bagi pembangunan. Hasil industri Plywood berupa triplek sangat di butuhkan dalam pembangunan perumahan dan perkantoran. Perkembangan industri Plywood sangat pesat, namun karena ketersediaan bahan baku dan kayu sudah sangat sulit, sehingga industri Plywood di Sungai Kubang banyak yang tidak beroperasi lagi. Dalam proses produksi industri Plywood menghasilkan limbah yang beracun bagi organisme perairan. Harahap (1999) menyatakan bahwa limbah industri Plywood mengandung phenol yang cukup tinggi dapat mencapai 300 mg/1 dan hal ini dapat mematikan organisme perairan juga menyebabkan gatal - gatal pada kulit manusia. Pada berbagai industri makanan dan minuman dalam prosesnya juga menghasilkan limbah cair. Menurut Harahap (1993) industri Indofood termasuk industri makanan yang siap saji seperti Indomie, dan lainnya menghasilkan limbah organic yang cukup tinggi. Apabila limbah ini masuk keperairan (sungai) dapat mengakibatkan pH menurun dan DO (Oksigen Terlarut) menurun, COa meningkat, kadar BODs sangat tinggi, NH3 meningkat sehingga dapat mematikan organisme di perairan tersebut.
2.3. Parameter Fisika-Kimia 2.3.1. Suhu Wardoyo (1981) menyatakan bahwa perubahan suhu secara cepat atau tibatiba pada perairan dapat menyebabkan kematian pada organisme air. Huet (1971) mengemukakan bahwa perbedaan suhu yang baik untuk kehidupan organisme di perairan tidak boleh lebih dari 10°C.
Menurut Fardiaz (1992) kenaikan suhu akan menimbulkan beberapa akibat sebagai berikut: jumlah oksigen terlarut didalam air menurun, kecepatan reaksi kimia meningkat, kehidupan ikan dan hewan lainnya terganggu, jika batas suhu yang mematikan terlampaui, maka ikan dan hewan lainnya akan mati. Selanjutnya ikan yang hidup di dalam air yang mempunyai suhu yang relatif tinggi akan mengalami kenaikan kecepatan respirasi, disamping itu suhu yang relatif tinggi
akan
menurunkan jumlah oksigen yang terlarut di dalam air, akibatnya ikan dan hewan air akan mati karena kekurangan oksigen.
2.3.2. pH (Derajat Keasaman) Nilai pH sangat erat kaitannya dengan proses flokulasi dan pengendapan. Jumlah ion hidrogen dalam suatu larutan merupakan ukuran keasaman (pH) suatu larutan akan semakin asam bila ion H* lebih banyak dan bersifat basa bila banyak mengandung OH". Sebagaimana dikemukakan Swingle (1968), bahwa batas toleransi beberapa jenis ikan tertentu untuk pH adalah berkisar 4.0 - 10. Sedangkan menurut Wardoyo (1981), mengemukakan bahwa organisme perairan dapat hidup wajar jika derajat keasaman berkisar 5.0 - 9.0. Ion hidrogen merupakan faktor utama untuk reaksi kimiawi dimana keberadaannya selalu dalam keseimbangan dinamis dengan air yang membentuk suasana untuk semua reaksi kimiawi yang berkaitan dengan masalah pencemaran air dimana sumber ion hidrogen tidak pernah habis (Alaerts dan Santika, 1984). Nilai pH atau derajat keasaman suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Adanya karbonat, hidroksida dan bikarbonat dapat menaikkan
10
kebebasan air sedangkan asam mineral bebas dan asam karbonat dapat menaikkan kemasaman (Saeni, 1989). Derajat keasaman (pH) di duga sangat berpengaruh terhadap toksisitas bahan beracun. Dimana pH antara 5-9 pengaruh dari bahan beracun sangat sedikit. Perairan yang netral mempunyai pH 7 dan apabila pH di bawah nilai tersebut maka perairan bersifat masam, sedangkan pH diatas nilai tersebut maka perairan bersifat basa.
2.3.3. Total Suspended Solid (TSS) Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan pada air, tidak larut dan tidak dapat mengendap secara langsung. Padatan tersuspensi terdiri dari partikel-partikel yang ukuran dan beratnya lebih kecil dari sedimen, misalnya tanah Hat, bahan-bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme tertentu dan sebagainya. Partikel-partikel tersuspensi mempunyai ukuran lebih besar dari partikel koloid dan dapat menghalangi sinar yang akan menembus suspensi. Zat padat tersuspensi dapat diklasifikasikan menjadi zat padat terapung yang bersifat organisme dan zat padat terendap yang dapat bersifat organik dan inorganik. Zat padat terendap adalah zat padat dalam suspensi yang dalam keadaan tenang dapat mengendap setelah waktu tertentu karena pengaruh gaya beratnya (Alaerts dan Santika, 1984). Padatan tersuspensi adalah jumlah kering padatan tersuspensi setelah dilakukan proses penyaringan dan pengeringan pada suhu 150°C selama satu jam. Padatan tersuspensi dalam air pada umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, lumpur, sisa makanan, dan limbah cair suatu industri (Sastrawijaya, 1991). Partikel koloid melayang dalam air hingga menjadi keruh. Kekeruhan ini menghalangi penetrasi sinar matahari kedalam air. Akibatnya fotosintesis tanaman
11 air tidak dapat berlangsung dengan baik sehingga kandungan oksigen terlarut dalam air akan menurun (Wardhana, 1999). Buangan organik pada umumnya berupa limbah yang dapat membusuk akan terdegradasi dan dimanfaatkan oleh mikroorganisme. Bahan buangan anorganik yang tidak dapat membusuk sulit didegradasi oleh mikroorganisme. Apabila bahan ini masuk ke perairan akan terjadi peningkatan jumlah ion logam dalam air. Sedana, Syafriadiman dan Hcsibuan (2002) menambahkan bahwa kekeruhan yang disebabkan oleh padatan tersuspensi akan berdampak negatif terhadap pakan ikan dan telur. Butir-butir lumpur yang melayang-layang dalam air juga mengurangi masuknya cahaya matahari kedalam air sehingga mengganggu proses fotosintesis. Kekeruhan karena lumpur mambatasi cahaya matahari kedalam air sehingga hanya dapat menembus sekitar 30 cm, akibatnya mengganggu pertumbuhan fitoplankton. Proses sedimentasi dapat dipercepat dengan sejumlah besar zat-zat koloid dan benda-benda padat yang sangat halus diendapkan. Dengan akibat zat-zat demikian bergabung menjadi partikel-partikel yang lebih besar dan akan mengendapkan dengan segera (Mahida, 1993). Tingkat kekeruhan sangat erat kaitannya dengan jumlah kandungan padatan yang tersuspensi dalam suatu cairan, adapun hubungan tersebut adalah apabila jumlah kandungan padatan tersuspensi meningkat maka tingkat kekeruhan akan semakin tinggi sehingga hubungan tersebut merupakan hubungan yang berbanding lurus. Sebagaimana yang dikemukakan Mason (1981) bahwa kekeruhan umumnya disebabkan oleh adanya bahan-bahan tersuspensi dan senyawa koloid di dalam air yang meliputi partikel-partikel lumpur, bahan-bahan organik makro (sampah), detritus, organisme air yang berlimpah (nabati atau hewani).
12
Untuk mengukur TSS dapat dilakukan sesuai dengan pendapat Linsley (1986), bahwa bahan yang masih tertinggal sebagai sisa selama penguapan dan pemanasan pada suhu 150 °C karena bahan atau zat yang mempunyai tekanan uap lebih kecil dari suhu penguapan akan hilang selama proses penguapan dan pengeringan. Bahan-bahan padatan tersuspensi bervariasi dari mulai ukuran koloid sampai dispersi kasar ini tergantung derajat turbulensi. Dan bahan-bahan padatan tersuspensi dapat berasal dari buangan penduduk dan buangan industri (Alaerts dan Santika, 1984). 2.3.4. DO (Dissolved Oxygen) Oksigen terlarut sering menjadi petunjuk tentang adanya bahan organik yang diterima oleh perairan (Fakhrudin, 1996). Oksigen terlarut akan digunakan oleh proses dekomposisi bahan organik. Penurunan oksigen dapat disebabkan oleh pesatnya aktifitas bakteri dalam menguraikan bahan organik di air. Sehingga untuk menentukan tingkat kandungan bahan organik air bisa diduga atau di interpretasikan dengan keadaan profil oksigen terlarut pada perairan - perairan tersebut. Oksigen terlarut dapat berasal dari proses fotosintesis tanaman air, dimana jumlahnya tidak tetap tergantung dari jumlah tanamannya, dan dari atmosfer (udara) yang masuk ke dalam air dengan kecepatan terbatas. Konsentrasi oksigen terlarut dalam keadaan jenuh bervariasi tergantung dari suhu dan tekanan atmosfer. Semakin tinggi suhu air, semakin rendah tingkat kejenuhan (Fardiaz, 1992). Kadar oksigen terlarut merupakan salah satu parameter kualitas yang penting bagi kelangsungan hidup organisme suatu perairan. Fungsi pengukuran DO yaitu mengetahui ketersediaan oksigen di dalam suatu perairan untuk proses respirasi. Selain itu oksigen terlarut juga digunakan dalam penghancuran bahan organik dalam
air.
13
23.5. Fosfat Unsur hara berupa fosfat berupa menurut Alaert dan Santika ( 19§4 ) fosfat terdapat dalam bentuk terlarut, tersuspensi atau terikat dalam Sf$<0j&ftr&sme ,,tu air. Fosfat dapat berasal dari air limbah padat penduduk, Hmbah Sair^iiiiustri, limbah pertanian, baik materi maupun tanaman menyerap fosfat bagi pertumbuhanya. Alaert dan Santika ( 1984 ), mengklasifikasikan kesuburan perairan berdasarkan kandungan fosfat yaitu 0,00-0,02 mg/1 dikategorikan sebagai perairan dengan kesuburan rendah, 0,021-o,05 mg/1 dikategorikan sebagai perairan dengan kesuburan sedang, 0,051-0,100 mg/1 dikategorikan sebagai perairan
dengan
kesuburan yang baik dan 0,101-0,200 mg/1 dikategorikan sebagai perairan dengan kesuburan yang sangat baik sekali, serta diatas 0,20 mg/1 dikategorikan sebagai perairan dengan kesuburan yang sangat baik sekali.
2.3.6. Kekeruhan Kekeruhan adalah gambaran fisik optik air dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar (cahaya) yang dipancarkan dan diserap oleh pertikel-partikel yang ada dalam air tersebut (Wetzel dan Likens, 1979). Mahida (1993) mengatakan bahwa kekeruhan air disebabkan oleh adanya bahan-bahan halus melayang yang terdiri dari jasad-jasad renik, lumpur, Hat dan sebagainya.
2.3.7. Biologycal Oxygen Demand (BOD) Menurut Wardhana (1999), bahwa Biologycal Oxygen Demand (BOD) merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam air untuk memecah atau mendegradasi bahan-bahan organik di dalam air. Jumlah oksigen yang digunakan oleh bakteri untuk mengoksidasi bahan-bahan organik dalam air dapat
14
diketahui dengan menginkubasi sampel air. Inkubasi diperlukan untuk memberikan kesempatan optimum pada mikroorganisme dalam memanfaatkan oksigen untuk memecahkan senyawa organik dalam air (Alaerts dan Santika, 1984). Air dengan nilai BOD yang tinggi dan tidak mempunyai kemampuan untuk menambah kadar oksigennya jelas tidak dapat mendukung kehidupan organisme yang membutuhkan oksigen (Saeni, 1989).