TINJAUAN PUSTAKA System of Rice Intensification (SRI) SRI merupakan model pertanian yang menekankan pada pengolahan sistem pertanian yang ramah lingkungan dan mulai dikembangkan di Madagaskar awal tahun 1980 oleh Fr. Henri de Laulanie, S.J. yang datang dari Prancis sejak tahun 1961. Henri menghabiskan waktu selama 34 tahun bekerja bersama petani Madagaskar, mengamati dan bereksperimen, dalam rangka meningkatkan sistem pertanian, terutama produksi padi yang menjadi makanan pokok di Madagaskar. Henri merekomendasikan perubahan yang sederhana dan murah pada praktik penanaman, seperti tanam bibit muda pada jarak yang lebar, penanaman bibit dilakukan pada saat 10-15 hari setelah benih disebar dengan jarak 25 x 25 cm (Stoop dan Kassam 2006:1), selain itu menghemat air, namun produktivitas tetap tinggi dan menguntungkan petani.
Menurut Uphoff (2003:5), SRI dapat
menghemat penggunaan air (25-50%), penggunaan benih (80-90%), penurunan biaya produksi (10-20%), dan peningkatan produktivitas padi (50-100%) bahkan lebih. Metode ini dikenal juga dengan nama Metode Madagaskar, SRI didasari pemahaman bahwa padi mempunyai potensi untuk menghasilkan lebih banyak batang dan biji daripada yang diamati sekarang. Uphoff dan Fernandes (2003:6) menyebutkan bahwa SRI didasari pengetahuan bahwa potensi pertumbuhan tanaman padi dapat diwujudkan dengan pemindahan lebih awal dan menciptakan kondisi untuk pertumbuhan terbaik (jarak jauh, kelembaban, tanah yang aktif dan sehat dari segi biologis, serta keadaan tanah aerobic selama masa pertumbuhan). SRI mulai dikembangkan di Madagaskar sebagai respon atas menurunnya kesuburan lahan, langka dan tingginya harga pupuk kimia, serta suplai air yang terus berkurang. Pada tahun 1990 dibentuk Association Tefy Sains (ATS), sebuah lembaga swadaya masyarakat Malagasy untuk memperkenalkan SRI.
Empat
tahun kemudian, Cornell International Institut for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerjasama dengan ATS untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafama National Park di Madagaskar Timur yang didukung oleh US Agency for International Development.
13
14
Hasil metode SRI di Madagaskar sangat memuaskan, pada beberapa tanah tak subur produksi normalnya dua ton/ha, petani yang menggunakan SRI memperoleh hasil panen lebih dari delapan ton/ha, beberapa petani memperoleh 10-15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha. Panen SRI di Srilanka dapat menghasilkan panen sampai 17 ton/ha dan di Kuba percobaan metode SRI pada satu hektar tanah mendapatkan hasil 9.5 ton/ha dibanding 6,6 ton/ha yang biasanya diperoleh, musim berikutnya, 11,2 ton/ha (Uphoff dan Fernandes, 2003:10). Menurut Mutakin (2009:15), metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode yang biasa dipakai petani. Berdasarkan sistem pertanian ini membuat perkembangan meluas ke berbagai negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara dan telah berkembang sampai ke-39 negara (Suryanata, 2007:3). SRI menyebar ke negara lain melalui bantuan CIIFAD khususnya dari Prof. Norman Uphoff, dan Nanjing Agricultural University China dan Agency for Agricultural Reseach and Development (Bilad, 2009:6). Pengembangan SRI juga dilakukan melalui uji coba di berbagai negara di kawasan Asia, termasuk Asia Selatan seperti India, Bangladesh dan Srilanka, maupun Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, dan Indonesia.
Kegiatan
validasi pengaruh SRI pada tahun 2006 dilaksanakan di 20 negara meliputi: Bangladesh, Benin, Cambodja, Cuba, Gambia, Guinea, India, Laos, Mali, Mozambique, Myanmar, Nepal, Pakistan, Peru, Filipina, Senegal, Sierra Leone, Srilanka, Thailand, dan Vietnam. Uji coba tersebut menghasilkan perkembangan yang positif (Anugrah et al. 2008:21). Menurut Suryanata (2007:5), usahatani padi sawah metode SRI merupakan usahatani padi sawah irigasi secara intensif dan efisien dalam pengelolaan tanah, tanaman, dan air melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan lokal serta berbasis pada kaidah ramah lingkungan dan berkelanjutan. Budidaya padi metode SRI disebut pertanian ramah lingkungan, karena sangat mendukung terhadap pemulihan kesehatan lingkungan dan kesehatan pengguna produknya (Mutakin, 2009:17). SRI juga dapat dijadikan sebagai pertanian organik, karena mulai dari pengolahan
lahan,
pemupukan
hingga
penanggulangan
menggunakan bahan organik (Reijntjes et.al. 2008:8).
serangan
OPT
15
Berdasarkan pengertian tersebut, usahatani padi sawah metode SRI merupakan teknologi usahatani yang menekankan pada efisiensi input luar, mengurangi penggunaan bahan kimia, memperhatikan keseimbangan lingkungan dan penyediaan hasil produksi secara kontinyu dengan kuantitas dan kualitas mencukupi yang sesuai dengan konsep pertanian berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah, sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam (Reijntes et al. 2008:14). Prinsip utama usahatani padi sawah metode SRI sesuai dengan konsep yang ada di pertanian organik dikarenakan sistem produksi pertanaman yang berdasarkan daur ulang hara secara hayati (Sutanto, 2000:5).
Menurut Bilad
(2009:7), prinsip utama usahatani padi sawah metode SRI adalah: penanaman bibit muda (8-12 hari setelah berkecambah), jarak penanaman yang lebar (minimal 25 x 25 cm, satu bibit per-titik), menghindari “trauma” pada bibit saat penanaman, penanaman padi secara dangkal, manajemen air (tanah dijaga terairi dengan baik, tidak terus menerus direndam dan penuh, hanya lembab), meningkatkan aerasi tanah dengan pembajakan mekanis, dan menjaga keseimbangan biologis tanah. SRI mulai berkembang di Indonesia pada tahun 1997 dan telah diujicobakan di beberapa kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan. Hasil penerapan gagasan SRI di beberapa lokasi penelitian menunjukkan bahwa budidaya pada model SRI telah meningkatkan hasil dibanding budidaya padi model konvensional.
Menurut
Uphoff (2005:19), keberhasilan penerapan SRI di Indonesia apabila dilihat dari budidayanya, dengan model SRI tanaman padi lebih cepat panen sekitar tujuh hari dari model konvensional. Diperkirakan + 60 persen lahan sawah di Pulau Jawa telah mengalami degradasi kesuburan tanah (fisika, kimia, dan biologi) yang diindikasikan oleh rendahnya kandungan bahan organik (dibawah 1%). Dampak dari rendahnya kandungan bahan organik (BO) ini antara lain tanah menjadi keras dan liat sehingga sulit diolah, respon terhadap pemupukan rendah, tidak responif terhadap
16
unsur hara tertentu, tanah menjadi masam, penggunaan air irigasi menjadi tidak efisien serta produktivitas tanaman cenderung levelling-off dan semakin susah untuk ditingkatkan. Hal ini disebabkan oleh kesuburan tanah yang semakin menurun karena cara-cara pengelolaan lahan sawah yang kurang tepat sehingga sawah semakin tandus sementara pemberian pupuk buatan yang terus-menerus, bahan organik yang berupa jerami padi tidak dikembalikan ke lahan, tetapi dibuang/dibakar sehingga mengakibatkan lahan sawah menjadi miskin beberapa unsur hara yang dibutuhkan tanaman serta memburuknya sifat fisik lahan (Deptan 2007:6). Pemakaian pestisida yang cenderung berlebihan dan tidak terkontrol mengakibatkan: (1) Keseimbangan alam terganggu, (2) Musuh alami hama menjadi punah sehingga banyak hama dan penyakit tanaman semakin tumbuh berkembang dengan pesat, dan (3) Adanya residu pestisida pada hasil panen (Deptan 2007:6). Dari aspek pengelolaan air, usahatani sawah pada umumnya dilakukan dengan penggenangan secara terus-menerus; di lain pihak kesediaan air semakin terbatas. Untuk itu diperlukan peningkatan efisiensi penggunaan air melalui usahatani hemat air. Usahatani padi sawah metode SRI merupakan teknologi usahatani ramah lingkungan, efisiensi input melalui pemberdayaan petani dan kearifan lokal (Deptan 2007:7). SRI dikembangkan pertama kali di Madagaskar sejak tahun 1980-an. SRI menggunakan lebih sedikit input produksi. SRI menggunakan lebih sedikit benih, air irigasi, pupuk kimia, dan pestisida tetapi lebih banyak menggunakan input dari bahan-bahan organik sehingga tanaman padi tumbuh dengan volume akar yang banyak dan dalam, tangkai yang kuat dan butir padi yang dihasilkan lebih bernas (Ikisan 2000: 1) Terdapat enam prinsip dasar SRI. Pertama, menggunakan bibit semaian yang lebih muda. Bibit siap ditanam umur 8-12 hari sejak benih disemaikan. Dengan menanam bibit lebih muda maka potensi tumbuhnya tangkai dan akar tanaman akan semakin banyak dan kokoh (Gambar 1).
17
Gambar 1. Bibit padi siap ditanam pada SRI. Kedua, memerlukan kecermatan dalam memindahkan bibit. Kecermatan yang dimaksud adalah hati hati dalam memindahkan semaian untuk mengurangi ”trauma” tanaman pada lingkungan yang baru. Dengan demikian potensi tumbuhnya akar dan tangkai akan semakin baik (Gambar 2).
Gambar 2. Pemindahan bibit pada SRI. Ketiga, manajemen air yang baik. Dengan pemberian air secara reguler dapat menyimpan (memelihara lengas tanah) dan kondisi tanah anaerob dan aerob dapat bertukar setiap saat. Hal ini akan potensi untuk pertumbuhan akar sehingga tanaman mampu memperoleh banyak bahan nutrisi yang bervariasi dari lahan (Gambar 3).
18
Gambar 3. Pengelolaan air pada SRI. Keempat, menggunakan pupuk organik. Pupuk kompos digunakan sebagai ganti atau sebagai tambahan terhadap pupuk kimia. Diperlukan 10 ton/ha kompos untuk tanaman padi dengan SRI.
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan
pertumbuhan tanaman oleh karena kesehatan dan struktur lahan yang lebih baik dan lebih banyak suplai hara yang seimbang. Kelima, menggunakan jarak tanam yang lebih lebar. Jarak tanam yang digunakan adalah 25 x 25 cm bahkan bisa lebih. Tanaman padi ditanam dengan pola bujur sangkar bukan pola baris. Sehingga tanaman padi tidak bersaing untuk mendapatkan makanan dengan sesama sehingga potensi pertumbuhan akan lebih baik (Gambar 4).
Gambar 4. Jarak tanam pada SRI.
19
Keenam, memerlukan pengendalian gulma. Penyiangan pertama kali dilakukan 10 hari setelah benih ditanam. Penyiangan yang baik bertujuan untuk menghindarkan persaingan tanaman padi dengan gulma dalam mendapatkan makanan, memberikan peluang masuknya oksigen ke dalam tanah, mikroba tanah dapat bekerja dengan baik untuk menghasilkan N. Dengan demikian akar dengan mudah mendapatkan unsur N yang diperlukan tanaman (Gambar 5).
Gambar 5. Diperlukan pengendalian gulma lebih cermat pada SRI. Hasil pengujian di India (Ikisan 2000: 3) dengan teknologi SRI menunjukkan
bahwa
terjadi
peningkatan
produksi
sebesar
2,5
ton/ha
dibandingkan dengan teknologi konvensional yang biasa dilakukan petani India. Biaya yang dikeluarkan untuk produksi juga lebih murah. Benih yang diperlukan hanya 2 kg/ha, berbeda dengan teknologi konvesional yang mencapai 15-20 kg/ha. Pada SRI, umur delapan hingga 12 hari semaian siap ditanam ketika baru tumbuh dua tangkai daun. Tujuannya adalah saat benih tumbuh lebih memungkinkan untuk menghasilkan rumpun yang lebih banyak dan pertumbuhan akar yang lebih banyak. Ketika 30 cabang setiap tanaman tumbuh, bukan tidak mungkin anakan ini akan bertambah hingga mencapai 50 cabang baru. Pengairan harus dikelola dengan baik dalam metode SRI. Irigasi berkala dilakukan untuk menjaga tanah tetap basah. Aktivitas “setting dan keringkan” harus dilakukan untuk memberikan kondisi aerobik dan anaerobik bagi biota tanah untuk menyalurkan nutrisi yang diperlukan oleh tanaman. Ini bertujuan
20
untuk menghindari kemerosotan akar, di mana pada umumnya terjadi saat penggenangan
berlanjut.
Kondisi
air
yang
tidak
menggenang,
yang
dikombinasikan dengan penyiangan mekanik, akan menyebabkan aerasi di dalam tanah akan lancar sehingga pertumbuhan akar akan semakin kokoh. Akar yang kokoh dan banyak memudahkan untuk menyalurkan unsur hara yang diperlukan tanaman. SRI banyak memberikan manfaat kepada petani padi. Pada SRI Jerami lebih tinggi dan butir padi lebih bernas, menghemat waktu hingga 10 hari, sedikit bahkan tidak sama sekali memakai bahan kimia, lebih hemat air dibandingkan dengan metode konvensional, sedikit butir padi yang kosong, butir lebih berat tanpa perubahan ukuran, meningkatkan ketahanan tanaman dari angin ribut, lahan semakin sehat karena terjadi aktifitas biologis dalam tanah, adalah sebagian kecil dari manfaat selain peningkatan hasil yang lebih baik. Perbandingan SRI dengan metoda konvensional dapat lebih meyakinkan petani padi yang ingin mencoba beralih dari sistem konvensional ke SRI. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan SRI dan metode konvensional No
Metode Konvensional
Metode SRI
1.
50 kg benih per ha
15 kg per ha
2.
Umur 25 – 30 hari baru ditanam
Umur 7-12 hari sudah ditanam
3.
Jumlah anakan maksimal 26 batang
Jumlah anakan maksimal 56 batang
4.
3 bahkan lebih bibit yang ditaman
Hanya satu bibit padi yang ditanam
5.
Menggunakan pupuk NPK
Dapat murni organik, anorganik maupun gabungan organik dan anorganik
6
Penggenangan berlanjut
Tanah macak-macak (kondisi lembab)
Sumber: Ikisan, 2000 Subak Dinyatakan oleh Geertz (Suyatna, 1982:51) bahwa orang yang memiliki tanah persawahan dalam satu aliran sungai, terikat dalam satu ikatan kelompok yang ada hubungannya dengan air untuk persawahan.
Ketua kelompoknya
disebut Kelihan Subak. Warga banjar dalam satu banjar kemungkinan terikat oleh beberapa subak. Bahkan satu orang kemungkinan terikat oleh beberapa subak
21
karena subak sangat tegas berpegangan pada daerah persawahan yang dialiri oleh satu aliran sungai, sehingga subaknyapun berbeda jika orang mempunyai sawah dengan lokasi aliran sungai berbeda. Ada beberapa pendapat tentang asal kata subak.
Semua pendapat
mengandung arti baik dan adil. Karena itu kiranya dapat disimpulkan bahwa pembentukan subak didasarkan atas maksud hati nurani yang baik guna kesejahteraan bersama bagi anggotanya. Grade (Suyatna, 1982:51) menunjukkan dua kewajiban utama subak yaitu pekaryan dan penyubaktian.
Pekaryan
merupakan kewajiban di luar keagamaan, antara lain membuat, memelihara dan memperbaiki bendungan, terowongan, saluran air, dan juga jalan subak. Penyubaktian merupakan kewajiban yang ada hubungannya dengan keagamaan, antara lain membuat sesajen dan sembahyang di pura subak. Selanjutnya Grader (Suyatna, 1982:52) menunjukkan awig-awig sebagai peraturan subak. Di dalam awig-awig tercantum hukuman atas pelanggaran awigawig tersebut. Pelanggaran disampaikan kepada kelian subak, yang selanjutnya kelian subak menetapkan hukuman lewat pertemuan berikutnya.
Umumnya
disiplin pada subak sangat tinggi sehingga sangat jarang pemerintah ikut campur menangani permasalahan yang timbul.
Umumnya pelanggaran yang timbul
tentang keterlambatan datang pada suatu pekerjaan subak, sama sekali tidak datang, datang tanpa membawa alat yang dibutuhkan, serta pencurian air. Setiap pelanggaran ada hukumannya yang umumnya berupa denda. Arya (Suyatna, 1982:52) menyatakan bahwa peraturan tentang waktu menanam juga dapat dijumpai di dalam subak. Peraturannya disebut kertamase, yaitu peraturan subak tentang penertiban penanaman di sawah menurut masa atau musim yang ditetapkan oleh subak tersebut. Menurut Grade (Suyatna, 1982:52), sawah yang tidak ditanami tanpa alasan, dapat dikenakan denda.
Dendanya menjadi dua kali lipat dan diberi
peringatan, serta sawahnya tidak mendapatkan pembagian air jika terlambat membayar denda tersebut. Ada beberapa kelompok tani yang bertujuan mendapatkan upah di samping bertujuan saling membantu yaitu sekeha memule dan sekeha manyi. Mereka saling membantu antar anggota, dan mendapat upah jika pekerjaan datang dari luar anggota. Upahnya berupa uang dan makan atau
22
barang. Orang yang tidak memiliki sawah juga dapat menjadi anggota sekeha memule dan sekeha manyi. Karakteristik Anggota Subak Petani memiliki karakteristik yang beragam. Karakteristik tersebut dapat berupa karakter demografis, karakter sosial serta karakteristik kondisi ekonomi petani itu sendiri. Karakter-karakter tersebutlah yang membedakan tipe perilaku petani pada situasi tertentu. Berikut adalah sejumlah karakteristik yang diamati dalam penelitian ini. Tingkat Subsistensi Menurut Redfield (1983:106), tidak semua petani merasakan hal yang sama terhadap pekerjaannya, tergantung pada kepemilikan tanah, kondisi ekonomi, kondisi ekologi. Petani juga mengalami tekanan-tekanan kebutuhan yang berbeda-beda, sehingga secara kritis perlu mencermati ciri-ciri khas petani dan nilai-nilai yang dianutnya spesifik menurut waktu dan lokasi (Wolf, 1983:79). Scott (1983:74) juga menyebutkan bahwa pola pengambilan keputusan petani tergantung pada kondisi subsistensi petani, yang diasumsikan petani berada dalam kondisi yang rawan terhadap krisis subsistensi. Sedikit saja kegagalan akan sangat membahayakan kelangsungan hidup petani, petani akan memilih menolak resiko dengan prinsip dahulukan selamat, dan melakukan strategi pembentukan pengaturan
bersama
dalam
bentuk
desa
serta
kecenderungan
untuk
mempertahankan ikatan patron-klien. Wahono (1994;23) menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar merupakan hal penting yang diperjuangkan oleh petani miskin dibandingkan kebutuhan sosialnya. Petani miskin cenderung tidak mengalokasikan anggarannya terlalu banyak pada kebutuhan sosial. Upaya-upaya menjalin hubungan dengan petani lain, elit desa, atau pedagang, dan kegiatan sosial lainnya lebih banyak didasarkan pada alasan ekonomi yaitu selalu dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan dasarnya.
23
Umur Menurut Padmowihardjo (1999:36-37), umur bukan merupakan faktor psikologis, tetapi apa yang diakibatkan oleh umur itu adalah faktor psikologis dalam belajar. Semakin tinggi umur semakin menurun kerja otot, sehingga terkait dengan fungsi kerja indera yang semuanya memengaruhi daya belajar. Pada masa remaja, yaitu menjelang kedewasaan, perkembangan jauh lebih maju, walaupun tidak banyak terjadi perubahan intelektual. Menurut Salkind (1985;31-32), menentukan umur kronologis sebagai ukuran
perkembangan
lebih
mudah
dilakukan.
Walaupun
dalam
perkembangannya masih terdapat perdebatan apakah umur memang berpengaruh pada perkembangan dan pencapaian kemampuan tertentu sebagai wujud perkembangan di samping umur akan mencirikan suatu perkembangan tertentu. Menurut Schaie (Salkind ,1985:32), dari hasil penelitian yang ditemukan bahwa perbedaan umur menunjukkan perbedaan-perbedaan kematangan, perbedaanperbedaan ini juga disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan interaksinya dengan individu sebagai diri yang bersangkutan. Terkait dengan perkembangan umur, kebutuhan-kebutuhan terhadap keterampilan tertentu berubah. Perbedaan umur menunjukkan perbedaan keterampilan yang dibutuhkan. Soetrisno dkk. (1999:12) menyatakan bahwa umur rata-rata petani Indonesia yang cenderung tua dan hal itu sangat berpengaruh pada produktivitasnya, lagi pula petani yang berusia tua biasanya cenderung sangat konservatif dalam menerima inovasi teknologi. Pendidikan Menurut Ranaweera (1989:8), negara berbeda memberikan ragam pendidikan non formal yang berbeda. Terdapat beberapa negara misal Amerika Latin dan Filipina yang melaksanakan pendidikan non formal dalam kerangka pluralisme budaya. Terkait dengan konteks interaksi dengan lingkungan ini maka Klies (Sudjana, 2004:25) menyatakan bahwa pendidikan adalah sejumlah pengalaman yang dengan pengalaman itu, seseorang atau sekelompok orang dapat memahami sesuatu yang sebelumnya mereka tidak pahami.
24
Cara mendidik oleh keluarga atau masyarakat secara alamiah disebut sebagai pendidikan informal.
Pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa
secara bersistem melalui sekolah disebut sebagai pendidikan formal. Proses dan hasil dari kedua jenis pendidikan ini saling mendukung dan memperkuat dalam proses pencapaian kecakapan hidup untuk mengarungi kehidupan (DEPDIKNAS, 2004:7). Menurut Nabung (2005:13), sistem pendidikan yang memadai apabila pertama, mampu melahirkan profesional yang cakap secara intelektual, emosional, dan sosial, tidak gagap dengan spesialisasi pilihannya.
Kedua, mampu
menyediakan peluang diajarkannya bidang-bidang pengetahuan umum. Ketiga, mampu membuka peluang bagi kelahiran kelompok diskusi lintas masalah. Pendekatan pendidikan yang tepat akan memengaruhi kelanggengan individu dalam menyelesaikan proses belajarnya. Pendekatan formal pendidikan memberikan kesulitan bagi peserta yang ingin belajar tetapi tidak memiliki waktu ke dalam kelas. Kelompok yang tinggal di pedesaan, memiliki keterbatasan untuk mengakses pendidikan formal yang memadai. Pendidikan nonformal menjadi penting untuk menunjang kemampuan individu yang tidak dapat mengakses ke pendidikan formal (Ranaweera, 1989:8). Segala situasi hakekatnya dapat menjadi proses pembelajaran yang kategori pendidikan disebut sebagai pendidikan informal. Pendidikan informal adalah sebutan untuk proses pendidikan seumur hidup bagi setiap orang dalam mencari dan menghimpunkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan pengertian diperoleh dari pengalaman sehari-hari dan pengaruh lingkungan.
Pendidikan
informal tidak terorganisasi, tidak tersistem, dan tersebar sepanjang hidupnya (Combs dan Ahmed, 1985:9-10). Dalam pendidikan informal ini termasuk di dalamnya adalah proses-proses yang terjadi dalam keluarga, kelompok-kelompok kepemudaan, maupun sistem sosial lainnya (Joesoef, 2004:73-78). Luas Lahan Usahatani Menurut Kasryno dkk. (1986:14), dalam banyak hal hubungan yang terjalin antara petani dengan sumberdaya pertanian di desa sangatlah penting. Sumberdaya pertanian paling penting adalah lahan pertanian. Mempelajari pola pemilikan lahan di desa, akan segera dapat diketahui potensi usaha pertanian di
25
desa yang bisa dijadikan dasar dalam pengembangan dan perbaikan taraf hidup petani. Menurut Tjakrawiralaksana dan Soeriaatmadja (1983:7), lahan merupakan pencerminan dari faktor-faktor alam yang berada di atas dan di dalam permukaan bumi. Berfungsi sebagai (1) tempat diselenggarakan kegiatan produksi pertanian seperti bercocok tanam dan memelihara ternak atau ikan, dan (2) tempat pemukiman keluarga tani yang melakukan aktivitas dan berinteraksi sehari-hari. Hernanto (1993:46) menyatakan bahwa luas lahan usahatani dapat digolongkan menjadi tiga bagian yaitu (1) sempit dengan luas lahan < 0,5 ha, (2) sedang dengan luas lahan antara 0,5 sampai 2 ha, dan (3) luas dengan luas lahan > 2 ha. Tohir (1983:115) mengemukakan bahwa luas lahan yang sangat sempit dengan pengelolaan cara tradisional dapat menimbulkan (1) kemiskinan, (2) kurang mampu memproduksi bahan makanan pokok khususnya beras, (3) ketimpangan
dalam
penggunaan
teknologi,
(4)
bertambahnya
jumlah
pengangguran, dan (5) ketimpangan dalam penggunaan sumber daya alam. Menurut Lionberger dan Gwin (1984:15), keterbatasan lahan yang dimiliki petani akan memberikan pengaruh pada kekurang efisienan pengelolaan pertanian. Mengingat selain lahan sebagai sarana produksi, lahan juga merupakan barang yang harus dikeluarkan pajaknya. Perlu pemikiran ke arah kebijaksanaan lahan pertanian yang proporsional. Modal dan Akses Pada Kredit Usahatani Petani Indonesia pada umumnya adalah petani gurem dengan modal uang dan barang terbatas serta kepemilikan lahan yang sempit. Dengan modal terbatas dan tingkat pendidikan yang masih rendah, berhadapan dengan lingkungan tropika yang penuh risiko seperti banyaknya hama, tidak menentunya curah hujan dan sebagainya, membuat para petani harus lebih berhati-hati dalam menerima inovasi atau upaya-upaya pembaharuan. Karena apabila mereka gagal memanfaatkan inovasi berarti seluruh keluarga mereka akan menderita (Mosher, 1987:179). Kredit di pedesaan terdapat dua segmen terpisah, yaitu pasar kredit formal dan kredit informal. Lembaga keuangan formal jarang dimanfaatkan petani untuk membiayai usahatani padi, mengingat petani umumnya tidak memiliki jaminan yang memadai (Rachman dkk. 2011:1).
26
Badan-badan efisien, yang memberikan kredit produksi kepada petani dapat merupakan faktor pelancar penting bagi pembangunan pertanian. Untuk memproduksi lebih banyak, petani harus lebih banyak mengeluarkan uang untuk bibit unggul, pestisida, pupuk, dan alat-alat. Pengeluaran-pengeluaran seperti itu harus dibiayai dari tabungan atau dengan memimjam selama jangka waktu antara saat pembelian sarana produksi itu dan saat penjualan hasil panen. (Mosher, 1978:179). Pengalaman Usahatani Menurut Padmowihardjo (1999:19), pengalaman adalah suatu kepemilihan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Pengaturan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang sebagai hasil belajar selama hidupnya dapat digambarkan dalam otak manusia.
Seseorang akan berusaha
menghubungkan hal yang dipelajari dengan pengalaman yang dimiliki dalam proses belajar.
Pengalaman yang menyenangkan dan memuaskan akan
berdampak pada hal positif bagi perilaku yang sama yang akan diterapkan pada situasi berikutnya. Dalam mengelola usahataninya, petani masih banyak menggunakan sendiri atau pengalaman orang lain dan perasaan atau feeling (Tohir, 1983:180). Menurut Lubis dan Endriatmo (1991:67), beberapa cara bertani dari para pemuda berasal dari interaksi dengan orang tua. Selanjutnya pengalaman yang kurang menyenangkan dalam bekerja pada sektor ini berpengaruh terhadap pilihan untuk melanjutkan bertani sebagai suatu pilihan usaha. Kompetensi Penyuluh Strategi penyuluhan diarahkan untuk: (1) berkembangnya kelembagaan petani, (2) berkembangnya kemandirian petani, (3) berkembangnya kemampuan penyuluh sesuai dengan perubahan orientasi penyuluhan pertanian, (4) meningkatnya
kerjasama
antara
peneliti,
penyuluh,
dan
petani,
(5)
mengembangkan pendekatan partisipatory dan cost-sharing, (6) membaiknya mekanisme tata hubungan kelembagaan terkait, dan (7) meningkatnya komunikasi informasi yang dibutuhkan petani (teknologi produksi, pasar, harga, kualitas,
27
kuantitas, standar mutu, ilmu pengetahuan, kredit perbankan, dan kesempatan usaha) (Abbas, 1995;18). Untuk mendukung strategi penyuluhan, maka penyuluh seharusnya tetap berpegang pada falsafah dasar penyuluhan pertanian (Samsudin, 1987:15), yaitu (1) penyuluhan merupakan proses pendidikan, (2) penyuluhan merupakan proses demokrasi, dan (3) penyuluhan merupakan proses kontinyu.
Sebagai proses
pendidikan, penyuluh harus dapat membawa perubahan perilaku sasaran baik pada aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Sebagai proses demokrasi, penyuluh harus mampu mengembangkan suasana bebas untuk mengembangkan kemampuan masyarakat, mengajak sasaran penyuluhan berpikir menyelesaikan masalahnya, merencanakan dan bertindak bersama-sama di antara mereka untuk mereka. Sebagai proses yang kontinyu, penyuluhan harus dimulai atas dasar kebutuhan yang senantiasa dirasakan oleh petani untuk mencapai tujuan yang mereka kehendaki. Penyuluhan berkewajiban menyadarkan petani tentang adanya kebutuhan yang nyata ada (real need) menjadi kebutuhan yang dirasakan (felt need). Kompetensi penyuluh menunjukkan profesionalisasi dengan mengacu pada penerapan manajemen mutu terpadu, yakni pola manajemen penyuluhan yang memuat prosedur agar setiap orang dalam organisasi penyuluhan terus menerus memperbaiki jalan menuju sukses, dan dengan penuh semangat berpartisipasi dalam perbaikan pelaksanaan kerja (Slamet dan Soemardjo, 2003:5). Penyuluh dikatakan bermutu baik jika dapat memenuhi atau melebihi kebutuhan dan harapan pihak yang disuluh (sasaran). Agar penyuluhan dapat bermutu baik, maka seluruh sumber daya harus dipergunakan dengan baik, dan proses penyuluhan harus tetap berpegang pada falsafah dan prinsip penyuluhan. Kompetensi Pengurus Subak Orang-orang tertentu di dalam suatu masyarakat menjadi tempat tempat bertanya dan tempat meminta nasehat anggota masyarakat lainnya mengenai urusan-urusan tertentu.
Mereka ini seringkali
memiliki kemampuan untuk
memengaruhi orang lain untuk bertindak dalam cara-cara tertentu. Mungkin mereka itu menduduki jabatan formal, tetapi pengaruh itu berlaku secara informal; pengaruh itu tumbuh bukan karena ditunjang oleh kekuatan atau birokrasi formal.
28
Jadi kepemimpinan mereka itu bukan diperoleh karena jabatan resminya, melainkan karena kemampuan dan hubungan antar pribadi mereka dengan anggota masyarakat (Roger dan Shoemaker, 1987:110-111). Orang-orang yang memiliki kemampuan untuk memengaruhi orang lain seperti itu disebut tokoh masyarakat, pemuka pendapat, pemimpin informal atau sebutan lainnya yang senada. Sedangkan kepemimpinan pendapat (opinion leader) adalah tingkat kemampuan seseorang untuk memengaruhi sikap dan perilaku orang lain secara informal relatif sering. Kepemimpinan pendapat dimasyarakat modern biasanya bersifat monomorfik yakni hanya berkenaan dengan salah satu urusan, misalnya hanya dalam bidang pertanian saja atau bidang kesehatan saja. Sedangkan di masyarakat tradisional kepemimpinan pendapat itu kebanyakan bersifat polimorfik yakni berkenaan urusan atau bersifat umum, mengenai semua urusan (Roger dan Shoemaker, 1987:111). Para tokoh masyarakat ini memainkan peranan penting dalam proses penyebaran inovasi. Tetapi kita perlu ingat bahwa ada tokoh masyarakat yang “hangat” dan ada yang “dingin” terhadap inovasi. Mereka dapat mempercepat proses diffusi, tetapi bisapulamereka itu menghalangi dan menghancurkannya. Karena itu agen pembaru harus menaruh perhatian khusus kepada tokoh masyarakat pada sistem sosial yang menjadi kliennya. Kalau ia dapat memperoleh bantuannya maka dapat diharapkan tugasnya akan berjalan lancar. Tetapi jika agen pembaharu tidak berhati-hati dan berbenturan dengan tokoh masyarakat maka ia harus bersiap-siap menerima kegagalan atau setidak-tidaknya kesulitan dalam melaksanakan tugas. Mengenali tokoh masyarakat setempat adalah penting (Roger dan Shoemaker, 1987:111). Dalam penyebaran ide baru ke dalam suatu sistem sosial, tokoh masyarakat memegang peranan penting.
Tetapi tidak mudah dikenal siapa
pemuka masyarakat dalam suatu sistem, terlebih-lebih yang bersifat monomorfik dan dimasyarakat yang modern. Jika tidak hati-hati, mungkin saja kita salah menunjuk seseorang sebagai tokoh, misalnya inovator. Inovator memang orang yang maju di dalam sistem lainnya, tapi belum tentu ia tokoh masyarakat. Ada beberapa teknik untuk mengetahui atau mengenal dan menentukan siapayang
29
menjadi pemuka pendapat di suatu masyarakat, yaitu: (1) sosiometri, (2) informant’s rating dan (3) self designating (Roger dan Shoemaker, 1987:112). Tokoh masyarakat memiliki hubungan sosial lebih luas daripada para pengikutnya.
Mereka lebih sering mengakses media masa dan lebih sering
mengadakan perjalanan. Tokoh masyarakat agaknya perlu memiliki keahlian atau pengetahuan tertentu melebihi orang kebanyakan, terutama pengikutnya. Salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan dan keahlian itu adalah dengan jalan membuka pintu bagi masuknya ide-ide baru, dan pintu masuk itu adalah hubungan dengan dunia luar (Roger dan Shoemaker, 1987:113). Tokoh masyarakat tidak menyimpan pengetahuan dan keahliannya itu untuk dirinya sendiri, melainkan berusaha untuk menyebarkan kepada orang lain; Mereka menjadi tumpuan bertanya dan meminta nasehat. Untuk dapat melaksanakan fungsinya itu ia harus dekat warga masyarakat, ia harus diterima oleh pengikutnya. Maka dari itu para pemimpin aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, dalam pertemuan-pertemuan, diskusi-diskusi dan komunikasi tatap muka lainnya.
Dalam
forum-forum
seperti
itulah
gagasan-gagasan
baru
itu
dikomunikasikan (Roger dan Shoemaker, 1987:114). Dapat diharapkan bahwa para pengikut mencari pemimpin yang agak tinggi status sosialnya daripada dirinya sendiri, dan memang rata-rata tokoh masyarakat itu lebih tinggi status sosialnya. Sehubungan
inovasi, dengan
tersebarnya inovasi, suatu penemuan bisa saja timbul dari lapisan masyarakat paling bawah, tetapi eksistensinya tergantung pada campur tangan lapisan sosial yang terpandang (Roger dan Shoemaker, 1987:114). Pemuka pendapat dikenal oleh teman-temannya sebagai ahli yang berkompeten dalam hal inovasi, mungkin karena mereka telah menerima ide-ide baru sebelum orang lain.
Mereka lebih inovatif dibanding dengan orang
kebanyakan. Akan tetapi penemuan-penemuan riset tidak menunjukkan bahwa pemuka pendapat itu pasti inovator. Ada kalanya mereka itu merupakan orangorang pertama kali mengadopsi inovasi, tetapi seringkali termasuk dalam kelompok ‘”pelopor” dari kategori adopter.
30
Kemampuan (ability) merupakan suatu tenaga (daya kekuatan) yang dimiliki seseorang untuk melakukan perbuatan atau tindakan. Robbins (2003: 46) menyatakan bahwa kemampuan merupakan kecakapan atau potensi yang dimiliki oleh seseorang yang dibawa sejak lahir atau hasil pelatihan atau praktek dan digunakan untuk mengerjakan sesuatu yang diwujudkan melalui tindakan. Lebih lanjut Robbins (2003:46), menyatakan bahwa kemampuan merupakan perpaduan antara pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill). Menurut Lucia dan Lepsinger (1999:6-7), model kompetensi merupakan kombinasi dari pengetahuan, keterampilan, karakteristik yang dibutuhkan secara efektif untuk berperan. Pada dasarnya kompetensi ini terdiri dari unsur-unsur personal karakteristik, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan berujung pada perilaku. Nelson dan Jones (1993;164-185) menyatakan, pada dasarnya kompetensi merupakan aktivitas di dalam diri seseorang dan juga aktivitas di luar diri seseorang dalam melakukan respon terhadap rangsangan.
kegiatan di dalam
adalah keterampilan berpikir meliputi 12 ranah berpikir, yaitu: (1) tanggung awab untuk memilih; (2) pemahaman hubungan antara cara berpikir, merasa dan bertindak; (3) menganalisis perasaan-perasaan sendiri; (4) mempergunakan selftalk yang menunjang; (5) memilih aturan-aturan pribadi; (6) mengamati secara akurat; (7) menjelaskan sebab-sebab secara akurat; (8) membuat prediksi yang realistis; (9) menetapkan tujuan-tujuan yang realistis; (10) menggunakan keterampilan-keterampilan visual; (11) membuat keputusan yang realistis; dan (12) mencegah dan mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Pada sisi
keterampilan di luar diri disebut keterampilan bertindak, yang meliputi: (1) pesan verbal, (2) pesan suara, (3) pesan melalui gerak tubuh, (4) pesan melalui sentuhan, dan (5) pesan melalui tindakan, misalnya mengirim bunga dan sebagainya. Spencer dan Signe (1993:9-12) menyatakan bahwa kompetensi merupakan karakteristik dasar seseorang yang menyebabkan orang masuk dalam kriteria kinerja efektif dan superior atau unggul dibandingkan dengan lainnya dalam suatu pekerjaan atau situasi. Karakteristik dasar tersebut meliputi: motif, sifat, konsep diri, pengetahuan, dan keterampilan.
31
Kompetensi menurut Suparno (2001:27-29) adalah kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas, atau sebagai memiliki keterampilan yang disyaratkan.
Kompetensi dipandang sebagai perbuatan (performance) yang
rasional yang secara memuaskan memenuhi tujuan dalam kondisi yang diinginkan. Boyatzis (1982:12) menyatakan bahwa konsep yang dapat dipergunakan dalam menelaah kompetensi sehingga relevan yakni: konsep kemampuan (ability) dan keterampilan (skill). Konsep kemampuan menggambarkan suatu sift (bawaan atau dipelajari) yang memungkinkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang bersifat mental dan fisik. Konsep keterampilan adalah kompetensi yang berkaitan dengan tugas, dan merupakan kemampuan untuk melaksanakan suatu sistem dengan perilaku guna mencapai tujuan. Menurut Wiriatmadja (1983:10), petani dikatakan memiliki kemampuan jika mempunyai keterampilan, seperti: kecakapan atau terampil dalam melaksanakan pekerjaan badaniah dan kecakapan berpikir untuk menyelesaikan permasalahan atau persoalan-persoalan sehari-hari. Menurut Suparno (2001:29), bahwa kompetensi dalam menghadapi dunia yang penuh tantangan diperlukan kemampuan yang bersifat generik yang disebut kompetensi transversal, yang melintas batas berbagai sektor kehidupan manusia. Persepsi Persepsi adalah pengertian atau pemahaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menimbulkan informasi dan menafsirkan pesan.
Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi
(sensory stimuli). Hubungan sensasi dengan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori (Desiderato et al. 1976:129). Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Proses penginderaan terjadi setiap saat individu menerima stimulus yang mengenai dirinya melalui alat indera (penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan pengecapan/perasaan). Stimulus tersebut kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderanya.
32
Stimulus dapat berupa obyek yang bersifat konkrit maupun abstrak.
Obyek
konkrit berupa benda dapat mengenai semua jenis indera manusia, sedangkan obyek yang abstrak dapat diindera setelah melalui proses audial atau visual (Walgito, 2003:45). Persepsi ditentukan oleh faktor-faktor personal dan faktor situasional. Faktor situasional terkadang disebut sebagai derterminan perhatian yang bersifat eksternal atau penarik perhatian (attention getter). Stimuli diperhatikan karena mempunyai sifat-sifat yang menonjol, antara lain: gerakan, intensitas stimuli, kebaruan, dan perulangan (Rakhmat, 2004:52). Seperti organisme yang lain, manusia secara visual tertarik pada obyekobyek yang bergerak. Seseorang lebih senang melihat huruf-huruf dalam display yang bergerak menampilkan nama barang yang diiklankan. Pada tempat yang dipenuhi benda-benda mati, seseorang akan tertarik hanya kepada tikus kecil yang bergerak (Rakhmat, 2004:52). Seseorang akan memperhatikan stimuli yang lebih menonjol dari stimuli yang lain. Warna merah pada latar belakang putih, tubuh jangkung di tengahtengah orang pendek, suara keras di malam sepi, iklan setengah halaman dalam surat kabar, atau tawaran pedagang yang paling nyaring di pasar malam, sukar lolos dari perhatian (Rakhmat, 2004:52). van den Ban dan Hawkins (1999: 83) menyatakan bahwa persepsi adalah proses menerima informasi atau stimuli dari lingkungan dan mengubahnya ke dalam kesadaran psikologis. Agen penyuluhan tidak dituntut untuk memahami pskikologis persepsi manusia yang rumit, tetapi diminta untuk menghargai timbulnya tafsiran mengenai lingkungan yang berbeda-beda serta bagaimana perbedaan tersebut memengaruhi perilaku komunikasinya. Penggunaan media dalam kegiatan penyuluhan seperti slide, film, demonstrasi lapangan, dan lain-lain sangat berkaitan dengan persepsi kliennya.
Agen penyuluhan hanya dapat
merencanakan dan menggunakan alat-alat bantu ini dengan baik jika mereka memahami prinsip dasar penyuluhan. Mereka juga dituntut mampu mengambil keputusan mengenai strategi komunikasi lain yang digunakan dalam program penyuluhan.
33
Hal-hal yang baru, yang luar biasa, yang berbeda, akan menarik perhatian. Beberapa eksperimen juga membuktikan stimuli yang luar biasa lebih mudah dipelajari atau diingat. Karena alasan inilah maka seseseorang mengejar novel yang baru terbit, film yang baru beredar, atau kendaraan yang memiliki rancangan mutakhir.
Pemasang iklan sering memanipulasi unsur kebaruan ini dengan
menonjolkan yang luar biasa dari barang atau jasa yang ditawarkannya. Media massa juga tidak henti-hentinya menyajikan program-program baru. Tanpa halhal yang baru, stimuli menjadi monoton, membosankan, dan lepas dari perhatian (Rakhmat, 2004:52).. Hal-hal yang disajikan berkali-kali, bila disertai dengan sedikit variasi, akan menarik perhatian. Unsur familiarity (yang sudah dikenal) berpadu dengan unsur novelty (yang baru dikenal). Perulangan juga mengandung unsur sugesti: memengaruhi alam bawah sadar seseorang. Bukan hanya pemasang iklan yang mempopulerkan produk dengan mengulang-ngulang jingles atau slogan-slogan, tetapi juga kaum politisi memanfaatkan prinsip perulangan, bahkan perulangan sebagai salah satu prinsip dalam menaklukkan massa (Rakhmat, 2004:53). Menurut Rakhmat (2004:54) ada beberapa faktor yang memengaruhi perhatian seseorang diantaranya faktor-faktor biologis dan faktor-faktor sosiopsikologis. Orang yang lapar, seluruh pikirannya didominasi oleh makanan. Karena itu, bagi orang yang lapar, yang paling menarik perhatiannya adalah makanan. Orang yang kenyang akan menaruh perhatiannya pada hal-hal yang lain. Anak muda yang baru saja menonton film porno akan cepat melihat stimuli seksual di sekitarnya. Motif sosiogenis, sikap, dan kemauan, memengaruhi perhatian. Dalam perjalanan naik gunung, geologis akan memerhatikan batuan, ahli botani akan memerhatikan bunga-bungaan, ahli zoologi akan memerhatikan binatang, seniman akan memerhatikan warna dan bentuk (Lefrancois, 1974:56). Persepsi merupakan proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi.
Persepsi ini dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman,
proses belajar, cakrawala, dan pengetahuannya. Manusia mengamati suatu obyek psikologis dengan kacamatanya sendiri diwarnai oleh nilai dari kepribadiannya. Sedangkan obyek psikologis ini dapat berupa kejadian, ide atau situasi tertentu.
34
Faktor pengalaman, proses belajar atau sosialisasi memberikan bentuk dan struktur terhadap apa yang dilihat. Sedangkan pengetahuannya dan cakrawalanya memberikan arti terhadap obyek psikologis tersebut. Melalui komponen kognisi ini akan timbul ide, kemudian konsep mengenai apa yang dilihat. Berdasarkan nilai dan norma yang dimiliki pribadi seseorang akan terjadi keyakinan (belief) terhadap obyek tersebut (Gambar 6). Komponen afeksi memberikan evaluasi emosional (senang atau tidak senang). Komponen konasi yang menentukan kesediaan kesiapan jawaban berupa tindakan terhadap obyek. Atas dasar tindakan ini di mana unsur maka situasi yang semula kurang/tidak seimbang menjadi seimbang kembali. Keseimbangan dalam situasi ini berarti bahwa antara obyek yang dilihat sesuai dengan penghayatannya di mana unsur nilai dan norma dirinya dapat menerima secara rasional dan emosional. Jika situasi ini tidak tercapai, maka individu menolak dan reaksi yang timbul adalah sikap apatik, acuh tak acuh atau menentang sampai ekstrim memberontak (Mar’at, 1981:24). Pengalaman
Proses belajar (sosialisasi)
Cakrawala
Pengetahuan
PERSEPSI
K E P R I B A D I A N
Kognisi
Afeksi Evaluasi (senang tak senang)
Obyek Psikologi
Konasi Kecenderungan Bertindak Sikap
Gambar 6. Persepsi
Faktor-faktor lingkungan yang memengaruhi
35
van den Ban dan Hawkins (1999:87) menyatakan bahwa persepsi seseorang bisa berlainan satu sama lain dalam situasi yang sama karena adanya perbedaan kognitif.
Setiap proses mental, individu bekerja menurut caranya
sendiri tergantung pada faktor-faktor kepribadian, seperti toleransi terhadap ambiguitas (kemenduaan), tingkat keterbukaan atau ketertutupan pikiran, sikap otoriter, dan sebagainya. Tidak mungkin untuk merancang pesan dengan menggambungkan semua gaya kognitif tersebut. Harus ditentukan suatu strategi yang dapat mewakili suatu gagasan yang mengacu pada sebagian besar gaya kognitif. Ini disebut sebagai redundancy (pengulangan pesan). Keseimbangan ini dapat kembali jika persepsi dapat diubah melalui komponen kognisi. Terjadinya keseimbangan ini akan melalui perubahan sikap di mana tiap komponen mengolah masalahnya secara baik. Sikap Thurstone (Mueller, 1992:3) di Tahun 1928 mendefinisikan sikap sebagai jumlah seluruh kecenderungan dan perasaan, kecurigaan dan prasangka, pra pemahaman yang mendetail, ide-ide, rasa takut, ancaman dan keyakinan tentang suatu hal khusus.” Tetapi di tahun 1931 ia berkata sederhana, “Sikap adalah menyukai atau menolak obyek psikoligis.” Dari definisi ini maka sikap banyak dinyatakan dalam berbagai cara seperti: (1) sikap adalah pengaruh atau penolakan, (2) penilaian, (3) suka atau tidak suka, atau (4) kepositifan atau kenegatifan terhadap suatu obyek psikologis. Secara pasti, terdapat banyak definisi lain dari sikap yang dinyatakan oleh berbagai ahli teori dalam arena sikap.
Mueller (1992:4) mengikuti definisi
Thurstone karena tiga alasan. Pertama, sementara beberapa definisi sikap yang diteliti lebih banyak berisi ikhtisar definisi Thurstone, tetapi dibalik itu, ketidaksetujuan menjadi meluas pula.
Kedua, banyak definisi sikap yang
termasuk ke dalam referensi perilaku atau tendensi atau “set” untuk menjawab atau berperilaku dalam cara tententu. Bogardus (Mueller, 1992:4) menyatakan bahwa sikap adalah suatu kecenderungan bertindak ke arah atau menolak suatu faktor lingkungan. Dalam banyak kutipan Allport (Mueller, 1992:4) menunjukkan bahwa suatu sikap adalah suatu keadaan kesiapan mental atau saraf. Demikian pula dengan Campbell (Mueller, 1992:4) yang mendefinisikan sikap sebagai
36
konsistensi dalam menjawab obyek-obyek sosial. Linton (Mueller, 1992:4) menyatakan bahwa suatu sikap dapat ditetapkan sebagai jawaban diamdiam/rahasia yang dinyatakan dengan suatu nilai. Alasan yang ketiga untuk tetap bertahan pada definisi sikap yang sangat sederhana adalah bahwa inilah yang diukur dalam skala sikap yang biasa digunakan.
Banyak penelitian yang
dilakukan menggunakan teknik pengukuran yang dikembangkan oleh Thurstone, Likert, Bogardus, Guttman, dan Osgood. Istrumen dan desain sikap menggunakan definisi satu dimensi yang sangat sederhana, yang dipersembahkan oleh Thurstone. Sementara itu, teori-teori sikap menyarankan bahwa sikap adalah lebih kompleks dan bangun yang multidimensional. Menurut Newcomb (Mar’at, 1981:11), sikap merupakan suatu kesatuan kognisi yang mempunyai valensi dan akhirnya berintegrasi ke dalam pola yang lebih luas. Hubungan antara nilai, sikap, motif, dan dorongan ditunjukkan pada Gambar 7. NILAI
Sasaran/tujuan yang bernilai terhadap berbagai pola sikap yang dapat diorganisir
SIKAP
Kesiapan secara umum untuk suatu tingkah laku bermotivasi
MOTIVASI
DORONGAN
Kesiapan ditujukan pada sasaran dan dipelajari untuk tingkah laku bermotivasi Keadaan individu yang menginisiasikan kecenderungan kearah aktifitas umum
Gambar 7. Hubungan antara nilai, sikap, nilai, motif, dan dorongan Gambar 7 menunjukkan perkembangan seleksi dan degenerasi tingkah laku individu yang berpangkal pada drive dan akhirnya mencapai puncak pada value. Nilai inilah yang menunjukkan konsistensi organisasi tingkah laku individu.
37
Sebagian besar ahli mencantumkan kata pre-deposition atau tendency yang berarti senantiasa adanya kecenderungan, kesediaan dapat diramalkan tingkah laku apa yang dapat terjadi jika telah diketahui sikapnya. Dengan sendirinya tindakan yang diawali melalui proses yang cukup kompleks dan sebagai titik awal untuk menerima stimulus adalah melalui alat indera seperti penglihatan, pendengaran, alat peraba, rasa, dan bau.
Dalam diri individu sendiri, terjadi
dinamika berbagai psikofisik seperti kebutuhan, motif, perasaan, perhatian, dan pengambilan keputusan.
Semua proses ini sifatnya tertutup sebagai dasar
pembentukan suatu sikap yang akhirnya melalui ambang batas terjadi tindakan yang bersifat terbuka, dan inilah yang disebut tingkah laku. Jelaslah bahwa sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi berupa pre-deposition tingkah laku (Mar’at, 1981:12). Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek tersebut.
Seseorang akan
memiliki sikap untuk kecenderungan lari jika dikejar anjing. Melalui eksperimen ini dapat dikatakan adanya suatu konsistensi dari reaksi. Dengan melihat adanya suatu kesatuan dan hubungan atau keseimbangan dari sikap dan tingkah laku, maka harus dilihat sikap sebagai suatu sistem atau interelasi antar komponenkomponen sikap (Mar’at, 1981:12). Allport (1955:54) menjelaskan definisi sikap dengan pendekatan teoritik dan operasional sebagai berikut: “An attitude toward any given object, idea or person is an enduring system with a cognitive component, an affective component and a behabioral tendency.” Selanjutnya dikatakan: “The cognitive component causist of belief about the attitude object, the affective component casuist of the emotional feelings connected with the beliefs and the behavioral tendency as the radiness to respone in a particular way.” Berdasarkan uraian di atas, maka sikap memiliki tiga komponen utama yaitu: (1) komponen kognisi yang hubungannya dengan kepercayaan, ide dan konsep, (2) komponen afeksi yang menyangkut kehidupan emosional seseorang, dan (3) komponen konasi yang merupakan kecenderungan bertingkah laku. Untuk menjelaskan konteks sikap, perlu dibedakan terlebih dahulu fungsi sikap dan kejadian. Karakteristik dari sikap senantiasa mengikutsertakan segi evaluasi yang
38
berasal dari komponen afeksi. Kejadiannya tidak diikutsertakan dengan evaluasi emosional. Oleh karena itu sikap adalah relatif konstan dan agak sukar berubah. Jika ada perubahan dalam sikap berarti adanya suatu tekanan yang kuat dan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sikap melalui proses tertentu. Dapat dikatakan bahwa sikap merupakan kumpulan dari berpikir, keyakinan dan pengetahuan. Namun di samping itu memiliki evaluasi negatif maupun positif yang bersifat emosional yang disebabkan oleh komponen afeksi. Semua hal ini dengan sendirinya berhubungan dengan obyek atau masalah yang disebut the attitude of object. Pengetahuan dan perasaan yang merupakan kluster dalam sikap akan menghasilkan tingkah laku tertentu. Obyek yang dihadapinya pertama- tama berhubungan langsung dengan pemikiran dan penalaran seseorang.
Sehingga
komponen kognisi melukiskan obyek tersebut, dan sekaligus dikaitkan dengan obyek-obyek lain di sekitarnya. Hal ini berarti adanya penalaran pada seseorang terhadap obyek mengenai karakteristiknya.
Misalnya seseorang melihat lalu-
lintas di jalan akan sekaligus masuk pada komponen kognisinya dan menggambarkan bahayanya lalu lintas tersebut. Akibat daripada gambaran ini akan memiliki keyakinan bahwa lalu-lintas dapat mengakibatkan kecelakaan yang mengerikan (Mar’at, 1981:14). Berdasarkan evaluasi ini, komponen afeksi memiliki penilaian emosional yang dapat bersifat positif atau negatif. Berdasarkan penilaian ini maka terjadinya kecenderungan untuk bertingkah laku hati-hati. Komponen afeksi yang memiliki sistem evaluasi emosional mengakibatkan timbulnya perasaan senang/tidak senang atau takut/tidak takut. Dengan sendirinya pada proses evaluasi ini terdapat suatu valensi positif atau negatif. Oleh karena itu pada manusia yang tingkat kecerdasannya rendah, kurang memiliki aspek penalaran yang baik, dan dalam evaluasi emosionalnya pun kurang adanya kehalusan sehingga mengakibatkan kecenderungan tingkah laku yang kurang serasi (Mar’at, 1981:14). Telah banyak diadakan penelitian mengenai fungsi dari evaluasi ini pada seseorang, sehingga akibat daripada keputusan dari suatu evaluasi menimbulkan pola tingkah laku tertentu. Dalam proses evaluasi ini dapat terjadi konflik yang mengakibatkan pula konflik dalam tingkah laku. Oleh karena itu terdapat suatu dinamika yang cukup kompleks antara komponen kognisi, afeksi dan
39
kecenderungan untuk bertingkah laku.
Interaksi antara ketiga komponen ini
menghasilkan total attitude. Namun jika diuraikan lebih mendalam dari total attitude seseorang dengan sendirinya akan tergambar secara hipotetik deduktif tingkah laku seseorang (Mar’at, 1981:14). Berdasarkan uraian tersebut di atas, Mar’at (1981:14-15) memiliki pandangan tertentu terhadap sikap dan merupakan kerangka teoritik dalam membahas sikap sebagai berikut: (1) bahwa sikap dapat merupakan suatu kondisi dan dibentuk, (2) dapat timbul konflik dalam kesediaan bertindak, (3) memiliki fungsi yang berarti bahwa sikap merupakan fungsi bagi manusia dalam arah tindakannya, dan (4) sikap adalah konsisten dengan komponen kognisi. Pendekatan dari teori kondisi menjelaskan bahwa sikap adalah merupakan kebiasaan terhadap suatu yang dipelajari sedangkan pada teori konflik dan insentif beranggapan bahwa seseorang memiliki sikap disebabkan terjadinya konflik dalam dirinya. Pendekatan daripada pandangan ini menitikberatkan sebenarnya pada struktur kognisi seseorang yang membuktikan bahwa dari keempat pendekatan tersebut di atas sebenarnya tidak kontradiktif dan tidak inkonsisten. Pada pendekatan kondisi ini model tingkah laku telah banyak dilakukan percobaan dan sebagai asumsi dapat dikatakan bahwa sikap dapat dipelajari sehingga merupakan kebiasaan.
Hal ini berarti bahwa proses belajar akan
mengarah pada pembentukan sikap yang disesuaikan denga lingkungan. Perkembangan dari sikap akan melalui proses sosialisasi, imitasi dan adaptasi. Jika dikaitkan dengan komponen kognisi serta komponen afeksi berarti bahwa komponen kognisi harus dapat menghayati obyek yang dihadapinya agar timbul suatu sikap yang dikehendaki. Oleh karena itu, mempelajari karakteristik obyek manusia atau kejadian-kejadian adalah penting dalam pembentukan suatu sikap yang dalam hal ini sebenarnya menyangkut segi konseptual dan faktor senang atau tidak senang terhadap permasalahan.
Isi permasalahan ini akan
menggambarkan ciri-ciri tertentu atau karakteristik tertentu yang merupakan halhal yang perlu dievaluasi, hingga terjadi suatu hubungan emosional positif agar terbentuknya sikap positif pula terhadap obyek tersebut. Pada anak kecil sikap ini dapat diajarkan melalui imitasi terutama meniru tingkah laku orang tuanya dalam sikap maupun tindakan-tindakannya. Dalam hal ini si anak menerima nilai-nilai
40
dari sikap orang tuanya. Imitasi berarti adanya sikap dan tingkah laku meniru dari anak terhadap orang tua. Berdasarkan pendekatan imitasi ini menggambarkan proses belajar yang sifatnya mekanistik di dalam pembentukan sikap yang dalam hal ini individu lebih bersifat pasif, sehingga nilai-nilai yang diterimanya belum diolah secara rasional namun diterima sebagai yang bersifat final. Teori insentive dan konflik sebenarnya mengarah kepada perubahan sikap. Sikap dalam hal ini berada dalam situasi yang mendekati atau menjauhi konflik tersebut. Individu dalam hal ini memiliki alasan untuk menerima posisi tertentu atau menolaknya. Ia berpikir dan memiliki keyakinan untuk dapat mengevaluasi situasi, sehingga ia akan menghindarkan konflik tersebut. Dalam hal ini komponen kognisi dan afeksi turut berperan dalam menyelesaikan konflik tersebut (Mar’at, 1981:16).. Pendekatan fungsional teori sikap beranggapan pada adanya suatu suatu sikap dasar yang mengarah kepada pembentukan sikap baru berdasarkan fungsifungsi psikologik. Suatu sikap dapat diselesaikan karena merupakan instrumen dalam mencapai tujuan berdasarkan kepentingan dan minat pribadi. Di samping itu sikap memiliki nilai ekspresif di mana dirasakan bahwa sikapnya perlu diekspresikan berdasarkan nilai-nilai yang dimilikinya, misalnya seorang yang egois akan mengekspresikan sikapnya di mana segala kepentingan diutamakan untuk dirinya. Pandangan ini seakan-akan membenarkan kebebasan seseorang dalam menentukan dan membentuk sikapnya, sehingga sikap merupakan fungsi daripada ego defensnya. Menurut teori “konsistensi” yang dikembangkan oleh Lewin, Heider, Abberson, Festinger, Osgood, menjelaskan bahwa tiap manusia memiliki kecenderungan untuk senantiasa mencari konsistensi yang ditentukan oleh komponen kognisi. Dalam hal ini komponen kognisi tidak menghendaki adanya inkonsistensi (Mar’at, 1981:16). Sehubungan dengan berbagai definisi yang telah diuraikan di atas dapat ditarik beberapa dimensi arti sikap.
Dimensi tersebut dipandang sebagai
karakteristik sikap yang dapat diuraikan sebagai berikut (Mar’at, 1981:16-19): (1) Sikap didasarkan pada konsep evaluasi berkenaan dengan obyek tertentu, menggugah motif untuk bertingkah laku. Ini berarti bahwa sikap mengandung unsur penilaian dan reaksi afektif yang tidak sama dengan motif, akan tetapi
41
menghasilkan motif tertentu.
Motif inilah yang kemudian menentukan
tingkah laku nyata, sedangkan reaksi afektifnya merupakan reaksi tertutup. Pada konsep evaluasi ini komponen afeksi seakan-akan menentukan arah dan tingkah laku, namun dinamikanya sendiri terselubung. Misalnya seseorang dalam reaksi afektifnya adalah marah namun karena situasi tertentu ia harus bersikap ramah. Motif yang dibentuk adalah menentukan tingkah lakunya untuk senantiasa bersikap ramah yang sebenarnya secara terselubung ia bersikap marah. (2) Sikap digambarkan pula dalam berbagai kualitas dan intensitas yang berbeda dan bergerak secara kontinyu dari positif melalui areal netral kearah negatif. Variasi kualifikasi ini digambarkan sebagai valensi positif dan negatif sebagai hasil penilaian terhadap obyek tertentu. Intensitas sikap digambarkan dalam kedudukan ekstrim positif atau ekstrim negatif. Dalam hal ini terlihat bahwa kualitas dan intensitas sikap menggambarkan konotasi dari komponen afeksi, sehingga terjadi kecenderungan untuk dapat bertingkah laku berdasarkan kualitas emosional. (3) Sikap lebih dipandang sebagai hasil belajar daripada sebagai hasil perkembangan atau sesuatu yang diturunkan.
Ini berarti bahwa sikap
diperoleh melalui interaksi dengan obyek sosial atau peristiwa sosial. Sebagai hasil belajar, sikap dapat diubah, diacuhkan, atau dikembalikan seperti semula, walupun memerlukan waktu yang cukup lama.
Berdasarkan pandangan ini
maka sikap sebenarnya merupakan produk dari hasil interaksi, pandangan ini lebih bersifat humanistik di mana kebebasan seseorang dapat ditentukan berdasarkan kondisi lingkungan yang berlaku pada saat itu. (4) Sikap memiliki sasaran tertentu. Sasaran dalam hal ini tidak perlu konkrit akan tetapi dapat bersifat abstrak atau dapat bersifat langsung dan tidak langsung.
Lingkup sikap bersifat multikompleks, ialah jumlah dan jenis
obyek sikap berbeda-beda tingkat jangkauannya. Hal ini tergantung pada tingkat homogenitas atau heterogenitas obyek sikap yang dirumuskan. Berdasarkan pandangan ini maka sikap diartikan sebagai sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dari lingkungan dan sasarannya.
42
(5) Tingkat keterpaduan sikap adalah berbeda-beda. Sikap yang sangat berpautan akan membentuk kelompok yang merupakan subsistem sikap. Tiap subsistem, berpautan satu dengan lainnya, sehingga dapat dijumlahkan dan menunjukkan keseluruhan sistem sikap dari individu yang dapat dinilai. Keterpautan itu terjadi karena adanya kesamaan penyelesaian obyek sikap atau kesamaan evaluasi terhadap obyek sikap.
Pandangan ini menjelaskan bahwa sikap
merupakan suatu sistem seseorang dalam menghadapi obyek tertentu, sehingga hubungan dengan obyek dapat diadakan evaluasi. (6) Sikap bersifat relatif menetap dan tidak berubah. Apabila diperhatikan lebih dalam ternyata perubahan predisposisi afektif yang disebabkan oleh komponen afeksi adalah lamban. Hal ini disebabkan adanya centeral attitude yang lebih definitif dan stabil, ada keterpaduan sikap dan peranan reinforcement pada saat tersebut terbentuklah sikap, atau adanya hambatan yang dihayatinya sebagai ancaman. Pandangan centeral attitude merupakan inti daripada sikap yang akhirnya merupakan predisposisi yang sulit untuk diubah. Predisposisi ini merupakan sesuatu yang telah dimiliki seseorang semenjak kecil sebagai hasil pembentukan dirinya sendiri.
Dilihat dari
karakteristik tersebut di atas jelaslah bahwa konsep sikap yang diramalkan lebih banyak mengungkapkan struktur sikap secara deskriptif. Sedikit sekali membahas tentang proses pembentukan atau perubahan sikap apalagi pengukuran daripada sikap.
Pengertian struktural ini dikembalikan pada
komponen kognisi, afeksi, dan konasi. Oleh karena itu, perlu dirumuskan definisi operasional sikap secara jelas agar perumusan tersebut mengandung norma dari komponen-komponen kognisi, afeksi, dan konasi. Reaksi afektif yang membentuk sikap seseorang berpangkal pada struktur kognisinya. Ini berarti bahwa sikap individu terhadap obyek tertentu banyak ditentukan oleh daya nalar, pengalaman yang berhubungan dengan obyek tersebut.
Di
samping itu memiliki konsep yang jelas tentang obyek tersebut. Penilaian individu tentang obyek diperoleh melalui pengamatan langsung berdasarkan interaksi, namun dapat didasarkan juga atas pengalaman tidak langsung seperti cerita-cerita atau berita-berita. Penilaian ini menghasilkan reaksi
43
afektif yang berupa dimensi positif atau negatif terhadap obyek sikap (Mar’at, 1981:19). Peranan kognisi sebagai salah satu komponen sikap adalah terutama interaksi antara individu dengan mengadakan penilaian terhadap sikap masingmasing.
Oleh karena itu, sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi
afektif terhadap obyek tersebut berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individu. Jika melihat proses daripada perubahan sikap ini maka sikap dapat dipandang sebagai hasil belajar yang relatif stabil, berbeda intensitas arahnya, berbeda pula keterpautan dan lingkup jaraknya. Berdasarkan berbagai batasan dan keterangan tersebut di atas, dapatlah dirumuskan batasan operasional yang menjadi titik tolak dalam penelitian ini. Sikap diartikan derajat atau tingkat kesesuaian anggota subak terhadap paketpaket teknologi SRI. Kesesuaian atau ketidaksesuaian ini dinyatakan dalam skala Likert. Gambar 8 menunjukkan predisposisi untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap obyek tertentu mencakup komponen kognisi, afeksi dan konasi. Komponen kognisi akan menjawab pertanyaan apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang obyek. PENGARUH FAAL
KEPRIBADIAN
FAKTOR EKSTERNAL • SITUASI T • PENGALAMAN • HAMBATAN
OBYEK SIKAP
SIKAP
• • •
SIKAP RELATIF KONSTAN MELALUI PROSES BELAJAR KESEDIAAN BERTINDAK
Reaksi
Gambar 8. Sikap
44
Komponen afeksi menjawab pertanyaan tentang apa yang dirasakan (senang atau tidak senang) terhadap obyek, dan komponen konasi akan menjawab pertanyaan bagaimana kesediaan/kesiapan untuk bertindak terhadap obyek. Ketiga komponen tersebut tidak berdiri sendiri, akan tetapi menunjukkan bahwa manusia merupakan suatu sistem kognitif. Ini berarti bahwa yang dipikirkan seseorang tidak akan terlepas dari perasaannya. Masing-masing komponen tidak dapat berdiri sendiri, namun merupakan interaksi dari komponen-komponen tesebut secara kompleks. Aspek kognisi merupakan aspek penggerak perubahan karena informasi yang diterima menentukan perasaan dan kemauan berbuat. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan secara kognitif. Berdasarkan pendekatan ini setiap orang akan berusaha mencari keseimbangan dalam bidang kognisinya dan terbentuk sikap dari yang bersangkutan. Apabila terjadi ketidakseimbangan, individu akan berusaha mengubahnya sehingga terjadi keseimbangan kembali. Hubungan Sikap dengan Nilai Nilai adalah suatu bangun yang penting dalam kebijakan setiap cabang ilmu sosial, seperti dalam bidang ekonomi, filsafat, teologi, pendidikan, dan penyuluhan. Ini adalah bangun dasar untuk teori dan penelitian dalam disiplin ilmu sosiologi dan anthropologi. Orang dapat berharap bahwa dengan kemuliaan dan popularitas di antara para ilmuwan dan para praktisi, bangun nilai akan lebih menyukai suatu definisi yang jelas dan mantap. Sayangnya, itu bukan suatu kasus. Dalam kenyataannya kurang ada konsensus untuk memperhatikan definisi nilai daripada sikap. Untuk sebagian, inilah sebabnya mengapa nilai digunakan dalam berbagai cara dan untuk berbagai tujuan teori, dari disiplin ilmu yang satu ke disiplin ilmu yang lain.
Alasan lain tentang bangun nilai ialah dibiarkan
menderita kurang dukungan konsensus definisi karena bangun yang lebih abstrak daripada sikap, dan dengan demikian maka dikonseptualisasikan lebih tegas dan jelas (Mueller, 1992:6). Namun, seperti dengan sikap terdapat adanya keusangan-keusangan umum yang berjalan melalui definisi-definisi nilai yang utama. Dua di antara definisidefinisi yang terkenal akan membantu dengan baik untuk mengindentifikasi unsur-unsur kritis dari bangun nilai itu. Klukhohn (Mueller, 1992:6),
45
mendefinisikan nilai sebagai suatu konsepsi eksplisit atau implisit yang membedakan karakteristik individu atau kelompok yang diharapkan, yang memengaruhi adanya cara, alat, dan tujuan tindakan. Rokeach (Mueller, 1992:6), seorang ahli psikologi sosial, menyatakan bahwa nilai adalah suatu keyakinan bahwa suatu ragam tingkah laku spesifik atau keadaan akhir sikap dari keberadaan yang secara personal atau sosial yang lebih baik daripada suatu kebalikan atau berlawanan ragam perilaku atau pernyataan akhir keberadaannya. Seperti halnya dengan sikap, nilai melibatkan penilaian. Secara umum hal ini disetujui oleh para ahli teori sosial, bahwa nilai itu lebih abstrak, bangun susunan tinggi daripada sikap. Dengan demikian lebih permanen dan lebih tahan lama terhadap perubahan, dan mempunyai pengaruh kausal yang langsung atau tidak langsung terhadap sikap dan perilaku. Klukhohn dan Rokeach menunjukkan bahwa nilai bisa menyatakan baik preferensi personal maupun preferensi sosial dan bahwa nilai bisa memenuhi baik sebagai hasil (tujuan) maupun sebagai sarana untuk hasil keduanya ketetapan umum para ahli teori nilai (MUeller, 1992:6). Ada kesepakatan umum bahwa nilai menyebabkan sikap. Lebih khusus lagi, suatu sikap kearah suatu obyek adalah fungsi sedemikian rupa bahwa obyek itu diartikan untuk memberi kemudahan pencapaian nilai-nilai penting. Misalnya, jika seseorang atlet menilai kerahasiaan dan kebebasan tetapi tidak menilai struktur, ia dapat bersikap lebih positif terhadap olahraga individual seperti tenis dan lintas alam daripada terhadap olahraga kelompok seperti bola basket dan sepakbola. Begitu pula, sikap seseorang terhadap orang lain atau kelompok, dan semua obyek-obyek kognitif (rumah, keluarga, buku-buku, rumah makan, mobil, kolam pemancingan, negeri-negeri, makanan kucing dan selanjutnya) sebagian besar ditetapkan oleh setiap obyek itu dikaitkan dengan pemenuhan nilai-nilainya (Mueller, 1992:7). Dengan demikian nilai adalah determinan sikap.
Mari kita jelaskan,
bahwa bukan hubungan satu dengan satu antara sikap tertentu dan nilai tertentu. Tentu saja, suatu sikap tunggal disebabkan oleh banyak nilai oleh seluruh sistem nilai seseorang. Sebuah contoh lagi akan membantu untuk menghablurkan (kristal) pemahaman ini. Jika saya membeli sebuah kendaraan baru, sistem nilai saya mengatakan kepentingan relatif dari perekonomian, kekuatan, kenikmatan,
46
keawetan, kelegaan, keamanan, gaya, dan selanjutnya. Sikap saya terhadap suatu kendaraan tertentu (dalam kenyataannya, terhadap setiap kendaraan tertentu) ditentukan oleh urutan susunan nilai-nilai saya itu dan oleh keyakinan saya memandang sedemikian rupa setiap kendaraan yang dikaitkan dengan pemenuhan setiap nilai (Mueller, 1992:7). Hubungan Sikap dan Keyakinan Beberapa ahli teori sikap menekankan pentingnya keyakinan mereka dalam mengonseptualisasikan sikap. Misalnya Newcomb menyebut penyimpanan pengamatan/kognisi yang mempunyai beberapa kaitan positif atau negatif. Keyakinan kita tentang benda-benda memengaruhi cara kita merasakannya. Kita percaya bahwa seorang individu mempunyai banyak kualitas yang baik maka kita cenderung menyukainya. Sebaliknya, keyakinan kita dipengaruhi oleh sikap kita sendiri. Kita lebih suka untuk mempercayai, bahkan menduga informasi positif tentang orang-orang yang disukai daripada mereka yang tidak kita sukai. Hubungan timbal balik antara pengamatan/kognisi dan pengaruh/afeksi ini berguna bagi para ilmuwan dalam pengukuran sikap.
Daripada menanyai
responden bagaimana perasaan mereka tentang suatu obyek sikap tertentu, maka ukuran sikap dapat menanyakan apa yang mereka percayai tentang obyek tersebut. Pernyataan
kepercayaan/keyakinan
pengaruh/afektif.
itu
hampir
selalu
berisi
komponen
Seorang responden dengan banyak kepercayaan positif dan
sedikit kepercayaan negatif tentang suatu obyek psikologis dinyatakan mempunyai sikap positif. Seseorang yang mempunyai banyak kepercayaan yang negatif dan sedikit kepercayaan positifnya maka ia dinyatakan bersikap negatif. Teknik-teknik pengukuran sikap dikembangkan oleh Thurstone, Likert, dan Guttman,
sungguh-sungguh
sebagai
metode
yang
sistematis
dalam
mengabstrakkan, komponen afektif dari pernyataan kepercayaan terhadap efek/hasil suatu skor sikap (Mueller, 1992:8). Beberapa ahli teori sikap telah mengembangkan persamaan matematik untuk menerangkan kontribusi relatif dari suatu kepercayaan tentang suatu obyek sikap kepada sikap ke arah obyek tersebut. Dua unsur pokok dalam persamaan itu adalah: (1) pentingnya nilai tertentu itu dihubungkan dengan obyek sikap dalam
47
setiap
pernyataan kepercayaan,
(2)
sedikit
banyaknya kenyataan
yang
dipercayainya (Mueller, 1992:8) Pentingnya Sikap dalam Urusan Manusia Dalam menyelidiki proses-proses sosial, mengkaji manusia, pembentukan konsep, pengembangan kepribadian, dan pembentukan sikap, para ahli psikologi telah menemukan bahwa manusia menilai tentang sesuatu kontak yang mereka lakukan dengan orang lain, binatang, obyek-obyek tak berjiwa, lembaga-lembaga, kelompok-kelompok, dan sebagainya. Jika tidak percaya, lihatlah di sekeliling. Tempatkanlah pikiran pada suatu obyek, dari suatu pensil hingga ke orang lain, dan tanyalah diri sendiri, “Apa perasaannya tentang obyek itu?” Hampir dipastikan jawabannya akan menunjukkan suka atau tidak suka, bernilai atau tidak bernilai obyek itu. Tentu saja perasaan tentang pensil tidak sekuat tentang orang. Walupun demikian akan sangat baik bila dapat memutuskan bahwa lebih menyukai satu pensil tertentu daripada pensil lain.
Sikap tersebut sebagai
evaluasi, besarnya rasa suka atau tidak suka, perasaan positif atau negatif, menilai atau tidak menilai obyek khusus tertentu (Mueller, 1992:9). Tidaklah mengherankan bahwa para peneliti dan praktisi dalam pendidikan dan ilmu sosial telah menyita sejumlah besar waktu dan energi dalam studi tentang pembetukan dan perubahan sikap dan pengaruh sikap terhadap perilaku. Sikap membangun komponen penting nomor satu dalam jiwa manusia. Secara kuat sekali memengaruhi segala keputusan kita tentang teman yang kita pilih, pekerjaan yang kita terima, film yang kita tonton, makanan yang kita lahap, orang yang kita nikahi, pakaian yang kita beli, dan rumah yang kita tempati. Kita memilih benda-benda yang kita pilih, dalam jumlah tak terbatas, karena kita menyukainya (Mueller, 1992:10). Skala Sikap Likert Mengukur sikap seseorang adalah mencoba untuk menempatkan posisinya pada suatu kontinum afektif berkisar dari sangat positif hingga sangat negatif terhadap suatu obyek sikap.
Dalam teknik penskalaan Likert kuantifikasi ini
dilakukan dengan mencatat penguatan respon dan untuk pernyataan kepercayaan positif dan negatif tentang obyek sikap (Mueller, 1992:11).
48
Sikap, ditunjukkan oleh luasnya rasa suka atau tidak suka terhadap sesuatu. “Sesuatu” itu adalah obyek sikap. Pertimbangan pertama dalam suatu usaha percobaan pada pengukuran sikap adalah mengidentifikasi obyeknya. “Sikap terhadap apa?” adalah pertanyaan yang harus dijawab sebelum dilanjutkan lebih jauh. Makin lebih ketat obyek sikap itu ditentukan batas-batasnya, maka upaya pengukurannya akan makin berbasil (Mueller, 1992:11). Agar skor skala sikap menjadi lebih berarti maka penting sekali bagi para peneliti yang menggunakan skala skor yang mempunyai obyek sama dalam pikiran yang dilakukan responden pada skalanya. Sama halnya bahwa upaya mengkontruksi skala tidak akan berhasil jika obyek sikapnya begitu kabur atau tidak sehingga beberapa responden agak berbeda obyek dalam pikirannya (Mueller, 1992:12). Pada umumnya obyek sederhana lebih mudah ditentukan batas-batasnya daripada obyek yang kompleks, obyek nyata lebih mudah ditentukan batasbatasnya daripada obyek yang abstrak, dan obyek tertentu secara individual lebih mudah ditentukan batas-batasnya jika kita dibatasi untuk mengukur sikap obyek nyata, sederhana (Mueller, 1992:12). Penting sekali menetapkan obyek dengan teliti dan lengkap jika hendak mengukur sikap terhadap obyek yang kompleks dan abstrak. Misalnya, jika hendak mengukur sikap terhadap pendidikan, maka harus berpikiran jelas, dan dalam berkomunikasi dengan yang lain (skala responden, konsumen, untuk temuan penelitian, dan sebagainya) komponen-komponen berikut termasuk dalam pendidikan: (1) Tingkat umum kemampuan membaca dari masyarakat (misalnya, “Suatu masyarakat berpendidikan tinggi membuat negeri menjadi kuat”). (2) Pendidikan sebagai profesi (misalnya, “Pendidikan adalah profesi yang memadai”). (3) Sistem persekolahan umum (misalnya, “Pendidikan formal di negeri ini adalah yang terbaik di dunia”). (4) Tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang (misalnya, “Pendidikan yang lebih akan membuat saya jadi orang terbaik”).
49
Jika dimasukkan semua butir-butir itu ke dalam suatu skala tunggal dan skor-skor bulirnya dijumlahkan untuk setiap responden, maka skor totalnya akan menjadi kecil atau tidak jelas artinya. Jalan keluarnya adalah membuat skala multiple untuk setiap obyek sikap maupun menetapkan pendidikan secara sempit dan khusus sehingga beberapa dimensi multiple-nya itu terhindarkan. Daripada mengganggu skala responden dengan definisi, pembatasan obyek sikap seperti itu umumnya dilakukan melalui seleksi cermat butir-butir skalanya. (Mueller, 1992:12). Skala obyek sikap itu ditetapkan, suatu kumpulan butir yang menyatakan kepercayaan atau pendapat/opini tentang obyek itu dibuat atau dikumpulkan. Ini penting, dalam membuat kumpulan butir ini untuk menyadap keanekaragaman pendapat tentang obyek sikap. Karena skala lengkap Likert secara khusus hanya berisi kira-kira 20 lusin atau bahkan ratusan dan ribuan kemungkinan kepercayaan tentang suatu obyek tertentu, akan menjadi lebih sahih apabila membentuk suatu contoh/sampling yang representatif dan sama sekali menyeluruh dari daerah teori yang hampir terbatas.
Suatu cara untuk mencapai hasil keseluruhan dalam
membuat skala potensial butir adalah dengan jalan bertanya kepada berbagai kelompok orang (mengenai pengetahuan pokok dan dengan arah sikap positif dan negatif terhadap obyek sikap) menuliskannya beberapa kepercayaannya sendiri dan perasaannya tentang obyek sikap. Dengan terbitan yang sedikit, pernyataanpernyataan kepercayaan yang dihasilkan dalam cara ini dapat menjadi kumpulan butir yang memenuhi sebagai dasar untuk skala sikap.
Wawancara dan
percakapan lainnya mengenai obyek sikap sama produktifnya dalam membuat kumpulan butir yang berguna, sebagai penulisan bentuk editorial tentang obyekobyeknya (Mueller, 1992:13). Sementara itu, dalam arti luas semua butir sikap dapat disebut pernyataan “kepercayaan” atau “pendapat,” pengukuran sikap kadang-kadang dibedakan di antara kepercayaan atau butir kognitif, perasaan atau bulir afektif, dan kecenderungan perilaku atau butir konatif.
Butir kognitif menyatakan
kepercayaan-kepercayaan terhadap obyek sikap.
Butir-butir afektif menyusun
suatu pernyataan perasaan yang sangat langsung terhadap obyek sikap. Butirbutir konatif menyatakan kehendak perilaku atau preferensi perilaku dengan
50
memperhatikan obyeknya. Sesungguhnya ada dua macam butir kecenderungan perilaku: butir-butir “mau”, dan butir-butir “akan.”
Butir-butir mau/hendak
menyatakan kehendak perilaku personal terhadap obyek sikap tersebut. Butirbutir akan, menyatakan kecenderungan perilaku untuk kegiatan sosial. Berikut ini adalah contoh-contoh bentuk-bentuk butir itu, dengan kendaraan disel sebagai obyek sikap: Kepercayaan : Kendaraan disel berjalan ekonomis Perasaan : Saya suka kendaraan disel Kehendak : Saya hendak/mau membeli sebuah kendaraan disel jika saya mempunyai pilihan Akan : Pemerintah akan mengenakan utang pajak kepada orang yang membeli kendaraan disel. Karena tentang kepercayaan, perasaan terhadap, dan kecenderungan perilaku dengan perhatian pada obyek cenderung berkaitan secara tinggi (orang yang menyukai X cenderung mempunyai kepercayaan positif tentang X dan menyatakan kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan berperilaku secara positif terhadap X), sesuatu atau seluruh bentuk butir-butir itu dapat digunakan dalam skala sikap tanpa pembatasan (Mueller, 1992:14). Tetapi hal ini penting untuk membedakan antara butir-butir kecenderungan perilaku dan butir-butir perilaku aktual. Butir-butir perilaku aktual agaknya bisa menjadi masalah dalam skala sikap.
Seseorang yang hidup di Alaska dapat
berpikir bahwa kendaraan disel “yang terbesar” tetapi dapat juga menjawab “tidak” atau “tidak setuju” pada pernyataan “Saya memiliki kendaraan disel”, karena kendaraan disel tidak biasa ada di Alaska. Jika berpikir tentang itu, akan mengerti bahwa perilaku aktual dipengaruhi oleh banyak hal di samping sikap. Sebagai ketentuan umum, butir-butir yang memeriksa tentang perilaku aktual responden yang baik dilangkahi dari skala sikap (Mueller, 1992:14). Mueller, 1992:14) menyatakan bahwa setiap butir Likert harus jelas secara positif atau negatifnya dengan memperhatikan kepada obyek sikapnya. Butirbutir netral tidak dimasukkan dalam skala Likert. Butir-butir positif adalah butirbutir yang menyatakan kepercayaan yang baik tentang perasaan terhadap obyek sikap.
51
Berikut ini adalah contoh-contoh butir-butir positif, netral, dan negatif: Positif Netral Negatif
: Saya lebih suka memiliki kendaraan bertenaga disel. : Kendaraan-kendaraan disel adalah suatu macam mobil. : Kendaraan disel tidak dapat bergerak dengan mudah dalam cuaca dingin. Biaya pemeliharaannya sangat mahal daripada nilainya sendiri. Beberapa butir bisa mencakup sikap positif dari beberapa responden tetapi
sikap negatif bagi yang lainnya. Misalnya, butir “Saya lebih suka memiliki kendaraan bertenaga disel” adalah positif atau se negatif es krim bagi setiap responden.
Perhatian harus dilakukan untuk menyeleksi butir-butir yang
berderajat sangat tinggi dari konsensus memandang arah (positif atau negatif) dari komponen afektifnya (Mueller, 1992:15). Bentuk lain butir yang tidak menguntungkan skala kita adalah suatu butir yang dijawab sama oleh semua responden.
Jika skalanya lengkap, ini akan
digunakan untuk membedakan antar responden, yaitu untuk membedakan mereka yang bersikap sangat positif daripada yang bersikap posistif secara moderat; dan sebaliknya pula dari mereka yang bersikap negatif. Setiap butir harus sedikit menunjang pada pembedaan itu. Dalam susunan pembedaan, butir-butir harus “menyebar” dalam skor nilainya. Jika semua responden membuat jawaban yang sama untuk sebuah butir dalam skalanya, maka mereka semua akan mendapat skor total yang sama.
Dengan demikian, bagaimanapun tidak ada pembeda,
sehingga skalanya menjadi tidak berguna (Mueller, 1992:15). Beberapa butir faktual tidak menyebar responden.
Jika suatu kata
dinyatakan bahwa semua responden “setuju”, ini tidak akan menjadi butir sikap yang baik. Misalnya, kemungkinan semua responden menyatakan “sangat setuju” bahwa kendaraan disel membakar minyak disel. Tetapi, beberapa butir faktual dapat membedakan demikian baiknya. Hal itu dinyatakan secara obyektif bahwa “kendaraan disel dapat menempuh jarak yang lebih jauh per galon daripada kendaraan bensin.” Tetapi tidak semua responden tahu dan/atau percaya fakta itu. Mereka yang mengetahui “fakta” positif ini akan setuju dan dengan demikian mempunyai nilai sah yang ditambahkan pada skor sikapnya.
Mereka yang
mempunyai salah pengertian akan tidak menyetujui dan dengan demikian tidak akan mendapat nilai sikap. Mereka yang tidak tahu apa-apa dapat menjawab “tidak tahu” atau “ragu-ragu” atau dapat menebak berdasarkan segala sikapnya
52
terhadap kendaraan disel. Butir factual seperti itu dapat menyebar responden dan dengan demikian akan menunjang pada pembedaan skalanya (Mueller, 1992:16). Butir-butir yang dikatakan secara luar biasa atau sangat dapat juga diakibatkan oleh masalah tidak menyebarkan respondennya. Butir “Saya tidak pernah membeli kendaraan disel” tidak akan menyebarkan responden maupun dikatakan secara luar biasa kurang, ditulis kembali sebagai “Saya mungkin tidak membeli kendaraan disel.” Pada umumnya, penggunaan kata-kata mutlak seperti “selalu” dan “tidak pernah” harus dihindarkan dalam menulis butir-butir skala Likert (Mueller, 1992:16). Suatu pertimbangan akhir dalam menyusun butir adalah berapa banyaknya butir-butir yang akan dimasukkan.
Jawabannya untuk sebagian bergantung
kepada hingga di mana sempurnanya butir-butir yang disusun, sebagian bergantung kepada rincian obyek sikap, dan sebagian lagi bergantung kepada dimana reliabelnya diperlukan dari skala akhir. Jika belum berpengalaman dalam menulis dan menata butir-butir untuk skala sikap, boleh memulai dengan kumpulan yang lebih dari 50 butir.
Sikap-sikap terhadap obyek-obyek yang
dikonseptualisasikan secara khusus dan ketat dapat diukur secara cermat dengan butir yang sedikit daripada sikap terhadap obyek-obyek yang tidak ditetapkan dan dibentuk secara khusus (Mueller, 1992:17). Tipe-tipe sikap Ada dua tingkatan sikap, yaitu: (1) sikap khusus terhadap inovasi, dan (2) sikap umum terhadap perubahan. Sikap khusus terhadap inovasi adalah berkenan atau tidaknya seseorang, percaya atau tidaknya seseorang terhadap kegunaan suatu inovasi bagi dirinya sendiri. Sikap khusus itu menjembatani antara suatu inovasi dengan inovasi lainnya. Pengalaman positif dengan pengadopsian inovasi yang terdahulu pada umumnya menimbulkan sikap-sikap yang positif pula terhadap inovasi yang datang berikutnya. Sebaliknya pengalaman pahit dari pengadopsian suatu inovasi, yang dianggapnya sebagai suatu kegagalan, akan menjadi perintang bagi masuknya ide-ide baru pada masa mendatang. Karena itu agen pembaru harus memulai kegiatannya terhadap klien tertentu dengan inovasi yang memiliki taraf keuntungan relatif yang tinggi, yang kompatibel dengan kepercayaan yang ada dan mempunyai kans besar untuk berhasil. Ini membantu
53
menciptakan sikap positif terhadap perubahan dan memudahkan jalan untuk ideide yang akan diperkenalkan pada hari-hari berikutnya (Roger dan Shoemaker, 1987:46). Salah satu strategi diffusi (penyebaran ide baru) yang dapat dilakukan oleh agen pembaru adalah mengembangkan sikap umum yang positif terhadap perubahan, pada sebagian kliennya. Orang atau anggota sistem berorientasi pada perubahan akan selalu memperbarui diri, terbuka pada hal-hal baru dan giat mencari informasi. Salah satu cara untuk menumbuhkan sikap atau orientasi pada perubahan ini adalah dengan memilih inovasi-inovasi yang layak untuk diperkenalkan secara berurutan (Roger dan Shoemaker, 1987:46). Ada juga cara lain yaitu dengan mengekspos secara bertubi-tubi sejumlah pesan modernisasi walupun pesan itu mungkin tidak berkenan dengan inovasi tertentu. Contoh dari pendekatan ini diterapkan di kalangan petani di Negaranegara belum maju. Dikatakan, disana media masa seperti radio, televisi, film dan surat-surat kabar dapat menciptakan iklim modernisasi dengan jalan mengekspos pesan-pesan pembangunan. Dalam hal ini media massa membawa pesan-pesan (informasi) yang mendukung perubahan, dan salah satu hasil penyajian pesanpesan seperti itu ialah timbulnya sikap yang positif terhadap perubahan, yang memudahkan pengadopsian ide-ide baru (Roger dan Shoemaker, 1987:46). Konsistensi sikap dan tingkah laku Hasil utama yang dicapai dalam tahap persuasi adalah sikap berkenan atau tidak berkenan terhadap inovasi. Diduga bahwa persuasi akan diikuti dengan perubahan tingkah laku nyata itu selalu konsisten. Kita sering melihat kasus yang menunjukkan sikap seseorang jauh berbeda dengan tindakannya. Kita harus ingat bahwa terbentuknya sikap tidak otomatis menyebabkan seseorang mengambil keputusan untuk mengadopsi atau menolak.
Namun
demikian ada kecenderungan orang untuk lebih menyelaraskan sikap dan tingkah laku. Jika terdapat perbedaan antara sikap seseorang terhadap inovasi dengan keputusan yang dibuatnya, maka terjadilah dissonansi inovasi. Dissonansi inovasi merupakan tipe ketakselarasan kognitif yang khusus, dan kita tahu dari penyelidikan Festinger bahwa ada kecenderungan seseorang untuk mengurangi ketakselarasan itu. Ketakselarasan adalah kenyataan psikologis yang tak enak
54
yang menimbulkan ketegangan, dan karena itu seseorang akan berusaha mengurangi ketegangan ini dengan menyeleraraskan antara sikap dan tindakannya (Roger dan Shoemaker, 1987:47). Community Development Menuju Kemandirian Petani Konsep Community Development telah banyak dirumuskan di dalam berbagai definisi. Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikannya: "as the process by which the efforts of the people themselves are united with those of governmental authorities to improve the economic, sosial and cultural conditions of communities, to integrade these communities into the life of the nations, and to enable them to contribute fully to national progress (Einsiedel, 1968:7) Definisi
tersebut
menekankan
bahwa
pembangunan
masyarakat,
merupakan suatu "proses" dimana usaha-usaha atau potensi-potensi yang dimiliki masyarakat diintegrasikan dengan sumber daya yang dimiliki pemerintah, untuk memperbaiki kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan, dan mengintegrasikan masyarakat di dalam konteks kehidupan berbangsa, serta memberdayakan mereka agar mampu memberikan kontribusi secara penuh untuk mencapai kemajuan pada level nasional. Dunham (1958:3) seorang pakar Community Development merumuskan definisi Community Development itu sebagai berikut. "Organized efforts to improve the conditions of community life, and the capacity for community integration and self-direction. Community Development seeks to work primarily through the enlistment and organization of self-help and cooprative efforts on the part of the residents of the community, but usually with technical assistance from government or voluntary organization. Rumusan ini menekankan bahwa pembangunan masyarakat merupakan usaha-usaha yang terorganisasi yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat, dan memberdayakan masyarakat untuk mampu bersatu dan mengarahkan diri sendiri. Pembangunan masyarakat bekerja terutama melalui peningkatan dari organisasi-organisasi swadaya dan usaha-usaha bersama dari individu-individu di dalam masyarakat, akan tetapi biasanya dengan bantuan teknis baik dari pemerintah maupun organisasi-organisasi sukarela.
55
Dunham (1958:3)
membedakan
Community
Development
dengan
"Community Organization." Pemikirannya adalah: “Community development is concerned with economic life, roads, buildings, and education,as well as health and welfare, in the narrower sense. On the other hand, community welfare organization is concerned with adjustment of sosial welfare needs and resources in cities, states, and nations as in rural villages.” Jadi community development lebih berkonotasi dengan pembangunan masyarakat desa sedangkan community organization identik dengan pembangunan masyarakat kota. Lebih lanjut Dunham (1958:3) mengemukakan 4 unsur-unsur Community development sebagai berikut: (1) a plan program with a fokus on the total needs of the village community; (2) technical assistance; (3) integrating various specialities for the help of the community; and (4) a major emphasis upon selp-help and participation by the residents of the community. Dari definisi Community development (CD) di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1) CD merupakan suatu proses pembangunan yang berkesinambungan, artinya kegiatan itu dilaksanakan secara terorganisir dan dilaksanakan tahap demi tahap dimulai dari tahap permulaan sampai pada tahap kegiatan tindak lanjut dan evaluasi - follow-up activity and evaluation; (2) CD bertujuan memperbaiki - to improve - kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan masyarakat untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik; (3) CD memfokuskan kegiatannya melalui pemberdayaan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, sehingga prinsip to help the community to help themselve dapat menjadi kenyataan; dan (4) CD memberikan penekanan pada prinsip kemandirian. Artinya partisipasi aktif dalam bentuk aksi bersama group action di dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhankebutuhannya dilakukan berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat. Kemandirian adalah sebuah konsep yang utuh, tetapi memiliki berbagai muka dan tercermin dalam berbagai bidang kehidupan (Kartasasmita, 1997: 3). Kemandirian (self-reliance) pertanian mengandung pengertian yang lebih jauh dari swasembada (self-sufficiency) yang secara hakiki menuntut kebutuhan dari produksi sendiri. Kemandirian di tingkat petani adalah menciptakan penerimaan yang mampu menutupi pengeluarannya.
Dengan perkataan lain, kemandirian
merupakan fungsi dari berbagai peubah bebas yang berkaitan erat dengan
56
peningkatan pendapatan, yakni efisiensi, sistem perdagangan, laju ekspor, sistem moneter dan kelembagaan yang inovatif serta organisasi yang bersifat adaptif (Amang, 1997:10). Saefullah (2003:4) menyebutkan bahwa perbedaan selfreliance setiap orang di samping disebabkan oleh faktor yang bersifat individual, seperti character building, kepribadian, pengalaman, dan sebagainya, juga seringkali disebabkan oleh faktor sumberdaya. Verhagen (1996:21) mengemukakan bahwa kemandirian (self-reliance) adalah suatu suasana atau kondisi yang telah mencapai kondisi itu tidak lagi tergantung pada bantuan atau kedermawanan pihak ketiga untuk mengamankan kepentingan individu atau kelompok. Dijelaskan oleh Verhagen (1996:21), sarana untuk mencapai kemandirian adalah adanya keswadayaan. Swadaya adalah setiap tindakan sukarela yang dilakukan oleh seorang individu atau kelompok manusia yang bertujuan untuk pemuasan kebutuhan-kebutuhan atau aspirasi-aspirasi individual atau kolektif. Pemilihan yang terbatas dan akses pemilihan yang juga terbatas terhadap sumber daya menyebabkan tingkat kemandirian yang rendah, dalam hal ini ketergantungan terhadap faktor eksternal menjadi sangat tinggi. Penyatuan potensi, serta penumbuhan nilai-nilai untuk menghargai diri sendiri dan sesama, kepercayaan, komunikasi dan kerjasama, yang diwujudkan dalam suatu wadah kelompok, pada akhirnya menjadi organisasi, diyakini sebagai strategi dalam meningkatkan kemandirian masyarakat (Saefullah, 2003:4). Perilaku Perilaku adalah cara bertindak yang menunjukkan tingkah laku seseorang dan merupakan hasil kombinasi antara pengembangan anatomis, fisiologis, dan psikologis (Kast dan Rosenzweig, 1995:23), dan pola perilaku dikatakan sebagai tingkah laku yang dipakai seseorang dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Perilaku juga merupakan fungsi dari interaksi antara sifat individu dengan lingkungannya yang dapat dilihat dari ucapannya, gerakannya dan gaya seseorang (Thoha, 1986:70), atau refleksi dari hasil sejumlah pengalaman belajar seseorang terhadap lingkungannya (Rogers, 1983:34). Unsur perilaku terdiri atas perilaku yang tidak tampak seperti pengetahuan, dan sikap, serta perilaku yang tampak seperti keterampilan dan tindakan nyata (action). Gabungan dari atribut biologis, psikologis, dan pola
57
perilaku aktual menghasilkan kepribadian (character), yakni kombinasi yang kompleks dari sifat-sifat dan mental, nilai-nilai, sikap, kepercayaan, selera, ambisi, minat, kebiasaan, dan ciri-ciri lain yang membentuk suatu diri yang unik (Kast dan Rosenzweig, 1995: 67). Pola perilaku orang bisa saja berbeda tetapi proses terjadinya adalah mendasar bagi semua individu, yakni dapat terjadi: disebabkan, digerakkan, dan ditunjukkan pada sasaran (Kast dan Resenzweig, 1995:67-68). Jika pernyataan itu valid, maka perilaku itu tidak dapat spontan dan tanpa tujuan, sehingga harus ada sasaran baik eksplisit maupun implisit. Perilaku kearah sasaran timbul sebagai reaksi terhadap rangsangan yang dapat berupa jarak antara kondisi sekarang dengan kondisi yang diinginkan, dan perilaku yang timbul adalah menutup jarak tersebut. Berdasarkan teori Kast dan Rozenweig (1995:67-68) tentang terbentuknya perilaku, perilaku seseorang dapat terjadi karena adanya suatu sebab, dan sebab itu adalah sasaran yang ingin dicapai atau kebutuhan untuk mencapai kondisi yang diinginkan, maka perilaku anggota subak akan menyesuaikan dengan muatan inovasi yang ingin diterapkan di dalam usahataninya. Proses Adopsi Inovasi dan Faktor-Faktor yang Memengaruhinya Proses adopsi merupakan serangkaian kegiatan dalam memutuskan untuk menerima atau menolak suatu inovasi selama periode waktu tertentu (Rogers dan Shoemaker, 2003:221). Proses ini mempunyai lima tahap, yaitu: (1) Sadar, yaitu seseorang sudah mulai mengenal adanya suatu inovasi, tetapi ia masih kekurangan informasi mengenai hal tersebut. (2) Minat, yaitu seseorang mulai mengembangkan minat pada inovasi tersebut dan mencari informasi tambahan tentang hal itu. (3) Penilaian, yaitu seseorang mulai membuat penilaian terhadap inovasi tersebut yang dihubungkan dengan situasi dirinya di masa sekarang dan mendatang serta menentukan menerima atau menolaknya. (4) Mencoba, yaitu seseorang mulai mencoba inovasi tersebut meskipun pada skala kecil untuk menentukan kegunaan dan kesesuaian inovasi itu pada dirinya.
58
(5) Adopsi, yaitu seseorang telah menggunakan inovasi tersebut secara tetap dalam skala yang lebih luas. Konseptualisasi proses adopsi telah sangat dikenal dan dipakai oleh para peneliti difusi selama ini, tetapi akhir-akhir ini beberapa kritik mengatakan bahwa model ini terlalu sederhana (Rogers dan Shoemaker, 2003:221), seperti: (1) proses tersebut
selalu
diakhiri
dengan keputusan
untuk
mengadopsi,
kenyataannya mungkin saja diakhiri dengan penolakan.
padahal
Oleh karena itu
dibutuhkan suatu istilah yang dapat menampung kedua pengertian tersebut, (2) kelima tahap proses tersebut tidak selalu dilalui secara berurutan. Mungkin beberapa tahap proses tersebut terloncati, khususnya tahap mencoba. Penilaian biasanya terjadi pada keseluruhan proses, tidak hanya salah satu tahap saja; (3) proses tersebut jarang berakhir dengan adopsi.
Biasanya proses itu berlanjut
dengan mencari informasi pendukung untuk mengkonfirmasi atau menguatkan keputusan tersebut. Atas dasar uraian di atas, maka Rogers (2003:221); Trisha et al. (2004:594) merumuskan kembali pengertian proses adopsi inovasi sebagai berikut: “proses keputusan adopsi inovasi adalah proses yang terjadi pada seseorang atau unit pembuat keputusan lainnya, sejak pertama kali mengetahui adanya suatu inovasi sampai mengambil suatu keputusan mengadopsi atau menolak dan mengimplementasikan serta mengkonfirmasi keputusan tersebut (Rogers dan Shoemaker, 1971:145; Rogers, 2003:221; dan Lionberger dan Gwin, 1991:67).
Proses keputusan inovasi tersebut berlangsung melalui lima tahap
yaitu: (1) Mengetahui, yaitu ketika seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya mengetahui adanya suatu inovasi dan memperoleh beberapa pengertian mengenai berfungsinya inovasi itu secara umum. (2) Berminat, yaitu ketika seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya membentuk sikap berkenan atau tidak berkenan suatu inovasi dan berusaha mencari informasi yang lebih banyak tentang keberadaan inovasi itu. (3) Keputusan, yaitu ketika seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya berada dalam kegiatan penilaian terhadap inovasi, dihubungkan dengan
59
dirinya saat sekarang dan di masa yang akan datang yang mengarah pada pemilihan untuk menerima atau menolak suatu inovasi. (4) Pelaksanaan, yaitu ketika seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya mulai menggunakan inovasi, meskipun dalam skala kecil. (5) Konfirmasi, yaitu ketika seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya mencari bukti-bukti untuk memperkuat keputusan yang telah diambilnya. Rogers (2003:221) mengatakan bahwa proses keputusan tersebut terdiri atas rentetan aktivitas dan pemilihan sepanjang waktu melalui seseorang atau suatu organisasi dalam rangka mengevaluasi suatu inovasi dan memutuskannya sesuai atau tidaknya untuk dilaksanakan. Berarti pada proses tersebut, terkandung cakupan pengertian tentang keputusan inovasi opsional, kolektif, dan otoritas. Pengambilan keputusan inovasi oleh suatu organisasi atau kumpulan individu (agregate) merupakan implikasi dari proses tersebarnya teknologi baru dalam suatu daerah tertentu. Ini berarti, adopsi inovasi tersebut diukur dengan cara menilai tingkatan jumlah penggunaan (amount of use) dan tingkat penggunaan (level of use) inovasi tersebut. Terdapat tiga aspek utama yang berbeda dalam proses keputusan ini (Rogers, 1986:86), yaitu: (1) sifat kritis sasaran (critical mass nature), yang berarti bahwa setiap nilai komunikasi teknologi baru meningkat pada sasaran akan merupakan akibat peningkatan pada sasaran sebelumnya; (2) penyempurnaan (reinvention) inovasi, yaitu tingkat suatu inovasi dapat diubah atau dimodifikasi (penyesuaian) oleh sasaran dalam proses adopsi berlangsung; dan (3) penekanan pada tahap pelaksanaan lebih dari hanya sekedar keputusan untuk mengadopsi. Menurut Lionberger dan Gwin (1991:71), kelancaran proses pengambilan keputusan inovasi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti keberadaan sasaran, jenis-jenis informasi yang dibutuhkan sasaran berdasarkan tahapan proses adopsinya, dan sumber-sumber atau saluran komunikasi bagi informasi sesuai dengan tahapan proses adopsinya (Gambar 9). Keberadaan sasaran (adopter) baik sebagai individu maupun kelompok atau masyarakat perlu diperhatikan secara seksama. Individu sebagai sasaran inovasi pembangunan memiliki kondisi sebagai peubahnya, yaitu: (1) peubah kepribadian yang meliputi kemampuan mengelola, kemampuan belajar dari
60
masalah, kepekaan terhadap masalah, keberanian mengambil risiko, dan orientasi untuk berprestasi; dan (2) peubah situasional yang mencakup: lingkungan sosial (lingkungan keluarga, kelompok persahabatan, kelompok kerja, kelompok kepercayaan, dan kelompok rujukan), lingkungan sumberdaya fisik, dan sistem nilai dan kepercayaan yang melingkupi kehidupan mereka (Warford, 2011:7). Saluran Komunikasi
MENGETAHUI
BERMINAT
KEPUTUSAN
KONFIRMASI
PELAKSANAAN
Var. Penerima • • •
Karakteristik sosial ekonomi Kepribadian Perilaku komunikasi
Terima
Terima Terus Lambat Terima
Tolak
Berhenti Tolak Terus
Var. sistem sosial • • •
Norma sistem sosial Keinovatifan masyarakat Kebutuhan yang dirasakan
• • • • •
Ciri-ciri Inovasi Memberi keuntungan relatif Sesuai dengan norma budaya daerah setempat Tidak terlalu rumit dilaksanakan Dapat dicoba Dapat diamati
Gambar 9. Proses pengambilan keputusan inovasi Jenis-jenis informasi inovasi yang dibutuhkan sasaran selayaknya disesuaikan dengan tahapan proses adopsinya (Rogers, 1983:221 ; Lionberger dan Gwin, 1991:128). Pada tahap sadar, jenis informasi yang dibutuhkan bersifat umum atau pemberitahuan saja, misalnya keberadaan inovasi (Gambar 2). Lebih khusus lagi Rogers (1983:222) mengatakan bahwa dalam tahap pengenalan terdapat tiga tipe informasi yang dibutuhkan, yaitu: (1) informasi tentang adanya
61
inovasi, (2) informasi teknis (cara atau prosedur penggunaan inovasi), dan (3) informasi prinsip, yaikni berkenaan dengan prinsip-prinsip berfungsinya suatu inovasi. Pada tahap minat, jenis informasi yang dibutuhkan lebih ke arah operasionalisasi dan kegunaan inovasi, misalnya cara bekerjanya inovasi itu, manfaatnya untuk pemakainnya, dan sebagainya (Lionberger dan Gwin, 1991:8). Menurut Rogers (1983:222), aktivitas mental yang bekerja pada tahap persuasi adalah efektif, yakni seseorang akan membentuk sikap berkenan atau tidak terhadap suatu inovasi. Berarti sasaran membutuhkan informasi ciri-ciri inovasi yaitu: (1) keuntungan relatif inovasi, (2) kesesuaian inovasi dengan sosial budaya sasaran, (3) tidak rumit dilakukan bagi sasaran, (4) dapat dicoba, dan (5) dapat diamati. Menurut Rogers (1983:222), pada tahap keputusan sasaran membutuhkan informasi menyangkut bahan pertimbangan untuk menerima atau menolak suatu inovasi. Secara khusus menurut Lionberger dan Gwin (1991:154), informasi yang dibutuhkan pada tahap ini lebih bersifat saran perimbangan untuk melakukan evaluasi terhadap inovasi tersebut, seperti konsekuensi sosial, ekonomi dan budayanya; penilaian-penilaian dari orang-orang yang dipercaya terhadap inovasi tersebut, dan hasil percobaan-percobaan pada tingkat lokal/regional. Pada tahap pelaksanaan, proses keputusan inovasi tidak lagi berpusat pada aktivitas mental, tetapi sudah melibatkan perubahan perilaku sebagai pelaksanaan ide-ide itu.
Informasi yang dibutuhkan dalam tahap ini seperti: asal inovasi
diperoleh, cara menggunakan inovasi, masalah operasional yang dihadapi, cara memecahkan masalah tersebut, dan sebagainya. Secara rinci Lionberger dan Gwin (1991:156) mengatakan bahwa pada tahap melaksanakan jenis informasi yang dibutuhkan lebih bersifat aplikasi atau cara kerja inovasi, misalnya berapa jumlah, bentuknya, tingkatannya, waktu yang harus digunakan, frekwensinya, intervalnya, dan sebagainya. Pada tahap konfirmasi, jenis informasi yang dibutuhkan lebih ke arah hasil-hasil percobaan inovasi yang telah dilakukan selama ini baik secara langsung oleh sasaran maupun oleh orang lainnya, yang akan semakin memperkuat keputusannya (Lionberger dan Gwin, 1991;158).
Bukti-bukti
62
penelitian empiris menunjukkan bahwa proses keputusan suatu inovasi tidak berakhir setelah orang mengambil keputusan untuk menerima atau menolak inovasi itu (Rogers, 1986:2001). Menurut Mason (Rogers, 1983:225), seseorang akan mencari informasi untuk menguatkan keputusannya, akan tetapi mungkin juga ia akan mengubah keputusannya semula jika ia memperoleh pesan-pesan yang bertentangan dengan inovasi itu. Pada tahap ini seseorang berusaha untuk menghindari keputusannya.
kenyataan
yang
menyimpang
dan
bertentangan
dengan
Jika hasil inovasi dapat dengan cepat dilihat, maka calon
pengadopsi lainnya tidak perlu lagi menjalani tahap mencoba melainkan dapat terus ke tahap adopsi.
Ini bukan berarti bahwa calon pengadopsi langsung
memulai dari tahap adopsi untuk menerima suatu inovasi, tetapi mereka juga menjalani tahap sebelumnya, namun dalam waktu relatif singkat. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971:154) dan Rogers (1983:222), unsur saluran komunikasi juga penting dalam mempercepat proses adopsi inovasi karena merupakan alat bagi ide-ide baru diperoleh dari seseorang dan diberikan kepada orang lainnya. Saluran komunikasi tersebut sangat penting dalam menentukan keputusan sasaran, untuk menerima atau menolak suatu inovasi. Pada dasarnya terdapat dua saluran komunikasi yaitu (Berlo, 1960:159; Rogers dan Shoemaker, 1971:154); dan Rogers (1983:222): (1) saluran antar pribadi, yakni segala bentuk pertukaran pesan antar dua orang atau lebih secara langsung (tatap muka) dengan atau tanpa alat bantu yang memungkinkan semua pihak yang berkomunikasi dapat memberikan umpan balik secara langsung, dan (2) saluran media massa, yakni segala bentuk media massa (baik media cetak maupun media elektronik) yang memungkinkan seseorang atau sekelompok kecil orang tertentu dapat menyampaikan pesan kepada masyarakat luas. Jika dikaitkan dengan peranan masing-masing saluran komunikasi terhadap tahap-tahap proses adopsinya, maka menurut Rogers dan Shoemaker (1971:154), Rogers (1983;222) dan Lionberger dan Gwin (1991;45), pada tahap sadar dan minat, saluran komunikasi yang efektif digunakan adalah media massa karena mampu menjangkau sasaran secara cepat dan luas dalam rangka memberikan informasi dan pengertian tentang suatu inovasi. Pada tahap proses berikutnya, peran media massa kurang efektif lagi (Gambar 10).
63
Sumber Informasi yang Digunakan Sasaran - Pemimpin o Formal - Penyuluh - Media massa
- Pemimpin o Formal o Informal - Penyuluh - Media massa
- Pemimpin o Formal o Informal - Penyuluh - Org. terpercaya
- Pemimpin o Informal - Penyuluh - Org. terpercaya
- Pemimpin o Informal - Penyuluh - Org. terpercaya
Jenis-Jenis Informasi yang Dibutuhkan Sasaran Keberadaan inovasi
Kegunaan dan ciriciri inovasi
Konsekuensi sosek-bud - Penilaian orang terpercaya - Hasil percob. Lokal/regional
Pemberitahuan
Operasional
Prosedur Kerja -
Pengalaman Sendiri & Orang Lain
Bagaimana Banyaknya Kapan Dimana
Aplikasi
Penilaian
Hasil-Hasil
Tahapan Proses Adopsi Sasaran Mengetahui
Berminat
Memutuskan
Melaksanakan
Konfirmasi
Gambar 10. Faktor-faktor yang memengaruhi proses adopsi inovasi Sejumlah kampanye gizi dan KB di beberapa negara dunia ketiga, saluransaluran antar pribadi bahkan berhasil menyebarkan informasi penting sebelum kampanye tersebut dimulai. Selain saluran media massa, saluran antar pribadi juga berperan dalam tahap sadar dan minat, sedangkan pada tahap menilai, mencoba dan adopsi, menurut Rogers dan Shoemaker (1971:145), Rogers (1983:222) serta Lionberger dan Gwin (1991:45) saluran antar pribadi yang paling efektif. Rogers dan Shoemaker (1971:145) mencoba membedakan saluran komunikasi saat pertama kali para sasaran antara golongan penerap awal dan penerap lambat dalam mengetahui suatu inovasi. Menurut hasil penelitian Ryan dan Gross
tahun 1941 (Rogers dan Shoemaker, 1971:145), golongan petani
penerap awal (earlier adopter) pertama kali mendengar inovasi bibit jagung hibrida melalui penjual (salesman) bibit jagung tersebut, sedangkan golongan petani penerap lambat (later adopter) mendengar pertama kali melalui
64
tetangganya. Ini menandakan bahwa masing-masing golongan sasaran penerima inovasinya mempunyai perbedaan saluran komunikasi yang digunakan untuk mengadopsi suatu inovasi. Selain pemakaian saluran komunikasi oleh sasaran secara sendiri-sendiri, menurut Rogers dan Shoemaker (1971:145) dan Rogers (1983;222) dan Kincaid (1981:130), interaksi komunikasi massa dan komunikasi antar pribadi sangat efektif untuk mengubah perilaku sasaran. Rogers dan Shoemaker (1971:145) mengemukakan bahwa pengkombinasian saluran komunikasi ini disebut forum media, dengan sasaran beberapa anggota masyarakat diorganisasikan dalam suatu kelompok yang bertemu secara teratur untuk menerima pesan-pesan media massa dan selanjutnya mendiskusikan dengan anggota kelompoknya.
Di Indonesia,
menurut Rogers dan Shoemaker (1987:97), kelompok ini disebut Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa (kelompencapir). PPL Proses Komunikasi
Menarik Perhatian
Menggugah Hati
Keinginan
Yakinkan
Galakkan (Encourage)
PETANI
PPL DAN PETANI
Proses Adopsi
Metode Penyuluhan
Awarness
Interest
Evaluation
Massa: 1. Siaran pedesaan (TV, Radio, Surat Kabar) 2. Kampanye Kelompok: Diskusi, Pertemuan, Simulasi, Kelonpencapir, Denplot.
Trial
Adoption
Individu: 1. Kunjungan 2. Kontak pribadi
Gambar 11. Hubungan proses komunikasi, proses adopsi dan berbagai metoda penyuluhan Gambar 11 menunjukkan bahwa PPL bertujuan menarik perhatian petani tentang suatu inovasi dengan jalan melakukan komunikasi dengan pendekatan kelompok melalui Siaran pedesaan sehingga petani menjadi sadar. PPL menggugah hati petani dengan pendekatan kelompok lewat diskusi sehingga
65
petani menjadi tertarik terhadap suatu inovasi. PPL menumbuhkan keinginan petani dengan pendekatan kelompok lewat kelompencapir sehingga petani menjadi mempertimbangkan baik buruk suatu inovasi. PPL menyakinkan petani dengan pendekatan individu lewat kunjungan ke rumah petani sehingga petani mau mencoba inovasi. Akhirnya PPL menggalakkan suatu inovasi dengan jalan pendekatan individu lewat tatap muka langsung dengan petani sehingga petani mau menerapkan suatu inovasi seperti ditunjukkan pada Gambar 11 (van Den Ban dan Howkins, 1999:149-198). Benjamin et al. (2005:929) menyatakan belakangan ini terjadi perubahan proses inovasi.
Dikatakanya bahwa adopsi adalah hasil dari proses diffusi.
Diffusi inovasi adalah proses penyebaran inovasi dalam suatu sistem sosial, sedangkan adopsi adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang untuk menerima atau menolak suatu inovasi. Perubahan proses adopsi dapat dilihat pada Gambar 12. Creativity
Invention
Innovasi
Diffution
Adoption
Gambar 12. Proses perubahan adopsi Carmel et al. (2009:225) menemukan ada lima proses inovasi dalam suatu organisasi. Kelima tahapan tersebut adalah: (1) agenda seting, (2) matching, (3) redefining/restructuring, (4) clarifying, dan (5) routinizing. Dua tahap pertama adalah kelompok inisiasi sub proses, sedangkan tiga tahap terakhir adalah sub proses implementasi. Hubbardlorilee dan Sandman (2007:5) menyatakan bahwa model Cervero Program Evaluasi dibangun atas dasar konsep difusi inovasi. Tes empiris dari model ini melalui proses penyuluhan regional rerestry pada suatu kursus singkat. Cervero program evaluasi disusun oleh tenaga profesional dan tujuan dengan memperhatikan sistem sosial sasaran, perubahan perilaku yang diinginkan dan dampak bagi klien seperti tampak pada Gambar 13.
66
Proposed change
Sosial system
CFE Programs
Behavior change
Client outcome
Individual professional
Gambar 13. Model Cervero program evaluasi Kecepatan Adopsi Kecepatan adopsi adalah waktu yang menunjukkan penerimaan inovasi oleh suatu sistem sosial. Kecepatan ini biasanya diukur dengan jumlah penerima yang mengadopsi suatu ide baru dalam suatu periode waktu tertentu (Rogers, 2003:221). Selanjutnya disebutkan bahwa peubah penjelas kecepatan adopsi suatu inovasi adalah sifat-sifat inovasi itu sendiri. Tetapi, selain kelima sifat-sifat inovasi, hal-hal lain yang dapat menjadi peubah penjelas kecepatan adopsi adalah: (1) tipe keputusan inovasi, (2) sifat saluran komunikasi yang dipergunakan untuk menyebarluaskan inovasi dalam proses keputusan inovasi, (3) ciri-ciri sistem sosial dan (4) gencarnya usaha agen pembaharu dalam mempromosikan inovasi. Rogers
(2003:221)
menambahkan
tipe
keputusan
inovasi
yang
memengaruhi kecepatan adopsi. Inovasi yang diputuskan secara otoritas akan diadopsi lebih cepat karena orang yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan inovasi lebih sedikit. Akan tetapi, jika bentuk kekuasaan itu tradisional, mungkin tempo adopsinya juga lambat. Keputusan opsional biasanya lebih cepat daripada keputusan kolektif, tetapi lebih lambat daripada keputusan otoritas. Tipe keputusan kontingen yang paling lambat karena harus melibatkan dua urutan keputusan inovasi atau lebih. Semakin banyak orang yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan inovasi, semakin lambat tempo adopsinya. Jika asumsi ini benar, maka salah satu jalan untuk mempercepat tempo adopsi adalah berusaha memilih unit pembuat keputusan yang lebih sedikit melibatkan orang (Rogers, 2003:222).
67
Saluran komunikasi yakni alat yang dipergunakan untuk menyebarluaskan suatu inovasi mungkin juga punya pengaruh terhadap kecepatan pengadopsian inovasi. Jika saluran komunikasi interpersonal yang dipergunakan untuk menciptakan kesadaran pengetahuan inovasi, seperti terjadi di masyarakat pedesaan kecepatan adopsi akan lambat karena penyebaran pengetahuan tidak berjalan cepat (Fisher, 1989:56) Sifat inovasi dan saluran komunikasi mungkin saling berkait dalam memengaruhi kecepatan adopsi inovasi. Saluran komunikasi massa seperti di majalah pertanian, sangat memuaskan untuk menyebarluaskan inovasi-inovasi yang rumit, tetapi saluran interpersonal dengan petugas penyuluh lebih tepat untuk inovasi yang dianggap lebih rumit oleh petani. Jika tidak tepat dalam memilih dan menggunakan saluran komunikasi, maka hasilnya tempo pengadopsian akan lambat (Rogers, 2003:222). Jika membahas hubungan antara sifat-sifat inovasi dan saluran komunikasi dengan kecepatan adopsi, tidak dapat meninggalkan fungsi-fungsi dalam proses keputusan inovasi, karena mungkin persepsi penerima mengenai sifat-sifat inovasi itu berbeda-beda sesuai dengan tahap-tahap dalam proses keputusan. Pada tahap pengenalan, kompleksitas dan observabilitas inovasi sangat penting. Pada tahap persuasi, keuntungan relatif dan observabilitas inovasi yang perlu ditonjolkan. Sedangkan pada tahap keputusan, dapat dicobanya suatu inovasi yang paling penting (Rogers, 2003:222; Jebeile, 2003:4). Karena itu, dalam usaha mempercepat tempo adopsi inovasi, pilihan yang paling tepat bagi agen perubahan dalam hal saluran komunikasi tergantung atas campuran dari pertimbangan-pertimbangan seperti (1) tahap-tahap dalam proses keputusan inovasi, dan (2) sifat-sifat inovasi menurut pengamatan dan penerima (Rogers, 2003:222). Hal
lain
yang
dipertimbangkan
juga
memengaruhi
kecepatan
pengadopsian suatu inovasi adalah sistem sosial, terutama norma-norma sistem sosial. Dalam suatu sistem yang modern tempo adopsi mungkin lebih cepat karena kurang ada rintangan sikap diantara para penerima. Sedangkan dalam sistem tradisional, mungkin tempo adopsi juga lebih lambat (Rogers, 2003:222).
68
Akhirnya, kecepatan adopsi juga dipengaruhi oleh gencarnya usaha-usaha promosi yang dilakukan oleh agen perubahan. Hubungan antara kecepatan adopsi dengan usaha agen perubahan tidak langsung dan linear. Pada tahap-tahap tertentu, usaha keras agen perubahan mendatangkan hasil yang lebih besar. Respon terbesar terhadap agen perubahan terjadi pada saat pemuka masyarakat mulia mengadopsi inovasi, yang terjadi antara 13-16% pengadopsian dalam sistem sosial (Rogers, 2003:223; Sandra et al. 2011:11). Jika seseorang mengadopsi suatu inovasi, maka perubahan perilaku yang diakibatkan oleh proses pengadopsian tersebut akan memengaruhi sistem sosialnya. Demikian pula sebaliknya, jika proses pengadopsian berhenti maka sistem sosial juga akan mengikuti perubahannya. Apabila suatu inovasi telah diadopsi oleh seseorang dalam sistem sosialnya, hasilnya dapat diamati dari perubahan atribut dari inovasi tersebut seperti idenya, prosesnya ataupun teknologinya.
Perkembangan inisiasi dan proses kedewasaan dari adopsi
berhubungan dengan kualitas dan sumber informasi dan populasi pengadopsi (Rogers et al. 2011: 10) Bronwyn (2011: 22) mengungkapkan bahwa ada faktor lain yang sangat penting jika mendiskusikan masalah adopsi inovasi yaitu biaya yang diperlukan untuk mengadopsi suatu inovasi. Biaya ini tidak hanya sebatas pada berapa harga suatu teknologi tersebut, melainkan termasuk biaya lain hingga suatu inovasi dapat diterapkan oleh seseorang.
Menurut Herting (2011:19) biaya yang
dimaksud adalah biaya investasi yang termasuk di dalamnya training of wokers dan purchase of necessaru capital equipment. Biaya ini tidak mudah untuk dihitung karena sifatnya yang kompleks, namun demikian tetap harus diukur untuk melihat seberapa besar keuntungan yang didapat dari proses pengadopsian suatu inovasi. Model Logik Penelitian Berdasarkan studi literatur yang dilakukan, maka penulis menyusun model logik penelitian seperti tersaji pada Gambar 13. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa di Bali telah terjadi kelangkaan air irigasi karena berbagai penyebab. Salah satu di antaranya adalah terjadinya persaingan pemanfaatan air irigasi baik untuk industri rumah tangga, pariwisata dan pertanian.
MODEL LOGIK PENELITIAN INPUT
OUTPUT Aktivitas Partisipasi
OUTCOME - DAMPAK Pendek Mengengah Panjang
Sumberdaya manusia anggota subak Modal Usahatani
Situasi: Prioritas: - kelangkaan air irigasi - produksi padi rendah - tingkat pendidikan petani rendah - Perilaku berusahatani padi rendah - Adopsi SRI di kalangan anggota subak belum optimal
Kelangkaan sumber daya air Rendahnya kualitas sumber daya manusia
Sarana Produksi Padi (Saprodi) Kebijakan Pemerintah Daerah Informasi SRI untuk subaksubak yang ada di Bali Penyuluh pertanian lapangan yang berkualitas Pembentukan Koperasi Tani
Program Pelatihan ” System of Rice Intensification di kalangan anggota subak
Anggota subak mengikuti pelatihan, demplot, studi banding
Demplot SRI
Pengurus mengikuti pelatihan SRI, dan ”menularkan” pada anggota
Studi banding ke daerah yang sukses menerapkan SRI
Penyuluh/ fasilitator menyelenggarakan penyuluhan SRI
Asumsi-Asumsi Gambar 14. Model Logik Penelitian
Berusahatani padi lebih baik
Peningkatan Pendapatan
Peningkatan produksi padi
Peningkatan kualitas hidup Peningkatan kesejahteraan anggota subak Kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan
Faktor Eksternal
70
Kelangkaan air irigasi yang menjadi faktor utama dalam usahatani padi maka secara otomatis berdampak pada penurunan hasil usahatani. Kondisi ini semakin menyulitkan petani karena minimnya pengetahuan yang disebabkan oleh tingkat pendidikan yang rendah, semakin menyengsarakan petani. Ada harapan untuk bertani lebih baik dengan masuknya inovasi SRI. Namun, sampai saat ini pengaadopsian SRI di subak-subak yang ada di Bali belum optimal karena berbagai faktor. Permasalahan ini menjadi salah satu fokus kajian dalam penelitian ini. Mesti ada upaya-upaya perbaikan untuk mendapatkan kehidupan petani yang lebih baik. Untuk itu, perlu dukungan input-input sebagai investasi jika ingin mencapai hasil yang diinginkan. Input itu dapat berupa manusia, uang, metode, program-program, mesin, dan pasar. Oleh sebab itu maka perlu dipersiapkan sumberdaya manusia anggota subak yang handal, modal usahatani, sarana produksi padi (saprodi), kebijakan pemerintah daerah untuk mendukung pembangunan pertanian di Bali, Informasi SRI untuk subak-subak yang ada di Bali, penyuluh pertanian lapangan yang berkualitas, dan pembentukan koperasi tani. Jika dikelola dengan baik, maka investasi yang ditanamkan diharapkan dapat memberikan output yang baik pula. Melalui penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu program pelatihan tentang SRI di seluruh subak-subak yang ada di Bali. Jikalau saja seluruh subak yang ada di Bali dapat mengadopsi SRI, maka akan terjadi perubahan perilaku anggota subak ke arah perbaikan dalam berusahatani padi sehingga petani akan hidup lebih sejahtera. Apa yang direncanakan tidak selamanya berjalan mulus, oleh sebab itu perlu diantisipasi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang dapat menjadi penghambat keberhasilan.
Dengan demikian dibutuhkan asumsi-asumsi ilmu
ekonomi di antaranya harga-harga tidak berfluktuasi secara tajam dan lain sebagainya. Perubahan perilaku anggota subak dalam mengadopsi SRI, diharapkan dapat menimbulkan dampak yang positif untuk pembangunan pertanian di Bali. Dampak jangka pendek yang dapat dirasakan salah satunya adalah terjadinya better farming dan better business. Dalam jangka menengah kedua dampak
71
yang positif ini akan diikuti dengan better environment, sehingga pada akhirnya petani dapat tersenyum menikmati kehidupan yang lebih sejahtera. Dalam hal dampak program, juga harus diperhatikan faktor-faktor eksternal seperti kondisi politik dan keamanan di Bali, kondisi iklim dan dan cuaca dan lain sebagainya yang sedikit banyaknya dapat memengaruhi dampak dari program yang telah direncanakan.