STUDI DIFUSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI KABUPATEN TASIKMALAYA (Kasus di Dusun Muhara Desa Banjarsari Kecamatan Sukaresik Provinsi Jawa Barat)
Oleh: Gilang Kartiwa Nugraha I34053062
Dosen Pembimbing: Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ABSTRACT GILANG KARTIWA NUGRAHA. STUDY DIFUSION OF INNOVATION SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) IN KABUPATEN TASIKLAMAYA. (Case: Dusun Muhara, Desa Banjarsari, Kecamatan Sukaresik, Provinsi Jawa Barat). Supervised by SITI SUGIAH MUGNIESYAH. So far, research on most of the SRI innovation emphasizes the technology aspect. Meanwhile, research regarding the introduction of agricultural innovations to the farmers in Indonesia more emphasis on adoption of innovation at the level of individual farmers. This study aimed to determine (1) SRI innovation distribution maps in Tasikmalaya District in the Muhara Hamlet especially, since introducted until the research conducted, (2) SRI innovation diffusion process, particularly innovativeness, the pattern of adopter categories that occurred in the community and the rate of paddy SRI innovation adoption and the factors that influence it, and (3) whether there is any problem in implementing innovative programs SRI in Tasikmalaya District, particularly in the hamlet of cases and the factors influencing it. This study found that the majority of those classified as low in productivity, income level, the rate of introduction of SRI innovation from the mass media, the level of participation of farmers following the extension, nonformal education level and household level stratum of farmers, while classified as medium in terms of level complexity, triability level, observability level, the level of adherence to conventional cultivation farmers, farmers 'level of integration, the level of diversity of SRI innovation counseling methods, the level of formal education, communication and behavior patterns as well as high in SRI type of innovation decision making, the level of farmer’s needs for innovation SRI and adoption rate of SRI innovation. SRI has been running from 2006, in Hamlet Muhara but still found some problems that arise. The problem is not locally available organic fertilizers, pest control is still low and the perceived marketing SRI paddy farmers still do not provide benefits for not providing the expected added value. Therefor, need assistance in the form of supplying the holding of a couple holding livestock in the form of goats, chickens, guinea pigs, ducks and other in a revolving system from one farmer to another farmer, induction of pest control experts to provide training how to cope with pests by using the method of Participatory Rural Appraisal (PRA) and the importance of awareness about organic agriculture, there is a willingness from the Department of Agriculture Tasikmalaya to make efforts so that SRI rice marketing can provide significant benefits for farmers by establishing agreements with distributors who can market the SRI paddy farms in Muhara with competitive prices and also provide training to farmers on organic agriculture certification standards set Key words: Difusion of Innovation SRI Process, Innovativeness, Rate of Adoption Innovation SRI
RINGKASAN GILANG KARTIWA NUGRAHA. STUDI DIFUSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI KABUPATEN TASIKMALAYA. Kasus Dusun Muhara Desa Banjarsari, Kecamatan Sukaresik, Provinsi Jawa Barat. (Di bawah bimbingan SITI SUGIAH MUGNIESYAH). Penelitian studi difusi inovasi SRI ini penting, mengingat selama ini penelitian tentang inovasi SRI sebagian besar lebih menitikberatkan aspek teknologinya, kurang atau bahkan hampir tidak menyentuh aspek dinamika sosialnya, sebagaimana dijumpai pada penelitian Masdar dkk (2006) dan Iswandi Anas (2008) yang dikutip Nagrak Organic SRI Center (NORC), serta beberapa penelitian yang dilaporkan dalam Seminar Sehari “The System of Rice Intensification” di Institut Pertanian Bogor (2008). Sementara itu, selama ini penelitian berkenaan introduksi inovasi pertanian kepada masyarakat petani di Indonesia lebih menekankan pada aspek adopsi inovasi pada tingkat individu petani, sebagaimana ditemukan dalam beberapa penelitian: “Tingkat Adopsi Inovasi Pengendalian Hama Terpadu oleh Petani” di Kabupaten Karawang (Sadono, 1999), “Adopsi Inovasi Teknologi Tabela bagi Petani Padi Sawah” (Novarianto, 1999), “Hubungan Karakteristik Petani dan Jaringan Komunikasi dengan Adopsi Inovasi Teknologi Sistem Usaha Pertanian Jagung” (Syafril, 2002), “Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi” (Agussabti, 2002), serta “Adopsi Inovasi Kemitraan Agribisnis Sayuran di Propinsi Jawa Barat” (Purnaningsih, 2006). Sebagian besar penelitian tersebut merujuk pada Teori Pengambilan Keputusan Inovasi dari Rogers dan Shoemaker (1971), namun penerapannya cenderung tidak sepenuhnya dan tidak menyentuh proses difusi inovasi pada tingkat sistem sosial. Di pihak lain, meskipun Mugniesyah dan Lubis (1990) menerapkan seutuhnya teori tersebut dalam penelitian mereka tentang “Studi Hubungan Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi Supra Insus dengan Adopsi Supra Insus di Tingkat Petani dan Kelompok Tani”, namun, sebagaimana peneliti tersebut di atas, juga tidak meneliti aspek proses difusi inovasi Supra Insus tersebut. Tujuan penelitian ini terutama untuk: (1) mengetahui peta sebaran inovasi SRI di Kabupaten Tasikmalaya khususnya di Dusun Muhara, sejak diintroduksikannya sampai dengan penelitian dilangsungkan, (2) mengetahui proses difusi inovasi SRI, khususnya tingkat keinovativan, pola kategori adopter yang terjadi dalam komunitas padi sawah dan laju adopsi inovasi SRI serta faktorfaktor yang mempengaruhinya, dan (3) mengetahui ada tidaknya permasalahan dalam penyelenggaraan program inovasi SRI di Kabupaten Tasikmalaya, khususnya di dusun kasus serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini dilakukan di Dusun Muhara, Desa Banjarsari, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat yang dipilih secara sengaja dengan pertimbangan rekomendasi dari Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif, yang memanfaatkan data primer dan sekunder. Data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup data primer dan sekunder. Data primer mencakup semua data variabel bebas (independent variable) dan variabel tidak bebas (dependent variable) yang ada dalam Gambar
1, serta data berkenaan berkenaan gambaran umum penerapan teknologi budidaya SRI yang diperoleh melalui Diskusi Kelompok Terarah dan wawancara mendalam, serta observasi. Adapun data sekunder mencakup semua data berkenaan penyelenggaraan dan perkembangan penyuluhan SRI yang dilaporkan oleh Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya, data kondisi umum lokasi penelitian khususnya Monografi Desa Banjarsari, serta data pendukung berkenaan partisipasi petani SRI dalam penyuluhan yang tercantum dalam Daftar Hadir Kelompok Tani Mukti Tani dan Buku Tamu Kelompok Tani Mukti Tani. Pengumpulan data berlangsung dari awal bulan Juni sampai pertengahan bulan Juli 2009. Kemudian dilanjutkan lagi Bulan November 2009 selama tujuh hari dan pada Bulan Februari 2010 selama dua hari. Grafik penerimaan inovasi SRI tidak membentuk kurva S dan Kurva kategori adopter inovasi SRI tidak membentuk genta (Bell-shape curve) karena tidak mengikuti suatu sebaran normal, sehingga tidak sejalan dengan asumsi bahwa jika suatu inovasi diintroduksikan kepada suatu sistem sosial, maka dengan berjalannya waktu akan menemukan bahwa orang yang mengadopsi inovasi akan semakin bertambah banyak. Kategori adopter early majority lebih tinggi persentasenya dibanding kategori adopter lainnya. Pada kategori adopter innovators persentasenya lebih tinggi 21,5 persen dibanding acuan baku Rogers dan Shoemaker (1971) yaitu 2,5 persen. Ciri-ciri kategori adopter inovasi SRI di Dusun Muhara berbeda dengan ciri-ciri kategori adopter yang ditulis oleh Sastramihardja dan Veronica (1976) dimana golongan innovators di Dusun Muhara mempunyai status sosial, luas sawah, partisipasi/hubungan sosial yang sama dengan golongan-golongan yang menyusul kemudian. Dusun Muhara terdiri dari tiga kampung, yaitu: Cinusa, Muhara dan Tanjung Sirna. Laju adopsi yang paling tinggi berada di Kampung Cinusa, dibandingkan Kampung Muhara dan Tanjung Sirna dengan persentase berturut-turut sebesar 72 persen, 52 persen dan 50 persen. Hasil uji korelasi rank Spearman yang menunjukkan hubungan nyata dengan tingkat keinovativan (Y1) pada taraf α = 0,05, yaitu: produktivitas (X1.1), tingkat kemungkinan dicoba (X4), frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain (X12), dan tingkat pendidikan non formal (X14) . Sementara itu yang menunjukkan hubungan nyata dengan tingkat keinovativan (Y1) pada taraf α = 0,10, yakni: tingkat kerumitan (X3), tingkat kemungkinan diamati (X5), tingkat ketaatan petani berbudidaya padi konvensional (X9), dan tingkat keragaman metode penyuluhan inovasi SRI (X11). Sedangkan uji korelasi rank Spearman yang menunjukkan hubungan nyata dengan laju adopsi (Y2) pada taraf α = 0,05, yaitu: tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI (X8), tingkat keragaman metode penyuluhan inovasi SRI (X11), dan pola perilaku komunikasi (X15). Sementara itu yang menunjukkan hubungan nyata dengan laju adopsi (Y2) pada taraf α = 0,10, yakni: tingkat integrasi petani (X10) dan tingkat pengalaman berusahatani (X16) Adanya permasalahan berkenaan penyelenggaraan program inovasi SRI di Dusun Muhara berupa tidak tersedianya pupuk organik secara lokal, pengendalian hama yang masih rendah dan pemasaran padi SRI yang dirasa petani masih belum memberikan keuntungan karena belum memberikan nilai tambah yang diharapkan, perlu diadakannya suatu bantuan berupa pengadaan induk pasangan
hewan ternak berupa kambing, ayam, marmot, bebek dan lain sebagainya dengan sistem bergulir dari satu petani ke petani lainnya, agar para petani memiliki rasa memiliki dan bertanggung jawab atas bantuan yang diberikan. Selain itu, perlu adanya penyuluhan dari ahli pengendalian hama untuk memberikan pelatihan bagaimana menanggulangi hama dengan menggunakan metode participatory Rural Apraisal (PRA) dan pentingnya penyadaran mengenai pertanian organik, karena para petani di Dusun Muhara sudah terbiasa dengan metode budidaya padi konvensional yang sebenarnya dapat merusak keseimbangan ekosistem alam. Terakhir, perlu adanya kesediaan dari Dinas Pertanian Tasikmalaya untuk melakukan upaya agar pemasaran padi SRI bisa memberikan keuntungan yang signifikan bagi petani dengan cara menjalin kerjasama dengan pihak distributor yang dapat memasarkan padi SRI di Dusun Muhara dengan harga yang bersaing dan juga memberikan pelatihan kepada petani mengenai sertifikasi pertanian organik dengan standar baku yang telah ditetapkan.
STUDI DIFUSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI KABUPATEN TASIKMALAYA (Kasus Dusun Muhara Desa Banjarsari Kecamatan Sukaresik Provinsi Jawa Barat)
Oleh Gilang Kartiwa Nugraha I34053062
Dosen Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
STUDI DIFUSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI KABUPATEN TASIKMALAYA (Kasus di Dusun Muhara Desa Banjarsari Kecamatan Sukaresik Provinsi Jawa Barat)
Oleh: Gilang Kartiwa Nugraha I34053062
Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor 2010
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Gilang Kartiwa Nugraha NRP : I34053062 Mayor : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul Skripsi : Studi Difusi Inovasi System of Rice Intensification (SRI) di Kabupaten Tasikmalaya (Kasus di Dusun Muhara Desa Banjarsari Kecamatan Sukaresik Provinsi Jawa Barat) dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS NIP. 19512111 197903 2 003 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus:____________
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “STUDI DIFUSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI KABUPATEN TASIKMALAYA (KASUS DI DUSUN MUHARA DESA BANJARSARI KECAMATAN SUKARESIK PROVINSI JAWA BARAT)”
BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK
TERTENTU.
SAYA
JUGA
MENYATAKAN
BAHWA
PROPOSAL PENELITIAN INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
BOGOR, AGUSTUS 2010
GILANG KARTIWA NUGRAHA I34053062
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bandung, 21 April 1987 sebagai anak terakhir dari empat bersaudara pasangan Nono Suwarno dan YuyuYugarningsih (alm). Penulis menamatkan pendidikan di TK Haruman Bandung tahun 1993, SD Lewo IV Malangbong Garut tahun 1999, MTsN Sukamanah Singaparna Tasikmalaya 2002, SMAN 3 Bekasi 2005. Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) dan kemudian diterima di Mayor Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dengan Minor Ilmu Konsumen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, di samping kegiatan asistensi. Penulis menjadi Asisten M.K. Sosiologi Umum selama dua semester pada periode tahun 2008, Asisten M.K. Ilmu Kependudukan selama satu semester pada periode tahun 2008 dan Asistensi M.K. Ilmu Penyuluhan selama dua semester pada periode tahun 2008/2009 dan M.K. Pendidikan Orang Dewasa selama setengah semester pada periode tahun 2010.
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Difusi Inovasi System of Rice Intensification (SRI) di Kabupaten Tasikmalaya (kasus di Dusun Muhara Desa Banjarsari Kecamatan Sukaresik Provinsi Jawa Barat)”. Terimakasih yang setulus-tulusnya penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu pembuatan skripsi ini. Terimakasih kepada Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS sebagai dosen pembimbing yang telah bersedia memberikan bimbingan baik moril dan materil, meluangkan waktu, dan berbagi ilmu sehingga penulis dapat lebih memahami topik bahasan dan dapat menyelesaikan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Didi Faturohman selaku Ketua Kelompok Tani Mukti Tani III dan Ibu Ayoh Maesaroh selaku Kontak Tani atas kerjasamanya sehingga penelitian ini dapat terlaksana. Skripsi ini mengulas tentang Profil Rumahtangga Petani SRI, bagaimana proses Inovasi Budidaya Padi SRI dikomunikasikan kepada anggota-anggota sistem sosial melalui saluran-saluran tertentu dalam suatu periode waktu tertentu dan juga permasalahan yang ditemui dalam proses difusi inovasi SRI. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat diterima oleh semua pihak yang terkait dan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Bogor, Agustus 2010
Peneliti
UCAPAN TERIMA KASIH Dalam kesempatan ini penulis hendak menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tulus kepada: 1. Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS., selaku Dosen Pembimbing Skripsi atas segala bimbingan, motivasi, saran, mencurahkan waktu dan pemikirannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 2. Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc, selaku penguji utama yang telah memberikan banyak masukan dalam rangka perbaikan skripsi ini. 3. Sofyan Sjaf, M.Si, selaku penguji dari Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah banyak mengoreksi kesalahan dalam penulisan skripsi ini. 4. Tim dosen KPM IPB, terima kasih telah memberikan pengajaran yang terbaik, juga untuk seluruh staf KPM yang telah membantu selama perkuliahan. 5. Keluarga tercinta yang telah memberikan kasih sayang dan doanya. 6. Seluruh warga Dusun Muhara, terutama keluarga Aep Saepudin yang telah menjadi keluarga dan memberikan tempat tinggal pada saat penulis melakukan penelitian, juga kepada Bapak Didi Faturohman, Ibu Ayoh Maesaroh yang telah mendoakan, mendukung dan membantu kelancaran penelitian penulis. 7. Ika Puspitasari dan Lingga Permesti, terima kasih atas dukungan dan doanya sebagai teman satu bimbingan. 8. Teman-teman KPM 42 yang tidak bisa disebutkan satu per satu, semoga pertemanan kita bisa berlanjut sampai akhir hayat nanti. 9. Tidak lupa rasa terima kasih juga kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu per satu atas bantuannya dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini. Bogor, Agustus 2010
Penulis
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ................................................................................................................ DAFTAR TABEL ....................................................................................................... DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................
i iii v vi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................................ 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................................... 1.4 Kegunaan Penelitian ...............................................................................................
1 1 4 4 5
BAB II TINJAUAN TEORITIS ................................................................................. 2.1 Perbandingan Inovasi Budidaya Padi Metode SRI dan Budidaya Padi Konvensional .......................................................................................................... 2.2 Pengertian dan Unsur-Unsur Difusi ........................................................................ 2.3 Hasil-hasil Studi Adopsi dan Difusi Inovasi di Indonesia ..................................... 2.4 Kerangka Penelitian ................................................................................................ 2.5 Hipotesis Pengarah .................................................................................................. 2.6 Definisi Operasional ...............................................................................................
6 6 7 9 13 14 17
BAB III METODOLOGI ............................................................................................ 3.1 Metode Penelitian ................................................................................................... 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................................. 3.3 Penentuan Sampel dan Responden ......................................................................... 3.4 Pengolahan dan Analisis Data.................................................................................
24 24 25 25 26
BAB IV GAMBARAN UMUM DESA BANJARSARI ........................................... 4.1 Kondisi Geografis dan Luas Wilayah Desa ........................................................... 4.2 Keadaan Umum Penduduk...................................................................................... 4.3 Kelembagaan ........................................................................................................... 4.3 Sarana dan Prasarana ..............................................................................................
27 27 28 33 35
BAB V PROFIL RUMAHTANGGA PETANI ADOPTER BUDIDAYA SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI DUSUN MUHARA ................ 5.1 Karakteristik Anggota Rumahtangga Petani Budidaya SRI ................................... 5.1.1 Rata-rata Jumlah Anggota Rumahtangga dan Jenis Kelamin ............................ 5.1.2 Umur................................................................................................................... 5.1.3 Jenis Pekerjaan ................................................................................................... 5.1.4 Status Perkawinan .............................................................................................. 5.1.5 Tingkat Pendidikan Formal ................................................................................ 5.2 Karakteristik Rumahtangga Petani Budidaya SRI .................................................. 5.2.1 Kepemilikan Benda Berharga ............................................................................ 5.2.2 Luas Lahan Usahatani ........................................................................................
37 37 37 38 39 40 41 42 42 43
i
BAB VI PROSES DIFUSI, KATEGORI ADOPTER, DAN LAJU ADOPSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI DUSUN MUHARA ..................................................................................................................... 6.1 Proses Difusi Inovasi SRI di Dusun Muhara ........................................................... 6.1.1 Inovasi ................................................................................................................ 6.1.2 Saluran Komunikasi ........................................................................................... 6.1.3 Waktu ................................................................................................................. 6.1.4 Sistem Sosial ...................................................................................................... 6.2 Kurva Penerimaan dan Kategori Adopter Inovasi SRI di Dusun Muhara .............. 6.2.1 Kurva Penerimaan Inovasi SRI di Dusun Muhara ............................................. 6.2.2 Kategori Adopter Inovasi SRI di Dusun Muhara ............................................... 6.3 Laju Adopsi Inovasi SRI di Dusun Muhara ............................................................
45 45 45 46 47 48 50 50 51 54
BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEINOVATIVAN DAN LAJU ADOPSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) .......................................................................................... 7.1 Hubungan antara Persepsi Petani tentang Karakteristik Inovasi System of Rice Intensification (SRI) dengan Tingkat Keinovatifan Petani dan Tingkat Laju Adopsi ..................................................................................................................... 7.2 Hubungan antara Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi System of Rice Intensification (SRI) dengan Tingkat Keinovatifan Petani dan Tingkat Laju Adopsi ..................................................................................................................... 7.3 Hubungan antara Saluran Komunikasi dengan Tingkat Keinovatifan Petani dan Tingkat Laju Adopsi......................................................................................... 7.4 Hubungan antara Karakteristik Sistem Sosial dengan Tingkat Keinovatifan Petani dan Tingkat Laju Adopsi.............................................................................. 7.5 Hubungan antara Promosi oleh Agen Perubahan dengan Tingkat Keinovatifan Petani dan Tingkat Laju Adopsi.............................................................................. 7.6 Hubungan antara Karakteristik Individu Petani dengan Tingkat Keinovatifan Petani dan Tingkat Laju Adopsi.............................................................................. 7.7 Permasalahan dalam Penyelenggaraan Program Inovasi SRI di Dusun Muhara....
63 66
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 8.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 8.2 Saran........................................................................................................................
67 67 71
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................
72
ii
55
55
57 58 60 61
DAFTAR TABEL Nomor Tabel 1.
Halaman Perbedaan Sistem Tanam Padi Organik SRI dengan Sistem Konvensional........................................................................................
6
Luas Wilayah Desa Banjarsari Menurut Penggunaannya Tahun 2008 ......................................................................................................
28
Jumlah Penduduk Desa Banjarsari Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2008 ............................................................
29
Jumlah Penduduk Desa Banjarsari Menurut Angkatan Kerja Tahun 2008...........................................................................................
30
Penduduk Desa Banjarsari Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2008 (dalam jumlah dan persen) ...............................................
31
Jumlah Penduduk Berdasarkan Kepemilikan Lahan Tahun 2008 ......................................................................................................
32
Penduduk Desa Banjarsari Menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan Tahun 2008 .......................................................................
33
Anggota Rumahtangga Petani Adopter SRI Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen) ...............................................................................
38
Anggota rumahtangga Petani Adopter SRI Menurut Pekerjaan dan Jenis Kelamin Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen) ................
39
Tabel 10. Anggota Rumahtangga Petani Adopter SRI Menurut Kelompok Umur dan Status Perkawinan Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen) ...............................................................................
40
Tabel 11. Anggota Rumahtangga Petani Adopter SRI Menurut Tingkat Pendidikan Formal dan Jenis Kelamin Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen) ...............................................................................
41
Tabel 12. Rata-rata Kepemilikan Ternak pada Rumahtangga Adopter Inovasi SRI di Dusun Muhara Tahun 2009 (ekor) ...............................
42
Tabel 13. Rata-rata Kepemilikan Benda Teknologi Rumahtangga Petani Budidaya SRI Dusun Muhara Tahun 2009 ..........................................
43
Tabel 14. Rumahtangga Petani Menurut Penguasaan Lahan Usahatani Sawah (dalam jumlah dan persen) .......................................................
44
Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8.
Tabel 9.
iii
Tabel 15. Distribusi Petani yang Menerapkan Inovasi SRI di Dusun Muhara Tahun 2009 (dalam persen) ....................................................
46
Tabel 16. Sumber Informasi tentang Inovasi SRI di Dusun Muhara Tahun 2009 (dalam persen) ..................................................................
47
Tabel 17. Jumlah Petani yang Menerapkan Inovasi SRI di Setiap Musim Tanamnya (dalam persen) ....................................................................
48
Tabel 18. Ciri-ciri Kategori Adopter Inovasi SRI dilihat Menurut Kategori Penerima di Dusun Muhara Tahun 2009 ..............................
53
Tabel 19. Laju Adopsi Inovasi SRI di Dusun Muhara Tahun 2009 .....................
54
Tabel 20. Hubungan antara Persepsi Petani tentang Karakteristik Inovasi SRI dengan Tingkat Keinovativan Petani dan Tingkat Laju Adopsi (dalam persen) .........................................................................
56
Tabel 21. Hubungan antara Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi SRI dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi di Dusun Muhara Tahun 2009 (dalam persen) .........................................
58
Tabel 22. Hubungan antara Saluran Komunikasi dengan dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi di Dusun Muhara Tahun 2009 (dalam persen) ..................................................................
59
Tabel 23. Hubungan antara Karakteristik Sistem Sosial dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi di Dusun Muhara Tahun 2009 (dalam persen) ..................................................................
60
Tabel 24. Hubungan antara Promosi oleh Agen Perubahan dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi di Dusun Muhara Tahun 2009 (dalam persen) ....................................................
62
Tabel 25. Hubungan antara Karakteristik Individu Petani dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi di Dusun Muhara Tahun 2009 (dalam persen) ..................................................................
64
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
Gambar 1. Hubungan antar variabel pengaruh (independent variables) dengan variabel terpengaruh (dependent variables) dalam proses Difusi Inovasi Padi System of Rice Intensification (SRI). ........ 16 Gambar 2. Kurva Penerimaan Inovasi SRI di Dusun Muhara pada Tahun 2009 ...................................................................................................... 50 Gambar 3. Kurva Adopter Petani Padi System of Rice Intensification (SRI) di Dusun Muhara pada Tahun 2009 ..................................................... 51
v
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
Lampiran 1.
Gambar Paradigma Laju Adopsi Inovasi ........................................ 74
Lampiran 2.
Agenda Rencana Kegiatan Penelitian ............................................. 75
Lampiran 3.
Peta Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Tasikmalaya dan Desa Banjarsari......................................................................................... 76
Lampiran 4.
Petani Padi SRI Menurut Kategori Kriteria dari Semua Variabel Pengaruh dan Variabel Terpengaruh ................................ 78
Lampiran 5.
Hasil Uji Korelasi Rank Spearman Antara VariabelVariabel Pengaruh dengan Variabel Terpengaruh .......................... 79
Lampiran 6.
Perbandingan Budidaya Padi SRI dan Konvensional Berdasarkan Standar Dusun Muhara ............................................... 80
Lampiran 7.
Dokumentasi Inovasi Budidaya Padi SRI di Dusun Muhara .......... 81
vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hasil Podes ST 2003 menunjukkan masih banyaknya masyarakat Indonesia yang bekerja di sektor pertanian, terutama pada sub-sektor tanaman pangan yakni sebesar 60.629 juta rumahtangga atau 88 persen (Sensus Pertanian, 2003). Selanjutnya ST 2003 juga melaporkan bahwa di Provinsi Jawa Barat terdapat sebanyak 4.258 desa di mana sebagian sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian. Adapun di Kabupaten Tasikmalaya jumlahnya sebanyak 298 desa (6,99 persen) dan di Kota Tasikmalaya sebanyak 23 desa atau 0,54 persen (Katalog BPS: 1610.32, Sensus Pertanian, 2003). Meskipun sebagian besar penduduk yang bekerja di sektor pertanian tersebut merupakan produsen pangan, namun sebagian besar (70-80 persen) rumahtangga mereka tergolong miskin, dengan usaha pertanian yang masih tradisional dan bersifat subsisten. Menyempitnya lahan pengusahaan petani (dari rata-rata 1,3 ha pada ST 1983 menjadi 0,70 ha pada ST 2003), bersamaan dengan rendahnya
akses
mereka
terhadap
informasi
dan
sumber
permodalan
menyebabkan rumahtangga petani tidak dapat mengembangkan usahanya secara layak ekonomi. Di lain pihak terdapat sejumlah permasalahan, yakni masih rendahnya sistem alih teknologi, meningkatnya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, menurunnya ketersediaan air dan daya dukung prasarana irigasi menyebabkan rendahnya produktivitas pertanian (RPJMN Tahun 2004-2009). Merespon terhadap berbagai hal tersebut di atas, kepada masyarakat petani pembudidaya padi sawah diintroduksikan inovasi System Rice of Intensification atau dikenal sebagai SRI. Inovasi SRI diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1999, melalui pengujian dan evaluasi yang dilakukan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi Provinsi Jawa Barat. Relatif lebih tingginya produksi padi hasil SRI (sekitar 6,2 ton GKP per ha, sementara produksi padi dari petak kontrol hanya sekitar 4,1 ton GKG per ha), mendorong pemerintah untuk mendiseminasikan metode ini kepada masyarakat petani. Pada tahun 2006, luas tanam total sawah yang menerapkan metode SRI telah mencapai 749 ha, dan telah melibatkan sekitar 3.200 petani se-Jawa Barat. Produksinya pun terus
bertambah menjadi rata-rata sekitar 7,8 ton GKP per ha. Adapun pada musim tanam 2006/2007 ini luas tanam SRI diperkirakan meningkat menjadi 1.484 ha yang melibatkan sekitar 5.720 petani di seluruh Indonesia (Sjarief, 2007). Metode SRI menawarkan sejumlah keunggulan dibanding metode konvensional, diantaranya adalah: hemat dalam penggunaan air, biaya produksi, tenaga kerja untuk tanam, dan waktu panen, namun lebih tinggi produksi padinya dan tergolong ramah lingkungan karena mengganti pupuk bahan kimia dengan pupuk organik serta menghindari penggunaan pestisida (DISIMP, 2006). Adanya beragam keunggulan yang dimiliki metode SRI, menjadikan pemerintah daerah di Jawa Barat, khususnya di Kabupaten Tasikmalaya mencanangkan program SRI dengan tujuan memenuhi kebutuhan pangan (beras) masyarakatnya. Itu sebabnya Bupati Tasikmalaya mengharapkan pada tahun 2010 luas potensial sawah beririgasi dapat menerapkan SRI organik, sehingga kabupaten Tasikmalaya dapat menjadi lumbung pangan organik (Anonymous, 2008). Sebagaimana diketahui, sejak dicanangkannya Revolusi Hijau pada tahun 1960-an, komunitas petani padi sawah di Jawa Barat telah didedahkan pada berbagai program, sejak Program Panca Usaha Pertanian hingga Program Supra Insus, yang mengintroduksikan budidaya padi dengan asupan (input) teknologi eksternal yang tinggi. Dengan diintroduksikannya metode SRI yang menawarkan asupan teknologi eksternal rendah dan ramah lingkungan, berarti akan merubah nilai (values) dan persepsi petani dalam berbudidaya padi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi perilaku petani dalam menerapkan metode SRI. Sehubungan dengan itu, diperlukan suatu penelitian untuk mempelajari proses difusi inovasi SRI di kalangan masyarakat petani pembudidaya padi sawah. Penelitian ini penting, mengingat selama ini penelitian tentang inovasi SRI sebagian besar lebih menitikberatkan aspek teknologinya, kurang atau bahkan hampir tidak menyentuh aspek dinamika sosialnya, sebagaimana dijumpai pada penelitian Masdar dkk (2006) dan Anas (2008) yang dikutip Nagrak Organic SRI Center (NORC), serta beberapa penelitian yang dilaporkan dalam Seminar Sehari “The System of Rice Intensification” di Institut Pertanian Bogor (2008). Penelitian proses difusi inovasi SRI juga penting, mengingat selama ini penelitian berkenaan introduksi inovasi pertanian kepada masyarakat petani di
2
Indonesia lebih menekankan pada aspek adopsi inovasi pada tingkat individu petani, sebagaimana ditemukan dalam beberapa penelitian: “Tingkat Adopsi Inovasi Pengendalian Hama Terpadu oleh Petani” di Kabupaten Karawang (Sadono, 1999), “Adopsi Inovasi Teknologi Tabela bagi Petani Padi Sawah” (Novarianto, 1999), “Hubungan Karakteristik Petani dan Jaringan Komunikasi dengan Adopsi Inovasi Teknologi Sistem Usaha Pertanian Jagung”
(Syafril,
2002), “Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi” (Agussabti, 2002), serta “Adopsi Inovasi Kemitraan Agribisnis Sayuran di Propinsi Jawa Barat” (Purnaningsih, 2006). Sebagian besar penelitian tersebut merujuk pada Teori Pengambilan Keputusan Inovasi dari Rogers dan Shoemaker (1971), namun penerapannya cenderung tidak sepenuhnya dan tidak menyentuh proses difusi inovasi pada tingkat sistem sosial. Di pihak lain, meskipun Mugniesyah dan Lubis (1990) menerapkan seutuhnya teori tersebut dalam penelitian mereka tentang “Studi Hubungan Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi Supra Insus dengan Adopsi Supra Insus di Tingkat Petani dan Kelompok Tani”, namun, sebagaimana peneliti tersebut di atas, juga tidak meneliti aspek proses difusi inovasi Supra Insus tersebut. Penelitian tentang difusi inovasi pertanian di Indonesia, setidaknya di Jawa Barat, tampaknya masih sangat terbatas, diantaranya dijumpai pada tulisan Soewardi (1972) tentang “Penyebaran Inovasi dari Lapisan Atas ke Lapisan Bawah” (Sajogyo dan Sajogyo, 1982) serta dalam tulisan Sastramihardja dan Veronica (1976) tentang Adopsi Panca Usaha Pertanian di Desa Babakan, Kecamatan Serpong, Tangerang. Sayangnya, kedua penelitian tersebut sudah puluhan tahun yang lalu, dimana masyarakat petani relatif masih subsisten, dan inovasinya
terbukti
tergolong
kurang
mendukung
terhadap
pertanian
berkelanjutan. Sehubungan dengan penjelasan di atas, Studi Proses Difusi Inovasi SRI di Kabupaten Tasikmalaya diperlukan dengan harapan dapat memberikan gambaran dinamika proses difusi inovasi SRI yang berlangsung pada sistem sosial masyarakat petani padi sawah serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya.
3
1.2 Perumusan Masalah Seperti diketahui, Pemda Tingkat II Tasikmalaya telah mencanangkan introduksi inovasi SRI sebagai program revitalisasi pertanian di wilayahnya sejak tahun 2002-2003. Sehubungan dengan itu, sejak diintroduksikannya, sudah berapa tahunkah (berapa musim tanamkah) inovasi SRI diaplikasikan oleh petani komunitas padi sawah di Tasikmalaya? Bagaimanakah peta sebaran inovasi SRI menurut kecamatan dan dusun yang ada di Kabupaten Tasikmalaya? Menurut Rogers dan Shoemaker (1971), adanya komponen waktu dalam proses difusi, memungkinkan peneliti dapat mengukur tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi. Sehubungan dengan itu, bagaimanakah tingkat keinovativan para petani komunitas padi sawah dalam peneriman Inovasi SRI? Bagaimanakah pola kategori adopter yang terjadi dalam komunitas padi sawah tersebut? Sebagaimana diketahui, proses difusi berlangsung dalam suatu sistem sosial tertentu dan dalam periode waktu tertentu. Rogers dan Shoemaker (1971) juga mengemukakan bahwa laju adopsi tersebut dipengaruhi oleh lima faktor (Persepsi Petani tentang Karakteristik Inovasi, Saluran Komunikasi, Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi, Karakteristik Sistem Sosial, dan Promosi oleh Agen Penyuluh) yang masing-masing meliputi sejumlah variabel. Sehubungan dengan itu, bagaimanakah laju adopsi inovasi SRI pada tingkat sistem sosial (komunitas padi sawah) tersebut? Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi cepat atau lambatnya laju adopsi inovasi SRI tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasar perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini terutama untuk: 1. Mengetahui peta sebaran inovasi SRI di Kabupaten Tasikmalaya, khususnya di Dusun Muhara, sejak diintroduksikannya sampai dengan penelitian dilangsungkan. 2. Mengetahui proses difusi inovasi SRI, khususnya tingkat keinovativan, pola kategori adopter yang terjadi dalam komunitas padi sawah dan laju adopsi inovasi SRI serta faktor-faktor yang mempengaruhinya
4
3. Mengetahui ada tidaknya permasalahan dalam penyelenggaraan Program SRI di Kabupaten Tasikmalaya pada umumnya, khususnya di dusun kasus serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1.4 Kegunaan Penelitian 1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman dalam menerapkan berbagai konsep dan teori berkenaan proses difusi dan laju adopsi inovasi dalam kondisi realita, yakni dalam konteks inovasi SRI dalam setting masyarakat petani padi sawah di Jawa Barat, Indonesia. 2. Bagi Pemda Tingkat II Tasikmalaya, khususnya Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya, diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bagian dari aktivitas monitoring dalam pelaksanaan diseminasi Inovasi SRI, khususnya di lokasi penelitian terpilih. 3. Bagi pihak lain, khususnya para peneliti di bidang riset difusi, penelitian ini
diharapkan dapat menjadi masukan informasi awal bagi studi difusi inovasi SRI di berbagai wilayah di Indonesia. Selain itu, diharapkan dapat berkontribusi pada pengembangan riset difusi sebagai bagian dari komunikasi pembangunan di Indonesia.
5
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1.Perbandingan Inovasi Budidaya Padi Metode SRI dan Budidaya Padi Konvensional Terdapat sejumlah perbedaan kegiatan dan/atau komponen budidaya padi menurut inovasi SRI dengan budidaya padi konvensional. Lembaga NORC, mengemukakan
informasi
selengkapnya
berkenaan
perbedaan
tersebut,
sebagaimana disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan Sistem Tanam Padi Organik SRI dengan Sistem Konvensional No 1. 2. 3.
Komponen Pupuk Jarak tanam Air
4. 5.
Jumlah Benih Pembenihan
6.
Umur tanam benih
7.
Cara tanam
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Pestisida Jumlah anakan per rumpun Jumlah malai per rumpun Jumlah bulir per malai Masa produksi Hasil Gabah Kering Pungut Berat yang dihasilkan
15. 16. 17.
Harga Jual Return of Invesment Ramah Lingkungan
SRI-Organik Pupuk kompos 30 x 30 cm, 40 x 40 cm Tanah macak-macak (sedikit air) 5 kg per Ha Di nampan dengan pemilihan benih bermutu 7-10 hari
Konvensional Pupuk sintetik 20 x 20 cm Tanah digenangi (banyak air) 30-40 kg per Ha Di sawah tanpa pemilihan benih bermutu 20-30 hari
Benih tunggal, horizontal (L) dan dangkal 4-5 kali per musim tanam 35-90 anakan 30-60 malai 200-280 bulir 100 hari 8-12 ton per ha Beras organik tanpa pestisida Tinggi dengan daya saing 100-200 % Ya, menjaga struktur dan tekstur tanah
Benih banyak, vertikal dan dalam 2 kali per musim tanam 20-30 anakan 20 malai 150 bulir 110 hari 4-6 ton per ha Beras anorganik dengan pestisida Rendah tanpa daya saing 50-100% Tidak dan merusak struktur dan tekstur tanah
Keterangan: HSS = Hari setelah semai Sumber: Profile Nagrak-SRI Organik Center
Keunggulan lainnya adalah bahwa kebutuhan pupuk dan pestisida organik dalam metode SRI dapat diproduksi sendiri oleh petani, antara lain dengan memanfaatkan sumberdaya lokal (Mutakin, 2008). Di samping itu, hasil analisis usahatani padi dengan metode SRI bisa menghemat biaya sarana produksi dan tenaga kerja sekitar Rp. 297.500,- per ha. Berdasar hasil penelitian demplot SRI di Pringgarata, Lombok Tengah, NTB pada MT I Tahun 2004/2005, diketahui
bahwa keuntungan yang didapat dari metode SRI lebih tinggi sebesar Rp. 2.345.700,- dibanding budidaya padi konvensional (DISIMP, 2006).
2.2.Pengertian dan Unsur-Unsur Difusi Konsep dan teori tentang difusi inovasi yang diuraikan dalam sub-bab ini merujuk pada pendapat Rogers dan Shoemaker (1971) serta Rogers (1995) yang dikutip oleh Mugniesyah (2006). Konsep difusi inovasi (diffusion of innovation) didefinisikan Rogers dan Shoemaker (1971) sebagai suatu tipe komunikasi khusus, yakni suatu proses melalui mana inovasi menyebar dalam suatu sistem sosial. Rogers (1995) kemudian melengkapinya sehingga difusi inovasi diartikan sebagai suatu proses melalui mana suatu inovasi dikomunikasikan kepada anggota-anggota sistem sosial melalui saluran-saluran tertentu dalam suatu periode waktu tertentu. Terdapat 4 (empat) unsur dalam suatu proses difusi, yaitu: inovasi, saluran komunikasi, waktu dan sistem sosial. Keempat unsur tersebut senantiasa dapat diidentifikasi dalam setiap riset atau studi difusi. Inovasi adalah suatu gagasan, praktek, atau objek yang dipandang sebagai baru oleh seorang individu. Suatu inovasi senantiasa mencakup 2 komponen, yaitu: (1) komponen gagasan (idea) berupa keterampilan manajerial atau sistem nilai (values) tertentu, dan (2) komponen objek (object), yakni material atau aspek fisik produk dari suatu gagasan. Bila inovasinya berupa teknologi, mencakup dua aspek, yaitu piranti keras (alat berbentuk fisik) dan aspek piranti lunak, berupa informasi tentang teknologi (Rogers, 1995). Terdapat sejumlah karakteristik inovasi yang dapat mempengaruhi petani dalam pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak inovasi, yaitu: keuntungan relatif (relative advantage), kompatibilitas
(compatibility),
kompleksitas,
kemudahan
untuk
dicoba
(trialability), dan kemudahan untuk diamati (observability). Saluran komunikasi adalah cara-cara melalui mana sebuah pesan diperoleh penerima dari sumber, yang dibedakan ke dalam saluran interpersonal dan media massa. Saluran komunikasi interpersonal lebih efektif membangun dan merubah sikap, sementara saluran media massa efektif merubah pengetahuan tentang inovasi. Dalam konteks komunikasi interpersonal, melibatkan pertukaran pesan antara dua atau lebih orang secara tatap muka. Dalam hal waktu, terdapat tiga 7
aspek penting yang berhubungan dengan proses difusi, yakni: (a) proses pengambilan
keputusan
inovasi
(the
innovation-decision
process),
(b)
keinovativan (innovativeness), dan (c) laju adopsi suatu inovasi (innovation’s rate of adoption) dalam sistem sosial. Proses pengambilan keputusan inovasi (selanjutnya ditulis PK Inovasi) merupakan suatu proses mental, melalui mana seorang individu melangsungkan tahapan-tahapan sejak mengetahui suatu inovasi sampai ke pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak inovasi dan untuk mengukuhkan keputusan yang telah diambilnya itu. Terdapat empat tipe proses PK Inovasi, yaitu opsional, kolektif, otoritas dan kontingensi; yang dibedakan menurut siapa yang menjadi unit pengambil keputusan dan unit adopsi dalam PK Inovasi tersebut. Pada tipe opsional, unit pengambil keputusan dan unit adopsi adalah individu, sedangkan pada tipe kolektif baik unit pengambil keputusan maupun unit adopsi dilakukan oleh sistem sosial. Khusus pada tipe otoritas, unit pengambil keputusan dilakukan oleh mereka yang mempunyai wewenang lebih tinggi dari unit adopsi yang terdiri atas anggota sistem sosial. Adapun pada tipe kontingensi, pengambilan keputusan merupakan kombinasi dari dua atau lebih keputusan inovasi, atau keputusan inovasi dibuat setelah ada keputusan tipe lain yang mendahuluinya. Keinovativan (inovativeness) adalah derajat di mana seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya secara relatif lebih dini atau lebih dahulu mengadopsi sesuatu inovasi daripada rata-rata anggota sistem sosial dimana dia menjadi anggotanya. Adanya keinovativan yang berbeda memungkinkan untuk melihat kategori adopter suatu inovasi tertentu, yang dibedakan ke dalam inovator (innovator), penganut dini (early adopter), penganut dini terbanyak (early majority), penganut lambat terbanyak (late majority) dan penolak (laggard). Laju adopsi adalah kecepatan relatif di mana suatu inovasi diadopsi oleh anggota-anggota suatu sistem sosial. Laju adopsi ini biasanya diukur sebagai jumlah penerima yang mengadopsi inovasi dalam suatu sistem sosial pada periode waktu tertentu. Terdapat sejumlah faktor yang menentukan laju adopsi, dan pada masing-masing faktor terdapat sejumlah komponen atau variabel (independent variables). Adapun hubungan masing-masing unsur dari beberapa variabel yang 8
menentukan laju adopsi inovasi (independent variables) dan laju adopsi inovasi (dependent variable) digambarkan sebagaimana terlihat pada Lampiran 1. Unsur keempat difusi inovasi adalah sistem sosial, yang diartikan suatu seperangkat unit-unit (kolektivitas) yang berhubungan satu sama lain dalam upaya mencapai tujuan bersama, khususnya dalam penyelesaian masalah. Anggotaanggota sistem sosial bisa terdiri atas individu, kelompok informal, organisasi, kompleks organisasi dan/atau subsistem-subsistem. Oleh karena difusi inovasi terjadi dalam sistem sosial, maka struktur sosial dipandang ke Rogers dan Shoemaker (1971) mempengaruhi difusi inovasi melalui beberapa cara, diantaranya peranan tokoh pemuka pendapat (tokoh masyarakat) dan agen perubah. Dalam konteks peranan tokoh masyarakat, dimungkinkan adanya individu yang mengembangkan struktur komunikasi homofili dan heterofili. Semakin homofili struktur komunikasi, semakin cepat laju adopsi, dan sebaliknya. Sistem sosial dibedakan ke dalam sistem tradisional dan sistem modern. Sistem tradisional, dicirikan antara lain oleh rendahnya/kurangnya orientasi terhadap perubahan serta tingkat pendidikan, pola komunikasi yang cenderung intepersonal lokalit, dan rendahnya kemampuan berempati di kalangan warga masyarakatnya. Sebaliknya pada sistem sosial yang modern, dicirikan oleh sikap positif terhadap perubahan, cenderung menerima teknologi yang menuntut pembagian kerja yang kompleks, tingginya orientasi pada pendidikan, perilaku komunikasi kosmopolit dan kemampuan empati yang tinggi.
2.3. Hasil-hasil Studi Adopsi dan Difusi Inovasi di Indonesia Hasil studi Soewardi (1972), menemukan bahwa penyebaran (difusi) inovasi Panca Usaha Pertanian (PUP) di Desa Cianjur berlangsung dari lapisan atas ke lapisan bawah terjadi melalui warga lapisan atas yang secara visual menyerupai orang-orang lapisan bawah, namun mereka menjadi tempat bertanya atau “bidang kontak” antara lapisan atas dan lapisan bawah. Warga lapisan atas sebagai “innovator” tidak suka menyuluh secara sengaja, juga tidak merupakan tempat bertanya bagi petani-petani lapisan bawah pada umumnya (Sajogyo dan Sajogyo 1982). Selanjutnya, Soewardi menyatakan bahwa hal tersebut terjadi karena warga lapisan atas pada umumnya bersikap responsif terhadap 9
pembaharuan, dan menerima unsur-unsur pembaharuan itu langsung dari penyuluh sebagai media yang menyebarkannya. Lapisan atas tersebut tidak berdaya “memaksakan” pandangan atau kehendaknya kepada para pengikutnya, baik untuk mengadopsi maupun untuk menghalangi terjadinya adopsi, karena terjadinya adopsi inovasi baru adalah atas pengaruh pergaulan akrab, dimana keakraban ini dimulai sejak kecil. Dalam studinya di Desa Babakan, Tangerang, Sastramihardja dan Veronica (1976), melaporkan bahwa hipotesa yang menyatakan proses adopsi melalui 5 (lima) tahap, yaitu tahap kesadaran, berminat, evaluasi, mencoba dan adopsi ternyata tidak berlaku di desa tersebut.. Hal ini terbukti dari para petani yang baru pada tahap sadar atau aware sebanyak 93,5%, sementara yang terus menerima Panca Usaha sebanyak 79% tanpa melalui tahap-tahap seperti berminat dahulu, kemudian menilainya dan mencobanya (Gunardi, 1980). Selanjutnya, para petani di desa Babakan sebagian besar melaksanakan anjuran dalam Panca Usaha Pertanian setelah mendengar kampanye Bimas di Balai Desa yang dilakukan oleh Penyuluh Pertanian dan Kepala Desa. Setelah mendengar bagaimana baiknya menggunakan pupuk, bibit unggul dan obat hama, kemudian langsung menerimanya tanpa melalui pertimbangan tentang baik tidaknya pupuk, bibit atau obat hama tersebut. Mugniesyah dan Lubis (1990), menemukan adanya hubungan yang nyata antar variabel terpengaruh pada PK Inovasi Supra Insus, khususnya antar tahap pengenalan dengan tahap persuasi, tahap persuasi dengan tahap keputusan, serta antar tahap implementasi dengan tahap keputusan; kecuali antar tahap keputusan dengan tahap implementasi. Hal yang terakhir ini berhubungan dengan adanya gejala disonansi inovasi yang diduga sebagai akibat dari dominannya pendekatan otoritatif dalam tahap pengambilan keputusan inovasi, dan atau karena adanya dukungan kelembagaan Koperasi Unit Desa (KUD) yang “menekan” petani responden untuk menerapkan inovasi. Terdapat beberapa faktor di luar berbagai sub-sistem di atas yang turut menentukan rendahnya penerapan Paket Teknologi Supra Insus (PTSI) di tingkat kelompok
tani kasus di dua Wilayah Kerja
Penyuluhan Pertanian (WKPP) kasus, yaitu: (1) perubahan struktur agraris yang sangat fluktuatif setiap musim atau setiap tahunnya, (2) perkembangan/perubahan 10
dalam pola nafkah di kalangan petani responden, (3) perubahan dalam hubungan sosial produksi antara petani pemilik-penggarap dengan buruh tani, dan (4) perubahan dalam pola pasca panen, khususnya penjualan atau pemasaran hasil. Novarianto (1999) menyatakan bahwa, karakteristik internal petani yang berhubungan nyata dengan tingkat penerapan teknologi Tanam Benih Langsung (TABELA) adalah: lama pendidikan formal, frekuensi mengunjungi sumber informasi, tingkat keuntungan dari kesesuaian; sedangkan karakteristik eksternal petani yang berhubungan nyata dengan penerapan teknologi TABELA adalah intensitas penyuluhan. Namun demikian, penelitian Novarianto melaporkan bahwa penerapan teknologi TABELA belum menunjukkan hubungan yang nyata dengan tingkat produktivitas usahatani. Dalam studi Sadono (1999) tentang “Tingkat Adopsi Inovasi Pengendalian Hama Terpadu oleh Petani” di Kabupaten Karawang ditemukan bahwa tingkat persepsi petani Pengamat Hama Terpadu-Pengendalian Hama Terpadu (PHTPHP) dan PHT-Petandu terhadap PHT termasuk kategori tinggi. Namun demikian, tingkat persepsi petani PHT-PHP lebih baik dibanding dengan petani PHT-Petandu; demikian pula halnya lanjut dalam hal tingkat penerapan PHT, dilaporkan bahwa pada petani PHT-PHP hal tersebut lebih baik dibanding petani PHT-Terpadu dan secara statistik perbedaan tersebut berbeda nyata. Studi inipun melaporan bahwa faktor-faktor internal petani yang berkorelasi nyata dengan tingkat penerapan PHT adalah tingkat pendidikan dan persepsi petani terhadap PHT, sementara faktor luas lahan garapan dan pekerjaan utama tidak berhubungan nyata dengan tingkat penerapan PHT. Adapun faktor-faktor eksternal petani yang berkorelasi nyata dengan tingkat penerapan PHT adalah status keanggotaan petani dalam kelompok dan pemandu. Hasil studi Agussabti (2002) menemukan adanya hubungan antara tingkat kemandirian petani hortikutura dengan kemajuan usahatani yang dicapai oleh dua kategori petani, yakni petani maju dan petani berkembang. Ada tiga faktor penting yang secara positif mempengaruhi kemandirian petani dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi baik pada petani maju maupun petani berkembang, yaitu: (1) tingkat kesadaran petani terhadap kebutuhannya; (2) karakteristik individu petani, meliputi: motivasi berprestasi, persepsi terhadap inovasi, 11
keberanian mengambil resiko, serta kreativitas; dan (3) Akses petani terhadap informasi. Temuan lainnya adalah bahwa semakin maju petani semakin berkurang pengaruh lingkungan sosial terhadap dirinya dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi. Syafril (2002) dari hasil studinya menemukan bahwa adopsi inovasi Teknologi Sistem Usaha Pertanian Jagung bekorelasi nyata dengan: (a) karakteristik pribadi, khususnya kekosmopolitan,(b) karakteristik rumahtangga, khususnya ketersediaan modal dan (c) kesesuaian stimulan dan frekuensi pembinaan teknologi SUP Jagung, serta (d) jaringan komunikasi. Selanjutnya Syafril melaporkan bahwa derajat integrasi individu, keterbukaan klik dan keterbukaan sistem dalam jaringam komunikasi sangat mempengaruhi penerimaan dan pertukaran informasi di dalam jaringan komunikasi yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat adopsi. Selain itu, opinion leader, liaison dan bridge, serta pendekatan melalui klik-klik yang terdapat dalam sistem juga cukup efektif dalam mempenaruhi adopsi inovasi Teknologi Sistem Usaha Pertanian Jagung Dalam studinya, Purnaningsih (2006), menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan petani dalam pola kemitraan agribisnis terjadi melalui interaksi antara petugas atau pihak mitra dengan petani, kemudian menyebar melalui interaksi sesama petani dan keluarganya dalam suatu komunitas. Beberapa alasan petani untuk memutuskan bermitra adalah adanya jaminan pemasaran hasil, tersedia bibit, pupuk dan pestisida, produktivitas yang lebih tinggi, ada pendampingan petugas, dan meniru petani lain. Beberapa variabel yang mempengaruhi keputusan petani untuk bermitra adalah tingkat kebutuhan bermitra, kepastian pasar, pengalaman berusahatani, persepsi tentang tingkat kerumitan
proses
bermitra
dan
ketersediaan
sarana
transportasi
dan
telekomunikasi. Keterlibatan petani dalam pola kemitraan memberi manfaat pada peningkatan pendapatan, penggunaan teknologi produksi, panen dan pasca panen, pestisida tepat guna, peningkatan mutu produk, penyerapan tenaga kerja dan modal, serta kesinambungan usaha bagi petani.
12
2.4 Kerangka Pemikiran Penelitian yang berjudul “Studi Difusi Inovasi SRI di Kabupaten Tasikmalaya” ini merujuk pada konsep dan teori proses difusi dari Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1983) yang dikutip Mugniesyah (2006) serta dari hasil empiris beberapa penelitian berkenaan adopsi dan/atau pengambilan keputusan inovasi sebagaimana telah dieskripsikan di atas. Sebagaimana dikemukakan di atas, salah satu unsur difusi inovasi adalah unsur waktu, yang menurut pendapat kedua ahli tersebut di atas dinyatakan berhubungan dengan proses difusi, diantaranya aspek keinovativan dan laju adopsi, maka variabel terpengaruh dalam penelitian ini akan diukur oleh variabel tingkat keinovativan petani (Y1) dan laju adopsi inovasi SRI (Y2).
Dengan
mengacu pada paradigma laju adopsi, diduga laju adopsi SRI berhubungan dengan sejumlah faktor yang meliputi: persepsi petani tentang karakteristik inovasi SRI, tipe pengambilan keputusan inovasi SRI, saluran komunikasi, karakteristik sistem sosial, dan promosi oleh petugas penyuluh/agen perubah. Terdapat lima variabel pada faktor persepsi petani tentang karakteristik inovasi SRI yang diduga mempengaruhi baik tingkat keinovativan petani (Y1) dan laju adopsi (Y2), yaitu: tingkat keuntungan relatif (X1), tingkat kompatibilitas (X2), tingkat kerumitan (X3), tingkat kemungkinan dicoba (X4), dan tingkat kemungkinan diamati (X5) dari inovasi SRI. Mengingat dimungkinkannya ada keragaman unit adopsi dan unit pengambil keputusan yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan inovasi SRI yang dilakukan petani, maka tipe pengambilan keputusan inovasi SRI (X6) juga diduga berhubungan langsung dengan kedua variabel terpengaruh tersebut di atas. Selanjutnya, ada dua variabel pada faktor saluran komunikasi yang diduga mempengaruhi dua variabel pada proses difusi inovasi SRI, yaitu tingkat pengenalan inovasi SRI dari media massa (X7) dan tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI (X8). Sejumlah variabel pada sistem sosial yang diduga turut mempengaruhi, diantaranya adalah keterikatan pada norma berkenaan budidaya padi, yang dalam hal ini diukur melalui variabel tingkat ketaatan petani berbudidaya padi konvensional (X9). Seperti diketahui, pada pendapat kedua ahli tersebut di atas yang menyatakan bahwa salah satu indikator pembeda sistem sosial tradisional 13
dan modern adalah tinggi rendahnya integrasi anggota sistem sosial yang tercermin dari keanggotaan mereka dalam beragam kelompok/organisasi serta status mereka di dalamnya. Sehubungan dengan itu, variabel kedua dari sistem sosial yang diduga berpengaruh adalah tingkat integrasi petani (X10). Di pihak lain, mengingat dalam menyebarkan inovasi, penyuluh umumnya menggunakan beragam metode penyuluhan, oleh karena itu, variabel pada faktor promosi penyuluh yang diduga mempengaruhi difusi inovasi SRI adalah tingkat keragaman metode penyuluhan (X11) yang digunakan penyuluh dalam mengintroduksikan inovasi SRI, serta frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain pada petani (X12). Lebih lanjut oleh karena tingkat keinovativan diukur oleh jumlah individu anggota masyarakat petani yang mengadopsi inovasi dalam satuan waktu tertentu, maka selain sejumlah variabel pengaruh tersebut di atas, karakteristik individu petani tersebut diduga juga mempengaruhi difusi inovasi SRI. Merujuk pada pendapat ahli tersebut di atas dan pada hasil empiris penelitian Mugniesyah dan Lubis (1990), variabel-variabel pada karakteristik individu yang diduga mempengaruhi tingkat keinovativan adalah: adalah tingkat pendidikan formal (X13), tingkat pendidikan non-formal (X14), pola perilaku komunikasi (X15), tingkat pengalaman berusahatani (X16), tingkat stratum rumahtangga petani (X17) dan tingkat kebutuhan petani terhadap inovasi SRI (X18). Berdasar pada kerangka pemikiran tersebut di atas, hubungan antara variabel pengaruh dan terpengaruh
dalam penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 1.
2.5 Hipotesis Pengarah 1. Semakin tinggi semua variabel pada tingkat persepsi petani terhadap karakteritik inovasi SRI -kecuali pada tingkat kerumitan-, semakin tinggi tingkat keinovativan petani dan laju adopsi inovasi SRI. 2. Tipe pengambilan keputusan inovasi kolektif berhubungan positif dengan tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi SRI.
14
3. Semakin tinggi tingkat pengenalan inovasi SRI dari media massa dan tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI semakin tinggi tingkat keinovativan petani dan laju adopsi inovasi SRI. 4. Semakin tinggi tingkat ketaatan petani dalam berbudidaya padi konvensional, dan semakin tradisional pola komunikasi petani, maka semakin rendah tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi SRI. 5. Semakin tinggi tingkat keragaman metode penyuluhan dan frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau oleh agen perubah lainnya, semakin tinggi tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi SRI. 6. Semakin tinggi semua variabel pada karakteristik individu petani (tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non formal, pola perilaku komunikasi,
tingkat
pengalaman
berusahatani,
tingkat
stratum
rumahtangga petani, dan tingkat kebutuhan petani terhadap inovasi SRI), semakin tinggi tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi SRI.
15
Variabel Pengaruh (Independent Variables)
Variabel Pengaruh (Independent Variables)
PERSEPSI PETANI TENTANG KARAKTERISTIK INOVASI SRI 1. Tingkat Keuntungan Relatif (X1) 2. Tingkat Kompatibilitas (X2) 3. Tingkat Kerumitan (X3) 4. Tingkat Kemungkinan Dicoba (X4) 5. Tingkat Kemungkinan Diamati (X5)
KARAKTERISTIK SISTEM SOSIAL: 1. Tingkat Ketaatan Petani Berbudidaya Padi Konvensional (X9) 2. Tingkat Integrasi Petani (X10)
Variabel Terpengaruh (Dependent Variables)
Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi SRI (X6)
SALURAN KOMUNIKASI 1. Tingkat Pengenalan Inovasi SRI dari Media Massa (X7) 2. Tingkat Partisipan Petani Mengikuti Penyuluhan Inovasi SRI (X8)
DIFUSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI): Tingkat Keinovativan Petani (Y1) Laju Adopsi (Y2)
Keterangan: : Berhubungan
PROMOSI OLEH AGEN PERUBAHAN: 1. Tingkat Keragaman Metode Penyuluhan (X11) 2. Frekuensi Kunjungan Penyuluh dan/atau Agen Perubah lain (X12)
KARAKTERISTIK INDIVIDU PETANI 1. Tingkat Pendidikan Formal (X13) 2. Tingkat Pendidikan Non-Formal (X14) 3. Pola Perilaku Komunikasi (X15) 4. Tingkat Pengalaman Berusahatani (X16) 5. Tingkat Stratum Rumahtangga Petani (X17) 6. Tingkat Kebutuhan Petani terhadap Inovasi SRI (X18)
Gambar 1. Hubungan antar variabel pengaruh (independent variables) dengan variabel terpengaruh (dependent variables) dalam proses Difusi Inovasi Padi System of Rice Intensification (SRI).
16
2.6 Definisi Operasional 1. Tingkat keinovativan (Y1) adalah waktu (bulan) yang dibutuhkan petani sejak mendengar/mengenal inovasi SRI sampai dengan menerapkannya di usahatani
sawah
mereka.
Pada
saat
diintroduksikannya, inovasi SRI telah
penelitian
berlangsung,
sejak
dibudidayakan 32 bulan. Oleh
karenanya, tingkat keinovativan dibedakan ke dalam tiga kategori: (a) rendah, jika petani mengadopsi inovasi SRI pada periode 0 - 11 bulan, (2) sedang, jika petani mengadopsi inovasi SRI pada periode 12 - 22 bulan dan (3) tinggi, jika petani mengadopsi inovasi SRI pada periode 23 - 32 bulan. 2. Laju adopsi inovasi SRI (Y2) adalah jumlah rumahtangga petani yang mengadopsi inovasi SRI dalam periode waktu (tahun) sejak SRI diintroduksikan sampai dengan diterapkan oleh sebagian besar anggota sistem sosial (kampung). Dari hasil perhitungan diperoleh laju adopsi sebesar 72 persen, 52 persen dan 50 persen berturut-turut di Kampung Cinusa, Kampung Muhara, dan di Kampung Tanjung Sirna. Berdasar hal tersebut, Laju Adopsi dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah (skor 1) untuk responden yang berasal dari Kampung Tanjungsirna, (2) sedang (skor 2) untuk responden yang berasal dari Kampung Muhara, dan (3) tinggi (skor 3) untuk responden yang berasal dari Kampung Cinusa. 3. Tingkat keuntungan relatif inovasi SRI (X1) adalah rata-rata keuntungan (rupiah dan atau produksi) yang diperoleh dari usahatani padi dengan metode SRI. Tingkat keuntungan relatif inovasi SRI ini dihitung dengan dua metode: (a) produktivitas adalah jumlah produksi padi SRI dalam satuan ton per ha, dimana minimal produktivitasnya adalah 0,66 ton dan maksimalnya adalah 15,40 ton, dibedakan ke dalam kategori-kategori: (1) rendah, jika produktivitas yang diperoleh petani antara 0,66 – 5,56 ton; (2) sedang, jika produktivitas yang diperoleh petani antara 5,57 – 10,46 ton; dan (3) tinggi, jika produktivitas diperoleh petani antara 10,47 – 15,40 ton. (b) keuntungan relatif pendapatan adalah hasil jual produksi padi SRI dikurangi biaya produksi padi SRI, dimana minimal pendapata yang diperoleh adalah Rp. 108.000 dan maksimalnya adalah Rp. 9.306.500, dibedakan ke dalam kategori-kategori: (1) rendah, jika keuntungan relatif pendapatan yang 17
diperoleh petani antara Rp. 108.000 - Rp. 3.174.000, (2) sedang, jika keuntungan relatif pendapatan yang diperoleh petani antara Rp. 3.174.100 Rp. 6.240.000 dan (3) tinggi, jika keuntungan relatif pendapatan yang diperoleh petani antara Rp. 6.240.100 – Rp. 9.306.500. 4. Tingkat kesesuaian budidaya inovasi SRI (X2) adalah derajat dimana aktivitas
dan/atau
teknologi
inovasi
SRI
dipandang
sesuai
(tidak
bertentangan/konsisten) dengan aktivitas dan/atau teknologi pada budidaya padi konvensional. Secara keseluruhan ada 12 komponen budidaya inovasi SRI, dimana minimalnya adalah lima komponen dan maksimalnya adalah sepuluh komponen, dibedakan ke dalam kriteria: (1) rendah, jika mengganti antara sembilan sampai dengan sepuluh komponen aktivitas dan/atau teknologi pada budidaya padi konvensional (2) sedang, jika mengganti antara tujuh sampai dengan delapan komponen aktivitas dan/atau teknologi budidaya konvensional, dan (3) tinggi, jika mengganti antara lima sampai dengan enam komponen aktivitas dan/atau teknologi yang sudah diterapkan dalam budidaya padi konvensional. 5. Tingkat kerumitan inovasi SRI (X3) adalah derajat dimana sejumlah komponen (aktivitas dan/atau teknologi) dalam inovasi SRI dianggap relatif lebih sulit diaplikasikan dibanding metode budidaya konvensional. Secara keseluruhan ada 12 komponen budidaya inovasi SRI, dimana minimalnya ada dua komponen yang dirasa sulit oleh petani dan maksimal tujuh komponen yang dirasa sulit oleh petani, dibedakan ke dalam kriteria: (1) rendah, jika antara dua sampai tiga komponen aktivitas dan/atau teknologi dianggap sulit oleh petani, (2) sedang, jika antara empat sampai dengan lima komponen aktivitas dan/atau teknologi dianggap sulit oleh petani, dan (3) tinggi, jika antara enam sampai tujuh komponen aktivitas dan/atau teknologi dianggap sulit oleh petani. 6. Tingkat kemungkinan dicobanya inovasi SRI (X4) adalah derajat dimana sejumlah komponen (aktivitas dan/atau teknologi) dalam inovasi SRI dianggap relatif mudah diaplikasikan oleh petani. Secara keseluruhan ada 12 komponen budidaya inovasi SRI, dimana minimal yang dianggap relatif mudah diaplikasikan oleh petani adalah lima komponen dan maksimal 18
sepuluh komponen, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika antara lima sampai enam komponen aktivitas dan/atau teknologi Inovasi SRI dianggap mudah diaplikasikan, (2) sedang, jika antara tujuh sampai dengan delapan komponen aktivitas dan/atau teknologi inovasi SRI mudah diaplikasikan, dan (3) tinggi, jika antara sembilan sampai sepuluh komponen aktivitas dan/atau teknologi inovasi SRI mudah diaplikasikan. 7. Tingkat kemungkinan diamatinya inovasi SRI (X5) adalah derajat dimana hasil-hasil penerapan komponen aktivitas dan/atau teknologi inovasi SRI dapat diamati dan dirasakan manfaatnya oleh petani. Secara keseluruhan ada 12 komponen budidaya inovasi SRI, dimana minimal ada lima komponen yang dapat diamati dan maksimal sepuluh komponen, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika antara lima sampai dengan enam komponen aktivitas dan/atau teknologi inovasi SRI dapat diamati manfaatnya; (2) sedang, jika tujuh sampai dengan delapan komponen aktivitas dan/atau teknologi inovasi SRI dapat diamati manfaatnya oleh petani; dan (3) tinggi, jika antara sembilan sampai dengan sepuluh komponen aktivitas dan/atau teknologi inovasi SRI dapat diamati manfaatnya oleh petani. 8. Tipe pengambilan keputusan inovasi SRI (X6) adalah keterlibatan petani sebagai unit pengambil keputusan dan/atau unit adopsi dalam pengambilan keputusan inovasi SRI, ada tiga jenis/tipe PK inovasi SRI (1) opsional, jika petani berperan sebagai unit pengambil keputusan sekaligus unit adopsi inovasi SRI, (2) kolektif, jika petani bersama-sama kelompok taninya berperan sebagai unit pengambil keputusan sekaligus unit adopsi inovasi SRI, dan (3) otoritas, jika unit pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak berwenang (instruksi pihak-pihak di luas sistem sosial, seperti Dinas Pertanian Pemda Kabupaten Tasikmalaya), dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika PK inovasi SRI adalah kolektif atau opsional, (2) sedang, jika PK inovasi SRI adalah kolektif dan opsional, dan (3) tinggi, jika PK inovasi SRI adalah otoritas, kolektif dan opsional. 9. Tingkat pengenalan inovasi SRI dari media massa (X7) adalah keterdedahan petani pada informasi inovasi SRI yang diperoleh dari media massa: radio, televisi, surat kabar, dibedakan ke dalam tiga kategori : (1) rendah, jika petani 19
memperoleh informasi inovasi SRI hanya dari satu jenis media massa atau tidak sama sekali, (2) sedang, jika petani memperoleh informasi inovasi SRI dari dua jenis media massa, dan (3) tinggi, jika petani memperoleh informasi inovasi SRI dari tiga dan/atau lebih jenis media massa. 10. Tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI (X8) adalah frekuensi peranserta petani dalam mengikuti kegiatan penyuluhan tentang inovasi SRI sebelum dia menerapkan inovasi SRI. Pada saat penelitian berlangsung, penyuluhan inovasi SRI telah diadakan sebanyak 14 kali pertemuan, dimana minimal ada enam pertemuan yang dihadiri oleh petani dan maksimal adalah 12 pertemuan, dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika petani mengikuti antara enam sampai dengan tujuh kegiatan penyuluhan inovasi SRI, (2) sedang, jika petani mengikuti sekitar delapan sampai dengan sembilan kegiatan penyuluhan inovasi SRI, dan (3) tinggi, jika petani mengikuti antara sepuluh sampai dengan 12 kegiatan penyuluhan inovasi SRI. 11. Tingkat ketaatan petani berbudidaya padi konvensional (X9) adalah derajat dimana petani cenderung lebih menerapkan aktivitas dan/atau teknologi budidaya padi konvensional. Secara keseluruhan budidaya padi konvensional ada 12 komponen budidaya padi konvensional, dimana minimal ada tiga komponen yang petani lebih cenderung menerapkan budidaya padi konvensional dan maksimal ada delapan komponen, dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika petani menerapkan tiga sampai dengan empat aktivitas dan/atau teknologi budidaya padi konvensional, (2) sedang, jika petani menerapkan lima sampai dengan enam aktivitas dan/atau teknologi budidaya padi konvensional; dan (3) tinggi, jika petani menerapkan antara tujuh sampai dengan delapan aktivitas dan/atau teknologi budidaya padi konvensional. 12. Tingkat integrasi petani (X10) adalah total skor dari jumlah kelompok
dan/atau organisasi yang aktivitasnya diikuti oleh petani. Keikutsertaan pada setiap kelompok diberi skor satu. Total keseluruhan aktivitas kelompok dan/atau organisasi yang diikuti oleh petani ada 38 kegiatan, dimana minimal aktivitas yang diikuti oleh petani ada delapan sedangkan maksimalnya ada 24 20
aktivitas yang diikuti. Selanjutnya Tingkat Integrasi Petani dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika petani mengikuti delapan sampai dengan 12 aktivitas kelompok dan/atau organisasi; (2) sedang, jika petani mengikuti 13 sampai dengan 18 aktivitas kelompok dan/atau organisasi; dan (3) tinggi, jika petani mengikuti antara 19 sampai dengan 24 aktivitas kelompok dan/atau organisasi. 13. Tingkat keragaman metode penyuluhan (X11) adalah jumlah dan ragam metode penyuluhan yang digunakan Pemda Tasikmalaya dan pemangku kepentingan dalam mendiseminasikan inovasi SRI kepada petani di lokasi penelitian. Minimal tingkat keragaman metode penyuluhan adalah empat metode dan maksimalnya adalah 13 metode, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika antara empat sampai tujuh metode penyuluhan; (2) sedang, jika antara delapan sampai sepuluh metode penyuluhan; dan (3) tinggi, jika antara 11 sampai 13 metode penyuluhan. 14. Frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain (X12) adalah total kegiatan kunjungan (rumah, usahatani) yang dilakukan penyuluh dan/atau agen perubah lain dalam mendiseminasikan inovasi SRI sampai petani mengadopsi inovasi. Minimal frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain adalah enam kunjungan, sedangkan maksimalnya adalah adalah 12 kunjungan, dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika kunjungan penyuluh/agen perubah lainnya antara enam sampai dengan tujuh kunjungan pada komunitas petani; (2) sedang, jika kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lainnya antara delapan sampai dengan sembilan kunjungan; dan (3) tinggi, jika kunjungan penyuluh/agen perubah lainnya antara sepuluh sampai dengan 12 kunjungan. 15. Tingkat pendidikan formal (X13) adalah jenis pendidikan sekolah tertinggi yang pernah diikuti oleh responden, dibedakan ke dalam kategori: (a) rendah, jika tidak tamat tamat dan SD dan sederajat, (2) sedang, jika SLTP dan sederajat; dan (3) tinggi, jika SLTA dan sederajat. 16. Tingkat pendidikan non-formal (X14) adalah total skor kegiatan pendidikan di luar sekolah (PLS) yang pernah diikuti oleh petani, baik pelatihan dan/atau kursus, seminar, lokakarya, pameran, mimbar sarasehan dan lainnya dilihat 21
menurut tingkatan penyelenggaraannya (tingkat kampung, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan nasional berturut-turut diberi skor 1, skor 2, skor 3, skor 4 dan skor 5), dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika total skor petani mengikuti kegiatan PLS satu kegiatan PLS; (2) sedang, jika total skor petani mengikuti kegiatan PLS dua kegiatan PLS, (2) tinggi, jika total skor petani mengikuti kegiatan PLS lebih atau sama dengan tiga kegiatan PLS. 17. Pola perilaku komunikasi (X15) adalah akumulasi skor dari interaksi komunikasi (pergaulan) petani dengan beragam sumber informasi yang diperoleh melalui komunikasi interpersonal, baik lokalit maupun kosmopolit dan komunikasi bermedia dan media massa. Pada komunikasi interpersonal lokalit diukur dari pola interaksi dominan dengan sumber-sumber informasi yang berdomisili di: satu RT, satu RW, satu kampung, satu dusun, dan satu desa; berturut-turut diberi skor 1, skor 2, skor 3, skor 4 dan skor 5. Pada komunikasi interpersonal kosmopolit diukur dari status sumber informasi yang berinteraksi dengan petani: ketua kelompok tani, kontak tani/tokoh masyarakat di tingkat: desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional; berturut-turut diberi: skor 1, skor 2, skor 3, skor 4, skor 5, dan skor 6. Pada komunikasi bermedia dan/atau media massa yang dibedakan menurut jenis media massanya: radio, surat kabar, buku, telepon, televisi, dan internet; berturut-turut diberi skor 1, skor 2, skor 3, skor 4, skor 5, dan skor 6. Minimal akumulasi skor pola perilaku komunikasi petani adalah satu dan maksimalnya adalah 18. Selanjutnya pola perilaku komunikasi (PPK) dibedakan ke dalam tiga kriteria: (1) rendah, jika akumulasi skor PPK petani antara satu sampai enam; (2) sedang, jika akumulasi skor PPK petani antara tujuh sampai 12; dan (3) tinggi, jika akumulasi skor PPK petani antara 13 sampai 18. 18. Tingkat pengalaman berusahatani (X16) adalah lamanya (tahun) petani responden berbudidaya padi sawah, minimal pengalaman berusahatani petani adalah dua tahun dan maksimalnya adalah 65 tahun, dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika lamanya berusahatani padi sawah antara 2-23 tahun, (2) sedang, jika lamanya berusahatani padi sawah antara 24-45 tahun, dan (3) tinggi, jika lamanya berusahatani padi sawah antara 46-65 tahun. 22
19. Tingkat stratum rumahtangga petani (X17) adalah rata-rata luas lahan
usahatani sawah yang dikuasai (miliki dan/atau garapan) rumahtangga petani responden, dengan merujuk konsep stratifikasi Sajogyo (1990) dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika menguasai lahan kurang dari 0,25 ha, (2) sedang, jika menguasai lahan 0,25 – 0,50 ha, dan (3) tinggi, jika menguasai lahan lebih dari 0,50 ha. 20. Tingkat kebutuhan petani terhadap inovasi SRI (X18) adalah kombinasi
motivasi atau alasan petani untuk mengadopsi Inovasi SRI, yang dibedakan ke dalam tiga kategori, (1) rendah, jika motivasinya untuk meningkatkan produksi padi dan keuntungan tanpa perduli pada kualitas lingkungan (tanpa pupuk organik), (2) sedang, jika bermotivasi meningkatkan produksi dan keuntungan, namun ada sedikit kepedulian pada kualitas lingkungan (menggunakan pupuk anorganik-organik, namun dominan anorganiknya) dan (3) tinggi, jika bermotivasi meningkatkan produksi dan keuntungan serta peduli terhadap kualitas lingkungan (dominan menggunakan pupuk organik).
23
BAB III METODOLOGI 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui survei, sementara pendekatan kualitatif dilakukan dengan metode diskusi kelompok terarah (focused group discussion), wawancara mendalam, dan observasi. Diskusi kelompok terarah dilakukan untuk memperoleh gambaran umum penerapan teknologi budidaya padi konvensional di kalangan komunitas petani yang mengadopsi SRI. Survei yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri atas survei rumahtangga dan survei individu petani yang mengadopsi inovasi SRI. Survei rumahtangga petani dilakukan untuk memperoleh data tentang profil rumahtangga petani, terutama tentang aspek demografi, penguasaan lahan, aset produksi pertanian dan barang berharga, serta partisipasi dalam beragam kelembagaan, baik formal maupun informal. Survei rumahtangga ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur, yakni kuesioner profil rumahtangga dan kuesioner usahatani budidaya padi yang diadopsi dan diadaptasi dari penelitian Riset Unggulan Terpadu (Mugniesyah dkk 2001-2003). Survei individu juga dilakukan dengan kuesioner terstruktur untuk mengumpulkan data primer tentang semua variabel pengaruh dan terpengaruh sebagaimana telah dikemukakan pada Gambar 1, kecuali untuk data variabel tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI dan data variabel frekuensi kunjungan penyuluh dilakukan dengan dilengkapi oleh data sekunder. Adapun wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan untuk mengumpulkan data tentang ada tidaknya permasalahan yang dihadapi petani setelah mengadopsi inovasi di usahatani mereka. Observasi dilakukan dengan mengikuti pertemuan kelompok dan kunjungan lapangan (ke sawah), dimaksudkan untuk lebih mengetahui hal-hal berkenaan dengan beberapa aspek dalam penerapan budidaya SRI. Data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup data primer dan sekunder. Data primer mencakup semua data variabel bebas (independent variable) dan variabel tidak bebas (dependent variable) yang ada dalam Gambar 1, serta data berkenaan berkenaan gambaran umum penerapan teknologi budidaya
SRI yang diperoleh melalui diskusi kelompok terarah dan wawancara mendalam, serta observasi. Adapun data sekunder mencakup semua data berkenaan penyelenggaraan dan perkembangan penyuluhan SRI yang dilaporkan oleh Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya, data kondisi umum lokasi penelitian khususnya monografi Desa Banjarsari, serta data pendukung berkenaan partisipasi petani SRI dalam penyuluhan yang tercantum dalam daftar hadir kelompok Tani Mukti Tani III dan buku tamu Kelompok Tani Mukti Tani III.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Banjarsari, Kecamatan Sukaresik Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan rekomendasi dari Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya. Selanjutnya di desa ini dipilih satu dusun yang menurut keterangan kontak tani informan, rumahtangga petani terbanyak mengadopsi inovasi budidaya padi SRI, yakni Dusun Muhara, yang mencakup tiga kampung: yaitu Cinusa, Muhara dan Tanjung Sirna. Penelitian berlangsung dari awal bulan Juni sampai pertengahan bulan Juli 2009. Kemudian dilanjutkan lagi Bulan November 2009 selama tujuh hari dan pada Bulan Februari 2010 selama dua hari.
3.3 Penentuan Sampel dan Responden Populasi penelitian ini adalah masyarakat petani di tiga kampung yang termasuk Dusun Muhara Desa Banjarsari, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Adapun populasi contohnya (sampling popuation) adalah rumahtangga petani komunitas padi sawah pembudidaya padi SRI yang terdiri atas petani pemilik dan/atau petani penggarap. Populasi contoh ini didapatkan dari daftar petani adopter SRI GAPOKTAN SIMPATIK yang tersebar di Kecamatan Sukaresik yang berjumlah 112 petani, kemudian dipilah berdasarkan Desa dan Dusun dengan pertimbangan jumlah petani adopter SRI yang paling banyak yaitu di Dusun Muhara dengan total petani adopter SRI 68 petani, terdiri atas 40 perempuan dan 28 laki-laki Unit analisis dalam penelitian
25
ini adalah individu dan sistem sosial. Unit analisis individu digunakan untuk menganalisis tingkat keinovativan petani, sementara unit analisis sistem sosial digunakan untuk menganalisis laju adopsi.
3.4 Pengolahan dan Analisis Data Data primer yang telah dikumpulkan diedit terlebih dahulu untuk kemudian dientry dengan menggunakan Program Microsoft Excel 2007, untuk kemudian diolah dan dianalisis ke dalam bentuk tabulasi frekuensi dan tabulasi silang dengan menggunakan program PIVOT. Selain itu, juga digunakan program SPSS 17 for windows untuk menganalisis hubungan antar peubah dalam Gambar 1. Untuk menguji hipotesis kerja atau tepatnya hubungan antar variabel digunakan metode statistik non parametrik Uji Korelasi Rank Spearman (rs). Uji korelasi Rank Spearman dipilih dengan pertimbangan bahwa variabel-variabel bebas dan tidak bebas dalam penelitian ini menggunakan pengukuran dalam skala ordinal.
26
BAB IV KEADAAN UMUM DESA BANJARSARI 4.1 Kondisi Geografis dan Luas Wilayah Desa Secara administratif, Desa Banjarsari termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Wilayah desa ini di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sukaratu, di sebelah Timur dengan Desa Tanjursari, di sebelah Utara dengan dengan Desa Sukapancar, dan di sebelah Barat dengan Desa Cipacing. Desa Banjarsari terletak sekitar tiga kilometer dari Ibu Kota Kecamatan Sukaresik, 27 kilometer dari ibukota Kabupaten Tasikmalaya, dan sekitar 123 kilometer dari Ibu Kota Provinsi Jawa Barat. Dari Bogor desa ini terletak sekitar 250 kilometer, yang dapat dijangkau dengan menggunakan transportasi darat (bus). Perjalanan ke desa tersebut dapat ditempuh melalui trayek bus jurusan Tasik-Jakarta yang berpangkal di Terminal Kampung Rambutan. Selanjutnya, dari Terminal Kampung Rambutan, dengan melalui tol Cipularang perjalanan ke desa ini dapat ditempuh sampai dengan terminal Ciawi. Setelahnya, wilayah Kecamatan Sukaresik dapat dicapai dengan menggunakan angkutan pedesaan jurusan Ciawi-Panumbangan. Selanjutnya, dari ibukota Kecamatan Sukaresik ke Desa Banjarsari dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor dalam waktu sekitar 15 menit, sedangkan jika dengan berjalan kaki sekitar 30 menit. Tidak tersedia kendaraan umum beroda empat yang melayani trayek tersebut Secara administratif, Desa Banjarsari terdiri atas 17 Rukun Tetangga (RT) dan tujuh Rukun Warga (RW). Ketujuh belas RT tersebut tersebar di sebelas kampung yang berada di tiga dusun: Muhara, Sandaan, dan Banjarsari. Kecuali di Dusun Banjarsari, terdapat masing-masing tiga kampung di Dusun Muhara dan Sandaan. Kampung-kampung yang ada di Dusun Muhara adalah Tanjung Sirna, Muhara, dan Cinusa, sementara di Dusun Sandaan meliputi Kampung Sandaan, Babakan Garut dan Kondang. Adapun di Dusun Banjarsari terdiri dari kampungkampung Banjarsari, Sindangsari, Sukasari dan Lemahanyar. Di Dusun Banjarsari ini terdapat tujuh RT dan tiga RW (RW 1, RW 2 dan RW 3). Adapun di dua dusun lainnya masing-masing mencakup dua RW, yakni RW 4 dan RW 5 yang
masing-masing terdiri dari dua RT berada di Dusun Sandaan, serta RW 6 dan RW 7 yang masing-masing terdiri atas tiga RT berada di Dusun Muhara. Bentang wilayah Desa Banjarsari berupa dataran tinggi dengan ketinggian 500 meter di atas permukaan air laut (mdpl) dengan curah hujan rata-rata sekitar 1400 mm3/tahun dan suhu rata-rata harian 26-27 0Celcius. Desa Banjarsari memiliki luas wilayah 145,33 hektar dengan pemanfaatan lahan yang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Luas Wilayah Desa Banjarsari Menurut Penggunaannya Tahun 2008 Penggunaan Lahan
Luas (Ha)
Persen (%)
Sawah tadah hujan
55,52
38,20
Sawah irigasi setengah teknis
44,33
30,50
Pemukiman
30,70
21,12
Tanah Bengkok
6,50
4,47
Bangunan sekolah
5,88
4,05
Kuburan
2,40
1,65
Perkantoran desa
1,00
0,69
145,33
100,00
Total Sumber: Data Potensi Desa Banjarsari 2008
Mayoritas lahan di Desa Banjarsari berupa lahan pertanian, baik berupa sawah tadah hujan, sawah irigasi setengah teknis
maupun tanah bengkok,
seluruhnya seluas 106,35 Ha atau 73,17 persen dari total luas desa. Yang menarik adalah status desa Banjarsari sebagai sebuah desa dataran tinggi itu diperkuat oleh fakta bahwa mayoritas lahan pertanian merupakan lahan sawah tadah hujan, yaitu seluas 55,5 hektar atau lebih dari 50 persen terhadap total luas lahan pertanian di desa ini.
4.2 Keadaan Umum Penduduk Berdasar Potensi Desa Banjarsari Tahun 2008, jumlah penduduk di desa ini tercatat sebanyak 3.585 jiwa, yang terdiri atas 1808 jiwa laki-laki (50,43 persen) dan 1777 jiwa perempuan (49,57 persen). Jumlah tersebut berasal dari 1023 Kepala Keluarga (KK), dengan rata-rata jumlah anggota keluarga sebanyak
28
4 orang. Adapun komposisi penduduk menurut golongan umur dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah Penduduk Desa Banjarsari Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2008 Golongan Umur (tahun) Laki-Laki Perempuan 0-4 5,38 6,08 5-9 4,66 4,85 10-14 4,05 3,85 15-19 3,04 3,21 20-24 3,62 3,40 25-29 3,62 3,51 30-34 3,99 3,99 35-39 3,62 3,43 40-44 3,68 3,24 45-49 3,74 3,40 50-54 3,18 3,12 55-59 3,46 3,12 60-64 2,23 2,23 65-69 1,01 0,89 70-74 0,98 1,03 75+ 0,17 0,22 Total (persen) 50,43 49,57 Total (jiwa) 1808 1777 Sumber: Data Potensi Desa Banjarsari 2008
Total 11,46 9,51 7,90 6,25 7,02 7,13 7,98 7,05 6,92 7,14 6,30 6,58 4,46 1,9 2,01 0,39 100,00 3585
Berdasar data pada Tabel 3, diketahui bahwa mayoritas penduduk Desa Banjarsari tergolong usia kerja (15-60 tahun) yakni sekitar 79,78 persen. Di desa ini, penduduk usia sekolah -sekolah dasar dan menengah- yakni mereka pada kelompok umur 5 sampai dengan 19 tahun sekitar 23,66 persen, sementara penduduk lanjut usia (umur sama dengan dan lebih dari 60 tahun) sekitar 8,76 persen. Yang menarik adalah bahwa komposisi penduduk pada kategori usia sekolah dan lanjut usia tidak jauh berbeda jika dilihat menurut jenis kelaminnya, berturut-turut sekitar 11,8 persen dan 4,4 persen. Adapun pada kelompok usia kerja menunjukkan sedikit pebedaan, dimana penduduk perempuan usia kerja sekitar 39,12 persen atau 1,5 persen lebih rendah dibanding penduduk laki-laki. Tabel 4 menyajikan data jumlah penduduk angkatan kerja di Desa Banjarsari. Sebagaimana terlihat pada Tabel 4, terdapat sebanyak 1.975 jiwa angkatan kerja atau sekitar 55,09 persen dari total penduduk desa
29
Tabel 4. Jumlah Penduduk Di Desa Banjarsari Menurut Angkatan Kerja Tahun 2008 Angkatan Kerja
Jumlah
Persen
Usia 18-56 tahun yang bekerja penuh
965
48,86
Usia 18-56 tahun yang menjadi ibu rumahtangga
851
43,09
Usia 18-56 tahun yang bekerja tidak tentu
106
5,37
Usia 18-56 tahun yang masih sekolah dan tidak bekerja
45
2,28
Usia 18-56 tahun yang cacat dan tidak bekerja
7
0,35
Usia 18-56 tahun yang cacat dan bekerja
1
0,05
1975
100
Total angkatan kerja (18-56 tahun) Sumber: Data Potensi Desa Banjarsari 2008
Data tersebut di atas meskipun resmi dilaporkan dalam Monografi Desa Banjarsari, tampaknya tidak dapat dipercaya sepenuhnya. Hal ini terlihat dari tidak samanya data yang dilaporkan dalam hal kelompok umur antara 18 – 56 tahun yang dilaporan pada Tabel 3 di atas dengan yang kelompok angkatan kerja sebagaimana konsep BPS (2008). Hal ini tampaknya karena ketidaktahuan atas konsep-konsep baku berkenaan angkatan kerja menurut Badan Pusat Statistik, menjadikan kriteria yang tercantum pada data Potensi Desa itu tidak merujuk konsep BPS. Sebagaimana diketahui, penduduk yang tergolong angkatan kerja adalah penduduk yang berumur 15 tahun ke atas yang selama seminggu yang lalu memiliki pekerjaan, baik yang bekerja maupun sementara tidak bekerja karena suatu sebab seperti cuti atau menunggu panen. Sedangkan penduduk kelompok bukan angkatan kerja adalah mereka yang seminggu yang lalu hanya bersekolah, mengrus rumahtangga, dan sebagainya; dan tidak melakukan kegiatan yang tergolong bekerja (BPS, 2008). Dengan merujuk pada konsep angkatan kerja BPS tersebut, maka data penduduk “usia 18-56 tahun yang menjadi ibu rumahtangga” sebagaimana pada Tabel 4 sesungguhnya adalah mereka yang bukan angkatan kerja. Jika demikian halnya, data tersebut tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, karena meskipun perempuan berstatus ibu rumahtangga namun dari hasil observasi dan wawancara dijumpai perempuan yang bekerja di sektor pertanian baik sebagai pengelola dan pekerja keluarga maupun buruh tani. Hal ini didukung data berkenaan data penduduk menurut lapangan pekerjaan sebagaimana disajikan pada Tabel 5.
30
Tabel 5. Penduduk Desa Banjarsari Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2008 (dalam jumlah dan persen) Jenis Pekerjaan
Jumlah
Persen
Petani
620
53,45
Buruh tani
319
27,50
Buruh non-pertanian
118
10,17
Pedagang/ Wiraswasta
51
4,40
Pegawai Negeri Sipil
25
2,15
Pembantu Rumah Tangga
13
1,12
Pensiunan PNS/TNI/POLRI
5
0,43
Industri Rumah Tangga
3
0,26
Montir
3
0,26
Dukun Kampung Terlatih
2
0,17
Seniman/Artis
1
0,09
1160
100,00
Total Sumber: Data Potensi Desa Banjarsari 2008
Pada Tabel 5 terlihat bahwa mayoritas penduduk Desa Banjarsari bekerja di sektor pertanian, yakni sekitar 81 persen. kemudian diikuti oleh mereka yang bekerja di sektor jasa sebanyak 162 jiwa atau sekitar 14 persen. Selainnya adalah mereka yang bekerja sebagai pedagang/wiraswasta, dengan persentase hampir seperdelapanbelas atau sepertiga dari mereka yang bekerja berturut-turut di sektor pertanian dan perdagangan. Kurang berkembangnya sektor perdagangan tampaknya berhubungan dengan rendahnya daya beli masyarakat karena sebagian besar rumahtangga petani tergolong gurem atau berlahan sempit, bahkan tdak berlahan alias buruh tani, sebagaimana terlihat pada Tabel 6 di bawah ini. Sebelumnya telah dikemukakan bahwa di Desa Banjarsari terdapat 1.023 kepala keluarga. Dengan demikian, data yang disajikan pada Tabel 6 bukanlah data kepemilikan lahan menurut individu penduduk, tetapi berbasis rumahtangga. Data pada Tabel 6 tidak menunjukkan adanya rumahtangga petani yang memiliki lahan <0,10 ha, padahal dari hasil survei rumahtangga dijumpai adanya 27,94 persen rumahtangga pengadopsi SRI yang menguasai lahan seluas <0,10 ha. Di tingkat nasional, Rusastra, Lakollo dan Friyatno (2007) melaporkan bahwa penguasaan lahan oleh rumahtangga petani pada luasan tersebut meningkat sekitar hampir 10 persen pada periode 1993-2003. 31
Tabel 6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kepemilikan Lahan Tahun 2008 Kriteria luas lahan
Jumlah (jiwa)
Persen (%)
Tidak memiliki (tuna kisma)
168
16,42
0,1-0,2
268
26,20
0,21-0,3
201
19,65
0,31-0,4
136
13,29
0,41-0,5
103
10,07
0,51-0,6
95
9,29
0,61-0,7
27
2,64
0,71-0,8
18
1,76
0,81-0,9
4
0,39
0,91-1,0
2
0,20
>1,0
1
0,10
Total Pemilik Lahan 1023 Sumber: Data Potensi Desa Banjarsari 2008
100
Dengan tidak memperhitungkan data rumahtangga pemilik lahan, terdapat 855 rumahtangga pemilik lahan. Terhadap total rumahtangga pemilik lahan, diketahui bahwa sekitar 82,8 persen rumahtangga tergolong gurem (memiliki lahan <0,5 ha). Kondisi ini lebih parah dibanding kondisi data tingkat nasional sebagaimana dilaporkan Rusastra dkk. (2007); dimana rumahtangga yang memiliki luas lahan <0,5 ha jumlahnya sekitar 56,2 persen. Namun demikian, kondisi di Desa Banjarsari lebih mendekati (sedikit lebih tinggi) dibanding kondisi di Pulau Jawa yang dilaporkan jumlahnya sebesar 74,68 persen. Kondisi di Desa Banjarsari tersebut di atas memperkuat temuan bahwa ketimpangan dalam pemilikan lahan di desa-desa di Pulau Jawa cenderung menguat. Di bawah ini dikemukakan data penduduk desa menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan (Tabel 7).
32
Tabel 7. Penduduk Desa Banjarsari Menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan Tahun 2008. Jenis Kelamin Laki-Laki
Perempuan
Total
Tamat SD/sederajat
26,85
35,55
62,41
Tamat SLTP/sederajat
9,15
11,35
20,50
Tamat SLTA/sederajat
7,72
6,43
14,15
Tamat D-1-D2/sederajat
0,61
0,45
1,06
Tamat S-1 & S2 sederajat
0,83
0,98
1,82
0
0,08
0,08
Total (persen)
45,16
54,84
100
Total (jiwa) Sumber: Data Potensi Desa Banjarsari 2008
597
725
1321
Tingkat Pendidikan
Tamat SLB A
4.3 Kelembagaan Kelembagaan yang terdapat di Desa Banjarsari meliputi kelembagaan formal dan informal, yang beberapa diantaranya dibentuk atas prakarsa penduduk desa. Lembaga formal yang terdapat di desa ini antara lain kelembagaan Pemerintah Desa, POSYANDU, Keluarga Berencana (KB), PKK, Karang Taruna dan BPD. Meskipun sudah mengedepankan partisipasi dari masyarakat, namun aparat kelembagaan pemerintahan desa tersebut dominan melibatkan laki-laki. Sebaliknya kelembagaan yang cenderung berhubungan dengan peranan reproduktif didominasi oleh perempuan (KB dan POSYANDU). Kelembagaan di tingkat desa lainnya berhubungan dengan jaring pengaman sosial, yakni program beras miskin atau Raskin, pelayanan kartu sehat, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Program raskin diintrodusikan sejak tahun 2002, dimana setiap rumahtangga miskin memperoleh sekitar 15 kilogram raskin. Sebagaimana diketahui, program ini diintroduksikan untuk didistribusikan kepada rumahtangga miskin yang kondisi ekonomi rumahtangga terkena dampak krisis ekonomi. Namun demikian, pendistribusian beras miskin di desa ini dilakukan dengan mempertimbangkan asas pemerataan, bahkan rumahtangga contoh dalam penelitian yang tergolong miskin juga memperoleh manfaat dari beras miskin. Terdapat sejumlah rumahtanga di Desa Banjarsari yang juga mendapat program jaring pengaman sosial BLT yang diintroduksikan mulai pada tahun 2004. Adapun pelayanan kartu sehat diintroduksikan kepada warga Desa Banjarsari pada tahun 2007 melalui Program Jaminan Kesehatan Masyarakat 33
(Jamkesmas). Pemberian semua program tersebut dilakukan berdasarkan kondisi rumahtangga penduduk desa yang telah didata oleh ketua RT setempat. Kelembagaan pertanian yang ada di Desa Banjarsari adalah Kelompok Tani Mukti Tani. Kelompok tani ini berdiri pada 2006 yang diprakarsai oleh tokoh masyarakat, namun pada tahun tersebut statusnya masih belum resmi didaftarkan di Dinas Pertanian. Barulah kemudian pada tahun 2007, Program Pendanaan Kompetisi Indeks Pembangunan Manusia (PPKIPM) mendaftarkan Kelompok Tani Mukti Tani di Dinas Pertanian. Kegiatan kelompok ini diantaranya pertemuan rutin yang diadakan satu minggu sekali. Dalam pertemuan rutin ini biasanya dilakukan penyuluhan, diantaranya mengenai tata cara bertani, diantaranya tentang jadwal tandur dan jadwal mengolah lahan. Kegiatan lainnya yang pernah diikuti anggota kelompok tani adalah sekolah lapang yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanian pada tahun 2007, khususnya pelatihan Sekolah Lapang Pertanian Hama Terpadu (SLPHT). Kegiatan sekolah lapang ini dilaksanakan selama satu minggu yang di dalamnya memberikan penyuluhan sistem budidaya padi dengan metode SRI. Kelembagaan informal yang terdapat di Desa Banjarsari adalah kelembagaan keagamaan (pengajian), keuangan (arisan), dan kredit barang (PHR Qurrota ‘Ayun). Jadwal pengajian di Desa Banjarsari dilaksanakan di tiap RT pada setiap minggu, dengan tokoh agama sebagai penggiatnya. Dalam hal arisan, ada dua jenis kelembagaan arisan yang ada di Desa Banjarsari, yaitu arisan uang dan arisan barang, yang umumnya diikuti kaum perempuan. Arisan uang dilakukan setiap dua minggu sekali. Penduduk yang berpartisipasi dalam arisan ini membayar arisan pada setiap minggunya sesuai dengan nilai yang telah ditentukan sebelumnya. Adapun arisan barang adalah arisan dalam bentuk kebutuhan pokok untuk membuat makanan, seperti beras, gula, terigu, minyak goreng dan yang lainnya. Individu yang namanya terpilih melalui penarikan nomor undian berhak menentukan jenis kebutuhan pokok yang diinginkan. Kemudian melalui arisan ini, semua anggota arisan wajib melakukan iuran setiap minggunya sampai uang yang dibutuhkan cukup untuk membeli bahan makanan yang telah ditentukan.
34
Kelembagaan PHR Qurrota ‘Ayun merupakan sistem kelembagaan yang diprakarsai oleh para istri dan melibatkan hampir semua kaum perempuan di Desa Banjarsari. Sesuai namanya, PHR Qurrota ‘Ayun adalah lembaga kredit barang yang dibentuk dengan tujuan memudahkan para ibu rumahtangga dalam membeli kebutuhan lebaran. Pembayaran kredit barang dilakukan selama 40 minggu sebelum lebaran dan barang tersebut akan diterima ketika menjelang lebaran. Barang yang dikreditkan dapat berupa sembako maupun peralatan rumahtangga. Selain itu, terdapat kegiatan gotong royong yang dilaksanakan penduduk desa bersifat temporer, seperti pembangunan masjid dan perbaikan jalan.
4.4 Sarana dan Prasarana Desa Banjarsari mempunyai sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan masyarakat, diantaranya Balai Desa/Kantor Desa yang memiliki fasilitas berupa dua unit mesin tik, delapan unit meja, tiga buah almari arsip, tiga unit kendaraan dinas, dan 38 unit kursi yang dapat disewakan atau dipinjamkan untuk kebutuhan desa dan warga. Selain itu, di desa ini terdapat enam mesjid yang tersebar, masing-masing satu unit di Dusun Banjarsari, Dusun Sukasari, Dusun Sandaan, dan Dusun Cinusa satu unit. Selainnya, yakni dua unit berada di Dusun Tanjung Sirna. Prasarana peribadatan lainnya adalah sebanyak 27 unit mushola yang tersebar di hampir setiap RT. Dalam hal prasarana pendidikan, di desa ini terdapat lima unit play group, dua unit Sekolah Dasar (SD), satu unit Madrasah Ibtidaiyah setara Sekolah Dasar, dua unit Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan tujuh unit Madrasah Diniyah. Kondisi ketujuh bangunan madrasah tersebut masih dapat dikatakan baik, namun masih memerlukan perbaikan pada beberapa tempat. Sarana dan prasarana kesehatan yang terdapat di Desa Banjarsari antara lain lima unit Posyandu yang didukung oleh 25 orang kader posyandu dan satu orang pembina. Di samping itu terdapat satu unit Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) yang didukung oleh masing-masing seorang bidan, dukun bersalin terlatih dan lima orang kader Bina Keluarga Aktif. Adapun prasarana olah raga yang ada di desa ini diantaranya masing-masing sebuah lapangan sepak bola dan lapangan 35
bulu tangkis, serta masing-masing dua buah meja pimpong dan lapangan voli. Dalam hal sarana komunikasi, di desa ini terdapat dua unit warung telepon. Namun demikian, dari observasi dijumpai sejumlah warga desa yang memiliki telepon genggam sebagai alat komunikasi. Selain itu, hampir semua warga memiliki televisi sebagai media hiburan.. Apabila dilihat dari keadaan sanitasi masyarakat terdapat 623 KK yang telah memiliki jamban di rumahnya. Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 61 persen dari total KK yang ada di desa ini telah memiliki kesadaran dalam menerapkan hidup bersih dan sehat. Adapun prasarana sumber air bersih yang dimiliki warga berupa 761 unit sumur gali yang dimanfaatkan 978 KK, dua unit mata air yang dimanfaatkan 45 KK, dan dua buah sungai, yaitu sungai Sungai Citanduy dan Sungai Cikidang yang masih dimanfaatkan oleh sekitar 30 KK. Penduduk yang masih memanfaatkan air sungai pada umumnya bertempat tinggal di pinggiran sungai, yang cenderung lebih memilih memanfaatkan air sungai tersebut daripada harus membuat sumur gali yang menurut mereka membutuhkan banyak biaya. Prasarana penting lainnya adalah prasarana irigasi yang memiliki delapan unit pintu sadap dan empat unit pintu pembagi air. Sayangnya, separuh dari unit pintu sadap serta tiga dari empat unit pintu pembagi air dalam keadaan rusak. Panjang saluran primer irigasi sekitar 900 meter dan panjang saluran sekundernya sekitar 2600 meter. Beberapa bagian dari saluran ini ada yang telah rusak, diantaranya 150 meter pada saluran primer dan sepanjang 1043 meter pada saluran sekundernya. Dalam hal prasarana listrik, terdapat dua unit fasilitas instalasi listrik dari PLN yang sudah dimanfaatkan sebagai sumber penerangan oleh hampir seluruh rumahtangga di Desa Banjarsari.
36
BAB V PROFIL RUMAHTANGGA PETANI ADOPTER BUDIDAYA SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI DUSUN MUHARA Bab ini mengemukakan profil rumahtangga petani adopter SRI, khususnya berkenaan karakteristik anggota rumahtangga dan rumahtangga. Dalam hal karakteristik anggota rumahtangga (selanjutnya ditulis ART) meliputi jenis kelamin, umur, jenis pekerjaan, status perkawinan dan tingkat pendidikan formal. Adapun karakteristik rumahtangga petani adopter SRI, meliputi: kepemilikan ternak dan benda-benda berharga, serta luas lahan usahatani. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, total rumahtangga petani adopter SRI yang disurvei dalam penelitian ini sebanyak 68 rumahtangga.
5.1 Karakteristik ART Petani Adoter SRI 5.1.1 Rata-rata Jumlah ART dan Jenis Kelamin Dari hasil survei rumahtangga diketahui bahwa jumlah ART dari total rumahtangga petani adopter sebanyak 336 orang. Dengan perkataan lain, rata-rata terdapat sekitar lima ART per rumahtangga petani. Kondisi ini berbeda dibanding rata-rata jumlah ART di Desa Banjarsari sebagaimana dikemukakan pada bab sebelumnya, yakni empat orang per rumahtangga. Hal ini diduga karena mayoritas rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian masih menganut sistem nilai “banyak anak banyak rezeki”. Selain itu diduga juga karena melemahnya pelaksanaan Program Keluarga Berencana yang dicanangkan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya. Menurut jenis kelaminnya, ART Petani Adopter SRI terdiri atas 165 orang perempuan (49,11 persen) dan 171 orang laki-laki (50,89 persen). Kondisi lebih tingginya persentase ART laki-laki dibanding ART perempuan ini tidak jauh berbeda dengan kondisi umum penduduk Desa Banjarsari, dimana persentase penduduk laki-lakinya sedikit lebih tinggi dibanding penduduk perempuan.
5.1.2 ART Menurut Kelompok Umur Pada Tabel 8 di bawah ini disajikan data komposisi ART petani adopter SRI menurut kelompok umur.
Tabel 8. ART Petani adopter SRI Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Dusun Muhara Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen) Laki-laki Perempuan Total Kelompok Umur Jumlah Jumlah Jumlah (tahun) % % % (orang) (orang) (orang) <15
42
24,56
51
30,91
93
27,68
15-19
15
8,77
11
6,67
26
7,74
20-24
18
10,53
13
7,88
31
9,23
25-29
24
14,04
10
6,06
34
10,12
30-34
7
4,09
13
7,88
20
5,95
35-39
8
4,68
13
7,88
21
6,25
40-44
8
4,68
6
3,64
14
4,17
45-49
8
4,68
13
7,88
21
6,25
50-54
8
4,68
10
6,06
18
5,36
55-59
14
8,19
11
6,67
25
7,44
60-64
7
4,09
3
1,82
10
2,98
65+
12
7,02
11
6,67
23
6,85
Total
171
100
165
100
336
100
Meskipun data penduduk di Desa Banjarsari (Tabel 3) menunjukkan persentase yang relatif tidak berbeda antara penduduk laki-laki dan perempuan pada kelompok umur bukan produktif (di bawah 15 tahun), yakni sekitar enam persen, namun pada rumahtangga petani adopter SRI di Dusun Muhara keadaannya tidak demikian. Tabel 8 menunjukkan bahwa pada kelompok usia bukan produktif, persentase ART perempuan lebih tinggi sekitar enam persen dibanding ART laki-laki. Persentase tertinggi ART petani adopter SRI adalah mereka yang tergolong usia produktif (15-64 tahun)1, yakni sekitar 65,48 persen. Lebih lanjut, merujuk pada pendapat Rusli (1995), yakni rumus analisis ketergantungan individu (dependency ratio) yang diperoleh dengan cara membagi jumlah penduduk usia muda dan lansia dibagi dengan jumlah penduduk usia
1
Menurut data Statistik Indonesia (BPS, 1973) dalam Rusdi (1995), usia muda yang belum tergolong produktif adalah 0-14 tahun. Usia produktif 15-64 tahun, dan usia kurang produktif yakni 65 tahun ke atas.
38
produktif. Berdasarkan analisis ketergantungan individu tersebut diperoleh perhitungan yang secara keseluruhan menyatakan bahwa petani budidaya SRI Dusun Muhara mempunyai tingkat ketergantungan yang rendah, yakni sekitar 0,53 atau kurang dari satu yang berarti bahwa jumlah penduduk usia kerja lebih banyak daripada jumlah anggota rumahtangga yang tidak berusia kerja (muda dan lansia).
5.1.3
ART Menurut Jenis Pekerjaan Secara umum pekerjaan ART petani adopter SRI di Dusun Muhara
menurut jenis pekerjaannya dapat dikategorikan ke dalam sembilan jenis pekerjaan, yaitu: petani pemilik, penggarap, buruh tani, buruh non-tani, pedagang, industri rumah tangga, Pegawai Negeri Sipil, ABRI/Kepolisian, dan pensiunan. Pada Tabel 9 disajikan data mengenai kondisi rumahtangga menurut pekerjaan, yakni diketahui bahwa sekitar separuh ART petani menyatakan tidak bekerja. Tabel 9. ART Petani Adopter SRI Menurut Pekerjaan dan Jenis Kelamin Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen) Laki-laki Perempuan Total Jenis Pekerjaan Utama Jumlah Jumlah Jumlah % % % (orang) (orang) (orang) Tidak bekerja
64
37,43
104
63,03
168
50,00
Petani pemilik
20
11,70
27
16,36
47
13,99
Petani penggarap
14
8,19
13
7,88
27
8,04
Buruh tani
1
0,58
4
2,42
5
1,49
Buruh non-tani
42
24,56
3
1,82
45
13,39
Pedagang
13
7,60
3
1,82
16
4,76
Industri rumahtangga
1
0,58
0
0,00
1
0,30
PNS
3
1,75
1
0,61
4
1,19
Pensiunan
2
1,17
0
0,00
2
0,60
Lainnya
11
6,43
10
6,06
21
6,25
171
100
10
100
336
100
Total
Jika dilihat dari jenis kelaminnya, diketahui bahwa persentase ART perempuan yang tidak bekerja lebih tinggi sekitar 23,80 persen dibanding ART laki-laki. Hal ini diduga karena selain relatif tingginya persentase ART perempuan yang bukan tergolong usia produktif (usia balita dan usia sekolah), sebagaimana 39
dapat dilihat pada Tabel 9, juga karena pada umumnya ART perempuan dewasa pada rumahtangga petani mengaku sebagai ibu rumahtangga. Jika dilihat dari status sebagai petani pemilik, persentase ART perempuan memiliki jumlah yang lebih tinggi dibanding ART laki-laki, dengan perbedaan persentase sekitar 14,90 persen. Namun pada pekerjaan utama sebagai petani penggarap, persentase keduanya tidak jauh berbeda (sekitar 0,31 persen). Berikutnya adalah pekerjaan utama buruh non-tani, paling banyak digeluti oleh ART laki-laki, yakni sebesar 86,66 persen lebih tinggi dibanding ART perempuan. Pada umumnya buruh bangunan ini bekerja di kota-kota besar, seperti di Bandung dan Jakarta.
5.1.4 Status Perkawinan Sebagaimana terlihat pada Tabel 10, secara umum proporsi ART Petani Adopter SRI yang berstatus kawin dan belum kawin tidak berbeda jauh, dengan persentase berturut-turut 50 persen dan 46,13 persen. Tabel 10. ART Petani Adopter SRI Menurut Kelompok Umur dan Status Perkawinan Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen) Total Kawin Belum Kawin Janda/duda mati Kelompok Umur Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah % % % % (tahun) (orang) (orang) (orang) (orang) 93 27,68 <15 0 0 93 60,00 0 0 15-19
0
0,60
26
16,77
0
0
26
7,74 9,23
20-24
10
5,95
20
12,90
1
7,69
31
25-29
19
11,31
15
9,68
0
0
34
10,12
30-34
18
10,71
1
0,65
1
7,69
20
5,95 6,25
35-39
18
10,71
1
0,65
2
15,38
21
40-44
14
8,33
0
0
0
0
14
4,17
45-49
20
11,90
0
0
1
7,69
21
6,25 5,36 7,44
50-54
18
10,71
0
0
0
0
18
55-59
24
14,29
0
0
1
7,69
25
60-64
9
5,36
0
0
1
7,69
10
2,98 6,85 100
65+
17
10,12
0
0
6
46,15
23
Total
168
100
155
100
13
100
336
Hal menarik yang dapat diperhatikan dari informasi pada Tabel 10 adalah bahwa tidak ditemukan ART yang telah kawin pada umur di bawah 20 tahun. Ini artinya, meskipun sebelumnya banyak temuan yang menggambarkan bahwa ART 40
petani di pedesaan cenderung melakukan pernikahan di usia muda, maka untuk saat sekarang keadaan tersebut telah mengalami perubahan
5.1.5 Tingkat Pendidikan Formal Tingkat pendidikan yang akan dijabarkan adalah pendidikan formal. Pendidikan formal adalah kegiatan pendidikan yang diikuti ART petani adopter SRI di Dusun Muhara dalam lingkup pendidikan sekolah formal, yakni mulai dari jenjang Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Pendidikan formal ART Petani Adopter SRI tergolong rendah, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 11. Secara keseluruhan, persentase tertinggi ART petani budidaya padi SRI Dusun Muhara ada pada tingkat pendidikan lulusan SD (33,93 persen) dan yang terendah adalah tingkat akademi (1,49 persen). Hal ini diduga karena adanya wajib program belajar sembilan tahun. Dimana tipikal masyarakat pedesaan di Indonesia yang pada umumnya merasa sudah cukup dengan hanya mengenyam pendidikan hingga tamat Sekolah Dasar (SD).
Tabel 11. ART Petani Adopter SRI Menurut Tingkat Pendidikan Formal dan Jenis Kelamin Tahun 2009 (dalam jumlah dan persen) Laki-laki Perempuan Total Tingkat Pendidikan Jumlah Jumlah Jumlah Formal % % % (orang) (orang) (orang) Tidak sekolah
6
3,51
12
Belum sekolah SD tidak tamat Sedang SD
7,27
18
12
7,02
2
1,17
14
8,19
5,36
13
7,88
25
7,44
7
4,24
9
2,68
17
10,30
31
9,23
Tamat SD
58
33,92
56
33,94
114
33,93
SMP/sederajat
29
16,96
35
21,21
64
19,05
SMA/sederajat
42
24,56
19
11,52
61
18,15
Akademi
1
0,58
4
2,42
5
1,49
Perguruan Tinggi
7
4,09
2
1,21
9
2,68
171
100
165
100
336
100
Total
Membandingkan tingkat pendidikan formal dan jenis kelamin, diketahui bahwa pendidikan perempuan cenderung lebih rendah. ART yang tidak mengenyam pendidikan formal didominasi oleh kaum perempuan dengan selisih 33,34 persen dari jumlah ART laki-laki yang tidak bersekolah. Begitu juga dengan jumlah ART perempuan yang tidak tamat SD, jumlah ART perempuannya lebih 41
banyak dibanding laki-laki yakni dengan perbedaan persentase sebesar 55,54 persen. ART yang berpendidikan SMA/sederajat masih didominasi oleh ART laki-laki dengan selisih persentase sebesar 37,70 persen. Rendahnya tingkat pendidikan ART perempuan dibanding laki-laki diduga dipengaruhi oleh nilainilai yang menganggap bahwa anak laki-laki lebih didahulukan untuk mendapatkan pendidikan dibanding anak perempuan. Pada tingkat pendidikan tertentu perempuan memiliki akses yang lebih besar dibanding laki-laki. ART perempuan memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi dibanding laki-laki, yakni pada tingkat pendidikan Sekolah Menengah Pertama dan Akademi, dengan selisih persentase berturut-turut 9,38 persen dan 60 persen.
5.2 Karakteristik Rumatangga Petani Adopter SRI 5.2.1 Kepemilikan Benda Berharga Kepemilikan benda berharga merupakan karakteristik rumahtangga petani, dimana melalui kepemilikan benda-benda tersebut akan diperoleh gambaran mengenai kondisi dari rumahtangga tersebut. Adapun kepemilikan benda berharga terdiri dari kepemilikan atas ternak dan kepemilikan rumahtangga atas teknologi rumahtangga. Terdapat lima jenis ternak yang dimiliki Petani Adopter SRI Dusun Muhara, yakni: domba, ayam, bebek, marmut dan kelinci. Tidak satu rumahtanggapun yang memiliki ternak besar, seperti sapi dan kerbau. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 12, rata-rata kepemilikan ternak bebek menunjukkan jumlah tertinggi, sementara pada ternak domba menunjukkan jumlah paling rendah
Tabel 12. Rata-rata Kepemilikan Ternak pada Rumahtangga Petani Adopter SRI di Dusun Muhara Tahun 2009 (ekor) Jenis Ternak
Jumlah (ekor)
Rata-rata kepemilikan per jumlah anggota rumahtangga
Bebek
844
2.51
Ayam
264
0.79
Marmut
154
0.46
Kelinci
57
0.17
Domba
3
0.01
42
Kondisi
tersebut
tampaknya
belum
mendukung
terhadap
upaya
rumahtangga petani untuk menyediakan pupuk organik secara mandiri. Padahal guna menerapkan SRI organik dibutuhkan 20 ton/ha pupuk organik. Selanjutnya pada Tabel 13 disajikan data berkenaan benda berharga yang dimiliki rumahtangga petani. Diketahui bahwa persentase tertinggi ada pada kepemilikan televisi dengan rata-rata sebesar 0,15 per jumlah anggota rumahtangga. Kepemilikan televisi ini paling banyak dibandingkan barang teknologi lainnya, karena masyarakat petani telah memposisikan televisi sebagai kebutuhan primer dalam hidupnya. Informasi dan hiburan yang ditayangkan di televisi sangat bermanfaat bagi kehidupan mereka. Kemudian disusul oleh HP, motor, DVD, radio, sepeda, kompor gas, kompor minyak tanah, kulkas, mobil, kamera dan yang terakhir adalah komputer. Kepemilikan kompor gas di Dusun Muhara pada umumnya merupakan subsidi dari pemerintah pada tahun 2004. Tabel 13. Rata-rata Kepemilikan Benda Teknologi Rumahtangga Petani Adopter SRI Dusun Muhara Tahun 2009. Kepemilikan Teknologi Jumlah Rata-rata kepemilikan per jumlah anggota Rumahtangga (unit) rumahtangga Televisi
52
0.15
HP
39
0.12
Motor
35
0.10
DVD
34
0.10
Radio
25
0.07
Sepeda
18
0.05
Kompor Gas
16
0.05
Kompor Minyak Tanah
12
0.04
Kulkas
12
0.04
Mobil
4
0.01
Kamera
2
0.01
Komputer
1
0.00
5.2.2 Luas Lahan Usahatani Luas lahan (sawah, ladang, kolam) yang dikuasai rumahtangga petani adopter SRI berkisar antara 0,02 – 1,00 ha, dengan rata-rata penguasaan seluas 0,26 ha. Rata-rata lahan sawah yang digarap petani pemilik adalah seluas 0,20 ha, sementara oleh petani penggarap adalah seluas 0,20 ha. Dari hasil penelitian, 43
diperoleh sebagian besar petani responden tergolong lapisan sedang menurut kriteria luas lahan usahatani Sayogyo (1990), yaitu pada kisaran 0,25-0,50 ha. Petani yang memiliki luas lahan > 0,5 ha sebanyak 7,50 persen sedangkan petani yang menggarap lahan > 0,5 ha tidak diketemukan. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 14 berikut. Tabel 14. Rumahtangga Petani Adopter SRI Menurut Penguasaan Lahan Usahatani Sawah (dalam jumlah dan persen) Penguasaan Lahan Kategori Luas Lahan Petani Pemilik Petani Penggarap Total (ha) Jumlah Jumlah Jumlah % % % (orang) (orang) (orang) < 0,25
25
62,50
25
89,29
50
73,53
0,25-0,5
12
30,00
3
> 0,5 Total
3
7,50
0
10,71
15
22,06
0
12
17,65
40
100
28
100
68
100
Seperti yang diketahui dalam Tabel 14, sebagian besar rumahtangga petani mempunyai rata-rata luas lahan garapan kurang dari 0,5 ha yaitu sebanyak 50 orang atau 73,53 persen dengan jumlah petani pemilik dan penggarap yang sama. Persentase ini menunjukkan bahwa kepemilikan lahan petani adopter SRI masih rendah.
44
BAB VI PROSES DIFUSI, KATEGORI ADOPTER DAN LAJU ADOPSI INOVASI SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI DUSUN MUHARA Adanya komponen waktu dalam proses difusi, dapat mengukur tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi. Sehubungan dengan itu, bab ini akan menjelaskan proses difusi dengan menjelaskan unsur-unsur difusi, yaitu: inovasi, saluran komunikasi, waktu dan sistem sosial, kemudian kategori adopter dan laju adopsi inovasi SRI yang terjadi di Dusun Muhara.
6.1 Proses Difusi Inovasi Padi SRI di Dusun Muhara Mengacu pada definisi difusi inovasi menurut Rogers dan Shoemaker (1971), mengemukakan empat unsur dalam suatu proses difusi, yaitu: (1) inovasi, (2) saluran komunikasi, (3) waktu, dan (4) sistem sosial. Keempat unsur tersebut senantiasa dapat diidentifikasi dalam studi difusi ini, yang secara rinci akan dijelaskan di bawah ini.
6.1.1
Inovasi SRI Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya, inovasi adalah
suatu gagasan, praktek, atau objek yang dipandang sebagai baru oleh individu. Inovasi yang diacu dalam penelitian ini berasal dari Lembaga Nagrak-SRI Organic Center (NORC) yang tertera pada Tabel 1. Inovasi ini tidak jauh berbeda dengan inovasi yang diterapkan dan menjadi standar acuan petani adopter SRI di Dusun Muhara sebagaimana terlampir dalam Lampiran 6. Inovasi SRI yang dianggap baru oleh petani di Dusun Muhara dibanding budidaya padi konvensional adalah menggunakan pupuk organik, adanya seleksi bernas dengan cara direndam selama 24-48 jam dan dikeringkan selama 24-48 jam, jarak tanam yang diperluas menjadi 30 x 30 cm atau 35 x 35 cm, pengairan sedikit atau macak-macak, jumlah benih yang relatif lebih sedikit lima kg/ha, umur tanam benih yang lebih cepat 7-15 hari, cara tanamnya menggunakan bibit tunggal dengan posisi akar membentuk huruf L dan dangkal, penyiangan 3-5 kali/musim tanam, pestidida menggunakan pestisida nabati dan pengelolaan hama
terpadu, masa produksi relatif singkat 100 hari, dan hasil gabah kering pungutnya lebih tinggi 8-12 ton/ha. Tabel 15 menjelaskan distribusi petani yang melaksanakan budidaya inovasi SRI.
Tabel 15. Distribusi Petani yang Menerapkan Inovasi SRI di Dusun Muhara Tahun 2009 (dalam persen)
Inovasi budidaya SRI
Jumlah petani yang menerapkan
Pupuk Kompos, campuran antara kotoran hewan (kohe) dan daun-daunan
100
Jarak tanam 30x30 cm, 35x35 cm
59
Sedikit air (macak-macak)
100
Lama perendaman 24-48 jam (berkecambah)
100
Pengeringan benih 24-48 jam
100
Jumlah benih 5 kg/ha
0
Tempat persemaian di nampan dengan pemilihan benih bermutu
18
Umur pembibitan 7-15 hari
91
Benih tunggal, horizontal (L) dan dangkal
41
Penyiangan 3-5 kali/musim tanam
81
Pestisida nabati (MOL) dan pengelolaan hama terpadu
100
Masa produksi 100 hari
100
Hasil Gabah Kering Pungut 7-12 ton/ha
21
Berdasarkan Tabel 15 di atas, hampir seluruh komponen budidaya SRI yang dianggap baru diterapkan oleh petani, kecuali tempat persemaian dan bibit tunggal karena masih menggunakan pola yang lama dan tidak ada tempat atau lahan untuk menyimpan wadah sebagai tempat persemaian. Untuk jumlah benih tidak ada satupun yang menerapkan anjuran 5 kg/ha, karena petani tidak ingin beresiko jika ada benih padi yang mati atau terkena hama dan hasil gabah kering pungut hanya 21 persen yang sesuai dengan anjuran budidaya SRI karena mungkin penerapan budidaya SRI nya masih belum benar dan juga ada dugaan terkena hama dan masih adanya residu dari pupuk kimia.
6.1.2
Saluran Komunikasi Merujuk pada Rogers dan Shoemaker (1971), saluran komunikasi adalah
cara-cara melalui mana sebuah pesan diperoleh penerima dari sumber, yang
46
dibedakan ke dalam saluran komunikasi interpersonal dan media massa. Saluran komunikasi interpersonal lebih efektif membangun dan merubah sikap, sementara saluran media massa efektif merubah pengetahuan tentang inovasi. Tabel 16 di bawah ini menjelaskan tentang sumber informasi inovasi budidaya SRI di Dusun Muhara.
Tabel 16. Sumber Informasi tentang Inovasi Budidaya SRI di Dusun Muhara pada Tahun 2009 (dalam persen) sumber informasi
Jumlah
PPL
91
Ketua Kelompok Tani
93
KTNA
3
Sesama anggota Kelompok Tani
85
Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya
76
Radio
3
Televisi
1
Ditinjau dari penyebaran inovasi budidaya SRI, maka kesadaran akan adanya teknologi baru dalam pertanian banyak melalui penyuluh petanian lapangan (PPL), ketua kelompok tani, sesama anggota kelompok tani dan Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya berturut-turut 91 persen, 93 persen, 85 persen dan 76 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa saluran komunikasi interpersonal lebih dominan dibanding saluran media massa yang hanya empat persen yang terdiri dari radio dan televisi.
6.1.3
Waktu Inovasi SRI diintroduksikan di Dusun Muhara mulai musim tanam (MT) 1
pada tahun 2006 sampai penelitian berlangsung sudah memasuki MT10. Tabel 17 dibawah ini memperlihatkan jumlah petani yang menerapkan inovasi SRI setiap musim tanamnya.
47
Tabel 17. Jumlah petani yang menerapkan inovasi SRI di Dusun Muhara di setiap musim tanam (dalam persen) Awal menerapkan inovasi SRI MT1
6.1.4
petani yang menerapkan inovasi SRI 18
MT2
7
MT3
10
MT4
24
MT5
6
MT6
15
MT7
6
MT8
6
MT9
9
Sistem Sosial Oleh karena difusi inovasi terjadi dalam sistem sosial, maka struktur sosial
dipandang mempengaruhi difusi inovasi melalui beberapa cara, diantaranya peranan tokoh pemuka pendapat (tokoh masyarakat) dan agen perubah. Dalam konteks peranan tokoh masyarakat, dimungkinkan adanya individu yang mengembangkan struktur komunikasi homofili dan heterofili. Semakin homofili struktur komunikasi, semakin cepat laju adopsi, dan sebaliknya. Sebagaimana diketahui bahwa tokoh masyarakat yang berperan penting di Dusun Muhara dalam penyebaran budidaya inovasi SRI adalah Ketua Kelompoktani Mukti Tani III yaitu Bpk. Didi Faturohman, dimana peranannya mengembangkan struktur komunikasi homofili. Hal tersebut dibuktikan dengan hanya memiliki lahan sawah 0,09 ha dengan tingkat pendidikan formal terakhirnya tamatan Sekolah Dasar (SD), tetapi beliau lebih terdedah terhadap media massa, lebih kosmopolit dan lebih sering berkomunikasi dengan agen perubah (penyuluh), dalam hal aksesibilitas, beliau memiliki partisipasi sosial yang lebih tinggi dibanding anggota kelompoktaninya dan lebih inovatif. Beliau juga termasuk kategori pemuka pendapat yang monomorfis, dimana cenderung bertindak sebagai pemuka pendapat hanya dalam kelompoktani saja. Sebagai ketua kelompotani, beliau berperan dalam penyebaran budidaya inovasi SRI di Dusun Muhara yang diintroduksikan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya dengan cara petani yang mengikuti penyuluhan dan
48
pelatihan SRI serta tertarik untuk menerapkan budidaya inovasi SRI di sawahnya, hasil panennya akan dibeli dengan harga yang relatif lebih tinggi dibanding hasil panen padi konvensional, misalnya saja kisaran harga gabah kering giling konvensional Rp. 3.400,-, gabah kering giling SRI akan dihargai Rp. 3.600,- pada waktu panen MT9 tahun 2009, sekarang mungkin lebih tinggi lagi harga jualnya karena memang padi SRI ini return of invesment-nya tinggi. Cara ini dilakukan Bpk. Didi dengan cara bekerjasama dengan GAPOKTAN SIMPATIK Tasikmalaya yang diketuai oleh Uu Syaeful Bahri dalam hal penggalangan dana agar petani tertarik untuk menerapkan budidaya inovasi SRI. Hal ini didukung dengan adanya kerja sama dari perusahaan eskportir beras PT Bloom Agro yang diketuai oleh Emelly Sutanto dengan GAPOKTAN SIMPATIK untuk memasarkan beras organik ke luar negeri. Di samping itu untuk menunjang penerapan inovasi SRI ini, beliau mengusahakan mesin pengolah organik dan pembuatan saung kompos. Agar bisa dirasakan oleh para petani adopter SRI nantinya, beliau mendirikan koperasi khusus di bidang pertanian organik menyangkut penggunaan mesin pengolah organik dan saung kompos, sehingga petani yang menjadi anggota koperasi bisa terbantu dalam penyediaan pupuk organik yang ketersediannya sangat terbatas di Dusun Muhara. Meskipun begitu, penyebaran inovasi SRI ini tidak terlepas dari kendala/hambatan-hambatan yang ada di Dusun Muhara. Kendala yang dihadapi dalam mendiseminasikan budidaya SRI di Dusun Muhara diantaranya adalah: petani merasa “kotor” dalam berbudidaya SRI, banyak aktifitas budidaya padi yang harus dikerjakan oleh petani dibanding budidaya konvensional, produksi padi belum terasa meningkat karena banyaknya serangan hama dan mungkin juga pola budidaya SRI nya masih belum sesuai dengan anjuran budidaya SRI, dan budidaya SRI lebih kompleks dibanding budidaya konvensional. Pada intinya Bpk Didi menyimpulkan ada tiga kendala yang dihadapi: (1) sumberdaya manusia, dalam hal ini petani di Dusun Muhara masih rendah, (2) mengembalikan atau merubah pola budidaya padi dari budidaya padi konvensional menuju budidaya padi SRI (back to nature), dan (3) masih tersedianya pupuk kimia dan pestisida kimia.
49
6.2 Kurva Penerimaan dan Kategori Adopter Inovasi SRI di Dusun Muhara 6.2.1 Kurva Penerimaan Inovasi SRI di Dusun Muhara Merujuk Rogers dan Shoemaker (1971), distribusi adopter pada kurva-S meningkat sangat lambat pada awalnya, yakni ketika hanya beberapa adopter saja pada titik tertentu. Kemudian terjadi percepatan/akselerasi peningkatan adopter sampai maksimum ketika hampir separuh dari individu-individu dalam sistem sosial telah mengadopsi inovasi. Selanjutnya peningkatannya secara gradual akan menurun oleh karena hanya tinggal beberapa orang saja yang akhirnya mengadopsi. Kurva-S ini dinyatakan mengikuti distribusi normal karena dukungan teori kurva belajar (learning curves).
120 100 80
79
60
59
85
91
100
65 Persen
40 20
35 18
25
0 MT1 MT2 MT3 MT4 MT5 MT6 MT7 MT8 MT9 Gambar 2. Kurva Penerimaan Inovasi SRI di Dusun Muhara pada Tahun 2009
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Dusun Muhara, ternyata grafik penerimaan inovasi SRI tidak membentuk kurva S atau cumulative S-curve, seperti yang terlihat pada Gambar 2. Berdasarkan gambar di atas, bahwa penerimaan inovasi SRI oleh petani Dusun Muhara mengikuti waktu yang berbeda-beda. Pada mulanya yang menerima inovasi SRI hanya 18 persen saja pada musim tanam satu, dan selanjutnya dari musim tanam berikutnya terus meningkat dan menurun kembali. Hal ini diduga karena yang dominan menjadi pengambilan keputusan inovasi SRI adalah tipe pengambilan keputusan otoritas sebesar 91 persen (Lampiran 4), sehingga menjadi lebih kompleks dalam dibandingkan tipe opsional. Kemudian diperkuat frekuensi pertemuan/pelatihan SRI sebanyak 13 kali sebagian besar memang dilakukan setelah pelatihan, dimana petani tidak terlalu berminat mengikutinya, karena bagi mereka motivasinya 50
memperoleh stimulan uang maupun stimulan barang (sarana produksi), dan itu diberikan pada awal pelatihan selama enam hari sehingga yang mengikuti pertemuan/pelatihan SRI selama enam hari itu lah yang sebanyak 18 persen menerima dan menerapkan inovasi SRI pada musim tanam pertama.
6.2.2
Kategori Adopter Inovasi SRI di Dusun Muhara Sebagaimana dikemukakan sebelumnya tingkat keinovativan adalah waktu
(bulan) yang dibutuhkan petani sejak mendengar/mengenal inovasi SRI sampai dengan menerapkannya di usahatani mereka. Oleh karena inovasi SRI telah diintroduksikan sejak MT1 tahun 2006 dan sampai penelitian berlangsung memasuki MT10, serta merujuk pada Rogers dan Shoemaker (1971) yang menyatakan adanya lima kategori adopter dalam setiap sistim sosial dan fakta sebagaimana dijelaskan tersebut di atas, maka dalam penelitian ini penerima inovasi budidaya SRI pada MT1 sampai MT2 disebut inovator, penerima inovasi SRI pada MT3 sampai MT4 disebut penganut dini (early adopter), penerima inovasi SRI pada MT5 sampai MT6 disebut early majority, penerima inovasi SRI pada MT7 sampai MT9 disebut late majority, dan penerima inovasi SRI pada MT9 disebut Laggards. Dengan kategori tersebut diatas, maka didapatkan jumlah dan kategori golongan penerima inovasi budidaya SRI di Dusun Muhara seperti gambar di bawah ini.
40 35
34
30 25
25 21
20 15
Persen 12
10
9
5 0 Innovators
Early Early Late Laggards Adopters Majority Majority
Gambar 3. Kurva Adopter Petani Padi System of Rice Intensification (SRI) di Dusun Muhara pada Tahun 2009
51
Berdasarkan Gambar 3 di atas, kurva kategori adopter tidak membentuk genta (Bell-shape curve) karena tidak mengikuti suatu sebaran normal, sehingga tidak sejalan dengan asumsi bahwa jika suatu inovasi diintroduksikan kepada suatu sistem sosial, maka dengan berjalannya waktu akan menemukan bahwa orang yang mengadopsi inovasi akan semakin bertambah banyak. Kategori adopter early majority lebih tinggi persentasenya dibanding kategori adopter lainnya. Pada kategori adopter innovators persentasenya lebih tinggi 21,5 persen dibanding acuan baku Rogers dan Shoemaker (1971) yaitu 2,5 persen. Hal ini diduga, sebagaimana penjelasan di atas, banyak petani yang mengadopsi inovasi SRI karena ada program dari Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya dan ada stimulan insentif sehingga para petani tertarik untuk berpartisipasi dalam penyuluhan pengenalan inovasi SRI di Dusun Muhara selama tujuh hari berturutturut. Dugaan ini diperkuat oleh data pada lampiran 4 bahwa sebagian besar tipe pengambilan keputusan inovasi SRI ada otoritas sebesar 91 persen, sehingga pada musim tanam berikutnya banyak petani yang ikut mengadopsi inovasi SRI. Setelah MT3-MT4, banyak petani yang kurang minatnya terhadap inovasi budidaya SRI, seperti yang terlihat pada Gambar 2 pada kategori adopter early majority, late majority dan laggards semakin menurun persentasenya, masingmasing 20 persen, 13 persen dan 10 persen. Hal ini diakibatkan budidaya inovasi SRI dirasa lebih sulit dilakukan dibandingkan budidaya inovasi konvensional, seperti penggunaan pupuk organik, disamping ketersediaanya tidak memadai dengan kebutuhan petani, juga dianggap kotor oleh kalangan petani tertentu dibandingkan pupuk kimia yang hanya tinggal menyebarkannya saja. Selain itu, pemasaran beras/gabah organik umumnya petani SRI menjual hasil panen kepada para pedagang lokal dengan harga yang belum memadai, walaupun masih terdapat perbedaan harga dengan gabah/beras biasa, namun harga jual padi organik dirasakan oleh para petani belum menguntungkan karena belum memberikan nilai tambah yang diharapkan. Ada beberapa perbedaan antara kelima golongan kategori adopter Inovasi SRI tersebut dilihat dari waktu penerimaan, status sosial, luas sawah, partisipasi/hubungan dengan pejabat, dan sumber informasi. Beberapa perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 18 di bawah ini.
52
Tabel 18. Ciri-ciri Kategori Adopter Inovasi SRI dilihat Menurut Kategori Penerima di Dusun Muhara Tahun 2009 Ciri-ciri Waktu penerapan inovasi SRI Status sosial Luas sawah Partisipasi/hubungan sosial
Sumber informasi inovasi SRI
Innovators
Kategori Adopter Inovasi SRI Early Early Late Adopters Majority Majority
Laggards
MT1-MT2
MT3-MT4
MT5-MT6
MT7-MT8
MT9-MT10
sedang rendah
sedang rendah
sedang rendah
sedang rendah
sedang rendah
tinggi
sedang
sedang
sedang
sedang
PPL, Ketua Kelompok Tani, Sesama anggota kelompok tani, Dinas Pertanian Kabupaten
PPL, Ketua Kelompok Tani, Sesama anggota kelompok tani, Dinas Pertanian Kabupaten
PPL, Ketua Kelompok Tani, Sesama anggota kelompok tani, Dinas Pertanian Kabupaten
PPL, Ketua Kelompok Tani, Sesama anggota kelompok tani, Dinas Pertanian Kabupaten
PPL, Ketua Kelompok Tani, Sesama anggota kelompok tani, Dinas Pertanian Kabupaten
Dari Tabel 18, dapat kita lihat bahwa kategori adopter innovators merupakan golongan yang pertama menerima inovasi SRI dalam pertanian yang telah disebarkan kepada para petani, dan kemudian menyusul golongan early adopters, early majority, late majority dan laggards. Pada kelima kategori adopter inovasi SRI tersebut, terdapat kesamaan dalam hal status sosial, luas sawah, dan sumber informasi. Hal ini berbeda dengan tulisannya Sastramihardja dan Veronica (1976) bahwa golongan innovators mempunyai status sosial, luas sawah, partisipasi/hubungan sosial yang lebih tinggi daripada golongan-golongan yang menyusul kemudian. Secara umum Rogers dan Shoemaker (1971) membuat generalisasi bahwa kategori adopter innovators berada di kategori lebih tinggi pada karakteristik pribadi (variabel pengaruh) dibanding kategori adopter early adopters, akan tetapi relatif lebih rendah dibanding kategori adopter early majority, dan begitu juga selanjutnya sampai laggards. Berdasarkan Tabel 18 dan penjelasan di atas, dapat di simpulkan bahwa kategori adopter inovasi SRI di Dusun Muhara tidak sesuai dengan generalisasi Rogers dan Shoemaker, karena pada kategori adopter innovators sampai laggards, status sosial dan luas sawah dominan berada pada kategori sedang dan rendah dan sumber informasi inovasi SRI juga sama,yaitu:
53
PPL, ketua kelompok tani, sesama anggota kelompok tani dan Dinas Pertanian Kabupaten.
6.3 Laju Adopsi Inovasi SRI di Dusun Muhara Di Dusun Muhara terdapat tiga kampung, yaitu Cinusa, Muhara dan Tanjung Sirna. Di tiga kampung tersebut tidak semua penduduk bekerja sebagai petani, 68 persen dari total petani di Dusun Muhara bekerja sebagai petani adopter SRI. Merujuk Rogers dan Shoemaker (1971) yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, laju adopsi adalah kecepatan relatif dimana suatu inovasi diadopsi oleh anggota-anggota suatu sistem sosial. Laju adopsi ini diukur sebagai jumlah penerima yang mengadopsi inovasi dalam suatu sistem sosial pada periode waktu tertentu. Tabel 19 menjelaskan tentang laju adopsi inovasi SRI di Dusun Muhara.
Tabel 19. Laju Adopsi Inovasi SRI di Dusun Muhara pada Tahun 2009 Rumahtangga Petani yg Mengadopsi SRI
Total Rumahtangga Petani Padi Sawah
Laju Adopsi SRI (dalam persen)
Cinusa
41
57
72
Muhara
12
23
52
Tanjung Sirna
15
30
50
Kampung
Data pada Tabel 19 di atas menunjukkan bahwa laju adopsi yang paling tinggi berada di Kampung Cinusa, dibandingkan Kampung Muhara dan Tanjung Sirna dengan persentase berturut-turut sebesar 72 persen, 52 persen dan 50 persen. Hal ini disebabkan karena ketua kelompok tani dan kontak tani berdomisili di Kampung Cinusa sehingga diduga pengaruh kepemimpinan ketua kelompok tani di Kampung Cinusa tersebut sangat besar dalam penyebaran inovasi SRI. Selanjutnya Kampung Muhara menempati posisi kedua karena jarak antara Kampung Cinusa dengan Kampung Muhara berdekatan di samping ada salah satu kontak tani yang berdomisili di Muhara. Kampung Tanjung Sirna laju adopsinya menjadi yang paling rendah diantara keduanya dikarenakan jarak dengan Cinusa lebih jauh dibanding jarak Cinusa-Muhara dan juga tidak ada kontak tani yang berdomisili di Tanjung Sirna.
54
BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIFAN PETANI DAN LAJU ADOPSI INOVASI Sebagaimana telah dikemukakan di depan, fokus studi difusi ini adalah pada inovasi budidaya SRI yang diintroduksikan kepada para petani di Dusun Muhara. Sehubungan dengan itu, bab ini mengemukakan deskripsi serta hasil uji statistik
atas
sejumlah
hipotesis
berkenaan
dengan
faktor-faktor
yang
berhubungan dengan tingkat keinovatifan petani dan laju adopsi inovasi SRI yang meliputi: persepsi petani tentang karakteristik inovasi SRI, tipe pengambilan keputusan inovasi SRI, saluran komunikasi, karakteristik sistem sosial, promosi oleh agen perubahan dan karakteristik individu petani. Penjelasan lebih rinci mengenai faktor-faktor tersebut disajikan pada sub bab di bawah ini.
7.1 Hubungan antara Persepsi Petani tentang Karakteristik Inovasi SRI dengan Tingkat Keinovativan Petani dan Tingkat Laju Adopsi Sebagaimana dikemukan sebelumnya, dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif antara variabel-variabel pengaruh pada persepsi petani tentang karakteristik inovasi SRI –kecuali pada tingkat kerumitan-, yakni: produktivitas, tingkat pendapatan (hasil jual – biaya produksi), tingkat kompatibilitas, tingkat kemungkinan dicoba, dan tingkat kemungkinan diamati dengan tingkat keinovativan dan laju adopsi. Data berkenaan hubungan antara enam variabel pengaruh pada persepsi petani tentang karakteristik inovasi SRI dengan dua variabel terpengaruh, yakni: tingkat keinovativan dan laju adopsi disajikan pada Tabel 20. Adapun data pendukung, berupa persentase petani pembudidaya inovasi padi SRI menurut kriteria dari semua variabel pengaruh dapat dilihat pada Lampiran 4.
Tabel 20. Hubungan antara Persepsi Petani tentang Karakteristik Inovasi SRI dengan Tingkat Keinovativan Petani dan Tingkat Laju Adopsi Tingkat Keinovativan (Y1) Variabel-variabel Persepsi Petani tentang Karakteristik Inovasi SRI Rendah Sedang Tinggi Produktivitas (X1.1) Rendah 21 52 26 Sedang 12 28 60 Tinggi 0 0 100 Tingkat Pendapatan (X1.2) 17 47 36 Rendah 14 29 57 Sedang 33 0 67 Tinggi Tingkat Kompatibilitas (X2) Rendah 0 0 0 Sedang 22 34 44 Tinggi 14 50 36 Tingkat Kerumitan (X3) Rendah 0 50 50 Sedang 18 37 45 Tinggi 23 62 15 Tingkat Kemungkinan Dicoba (X4) Rendah 33 67 0 Sedang 17 40 43 Tinggi 0 50 50 Tingkat Kemungkinan Diamati (X5) 25 75 0 Rendah 19 41 41 Sedang 0 40 60 Tinggi
Laju Adopsi (Y2) Rendah Sedang Tinggi 26 16 0
14 24 0
60 60 100
22 14 33
19 14 0
59 71 67
0 25 19
0 16 19
0 59 61
25 22 23
25 20 8
50 59 69
17 22 25
0 19 25
83 59 50
25 22 20
0 19 20
75 59 60
Berdasarkan data pada Lampiran 4, diketahui bahwa mayoritas tingkat keinovativan petani padi SRI di Dusun Muhara tergolong kriteria sedang dan tinggi. Sebagaimana terlihat pada Lampiran 4, persentasenya adalah 43 persen dan 40 persen atau 65 persen lebih tinggi dibanding mereka yang tingkat keinovativannya tergolong rendah. Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa dua dari enam variabel persepsi petani tentang karakteristik inovasi SRI yang berhubungan nyata dengan tingkat keinovativan (Y1) pada taraf α = 0,05, yaitu produktivitas (X1.1), dan tingkat kemungkinan dicoba (X4). Sedangkan tingkat kerumitan (X3) dan tingkat kemungkinan diamati (X5) berhubungan nyata dengan tingkat keinovativan pada taraf α = 0,10. Hal ini menjelaskan seperti yang terlihat pada Tabel 20 bahwa semakin tinggi produktivitas padi SRI, maka semakin tinggi keinovativannya, begitu juga dengan tingkat kerumitan, tingkat kemungkinan dicoba dan tingkat kemungkinan diamati
56
memiliki kecenderungan yang sama. Kecuali tingkat pendapatan (X1.2) dan tingkat kompatibilitas (X2) mempengaruhi tingkat keinovativan (Y1) pada selang kepercayaan lebih dari 0,30. Hal ini, merujuk pada Purnaningsih (2006), bahwa tingkat pendapatan (X1.2) dan tingkat kompatibilitas (X2) tidak baik mempengaruhi dan sangat tidak signifikan terhadap tingkat keinovativan (Y1), karena pada dasarnya tingkat pendapatan yang diperoleh petani terbatas pada pendapatan yang diperoleh secara langsung dari hasil produksi usahatani dikurangi biaya produksi, yang sepenuhnya sangat ditentukan oleh luasan usahatani sawah dan penerapan budidaya inovasi SRI. Sementara itu, tingkat kompatibilitas antara budidaya padi SRI dengan budidaya padi konvensional yang dilakukan oleh petani sebagian besar pada kategori kriteria rendah dan sedang (sebesar 81 persen) sehingga semakin rendah tingkat kompatibilitasnya, maka semakin rendah tingkat keinovativannya. Demikian pula halnya hasil uji korelasi rank Spearman atas hubungan antara enam variabel pada persepsi petani tentang karakteristik inovasi SRI dengan laju adopsi (Y2), tidak ditemukan bahwa variabel-variabel bebas tersebut tidak ada yang berhubungan nyata dengan laju adopsi (Y2).
7.2 Hubungan antara Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi SRI dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi Diduga terdapat hubungan positif antara variabel bebas pada tipe pengambilan keputusan inovasi SRI (X6) dengan tingkat keinovativan (Y1) dan laju adopsi (Y2). Tabel 21 menyajikan data berkenaan hubungan antara variabel bebas, yakni tipe pengambilan keputusan inovasi SRI dengan variabel tidak bebas pada tingkat keinovativan dan laju adopsi. Adapun persentase petani pembudidaya inovasi padi SRI menurut kriteria dari tipe pengambilan keputusan inovasi SRI dapat dilihat pada Lampiran 4.
57
Tabel 21. Hubungan antara Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi SRI dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi di Dusun Muhara Tahun 2009 (dalam persen) Variabel Tipe PKI SRI Rendah Sedang Tinggi
Tingkat Keinovativan (Y1) Rendah Sedang Tinggi 0 67 33 0 33 67 19 42 39
Laju Adopsi (Y2) Rendah Sedang Tinggi 0 33 67 33 67 100 24 16 60
Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menunjukkan bahwa tipe pengambilan keputusan inovasi SRI (X6) berhubungan dengan tingkat keinovativan (Y1) dan laju adopsi (Y2) pada taraf α > 0,30. Dengan merujuk pada Purnaningsih (2006), hal tersebut menunjukkan bahwa tipe pengambilan keputusan inovasi SRI (X6) sangat tidak signifikan mempengaruhi tingkat keinovativan (Y1) dan laju adopsi (Y2). Hal ini karena yang dominan menjadi pengambilan keputusan inovasi SRI di Dusun Muhara adalah tipe pengambilan keputusan otoritas dengan persentase sebesar 91 persen (Lampiran 4), sehingga menjadi lebih kompleks dibandingkan tipe pengambilan keputusan opsional.
7.3 Hubungan antara Saluran Komunikasi dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi Diduga terdapat hubungan positif antara dua variabel pada saluran komunikasi, yakni: tingkat pengenalan inovasi SRI dari media massa (X7) dan tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI (X8) dengan tingkat keinovativan dan laju adopsi. Tabel 22 memperlihatkan data berkenaan hubungan antar variabel-variabel bebas dan tidak bebas tersebut. Adapun distribusi petani pembudidaya inovasi padi SRI menurut kategori kriteria saluran komunikasi dapat dilihat pada Lampiran 4.
58
Tabel 22. Hubungan antara Saluran Komunikasi dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi di Dusun Muhara Tahun 2009 (dalam persen) Variabel-variabel Saluran Komunikasi
Tingkat Keinovativan (Y1) Rendah
Sedang
Laju Adopsi (Y2)
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
Tingkat Pengenalan Inovasi SRI dari Media Massa (X7) Rendah
18
42
39
23
18
59
Sedang
0
100
0
0
0
100
Tinggi
0
0
100
0
0
100
Tingkat Partisipasi Petani Mengikuti Penyuluhan Inovasi SRI (X8) Rendah
20
46
34
34
20
46
Sedang
15
50
35
15
10
75
Tinggi
15
23
62
0
23
77
Berdasarkan hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) menjelaskan bahwa variabel dari saluran komunikasi dengan tingkat keinovativan (Y1), yaitu: tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI (X8) berhubungan nyata dengan tingkat keinovativan (Y1) pada selang kepercayaan sekitar 0,20, merujuk pada Purnaningsih (2006), hal ini berarti bahwa tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI (X8) dianggap kurang baik dan tidak signifikan mempengaruhi tingkat keinovativan (Y1), frekuensi pertemuan sebanyak 13 kali sebagian besar memang dilakukan setelah pelatihan, dimana petani tidak terlalu berminat mengikutinya, karena bagi mereka motivasinya memperoleh stimulan, dan itu diberikan pada awal pelatihan, sedangkan tingkat pengenalan inovasi SRI dari media massa (X7) tidak berhubungan dengan tingkat keinovativan karena berada pada selang kepercayaan lebih dari 0,30. Hal ini diduga karena sebagian besar tingkat pengenalan inovasi SRI dari media massa berada pada kriteria kategori rendah sebesar 97 persen (Lampiran 4) Adapun dua variabel dari saluran komunikasi, yakni tingkat pengenalan inovasi SRI dari media massa (X7) dan tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI (X8) berhubungan nyata dengan laju adopsi (Y2) dengan selang kepercayaan secara berturut-turut dengan α = 0,20-0,30 dan α = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengenalan inovasi SRI dari media massa (X7) kurang baik mempengaruhi dan tidak signifikan terhadap laju adopsi (Y2),
59
sedangkan tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI (X8) mempengaruhi dan signifikan terhadap laju adopsi.
7.4 Hubungan antara Karakteristik Sistem Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi
Sosial
dengan
Tingkat
Dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif antara variabelvariabel pengaruh pada karakteristik sistem sosial, yakni: tingkat ketaatan petani berbudidaya padi konvensional (X9) dan tingkat integrasi petani (X10) dengan tingkat keinovativan dan laju adopsi. Data berkenaan hubungan antara dua variabel bebas pada karakteristik sistem sosial dengan dua variabel pada tingkat keinovativan dan laju adopsi disajikan pada Tabel 23.
Tabel 23. Hubungan antara Karakteristik Sistem Sosial dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi di Dusun Muhara Tahun 2009 (dalam persen) Variabel-variabel Karakteristik Sistem Sosial
Tingkat Keinovativan (Y1) Rendah
Sedang
Tinggi
Laju Adopsi (Y2) Rendah
Sedang
Tinggi
Tingkat Ketaatan Petani Berbudidaya Padi Konvensional (X9) Rendah
0
50
50
25
25
50
Sedang
17
41
42
22
19
59
Tinggi
40
60
0
20
0
80
Rendah
7
47
47
27
0
73
Sedang
24
45
32
13
24
63
Tinggi
13
33
53
40
20
40
Tingkat Integrasi Petani (X10)
Hasil uji korelasi rank Spearman pada Lampiran 5 menjelaskan bahwa tingkat ketaatan petani berbudidaya padi konvensional (X9) berhubungan nyata dengan tingkat keinovativan (Y1) pada taraf α = 0,10 yang berarti bahwa variabel tingkat ketaatan petani berbudidaya padi konvensional (X9) ini cukup mempengaruhi dan cukup signifikan terhadap tingkat keinovativan (Y1), lain halnya dengan tingkat integrasi petani (X10) berhubungan dengan tingkat keinovativan (Y1) pada selang kepercayaan lebih dari 0,30. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat integrasi petani (X10) tidak baik mempengaruhi dan sangat tidak
60
signifikan terhadap tingkat keinovativan (Y1). Hal ini diduga petani lebih memilih menerapkan budidaya padi konvensional dibandingkan dengan inovasi budidaya padi SRI, dengan pertimbangan tidak ingin mengambil resiko apabila menerapkan inovasi SRI dan kemudian gagal, seperti terkena hama dan gagal panen, serta didasari bahwa tingkat integrasi petani dominan berada dikategori rendah dan sedang sebesar 78 persen (Lampiran 4), sehingga tidak bisa diambil kesimpulan bahwa tingkat integrasi berhubungan positif dengan tingkat keinovativan. Adapun dua variabel karakteristik sistem sosial, yakni: tingkat ketaatan petani berbudidaya padi konvensional (X9) berhubungan dengan laju adopsi (Y2) pada taraf α > 0,30 dan tingkat integrasi petani (X10) berhubungan dengan laju adopsi pada taraf α = 0,10. Hal tersebut menggambarkan bahwa dengan merujuk Purnaningsih (2006), tingkat ketaatan petani berbudidaya padi konvensional (X9) tidak baik mempengaruhi dan sangat tidak signifikan terhadap laju adopsi (Y2) sedangkan tingkat integrasi petani (X10) cukup mempengaruhi dan cukup signifikan terhadap laju adopsi (Y2). Hal ini diduga karena luasan sawah yang dimiliki petani sebagian besar masih menerapkan budidaya padi konvensional sehingga dapat dikatakan sebagian besar petaninya masih bersifat tradisional.
7.5 Hubungan Antara Promosi Oleh Agen Perubahan dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi Sebagaimana dikemukakan di depan, diduga terdapat hubungan antara dua variabel pada promosi oleh agen perubahan dengan tingkat keinovativan dan laju adopsi. Adapun data semua variabel bebas dan tidak bebas tersebut disajikan pada Tabel 24.
61
Tabel 24. Hubungan antara Promosi Oleh Agen Perubahan dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi di Dusun Muhara Tahun 2009 (dalam persen) Variabel-variabel Promosi oleh Agen Perubahan
Tingkat Keinovativan (Y1) Rendah
Sedang
Tinggi
Laju Adopsi (Y2) Rendah
Sedang
Tinggi
Tingkat Keragaman Metode Penyuluahan Inovasi SRI (X11) Rendah
10
70
20
40
30
30
Sedang
21
45
34
29
5
66
Tinggi
15
25
60
0
35
65
Frekuensi Kunjungan Penyuluh dan/atau Agen Perubah Lain (X12) Rendah
23
48
29
26
23
52
Sedang
14
50
36
23
9
68
Tinggi
13
20
67
13
20
67
Hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5) memperlihatkan bahwa variabel-variabel tingkat keragaman metode penyuluhan inovasi SRI (X11) dan frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain (X12) berhubungan nyata dengan tingkat keinovativan (Y1) berturut-turut pada selang kepercayaan 0,10 dan 0,05. Merujuk pada Purnaningsih (2006), variabel tingkat keragaman metode penyuluhan inovasi SRI (X11) dan frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain sangat signifikan mempengaruhi tingkat keinovativan (Y1). Hal ini diperkuat dengan data pada Lampiran 4 bahwa sebagian besar tingkat keragaman metode penyuluhan berada pada kategori sedang dan tinggi sebesar 85 persen. Banyak kegiatan penyuluhan inovasi SRI yang diikuti oleh petani di Dusun Muhara berupa ceramah oleh PPL, demontrasi seleksi benih, demontrasi pembuatan bokashi, pelatihan SRI dan demontrasi plot budidaya SRI. Khusus untuk variabel frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain, hal ini menarik karena meskipun frekuensi kunjungan penyuluh dalam kriteria kategori dominan rendah dan sedang sebesar 78 persen tetapi mempengaruhi tingkat keinovativan petani. Diduga data frekuensi kunjungan penyuluh yang ada di kelompok tani bersifat semu hanya sebatas formalitas saja. Variabel-variabel tingkat keragaman metode penyuluhan inovasi SRI (X11) dan frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain (X12) berhubungan nyata dengan laju adopsi (Y2) berturut-turut pada selang kepercayaan 0,05 dan lebih dari 0,30. Dengan merujuk pada Purnaningsih (2006), 62
hal tersebut berarti variabel tingkat keragaman metode penyuluhan inovasi SRI (X11) sangat signifikan mempengaruhi laju adopsi (Y2) dan variabel frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain sangat tidak signifikan mempengaruhi laju adopsi (Y2). Hal ini dirasa frekuensi kunjungan penyuluh kurang terhadap petani karena seringnya para penyuluh dan/atau agen perubah lain berhubungan ketua kelompok tani dan kontak tani, sehingga para penyuluh dan/atau agen perubah lain kurang kontak dan kurang menyisihkan waktu yang relatif banyak untuk subyek penyuluhannya.
7.6 Hubungan antara Karakteristik Individu Petani dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi Diduga terdapat hubungan positif antara variabel-variabel pengaruh pada karakteristik individu petani, yakni: tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non-formal, pola perilaku komunikasi, tingkat pengalaman berusahatani, tingkat stratum rumahtangga petani, tingkat kebutuhan petani terhadap inovasi SRI dengan tingkat keinovativan dan laju adopsi. Tabel 25 memperlihatkan data berkenaan hubungan antar variabel tersebut, distribusi petani pembudidaya padi SRI menurut kategori kriteria dari variabel karakteristik individu petani dapat dilihat pada Lampiran 4.
63
Tabel 25. Hubungan antara Karakteristik Individu Petani dengan Tingkat Keinovativan dan Tingkat Laju Adopsi di Dusun Muhara Tahun 2009 (dalam persen) Variabel-variabel Karakteristik Individu Petani
Tingkat Keinovativan (Y1)
Laju Adopsi (Y2)
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
0
50
50
50
0
50
Sedang
19
40
40
21
16
63
Tinggi
14
57
29
14
43
43
Tingkat Pendidikan Formal (X13)
Tingkat Pendidikan Non Formal (X14) Rendah
22
49
29
22
20
58
Sedang
10
35
55
15
15
70
Tinggi
0
0
100
67
0
33
Rendah
11
22
67
22
11
67
Sedang
24
49
27
17
12
71
Tinggi
6
39
56
33
33
33
Pola Perilaku Komunikasi (X15)
Tingkat Pengalaman Berusahatani (X16) Rendah
9
53
38
24
26
50
Sedang
31
31
38
21
10
69
Tinggi
0
40
60
20
0
80
Tingkat Stratum Rumahtangga Petani (X17) Rendah
18
44
38
18
20
62
Sedang
19
44
38
31
13
56
Tinggi
0
0
100
50
0
50
Tingkat Kebutuhan Petani terhadap Inovasi SRI (X18) Rendah
43
14
43
14
0
86
Sedang
6
56
39
33
22
44
Tinggi
19
42
40
19
19
63
Berdasarkan hasil uji korelasi rank Spearman (Lampiran 5), satu dari enam variabel-variabel karakteristik individu petani yang berhubungan nyata terhadap tingkat keinovativan (Y1) pada taraf α = 0,05, yaitu: tingkat pendidikan non formal (X14), diduga karena faktanya menunjukkan bahwa kecuali mengikuti pelatihan budidaya SRI, hampir semua petani tidak pernah mengikuti pelatihan lainnya yang berhubungan dengan peningkatan produktivitas usahatani mereka, sementara itu kebutuhan petani akan inovasi SRI lebih banyak karena motivasi
64
mendapat stimulan. Sedangkan lima variabel karakteristik individu petani lainnya, yaitu: tingkat pendidikan (X13), pola perilaku komunikasi (X15), tingkat pengalaman berusahatani (X16), tingkat stratum rumahtangga petani (X17) dan tingkat kebutuhan petani terhadap inovasi SRI (X18) berhubungan nyata terhadap tingkat keinovativan (Y1) pada taraf α > 0,30. Dengan merujuk Purnaningsih (2006), tingkat pendidikan non formal ini sangat signifikan mempengaruhi tingkat keinovativan, sedangkan lima variabel lainnya sangat tidak signifikan mempengaruhi tingkat keinovativan. Hal inipun karena mayoritas petani adopter SRI tergolong kategori rendah dalam hal tingkat pengalaman berusahatani (X16) dan tingkat stratum rumahtangga petani (X17) berturut-turut sebesar 50 persen dan 74 persen, sementara itu pada dua variabel lainnya, yaitu: tingkat pendidikan formal (X13) dan pola perilaku komunikasi (X15) menunjukkan kriteria sedang, berturut-turut sebesar 84 persen dan 60 persen, sedangkan untuk variabel tingkat kebutuhan petani terhadap inovasi SRI (X18) mayoritas tergolong tinggi sebesar 63 persen. Meskipun tingkat kebutuhan petani terhadap inovasi SRI mayoritas tergolong tinggi, tetapi berdasarkan hasil focus group discussion (FGD) ketika hama menyerang sawah petani pada musim tanam ketujuh, untuk menanggulangi hama tersebut petani kembali menggunakan pestisida kimia. Adapun variabel-variabel karakteristik individu petani yang berhubungan nyata terhadap laju adopsi (Y2) pada taraf α = 0,05 yaitu: pola perilaku komunikasi (X15), pada taraf α = 0,10, yaitu: tingkat pengalaman berusahatani (X16), sedangkan variabel-variabel karakteristik individu lainnya yakni: tingkat pendidikan formal (X13), tingkat pendidikan non formal (X14), tingkat stratum rumahtangga petani (X17) dan tingkat kebutuhan petani terhadap inovasi SRI (X18) berhubungan nyata terhadap laju adopsi (Y2) pada taraf α > 0,30. Merujuk pada Purnaningsih (2006), pola perilaku komunikasi (X15) dan tingkat pengalaman berusahatani (X16) sangat signifikan mempengaruhi laju adopsi (Y2), hal ini diduga berhubungan dengan pola komunikasi petani adopter SRI yang cenderung lebih kosmopolit, antara lain tercermin komunikasi mereka dengan sumber inovasi SRI, yakni sekitar 72 persen berkomunikasi dengan ketua kelompoktani, 44 persen dengan PPL, dan sekitar 78 persen dengan rekan sekelompoktani dan dalam tingkat pengalaman berusahatani cenderung relatif
65
heterogen dan terdistribusi normal. Sedangkan variabel-variabel karakteristik individu petani lainnya sangat tidak signifikan mempengaruhi laju adopsi (Y2).
7.7 Permasalahan dalam Penyelenggaraan Program Inovasi SRI di Dusun Muhara Berkenaan dengan budidaya tanam padi SRI, secara umum para petani menganggap bahwa sejumlah komponen teknologi yang diintroduksikan dalam inovasi SRI sesuai dengan pengalaman dalam sistem budidaya padi konvensional, khususnya dalam hal: varietas unggul, benih bermutu, pengolahan lahan, penyiangan, dan pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). namun demikian, terdapat sejumlah komponen yang petani pandang berbeda dengan sistem konvensional, yaitu penggunaan benih 5 kg/ha, perendaman dan pengeringan benih selama 24-48 jam, umur pembibitan 7-15 hari, cara tanam bibit tunggal dan dangkal dengan posisi akar membentuk huruf “L”, pengairan macakmacak, penggunaan pupuk organik (bokashi). Penggunaan pupuk organik dianggap agak menyulitkan karena mereka tidak terbiasa memanfaatkan kotoran ternak yang ada, serta adanya kesulitan dalam memperoleh limbah ternak untuk bahan pembuatan pupuk organik. Selain kekurangan limbah ternak sebagai bahan pembuatan pupuk organik di tingkat kelompok tani, pemasaran beras/gabah organik merupakan masalah yang harus diatasi. Selama ini, umumnya petani SRI menjual hasil panen kepada para pedagang lokal dengan harga yang belum memadai, walaupun masih terdapat perbedaan harga dengan gabah/beras biasa, namun harga jual padi organik dirasakan oleh para petani belum menguntungkan karena belum memberikan nilai tambah yang diharapkan.
66
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan Grafik penerimaan inovasi SRI tidak membentuk kurva S atau cumulative S-curve, seperti yang terlihat pada Gambar 2. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan inovasi SRI oleh petani Dusun Muhara mengikuti waktu yang berbeda-beda. Pada mulanya yang menerima inovasi SRI hanya 18 persen saja pada musim tanam satu, dan selanjutnya dari musim tanam berikutnya terus meningkat dan menurun kembali. Kurva kategori adopter tidak membentuk genta (Bell-shape curve) karena tidak mengikuti suatu sebaran normal, sehingga tidak sejalan dengan asumsi bahwa jika suatu inovasi diintroduksikan kepada suatu sistem sosial, maka dengan berjalannya waktu akan menemukan bahwa orang yang mengadopsi inovasi akan semakin bertambah banyak. Kategori adopter early majority lebih tinggi persentasenya dibanding kategori adopter lainnya. Pada kategori adopter innovators persentasenya lebih tinggi 21,5 persen dibanding acuan baku Rogers dan Shoemaker (1971) yaitu 2,5 persen. Ciri-ciri kategori adopter inovasi SRI di Dusun Muhara berbeda dengan ciri-ciri kategori adopter yang ditulis oleh Sastramihardja dan Veronica (1976) dimana golongan innovators
di
Dusun
Muhara
mempunyai
status
sosial,
luas
sawah,
partisipasi/hubungan sosial yang sama dengan golongan-golongan yang menyusul kemudian Dusun Muhara terdiri dari tiga kampung, yaitu: kampung Cinusa, Muhara dan Tanjung Sirna. Laju adopsi yang paling tinggi berada di Kampung Cinusa, dibandingkan Kampung Muhara dan Tanjung Sirna dengan persentase berturutturut sebesar 72 persen, 52 persen dan 50 persen. Hal ini disebabkan karena ketua kelompok tani dan kontak tani berdomisili di Kampung Cinusa sehingga diduga pengaruh kepemimpinan ketua kelompok tani di Kampung Cinusa tersebut sangat besar dalam penyebaran inovasi SRI. Selanjutnya Kampung Muhara menempati posisi kedua karena jarak antara Kampung Cinusa dengan Kampung Muhara berdekatan di samping ada salah satu kontak tani yang berdomisili di Muhara. Kampung Tanjung Sirna laju adopsinya menjadi yang paling rendah diantara
keduanya dikarenakan jarak dengan Cinusa lebih jauh dibanding jarak CinusaMuhara dan juga tidak ada kontak tani yang berdomisili di Tanjung Sirna. Dengan kondisi sejumlah variabel bebas pada persepsi petani tentang karakteristik inovasi SRI dan sejumlah variabel tidak bebas pada tingkat keinovativan dan laju adopsi, penelitian ini menemukan bahwa hasil uji korelasi rank Spearman menunjukkan bahwa dua dari enam variabel persepsi petani tentang karakteristik inovasi SRI yang berhubungan nyata dengan tingkat keinovativan (Y1) pada taraf α = 0,05, yaitu produktivitas (X1.1), dan tingkat kemungkinan dicoba (X4). Sedangkan tingkat kerumitan (X3) dan tingkat kemungkinan diamati (X5) berhubungan nyata dengan tingkat keinovativan pada taraf α = 0,10. Hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi produktivitas padi SRI, maka semakin tinggi keinovativannya, begitu juga dengan tingkat kerumitan, tingkat kemungkinan dicoba dan tingkat kemungkinan diamati memiliki kecenderungan yang sama. Kecuali tingkat pendapatan (X1.2) dan tingkat kompatibilitas (X2) mempengaruhi tingkat keinovativan (Y1) pada selang kepercayaan lebih dari 0,30. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendapatan (X1.2) dan tingkat kompatibilitas (X2) tidak baik mempengaruhi dan sangat tidak signifikan terhadap tingkat keinovativan (Y1). Demikian pula halnya hubungan antara enam variabel pada persepsi petani tentang karakteristik inovasi SRI dengan laju adopsi (Y2), tidak ditemukan bahwa variabel-variabel bebas tersebut tidak ada yang berhubungan nyata dengan laju adopsi (Y2). Dalam hal tipe pengambilan keputusan inovasi SRI (X6) sangat tidak signifikan mempengaruhi tingkat keinovativan (Y1) dan laju adopsi (Y2). Hal ini karena yang dominan menjadi pengambilan keputusan inovasi SRI adalah tipe pengambilan keputusan otoritas. sehingga menjadi lebih kompleks dibandingkan tipe opsional. Berdasarkan hasil uji korelasi rank Spearman menjelaskan bahwa variabel dari saluran komunikasi, yaitu: tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI (X8) berhubungan nyata dengan tingkat keinovativan (Y1) pada selang kepercayaan sekitar 0,20, hal ini berarti bahwa tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI (X8) dianggap kurang baik dan tidak signifikan
mempengaruhi tingkat
keinovativan
(Y1), sedangkan
tingkat 68
pengenalan inovasi SRI dari media massa (X7) tidak berhubungan dengan tingkat keinovativan karena berada pada selang kepercayaan lebih dari 0,30. Adapun dua variabel dari saluran komunikasi, yakni tingkat pengenalan inovasi SRI dari media massa (X7) dan tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI (X8) berhubungan nyata dengan laju adopsi (Y2) dengan selang kepercayaan secara berturut-turut dengan α = 0,20-0,30 dan α = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengenalan inovasi SRI dari media massa (X7) kurang baik mempengaruhi dan tidak signifikan terhadap laju adopsi (Y2), sedangkan tingkat partisipasi petani mengikuti penyuluhan inovasi SRI (X8) mempengaruhi dan signifikan terhadap laju adopsi. Hasil uji korelasi rank Spearman menjelaskan bahwa tingkat ketaatan petani berbudidaya padi konvensional (X9) berhubungan nyata dengan tingkat keinovativan (Y1) pada taraf α = 0,10 yang berarti bahwa variabel tingkat ketaatan petani berbudidaya padi konvensional (X9) ini cukup mempengaruhi dan cukup signifikan terhadap tingkat keinovativan (Y1), lain halnya dengan tingkat integrasi petani (X10) berhubungan dengan tingkat keinovativan (Y1) pada selang kepercayaan lebih dari 0,30. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat integrasi petani (X10) tidak baik mempengaruhi dan sangat tidak signifikan terhadap tingkat keinovativan (Y1). Adapun dua variabel karakteristik sistem sosial, yakni: tingkat ketaatan petani berbudidaya padi konvensional (X9) berhubungan dengan laju adopsi (Y2) pada taraf α > 0,30 dan tingkat integrasi petani (X10) berhubungan dengan laju adopsi pada taraf α = 0,10. Hal tersebut menggambarkan bahwa tingkat ketaatan petani berbudidaya padi konvensional (X9) tidak baik mempengaruhi dan sangat tidak signifikan terhadap laju adopsi (Y2) sedangkan tingkat integrasi petani (X10) cukup mempengaruhi dan cukup signifikan terhadap laju adopsi (Y2). Hasil uji korelasi rank Spearman memperlihatkan bahwa variabel-variabel tingkat keragaman metode penyuluhan inovasi SRI (X11) dan frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain (X12) berhubungan nyata dengan tingkat keinovativan (Y1) berturut-turut pada selang kepercayaan 0,10 dan 0,05. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat keragaman metode penyuluhan inovasi SRI (X11) dan frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain sangat
69
signifikan mempengaruhi laju adopsi (Y2). Variabel-variabel tingkat keragaman metode penyuluhan inovasi SRI (X11) dan frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain (X12) berhubungan nyata dengan laju adopsi (Y2) berturut-turut pada selang kepercayaan 0,05 dan lebih dari 0,30. Hal tersebut berarti variabel tingkat keragaman metode penyuluhan inovasi SRI (X11) sangat signifikan mempengaruhi laju adopsi (Y2) dan variabel frekuensi kunjungan penyuluh dan/atau agen perubah lain sangat tidak signifikan mempengaruhi laju adopsi (Y2). Adapun hasil uji korelasi rank Spearman satu dari enam variabel-variabel karakteristik individu petani yang berhubungan nyata terhadap tingkat keinovativan (Y1) pada taraf α = 0,05, yaitu: tingkat pendidikan non formal (X14), sedangkan lima variabel karakteristik individu petani lainnya, yaitu: tingkat pendidikan (X13), pola perilaku komunikasi (X15), tingkat pengalaman berusahatani (X16), tingkat stratum rumahtangga petani (X17) dan tingkat kebutuhan petani terhadap inovasi SRI (X18) berhubungan nyata terhadap tingkat keinovativan (Y1) pada taraf α > 0,30. Hal ini menjelaskan tingkat pendidikan non formal ini sangat signifikan mempengaruhi tingkat keinovativan, sedangkan lima variabel lainnya sangat tidak signifikan mempengaruhi tingkat keinovativan. Hal inipun karena mayoritas petani adopter SRI tergolong kategori rendah dalam hal tingkat pengalaman berusahatani (X16) dan tingkat stratum rumahtangga petani (X17), sementara itu pada dua variabel lainnya, yaitu: tingkat pendidikan formal (X13) dan pola perilaku komunikasi (X15) menunjukkan kriteria sedang, sedangkan untuk variabel tingkat kebutuhan petani terhadap inovasi SRI (X18) mayoritas tergolong tinggi. Adapun variabel-variabel karakteristik individu petani yang berhubungan nyata terhadap laju adopsi (Y2) pada taraf α = 0,05 yaitu: pola perilaku komunikasi (X15), pada taraf α = 0,10, yaitu: tingkat pengalaman berusahatani (X16), sedangkan variabel-variabel karakteristik individu lainnya yakni: tingkat pendidikan formal (X13), tingkat pendidikan non formal (X14), tingkat stratum rumahtangga petani (X17) dan tingkat kebutuhan petani terhadap inovasi SRI (X18) berhubungan nyata terhadap laju adopsi (Y2) pada taraf α > 0,30.
70
Namun demikian, pelaksanaan program inovasi SRI di Dusun Muhara ini dijumpai beberapa permasalahan, antara lain penggunaan pupuk organik dianggap agak menyulitkan karena mereka tidak terbiasa memanfaatkan kotoran ternak yang ada, serta adanya kesulitan dalam memperoleh limbah ternak untuk bahan pembuatan pupuk organik. Selain kekurangan limbah ternak sebagai bahan pembuatan pupuk organik di tingkat kelompok tani, pemasaran beras/gabah organik merupakan masalah yang harus diatasi. Selama ini, umumnya petani SRI menjual hasil panen kepada para pedagang lokal dengan harga yang belum memadai, walaupun masih terdapat perbedaan harga dengan gabah/beras biasa, namun harga jual padi organik dirasakan oleh para petani belum menguntungkan karena belum memberikan nilai tambah yang diharapkan.
8.2 Saran Adanya permasalahan berkenaan penyelenggaraan program inovasi SRI di Dusun Muhara berupa tidak tersedianya pupuk organik secara lokal, pengendalian hama yang masih rendah dan pemasaran padi SRI yang dirasa petani masih belum memberikan keuntungan karena belum memberikan nilai tambah yang diharapkan, perlu diadakannya suatu bantuan berupa pengadaan induk pasangan hewan ternak berupa kambing, ayam, marmot, bebek dan lain sebagainya dengan sistem bergulir dari satu petani ke petani lainnya, agar para petani memiliki rasa memiliki dan bertanggung jawab atas bantuan yang diberikan. Selain itu, perlu adanya penyuluhan dari ahli pengendalian hama untuk memberikan pelatihan bagaimana menanggulangi hama dengan menggunakan metode participatory Rural Apraisal (PRA) dan pentingnya penyadaran mengenai pertanian organik, karena para petani di Dusun Muhara sudah terbiasa dengan metode budidaya padi konvensional yang sebenarnya dapat merusak keseimbangan ekosistem alam. Terakhir, perlu adanya kesediaan dari Dinas Pertanian Tasikmalaya untuk melakukan upaya agar pemasaran padi SRI bisa memberikan keuntungan yang signifikan bagi petani dengan cara menjalin kerjasama dengan pihak distributor yang dapat memasarkan padi SRI di Dusun Muhara dengan harga yang bersaing dan juga memberikan pelatihan kepada petani mengenai sertifikasi pertanian organik dengan standar baku yang telah ditetapkan.
71
DAFTAR PUSTAKA
Agussabti. 2002. Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi. (Kasus Petani Sayuran di Propinsi Jawa Barat). Disertasi. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Anas, I. 2008. Peningkatan Produksi Padi Nasional Dan Pengurangan Emisi Gas Metan Dari Padi Sawah Melalui Penerapan Teknologi System Of Rice Intensification (SRI). http://www.noscenter.com/index-1a.html. Diakses pada Tanggal 3 Mei 2009. Anonymous. 2003. Katalog BPS: 1610, Sensus Pertanian. Jakarta: Badan Pusat Statistik. __________. 2003. Katalog BPS: 1610.32, Sensus Pertanian. Jakarta: Badan Pusat Statistik. __________. 2006. Panduan Budidaya Padi Hemat Air System of Rice Intensification (SRI). Decentralized Irrigation System Improvement Project In Eastern Region of Indonesia (DISIMP). Jakarta. __________. 2007. Melirik SRI untuk Tingkatkan Produksi. Media Informasi Sumber Daya Air edisi April-Mei 2007. __________. 2008. Padi SRI, Teknik Budidaya SRI. http://www.pu.go.id/satminkal/ dijen_sda/arsip%20Berita/2008-0117/padi%20SRI%201.pdf . Diakses pada Tanggal 24 Maret 2009. __________ 2008. Temu Lapang dan Panen Padi SRI di Kelompok Tani. http://www.tasikmalayakab.go.id. Diakses pada Tanggal 2 Mei 2009. __________ 2008. Potensi Desa Banjarsari Kecamatan Sukaresik Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat. Tasikmalaya. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2004. Revitalisasi Pertanian. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009. Republik Indonesia. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tasikmalaya. 2008. Kabupaten Tasikmalaya Dalam Angka. Tasikmalaya. Masdar, Kasim, M, Rusman, B, Hakim, Nurhajati dan Helmi. 2006. Tingkat Hasil dan Komponen Hasil Sistem Intensifikasi Padi (SRI) Tanpa Pupuk Organik di Daerah Curah Hujan Tinggi. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia Volume 8 No. 2, 2006. Hlm 126-131. Mugniesyah S.S. dan Lubis, D.P. 1990. Studi Hubungan Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi Supra Insus dengan Adopsi Supra Insus di Tingkat
Petani dan Kelompok Tani (Studi Kasus di WKPP Tambakdahan dan WKPP Mariuk, KPP Binong Subang Jawa Barat). Bogor: Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian-Institut Pertanian Bogor. Mugniesyah, S.S.M. 2006. Materi Bahan Ajar Ilmu Penyuluhan. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Mutakin, Jenal. 2008. Budidaya dan Keunggulan Padi Organik Metode SRI (System of Rice Intensification). http://www.garutkab.go.id/download_files/ article/ ARTIKEL%20SRI.pdf. Diakses pada Tanggal 24 Maret 2009. Novarianto, R. 1999. Adopsi Inovasi Teknologi TABELA bagi Petani Padi Sawah (Kasus Petani Padi Sawah di Kecamatan Tapa, Kabupaten Gorontalo, Sulawesi Utara). Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Purnaningsih, N. 2006. Adopsi Inovasi Kemitraan Agribisnis Sayuran Di Propinsi Jawa Barat. Disertasi. Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Rusastra, I.W, Lokollo, E.M, Friyatno, S. 2007. Dinamika Sosial Ekonomi Pedesaan: Analisis Perbandingan Sensus Pertanian. Seminar Nasional Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Bogor 4 Desember 2007. Rusli, Said. 1995. Pengantar Ilmu Kependudukan-cet 7 (revisi). Jakarta. PT. Pusaka LP3ES. Sadono, D. 1999. Tingkat Adopsi Inovasi Pengendalian Hama Terpadu oleh Petani (Kasus di Kabupaten Karawang, Jawa Barat). Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Sastramihardja, H dan Veronica A. 1976. Adopsi Panca Usaha Pertanian di Desa Babakan dalam Gunardi. 1980. Kumpulan Bahan Bacaan Dasar-Dasar Penyuluhan Pertanian. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Singarimbun, M. dan Sofian E. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3S. Sjarief, R. 2007. Padi SRI, Bisa Diandalkan. Media Informasi Sumber Daya Air edisi April-Mei 2007. Soewardi, H. 1972. Penyebaran Inovasi dari Lapisan Atas ke Lapisan Bawah dalam Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo. 1982. Sosiologi Pedesaan: Kumpulan Bacaan. Jilid 1. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Syafril D. 2002. Hubungan Karakteristik Petani dan Jaringan Komunikasi dengan Adopsi Inovasi Teknologi Sistem Usaha Pertanian Jagung. (Kasus di Kecamatan Rambah Hilir, Riau). Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
73
Lampiran 1. Gambar Paradigma Laju Adopsi Inovasi Variabel-variabel Pengaruh
Variabel Terpengaruh
I. KARAKTERISTIK INOVASI • • • • •
Keuntungan Relatif Kompatibilitas Kompleksitas Kemungkinan Dicoba kemungkinan Diamati Hasilnya
II. TIPE KEPUTUSAN INOVASI • • •
Opsional Kolektif Otoritas
LAJU ADOPSI INOVASI III. SALURAN KOMUNIKASI • •
Interpersonal Media Massa
IV. CIRI SISTEM SOSIAL • • •
Tradisional vs Modern Derajat Integrasi Komunikasi Dan lain-lain
V. UPAYA PROMOSI OLEH AGEN PERUBAH
(Sumber: Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1995) dalam Mugniesyah (2006))
74
Lampiran 2. Agenda Rencana Kegiatan Penelitian
Mei 2009 No
Kegiatan 1
I
Juni 2009
2
3
4
1
2
3
4
Juli 2009-
November
Oktober 2009
2009 1
2
3
Desember 2009-Januari
Februari 2010
Maret -Juni 2010
2010 4
1
2
3
4
Agustus
Juli 2010 1
2
3
2010 4
1
2
3
Proposal dan Kolokium
1.
Penyusunan draft
2.
Konsultasi Proposal
3.
Kolokium
4.
Perbaikan Proposal
II
Studi Lapangan
1.
Pengumpulan data
III
Penulisan Laporan
1.
Analisis data
2.
Penyusunan draft revisi
3.
Konsultasi laporan
IV
Ujian Skripsi
1.
Ujian
2.
Perbaikan Skripsi
75
Lampiran 3. Peta Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Tasikmalaya dan Desa Banjarsari
Peta Provinsi Jawa Barat (sumber: http://www.google.co.id/imgres)
76
Peta Kabupaten Tasikmalaya (sumber: http://www.google.co.id/imgres)
Peta Desa Banjarsari (sumber: http://maps.google.com/)
77
Lampiran 4 Petani Padi SRI Menurut Kategori Kriteria dari Semua Variabel Pengaruh dan Variabel Terpengaruh
Variabel- variabel Produktivitas (ton per ha) atau X1.1 Tingkat Pendapatan (rupiah per hektar) atau X1.2 Tingkat Kompatibilitas (X2) Tingkat Kerumitan (X3) Tingkat Kemungkinan Dicoba (X4) Tingkat Kemungkinan Diamati (X5) Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi SRI (X6) Tingkat Pengenalan Inovasi SRI dari Media Massa (X7) Tingkat Partisipan Petani Mengikuti Penyuluhan Inovasi SRI (X8) Tingkat Ketaatan Petani Berbudidaya Padi Konvensional (X9) Tingkat Integrasi Petani (X10) Tingkat Keragaman Metode Penyuluhan (X11) Frekuensi Kunjungan Penyuluh dan/atau Agen Perubah lain (X12) Tingkat Pendidikan Formal (X13) Tingkat Pendidikan Non-Formal (X14) Pola Perilaku Komunikasi (X15) Tingkat Pengalaman Berusahatani (X16) Tingkat Stratum Rumahtangga Petani (X17) Tingkat Kebutuhan Petani terhadap Inovasi SRI (X18) Tingkat Keinovativan (Y1) Laju Adopsi (Y2)
Kategori (dalam persen) Rendah Sedang Tinggi 85 10 4 62 37 1 34 47 19 6 75 19 9 85 6 6 87 7 4 4 91 97 1 1 51 29 19 6 87 7 22 56 22 15 56 29 46 32 22 6 84 10 66 29 4 13 60 26 50 43 7 74 24 3 10 26 63 18 43 40 22 18 60
Minimal 0.66 108000 5 2 5 5
Parameter Statistik Maksimal Rata-rata 15.4 5 9306500 1789392 10 6 7 6 10 7 10 7
St. deviasi 2 1902954 1 1 1 1
6 3 8 4 6
12 8 24 13 12
7 6 15 9 7
2 1 3 2 2
1 1 2
12 18 65
2 9 15
2 3 23
13
9
0
32
78
Lampiran 5 Hasil Uji Korelasi Rank Spearman Antara Variabel-Variabel Pengaruh dengan Variabel Terpengaruh Difusi Inovasi SRI Variabel-variabel
Tingkat Keinovativan (Y1)
Laju Adopsi (Y2)
rs
sig
rs
sig
Produktivitas (X1.1)
0.326
0.007*
0.064
0.602
Tingkat pendapatan (X1.2)
0.118
0.339
0.066
0.593
Tingkat Kompatibilitas (X2)
-0.014
0.911
0.035
0.776
Tingkat Kerumitan (X3)
-0.219
0.073**
0.073
0.552
Tingkat Kemungkinan Dicoba (X4)
0.239
0.050*
-0.121
0.327
Tingkat Kemungkinan Diamati (X5)
0.216
0.077**
-0.030
0.806
0.382
-0.084
0.493
Karakteristik Inovasi SRI
Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi SRI Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi SRI (X6)
-0.108 Saluran Komunikasi
Tingkat Pengenalan Inovasi SRI dari Media Massa (X7)
0.064
0.602
0.137
0.266***
Tingkat Partisipasi Petani Mengikuti Penyuluhan Inovasi SRI (X8)
0.151
0.219***
0.330
0.006*
Karakteristik Sistem Sosial Tingkat Ketaatan Petani Berbudidaya Padi Konvensional (X9)
-0.234
0.055**
0.094
0.443
Tingkat Integrasi Petani (X10)
0.009
0.941
-0.206
0.092**
Promosi oleh Agen Perubahan Tingat Keragaman Metode Penyuluhan Inovasi SRI (X11)
0.211
0.084**
0.242
0.046*
Frekuensi Kunjungan Penyuluh dan/atau Agen Perubah Lain (X12)
0.250
0.039*
0.146
0.235***
Tingkat Pendidikan (X13)
-0.086
0.484
0.000
0.997
Tingkat Pendidikan Non Formal (X14)
0.325
0.007*
0.029
0.813
Pola Perilaku Komunikasi (X15)
0.079
0.521
-0.249
0.040*
Tingkat Pengalaman Berusahatani (X16)
-0.033
0.792
0.176
0.151**
Tingkat Stratum Rumahtangga Petani (X17)
0.069
0.578
-0.100
0.415
Tingkat Kebutuhan Petani terhadap Inovasi SRI (X18)
0.003
0.983
0.041
0.741
Karakteristik Individu
Ket: * Signifikansi α=0,05 (mempengaruhi dan signifikan) ** Signifikansi α=0,10 (cukup mempengaruhi dan cukup signifikan) *** Signifikansi α=0,20 sampai α=0,30 (kurang baik mempengaruhi dan tidak signifikan) Signifikansi α>0,30 (tidak baik mempengaruhi dan sangat tidak signifikan)
79
Lampiran 6 Perbandingan Budidaya Padi SRI dan Konvensional Berdasarkan Standar Dusun Muhara Budidaya Pupuk
SRI Konvensional Pupuk Kompos, Pupuk Kimia, dengan campuran antara kotoran rincian sbg berikut: - Urea 125 Kg/Ha hewan (kohe) dan daun- TSP 100 Kg/Ha daunan -
Jarak tanam Air Jumlah benih Pembenihan Umur tanam benih Cara tanam Penyiangan Pestisida Masa produksi Hasil Gabah Kering Pungut
30x30 cm, 35x35 cm Sedikit air (macakmacak) 5 kg/ha Di nampan dengan pemilihan benih bermutu 7-15 hari Benih tunggal, horizontal (L) dan dangkal 3-5 kali/musim tanam Pestisida nabati (MOL) dan pengelolaan hama terpadu 100 hari 7-8 kg/bata atau 4,9-5,6 Ton/Ha
Za 100 Kg/Ha
20x20 cm, 25x25 cm Banyak air (tanah digenangi) 20-30 kg/ha Di sawah tanpa pemilihan benih bermutu 20-30 hari Benih banyak, vertical dan dalam 2 kali per musim tanam Pestisida kimia 110 hari 5 kg/bata atau 3,5 Ton/Ha
80
Lampiran 7 Dokumentasi Inovasi Budidaya Padi SRI di Dusun Muhara
Lahan Sawah yang dijadikan Sawah Percontohan Budidaya Padi SRI di Dusun Muhara
Pembibitan
Penyiangan dengan menggunakan Lalandak
Pengolahan Lahan dengan menggunakan traktor
Jarak Tanam 30 x 30 cm
Tanaman Eceng Gondok yang digunakan sebagai filter air untuk menyaring residu pupuk kimia
81
Penyiangan menggunakan tangan
Penyemprotan dengan MOL
Proses Pembuatan Micro Organisme Lokal (MOL)
Panen
82