System of Rice Intensification (SRI) dan Peluang Peningkatan Produksi Padi Nasional Abdul Karim Makarim dan Ikhwani Puslitbang Tanaman Pangan, Jl. Merdeka147 Bogor
Pendahuluan Pemerintah telah mentargetkan swasembada beras dan bahkan surplus beras sebanyak 10 juta ton pada tahun 2014, melalui program peningkatan produksi beras Nasional (P2BN). Program ditempuh antara lain melalui penerapan dan pengembangan System of Rice Intensification (SRI), selain SL-PTT dan GP3K. Oleh karena paket teknologi SRI ini relatif baru, maka kinerja SRI di lapang perlu dievaluasi sejak awal program, mengingat pada tahun 2013 dan 2014 target untuk pengembangan SRI adalah 200.000 ha dan 250.000 ha, sedangkan pada 2012 ditargetkan hanya 35.000 ha dari asalnya 11.920 ha tahun 2011. Prinsip dasar metode SRI adalah bertani secara ramah lingkungan, rendah asupan luar (low external input), menerapkan kearifan lokal (indigenous knowledge), membatasi penggunaan bahan kimia baik pestisida maupun pupuk. Metode SRI merupakan paket budidaya padi yang komponen-komponen utamanya telah mempertimbangkan beberapa hal sbb: (a) penghematan input, seperti benih cukup 7 - 10 kg/ha, karena jarak tanam yang diterapkan lebar yaitu 30-50 cm x 30-50 cm dan hanya 1 bibit per lubang, (b) bersih lingkungan, karena tidak menggunakan pestisida kimia dan diganti dengan pestisida nabati dalam perkembangannya; dan (c) pemanfaatan sumber lokal, seperti pupuk kandang, kompos dari sisa-sisa tanaman dan pemanfaatan mikroorganisme lokal (MOL). Metode SRI sebenarnya mirip dengan cara budi daya petani di Indonesia sebelum “Revolusi Hijau” dahulu. Hanya saja pada masa lampau kondisi alam, ekonomi dan budayanya seperti itu, yaitu (1) belum ada tuntutan untuk berproduksi tinggi, karena memang jumlah penduduk masih terbatas dan beras cukup untuk dikonsumsi; (2) pupuk kimia belum tersedia termasuk pestisida; (3) keragaman hayati, musuh alami tinggi sehingga ledakan hama tidak pernah terjadi; (4) kesuburan tanah dan kandungan bahan organik tinggi secara alami; (5) ketersediaan air berlimpah namun juga tidak banjir, atau tidak kekeringan karena cadangan air tersimpan baik dalam tanah yang terkonservasi, dengan daya dukung lahan masih kuat; (6) varietas padi yang ditanam bertipe tumbuh lambat berumur panjang (4-6 bulan) sehingga kebutuhan hara per harinya rendah (Makarim dan Suhartatik 2006). Bandingkan dengan kondisi pertanian sekarang yang dituntut ----------------------------------------1/ 2/
Disajikan pada seminar Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor 11 April 2013 Masing-masing adalah Peneliti Utama dan Peneliti Muda bidang Tanah/Ekofisiologi dan Agronomi
1
untuk hasil tinggi dalam waktu singkat (<140 hari), yang berarti setiap harinya harus tersedia hara dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan varietas-varietas padi berumur panjang sebelumnya. Metode SRI ini di luar negeri dilaporkan dapat mencapai hasil di atas 10 ton GKG/ha. Hasil padi di Bhairawa, Nepal cara petani menghasilkan 5,26 - 6,76 t/ha, dan cara SRI pada jarak tanam 30 cm x 30 cm 6,32 - 8,86 t/ha dan SRI dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm menghasilkan 7,71-9,68 t/ha, kesemuanya kurang dari 10 t/ha dan jarak tanam 20 cm x 20 cm lebih baik dibandingkan 30 cm x 30 cm (Uphoff dan Satyanarayana 2005).
Di Indonesia
dengan keragaman kondisi lingkungan pertanian seperti iklim, sifat tanah, ketersediaan air, SDA, SDM, hama dan penyakit, serta pengelolaannya, maka metode SRI yang berupa paket teknologi masih perlu diuji. Tujuan penelitian ini adalah sbb: (1) melihat keragaan sistem SRI di lapang (input produksi, keragaan pertanaman, dan hasil); dan (2) penilaian atas
peluang
pencapaian produksi padi Nasional.
Metodologi Penelitian dilaksanakan pada tahun 2012 di 6 Kabupaten di Jawa Barat, yaitu Karawang, Subang, Bandung, Tasikmalaya, Cianjur dan Sukabumi menggunakan (a) tehnik wawancara (kuesioner) dengan petani, penyuluh dan staf Dinas pada wilayah yang menerapkan program SRI, (b) menduga produktivitas tanaman dengan tehnik ubinan (dilakukan sendiri dan oleh Dinas/Pengembang SRI setempat), dan (c) desk studi dan browsing lewat internet, juga dilaksanakan untuk melengkapi infrormasi tentang SRI
Hasil penelitian 1.
Studi kasus di Kabupaten Bandung Produktivitas tanaman padi SRI organik di kelompok tani „Sarinah‟, Desa Bumi Wangi
Ciparay, Bandung berdasarkan ubinan rata-rata 7,2 ton GKP/ha, sedangkan dilaporkan 8 ton GKP/ha hingga 10 ton GKP/ha; (2) produktivitas tanaman padi SRI pada lokasi yang sama untuk varietas Aek Sibundong 7,6 ton GKP per ha, Sintanur 6,5 ton GKP per ha dan Inpari13 7,4 ton GKP per ha, menunjukkan adanya pengaruh varietas, yang selama ini tidak diperhitungkan dalam SRI; (3) Optimalisasi jarak tanam pada cara SRI, lebih rapat atau jajar legowo berpeluang dapat meningkatkan produktivitas. Jarak tanam yang lebih rapat seperti 27 cm x 27 cm atau jajar legowo ternyata mendatangkan hasil yang lebih tinggi. Hasil penelitian jarak tanam di Indonesia dilaporkan Pratiwi et al.(2005) yaitu hasil padi pada jarak tanam 20 cm x 20 cm; 25 cm x 25 cm; 30 cm x 30 cm; 40 cm x 40 cm dan 50 cm x 50 cm masing-masing 2
6,36; 5,02; 4,52; 4,82 dan 4,10 t/ha, menunjukkan rendahnya hasil pada jarak tanam lebar akibat rendahnya populasi tanaman per ha. Kemungkinan terdapat populasi optimal untuk suatu lokasi.
2.
Studi kasus di Kabupaten Tasikmalaya Hasil ubinan petani SRI di BPP Manon Jaya, Kabupaten Tasikmalaya pada MT-1 tahun
2012 dilakukan ubinan 2,5 m x 2,5 m. Jumlah rumpun yang dipanen dalam ubinan 2,5 m x 2,5 m dilaporkan sebanyak 100 rumpun, meskipun jarak tanamnya 27 cm x 27 cm. Oleh sebab itu hasil yang diperoleh dilaporkan rata-rata 10,53 ton GKP/ha dengan kisaran antara 9,44 dan 13,76 ton GKP/ha. Apabila diperhatikan bahwa dengan ubinan 2,5 m x 2,5 maka dengan jarak tanam 27 cm x 27 cm ,jumlah rumpun yang dipanen bisa 9 x 9 = 81 rumpun hingga 10 x 10 = 100 rumpun (karena tidak bisa tepat) atau terdapat perbedaan 19 rumpun, suatu perbedaan yang cukup besar. Atau seharusnya dengan jumlah rumpun ubinan 10 x 10 = 100 rumpun dan jarak tanam 27 cm x 27 cm, maka luas ubinan semestinya dihitung 7,29 m2, bukan 6,25 m2, sehingga hasil yang dilaporkan di atas, sebenarnya overestimate sebesar 17% yaitu (7,29/6,25) – 1 dikali 100%. Dengan cara demikian, hasil sebenarnya adalah 9,03 ton GKP/ha dengan kisaran antara 7,13 – 11,80 ton GKP/ha. Pada lokasi dan musim yang sama petani non-PTT dengan menggunakan varietas Ciherang dan jarak tanam 25 cm x 25 cm dilaporkan menghasilkan rata-rata 7,76 ton GKP/ha.
3.
Studi kasus di Kabupaten Karawang Hasil survei yang dilaksanakan di kelompok Tani „Wargi Mekar‟, Desa Kuto Gandak,
Kecamatan Kuto Waluyo. Rata-rata petani mengetahui tentang budidaya SRI di desa mereka sejak tahun 2008. Petani mulai mencoba budidaya SRI seperti tanam bibit muda, tanam tunggal, pengairan berselang dan menggunakan pupuk organik mulai tahun 2009. Perbandingan penggunaan pupuk organik dan urea masih berimbang (1:1). Varietas yang dominan ditanam yaitu Ciherang dan Cirata. Pada tahun 2010 dan 2011 ada penambahan luasan budidaya SRI dengan hasil di atas 6 ton GKP per ha. Harga jual gabah bervariasi; untuk lokasi sawah yang berpengairan termasuk ke dalam golongan I harga gabah berkisar antara Rp. 4.600 – 4.800,- dan golongan air II dan III harga gabah berkisar Rp 3.600 – 3.800,-. Harga gabah antara budidaya SRI dan konvensional tidak terdapat perbedaan. Secara umum harga gabah antara Rp.3.600 – 3.800,- per kg bergantung pada mutu gabah, seperti kadar air, kebernasan, dan banyak tidaknya butir hijau gabah. Pelaksanaan pertanaman SRI yang dilaksanakan oleh kelompok tani ‟Wargi Tani‟ Desa Kuto Gandak, Kecamatan Kuto Waluyo, Karawang, belum sepenuhnya menerapkan sistem 3
SRI. Penggunaan pupuk anorganik dan pestisida masih digunakan, karena sebagian besar petani masih khawatir dengan hasil yang rendah dan serangan hama penyakit seperti wereng coklat dan keong mas yang sering menyerang pertanaman mereka. Jarak tanam yang diterapkan 30 cm x 30 m dan jajar legowo, sedangkan sebelumnya 25 cm x 25 cm. Menurut petani setempat adanya perubahan jarak tanam, hasil tanaman meningkatkan dari 6,0 - 6,5 ton GKP/ha menjadi 7,0 - 7,5 ton GKP/ha. Varietas padi yang digunakan oleh sebagian besar petani SRI ialah Cirata dan Ciherang putih. Hasil pengukuran jumlah anakan masing-masing adalah 23 dan 26 per rumpun. Hasil ubinan di tingkat petani untuk varietas Ciherang dan Cirata masing-masing 6,2 dan 6,6 ton GKP/ha (Tabel 1). Tabel 1.
Hasil ubinan di tiga titik pertanaman sistem SRI di kelompok tani Wargi Tani, Desa Kuto Gandak, Kecamatan Kuto Waluyo, Karawang, tahun 2012.
Varietas
Cirata
Ubinan
Hasil ubinan (kg)
1
5,8
2
6,0
3
6,0
Jarak tanam (m2)
Jumlah rumpun
Luas ubinan (m2) 3mx3m
1
10 x10
9
9,9
3
10,0
6,67 6,67
10,5
2
GKP/ha 6,44
30 cm x 30 cm
Rata-rata Ciherang putih
Konversi t/ha
6,59 6,56
40 cm x 40 cm
10 x10
4mx4m 16
6,19 6,25
Rata-rata
6,33
Permasalahan yang dihadapi petani dalam menerapkan SRI di Kabupaten Karawang adalah sbb: (1) kesulitan untuk mendapatkan sumber bahan organik (kohe), walaupun sudah mendapatkan bantuan berupa sapi tetapi belum mencukupi ketersediaan kohe untuk padi sawah, (2) petani yang mempertahankan untuk tidak menggunakan pupuk kimia sama sekali hasilnya menurun; Oleh sebab itu mengharapkan hasil gabahnya dibeli sebagai produk beras organik dengan harga yang lebih mahal, padahal produk SRI organik belum disertifikasi sehingga harganya sama dengan beras biasa, (3) cara SRI masih membenarkan penggunaan pupuk kimia anorganik, terutama pada tanah yang kurang subur dan baru menerapkan SRI, sehingga membingungkan sebagian petani, (4) penanaman bibit muda dan satu bibit per titik tanam masih diragukan oleh sebagian besar petani yang melaksanakan program SRI, (5) penentuan hasil (ton/ha) cenderung tinggi berdasarkan kebiasaan yang dipopulerkan peserta SRI, seharusnya berdasarkan standar ubinan yang baku dari lembaga penelitian meskipun penghitungan hasil per hamparan juga dilakukan. 4
4.
Studi kasus di Kabupaten Subang SRI di Desa Tanjung Tiga Kecamatan Belanakan SRI sudah dikenal sejak tahun 2006,
tetapi petani yang terlibat langsung dalam program SRI baru 2 tahun terakhir. Pembinaan SRI berupa penyuluhan, pelatihan dan demplot (sekolah lapang).
Kebanyakan petani belum
sepenuhnya menerapkan metode SRI terutama dalam pemberian pupuk kimia anorganik (Urea, SP 36, Phonska). Pupuk kimia masih diperlukan selain karena ketersediaan pupuk organik masih terbatas juga kebutuhan hara tanaman untuk hasil tinggi belum tercukupi hanya dari bahan organik. Survei yang dilaksanakan di kelompok Tani Mitra II, rata-rata petani responden menghasilkan 9 ton GKP per ha pada tahun 2010 dan 2011.Varietas yang dominan yaitu Ciherang, Way Apo buru, Cidenok dan Mekongga. Tenaga kerja pada saat musim tanam sangat kurang karena harus tanam serentak dalam hamparan yang luas. Penanaman bibit muda menurut petani responden menyebabkan anakan menjadi lebih banyak bisa mencapai 30-35 anakan per rumpun, sedangkan pada bibit tua berkisar 15-20 anakan per rumpun. Harga jual gabah antara pertanaman SRI dan non SRI tidak ada perbedaan rata-rata Rp 4.000-Rp 4.400,- per kg. Bantuan pemerintah/dinas untuk petani non SRI hanya berupa benih sebanyak 10 kg/ha, sedangkan untuk petani program SRI mendapat bantuan pupuk organik sebanyak 10 ton, Alat pembuat pupuk organik (APPO) sebanyak 2 buah dan bantuan sapi 3 ekor per kelompok tani. Bantuan perbaikan irigasi desa (Jides) dilaksanakan sepanjang 2.200 meter. Menurut petani responden dengan program SRI ada pengurangan biaya sebesar 25% dibandingkan non SRI. Modal usahatani biasanya antara Rp 5-6 juta per ha menjadi Rp.3-4 juta rupiah per ha. Data ubinan diperoleh dari lahan bapak Haji Udin Nasrullah ketua kelompok Tani Mitra II yang menerapkan cara SRI dan menggunakan varietas unggul Mekongga dan Cidenok. Ratarata varietas Mekongga jumlah anakan 40 dengan kisaran 34 hingga 45 anakan.dan varietas Cidenok rata-rata 37 - 39 anakan. Jarak tanam yang digunakan yaitu 33 cm x 33 cm dengan sistem Legowo 8 : 1. Dibandingkan dengan petani yang menerapkan cara biasa (konvensional) perbandingan jumlah anakan antara cara SRI dan Non SRI memang terdapat perbedaan. Varietas Ciherang dan konvensional jumlah anakan 26 per rumpun, beda 14 per rumpun. Cara petani non SRI menggunakan jarak tanam 30 cm x 30 cm dan penggunaan pupuk anorganik seperti urea 5
kujang sebanyak 250-300 kg per ha. Petani konvensional juga ada yang menggunakan pupuk organik yang didapatkan dari bantuan kelompok tani setempat yang hanya diberikan pada saat pengolahan tanah dan hanya satu kali selama musim tanam. Hasil ubinan antara kedua varietas cara SRI (Mekongga dan Cidenok) tidak menunjukkan perbedaan yaitu sebesar 10,5 ton GKP per ha. Varietas Ciherang yang ditanam secara konvensional juga menghasilkan 10,6 ton GKP/ha tidak terdapat perbedaan hasil secara nyata. Komponen hasil seperti jumlah total gabah isi, gabah hampa dan jumlah gabah total per rumpun dari ketiga varietas, tertinggi pada varietas Cidenok sebesar 5.388 butir dan terendah pada varietas non SRI Ciherang sebesar 3.537 butir. 5. Studi kasus di Kabupaten Sukabumi a. Kelompok Tani Widiantani, Desa Karang Papak, Kecamatan Cisolok, program SRI sudah dikenal sejak tahun 2009. Rata-rata luas kepemilikan lahan petani responden antara 0,2 - 1 ha. Petani responden baru melaksanakan pertanaman SRI sejak tahun 2012 dengan bantuan sarana dan prasarana dari pemerintah daerah. Bantuan berupa benih sebanyak 10 kg, pupuk urea dan Phonska sebanyak 25 kg dan pupuk organik sebanyak 2 ton per kelompok tani. Hasil panen sebelum SRI rata-rata 6,8 ton GKP/ha dengan menggunakan varietas Ciherang; Harga jual gabah Rp. 3.000,- per kg. Tenaga kerja tani termasuk cukup, tetapi modal usaha tani kurang. Tanam padi pada MT-2 2012, 1 (satu) paket SRI terdiri dari 30 orang dengan luas 20 ha. Varietas yang digunakan adalah Inpari 13. Pertanaman menggunakan jajar Legowo 2:1 (30 – 60) cm x 15 cm. Tanam bibit dangkal 1-2 bibit per lubang. Untuk lahan yang endemik keong mas jumlah bibit 3-5 bibit per lubang. Hasil ubinan SRI dibandingkan dengan konvensional dari data Gapoktan menggunakan standar BPS yaitu 2,5 m x 2,5 m.disajikan pada Tabel 2.:
Tabel 2.
Awal 6,80 4,3
Hasil panen ubinan di Desa Karang Papak, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, tahun 2012. SRI non Legowo SRI Legowo 2:1 Hasil (ton GKP/ha) 7,62 8,90 Hasil ubinan (kg) 4,76 5,6
Kenaikan (%) 30.88
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sukabumi
b. Kelompok Tani Bina wargi, Desa Cikelat, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi melaksanakan Program SRI pada tahun 2012 dengan luas kepemilikan lahan antara 0.5 ha 6
- 1,5 ha. Hasil gabah pertanaman konvensional berkisar 6,0 - 6,5 ton/ha. Varietas yang digunakan Ciherang dan Inpari 13. Harga jual gabah antara RP 3.500,- Rp. 4.500,-/kg. Tenaga kerja dan modal petani responden cukup. Bantuan sarana dan prasarana diberikan berupa benih sebanyak 40 kg, Urea dan NPK sebanyak 400 kg dan APPO 1 unit. Sudah ada pembentukan kelompok tani khusus SRI. Luasan kepemilikan lahan petani responden di desa ini antara 0,2 ha - 1 ha. Meskipun pertanaman padi disebut dengan sistem SRI, namun kenyataannya menerapkan sistim Legowo 2:1 (30 cm - 60 cm) x 15 cm, yang biasanya SRI menerapkan jarak tanam lebar 30 cm x 30 cm. Tanam bibit dangkal 1-2 rumpun. Untuk lahan yang endemik keong mas jumlah bibit 3-5 bibit per lubang. Meskipun jajar legowo, namun dalam pendugaan hasil padi, ukuran ubinan yang digunakan oleh Dinas Pertanian tetap mengacu pada standar BPS 2,5 m x 2,5 m. Hasil ubinan SRI dengan petakan ubinan BPS sebanyak 119 rumpun dan hasil ubinan 5,4 kg/petak ubinan. Ubinan yang disarankan Puslitbangtan dalam buku Panduan Ubinan (bergantung pada jarak tanam) maka jajar legowo 2:1 (30 cm -- 60 cm) x 15 cm adalah 2,4 m x 2,7 m yang mencakup 3 unit legowo (6 rumpun/baris x 16 rumpun dalam baris legowo) = 96 rumpun. Hasil ubinan 1 diperoleh 4,25 kg dan ubinan 2 4,90 kg per petak ubinan (Tabel 3). Tabel 3. Hasil ubinan di lahan petani responden, Desa Cikelat, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi tahun 2012. Sampling
Ukuran ubinan cara peneliti (2,4 m x 2,7 m)
Ukuran ubinan cara BPS 2,5 m x 2,5 m
(kg) 4.252/ 4.902/
(kg) 5.61/ -
Ubinan I Ubinan II Ubinan III 1/
Jumlah rumpun panen 119;
Dugaan hasil (ton GKP/ha) Cara peneliti 7,23 6,56 7,56
Cara BPS 8,96
2/
Jumlah rumpun panen per ubinan 96.
Dalam Tabel 3 hasil padi dari cara BPS 8,96 ton GKP/ha, sedangkan dalam hamparan yang sama ”cara peneliti” menduga 6,56 dan 7,56 ton GKP/ha. Apabila cara BPS tadi dikoreksi berdasarkan jumlah rumpunnya menjadi 96 maka hasil dugaan menjadi 7,23 ton GKP/ha, mendekati cara ubinan peneliti. c. Kelompok Tani ’Rukun Tani’, Desa Cikakak, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi bertanaman SRI dikenal
sejak tahun 2007 dan baru dilaksanakan pada tahun 2012.
Bantuan sarana dari pemerintah daerah berupa benih sebanyak 6 kg/petani dan pupuk 7
organik sebanyak 2 - 4 ton per petani. Bantuan dari pemerintah daerah untuk kegiatan SRI tahun 2012 berupa benih sebanyak 200 kg per kelompok tani. Untuk petani yang memiliki lahan 1 ha atau lebih memperoleh 15 kg benih dan untuk lahan yang kurang dari 1 ha mendapat bantuan sebanyak 10 kg. Disamping itu setiap kelompok juga mendapatkan bantuan APPO sebanyak 1 unit per kelompok tani pelaksana SRI. Sedangkan untuk petani yang tidak mengikuti program tidak mendapatkan bantuan. Luas kepemilikan lahan petani responden di desa ini
antara 0,2 ha – 1 ha dengan
varietas yang digunakan yaitu IR64 dan Ciherang. Hasil gabah berkisar antara 5,0 ton/ha-6,6 ton GKP per ha dengan harga jual gabah antara Rp.3.500-4.500,-/kg. Pertanaman dengan sistim tanam Legowo 2:1 dengan jarak tanam (30 cm-60 cm) x15 cm. Tenaga kerja dan modal petani responden kurang,
sehingga kelompok sangat berperan penting dalam membantu
kekurangan modal dan tenaga kerja tersebut. d. Program SRI di Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi Pada panen perdana SRI organik MT-1 2012 oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Kabupaten Sukabumi berkerjasama dengan Gapoktan Sawargi dan kelompok tani ‟Bina Bahagia‟, di Desa Cikaret, Kecamatan Kebon Pedes dilakukan empat ubinan oleh BPS Kabupaten Sukabumi menggunakan empat varietas padi yang berbeda, yaitu Sintanur, Ciherang, Rojo lele dan Inpari 13. Hasil ubinan yang diperoleh masing-masing 9,44; 6,72; 10,24 dan 7,6 ton GKP/ha. Jarak tanam yang digunakan Jajar Legowo 2:1 (30 - 60) cm x 15 cm. Menurut Informasi, hasil ubinan SRI-Organik diperoleh 8,50 ton /ha dengan kadar air 31% atau setara dengan 6,82 ton GKG (kadar air 14%)/ha (BPS Sukabumi. 2012). Cara ubinan kedua yaitu mengitung jumlah rumpun dengan perkiraan ukuran petak ubinan 2,5 m x 2,5 m. Hasil ubinan untuk varietas Rojolele setara dengan 8,32 ton GKP/ha lebih rendah dari cara BPS 10,24 ton GKP/ha. Adanya perbedaan dugaan produktivitas tanaman padi yang besar ini, antara lain disebabkan oleh adanya perbedaan cara ubinan. Sebagai perbandingan lain (sendiri) dibuat ubinan lain dengan bantuan petani setempat di lokasi yang sama. Ukuran ubinan yaitu 3,6 m x 2,1 m = 7,56 m2 atau berupa 4 unit legowo dan 14 rumpun dalam baris, sehingga total 112 rumpun per petak ubinan. Gabah dirontok dan ditimbang dengan hasil 4,2 kg/petak ubinan yang setara dengan 5,56 ton GKP/ha.
6. Studi kasus di Kabupaten Cianjur Kelompok Tani Bakti Mandiri Desa Sukamanah, Kecamatan Karang Tengah Kabupaten Cianjur
8
Pertanaman SRI dikenal petani responden sejak tahun 2005-2009, dengan rata-rata luas kepemilikan lahan berkisar antara 0,2 - 3 ha. Menurut petani responden hasil padi yang diperoleh sebelum ada program SRI antara 5,5 t/ha-6,5 t/ha. Setelah melaksanakan program SRI (tahun 2010-2011) hasil meningkat mencapai 7 - 8 t/ha. Harga jual gabah di tingkat petani antara Rp. 3.500-Rp.4.200,-. Keadaan tenaga kerja sangat kurang tetapi petani responden ratarata memiliki modal yang cukup untuk melaksanakan kegiatan. Varietas yang dominan ditanam yaitu Mekongga dan Ciherang. Benih anjuran pada pertanaman SRI hanya 10-13 kg/ha, sedangkan pertanaman biasa (konvensional) memerlukan benih 25-45 kg /ha; Bantuan sarana dan prasarana dari pemerintah daerah hanya berupa benih sebanyak 5 kg per ha dan tidak semua petani responden mendapatkan. Umur bibit pada cara SRI 10 hari (hss), sedangkan cara biasa 25 hari.Namun, sebagian petani responden tidak menyukai umur bibit muda karena khawatir dengan hama keong mas dan tikus. Peralihan penggunaan pupuk dari pupuk kimia ke organik belum dilaksanakan sepenuhnya karena petani khawatir ada penurunan hasil. Penggunaan pupuk kimia pada pertanaman SRI dikurangi menjadi ½ dosis anjuran dan ditambah dengan penggunaan pupuk organik (pupuk kandang). Pertanaman SRI di lahan petani responden menggunakan sistim tanam jajar legowo (25-50 cm) x 12,5 cm dengan tanam bibit dangkal 1-2 rumpun.
Kelompok Tani Mukti, Desa Bojong Herang, Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur Hasil ubinan di lahan pertanaman SRI Kelompok tani Mukti, Desa Bojong Herang, Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur, tahun 2012.disajikan pada Tabel 4. Hasil padi SRI di desa ini berkisar antara 7,83 dan 8,83 ton GKP/ha dengan rata-rata 8,44 ton GKP/ha.
Tabel 4.
Hasil ubinan petani responden, Kelompok tani Mukti, Desa Bojong Herang, Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur, tahun 2012. Hasil ubinan 3 m x 2 m Hasil Sampling (kg) (ton GKP/ha) Ubinan I 5,2 8,67 Ubinan II 5,4 8,83 Ubinan III 4,7 7,83 Rata-rata 5,1 8,44
9
Pembahasan Peluang peningkatan dan pencapaian target produksi padi Nasional melalui SRI Hasil penelitian metode survei di berbagai daerah, luas pertanaman padi yang menerapkan SRI di Kabupaten Bandung, Kecamatan Bojongsoang 249 ha, Banjaran 20 ha, Ciparay 241 ha, Solokan Jeruk 20 ha dan Baleendah 20 ha, dilaporkan bahwa bercocok tanam padi organik menghasilkan panen lebih banyak. Hasil pertanian anorganik biasanya 6,0 – 7,0 ton/ha, sedangkan dengan cara padi organik 8 hingga 9,2 ton/ha. Penggunaan bahan organik, yang biasanya dikomposkan terlebih dahulu dari kotoran ternak dapat memperbaiki kondisi fisik, kimia, dan mikroorganisme tanah, sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah dan hasil tanaman padi, kecuali apabila tanah kahat hara tertentu (terutama N, P) atau karbon organik tanah sudah cukup. Pada tanah-tanah demikian, umumnya pemberian bahan organik akan menurunkan hasil apabila tidak ada tambahan pupuk anorganik. Perlu diketahui bahwa hara dalam bahan organik termasuk lambat tersedia, sedangkan hara anorganik asal pupuk kimia, cepat tersedia. Berdasarkan studi SRI di beberapa daerah, menunjukkan bahwa cara ini berbeda dari cara biasa, terutama dalam hal sbb: (1) ketergantungan terhadap input produksi (pupuk dan pestisida) menjadi sangat jauh berkurang, yang berarti akan lebih mandiri kecuali pada tahap-tahap awal penerapannya yang banyak memerlukan bantuan sarana dan prasarana; (2) memerlukan lebih banyak tenaga dan perhatian serta infestasi, seperti pembuatan input secara mandiri, perawatan tanaman, dan pemberian bahan organik dalam jumlah besar untuk meningkatkan kesuburan tanah; Penilaian terhadap besarnya peluang peningkatan produktivitas tanaman padi dengan cara SRI dalam kurun waktu 1-3 tahun ke depan (hingga tahun 2014) berdasarkan gambaran sebelumnya adalah kecil atau sama dengan cara petani dengan alasan sbb: (1). Input produksi yang dianjurkan dalam cara SRI bersifat lambat efektivitasnya, seperti efek kompos/bahan organik, pestisida hayati, mikroorganisme lokal yang perlu diberikan berkalikali dan dampaknya baru akan terlihat setelah beberapa musim tanam.
10
(2)
Efektivitas SRI (apabila anjurannya paket tetap) dalam peningkatan produktivitas padi bersifat spesifik lokasi, yaitu dapat menaikkan hasil, tidak berpengaruh atau bahkan dapat menurunkan hasil bergantung pada karakteristik lingkungan pertanian..
Kendala dan Tantangan Produksi Padi Nasional Beberapa tantangan yang dihadapi dalam meningkatkan produksi padi Nasional adalah sbb: (1) penciutan lahan terus meningkat setiap tahunnya dengan laju sekitar 2,8 juta hektar/tahun. Alih fungsi lahan yang terjadi setiap tahunnya mencapai sekitar 110.000 hektar/tahun; (2) usaha tani yang intensif menggunakan bahan-bahan kimia mengakibatkan penurunan kesuburan tanah dalam jangka panjang dan kerusakan lingkungan; (3) kelangkaan air akibat perubahan lingkungan dan perubahan iklim global, sedangkan kebutuhan air meningkat baik untuk pertanian, industri maupun perumahan/ penduduk. Oleh sebab itu, penghematan pemakaian air sudah harus dilakukan sejak sekarang, guna mengantisipasi kekurangan air di masa mendatang. Selain itu, daya tampung tanah dalam menahan air semakin berkurang akibat sempitnya area resapan air ke dalam tanah, tertahannya air di permukaan jalan, bangunan. Akibatnya, terjadilah banjir yang lebih sering dengan intensitas yang lebih tinggi di musim hujan, Sebaliknya, terjadi kekeringan di musim kemarau yang lebih lama akibat kurangnya cadangan air di dalam tanah. Dua kejadian alam seperti banjir dan kekeringan ini sering mengakibatkan gagal panen atau kehilangan atau penurunan hasil padi. (4) keterbatasan tenaga muda dalam usahatani padi; sangat sedikit petani berusia muda yang ditemukan di sawah, kebanyakan petani sudah berusia lanjut. Lajunya proses urbanisasi, dan adanya keengganan bagi kaum muda untuk menjadi petani dan lebih memilih profesi lain merupakan penyebabnya. (5) kurangnya nilai ekonomi padi dibandingkan sayuran, buah-buahan atau perkebunan menyebabkan terancamnya alih komoditas dari padi ke non-padi. . Pemikiran dan upaya dilakukan secara terus menerus diantaranya: 1) menyeimbangkan antara pemenuhan produksi pangan dalam negeri dengan jumlah penduduk yang mencapai 237 juta jiwa, 2) budidaya pertanian hemat air dan dapat menghasilkan produksi tinggi, 3) meminimalkan resiko serangan hama dan penyakit, serta 4) menerapkan pola pertanian konservasi dan ramah lingkungan.
11
Kesimpulan Berdasarkan hasil pengamatan di lapang untuk semua lokasi yang disurvei, diperoleh kesimpulan dan saran sebagai berikut: (1) Cara SRI berbeda dengan cara pertanian sebelumnya terutama dalam input produksi berupa: kompos kotoran ternak, MOL, pestisida nabati, yang kesemuanya diupayakan tersedia di tempat (di setiap unit SRI); (2) Cara budi daya SRI berupa bibit muda sebatang, tanam dangkal, jarak tanam lebar, irigasi macak-macak dalam perkembangannya mengalami modifikasi, penyesuaian dengan kondisi lingkungan setempat (faktor biotik dan abiotik), kebiasaan, pengalaman dan atau penilaian masing-masing petani dari berbagai wilayah yang beragam. (3) Usahatani metode SRI pada awalnya akan memerlukan investasi yang cukup besar, yang berhubungan dengan pengadaan bahan organik (ternak, rumah kompos, APPO, MOL dsbnya), termasuk perbaikan sistem/jaringan irigasi. (4) Cara SRI pada umumnya layak diterapkan untuk lahan petani milik sendiri, karena pada awalnya banyak investasi diperlukan untuk perbaikan kesuburan lahan, sedangkan dampaknya terhadap peningkatan hasil belum terlihat dalam beberapa musim tanam. Bagi penggarap hal ini tidak menguntungkan. (5) Cara SRI memiliki kelebihan antara lain hemat bibit, hemat air irigasi, berbasis kearifan lokal: pemanfaatan bahan-bahan alami yang tersedia setempat (pestisida nabati, mikroorganisme lokal, kompos) sehingga dapat menghemat penggunaan pupuk kimia dan pestisida dan kurang ketergantungannya dari pihak luar (pengadaan saprodi). (6) Kesulitan dalam pengembangan SRI antara lain (a) sulit merubah cara budidaya/cara pandang petani untuk beralih dari budidaya konvensional ke SRI. (b) Pada SRI organik, tantangan yang sering dihadapi adalah hama seperti keong mas, penggerek batang, gulma, yang permasalahannya berbeda dari satu lokasi ke lokasi lain, dan sulit teratasi dengan pestisida nabati meskipun diberikan berkali-kali. (c) Ketersediaan bahan untuk kompos dan pupuk organik masih terbatas serta membutuhkan waktu, tenaga, biaya dan tempat untuk melakukan pengolahan kotoran ternak menjadi pupuk organik. (7) Kegiatan pengembangan SRI pada tahun 2012 seluas 60.300 ha dan tersebar di 20 propinsi, 109 kabupaten/kota dengan melibatkan kelompok tani
pada lahan sawah
beririgasi, dan diharapkan dapat berkontribusi dalam mensukseskan program surplus 12
beras 10 juta ton pada tahun 2014; tugasnya akan semakin berat karena target luasan yang harus dicapai pada tahun 2014 adalah + 360.000 ha; dan target hasil di atas 6,5 ton GKP/ha dengan mengutamakan penggunaan internal input. Dukungan Kebijakan: 1. Karakterisasi lahan pengembangan untuk menerapkan rekomendasi budidaya padi SRI spesifik lokasi. 2. Bantuan prasarana (air irigasi, Unit Pengolahan Pupuk Organik). 3. APPO dan ternak, penyedia pupuk organik untuk tiap unit SRI (20 ha lahan kelompok tani). 4. Pelatihan pembuatan MOL, pestisida nabati, kompos dsb..dengan dibekali buku petunjuk untuk penyuluh, pendamping dan kelompok tani. 5. Pembersihan air sungai dari pencemar terutama untuk pengairan, serta perbaikan jaringan irigasi. 6. Pengembangan pasar bagi produk SRI organik bersertifikat dengan harga yang lebih baik sehingga menarik produsen. 7. Penyediaan alat bantu untuk mengevaluasi capaian produktivitas, luasan, produksi, biaya dan keuntungan dari pertanian cara SRI.
Saran: (1) Disarankan untuk lahan yang kurang subur, pada awal penerapan SRI pemberian pupuk kandang, kompos perlu disertai dengan pemberian pupuk kimia seperti Urea, SP36, KCl, Phonska dengan dosis minimal ½ dari biasanya atau dosis anjuran. Hal ini untuk mencegah terjadinya penurunan hasil. (2) Petani yang menerapkan SRI (organik penuh ataupun tidak penuh) perlu mendapatkan bantuan pembelian gabahnya dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang non SRI,
karena adanya penurunan hasil yang sering terjadi akibat tidak
digunakannya pupuk kimia. (3) Untuk daerah-daerah terisolir SRI sangat cocok. Penyediaan input mudah, namun pemasaran sulit. (4) Perlu menggunakan cara ubinan dan konversi hasil yang benar. (5) Perlu mempertimbangkan varietas yang sesuai lokasi, yang selama ini kurang diperhitungkan dalam SRI. (6) Cara SRI sebaiknya dikembangkan dengan mengintegrasikan padi dan ternak untuk memproduksi beras, daging dan biogas pada lokasi-lokasi 13
Daftar Pustaka Abdulrachman, S., A.K. Makarim, Irsal Las, and I. Juliardi. 2006. Integrated crop management experiences on lowland rice in Indonesia. In Sumarno, Suparyono, A.M. Fagi and M.O. Adnyana (eds.) Rice industry, culture and environment. Proceedings of the International Rice Conference 2005, Tabanan, Bali, Indonesia Book 1. Indonesian Center for Rice Research (ICRR), p.143-154. Cantrell, Ronald P. and Gene P. Hettel. 2004. New challenges and technological opportunities for rice-based production systems for food security and poverty alleviation in Asia and the pacific. International Conference on Rice in Global Markets and Sustainable Production Systems, FAO, Rome, February 12-13, 2004. Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian. 2012. Materi Training of Trainer System of Rice Intensification (TOT SRI). Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementrian Pertanian.Kementrian pertanian. Jakarta Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian. 2011. Evaluasi Pengembangan System of Rice Intensification (SRI). Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementrian Pertanian.Kementrian pertanian. Jakarta Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian. 2011. Kompos dan Mol. Pelatihan Unit pengolah Pupuk Organik (UPPO). Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementrian Pertanian.Kementrian pertanian. Jakarta Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian. 2008. Pedoman teknis Pengembangan Usahatani Padi sawah organik metode SRI. Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta. Dinas Pertanian Kehutanan Perkebunan dan Peternakan, 2012. Penetapan Kelompok Penerima Bantuan Sosial Kegiatan SRI. Dinas Pertanian Kehutanan Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Dinas Pertanian Kehutanan Perkebunan dan Peternakan, 2010. Materi Pelatihan Usaha tani Padi Metoda SRI. Dinas Pertanian Kehutanan Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Provinsi Jawa Barat. 2009. Rencana strategis Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Provinsi Jawa Barat. 2008-2013. Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 71 halaman.
14
Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Provinsi Jawa Barat. 2010. Laporan tahunan 2011. Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Kabupaten Subang. 2010. Laporan Akhir Pengembangan System of Rice Intensification (SRI-ICWRMIP). APBN TA.2010. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Subang. Porv. Jawa Barat. Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Kabupaten Subang. 2011. Laporan Akhir Pengembangan System of Rice Intensification (SRI-ICWRMIP). APBN TA.2011. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Subang. Propinsi. Jawa Barat. Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Kabupaten Subang. 2012. Laporan Perkembangan Kegiatan Pengembangan Padi Organik SRI. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Subang, Pemerintah Kabupaten Subang. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Sukabumi. 2012. Data Kelompok Tani Penerima Manfaat Kegiatan Pengembangan SRI. Satker Diperta. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Sukabumi., Provinsi Jawa Barat. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Sukabumi. 2012. Kegiatan Pengembangan SRI Organik APBN Tugas Pembantuan T.A.2012.. Satker Diperta. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Sukabumi., Provinsi Jawa Barat. Dinas Pertanian,Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bandung. 2011. Laporan Akhir Pengembangan System of Rice Intensification (SRI-ICWRMIP). APBN TA.2011. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Bandung. Propinsi Jawa Barat. Kementerian Pertanian. 2011. Road map peningkatan produksi beras nasional (P2BN) menuju surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014. Kementerian Pertanian.39 halaman. Makarim, A.K. 2003. Modeling pengelolaan tanaman padi. Dalam B. Suprihatno dkk (eds.) Buku 2: Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi. ISBN 979-8161-85-8. Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Halaman 181-191. Makarim, A.K.dan Ikhwani. 2012. Teknik ubinan: Pendugaan produktivitas padi menurut jarak tanam. Puslitbang Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian. 44 halaman. Makarim, A.K. dan S. Partohardjono. 2002. Analisis sistem sebagai alat bantu penyusunan strategi peningkatan produksi, pendapatan petani dan pengembangan usaha tani palawija. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Palawija. Buku 2: Hasil Penelitian dan Pengkajian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Hal.497-509. Makarim, A.K. dan E. Suhartatik. 2006. Budidaya padi dengan masukan in situ menuju perpadian masa depan. Iptek Tanaman Pangan. 1 (1): 19-29
15
Pratiwi, G.R., E. Suhartatik dan A.K. Makarim. 2010. Produktivitas dan komponen hasil tanaman padi sebagai fungsi dari populasi tanaman. In S. Abdulrachman, H.M. Toha, dan A. Gani (eds.). Buku 2:.Inovasi Teknologi Padi untuk Mempertahankan Swasembada dan Mendorong Ekspor Beras. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi 2009, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, p.443-450 Sinar Tani. 2012. SRI 2012. Untuk surplus beras 10 juta ton. Edisi Maret- April .no 3450. P.t. Duta Karya Swasta. Jakarta. Indonesia. Suhartatik, E., A.K. Makarim dan Ikhwani. 2012. Respon lima varietas unggul baru terhadap perubahan jarak tanam. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi 2011Buku 3: Inovasi Teknologi Padi Mengantisipasi Cekaman Lingkungan Biotik dan Abiotik. Halaman 1259-1273. Uphoff, N. and A. Satyanarayana. 2006. Prospects for rice sector improvement with the system of rice intensification, with evidence from India. In Sumarno, Suparyono, A.M. Fagi and M.O. Adnyana (eds.) Rice industry, culture and environment. Proceedings of the International Rice Conference 2005, Tabanan, Bali, Indonesia Book 1. Indonesian Center for Rice Research (ICRR), p.131-142. Uphoff, N. 2003. Higher yields with fewer external inputs? The system of rice intensification and potential contributions to agricultural sustainability. International journal of Agricultural Sustainability 1:38-50 Uphoff, N. 2005. Agroecological alternatives: Capitalizing on genetic potentials. Journal of Development Studies. Uphoff, N. 2011. SRI-Rice. June, 2011 website.
16