TINJAUAN PUSTAKA Rumput gajah (Pennisetum purpureum) Rumput gajah (Pennisetum purpureum) adalah tanaman yang dapat tumbuh di daerah marginal (Gambar 1). Tanaman ini juga dapat hidup pada tanah kritis dimana tanaman lain relatif tidak dapat tumbuh dengan baik (Sanderson dan Paul, 2008). Rumput gajah dipilih sebagai pakan ternak karena memiliki produktifitas yang tinggi dan memiliki sifat memperbaiki kondisi tanah (Handayani, 2002). Berikut merupakan klasifikasi dari rumput gajah: Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Sub Kingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Liliopsida (Monokotil)
Sub Kelas
: Commelinidae
Ordo
: Cyperales
Famili
: Poaceae (suku rumput-rumputan)
Genus
: Pennisetum Rich.
Spesies
: Pennisetum purpureum (USDA, 2012)
Gambar 1. Tanaman Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) Sumber: http://plants.usda.gov/java/profile/symbol=PEPU2. [17 September 2012]
Rumput gajah memiliki karakter tumbuh tegak, merumpun lebat, tinggi tanaman dapat mencapai 7 m, berbatang tebal dan keras, daun panjang dan berbunga seperti es lilin. Kandungan protein kasar rumput gajah menurun dengan bertambahnya umur karena saat semakin tua rasio daun lebih kecil dari batang. 3
Kandungan protein pada daun rumput gajah lebih tinggi dibandingkan batang. Setiap peningkatan umur atau dilakukan penundaan pemotongan selama sepuluh hari maka kandungan protein kasar akan menurun sebesar 0,87% (Syarifuddin, 2004). Kandungan nutrien rumput gajah dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Nutrien Rumput Gajah (% BK) Komponen Abu
Kandungan Nutrien (%) Hartadi et al. (1993) Sutardi (1981)* 10,1 12,0
Protein Kasar
10,1
8,69
Lemak Kasar
2,5
2,71
Serat Kasar
31,2
32,3
TDN
59,0
52,4
Sumber: Hartadi et al. (1993); Sutardi (1981)* Keterangan: *) revisi 2010
Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Tanaman ubi jalar diperkirakan berasal dari India Barat, tetapi ada yang menyebut berasal dari Amerika Tengah. Bagian tanaman ubi jalar yang terdiri dari umbi, batang dan daun dapat dilihat pada Gambar 2. Rukmana (2005), tanaman ubi jalar diklasifikasikan ke dalam golongan sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Solanales
Famili
: Convolvulaceae
Genus
: Ipomoea
Spesies
: Ipomoea batatas (L.) Lam
4
Daun
Batang Umbi Gambar 2. Tanaman Ubi Jalar Sumber : http://www.proseanet.org/florakita [17 September 2012]
Aregheore (2005) menyatakan bahwa bagian tanaman ubi jalar (daun, tangkai dan batang) merupakan 64% dari total biomassa segar tanaman ubi jalar. Bagian umbi mengandung pati sehingga dapat dijadikan sebagai sumber energi, sedangkan bagian daun mengandung protein yang tinggi yaitu sebesar 25,5%-29,8% dalam bahan kering sehingga dapat digunakan sebagai sumber protein (An et al., 2003). Komposisi nutrien tanaman ubi jalar berdasarkan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi Nutrien Tanaman Ubi Jalar (% BK) Nutrien (%) Protein Kasar
Daun 22,94
Batang 11,32
Umbi 5,11
Serat Kasar
15,61
38,61
3,48
Lemak Kasar
2,99
3,55
1,26
Ca
0,42
3,32
0,95
P
0,21
0,41
0,78
Gross Energy (kkal/kg)
3.558
4.071
1.085
Sumber : Herawati (2002)
5
Klobot Jagung Tanaman jagung pada bagian selain buah atau biji dapat menghasilkan limbah dengan proporsi yang bervariasi. Proposi tanaman jagung terbesar adalah batang jagung diikuti dengan daun, tongkol dan kulit buah jagung atau klobot jagung. Nilai palatabilitas yang diukur secara kualitatif menunjukkan bahwa daun dan kulit jagung lebih disukai oleh ternak dibandingkan dengan batang maupun tongkol (Wilson et al., 2004). Menurut Anggraeny et al. (2005; 2006), kulit buah jagung/ klobot jagung adalah kulit luar buah jagung yang biasanya dibuang. Nilai kecernaan klobot jagung (60%) hampir sama dengan nilai kecernaan rumput gajah, sehingga klobot jagung dapat menggantikan rumput gajah sebagai sumber hijauan (McCutcheon dan Samples, 2002; Wilson et al., 2004). Proporsi dan palatabilitas limbah tanaman jagung dapat dilihat pada Tabel 3 dan bagian dari tanaman jagung pada Gambar 3. Tabel 3. Proporsi Limbah, Kadar Protein Kasar dan Palatabilitas Tanaman Jagung
Daun
KA (%) 20-25
Proporsi Limbah (% BK) 20
Kulit buah/ Klobot
45-50
10
2,8
Rendah
Tongkol
50-55
20
2,8
Rendah
Batang
70-75
50
3,7
Rendah
Limbah Jagung
Protein Kasar Palatabilitas (%) 7,0 Tinggi
Sumber : McCutcheon dan Samples (2002); Wilson et al. (2004)
Daun
Buah Batang
Klobot/ Kulit Buah Gambar 3. Tanaman Jagung Sumber : http://hendipratomo.wordpress.com/2009/07/30/jagung [17 September 2012]
6
Ransum Komplit Ransum merupakan campuran jenis pakan yang diberikan kepada ternak untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi tubuhnya. Ransum yang sempurna harus mengandung zat-zat gizi yang seimbang, disukai ternak dan dalam bentuk yang mudah dicerna oleh saluran pencernaan (Ensminger et al., 1990). Ransum komplit merupakan pakan yang cukup gizi untuk hewan tertentu dalam tingkat fisiologi, dibentuk atau dicampur untuk diberikan sebagai satu-satunya makanan dan memenuhi kebutuhan pokok atau produksi, atau keduanya tanpa tambahan bahan atau substitusi lain kecuali air (Tillman et al., 1997). Menurut Ensminger et al. (1990), beberapa keuntungan yang diperoleh dari penggunaan ransum komplit antara lain: 1) meningkatkan efisiensi pemberian pakan, 2) ketika hijauan yang kurang disukai ternak disuplementasi dengan konsentrat terbatas dapat digunakan hijauan sebagai campuran, 3) campuran ransum komplit dapat memudahkan ternak untuk mendapatkan pakan lengkap. Keistimewaan ransum komplit adalah semua bahan-bahan pakan yakni hijauan, bijian, konsentrat, suplemen protein, mineral dan vitamin dicampur bersama menjadi satu dan diberikan kepada ternak sebagai ransum tunggal. Pemakaian hijauan dan konsentrat dapat bervariasi dan dalam penyusunannya dapat dicari bahan yang sesuai dengan nilai ekonomi. Pellet McElhiney (1994) menyatakan bahwa pellet merupakan hasil proses pengolahan bahan baku ransum secara mekanik yang didukung oleh faktor kadar air, panas dan tekanan, selain itu dua faktor yang mempengaruhi ketahanan serta kualitas fisik pellet adalah karakteristik dan ukuran partikel bahan. Pellet yang berkualitas harus mempunyai nutrien tinggi misalnya meningkatkan konsumsi ransum dan meningkatkan nilai nutrien (Thomas dan van der Poel, 1996). Pellet adalah ransum yang dibuat dengan menggiling bahan, mencampur, memadatkan dan mengeraskan ransum sampai keluar dari mesin pencetak melalui proses mekanik (Ensminger et al., 1990). Menurut Pond et al. (1995), pellet adalah ransum yang dibuat dengan menggiling bahan baku yang kemudian dipadatkan menggunakan die dengan bentuk, diameter, panjang dan derajat kekerasan yang berbeda. 7
Produksi
pellet
adalah
suatu
proses
pengolahan
pakan
dengan
mengompakkan bahan menggunakan mesin die sehingga menjadi bentuk silinder atau potongan kecil dengan diameter, panjang dan derajat kekerasan yang berbeda. Pellet yang berukuran besar umumnya terbuat dari pakan hijauan. Pakan dalam bentuk pellet merupakan salah satu bentuk awetan karena melalui pengawetan bahan pakan dalam bentuk yang lebih terjamin tingkat pengadaan dan penyediaannya dalam hal mempertahankan kualitas pakan (Mathius et al., 2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pellet antara lain pati, serat dan lemak (Balagopalan et al., 1988). Pati bila dipanaskan dengan air akan mengalami gelatinisasi yang berfungsi sebagai perekat sehingga mempengaruhi kekuatan pellet. Serat berfungsi sebagai kerangka pellet dan lemak berfungsi sebagai pelicin selama proses pembentukan pellet dalam mesin pellet sehingga mempermudah pembentukan pellet. Suhu dan Kelembaban Suhu sangat menentukan laju pertumbuhan dan jumlah mikroorganisme pada penyimpanan. Menurut Negara (2001), syarat umum untuk suatu kamar penyimpanan antara lain temperatur 18-24C, bersih dan terang, mempunyai ventilasi yang baik untuk sirkulasi udara. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka kelembaban relatif seharusnya makin rendah. Kelembaban relatif yang terlalu tinggi menyebabkan cairan akan terkondensasi pada permukaan bahan sehingga permukaan bahan menjadi basah dan sangat kondusif untuk pertumbuhan dan kerusakan mikrobial. Sebaliknya, jika kelembaban relatif terlalu rendah maka cairan permukaan bahan akan banyak menguap (dehidrasi), sehingga pertumbuhan mikroba terhambat oleh dehidrasi dan permukaan bahan menjadi gelap, sehingga nilai ekonomis bahan akan berkurang karena terjadi pengkerutan atau penyusutan (Frazier et al., 1979). Sifat Fisik Bahan Baku Pakan Menurut Sutardi (1997), keberhasilan suatu teknologi pakan, homogenitas pengadukan ransum, laju aliran pakan dalam organ pencernaan, proses absorpsi dan deteksi kadar nutrien semuanya terkait dengan sifat fisik pakan. Ukuran partikel dan kadar air merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sifat fisik di samping 8
distribusi ukuran partikel, bentuk dan karakteristik permukaan suatu bahan (Wirakartakusumah et al., 1992). Sifat fisik pakan penting untuk diketahui dalam beberapa permasalahan dan perancangan alat-alat yang dapat membantu proses produksi pakan serta membantu industri pengolahan hasil pertanian. Sifat fisik pakan yang penting untuk diketahui adalah ukuran partikel, berat jenis, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, sudut tumpukan dan pellet durability index. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989) pemahaman tentang sifat-sifat dan bahan serta perubahan-perubahan yang terjadi pada pakan dapat digunakan untuk menilai, menetapkan mutu pakan dan untuk menentukan keefisienan suatu proses penanganan, pengolahan dan penyimpanan. Kadar air Kadar air merupakan persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat kering atau berat basah. Kadar air berdasarkan berat basah adalah perbandingan antara berat air dalam suatu bahan dengan berat total bahan, sedangkan kadar air berdasarkan berat kering adalah perbandingan antara berat air dalam suatu bahan dengan berat kering bahan tersebut (Syarief dan Halid, 1993). Menurut Winarno (1988), kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan, hal ini merupakan salah satu sebab mengapa dalam pengolahan bahan, air tersebut dikurangi atau dihilangkan dengan cara pengeringan. Secara alami, komoditas pertanian baik sebelum dan sesudah diolah bersifat higroskopis yaitu dapat menyerap air dari udara sekeliling serta dapat melepaskan sebagian air yang terkandung ke udara. Kadar air berpengaruh terhadap kerapatan tumpukan. Semakin halus butirbutir padatan, maka semakin banyak air yang terabsorpsi sebab luas permukaan persatuan berat bertambah. Setiap bahan mempunyai daya absorpsi air permukaan berbeda (Syarief dan Halid, 1993). Kerusakan bahan pakan dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: pertumbuhan dan aktivitas mikroba terutama bakteri, ragi dan kapang; aktivitasaktivitas enzim di dalam bahan pakan; serangga, parasit dan tikus; suhu termasuk suhu pemanasan dan pendinginan; kadar air, udara; dan jangka waktu penyimpanan. Kadar air pada permukaan bahan pakan dipengaruhi kelembaban nisbi (RH) udara di 9
sekitarnya. Bila kadar air bahan rendah, RH di sekitarnya tinggi, maka akan terjadi penyerapan uap air dari udara sehingga bahan menjadi lembab dan kadar air menjadi lebih tinggi (Winarno et al., 1980). Metode pengukuran yang umum dilakukan di laboratorium adalah dengan pemanasan di dalam oven atau dengan cara destilasi. Kadar air bahan merupakan pengukuran jumlah air total yang terkandung dalam bahan pakan, tanpa memperlihatkan kondisi atau derajat keterikatan air (Syarief dan Halid, 1993). Berat Jenis Berat jenis merupakan perbandingan antara berat bahan terhadap volumenya 3
dengan satuan kg/m atau gr/cm3. Berat jenis memegang peranan penting dalam proses pengolahan, penanganan, dan penyimpanan. Pertama berat jenis merupakan faktor penentu dari kerapatan tumpukan. Kedua, berat jenis memberikan pengaruh besar terhadap daya ambang dari partikel. Ketiga, berat jenis dengan ukuran partikel bertanggungjawab terhadap homogenitas penyebaran partikel dan stabilitasnya dalam suatu campuran pakan. Ransum yang terdiri dari partikel yang perbedaan berat jenisnya besar, maka campuran ini tidak stabil dan cenderung mudah terpisah kembali. Keempat, berat jenis sangat menentukan tingkat ketelitian dalam proses penakaran secara otomatis dalam pabrik pakan, seperti dalam proses pengemasan dan pengeluaran bahan dari silo untuk dicampur (Kling dan Wohlbier, 1983). Suadnyana (1998) menyatakan bahwa adanya variasi dalam nilai berat jenis dipengaruhi oleh kandungan nutrisi bahan pakan, distribusi ukuran partikel dan karakteristik ukuran partikel. Menurut Gautama (1998), berat jenis tidak berbeda nyata terhadap perbedaan ukuran partikel karena ruang antar partikel bahan yang terisi oleh aquades dalam pengukuran berat jenis. Nilai berat jenis jagung dan hijauan menurut Gautama (1998) dan Soesarsono (1988) adalah 1,312-1,330 kg/m3 dan hijauan jauh lebih rendah 447,6-500 kg/m3 yaitu 1,023-1,363 kg/m3. Berat jenis diukur dengan menggunakan prinsip Hukum Archimedes, yaitu suatu benda di dalam fluida, baik sebagian maupun seluruhnya akan memperoleh gaya Archimedes sebesar fluida yang dipindahkan dan arahnya ke atas (Khalil, 1999). Berat jenis bersama dengan ukuran partikel berpengaruh terhadap homogenitas penyebaran partikel dan stabilitasnya dalam suatu campuran pakan. 10
Berat jenis yang tinggi akan meningkatkan kapasitas ruang penyimpanan (Syarifudin, 2001). Kerapatan Tumpukan Kerapatan tumpukan adalah perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempatinya. Nilai kerapatan tumpukan menunjukkan porositas dari bahan yaitu jumlah rongga udara yang terdapat di antara partikel-partikel bahan (Khalil, 1999). Kerapatan tumpukan akan semakin meningkat dengan semakin banyak jumlah partikel halus dalam suatu ransum (Johnson, 1994). Kerapatan tumpukan penting diketahui dalam merencanakan suatu gudang penyimpanan dan volume alat pengolahan (Syarief dan Irawati, 1993). Kerapatan tumpukan memegang peranan penting dalam memperhitungkan volume ruang yang dibutuhkan suatu bahan dengan berat tertentu, misalnya pengisian silo, elevator, dan ketelitian penakaran secara otomatis (Khalil, 1999). Pencampuran bahan ransum dengan ukuran partikel yang sama tetapi mempunyai perbedaan kerapatan tumpukan yang besar (perbedaannya > 500 kg/m3) akan sangat sulit dicampur dan cenderung terpisah. Bahan ransum dengan kerapatan tumpukan yang rendah (perbedaannya < 450 kg/m3) membutuhkan waktu jatuh dan mengalir lebih lama sehingga dapat ditimbang dengan teliti menggunakan alat penakar otomatis (Khalil, 1999). Menurut Suadnyana (1998), nilai kerapatan tumpukan menurun dengan semakin meningkatnya kandungan kadar air karena bahan akan mengembang dengan semakin tingginya kandungan air sehingga volume ruang yang dibutuhkan menjadi besar. Ukuran partikel dan kandungan air berpengaruh nyata dan konsisten terhadap kerapatan tumpukan (Khalil, 1999). Kerapatan Pemadatan Tumpukan Kerapatan pemadatan tumpukan merupakan perbandingan antara berat bahan terhadap volume ruang yang ditempatinya setelah melalui proses pemadatan (seperti penggoyangan). Menurut Sayekti (1999), kerapatan pemadatan tumpukan selain dipengaruhi oleh kadar air dan ukuran partikel juga turut dipengaruhi oleh ketidaktepatan pengukuran. Perbedaan cara pemadatan akan mempengaruhi nilai kerapatan pemadatan tumpukannya. Tingkat pemadatan serta densitas bahan sangat 11
menentukan kapasitas dan akurasi pengisian tempat penyimpanan seperti silo, container dan kemasan (Hoffmann, 1997), oleh karena itu, pengukuran kerapatan pemadatan tumpukan sebaiknya dilakukan dengan menggunakan mesin penggoyang yang terjamin kekuatan dan keakuratannya. Tingkat pemadatan bahan sangat menentukan kapasitas dan akurasi pengisian tempat penyimpanan seperti silo. Sudut Tumpukan (Angle of Repose) Sudut tumpukan (angle of repose) adalah sudut yang terbentuk jika bahan dicurahkan pada bidang datar melalui sebuah corong yang beralaskan bidang datar, sehingga membentuk sudut antara sisi tumpukan bahan dengan garis horizontal. Sudut tumpukan terbagi menjadi dua yaitu sudut tumpukan statis dan sudut tumpukan dinamis. Sudut tumpukan statis adalah sudut yang terbentuk pada saat bahan padat yang granular meluncur secara bebas sedangkan sudut tumpukan dinamis adalah sudut yang terbentuk ketika bahan padat dikeluarkan dari bin atau silo secara vertikal (Bala, 1994). Soesarsono (1988) berpendapat bahwa nilai sudut tumpukan sangat berperan dalam mendesain corong pemasukan (hopper) atau corong pengeluaran, misalnya pada silo atau pada mesin pengolah. Bahan padat dapat mengalir bebas jika sudut corong pemasukan atau pengeluaran harus sama atau lebih kecil daripada sudut tumpukan bahan. Klasifikasi aliran bahan berdasarkan sudut tumpukan dapat dihat pada Tabel 4. Tabel 4. Klasifikasi Aliran Bahan berdasarkan Sudut Tumpukan Sudut Tumpukan 20-30 30-38 38-45 45-55 >55°
Aliran sangat mudah mengalir mudah mengalir mengalir sulit mengalir sangat sulit mengalir
Sumber : Fasina dan Sokhansanj (1993)
Menurut Geldrart et al. (1990) pada bahan yang memiliki sudut tumpukan tinggi mengakibatkan perlunya proses pengadukan di dalam silo agar bahan bisa mengalir, sehingga kerja dalam industri menjadi tidak efisien, akan tetapi jika sudut tumpukan badan kecil maka turunnya bahan akan menjadi serentak. Sudut tumpukan 12
bahan yang < 35 memiliki kebebasan bergerak yang baik, sedangkan sudut tumpukan antara 35-45 memiliki kebebasan bergerak yang sedang (Prambudi, 2001). Aktivitas Air (Water Activity) Aktivitas air bahan pakan adalah air bebas yang terkandung dalam bahan pakan yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya (Syarif dan Halid, 1993). Winarno (1997), menyatakan berbagai mikroorganisme mempunyai Aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik, misalnya bakteri tumbuh pada Aw 0,90, khamir pada Aw 0,80-0,90 dan kapang pada Aw 0,60-0,70. Besarnya Aw minimum untuk tumbuhnya mikroba dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai Aw Minimum dari Beberapa Mikroba Mikroba Bakteri Khamir Kapang Bakteri Halofilik Bakteri Xerofilik Khamir Osmofilik
Aw 0,90 0,88 0,80 0,75 0,65 0,60
Sumber : Syarief dan Halid, (1993)
Suatu bahan yang akan disimpan sebaiknya memiliki aktivitas air di bawah 70% atau pada kelembaban relatif di bawah 70% (Winarno, 1997). Suatu bahan dengan kadar air dan aktivitas air yang rendah dapat lebih awet dalam proses penyimpanan dibanding dengan bahan dengan kadar air dan aktivitas air yang lebih tinggi (Syarief dan Halid, 1993). Ukuran Partikel Syarief dan Nugroho (1992) berpendapat bahwa proses reduksi ukuran (size reduction) meliputi pemotongan, pemukulan, penggerusan, dan penggilingan. Proses pengecilan ukuran dicapai dengan cara-cara mekanis tanpa terjadi perubahan kimiawi bahan, dan tujuannya adalah untuk memperoleh butiran yang seragam baik ukuran maupun bentuknya. Tujuan reduksi ukuran dalam pengolahan hasil pertanian yaitu untuk menghancurkan bahan sampai ukuran tertentu, reduksi ukuran mengakibatkan peningkatan luas permukaan spesifik bahan sehingga dapat 13
mempermudah
proses
pencampuran,
meningkatkan
palatabilitas
pakan,
meningkatkan daya cerna ternak, menghilangkan benda-benda asing dan memperkecil resiko adanya bahan-bahan yang terbuang percuma (Syarief dan Nugroho, 1992). Menurut Dozier (2001), semakin kecil ukuran partikel maka semakin luas permukaan partikel sehingga dapat meningkatkan proses pematangan dan gelatinisasi. Ukuran partikel ransum yang dibutuhkan oleh ternak tergantung pada umur, jenis dan ukuran tubuh ternak. Ukuran partikel akan mempengaruhi kecernaan nutrisi, efisiensi waktu pencampuran, kualitas pellet, banyaknya kerusakan yang terjadi saat pengangkutan, palatabilitas dan pemilihan ransum. Menurut Knot et al. (2004) menyatakan bahwa ukuran partikel dari bahanbahan penyusun ransum berperan penting bagi ahli nutrisi dalam memilih bahan yang akan digunakan dan menentukan apa yang diperlukan untuk mempercepat waktu saat memproduksi ransum komplit. Dalam praktek dianjurkan untuk menggunakan saringan dengan diameter antara 2,5 dan 4,0 mm (Mateos dan Rial, 1989), karena mereka mengizinkan keseimbangan yang baik antara kualitas pellet dan motilitas usus yang baik. Pellet Durability Index Kualitas pellet untuk pakan beberapa jenis pakan ternak berbeda-beda, perbedaan ini berkaitan erat dengan daya tahan pellet terhadap proses penanganan. Pellet harus memiliki indek ketahanan (PDI) yang baik sehingga pellet memiliki tingkat kekuatan dan ketahanan yang baik selama proses penanganan. Standar spesifikasi durability index yang digunakan adalah minimum 80% (Dozier, 2001). Daya tahan pellet diukur dengan durability pellet tester yaitu uji ketahanan standar pellet. Pellet yang baik adalah pellet yang kompak, kokoh dan tidak mudah rapuh (Murdinah, 1989). Pengaruh unsur serat terhadap kualitas fisik pellet ditentukan oleh sifat kimiawi unsur penyusun serat. Unsur serat yang larut dalam air, seperti glukosa, arabinoxylan dan pektin memiliki sifat viskositas yang tinggi, sehingga cenderung meningkatkan daya tahan (durability) pellet, sedangkan unsur serat (NDF) yang tidak mudah larut seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin dapat menurunkan daya tahan pellet (Thomas et al., 1998). 14