TINJAUAN PUSTAKA Rumput Afrika (Pennisetum purpureum Schumach cv Afrika) Rumput yang sudah sangat popular di Indonesia saat ini mempunyai berbagai nama antara lain: Elephant grass, Napier grass, Uganda grass, Pasto elefente, rumput gajah. Rumput afrika merupakan varietas dari rumput gajah. Rumput afrika sering disebut dengan rumput gajah. Rumput ini berasal dari Nigeria dan tersebar di seluruh Afrika tropika, di Indonesia sudah ada sejak tahun 1926 (Jayadi, 1991). Menurut Reksohadiprodjo (1985), rumput ini berasal dari Afrika daerah tropis, perennial dapat tumbuh setinggi 3 sampai 4,5 m, bila dibiarkan tumbuh bebas dapat setinggi 7 m, akar dapat sedalam 4,5 m. Berkembang dengan rhizom yang dapat mencapai 1 m, panjang daun 16 sampai 90 cm dan lebar 8 sampai 35 mm. Rumput gajah dapat dibiakkan secara vegetatif dengan stek batang atau sobekan rumpun. Panjang stek yang dianjurkan adalah 20 – 25 cm, minimal terdiri atas dua buah buku dan diambil dari tanaman berumur 3 – 6 bulan (Reksohadiprodjo, 1985). McIlroy (1976) menyatakan bahwa rumput gajah lebih disukai ternak, tahan kering, berproduksi tinggi dan merupakan jenis rumput yang sangat baik untuk silase karena bernilai gizi tinggi. Tumbuh baik pada tanah subur dan tidak terlalu liat, pH tanah lebih kurang 6,5 dengan curah hujan sekitar 1000 mm/tahun. Agar diperoleh hasil yang optimal perlu dilakukan penyiangan dan pemupukan secara teratur. Menurut Jayadi (1991), rumput gajah ditanam dengan bahan penanaman stek atau pols. Penanaman dengan stek memberikan pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan pols. Jarak tanam kurang lebih 1 x 1 m disesuaikan dengan tingkat kesuburan tanahnya. Penanaman yang baik dilakukan pada permulaan musim hujan. Panen pertama berkisar antara 60-80 hari setelah tanam sedangkan panen berikutnya setiap kurang lebih 40 hari sekali pada musim hujan atau kurang lebih 5060 hari pada musim kemarau. Tinggi tanaman juga dimanfaatkan sebagai indikator pemanenan. Pemotongan rumput yang dapat dilakukan bila sudah setinggi 1-1,5 m karena apabila lebih tinggi atau lebih tua proporsi batang sedemikian besarnya sehingga kandungan serat kasar tinggi. Pemotongan rumput hendaknya disisakan setinggi 10-15 cm dari permukaan tanah. Mansyur et al. (2003) menyatakan bahwa interval pemotongan yang terlalu tinggi akan meningkatkan kandungan serat kasar dan menurunkan kecernaan hijauan.
3
Hasil Tim Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB (2003) rumput gajah memiliki kandungan bahan kering yang rendah yaitu 12%-18%, serat kasar berkisar dari 26%-40,5 %, Beta-N sekitar 30,4%-49,6%, lemak kasar 1,0%-3,6%, dan Ca 0,14%-0,48%. Menurut Lubis (1992) rumput gajah memiliki protein kasar 9,66 %.
Rumput Hawaii (Pennisetum purpureum Schumach cv Hawaii) Rumput hawaii merupakan varietas dari rumput gajah. Rumput hawaii berasal dari Afrika tropik, termasuk tanaman tahunan, membentuk rumpun yang terdiri dari 20-50 batang dengan diameter ± 2,3 cm. Tumbuh tegak, daun lebat, batang diliputi oleh perisai daun yang agak berbulu, dan perakaran dalam. Tinggi batang bisa mencapai 2-3 m dengan lebar daun 1,25-2,5 cm serta panjang 60-90 cm (Lugiyo dan Sumarto, 2000). Perbanyakan dapat dilakukan dengan stek batang. Rumput hawaii dapat tumbuh pada ketinggian 0-3000 m (dataran rendah sampai dataran tinggi). Tumbuh baik pada tanah subur dan tidak terlalu liat dengan pH ± 6,5 dengan curah hujan cukup sekitar 1000 mm/tahun atau lebih . Rumput ini kurang tahan pada musim kemarau yang panjang. Jenis rumput gajah yang terkenal di Indonesia adalah jenis hawaii dan afrika (Siregar, 1970). Perbedaan jenis hawaii dan afrika adalah terletak pada daunnya. Daun rumput hawaii memiliki bulu lebih banyak dan halus dibandingkan dengan rumput afrika.
Rumput hawaii dapat
berbunga pada minggu ke tujuh setelah tanam.
Tabel 1. Rata-rata Produksi Hijauan Rumput Hawaii dan Afrika di Bogor . Produksi Hijauan
Perbandingan Batang dengan Daun (%)
Jenis
(ton/ha/tahun)
Rumput
Berat
Berat
Segar
Kering
Batang
Daun
Batang
Daun
525
63
59
41
64
36
376
40
57
43
44
56
Hijauan Segar
Bahan Kering
Rumput Hawaii Rumput Afrika
Sumber : Lugiyo dan Sumarto (2000).
4
Teknik budidaya rumput hawaii yang baik adalah dengan cara mengolah tanah dengan baik sampai gembur dan dibersihkan dari tumbuhan pengganggu. Waktu penanaman yang baik adalah awal musim hujan sehingga saat musim kemarau akar tanaman sudah cukup dalam dan kuat. Kapur Kapur adalah bahan yang mengandung unsur Ca yang dapat meningkatkan pH tanah (Pagani, 2011). Pemberian kapur dapat meningkatkan ketersediaan unsur fosfor (P) dan molibdenum (Mo). Kapur yang banyak digunakan di Indonesia dalam bentuk kalsit (CaCO 3 ) dan dolomit (CaMg(CO 3 ) 2 ). Kandungan kalsium dalam dolomit adalah sekitar 30%, sedangkan dalam kalsit sekitar 90% (Novizan, 2001). Penelitian Pagani (2011) menyatakan bahwa hasil jagung lebih tinggi dengan menggunakan kapur CaCO 3 dibanding menggunakan kapur dolomit (CaMg(CO 3 ) 2 ) yang ditanam pada tahun kedua setelah penanaman kedelai pada tahun pertama.
Ukuran Bahan Kapur Selain kualitas kapur, laju reaksi bahan kapur dengan tanah (laju netralisasi kemasaman) dipengaruhi oleh ukuran bahan kapur. Semakin halus bahan kapur, semakin cepat reaksinya dengan partikel tanah, akibat semakin baiknya kontak atau pencampuran bahan kapur dengan tanah (Munawar, 2011). Pada umumnya, bahan kapur pertanian dapat bereaksi sempurna dengan tanah dalam waktu tiga tahun. Kehalusan bahan kapur dinyatakan dalam persentase bahan yang lolos melalui saringan dengan ukuran mesh tertentu. Laju reaksi bahan kapur meningkat sampai ukuran maksimum 100 mesh (Munawar, 2011).
5
Tabel 2. Pengaruh Ukuran Bahan Kapur Terhadap Perubahan pH Tanah Setelah Satu Tahun, dengan Dosis 2 ton/ha. Ukuran Bahan Kapur (mesh)
pH Tanah CaCO 3
Efektivitas Relatif
CaMg(CO 3 ) 2
CaCO 3
CaMg(CO 3 ) 2
Tidak Dikapur
5,0
5,0
0
0
4-8
5,0
5,0
5
8
20-30
5,6
5,5
54
39
40-50
5,9
5,8
74
65
60-80
6,3
6,2
96
84
100
6,5
6,6
100
100
Sumber : Mahler (1987) diacu pada Munawar (2011).
Kemampuan bahan kapur menetralisir kemasaman tanah disebut kalsium karbonat ekivalen (KKE) atau calcium carbonate equivalent (CCE). Semakin halus partikel kapur (dengan angka mesh yang lebih besar) semakin besar perubahan pH tanah setelah sekitar satu tahun. Di akhir tahun pertama, bahan kapur dolomit (CaMg(CO 3 ) 2 ) lebih halus dari 100 mesh dapat meningkatkan pH tanah lebih tinggi daripada kalsit (CaCO 3 ), karena dolomit memiliki KKE 109 (Munawar, 2011).
Dolomit Dolomit berasal dari batu kapur dolimitik dengan rumus CaMg(CO 3 ) 2 . Berbentuk bubuk berwarna putih kekuningan. Dikenal sebagai bahan untuk menaikkan pH. Dolomit adalah sumber Ca (30%) dan Mg (19%) yang cukup baik. Kelarutannya agak rendah dan kualitasnya sangat ditentukan oleh ukuran butiran. Semakin halus butirannya akan semakin baik kualitasnya (Adriani, 2009).
Pengapuran Soepardi (1983) menerangkan bahwa, tujuan utama pengapuran adalah menaikkan pH tanah hingga tingkat yang diinginkan dan mengurangi atau meniadakan keracunan Al. Disamping itu juga untuk meniadakan keracunan Fe dan Mn, serta menyediakan hara Ca. Kebutuhan kapur dapat ditentukan dengan berbagai cara tetapi untuk tanah masam di daerah tropis disarankan berdasarkan Al-dd (aluminium dapat ditukarkan). Menurut Naibaho (2003), faktor-faktor yang 6
menentukan banyaknya kapur yang diperlukan adalah pH tanah, tekstur tanah, kadar bahan organik tanah, mutu kapur dan jenis tanaman. Apabila pemberian kapur melebihi pH tanah yang diperlukan akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan optimum tanaman dan tidak efisien. Cara pengapuran juga harus diperhatikan. Pada dasarnya kapur diberikan pada tanah bila diperkirakan hujan tidak akan turun pada saat pemberian kapur (Leiwakabessy dan Sutandi, 1998). Tanaman yang menyukai kapur adalah tanaman kacang-kacangan dan legum. Yost dan Ares (2007) menganjurkan dalam pengapuran jenis tanaman juga harus diperhatikan. Sebagian besar pohon tidak respon terhadap pengapuran berbeda dengan tanaman jenis sayuran. Kapur yang umum digunakan adalah dari golongan karbonat, baik dalam bentuk kalsit (CaCO 3 ) maupun dolomit (CaMg(CO 3 ) 2 ). Kalsit umumnya lebih halus dan bereaksi lebih cepat dibandingkan dengan dolomit (Pagani, 2011). Dolomit selain mengandung Ca juga mengandung Mg, sehingga dolomit akan berpengaruh lebih baik bagi tanah yang memiliki kadar Mg rendah . Bahan kapur yang diberikan ke dalam tanah akan mengalami reaksi sampai terbentuk keseimbangan baru. Reaksi yang terjadi pertama kali adalah penguraian bahan kapur membentuk ion CO 3 serta ion-ion Ca dan Mg. Selanjutnya, ion CO 3 yang terbentuk menarik ion H dari komplek jerapan dengan reaksi sebagai berikut: (CaMg)CO 3 CO 3 2- + H 2 X (CaMg)2+ + X2-
⇆ (CaMg)2+ + CO 3 2⇆ H 2 CO 3 + X2-
⇆ (CaMg) X, dimana X adalah komplek jerapan
Dengan demikian yang berperan sebagai agen pengapuran adalah CO 3 sebab ion Ca sendiri tidak sanggup melepaskan H+ dari komplek jerapan (Kussow, 1971). Jones (1979) menjelaskan bahwa pengapuran pada tanah masam perlu dilakukan sebab kapur memiliki pengaruh yang menguntungkan dalam sistem tanah, diantaranya: 1) meningkatkan pH tanah; 2) mensuplai Ca dan Mg; 3) merangsang aktivitas mikroorganisme sehingga mempercepat degradasi bahan organik; 4) meningkatkan ketersediaan P; 5) meningkatkan fiksasi N oleh tanah dan organisme tanah; 6) memperbaiki sifat fisik tanah dan 7) mengurangi aktivitas unsur-unsur yang dapat meracuni tanaman.
7
Menurut Tisdale et al. (1985), penambahan bahan kapur ke dalam tanah dengan takaran yang tepat dapat meningkatkan pH tanah, ketersediaan dan efisiensi pemupukan fosfat serta menurunkan kelarutan beberapa unsur seperti Al, Fe dan Mn yang mencapai tingkat yang meracuni tanaman. Pagani (2011) juga menyatakan bahwa pengapuran dapat meningkatkan pH tanah dan pH tanah yang maksimum ditemukan pada tahun kedua setelah pengapuran.
Sifat Umum Tanah Latosol Tanah latosol adalah tipe tanah yang terbentuk melalui proses latosolisasi. Proses latosolisasi memiliki tiga proses utama, yaitu (1) pelapukan intensif yang terjadi terus menerus, (2) terjadi pencucian basa-basa yang mengakibatkan penumpukan seskuioksida, dan (3) terjadi penumpukan mineral liat kaolinit. Proses latosolisasi biasanya terjadi pada daerah-daerah yang memiliki curah hujan tinggi, sehingga gaya hancur bekerja lebih cepat (Soepardi, 1983). Menurut Soepraptohardjo (1978) tanah latosol di Indonesia adalah tanah mineral yang berbahan induk tuf vulkan. Tipe tanah ini berada di ketinggian 5-1000 m di atas permukaan laut dengan topografi datar sampai bergunung. Solum tipe tanah ini setebal 1,5-3 m, warna merah kuning, batas-batas horizon baur dan bertekstur liat. Tanah latosol tersebar cukup luas sebagai lahan pertanian khususnya perkebunan. Tanah latosol dari daerah Dramaga pada umumnya sifat fisiknya sudah baik dengan ciri-ciri bertekstur liat berdebu, lempung berdebu sampai lempung berpasir. Bobot isi berkisar antara 0,90-0,97 g/cm3, porositas tanah berkisar antara 63 %-68 %. Pori drainase cepat tergolong sangat rendah sampai rendah, drainase dan tata udara tergolong baik, air tersedia rendah sampai sangat tinggi (Soeparto, 1982). Kesuburan kimia tanah ini biasanya sangat rendah sampai sedang. Jenis mineral liat tanah ini termasuk pada kelompok kaolinit, oleh sebab itu umumnya tanah ini memiliki KTK yang relatif rendah. Hal ini sebagian disebabkan oleh kadar bahan organik yang sedikit dan sebagian lagi oleh sifat liat dan hidro-oksida besi. Kandungan Al dan Fe yang relatif tinggi menyebabkan fosfat mudah terikat dan membentuk Al-P dan Fe-P yang kurang tersedia bagi tanaman (Soepardi, 1983).
8