RESPON FISIOLOGIS SAPI PERAH FH LAKTASI YANG DIBERI PAKAN RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum) DENGAN UKURAN POTONGAN YANG BERBEDA
JODI NOVIANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Respon Fisiologis Sapi Perah FH Laktasi yang Diberi Pakan Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dengan Ukuran Potongan yang Berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Jodi Novianti NIM D151120161
RINGKASAN JODI NOVIANTI. Respon Fisiologis Sapi Perah FH Laktasi yang Diberi Pakan Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dengan Ukuran Potongan yang Berbeda. Dibimbing oleh BAGUS P. PURWANTO dan AFTON ATABANY. Produksi susu segar dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan nasional karena rendahnya produktivitas ternak. Pakan ternak dan cara pemberian yang sesuai dengan kebutuhan ternak dapat mendukung produksi dan produktivitas ternak. Pemberian rumput unggul tanpa dipotong menyebabkan banyak bagian terbuang yang menyebabkan tidak efisien, sehingga dilakukan pemotongan ukuran untuk melihat respon fisiologis ternak dalam meningkatkan konsumsi pakan, kecernaan, serta efisiensi produksi susu sapi. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli – Oktober 2013 di Laboratorium Lapang Fapet IPB dengan menggunakan sapi perah laktasi pertama sebanyak empat ekor yang diberikan pakan rumput gajah (Pennisetum purpureum) dengan ukuran potongan 5 cm, 10 cm, 15 cm dan kontrol (tanpa potongan) serta konsentrat. Rancangan yang digunakan yaitu Rancangan Bujur sangkar Latin (RBSL) dan dianalisa secara ANOVA pada empat taraf perlakuan dengan respon fisiologis, konsumsi, kecernaan dan efisiensi produksi susu sebagai peubah yang diamati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi kandang maupun lingkungan berpotensi menyebabkan cekaman stress (THI : 68–90). Ukuran potongan rumput tidak nyata berpengaruh terhadap respon denyut jantung dan laju respirasi dengan nilai tertinggi pada ukuran potong 10 cm masing – masing 71.7 ± 3.4 kali/menit; 44.6 ± 5.5 kali/menit dibandingkan ukuran potong kontrol, 5 cm dan 15 cm. Walaupun secara statistik tidak berbeda nyata, suhu rektal, suhu permukaan dan suhu tubuh dengan ukuran potongan 5 cm sedikit lebih tinggi dibandingkan ukuran potongan lainnya. Pada sapi perah laktasi, konsumsi pakan digunakan untuk perkembangan tubuh ternak dan produksi susu sehingga diharapkan dengan adanya pemotongan dapat meningkatkan produksi susu. Namun didapatkan perlakuan pemotongan rumput tidak nyata pengaruhnya terhadap konsumsi dan produksi susu (P>0.05). Rataan konsumsi BK pakan dan produksi susu dengan ukuran potong 5 cm (17.11 ± 3.12 kg; 6.06 ± 1.39 liter) lebih tinggi dibandingkan ukuran 15 cm (16.28 ± 4.05 kg; 5.49 ± 1.93 liter), kontrol (15.97 ± 3.12 kg; 5.35 ± 1.55 liter) dan 10 cm (15.71 ± 0.55 kg; 5.28 ± 1.42). Kondisi lingkungan yang sama, ukuran potongan rumput berpengaruh tidak nyata terhadap kecernaan bahan kering (BK), lemak kasar (LK), serat kasar (SK), BETN dan TDN namun berpengaruh nyata terhadap kecernaan protein kasar (P<0.05). Kecernaan protein kasar pada ukuran potong 5 cm (66.35 ± 5.29 %) dan 15 cm (67.44 ± 4.83%) lebih tinggi dibandingkan kontrol (63.40 ± 7.65%) dan 10 cm (64.61 ± 5.92%). Perlakuan pemotongan rumput tidak nyata pengaruhnya terhadap konsumsi BK pakan dan feses, begitu pula dengan efisiensi BK, protein kasar dan lemak kasar tidak berpengaruh nyata terhadap ukuran potongan rumput gajah. Potongan ukuran rumput tidak mempengaruhi konsumsi pakan, efisiensi dan kecernaan beberapa nutrient pakan namun berpengaruh terhadap kecernaan protein.
Berdasarkan penelitian dapat dikatakan bahwa pemotongan ukuran rumput tidak mempengaruhi respon fisiologis ternak (respon normal) namun meningkatkan konsumsi pakan 0.2-0.9 kg BK/ekor/hari dan produksi susu sebanyak 0.2 – 0.5 liter per hari, serta efisiensi protein susu sebesar 2.3%-3.1%. Kata kunci : ukuran potongan rumput, respon fisiologis, konsumsi pakan, produksi susu, kecernaan dan efisiensi
SUMMARY JODI NOVIANTI. Physiological Response Of Lactating Fh Dairy Cow On Giving Elephant Grass (Pennisetum Purpureum) With Different Cutting Size. Supervised by BAGUS P. PURWANTO and AFTON ATABANY. Domestic fresh milk production had not been able to fulfill national consumption because low productivity of dairy cows. The right animal feed and feeding method would support productivity of dairy cows. Distribution of superior grass without cutted causing a lot of wasted parts that made unefficiency, so the grass size would be cutted to see the physiological responses of animal an increasing feed consumption, digestibility, and milk production efficiency. The study was conducted on July until October 2013 in Field Laboratory of Animal Husbandry IPB using four lactation dairy cattle was gave elephant grass (Pennisetum purpureum) on cut size 5 cm, 10 cm, 15 cm and control (without cutting size) and consentrate. The research designs were Latin Square Design (RBSL) and analyzed by ANOVA on the four stage treatment with physiological responses, consumption, digestibility, milk production efficiency as observed variables. The results showed that cage condition and environmental could potentially caused stress (THI : 68–90). Cutting the size of grass did not significantly affect to heart rate and respiration rate with the highest value on cutting size 10 cm were 71.7 ± 3.4 beats/ min; 44.6 ± 5.5 beats/min compared with control cutting size, 5 cm and 15 cm. Although not statistically significantly different, rectal temperature, surface temperature and body temperature with cutting the size 5 cm was slightly higher than the size of the other pieces. In lactating dairy cows, feed consumption was used for the development and production of milk that is expected with the cutting size can increase milk production. Treatment cutting of grass was not significantly different to feed consumption and milk production (P> 0.05). The average of DM (Dry Material) from feed consumption and milk production on cut size 5 cm (17.11 ± 3.12 kg; 6.06 ± 1.39 liters) higher than 15 cm (16.28 ± 4.05 kg; 5.49 ± 1.93 liters), controls (15.97 ± 3.12 kg; 5.35 ± 1.55 liters) and 10 cm (15.71 kg ± 0:55; 5.28 ± 1.42 liters). With the same environmental conditions, the size of grass did not significantly affect to the digestibility of Dry Material (BK), Crude Fat (LK), Crude Fiber (SK), BETN and TDN but significant effect to the digestibility of crude protein (P<0.05). Digestibility of proteins on cut size 5 cm (66.35 ± 5.29%) and 15 cm (67.44 ± 4.83%) than controls (63.40 ± 7.65%) and 10 cm (64.61 ± 5.92%). Digestibility of proteins on cutting size in 5 cm (66.35 ± 5.29%) and 15 cm (67.44 ± 4.83%) higher than controls (63.40 ± 7.65%) and 10 cm (64.61 ± 5.92%). Treatments of the grass cutting were not significant effect to dry material and feces, as well as the efficiency of dry material, crude protein and crude fat were not significantly affect the size of elephant grass clippings. The size pieces of grass were not effect to feed consumption, efficiency and nutrient digestibility of feed but effect on protein digestibility.
Based on the researched that cutting size of grass was not affect to animal physiological responses (normal response), but cutting size could be increase feed intake as 0.2-0.9 kg DMI/head/day, milk production as 0.2-0.5 liters per day, and efficiency of milk protein as 2.3%-3.1%. Keywords : The size pieces of grass, physiological responses, feed consumption, milk production, digestibility and efficiency
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RESPON FISIOLOGIS SAPI PERAH FH LAKTASI YANG DIBERI PAKAN RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum) DENGAN UKURAN POTONGAN YANG BERBEDA
JODI NOVIANTI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Salundik, M.Si.
Judul Tesis : Respon Fisiologis Sapi Perah FH Laktasi yang Diberi Pakan Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dengan Ukuran Potongan yang Berbeda Nama : Jodi Novianti NIM : D151120161
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Bagus P. Purwanto, M.Agr Ketua
Dr Ir Afton Atabany, M.Si Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Salundik, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 19 Juni 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli sampai Oktober 2013 ini ialah respon fisiologis sapi perah, dengan judul Respon Fisiologis Sapi Perah FH Laktasi yang Diberi Pakan Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dengan Ukuran Potongan yang Berbeda. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister pada program studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa proses penelitian dan penulisan dari tesis ini tidak akan berjalan lancar tanpa adanya dukungan dari banyak pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih. Kepada yang terhormat Bapak Dr Ir Bagus P. Purwanto, MAgr dan Bapak Dr Ir Afton Atabany, MSi selaku komisi pembimbing, penulis menghaturkan ucapan terimakasih atas curahan waktu, arahan, bimbingan, dan dorongan semangat mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis. Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada Dr Ir Salundik selaku penguji luar komisi pada ujian sidang atas saran dan masukan yang diberikan. Kepada Bapak Sigid Prabowo, SPt. MSc, Bapak Dedi Permadi beserta staf dari Laboratorium Ternak Perah Fakultas Peternakan IPB, penulis mengucapkan terimakasih atas pendampingannya selama melakukan penelitian. Kepada Dr Ir Salundik MSi selaku Ketua Program Studi ITP serta jajarannya (Ibu Ade dan Mba Okta) di sekretariat Pasca ITP, penulis menghaturkan terimakasih atas pelayanan prima selama penulis menempuh studi. Kepada teman-teman seperjuangan di Program Studi ITP angkatan 2012 terimakasih atas kebersamaannya dalam diskusi-diskusi selama ini dan semoga persahabatan serta kerjasama ini tetap terjalin pada waktu mendatang. Kepada semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat disebutkan satu persatu penulis juga mengucapkan terima kasih. Terima kasih kepada Badan SDM Kementerian Pertanian atas beasiswa dan Dr Ir Afton Atabany, MSi atas bantuan dana penelitian sehingga penulis dapat melakukan penelitian dengan lancar. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada mama Mardiana Simatupang dan suami tercinta Parlindungan Silaban atas dukungannya selama sekolah pascasarjana ini dan anak-anak (Hezky, Hasianna dan Raja) atas doa, kasih sayang, kesabaran dan dukungan serta motivasi yang selalu diberikan pada penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2014
Jodi Novianti
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 1 2 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah FH (Fries Holland) Produksi dan produktivitas Sapi Perah Rumput Gajah Manajemen Pemberian Pakan Respon Fisiologis
2 2 3 3 5 6
3 METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Peubah yang diamati Analisis Data
7 7 7 8 9 10
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Mikroklimat Lingkungan dan Kandang Respon Fisiologis Konsumsi Pakan dan Produksi Susu Kecernaan Pakan dan Efisiensi Produksi Susu
11 11 13 17 19
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
22 22 23
DAFTAR PUSTAKA
23
LAMPIRAN
29
RIWAYAT HIDUP
31
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kandungan nutrient rumput gajah (% BK) Analisa Proksimat Pakan Ternak Kondisi mikroklimat selama penelitian Hasil respon fisiologis sapi perah terhadap perlakuan ukuran pemotongan Suhu rektal ternak sapi perah (o C) selama penelitian Suhu permukaan tubuh (o C) selama penelitian Suhu tubuh (o C) selama penelitian Denyut jantung (kali/menit) selama penelitian Laju respirasi (kali/menit) selama penelitian Konsumsi pakan dan produksi susu selama penelitian Produksi dan kualitas susu Hasil kecernaan nutrien terhadap perlakuan ukuran potongan rumput gajah Efisiensi produksi susu
5 8 11 13 14 15 15 16 17 17 19 19 21
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Tanaman rumput gajah (Pennisetum purpureum) Ukuran potongan rumput Kondisi suhu lingkungan (♦) dan suhu kandang (■) Nilai THI Lingkungan (♦) dan THI Kandang (■)
4 8 12 13
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi perah laktasi sangat sensitif terhadap stress panas. Mekanisme termoregulasi dalam menjaga keseimbangan termal pada sapi dapat menurunkan produksi susu (Collier et al. 1982; Shearer dan Beede 1990). Faktor lainnya seperti tahap laktasi dan kebutuhan reproduksi juga mempengaruhi toleransi panas pada sapi (Igono dan Johnson 1990). Metode yang dilakukan untuk mengevaluasi atau memprediksi pengaruh kondisi termal pada intake (asupan) dan tahap laktasi harus memperhitungkan sensitivitas hewan dan respon terhadap faktor lingkungan. Pemeliharaan sapi perah pada kondisi iklim tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi dapat menurunkan produktivitas ternak dan produksi susu (Amir 2010). Kebutuhan energi pada sapi perah laktasi ditentukan oleh kebutuhan untuk hidup pokok yang dipengaruhi oleh berat badan, sedangkan kebutuhan untuk produksi susu dipengaruhi oleh banyaknya susu yang disekresikan dan kadar lemak yang terkandung di dalam susu (Bath et al. 1985). Kebutuhan nutrisi sapi perah laktasi erat hubungannya dengan bobot badan dan produksi susu yang dihasilkannya, sedangkan konsumsi pakan erat kaitannya dengan kandungan serat kasar pakan sehingga konsumsi pakan akan menurun apabila kandungan serat kasar pakan tinggi (Sutardi 1981). Asupan (intake) pakan merupakan salah satu faktor untuk mempertahankan produksi susu. Sapi seharusnya diusahakan agar dapat memaksimalkan intake pakan selama laktasi. Hijauan menjadi sumber kehidupan penting dalam perkembangan ternak, oleh karena itu hijauan diharapkan yang berkualitas baik dan mudah dicerna oleh ternak. Menurut Riyanthi (2006), tidak adanya pengaruh pemberian pakan rumput gajah dengan ukuran pemotongan yang berbeda terhadap tingkah laku makan pada sapi PFH laktasi. Pemotongan pada hijauan unggul khususnya rumput gajah (Pennisetum purpureum) menjadi perhatian dalam penelitian ini, karena ukuran rumput yang dimulai dari batang hingga daun dapat tumbuh cepat dan tegak mencapai 2-4 meter (Reksohadiprodjo 1985), maka diperlukan perlakuan yang memudahkan ternak untuk menghabiskan keseluruhan bagian rumput. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh ukuran potongan rumput terhadap respon fisiologis ternak yang dapat mempengaruhi tingkat konsumsi pakan, kecernaan, produksi susu dan efisiensi. Perumusan Masalah Manajemen pemeliharaan pada sapi perah sangat berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas ternak, termasuk didalamnya pemberian pakan ternak yaitu Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) sebagai makanan ternak dapat menopang pertumbuhan dan perkembangan ternak. 1. Rumput gajah memiliki waktu yang cepat untuk bertumbuh namun biasanya rumput diberikan pada ternak tanpa dilakukan pemotongan sehingga banyak sisa rumput yang terbuang/tidak dimakan. Untuk memaksimalkan dimakannya
2 seluruh bagian-bagian rumput maka dilakukan pemotongan yang belum diketahui seberapa besar rumput tersebut tercerna dan terserap secara maksimal pada ternak. 2. Pemberian pakan rumput gajah dengan metode pemotongan yang berbedabeda belum diketahui pengaruhnya terhadap respon fisiologis ternak sapi perah FH masa laktasi yang dapat memberikan perubahan pada tingkat kecernaan dan produksi susu. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas sapi FH melalui metode pemberian pakan rumput gajah (Pennisetum purpureum) dengan ukuran potongan yang berbeda dan pengaruhnya terhadap respon fisiologis, tingkat kecernaan pakan serta produksi dan kualitas susu pada sapi FH. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini untuk meningkatkan produktivitas produksi susu ternak sapi FH. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan rumput gajah yang umum diberikan kepada sapi dengan ukuran potongan rumput yang berbeda diharapkan dapat mempengaruhi produktivitas produksi susu.
2 TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah FH (Fries Holland) Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa sapi perah Fries Holland telah diternakkan lebih dari 2000 tahun yang lalu dan berasal dari North Holland dan West Friesland. Menurut sejarahnya bahwa bangsa sapi Fries Holland berasal dari Bos taurus yang mendiami daerah beriklim sedang di dataran Eropa. Sebagian besar sapi tersebut memiliki warna bulu hitam dengan bercak-bercak putih, bulu ujung ekor berwarna putih, bagian bawah dari corpus (bagian kaki) berwarna putih atau hitam dari atas terus ke bawah dan di Belanda sendiri ada Fries Holland yang mempunyai warna coklat/merah dengan bercak-bercak putih. Pada umumnya sapi perah Fries Holland jinak dan merupakan sapi tipe besar dengan bobot tubuh betina dewasa berkisar antara 540-680 kg dan yang jantan dapat mencapai 800 kg (Pane 1986). Perkembangan di Indonesia, sapi perah Fries Holland telah mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan. Di daearah tropis, daya tahan ternak terhadap panas merupakan salah satu faktor yang sangat penting agar ternak dapat berproduksi optimal sesuai kemampuan genetis yang dimiliki. Ternak yang tidak tahan terhadap panas, produktivitasnya akan turun akibat dari menurunnya konsumsi pakan. Ternak yang tahan terhadap panas dapat mempertahankan suhu tubuhnya dalam kisaran yang normal tanpa mengalami perubahan status fisiologis dan produktivitas (Tyler dan Enseminger 2006).
3 Produksi dan Produktivitas Sapi Perah Sapi perah dipelihara untuk menghasilkan air susu, berarti produktivitas sapi perah ditentukan oleh jumlah air susu yang dihasilkan. Air susu merupakan suatu bahan makanan alami yang mendekati sempurna dengan kandungan protein, mineral dan vitamin yang tinggi, menjadikan susu sebagai sumber bahan makanan yang essensial (Blakely dan Bade 1994). Produktivitas sapi perah untuk menghasilkan air susu ditentukan oleh faktor utama, diantaranya kemampuan kelenjar ambing sebagai pabrik biologis untuk menghasilkan air susu. Selain itu, potensi produktivitas ternak pada dasarnya dipengaruhi faktor genetik, lingkungan serta interaksi antara genetik dan lingkungan (Karnaen dan Arifin 2009). Faktor genetik yang berpengaruh adalah bangsa ternak, sedangkan faktor lingkungan antara lain: pakan, iklim, ketinggian tempat, bobot badan, penyakit, kebuntingan dan jarak beranak, bulan laktasi serta paritas (Epaphras et al. 2004). Banyak sedikitnya produksi air susu seekor sapi setiap laktasi dapat dipengaruhi oleh tingkat laktasi, sedangkan pengaruh secara tidak langsung oleh musim dan ketinggian tempat yang berhubungan dengan suhu lingkungan karena suhu lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat produksi air susu (Richard 1962; Ramelan 2001). Peningkatan produksi susu menurut Talib (1999) tidak hanya bergantung pada kualitas genetik ternak secara independen, tetapi yang lebih penting adalah seberapa besar potensi genetik yang dibawanya dapat ditampilkan melalui manipulasi faktor lingkungan seperti manajemen pemeliharaan yang baik. Manajemen pemeliharan yang mempengaruhi produksi susu salah satunya yaitu frekuensi pemerahan. Namun pada sapi yang produksinya rendah frekuensi pemerahan tidak nyata menaikkan produksi susu (Ginting dan Sitepu 1989). Foley et al. (1973) menyatakan interval pemerahan juga akan mempengaruhi kadar lemak susu. Interval pemerahan 12 jam adalah interval pemerahan yang seimbang dan optimal untuk sapi perah dengan potensi produksi yang tidak terlalu tinggi. Manajemen cuaca lingkungan yang dapat diterapkan dengan mengatur waktu pemberian pakan yang tepat berdasarkan cuaca lingkungan yang sesuai. Manajemen pakan yang dapat diterapkan adalah dengan mengatur komposisi pakan yang tepat. Manajemen pakan dan cuaca lingkungan berfungsi agar produksi dan pelepasan panas tubuh seimbang. Keseimbangan panas tersebut adalah suatu syarat untuk mencapai kondisi fisiologis dan produktivitas ternak yang optimal. Keseimbangan panas tubuh dapat dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal tubuh. Kondisi eksternal yang mempengaruhi tubuh yaitu suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, dan radiasi sinar matahari. Kondisi internal tubuh adalah proses-proses fisiologis di dalam tubuh, termasuk proses metabolisme pakan. Menurut Rakhman (2012), bahwa beban cekaman panas dari sapi perah dara dapat diatasi dengan pengaturan waktu pemberian pakan dan pemberian pakan dengan energi yang mudah dicerna. Rumput Gajah Rumput gajah (Pennisetum purpureum) adalah tanaman yang dapat tumbuh di daerah marginal (Gambar 1). Tanaman ini juga dapat hidup pada tanah kritis dimana tanaman lain relatif tidak dapat tumbuh dengan baik (Sanderson dan Paul, 2008). Rumput gajah dipilih sebagai pakan ternak karena memiliki produktifitas
4 yang tinggi dan memiliki sifat memperbaiki kondisi tanah (Handayani, 2002). Berikut merupakan klasifikasi dari rumput gajah : Kingdom : Plantae (Tumbuhan) Sub Kingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Liliopsida (Monokotil) Sub Kelas : Commelinidae Ordo : Cyperales Famili : Poaceae (suku rumput-rumputan) Genus : Pennisetum Rich. Spesies : Pennisetum purpureum (USDA, 2012)
Gambar 1 Tanaman rumput gajah (Pennisetum purpureum) Sumber: http://plants.usda.gov/java/profile/symbol=PEPU2. [17 September 2012]
Rumput gajah dapat dikembangbiakkan menggunakan biji (generatif), atau menggunakan stek (vegetatif). Stek merupakan cara perbanyakan tanaman secara vegetatif dengan menggunakan sebagian batang, akar, atau daun tanaman untuk ditumbuhkan menjadi tanaman baru. Perbanyakan vegetatif, dengan cara stek biasanya lebih mudah dan ekonomis. Umumnya petani mengembangbiakkan rumput dengan stek hanya menggunakan bagian tertentu dari batang rumput yang digunakan sebagai bahan stek. Bagian pangkal sampai bagian tengah adalah bagian yang sering digunakan sebagai bahan stek, sedangkan bagian ujung rumput biasanya masih diberikan pada ternak dan tidak digunakan sebagai bahan stek. (Sari 2010). Rumput gajah memiliki karakter tumbuh tegak, merumpun lebat, tinggi tanaman dapat mencapai 7 m, berbatang tebal dan keras, daun panjang dan berbunga seperti es lilin. Kandungan protein kasar rumput gajah menurun dengan bertambahnya umur karena semakin tua umur rumput rasio daun lebih kecil dari batang dan meningkatnya serat kasar. Kandungan protein pada daun rumput gajah lebih tinggi dibandingkan batang. Setiap peningkatan umur atau dilakukan penundaan pemotongan selama sepuluh hari maka kandungan protein kasar akan menurun sebesar 0.87% (Syarifuddin, 2004). Rumput ini dapat beradaptasi pada daerah dingin dan tumbuh baik pada area dengan curah hujan tinggi (1500 mm per tahun) yang diikuti sistem perakaran yang dalam untuk bertahan saat musim
5 kering. Waktu panen kadang-kadang pada umur 6-8 minggu. Rumput gajah mempunyai kandungan bahan kering yang sangat tinggi tapi rendah kandungan protein jika dipotong masih muda (Mulyaningsih 2006). Kandungan nutrien rumput gajah dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Kandungan nutrient rumput gajah (% BK) Kandungan Nutrien (%) Komponen Hartadi et al. (1993) Prasetyo (2004)* Abu 10.1 15.4 Protein Kasar 10.1 9.1 Lemak Kasar 2.5 2.3 Serat Kasar 31.2 33.1 TDN 59.0 51 Sumber: Hartadi et al. (1993); Prasetyo (2004)* Keterangan: *) Umur rumput 43 – 56 hari
Menurut penelitian lain menyatakan bahwa kandungan bahan kering rumput gajah umumnya rendah yaitu 12%-18%, tetapi seiring dengan meningkatnya umur tanaman kandungan BK ini cepat meningkat. Kandungan serat kasar berkisar dari 26.0%-40.5%. Beta-N sekitar 30.4%-49.6% dengan kandungan lemak kasar 1.0%3.6%. Kandungan Phosphornya cukup tinggi yaitu 0.28%-0.39% dan pada batang 0.38%-0.52%, sedangkan Ca masing-masing 0.43%-0.48% dan 0.14%-0.23% pada daun dan batang. Kandungan TDN berkisar dari 40%-67% dengan kecernaan Bahan Kering sekitar 48%-71% (Tim Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB, 2003). Manajemen Pemberian Pakan Menurut Sutardi (1997), keberhasilan suatu teknologi pakan, homogenitas pengadukan ransum, laju aliran pakan dalam organ pencernaan, proses absorpsi dan deteksi kadar nutrien semuanya terkait dengan sifat fisik pakan. Ukuran partikel dan kadar air merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sifat fisik disamping distribusi ukuran partikel, bentuk dan karakteristik permukaan suatu bahan (Wirakartakusumah et al. 1992). Manajemen pemberian pakan pada sapi perah sangat mempengaruhi produksi susu, Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan Karuniawati (2012), sebagian peternak dalam memberikan hijauan dilakukan secara perkiraan jumlah pakan tanpa ukuran potongan, dan diberikan dua kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Pada pagi hari, pakan hijauan diberikan pada pukul 07.00 pada saat sapi akan diperah sedangkan pada sore hari pakan hijauan diberikan pada pukul 16.00 pada saat sapi akan dan setelah diperah. Dengan metode tersebut, terlalu banyak sisa hijauan yang terbuang yang menyebabkan konsumsi pakan ternak menjadi sedikit. Namun petani pada umumnya memberikan pakan ternak tidak ditentukan jumlahnya, sehingga masih kurang/tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh ternak yang mengakibatkan produksi susu tidak maksimal. Oleh karena itu diperlukan suatu cara untuk mengoptimalkan penggunaan pakan yang diberikan pada ternak tersebut. Kecernaan pakan dapat dilakukan dengan 3 metode yaitu metode In vitro, In sacco, In vivo. Tipe evaluasi pakan In vivo merupakan metode penentuan kecernaan pakan menggunakan hewan percobaan dengan analisis pakan dan feses.
6 Pencernaan ruminansia terjadi secara mekanis, fermentatif, dan hidrolisis (Mc Donald et al. 2002). Dengan metode In vivo dapat diketahui pencernaan bahan pakan yang terjadi di dalam seluruh saluran pencernaan ternak, sehingga nilai kecernaan pakan yang diperoleh mendekati nilai sebenarnya. Koefisien cerna yang ditentukan secara In vivo biasanya 1% sampai 2 % lebih rendah dari pada nilai kecernaan yang diperoleh secara In vitro (Tillman et al. 1991). Anggorodi (1994) menambahkan pengukuran kecernaan atau nilai cerna suatu bahan merupakan usaha untuk menentukan jumlah nutrien dari suatu bahan yang didegradasi dan diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna merupakan persentase nutrien yang diserap dalam saluran pencernaan yang hasilnya akan diketahui dengan melihat selisih antara jumlah nutrien yang dikonsumsi dengan jumlah nutrien yang dikeluarkan dalam feses. Pemanfaatan sumber daya yang efisien merupakan komponen ekonomi yang penting. Pada peternakan sapi, pakan merupakan biaya terbesar dari produksi, oleh karena itu, konversi efisiensi dan pemberian nutrisi pakan ke dalam susu yang dijual langsung mempengaruhi profitabilitas susu. Efisiensi pakan sebagai ukuran untuk mengubah nutrisi ke dalam produk hewan telah digunakan dalam industri daging sapi, babi dan unggas, tetapi hanya baru-baru ini industri susu mulai mengevaluasi efisiensi pakan untuk sapi laktasi. Efisiensi pakan tidak hanya dilihat dari kepentingan ekonomi, tetapi juga merupakan monitor untuk pengelolaan hara pada pertanian. Apabila efisiensi pakan meningkat, maka lebih banyak nutrisi yang diarahkan ke dalam produksi susu dengan sedikit pupuk dan nutrisi yang diekskresikan (Linn et al. 2007). Optimalisasi dan efisiensi tersebut dapat dilakukan apabila diketahui besarnya kandungan nutrien, konsumsi, dan kecernaan bahan pakan tersebut. Respon Fisiologis Iklim tropis di Indonesia menjadi tantangan terbesar dalam upaya optimalisasi produksi susu tersebut. Hal ini dikarenakan kenyataan bahwa sapi perah akan dapat berproduksi dengan baik apabila dipelihara pada kondisi lingkungan yang nyaman dengan batas maksimum dan minimum temperatur dan kelembaban lingkungan berada pada thermoneutral zone (ZTN). Diluar kondisi tersebut, sapi perah akan mudah mengalami stres. Stres panas terjadi ketika temperatur dan kelembaban berada di atas ZTN (Rumetor 2003). Parameter yang sering digunakan di berbagai negara untuk mengetahui potensi stres panas pada ternak adalah dengan Temperature Humidity Index (THI). Pada penelitian Sudrajad dan Adiarto (2011), diketahui bahwa rata-rata temperatur 25.26°C dan kelembaban 93.16% dengan pergerakan udara yang rendah, serta nilai Temperature Humidity Index (THI) antara 73 hingga 82 yang berarti sapi perah yang dipelihara di daerah beriklim tropis berpotensi mengalami stres. Stres panas akan terjadi ketika panas yang masuk ke dalam tubuh ternak tidak seimbang dengan panas yang dapat dikeluarkan oleh tubuh. Apabila induk sapi perah berada pada kondisi lingkungan dengan THI kritis (80 – 98) akan mengalami gangguan fisiologis dan produktivitas dan dapat menyebabkan produksi susu akan menurun selama ternak mengalami stres panas (Rumetor 2003; Wagner 2001; Moran 2005).
7 Pengaruh langsung stres panas terhadap produksi susu disebabkan meningkatnya kebutuhan maintenance untuk menghilangkan kelebihan beban panas, mengurangi laju metabolik dan menurunkan konsumsi makanan. Dilaporkan dalam salah satu studi di Indonesia, temperatur lingkungan yang mencapai 29oC menurunkan produksi susu menjadi 10.1 kg ekor-1 hari-1 dari produksi susu 11.2 kg ekor-1 hari-1 bila dibandingkan dengan temperatur lingkungan hanya berkisar 18-20oC (Rumetor 2003). Ketinggian tempat lokasi usaha peternakan dapat mempengaruhi penampilan ternak sapi perah. Hasil penelitian Calderon et al. (2005) menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang nyata penampilan reproduksi ternak di daerah panas dengan di daerah dingin. Sapi perah FH akan nyaman pada nilai THI di bawah 72, apabila interaksi ini melebihi batas ambang ideal hidup ternak, dapat menyebabkan terjadinya cekaman/stres panas (Dobson et al. 2003). Penelitian Berman (2005) dan Jordan (2003) melaporkan pengaruh langsung stres panas terhadap penampilan reproduksi ternak. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kebutuhan maintenance sebagai upaya ternak menghilangkan kelebihan beban panas, mengurangi laju metabolis dan konsumsi pakan, sehingga mengakibatkan keseimbangan energi negatif yang berdampak pada penurunan kemampuan berproduksi dan sekresi hormon reproduksi yang berhubungan dengan fertilitas ternak tersebut. Suhu lingkungan dengan kelembaban yang tinggi dianggap kurang layak untuk mengembangkan sapi perah. Capaian produksi susu harian dengan rataan per ekor 4-10 liter per hari, sehingga perlu pengamatan atau survey lebih jauh mengenai lokasi kandang ini dengan batasan pada sistem manajemen pemeliharaan seperti pemberian pakan khususnya sapi perah laktasi, kualitas pakan, serta system perkandangan di wilayah tersebut dengan memperhitungkan THI. Suhu lingkungan yang berubah– ubah/cenderung panas yang mempengaruhi termoregulasi ternak sapi perah laktasi yang pada akhirnya berpengaruh terhadap produksi susu harian per ekor ternak.
3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Perah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2013. Materi Ternak dan Pakan Ternak Penelitian ini menggunakan empat ekor sapi FH laktasi pertama bulan keenam dengan estimasi umur 24-36 bulan yang ditandai dengan bergantinya sepasang gigi seri I1. Bobot ternak diukur sebesar 381.25 ± 20.17 kg. Pakan rumput yang digunakan yaitu rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan konsentrat dengan kandungan gizi pada Tabel 2. Pemberian pakan dihitung berdasarkan kebutuhan yaitu 60% hijauan dan 40% konsentrat. Rumput gajah dipotong dengan 4 (empat) ukuran yaitu tanpa pemotongan (kontrol), 5 cm, 10 cm, dan 15 cm.
8
Gambar 2 Ukuran potongan rumput Tabel 2 Analisa Proksimat Pakan Ternak Parameter Kadar Air* Kadar Abu* Kadar Protein* Serat Kasar* Kadar Lemak* Bahan Kering* BETN**) TDN***
Pakan Rumput Gajah 87.12 11.03 15.37 30.20 3.18 12.88 40.22 58.31
Konsentrat 22.21 11.83 10.35 13.05 5.48 77.79 59.30 46.14
Sumber : *) Hasil Analisa Proksimat Laboratorium PAU, 2013 berdasarkan Bahan Kering; **) Berdasarkan Hasil Perhitungan; ***) TDN (Hartadi et al. 1980) = 92.64 – 3.338 (SK) – 6.945 (LK) – 0.762(BETN) + 1.115 (PK) + 0.031(SK)2-0.133(LK)2+0.036(SK)(BETN)+0.207(LK)(BETN)+0.100(LK) (PK) -0.022(LK)2(PK).
Alat Peralatan yang digunakan adalah termometer rektal digital (Safety, Japan), Thermohygrometer dan thermometer bola basah dan bola kering (dry-wet, Sanghai), termometer pengukur suhu permukaan kulit digital/digital surface temperature/infrared thermometer (Anritsu Hl-2000, Tokyo), termometer bola hitam (black globe thermometer) atau pyranometer dan display, pengukur kecepatan angin atau anemometer, stethoscope, pengukur waktu (stopwatch), timbangan rumput dan konsentrat 100 kg dengan kepekaan 500 g, timbangan untuk feses dengan kapasitas lima kilogram dengan kepekaan 20 g. Prosedur Pemeliharaan Ternak Sapi laktasi yang dipelihara diberikan pakan rumput dengan potongan yang berbeda pada tiap – tiap perlakuan selama 21 hari, masa adaptasi pada pemberian pakan selama dua pekan (14 hari) yang dilanjutkan untuk pengumpulan data selama 7 hari terakhir. Pemberian pakan sebanyak ± 3% dari perkiraan bobot hidup dan penghitungan kebutuhan gizi pakan mengacu pada petunjuk Nutrient
9 Requirements of Dairy Cattle (NRC 2001). Rasio hijauan dan konsentrat adalah 60 : 40%. Pakan diberikan dua kali sehari yaitu pukul 08.00 dan 15.00 WIB. Pemberian air minum disediakan ad libitum. Peubah yang Diamati Peubah yang diamati terdiri atas respons fisiologis dan kecernaan ternak sapi. Faktor lingkungan yang diukur meliputi suhu udara, kelembaban (RH), kecepatan angin dan jumlah radiasi matahari. Pengamatan faktor lingkungan tersebut dilakukan setiap hari pada pukul 06.00, 12.00 dan 18.00 WIB. Untuk pengamatan suhu udara, kelembaban udara dan radiasi matahari, diamati perubahan dengan interval 30 menit selama 11 jam (pukul 06.30 – 17.30 WIB). Respons fisiologis ternak sapi yang diukur adalah suhu permukaan kulit (Ts), suhu rektal (Tr), menghitung suhu tubuh (Tb), frekuensi pernafasan (Rr), denyut jantung (Hr). Pencatatan suhu permukaan kulit (Ts), suhu rektal (Tr), suhu tubuh (Tb), frekuensi pernapasan (Rr) dan denyut jantung (Hr) setiap hari pada pukul 06.00, 12.00 dan 18.00 WIB. Untuk konsumsi pakan diukur setiap hari pada pukul 06.30 WIB yang dihitung dari pakan yang diberikan 1 hari sebelumnya. Pengamatan terhadap kecernaan pakan dengan melakukan pengambilan (collecting) feses dalam 24 jam selama 7 hari pengamatan. Faktor Lingkungan. Suhu udara dan kelembaban diukur dengan thermometer bola kering dan bola basah. Pengukuran dilakukan didalam kandang. Indeks suhu kelembaban (THI) dihitung dengan persamaan Hahn (1999) yaitu : THI = Tbk + (0.36 x Tbb) + 41.2 Keterangan : THI : Temperature Humidity Index, Tbk : Temperatur bola kering (o C) dan Tbb : Temperatur bola basah (o C) Kecepatan angin diukur dengan menggunakan anemometer digital di dalam kandang. Kecepatan angin yang terlihat pada anemometer dicatat sebagai kecepatan aktual. Intensitas radiasi matahari diukur dengan menggunakan pyranometer dimana mempunyai satuan watt/m2 dengan interval waktu 30 menit Respons Fisiologis Sapi. Suhu permukaan kulit (Ts) diukur pada empat titik lokasi pengukuran yaitu punggung (a), dada (b), tungkai atas (c) dan tungkai bawah (d). Rataan suhu permukaan kulit dihitung berdasarkan rumus McLean et al. (1983) yaitu : Ts = 0.25 (a + b) + 0.32 c + 0.18 d Suhu rektal (Tr) diukur dengan memasukkan thermometer klinis ke dalam rektal sedalam ± 10 cm selama tiga menit. Suhu tubuh (Tb) dihitung menggunakan data Ts dan Tr berdasarkan rumus McLean et al. (1983) yaitu : Tb = 0.86 Tr + 0.14 Ts
10 Frekuensi Pernafasan/Respirasi (Rr) dan Denyut Jantung (Hr) Denyut jantung dihitung dengan menggunakan statescope dan stopwatch didekat tulang axilla sebelah kiri (dada sebelah kiri) selama satu menit setiap pengukuran. Respirasi diukur setelah dilakukan pengukuran denyut jantung. Pengukuran respirasi dilakukan dengan cara menghitung hembusan nafas dari hidung ternak dan stopwatch untuk menghitung inspirasi dan ekspirasi selama satu menit. Kecernaan. Konsumsi ransum dihitung dengan menimbang sisa ransum yang diberikan dikurangi sisa ransum setiap hari. Tingkat kecernaan dilakukan dengan penampungan kotoran ternak selama 24 jam dan diambil sampel sebanyak 10% dari keseluruhan feses. Selama masa koleksi data, feses dikumpulkan, ditimbang basah, dikeringkan dan dianalisis untuk mengetahui komposisi kimianya (Anggorodi 1994). Perhitungan kecernaan (semu) bahan pakan menurut Soejono (1990) adalah sebagai berikut :
Produksi dan Kualitas Susu Selama masa koleksi data dilakukan pengumpulan data jumlah produksi susu harian dengan dilakukannya pemerahan susu selama 2 kali pada pukul 06.00 WIB dan 14.00 WIB. Selain itu untuk mengetahui kualitas susu dilakukan analisa susu setiap hari dengan milkotester selama 7 hari. Efisiensi Produksi Susu Dilakukan analisa dalam susu, pakan yang dikonsumsi (rumput gajah dan konsentrat) untuk mendapatkan nilai efisiensi produksi susu. Efisiensi produksi susu dihitung berdasarkan protein yang terkandung dalam produksi susu dalam kalori atau gram dibagi dengan protein dalam pakan yang dikonsumsi (Budiarsana dan Sutama 2001) :
Keterangan : EP P F
: : :
Efisiensi produksi susu (%) produk.(susu) yang dinyatakan dalam protein (gram) protein dalam pakan (gram)
Analisis Data Data mengenai iklim mikro dianalisis secara statistik untuk mendapatkan rataan dan standar deviasi. Respons fisiologis dianalisis menggunakan sidik ragam (Anova). Perbedaan nilai rataan pada peubah yang diukur dari setiap perlakuan pakan diketahui melalui uji Duncan.
11 Terdapat dua faktor dalam percobaan ini yaitu individu sapi dan perlakuan, sehingga digunakan Rancangan Bujur Sangkar Latin 4 X 4. Perlakuan yang diujikan yaitu : A (Hijauan tanpa potongan sebagai kontrol) B (Hijauan dengan potongan 5 cm) C (Hijauan dengan potongan 10 cm) D (Hijauan dengan potongan 15 cm) Model matematika dalam rancangan percobaan ini adalah (Steel dan Torrie 1995): Yijk = μ + αi + βj + τk + εijk Keterangan : : pengamatan dari perlakuan pakan ke-k dalam sapi ke-i dan waktu ke-j : nilai rataan umum : pengaruh aditif dari kondisi periode (efek baris) : pengaruh aditif dari kondisi ternak (efek kolom) : pengaruh aditif dari urutan perlakuan : galat percobaan pada perlakuan ke-k dalam sapi ke-j dan periode ke-i Dengan menggunakan analisa statistik untuk faktor lingkungan (Suhu udara, THI dan intensitas matahari) dan anova untuk melihat pengaruh perlakuan pemberian pakan terhadap respon fisiologis, kualitas dan produksi susu, tingkat kecernaan dan efisiensi sapi perah laktasi. Yijk μ αi βj τk εijk
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Mikroklimat Lingkungan dan Kandang Kondisi lingkungan berpengaruh penting terhadap produktivitas ternak, khususnya sapi perah. Kondisi mikroklimat selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Kondisi Mikroklimat selama penelitian No. Peubah 1. Suhu Lingkungan ( ºC) 2. Suhu Kandang ( ºC) 3. Kelembaban (%) 4. Temperature Humidity Index (THI) Lingkungan 5. Temperature Humidity Index (THI) Kandang 6. Intensitas Cahaya (w/m2)
Rataan (Min-Max) 30.21 ± 4.0 (21 – 35) 28.53 ± 3.17 (22 – 32) 72.8 ± 17.49 (42 – 98) 79.48 ± 4.17 (68 – 90) 77.86 ± 3.10 (70 – 85) 440 ± 322,71 (0 – 1066)
Kondisi lingkungan selama penelitian dari pukul 6.30-17.30 mempunyai suhu kandang berkisar 22-32 oC dengan THI sekitar 68-90. Menurut Bohmanova et al (2007), THI sapi perah yang nyaman dibawah 72 dengan kelembaban yang merupakan faktor pembatas dari stres panas di iklim lembab, sedangkan suhu udara kering adalah faktor pembatas stres panas di daerah beriklim kering. Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah. Suhu udara dan kelembaban harian di Indonesia umumnya tinggi,
12 yaitu berkisar antara 24-34 0C dan kelembaban 60-90%. Hal tersebut akan sangat mempengaruhi tingkat produktivitas sapi FH. Untuk sapi perah FH, penampilan produksi terbaik akan dicapai pada suhu lingkungan 18.3 oC dengan kelembaban 55% (Yani dan Purwanto 2006). Bila melebihi suhu tersebut, ternak akan melakukan penyesuaian secara fisiologis dan secara tingkah laku (behavior). Berdasarkan Gambar 3 dan 4, dapat dilihat dimana suhu pada pagi hari baik di lingkungan maupun kandang berkisar 22 oC meningkat di siang hari yang mencapai 32 oC dan turun pada suhu 26 oC, begitu pula dengan THI yang memiliki grafik yang mengikuti fluktuasi suhu dengan THI pada pagi hari sekitar 68 kemudian meningkat mencapai 84 dan menurun mencapai 76. McDowell (1974) menyatakan bahwa untuk kehidupan dan produksinya, ternak memerlukan suhu lingkungan yang optimum, sedangkan hasil yang didapatkan berada pada kisaran stress ringan sampai dengan stress sedang dikarenakan suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan suhu kandang pun tidak berbeda jauh dimana angin pun tidak selalu berhembus (rataan kecepatan angin sekitar 0-1.2 km/jam) yang berhembus pada siang menjelang sore hari. Pada pagi hari dengan suhu lingkungan dan kandang berkisar 22 oC dan THI 68 (THI <72) dikatakan bahwa dengan kondisi lingkungan ini sapi dalam kondisi nyaman dan tidak menyebabkan stress pada ternak (Chase, 2006). Pada siang hari pukul 10.30-11.30 yang merupakan suhu dan THI maksimal berkisar 33 oC dan THI 84 (THI >72) dimana pada kondisi tersebut sapi masuk dalam kondisi stress sedang yang dapat menyebabkan peningkatan produksi saliva serta laju pernafasan, nafsu makan menurun dan minum akan meningkat serta meningkatnya suhu tubuh oleh karena itu pada kondisi lingkungan panas, ternak biasanya lebih selektif mengurangi pakan hijauan, relatif memilih konsentrat sebagi upaya mengurangi suhu inti tubuh melalui pengurangan produksi panas dari fermentasi, pencernaan dan proses metabolisme lainnya (Beede dan Collier 1986; Chase 2006). Oleh karena itu dapat dikatakan berdasarkan grafik suhu dan THI bahwa sapi merasa nyaman mulai dari pukul 6.00 sampai dengan pukul 9.30 dan dimulai kembali dari pukul 17.30. Intensitas radiasi matahari yang mencapai 1.066 w m-2 di siang hari menyebabkan kondisi lingkungan yang panas, namun dengan adanya sedikit hembusan angin dapat mengurangi udara panas di dalam kandang.
Gambar 3 Kondisi suhu lingkungan (♦) dan suhu kandang (■)
13
Gambar 4 Nilai THI Lingkungan (♦) dan THI Kandang (■) Respon Fisiologis Hasil pengukuran respon fisiologis ternak yang diberi perlakuan ukuran pemotongan rumput pada saat penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil respon fisiologis sapi perah terhadap perlakuan ukuran pemotongan Keterangan Suhu Rektal (oC) Suhu Permukaan (oC) Suhu Tubuh (oC) Denyut Jantung (kali/menit) Laju Respirasi (kali/menit)
Kontrol 38.19 ± 0.19b 30.86 ± 0.82 37.17 ± 0.12 71 ± 4.40 42 ± 7.80
Pemotongan (cm) 5 10 38.42 ± 0.26a 38.37 ± 0.12a 31.46 ± 0.75 31.21 ± 0.80 37.45 ± 0.19 37.37 ± 0.07 70 ± 1.60 72 ± 3.40 44 ± 5.20 45 ± 5.50
15 38.18 ± 0.04b 31.18 ± 0.54 37.21 ± 0.08 70 ± 1.70 43 ± 6.00
Ket : Superskrip (a dan b) pada baris yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda (P>0.05)
Suhu Rektal, Suhu Permukaan Tubuh dan Suhu Tubuh Hasil penelitian ini, ukuran potongan rumput yang berbeda berpengaruh nyata terhadap suhu rektal sapi perah (p<0.05) dan pada uji lanjut yaitu ukuran pemotongan 5 dan 10 cm berbeda dengan kontrol dan 15 cm (Tabel 4 dan 5). Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dimana pada tabel 5 didapatkan pada pagi hari (pukul 06.00) suhu rektal lebih rendah dibandingkan pada siang (pukul 12.00) dan sore hari (pukul 18.00). Pada pagi hari, suhu lingkungan berkisar 22 oC dengan THI yang nyaman (THI<72) didapatkan suhu rektal yang lebih rendah dibandingkan siang dan sore hari dimana tubuh ternak menyesuaikan dengan kondisi lingkungan yang lebih panas. Menurut Bouraoui et al (2002) didapatkan suhu rektal secara signifikan berbeda pada musim semi (38.36 oC) ke musim panas (38.86 oC). Suhu rektal merupakan indikator keseimbangan termal dan dapat digunakan untuk menilai kondisi dari lingkungan termal yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, laktasi, dan reproduksi sapi perah. Kenaikan dari 1oC atau kurang dalam suhu rektal sudah cukup untuk mengurangi kinerja pada sebagian besar spesies ternak, yang membuat indikator suhu tubuh sensitif dari respon fisiologis terhadap stres panas pada sapi (McDowell et al. 1976; Johnson 1980; Kadzere et al. 2002). Shalit et al. (1991) mencatat suhu rektal sapi laktasi 0.9 oC lebih tinggi dari pada sapi pre-partum pada kondisi lingkungan yang serupa dikarenakan sapi perah laktasi tampaknya lebih termo-labil daripada yang sedang tidak laktasi.
14 Tabel 5 Suhu rektal ternak sapi perah (o C) selama penelitian Data Harian Pagi (06.00) Siang (12.00) Sore (18.00) Rataan
Pemotongan Kontrol 37.75±0.17ab 38.49±0.26 38.33±0.18b 38.19±0.19b
5 37.85±0.33a 38.75±0.31 38.67±0.26a 38.42±0.26a
10 37.76±0.13ab 38.69±0.09 38.65±0.19a 38.37±0.12a
15 37.59±0.15b 38.52±0.19 38.43±0.10ab 38.18±0.04b
Rataan 37.74±0.21*) 38.61±0.24tn 38.52±0.23*)
Ket : *) perlakuan berpengaruh nyata dengan tingkat kepercayaan 95% (P<0,05); tn : perlakuan tidak berpengaruh nyata dengan tingkat kepercayan 95% (P>0,05); Superskrip ( a, ab dan b) pada baris yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda terhadap masing – masing perlakuan.
Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) sebelumnya juga mendapatkan bahwa suhu rektal sapi berkisar antara 38,0-39.0 °C (rata-rata 38.6 °C) dan berdasarkan penelitian De Rensis dan Scaramuzzi (2003), suhu rektal ternak berumur di atas satu tahun berkisar 37.8-39.2 oC. Berdasarkan hasil tersebut didapatkan bahwa suhu rektal ternak masih berada dalam kondisi normal walaupun diberikan perlakuan perbedaan potongan ukuran rumput pakan. Pada Tabel 5, dapat dilihat bahwa ukuran potongan rumput 5 dan 10 cm berbeda dengan ukuran potongan kontrol dan 15 cm. Hal ini dapat dikarenakan peningkatan kecernaan ransum menyebabkan laju pakan ke organ pasca rumen akan lebih cepat dan lambung akan cepat kosong sehingga mendorong ternak untuk makan terus (Indriani et al. 2013), yang dapat menyebabkan peningkatan suhu rektal. Hal ini dapat disebabkan ternak berhasil melakukan proses termoregulasi atau pengaturan keseimbangan panas melalui mekanisme homeostatis di dalam tubuh yang merupakan perwujudan kerja organ-organ tubuh (Purwanto et al. 1995). Pada siang hari, suhu rektal lebih tinggi (38.61 ± 0.24 °C) dibandingkan pada pagi (37.74 ± 0.21°C) dan sore hari (38.52 ± 0.23 °C) dikarenakan ternak berada dalam kondisi stres sedang dimana respon ditandai dengan peningkatan suhu rektal dan apabila peningkatan denyut nadi serta laju respirasi mampu mengatasi cekaman panas maka suhu rektal sedikit sekali mengalami peningkatan. Suhu rektal, denyut jantung, dan laju respirasi mempunyai hubungan yang erat. Suhu permukaan tubuh ternak pada penelitian ini berkisar 30-34 oC, dimana perbedaan ukuran potongan rumput tidak berpengaruh nyata terhadap suhu permukaan tubuh (Tabel 4 dan 6). Nilai tersebut sesuai dengan suhu permukaan kulit sapi yang dipelihara dalam lingkungan mikro yang nyaman yaitu berkisar 33.5-37.1 oC (Tucker et al. 2008). Pola perubahan suhu permukaan kulit ternak sapi, seirama dengan tingkat panas yang diterima. Kulit merupakan bagian terluar penerima panas yang suhunya secara langsung mengikuti perubahan suhu lingkungan dan dikarenakan level energi ransum pada penelitian ini sama maka dapat dimungkinkan panas yang diproduksi tidak terlalu berbeda. Hal ini sesuai dengan penelitian Amir (2010) yang mengatakan bahwa level energi ransum yang berbeda mempengaruhi secara langsung terhadap panas yang diproduksi oleh ternak.
15 Tabel 6 Suhu permukaan tubuh (o C) selama penelitian Pemotongan
Data Harian
Rataan
Kontrol
5
10
15
Siang (12.00)
25.47±2.89 34.69±0.18
26.79±2.01 34.79±0.36
26.58±1.62 34.56±0.71
26.33±1.54 34.78±0.20
26.29±1.94 34.70±0.39
Sore (18.00)
32.52±0.78
32.86±0.59
32.67±0.49
32.71±0.53
32.69±0.56
Rataan
30.86±0.82
31.46±0.75
31.21±0.80
31.18±0.54
Pagi (06.00)
Suhu tubuh terdiri dari suhu rektal dan suhu permukaan tubuh. Ukuran potongan rumput tidak berpengaruh nyata terhadap suhu tubuh (P>0.05). Hasil rataan suhu tubuh pada ukuran potongan rumput 5 cm (37.45 ± 0.19) lebih tinggi dibandingkan kontrol (37.17 ± 0.12), 10 cm (37.37 ± 0.07), 15 cm (37.21 ± 0.08). Pada Tabel 7, perubahan suhu tubuh mulai dari pukul 06.00 (36.13 ± 0.29) meningkat pada pukul 12.00 (38.07 ± 0.22) dan kembali menurun pada pukul 18.00 (37.70 ± 0.21). Suhu lingkungan serta kondisi fisiologis ternak laktasi yang memerlukan energi untuk produksi susu dan metabolisme tubuh juga mempengaruhi nafsu makan ternak. Suhu lingkungan penelitian pada sore hari berkisar 26-27 oC dan THI berkisar 76-78 yang berada pada cekaman stress ringan. Suhu tubuh meningkat dengan peningkatan suhu lingkungan, sehingga tubuh menyesuaikan dengan kondisi lingkungan dan sapi perah akan menyesuaikan dengan mencari naungan, meningkatkan laju respirasi dan pelebaran pembuluh darah serta pengaruh terhadap produksi susu akan minimal. (Bouraoui et al. 2002; Moran 2005; Chase 2006). Weeth et al. (2008) mengatakan bahwa suhu tubuh yang diukur dengan termometer klinis bukan indikasi dari jumlah total panas yang diproduksi, tetapi hanya merefleksikan keseimbangan antara panas yang diproduksi dengan panas yang dilepaskan. Tabel 7 Suhu tubuh (o C) selama penelitian Data Harian Pagi (06.00) Siang (12.00) Sore (18.00) Rataan
Kontrol 36.03±0.39 37.96±0.25 37.51±0.15 37.17±0.12
Pemotongan 5 10 36.29±0.24 36.19±0.18 38.19±0.31 38.12±0.09 37.86±0.23 37.81±0.13 37.45±0.19 37.37±0.07
15 36.02±0.30 37.99±0.17 37.62±0.15 37.21±0.08
Rataan 36.13±0.29 38.07±0.22 37.07±0.21
Denyut Jantung Ukuran potongan rumput tidak mempengaruhi denyut jantung (Tabel 8). Denyut jantung yang didapatkan pada potongan 10 cm (72 ± 3.4 kali/menit) lebih besar dibandingkan dengan ukuran potongan kontrol (71 ± 4.4 kali/menit), 15 cm (70 ± 1.7 kali/menit) dan 5 cm (70 ± 1.6 kali/menit) dengan nilai minimum – maksimum antara 66-74 kali per menit. Nilai rataan ini masih dalam kisaran hasil penelitian Purwanto et al. (1993) yang memperoleh rataan denyut jantung antara 52-76 kali/menit. Perubahan suhu pada kandang dapat mempengaruhi perubahan denyut jantung sapi perah FH. Pada siang hari, denyut jantung sapi (72.79 ± 3.60 kali/menit) lebih tinggi daripada pagi (66.68 ± 3.89 kali/menit) dan sore hari (71.82 ± 4.06 kali/menit). Hal ini disebabkan suhu lingkungan yang panas di siang hari menyebabkan sapi
16 mengalami cekaman panas dimana menurut Purwanto et al. (1995) reaksi mekanisme homeostasis (termoregulasi) untuk mengurangi atau melepaskan panas yang diterima dari luar tubuh dan apabila terjadi peningkatan suhu udara maka diikuti dengan peningkatan denyut jantung yang merupakan mekanisme fisiologis ternak sehingga ternak berusaha mempercepat frekuensi denyut jantung untuk membuang panas. Tabel 8 Denyut Jantung (kali/menit) selama penelitian Data Harian Pagi (06.00) Siang (12.00) Sore (18.00) Rataan
Kontrol 67 ± 5.1 71 ± 3.3 74 ± 5.2 71 ± 4.4
Pemotongan 5 10 65 ± 3.2 67 ± 4.9 72 ± 1.7 75 ± 4.3 72 ± 3.3 73 ± 4.5 70 ± 1.6 72 ± 3.4
15 67 ± 3.2 73 ± 4.8 69 ± 3.2 70 ± 1.7
Rataan 67 ± 3.9 73 ± 3.6 72 ± 4.1
Laju Respirasi Laju respirasi dengan rataan yang didapatkan berkisar 34-50 kali per menit. Nilai rataan ini masih dalam kisaran hasil penelitian Purwanto et al. (1993) yang memperoleh rataan respirasi pernafasan antara 25-65 kali menit-1 pada sapi perah pada posisi berdiri, namun menurut Frandson (1992), kegiatan frekuensi respirasi normal pada ternak sapi dewasa adalah 10-30 kali/menit, sedangkan pada pedet sebanyak 15-40 kali menit-1 sehingga dapat dikatakan bahwa ternak mengalami cekaman. Peningkatan frekuensi respirasi terjadi ketika ada peningkatan permintaan oksigen setelah olahraga, terpapar pada kondisi suhu lingkungan dan kelembaban relatif yang tinggi serta kegemukan (Baret et al. 2010). Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa pada pagi hari (06.00), laju respirasi (31 ± 8.8 kali.menit) cenderung lebih rendah dibandingkan siang (53 ± 4.6 kali/menit) dan kembali menurun pada sore hari (46 ± 6.2 kali/menit). Hal ini didukung oleh kondisi THI pada pagi hari kurang dari 72, menuju siang hari THI mencapai 82 dan sore hari kembali menurun berkisar 76. Menurut Chase (2006), pada THI lebih dari 72 terjadi reaksi pada sapi, terutama pada siang hari dengan THI diantara 80-89 dengan level stress sedang, dimana terjadi reaksi seperti produksi saliva menurun, laju respirasi meningkat, konsumsi pakan menurun, konsumsi air naik, suhu tubuh pun meningkat yang dapat menyebabkan produksi susu dan reproduksi menurun. Ukuran potongan rumput tidak berpengaruh nyata terhadap laju respirasi (P>0.05). Hasil penelitian didapatkan bahwa rataan laju respirasi pada ukuran potongan rumput 10 cm (45 ± 5.5 kali/menit) lebih tinggi dibandingkan kontrol (42 ± 7.8 kali/menit), 5 cm (44 ± 5.2 kali/menit) dan 15 cm (43 ± 6.0 kali/menit). Peningkatan intensitas laju respirasi yang terjadi merupakan reaksi sapi terhadap perubahan suhu lingkungannya, hal ini akan berdampak terhadap naiknya produksi panas didalam tubuh ternak. Peningkatan respirasi pernafasan juga membantu hewan meningkatkan kehilangan panas tubuh melalui saluran pernapasan (Purwanto et al. 1993).
17 Tabel 9 Laju respirasi (kali/menit) selama penelitian Pemotongan Data Harian Kontrol 5 10 Pagi (06.00) 31 ± 12.8 31 ± 8.8 32 ± 7.4 Siang (12.00) 50 ± 3.3 55 ± 3.3 55 ± 6.1 Sore (18.00) 44 ± 9.8 46 ± 4.8 47 ± 5.9 Rataan 42 ± 7.8 44 ± 5.2 45 ± 5.5
15 31 ± 9.3 52 ± 4.6 46 ± 5.7 43 ± 6.0
Rataan 31 ± 8.8 53 ± 4.6 46 ± 6.2
Konsumsi Pakan dan Produksi Susu Perlakuan fisik pada pakan ternak dapat dilakukan dengan pemotongan untuk memperkecil ukuran hijauan. Ukuran yang lebih kecil akan memperluas permukaan sehingga enzim-enzim pencernaan akan lebih mudah meresap dan pada ternak ruminansia akan lebih mencerna (McDonald et al. 2002). Pakan yang diberikan pada sapi perah laktasi yaitu rumput gajah (Pennisetum purpureum) sebanyak 36.29 ± 2.2 kg per hari dan konsentrat sebanyak 7.25 ± 1.31 kg per hari dengan rataan konsumsi BK rumput gajah sebesar 4.68 ± 0.28 kg per hari dan konsentrat sebesar 0.93 ± 0.17 kg perhari. Hasil penelitian didapatkan bahwa perlakuan pemotongan rumput tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap konsumsi pakan. Rataan konsumsi pakan per hari selama penelitian yaitu 9.08 ± 1.12 kg BK perhari yang dapat menghasilkan rataan susu sebesar 5.54 ± 1.45 liter per hari. Pengaruh ukuran potongan rumput terhadap performa konsumsi pakan dan produksi susu disajikan pada Tabel 10. Pada Tabel 10, ukuran potongan rumput 5 cm didapatkan rataan konsumsi BK yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, 10 cm dan 15 cm. Hal ini memungkinkan karena dengan pemotongan 5 cm, hampir seluruh bagian rumput termakan, dibandingkan dengan konsumsi BK tanpa potongan (kontrol), 10 cm dan 15 cm. Pada sapi laktasi, konsumsi pakan sangat penting untuk memproduksi susu yang maksimal. Namun kondisi lingkungan pun berpengaruh terhadap kondisi tubuh sapi. Sapi dengan kondisi nyaman akan menghasilkan susu yang baik. Tabel 10 Konsumsi pakan dan produksi susu selama penelitian Keterangan
Kontrol
Pemberian pakan (kg) 36.25±2.50 Hijauan 7.25±1.50 Konsentrat Sisa pakan (kg) 10.33±5.89 Hijauan 0 Konsentrat Konsumsi Pakan (g/ekor/hari) : Bahan Kering 8978.00±1287.48 Protein Kasar 1096.80±151.98 TDN 4548.71±635.99 Susu (g/ekor/hari) : Bahan Kering 777.33±221.69 Protein 29.69±9.13 Lemak 44.45±13.14
5
Pemotongan (cm) 10
15
36.25±2.50 7.25±1.50
36.43±2.41 7.25±1.50
36.25±2.50 7.25±1.50
7.66±5.11 0
10.71±4.38 0
9.65±7.22 0
9322.49±1361.39 1149.76± 153.93 4749.58± 658.81
8929.83±749.68 1089.39±61.33 4520.63±303.66
9089.27±1430.25 1113.90±187.89 4613.59±751.22
858.05±172.65 32.17±6.51 47.78±11.18
752.79±131.09 28.61±3.91 43.17±9.66
755.23±174.04 27.88±5.52 40.14±7.11
18 Peningkatan produksi susu dapat dilihat dari peningkatan konsumsi pakan dalam bentuk bahan kering, TDN dan protein yang terkandung di dalam bahan pakan yang disintesa menjadi zat-zat nutrient dalam darah dan terjadi penyerapan yang dapat meningkatkan produksi susu dan kadar protein serta lemak dalam susu (McDonald et al. 2002). Konsumsi bahan kering (BK), protein kasar dan TDN pakan dan susu tidak berbeda nyata terhadap ukuran potongan rumput (p>0.05). Konsumsi bahan kering, protein kasar dan TDN pakan pada ukuran potongan rumput 5 cm lebih tinggi dibandingkan ukuran potongan kontrol, 10 cm dan 15 cm sejalan dengan hasil analisa bahan kering, protein dan lemak susu dimana ukuran potongan rumput 5 cm lebih tinggi dibandingkan ukuran potongan kontrol, 10 cm dan 15 cm (Gambar 3 dan 4). Berdasarkan NRC (2001), kebutuhan konsumsi bahan kering pakan sapi laktasi sebesar 12.4 kg menghasilkan susu 10 kg, sehingga dibandingkan dengan nilai konsumsi bahan kering pakan penelitian masih dibawah nilai kebutuhan sapi (rata-rata konsumsi bahan kering sebesar 9.08 ± 1.12 kg dan produksi susu sebesar 5.7 ± 1.5 kg). TDN erat kaitannya dengan energi yang dihasilkan. Nilai rata-rata TDN pada pakan didapatkan sebesar 51.65%, Berdasarkan NRC (2001), nilai TDN pada pakan untuk ternak laktasi dengan bobot 350 kg sebesar 56.2% dibandingkan dengan nilai TDN pakan masih dibawah kebutuhan ternak, sehingga perlu adanya suplemen kaya protein dan lemak untuk meningkatkan nilai TDN. Perlakuan pemotongan rumput terhadap produksi susu tidak berbeda nyata (p>0.05). Produksi susu pada pemotongan ukuran rumput 5 cm (6.06 ± 1.39 liter hari-1) lebih besar dibandingkan kontrol (5.35 ± 1.55 liter hari-1), 10 cm (5.28 ± 1.42 liter hari-1) dan 15 cm (5.49 ± 1.93 liter hari-1). Rataan produksi susu terjadi peningkatan sekitar 0.2- 0.5 liter antar ukuran potongan rumput (Tabel 11) namun hasil yang didapatkan kurang dari rata-rata produksi susu sapi di daerah tropis pada suhu nyaman yang berkisar antara 9-12 liter per hari (Asmaki et al. 2008). Energi di dalam tubuh sapi maupun hewan lainnya berperan dalam pemasukan makanan (feed intake), karena hewan pada umumnya, aktivitas makan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi. Panas yang diproduksi oleh ternak laktasi sebanyak dua kali lipat dibandingkan ternak yang tidak sedang laktasi (McDonald et al. 2002). Ukuran potongan rumput tidak berbeda nyata terhadap kadar protein dan lemak, namun terjadi peningkatan kadar pada masing-masing potongan sekitar 0.02%-0.03 % (protein) dan 0.03%-0.19 % (lemak). Rataan kadar protein dan lemak pada ukuran potongan 5 cm lebih tinggi dibandingkan dengan ukuran kontrol, 10 cm dan 15 cm. Peningkatan kadar protein pada susu tergantung pada asupan protein dalam pakan ternak yang membentuk asam amino dan diserap tubuh melalui darah (Mc Donald et al. 2002). Kandungan protein dan lemak pada susu sapi penelitian didapatkan hasil lebih dari standar SNI yaitu rataan kadar Protein yaitu 3.54% dan kadar lemak yaitu 4.62% (Tabel 11). BSN (1998) menyatakan susu segar memiliki kadar protein minimal 2.7% dan lemak minimal 3%. Pada Tabel 10 dapat dilihat kadar protein baik pada konsumsi pakan maupun sintesa susu dengan ukuran potongan rumput 5 cm lebih besar dibandingkan ukuran potongan lainnya. Hal ini menurut LeLiboux et al. (1999) dengan mengurangi ukuran partikel pakan dapat mempengaruhi kuantitas dan sifat kecernaan produk akhir dengan mengubah kondisi kimia dan fisika dalam rumen,
19 namun besarnya efek ini tidak tergantung pada jumlah material organik yang difermentasi yang memasuki rumen dalam satu kali makan. Begitu pula dengan kadar lemak susu yang didapatkan lebih besar dari standar SNI, sehingga sesuai dengan pendapat Sudono et al. (2003), pakan hijauan menyebabkan kadar lemak susu tinggi karena lemak susu tergantung dari kandungan serat kasar dalam pakan. Tabel 11 Produksi dan kualitas susu Pemotongan (cm)
Keterangan Produksi Susu (liter/hari) Berat Jenis (gr/ml) Bahan Kering (%) Lemak (%) SNF (%) Protein (%)
Kontrol
5
10
15
5.35 ± 1.55
5.80 ± 1.13
5.28 ± 1.42
5.49 ± 1.93
1.03 ± 0.001 14.18 ± 0.96 5.69 ± 0.74 8.49 ± 0.32 3.79 ± 0.14
1.03 ± 0.001 13.95 ± 1.39 5.53 ± 1.13 8.42 ± 0.27 3.74 ± 0.16
1.03 ± 0.001 14.24 ± 2.12 5.72 ± 1.42 8.52 ± 0.72 3.81 ± 0.37
1.03 ± 0.001 13.94 ± 2.18 5.47 ± 1.64 8.47 ± 0.59 3.71 ± 0.34
Kecernaan Pakan dan Efisiensi Produksi Susu Kecernaan zat-zat makanan pada ternak berhubungan erat dengan kemampuan mikrob rumen dalam melakukan proses fermentasi dalam rumen. Rataan Bahan Kering (BK) dan Bahan organik (BO) pakan, feses dan kecernaan zat-zat makanan pakan disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Hasil kecernaan nutrien terhadap perlakuan ukuran potongan rumput gajah Pemotongan
Keterangan Bahan Kering (kg/hr) : Konsumsi Pakan Feses
Kontrol
5
10
15
8.98 ± 1.29 3.44 ± 0.53
9.32 ± 1.36 3.36 ± 0.66
8.93 ± 0.75 3.24 ± 0.37
9.09 ± 1.43 3.29 ± 0.29
8.25 ± 1.20 2.84 ± 0.57
7.90 ± 0.66 2.75 ± 0.29
8.04 ± 1.27 2.79 ± 0.27
63.31 ± 8.12 64.92 ± 7.89 66.35 ± 5.29a 46.83 ± 13.01 69.43 ± 7.91 87.58 ± 7.21
63.32 ± 6.66 64.81 ± 6.14 64.61 ± 5.92ab 45.92 ± 1.00 69.53 ± 8.96 89.29 ± 1.28
63.29 ± 4.32 64.75 ± 3.64 67.44 ± 4.83a 44.74 ± 8.38 69.07 ± 6.51 89.14 ± 1.32
Bahan Organik (kg/hari) : Konsumsi Pakan 7.94 ± 1.14 Feses 2.92 ± 0.44 Kecernaan (%) : Bahan Kering 61.01 ± 7.87 Bahan Organik 62.66 ± 7.31 Protein Kasar 63.40 ± 7.65b Serat Kasar 40.73 ± 12.02 BETN 68.16 ± 7.41 Lemak Kasar 88.61 ± 1.62
Ket : Superskrip (a, ab dan b) pada baris yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)
Berdasarkan Tabel 12 didapatkan bahwa ukuran potongan rumput tidak berpengaruh nyata terhadap bahan kering (BK) konsumsi pakan dan BK Feses (P>0.05) dengan rataan bahan kering konsumsi pakan sebesar 9.08 ± 1.12 kg hari-1
20 dan BK feses sebesar 3.33 ± 0.44 kg hari-1. Hal ini dapat menunjukkan bahwa ukuran potongan rumput memiliki tingkat palatabilitas yang sama yang merupakan satu jenis pakan yang sama. Menurut Faverdin et al. (1995) palatabilitas merupakan faktor utama yang menjelaskan perbedaan konsumsi bahan kering antara pakan dan ternak-ternak yang berproduksi rendah. Selanjutnya dikatakan bahwa palatabilitas pakan umumnya berasosiasi dengan kecernaan yang tinggi dari suatu pakan. Begitu pula dengan bahan organik (BO) konsumsi pakan dan feses tidak berbeda nyata terhadap ukuran potongan rumput (P>0.05) dengan rataan masing – masing sebesar 8.03 ± 0.99 kg hari-1 dan 2.83 ± 0.37 kg hari-1. Ukuran potongan rumput tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan BK dan BO (P>0.05) dengan rataan kecernaan BK sebesar 62.73 ± 6.26% dan kecernaan BO sebesar 64.28 ± 5.85%. Kandungan dan kualitas nutrien bahan pakan menentukan kecernaan bahan pakan dan peningkatan kecernaan bahan kering sejalan dengan peningkatan kecernaan bahan organik (Surono et al. 2003; Yurleni 2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering, yaitu jumlah ransum yang dikonsumsi, laju perjalanan makanan di dalam saluran pencernaan dan jenis kandungan gizi yang terkandung dalam ransum tersebut. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai kecernaan bahan kering ransum adalah tingkat proporsi bahan pakan dalam ransum, komposisi kimia, tingkat protein ransum, persentase lemak dan mineral Kecernaan sering erat hubungannya dengan konsumsi, yaitu pada pemberian hijauan tua yang sifatnya sangat voluminous dan lamban dicerna dibanding dengan bagian tanaman yang tidak berserat. Hubungan tersebut didapatkan pada hijauan yang kecernaannya di bawah 66%. Kecernaan bahan kering yang tinggi pada ternak ruminansia menunjukkan tingginya zat nutrisi yang dicerna terutama yang dicerna oleh mikroba rumen (Tilman et al. 1991; Anggorodi 1994). Menurut Tilman et al. (1991), kisaran normal bahan kering yaitu 50.7%59.7% sehingga dapat dilihat bahwa rataan kecernaan bahan kering konsumsi pakan yang diberikan potongan lebih tinggi dibandingkan tanpa dipotong (kontrol). Walaupun dalam statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara perlakuan, namun terdapat kecenderungan bahwa ukuran potongan 5 memberikan nilai konsumsi yang lebih tinggi daripada ukuran potongan 10, 15 dan kontrol. Namun walaupun konsumsi pakan pada ukuran potongan 5 cm lebih tinggi daripada ukuran potongan 10, 15 dan kontrol, nilai kecernaannya hampir sama pada pakan yang dipotong dibandingkan dengan kontrol (tanpa dipotong). Menurut Parrakasi (1999) bahwa bahan organik merupakan bahan kering yang telah dikurangi abu, komponen bahan kering bila difermentasi di dalam rumen akan menghasilkan asam lemak terbang yang merupakan sumber energi bagi ternak. Kecernaan bahan organik dalam saluran pencernaan ternak meliputi kecernaan zat-zat makanan berupa komponen bahan organik seperti karbohidrat, protein dan lemak. Faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah kandungan serat kasar dari bahan pakan. Kecernaan bahan organik erat kaitannya dengan kecernaan bahan kering, karena sebagian dari bahan kering terdiri dari bahan organik. Ukuran potongan rumput tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan bahan organik yang terdiri dari serat kasar, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dan lemak kasar (P>0.05). Rataan nilai kecernaan masing – masing nutrien yaitu 44.56 ± 9.09%, 69.05 ± 6.95%, 88.66 ± 3.48%. Ukuran
21 potongan rumput gajah yang berbeda berpengaruh nyata terhadap kecernaan protein (P<0.05). Ukuran potongan rumput 5 cm dengan nilai kecernaan 66.35 ± 5.29 % dan 15 cm dengan nilai kecernaan 67.44 ± 4.83% berbeda nyata terhadap ukuran potongan rumput 10 cm dengan nilai kecernaan 64.61 ± 5.92% dan kontrol dengan nilai kecernaan 63.40 ± 7.65%. Berdasarkan hasil penelitian dapat dikatakan kecernaan protein pada potongan 5 dan 15 cm memiliki tingkat cerna protein yang sama. Rumput gajah merupakan tanaman perenial yang merupakan rumput potong yang mempunyai perakaran dalam, tegak dan membentuk rumpun, persentase batang daun yang cukup tinggi dibandingkan jenis tanaman lain sehingga ternak menyukai rumput tersebut, namun seiring pertumbuhan tanaman, proporsi komponen tercerna seperti karbohidrat terlarut, protein dan abu akan menurun namun karbohidrat selulosa seperti selulosa dan hemiselulosa maupun lignin meningkat sehingga kecernaan akan menurun (Whiteman 1980; Sudarnadi 1996; Rinne et al. 1997; McDonald et al. 2002). Ketersediaan karbohidrat maupun protein dalam bahan pakan berperan besar dalam proliferasi dan proses fermentasi oleh mikroba rumen karena karbohidrat dimanfaatkan sebagai sumber energi dan sumber kerangka carbon, sedangkan protein dimanfaatkan sebagai sumber N untuk menyusun tubuh mikrobia rumen. Menurut McDonald et al. (2002), dalam mengevaluasi sumber protein bagi hewan ruminansia, diambil dari penguraian protein dalam rumen, efisiensi protein yang terdegradasi yang ditangkap oleh mikroba rumen, hasil perombakan dari mikroba protein, daya cerna sejati dari protein yang mencapai usus kecil dan efisiensi pemanfaatan nitrogen yang diserap dari usus kecil. Pada ukuran potongan 5 dan 15 cm, jumlah konsumsi pakan lebih tinggi dibandingkan dengan ukuran potongan 10 cm dan kontrol, sehingga proses fermentasi bahan pakan oleh mikroba rumen dalam mensintesa protein bahan pakan lebih besar karena ukuran partikel yang lebih kecil yang dapat meningkatkan kecernaan (Surono et al. 2003). Menurut Maulfair et al. (2011), efisiensi pakan (kadang-kadang disebut efisiensi susu atau efisiensi konsumsi bahan kering) adalah ukuran sederhana untuk menentukan kemampuan relatif sapi untuk mengubah nutrisi pakan ke dalam susu atau komponen susu. Manfaat tambahan untuk meningkatkan efisiensi pakan sapi adalah nutrisi lebih sedikit yang akan diekskresikan dalam kotoran, sehingga efisiensi pakan mempengaruhi baik efisiensi ekonomi dan lingkungan. Hal ini merupakan hal penting untuk perusahaan susu dengan manajemen aplikasi pupuk kandang. Ada dua cara untuk meningkatkan efisiensi pakan, salah satunya adalah untuk meningkatkan produksi susu bahan kering yang sama, dan yang lainnya adalah mengurangi asupan bahan kering dan menjaga produksi susu yang sama. Tabel 13 Efisiensi Produksi Susu Pemotongan (cm)
Keterangan Efisiensi bahan kering Efisiensi lemak Efisiensi protein
Kontrol 8.54 ± 1.39 10.58 ± 2.03 2.67 ± 0.56
5 9.28 ± 1.58 11.24 ± 1.61 2.81 ± 0.39
10 8.48 ± 1.60 10.32 ± 1.29 2.63 ± 0.33
15 8.37 ± 1.82 9.59 ± 0.52 2.51 ± 0.23
22 Hasil penelitian didapatkan bahwa perlakuan pemotongan rumput tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap efisiensi nutrien produksi susu. Rataan konsumsi pakan per hari selama penelitian yaitu 9.08 ± 1.12 kg BK kg -1 hari-1 yang dapat menghasilkan rataan susu sebesar 5.54 ± 1.45 liter per hari dengan nilai rataan efisiensi BK sebesar 8.67 ± 1.48%, protein kasar sebesar 3.76 ± 0.25% dan lemak kasar sebesar 10.43 ± 1.45%. Menurut Zamani (2012), banyak faktor yang mempengaruhi efisiensi termasuk protein dan lemak pakan juga mempengaruhi efisiensi. Hijauan pakan memiliki pengaruh terbesar pada efisiensi pakan. Karena hijauan dapat membuat sebuah komponen lambat dicerna dari pakan sapi laktasi, hijauan sangat penting untuk menjaga efisiensi pakan diinginkan. Hijauan memiliki dampak besar pada efisiensi pakan karena hijauan merupakan bahan pakan yang paling variabel dalam hal kecernaan dan komposisi gizi dan diberikan dengan proporsi yang lebih besar. Pemberian pakan hijauan dengan kualitas tertinggi untuk sapi laktasi adalah sangat penting. Telah terbukti bahwa efisiensi pakan secara langsung berkaitan dengan kecernaan hijauan dimana dengan peningkatan kecernaan terjadi peningkatan efisiensi pakan. Selain hijauan, ternak diberikan konsentrat. Konsentrat hampir selalu lebih mudah dicerna dari hijauan. (Maulfair et al. 2011) Pada Tabel 13, ukuran potongan rumput 5 cm didapatkan rataan efisiensi BK, protein dan lemak lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, 10 cm dan 15 cm. Hal ini memungkinkan karena dengan pemotongan 5 cm, hampir seluruh bagian rumput termakan dan dicerna, dibandingkan dengan efisiensi BK, protein dan lemak tanpa potongan (kontrol), 10 cm dan 15 cm. Hal ini menurut LeLiboux et al. (1999) dengan mengurangi ukuran partikel pakan dapat mempengaruhi kuantitas dan sifat kecernaan produk akhir dengan mengubah kondisi kimia dan fisika dalam rumen, namun besarnya efek ini tidak tergantung pada jumlah material organik yang difermentasi yang memasuki rumen dalam satu kali makan. Pada sapi laktasi, konsumsi pakan sangat penting untuk memproduksi susu maksimal dan berkualitas baik dengan didukung oleh kondisi lingkungan nyaman yang berpengaruh terhadap kondisi tubuh sapi. Menurut Zamani (2012), semakin banyak jumlah pakan yang dimakan, semakin tinggi nilai protein yang disintesa dan diserap pada sapi laktasi namun kelebihan dari protein dibuang dalam bentuk urea. Sehingga dapat dikatakan efisiensi nutrien susu pada ukuran potongan 5 cm lebih baik dibandingkan ukuran potongan lainnya dimana menurut Budiarsana dan Sutama (2001) nilai ini akan sangat situasional, tergantung tempat dan waktu dimana perhitungan itu dilakukan
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kondisi lingkungan yang cenderung panas dengan cekaman stress ringan sampai dengan sedang, respon fisiologis (suhu tubuh, detak jantung, laju respirasi kecuali suhu rektal) tidak dipengaruhi oleh perlakuan perbedaan ukuran potongan rumput. Semakin kecil ukuran potongan semakin banyak konsumsi pakan ternak namun tidak berbeda nyata dalam mempengaruhi kualitas susu. Kecernaan protein dipengaruhi ukuran potongan rumput. Kecernaan bahan kering yang didapatkan lebih tinggi dari kisaran normal kecernaan sehingga dapat dikatakan bahwa
23 rumput yang diberikan perlakuan pemotongan ukuran dapat mempengaruhi jumlah konsumsi pakan dan penyerapan nutrient pakan. Efisiensi BK, protein dan lemak tidak dipengaruhi ukuran potongan rumput. Saran Pemberian pakan pada penelitian dilakukan pada pagi dan siang hari, sehingga dapat dilakukan penelitian lanjutan untuk melakukan pemberian pakan pada malam hari untuk dapat melihat respon fisiologis dari ternak sapi perah dan dapat dilihat produksi dan kualitas susu sapi perah. Penelitian dilaksanakan pada musim kemarau sehingga perlu dilakukan penelitian pada musim hujan. Pemberian hijauan sebaiknya dipotong (chopping) untuk meningkatkan konsumsi pakan.
DAFTAR PUSTAKA Amir, A. 2010. Respon termoregulasi dan tingkah laku bernaung sapi perah dara peranakan fries holland pada energi ransum yang berbeda. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID) Anggorodi. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta (ID) : PT. Gramedia. Asmaki AP, Hasanawi M, Tidi DA. 2008. Budidaya Usaha Pengelolaan Agribisnis Ternak Sapi. Bandung (ID): CV. Pustaka Grafika Baret K, Brooks H, Boitano S, Barman S. 2010. Ganong’s Review Of Medical Physiology. 23th Edition. California (US): McGraw Hill Co. Bath, DL, Dickinson, FN, Tucker HA, Applemen RD. 1985. Dairy Cattle: Principles, Practices, Problems, Profits. 3rd edition. Philadelphia (US) : Lea and Febiger. Beede DK, Collier RJ. 1986. Potential nutritional strategies for intensively managed cattle during thermal stress, J. Anim. Sci. 62 (1986) 543–554. http://www.journalofanimalscience.org/content/62/2/543.full.pdf Berman, A. 2005. Estimates of heat stress relief needs for Holstein dairy cows. J. Anim. Sci. 83:1377-1384 Blakely J, Bade DH. 1994. Ilmu Peternakan. Terjemahan. Edisi kelima. Yogyakarta (ID): UGM Press. Bohmanova J, Misztal I, Cole, JB. 2007. Temperature-humidity indices as indicators of milk production losses due to heat stress. J. Dairy Sci. 90 : 1947–1956. https://www.aipl.arsusda.gov/publish/jds/2007/90_1947.pdf Bouraoui R, Lahmar M, Majdoub A, Djemali M, Belyea R. 2002. The relationship of temperature-humidity index with milk production of dairy cows in a Mediterranean climate. Anim. Res. 51 (2002) 479–491. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI – Standar Mutu Susu Segar No. 01-3141-1998. Jakarta (ID): Departemen Pertanian Budiarsana IGM, Sutama IK. 2001. Efisiensi produksi susu kambing Peranakan Etawah (The efficiency of milk production of Peranakan Etawah goats). Seminar Nas. Tek. Peternakan dan Vet. Pronas (2001) : 427 – 434. Calderon A, Armstrong DV, Ray DE, Denise SK, Enns RM, Howison CM. 2005. Productive and reproductive response of Holstein and Brown Swiss heat
24 stressed dairy cows to two different cooling systems. J.Anim Vet 4:572578 Chase, LE. 2006. Climate Change Impacts on Dairy Cattle. Fact sheet, Climate Change and Agriculture: Promoting Practical and Profitable Responses. Online at http://dbccc.onep.go.th/climate/attachments/article/105/ Climate%20Change%20Impacts%20on%20Dairy%20Cattle.pdf [9 Februari 2014]. Collier RJ, Beede DK, Thatcher WW, Israel LA, Wilcox CJ. 1982. Influences of environment and its modification on dairy animal health and production. J. Dairy Sci. 65:2213-2227. De Rensis F, Scaramuzzi RJ. 2003. Heat stress and seasonal effects on reproduction in the dairy cow--a review. Theriogenology. 60 (6) : 11391151. Dobson H, Ghuman SPS, Prabhaker S, Smith RF. 2003. A conceptual model of the influence of stress on female reproduction. Reproduction. 125:151163. Epaphras A, Karimuribo ED, Msellem SN. 2004. Effect of season and parity on lactation of crossbred Ayrshire cows reared under coastal tropical climate in Tanzania. Livestock Research for Rural Development, Vol. 16, Art. #42. Retrieved June 6, 113, from http://www.lrrd.org/lrrd16/6/epap16042.htm Faverdin, P, Baumont R, Ingvartsen KL. 1995. Control and prediction of feed intake in ruminants. In: M. Journet, E. Grenet, M-H. Farce, M. Theriez, and C. Demarquilly (eds), Proceedings of the IVth International Symposium on The Nutrition of Herbivores. Recent Development in the Nutrition of Herbivores. INRA. Paris. Pp. 95-120. Foley, RC, Bath DL, Dickinson FN, Tucker HA. 1973. Dairy Cattle Principles, Practices, Problem and Profits. Philadelphia (US) : Lea and Febiger. Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Srigandono B, Praseno K, penerjemah; Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Press. Ginting, N. & P. Sitepu. 1989. Teknik Beternak Sapi Perah di Indonesia. Jakarta (ID) : PT. Anda Setiawan. Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta (ID) : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Hahn GL. 1999. Dynamic responses of cattle to thermal heat loads. J.Anim Sci 77:10-20. Handayani, IP. 2002. Pendayagunaan vegetasi invasi dalam proses agradasi tanah untuk percepatan restorasi lahan kritis. Bengkulu (ID) : Lembaga penelitian Universitas Bengkulu. Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Lebdosukojo S, Tillman A, Kearl LC, Harris LE. 1980. Tabel-tabel dari Komposisi Bahan Makanan Ternak untuk Indonesia. Utah (US): International Feedstuffs Institute Utah Agricultural Experiment Station. Hartadi, H, Reksohadiprodjo S, Tilman D. 1993. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Yogyakarta (ID) : UGM Press. Igono MO, Johnson HD. 1990. Physiological stress index of lactating dairy cows based on diurnal pattern of rectal temperature. J. Interdiscip. Cycle Res. 21, 303–320.
25 Indriani, Ap, Muktiani A, Pangestu E. 2013. Konsumsi dan produksi protein susu sapi perah laktasi yang diberi suplemen temulawak (curcuma xanthorrhiza) dan seng proteinat (Feed intake and milk protein production of dairy cow fed temulawak (Curcuma xanthorrizha) and Zn proteinate as supplementation). Anim. Agric. Journal, Vol. 2. No. 1, 2013, P 128 – 135. Johnson, HD. 1980. Depressed chemical thermogenesis and hormonal functions in heat. In: Environmental Physiology: Aging, Heat, and Altitude. New York (US) : Elsevier/North Holland, pp. 3–9. Jordan, ER. 2003. Effects of heat stress on reproduction. J. Dairy Sci. 86 : (E. Suppl.) : E104-E114 Kadzere CT, Murphy MR, Silanikove N, Maltz E. 2002. Heat stress in lactating dairy cows: a review. Livestock Prod. Sci 77 (2002) : 59–91. Karnaen, Arifin J. 2009. Korelasi nilai pemuliaan produksi susu sapi perah berdasarkan Test Day Laktasi 1, Laktasi 2, Laktasi 3, dengan gabungannya. J. Anim. Production 11:135-142. Karuniawati, R. 2012. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu sapi perah (Kasus peternak anggota kelompok ternak Mekar Jaya Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID). LeLiboux S, Peyraud JL. 1999. Effect of forage particle size and feeding frequency on fermentation patterns and sites and extent of digestion in dairy cows fed mixed diets. Anim. Feed Sci. and Tech.76 (1999) 297 – 319. Linn J, Raeth-Knight M, Fredin S, Bach A. 2007. Feed efficiency in lactating dairy cows. Colorado State University Animal Sciences - Fort Collins. http://www.cvmbs.colostate.edu/ilm/proinfo/cdn/2007/Feed%20Efficiency %20in%20Lactating%20Dairy%20Cows.pdf Maulfair D, Heinrichs J, Ishler V. 2011. Feed eficiency for lactating dairy cows and its relationship to income over feed costs. DAS 2011-183. Penn state extension. http://extension.psu.edu/animals/dairy/nutrition/nutrition-andfeeding/diet-formulation-and-evaluation/feed-efficiency-in-lactating-dairycows-and-its-relationship-to-income-over-feed-costs McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA. 2002. Animal Nutrition 6th Edition. London (GB) : Pearson Education. McDowell RE. 1974. The environment versus man and his animals. Dalam: Cole HH, Ronning M (Editor). Animal Agriculture. San Fransisco (US) : W.H. Freeman and Co. McDowell, R.E., Hooven, N.W., Camoens, J.K., 1976. Effects of climate on performance of Holsteins in first lactation. J. Dairy Sci. 59, 965–973. McLean JA, Downie AJ, Jones CDR, Stombough DP, Glasbey CA. 1983. Thermal adjustments of stress (Bos Taurus) to abrupt changes in environtments temperature. Camb. J. Agric. Sci. 48 : 81–84. Moran, J. 2005. Tropical Dairy Farming : Feeding Management for Small Holder Dairy Farming in the Humid Tropics. Australia (AU) : Landlinks Press. Mulyaningsih, T. 2006. Penampilan domba ekor tipis (Ovis aries) jantan yang digemukkan dengan beberapa imbangan konsentrat dan rumput gajah
26 (Pennisetum purpureum). Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID). [NRC] National Research Council. 2001. Nutrient Requirements of Dairy Cattle. 7th revised edition. Washington, DC (US) : Natl. Acad. Sci. Pane, I. 1986. Pemuliaan Ternak Sapi. Jakarta (ID) : PT Media. Parrakasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Jakarta (ID) : UI Press. Prasetyo, A. 2004. Model usaha rumput gajah sebagai pakan sapi perah di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Purwanto BP, Matsumoto T, Nakamasu F, Ito T, Yamamoto S. 1993. Effect of standing and lying behaviours on heat production of dairy heifers differing in feed intake levels. AJAS. 6:271-274. Purwanto BP, Santoso AB, Murfi A. 1995. Fisiologi Lingkungan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor (ID) Rakhman, Adi. 2012. Respon fisiologis sapi dara peranakan fries holland dengan manajemen waktu pemberian pakan dan penggunaan minyak kelapa dalam konsentrat. Tesis. Sekolah Pascasarjana Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID). Ramelan. 2001. Efisiensi produksi air susu pada sapi perah dara dan laktasi akibat penyuntikan PMSG. Tesis. Program Magister Ilmu Ternak. Program Pasca Sarjana. Universitas Diponegoro. Semarang (ID). Reksohadiprodjo S. 1985. Produksi Hijauan Makanan Ternak Tropik. Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi. Yogyakarta (ID) : UGM. Richard, FD. 1962. Modern Dairy Cattle Management. New Jersey (US) : Prentice Hall, Inc. Rinne M, Jaakkola, Huhtanen P. 1997. Grass maturity effect on cattle fed silagebasal diet. 1. Organic matter digestion, rumen fermentation and nitrogen utilization. Anim. Feed Sci. and Tech. 67 : 1 – 17 Riyanthi. 2006. Tingkah laku makan sapi peranakan Friesian Holstein laktasi yang diberi pakan rumput gajah dengan ukuran pemotongan yang berbeda. Skripsi. Program Studi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro. Semarang (ID). Rumetor, S.D. 2003. Stres panas pada sapi perah laktasi. Makalah Falsafah Sains. Bogor (ID) : Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sanderson, MA, Paul, RA. 2008. Perennial forages as second generation bioenergy crops. J. Anim. Sci. 9: 768-788. Sari, S. 2010. Laju pertumbuhan dan laju asimilasi bersih rumput gajah dari letak tunas stek yang berbeda dengan beberapa dosis pupuk nitrogen. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro. Semarang (ID). Shalit, O, Maltz E, Silanikove N, Berman A, 1991. Water, Na, K, and Cl metabolism of dairy cows at onset of lactation in hot weather. J. Dairy Sci. 74, 1874–1883. Shearer, JK, Beede DK. 1990. Thermoregulation and physiological responses of dairy cattle in hot weather. Agri-Practice 11: 5–17. Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, pembiakan, dan penggunaan hewan percobaan di Daerah Tropis. Jakarta (ID): UI Press.
27 Soejono, M. 1990. Petunjuk Laboratorium Analisis dan Evaluasi Pakan. Yogyakarta (ID) : Fakultas Peternakan, UGM Steel RDG, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometri. Ed ke-2. Terjemahan Bambang S. Jakarta (ID) : PT Gramedia Pustaka Utama. Sudarnadi, H. 1996. Tumbuhan Monokotil. Jakarta (ID) : Penebar Swadaya Sudono A, Rosdiana F, Setiawan B. 2003. Beternak sapi perah secara intensif. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka. Sudrajad P, Adiarto. 2011. Pengaruh stres panas terhadap performa produksi susu sapi Friesian holstein di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah Baturraden (Effects of heat stress on milk production performance of Friesian Holstein cows at Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah Baturraden). Sem. Nas. Tek. Peternakan dan Vet. : 341 - 346 Surono, Soejono M, Budhi SPS. 2003. Kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro silase rumput gajah pada umur potong dan level aditif yang berbeda (In vitro dry matter and organic matter digestibility of Napier grass silage at cutting age and level of additive differences). J. Indon. Trop. Anim. Agric. 28 (4) : 204 – 210. Sutardi, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Bogor (ID) : Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sutardi, T. 1997. Peluang dan tantangan pengembangan ilmu-ilmu nutrisi ternak. Bogor (ID) : Makalah Orasi Ilmiah sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Nutrisi Ternak pada Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Syarifudin, N. A. 2004. Nilai gizi rumput gajah sebelum dan setelah ensilase pada berbagai umur pemotongan. J. Ilmiah Nas. 22: 36. Talib, C. 1999. Aspek teknis perkembangan usaha ternak sapi perah. Workshop Peningkatan Produktifitas Sapi Perah di Indonesia. Bogor (ID). Tilman A.D, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekojo S. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Press.. Tim Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan. 2003. Pengetahuan Bahan Makanan Ternak. Bogor (ID) : CD-ROM. Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Tucker CB, Rogers AR, Schütz KE. 2008. Effect of solar radiation on dairy cattle behaviour, use of shade and body temperature in a pasture-based system. Appl Anim Behav Sci 109:141–154. Tyler HD, Enseminger ME. 2006. Dairy Cattle Science. 4th edition. New Jersey (US) : Pearson Education, Inc. [USDA] United State Department of Agriculture. 2012. Pennisetum purpureum. http://plants.usda.gov/java/profile/symbol=PEPU2. [17 September 2012]. Wagner, PE. 2001. Heat stress on dairy cows. Franklin County (USA) : Dairy Franklin Country Publishers. Weeth HJ, Hunter JE, Piper EL. 2008. Effect of salt water dehydration on temperature, pulse, and respiration of growing cattle. J Dairy. Sci 21:688691. Whiteman, PC. 1980. Tropical Pasture Science. New York (US) : Oxford University Press.
28 Wirakartakusumah, M A, Abdullah K, Syarif AM. 1992. Sifat Fisik Pangan. Bogor (ID) : Depdikbud. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Yani A, Purwanto BP. 2006. Pengaruh iklim mikro terhadap respons fisiologis sapi peranakan Fries Holland dan modifikasi lingkungan untuk meningkatkan produktivitasnya (ulasan). Med Pet 1:35-46. Yurleni. 2013. Produktivitas dan karakteristik daging kerbau dengan pemberian pakan yang mengandung asam lemak terproteksi. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID). Zamani P. 2012. Efficiency of Lactation. Milk Production – An Up-to-Date Overview of Animal Nutrition, Management and Health. Chapter 7. Zamani, license InTech. http://www.intechopen.com/download/get/type/pdfs/id/39467. (26 Februari 2014)
29 Lampiran 1 Hasil analisis data kecernaan protein kasar menggunakan analisis RBSL dengan SAS 9.1.3 Portable The SAS System
11:28 Thursday, February 11, 2014
1
The MEANS Procedure N PEMOTONGAN Obs Variable N Mean Std Dev Minimum Maximum ƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒ A 4 PK 4 66.3541989 5.2857004 61.2949292 71.5112745 B 4 PK 4 64.6124696 5.9194491 59.5113608 71.2944493 C 4 PK 4 67.4397358 4.8254253 63.1427528 72.6506160 D 4 PK 4 63.3991740 7.6484464 57.0749967 74.4916601 ƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒ Obs PERIODE SAPI PEMOTONGAN 1 1 1 D 2 1 2 B 3 1 3 A 4 1 4 C 5 2 1 C 6 2 2 A 7 2 3 D 8 2 4 B 9 3 1 B 10 3 2 D 11 3 3 C 12 3 4 A 13 4 1 A 14 4 2 C 15 4 3 B 16 4 4 D
PK 60.2770 59.7477 62.3292 70.4338 63.5318 61.2949 57.0750 67.8963 59.5114 61.7530 63.1428 70.2814 71.5113 72.6506 71.2944 74.4917
The GLM Procedure Class Level Information Class PERIODE PEMOTONGAN SAPI
Levels 4 4 4
Values 1 2 3 4 A B C D 1 2 3 4
Number of Observations Read Number of Observations Used
16 16
The GLM Procedure Dependent Variable: PK Source Model Error Corrected Total R-Square 0.966760
Source SAPI PERIODE PEMOTONGAN
DF 3 3 3
Sum of Squares 457.2984966 15.7232513 473.0217478
DF 9 6 15
Coeff Var 2.473299
Type III SS 0.24718112 0.23871174 0.13330357
Mean Square 0.08239371 0.07957058 0.04443452
Mean Square 50.8109441 2.6205419
Root MSE 1.618809
F Value 7.97 7.70 4.30
F Value 19.39
PK Mean 65.45139
Pr > F 0.0163 0.0176 0.0611
Pr > F 0.0009
30 Source SAPI PERIODE PEMOTONGAN
DF 3 3 3
Type III SS 151.5249134 267.0377398 38.7358433
Mean Square 50.5083045 89.0125799 12.9119478
F Value 19.27 33.97 4.93
Pr > F 0.0018 0.0004 0.0466
Duncan's Multiple Range Test for PK NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 6 Error Mean Square 2.620542 Number of Means Critical Range
2 2.801
3 2.903
4 2.953
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A A A A B A B B
Mean 67.440
N 4
66.354
4
A
64.612
4
B
63.399
4
D
Duncan Grouping A
Mean 70.776
N 4
SAPI 4
63.862
4
2
63.708
4
1
63.460
4
3
Mean 72.487
N 4
PERIODE 4
63.672
4
3
63.197
4
1
62.450
4
2
B B B B B
Duncan Grouping A B B B B B
PEMOTONGAN C
31
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 1 November 1979, Penulis merupakan putri pertama dari Bapak Ir. Bachri Napitupulu (alm) dan Ibu Mardiana Simatupang. Tahun 1998 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP) dan lulus pada tahun 2003. Penulis bekerja sebaga Pegawai Negeri Sipil di Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian sejak tahun 2003 dengan masa honorer selama 3 tahun dan diangkat sebagai PNS tahun 2006 hingga saat ini. Penulis diterima sebagai mahasiswa Pascasarjana dengan mendapatkan beasiswa dari Badan SDM Kementerian Pertanian pada tahun 2012 dan menamatkan program Magister (S2) pada tahun 2014.