TINJAUAN PUSTAKA Program Primatani di Kabupaten Karawang BPTP Jawa Barat merupakan Unit Pelaksana Teknis Badan Litbang Pertanian yang mempunyai misi menemukan atau menciptakan inovasi pertanian (teknologi, kelembagaan dan kebijakan) maju dan strategis, mengadaptasikannya menjadi tepat guna spesifik pemakai dan lokasi serta menginformasikan dan menyediakan materi dasarnya. Salah satu program yang dijalankannya adalah Primatani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian). Prima Tani merupakan salah satu upaya untuk mempercepat sampainya informasi dan adopsi inovasi teknologi di tingkat petani. Secara operasional mengkaitkan antara penelitian dan penyuluhan bukan semata-mata hanya penyuluhan yang diberikan (BPTP Jawa Barat 2007). Penerimaan perubahan-perubahan oleh suatu
masyarakat
menurut
Wiriaatmadja (1982) dapat dipercepat secara teratur (akselerasi) dengan cara: (1) Peniruan (imitation) secara sengaja atau aktif karena pengaruh demonstratif (demonstrative effect) yang disebabkan oleh adanya hubungan sosial. (2) Pendidikan (education), yaitu usaha mengadakan perubahan perilaku manusia secara teratur sejak lahir sampai mati. Pendidikan dianggap sebagai kewajiban setiap generasi untuk menjadikan angkatan kemudiannya lebih sempurna. (3) Pembujukan (persuasion), yaitu usaha merubah perilaku dengan janji imbalan jasa atau dengan pemberian bantuan. Perubahan akan lebih cepat terjadinya tetapi akan cepat pula kembali kepada keadaan asalnya bila bantuan tadi dihentikan. (4) Propaganda, yaitu usaha merubah perilaku orang dengan mempengaruhi emosinya sehingga orang tersebut akan memihak kepada orang atau golongan pengusaha propaganda itu. (5) Perintah (instruction), yaitu usaha mengatur perilaku orang lain berdasarkan kelebihan wewenang dari orang yang memerintah (pemerintah, atasan, guru, orang tua dan lain-lain). Sifatnya hanya satu arah dari atas ke bawah dan biasanya ada sanksi. 6
(6) Paksaan (coercion), yaitu usaha mengatur perilaku orang lain berdasar kekuasaan yang dipunyai orang yang memaksa dan ada terkandung ancaman badan. Kegiatan Primatani di Kabupaten Karawang menggunakan beberapa pendekatan, yaitu: (1) agro-ekosistem; (2) agribisnis; (3) wilayah; (4) kelembagaan, (5) kesejahteraan (Litbang Deptan 2004). Penggunaan pendekatan agroekosistem berarti Primatani diimplementasikan dengan memperhatikan kesesuaian dengan kondisi biofisik lahan sawah intensif yang meliputi aspek sumberdaya lahan, air, wilayah komoditas dan komoditas dominan. Pendekatan agribisnis berarti dalam implementasinya Primatani memperhatikan struktur dan keterkaitan subsistem penyediaan input, usahatani, pasca panen dan pengolahan, pemasaran, dan penunjang dalam satu sistem. Pendekatan wilayah berarti optimasi penggunaan lahan untuk pertanian dalam satu kawasan (desa atau kecamatan). Pendekatan kelembagaan berati pelaksanaan Primatani tidak hanya memperhatikan keberadaan dan fungsi suatu organisasi ekonomi atau individu yang berkaitan dengan input dan output, tetapi juga mencakup modal sosial, norma dan aturan yang berlaku di lokasi Primatani. Pendekatan kesejahteraan menekankan bahwa pelaksanaan Primatani berorientasi pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di lokasi Primatani. Resultan dari kelima pendekatan di atas adalah terciptanya suatu unit agribisnis industrial pedesaan (AIP). Primatani di Kabupaten Karawang dilaksanakan di Desa Citarik Kecamatan Tirtamulya pada agro-ekosistem lahan sawah irigasi. Kegiatan diawali dengan
pemahaman
pedesaan
secara
partisipatif
(Participatory
Rural
Appraisal/PRA) dengan melibatkan semua pihak yang terkait. Keluaran dari kegiatan PRA adalah: 1) pemahaman masalah pengembangan agribisnis di wilayah Primatani, 2) rancangan model agribisnis dan jenis-jenis inovasi yang dapat dilakukan, dan 3) tahapan kegiatan inovasi selama 5 tahun (Litbang Deptan 2004). Tahap selanjutnya dilakukan survey pendasaran (baseline survey) yang bertujuan untuk membandingkan kondisi awal atau sebelum dan sesudah kegiatan dilakukan (exante vs expost analysis). Dengan mengetahui dan memahami kondisi awal pada variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kegiatan agribisnis dan 7
sistem agribisnis pedesaan, maka dapat diketahui bagaimana perubahan variabelvariabel tersebut setelah dilakukan kegiatan (Litbang Deptan 2004). Implementasi inovasi teknologi dilakukan melalui sistem dan usaha agribisnis. Dalam penerapan sistem ini petani didorong untuk melakukan usahataninya tidak hanya pada tahap on farm tetapi juga pada tahap off farm. Penerapan teknologi tepat guna spesifik lokasi dilaksanakan sesuai dengan keunggulan sumberdaya dan kondisi sosial ekonomi setempat (farmer”s circumtances), serta penumbuhan kelembagaan agribisnis yang sedang berjalan. Hal ini merupakan kunci keberhasilan keseluruhan proses sistem dan usaha agribisnis. Model sistem dan usaha agribisnis, pada awalnya dilakukan melalui pendekatan model farm untuk mengkaji kelayakan teknis, ekonomis dan sosial budaya. Pendekatan ini diperlukan karena keberhasilan suatu program pengembangan usahatani tidak hanya ditentukan oleh teknologi maju, tetapi juga faktor sosial ekonomi petani, dukungan kelembagaan yang ada di pedesaan, dan kebijaksanaan pemerintah. Selain itu partisipasi aktif dari semua pihak yang terkait sejak perencanaan hingga monitoring dan evaluasi mendukung keberlanjutan penerapan teknologi anjuran secara luas di tingkat petani. Program Primatani pada lahan sawah di Kabupaten Karawang diimplementasikan dalam model laboratorium agribisnis yang dirancang, dibangun, dan dikembangkan dalam jangka waktu lima tahun (2005-2009). Primatani pada intinya adalah membangun laboratorium agribisnis yang merupakan model percontohan agribisnis industrial pedesaan (AIP) berbasis sumberdaya lokal yang memadukan sistem inovasi teknologi dan kelembagaan pedesaan. Dalam model ini, Badan Litbang Pertanian tidak hanya berfungsi sebagai produsen teknologi sumber/dasar, tetapi juga aktif
terlibat dalam
memfasilitasi penggandaan, penyaluran dan penerapan teknologi inovatif yang dihasilkannya. Inovasi yang dikembangkan dalam Primatani di Desa Citarik Kecamatan Tirtamulya Kabupaten Karawang terdiri dari dua jenis inovasi yaitu; inovasi teknis dan inovasi kelembagaan.
8
¾ Inovasi Teknologi Implementasi inovasi teknologi masih dilakukan secara terbatas. Inovasi teknologi yang dikembangkan pada lahan sawah irigasi intensif di Kabupaten Karawang merupakan penyempurnaan teknologi pada Program Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T) yang sebelumnya telah dilaksanakan. Teknologi yang dikembangkan adalah pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) padi sawah. Adapun komponen teknologi PTT yang dikembangkan pada lahan sawah intensif di Desa Citarik Kecamatan Tirtamulya Kabupaten Karawang adalah sebagai berikut : 1. Penggunaan varietas unggul dan padi hibrida. 2. Perlakuan benih (seed treatment). 3. Penggunaan bibit muda (10-15 hss) 1-3 batang per rumpun. 4. Cara tanam jajar legowo dengan jarak tanam 50 x 25 x 12,5 cm. 5. Pemberian pupuk N berdasarkan Bagan Warna Daun (BWD). 6. (Pupuk Urea akan diberikan pada tanaman padi, apabila warna daun menunjukkan angka di bawah 4 pada BWD, dosis yang diberikan 45 kg N (100 kg Urea/ha pada setiap aplikasi). 7. Pemberian bahan organik (kompos kotoran sapi) dengan dosis 1,5-2,0 ton/ha). 8. Pemberian pupuk P dan K berdasarkan hasil analisa tanah . 9. Pengendalian OPT melalui konsep PHT. 10. Penggunaan teknologi panen dan pasca panen. ¾ Inovasi Kelembagaan Keberhasilan usahatani tidak hanya didukung oleh penerapan inovasi teknologi, akan tetapi terkait erat dengan sistem kelembagaan pendukung usahatani. Kelembagaan yang berkembang dan berjalan sesuai tugas dan fungsinya akan memacu peningkatan produksi yang akhirnya berpengaruh pada peningkatan nilai tambah ekonomi rumah tangga petani yang ada di wilayah tersebut (BPTP Jawa Barat 2005). Agribisnis
Industrial
Pedesaan
(AIP)
merupakan
suatu
model
kelembagaan usaha pertanian sekaligus model kelembagaan inovasi yang dikembangkan melalui Primatani guna mempercepat proses adopsi inovasi teknologi dan mewujudkan usaha pertanian yang berorientasi pasar, bernilai 9
tambah tinggi, berdaya saing, sharing system yang proporsional diantara pelaku agribisnis, serta berdampak pemanfaatan sumberdaya pertanian secara optimal, peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan (Litbang Deptan 2004). Suatu sistem dan usaha agribisnis dilakukan secara terpadu di setiap subsistem yang ada di Kecamatan Tirtamulya karena pembangunan salah satu subsistem saja tidak akan memberikan hasil yang maksimal. Dalam AIP di Kecamatan Tirtamulya terjadi suatu kesatuan rantai pasok vertikal dalam suatu kawasan, meliputi: 1). penumbuhan seluruh elemen lembaga agribisnis yang meliputi lembaga produksi pertanian, sarana produksi, jasa alsintan, penyuluhan, klinik agribisnis, pemasaran, industri pengolahan pertanian, dan permodalan di pedesaan, dan 2) penumbuhan keterkaitan kerjasama yang saling menguntungkan di antara pelaku usaha agribisnis, terutama antara petani dan pelaku usaha agribisnis lainnya. Seluruh elemen lembaga saling terkait satu sama lain dan membentuk suatu unit AIP di lokasi Prima Tani. Saluran/Media Komunikasi Saluran komunikasi adalah jalan yang dilalui pesan komunikator untuk sampai ke komunikannya. Terdapat dua jalan agar pesan komunikator sampai ke komunikannya, yaitu tanpa media (nonmediated communication yang berlangsung face to face, tatap muka) dan dengan media (Dhani 2007). Media dimaksud adalah media komunikasi. Media merupakan alat perantara yang sengaja dipilih komunikator untuk menghantarkan pesannya agar sampai ke komunikan. Termsuk di dalammnya media personal (Penyuluh). Seperti dikemukakan oleh McQueil dalam Littlejohn (2001) yang mengatakan bahwa media merupakan penterjemah yang membantu memahami, landasan atau pembawa yang menyajikan informasi, penyaring yang menyaring bagian-bagian dari pengalaman. Lebih lanjut Littlejohn (2001) mengemukakan bahwa sebelum media cetak ditemukan, manusia merupakan penghantar pesan yang berorientasi pada pendengaran; mendengar adalah untuk mempercayai. Jadi, media personal merupakan media komunikasi sebagai perantara yang dilakukan komunikator dengan sengaja. Penggunaan media dan pemanfaatan informasi teknologi pertanian oleh petani dikemukakan Setiabudi (2004) dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain 10
: a) karakteristik individu, b) kebutuhan terhadap media dan informasi, serta c) motivasi itu sendiri terhadap informasi. Ditegaskan pula bahwa suatu media informasi akan digunakan jika media informasi tersebut mampu memenuhi kebutuhan informasi sesuai dengan motivasi penggunaan media informasi dan pemanfaatannya. Disisi lain, suatu media akan digunakan dan dimanfaatkan tergantung kepada: 1) ketersediaan media, 2) kualitas media, 3) kesesuaian media (Eko et al. 2000). Penggunaan informasi tergantung pada kredibilitas suatu media informasi. Tingkat kredibilitas media tersebut sangat bergantung pada tingkat kemanfaatan informasi bagi pengguna, mampu memecahkan masalah dan disampaikan tepat waktu dan tepat sasaran. Pemilihan media yang akan diteliti dalam penelitian dilihat dari target komunikannya termasuk dalam saluran komunikasi dengan menggunakan media massa yang bersifat non periodik. Media leaflet termasuk di dalamnya peragaan gelar teknologi biasanya digunakan pada waktu-waktu tertentu. Dapat dijelaskan bahwa manusia (penyuluh) adalah mempunyai kedudukan sebagai media. Dimana informasi teknologi yang disampaikan dari sumber informasi (peneliti badan litbang) terlebih dahulu disampaikan melalui pelatihan para petugas penyuluh di lapangan sebelum sampai kepada petani. Media Cetak Media dapat diartikan sebagai alat atau sarana yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak, sedangkan media cetak dapat diartikan segala barang cetak seperti surat kabar, majalah, brosur, pamflet, buletin dan lain-lain (Cangara, 2002). Media cetak disediakan untuk memenuhi bahan kebutuhan para petani dan masyarakat lain yang memerlukan dan mengambil manfaat dari adanya informasi. Seorang yang menyiapkan informasi untuk petani melalui media cetak hendaknya bertanya pada diri sendiri tentang; (a) untuk siapa media cetak ini disiapkan, (b) apakah calon pembaca mengetahui pokok yang dibahas, (c) informasi apa yang dapat disampaikan untuk
menambah
pengetahuan
calon
pembaca,
(d)
kebijaksanaan apakah yang dapat membawa perubahan, (e) apakah keputusan itu mungkin dapat diterapkan (Deptan, 1995). Untuk menjawab pertanyaan ini maka perencanaan pembuatan leaflet yang baik sangat diperlukan; (1) harus 11
menentukan dengan pasti tingkat umur, latar belakang, dan jenis kepentingan calon pembaca, (2) mempersiapkan outline termasuk rencana ilustrasinya, (3) mengumpulkan
bahan
yang
akan
disajikan,
(4)
mengembangkan
dan
mengorganisasi ide dan informasi ke dalam bentuk cetak. Mengingat
masyarakat
pedesaan
dalam
kehidupannya
sehari-hari
mempunyai banyak keterbatasan antara lain, pendidikan, kemampuan baca tulis yang rendah, cara berpikir yang sederhana dan sebagainya. Oleh karena itu media yang disampaikan harus dibuat sesuai dengan kondisi dan kemampuan mereka. Untuk itu media yang dibuat harus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) Sederhana, mudah dimengerti dan dikenal, (b) menarik, (c) mengesankan ketelitian, (d) menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, (e) mengajak sasaran untuk memperhatikan, mengingatkan, dan menerima ide-ide yang dikemukakan (Deptan, 1995). Tulisan yang efektif hendaknya mempunyai syarat (a) bersih; kata-katanya jelas, mudah dimengerti, kalimatnya sederhana, dan paragrafnya pendek, (b) pola; organisasikan ide dan pertanyaan kedalam bagian-bagian yang masing-masing bahan mudah dicerna. Alinea yang tidak terlalu panjang atau pendek, setiap alinea hanya mengandung satu maksud, urutan kronologi yang mudah dimengerti (Deptan, 1995). Media cetak (seperti brosur, leaflet, surat kabar dan majalah pertanian merupakan visualaid) berfungsi sebagai bahan publikasi untuk menyebarluaskan informasi pertanian, khususnya kepada masyarakat tani dan masyarakat ramai yang menaruh minat terhadap pembangunan pertanian (Samsudin 1994). Leaflet dan folder dimaksudkan untuk mempengaruhi pengetahuan dan keterampilan sasaran pada tahap menilai, mencoba, dan menerapkan (Mardikanto 1993). Jahi (1988) mengemukakan beberapa keunggulan media cetak yaitu (a) sifat permanen pesan-pesan yang telah dicetak, (b) keleluasan pembaca mengontrol keterdedahannya (exposure) dan (c) mudah disimpan serta diambil kembali. Lozare (Jahi 1988) menjelaskan sifat-sifat yang menguntungkan ini mengakibatkan media cetak dianggap sebagai tulang punggung komunikasi. Selanjutnya menurut Kelsey dan Hearne dalam Kushartanti (2001) menyatakan bahwa untuk meningkatkan keefektifan media cetak disarankan agar 12
media: (a) menyajikan topik yang sesuai dengan kebutuhan yang dianggap penting dan mendesak serta dapat diterapkan oleh masyarakat, (b) menyajikan materi yang sesuai dengan masalah, minat dan tingkat pendidikan pembaca, (c) menghindari konsep yang sukar, (d) menyusun fakta secara logis sehingga pembaca dapat mengikuti secara bertahap, (e) menggunakan ilustrasi foto dan gambar yang sesuai. Selain itu menurut Ban dan Hawkins (1999) menyatakan bahwa agar publikasi teknis media cetak yang diterbitkan oleh dinas-dinas penyuluhan efektif bagi sasaran/penggunanya, media tersebut harus dikemas dalam bentuk yang mudah dimengerti (comprehensive), artinya dengan menggunakan bahasa yang sederhana, menyusun dan merangkaikan perbedaan pendapat dengan jelas dan hal-hal pokok dinyatakan dengan singkat dan jelas. Isi pesan ditulis sesuai dengan kemampuan daya serap pembaca, bahasa yang setingkat dengan pengertian mereka, dengan pilihan pesan yang diminati dan menggunakan media yang mereka kenal dan menarik pesan. Berkaitan dengan efek dari media cetak akan sangat tergantung dari sasaran atau penggunaanya. Sebab efek tidak ada seandainya sasaran atau pengguna tidak menyukai media tersebut, meskipun media itu sarat dengan informasi dan pengetahuan. Karakteristik media cetak (bahasa yang mudah dipahami, sesuai kebutuhan, dan penyajian yang menarik) merupakan faktor yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku petani (Syafruddin 2003). Hasil penelitian Syafruddin (2003) menunjukkan bahwa karakteristik media cetak brosur (bahasa yang mudah dipahami) berpengaruh terhadap pengetahuan dan sikap peternak. Sedangkan kesesuaian isi materi brosur dengan kebutuhan
peternak
dan
format
penyajian
tidak
berpengaruh
terhadap
pengetahuan, motivasi kerja dan sikap peternak. Media cetak yang telah diterpakan kepada petani dalam Program Primatani adalah media cetak dalam bentuk leaflet. Dimana media ini merupakan media yang paling banyak digunakan dalam penyebaran informasi secara luas kepada setiap petani peserta program Primatani. Berdasarkan pustaka dan hasil penelitian sebelumnya, maka dalam penelitian ini karakterisitik media cetak dimaksud
13
adalah karakterisitik media leaflet dilihat dari bahasa, format penyajian dan kesesuaian isi materi dengan kebutuhan petani. Media Gelar Teknologi Gelar teknologi adalah uji terap teknologi pertanian hasil penelitian dan pengkajian untuk mendapatkan kepastian kesesuaian teknologi tersebut dengan kondisi biofisik dan sosial eknomi setempat. Tujuannya adalah Mempercepat penyampaian atau difusi teknologi pertanian spesifik lokasi hasil penelitian dan pengkajian (Litbang Deptan 1999). Gelar teknologi merupakan suatu metode penyampaian informasi teknologi pertanian yang disampaikan melalui peragaan uji terap teknologi hasilhasil penelitian yang diujicobakan pada lahan petani. Peragaan berarti menunjukkan sesuatu dengan memberikan bukti atau contoh yang nyata. Media ini merupakan media yang baik bagi sasaran penyuluhan karena petani dihadapkan pada bukti nyata berupa contoh yang dapat dilihat dan dapat diamati sendiri mengenai segala sesuatu yang direkomendasikan. Pelaksanaan gelar teknologi dilaksanakan secara koordinatif oleh petani, penyuluh, aparat pertanian setempat, aparat instansi terkait dan tokoh masyarakat. Persiapan dilakukan bersama antara peneliti, penyuluh, dan petani dengan prosedur dan teknik identifikasi yang sesuai dengan kondisi setempat. Dari hasil identifikasi, kemudian ditentukan alternatif teknologi yang akan digelar disesuaikan dengan penelusuran hasil-hasil penelitian yang sudah ada, penelusuran data dasar wilayah dan sumber informasi lainnya yang meliputi masalah dan teknologi yang akan digelar dan pengalaman-pengalaman dari lapangan baik dari petani, penyuluh pertanian lapangan (PPL) maupun tokoh masyarakat. Beberapa persyaratan dalam pelaksanaan gelar teknologi (Litbang Deptan 1999) antara lain : 1) penerapan teknologi di lapangan harus dalam skala operasional sehingga dapat diukur dampak sosial ekonominya, 2) teknologi yang digelar harus teknologi unggul yang siap dikomersialkan yang merupakan bagian dari penelitian dan perakitan teknologi maupun pengkajian, 3) gelar teknologi dilaksanakan di lahan petani oleh petani-nelayan dan anggotanya di bawah bimbingan peneliti, penyuluh (PPS), PPL dan aparat penyuluh pertanian setempat, 14
4) petani pelaksana/kooperator gelar teknologi harus membuat catatan lengkap tentang: biaya produksi (saprotan, tenaga kerja) dan keragaan usahataninya sehingga memudahkan dalam melakukan analisis kelayakannya dan 5) hasil gelar teknologi yang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosial ekonomi serta menguntungkan petani-nelayan, dapat menjadi teknologi spesifik lokasi dan materi penyuluhan. Peragaan gelar teknologi pada Primatani secara prinsip dilaksanakan sendiri oleh petani dengan bantuan penyuluh dan peneliti dari Badan Litbang Pertanian. Pengelolaan gelar teknologi dipimpin oleh seorang manager lapangan dari BPTP setempat dan dilaksanakan di lahan petani. Salah satu kekhasan pelaksanaan gelar teknologi pada lokasi Primatani di Kabupaten Karawang adalah dilaksanakan dengan pendekatan sekolah lapang (SL-PTT Padi), dimana para petani dalam setiap tahapan pelaksanaan kegiatan gelar teknologi diikutsertakan. Mulai dari tahap pemilihan lokasi sampai pada tahap evaluasi. Dengan kata lain gelar teknologi dilaksanakan oleh petani sendiri mulai tahap perencanaan sampai tahap evaluasi kegiatan. Lokasi yang dipilih merupakan lokasi contoh yang mewakili sebagian besar lahan petani dan letaknya strategis agar mudah dilihat oleh petani dan masyarakat pada umumnya yang diharapkan dapat mengambil manfaat dari peragaan gelar teknologi tersebut. Petani peserta gelar teknologi merupakan perwakilan dari kelompoktani peserta Primatani. Peragaan gelar teknologi pada Primatani bertujuan yakni memperkenalkan sesuatu kegiatan atau inovasi baru dan memperbaiki praktek-praktek usahatani yang sudah lama atau yang sudah biasa dilaksanakan oleh petani. Dalam mempraktekan teknologi, media gelar teknologi dengan pendekatan SL-PTT merupakan suatu metoda baru dimana media tersebut sebelumnya belum pernah dilakukan, media tersebut baru diperkenalkan setelah adanya program Primatani. Berbeda dengan media demontrasi lainnya seperti demontrasi plot dan demontrasi area, perbedaan terletak pada keterlibatan petani mulai tahap awal kegiatan /perencanaan sampai tahap evaluasi kegiatan. Semua tahapan kegiatan melibatkan petani peserta dalam bentuk sekolah lapang. Suatu
cara
baru
(inovasi)
dalam
memperkenalkannya
haruslah
memperhatikan sifat atau karakteristik dari inovasi itu sendiri (Roger 2003). Sifat 15
atau karakteristik inovasi dapat dilihat dari aspek keuntungan relatif pelaksanaan gelar teknologi, kemudahan diujicoba/dipraktekan oleh petani, tingkat kesesuaian media tersebut dengan situasi lapangan, tingkat kerumitan dan tingkat kemudahan media gelar teknologi untuk diamati haruslah menjadi perhatian dalam pelaksanaannya. Media Interpersonal/Penyuluh Penyuluh pertanian adalah aparatur pertanian yang berfungsi sebagai pendidik non formal pada masyarakat tani (Abbas 1995). Penyuluh sebagai sumber informasi berkewajiban menyampaikan informasi kepada petani. Seorang penyuluh dapat mencari dan mendapatkan informasi yang untuk seterusnya dikomunikasikan kepada petani dan keluarganya untuk maksud meningkatkan kesejahteraan petani serta masyarakat sekeliling (Soekartawi 2005). Penyuluh memiliki peran antara lain sebagai sumber informasi, pendidik, penghubung, katalisator dan dinamisator, penasehat dan pelatih dalam keterampilan khusus (Rogers dan Shoemaker 1995). Penyuluh pertanian merupakan suatu bagian dari delivery system dalam penyampai jasa informasi pertanian. Dalam sistim ini penyuluh berperan sebagai penyampai jasa terhadap petani sebagai custumers, yang harus melakukan interaksi baik ke penghasil teknologi (provider) maupun kepada petani sebagai custumers (Syahyuti et al. 1999). Penyuluh sebagai bagian dari delivery system harus mampu meyakinkan petani sebagai customers. Keyakinan petani kepada penyuluh sangat dipengaruhi oleh kredibilitas penyuluh. Kemampuan penyuluh dalam menyampaikan informasi dalam rangka meningkatkan sumberdaya manusia petani menurut Levis (1995) akan tercermin dalam;
(a) kesesuaian
materi dan metoda penyampaian informasi dengan kebutuhan dan kondisi sosial ekonomi petani, (b) menguasai dan terampil dalam menggunakan teknologi, (c) mampu memotivasi petani untuk berusaha lebih baik dan menguntungkan. Effendy (2000) mengatakan bahwa dalam proses komunikasi seorang komunikator akan sukses apabila ia berhasil menunjukkan source credibility, artinya menjadi sumber kepercayaan bagi komunikan. Kepercayaan komunikan kepada komunikator ditentukan oleh keahlian komunikator dalam bidang tugas pekerjaannya dan dapat tidaknya dia dipercaya. Kepercayaan kepada komunikator 16
mencerminkan bahwa pesan yang disampaikan kepada komunikan dianggap olehnya sebagai benar dan sesuai dengan kenyataan empiris. Kredibilitas adalah seperangkat persepsi tentang kelebihan-kelebihan yang dimiliki sumber sehingga diterima atau diikuti oleh khalayak atau penerima (Cangara 2000). Kredibilitas diartikan sebagai suatu tingkat sampai sejauhmana sumber pesan dapat dipercaya oleh penerima (Verdeber dan Rudolph 1990). Tingkat kepercayaan ini penting karena pada kenyataannya orang terlebih dahulu akan memperhatikan siapa yang membawa pesan, sebelum ia mau menerima pesan yang dibawanya. Apabila kredibilitas sumber rendah, maka bagaimanapun baiknya pesan yang disampaikan, penerima tidak akan ikut berpartisipasi dan tidak akan menerimanya. Iskandar (1999) menjelaskan bahwa tingkat kepercayaan terhadap sumber sangat tergantung sejauhmana informasi itu bermanfaat bagi pengguna, mampu memecahkan masalah dan disampaikan tepat waktu dan tepat sasaran. Jika petani menilai bahwa penyuluh pertanian mempunyai kredibilitas yang tinggi dari beberapa sumber lain, maka apa yang disampaikan baik berupa informasi ataupun ajakan untuk menerapkan teknologi oleh penyuluh akan lebih bermakna dan mudah diterima daripada sumber lainnya. Sedangkan penilaian keahlian didasarkan pada apakah sumber benar-benar menguasai materi yang disampaikan atau apakah penyuluh konsisten dengan apa yang diucapkan (Devito 1997). Gobbel dalam Cangara (2000) menjelaskan bahwa untuk menjadi seorang komunikator yang efektif harus memiliki kredibilitas yang tinggi. Kredibilitas dapat diukur melalui keahlian penyuluh dan kepercayaan sasaran terhadap penyuluh. Keahlian penyuluh dapat dilihat dari 1) pengetahuannya tentang materi yang akan disampaikan, 2) penguasaan bahasa dalam hal ini penyuluh mampu menggunakan bahasa yang dapat dipahami dengan baik oleh sasaran (Widjaja 2000); 3) pendidikan, semakin tinggi pendidikan seorang penyuluh maka diharapkan semakin tinggi keahliannya (Iskandar 1999). Sedangkan kepercayaan dapat dinilai dari sejauhmana informasi yang disampaikan bermanfaat bagi petani. Penyuluh mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap petani, bukan saja dilihat dari kemampuan dia menyampaikan pesan, namun juga menyangkut berbagai aspek karakteristik yang dimilikinya. Rakhmat (1995) menjelaskan 17
bahwa ketika sumber berkomunikasi, yang berpengaruh kepada audiens bukan saja yang ia katakan, tetapi juga keadaan ia secara keseluruhan. Jadi ketika suatu pesan disampaikan, audiens tidak hanya mendengar apa yang dikatakan source tetapi ia juga memperhatikan siapa yang mengatakan dan kadang-kadang “siapa, lebih penting dari pada “apa”. Menurut pendapat Berlo (1960), kredibilitas ada 2 faktor yaitu attitude dan kognitif dari source yang mendukung proses komunikasi yang dilakukan. Faktor attitude dan kognitif
merupakan faktor inti yang sangat berperan dalam
menentukan kredibilitas sumber, namun jika sumber hanya memiliki kedua faktor tersebut saja dalam berkomunikasi pada setiap situasi yang berbeda, mungkin saja kredibilitas sumber tersebut akan turun. DeVito (1997) memahami kredibilitas komunikator sebagai hal penting untuk menjadikan orang lain (komunikan) percaya atau tidak percaya terhadap apa yang disampaikan komunikator. Kredibilitas penting bagi penyuluh karena akan mempengaruhi petani dalam menjalankan program-program pemberdayaan. Lebih lanjut DeVito (1997) mengidentifikasi tiga aspek kualitas utama dari kredibilitas. 1) Kompetensi, mengacu pada pengetahuan dan kepakaran yang menurut khalayak dimiliki oleh komunikator dengan indikator penguasaan informasi, kepercayaan diri dan tingkat pengalaman, 2) Karakter, mengacu pada i’tikad dan perhatian pembicara kepada khalayak dengan indikator konsistensi, perhatian dan netralitas dan 3) Kharisma, mengacu pada kepribadian dan kedinamisan pembicara dengan indikator ketegasan, keaktifan dan semangat. Kredibilitas tidak berdiri sendiri tetapi disusun oleh beberapa komponen kredibilitas seperti keahlian, kepercayaan, sifat-sifat source dan lain-lain. Selain itu, kredibilitas sumber merupakan persepsi audiens terhadap source yang diukur berdasarkan komponen-komponen kredibilitas tersebut, jadi kredibilitas tidak inheren atau tidak terletak dalam diri sumber, yang terletak pada diri sumber adalah komponen kredibilitas tersebut yang akan mempengaruhi persepsi audiens terhadap tinggi rendahnya kredibilitas sumber tersebut. Dengan kata lain, kredibilitas diberikan oleh audiens kepada sumber berdasarkan penilaian karakteristik kredibilitas yang ada pada sumber.
18
Seorang komunikator yang memiliki kredibilitas tentunya mempunyai kemampuan untuk melakukan perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku. Partisipasi dan kemandirian masyarakat (petani) akan dapat dicapai apabila komunikator (penyuluh) mempunyai tingkat kredibilitas yang tinggi di mata masyarakat. Dengan kata lain, pesan yang disampaikan oleh komunikator dengan tingkat kredibilitas tinggi akan lebih banyak memberikan pengaruh pada perubahan sikap dalam menerima pesan dari pada jika disampaikan oleh source dengan tingkat kredibilitas rendah. Keahlian seorang komunikator apakah keahlian itu bersifat khas atau umum akan menimbulkan daya pengaruh yang kuat dan besar. Dengan demikian kredibilitas komunikator merupakan aset penting bagi seorang komunikator. Kredibilitas komunikator
merupakan aset penting bagi seorang
komunikator dalam mencapai tujuan komunikasi. Tujuan komunikasi tidak akan tercapai tanpa kredibilitas komunikator. Seperti dikemukakan diatas bahwa kredibitas merupakan persepsi terhadap komunikator maka kredibilitas dapat diubah dan berubah, dapat terjadi dan dijadikan. Media dalam Pemberdayaan Media menjadi penghubung semua elemen masyarakat, media memiliki arti penting dalam kehidupan bermasyarakat seperti dikemukakan oleh Althaeide dalam Wisnu (2006) media dapat menjembatani kesenjangan informasi antar pihak, mengurangi jumlah informasi asimetris. Kesenjangan informasi sendiri erat kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat. Salah satu cara memberdayakan suatu masyarakat adalah dengan membuka akses informasi seluas-luasnya, agar mereka bisa mendapatkan informasi yang sekiranya berguna dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup. Dengan kemampuan membantu masyarakat, media memiliki potensi pembebas yang meluaskan cakrawala pemikiran agar tidak terpenjara dalam batas-batas ketidaktahuan dan keterbatasan lain yang umum ditemui pada masyarakat yang belum maju terutama di pedesaan. Media diketahui memiliki kekuatan mengendalikan pengetahuan khalayaknya
melalui apa-apa yang
ditampilkan. Karena itu dengan mengorganisir sedemikian rupa isi pesan yang disampaikan, media pada dasarnya dapat membantu masyarakat memusatkan 19
perhatian pada masalah-masalah pembangunan, termasuk kedalamnya mengenai sikap-sikap baru yang diperlukan dan keterampilan yang harus dimiliki untuk mengubah keadaan suatu bangsa yang sedang membangun (Nasution 1990). Penelitian-penelitian kaitan media dengan pemberdayaan di Indonesia masih jarang dilakukan, untuk itu perlu kiranya dilakukan suatu langkah baru guna meneliti pengaruh media tersebut terhadap pemberdayaan. Merujuk pada jurnal-jurnal internasional diperoleh informasi bahwa media dalam konteks pemberdayaan adalah media yang dapat membantu masyarakat menjadi melek huruf bagi petani-petani dan membangun kapasitas mereka sehingga mereka dengan segenap kemampuan dapat menghadapi pengembangan-pengembangan baru di dalam pertanian, media juga membantu menyadarkan masyarakat untuk dapat berkembang atas kemampuan dan peluang potensi lokal yang ada (Shivarama 2007), membuka wawasan dan pengetahuan inovasi baru dan membantu membuat keputusan yang tepat (Vimala et al. 2005), media yang membantu komunikasi menjadi efektif antara sumber informasi dengan penerima (Onasanya 2006), media yang membuat masyarakat menjadi aktif (Tacchi 2005). Dengan demikian, merujuk pada literatur bacaan tersebut maka terdapat pengaruh media terhadap pemberdayaan. Pemberdayaan Petani Terminologi pemberdayaan atau yang dikenal dengan istilah empowerment berawal dari kata daya (power). Daya dalam arti kekuatan yang berasal dari dalam tetapi dapat diperkuat dengan unsur–unsur penguatan yang diserap dari luar
(Prijono dan Pranarka 1996). Payne (1997) mengemukakan bahwa pemberdayaan sebagai kegiatan membantu klien untuk memperoleh daya guna mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan, terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki dengan mentransfer daya dari lingkungannya. Secara konseptual, Prijono dan Pranarka (1996) mengemukakan pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan 20
diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Secara harfiah, pemberdayaan diartikan sebagai penguatan daya (empowering), dari kondisi tidak berdaya (powerless) menjadi berdaya (powerfull). Pemberdayaan dapat dipahami sebagai upaya untuk menolong yang lemah atau tidak berdaya (powerless) agar menjadi mampu/berdaya (powerfull) baik secara fisik, mental dan pikiran untuk mencapai kesejahteraan hidupnya (optimalisasi potensi). Dalam konsep pemberdayaan, menurut Prijono dan Pranarka (1996), manusia adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Menurut Sumodiningrat (1999), bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan. Dalam pemberdayaan terjadi proses di mana masyarakat didorong dan diyakinkan untuk memperoleh keterampilan, kemampuan, dan kreativitas. Seperti dikemukakan oleh Ife (1995) memberikan batasan pemberdayaan sebagai upaya penyediaan kepada orang-orang atas sumber, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan mereka menentukan masa depannya dan untuk berpartisipasi di dalam dan mempengaruhi kehidupan komunitas mereka. Pemberdayaan mengacu kepada pentingnya proses sosial selama program berlangsung. Jadi, pemberdayaan lebih berorientasi pada proses. Penerapan pemberdayaan dalam kegiatannya terlihat setidaknya dari empat aspek. Pertama, menempatkan proses sebagai prinsip utama dibandingkan dengan hasil kegiatan. Kedua, terjadinya peningkatan kontrol dan akses terhadap sumber daya Ketiga,
21
peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat. Keempat, penguatan kelembagaan lokal (Syahyuti 2007). Menurut Nasdian (2003) secara operasional pemberdayaan merupakan suatu proses perubahan dengan menempatkan kreativitas dan prakarsa warga komunitas yang sadar diri dan terbina. Lebih lanjut Tony mengemukakan bahwa pemberdayaan mengandung elemen pokok yaitu kemandirian. Dengan demikian upaya pemberdayaan merupakan suatu upaya menumbuhkan kemandirian sehingga masyarakat baik di tingkat individu, kelompok maupun komunitas memiliki tingkat kesejahteraan yang jauh lebih baik dari sebelumnya, memiliki akses pada sumberdaya, memiliki kesadaran kritis, mampu melakukan pengorganisasian dan kontrol sosial dari segala aktivitas pembangunan yang dilakukan di lingkungannya. Keberdayaan Petani Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalahmasalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki. Berdasarkan
beberapa
definisi
pemberdayaan
yang
dikemukakan
sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa pemberdayaan berarti usaha untuk membuat sesuatu berdaya. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu sendiri, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Upaya tersebut diikuti dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Sedangkan keberdayaan lebih bermakna pada suatu keadaan daya yang dimiliki. Kartasasmita (2005) mengemukakan bahwa keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang 22
sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi. Keberdayaan masyarakat merupakan unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan, dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan kreatifitas diri dalam mencapai kemajuan. Membangun kreatifitas dan kemandirian petani adalah membangun temuan dalam proses pembelajaran (discovery learning), membangun lingkungan kerja yang memberdayakan dan inspiratif untuk memungkinkan petani mengaktualisasikan dirinya. Kemandirian diterjemahkan dari kata autonomy. Sejarah autonomy ini berasal dari akar kata bahasa Yunani autos dan nomos yang merujuk pada hak atau kemampuan individu untuk mengatur dirinya sendiri. Menurut Kant diacu dalam Agussabti (2002) meninjau autonomy yang kemudian mengkaitkannya dengan hukum moral, bahwa kemandirian seseorang itu terkait dengan kebebasan dan tanggung jawab. Kemandirian mempunyai nilai-nilai moral yang harus ditaati. Seseorang yang merasa dirinya mandiri, dia akan bertanggung jawab terhadap keputusannya dan akan menerima segala konsekwensinya. Orang yang mandiri sadar bahwa tindakannya harus dapat menggambarkan hak dan kewajibannya terhadap orang lain dalam kehidupan sosial. Apabila
dikaitkan
dengan
pembangunan
pertanian,
pembangunan
pertanian yang tangguh dan berkelanjutan tidak mungkin akan berhasil dengan baik tanpa melalui penumbuhan kemandirian petani dalam mengembangkan bisnis usahataninya. Menurut Kant diacu dalam Agussabti (2002) ciri individu yang mandiri antara lain : mempunyai keyakinan diri, kepercayaan moral, visi yang jelas dan fokus serta bertanggungjawab atas tindakannya. Slamet (1998) mengemukakan bahwa untuk menumbuhkan dan membina kemandiriannya,
petani
perlu
diarahkan
agar
dengan
kekuatan
dan
kemampuannya berupaya untuk bekerjasama guna mencapai segala yang dibutuhkan dan diinginkan. Oleh sebab itu, pemberdayaan perlu diarahkan pada peningkatan kemandirian petani dalam mengembangkan bisnis usahataninya. Sumardjo (1999) mengemukakan bahwa ciri-ciri petani mandiri adalah petani yang secara kognitif, afektif dan psikomotorik berciri maju (modern); efisien (efficient) dan berdaya saing tinggi (competitiveness) sehingga mampu mengambil 23
keputusan secara cepat dan tepat dalam mengelola usahatani tanpa tersubordinasi oleh pihak lain, serta mampu bekerjasama dengan pihak lain dalam situasi yang saling menguntungkan. Ismawan (1999) mengungkapkan bahwa kemandirian adalah suatu sikap yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi berbagai masalah demi mencapai tujuannya, tanpa menutup diri terhadap berbagai kemungkinan kerjasama yang saling menguntungkan. Kemandirian dalam konteks kini (global) menuntut adanya kondisi saling ketergantungan (interdependency) antara lokal-global, traditional-modern, desakota, rakyat-pemerintah, pertumbuhan-pemerataan, serta antar lembaga sesuai fungsinya. Kemandirian dengan demikian adalah paham pro-aktif dan bukan reaktif atau defensif (Kartasasmita 2005). Lebih lanjut, Kartasasmita (2005) mengemukakan bahwa tidak ada suatu kemandirian tanpa proses pemberdayaan. Pemberdayaan berarti memampukan masyarakat dan pemerintah daerah dalam aspek material, intelektual, moral dan manajerial. Proses kemandirian tidak lahir dengan sendirinya pada setiap orang, tetapi merupakan hasil kerja keras individu dalam mengembangkan potensinya melalui proses belajar dan proses pemberdayaan yang berkelanjutan. Masyarakat yang mengikuti proses belajar yang baik, secara bertahap akan memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan yang bermanfaat dalam proses pengambilan keputusan secara mandiri. Pembentukan masyarakat yang memiliki kemampuan yang memadai untuk memikirkan dan menentukan solusi yang terbaik dalam pembangunan tentunya tidak selamanya harus dibimbing, diarahkan dan difasilitasi. Berkaitan dengan hal ini, Sumodiningrat (2000) menjelaskan bahwa pemberdayaan tidak bersifat selamanya, melainkan sampai target masyarakat mampu untuk mandiri, dan kemudian dilepas untuk mandiri, meskipun dari jauh tetap dipantau agar tidak jatuh lagi. Berdasarkan pendapat Sumodiningrat berarti pemberdayaan melalui suatu masa proses belajar, hingga mencapai status mandiri. Sulistiyani (2004) mengemukakan bahwa proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat berlangsung secara bertahap, yaitu: (1) tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli, 24
sehingga yang bersangkutan merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri, (2) tahap transformasi kemampuan berupa wawasan berpikir atau pengetahuan, kecakapan-keterampilan agar dapat mengambil peran di dalam pembangunan, dan (3) tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-keterampilan sehingga terbentuk inisiatif, kreatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian. Menurut Nasdian (2003) kemandirian dapat dikategorikan sebagai; (1) kemandirian material, (2) kemandirian intelektual dan (3) kemandirian manajemen. Pada penelitian ini keberdayaan petani dilihat dari indikator tingkat kemandirian material, kemandirian intelektual dan kemandirian manajemen. Kemandirian material tidak sama dengan konsep sanggup mencukupi kebutuhan sendiri. Kemandirian material adalah kemampuan produktif guna memenuhi kebutuhan materi dasar serta cadangan dan mekanisme untuk dapat bertahan pada waktu krisis. Kemandirian material merupakan kemampuan petani untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) serta mampu mencadangkan kebutuhan dasar tersebut dan mempunyai strategi dalam menghadapi situasi krisis. Melalui program Primatani, para petani diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil usaha taninya sehingga akan mendorong peningkatan pendapatan dan kesejahteraan ekonominya. Kemandirian intelektual merupakan pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh komunitas yang memungkinkan mereka menanggulangi bentukbentuk dominasi yang lebih halus yang muncul di luar kontrol terhadap pengetahuan itu. Kemampuan intelektual dapat diartikan sebagai kemampuan pengetahuan petani untuk memilih dan memutuskan alternatif teknologi yang terbaik tanpa terintervensi/paksaan dari pihak luar. Primatani mendorong juga para petani untuk meningkatkan sikap, sifat dan perilaku intelektualitasnya sehingga akan muncul pribadi-pribadi petani yang kritis dan peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Pilihan terhadap suatu alternatif ditentukan berdasarkan prospek yang terbaik. Jadi, kemandirian dari aspek intelektualitas dapat dilihat dari kemampuan membandingkan alternatif dan memilih alternatif yang terbaik. Sedangkan kemandirian manajemen adalah kemampuan otonom untuk membina diri dan menjalani serta mengelola kegiatan kolektif agar ada perubahan 25
dalam situasi kehidupan mereka. Kemandirian manajemen adalah kemampuan petani dalam mengusahakan perubahan perbaikan dalam dirinya dan mampu melaksanakan perubahan ke arah yang lebih baik. Jadi, selain mandiri dalam hal ekonomi/material dan intelektual, program Primatani
juga diharapkan dapat
mendorong para petani untuk dapat mandiri secara manajerial sehingga dapat melakukan fungsi-fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengontrolan usaha taninya secara profesional. Terjadinya keberdayaan pada tiga aspek tersebut (intelektual, manajemen, dan material) akan dapat memberikan kontribusi pada terciptanya kemandirian masyarakat yang dicita-citakan. Karena dengan demikian, dalam masyarakat akan terjadi kecukupan wawasan, yang dilengkapi dengan kecakapan keterampilan yang memadai, diperkuat oleh rasa memerlukan pembangunan dan perilaku sadar akan kecukupan kebutuhannya. Partisipasi Petani Supaya
hasil-hasil
pembangunan
pertanian
dapat
berkelanjutan,
pendekatan pembangunan partisifatif mutlak diperlukan. Di dalam pembangunan pertanian Reijntjes (1999) mengemukakan bahwa salah satu tantangan utama dalam mempromosikan proses partisipasi pengembangan teknologi adalah menciptakan kapasitas yang lebih besar dalam penelitian dan lembaga penyuluhan untuk memfasilitasi interaksi antara ilmuan dan petani. Partisipasi diperlukan untuk memungkinkan perubahan-perubahan yang lebih besar dalam cara berpikir manusia. Supaya berhasil, partisipasi harus dilihat secara proporsional berdasarkan situasi dan kondisi petani. Partisipasi petani dapat meningkatkan motivasinya untuk bekerjasama dan menambah kesempatan dalam kemandirian pengambilan keputusan adopsi inovasi sehingga dapat meningkatkan kekuatan petani untuk mempengaruhi nasib mereka sendiri. Partisipasi tidak mungkin dicapai melalui keputusan yang bersifat otoriter (Van den Ban dan Hawkins 1999). Hal tersebut menunjukkan bahwa ada suatu hubungan antara kemandirian dalam proses pengambilan keputusan adopsi inovasi dengan partisipasi petani dalam mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan. Oleh sebab itu, diperlukan upaya pemberdayaan untuk dapat menumbuhkan kemandirian petani 26
dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi sehingga pada akhirnya akan memunculkan partisipasi petani menuju pembangunan pertanian berkelanjutan. Kemandirian dalam pengambilan keputusan inovasi merupakan salah satu faktor penting dalam menumbuhkan partisipasi petani. Salah satu alasannya adalah pengambilan keputusan mengandung sejumlah resiko dan konsekuensikonsekuensi. Petani biasanya kurang berpartisipasi dalam suatu program pembangunan pertanian apabila mereka tidak merasa memiliki terhadap keputusan-keputusan yang telah diambil dalam program pembangunan, meskipun program pembangunan tersebut sebenarnya ditujukan untuk mereka. Oleh sebab itu, perlu adanya paradigma baru dalam pemberdayaan petani sehingga dapat meningkatkan kemandirian petani dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi menuju pembangunan pertanian berkelanjutan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan menurut Slamet (2003) dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan, ikut serta dalam pemanfaatannya dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Sedangkan partisipasi menurut Kuswartojo diacu dalam Gesang (2007) mengatakan bahwa partisipasi dapat dimulai dari tahap penyusunan rencana, tahap implementasi sampai tahap pemantauan/pengawasan dan evaluasi. Definisi partisipasi menurut Uphoff (1979) dibagi menjadi; 1) Partisipasi dalam pembuatan keputusan adalah partisipasi dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengemukakan pendapat daan aspirasinya untuk menilai suatu perencanaan kegiatan, masyarakat juga diberikan kesempatan untuk menimbang suatu keputusan yang akan diambil, 2) Partisipasi dalam penerapan keputusan adalah partisipasi dengan mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan operasional berdasarkan perencanaan yang telah disepakati bersama, 3) partisipasi dalam pencapaian hasil pembangunan adalah partisipasi masyarakat dalam menggunakan hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan, dan 4) partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi kegiatan pembangunan adalah partisipasi masyarakat dalam bentuk keikutsertaannya menilai serta mengawasi kegiatan pembangunan dan memelihara hasil-hasil pembangunan. Terkait dengan partisipasi petani pada program Primatani, Gesang (2007) menemukan bahwa komunikasi partisipatif dalam pelaksanaan Primatani terbukti 27
efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap petani terhadap model usahatani terpadu yang dikembangkan. Efektivitas komunikasi ditentukan oleh keterlibatan petani dalam penumbuhan ide, perencanaan program, pelaksanaan program dan penilaian program.
28