TINJAUAN PUSTAKA Permukimam Tradisional Menurut Aryaoka (2009) rumah-rumah membentuk suatu pola perumahan yang menempati suatu wilayah yang disebut permukiman. Masing-masing permukiman mempunyai konsep yang berbeda-beda mulai dari aturan tentang kehidupan, aturan tata ruang, sistem kepercayaan, dan lain-lain yang kesemuanya ini mereka yakini dan diwarisi secara turun-temurun sehingga menjadi suatu tradisi. Bertitik tolak dari tradisi tersebut muncullah sistem hunian yang disebut rumah atau pemukiman tradisional. Secara umum konsep kehidupan yang menjunjung tradisi atau bersifat tradisional adalah keterbukaan, kekerabatan dan kepercayaan yang bersifat religius. Mulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga, antar keluarga (tetangga), dan kumpulan keluarga (warga). Keterbukaan diwujudkan dalam sedikitnya bahkan tidak adanya batas-batas antar rumah. Bila ada, temboknya sangat rendah. Ini untuk memudahkan mereka berinteraksi dengan rumah di sebelahnya. Kekerabatan diwujudkan dengan adanya ruang-ruang bersama seperti dalam lingkup keluarga ada ruang keluarga, atau dalam lingkup yang lebih luas lagi yaitu adanya tempat pertemuan antar warga, pemandian umum, pasar, dan lain-lain. Kepercayaan yang bersifat religius diwujudkan dengan adanya aturan-aturan tata ruang dan tempat suci bersama (Aryaoka, 2009). Menurut Rowe dan Kotter (dalam Priyatmono, 2006) ketinggian bangunan di kawasan tradisional relatif rendah dan hampir mempunyai ketinggian sama antara satu dengan yang lainnya, perkecualian di beberapa bangunan umum dan peribadatan mempunyai massa yang lebih tinggi dan menonjol. Sebagai contoh, Pola perkampungan suku Banjar umumnya mengelompok padat. Desa-desa pada umumnya memanjang, yakni di sepanjang jalan raya dan sungai-sungai (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983). Menurut Budiarjo (dalam Adriana, 1992) lingkungan permukiman harus memenuhi persyaratan antara lain: tidak terganggu oleh polusi udara, tersedia air bersih, memberi kemungkinan untuk berkembang, mempunyai aksesibilitas yang baik, mudah dan aman mencapai tempat kerja, tidak di bawah air. Lingkungan
7
fisik di kota yang sedang mengalami pertumbuhan adalah memaksimumkan struktur dan meminimumkan ruang terbuka. Selain teknis atau fisik, permukiman berkaitan pula dengan dimensi sosial budaya, sumber daya lokal dan selera masyarakat yang kesemuanya akan membentuk situasi apakah masyarakat akan berperan serta atau tidak.
Arsitektur Tradisional Banjar Menurut Idwar Saleh (dalam Wikipedia, 2009) rumah tradisional Banjar adalah tipe-tipe rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Umumnya rumah tradisional Banjar dibangun dengan beranjung (ba-anjung) yaitu sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama karena itu disebut Rumah Baanjung. Anjung merupakan ciri khas rumah tradisional Banjar, walaupun ada pula beberapa tipe Rumah Banjar yang tidak beranjung. Tipe rumah yang paling bernilai tinggi adalah Rumah Bubungan Tinggi yang biasanya dipakai untuk bangunan keraton (Dalam Sultan). Jadi nilainya sama dengan rumah joglo di Jawa yang dipakai sebagai keraton. Menurut Seman dan Irhamna (2001), Arsitektur Banjar, adalah arsitektur tradisional yang memiliki karakter; 1. Bangunan dalam konstruksi bahan kayu, karena alam Kalimantan kaya akan hutan, sementara pada saat itu belum dikenal adanya semen. 2. Rumah panggung, yaitu bangunan yang didukung oleh sejumlah tiang dan tongkat yang tinggi dari kayu ulin (Kayu besi = Eusyderoxylon zwageri). Menurut istilah orang Banjar, yang dimaksud dengan tiang adalah balok ulin yang bertumpu pada dasar tanah dengan pondasi, sepanjang sampai ke pangkal atap. Sedangkan tongkat yang bertumpu pada dasar tanah hanya sampai dasar lantai saja. 3. Bangunan bersifat simetris, yaitu dengan konstruksi dan elemen yang sama pada sayap kiri dan kanan, dengan demikian jumlah jendela sama banyaknya pada sisi kiri dan kanan bangunan rumah. 4. Sebagian bangunan memiliki anjungan pada samping kiri dan kanan dengan posisi agak ke belakang. Anjung Kiwa dan Anjung Kanan dikenal dengan
8
istilah konstruksi Pisang Sasikat. Masing-masing anjung memiliki sebuah jendela pada sisi dinding bagian depan. 5. Atap rumah yang dipergunakan dari atap sirap yang dibuat dari kayu ulin atau kayu besi. Ada pula bangunan rumah yang menggunakan atap daun rumbia yang bahannya terbuat dari daun pohon sagu. Konstruksi bubungan terdapat dalam bentuk Atap Pelana dan Atap Sengkuap 6. Hanya memiliki dua buah tangga yaitu Tangga Hadapan dan Tangga Balakang. Tangga yang dibuat dari kayu ulin tersebut memiliki anak tangga yang berjumlah ganjil. Pada periode berikutnya terdapat tangga hadapan kembar dengan arah ke samping kiri dan kanan dalam posisi yang simetris. 7. Pintu (Banjar; Lawang) yang menghubungkan keluar atau masuk ke rumah hanya terdapat dua buah, yaitu Lawang Hadapan dan Lawang Belakang. Posisi kedua pintu tersebut terletak seimbang di tengah (depan dan belakamg) karena bangunan yang simetris. 8. Adanya Tawing Halat (dinding pembatas) yang terletak membatasi antara Penampik Besar dan Palidangan. Pada sisi kiri dan kanan Tawing Halat terdapat pintu kembar dua dalam posisi yang sama dan seimbang. Selanjutnya menurut Seman dan Irhamna (2001) delapan ciri bangunan yang diutarakan di atas merupakan ciri tradisional dari bangunan adat Banjar di Kalimantan Selatan yang tercatat dalam 11 tipe. Kesebelas tipe tersebut adalah sebagai berikut.
Bubungan Tinggi, sebagai bangunan istana Sultan Banjar Tipe ini merupakan arsitektur tertua yang mengandung sejarah dalam kerajaan Banjar. Bentuk bubungan
tinggi
yang
melancip
ke
atas,
menyebabkan bangunan ini dinamakan Bubungan Gambar 2. Rumah Tipe Bubungan Tinggi
Tinggi
9
Balai Bini, merupakan bangunan bagi para putri atau keluarga raja pihak wanita. Rumah ini memiliki atap dengan bagian depan tipe limas dan beranjung.
Gambar 3. Rumah Tipe Balai Bini Gajah Baliku, merupakan bangunan hunian bagi para saudara Raja Banjar. Memiliki bubungan tinggi, tetapi atap Sindang Langit (atap sengkuap) berubah menjadi atap pelana dan memiliki anjungan
Gambar 4. Rumah Tipe Gajah Baliku Palimasan, suatu bangunan bagi bendaharawan kesultanan Banjar, karena dikenal sebagai wadah emas dan perak. Bentuk bubungan depan seperti limas menyebabkan rumah ini dinamakan Palimasan tetapi tidak memiliki anjungan Gambar 5. Rumah Tipe Palimasan
Balai Laki, Sebagai tempat hunian para punggawa mentri dan prajurit pengawal Sultan Banjar. Bangunan ini memiliki atap pelana dengan ujung depan yang tajam serta ujung yang agak kecil Gambar 6. Rumah Tipe Balai Laki
10
Gajah Manyusu, sebagai bangunan kediaman bagi para warit raja yaitu keturunan para gusti. Bangunan ini tidak memiliki bubungan yang tinggi, tetapi memiliki anjungan.
Gambar 7. Rumah Tipe Gajah Manyusu Palimbangan, merupakan bangunan pada periode berikutnya sebagai hunian para pemuka agama dan ulama serta saudagar. Bangunan ini sama besarnya dengan Palimasan dan tidak memiliki anjungan.
Gambar 8. Rumah Tipe Palimbangan
Tadah Alas, merupakan bangunan bagi rakyat banjar pada periode berikutnya. Bangunan ini memiliki atap tumpang yang membedakan dengan bangunan yang lain dan memiliki anjungan
Gambar 9. Rumah Tipe Tadah Alas
Lanting adalah bangunan rumah yang terapung di pinggiran Sungai Martapura, tempat tinggal khusus orang
Banjar
di
sepanjang
batang
banyu.
Bangunannya kecil dan sederhana, bertumpu pada batang-batang besar sebagai pelampung. Gambar 10. Rumah Tipe Lanting
11
Cacak Burung atau Anjung Surung adalah rumah bagi rakyat Banjar pada umumnya. Cacak Burung adalah istilah Bahasa Banjar untuk tanda tambah. Denah bangunan ini persis dengan tanda tambah, kedua ujung kiri kanannya seperti bertumpang di atas badan rumah. Gambar 11. Rumah Tipe Cacak Burung Joglo adalah bangunan hunian bagi para Tionghoa di Banjarmasin. Bangunan rumah yang besar ini berfungsi pula sebagai gudang barang dagangan, karena mereka pada umumnya adalah pedagang
Gambar 12. Rumah Tipe Joglo
Lanskap Sungai Menurut Simonds (dalam Nurisyah dan Pramukanto, 2004) lanskap merupakan bentangan alam yang memiliki karakteristik tertentu yang dapat dinikmati keberadaannya melalui seluruh indra yang dimiliki manusia. Nurisyah dan Azis (dalam Adriana, 1992) menyatakan bahwa berdasarkan campur tangan manusia, lanskap dapat berbentuk (1) Lanskap alami seperti lanskap pegunungan, rawa, sungai, riverscape; (2) Lanskap buatan seperti lanskap kota (urbanscape), lanskap permukiman penduduk kota, lingkungan pabrik dan (3) Perpaduan harmonis antara lanskap alami dan buatan seperti suatu lanskap pedesaan dengan permukiman manusia, terasering persawahan padi dengan pondok pelepas lelah dan sebagainya. Sungai merupakan salah satu bentukan lanskap yang menjadi tempat mengalirnya air yang berasal dari air hujan pada suatu alur yang panjang di atas permukaan bumi, dan merupakan salah satu badan air lotik yang utama. Sungai mempunyai peranan yang sangat besar bagi perkembangan peradaban manusia di dunia ini, yakni dengan menyediakan banyak daerah subur yang umumnya
12
terletak di bagian lembahnya, sumber air sebagai salah satu elemen kehidupan manusia yang paling utama, dan sebagai sarana transportasi guna meningkatkan mobilitas dan komunikasi antar manusia (Nurisyah dan Pramukanto, 2004). Dalam perjalanan air dari mata airnya di bagian hulu yang umumnya terletak di daerah pegunungan menuju ke hilir yang terletak di daerah yang lebih rendah atau dataran, aliran sungai secara lambat laun akan bersatu dengan beberapa sungai lain hingga pada akhirnya badan sungai menjadi besar. Sungai yang memiliki daerah aliran yang panjang dan volume air terbesar disebut sebagai sungai utama, dan cabang-cabangnya disebut anak sungai (Nurisyah dan Pramukanto, 2004). Menurut Malanson (dalam Aini, 2005) lanskap sungai adalah kawasan yang berada di sepanjang aliran sungai dengan segala kehidupan dan elemen yang ada termasuk struktur dan fungsi yang ada di dalam lingkungan tersebut. Menurut Syahril (dalam Aini, 2005) lanskap sungai tidak terlepas dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menjadi induknya. Daerah Aliran Sungai diartikan sebagai suatu ruang wilayah atau kawasan yang dibatasi oleh topografi pemisah (punggung bukit) yang berfungsi sebagai daerah resapan air hujan atau daerah yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya, baik dalam bentuk aliran permukaan, aliran bawah permukaan, dan aliran bawah tanah melalui sistem jaringan sungai dan bermuara ke danau atau ke lautan. Menurut Bapedalda pada Keppres Nomor 32 Tahun 1990 dan PP No. 47 Tahun 1997 yang menetapkan lebar sempadan pada sungai besar diluar permukiman minimal 100 meter (m) dan pada anak sungai besar minimal 50 m di kedua sisinya. Untuk daerah permukiman, lebar bantaran adalah sekedar cukup untuk jalan inspeksi 10-15 meter. PP No 47 tahun 1997 juga menetapkan bahwa lebar sempadan sungai bertanggul di luar daerah permukiman adalah lebih dari 5 meter sepanjang kaki tanggul. Sedang lebar sempadan sungai yang tidak bertanggul di luar permukiman dan lebar sempadan sungai bertanggul dan tidak bertanggul di daerah permukiman, ditetapkan berdasarkan pertimbangan teknis dan sosial ekonomis oleh pejabat berwenang. Gambar 2 merupakan gambar cara menentukan lebar sempadan sungai.
13
Gambar 13. Tipe Umum Sungai dan Penentuan Lebar Daerah Sempadan Sungai (Sumber: http://bapedal-jatim.info)
Permukiman Tepi Sungai Tata ruang kota merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan kota sangat berpengaruh terhadap tata air. Akibat adanya pengurukan kawasan sungai menyebabkan kemampuan kawasan sungai sebagai kawasan penyangga yang mampu menyerap air di musim hujan dan mendistribusikannya kembali di musim kemarau menjadi rusak. (Walhi, 2004) Menurut Evert (dalam Aini, 2005) perumahan di pinggir sungai merupakan cerminan adanya keterbatasan lahan kota sehingga tidak semua masyarakat dapat menikmati fasilitas yang memadai dan dapat tinggal di lahan yang sesuai. Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar tepian sungai merupakan masyarakat yang seeara struktural sudah tidak dapat lagi diwadahi sehingga walaupun lahan yang mereka tempati kondisinya tidak landai. Area tepi sungai tersebut dihuni (Guinness dalam Aini, 2005). Menurut Putri (2008) permasalahan di permukiman tepian sungai selain aturan yang menghendaki adanya penetapan lebar garis sempadannya, permasalahan infrastruktur permukimannya pun lebih kompleks. Antara lain ketersediaan lahan lebih terbatas, tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, tingkat hunian yang tinggi, menurunnya kualitas struktur hunian, proses erosi yang semakin melebar, serta kondisi atau pelayanan infrastruktur dasar yang buruk, seperti halnya jaringan jalan, jaringan air bersih, jaringan saluran pembuangan air limbah dan tempat pembuangan sampah untuk kesehatan lingkungan, jaringan
14
saluran air hujan untuk pematusan (drainase) serta pencegahan pasang/banjir setempat dan pendangkalan sungai (erosi). Perumahan tepian sungai sebagai salah satu pemukiman spontan terbentuk dari kondisi awal fisik bangunan yang terlihat relatif sangat sederhana. Kondisi awal terbentuknya permukiman spontan cenderung merupakan suatu lingkungan hunian yang kumuh. Menurut Judohusodo dalam Aini (2005) ciri perkampungan kumuh sebagai bentuk hunian yang tidak berstruktur, tidak berpola, minim atau tidak tersedianya fasilitas umum, sarana dan prasarana yang kurang baik serta bentuk fisik lingkungan yang tidak layak untuk dihuni (seperti secara berkala terkena banjir).
Perencanaan Lanskap Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2008) perencanaan lanskap adalah salah satu bentuk produk utama dalam kegiatan arsitektur lanskap. Perencanaan lanskap merupakan suatu bentuk kegiatan penataan yang berbasis lahan (land based planning) melalui kegiatan pemecahan masalah yang dijumpai dan merupakan proses pengambilan keputusan berjangka panjang guna mendapatkan ssuatu model lanskap atau bentang alam yang fungsional, estetik dan lestari yang mendukung
berbagai
kebutuhan
dan
keinginan
manusia
dalam
upaya
meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan, termasuk kesehatannya. Secara praktikal dinyatakan bahwa kegiatan merencana suatu lanskap adalh suatu proses pemikiran dari suatu ide, gagasan atau konsep ke arah suatu bentuk lanskap atau bentang alam yang nyata. Proses perencanaan tapak dimulai dengan pengumpulan data dasar yang berkaitan secara khusus dengan tapak tersebut dan daerah sekitarnya. Data ini harus meliputi hal-hal rencana induk dan penelaahannya, peraturan penzonaan, peta dasar dan udara, survei, data topografi, informasi geologi, hidrologi, tipe tanah, vegetasi dan ruang terbuka yang ada. Setelah semua informasi diperoleh, maka informasi tersebut harus diperiksa dan dianalisis. Salah satu sasarannya adalah untuk menetapkan keunggulan serta keterbatasan tapak. Apabila ternyata sesuai, maka data tersebut harus dianalisis lebih lanjut (Chiara dan Koppelman, 1990).
15
Sedangkan menurut Nurisyah dan Pramukanto (2008) dalam kegiatan perencanaan lanskap proses perencanaan yang baik dinyatakan sebagai suatu proses yang dinamis, saling terkait dan saling mendukung, satu dengan lainnya. Proses ini merupakan suatu alat yang terstruktur dan sistematis yang digunakan untuk menentukan keadaan awal dari suatu bentukan fisik tapak, keadaan yang diinginkan setelah dilakukan berbagai rencana perubahan, serta cara dan pendekatan yang sesuai dan terbaik untuk mencapai keadaan yang diinginkan tersebut.
Pelestarian Menurut Poerwadarmita dalam Muchamad dan Mentayani (2004) pelestarian berasal dari kata “lestari” yang dalam bahasa Jawa berarti tetap, kekal, dan abadi. Sedangkan menurut Adishakti (dalam Wongso, 2008) pelestarian merupakan terjemahan dari conservation/konservasi. Pengertian pelestarian terhadap peninggalan lama pada awalnya dititikberatkan pada bangunan tunggal atau benda-benda seni, kini telah berkembang ke ruang yang lebih luas seperti kawasan hingga kota bersejarah serta komponen yang semakin beragam seperti skala ruang yang intim, pemandangan yang indah, suasana, dan sebagainya. Menurut Adhisakti dalam Muchammad dan Mentayani (2004) konsep pelestarian memiliki tujuan untuk tetap mempertahankan identitas suatu lingkungan (wilayah, daerah, kawasan, kelompok warisan budaya, dll). Dengan kata lain tekanan diletakkan pada kesinambungan dalam perubahan agar identitas lingkungan tetap terjaga. Konsep pelestarian, kini, adalah upaya untuk menjaga kesinambungan yang menerima perubahan dan/atau pembangunan. Suatu pengertian yang berbeda dengan preservasi. Pelestarian bertujuan untuk tetap memelihara identitas dan sumber daya lingkungan dan mengembangkan beberapa aspeknya untuk memenuhi kebutuhan modern dan kualitas hidup yang lebih baik. Konsekuensinya, perubahan yang dimaksud bukanlah terjadi secara drastis, namun perubahan secara alami dan terseleksi (Wongso, 2008). Menurut Muchamad dan Mentayani (2004) secara garis besar komponen pelestarian dapat dibedakan atas : a. Komponen Non-Hayati (Kebendaan), yaitu air, udara, tanah, bangunan.
16
b. Komponen Hayati, yaitu makhluk hidup, tumbuhan. c. Komponen Kemasyarakatan, yaitu manusia dengan latar belakang sosial, budaya, ekonomi, dan segala aktifitas kegiatannya. Namun tidak semua komponen tersebut selalu ada pada obyek yang akan dilestarikan. Yang terpenting adalah telaah dan mempertahankan komponen inti untuk dapat diturunkan pada generasi berikutnya. Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001) dalam upaya pengelolaan untuk pelestarian lanskap terdapat beberapa tindakan teknis yang umumnya dilakukan, yaitu: 1. Adaptive use (Penggunaan adaptif) Mempertahamnkan dan memperkuat lanskap dengan mengakomodasikan berbagai penggunaan, kebutuhan dan kondisi masa kini. Untuk kegiatan model ini perlu pengkajian yang cermat dan teliti terhadap sejarah, penggunaan, pengelolaan dan faktor-faktor lain yang berperan tehadap pembentukan lanskap tersebut. 2. Rekonstruksi Pembangunan ulang suatu bentuk lanskap, baik secara keseluruhan atau sebagian dari tapak asli. 3. Rehabilitasi Tindakan yang memperbaiki utilitas, fungsi atau penampilan dari suatu lanskap sejarah. Dalam kasus ini maka keutuhan lanskap dan struktur atau susunannya secara fisik dan visual serta nilai yang terkandung harus dipertahankan. 4. Restorasi Suatu model pendekatan tindakan pelestarian yang paling konservatif, yaitu pengembalian penampilan lanskap pada kondisi aslinya dengan upaya mengembalikan penampilan sejarah dari lanskap ini sehingga apresiasi terhadap karya lanskap ini tetap ada. 5. Stabilisasi Suatu tindakan atau strategi dalam melestarikan karya atau obyek lanskap yang ada melalui upaya memperkecil pengaruh negatif (seperti gangguan iklim dan suksesi alami) terhadap tapak.
17
6. Konservasi Konservasi merupakan tindakan yang bertujuan untuk melestarikan apa yang ada saat ini, mengendalikan tapak sedemikian rupa untuk mencegah penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan daya dukung serta mengarahkan perkembangan di masa depan. Untuk memperkuat karakter spesifik yang menjiwai lingkungan/tapak dan menjaga keselarasan antara lingkungan lama dan pembangunan baru mendekati perkembangan aspirasi masyarakat. 7. Interpretasi Tindakan ini merupakan suatu usaha pelestarian yang mendasar untuk mempertahankan lanskap asli secara terpadu dengan usaha-usaha yang juga dapat menampung kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan baru serta berbagai kondisi yang akan dihadapi masa kini dan yang akan datang. 8. Period setting, replikasi, imitasi Penciptaan suatu tipe lanskap pada tapak tertentu yang original site. Usaha ini memerlukan adanya data dan dokumentasi yang dikumpulkan dari tapak dan lain-lain yang sama serta berbagai pengkajian akan sejarah tapaknya sehingga pembangunan lanskap tersebut akan sesuai suatu periode yang telah ditentukan sebelumnya. 9. Release Suatu strategi pengelolaan yang memperbolehkan adanya suksesi alam yang asli. Sebagai contoh adalah diperbolehkannya vegetasi menghasilkan suatu produk tertentu secara alami pada suatu lanskap sejauh tidak merusak keutuhan atau merusak nilai holistiknya. 10.
Replacement (penggantian)
Substitusi atas suatu komuniti biotic dengan lainnya. Contohnya adalah penggunaan jenis tanaman penutup tanah (ground cover) yang dapat tetap menampilkan bentukan lahan. Menurut Muchamad dan Mentayani (2004) dalam kegiatan pelestarian dikenal ada 2 (dua) macam gerakan pelestarian, yaitu; pertama gerakan pelestarian kebendaan, gerakan ini umumnya dilaksanakan oleh para arsitek, pakar sejarah
18
arsitektur, perencana kota, pakar geologi, dan penulis. Kedua gerakan pelestarian kemasyarakatan, yaitu gerakan pelestarian yang melibatkan para pakar ilmu sosial, arsitek, pekerja sosial, kelompok swadaya masyarakat, bahkan tokoh politik. Menurut Sidharta (dalam Wongso, 2008) kegiatan pelestarian ini bisa berbentuk pembangunan atau pengembangan dalam bentuk upaya preservasi, restorasi, replikasi, rekonstruksi, revitalisasi, dan/atau penggunaan untuk fungsi baru suatu aset masa lalu.