TINJAUAN PUSTAKA Mutasi Mutasi adalah perubahan yang terjadi pada materi genetik sehingga menyebabkan perubahan ekspresi. Perubahan dapat terjadi pada tingkat pasangan basa, tingkat satu ruas DNA, bahkan pada tingkat kromosom (Jusuf 2001). Mutasi dapat terjadi pada setiap bagian tanaman, namun lebih banyak terjadi pada bagian yang sedang aktif mengadakan pembelahan sel. Jika mutasi terjadi pada sel somatik, maka perubahan hanya pada bagian itu dan tidak diwariskan. Sedang bila mutasi terjadi pada sel generatif, maka akan diwariskan pada generasi berikutnya (Poespodarsono 1986). Organisme baru hasil mutasi disebut mutan. Mutasi atau perubahan materi genetik dapat dideteksi dengan melihat perubahan pada tingkat struktur gen atau perubahan pada tingkat ekspresinya. Untuk melihat perubahan tersebut dapat dilakukan dengan membandingkan antara mutan dan tipe liarnya. Perubahan dapat terlihat pada tingkat morfologi yang terlihat oleh mata telanjang, atau pada tingkat lain yang tidak nampak oleh mata. Secara garis besar penampilan mutan dapat dilihat dari liarnya dengan tiga cara; perbedaan morfologi, perbedaan tingkat kimia, dan perbedaan tingkat adaptasi terhadap lingkungan tumbuh. Hasil mutasi yang paling mudah dilihat ialah bila terjadi perubahan morfologi seperti bentuk, ukuran atau warna (Jusuf 2001). Mutasi dapat terjadi pada tingkat gen maupun kromosom. Jika perubahan hanya mengenai satu gen yaitu pada ruas yang diapit oleh sepasang promotor dan terminator, maka disebut mutasi tingkat gen. Jika perubahan mengenai lebih dari satu gen maka dinamakan mutasi tingkat kromosom (Jusuf 2001). Mutasi titik merupakan mutasi yang terjadi pada tingkat gen. Mutasi titik adalah perubahan sekuen nukleotida pada gen yang menghasilkan perubahan asam amino dan protein produk mutan atau sebagai perubahan satu bentuk alel ke bentuk alel lainnya dimana perubahan tersebut terjadi dalam satu lokus kromosom ( Suzuki et al. 1993). Mutasi titik dalam suatu gen dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu: substitusi pasangan basa dan penyisipan (insersi) atau pengurangan (delesi) pasangan basa. Substitusi pasangan basa adalah penggantian satu nukleotida dan pasangannya di dalam untai DNA komplementer dengan pasangan nukleotida
5
lain. Insersi dan delesi merupakan penambahan atau pengurangan satu atau lebih pasangan nukleotida pada suatu gen (Griffiths et al. 2005; Campbell et al. 2002). Mutasi kromosom dapat terjadi karena perubahan jumlah kromosom atau perubahan struktur kromosom. Perubahan struktur kromosom adalah perubahan dimana jumlah kromosom tetap tetapi terjadi perubahan komposisi dan susunan bahan kromosom, yaitu delesi, duplikasi, inversi dan translokasi. Sedangkan perubahan jumlah kromosom adalah adanya penambahan atau pengurangan kromosom-kromosom utuh atau satu set kromosom lengkap (genom), perubahan ini dapat menyebabkan keragaman genetik yang akan nampak pada keragaman fenotipe seperti sifat morfologi dan fisiologi (Crowder 1997). Mutasi dapat terjadi dengan spontan (Djojosoebagio 1988) atau akibat adanya rangsangan dari luar. Mutasi spontan merupakan bagian dari proses kehidupan suatu spesies. Selama proses kehidupan akan terus terjadi perubahan spontan
pada
gen
walaupun
dengan
tingkat
kecepatan
yang
rendah
(Poespodarsono 1986). Mutasi spontan memiliki frekuensi yang sangat kecil sekitar 10-9 sampai 10-7. Rendahnya frekuensi mutasi spontan karena pada organisme ada sistem pemeliharaan ketepatan pemasangan basa-basa DNA yang melekat pada proses replikasi. Selain itu juga terdapat sejumlah mekanisme koreksi kerusakan basa. Mutasi spontan dapat disebabkan oleh perubahan tautomerik basa-basa DNA yaitu perubahan konfigurasi suatu molekul akibat perpindahan proton atau inti hidrogen dari satu posisi ke posisi lain. Selain perubahan tautomerik ada proses kimia lain yang dapat menyebabkan terjadinya mutasi spontan yaitu depurinasi dan deaminasi. Depurinasi adalah proses pemutusan ikatan antara basa purin dengan gula deoksiribosa, sedangkan deaminasi adalah penghilangan suatu gugus amino dari suatu basa (Jusuf 2001). Rangsangan luar merupakan faktor pendorong untuk terjadinya peningkatan frekuensi mutasi. Frekuensi mutasi meningkat dengan meningkatnya dosis (secara linier untuk sinar X dan Gamma), tetapi survival dan kapasitasnya untuk regenerasi menurun dengan meningkatnya dosis. Pada dosis yang tinggi, akan menyebabkan terlalu banyak induksi mutasi per sel dengan peningkatan resiko
6
mutasi yang baik, atau perubahan genetik yang tidak baik (Broertjes & Harten 1988). Induksi terhadap mutasi dapat terjadi secara alami maupun buatan. Mutasi buatan terjadi bila digunakan mutagen dengan dosis dan waktu tertentu (Poespodarsono 1986). Mutagen merupakan faktor penyebab terjadinya mutasi. Menurut Allard (1960) mutasi dihasilkan oleh beberapa agen mutagenik, yaitu proses mekanik murni, proses kimia murni atau kombinasi antara keduanya. Mutagen tersebut dapat menghasilkan berbagai macam mutasi seperti mutasi klorofil maupun mutasi kerdil. Sedangkan Poespodarsono (1986) membagi mutagen ke dalam tiga kelompok yakni radiasi, non radiasi dan kimia. Jusuf (2001) menyatakan bahwa bahan yang dapat merangsang mutasi dapat berupa bahan yang bersifat fisik, kimia atau proses biologis. Bahan fisik yang dikenal sebagai perangsang mutasi antara lain sinar ultraviolet, sinar X dan sinar gamma. Bahan kimia yang dapat merangsang terjadinya mutasi antara lain etilmetan sulfonat (EMS), etiletan sulfonat (EES), dan hidroksilamin (HA). Sedangkan bahan biologis, yang merupakan bahan mutakhir digunakan adalah elemen loncat. Sinar gamma merupakan salah satu bahan fisik yang banyak digunakan sebagai agen mutasi. Radiasi sinar gamma merupakan radiasi ionisasi. Bentuk radiasi ini dapat menembus sel-sel dan jaringan dengan mudah (Pai 1999). Radiasi dengan sinar gamma dapat menghasilkan dua macam efek yaitu aberasi kromosom dan hambatan mitosis (Whitson 1972). Sinar gamma diperoleh dari peluruhan zat radioaktif yang dipancarkan dari atom dengan kecepatan tinggi karena kelebihan energi. Panjang gelombang sinar gamma lebih pendek dari sinar X tetapi energinya lebih besar. Radiasi sinar gamma dapat dipancarkan oleh 60Co, 137
Cs dan lain-lain (Soeminto 1985). Sinar gamma mempunyai kemampuan penetrasi yang cukup kuat ke dalam
jaringan tanaman. Dosis sinar gamma untuk mutasi pada kedelai adalah 10 – 20 kRad (Herawati & Setiamihardja 2000). Kedelai Muria, varietas unggul yang dilepas tahun 1987 merupakan hasil irradiasi dengan sinar gamma dosis 0.4 kGy. Dosis irradiasi yang dapat diterima oleh sel dibedakan atas dosis acute yaitu dosis yang diterima dengan cara sekaligus pada laju dosis tinggi, dan dosis kronis yaitu dosis yang diterima dengan cara sedikit demi sedikit pada laju dosis rendah. Dosis
7
acute dapat menyebabkan sel mati atau mengalami perubahan sifat (Wiryosimin 1995). Dosis irradiasi yang diterapkan tergantung pada sensitivitas dari spesies dan bagian tanaman. Sensitivitas tergantung pada volume inti (DNA yang lebih besar lebih sensitif), jumlah kromosom (tanaman dengan kromosom lebih sedikit dengan volume inti tertentu, lebih sensitif dari tanaman dengan kromosom yang lebih banyak), dan tingkat ploidi ( lebih tinggi, sensitivitasnya lebih sedikit) (Broertjes & Harten 1988). Efektivitas irradiasi yang diberikan pada tanaman dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor biologi. Faktor lingkungan terdiri atas oksigen, kadar air, suhu, sedangkan faktor biologi meliputi volume inti, kromosom interfase, dan faktor genetik yaitu adanya perbedaan kepekaan terhadap irradiasi (Ismachin 1988).
Protein Heterotrimerik-G subunit α Protein G merupakan anggota dari sebagian besar kelompok protein yang ditemukan pada semua eukariot. Protein ini terikat secara lemah pada sisi sitoplasmik membran, dan berfungsi sebagai saklar yang dapat dihidupkan dan dimatikan. Pada keadaan tidak aktif protein heterotrimerik berada dalam bentuk ikatan GDP dan akan aktif dengan merubah GDP ke bentuk GTP yang berikatan pada subunit α (Campbell et al. 2002). GTP-subunit α akan terpisah dari subunit βγ dan keduanya akan berinteraksi dengan efektor yang berada di down stream (bagian hilir). Penurunan aktivitas GTP-subunit α menjadi GDP-subunit α melalui
aktivitas
GTPase
menyebabkan
pembentukan
kembali
bentuk
heterotrimerik tidak aktif (Kolle 1997; Gutkins 1998). Protein G dibagi menjadi dua yaitu protein G kecil dan protein heterotrimerik-G (Ma et al. 1991; Patrick & Gilman 1998). Protein heterotrimerik G terdiri dari tiga sub unit yang berbeda yaitu sub unit α (40-45 kDa), sub unit β ( 34-36 kDa) dan sub unit γ (7-10 kDa) (Gotor et al. 1996). Protein G subunit α terdiri dari dua domain yaitu domain GTPase (G1 sampai G5) yang bertindak sebagai situs pengikatan nukleotida guanin dan domain alpha-helical (Gilman 1987).
8
Subunit Gα terdapat pada membran plasma tanaman Arabidopsis (Weiss et al. 1997) dan padi (Iwasaki et al. 1997), juga ditemukan di dalam retikulum endoplasma Arabidopsis dan tomat (Weiss et al. 1997; Aharon et al. 1998). Protein heterotrimerik-G diketahui berperan dalam regulasi dari influk kanal ion K+ pada sel penjaga (Wu & Assmann 1994). Subunit Gα diketahui dapat mengaktifkan kanal kalsium (Ca2+) pada membran plasma sehingga meningkatkan level Ca2+ di sitoplasma pada tomat (Aharon et al. 1998) juga meningkatkan level IP3 pada tanaman kedelai (Legendre et al. 1993) serta peningkatan Reactive oxygene Species (ROS) H2O2 pada kultur sel kedelai (Legendre et al. 1992). Berdasarkan analisis mutasi pada gen Gα (dwarf1), ternyata Gα terlibat di dalam perpanjangan batang dan pembentukan biji padi (Fujisawa et al. 2001). Regulasi pembukaan stomata (Assmann 1996) dan pemanjangan tabung polen pada bunga lily (Ma et al. 1999) juga melibatkan protein G. Fungsi protein Gα yang
lain
pada
tanaman
diantaranya
dalam
transduksi
sinyal
auksin
(Fairley-Grenot & Assmann 1991) serta terlibat dalam induksi giberelin dari gen
α-amylase pada sel aleuron oat (Jones et al. 1998). Protein heterotrimerik-G subunit α
berperan penting dalam transduksi
sinyal terhadap berbagai stimulus dari luar yang diterima oleh organisme. Transduksi sinyal merupakan tanda atau pesan yang mengubah stimulus atau sinyal menjadi bentuk lain dengan melibatkan urutan reaksi biokimia tertentu di dalam sel yang dilakukan oleh enzim dan berhubungan melalui second messenger (Voet & Donald 1995). Proses pensinyalan sel meliputi 3 tahapan yaitu : 1) Penerimaan sinyal; 2) Transduksi sinyal; 3) Respon seluler. Penerimaan sinyal merupakan pendeteksian sinyal yang datang dari luar sel oleh sel target. Sinyal dapat terdeteksi apabila terikat pada protein seluler, biasanya pada permukaan sel yang bersangkutan. Salah satu reseptor transmembran yang menerima sinyal dan meneruskannya ke sel adalah protein G. Pengikatan molekul sinyal mengubah protein reseptor, dan selanjutnya mengawali proses transduksi. Tahap transduksi ini mengubah sinyal menjadi bentuk yang dapat menimbulkan respon seluler spesifik (Campbell et al. 2002).
9
Kedelai mempunyai dua kopi gen yang menyandikan protein heterotrimerik G sub unit α yaitu SGA1 (Kim et al. 1995) dan SGA2 (Gotor et al. 1996). Suharsono dan Suharsono (2004) berhasil mengisolasi gen SGA1 dari kedelai kultivar
Slamet
dan
Lumut.
Analisis
kesamaan
urutan
nukleotidanya
menunjukkan bahwa gen Gα yang diisolasi dari kedelai kultivar Lumut mempunyai kemiripan 91% dengan gen Soybean G protein α subunit, SGA1 dari kedelai kultivar Williams, sedangkan analisis sebagian gen Gα dari kultivar Slamet menunjukkan kemiripan dengan Lupinus luteus (LIGA1) (Darlian 2005).