TINJAUAN PUSTAKA
Torbangun (Coleus amboinicus Lour) a. Klasifikasi
Tanaman Torbangun (Coleus amboinicus Lour) dapat dijumpai hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan nama yang berbeda-beda. Di daerah S~unatra Utara, tanaman ini dikenal dengan nama Bangun-bangun atau Tarbangun (Damanik et al. 2001). Sedangkan di daerah Sunda, dam Torbangun dikenal dengan nama Ajeran atau Acerang, di daerah Jawa diienal dengan nama daun Kucing, di Madura daun Kambing, dan Majha Nereng. Di daerah Bali dikenal dengan nama Iwak dan di daerab Timor dikenal dengan nama Kunu Etu (Heyne 1987). Dalam susunan taksonomi, tanaman Torbangun yang secara internasional dikenal dengan Coleus amboinicus Lour diklasifikasikan seperti berikut : divisi subdivisi kelas bangsa suku marga jenis
: Spermatophita : Angiospermae : Dikotiledonae
: Solanales : Labialae :Coleus : Coleus amboinicus Lour (Anonimus 2008a).
b. Botani
Secara makroskopis, tanaman Torbangun memiliki ciri batang berkayu lunak, beruas-mas dan berbentuk bulat, diameter pangkal 5 15 mrn, tengah
m m dan ujung
5
* 10
5 rnm. Daun tanaman ini tunggal, helaiannya bundar telur,
panjang helaiannya 5 3,5-6 cm, pinggirnya agak berombak dengan panjang tangkai 5 1,5-3 cm, dan tulang dam menyirip (Gambar 1). Tanaman Torbangun tumbuh secara liar, jarang berbunga, namun mudah sekali dikembangbiakkan dengan stek dan cepat berakar di dalam tanah yang gembur (Heyne 1987).
Gambar 1 Daun Torbangun, berbentuk bundar telur, pinggirannya berombak, dan mlang daun menyirip. Sumber: Anonimus (2008b). c. Pemanfaatan
Komposisi zat gizi daun Torbangun yang terdapat dalam buku yang bejudul Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia (Mahmud et al. 1990) menyebutkan bahwa dalam 100 gram daun Torbangun terkandung lebih banyak kalsium, besi dan karoten total dibandingkan dengan daun katuk (Sauropus androgynus). Data lengkap tentang komposisi zat gizi dam Torbangun tercanturn dalam Tabel 1. Tabel 1 Komposisi Zat Gizi Daun Torbangun Komposisi Zat Gizi Energi (kal) Protein (g) Lem3.k (g) Hidrat arang (g) Serat (g) Abu (g) Kalsium (g) Fosfor (g) Besi (mg) Karoten total (mg) Vitamin A (g) Vitamin Bl(g) Vitamin C (g) Air (g) (Sumber: Mahmud et al. 1990)
Torbangun 27,O 1,3 0,6 40 1,o 1,6 279 40 13,6 13288 0 0,16 5,l 92,5
Daun Torbangun biasa diolah oleh masyarakat etnis Batak dalam bentuk sayur sop. Sayur sop ini diberikan kepada ibu yang baru melahirkan (Damanik et al. 2006). Selanjutnya komposisi zat gizi sop daun Torbangun yang terkandung
dalam 150 gram sop daun Torbangun dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Konlposisi Zat Gizi Sop Daun Torbangun (150 g) Zat Gizi Lemak (g) Protein (g) Karbohidrat (g) Air (g) Mineral (mg) Seng Besi Kalsium Magnesium po&asium
Rata-rata i SD 16;3 i 4,6
(Sumber : Damanik et al. 2006)
Berdasarkan penelitian Damanik et al. 2006, pada saat minggu kedua (hari ke-14 hingga ke-28 setelah suplementasi sayur sop daun Torbangun), wanita yang telah mengkonsumsi sop daun Torbangun tetap mengalami peningkatan kuantitas dan kualitas ASI. Selain itu, dam Torbangun mampu meningkatkan kesehatan wanita pasca melahirkan, berperan sebagai uterine cleansing agent, dan dalam bentuk sop, dam Torbangun dapat menggantikan energi yang hilang selama proses melahirkan. Tanaman ini juga memiliki khasiat sebagai antipiretik, analgetik, obat
luka, obat batuk, dan sariawan (Depkes 1989). Selain itu, daun ini juga mengandung vitamin C, BI, B12, betakaroten, niacin, karvakrol, kalsiwn, asamasan lemak, asam oksalat, dan serat (Duke 2000). Heyne (1987) menyatakan bahwa dari 120 kg dam segar kurang lebih terdapat 25 ml minyak atsiri yang mengandung fen01 (isopropyl-o-besol) dan atas dasar itu ia menyatakan bahwa Torbangun merupakan antiseptikum yang bernilai tinggi. Minyak atsiri dari dam Torbangun selain sebagai antiseptik temyata mempunyai aktivitas yang tinggi melawan infeksi cacing (Vasquez et al. 2000). Disamping minyak atsiri, daun Torbangun juga mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol (Anonim 2008a).
Mencit (Mus musculus)
a. Klasifikasi Mencit (Mus musculus) adalah hewan pengerat yang cepat berbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetik cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik. Untuk berbagai penelitian dalam laboratorium Swiss albino mice adalah mencit yang paling sering digunakan ( ~ a l o l edan Pramono 1989). Mencit termasuk dalam klasifikasi berikut ini, kingdom film subfilum kelas ordo subordo famili subfamili genus spesies
: Animalia
: Chordata : Vertebrata : Mamrnalia
: Rodentia : Myomorpha : Muridae : Murinae : Mus
: Mus musculus (Anonimus 2007).
b. Morfologi Mencit putih memiliki bulu pendek halus benvama putih serta ekor berwarna kemerahan dengan ukuran lebih panjang daripada badan dan kepala. Mencit memiliki warna bulu yang berbeda disebabkan oleh perbedaan proporsi darah dengan mencit liar dan memiliki kelenturan pada sifat-sifat produksi dan reproduksinya (Nafiu 1996). Berikut ini disajikan hewan mencit pada Gambar 2.
Gambar 2 Mencit (Mus musculus albinus). Surnber: Anonimus (2007).
Mencit memiliki banyak keunggulan sebagai hewan percobaan, antara lain siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifatsifatnya tinggi dan mudah ditangani (Moriwaki et al. 1994). Data biologis mencit laboratorium dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Data Biologis Mencit (Mus musczclus)
Lama produksi ekonomis Lama bunting Umur disapih Umur dewasa kelamin Umur dikawinkan Siklus estrus Lama estrus Berat dewasa Berat lahir Jumlah anak Suhu rektal Pemapasan Denyutjantnng Puting susu Kecepatan tumbuh Imunitas pasif
9 bulan 19-21 hari 21 hari 35 hari 8 minggu 4-5 hari 12-14jam Jantan :20-40 gram Betina : 18-35 gram 0,5-1,O gram Rata-rata 6, bisa sampai 15 35-39°C (rata-rata 37,4OC) 140-180/menit, turun menjadi 80 dengan anastesi, naik sampai 230 bila stress 600-650/menit, turun menjadi 350 dengan anastesi, naik srunpai 750 bila stress 10 puting, 3 pasang di daerah dada, 2 pasang di daerah perut 1 grarnrhari Terutama melalui usus hingga umur 17 hari, juga melalui kantung kuning tel&
(Sumber: Smith dan Mangkoewidjojo 1988)
Organ Limforetikular Organisme terlindung dari penyusupan pengamh luar (eksogen) serta pengamh dalam (endogen) yang merugikan dan berbentuk makromolekul oleh sistem kekebalan. Sistem ini mencakup semua organ limfatik seperti t h u s , tonsil, limpa, kelenjar getah bening dan hemal node, juga jaringan limfoid yang menyebar dan folikel getah bening dalam stroma pada berbagai organ tubuh. Limfosit yang bersirkulasi, dan limfosit jaringan serta sel plasma yang tersebar
luas dalam tubuh organisme juga berperan dalam sistem perlindungan tubuh (Delmann 1989).
Walaupun antigen terjerat da.11 diproses oleh makrofag dari sistem fagositik mononuklear, tetapi penyusunan tanggap kebal adalah fimgsi limfosit. L i f o s i t ini adalah sel yang relatif polos bulat kecil yang merupakan tipe sel yang paling banyak terdapat di dalam organ seperti limpa, simpul limfe, dan timus. Fungsi utama limfosit adalah produksi antibodi atau sebagai efektor khusus dalam menanggapi antigen terikat makrofag. Proses tanggap kebal ini terjadi di dalam organ limfoid (Tizard 2004). Selanjutnya akan dijabarkan beberapa dari organ sistem limforetikular yaitu timus sebagai organ limfoid primer dan limpa dan limfonodus sebagai organ limfoid sekunder. a. Timus
Timus pada hewan piara terdapat sepasang, terletak di daerah mediastinum rongga dada. Pada hewan yang baru lahir timus relatif besar dan menjelang dewasa kelamin secara berangsur-angsur mengecil (mengalami involusi) dan digantikan oleh jaringan lemak (Hartono 1989). Tetapi sisa timus yang terdapat pada ruang toraks tetap tinggal pada beberapa hewan sampai tua. Disamping involusi yang berhubungan dengan umur ini, timus juga mengalami atrofi cepat sebagai reaksi terhadap stress, sehingga hewan yang mati sesudah menderita sakit yang lama mungkin mempunyai timus yang sangat kecil (Tizard 2004). Timus terdiri dari sejumlah lobus berisi sel epitel yang tersusun longgar (Tizard 2004), dan tiap lobus t h u s dikelilingi oleh jaringan ikat bempa kapsula yang berhubungan dengan septa tipis yang membaginya secara tidak sempurna menjadi lobulus. Tiap lobulus timus terbagi atas korteks dan inedula. Lazimnya medula tiap lobulus berhubungan satu dengan lainnya, ini khas untuk timus (Hartono 1989). Korteks. Korteks t h u s paling utama terdiri dari sel retikulum epitel dan
limfosit. Sel epitel stellata memiliki inti lonjong, besar dan pucat dengan penjuluran bercabang panjang yang mengandung banyak filament mikro, dan saling berhubungan kuat melalui desmosom. Organel tidak jelas. Sel-sel epitel membentuk balutan bersinambung pada tepi lobulus dan sekitar mang perivaskular (Delmann 1989).
Limfoblast dan lilnfosit medium menguasai jalinan retikulum epitel tepi, keduanya mengalami mitosis dan selanjutnya berdiferensiasi menjadi limfosit kecil yang menduduki bagian dalam korteks. Makrofag yang mengandung pecahan limfosit yang difagositosis terdapat di sekitar medula. Karena korteks mengandung lebih banyak limfosit daripada medula, korteks selalu mengambil warna lebih gelap daripada medula (Gambar 3). Medula. Beberapa sel retikulum epitel dalam medula memiliki struktur
yang sama dengan korteks meskipun yang lain jauh lebii besar dan keadaan epitel lebih jelas. Medula lebih banyak mengandung mitoko~ldria,rER yang lebih ekstensif, dan apparatus golgi, juga butir-butirnya memberikan aktivitas sekresi. Sel-sel epitel medula khas membentuk benda-benda timus atau benda Nissl, terdiri dari satu atau beberapa sel yang mengalami degenerasi atau berkapur, dikeliiingi oleh sel-sel pipih bertanduk dengan susunan konsentris yang mengandung banyak desmosom dan berkas filament mikro. Sel-sel jalinan retikuler adalah limfosit kecil dangan sedikit makrofag (Delmann 1989).
Gambar 3 Timus, K: Korteks, M: Medula. Sumber: Delmann dan Eurell(2006).
Fungsi timus belum banyak diketahui secara pasti. Beberapa dugarul diantaranya menghasilkan timosit atau liiosit. Timus sendiri tidak menghasilkan antibodi, karena korteks bersifat impermeabel terhadap antigen. Antibodi dihasilkan oleh sel plasma yang berkembang dari limfosit B, proses ini berlangsung berkat kolaborasi dengan limfosit T (Hartono 1989). Fungsi timus belum diketahui karena tidak adanya akibat yang segera nyata bila timus pada hewan dewasa dibuang. Tetapi, bila timus pada rodensia
yang baru lahir dibuang, maka terjadi beberapa akibat penting. Pembuangan timus (timektorni) yang dilakukan pada mencit benunur sehari menyebabkan hewan ini sangat lebih peka terhadap infeksi. Pemeriksaan yang lebih seksama memperlihatkan bahwa terdapat p e n m a n jurnlah linlfosit yang beredar dalam peredaran darah dan sangat berkurangnya kemarnpuan hewan untuk menimbulkan beberapa jenis tanggap kebal. Khususnya, kemampuan untuk menolak cangkok jaringan asing sangat berkompromi yang menggambarkan hilangnya sama sekali tanggap kebal berperantara sel. Tanggap kebal yang diperantarai antibodi juga tertekan, tapi hanya terbatas (Tizard 2004). Kelainan pada t h u s yang mengakibatkan imunodefisiensi bisa disebabkan oleh agen infeksius, toksin, neoplasma, dan malnutrisi (Searcy 1995). Beberapa kelainan yang dapat terjadi pada timus antara lain hipoplasia, atropi, hiperplasia, dan neoplasma (Jones et al. 2006).
b. Limpa Limpa adalah jaringan limfoid yang membentuk organ dan paling besar dalam tubuh hewan (Hartono 1989). Menurut Tizard (2004), limpa berfungsi menyaring darah. Disamping itu, limpa menyimpan eritrosit dan trombosit dan melaksanakan eritropoiesis pada fetus. Karena itu, limpa terbagi atas dua bagian: satu bagian untuk menyimpan eritrosit, untuk penjeratan antigen dan untuk eritropoiesis, yang disebut pulpa merah dan bagian yang lain yang di dalamnya terjadi tanggap kebal yang disebut pulpa putih (Gambar 4)
Gambar 4 Limpa, W: Pulpa Putih, R: Pulpa Merah. Sumber: Delmann dan Eurell(2006). 10
Pulpa merah. Sebagian besar dari pulpa limpa benvama merah, dan mengandung banyak darah yang disimpan dalam jalinan retikuler. Pulpa merah terdiri dari arteriol pulpa, kapiler selubung serta kapiler terminal, sinus venous atau venula, dan bingkai limpa (Delmann 1989). Pulpa putih. Pulpa putih adalah jaringan limfatik yang menyebar di seluruh limpa sebagai nodullus limpa dan seperti selubung limfatik periarterial. Pada kedua lokasi, serabut retikuler dan sel retikuler membentuk jalinan stroma dalam tiga dimensi mengandung pecahan limfosit, makrofag, dan sel-sel aksesori lain mirip dengan yang terlihat pada kelenjar getah bening. Sel-sel utama dalam nodulus adalah limfosit B, sedangkan limfosit T menempati daerah yang langsung mengitari arteria nodularis (Delmann 1989). Daerah marginal. Pada perrnukaan pulpa putih, retikulum membentuk beberapa lapis konsentris, yang langsung berbatasan dengan lapis terakhir adalah daerah marginal. Di daerah ini banyak terdapat makrofag dan populasi limfosit khusus. Semua unsur dari sel darah, demikian juga antigen, mengadakan kontak dengan makrofag dan limfosit setempat. Partikel yang mengambang dalam plasma darah difagositosis secara efisien oleh makrofag, dan merupakan kondisi ideal untuk penampilan antigen @elmanu 1989). Ada beberapa teori yang perlu diperhatikan mengenai hubungan antara arteriol dan venula pada limpa. Pertama adalah teori terbuka, yaitu darah akan mengalir dari terminal arterial ke luar dalam pulpa merah, dari sini akan menemukan permulaan dari aliran venous. Kedua adalah teori tertutup, yaitu darah dari arteriola terminal masuk sinusoid atau sinus venous, valvulae aferen dan eferen dari sinus venous secara periodik membuka dan menutup, ha1 ini memungkinkan terjadiiya proses pengalii, pengisian, penyimpanan, dan pengosongan dari sinus venous, pada proses penyimpanan sinus membesar, makrofag mempergunakan kesempatan untuk mengangkut pecahan eritrosit. Teori terakhir adalah teori kombinasi yang merupakan gabungan antara teoii terbuka dan tertutup yaitu bila limpa dalam keadaan kontraksi, sel retikulum epitel merapat sehingga membentuk sinus venous yang menghubungkan arteriola dan venula. Tapi bila limpa mengembang, susunan sel retikulum epitel agak merenggang sehingga darah dapat keluar dalam jaringan (Hartono 1989).
Menurut Jones et al. (2006), perubahan yang sering terjadi pada limpa berhubungan dengan ukurannya. Pembesaran limpa bisa diakibatkan oleh beberapa mekanisme yang berbeda, yaitu gangguan sirkulasi, penyakit inflamasi, penyakit metabolik, dan neoplasia. Pada kondisi septisemia, terjadi pembesaran limpa dengan kongesti akut dan degenerasi dari folikel limfoid serta hiperseluler dari area sinus (Jubb et al. 1993). c. Limfonodus (Kelenjar Getah Bening)
Kelenjar getah bening atau limfonodus adalah satu-satunya jaringan limfoid yang terdapat di antara aliran limfe (Hartono 1989), menyaring limfe sebelum kembali memasuki aliran darah. Organ ini paling terorganisasi dari s e l d organ limfatik, dan hanya satu-satunya yang memiliki pembuluh limfe aferen, pembuluh limfe eferen, dan sinus (Delmann 1989). Bentuk kelenjar getah bening mirip kacang (Hartono 1989), organ ini memiliki sedikit lekuk yang disebut hillus dimana pembuluh darah dan pembuluh limfe masuk atau keluar kelenjar getah bening. Parenkim dibagi dalam korteks yang terdiri dari folikel getah bening dan jaringan limfatik yang menyebar, dan medula yang terdiri dari jaringan limfatik membentuk bingkai medula (medullary cords). Foliiel getah bening menjamin suatu mekanisme yang unik diiana limfosit mampu memberikan respon terhadap antigen yang berkembang dalam limfe (Delmann 1989).
Gambar 5 Limfonodus, F: Folikel, K: Korteks, M: Medulla. Sumber: Delmann dan Eurell (2006).
Fungsi kelenjar getab bening antara lain berpartisipasi dalam menghasilkan limfosit, terbukti banyak terjadi mitosis dari liioblast, terutama di pusat germinativum. Dengan label radioaktif temyata 95% dari limfosit yang meninggalkan kelenjar getah bening adalah limfosit sirkulasi, artinya berasal dari luar. Hanya 5% yang mungkin berasal dari kelenjar getah bening. Limfosit keluar dari aliran darah melalui venula pasca kapilar (postcapillary venules) di daerah subkortikal dari korteks, masuk aliran limfe. Kelenjar getah bening merupakan penghasil utama antibodi. Banyak cara antigen ditangani tubuh, dengan cara dikeluarkan atau ditangkap oleh makrofag dan dihancurkan dengan enzim lisosom. Cara lain dengan ditangkap oleh mikrofag untuk membangkitkan reaksi, agar limfosit berdiferensiasi menbentuk sel plasma (Hartono 1989). Kejadian hiperplasia reaktif berhubungan erat dengan limfadenitis. Limfadenitis akan tampak mengikuti proses inflamasi. Tanpa inflamasi, hewan tidak akan dapat bertahan hidup dalam interaksi dengan lingkungan yang bermikroba, benda asing, trauma, dan neoplasma (Jones et al. 2006). Menurut Slauson dan Cooper (1990), peradangan pada limfonodus yang menghambat aliran l i i a t i k dapat menyebabkan edema. Lesio patologis pada limfonodus bisa disebabkan oleh trauma, luka operasi, neoplasma, maupun inflamasi. Leukosit
Leukosit terdiri dari limfosit, monosit, neutrofil, eosinofil, dan basofil. Semuanya ikut berpartisipasi dalam pertahanan tubuh, tetapi masing-masing memiliki kerja kinetik dan fungsi yang berdiri sendiri (Duncan 1986). Menurut Slauson dan Cooper (1990), ada tiga tipe dari sel darah putih yang mengambil bagian dalam reaksi inflamasi yaitu leukosit polimorfonuklear atau granulosit (neutrofil, eosinofil, basofil), monosit dan makrofag, serta limfosit dan plasma sel. Limfosit. Menurut Frandson (1986), limfosit secara khas paling banyak
dan paling utama dari leukosit agranulosit. Limfosit memiliki ukuran dan penampilan yang bervariasi serta meiniliki nukleus yang relatif besar yang diielilingi oleh sejumlah sitoplasma agranulosit (Gambar 6). Limfosit diproduksi di surnsum tulang hati @ada fetus) dengan bentuk awal sama tetapi kemudian
berdiferensiasi. Ada beberapa kategori limfosit yaitu, limfosit kecil, limfosit sedang, dan limfosit besar. L i f o s i t kecil dan sedang bersirkulasi dalam darah, sedangkan limfosit besar ditemukan pada kelenjar getah bening (Jain 1993).
Gambar 6 Limfosit (panah hijau). Sumber: Delmann dan Eurell(2006).
Monosit. Monosit adalah jenis yang k e d ~ ~dari a leukosit aganulosit. Sel ini memiliki sitoplasma yang lebih banyak dari limfosit dan memiliki inti
berbentuk seperti ginjal atau tapal kuda (Gambar 7). Sel ini akan terstimulasi jumlahya jika terjadi infeksi atau peradangan kronis, memiliki masa edar yang singkat dalam sirkulasi darah kemudian masuk ke dalam jaringan dan bentbah jadi makrofag (Guyton 1995). Monosit bersifat motil dan berpindah dengan gerakan amuboid ke daerah yang mengalami infeksi kronis untuk terjadinya respon fagosit (Ganong 1999).
Gambar 7 Monosit (panah hijau). Sumber: Delmann dan Eurell(2006).
Neutrofii. Neutrofil adalah leukosit yang diproduksi di sumsum tulang dan
tennasuk golongan polimorfonuklear, memiliki inti yang berlobulasi, bentuk dewasa mempunyai 3 sampai 5 inti, kromatin-kromatin halus di sitoplasma benvama merah muda sampai ungu (Gambar 8). Menurut Tizard (2004), neutrofil merupakan salah satu basis pertahanan tubuh dari serangan penyakit yang dapat mengakibatkan infeksi atau peradangan. Neutrofil juga dapat meningkat dalam kondisi stress tetapi sulit dibedakan dengan respon inflamasi (Jackson 2007).
Gambar 8 Neutrofil @anah hijau).
Eosinofil. Menurut Hartono (1989), eosinofil memiliki dua atau tiga gelambir, jalinan kromatin pekat tanpa nukleolus, butir-butir spesifiknya besar dan bersifat asidofil (Gambar 9). Eosinofil memiliki dua fungsi istimewa. Pertama, menyerang dan menghancurkan kutikula lama cacing. Kedua, dapat menetralkan faktor radang yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil dalam reaksi hipersensitifitas tipe 1 (Tizard 2004).
Gambar 9 EosinoN @anah hijau). Sumber: Delmann dan Eurell(2006).
Basofil. Menurut Hartono (1989), eosinofil memiliki inti bergelambir dua dengan wana agak pucat, butir-butimya tidak uniform dan mengambil warna biru
tua sampai ungu, cukup pekat dan sering menutup wanla inti yang agak cerah (Gambar 10). Basofil diproduksi di dalam sumsum tulang. Basofil memiliki fungsi yang sama dengan sel mast, yaitu membangkitkan proses peradangan akut pada tempat deposisi antigen (Tizard 2004).
Gambar 10 Basofil (panah hijau). Sumber: Delmann dan Eurell(2006).
Imunomodulator Imunomodulator adalah bahan atau zat-zat yang dapat menyebabkan alterasi spesifik maupun alterasi urnum dari respon imun. Hal ini bisa disebabkan ole11 respek sistem imun terhadap antigen spesifik maupun antigen umum. Selain itu dapat pula diinduksi oleh radiasi ionisasi, antimetabolisme spesifik, berbagai jenis agen antimitotik, dan serum antiliinfosit (Singleton d m Sainsbury 2001). Berdasarkan efek yang ditimbulkannya, imunomodulator terbagi menjadi imunostimulan dan imunosupresan. Imunostimulan adalah bahan (obat dan nutrisi) yang dapat meningkatkan sistem imun dengan menginduksi atau meningkatkan aktifitas dari komponen-komponennya. Salah satu contoh dari obat imunostimulan adalah leukine dan leyamisole. Imunostimulan dikategorikan dalam dua bagian yaitu imunostimulan spesifik dan imunostimulan tak spesifik. Imunostimulan spesifik adalah suatu bahan yang bersifat antigenik spesifik dalam memberikan respon imun, seperti vaksin dan beberapa antigen. Sedangkan imunostimulan non spesifik adalah zat yang beraksi tidak hanya pada satu antigenik spesifik untuk menambah respon
imun dari antigen lain atau dapat meningkatkan komponen dari sistem imun tanpa sifat antigenik spesifik, seperti adjuvant. Dalam imunologi, adjuvant adalah agen yang dapat menstimulasi sistem imun dan meningkatkan respon terhadap vaksin tanpa memiliki efek antigenik spesifik. Cara kerja adjuvant belum diketahui secara pasti (Anonimus 2008~). Menurut Tizard (2004), tidak semua antigen bisa membangkitkan respon imun. Agar dapat bersifat antigenik, molekul hams besar, walaupun molekul kecil dapat berlaku sebagai antigen, molekul besar akan jauh lebih antigenik. Misalnya albumin serum dengan berat molekul lebii dari 6000 Dalton akan lebih antigenik dibandingkan dengan angiotensin yang memiliki berat molekul 1031 Dalton. Antigen juga harus memiliki kompleksitas susunan kimiawi yang tinggi, makromolekul dengan struktur yang kompleks seperti protein merupakan antigen yang jauh lebih baik daripada polihner besar sederhana dengan sub unit bendang yang identik. Selain itu antigen juga harus memiliki sifat dasar bahan asing sehingga dapat dikenal sebagai bukan unsur tubuh yang normal, memiliki kelarutan yang tinggi dalam tubuh, serta dapat didegradasi oleh makrofag dan mikrofag. Sistem imun terdiri dari dua bagian besar, yaitu sistem imun non spesifik dan sistem imun spesifk. Sistem imun non spesifik merupakan garis pertahanan pertama melawan invasi organisme asing, sedangkan sistem imun spesifik merupakan garis pertahanan kedua dan juga dapat memberikan perlindungan dalam melawan invasi ulang dari patogen yang sama. Masing-masing dari sistem imun ini terdii dari komponen seluler dan humoral yang memiliki fungsi pertahanan (Mayer 2008). Sistem imun spesifik membutuhkan waktu untuk bereaksi melawan invasi organisme dimana sistem imun non spesifik terlibat di dalam proses tersebut, sistein imun yang non spesifik selalu ada dan siap bermobilisasi ke tempat terjadinya infeksi. Sistem imun spesifik bersifat antigen spesifik dan hanya bereaksi dengan organisme yang menginduksi respon. Sebaliknya, sistem imun non spesifik tidak bersifat antigen spesifik dan bereaksi sama baiknya pada berbagai jenis organisme (Mayer 2008).