TINJAUAN PUSTAKA
Mikroorganisme termofilik ekstrim Mikroorganisme termofilik yang mampu tumbuh pada suhu 50°C-60°C telah lama diketahui, akan tetapi sejak dipublikasikannya bakteri Thermus aquaficus yang diketemukan di sumber air panas di Yellowstone National Park, U.S.A yang mampu tumbuh pada suhu lebih tinggi dari pada 70°C oleh Brock & Freeze (1969) barulah diketahui adanya kehidupan pada suhu diatas 70°C.
Akan tetapi, batasan seberapa tinggi suhu untuk
kehidupan hingga kini belum diketahui dengan pasti. Eksplorasi di lokasi yang berkondisi ekstrirn seperti area kawah gunung berapi yang masih aktif hampir di seluruh bagian dunia, hidrotermal laut dalam. daerah kutub dan wilayah dengan kondisi ekstrim lainnya yang dilakukan oleh beberapa peneliti telah berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi mikroba ekstrimofitik
.
Brock (1986) mengemukakan definisi organisme termofilik adalah organisme yang mampu turnbuh pada suhu diafas 55OC-60°C.
Dengan
ditemukan organisme termofilik yang mampu tumbuh sampai suhu d~sekitar bahkan diatas titik didih air, selanjutnya beberapa peneliti memilah mikroba termofilik menjadi beberapa kelompok menurut suhu perturnbuhannya dengan batasan suhu yang berbeda. Cowan (1992) mengklasifikasi organisme termofilik berdasarkan batasan suhu minimum, optimum dan maksimum sebagai disajikan dalam Tabel 1 Sedangkan
Rudiger,
et
a1 (1994)
mengelompokkan mikroorganisme termofilik
berdasarkan batasan kisaran suhu pertumbuhan seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 7 . Tatanama mikroba suhu tinggi (Cowan, 1992) Pertumbuhan minimun
Terminologi -
Pertumbuhan optimum
("C) Termofil Ekstrim termofil Hipertermofil
Pertumbuhan maksimum
("C)
("C)
230
250
240
=-65
tidak ditentukan
>lo0
>60 >70 15(kini)
Tabel 2. Tatanama mikroba suhu tinggi (Rudiger. et a/, 1994) Terminologi
Kisaran suhu pertumbuhan
("C)
45 - 65 65 - 85 85-110 >110
Termofil Ekstrim termofil Hipertermofil Pirofil
Sebagian besar organisme yang hidup diatas titik didih air atau mikroba hipertermofilik termasuk golongan archaea dan sebagian lainnya termasuk golongan bakteria.
Blochl, et
at (1995) melaporkan bahwa
golongan bakteria termofilik yang hidup optimal pada suhu diatas 65°C terdiri atas empat genera dari dua ordo yaitu Therrnotoga, Thermosjpho, Fervidobacterium (ordo Thermotogales) dan Aquifex (ordo Aguificales). sedangkan organisme yang termasuk golongan archaea terdiri atas 19
genera dari delapan ordo Sulfolobales, Pyridictiales, Therrnoproteales, Thermococcales, Archaeglobales, Therrnoplasmales, Methanobacteriales dan Methanococcales. Eksplorasi mikroba di area ekstrim di wilayah Indonesia sejak lama telah dilakukan oleh peneliti asing, sebagaimana dilaporkan oleh Huber, et a1 (1991).
Peneliti Jerman dan Belanda melakukan ekspedisi di
Indonesia di daerah gunung berapi yang masih aktif, zona perairan cekungan Sunda dan di padang solfatara di pulau Jawa dan Bali pada tahun 1986. Contoh diambil didaerah panta~pulau Sangeang, Komodo dan Rinja, Danau Kawah Satonda, Danau Batur dan sumber air panas Toya Bungkah (Bali), Kawah Sikidang, Candradimuka dan danau Sileri (Plato Dieng. Jawa Tengah), Kawah Domas, dan Badak (Tangkuban Perahu, Jawa Barat), Kawah Jarian, Surnber air panas Ciater dan air terjun Gunung Gede, Jawa Barat. Ekspedisi tersebut menemukan isolat archeae
termofilik
Methanobacteriurn,
dan
hipertermofilik
Methanosarcina,
yang
termasuk
Acidianus,
genera
Thermoproteus,
Desulforococcus, Thermoplasma, Thermococcus dan isolat yang belum diketahui
yang
merupakan
"thermoacidophilic
continental
metal
mobilizer". Sedangkan isolat bakteri terrnofilik yang diternukan tergolong Thermotoga dan spesies baru yang merupakan isolat obligat anaerob dan autotrof
t(2/NO3.
Tangkuban
lsolat
Perahu
Thermoplasma sp.
hipertermofilik
diidentifikasi
dari
sebagai
area
Kawah
Domas,
Acidianus infernus dan
Habitat mikroorganisme ekstrimofilik. Faktor fisik dan kimiawi suatu lingkungan akan mengendalikan jenis organisme yang tumbuh dilingkungan yang bersangkutan. Suhu, pH dan salinitas suatu lingkungan saling berinteraksi satu sama lain dan dianggap sebagai faktor fisik dan kimiawi yang paling menentukan bagi pertumbuhan suatu organisme.
Kondisi habitat yang berbeda akan
menimbulkan diversitas organisme yang berbeda pufa.
Organisme
ekstrimofilik adalah organisme yang mampu tumbuh dan bertahan pada lingkungan ekstrim. Suatu Iingkungan dinyatakan ekstrim apabila kondisi Iingkungan tersebut diluar suatu keadaan yang biasa disebut "normal" yaitu suatu lingkungan dengan rentang suhu dari 4OC sampai dengan 40°C, pH 5,O sarnpai dengan 8.5 dan mempunyai salinitas antara air tawar dan air laut (Kreistjhnsson dan Hreggvidsson, 1995). Habitat (biotop) termofilik dengan kisaran suhu antara 40%-70°C merupakan habitat yang biasa ditemukan diatas bumi serta mikroba termofilik
pada
biotop
tersebut
telah
puluhan
tahun
diketahui
keberadaannya. Biotop dengan kisaran suhu diatas dapat meliputi kolam atau tanah yang menjadi panas karena sinar matahari, tumbuhan yang membusuk dan limbah panas industri (Edward, 1990 dan Cowan, 1992). Selain itu pipa air panas dirumah tangga dan pabrik industri pangan dan kimia juga dijumpai menjadi habitat organisme termofiiik (Haska dan Nystrand, 1982 serta Pask-Hughes dan Williams, 1975)
Akan tetapi biotop dengan suhu lebih tinggi daripada 70% bukan habitat yang dapat dijumpai dengan mudah.
Lingkungan ekstrim suhu
tinggi di alam ada di area geotermal yang berhubungan dengan kegiatan tektonik. Habitat geotermal tersebut antara lain adalah sumber air panas, daerah solfatarik, kawah gunung berapi dan hidrotermal laut dalam. Brock (1986) dan Cowan (1 992) menjefaskan terjadinya sumber air panas di habitat geotermal sebagai berikut: air tanah yang merembes hingga ke kedalaman 3000 m dipanasi oleh magma.
Pengembangan panas
mendorong air fewat didih (atau air rnendidih karena penurunan tekanan) ke permukaan, dimana habitat tersebut terbentuk sebagai sumber air panas, kolam panas atau geyser.
Di daerah dengan pasokan air ke
sumber panas rendah atau sumber panas sangat dekat dengan perrnukaan tanah, memungkinkan air menembus permukaan tanah sebagai uap dan dikenal sebagai fumarol. Selanjutnya Cowan (1992) membagi pH biotop terrnal yang berupa sumber air panas menjadi dua model yaitu, biotop dengan pH 1,O-2,5 dan Kedua kisaran tersebut menggambarkan komposisi bahan pH 6,O-8,5. kirnia yang menyusun dua komponen utama sistem penyangga yaitu asam sulfat dengan pKa 1.8 dan natrium karbonat dan bikarbonat dengan pK, 6.3 dan pKs 10,2. Perbedaan kedua sistem penyangga disebabkan oleh perbedaan jenis mineral yang terkandung didalamnya. Sumber air panas asam seringkali kaya akan belerang dan besi tetapi miskin kandungan mineralnya sedangkan surnber air panas basa kaya akan
mineral.
Keadaan tersebut
rnengakibatkan perbedaan diversitas
biotanya. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap biotop termal Kreistjansson dan Hreggvidsson (1995) menandai ciri utama yang berhubungan dengan suhu,
pH dan
salinitas
biotop suhu tinggi
sebagaimana dinyatakan dalam Tabel 3 berikut ini:
Tabel 3. Ciri kebanyakan lingkungan alam ekstrim (Kreistjansson dan Hreggvidsson, 1995) Habitat
Suhu (OC)
Sumber air panas basa (di darat) 260 Padang solfatara asam >60 Lumpur & tanah geotermal anaerob >60 Area asam beferang & pirit ~ 5 0 Sumber air panas carbonat & tanah basa c50 Danau soda ~ 5 0 Danau dengan salinitas tinggi ~ 5 0 *) Garam dapat terdiri atas garam selain NaCl
Sumber air panas dengan pH netral hingga basa terutama terletak di area gunung berapi yang masih aktif. Didaerah ini pH air rneningkat saat rpengalir ke permukaan karena melarutkan mineral terutama COz walaupun kadang-kadang terdapat H2S tetapi karena air melimpah, oksidasi belerang di permukaan tidak ada pengaruhnya terhadap pH. Di daerah
tersebut
pH
Hreggvidsson, 1995).
berada
dikisaran
9-10
(Kreistjansson
dan
Padang solfatara merupakan area geotermal dengan karakteristik kaya akan belerang, tanah asam, sumber air panas asam dan kubangan lumpur yang menggelegak.
Area tersebut terbentuk di daerah yang
bersuhu tinggi di lingkungan zona gunung berapi yang masih aktif dengan ciriciri suhu air dapat mencapai 150-350% pada kedalaman 500-3000m. serta pelepasan uap air dan gas-gas vulkanik ke permukaan tanah. Gasgas yang dilepaskan terutama adalah NZdan COz walaupun H2S dan H2 masing-masing dapat mencapai 10% dari total gas. Sedikit CH4, amonia dan CO juga sering dijumpai, karena asam lemah dari COz dan H2S pH uap air dibawah permukaan tanah ada di sekitar pH netral. Sedangkan di permukaan karena H2S teroksidasi secara kimiawi maupun biologis menjadi belerang kemudian menjadi asam sulfat maka pH air di permukaan tanah adalah disekitar pH 2,O-2.5 (Kreistjansson dan Stetter, 1992).
ldentifikasi Mikroba ldentifikasi dan klasifikasi suatu isolat mikroba yang dapat dikulturkan dilakukan
berdasarkan
sifat-sifat
morfologi,
pertumbuhan isolat yang bersangkutan.
fisiologi
dan
ekologi
Untuk mengklasifikasi suatu
isolat mikroba liar berdasarkan studi morfologi, fisiologi dan ekologi kadang-kadang masih dianggap kurang mencukupi. Klasifikasi mikroba hingga pada tingkat spesies dengan lebih akurat dilakukan identifikasi pada tingkat molekuler. Teknik-teknik yang telah dikembangkan adalah
metode yang berdasarkan pada analisis asam nukleat atau protein. Metode yang berdasarkan analisis profil DNA meliputi sidik jari plasmid, restriction endonuclease analysis (REA), restriction fragment length polymorphisms (RFLP), ribotyping, macrorestriction fragment length polymorphism (MFLP) dan schizotyping rnenggunakan pulsed field gel elecfrophoresis digunakan
(Suwanto, 1995).
Pemilihan
teknik yang akan
tergantung pada tujuan analisis. Resolusi relatif berbagai
macam teknik
analisis DNA untuk mengklasifikasi mikroba dari famifi
hingga strain telah dikornpilasi oleh Rademaker dan De Bruijn (1998) sebagaimana disajikan dalam Tabel 4.
Untuk mengklasifikasi isolat
mikroba liar hingga mengetahui strainnya antara lain dapat menggunakan teknik kombinasi antara RFLP-PFGE dan sekuensing gen 16s rRNA.
Tabel 4. Resolusi relatif beberapa teknik analisis DNA (Rademaker and De Bruijn, 1996)
Tingkat resolusi Teknik analisis DNA
Sekuensing DNA Sekuensing 76s rRNA ARDRA Reasosiasi DNA-DNA PCR-tRNA RFLP-PFGE Lisozim multilokus Profil ~ r o t e i n sel AFLP' RAPD-APPCR PCR-REP
Famili
Genus
Spesies
Sub spesies
Strain
ldentifikasi berdasarkan sekuen gen 16s rRNA.
Gen 16s rRNA terdapat pada semua bakteria dan mengandung sekuen yang sangat konservatif dan yang berevolusi dengan sangat cepat yaitu daerah yang sangat bervariasi.
Sekuen yang bervariasi
tersebut pada galur yang berbeda berevolusi dengan laju yang berbeda pula sehingga memberikan cukup informasi untuk rnenentukan kedekatan atau jauhnya hubungan filogenetik suatu organisme (Woese, 1987). Dilaporkan bahwa pada database 16s-rRNA terdapat lebih dari 400 sekuen yang didaftarkan yang meliputi lebih dari 1800 spesies (Bottger, 1996) yang sebagian besar adalah galur koleksi kultur (Amann et at,
7 995). Selain untuk mengidentifikasi mikroba yang dapat dikultur, telah banyak peneliti menggunakan sekuen 16s-rRNA untuk menganalisa keragaman mikroba yang belum dapat dikulturkan dari beberapa lokasi, antara lain di Laut Sargasso (Giovannoni eta/, 1990). Lautan Atlantik dan Pasific (Schmidt et a/, 1991 dan Fuhrman ef a/, 1993). Penggunaan lain dari pendekatan sekuen rRNA adalah untuk mengidentifikasi simbion mikrobial.
Simbion mikrobial dikenal sebagai
mikroorganismeyang tidak bisa dikultur yang hidupnya selalu berasosiasi dengan organisme lain yang dapat dikategorikan sebagai ekso atau endo simbiose obligat, fakultatif, mutualistik atau parasitik (Amann et a/, 1995). Sebagai organisme inang adalah invertebrata, serangga atau protozoa. Menggunakan pendekatan sekuen rRNA, beberapa sirnbion dapat
diketahui afiliasi filogenetiknya. Banyak penelitj telah melaporkan simbion dengan
inang
protozoa
serta
afiliasi
filogenetik
simbion
yang
bersangkutan, beber,apa diantaranya disajikan dalarn Tabel 5.
Tabel 5.
Simbion bakterial dan archaeal dari protozoa dianalisa dengan pendekatan rRNA (Amann et at,1995)
Simbion Holospora obfusa Caedibacter caryophilus Acanthamoeba Sarcobium castelanii lvficum Metopus Endosimbion contortus Methanogenic lnang Paramecium caudatum P. caudatum
Afiliasi a subclass
Acuan Amann et a/,
Proteobacteria
1991
a subclass
Springer et a/, 1993 Springer et a/, 1992 Embley et a/, 1 992
Proteobacteria y subclass Proteobacteria Methanobacteriales
Enzim termostabil. Enzim telah lama dimanfaatkan sebagai biokatalis. Penggunaan enzirn sebagai biokatalis reaksi dibatasi oleh suhu, tekanan, pH, kekuatan ion. Penemuan mikroba dari lingkungan ekstrim dengan enzim-enzim yang berfungsi pada kondisi yang ekstrim pula sesuai dengan habitatnya menyebabkan penggunaan enzim didalam kondisi yang lebih "keras". Salah satu tujuan utama eksplorasi organisme dari lingkungan ekstrim adalah untuk mengisolasi enzirn yang dihasilkan oleh mikroorganisme tersebut, baik dengan tujuan untuk mempelajari rnekanisme biokimia termostabilitasnya maupun potensi pemanfaatannya dalam bioteknologi modern. Berbagai macam enzim intraseluler maupun ekstraseluler telah diisolasi, dimurnikan dan dikarakterisasi struktur dan fungsinya (Cowan,
1992).
Ciri yang konststen diantara enzim-enzim yang tetah d~pelajari
adalah protein dari sumber termofilik pada umumnya lebih termostabil daripada protein yang berasal dari sumber mesofilik.
Cowan (1992)
menyatakan bahwa termostabilisasi protein dari organisme termofilik disebabkan ofeh optimasi berbagai faktor yang berperanan termasuk interaksi intrarnolekuler, densitas konformasi protein, penempatan residu hidrofobik dibagian dalam dan pemaparan residu hidrofilik ke permukaan molekul protein. Sejumlah mikroba
dari
habitat ekstrim termofilik diketemukan
merupakan penghasil enzim ektraseluler penghidrolisis polimer seperti pati, selulosa, hemiselutosa dan protein (Antranikian et. al, 1995). Substrat polimer terdapat melimpah di alam dan menyediakan sumber karbon dan energi terbarukan bagj berbagai mikroorganisme yang bertahan hidup di suhu tinggi.
Organisme yang bersangkutan mampu
memanfaatkan substrat polimer yang tersedia dengan memproduksi enzirn yang diperlukan. Beberapa peneliti telah mengisolasi dan menciri mikroba
serta
dihasilkannya
enzim dari
ekstraseluler
biotop
suhu
penghidrolisis
tinggi.
polimer
Mikroba penghasil
yang enzim
penghidrolisis pati antara lain Thermocorxus celer (Bragger et.al, 1989),
Pyroccus furiosus (Constantino et al, 1990, Brown et a/, 1993 dan Ladermann et.al, 1993a & b), Pyroccus woesei (Koch et al, 1991), Thermotoga litoralis (8rown dan Kelly, 1993) dan T. maritima (Schumann
et at, 1991).
Mikroba penghasil enzim penghidrolisis selulosa dan
hemiselulosa yang telah diisolasi antara lain Thermotoga sp FjSS3-B.l (Ruttersmith dan Daniels, 1991), Pyrococcus furiosus (Kengen et a/, 1993), Sulfolobus solfataricus (Grogan, 1991), Bacillus thermoleovorans
K-3d don 5. flavothermus LB3A (Sunna et al, 1997). Sedangkan rnikroba ekstrim dan hipertermofilik penghasil protease yang telah diisolasi dan dikarakterisasi antara lain Bacillus thermoproteolyticus (Endo, 1962), 5. caldolyticus (Heinen 8t Heinen, 1972), Desulfurococcus mucosus (Cowan et. a/, 1987), Sulfulobus acidocaldarius (Lin 8 Tang, 1990 dan Fusek ei a/, 1990) Pyrococcus furiosus (Eggen, et. a/, 1990 dan Connaris, et a/, 1991), P. woesei, (Klingeberg, et a/, 1991), Thermococcus celer, T.
stetteri, T. litoralis,
Thermococcus. AN 1,
Staphylothermus
marinus,
(Klingeberg, et a/, 1991), Thermoactinomycetes (Tsuchiya, et. a/, 1992), Fervidobacterium pennavorans (Friedrich & Antranikian, 1996).
Protease
Protease
sebagai
enzim
proteolitik
menghidrolisis ikatan peptida protein.
mempunyai
kemampuan
Protease merupakan kelompok
enzim yang mempunyai peranan sangat penting dalam metabolisme esensial dan fungsi pengaturan dalam makhluk hidup. Selain berperan dalam proses fisiologi antaia lain pengaktivan zimogen, pelepasan hormon
dan
transmembran
peptida sekresi
pertumbuhan dan
aktif
dari
protein,
migrasi
set,
prekursor
protein
katabolisme, penataan
serta
pembekuan
jaringan,
transfer darah,
pembangunan
morfogenesis, protease juga berperan dalarn proses patologi organisrne yang meliputi proses inflamasi, pertumbuhan tumor dan metastasis, (Rao et a/, 1998). Protease ekstraseluler berfungsi menghidrolisis makromolekul protein rnenjadi molekul lebih kecil dan asam amino sehingga akan lebih mudah diserap dan dimanfaatkan oleh sel sedangkan protease intraseluler berperan sangat penting dalam pengaturan rnetabolisme. Menurut Nomenclature Committee of the International Union of Biochemistry and Molecular Biology protease dipilahkan dalarn ketompok 3, sub kelompok 4 (E. C. 3. 4).
Struktur dan aktivitas protease yang
sangat beragam menyebabkan pemilahan enzirn ini tidak dapat mengikuti sistem pengelompokan enzirn yang berlaku umum.
Protease dipilah
berdasarkan tiga kriteria yaitu berdasarkan jenis reaksi yang dikatalisis , sifat kimiawi sisi katalitik dan hubungan evolusi struktur enzirn (Rao et a/, 1998). Berdasarkan letak ikatan polipeptida yang dihidrolisis, protease dibedakan menjadi eksoprotease dan endoprotease.
Eksoprotease
memecah protein dari ujung rantai polipeptida baik dari ujung amino atau karboksi substrat sehingga menghasilkan asam amino dan sisa peptida, sedangkan endoprotease memotong ikatan polipeptida protein pada bagian "dalam" sehingga menghasilkan sejurnlah peptida.
Kedua
golongan protease tersebut masing-masing dapat dipilah lebih lanjut berdasarkan spesifisitas substratnya.
Eksopeptidase yang rnernotong
rantai
polipeptida
dari
ujung
karboksilat bebas
disebut
sebagai
karboksipeptidase dan yang memotong dari ujung asam amino dikenal sebagai aminopeptidase.
Protease juga mampu menghidrolisis protein
yang pada ujung amino atau karboksi diganti dengan pteroil atau gugus asil,
protease
Penggolongan
ini
dikelompokkan
endopeptidase
sebagai
lebih
peptidase
kompleks
omega.
dibandingkan
eksopeptidase. Keunikan pemotongan endopeptidase sangat khas pada masing-masing
jenis
endopeptidase.
Sebagian
endopeptidase
memotong ikatan peptida berdasarkan jenis asam amino tertentu pada atau yang berdekatan dengan situs pemotongan, sebagian enzim memotong ikatan polipeptida secara acak (Ward, 1983). Berdasarkan komponen sisi aktifnya protease dipilah menjadi empat grup (Whitaker, 1972 & Rao et
at, 1998). Grup pertama yaitu protease
serin (E.C.3.4.16 dan E.C.3.4.21) yang memiliki residu serin pada sisi aktifnya.
Grup kedua adalah
protease sistein (E.C.3.4.18
dan
E.C.3.4.22) yang mempunyai gugus SH pada sisi aktifnya. Grup ketiga yaitu protease asam (E.C.3.4.23) yang memiliki residu asam aspartat pada sisi aktifnya. Grup terakhir adalah protease metal (E.C.3.4.17 dan E.C.3.4.24) yaitu yang aktivitasnya tergantung pada ikatan yang kuat pada kation divalen. Secara singkat Tabel 6 menyajikan pemilahan protease, model aktivitas dan nomor enzim menurut Komisi Enzim internasion&.
Tabel 6. Pemilahan protease (Rao et at, 1998)
Protease Eksopeptidase ~mino~e~tidase Dipeptidil peptidase Tripeptidil peptidase Karboksipeptidase Tipe serin Tipe metal Tipe sistein ~ e p t i d idipeptidase l Dipeptidase Omega peptidase
Model aktivitas
No. E.C
OiO-0-0-00-040-0-0a-0-040-0 -0-0-0-0-010
-0-0-0-040-a 04a
3.4.11 3.4.14 3.4.14 3.4.16-3.4.18 3.4.16 3.4.17 3.4.18 3.4.15 3.4.13
*-OtO-0-0-0-040-*
3.4.19 3.4.19
Endopeptidase Serin Sistein Aspartik Logam Endopeptidase yang tidak diketahui rnekanisme katalitiknya 0 residu asam amino dalam rantai polipeptida . . . (C asam amino terminal terminal yang diblok
*
Protease serin. Berdasarkan sisi pemotongan peptida, protease serin ierdapat dalam kelompok
eksopeptidae,
omegapeptidase.
endopeptidase,
oligopeptidase
dan
Protease jenjs ini banyak terdapat di berbagai
organisme termasuk virus, bakteri dan eukariot (Rao et a/, 1998) Berdasarkan kemiripan
strukturnya
Barett
(1994)
menggolongkan
kelompok protease serin menjadi 4 kerabat yang terdiri atas 20 famili. Keernpat kerabat yang tidak memiliki hubungan kekerabatan tersebut
adalah kerabat khimotripsin (SA), subtilisin (SB), cakboksipeptidase C (SC) dan Escherichia D-Ala-D -Ala peptidase A (SE). Protease kerabat SA, S B dan SC merniliki mekanisme reaksi yang sarna yaitu gugus tiga asam amino (triad) pada sisi aktifnya yang terdiri atas serin (nukfeofilik), aspartat (elektrofilik) dan histidin (basa), sedangkan protease SE tidak rnemiliki asam amino Mad tersebut pada sisi aktifnya. Mekanisme reaksi katalitik
protease
ini
melibatkan
proses
asilasi
dimana
terjadi
pembentukan ikatan kovalen antara enzim dan peptida sebagai reaksi antara yang berakibat dengan putusnya ikatan peptida kemudian diikuti oleh tahap selanjutnya yaitu proses deasilasi (Fastrez & Fersht, 1973). Aktivitas protease serin diharnbat oleh 3.4-dikhloroisokoumarin (3,4DCI), L-3-karboksitrans 2,3-epoksipropil-leusilamido (E-64), dipropilfluorofosfat (DFP), fenilrnetilsulfonilfluorid (PMSF) dan tosil-L-lisin khlorometil keton (TLCK) (Rao et at, 1998).
Protease sistein
Aktivitas katalitik protease ini tergantung pada dua gugus asam amino (dyad) pada sisi aktifnya yaitu sistein-histidin (Barett, 1994), Berdasarkan spesifisitas rantai samping secara umum protease sistein dikelompokkan menjadi ernpat golongan yaitu protease serupa papain dan yang serupa khimotripsin, kedua kelompok ini memotong protein pada residu arginin. Kelompok ketiga yaitu protease yang lebih suka memotong protein pada residu asam glutamat dan kelompok keempat rnerupakan kelompok diluar
ketiga kelompok tersebut diatas (Polgar, 1990).
Mekanisme reaksi
protease sistetn ini sangat mirip dengan reaksi katalitik protease serin (Rao et al, 1998). Aktivitas kelompok enzim ini dihambat oleh senyawa pkhloromerkuribenzoat (PCMB) tetapi tidak terpengaruh oleh PMSF atau senyawa pengikat logam.
Protease aspartat
Protease ini biasa dikenal sebagai protease asam dan termasuk golongan endopeptidase. Secara umum kelompok enzirn ini digolongkan menjadi tiga famili yaitu pepsin, retropepsin dan kelompok enzim asam aspartat dari pararetrovirus (Barett, 1995). Sedangkan protease aspartat yang berasal dari mikroba dikelompokkan menjadi dua yaitu protease aspartat serupa pepsin dan yang serupa renin. Residu asam aspartat pada sisi aktif kelompok pepsin tersusun sebagai Asp-Thr-Gly-Xaa, dimana Xaa dapat sebagai asam amino serin atau treonin, sedangkan untuk retropepsin adalah Ala (Sielecki et
a/,1991). Aktivitas protease
aspartat dihambat oleh pepstantin, diazoasetil-DL noleucine (DAN) dan dengan adanya ion Cu juga dihambat oleh 1,2epoksi-3-(p-nitrofernoksi) propan (EPNP) (Rao et a/,1998)
Protease logam
Untuk aktivitasnya enzim ini memerlukan ion logam bivalen. Diantara jenis protease yang ada, protease logam merupakan enzim yang paling
bervariasi (Barett. 1995). Ragam dan keberadaan enzim ini sangat luas dari organisme tinggi seperti kolagenase dari manusia (Hibbs et a/, 1985), carboksipeptidase A dari pankreas sapi (Fersht, 1985), racun bisa ular (Shannon et a/, 1989) sampai enzim yang berasal dari bakteri (Latt et a/, 1969) dan kapang Rao et a/(1998). Dari 30 famili metalloprotease yang telah diamati, 17 famili (MA) termasuk kelompok endopeptidase, 12 famili (MB) merupakan eksopeptidase dan hanya satu famili (M3) yang mempunyai aktivitas sebagai endo dan eksopeptidase.
Berdasarkan
pada susunan asam amino pada sisi pengikatan logam protease ini dibedakan menjadi dua kerabat yaitu MA dengan deret asam amino Histidin Glutamat-X-X-Histidin-Glutamat dan pada kerabat MB deret tersebut adalah Histidin Giutamat-X-X-Histidin-Histidin (Rao et a/, 1998). Penggolongan protease logam menurut spesifisitas aktivitasnya terdapat 4 grup yaitu netral, basa, Myxobacter I dan Myxobacter / I .
Kelompok
protease iogam netral spesifik memotong residu hidrofobik, sedangkan asam amino yang dipotong golongan basa spesifitasnya lebih banyak. Myxobacfer Ispesifik memofong residu asam amino kecil pada kedua sisi pemotongan sedangkan Myxobacter I1 spesifik memotong leusin pada ujung amino suatu peptida. Semua aktivitas protease logam dapat dihambat oleh senyawa pengikat logam seperti etiiin diamin tetra asetat (EDTA).
Protease termostabil
Beberapa mikroba termofilik baik yang termofilik moderat, ekstrim dan
hipertermofilik ditemukan memproduksi protease ekstraseluler
dengan suhu aktivitas setara dengan suhu habitatnya. diantaranya tersaji dalam
Tabel
7.
Mikroba termofilik
yang
telah
lama
diketahui
menghasilkan protease termostabil dan dipelajari secara mendalam adalah Bacillus stearothermophilus yang menghasilkan protease logam netrat.
Spesies Bacillus penghasil protease logam netral yang paling
tinggi stabilitasnya terhadap panas dan sejak ditemukan oleh Endo (1962) dipelajari
dengan
intensif
adalah
B.
thermoproteolyticus
menghasifkan protease sejenis yang disebut termolisin.
yang
Rentang suhu
aktivitas enzim ini cukup lebar yaitu antara suhu 25°C-80 O C (Endo, 1962) dan aktivitas optimum pada suhu 77% dan pH sekitar netral (Cowan, 1992). Enzim termolisin tergolong endopeptidase dan tiap molekul enzim memifiki satu atom
seng
yang
katalitiknya (Latt et al, 1969).
sangat
berperan dalam aktivitas
Tiap molekul termofisin merniliki empat
atom kalsium yang berperan pada stabilitasnya pada suhu tinggi tetapi ion tersebut tidak berperan pada aktivitas katalitik enzim (Feder, et at, 1971). Protease netral logam Zn termofilik lainnya adalah kaldolisin yang dihasilkan oleh B. caldolyticus (Heinen & Heinen, 1972) atau oleh Thermos aquaticus T-351 yang memiliki 6 atom Ca tiap molekul enzim (Steel & Walker, 1991)
Tabel 7. Protease ekstrim dan hipertermofilik
Mikroba
Nama & Jenis Protease B. thermoproteolVticus Termolisin-logam netral B. caldol$icus ~aldolisin-logamnetral Thermus aquaticus Aqualisin I-serin alkali Aqualisin Il-logamnetral Serin Desulfurococcus mucosus 6.stearothermophilus MK232 Logam netral Pyrococcus furiosus Pirolisin-serin Termopsin-asam Sulfolobus acidocaldarius Thermus so Rt41A Serin-alkalin
pH Suhu Aktivitasl Aktifitas Acuan Optirn~rn(~C) Optimum 77 7.0 Endo et a/. 1969 7,O Heinen & ~einen,1972 10,4 Matsuzawa, etal, 1983 7,o 7,2 Cowan et al, 1987 7,5 Kubo, etal, 1988 6,5-10,5 Eggen, et a/, 1990 2 Lin & Tang, 1990 8 Peek, et a/, 1992
Protease termolisin tersusun atas rantai polipeptida tunggal dengan berat molekul 34.600 D (Holmes dan Matthews. 1982). Beberapa spesies bakteri dari genus Bacilli dari kelompok mesofilik dan termofilik memproduksi protease logam ekstraseluler netral dengan kofaktor Zn yang homolog tetapi dengan kestabilan panas berbeda.
Eijsink ef at, (1993) melaporkan
homologi dan kestabilan panas beberapa protease netral logarn dari spesies Bacillus sebagaimana terlihat pada Tabel 8. Kestabilan panas enzim diukur berdasarkan nilai
T50
yaitu suhu inkubasi yang menyebabkan aktivitas sisa
enzim tinggal 50% setelah inkubasi selama 30 menit.
Tabel 8. Homologi dan kestabilan panas protease netral dari spesies Bacillus (Eijsink et al, 1993)
Spesies Bacillus
Nama Enzim
ldentik (Oh)
6.fhermopmfeolyticus 6.caldolyficus 6. steamfhennohilus 6.cereus 6. subfilis 6. amyloliquefaciens
Terrnolisin Caldolisin NP-ste NP-cer NP-cub NP-amy
100 86 85 73 47 47
Tso
("C) 82,O 76,7 68,5 60,O 55,3 55,O
Sejak sekuen asam amino protein termolisin diketahui dan dibuat model tiga dimensinya (Matthews ef a/, 1972), perbedaan kestabilan panas yang relatif besar antara protease sejenis yang dihasilkan oleh spesies Bacilli tersebut telah dipelajari oleh beberapa peneliti. Model struktur tiga dirnensi
dari sekuen residu asam amino, dan sifat kestabilan panas termolisin digunakan sebagai acuan untuk mempelajari hubungan kestabilan pgnas dengan struktur protein serta jenis asam amino penyusun protease logam netraf dari B. stearothemophilus dan enzim sejenis yang termolabil yang diproduksi oleh spesies Bacillus dengan metode mutagenesis lokasi terarah. Menurut Eijsink et a1 (1993) diantara protease logam netral yang diproduksi oleh keluarga Bacilli, termolisin adalah protease yang memiliki kestabilan panas paling tinggi.
Semua protease logarn netral dari keluarga Bacilli
memiliki satu atom seng yang terikat pada sisi aktifnya dan juga mengikat ion kalsium dalam jumlah bervariasi dari 2 4 atom tiap molekul enzirn yang berperan pada kestabilan panasnya (Matthews, et al, 1974; Dahlquist et a/, 1976 serta Roche dan Voordouw, 1978). Menurut Matthews et a1 (1974)
termolisin dan protease logam netral serupa termolisin tersusun atas rantai polipeptida tunggal sebanyak 300316 residu asam amino yang membentuk dua ranah yaitu ranah ujung N (residu asam amino 1-154) terutama merupakan B l e a t e d sheet dan ujung C (residu 1 5 5 3 1 6 ) yang terutama tersusun atas a-helix . Kedua ranah tersebut dihubungkan oleh rantai asam amino berbentuk a-helix (residu asam amino 136-152) dan beberapa residu didaerah ini penting dalarn aksi katalitik.
Secara keseluruhan, pelipatan
protein semua protease serupa termolisin adalah serupa dan semua residu yang terlibat dalam katalisis dan pengikatan logam terkonservasi. Diantara
genus Bacillus yang memproduksi protease logam netral, sekuen asam amino enzim yang dihasilkan oleh B. stearothennophilus adalah yang paling identjk (85%) dengan sekuen asam amino termolisin (Eijsink et al, 1993). Asam amino penyusun protease serupa termolisin dari 6 . sfeamfhennophilus bertieda pada 44 posisi dengan termolisin (Eijsink et al, 1993) sehingga studi tentang
hubungan
kestabilan
panas
dan
struktur
protein
banyak
menggunakan protease serupa termolisin dari 6.steamfhemophilus (Vriend
et al, 1991; Eijsink et al, 1992a; Eijsink et a/, 1992b; Eijsink et a\, 1992c; Eijsink et a/, 1993; Hardy et al, 1993, Van den Burg et a/., 1994. Eijsink et a/, 1995, Veltman et a/, 1996 dan Veltman ef a/, 1998). Mutasi terarah didaerah ujung C hanya sedikit berpengaruh temadap kestabilan panas enzim dibandingkan rnutasi didaerah ujung N (Eijsink et at, 1995).
Percobaan mutasi pada daerah ranah ujung C protease netral 13.
steamthennophilus dilakukan oleh Eijsink et a/ (1992a) rnenggunakan model tiga dirnensi sekuen asam amino termolisin sebagai acuan. Mutasi dilakukan pada daerah sekiiar sekuen residu asam amino Phe267 yaitu pusat hidrofobik didaerah ranah ujung C tidak banyak berpengaruh temadap kestabilan panas enzim yang dihasilkan.
Penelitian Eijsink et a1 (1992b)
yang lain juga membuktikan bahwa mutasi daerah ujung C protease serupa termolisin hanya sedikit mempenga~hikestabilan panasnya yaitu dengan mengubah interaksi antara sub ranah tengah (penghubung antara sub ranah
ujung N dan ujung C) dan ujung C melalui mutasi residu asam amino sekuen 315 yang berperan dalam kontak hidrofobik diantara kedua sub ranah tersebut. Pada suhu sangat tinggi protease serupa termolisin menjadi tak akti tidak dapat
balik
karena
ofolisis
konformasinya daripada
yang
karena
lebih
disebabkan
karakteristik sekuen
(Fontana, 1988 serta Vriend dan Eijsink, 1993).
karena asam
bentuk
arninonya
Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa laju inaktivasi panas protease serupa termolisin dikendalikan oleh proses partial unfolding yang menyebabkan molekul protease tersebut rentan terhadap otolisis.
Hal tersebut dibuktikan antara
lain oleh perwbaan Hardy et a1 (1993). Van den Burg e t a ! (1994) dan Eijsink
et a1 (1995) dengan menggunakan model tiga dirnensi berdasarkan sekuen asam amino termolisin, mutasi dilakukan pada lokasi residu asam amino dipermukaan terutama di daerah ranah ujung N yaitu sekuen 6 3 6 9 pada protease netral B. steamtemophilus temyata meningkatkan kestabilan panas enzim. Daerah tersebut m e ~ p a k a n daerah pemukaan yang terpapar pelarut yang mengalami unfolding awal.
Sedangkan mutasi pada pusat
residu asam amino hidrofobik yang letaknya tersembunyi tidak banyak berpengaruh.
Hardy et
a/ (1993) meningkatan kestabilan panas protease
netral 6.steamfemophilus dengan mutasi mengganti residu asam amino 6369 dengan residu
Pro dengan maksud membuat daerah tersebut rnenjadi
tidak fleksibel sehingga tidak mudah mengalami unfolding dengan dernikian tidak mudah mengalami otolisis. Percobaan lain yang menunjukkan bahwa daerah ranah ujung N sangat berperan dalam kestabilan panas termolisin dilakukan oleh Van den Burg et a/, (1994) yaitu dilakukan dengan mutasi mengganti residu asam amino 63 dengan asam amino hidrofobik juga meningkatkan
kestabilan
sfearothemophilus.
panas
protease
serupa
ternlolisin
dari
6.
Percobaan Eijsink et a1 (1995) membuktikan bahwa
kestabilan eksfrim termolisin dibandingkan dengan kestabilan protease serupa termolisin dari 6.stearothemophilus disebabkan oleh perbedaan beberapa residu asam amino di daerah N dan yang paling genting adalah asarn amino Phe pada posisi 63 dan asam amino Pro pada posisi 69. Berdasarkan
percobaan-percobaan
yang
telah
dilakukan
untuk
mengetahui faktor-faktor yang berperan dalam kestabilan panas termolisin termasuk peranan ion kalsium, beberapa peneliti mencoba mengkonstruksi enzim termostabil moderat rnenjadi temostabil hiper dan tidak tergantung pada ion kalsium. Eijsink et a1 (1995) dan Van den Burg et a1 (1998) berhasil merekayasa
enzim
termostabil
hiper
dari
protease
netral
8.
steamfemophilus dengan cara rnutasi lokasi terarah pada daerah yang mengalami otolisis. Mutasi difakukan dengan mengganti residu asarn amino pada protease enzirn kurang termostabif pada posisi ekivalen dengan residu asam amino yang secara alami terdapat pada enzim yang lebih termostabil.
Enzim rnutan yang dihasilkan oleh Eijsink et a1 (1995) menjadi enam kali lebih stabil dengan umur paruhnya rneningkat lebih seratus kali pada 90%. Sedangkan enzim rnutan Veltman et a1 (1997) rnenjadi delapan kali lebih stabil dibandingkan enzim semula dan dengan adanya pereaksi denaturasi tetap berfungsi pada suhu 100°C. Kestabilan panas terrnolisin sangat tergantung pada keberadaan ion kalsium.
Menurut Veltrnan et al(1998) termolisin rnemiliki empat atom
kalsium per rnolekul enzim.
Sepasang ion yang disebut sisi pengikatan
kalsium ganda (Ca1.2) terletak didekat sisi a k t i seng, Kalsiurn 3 (Ca3) terletak pada permukaan ranah ujung N dan Kalsium 4 (Ca4) terikat pada lokasi permukaan lekukan tipe w pada daerah ranah ujung C.
Oiantara
empat atom kalsium pada tiap rnolekul enzirn hanya ada satu ion kalsium yang berperan pada kestabilan panasnya yaitu Ca3.
Dengan rnelakukan
rnutasi residu asam amino protease serupa terrnolisin pada daerah lingkungan pengikatan Ca3 dengan residu asam amino setara dengan yang ada pada termolisin Veltman et a1 (?997) rnerekayasa protease serupa termolisin dari 6. steamthermophilus menjadi enzirn mutan yang hanya sedikit tergantung pada ion kalsium.
Pernurnian Protease
Dalam mempelajari ciri fisis dan biobgis suatu enzim untuk memperoleh data yang lebih akurat biasanya diperlukan proses pemumian. Teknik dan tingkat pemurnian yang dilakukan tergantung pada sifat enzim yang akan diamati. enzim,
Pemum~anhingga 100 % diperlukan untuk pengamatan struktur tetapi tidak demikian halnya apabila akan mempelajari aktjvitas
biologinya (Wilson, 1994). Oleh karena itu dalam pelaksanaan pemurnian harus mempertimbangkan untuk mempertahankan fungsi biologis enzim dengan cara mencegah terjadinya proses denaturasi dan pentakaktivan. Jumlah enzim mumi yang harus diperoleh juga akan mempengaruhi teknik pemumian yang akan dipilih. Untuk memperoleh enzim dalam jumlah besar, biasanya dilakukan pengendapan atau kromatografi adsorpsi sebagai proses awal pemurnian. Walaupun tidak ada urutan tahap pemumian yang baku yang hams diikuti tetapi secara garis besar proses pemumian terdiri atas tiga tahap yaitu tahap awal atau ekstraksi enzim dari bahan dasar, tahap antara dan tahap akhir atau final. antara
Ada beberapa metode yang biasa dilakukan pada tahal awal
lain dengan cara klarifikasi dengan pernusingan, mikrofiltrasi,
ultrafiltrasi, pengendapan atau ekstraksi fase cair-cair.
Metode yang
digunakan pada tahap antara atau tahap fraksinasi adalah kromatografi. Sedangkan metode yang digunakan pada tahap final tergantung pada tujuan
pemanfaatan enzim yang dimumikan. Metode yang digunakan antara lain adalah kmmatografi filtrasi gel diikuti dengan proses pemekatan dengan liofilisasi, atau kromatografi adsorpsi atau revelse phase kromatografi (Hams, 1989).
Ekstraksi Enzirn Metode ekstraksi yang digunakan tergantung pada sumber dan lokasi enzim apakah rnerupakan enzim intra atau ekstraseluler. Ekstraksi enzim mikroba ekstraseluler biasanya cukup dilakukan dengan cara pemusingan larutan ferrnentasi, tetapi untuk mengekstraksi enzim intraseluler perlu perlakuan khusus yang jenisnya selain tergantung pada jenis mikroba juga pada lokasi enzim dalarn sel (Hams, 1989). Menurut Ersson et a1 (1998) masalah utama dalarn ekstraksi protein enzirn adalah tejadinya denaturasi, kontaminasi enzim oleh pirogen dan asam nukleat serta proteolisis.
Hal
tersebut bisa diatasi dengan pemilihan media ekstraksi atau larutan penyangga yang tepat dan dengan perlakuan penyiapan sesingkatsingkatnya serta penerapan suhu rendah.
Untuk menentukan komposisi
media ekstraksi yang tepat pellu dilakukan studi kondisi yang menunjang kestabilan ekstrak enzim dan pefepasan enzirn dari sel yang seefisien mungkin. Dasar-dasar pertimbangan dalam penentuan larutan penyangga pada umumnya antara lain adalah pH, jenis larutan garam penyangga
(anionik atau kationik), variasi pH dengan kekuatan ion atau suhu, reaktivitas, pengaruhnya terhadap aktivitas biologi protein yang dikehendaki, kelarutan, pengaruh deterjen atau senyawa khaotropik, pereduksi, pengikat, penghambat proteolitik dan bakteriostatik (Hams, 1989 dan Ersson et a/, 1998). Dalam mengekstraksi enzim protease ekstraseluler tidak semua faktor tersebut diatas rnerupakan faktor genting, tergantung pada jenis protease yang diekstraksi. berpengaruh
Untuk protease logam, tambahan ion logam yang paling
terhadap
kestabilan
enzim
yang
diekstrak
perlu
dipertimbangkan. Mengingat enzim tennostabil biasanya hanya sedikit atau tidak tet-penga~hpada perubahan suhu ambien maka ekstraksi bisa dilakukan pada suhu kamar.
Pemekatan enzim Seringkali sebelum proses pemumian dilakukan perlu pula dilakukan pemekatan larutan enzim. Hal ini terutarna penting untuk pemumian protein dari bakteri atau kultur jaringan (Hams, 1989). Pemekatan prdtein dilakukan dengan cara pengendapan, ekstraksi dan pemusingan. Pengendapan dilakukan dengan cara menambahkan garam, pelarut organik atau polimer organik atau dengan cara perlakuan variasi pH atau suhu larutan yang diekstraksi (Hams, 1989 dan Ersson et a / , 1998). Pelarut
organik seperti aseton dan etanol menyebabkan pengendapan protein dengan cara menurunkan aktivitas airnya dalam larutan karena air digantikan oleh pelarut yang bersangkutan. Dalam penggunaan pelarut organik peubah yang harus diperhatikan adatah konsentrasi pelarut, protein, pH, kekuatan ion dan suhu (Harris, 1989). Polimer organik dalam proses pengendapan bertindak serupa dengan pelarut organik.
Polimer yang paling sering
digunakan adalah polietilen glikol dengan berat molekul berkisar antara 6.000
- 20.000 (Ersson et a/,1998).
Kelebihan utama penggunaan polietilen
glikol dibandingkan dengan pelarut organik adalah karena lebih mudah penanganannya, tidak mudah terbakar, tidak beracun, tidak bermuatan dan lebih murah. Oleh karena polimer organik tidak bermuatan sehingga setelah pengenceran dengan larutan penyangga endapan bisa langsung dialirkan ke kolom kromatografi penukar ion.
Jenis garam dan polimer yang biasa
digunakan untuk pengendapan protein disajikan pada Tabel. 9 sebagai berikut: Tabe 9. Senyawa untuk pengendapan protein (Ersson et a/, 1998) Bahan Amonium sulfat Natrium sulfat Etanol Aseton Polietilen gli kol
Tipe Garam Garam Pelarut Pelarut Polimer
Sifat Mudah larut, penstabil Mudah terbakar, risiko denaturasi Mudah terbakar, risiko denaturasi Tidak mudah terbakar, tidak bermuatan
Untuk memperoleh endapan yang mengandung protein Fang dikehendaki dapat dilakukan dengan cara pemusingan. Prosedur tersebut juga digunakan untuk memisahkan larutan fase immiscible (Whittington, 1989).
Fraksinasi Fraksinasi enzim adalah suatu proses pemumian memisahkan protein enzim dari protein lainnya yang terdapat dalam ekstrak kasar enzim. Sebelum menentukan prosedur proses pemumian enzim, perlu d~lakukan pengumpulan informasi karakteristik enzim yang akan dimumikan sebanyak mungkin. lnformasi yang diperlukan antara lain perkiraan bobot molekul, pl, derajat hidrofobisitas dan adanya gugus sulfhidril.
Data tersebut bisa
diperoleh dengan percobaan menggunakan ekstrak kasar enzim. Data lain yang harus diperhatikan adalah yang mempengaruhi kestabilan enzim selama proses pemumian. Parameter yang mempengaruhi struktur protein antara lain, suhu, pH, pelarut organik, oksigen, logam berat dan gesekan mekanis (Ersson et a/,1998). Metode fraksinasi yang dipifih tergantung pada penggunaan protein yang dimumikan selanjutnya.
Beberapa metode yang bisa dipilih antara lain
elektroforesis, kolom kromatografi atau expanded bed adsorptiom. Kromatografi kolom merupakan teknik yang sangat efisien dalam pemisahan protein dalam ekstrak biologis. Jenis metode kromatografi yang
digunakan tergantung pada tujuan karakter fraksi protein yang difraksinasi sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 10.
Tabel 10. Metode kromatografi untuk fraksinasi protein (Ersson et at, 1998) Sifat protein Ukuran dan bentuk Muatan net0 & distribusi grup bermuatan Titik isoelektris Hidrofobisitas Pengikatan logam Kandungan tiol yang terbuka Afinitas biospesifik terhadap ligan, inhibitor, reseptor, antibodi dsb
Jenis kromatografi Filtrasi gel Penukar ion Kromatofokusing lnteraksi hidrofobik dan fase batik Afinitas ion logarn terimobilisasi Kovalen Afinitas
Beberapa peneliti telah rnemurnikan protease yang dihasilkan oleh mikroba termofilik ekstrim dan hiper.
Pemilihan jenis proses pemumian
protease termofilik yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti tergantung pada jenis protease yang dimumikan. Tabel 11 menyajikan beberapa jenis protease yang telah berhasil dimurnikan dan metode ekstraksi dan pemumian yang digunakan
Tabel 11. Metode ekstraksi & pemurnian protease termofilik Mikroba
Jenis protease
Desulfurococcus mucosus
Serin
Thermococcus stefferi
Serin
Thermus aquaticus
Serin
Sulfolobus acidocaldarius
Asam
Bacillus strearothermophillus Thermus sp. Rt41A
Logam netral alkalin
Metode ekstraksi & pemurnian CM-sepharose Hidroksiapatit UFcross flow dialisis SDSIPAGE Presipitasi (NH4)2S04 DEAE-selulosa CM-selulosa (gradien pH) SDSIPAGE DEAE-sepharose Fenil-sepharose Sepharose G-100 FPLC & HPLC Membran UF IOPs Membran UF lOOPs Presipitasi aseton Presipitasi (NH4)2S04 Membran UF PMlO Fast Flow S-sepharose FPLC Mono S10110 Diafiltrasi
Acuan Cowan et al, 1987 Klingeberg et a/, 1995 Matsuzawa et a/, 1988
Lin & Tang, 1990
Kubo et a/, 1988 Peek et a1 1992