BAB II BAKTERI TERMOFILIK AMILOLITIK PADA SUMBER MATA AIR PANAS
A. Bakteri Termofilik Istilah termofilik digunakan pertama kali oleh Miquel pada tahun 1879, yaitu untuk mendeskripsikan organisme yang mampu hidup pada suhu tinggi (Morrison dan Tanner, 1921). Menurut kamus Henderson’s Dictionary of Biology (Lawrence, 2005), termofil adalah organisme yang memiliki suhu optimum pertumbuhan antara 45 - 80°C. Studi mengenai bakteri termofilik telah dilakukan oleh T.D Brock sejak tahun 1970-an di Yellowstone National Park (Brock et al., 1971). Organisme termofilik terbagi dalam dua domain filogenetik yang sangat berbeda, yaitu Bakteria dan Archaea (Holden, 2009). Bakteri termofilik akan hidup dominan pada habitat dengan kisaran suhu 50 - 90°C, sedangkan habitat dengan suhu lebih dari 80°C akan didominasi oleh Archaea. Bakteri termofilik dapat bersifat aerob, anaerob, organotrof maupun litotrof. Organisme prokariotik termofilik dapat diklasifikasikan berdasarkan suhu optimum pertumbuhannya, (Aragno, 1992 dalam Vèsteinsdòttir, 2008) yaitu: 1.
Fakultatif termofilik, mampu hidup pada rentang suhu mesofilik (< 45°C).
2.
Thermotolerant, memiliki Top sebesar 45°C, namun masih mampu hidup hingga > 45°C.
7
8
3.
Moderate termofilik, memiliki Top sebesar 45 - 60°C.
4.
Strict termofilik, memiliki Top sebesar 60 - 90°C.
5.
Ekstrem termofilik, memiliki Top sebesar > 90°C.
Gambar 2.1. Pohon Filogenetik Bakteri (Sumber: Lebedinsky, Chernyh, dan Bonch-Osmolovskaya 2007: 1306).
Saat ini telah dikembangkan pohon filogenetik bakteri, yang dibuat berdasarkan analisis gen 16S rRNA (Gambar 2.1). Seluruh anggota Filum Aquificae, Dictyoglomi, dan Thermotogae merupakan bakteri termofilik dan ditandai dengan kotak yang berwarna abu - abu. Filum yang berada di dalam kotak yang berwarna putih menandakan bahwa hanya sebagian dari anggota filum tersebut yang merupakan bakteri termofilik, yaitu terdiri dari Filum
9
Proteobacteria, Bacteroidetes, Spirochaetes, Deferribacteres, Nitrospirae, Cyanobacteria, Actinobacteria, Firmicutes, Chloroflexi, dan DeinococcusThermus. Filum Aquificae bersifat ekstrem termofilik, aerob maupun anaerob, dan litoautotrof. Filum Termotogae merupakan organisme termofilik yang hidup pada kedalaman lebih dari 2000 meter di bawah permukaan tanah dan bersifat organotrof. Filum Dictyoglomi dapat melakukan fermentasi dan hidup pada hydrothermal vents yang berada di dasar laut. Filum Cyanobacteria, Actinobacteria, dan Bacteroidetes mampu membentuk lapisan (mat) pada sumber air panas yang memiliki suhu antara 40 - 70°C. Filum Firmicutes dan Deferribacteres umumnya bersifat termofilik anaerob. Filum Proteobacteria terbagi menjadi lima kelas (α, β, γ, δ, ε) serta bersifat moderate termofilik. Filum Spirochaetes memiliki struktur unik yang disebut spirochetes dan hidup pada lingkungan dengan pH basa (Garrity et al., 1984; Lebedinsky, Chernyh, dan Bonch-Osmolovskaya, 2007; Holden, 2009). Bakteri termofilik harus mengembangkan suatu mekanisme tertentu untuk dapat beradaptasi pada habitatnya yang ekstrem, khususnya terkait dengan suhu tinggi. Suhu merupakan salah satu parameter lingkungan yang paling relevan berdampak pada sisi fisiologis maupun ekologis setiap organisme, tidak terkecuali bakteri. Rezende (2009) melakukan ekperimen mengenai pola pembentukan koloni dan kemampuan termotaksis pada isolat bakteri termofilik dan mesofilik, yaitu dengan menggunakan gradien suhu. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa Bacillus licheniformis
10
memperlihatkan adanya indikasi kemampuan termotaksis. Hal ini merupakan bukti bahwa mikroorganisme pun mampu “merasakan” dan merespon perubahan suhu pada tingkat tertentu. Pengaruh suhu tidak hanya terjadi dalam tahapan fisiologis saja, tetapi akan berpengaruh pula pada tingkatan molekuler maupun struktur biologis. Bakteri termofilik diketahui memiliki membran sel yang unik, yaitu tersusun atas lipid dalam bentuk asam lemak dengan rantai karbon yang panjang dan termetilasi (Lasa dan Berenguer, 1993). Membran sel pada bakteri termofilik tersusun atas fosfolipid yang terdiri dari asam lemak jenuh, dengan titik lebur yang tinggi sehingga dapat tetap mempertahankan fluiditas dan permeabilitas membran pada suhu ekstrem. Mekanisme termostabilitas lainnya yaitu melalui induksi heat shock protein (Abou-Shanab, 2007), pembentukan salt bridges dan peningkatan jumlah ikatan hidrogen (Kumar dan Nussinov, 2001), serta aktivitas reverse gyrase (Perugino et al., 2009). Salt bridge dan ikatan hidrogen dapat menstabilkan energi elektrostatik molekul sehingga dapat menjaga stabilitas protein. Enzim reverse gyrase dapat menginduksi terjadinya supercoiling positif pada molekul DNA dan mempengaruhi mekanisme perbaikan melalui pelapisan protein tertentu pada daerah yang rusak.
11
B. Enzim Amilase Amilase merupakan enzim yang dapat mengkatalis proses hidrolisis ikatan glikosidik yang terdapat pada amilum (Smith, 2000). Amilum terdiri dari dua macam polisakarida, yaitu amilosa dan amilopektin (Saunders, 2003). Amilosa disusun oleh unit - unit D-glukosa yang terikat melalui ikatan α-1,4-glikosidik, sehingga membentuk rantai terbuka yang tidak bercabang. Amilopektin berbeda halnya dengan amilosa, karena polisakarida ini selain memiliki ikatan α-1,4-glikosidik pada unit D-glukosa penyusunnya, juga memiliki cabang ikatan α-1,6-glikosidik. Struktur tersebut menyebabkan amilopektin berbentuk rantai terbuka dan bercabang. Struktur amilosa dan amilopektin penyusun amilum dapat dilihat pada Gambar 2.3. Enzim amilase dapat dikelompokan berdasarkan mekanisme aksi serta lokasi pemutusan ikatan glikosidik yang dimiliki amilum (Koivula, 1996). Endoamilase seperti α-amilase dapat menghidrolisis ikatan α-1,4-glikosidik secara acak pada bagian dalam struktur amilum, sehingga menghasilkan oligosakarida yang linier dan bercabang (α-limit dextrin). Enzim ini dapat ditemukan pada berbagai mikroorganisme, baik itu bakteri maupun Archaea (Van der Maarel et al., 2002). β-amilase, glukoamilase dan α-glukosidase termasuk dalam jenis enzim eksoamilase. β-amilase dapat memotong ikatan α-1,4-glikosidik, sedangkan glukoamilase dan α-glukosidase dapat memotong baik itu ikatan α-1,4-glikosidik maupun ikatan α-1,6-glikosidik. Eksoamilase akan bekerja pada bagian luar amilosa atau amilopektin, yaitu pada bagian reducing end. Tipe ketiga adalah debranching enzymes yang terdiri dari
12
isoamilase, pullulanase I, dan pullulanase II. Anggota enzim amilase lainnya, yaitu siklodextrin glikosiltransferase bahkan memiliki kemampuan unik yang dapat membentuk oligosakarida sirkuler. Kompleksitas struktur amilum menyebabkan berbagai enzim tersebut dibutuhkan untuk dapat menghidrolisis amilum (Gambar 2.2).
Gambar 2.2. Mekanisme Aksi Enzim Amilolitik (Sumber: Bertoldo dan Antranikian, 2002)
13
A
B
Gambar 2.3. Struktur Amilosa (A) dan Amilopektin (B) (Sumber: Saunders, 2003: 2-3)
C. Sumber Mata Air Panas Area panas bumi terbagi menjadi dua kategori berdasarkan suhu yang dimilikinya, yaitu area bersuhu tinggi dan rendah (Kristjansson dan Alfredsson, 1992 dalam Vèsteinsdòttir 2008). Area bersuhu tinggi berada di sekitar aktifitas vulkanik aktif dengan suhu lebih dari 200°C pada kedalaman 1000 meter di bawah permukaan tanah. Area ini umumnya ditandai dengan adanya fumarol dan memiliki kandungan sulfur (S) yang tinggi. Area bersuhu rendah berada di luar aktifitas vulkanik aktif. Suhu di area ini kurang dari 150°C pada kedalaman 1000 meter di bawah permukaan tanah. Karakteristik dari area panas bumi bersuhu rendah adalah adanya kolam dan mata air panas dengan suhu 20 - 100°C.
14
Suhu pada mata air panas umumnya bersifat konstan setiap tahunnya, dengan variasi sebesar 1 - 2°C. Variasi antara mata air panas yang satu dengan yang lainnya sangat beragam yaitu mulai dari 20°C hingga 100°C, yang dipengaruhi oleh perbedaan lokasi dan tekanan. Area panas bumi merupakan habitat yang cocok bagi organisme termofilik, termasuk bakteri. Area ini memiliki darajat keasaman (pH), komposisi gas, mineral, dan nutrisi yang bervariasi. Variasi berbagai parameter tersebut menyebabkan hadirnya keanekaragaman genetik dan metabolisme setiap mikroorganisme yang hidup didalamnya (Amend dan Shock, 2001). Data dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat (2006) menyatakan bahwa daerah Gunung Darajat memiliki luas wilayah sebesar 14,13 km2. Daerah ini secara administratif berada di dua wilayah Kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung (Kecamatan Pangalengan dan Kecamatan Kertasari) dan Kabupaten Garut (Kecamatan Talegong, Kecamatan Bungbulang, dan Kecamatan Cisewu). Manifestasi panas bumi di daerah ini termasuk dalam tipe immature waters, yaitu berdasarkan kandungan relatif sulfat (SO4) dan bikarbonat (HCO3) yang dimilikinya (Herdianita dan Priadi, 2007). Saat ini pemanfaatan mata air panas di daerah Gunung Darajat hanyalah sebagai objek pariwisata pemandian saja yang masih dalam tahap pengembangan. Daerah Ciengang secara administratif termasuk ke dalam Kecamatan Tarogong Kaler, yang berbatasan dengan Kecamatan Leles, Samarang, Banyuresmi, dan Tarogong Kidul (Kecamatan Tarogong Kaler, 2009). Luas
15
wilayah kecamatan tersebut adalah 5.057 Ha dan berjarak sekitar 4 km dari Ibukota Kabupaten Garut. Daerah ini terletak pada 500 - 1000 meter dari permukaan laut. Mata air panas Ciengang berasal dari Gunung Guntur dan disana belum pernah dilakukan penelitian terkait dengan kandungan kimiawi airnya. Mata air panas ini telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai objek pariwisata pemandian air panas.
D. Identifikasi Bakteri Secara Fenotipik (Cultivation-dependent Methods) Studi mengenai keanekaragaman dan identifikasi mikroorganisme telah dilakukan secara konvensional melalui observasi parameter fenotip setiap jenis mikroorganisme, yang didapatkan melalui pengkayaan dan pembuatan kultur murni isolat. Identifikasi mikroorganisme sangat diperlukan untuk menyeleksi dan mengisolasi spesies yang dibutuhkan oleh berbagai industri, hingga menetukan mikroorganisme patogen penyebab penyakit tertentu. Medium dan berbagai kondisi inkubasi yang bersifat selektif untuk mikroorganisme tertentu digunakan untuk mengkultur organisme yang menjadi objek studi, sehingga metode ini dapat disebut sebagai cultivationdependent methods (Hobel, 2004). Mikroorganisme memiliki karakteristik biokimia tertentu yang dapat digunakan sebagai penanda atau pembeda dalam proses identifikasi (Cappucino dan Sherman, 1986). Karakteristik tersebut dikendalikan oleh aktivitas enzimatik yang bertanggung jawab dalam pembentukan energi, biosintesis, dan biodegradasi di dalam sel. Transformasi biokimia merupakan
16
dasar bagi metabolisme seluler dan terkait dengan enzim sebagai biokatalisnya. Enzim yang terlibat dalam metabolisme seluler dapat dikelompokan menjadi eksoenzim dan endoenzim (Gambar 2.4). Produk hasil
metabolisme
yang
terbentuk
tidak
hanya
bertujuan
untuk
mengidentifikasi enzim tertentu saja, namun dapat pula digunakan untuk mengidentifikasi, memisahkan, dan mengklasifikasikan mikroorganisme. Fermentasi karbohidrat Reaksi susu litmus Produksi H2S Reduksi nitrat Endoenzim
Reaksi katalase Uji urease Uji oksidase Uji iMViC
Enzim
Uji Triple Sugar Iron Hidrolisis amilum Eksoenzim
Hidrolisis lipid Hidrolisis kasein Hidrolisis gelatin
Gambar 2.4. Aktivitas Biokimia Mikroorganisme (Sumber: Cappucino dan Sherman, 1986: 126, dengan modifikasi)
Metode fenotipik hingga saat ini masih dipelajari, digunakan, dan dikembangkan, terlepas dari timbulnya berbagai permasalahan terkait dengan keakuratan data hasil identifikasi mikroorganisme. Identifikasi berbagai mikroorganisme patogen pada laboratorium klinis umumnya masih menggunakan metode fenotipik, baik itu secara manual, otomatis, maupun
17
semi-otomatis (Petti, Polage, dan Schreckenberger, 2005). Kunci identifikasi fenotipik juga dikembangkan untuk mempermudah identifikasi genus mikroorganisme tertentu yang memiliki keanekaragaman tinggi (Reva, Sorokulova, dan Smirnov, 2001). Hal ini dilakukan sebagai suatu bentuk studi awal, sehingga dapat memudahkan dalam menentukan penggunaan tehnik identifikasi terbaru yang lebih akurat.
E. Identifikasi Bakteri Secara Molekuler ( Metode Gen 16S rRNA) Karakter fenotipik bakteri seperti pewarnaan Gram, morfologi koloni, dan aktivitas enzim dapat digunakan untuk proses identifikasi, namun tidak bersifat statis dan dapat berubah seiring dengan stress ataupun evolusi (Ochman, Lerat, dan Daubin, 2005). Kesalahan identifikasi dapat disebabkan oleh hadirnya karakteristik fenotip bakteri yang tidak biasa ataupun kurangnya pengalaman dalam menginterpretasikan data karakter fenotipik. Hal ini menimbulkan hadirnya metode identifikasi secara molekuler, salah satu diantaranya adalah metode gen 16S rRNA. Gen 16S rRNA memiliki ukuran sekitar 1500 pb (Gambar 2.5) dan biasa digunakan dalam proses identifikasi bakteri (Petti, 2007). Identifikasi dengan menggunakan Gen 16S rRNA dapat dilakukan karena adanya urutan yang khas dan berbeda untuk setiap spesies bakteri, selain itu gen ini bersifat relatif konstan dan memiliki laju mutasi yang kecil (Gonzales dan SaisJimenez, 2005; Janda dan Abbott, 2007). Gen 16S rRNA terdiri dari dua daerah, yaitu daerah variabel dan daerah lestari (conserved area). Daerah
18
lestari pada Gen 16S rRNA memiliki ukuran sekitar 500 - 540 pb dan d akan dikenali oleh primer gen 16S. Daerah variabel akan memperlihatkan urutan atau sikuen unik yang berfungsi sebagai pembeda antar spesies bakteri (Petti, 2007). Sikuen tersebut kemudian dapat dibandingkan dengan sikuen referensi yang tersimpan di database gen.
Daerah lestari yang menjadi target primer
Gambar 2.5. Gen 16S rRNA (Sumber: Petti, 2007: 1109) Keterangan : daerah lestari;
daerah variabel
Polymerase Chain Reaction) Reaction merupakan tehnik setiap fragmen PCR (Polymerase atau sikuen DNA spesifik dapat diperkuat (diamplifikasi atau disalin beberapa kali) secara in vitro (Hogg, 2005). Tehnik ini dapat membuat milyaran salinan fragmen DNA target dalam beberapa jam, yaitu jauh lebih cepat daripada pengklonan fragmen fragmen DNA yang butuh berhari - hari dengan membuat plasmid rekombinan dan membiarkannya bereplikasi di dalam sel bakteri. Materi awal yang dibutuhkan untuk PCR adalah fragmen DNA target, DNA polimerase, primer, dan nukleotida atau dNTPs (Campbell dan Mitchell, ell, 2002). Primer yang digunakan dalam PCR ini merupakan molekul DNA untai tunggal sintetik yang pendek dan bersifat komplemen terhadap ujung - ujung DNA target, sehingga dapat menentukan fragmen DNA yang akan diamplifikasi (misalnya Gen 16S rRNA).
19
Gambar 2.6. Proses PCR (Polymerase Chain Reaction) (Sumber: Hogg, 2005: 334)
Setiap siklus PCR terdiri dari tiga tahapan (Gambar 2.6), yaitu denaturasi, penempelan, dan pemanjangan (Hogg, 2005). Denaturasi (melting) merupakan tahap awal yang berlangsung pada suhu tinggi, antara 94 - 96ºC selama ± 5 menit. Suhu tinggi tersebut menyebabkan ikatan hidrogen pada DNA akan terputus, sehingga fragmen DNA target yang berupa rantai ganda menjadi DNA untai tunggal. Pemisahan ini menyebabkan DNA target tidak stabil dan menjadi cetakan (template) bagi DNA polimerase. Tahapan selanjutnya adalah annealing primer. Penempelan primer terjadi secara spesifik pada suhu 50 - 60ºC, umumnya selama satu hingga dua menit. Primer akan menempel pada DNA template yang komplemen urutan basanya, yaitu
20
satu primer akan menempel pada setiap untai DNA. Tahap ketiga adalah elongasi atau pemanjangan. DNA polimerase akan menambahkan nukleotida pada ujung 3’ primer, dengan menggunakan DNA template sebagai cetakannya. Tahapan ini berlangsung pada suhu ± 72ºC selama satu menit. Siklus PCR akan berlangsung berulang - ulang antara 25 - 35 siklus, hingga urutan DNA target telah terduplikasi berulang kali. Makromolekul dapat dipisahkan berdasarkan laju perpindahannya melewati suatu gel di bawah pengaruh medan listrik, yaitu dengan menggunakan tehnik elektroforesis (Campbell dan Mitchell, 2002). Elektroforesis tidak hanya memisahkan molekul DNA berdasarkan berat molekulnya, tetapi juga menurut bentuk, dan properti topologi yang dimilikinya (Watson et al., 2004). Gel yang biasa digunakan dalam proses elektroforesis DNA umumnya menggunakan agarose (Pierce, 2002). Agarose ini akan dilarutkan dalam larutan buffer dan dituangkan ke dalam cetakan tertentu kemudian dibiarkan memadat (Gambar 2.7). Sumur - sumur kecil dibuat pada bagian ujung gel agarose untuk menempatkan larutan yang berisi fragmen DNA. Fragmen DNA kemudian akan bermigrasi dari arah kutub negatif ke kutub positif saat diberikan aliran listrik. Gel agarose berperan sebagai “saringan” saat proses migrasi tersebut berlangsung, karena molekul DNA akan bergerak melalui pori - pori yang terbentuk diantara partikel gel. Molekul berupa asam nukleat seperti DNA, memiliki laju migrasi yang berbanding terbalik dengan ukuran molekulnya. Fragmen DNA dengan
21
ukuran yang telah diketahui biasanya digunakan untuk menentukan ukuran dari fragmen DNA yang belum diketahui.
Gambar 2.7. Proses Elektroforesis DNA (Sumber: Pierce, 2002:513) Gel agarose dapat diwarnai setelah proses separasi DNA, dan biasanya dideteksi dengan menggunakan pewarna pengikat-DNA (Moat et al., 2002). Pewarna ini akan berpendar di bawah cahaya ultraviolet. Ketepatan mengenai isolasi fragmen DNA yang dikehendaki dapat diketahui melalui ukuran fragmen yang terlihat melalui tehnik elekroforesis ini. Identifikasi bakteri dengan menggunakan metode gen 16S rRNA melibatkan perbandingan antara sikuen yang akan diidentifikasi dengan sikuen referensi yang tersimpan di database gen, oleh karena itu dibutuhkan proses sikuensing. Ada dua metode yang biasa digunakan dalam proses sikuensing DNA, yaitu metode dideoksi dan metode degradasi kimiawi
22
(Ausubel et al., 2003). Metode dideoksi yang dikembangkan oleh Sanger lebih sering digunakan karena secara teknis lebih mudah untuk diterapkan dalam penentuan untai panjang DNA. Metode sikuensing dideoksi pada dasarnya menggunakan prinsip replikasi (Pierce, 2002). Fragmen DNA yang akan di sikuensing digunakan sebagai template untuk membuat molekul DNA baru. Proses sintesis DNA dalam keadaan normal terjadi melalui pembentukan ikatan fosfodiester antara grup fosfat pada dNTP dengan grup –OH pada nukleotida terakhir dari untaian DNA template. Nukleotida khusus yang disebut ddNTP digunakan dalam metode dideoksi ini. Nukleotida ddNTP pada dasarnya tidak berbeda dengan dNTP, namun tidak memiliki grup –OH pada atom C nomor 3. Hal ini menyebabkan terhentinya sintesis DNA, yang diakibatkan dari tidak terbentuknya ikatan fosfodiester. Sikuensing DNA menggunakan metode dideoksi dilakukan pada empat reaksi yang terpisah (Ausubel et al., 2003). Setiap reaksi mengandung untai tunggal DNA target yang akan di sikuensing, primer, dNTP, DNA polimerase, dan salah satu jenis ddNTP. Selama proses sintesis DNA, nukleotida ditambahkan pada bagian ujung 3’ dari primer dengan DNA target sebagai template-nya. Saat ddNTP menempel dengan untaian DNA yang sedang memanjang tersebut, proses sintesis pun terhenti karena tidak adanya grup –OH pada atom C nomor 3. Terminasi sintesis DNA ini terjadi pada posisi dan untaian yang berbeda untuk setiap reaksi, sehingga menghasilkan fragmen DNA dengan panjang yang bervariasi. Fragmen yang terbentuk di
23
setiap reaksi kemudian dipisahkan dengan menggunakan polyacrylamid gel electrophoresis (Moat et al., 2002). Sikuen DNA dapat langsung dibaca dari pita - pita yang terbentuk di autoradiograf (Gambar 2.8).
Gambar 2.8. Proses Sikuensing DNA dengan Metode Dideoksi (Sumber: Pierce, 2002:554, dengan modifikasi)
24
Proses sikuensing dilakukan dengan menggunakan mesin Automated DNA Sequencer. Saat hasil sikuensing dipisahkan pada gel elektroforesis, sinar laser ion argon akan menyebabkan eksitasi elektron pada molekul DNA yang ujungnya mengandung molekul dideoksinukleotida terminator dye. Molekul DNA yang memiliki ukuran berbeda akan berpendar (Moat et al., 2002). Hasil sikuen muncul dalam bentuk grafik yang dihasilkan oleh penerjemahan otomatis suatu detektor. Kebutuhan akan analisis berbagai data biologis (seperti hasil dari sikuensing), membutuhkan kajian dari sisi bioinformatika. Bioinformatika adalah studi interdisiplin yang melibatkan aspek komputerisasi, biologi molekuler, dan matematika yang terkait dengan makromolekul biologis, seperti DNA, RNA, dan protein (Dworkin, 2006). Bioinformatika terdiri dari dua sub-kajian yaitu pengembangan software komputerisasi dan pembuatan database. Analisis sikuen merupakan salah satu aplikasi dari interaksi antara kedua sub-kajian bioinformatika tersebut. Analisis sikuen memungkinkan dilakukannya, perbandingan genomik, filogenetik, prediksi gen dan promoter, pencarian database sikuen gen, dan sequence alignment (Xiong, 2006). Basic Local Alignment Search Tool (BLAST) adalah program yang paling sering digunakan untuk mengetahui kesamaan antara sikuen gen tertentu dengan gen yang terdapat pada database nukleotida dan protein (Dworkin, 2006). Program ini banyak digunakan oleh berbagai peneliti karena memiliki sensitivitas, ketelitian, kemudahan, dan proses dengan kecepatan yang tinggi (Wolfsberg dan Madden, 1999). Prinsip utama yang
25
digunakan dalam program BLAST adalah penentuan kesamaan (similarity) yang dapat dilihat dalam bentuk maximum scoring pairs pada bagian akhir analisis. Maximum scoring pairs adalah representasi dari kesamaan segmen sikuen DNA yang dianalisis dengan sikuen DNA yang terdapat di database (Xiong, 2006).