KANDUNGAN SELENIUM TOTAL DALAM BAKTERI TERMOFILIK TERSELEKSI DARI SUMBER AIR PANAS
HERU PRASETYO
PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
ABSTRAK HERU PRASETYO. Kandungan Selenium Total dalam Bakteri Termofilik Terseleksi dari Sumber Air Panas. Dibimbing oleh MARIA BINTANG, NOVIK NURHIDAYAT, dan ANA EDY PERSULESSY. Bakteri termofilik merupakan mikroorganisme prokariotik uniseluler yang hidup di dalam sumber air panas yang banyak mengandung senyawa Selenium (Se), serta dapat menyerap dan mengakumulasi senyawa Se. Selenium di alam sebagian besar berada dalam bentuk toksik seperti selenat (SeO4 -2) dan selenit (SeO3-2), namun bakteri termofilik mampu mengubah senyawa Se yang toksik ini menjadi tidak toksik, sehingga dapat dimanfaatkan di dalam tubuhnya. Senyawa Se yang terakumulasi pada bakteri ini sebagian besar dalam bentuk selenometionin. Sebanyak 16 isolat bakteri termofilik diseleksi dalam media heterotrof cair yang mengandung selenium dioksida (SeO2 ) 0.01%. P ertumbuhannya diukur dengan metode Spektrometri UV-Vis setiap 2 hari selama 2 minggu. Isolat terseleksi diperbanyak di dalam media yang mengandung natrium selenit (Na2SeO 3) 1.0027 ppm dan dipanen dengan metode sentrifugasi. Pelet kemudian didestruksi, serta dihitung kandungan selenium total yang terakumulasi dengan metode Graphite Furnace Atomic Absorption Spectrometry (GF-AAS). Hasil penelitian uji ketahanan toksisitas SeO 2 terhadap 16 isolat menunjukkan bahwa hanya 4 isolat yang dapat tumbuh baik, yaitu 14Ka dan 20K (berasal dari sumber air panas Kerinci) serta 22a dan 23a1 (berasal dari sumber air panas Rinjani). Kandungan Se total tertinggi dihasilkan oleh isolat dengan kode 14Ka sebesar 2.1378 µg dan isolat dengan kode 20K sebesar 1.0031 µg. Uji ANOVA dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa penambahan Na2SeO 3 1.0027 ppm memberikan pengaruh yang nyata terhadap Se yang terakumulasi dalam sel termofilik.
ABSTRACT HERU PRASETYO. Total Selenium Content in Thermopilic Bacteria Selected from Hot Water Spring. Supervised by MARIA BINTANG, NOVIK NURHIDAYAT, and ANNA EDY PERSULESSY. Thermopile bacteria are prokaryotic microorganisms live in hot water springs, which contains lots of selenium (Se) compounds. They can absorb and accumulate Se from their environment. In nature, most selenium compounds are in toxic-form, such as selenat (SeO4-2) and selenit (SeO 3-2 ). However, thermopilic bacteria can change this Se-toxic compounds into Se-non toxic compounds for further used in their cell. The bulk of Se in Se -thermopilic is in the form of selenometionin. Sixteen isolates of thermopilic bacteria were selected in liquid heterotrof media containing selenium dioxide (SeO2 ) 0.01%. Their growth were determinationed by spectrometry. The selected isolates were recultured in the medium containing sodium selenite (Na2SeO 3) 1.0027 ppm. Population was enumerated and harvested by centrifugation. Pellet biomass was destructed, and subjected to selenium measurement with Graphite Furnace Atomic Absorption Spectrometry (GF-AAS) method. Four isolates were able to grow well in medium containing toxic Se, they were 14Ka and 20K from Kerinci’s hot water spring, also 22a and 23a1 from Rinjani’s hot water spring. The highest selenium accumulator was 14Ka (2.1378 µg) and 20K (1.0031µg). ANOVA and Duncan’s test have revealed that addition of Na2SeO3 1.0027 ppm has significant effect in selenium accumulation.
KANDUNGAN SELENIUM TOTAL DALAM BAKTERI TERMOFILIK TERSELEKSI DARI SUMBER AIR PANAS
HERU PRASETYO
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Biokimia
PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul
: Kandungan Selenium Total dalam Bakteri Termofilik Terseleksi dari Sumber Air Panas : Heru Prasetyo : G44101036
Nama NIM
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Drh. Maria Bintang M.S. Ketua
Dr. Novik Nurhidayat Anggota
Ana Edy Persulessy, M.Eng Anggota
Diketahui Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S. NIP 131 473 999
Tanggal lulus
:
PRAKATA Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT yang telah memberi rahmat dan karunia -Nya dalam melaksanakan penelitian yang berjudul Kandungan Selenium Total dalam Bakteri Termofilik Terseleksi dari Sumber Air Panas dapat diselesaikan dengan baik. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Drh. Maria Bintang M.S, Bapak Dr. Novik Nurhidayat, dan Bapak Ana Edy Persulessy, M.Eng yang telah membimbing selama penelitian dan penulisan skripsi. Selain itu, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Puslit Mikrobiologi-LIPI Kebun Raya Bogor dan Puslit Kimia -LIPI Bandung yang telah memberikan tempat dan mendanai penelitian ini, Bapak Indarto, Ibu Hartin, Ibu Fitri, Ibu Linar, Bang Jay, Teh Ratih, Mba Lina, Niza, Kevin, dan Agung, terima kasih atas masukan dan bantuannya selama penulis melakukan penelitian. Keluargaku, Ibu dan Bapak, semua kakakku tercinta terima kasih atas doa, dorongan dan kasih sayang yang selalu diberikan setiap waktu. Akhirnya penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat dalam bidang ilmu pengetahuan.
Bogor, April 2006
Heru Prasetyo
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Oktober 1983 dari bapak Suparman dan ibu Tugilah. Penulis merupakan putra keenam dari enam bersaudara. Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 47 Jakarta dan pada tahun yang sama terdaftar sebagai mahasiswa institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada program Studi Biokimia, Departemen kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah mengikuti Praktik Kerja Lapang (PKL) di Laboratorium Mikrobiologi Dasar Balai Penelitian Mikrobiologi, LIPI, Kebun Raya Bogor, selama periode bulan September sampai November 2004.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
x
PENDAHULUAN............................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Termofilik ................................................................................. Kurva Pert umbuhan Bakteri .................................................................. Selenium ................................................................................................ Metabolisme Selenium dalam Tubuh.................................................... Spektrometri Serapan Atom (AAS)....................................................... Teknik Spektrometri Serapan Atom Graphite Furn ace (GFAAS)....... Tahap Atomisasi .................................................................................... Gangguan dalam Analisis ...................................................................... Matriks Modifier ................................................................................... Destruksi atau Pengabuan......................................................................
1 2 3 4 5 5 6 7 7 7
BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan...................................................................................... Metode ...................................................................................................
7 7
HASIL DAN PEMBAHASAN Seleksi Resistensi Bakteri Termofilik terhadap Toksisitas SeO 2 .......... Penentuan Waktu Inkubasi Terbaik ...................................................... Proses Penyuburan dan Pemanenan Biomassa Sel................................ Penentuan Kurva Standar ...................................................................... Penentuan Kandungan Selenium Total .................................................
10 10 11 11 12
SIMPULAN DAN SARAN.............................................................................
14
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
14
LAMPIRAN.....................................................................................................
16
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Bakteri termofilik dalam endapan vulkanis dan pupuk kompos ................ 2 2 Kurva pertumbuhan bakteri........................................................................
3
3 Metabolisme Se ..........................................................................................
5
4 Skema blok GF-AAS .................................................................................
6
5 Monokromator ............................................................................................
6
6 Isolat termofilik sumber air panas Rinjani dan Kerinci .............................
10
7 Kurva OD toksisitas SeO 2 0,1 % ................................................................
10
8 Kurva inkubasi ..........................................................................................
11
9 Kurva biomassa sel bakteri ........................................................................
11
10 Kurva standar media heterotrof ..................................................................
12
11 Kurva standar pengenceran 1 .....................................................................
12
12 Kurva standar pengenceran 2 .....................................................................
12
13 Kandungan Se total pelet termofilik...........................................................
13
14 Kandungan Se total supernatan termofilik .................................................
13
15 Kandungan Se total pelet dan supernatan dengan asupan Se .....................
13
16 Kandungan Se tota l pelet dan supernatan tanpa asupan Se ........................
14
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Tahapan penelitian ..................................................................................... 17 2 Komposisi media .........................................................................................
18
3 Sampel bakteri termofilik Rinjani, Kerinci dan Tana Toraja......................
18
4 Tahapan uji resistensi dengan me tode spektrometri UV-Vis ......................
19
5 Isolat terseleksi pada uji resistensi ..............................................................
20
6 Dekontaminasi alat-alat gelas......................................................................
20
7 Penentuan waktu inkubasi terbaik bakteri termofilik terseleksi..................
21
8 Waktu inkubasi terbaik bakteri termofilik terseleksi ..................................
22
9 Metode penyuburan dan pemanenan biomassa sel termofilik ....................
23
10 Optimasi dan kondisi optimal GF-AAS......................................................
24
11 Analisis kandungan Se Total.......................................................................
25
12 Analisis dan kurva standar media heterotrof cair ........................................
26
13 Kurva standar pengenceran 1......................................................................
27
14 Kurva standar pengenceran 2......................................................................
27
15 Perhitungan-perhitungan .............................................................................
28
16 Analisis uji ANOVA dan uji Duncan..........................................................
29
PENDAHULUAN Indonesia dilewati oleh dua deretan pegunungan Sirkum Pasifik dan Sirkum Mediterania. Selain itu, Indonesia sebagai negara tropik juga mempunyai banyak daerah dengan aktivitas geotermal. Banyak pegunungan dan dataran tinggi di Indonesia dimanfaatkan sebagai observasi ilmiah. Hal ini disebabkan Indonesia kaya akan pegunungan vulkanis, antara lain pegunungan Rinjani, Kerinci dan Tana Toraja. Kawasan Taman Nasional Rinjani dan Kerinci merupakan contoh daerah pegunungan vulkanis tertinggi di Indonesia, memiliki potensi pariwisata, riset dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) (Sutedi 2003). Sumber air panas dari pegunungan Rinjani, Kerinci, dan Tana Toraja diketahui mengandung banyak bakteri termofilik. Beberapa kondisi lingkungan yang berbeda dalam tiap lokasi memungkinkan untuk mengisolasi heterogenitas termofilik yang tinggi. Beberapa mikroorganisme termofilik telah diisolasi dari berbagai sumber air panas di Indonesia, diantaranya sumber air panas Sileri, Dieng, Jawa Tengah yang mampu hidup sampai suhu 85oC (Kim et al. dalam Indrajaya et al 2003) dan sekitar Jawa Barat meliputi sumber air panas Cimanggu, kawah domas Tangkuban Perahu, dan kawah Papandayan (Akhmaloka et al; Suharto; Baker et al. dalam Indrajaya et al 2003). Bakteri termofilik merupakan mikroorganisme prokariotik uniseluler yang hidup di dalam sumber air panas yang banyak menga ndung senyawa Selenium (Se), serta dapat menyerap dan mengakumulasi senyawa Se. Selenium di alam sebagian besar berada dalam bentuk toksik seperti selenat (SeO 4-2 ) dan selenit (SeO 3-2), namun bakteri termofilik mampu mengubah senyawa Se yang toksik ini menjadi tidak toksik, sehingga dapat dimanfaatkan di dalam tubuhnya. Senyawa Se yang terakumulasi pada bakteri ini sebagian besar dalam bentuk selenometionin. Selenium merupakan mineral mikroessensial yang dimanfaatkan untuk kesehatan terutama sebagai bahan aktif obat obatan proteksi kanker. Hal ini dikarenakan banyaknya penduduk di dunia yang menderita kanker, yaitu sekitar 6.25 juta orang, dan terus bertambah setiap tahunnya (Laksmi 2001). Oleh karena itu, Se banyak dieksplorasi dari sumber kekayaan Indonesia yaitu dari tanaman dan mikroorganisme, salah satunya bakteri termofilik. Menurut Dilaga (1992),
kadar Se dalam tanah mencapai 40 mg/kg dan senyawa Se yang umum terdapat dalam tanah adalah dalam bentuk anorganiknya seperti selenat (SeO 4-2 ) dan selenit (SeO 3-2). Senyawa Na2 SeO 3 (natrium selenit) merupakan bentuk garam dari Se anorganik yang ditambahkan dalam media tumbuh bakteri termofilik sebagai sumber Se yang diubah menjadi selenoprotein. Selenomethionin merupakan selenoprotein yang aman digunakan, mem liki kadar toksik rendah, tersedia banyak di alam dan memiliki aktivitas bioavailibilitas yang tinggi dan secara umum digunakan sebagai sumber Se pada berbagai suplemen makanan. Teknik Graphite Furnace Atomic Absorption Spectrometry (GF-AAS) telah banyak di gunakan untuk penentuan selenium dalam berbagai sampel (Pohl 1991). Teknik ini dipilih karena memiliki sensitivitas yang tinggi dan sangat peka terhadap kontaminasi, sehingga untuk penanganan sampel dan analisis harus dilakukan dengan sangat hatihati. Bukti-bukti di atas telah mendasari pemikiran untuk menyeleksi bakteri termofilik dari sumber air panas Rinjani, Kerinci dan Tana Toraja sehingga akan diperoleh bakteri yang memiliki kandungan selenium secara alami di dalamnya. Penambahan Se dalam bentuk garam anorganik diharapkan memberi pengaruh yang cukup besar terhadap kandungan Se total di dalam bakteri termofilik tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menyeleksi, menentukan kandungan Se total dan melihat pengaruh penambahan natrium selenit (Na2SeO 3) terhadap kandungan Se dalam bakteri termofilik sumber air panas dengan m etode Graphite Furnace-AAS. Hipotesis yang dikemukakan adalah bakteri termofilik vulkanis mengandung Se dan penambahan Na2 SeO3 mampu meningkatkan kandungan Se di dalamnya.
TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Termofilik Bakteri adalah sel prokariotik yang khas, uniseluler dan tidak mengandung struktur yang terbatasi membran di dalam sitoplasmanya. Sel-selnya secara khas, berbentuk bola seperti batang atau spiral. Bakteri yang khas berdiameter sekitar 0.5-0.8 µm dan panjangnya 1.5-2.5 µm (Pelczar dan Chan 1986). Reproduksi terutama dengan pembelahan biner sederhana, yaitu suatu proses aseksual. Beberapa dapat tumbuh pada
suhu 0oC, ada yang tumbuh dengan baik pada sumber air panas yang suhunya 75-90 oC atau lebih. Kebanyakan tumbuh pada berbagai suhu diantara kedua ekstrem ini. Beberapa membutuhkan oksigen bebas, sedangkan lainnya dihambat oleh oksigen. Bakteri menimbulkan berbagai perubahan kimiawi pada substansi yang ditumbuhinya. Sel-sel individu bakteri dapat berbentuk seperti elips, bola, batang (silindris), atau spiral (heliks). Sel bakteri yang berbentuk bola disebut kokus yang muncul dalam beberapa penataan yang khas bergantung kepada spesiesnya. Sel bakteri yang berbentuk silindris atau seperti batang dinamakan bacillus. Ujung beberapa basilus tampak persegi, bundar, dan meruncing atau lancip. Kadang-kadang basilus tetap saling melekat satu sama lain, ujung dengan ujung sehingga memberikan penampilan rantai. Bakteri berbentuk spiral atau spirilum, terutama dijumpai sebagai individu-individu sel yang tidak saling melekat. Bakteri yang termasuk di dalam kelompok morfologis ini adalah spirokaeta, beberapa diantaranya penyebab penyakit pada manusia. Spiral yang pendek dan tidak lengkap disebut sebagai bakteri koma atau vibrio (Pelczar dan Chan 1986). Menurut Edward (1990), bakteri dibagi menjadi beberapa kelas berdasarkan temperatur dimana dia dapat tumbuh. Bakteri yang hidup pada temperatur terendah adalah Psikrofilik pada suhu di bawah –10oC meskipun temperatur optimumnya ialah 15oC atau lebih rendah. Mesofilik hidup pada medium bersuhu 20-45oC dan termasuk patogen pada manusia. Termofilik hidup diatas 45oC, dan beberapa di antaranya bahkan dapat hidup diatas titik didih air, salah satunya Hipertermofilik (120-300oC ). Mikroorganisme yang dapat tumbuh pada kondisi ekstrem seperti suhu, pH, dan konsentrasi garam disebut sebagai ekstremofilik. Mikroorganisme termofilik dapat tumbuh pada suhu di atas 45oC dan beberapa di antaranya tumbuh di atas 80oC. Mikroorganisme ini dapat dengan mudah ditemukan pada daerah dengan aktivitas geotermal, seperti daerah pegunungan berapi, sumber air panas, dan juga tempat cadangan minyak bumi atau batubara (Van den Burg 2003). Bakteri termofilik pertama kali diisolasi pada 1879 oleh Miquel, yang menemukan bakteri mampu berkembang pada suhu 72oC (162 oF). Miquel menemukan bakteri ini pada tanah, debu, kotoran badan, tempat pembuangan limbah , dan lumpur sungai.
Tidak lama kemudian, ditemukan varietas bakteri termofil pada tanah yang tumbuh subur pada temperatur tinggi tetapi tidak dapat tumbuh pada suhu kamar. Bakteri ini ditemukan di gurun pasir Sahara, tetapi tidak ditemukan di tanah pada hutan yang dingin. Pada tanah perkebunan yang mengandung pupuk terdapat 1-10% bakteri termofilik, sementara tanah lapang yang luas biasanya hanya mengandung 0.25% atau kurang. Tanah yang tidak ditumbuhi tanaman kemungkinan sama sekali tidak terdapat bakteri termofilik. Mikroorganisme mesofilik dan termofilik ditemukan tersebar luas di alam dan umumnya terdapat pada bahan-bahan makanan, sampah dan pupuk. Hal ini tidak mengejutkan mengingat temperatur optimum mesofilik untuk bereproduksi biasanya terdapat di alam. Temperatur ini meliputi hewan berdarah panas yang mengekskresikan bakteri mesofilik dalam jumlah yang sangat banyak. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari www.greenbiologics.com/pages/science.asp tahun 2002, mikroorganisme termofilik juga terdapat di dalam endapan vulkanis dan pupuk kompos (Gambar 1) . Mikroorganisme termofilik mempunyai peran penting dalam mengembangkan ilmu dasar di samping sangat menarik untuk aplikasi industri. Organisme ini menghasilkan enzim-enzim tahan panas yang mempunyai potensial aplikasi tinggi. Penggunaan enzim termostabil dalam bidang bioteknologi telah dapat menurunkan biaya operasi (Aguilar et al. 1998), di samping dapat meningkatkan kecepatan reaksi. Beberapa enzim termostabil telah digunakan secara komersial, seperti DNA polimerase (Lawyer et al. 1989) dan lipase dari Bacillus thermocatenulatus.
Gambar 1 Bakteri termofilik dalam endapan vulkanis dan pupuk kompos (www.greenbiologics.com/ pages/science.asp ) Kurva Pertumbuhan Bakteri Pertumbuhan bakteri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu Pertama, nutrisi dalam bentuk zat-zat kimiawi meliputi karbon, nitrogen, belerang, unsur logam,
vitamin dan air. Kedua, suhu optimum yang diperlukan untuk pertumbuhan (T: ± 370C). Ketiga, pH optimum yang berkisar antara 6,8–7. Keempat, Oksigen (O2) meliputi aerob dan anaerob. Kelima, zat kimia yang meliputi antiseptik, desinfektan, fenol dan alkohol. Keenam, cahaya yang baik untuk pertumbuhan bakteri yaitu dalam keadaan gelap (Pelczar dan Chan 1986). Pertumbuhan bakteri memiliki empat fase (Gambar 2), yaitu: yang pertama fase lag (lambat) terjadi ketika bakteri bertemu dengan lingkungan yang baru, mereka tidak langsung berkembang biak tetapi perlu waktu untuk beradaptasi. Pada fase lambat ini, sel mengalami perubahan dalam komposisi kimiawi dan bertambah ukurannya tetapi belum terlihat adanya peningkatan jumlah sel. Kedua, fase logaritma atau eksponensial terjadi ketika fase lambat berakhir dan sel telah beradaptasi dengan lingkungan baru yang ditempati dan mulailah mereka membelah diri. Sel membelah dengan laju yang konstan dan massa menjadi dua kali lipat dengan laju sama. Angka pertumbuhan dari membelah diri ini dipengaruhi oleh faktor genetik dari bakteri tersebut, keadaan fisik dan komposisi dari media yang mereka tempati. Ketiga, adalah fase stasioner, pada fase ini tidak terlihat adanya kenaikan ukuran populasi karena secara berangsur-angsur bakteri mulai berhenti membelah diri dan beralih ketingkat metabolisme dengan tingkat yang lebih rendah. Pada taraf ini, sebagian populasi mengalami penghentian pembelahan, terkadang dapat kembali tumbuh jika kondisi lingkungan berubah menjadi baik. Keempat, adalah fase kematian yaitu sel menjadi mati lebih cepat dari pada terbentuknya sel-sel baru. Kematian bakteri digambarkan seperti ketidakmampuan reproduksi, walaupun dipindahkan ke dalam media baru yang lebih ideal (Pelczar dan Chan 1986) Log Fase Eksponensial
Fase Stasioner
Fase Kematian
Fase Lag
Waktu
Gambar 2 Kurva pertumbuhan bakteri
Selenium Selenium (Se) adalah unsur metaloid yang berada dalam bentuk alotropik. Unsur ini ditemukan pertama kali pada tahun 1817 oleh Berzelius dan Gahn. Nama selenium berasal dari bahasa Jerman selene yang berarti bulan. Unsur ini secara kimia menyerupai sulfur dan telurium sehingga pada sistem periodik, Se ditempatkan satu golongan dengan S dan Te, dan berada diantara S dan Te (Lange dalam Adityawarman 2002). Selenium dapat ditemui dalam bentuk anorganik maupun organik. Dalam bentuk anorganik ditemukan sebagai selenat (SeO 42-), selenit (SeO 3 2-) dan selenium oksida (SeO 2). Sedangkan dalam bentuk organik, Se biasa ditemukan berikatan dengan protein sebagai asam amino berbentuk selenometionin dan selenosistein (Dilaga 1992). Selenometionin adalah bentuk organik Se yang paling dominan, sedangkan selenosistein dibentuk dari hasil konversi selenometionin pada jaringan mamalia (Lobinski et al. 2000). Se termetilasi berupa monometil selenol, dimetil selenida, ion trimetil selenonium; Selenoasam amino berupa selenosistein, selenometionin, Se-metilselenosistein, selenoglutation (Lobinski et al 2000). Peran Se sebagai antioksidan berhubungan dengan enzim glutation peroksidase, yaitu sebagai kofaktor pada enzim tersebut yang mengkatalisis pengambilan H2O 2 yang bersifat toksik (Diaz et al dalam Anggraeni 2002). Tiap satu molekul glutation peroksidase mengandung empat atom Se organik, sehingga membuat Se menjadi komponen penting dalam ketahanan tubuh untuk melawan efek degeneratif (Rayman dalam Junaedi 2003). Efek pencegahan kanker sangat nyata terdapat pada garam selenium anorganik, seleno asam amino, dan berbagai organoselenium sintetik. Bentuk selenium yang termetilasi seperti metilselenol (CH 3SeH) merupakan metabolit selenium yang bersifat chemopreventive (Lobinski et al. 2000). Selenium banyak ditemukan pada bahan makanan yang berkadar protein tinggi seperti daging dan makanan laut. Tumbuhan yang mengandung Se cukup banyak adalah bawang putih (Allium sativum), jamur dan biji-bijian (Linder 1992). Selenium terekstraksi dari tumbuhan dengan tiga cara, yaitu pemanasan, mikrobial, dan asam (Hutzinger 1982). Selenium merupakan mikromineral essensial yang bermanfaat dalam dosis rendah, akan tetapi jika dalam dosis yang
maksimum akan bersifat toksik dan di dalam tubuh, kandungan Se sama dengan asupannya di dalam makanan (Dodig dan Cepelak 2004). Kekurangan selenium dapat menyebabkan terjadinya p enyakit spesifik, yaitu, Keshan Disease yang mengakibatkan turunnya fungsi hati dan jantung pada penderita anak-anak, Kashin Beck Disease yang mengakibatkan osteoarthropaty, dan Myxedematous Endemic Cretinism yang mengakibatkan lemah mental (Cassaret & Doull 1986). Hal ini dapat diatasi dengan mengkonsumsi makanan yang mengandung selenium dengan dosis yang diperkenankan, tetapi masyarakat di seluruh dunia mendapatkan Se dalam makanan yang dikonsumsinya hanya 50% dari jumlah asupan Se yang dianjurkan (Rayman dalam Junaedi 2003). Jumlah asupan Se yang berlebih juga dapat menyebabkan penyakit selenosis dan gejala yang ditimbulkan berupa kerontokan rambut, nafas bau bawang putih, kelelahan, iritabilitas, dan kerusakan syaraf ringan. Oleh karena itu penggunaan selenium harus dengan kadar yang sesuai. Penderita kanker yang mengkonsumsi 200 µg Se per hari dari ragi berselenium tinggi mengalami penurunan pertumbuhan kanker sebesar 37% (Jacobs et al.dalam Junaedi 2003). Jumlah asupan Se disarankan rata-rata sebesar 40 µg per hari untuk dewasa (Combs dalam Dummont 2006). Perincian asupan Se (Tabel 1) yang dianjurkan oleh World Health Organization (WHO) dalam Recommended Dietary Allowance (RDA) untuk bayi, anakanak, pria dan wanita adalah sebesar 10 – 75 µg Se per hari (Dumont 2006). Sebaliknya, mengkonsumsi selenium melebihi 400 µg akan menyebabkan terjadinya keracunan pada tubuh dan bisa berakibat kematian. Tabel 1 Dosis asupan Se pada manusia Keterangan Bayi Anak-anak Pria
Wanita
Umur (Tahun) 0.0 – 0.5 0.5 – 1.0 1 –3 4 –6 7 – 10 11 – 14 15 – 18 19 – 24 25 – 50 51 ke atas 11 – 14 15 – 18 19 – 24 25 – 50 51 ke atas Ibu Hamil Ibu Menyusui
RDA (µg) 10 15 20 20 30 40 50 70 70 70 45 50 55 55 55 65 75
Metabolisme Selenium dalam Tubuh Sumber air panas pada pegunungan vulkanis memiliki berbagai macam mineral, seperti sulfur, besi, selenium, dan sebagainya. Selenium yang terlarut di dalam air panas pegunungan vulkanis berwarna hitam dan bersifat toksik, karena senyawa ini berada dalam keadaan reaktif (tidak stabil). Bakteri termofilik memiliki enzim metil seleno transferase yang mampu mengubah senyawa Se yang toksik menjadi bentuk yang lebih stabil sehingga aman untuk diserap dan dimanfaatkan lebih lanjut sebagai protein Se dalam tubuh. Selenium dalam tanaman pangan dan hewan berbentuk organik (seperti selenometionin dan selenosistein), sedangkan dalam air berbentuk anorganik (seperti selenit dan selenat). Sehari-hari, manusia menerima asupan Se dalam dua bentuk Se organik tersebut. Bentuk anorganik bersifat toksik sehingga perlu dimetabolisme dalam tubuh agar menjadi tidak toksik (Nakamuro et al 2000). Selenit dimetabolisme oleh glutation dengan glutation reduktase menjadi hidrogen selenida (H 2Se) melalui senyawa intermediet selenodiglutation dan glutationil selenol. Hidrogen selenida lalu mengalami metilasi bertahap secara enzimatik dengan SAM (SAdenosilmetionin) sebagai donor metilnya sehingga menghasilkan Se yang termetilasi, dimulai dari mono-, di-, dan trimetil Se. Ion trimetilselenium (TMS) dan monometilselenol (MMS) akan dikeluarkan melalui urin, sedangkan dimetilselenida (DMS) merupakan produk yang bersifat volatil sehingga bisa dihembuskan melalui paru-paru. Bentuk selenium termetilasi ini tidak terlalu toksik dibandingkan dengan bentuk awalnya, sehingga proses metilasi selenium di hati ini disebut juga proses detoksifikasi (Nakamuro et al 2000). Selenometionin yang berasal dari asupan makanan dapat dimetabolisme menjadi selenosistein, diubah langsung menjadi monometilselenol dengan bantuan enzim ?liase, atau dapat masuk ke pusat metionin lalu bergabung dengan protein tubuh (Gambar 3). Metabolisme selenometionin menjadi selenosistein terjadi melalui beberapa tahap reaksi. Pertama, selenometionin mengalami pemindahan gugus sulfur (trans sulfuration) menjadi Se-Homosistein, lalu diubah menjadi Se-Sistation dan dikonversi lagi menjadi selenosistein. Enzim β -liase akan mengubah selenosistein menjadi hidrogen selenida, yang
kemudian akan termetilasi seperti proses diatas (Suzuki dalam Dumont 2006). Hidrogen selenida selain mengalami proses metilasi juga dapat masuk ke proses translasi. Proses ini diawali dengan perubahan hidrogen selenida menjadi selenofosfat yang kemudian bergabung dengan tRNA dan akhirnya membentuk selenoprotein (Dodig dan Cepelak 2004). Monometilselenol (CH 3SeH) merupakan senyawa intermediet Se yang memiliki efek chemopreventive paling baik, artinya senyawa ini mampu menghambat terbentuknya dan berkembangnya kanker. Selenium juga memiliki peran penting dalam berbagai reaksi biokimia, salah satunya ialah sebagai sisi aktif dari enzim glutation peroksidase (GPx). Antioksidan GPx merupakan selenoenzim yang berperan dalam menjaga kadar hidrogen peroksida agar tetap rendah di dalam sel dengan bantuan glutation dalam bentuk tereduksi (GSH) dan NADPH. Proses reduksi radikal bebas ini menyebabkan teroksidasinya GSH membentuk glutation dalam bentuk teroksidasi yang bersifat radikal (GS*) dan akan bereaksi dengan sesamanya membentuk glutation disulfida (GSSG). Enzim glutation reduktase lalu akan mengkonversi GSSG ini menjadi GSH kembali, reaksinya sebagai berikut: (Damdimopoulos 2003) Glutathion Peroxidase
ROOH + 2 GSH
ROH + H 2O + GSSG
Glutathion Reductase
GSSG +NADPH + H+
2GSH + NADP+
Protein mengandung Se
Makanan bernutrisi
Pusat Met
Se-Met Trans -sulfurasi Selenat
Spektrometri Serapan Atom (AAS) Spektrometri serapan atom (AAS) merupakan suatu metode analisis untuk penentuan unsur -unsur logam dan metaloid yang berdasarkan radiasi oleh atom-atom bebas unsur tersebut (Price, 1972). Analisis yang dapat dilakukan dengan metode AAS adalah mulai dari analisis runutan (trace analysis) sampai dengan analisis komponenkomponen utama (major elements). Herschel (1823) dan Talbot (1825) merupakan peneliti yang mengawali pada penemuan teknik emisi atom ketika atom tertentu diaspirasikan dalam nyala api. Seorang peneliti lainnya pada tahun 1955, Walsh menggunakan lampu katoda untuk memberikan cahaya emisi panjang gelombang tertentu dan menggunakan nyala api dalam menghasilkan atom bebas (proses eksitasi). Menurut Slavin (1978), instrumentasi dan aplikasi AAS terus berkembang sejak dekade 1950an. Prinsip dasar dalam AAS yaitu terjadinya interaksi antara energi dengan atom bebas, maksudnya adalah atom bebas berinteraksi dengan berbagai bentuk energi seperti energi termis (panas), energi elektromagnetik, energi kimia dan energi listrik. Interaksi ini menimbulkan proses-proses dalam atom bebas yang menghasilkan absorbsi dan emisi (pancaran) radiasi dan panas. Radiasi yang dipancarkan ini adalah khas, karena mempunyai panjang gelombang yang karakteristik untuk atom bebas tersebut (Beaty 1993). Adanya absorbsi atau emisi radiasi disebabkan karena adanya transisi elektronik, yaitu perpindahan elektron dalam atom, dari tingkat energi yang satu ke tingkat energi yang lain.
Se-Homosistein
Teknik Spektrometri Serapan Atom Graphite Furnace (GFAAS)
Se-Sistation
Teknik AAS dengan pengatoman secara elektrotermal atau Graphite Furnace AAS sering digunakan untuk analisis unsur-unsur logam dengan sensitivitas dan batas pendeteksian 20 sampai 1000 kali lebih baik dari pada teknik flame. Hal tersebut diakibatkan oleh suatu peningkatan kepadatan atom di dalam tungku. Beberapa unsur dapat ditentukan pada konsentrasi rendah seperti 1.0 µg/L (ppb). Suatu keuntungan lain adalah volume sampel yang diperlukan sangat kecil (< 1mL) dan bobot sampel yang digunakan juga tidak terlalu besar (miligram). Spektrometri elektrotermal didasarkan pada prinsip yang sama seperti
Selenit Se-Cys
Se-Protein
SeH 2
Se-Fosfat
Reduksi
Metilasi Urin
MMSe
Nafas
DMSe
Urin
TMSe
Se-Cys
SeCys
tRNA
Gambar 3 Metabolisme Se (Suzuki dalam Dumont 2006)
atomisasi nyala tetapi di sini “burner” dalam nyala digantikan dengan “atomizer” atau “furnace” yang dipanaskan dengan listrik. Dalam system pemanasan tersebut terdapat power supply dan controller yang dapat diatur sedemikian rupa sehingga mengendalikan perubahan temperatur dalam atomiz er tersebut (Fuller 1977). Akibatnya proses pengatoman seperti yang terjadi dalam nyala dapat terjadi. Peralatan lain seperti Hollow Cathode Lamp (HCL), monokromator, detektor adalah seperti dalam spektrometri serapan atom nyala. Teknik GF-AAS terdapat tiga bagian utama yaitu sumber cahaya, tempat sampel dan alat pendeteksi serapan (Beaty 1993; Fuller 1977) (Gambar 4). Pemakaian sumber cahayanya dapat menggunakan Hollow Cathode Lamp (HCL) yaitu sumber cahaya yang memiliki garis spektrum terang dan jelas untuk setiap jenis unsur logam. Atomizer adalah tempat untuk proses pembentukan atom (atomisasi) yang terbuat dari karbon graphite dan dialirkan gas inert untuk mencegah terbentuknya oksidasi analit yang stabil. Ukurannya sangat kecil dengan panjang 3 cm serta diameter dalam 4-6 mm. Dindingnya dilapisi dengan lapisan yang dapat mencegah difusi analit atau matrik ke dalam dinding yang disebut platform terbuat dari “pyrolytic graphit”. Penggunaan platform memperpanjang waktu pemakaian atomizer. Pembacaan serapan terdiri dari monokromator, detektor, amplifier , Control Processor Unit (CPU) (digunakan sebagai tampilan signal serapan dan penyimpanan data). Cahaya dari sumber lampu harus terfokus pada sampel dan diarahkan pada monokromator (Gambar 5) agar panjang gelombang lampu dapat dihamburkan melalui grating (terali pemisah) sehingga panjang gelombang yang diinginkan saja yang difokuskan ke detektor. Sebelum masuk ke detektor spektrum garis spesifik dari monokromator diperkuat oleh amplifier terkebih dahulu. Pembacaan sinyal absorpsi akan dideteksi oleh detektor dan ditampilkan pada monitor CPU untuk kemudian dilakukan analisis data (Beaty dan Jack 1993). Kelebihan teknik GFAAS dalam analisis, yaitu memiliki kepekaan yang lebih tinggi dalam mengukur analit yang konsentrasinya sangat rendah (µg/L atau ppb), dapat menganalisis sampel yang minim kuantitasnya (berat dan volume yang dibutuhkan rendah) dan analisis dapat dilakukan tanpa preparasi sampel (sampel langsung diinjeksikan ke dalam atomizer, khususnya sampel cair yang
kental seperti urine, serum, darah dan susu) (Slavin 1978; Fuller 1977; Sturgeon 1977)
Gambar 4 Skema Blok GF-AAS
Gambar 5 Monokromator Tahap Atomisasi Proses pengatoman dilakukan dalam beberapa tahap yaitu meliputi tahap drying (pengeringan atau penguapan air dan zat yang mudah menguap pada suhu 200oC, dibutuhkan waktu sekitar 30-40 detik untuk kering dan residu berupa lapisan tipis padatan) Tahap ashing atau pengabuan (menghilangkan atau menguapkan matriks organik dan sebagian anorganik pada suhu 300-1500oC dan meninggalkan analit yang stabil dalam atomizer, residu yang ditinggalkan berbentuk molekul dari analit). Tahap atomization (dekomposisi senyawa analit pada suhu tinggi hingga 3000 oC menghasilkan atom-atom analit dan aliran gas inert bisa dihentikan untuk memperpanjang waktu tinggal atom-atom analit sehingga bisa diukur dengan kepekaan tinggi). Tahap yang terakhir adalah cleaning (suhumya tergantung jenis analit, biasanya 2500-2900oC bertujuan menghilangkan atau membersihkan residu yang tertinggal di dalam atomizer) (Fuller 1977; Beaty dan Jack 1993)
Gangguan dalam Analisis Gangguan yang umum dihadapi dalam analisis ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pembentukan senyawa karbida atau senyawa yang sangat stabil, terjadinya interaksi antara analit dengan komponen yang lain dalam fasa gas sehingga menghambat terbentuknya atom analit, analit membentuk senyawa yang mudah menguap dengan komponen yang ada dalam matriks sehingga analit ikut hilang (menguap) pada tahap ashing. Gangguan matriks contoh dalam analisis dengan GF-AAS ini cukup rumit, maka untuk menetralisir gangguan matriks dapat menggunakan “matriks modifiers”. Matriks Modifier GF-AAS lebih dipengaruhi oleh senyawa pengganggu dibandingkan dengan metode Flame. Untuk menekan adanya senyawa pengganggu, diperlukan sebuah metode penambahan reagen spesifik yang telah banyak dipelajari, dan kita kenal dengan matriks modifier. Matriks modifier merupakan zat yang sering digunakan dalam analisis dengan teknik graphite furnace yang ditambahkan berlebih di dalam larutan standar dan contoh dengan tujuan merubah analit ke bentuk yang lebih stabil terhadap panas atau merubah matriks contoh atau komponen ke bentuk yang lebih mudah menguap (Beaty dan Jack 1993). Destruksi atau Pengabuan Analisis unsur-unsur logam atau mineral dalam contoh-contoh biologis dan bahan organik lainnya dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya yang bisa dipakai adalah melarutkan (mendestruksi) contoh lebih dahulu. Mendestruksi contoh dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu cara destruksi kering dan cara destruksi basah. Destruksi kering, contoh dipanaskan secara bertahap di udara terbuka untuk menguapkan air, menguraikan dan mengokasidasi contoh, dimana akhirnya contoh diabukan dalam tungku pemanas pada suhu maksimum yang berkisar antara 450-600oC, tergantung dari pada contoh yang dihadapi. Dalam proses ini kadang-kadang digunakan bahan pembantu pengabuan atau “ashing aids” yang berupa bahan kimia seperti asam nitrat, asam sulfat, magnesium nitrat, dan lain-lain yang bertujuan untuk mempermudah dan mempercepat proses oksidasi dan untuk
mencegah kehilangan unsur -unsur analit yang akan diukur. Destruksi basah disebut juga oksidasi basah. Cara ini biasanya digunakan untuk penentuan logam dengan kadar rendah dan logam beracun. Cara yang paling lazim digunakan dalam destruksi basah dengan menggunakan asam nitrat sebagai pengokasidasi atau dengan dikombinasi dengan asam lain seperti asam sulfat, asam perklorat, dan hidrogen peroksida. Kombinasi dengan asam sulfat diperlukan untuk menaikkan suhu sehingga bahan organik yang sukar dioksidasi pada titik didih asam nitrat akan bisa dioksidasi dengan sempurna pada suhu yang jauh di atasnya.
BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Bahan yang digunakan berupa sampel bakteri termofilik dari sumber air panas Pegunungan Rinjani, Kerinci dan Tana Toraja, glukosa, bacto peptone, tripton, NaCl, K2HPO4, bacto agar, Na2 SeO3, larutan kristal violet (campuran 2 g kristal violet dalam 20 mL etanol 95% dengan 0,8 g amonium oksalat dalam 80 mL akuades), Stok Se 10000 ppm, larutan NaCl 0,85%, H2 SO 4 pekat, SeO 2 0.1%, HCl 37%, HNO 3 60%, palladium khlorida (PdCl2), H 2O 2 30%, HNO 3 0.2 N, asam askorbat, gas Argon, akuades dan aquamilipore. Alat yang digunakan ialah autoklaf, neraca timbang, laminar, centrifuge 5804 R, Mili-Q Plus 185, Polarized Zeeman AAS Z5000, tanur, oven Memmert, pemanas listrik Fisher , kuvet, botol nalgene , cawan porselen, spektrofotometer BJC313, eppendorf, pipet mikro, mikroskop, shaker, inkubator, vortex dan alat -alat gelas. Metode Pengamatan Mikroskopis (Genhardt 1994) Sebanyak satu ose isolat terpilih disuspensikan dalam satu tetes akuades di atas kaca objek, kemudian difiksasi dengan cara dilewatkan di atas api Bunsen. Preparat diwaranai dengan larutan kristal violet agar lebih mudah diamati bentuk dan kemurniannya. Setelah itu, dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali dengan penambahan minyak imersi.
Peremajaan Isolat Bakteri Termofilik Peremajaan dilakukan dalam media Heterotrof padat yang mengandung bacto peptone, bacto agar, tripton, NaCl, dan KH 2PO 4 lalu diinkubasi pada suhu 50oC selama 1 hari. isolat yang tumbuh akan digunakan untuk perl akuan selanjutnya. Penyuburan Isolat Bakteri Termofilik Biakan penyuburan dilakukan dengan memindahkan dua ose biakan dari biakan peremajaan ke media Heterotrof cair dengan komposisi campuran bacto peptone, tripton, NaCl, K2HPO4 dan glukosa. Isolat kemudian diinkubasi selama 5 hari pada suhu 50oC. Uji Resistensi Bakteri Termofilik terhadap Senyawa SeO 2 0,1% Sebanyak 100 µl isolat bakteri termofilik masing-masing ditumbuhkan dalam 5 mL media Heterotrof cair yang mengandung 0,1% (b/v) SeO 2. Pengamatan kurva pertumbuhan (Optical Density) dilakukan dengan metode Spektrometri UV-Vis setiap 2 hari selama 2 minggu. Pengukuran OD Bakteri Termofilik dengan Metode Spektrometri UV-Vis Isolat dalam media Heterotrof cair + SeO 2 0.1% sebanyak 100 µl dihomogenkan menggunakan vortex lalu dimasukkan ke dalam kuvet. Biakan diencerkan dengan akuades hingga mencapai 3 mL kemud ian OD diukur dengan spektrometri pada panjang gelombang (?) 600 nm. Media Heterotrof cair steril digunakan sebagai blanko. Sebelum isolat diukur, spektrometri dikalibrasi dengan akuades. Dekontaminasi Alat Penggunaan alat-alat sebelum dilakukan untuk analisis, sebaiknya direndam dengan asam nitrat 2% (v/v) minimal selama satu malam lalu perlakuan selanjutnya dibilas dengan aquamilipore selama 2 menit hingga 10 kali ulangan. Setelah pemakaian alat -alat selesai digunakan, dibersihkan dengan air destilasi, selanjutnya dibilas dengan aquamilipore dan direndam asam nitrat 2% (v/v) sekurang-kurangnya satu malam. Pembuatan Pereaksi dan Media Tumbuh Pereaksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan HNO3 0.2 N, larutan Na2 SeO3 1.0027 ppm, larutan standar Se
untuk penentuan kurva standar, larutan matriks modifier. Pereaksi dibuat dengan metode penimbangan (gravimetri) dan secara volumetrik. Larutan HNO3 0.2 N dibuat dengan pengenceran 15.2195 mL HNO3 60% (v/v) pa khusus AAS dalam labu takar 1000 mL menggunakan aquamilipore. Larutan Na2SeO 3 1000 ppm dibuat dengan menimbang 0.3334 g Na2SeO 3 lalu diencerkan menggunakan aquamilipore dalam labu takar 100 mL. Larutan Na2SeO 3 1.0027 ppm dibuat dengan memipet 0.150 mL larutan Na2SeO 3 100 2.6680 ppm dan diencerkan dengan aquamilipore dalam labu takar 100 mL dan 50 mL. Larutan Na2 SeO 3 1.0027 ppm dalam labu takar 100 mL dan 50 mL langsung digunakan untuk melarutkan media Heterotrof cair sehingga menghasilkan media Heterotrof cair dengan asupan Na2 SeO 3 1.0027 ppm sebagai kelompok perlakuan. Larutan kerja Se 4000 ppb untuk penentuan kurva standar pada analisis GF-AAS dibuat melalui serangkaian pengenceran menjadi 0–50 ppb dari larutan stok Se 10000 ppm menggunakan larutan HNO 3 0.2 N sebagai pelarutnya. Larutan matriks modifier merupakan campuran larutan PdCl2 2000 ppm dan asam askorbat 2% (b/v). Sebanyak 0.0327 g PdCl2 diencerkan dalam labu takar 10 mL dengan penambahan 1,5 mL HNO3 13.141 N dan 1 mL HCl pekat 37% ditepatkan dengan aquamilipore. Sebanyak 0.2 g asam askorbat diencerkan dalam labu takar 10 mL dengan aquamilipore. Larutan tersebut dicampur masing-masing 5 mL larutan PdCl2 2000 ppm dan asam askorbat 2% (b/v). Larutan matriks modifier disimpan dalam tempat yang tertutup dan terlindung dari sinar matahari. Media Heterorof cair sebagai media tumbuh bakteri termofilik pada tahap analisis Se total dibuat dalam 3 kelompok yaitu kontrol (tanpa isolat), perlakuan (dengan dan tanpa asupan Na2 SeO 3 1.0027 ppm) Optimasi Kondisi GF-AAS Dilakukan optimasi pada suhu pengabuan (pyrolysis stage) dan aliran gas inert Argon (Ag) sebagai gas pembawa pada tahap atomisasi. Kondisi lain mengikuti Manual GF-AAS Operation Book. Penentuan Waktu Inkubasi Bakteri Termofilik Terseleksi
Terbaik
Sebanyak 1 slant (agar miring) isolat bakteri terseleksi dari hasil uji toksisitas
diremajakan kembali dalam 50 mL media Heterotrof cair sebagai starter dan diinkubasi pada suhu 50oC . Pengenceran dilakukan menggunakan larutan NaCl 0.85% sebagai pelarutnya. Hal ini dilakukan untuk menyamakan OD tiap isolat dengan metode spektro UV-Vis (? 600 nm) hingga berkisar 0.5-0.8. Larutan starter dimasukkan sebanyak 10% dari volume media Heterotrof cair yang baru yaitu 50 mL dan diinkubasi pada suhu yang sama selama 7 hari (dengan dan tanpa asupan Na2 SeO3 1.0027 ppm), kemudian diamati OD masing-masing isolat setiap 12 jam. Penyuburan dan Pemanen an Biomassa Bakteri Termofilik Setelah diketahui waktu inkubasi optimumnya, sebanyak 1 slant isolat bakteri terseleksi diremajakan dalam 50 mL media Heterotrof cair sebagai starter dan diinkubasi selama 5 hari sesuai dengan waktu optimum yang diperoleh dari kurva pertumbuhan pada suhu 50oC. Pengamatan dan penyamaan OD diperlakukan kembali hingga mencapai 0.5-0.8 dengan metode spektro UV-Vis (λ 600 nm). Larutan starter dimasukkan sebanyak 10% dari volume media yang baru dan diinkubasi selama 5 hari dalam 150 mL media Heterotrof cair (dengan dan tanpa asupan Na2SeO 3 1.0027 ppm ). Biomassa sel bakteri termofilik diperoleh dengan metode sentrifugasi 20000 rpm; suhu 4oC selama 10 menit. Pelet dan supernatan yang didapat dipisahkan lalu pelet dicuci dengan NaCl 0.85% sebanyak 2 kali. Pelet dipindahkan menggunakan sudip bersih ke dalam cawan petri lalu ditutup dengan plastik yang dilubangi dan didiamkan pada suhu ruang selama 1 malam untuk menguapkan supernatan yang tertinggal sehingga didapat biomassa sel kerng bakteri termofilik. Supernatan juga dipindahkan dalam botolbotol kaca berikut kontrol media Heterotrof cair. Pelet akan dianalisis kandungan Se totalnya menggunakan GF-AAS. Pengukuran Kandungan Se total dengan Metode GF-AAS Terdapat dua tahap pendahuluan sebelum analisis utama menggunakan GF-AAS yaitu; penentuan kurva standar dan proses destruksi sampel. Penentuan kurva standar dilakukan menggunakan larutan stok Se yang telah dibuat sebelumnya dan melalui serangkaian pengenceran hingga mendapat larutan kerja Se
dengan konsentrasi 10, 20, 30, 40, 50 ppb dengan blanko menggunakan larutan HNO3 0.2 N. Keseluruhan larutan kerja Se dan matriks modifier diinjeksikan dalam alat AAS mengikuti kondisi optimum GF-AAS yang telah ditentukan sebelumnya. Kurva standar yang diperoleh digunakan sebagai acuan perhitungan konsentrasi sampel. Pembuatan larutan kerja Se tidak dapat disimpan sehingga dibuat hanya jika preparasi sampel telah selesai dan sampel siap diukur. Destuksi sampel dilakukan dengan metode destruksi kering. Sebanyak kurang lebih 1 g sampel (pelet) ditimbang dalam cawan porselen. Sampel ditambahkan 3 tetes matriks modifier lalu diarangkan di atas hot plate selama kurang lebih 1 jam, kemudian sampel dimasukkan dalam tanur yang bersuhu 600oC selama 7 hari hingga menjadi abu putih. Cawan porselen berisi sampel kembali dipanaskan hingga bergelembung secara bertahap di atas hot plate dengan ditambahkannya pereaksi secara berurutan. Urutan pereaksi yang ditambahkan adalah 2 mL HNO3 60%, 2 mL HCl pekat 37%, H2O2 30%. Setiap pemanasan setelah penambahan pereaksi, larutan segera dipindahkan dalam gelas kimia 30 mL. Pada akhir proses ditambahkan 2 mL HNO3 60% sebagai larutan pembilas tanpa dipanaskan. Total volume pada gelas kimia kurang lebih 8 mL. Gelas kimia dipanaskan kembali hingga bersisa kurang lebih 0.5 mL untuk pemekatan sampel. Sampel kemudian diencerkan menjadi 5 mL menggunakan HNO3 0.2 N. Sampel siap diinjeksikan dalam AAS sesuai kondisi optimalnya. Pengenceran dapat dilakukan kembali bila absorban terbaca pada alat melebihi kurva standar. Pengukuran setiap bahan penyusun media terhadap kandungan Se juga dilakukan untuk memastikan tidak adanya Se di dalam media, selain itu dilakukan juga pengukuran pada blanko media (dengan dan tanpa asupan Na2SeO 3 1.0027 ppm). Analisis Statistika Uji ANOVA dilakukan untuk melihat kehomogenan dari data konsentrasi dan kandungan Se total antara jenis sampel. Apabila terdapat perbedaan nyata maka dilakukan uji lanjutan dengan metode Duncan. Kedua uji ini menggunakan software Statistik SAS. Uji ANOVA menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktorial. Model Statistiknya ialah: Yijk = µ + aik + ßjk + a ßi j k + eijk
Keterangan : Y = Respon pada jenis sampel ke-i, perlakuan ke-j dan ulangan ke-k µ = Nilai tengah a ik = Jenis sampel ke-i, ulangan ke-k ßjk = Perlakuan ke-j pada ulangan ke-k a ßijk = Interaksi jenis sampel ke-i, perlakuan ke-j dan ulangan ke-k e ijk = Galat jenis sampel ke-i, perlakuan ke-j dan ulangan ke-k
Pemberian senyawa SeO 2 yang bersifat toksik terhadap isolat termofilik berpengaruh terhadap pertumbuhan yang diukur sebagai nilai serapannya (OD), yaitu jika isolat dapat tumbuh maka nilai serapannya akan meningkat, dan sebaliknya (Gambar 7). Peningkatan nilai serapan ini ditandai dengan semakin keruhnya media tumbuh bakteri termofilik tersebut. Kekeruhan media tumbuh disebabkan oleh jumlah sel yang terus meningkat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3
12K 14Ka
2.5
14Ka 20K 2 Absorbansi
Ketahanan suatu isolat diuji dengan memberikan senyawa Se dengan toksisitas tinggi pada media tumbuhnya, seperti selenium dioksida (SeO 2) (Sax dan Lewis 1998). Pada penelitian, isolat yang diuji merupakan bakteri termofilik yang berasal dari sumber air panas pegunungan vulkanis. Hasil pengamatan dari 16 isolat yang diseleksi menunjukkan hanya 4 isolat yang dapat tumbuh baik dalam media mengandung senyawa SeO 2 0.1 %, yaitu isolat dengan kode 14Ka dan 20K yang berasal dari sumber air panas Kerinci serta 22a dan 23a1 yang berasal dari sumber air panas Rinjani (Gambar 6 dan 7). Ketahanan bakteri termofilik terhadap SeO 2 ini memberikan asumsi bahwa keempat isolat di atas memiliki ketahanan hidup yang lebih baik di dalam media Heterotrof cair yang mengandung garam Se yaitu natrium selenit (Na2SeO 3).
1K
23a1 22a
Seleksi Resistensi Bakteri Termofilik terhadap Toksisitas SeO 2
20K 22K 5 15a
1.5
17d 22a
1
23a1 47#Se A3c
0.5
TB15b TB19.1c
0 0
5
10
Waktu inkubasi (hari)
15
TB71c MKL II1
Gambar 7 Kurva OD toksisitas SeO 2 0.1 % Penentuan Waktu Inkubasi Terbaik
14Ka
20K
22a
23a1
Gambar 6 Isolat termofilik sumber air panas Rinjani dan Kerinci (pembesaran 100x)
Waktu inkubasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai fase logaritmik atau fase eksponensial, yaitu saat kerapatan optiknya mencapai 0.5-0.8. Penentuan waktu inkubasi optimum dilakukan dengan mengukur kerapatan optik (OD) bakteri termofilik di dalam media dengan maupun tanpa asupan Na2SeO 3 1.0027 ppm. Berdasarkan hasil pengukuran selama 1 minggu, waktu inkubasi terbaiknya ialah pada hari ke 5 dengan OD rata-rata berkisar 0.5-0.8 (Gambar 8). Pada hari ke 5, peningkatan OD isolat 14Ka dan 20K terlihat cukup besar dibandingkan dengan isolat 22a dan 23a1. Pada media yang diberi Na2 SeO 3 1.0027 ppm, nilai OD tertinggi sebesar 0.892 (14Ka), sedangkan nilai OD terendahnya sebesar 0.604 (23a1). Sementara itu, pada media tanpa Na2 SeO3 1.0027 ppm nilai OD tertingginya sebesar 0.866 (14Ka), sedangkan nilai OD terendahnya sebesar 0.579 (23a1).
Hal ini dapat dilihat secara visual, yaitu semakin keruhnya media maka OD semakin tinggi, artinya semakin bertambahnya populasi sel di dalam media. Peningkatan jumlah populasi sel biasanya terjadi pada fase eksponensial, yaitu saat proses metabolisme sel di dalam tubuh bakteri masih terus berjalan (aktif). Hal ini menyebabkan daya serap bakt eri terhadap Na2 SeO3 yang diasup dari dalam media tumbuh cukup tinggi. Proses akumulasi ini mendorong terjadinya peningkatan kandungan Se total di dalam sel bakteri termofilik.
1.2
14Ka (# Se)
Absorbansi
1
14Ka (+ Se)
0.8
20K (# Se)
0.6
20K (+ Se)
0.4
22a (# Se) 22a (+ Se)
0.2
23a1 (# Se) 0 1
2
3 4 5 6 Waktu inkubasi (hari)
7
Pemberian asupan N a2 SeO 3 1.0027 ppm pada media pertumbuhan bakteri dapat mempengaruhi jumlah biomassa sel bakteri tersebut. Pada isolat 20K dan 23a1 yang diberi asupan N a2 SeO 3 1.0027 ppm terjadi peningkatan biomassa sel, yaitu sebesar 39.58% dan 1.05%. Sementara itu, pada isolat 14Ka dan 22a yang diberi asupan Na2 SeO 3 1.0027 ppm terjadi penurunan biomassa sel , yaitu sebesar 1.52% dan 24.15% (Gambar 9). Menurut Ponce dalam Dumont 2006, semakin banyak senyawa Se yang ditambahkan dalam media tumbuh maka pertumbuhan sel akan terhambat. Penyamaan OD hingga nilainya berkisar antara 0.5-0.8 di dalam media (dengan maupun tanpa penambahan Na2SeO 3 1.0027 ppm) dilakukan sebelum pemanenan sel. Proses ini menggunakan larutan NaCl fisiologis (NaCl 0.85%) dengan tujuan untuk mencegah pecahnya sel di dalam media sehingga Se yang terkandung di dalam bakteri tersebut tidak keluar dari sel. Proses pemanenan biomassa sel dilakukan dengan metode sentrifugasi, yaitu proses pemisahan yang didasarkan pada bobot selnya. Sentrifugasi untuk sel bakteri dilakukan dengan kecepatan 20.000 rpm selama 10 menit pada suhu 4oC. Sel yang didapat dalam bentuk padatan (pelet) didiamkan di dalam laminar selama 1 hari pada suhu kamar agar media di dalamnya menguap, sehingga diperoleh biomassa sel kering.
23a1 (+ Se)
-1.52%
Proses Penyuburan dan Pemanenan Biomassa Sel Biomassa sel dalam jumlah banyak dapat diperoleh dengan proses penyuburan dan pemanenan. Proses penyuburan bakteri penting dilakukan karena sel membutuhkan nutrisi yang cukup untuk kelangsungan hidupnya. Setelah proses penyuburan, bakteri dipanen dalam media tumbuhnya lalu ditimbang bobot selnya. Berdasarkan hasil pengamatan pada media yang diberi asupan Na2 SeO 3 1.0027 ppm, isolat 14Ka memiliki biomassa terbesar (0.4856 g) dan isolat 23a1 memiliki biomassa terendah (0.2028 g). Sementara itu, pada media tanpa asupan Na2SeO 3 1.0027 ppm, isolat 14Ka memiliki biomassa tertinggi (0.4931 g), sedangkan isolat 23a1 memiliki biomassa terendah (0.2007 g) (Gambar 9).
Biomassa Sel (g)
Gambar 8 Kurva inkubasi
0.5 0.45 0.4 0.35
-24.15%
39.58% 1.05%
0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 14 Ka
Dengan Se Tanpa Se
20K
22a
23a1
Kode isolat
Gambar 9 Kurva biomassa sel bakteri Nilai diatas diagram menunjukkan “persentase perubahan biomassa sel” Penentuan Kurva Standar Saat ini, teknik penimbangan lebih banyak digunakan untuk membuat larutan standar dibandingkan teknik volumetri (pemipetan). Teknik penimbangan memiliki beberapa keuntungan, yaitu keakuratannya
Hasil analisis regresi penentuan konsentrasi Se pelet pada pengenceran pertama menghasilkan persamaan sebagai berikut (Gambar 11): y = 0.0017x + 0.0073 r = 0. 9937 dan LOD = 6.88 ppb. Hasil analisis regresi penentuan konsentrasi Se pelet pada pengenceran kedua menghasilkan persamaan sebagai berikut (Gambar 12): y = 0.0018 x + 0.0070 r = 0.9963 dan LOD = 5.33 ppb Koefisien korelasi (r) yang mendekati nilai 1 merupakan syarat dari linieritas kurva standar. Koefisien korelasi dari kurva standar yang dibuat diperoleh nilai diatas 0,9, artinya terdapat korelasi antara konsentrasi standar Se dengan absorbansi yang terbaca, sehingga diharapkan hasil analisis nya akur at. Berdasarkan kurva standar, diperoleh nilai LOD sekitar 5–8 ppb yang menunjukkan batas respon keakuratan hasil pengukuran. Apabila nilai kandungan Se total sampel yang terbaca di bawah LOD berarti tidak memberikan respon yang akurat. Analisis sampel harus dilakukan pada waktu yang sama dengan pembuatan larutan stok Se,
dikarenakan kestabilan larutan stok dalam tingkat ppb sangat kecil. y = 0.0015x + 0.0074 r = 0.9926
Absorbansi (unit)
0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 0
10
20
30
40
50
60
Konsentrasi (ppb)
Gambar 10 Kurva standar media heterotrof y = 0.0017x + 0.0073 r = 0.9937 Absorbansi (unit)
0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 0
10
20
30
40
50
60
Konsentrasi (ppb)
Gambar
11
Kurva standar pertama
pengenceran y = 0.0018x + 0.007 r = 0.9963
0.1 Absorbansi (unit)
tinggi dikarenakan kesalahan atau galatnya lebih kecil, dapat dikoreksi balik menjadi konsentrasi yang sebenarnya, serta tidak dipengaruhi oleh temperatur. Konsentrasi selenium pada sampel dapat diperoleh dengan membuat kurva standar Se, sehingga diperoleh garis linier dengan persamaan umum sebagai berikut: y = ax + b y sebagai absorban terbaca alat, x sebagai konsentrasi Se terbaca alat, a sebagai slope (kemiringan garis regresi), b sebagai intercept Kurva standar juga dapat digunakan untuk mengetahui Limit of Detection (LOD), yaitu konsentrasi terendah suatu analit dalam sampel yang masih dapat terdeteksi oleh alat (dalam hal ini GF-AAS), walaupun tidak selalu dikuantifikasi dan digunakan sebagai acuan penentuan konsentrasi Se pada sampel yang sebenarnya. LOD diukur dari standar deviasi (SD) respon dan slope (S) dari kurva kalibrasi dengan persamaan sebagai berikut: LOD = 3(S y/x/slope) Hasil analisis regresi penentuan konsentrasi Se pada kontrol media Heterotrof cair diperoleh persamaan garis linier sebagai berikut (Gambar 10): y = 0.0015 x + 0.0074 r = 0.9926 dan LOD = 7.80 ppb
0.08 0.06 0.04 0.02 0 0
10
20
30
40
50
60
Konsentrasi (ppb)
Gambar 12 Kurva standar pengenceran kedua Penentuan Kandungan Se Total Kandungan Se total merupakan banyaknya senyawa-senyawa Se dalam satuan gram pada sampel. Konsentrasi Se total (µg Se/g biomassa) didapatkan dari hasil kali konsentrasi Se yang terbaca pada alat dengan faktor pengenceran total sampel. Adapun kandungan Se total (µg) didapat dari nilai konsentrasi Se total dikalikan dengan bobot biomassa sel. Kandungan Se total pada kontrol media heterotrof cair dengan asupan Se ialah sebesar 0.2043 µg. Sementara itu, kontrol yang tanpa asupan Se tidak ada serapan yang terbaca. Analisis kandungan Se total juga dilakukan pada komposisi media Heterotrof cair, yaitu bacto peptone dan triptone. Hasil yang diperoleh menunjukkan tidak terdapat senyawa Se di dalamnya.
dan 0.3294 g dengan daya akumulasi Se yang tinggi sebesar 2.1378 µg dan 1.0031 µg. Sementara itu, isolat 22a dan 23a1 menghasilkan biomassa yang cukup besar yaitu 0.2818 g dan 0.2028 g, namun daya akumulasinya sangat rendah yaitu sebesar 0.0313 µg dan 0.0537 µg. Dengan demikian, bakteri dengan kode 14Ka dan 20K merupakan isolat -isolat terbaik karena memiliki kandungan Se total paling besar. Kandungan Se total yang sangat kecil pada seluruh sampel, baik dengan maupun tanpa asupan Na2 SeO 3 1.0027 ppm, menjelaskan bahwa daya akumulasi bakteri termofilik terhadap asupan Na2SeO 3 1.0027 ppm masih sangat rendah. Namun, ada kemungkinan kandungan Se total yang rendah tersebut disebabkan karena adanya penyusutan Se selama proses preparasi, destruksi, dan analisis. Kandungan Se total (mikrogram)
2.25 2 1.75 1.5 1.25 1 0.75 0.5 0.25 0 14Ka
Dengan Se
20K
22a
23a1
Kode isolat
Tanpa Se
Gambar
13
Kandungan termofilik
Se
total
pelet
Kandungan Se total (mikrogram)
0.8 0.6 0.4 0.2 0 Dengan Se
14Ka
20K
22a
23a1
Kode isolat
Tanpa Se
Gambar 14 Kandungan Se total supernatan termofilik 2.5 Kandungan Se total (mikrogram)
Hasil perbandingan kandungan Se total pada pelet termofilik antara yang diberi asupan dan tanpa asupan Na2SeO 3 1.0027 ppm diperoleh perbedaan yang cukup nyata pada kode 14Ka dan 20K. Kandungan Se total isolat 14Ka, 20K dan 23a1 yang diberi asupan Na2 SeO3 1.0027 ppm lebih tinggi dibandingkan dengan isolat yang tanpa asupan, yaitu secara berurutan sebesar 2.1378 µg, 1.0031 µg, 0.0537 µg. Artinya, isolat yang diberi asupan Na2SeO 3 1.0027 ppm lebih banyak dalam mengakumulasi Se. Sebaliknya, kandungan Se pada isolat 22a yang diberi asupan Na2 SeO 3 1.0027 ppm sedikit lebih rendah dibandingkan dengan isolat tanpa asupan Se, yaitu sebesar 0.0313 µg (Gambar 13). Berdasarkan data yang diperoleh, terlihat bahwa pelet pada isolat 14Ka memiliki kandungan Se total paling tinggi dibandingkan pelet pada ketiga isolat lainnya. Perbedaan kandungan Se total pada keempat isolat antara supernatan yang diberi asupan Na2SeO 3 1.0027 ppm dan tanpa asupan terlihat sangat nyata. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa supernatan pada isolat 14Ka, 20K, 22a, dan 23a1 yang diberi asupan Na2 SeO3 1.0027 ppm memiliki kandungan Se total lebih tinggi dibandingkan dengan supernatan tanpa asupan, yaitu berturut-turut sebesar 0.6292 µg, 0.4917 µg, 0.5802 µg dan 0.7826 µg (Gambar 14). Berdasarkan hasil di atas, terlihat bahwa kandungan Se total dalam supernatan pada isolat 23a1 lebih tinggi dibandingkan supernatan pada ketiga isolat lainnya. Perbandingan kandungan Se total antara pelet dan supernatan yang diberi asupan Na2 SeO3 1.0027 ppm menunjukkan bahwa sebagian besar Se dapat terakumulasi dengan baik pada pelet isolat 14Ka dan 20K dibandingkan di dalam supernatannya. Akan tetapi, pada pelet isolat 22a dan 23a1 diketahui lebih sedikit Se yang terakumulasi karena banyak yang terlarut di dalam supernatan (Gambar 15). Sementara itu, perbandingan kandungan Se total antara pelet dan supernatan tanpa asupan Na2 SeO3 1.0027 ppm menunjukkan pelet isolat 14Ka, 20K, dan 22a lebih banyak mengakumulasi Se dibandingkan dengan supernatannya. Namun pada isolat 23a1 terjadi sebaliknya (Gambar 16). Berdasarkan Gambar 9 dan Gambar 13, perbandingan antara biomassa sel dan kandungan Se total pada isolat termofilik yang diberi asupan Na2SeO 3 1.0027 ppm menunjukkan bahwa isolat 14Ka dan 20K memiliki biomassa yang besar yaitu 0.4856 g
2 1.5 1 0.5 0 14Ka
Pelet dengan Se
20K
22a
23a1
Kode isolat
Supernatan dengan Se
Gambar 15 Kandungan Se total pelet dan supernatan dengan asupan Se
Kandungan Se total (mikrogram)
0.09 0.08 0.07 0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 0.01 0 14Ka
Pelet tanpa Se
20K
22a
23a1
kandungan Se total dengan beberapa kali ulangan, sehingga kandungan Se total yang terakumulasi dapat terdeteksi secara sempurna. Proses preparasi, destruksi dan analisis juga perlu di kaji ulang agar data yang diperoleh lebih akurat dan teliti. Selanjutnya, perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut tentang jenis senyawa Se yang ada dalam sel temofilik.
Kode isolat
DAFTAR PUSTAKA
Supernatan tanpa Se
Gambar 16 Kandungan Se total pelet dan supernatan tanpa asupan Se Hasil analisis statistik dengan uji ANOVA menunjukkan adanya perbedaan nyata antara sampel, maksudnya adanya perbedaan kandungan Se total dengan perlakuan yang diberikan . Nilai peluang F yang diperoleh lebih kecil dari nilai (a = 0,05), yaitu sebesar 0,0001. Perbedaan nyata dari hasil analisis statistik mendasari uji lanjut dengan metode Duncan untuk melihat perbedaan nyata pada sampel secara spesifik dalam hasil analisis konsentrasi maupun kandungan Se total. Hasil analisis dengan uji Duncan menunjukkan adanya perbedaan nyata antara jenis sampel (isolat 14Ka, 20K, 22a, 23a1, dan blanko) terhadap perlakuan (dengan maupun tanpa penambahan Se).
Adityawarman NM. 2002. Pengaturan waktu ekstraksi taoge dan konsentrasi glukosa pada pertumbuhan khamir torula untuk produksi selenium minimum [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Aguilar A, Ingemansson T, Magnien E. 1998. Extremophiles microorganisms as cell factories: support from tea European Union. Extremophiles 2:367-373. Anggraeni M. 2002. Pemanfaatan ekstrak selenium pinang (Areca catechu L.) dengan fermentasi AcetobacterSaccharomyces sebagai antiseptik obat kumur [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
SIMPULAN DAN SARAN Beaty Simpulan Isolat yang diuji ketahanan toksisitas SeO 2nya berjumlah 16 isolat. Akan tetapi hanya 4 isolat yang dapat tumbuh baik, yaitu 14Ka dan 20K (berasal dari sumber air panas Kerinci) serta 22a dan 23a1 (berasal dari sumber air panas Rinjani). Bakteri termofilik vulkanis memiliki kandungan Se dan penambahan Na2 SeO 3 dalam media tumbuhnya menunjukkan adanya peningkatan kandungan Se total di dalamnya. Kandungan Se total tertinggi dihasilkan isolat dengan kode 14Ka sebesar 2.1378 µg dan isolat dengan kode 20K sebesar 1.0031 µg. Uji ANOVA dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa penambahan Na2 SeO 3 1.0027 ppm memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan kandungan Se total yang terakumulasi dalam sel termofilik. Saran Teknik optimasi dan validasi metode perlu dilakukan dalam menentukan
R, Jack D. 1993. Concepts, Instrumentation, Technique in AAS, 2nd Ed. Norwalk USA: Perkin - Elmer.
Casarett & Doull’s. 1986. Toxicology: Basic Science of Poisons. 3 th Ed. New York: M c-Millan Publishing. Damdimopoulos AE. 2003. Identification and functional characterization of novel thioredoxin systems [thesis]. Stockholm: Karolinska University Pr. Dilaga SH. 1992. Nutrisi Mineral pada Ternak. Kajian Khusus Unsur Selenium. Jakarta: Akademika Presindo. Dodig S, Cepelak I. 2004. The fact and controverses about selenium. Acta Pharm. 54:261-276. Dummont E, 2006. Hypenated techniques for speciation of Se in biological matrices. thesis. Department of Analytical Chemistry Universiteit Gent: Bellegem.
Edwards C. 1990. Microbiology of Extreme Environment. Buckingham: Open University Pr. Fuller CW. 1977. Electrothermal Atomization for Atomic Absorption Spectrometry. London: IBM Pr. Genhardt P. 1994. Methods for General and Molecular Bacteriology. RGE Murray, Willis A, Wood, Noel R Krieg (Ed.). Washington DC: American Society for Microbiology. Hutzinger O. 1982. The Handbook of The Environmental Chem istry. Volume ke 3. Berlin: Springer-Verlag. Indrajaya et al. 2003. Isolasi dan identifikasi mikroorganisme termofil isolat kawah wayang. J Mikrob Indonesia. 53-56. Junaedi I. 2003. Kandungan selenium produk fermentasi daun benalu the Scurrula atropurpurea (BI) danser oleh simbiosis Saccharomyces acetobacter [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Nakamuro K, Okuno T, Hasegawa T. 2000. Metabolism of selenoaminoacids and contribution of s elenium methylation to their toxicity. Journal of Health Sci 46(6): 418-421. Pelczar MJ, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi . Volume ke-1. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Elements of Microbiology. Pohl D et al. 1991. Determination of normal levels of s elenium in blood serum by GF-AAS. Jerman: AA-Instrument At Work AA-103. Price WJ. 1972. Analytical Atomic Absorption Spectrometry. London: Heyden & Son. Sax
NI, Lewia RJ. 1998. Dangerous Properties of Industrial Materials. 7th Ed. Volume ke-3. New York: Van Nostrand Rein Hold.
Slavin
M . 1978. Atomic Absorption Spectrometry. 2nd Ed. New York: John Wiley and Sons .
Laksmi. 2001. Waspadai serangan leukimia. http://www.plasa.com [24 Oktober 2005].
Sturgeon RE 1977. Factors affecting atomization and measurement in AAS. Anal Chem vol 40 (14):1255-1267.
Lawyer FC et al. 1989. Isolation, characterization, and expression in Escherichia coli of the DNA polymerase gene from Thermus aquaticus. J Biol Chem 264:64276437.
Van den Burg B. 2003. Extremophiles as a source for novel enzymes. Curr Opinion in Microbiol. 6:213 -218.
Linder M. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian Secara Klinis. Jakarta: UI-Pr. Lobinski R et al. 2000. Species -selective determination of selenium compounds in biological material. Pure Appl Chem . 72(3):447-461.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Tahapan penelitian
Sampel Bakteri Termofilik sumber air panas 16 isolat
Seleksi Uji Resistensi dalam media Heterotrof cair + 0.01 % SeO 2 Metode Spektrometri UV-Vis λ 600 nm 4 isolat
Peremajaan isolat terseleksi
Perlakuan penambahan Na2 SeO 3
Penyuburan dan pemanenan
Kuantitasi Biomassa sel kering
Penentuan kandungan Se total Metode GF-AAS
Lampiran 2 Komposisi media Media Heterotrof Padat - 15 g bacto peptone - 3 g triptone - 5 g NaCl - 2.5 g K2HPO4 - 10 g bacto agar - 1000 ml akuades Media Heterotrof Cair - 12 g bacto peptone - 3 g triptone - 5 g NaCl - 2.5 g K2HPO4 - 2.5 g glukosa - 1000 ml akuades Larutan Kristal Violet - 2 g kristal violet - 20 ml etanol 95 % - 0.8 g ammonium oksalat - 80 ml akuades Lampiran 3 Sampel bakteri termofilik Rinjani, Kerinci, dan Tana Toraja Kode isolat
Asal
Ketinggian
Suhu
(m dpl)
(ºC)
1K
Gao Sakti, Sumurup
815
82
12K
Gao Lulu, Sumurup
815
103
14Ka
Gao Lulu, Sumurup
815
103
20K
Sungai Medang
820
86 - 87
22K
Sungai Medang
820
86 - 87
5
Penatahan-Tabanan, Bali
300
40
15a
Danau Segara Anak, TN. Rinjani
1930
62 - 68
17d
Danau Segara Anak, TN. Rinjani
1930
62 - 68
22a
Sebau Suwela, TN. Rinjani
1300
42
23a1
Danau Segara Anak, TN. Rinjani
1930
62 - 68
47 tanpa Se
Sungai Medang
820
86 - 87
A3C
Makula, Toraja
700
42
TB 15b
Makula, Toraja
700
42
TB 19c
M akula, Toraja
700
42
TB 71c
Makula, Toraja
700
42
MKL II1
Makula, Toraja
700
42
Lampiran 4 Tahapan uji resistensi dengan metode Spektrometri UV-Vis
Isolat dalam media Heterotrof cair + 0.1 % (b/v) SeO 2 100 µl biakan
Dihomogenkan
Dimasukkan ke dalam kuvet Pengenceran dengan 2.9 ml akuades
Kalibrasi Spekt rometri UV-Vis dengan akuades
Pengukuran pertumbuhan (OD) Metode Spektrometri UV-Vis; λ 600 nm
Lampiran 5 Isolat terseleksi pada uji resistensi Kode isolat
Asal
Ketinggian
Suhu
(m dpl)
(ºC)
14Ka
Gao Sakti, Sumurup
815
103
20K
Sungai Medang
820
86 - 87
23a1
Danau Segara Anak, TN. Rinjani
1930
62 - 68
22a
Sebau Suwela, TN. Rinjani
1300
42
Lampiran 6 Dekontaminasi alat-alat gelas
Alat-alat gelas
Direndam HNO 3 2 % (v/v) Minimal 1 malam
Dibilas dengan aquamilipore 10 x ulangan (2 menit @ 1 ulangan)
Analisis Setelah pemakaian
Dibilas dengan akuades 10 x ulangan (2 menit @ 1 ulangan)
Lampiran 7 Penentuan w aktu inkubasi t erbaik bakteri termofilik t erseleksi
Isolat termofilik terseleksi
Ditumbuhkan dalam 50 ml media Heterotrof cair; inkubasi T = 50 oC
Penyamaan OD 0.5–0.8 menggunakan pelarut NaCl 0.85 % Metode Spektrometri UV-Vis; ? 600 nm
10 % starter
Penyuburan dalam 50 ml media Heterotrof cair baru (dengan dan tanpa Na2 SeO 3 1.0027 ppm); inkubasi T = 50 oC
OD diamati dengan metode Spektrometri UV-Vis; ? 600 nm tiap 12 jam selama 7 hari
Lampiran 8 Waktu inkubasi t erbaik bakteri termofilik t erseleksi ABSORBANSI K O D E
HARI 1
HARI 2
HARI 3
HARI 4
HARI 5
HARI 6
HARI 7
12
24
12
24
12
24
12
24
12
24
12
24
12
24
14Ka
0.292
0.364
0.449
0.526
0.585
0.655
0.718
0.762
0.804
0.866
0.912
0.975
1.026
1.068
14Ka
0.374
0.438
0.488
0.517
0.586
0.659
0.744
0.813
0.842
0.892
0.954
1.004
1.072
1.134
20K
0.288
0.366
0.427
0.498
0.553
0.616
0.657
0.723
0.787
0.857
0.926
0.981
1.024
1.047
20K
0.363
0.417
0.469
0.52
0.579
0.661
0.724
0.772
0.819
0.881
0.948
0.997
1.058
1.102
22a
0.171
0.213
0.252
0.328
0.361
0.4
0.439
0.474
0.520
0.594
0.687
0.738
0.794
0.840
22a
0.194
0.233
0.283
0.330
0.366
0.419
0.454
0.514
0.551
0.622
0.704
0.775
0.847
0.908
23a1
0.177
0.214
0.255
0.293
0.338
0.388
0.433
0.482
0.508
0.579
0.667
0.734
0.796
0.844
23a1
0.182
0.228
0.279
0.315
0.351
0.422
0.464
0.503
0.536
0.604
0.673
0.745
0.806
0.864
Keterangan: * Data dengan latar belakang berwarna abu-abu (samp el dengan Se) * Data dengan latar belakang berwarna putih (sampel tanpa Se)
Lampiran 9 Metode penyuburan dan pemanenan biomassa s el termofilik
Isolat termofilik
Ditumbuhkan di dalam 50 ml media Heterotrof cair (starter); inkubasi T = 50 oC selama 5 hari
Penyamaan OD 0.5–0.8 menggunakan pelarut NaCl 0.85 % Metode Spektrometri UV-Vis; ? 600 nm
10 % dari starter Penyuburan dalam 150 ml media Heterotrof cair baru (dengan dan tanpa Na2 SeO3 1.0027 ppm); inkubasi T = 50 oC selama 5 hari
divortex
Sentrifus dengan kecepatan 20.000 rpm; T = 4 oC selama 10 menit
Supernatan
Pellet Dicuci dengan NaCl 0.85 %
Analisis dengan metode GF-AAS
Lampiran 10 Optimasi dan kondisi optimal GF-A A S No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Ashing Temperature (oC) 800 900 1000 1100 1200 1300 1200
Atomization Gas Flow (ml/menit)
Absorbans Rata-rata
RSD
Jumlah Ulangan
30 30 30 30 30 30 0
0.0342 0.0345 0.0338 0.0354 0.0357 0.0351 0.0680
2.63 1.16 3.55 1.69 5.88 3.42 2.35
3 2 2 2 2 2 2
Keterangan
Standar Se yang digunakan 20 ppb
GF-AAS Methode Analisis name : Selenium (Se) Instrument 1-Se Signal mode
: BKG Corr
Measurement Mode
: Integral
Slicing Height (%)
:
Wave Length (nm)
: 196
Determine the W.L
: Auto
Slit Width (nm)
: 1.3
Time Constant (s)
: 0.1
Lamp Current (mA)
: 12.5
PMT Voltage (V)
: 500
Analytical Methode 1-Se Injection Volume (µl)
: 20
Cuvette Type
: Tube A
Temperature Control
: optical
Temperature Program Step Dry Ash Atom Clean
Start/ End Temp (oC) 80/140 1200/1200 2600/2600 2700/2700
Ramp/ Hold Time (s) 40/0 20/0 0/5 0/4
Gas Flow (ml/min) 200 200 30 200
Lampiran 11 Analisis kandungan Se total K O D E
Perlak uan
Kontrol (media)
+Se #Se P (+Se) S (+Se) P (#Se) S (#Se) P (+Se) S (+Se) P (#Se) S (#Se) P (+Se) S (+Se) P (#Se) S (#Se) P (+Se) S (+Se) P (#Se) S (#Se)
14Ka
20K
22a
23a1
Keterangan: P S +Se #Se
: : : :
Massa Isi (g)
Faktor Pengence ran FP 1 (g)
Faktor Pengence ran FP 2 (g)
Faktor Pengence ran FP 3 (g)
FP Total
1.0083 1.0035 0.4856 1.0092 0.4931 1.0151 0.3294 1.0028 0.2360 1.0047 0.2818 1.0006 0.3715 1.0066 0.2028 1.0068 0.2007 1.0053
5.0010 5.0008 10.3017 4.9545 10.1422 4.9262 15.1931 5.0356 21.2072 4.9767 17.7534 5.0111 13.4595 4.9797 24.6553 4.9717 24.9133 4.9754
10.0207 5.0003 5.9981 5.0000 4.9986 5.0010 6.0000 -
5.0008 -
5.0010 5.0008 516.2338 24.7740 10.1422 4.9262 91.1297 25.1780 21.2072 4.9767 88.7421 25.0605 13.4595 4.9797 24.6553 29.8302 24.9133 4.9754
Pelet bakteri termofilik Supernatan bakteri termofilik Media diberi asupen selenium Media tanpa asupan selenium
Absorbansi A1
A2
0.0692 0.0062 0.0227 0.0525 0.0286 0.0092 0.0662 0.0413 0.0406 0.0090 0.0089 0.0485 0.0240 0.0087 0.0256 0.0535 0.0081 0.0098
0.0671 0.0059 0.0220 0.0521 0.0293 0.0088 0.0681 0.0428 0.0350 0.0074 0.0096 0.0488 0.0212 0.0093 0.0255 0.0543 0.0068 0.0093
Konsentrasi sebenarnya (µg/g) 1 2 Ratarata 0.2060 0 4.5027 0.6262 0.1271 0.0056 2.9972 0.4798 0.3456 0.0050 0.0937 0.5778 0.1322 0.0041 0.2654 0.7706 0.0117 0.0073
0.1990 0 4.3019 0.6207 0.1313 0.0044 3.0933 0.5008 0.3456 0.0003 0.1282 0.5820 0.1101 0.0059 0.2640 0.7839 0 0.0059
0.2025 0 4.4023 0.6435 0.1292 0.0050 3.0453 0.4903 0.3456 0.0027 0.1110 0.5799 0.1212 0.0050 0.2647 0.7773 0.0059 0.0066
Kandungan Se Total (µg) 1 2 Ratarata 0.2078 0 2.1865 0.6320 0.0627 0.0056 0.9873 0.4811 0.0816 0.0050 0.0264 0.5781 0.0491 0.0041 0.0538 0.7759 0.0024 0.0074
0.2007 0 2.0890 0.6264 0.0647 0.0045 1.0189 0.5022 0.0816 0.0003 0.0361 0.5823 0.0409 0.0059 0.0535 0.7892 0 0.0059
0.2043 0 2.1378 0.6292 0.0637 0.0051 1.0031 0.4917 0.0816 0.0027 0.0313 0.5802 0.0450 0.0050 0.0537 0.7826 0.0012 0.0067
Lampiran 12 Analisis dan kurva standar media heterotrof cair Jenis
Sampel
Media
Bacto peptone Tryptone
Absorbansi A1
A2
0.0039 0.0052
0.0040 0.0045
Faktor pengenceran (FP) FP 1 FP 2 FP Total -
-
-
Kon sentrasi sebenarnya (µg/g) 1 2 -
-
Kurva standar media heterotrof cair Kode Standar 1 Standar 2 Standar 3 Standar 4 Standar 5 Standar 6
Konsentrasi (ppb) 0 9.9998 19.9960 29.9990 39.9970 49.9970
Absorbansi A1 0.0024 0.0247 0.0452 0.0573 0.0714 0.0804
Kurva Standar Media Heterotrof
A2 0.0031 0.0238 0.0457 0.046 0.0747 0.0825
A3 0.0037 0.0232 0.0389 0.0569 0.0652 0.079
y = 0.0015x + 0.0074 r = 0.9926
Absorbansi (unit)
0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 0
10
20
30 Konsentrasi (ppb)
40
50
60
A rata-rata 0.0031 0.0239 0.0433 0.0534 0.0704 0.0806
Kandungan Se Total (µg) 1 2 Rata-rata -
-
-
Lampiran 13 Kurva standar pengenceran 1 Kode Standar Standar Standar Standar Standar Standar
1 2 3 4 5 6
Konsentrasi (ppb) 0.0000 10.0003 19.9763 29.9831 39.9983 50.0021
Absorbansi A2 A3 0.0021 0.004 0.0245 0.0255 0.0491 0.0400 0.0579 0.0602 0.0754 0.0747 0.0868 0.0833
A1 0.0031 0.0247 0.0437 0.056 0.0775 0.0867
Kurva Standar Termofilik Dengan Matriks
A rata-rata 0.0031 0.0249 0.0443 0.058 0.0759 0.0856
y = 0.0017x + 0.0073 r = 0.9937
Absorbansi (unit)
0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 0
10
20
30
40
50
60
Konsentrasi (ppb)
Lampiran 14 Kurva standar pengenceran 2 Kode Standar Standar Standar Standar Standar Standar
Konsentrasi (ppb) 1 2 3 4 5 6
Absorbansi A2 A3 0.0033 0.0039 0.0273 0.0255 0.0454 0.0491 0.0626 0.0596 0.0793 0.0775 0.0953 0.0928
A1 0.0034 0.0227 0.0448 0.0618 0.0775 0.0885
0.0000 9.9983 19.999 29.997 40.0000 49.9999
Kurva Standar Pengenceran Se Termofilik 2 y = 0.0018x + 0.007 r = 0.9963 Absorbansi (unit)
0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 0
10
20
30 Konsentrasi (ppb)
40
50
60
A rata-rata 0.0035 0.0252 0.0464 0.0613 0.0781 0.0922
Lampiran 15 Perhitungan-perhitungan • •
•
•
•
•
Larutan Stock Se (Delta Scientific Labs Produce; High Purity Se Ontario) = 10000 ± 0.03 ppm = 1 x 10 7 ppb Matriks Modifier (PdCl2) Mr. PdCl2 = {106.4 + (35.5x2)} = 106.4 + 71 = 177.4 g/mol Ar.Pd x massa PdCl2 = 1000 ppm Mr.PdCl 2 106.4 x massa PdCl2 = 1000 ppm 177.4 0.5998 x massa PdCl2 = 1000 ppm massa PdCl2 = 1667.2224 mg/1000ml = 16,672 mg/10 ml = 0.0166 g/10 ml = 0.02 g/10 ml Natrium Selenit (Na2SeO 3) Mr Na2 SeO 3 = 263.01 g/mol Ar Se = 78.96 g/mol Fraksi Se x massa Na2 SeO3 = 1000 ppm 0.3002 x massa Na2 SeO3 = 100 mg/100ml massa Na2 SeO3 = 333.1113 mg/100ml = 0.3331g/100ml Massa Sebenarnya = 0.3340 g/100ml = 334 mg/100ml Konsentrasi sebenarnya = 334 x 0.3002 = 100.26680 mg/100ml = 1002.6680 mg/1000ml = 1002.6680 ppm Larutan Na2SeO 3 1 ppm untuk pelarut media YM V1 x N1 = V2 x N2 0,150 mL x 1002,6680 ppm = 150 mL x N2 N2 = 1,0027 ppm HNO 3 0.2 N ? = 1.38 g/ml Mr HNO 3 = 63.01 g/mol Konsentrasi = ? x % (v/v) x 1000 Mr HNO3 = 1.38 x 0.60 x 100 63.01 g/mol = 13.1411 M = 13.1411 N V1 N1 = V2 N2 V1x13.1411 = 1000 x 0.2 V1 = 15.1295 ml
Lampiran 16 Analisis Uji ANOVA dan Uji Duncan • Konsentrasi Se Total (µg Se/g biomassa) The SAS System Analysis of Variance Procedure Class Level Information Class Levels Description Jenis Sampel (JNS) 5 14Ka, 20K, 22a, 23a1, blanko Perlakuan (PR) 2 Dengan Se (P1) dan Tanpa Se (P2) Number of observations in data set = 20 The SAS System Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: (Konsentrasi Se Total) Source DF Sum of Mean Square F value Probability Square of F JNS 4 17.31367869 4.32841967 1682.90 0.0001 PR 1 11.02285824 11.02285824 4285.71 0.0001 JNS*PR 4 14.63274910 3.65818728 1422.31 0.0001 Error 10 0.02572000 0.00257200 Corrected 19 42.99500603 Total R-Square = 0.999402 Coefficient Of Variance (C.V) = 5.878283 Root Mean Square Error = 0.05071489 Konsentrasi Mean = 0.86275000 Conclusion : Significant differences happen, if Probability Value of F is smaller than (α = 0.05)
Duncan Grouping A B C C C
Duncan Grouping A B
Duncan's Multiple Range Test for variable: Source = JNS Mean N 2.26575 4 1.69543 4 0.13528 4 0.11605 4 0.10125 4 Duncan's Multiple Range Test for variable: Source = PR Mean N
1.60514 10 0.12036 10 Duncan's Multiple Range Test for variable: Source = JNS*PR Duncan Grouping Mean N A 4.40230 2 B 3.04525 2 C 0.34560 2 D C 0.26470 2 D E 0.20250 2 E 0.12920 2 F E 0.12115 2 F E G 0.11095 2 F G 0.00585 2 G 0.00000 2 Conclusion : Means with at least one the same letter are not significantly different
JNS 14Ka 20K 23a1 22a Blanko
JNS P1 P2
JNS 14KaP1 20KP1 20KP2 23a1P1 Blanko P1 14KaP2 22aP2 22aP1 23a1P2 Blanko P2
Lanjutan lampiran 16 Analisis uji ANOVA dan uji Duncan • Kandungan Se Total (µg Se) The SAS System Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: (Kandungan Se Total) Source DF Sum of Mean Square F value Probability Square of F JNS 4 3.45056334 0.86264 084 1608.73 0.0001 PR 1 2.09757645 2.09757645 3911.74 0.0001 JNS*PR 4 3.09791215 0.77447804 1444.31 0.0001 Error 10 0.00536226 0.00053623 Corrected 19 8.65141421 Total R-Square = 0.999380 Coefficient Of Variance (C.V) = 6.394365 Root Mean Square Error = 0.02315655 Kandungan Mean = 0.36214000 Conclusion : Significant differences happen, if Probability Value of F is smaller than (α = 0.05)
Duncan Grouping A B C D D
Duncan Grouping A B
Duncan's Multiple Range T est for variable: Source = JNS Mean N 1.10073 4 0.54235 4 0.10210 4 0.03813 4 0.02740 4 Duncan's Multiple Range Test for variable: Source = PR Mean N
JNS 14Ka 20K Blanko 22a 23a1
JNS
0.68599 10 P1 0.03829 10 P2 Duncan's Multiple Range Test for variable: Source = JNS*PR Duncan Grouping Mean N JNS A 2.13775 2 14KaP1 B 1.00310 2 20KP1 C 0.20420 2 Blanko P1 D 0.08160 2 20KP2 D 0.06370 2 14KaP2 E D 0.05365 2 23a1P1 E D 0.04500 2 22aP2 E D 0.03125 2 22aP1 E 0.00115 2 23a1P2 E 0.00000 2 Blanko P2 Conclusion : Means with at least one the same letter are not significantly different