TINJAUAN PUSTAKA Mebel Mebel merupakan salah satu komoditi yang diproduksi dan diperdagangkan secara global. Menurut ITTO (2006), nilai produksi mebel dunia pada tahun 2005 berdasarkan pada data statistik dari 60 negara adalah sebesar US$ 267 milyar, dengan produsen terbesar USA yaitu mencapai US$ 57,4 milyar. Produsen terbesar berikutnya adalah China US$ 37,9 milyar, Italy US$ 23,7 milyar, Jerman US$ 18,9 milyar, Jepang US$ 12,4 milyar, Kanada US$ 11,7 milyar, Inggris US$ 10,1 milyar dan Prancis US$ 9,2 milyar.
Kurang lebih 55% dari nilai total
produksi mebel dunia tersebut diproduksi oleh negara maju (tidak termasuk China). Negara tertinggi dalam mengkonsumsi mebel per kapita adalah Norwegia, Kanada, Austria, Switzerland, Denmark dan Finlandia. Sedangkan konsumen mebel terbesar pada tahun 2005 adalah USA (US$ 78,2 milyar), China (US$ 24,9 milyar), Jerman (US$20,5 milyar), Inggris (US$15,5 milyar) dan Jepang (US$ 15,5 milyar) (ITTO 2006). Dalam hal perdagangan, 54% ekspor mebel dunia berasal dari negara maju, namun sejak tahun 1990-an, pangsa pasar ini menurun sebesar 22%, dan diambil alih oleh negara-negara penting lain seperti Polandia, Malaysia, Indonesia dan Meksiko.
Adapun negara pengekspor mebel terbesar di dunia adalah China,
dengan nilai ekspor pada tahun 2005 US$ 13,5 milyar dan besarnya tingkat pertumbuhan ekspor pada tahun 2007 meningkat sebesar 17% (ITTO 2006). Sedangkan mebel Indonesia hanya menguasai 2,5% dari pangsa pasar dunia. Pasar ekspor terbesar bagi Indonesia adalah Amerika Serikat sebesar 29,3%, Jepang 9,6%, Belanda dan Inggris masing-masing 6,47%, dan Jerman 5,79% (USAID-SENADA 2007). Industri mebel di Indonesia sebagian besar termasuk dalam industri kecil dan menengah, telah menyumbangkan devisa yang tidak sedikit. Hal ini dapat dilihat dari besarnya nilai ekspor mebel yang terus mengalami peningkatan, dimana selama tahun 2000 – 2005 meningkat 17% dan benilai US$ 1,78 milyar
8 pada tahun 2005. Sebagian besar ekspor tersebut berasal dari mebel kayu (75%), sementara mebel rotan 20% dan mebel logam/plastik 5% (ASMINDO 2007 dalam USAID-SENADA 2007). Data ASMINDO Komda Jepara (2008) menunjukkan bahwa ekspor mebel kayu Indonesia pada tahun 2005 hampir mencapai US$ 1,351 milyar. Pada tahun-tahun berikutnya, nilai ekspor mebel terus mengalami peningkatan seperti terlihat pada Gambar 1.
1400
1200
Nilai (Juta US$)
1000
800
600
400
200
0 2000
Sumber:
2001
2002
2003 Tahun
2004
2005
2006
ASMINDO Komda Jepara (2008)
Gambar 1 Nilai ekspor mebel kayu Indonesia tahun 2000 – 2006.
Selain kontribusinya dalam penerimaan devisa Negara, industri mebel ini juga memiliki peranan yang sangat penting bagi penerimaan daerah terutama di Kabupaten Jepara. Pada tahun 2006, volume perdagangan mebel yang berasal dari Kabupaten Jepara mencapai 55.765,73 ton dan menghasilkan devisa sebesar US$ 111,84 juta (BPS Kabupaten Jepara 2007). Sedangkan Roda et al. (2007) melaporkan bahwa aliran tunai industri mebel di Jepara disinyalir mencapai Rp. 11.971 – 12.255 milyar per tahun. Disamping besarnya penerimaan daerah dari hasil ekspor mebel, kegiatan ini juga telah menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Menurut data Dinas
9 Perindustrian Kabupaten Jepara dalam Loebis dan Schmitz (2005), pada tahun 1997 sebanyak 38.264 tenaga kerja diserap oleh 2.439 industri, dan pada tahun 2002 jumlah tersebut meningkat menjadi 3.700 industri dengan menyerap 58.210 tenaga kerja. Data yang berbeda dikemukakan oleh Roda et al. (2007), dimana pada tahun 2002 paling tidak terdapat 12.000 industri dan menyerap 140.000 orang tenaga kerja. Selanjutnya dikatakan bahwa pada tahun 2005 paling sedikit terdapat 15.271 unit industri dengan menyerap 176.470 orang tenaga kerja. Jumlah eksportir mebel di Kabupaten ini sebanyak 265 yang mencakup 68 negara tujuan ekspor (BPS Kabupaten Jepara 2007). Menurut Roda et al. (2007), hampir semua perusahaan di Jepara mempunyai satu atau lebih perusahaan mitra, sehingga perusahaan sangat terkait satu sama lain melalui ikatan bisnis. Perusahaan di Jepara dapat dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu: (1) perusahaan terpadu yang menghasilkan produk jadi atau setengah jadi dari kayu bulat yang belum diolah; (2) perusahaan (tempat penimbunan kayu dan tempat penggergajian kayu) yang berfokus pada pengolahan awal bahan baku kayu dan menghasilkan kayu gergajian untuk keperluan kelompok ketiga; (3) bengkel yang menggunakan kayu gergajian serta berbagai komponen dan menghasilkan produk jadi. Berdasarkan sumber bahan baku, industri lokal dapat dikelompokkan menjadi (1) bengkel yang memperoleh bahan baku secara langsung dari luar Jepara; (2) bengkel yang memperoleh bahan baku secara tidak langsung dengan membelinya dari tempat penimbunan kayu atau penjual di Jepara. Kelompok kedua ini umumnya tidak memiliki modal untuk membeli semua bahan baku, mereka memperoleh pinjaman dari pembelinya. Bahan baku kayu bulat yang telah dibeli tersebut selanjutnya di sub kontrakkan ke penggergajian awal kemudian membawanya ke tempat kerjanya. Banyaknya jumlah industri mebel tersebut telah mengakibatkan banyaknya bahan baku yang dibutuhkan. Menurut Roda et al. (2007) konsumsi kayu untuk industri mebel di Jepara mencapai 1,5 – 2,2 juta m³ per tahun. Dengan demikian, kelangsungan dari industri-industri tersebut sangat tergantung dari kelangsungan bahan bakunya itu sendiri.
10 Potensi, Produksi dan Perdagangan Mahoni Adapun jenis-jenis kayu yang biasa digunakan dalam membuat mebel di Jepara antara lain Jati (Tectona grandis), kayu mahoni (Swietenia macrophylla), sonokeling, waru, mangga, suren, duren, akasia dan rimba lainnya (Ewasechko 2005; DEPERIN 2006; Roda et al. 2007). Kayu-kayu tersebut antara lain berasal dari hutan Perhutani, hutan rakyat di Jawa dan hutan di Luar Jawa (Ewasechko 2005; DEPERIN 2006; USAID-SENADA 2007). Mahoni sebagai salah satu jenis kayu yang banyak digunakan dalam pembuatan mebel di Jepara, memiliki potensi yang cukup tinggi. Luas hutan produksi Perum Perhutani adalah 1.943.449,55 Ha dimana 3,89% atau 75.537,98 Ha merupakan hutan produksi mahoni.
Namun demikian, berdasarkan data
statistik Perhutani tahun 2005, volume produksi kayu mahoni terus mengalami penurunan seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Produksi kayu mahoni Perhutani Tahun 2000 2001 2002 2003 2004
Produksi (m3) 95.049 73.599 86.931 65.774 47.383
Sumber: Perhutani (2005)
Penurunan produksi kayu mahoni Perhutani tersebut menjadikan kayu mahoni dari hutan rakyat sebagai alternatif bahan baku. Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan (2004), potensi kayu mahoni masyarakat tahun 2003 sebanyak 45,26 juta pohon yang dikuasai oleh 2,31 juta rumah tangga. Tanaman mahoni ini merupakan tanaman ketiga terbesar yang dikuasai oleh masyarakat setelah jati (79,71 juta pohon) dan sengon (59,83 juta pohon). Adapun yang menjadi daerah potensi utama mahoni adalah Jawa Tengah (39,04%), Jawa Barat (27,56%) dan Jawa Timur (11,63%). Produksi kayu rakyat di Jawa Tengah tahun 2006 adalah sebesar 1.139.723,57 m3, dimana produksi kayu mahoni sebesar 148.349,97 m3 (13%) (Dishut Prov. Jateng 2008). Sedangkan produksi kayu bulat asal hutan rakyat di
11 3
3
Propinsi DIY tahun 2006 adalah 128.980,43 m , dan 11,9% (15.361,25 m ) dari kayu tersebut adalah mahoni (Dishut Prov DIY 2006, diacu dalam Hudaya 2008). Sedangkan potensi mahoni rakyat di lima kabupaten di Jawa Barat (Sukabumi, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan dan Majalengka) pada tahun 2003 seluas 17.875,63 ha yang menghasilkan kayu pertukangan mahoni sebesar 50.822,07 m3 (Pasaribu dan Roliadi 2006). Dalam perdagangan mahoni dunia, kebanyakan kayu yang diperdagangkan berasal dari hutan alam dan sebagian kecil berasal dari hutan tanaman. Ekportir utama kayu ini adalah Brazil, Bolivia dan Peru, dan importir yang paling utama adalah Amerika dan Inggris. Perdagangan kayu mahoni dari hutan tanaman di Asia Tenggara yaitu berasal dari Malaysia, Indonesia dan Philippina (Soerianegara dan Lemmens 1994).
Dengan masuknya seluruh jenis mahoni
dalam appendix II CITES yaitu Swietenia macrophylla King (mahoni daun besar) pada tahun 2003, S. mahagoni tahun 1992, Jacq (mahoni daun kecil) dan S. humilis Zucc tahun 1975 (CITES 2007; Burley et al. 2004; Grogan dan Barreto 2005), mengandung konsekuensi bahwa perdagangan internasional dari mahoni perlu adanya verifikasi yang menjamin penebangan kayu secara legal dan dengan cara yang tidak menimbulkan kerusakan ekosistemnya (Grogan dan Barreto 2005).
Kondisi ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk memenuhi
permintaan pasar. Hal ini disebabkan tanaman mahoni di Indonesia merupakan tanaman eksotis. Tanaman mahoni (Swietenia) termasuk dalam famili
Meliaceae, secara
alami terdapat di daerah tropis Amerika antara 20° LU dan 18° LS. Terdapat di Mexico tengah melalui Amerika Tengah dan India Barat termasuk Florida bagian Barat menuju Bolivia, Peru dan Brazil (Soerianegara dan Lemmens 1994). Tanaman mahoni yang ada di Indonesia terdiri dari dua jenis yaitu S. macrophylla King dan S. mahagoni Jacq. Besarnya ketergantungan industri mebel terhadap pasokan bahan baku sementara produksi kayu dari Perhutani yang semakin menurun walaupun diimbangi dengan meningkatnya produksi kayu rakyat, telah mengakibatkan persaingan yang tinggi antar pelaku bisnis mebel untuk memperoleh bahan baku yang diperlukannya.
Persaingan tersebut tidak hanya terjadi dalam upaya
12 pemenuhan bahan baku, tetapi persaingan juga terjadi dalam hal penjualan produk mebel yang dihasilkannya.
Kondisi ini telah membentuk para pelaku
berhubungan satu sama lain dalam jaringan yang kompleks seperti yang dikemukakan oleh Kaplinsky et al. (2003) mengenai rantai nilai industri mebel kayu.
Rantai Nilai Istilah rantai nilai (value chain) banyak digunakan dalam berbagai bidang penelitian dengan menggunakan berbagai terminologi yang berbeda.
Istilah-
istilah seperti global commodity chains, value chains, value systems, production network dan value networks merupakan istilah yang banyak digunakan oleh para peneliti (Gereffi et al. 2001). Penggunaan istilah rantai nilai ini tergantung dari konteks yang digunakan. Menurut Kaplinsky dan Morris (2000) telah terjadi tumpang tindih dengan konsep sejenis yang digunakan dalam konteks yang lain. Rantai nilai ini bervariasi tergantung dari skala kegiatan organisasi (Sturgeon 2001). Istilah rantai nilai pertama kali dikemukakan oleh Michael E. Porter pada tahun 1985 dalam bukunya “Competitive Advatage: Creating and Sustaining Superior Performance”.
Menurut Porter, rantai nilai merupakan alat untuk
menguji seluruh kegiatan perusahaan secara sistematik serta bagaimana hubungannya untuk menganalisis daya saing perusahaan. Porter membedakan dua elemen penting dari analisis rantai nilai yaitu (Porter 1985; Kaplinsky dan Morris 2000): a. Berbagai kegiatan yang diselenggarakan dalam hubungan rantai tertentu. Di sini menggambarkan kegiatan transformasi input menjadi output (inbound logistik, operasional, outbound logistik, pemasaran dan penjualan, dan jasa) serta
berbagai jasa
pendukung perusahaan (infrastuktur perusahaan,
sumberdaya manusia, pengembangan teknologi, dan
pengadaan) untuk
menyelesaikan pekerjaannya. Kegiatan intra-link ini disebut sebagai rantai nilai (value chain).
13
Infrastruktur Perusahaan
Kegiatan Pendukung
Manajemen SDM
K e
Pengembangan Teknologi
u Procurement
n t u n
Inbound Logistic
Operasi
Outbound Logistic
Penjualan & Pemasaran
g
Pelayanan
a n
Kegiatan Utama Sumber: Porter (1985)
Gambar 2 Rantai nilai secara umum. b. Konsep rantai nilai multi-link yang disebut sebagai value system.
Value
system pada dasarnya merupakan pengembangan dari rantai nilai intra link menjadi hubungan inter-link. Sedangkan Womack dan Jones menggunakan frase value stream untuk merujuk pada istilah rantai nilai (Kaplinsky dan Morris 2000). Konsep lain yang hampir sama mengenai rantai nilai adalah filiere yang digunakan untuk menggambarkan aliran input secara fisik dan jasa dalam memproduksi suatu produk akhir yang intinya tidak ada perbedaan antara Porter atau Womack dan Jones. Konsep rantai nilai yang ketiga adalah yang dikemukanan oleh Gereffi selama pertengahan 1990-an, dimana rantai nilai digambarkan sebagai global commodity chain. Konsep ini memfokuskan pada koordinasi penyebaran global dari sistem produksi (Kaplinsky dan Morris 2000).
Gereffi mengemukakan
bahwa beberapa rantai terkarakterisasi oleh anggota atau beberapa anggota yang dominan, sehingga anggota tersebut menentukan karakter dari rantai. Sebagai perusahaan pemimpin, mereka menjadi bertanggung jawab untuk meningkatkan kegiatan hubungan individu dan mengkoordinasikan interkasi antar link. Disamping terdapat istilah yang berbeda mengenai rantai nilai, Kaplinsky dan Morris (2000) membedakan rantai nilai menjadi rantai nilai sederhana dan
14 rantai nilai kompleks.
Dalam hal ini, Kaplinsky dan Morris (2000)
mendefinisikan rantai nilai sebagai gambaran kegiatan yang diperlukan untuk menghasilkan suatu barang atau jasa, dimana barang dan jasa tersebut bermula dari sebuah gagasan, selanjutnya melalui beberapa tahap produksi yang berbeda untuk kemudian dibawa ke konsumen dan akhirnya didaur ulang setelah dipergunakan. Gambar dari sebuah rantai nilai sederhana seperti tersaji pada Gambar 3.
Disain dan pengembangan produk
Produksi -logistik -transformasi -input -pengemasan -dll
Disain
Produksi
Pemasaran
Pemakaian/ daur ulang
Pemasaran
Pemakaian/ daur ulang
Sumber: Kaplinsky dan Morris (2000)
Gambar 3 Rantai nilai sederhana.
Berdasarkan gambar di atas, proses pembuatan sebuah produk bermula dari kegiatan desain dilanjutkan dengan proses produksi untuk kemudian dipasarkan, sehingga produk yang dihasilkan dapat dinikmati oleh konsumen. tersebut pada akhirnya didaur ulang setelah dipergunakan.
Produk
Dalam dunia
sesungguhnya, tentu saja rantai nilai tidak sesederhana seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3. Pada dunia nyata, rantai nilai cenderung lebih kompleks dan banyak link yang saling berhubungan, seperti yang terjadi pada rantai nilai industri mebel kayu yang dikemukakan oleh Kaplinsky dan Morris (2000); Kaplinsky et al. (2003) pada gambar berikut:
15 Bibit
Air
Mesin
Kehutanan
Mesin
Kimia
Penggergajian
Disain
Logistik,k ualitas
Industri mebel
Cat, perekat, dll
Mesin
Pembeli
Pedagang besar dalam negeri
Pedagang besar luar negeri
Pedagang pengecer luar negeri
Pedagang pengecer domestik
Konsumen
Daur ulang
Dibuang
Sumber: Kaplinsky dan Morris (2000); Kaplinsky et al. (2003), dimodifikasi
Gambar 4 Rantai nilai industri mebel kayu.
Nilai Tambah Masing-masing pelaku yang terlibat dalam rantai nilai mebel tersebut memberikan nilai tambah dalam setiap prosesnya. Nilai tambah adalah selisih antara pendapatan yang diperoleh dari penjualan barang atau jasa dan biaya untuk pembelian barang atau jasa yang diperlukan untuk menghasilkan barang atau jasa (Anonim 1997, diacu dalam Susanty 2000) Pengertian nilai tambah adalah perbedaan antara harga pembelian bahan mentah atau bagian-bagian yang selesai dikerjakan dalam proses produksi dan harga penjualan produk yang bersangkutan. Dalam pengertian nilai tambah di sini, dikenal dua metode untuk menghitung nilai tambah yaitu (1) nilai tambah
16 kotor (gross value added), adalah berdasarkan nilai tambah produk yang dicapai dari penjualan pada suatu periode dikurangi harga pokok penjualannya (Sudarsono 1992, diacu dalam Sumaryuwono 2001); (2) nilai tambah bersih (net value added), besarnya nilai tambah ini, sama dengan pendapatan yang berasal dari hasil penjualan suatu produk, dikurangi dengan pengeluaran untuk memiliki/menghasilkan produk tersebut, yang terdiri dari harga pokok penjualan, biaya pemasaran, penyusutan, bunga pinjaman dan pajak pemerintah (Aliludin 1993 dalam Sumaryuwono 2001). Besarnya nilai tambah yang diperoleh masing-masing pelaku dalam rantai nilai mebel menurut Purnomo (2006) terdistribusi tidak merata, dimana yang terkecil memperoleh adalah drying kiln 0,2%, dan yang terbesar adalah pengecer internasional 46,7%. Besarnya keuntungan yang diperoleh masing-masing pelaku tersebut dipengaruhi oleh hubungan kemitraan yaitu hubungan principal – agent antar pelaku yang membentuk aturan main (kelembagaan) dan karakteristik dari rantai nilai yang ada.
Teori Kemitraan dan Biaya Transaksi Persaingan dalam industri mebel tidak hanya terjadi antar perusahaan di dalam klaster, tetapi persaingan juga terjadi dengan perusahaan lain pada klaster yang berbeda. Dengan demikian maka keberhasilan dalam persaingan tidak hanya ditentukan oleh perusahaan itu sendiri, tetapi juga ditentukan oleh sistem pendukungnya termasuk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, kebijakan dari perusahaan pemimpin, dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak lain seperti tuntutan adanya sertifikasi (menurut Kaplinsky dan Morris (2000) fungsi ini termasuk dalam fungsi legislatif).
Kebijakan-kebijakan tersebut berpengaruh
terhadap hubungan kemitraan antar pelaku di dalam rantai sehingga membentuk kelembagaan dan peta kekuatan yang ada di dalam rantai. Untuk memaksimumkan keuntungan para pelaku yang terlibat, ke dalam perusahaan mengalami permasalahan jaringan kontrak antara pemilik modal dan manajernya, serta manajer dan bawahannya. Ke luar perusahaan menghadapi permasalahan hubungan atau jaringan kontrak antara perusahaan dengan mitra pemasok input (supplier) dan pembeli output (buyer) (Nugroho 2003). Salah satu
17 pendekatan yang digunakan untuk mempelajari teori kemitraan adalah pendekatan hubungan yang memberi kepercayaan (principal) dan yang menerima kepercayaan (agents) atau secara umum disebut principal-agent relationship. Analisis principal – agent ini merupakan alat yang populer dan sangat berguna dalam ilmu sosial sejak awal 1970-an terutama dalam akutansi, ekonomi, keuangan, management, teori organisasi dan sosiologi (Munro 2001). Eggertsson (1990), diacu dalam Nugroho (2003) menyebutkan bahwa teori kemitraan merupakan teori yang biasanya digunakan utuk menjelaskan hubungan hirarkis, tetapi secara umum dapat dimanfaatkan pula untuk menjelaskan berbagai bentuk pertukaran (exchange).
Dalam hubungan hirarkis yang kompleks
seseorang dapat memainkan peranan secara simultan baik sebagai agent bagi principal di atasnya, dan sebagai principal bagi agent di bawahnya (Whynes 1993). Hubungan kemitraan yang mungkin terjadi di dalam rantai nilai mebel yaitu antara pembeli produk mebel dengan industri pembuatnya, dan antara pedagang log dengan industri dan petani. Hubungan antara principal (pemberi kepercayaan) dan agent (penerima kepercayaan) selalu memunculkan masalah ketidaksepadanan informasi antara penjual dan pembeli mengakibatkan kemitraan rentan terhadap perilaku oportunitis (Nugroho 2003).
Selanjutnya dikatakan
bahwa hubungan principal-agent akan efisien jika tingkat harapan keuntungan (reward) kedua belah pihak seimbang dengan korbanan masing-masing serta biaya transaksi sehubungan dengan pembuatan kontrak atau kesepakatan dapat diminimumkan. Hubungan principal-agent yang efisien mejadi sesuatu yang kompleks untuk dipecahkan, karena munculnya informasi asimetris (asymentric information) dan sangat ditentukan oleh derajat penolakan terhadap resiko. Derajat penerimaan terhadap resiko dapat dikelompokkan menjadi: (1) kelompok yang menyukai resiko (risk lover), (2) tidak menyukai resiko (risk averter) dan (3) netral terhadap resiko (risk neutral) (Varian 1992; Silberberg 1990; Beaty dan Taylor 1984; dan Eggertsson 1990, diacu dalam Nugroho 2003). Menurut North (1990), biaya transaksi ialah biaya untuk mengukur nilai atribut barang dan jasa (information cost), biaya untuk melindungi hak atas barang (exclusion cost), biaya untuk menetapkan kontrak (contractual cost) dan biaya untuk menjalankan perjanjian (policing cost).
Ostrom et al. (1993),
18 mengemukkan bahwa biaya transaksi meliputi: (1) biaya koordinasi (coordination cost) yaitu biaya untuk waktu, dana dan personel dalam negosiasi, pengawasan dan penegakan kesepakatan; (2) biaya informasi (information cost) yaitu biaya untuk mencari dan mengorganisasi data termasuk biaya atas kesalahan informasi; (3) biaya strategis (strategic cost) biaya
yang diakibatkan oleh kepemilikan
informasi, kekuasaan dan sumberdaya yang tidak sepadan diantara pelaku, umumnya untuk membiayai aktivitas free riding, rent seeking dan corruption. Kegiatan pembuatan mebel yang banyak melibatkan para pelaku (aktor) mulai dari hulu (petani), industri, pedagang sampai pada konsumen, adanya hubungan principal – agent dan distribusi nilai tambah yang tidak seimbang antar pelaku menyebabkan perumusan menjadi kompleks. Menurut Eriyatno (2003), karakteristik permasalahan tersebut memerlukan pendekatan sistem, karena pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh.
Pendekatan Sistem Menurut Manetsch dan Park (1979), diacu dalam Eriyatno (2003), secara definitif sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Sedangkan Grant et al. (1997) mendefinisikan sistem sebagai kumpulan komponen-komponen fisik yang terorganisasi dan saling berhubungan yang dicirikan oleh suatu batasan dan kesatuan fungsional atau dapat didefinisikan sebagai kumpulan materi-materi dan proses yang saling berhubungan dan bersama-sama membentuk satu set fungsi. Analisis sistem merupakan kesatuan dari teori-teori dan teknik untuk mempelajari, menggambarkan, dan membuat prediksi tentang sesuatu yang kompleks, dimana analisis sistem menekankan pendekatan holistik pada pemecahan masalah dan penggunaan model matematis untuk mengidentifikasi serta mensimulasikan karakter-karakter dalam suatu sistem yang kompleks (Grant et al. 1997). Pemodelan adalah proses membangun sebuah model dari sistem nyata dalam bahasa formal tertentu. Model itu sendiri menurut Simatupang (1994) adalah suatu representasi atau formalisasi dalam bahasa tertentu dari suatu sistem nyata.
19 Melalui simulasi, pengkaji dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem, dengan menelaah perilaku dari model yang selaras, dimana hubungan sebab akibatnya sama dengan atau seperti yang ada pada sistem yang sebenarnya (Eriyatno 1999). Simulasi menurut Grant et al. (1997) adalah proses penggunaan model untuk meniru atau menggambarkan secara bertahap sistem yang dipelajari.
Model simulasi terbentuk dari suatu susunan operasi
matematik dan logika yang bersama-sama mewakili struktur dan perilaku dari ruang lingkup sistem. Model-model simulasi tersebut termasuk model dinamis dimana model ini menggambarkan hubungan yang bervariasi oleh waktu. Purnomo (2006) mengemukakan bahwa sistem dinamik adalah metodologi umum yang digunakan terutama untuk mempelajari perilaku dinamis dari berbagai sistem kompleks.