II
Tinjauan Pustaka
2.1 Karbon aktif Penggunaan karbon telah dilakukan sejak penemuan api. Pada masa lampau bangsa Hindu menggunakan arang dalam penyaringan air. Scheele menemukan karbon aktif pada tahun 1773 setelah memperhatikan bahwa jenis-jenis arang tertentu mempunyai kapasitas adsorpsi yang lebih tinggi. Dampak negatif dari zat warna pada perairan maupun kesesuaian karbon aktif dalam pengolahannya sudah banyak dibahas pada berbagai literatur (Babu, 2006) Karbon aktif dikenal mempunyai daya adsorpsi fisik terkuat tertinggi dari seluruh materi yang dikenal manusia. Berbeda dengan karbon yang dibuat untuk keperluan menulis pada pensil dimana karbon dibuat sepadat mungkin, karbon aktif dibuat supaya mempunyai poripori yang sebesar dan sebanyak mungkin. Bahkan satu gram karbon aktif mempunyai luas permukaan yang hampir sama dengan luas 2 lapangan tenis. Adapun berbagai kegunaan berhubungan dengan pemurnian pada industri pakaian, tekstil dan perawatan pribadi.
Gambar 2.1 Foto karbon aktif menggunakan alat SEM pada pembesaran 4000x Karbon aktif mempunyai keunggulan dalam efektivitas serta efisiensi dalam penghilangan polutan terutama dari air limbah (Babu, 2006). Zat penghilang warna, rasa dan bau; pemurni
pada pengolahan makanan, kosmetik, dan farmasi. Karbon aktif mempunyai kemampuan adsorpsi yang lebih tinggi daripada pengadsorpsi lain seperti resin.
2.1.1
Jenis karbon aktif
2.1.1.1 Berdasarkan bentuk fisik Berdasarkan ukuran partikelnya ada dua jenis karbon aktif yang utama, karbon aktif granular dan karbon aktif serbuk. Karbon aktif granular merupakan partikel dengan bentuk yang tidak seragam berukuran 0,2 - 5 mm. Karbon aktif granular dapat digunakan pada pengolahan limbah cair maupun gas. Sedangkan karbon aktif serbuk jauh lebih kecil dengan ukuran kurang dari 0,18mm. Karbon aktif serbuk biasanya digunakan pada pengolahan limbah cair. Pada percobaan ini digunakan karbon aktif granular karena jenis ini yang dengan mudah didapatkan di pasaran dan biasa digunakan pada industri.
Gambar 2.2 Karbon aktif granular
Gambar 2.3 Karbon aktif serbuk
2.1.1.2 Bahan dasar pembuatan karbon aktif Hampir semua sumber karbon dapat dibuat menjadi karbon aktif. Indeks Merck membagikan karbon aktif kedalam 4 bentuk dasar: Animal charcoal- diambil dari pengarangan tulang, daging, darah dll. Gas black – didapatkan dari pembakaran gas alam. Lamp black – didapatkan dengan cara membakar berbagai lemak, minyak resin dll. Tempurung kelapa termasuk sumber karbon aktif yang paling efektif.
4
2.1.2
Proses pembuatan karbon aktif
Struktur pori-pori yang halus terbentuk pada proses aktivasi. Pada aktivasi dengan gas, gas pengoksidasi seperti CO2 digunakan pada temperatur tinggi untuk mengikis pori-pori pada arang. Pada aktivasi dengan bahan kimia, arang diimpregnasi dengan suatu bahan kimia kemudian dipanaskan pada temperatur-temperatur tinggi. (sekitar 800-1000°C). Bahan kimia pengaktif ini yang membentuk struktur berpori. Aktivasi kimia juga merubah permukaan karbon. Bahan kimia pengaktivasi antara lain (asam fosfat, asam sulfat atau KOH). Setelah proses aktivasi, bahan kimia dicuci untuk penggunaan kembali. Struktur pori akhir bergantung pada bahan yang digunakan untuk membuat karbon aktif dan proses aktivasi. Bahan dengan struktur pori seperti kayu membutuhkan lebih sedikit perlakuan dibandingkan bahan isotropis seperti batubara. Jumlah pengotor biasanya lebih tinggi pada bahan dengan kadar karbon yang lebih rendah.
2.1.3
Dampak terhadap lingkungan
Karbon aktif tidak berbahaya bagi manusia (Preethi, 2006). Karbon aktif tidak akan mengalami interaksi kimia dengan bahan lain dan tidak dapat menyebabkan kontaminasi lingkungan. Bahkan proses pembuatan serta penggunaan karbon aktif lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan adsorben lain.
2.2
Zat Warna
Zat warna sintesis pertama, mauveine, ditemukan oleh William Henry Perkin pada tahun 1856. Sebelumnya digunakan zat pewarna yang dibuat dari tanaman serta zat organik lain. Penelitian menemukan bahwa pewarnaan tekstil telah dilakukan sejak 5000 tahun yang lalu terutama oleh bangsa India. Hingga kini penggunaan zat warna organik telah sangat berkurang karena industri tekstil cenderung menggunakan zat warna sintesis yang terbukti lebih unggul antara lain variasi yang lebih banyak, mudah dalam pemakaiannya dan relatif lebih murah.
2.2.1 Klasifikasi Zat Warna Berdasarkan metode pewarnaan zat warna dapat digolongkan sebagai berikut: a. Zat warna basa (disebut juga zat warna kation) karena selalu terionkan di dalam mediumnya dengan gugus pembawa warna yang bersifat kation. Biasanya digunakan untuk mencelup serat-serat binatang, poliamida (nilon) dan beberapa serat poliakrilat berdasarkan ikatan elektrokovalen.
5
b. Zat warna asam, yang mengandung asam-asam mineral atau asam organik dan dibuat dalam bentuk garam-garam natrium, dari asam organik dimana gugus anion merupakan gugus pembawa warna yang aktif. c. Zat warna direct, dikenal dengan zat warna substantif, memiliki daya afinitas yang besar terhadap serat selulosa. Berapa diantaranya dapat mencelup serat binatang berdasarkan binatang berdasarkan ikatan hidrogen. d. Zat warna mordan, yang bergabung dengan oksida logam membentuk zat warna yang tidak larut. Biasa digunakan untuk mencelup serat binatang, poliamida dan serat selulosa. e. Zat warna azoat, yang mengandung pigmen azo yang dapat mengendap di dalam serat. Terutama digunakan untuk mencelup serat selulosa. f.
Zat warna belerang yang memiliki rantai belerang pada setiap struktur molekulnya. Sifatnya tidak larut di dalam air, tetapi dapat larut dalam larutan sulfida.
g. Zat warna bejana, yang mengandung gugus karbonil dan memiliki sifat tidak larut dalam air. h. Zat warna dispersi, yaitu zat warna non-ion yang terdiri dari inti kromofor azo dan antrakinon. Biasanya digunakan untuk mencelup serat selulosa asetat, serat poliester. i.
Zat warna reaktif, yang dapat mencelup serat dalam kondisi tertentu dan membentuk reaksi kovalen dengan serat. Biasanya mencelup serat selulosa , serat wol, sutera dan poliamida buatan berdasarkan reaksi kondensasi dengan gugus amina dari serat-serat hewani atau poliamida. Salah satu contoh zat warna reaktif adalah cibacron red yang digunakan pada penelitian ini.
2.2.2 Zat warna reaktif Zat warna reaktif ditemukan pada tahun 1954 oleh Lee dan Stevens. Zat warna golongan ini digunakan untuk pewarnaan serat selulosa. Zat warna reaktif memiliki gugus reaktif, antara haloheterosiklik atau gugus ikatan ganda teraktivasi yang ketika diaplikasikan kepada serat membentuk ikatan dengan gugus hidroksil dari serat selulosa. Zat warna reaktif dapat pula diaplikasikan pada wol dan nilon. Kini zat warna reaktif merupakan metode terpenting dalam pewarnaan serat selulosa. Keunggulan dari zat warna reaktif ini antara lain merupakan zat warna yang paling permanen, dapat diaplikasikan pada suhu kamar serta mempunyai gugus teraktifkan yang bereaksi langsung dengan serat. Pada zat warna reaktif terjadi ikatan antara gugus yang sesuai pada zat warna dengan gugus hidroksil dari serat selulosa (Matyjas, 2003).
6
Sifat-sifat khas dari zat warna reaktif adalah: Sistem reaktif, sehingga zat pewarna dapat membentuk ikatan kovalen antara zat perwarna dengan substrat. Gugus kromofor, yang memberi warna kepada selulosa Gugus penyambung yang menghubungkan system reaktif dengan kromofor.
2.2.3 Zat warna cibacron red Rumus kimia
C46H38C12N14O19S6-xNa
Nama dagang
Cibacron Red W-B 150% Red Ren 363
Berat molekul
1522 g/mol
Bentuk pada suhu ruang
Serbuk berwarna merah tua tak berbau
Titik Leleh
> 400°C
Kelarutan dalam air
> 400 g/L
Kereaktifan
Stabil
Ukuran Partikel
Range ( μ m ) < 0.36 0.36-0.76 0.76-1.56 1.56-3.11 3.11-6.24 6.24-12.12 12.12-24.85 24.85-63 63-100 100-200 >200
Mass (%) 0.06 0.20 0.40 0.71 1.74 4.56 12.25 29.50 30.22 20.21 0.15
Gambar 2.4 Struktur zat warna cibacron red
7
2.2.4 Dampak zat warna terhadap lingkungan hidup Penggunaan zat warna reaktif semakin banyak digunakan disebabkan kenaikan penggunaan serat selulosa dan juga keterbatasan ekonomis dan teknis dari zat pewarma lain. Perhatian mengenai isu lingkungan hidup telah mendorong industri tekstil untuk mencari teknologi ramah lingkungan yang sesuai. Produksi zat warna diperkirakan mencapai 450 ton per tahun. Fakta yang mengkhawatirkan adalah dari jumlah besar ini 9 % terbuang dalam limbah industri tekstil. Kekhawatiran utama pada penggunaan zat warna adalah sifatnya yang dapat menyerap sinar matahari yang mengganggu pertumbuhan bakteri hingga menyebabkan degradasi zat pengotor tidak dapat terjadi lagi. Gabungan air limbah pabrik tekstil di Indonesia rata-rata mengandung 750 mg/l padatan tersuspensi dan 500 mg/l BOD. Perbandingan COD : BOD adalah dalam kisaran 1,5 : 1 sampai 3 : 1. Pabrik serat alam menghasilkan beban yang lebih besar. Beban tiap ton produk lebih besar untuk operasi kecil dibandingkan dengan operasi modern yang besar, berkisar dari 25 kg BOD/ton produk sampai 100 kg BOD/ton. Informasi tentang banyaknya limbah produksi kecil batik tradisional belum ditemukan. Larutan penghilang kanji biasanya langsung dibuang dan ini mengandung zat kimia pengkanji dan penghilang kanji pati, PVA, CMC, enzim, asam. Penghilangan kanji biasanya memberi kan BOD paling banyak dibanding dengan proses-proses lain. Pemasakan dan merserisasi kapas serta pemucatan semua kain adalah sumber limbah cair yang penting, yang menghasilkan asam, basa, COD, BOD, padatan tersuspensi dan zat-zat kimia. Proses-proses ini menghasilkan limbah cair dengan volume besar, pH yang sangat bervariasi dan beban pencemaran yang tergantung pada proses dan zat kimia yang digunakan. Pewarnaan dan pembilasan menghasilkan air limbah yang berwarna dengan COD tinggi dan bahan-bahan lain dari zat warna yang dipakai, seperti fenol dan logam. Di Indonesia zat warna berdasar logam (krom) tidak banyak dipakai. Proses pencetakan menghasilkan limbah yang lebih sedikit daripada pewarnaan. Jenis limbah antar lain sebagai berikut: 1. Logam berat terutama As, Cd, Cr, Pb, Cu, Zn. 2. Hidrokarbon terhalogenasi (dari proses dressing dan finishing) 3. Pigmen, zat warna dan pelarut organic 4. Tensioactive (surfactant)
8
2.2.5 Proses produksi tekstil Proses produksi tekstil berdasarkan literatur yang didapat terjadi dalam beberapa langkah berikut: a. Pengkanjian Pada tahap ini digunakan kanji supaya kekuatan dan ketahanan serat semakin meningkat. Pemberian kanji dilakukan pada saat ditenun. Adapun berbagai jenis kanji yang digunakan: kanji alam (kanji tapioka dan kanji jagung), kanji semibuatan (CMC) dan kanji buatan (kanji polivinil alkohol dll). Biasanya untuk serat alam cukup digunakan kanji alami akan tetapi untuk serat sintetis diperlukan kanji sintetis juga. b. Penghilangan kanji Pada proses ini serat sintetis dicuci dengan air panas dan serat alami dalam suatu larutan enzimatis. Tahap ini sangat penting karena kanji yang tidak dihilangkan dapat bereaksi dan menyebabkan perubahan warna. c. Pemasakan (scouring) Pemasakan dilakukan untuk menghilangkan zat-zat pengotor pada bahan. Zat pengotor seperti lubrikan, tanah, surfaktan, malam, lilin, pektin, lemak dihilangkan menggunakan larutan alkali, biasanya sodium hydroxide pada temperatur tinggi untuk menghancurkan atau mengemulsi pengotor. Proses pemasakan berbeda-beda tergantung pada jenis bahan. d. Pengelantangan (Bleaching) Tahap ini dilakukan untuk menghilangkan zat warna yang tidak diinginkan pada serat tekstil dan biasanya menggunakan tiga zat pengelantang umum: hydrogen peroxide, sodium hypochlorit atau, sodium chlorite. Proses pengelantangan terjadi dalam tiga tahap berikut: 1. perendaman bahan dalam larutan zat pengelantang dan bahan kimia lain sesuai keperluan. 2. temperatur dinaikkan hingga temperatur yang sesuai dengan bahan yang digunakan 3. bahan dicuci bersih kemudian dikeringkan. e. Merserisasi (Mercerizing) Merserisasi merupakan suatu proses kimia yang digunakan untuk meningkatkan kemudahan dalam pewarnaan, kekuatan dan tampilan bahan kapas atau campuran kapas/poliester. Zat yang digunakan pada proses ini antara lain amonia dan larutan NaOH. f.
Pencelupan
9
Pencelupan dilakukan untuk menambah warna pada kain. Zat warna yang digunakan tergantung pada jenis kain dan hasil yang diinginkan. Jenis-jenis zat warna sudah diterangkan sebelumnya.
10
Gambar 2.5 Diagram alir produksi industri tekstil
11
2.3
Metode Spektrofotometri UV-Vis
2.3.1 Spektroskopi Di masa lalu istilah spektroskopi merujuk kepada cabang ilmu pengetahuan dimana cahaya dipisahkan kedalam komponen-komponen panjang gelombang menghasilkan spektrum yang membentuk suatu fungsi panjang gelombang atau frekuensi. Kemudian arti spektroskopi diperluas sehingga tidak hanya mencakup radiasi tampak tapi juga radiasi elektromagnetik seperti sinar-X, ultra violet, infra merah, microwave, dan radiasi frekuensi radio. Kini, spektroskopi bahkan digunakan dalam menjelaskan interaksi benda dengan bentuk energi yang lain termasuk interaksi dengan gelombang akustik serta ion dan elektron. Metodemetode
spektroskopi
yang
paling
banyak
digunakan
berdasar
kepada
radiasi
elektromagnetik yang telah disebutkan di atas.
2.3.1.1 Absorbsi radiasi pada spektroskopi Ketika foton dari cahaya melewati suatu medium padatan, cair atau gas, sebagian fotonfoton akan diserap oleh atom, ion maupun molekul yang membentuk medium dalam suatu proses yang disebut absorbsi. Akibat menyerap energi sinar ini partikel pembentuk medium akan menjadi tereksitasi.
2.3.1.2 Anallisis kuantitatif dengan metode spektrofotometri sinar nampak Pada metode adsorpsi diukur intensitas sinar sebelum sinar melewati medium yang berisi analit (P0) dan setelah melewati (P). Perbandingan antara P dan P0 akan mengahasilkan transmittance (T). Hubungan ini tergambarkan dalam persamaan berikut: T = P / P0
Gambar 2.6 Sinar melewati medium
12
Besarnya serapan sinar dinyatakan melalui persamaan: A = -log10T = log P0/P Hasil dari pengukuran absorbans kemudian digunakan untuk menentukan konsentrasi dari zat absorben melalui Hukum Lambert Beer: A = abc A = Absorbans a = absorbivitas (Lg-1cm-1) b = panjang kuvet (cm) c = konsentrasi larutan absorben
2.3.2
Spektrofotometri sinar tampak
Spektrofotometri sinar tampak merupakan suatu metode spektroskopi absorpsi yang digunakan untuk pengukuran pada panjang gelombang 400-750 nm. Metode spektroskopi adsorpsi itu sendiri berdasarkan penyerapan sinar tampak oleh zat warna dapat digunakan dalam penentuan konsentrasi berbagai spesi organik maupun anorganik. 2.3.2.1 Komponen pada alat spektrofotometer sinar tampak Pada dasarnya suatu alat spektroskopi akan terdiri dari komponen-komponen berikut: 1. Sumber sinar Sumber sinar yang digunakan pada alat spektrofotometri sinar nampak adalah lampu tungsten atau wolfram. Sumber sinar jenis ini digunakan karena sumber sinar yang digunakan pada spektrofotometri sinar tampak harus mampu mengemisi sinar dengan panjang gelombang 400-750 nm. 2. Monokromator Monokromator adalah alat yang merubah sinar polikromatis menjadi monokromatis. 3. Kuvet Kuvet merupakan wadah penyimpanan medium. Sebaiknya terbuat dari quartz dengan kualitas tinggi atau bahan kaca yang tidak memiliki goresan atau cacat lain sehingga tidak mengganggu proses pengukuran. 4. Detektor Detektor digunakan untuk mengubah energi cahaya menjadi energi listrik.
13
Gambar 2.7 Skematik peralatan spektrofotometer sinar tampak
2.3.2.2 Keunggulan metode spektrofotometri sinar tampak 1. Aplikasi yang luas Banyak spesi anorganik, organik dan biokimia yang dapat menyerap sinar nampak. Bahkan lebih dari 90% dari analisis yang dilakukan di laboratorium menggunakan metode ini (Singh, 2003). 2. Kepekaan yang tinggi Limit deteksi bagi spektroskopi absorbsi 10-4 hingga 10-5 M. 3. Selektivitas tinggi Dapat mengukur zat dalam campurannya. 4. Akurasi yang baik Kesalahan relatif pada konsentrasi pada spektrofotometri sinar tampak hanya 1%5%. 5. Kemudahan dalam penggunaan Alat spektrofotometer sinar tampak sederhana dalam penggunaannya.
14